h - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50380/1/lutfi... ·...

131

Upload: others

Post on 30-Apr-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • -

    PENGESAHAN PA-NITIA UJIAN

    Skripsi yang beIjudul "Kesepakatan Suami Ism dalam pengasuhan Anak Perspektif

    Teori Ma#,,~ah Mursul"h" (Studi Putusan Nomor 638 K1Ag/2015) te1ah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SaIjana Hukum (SH) pada Program Studi HuklJIIl Keluarga.

    Dr, B.A:hillad ThoJabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.M., M.A. NIP. 197608072003]21001

    PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

    Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag. NIP. 197602132003122001

    Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, MA. NIP. 197205312007101002

    Pembimbing : Hotnidah Nasution, MA. NIP. 197106301997032002

    Penguji I : Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum. NIP. 195704081986031002

    Penguji II : Afwan Faizin, MA. NIP. 197210262003121001

    . ,

    III

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya ash saya yang diajukan untuk memenum

    persyaratan memperoleh gelar Strata-1 (Sl) di Universitas Islam Negeri

    (DIN) SyarifHidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (DIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

    merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (DIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Jakarta, 15 Agust _0 I

    Lutfi zakaria Mubarok 11150 0000040

    IV

  • v

    ABSTRAK

    Lutfi Zakaria Mubarok, NIM 11150440000040, Kesepakatan Suami Istri

    dalam Pengasuhan Anak Perspektif Teori Maṣlaḥah Mursalah (Studi Putusan Nomor

    638 K/Ag/2015). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan

    Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019

    M.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam

    penentuan hak asuh anak (hadhānah) pada putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk,

    kemudian Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Nomor 638 K/Ag/2015, kemudian

    hasil putusan tersebut dianalisis menggunakan perspektif teori Maṣlaḥah Mursalah.

    Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian kualitatif. Sumber

    data diperoleh dari Putusan Pengadilan Agama Depok, Pengadilan Tinggi Agama

    Bandung, dan Mahkamah Agung. Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan

    normatif yuridis, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka. Metode

    menganalisanya menggunakan metode analisis deskriptif.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama

    membatalkan kesepakatan perdamaian antara suami istri, khususnya pada poin 4

    terkait dengan hak pengasuhan anak dilakukan secara bersama-sama secara

    permanen, karena bertentangan dengan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1

    Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun

    2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 105 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam,

    serta fakta hukum bahwa antara suami istri tersebut akan bercerai.

    Di Tingkat Banding Majelis Hakim berpendapat bahwasanya kesepakatan

    perdamaian poin 4 pada dasarnya tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan sebagaimana yang disebutkan Majelis Hakim Tingkat Pertama.

    Di Tingkat Kasasi Majelis Hakim memandang bahwa kesepakatan tersebut adalah

    tidak sah karena diantara butir-butir kesepakatan yang tercantum tidak memenuhi

    syarat-syarat sebuah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 jo. 1337 KUH Perdata.

    Dalam putusan ini Majelis Hakim Tingkat Kasasi memberikan hak pengasuhan anak

    (hadhānah) kepada sang ibu.

    Jika penulis amati dari ketiga putusan tersebut, maka yang lebih maslahat

    adalah putusan Tingkat Kasasi Nomor 638/K/Ag/2015. Kemudian implikasi dari

    putusan Nomor 638/K/Ag/2015 yang memberikan hak pengasuhan anak (hadhānah)

    kepada sang ibu tentu membuat hak anak-anak menjadi terjamin, diantaranya hak

    untuk diasuh dan bertempat tinggal. Karena dengan kondisi kedua anak yang masih

    dalam usia belia, hal tersebut tentu saja membuat anak-anak masih membutuhkan

    perhatian secara khusus dari orang tua.

    Kata Kunci : Kesepakatan, Hadhānah, Maṣlaḥah Mursalah.

    Pembimbing : Hotnidah Nasution, M.A.

    Daftar Pustaka : 1972 s.d. 2019

  • vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing

    (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat

    diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

    a. Padanan Aksara

    Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

    Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

    Tidak dilambangkan ا

    B Be ب

    T Te ت

    Ts te dan es ث

    J Je ج

    H ha dengan garis bawah ح

    Kh ka dan ha خ

    D De د

    Dz de dan zet ذ

    R Er ر

    Z Zet ز

    S Es س

    Sy es dan ye ش

    S es dengan garis bawah ص

    D de dengan garis bawah ض

  • vii

    T te dengan garis bawah ط

    Z zet dengan garis bawah ظ

    koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

    Gh ge dan ha غ

    F Ef ؼ

    Q Qo ؽ

    K Ka ؾ

    L El ؿ

    M Em ـ

    N En ف

    W We ك

    H Ha ق

    Apostrop ˋ ء

    Y Ya ي

    b. Vokal

    Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau

    monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau

    monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

    Tanda Vokal

    Arab

    Tanda Vokal

    Latin Keterangan

    َ A Fathah

  • viii

    ِ I Kasrah

    ُ U Dammah

    Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:

    Tanda Vokal

    Arab

    Tanda Vokal

    Latin Keterangan

    Ai a dan i ي

    Au a dan u ك

    c. Vokal Panjang

    Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

    diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal

    Arab

    Tanda Vokal

    Latin Keterangan

    Â a dengan topi di

    atas

    Î i dengan topi di

    atas

    Û u dengan topi di

    atas

    d. Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (اؿ),

    dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf

    qomariyyah. Misalnya: al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة ,al-ijtihâd = اإلجتهاد

    e. Tasydid (Syaddah)

    Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu

    dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

  • ix

    berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

    sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuf‟ah

    tidak ditulis asy-syuf‟ah.

    f. Ta Marbutah

    Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau

    diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah tersebut

    dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti

    dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t”

    (te) (lihat contoh 3).

    No. Kata Arab Alih Aksara

    syarî‟ah شريعة 1

    al-syarî‟ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2

    muqâranat al-madzâhib مقارنة املذاىب 3

    g. Huruf Kapital

    Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam

    transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang

    berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika

    nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf

    kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

    Contoh: البخاري = al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri. Beberapa ketentuan lain

    dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan

    mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan

    nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan

    tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab,

    Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

  • x

    h. Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis

    secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan

    berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

    No Kata Arab Alih Aksara

    الضركرة تبيح احملظورات .1al-darûrah tubîhu al-

    mahzûrât

    al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي .2

    usûl al-fiqh أصوؿ الفقو .3

    األصل يف األشياء اإلابحة .4al-„asl fî al-asyya َal-

    ibâhah

    املصلحة املرسلة .5al-maslahah al-

    mursalah

  • xi

    KATA PENGANTAR

    بسمميحرلا نمحرلا هللا

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

    begitu banyak karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

    dan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

    Muhammad SAW, yang karenanya kita dibimbing hingga masuk kepada zaman yang

    penuh akan khazanah ilmu pengetahuan.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

    membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, baik dorongan yang bersifat moril

    maupun materiil. Oleh karena itu, penulis secara khusus menyampaikan ucapan

    terima kasih kepada:

    1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Prof. Dr.

    Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA.

    2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, MA., selaku Dekan

    Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan

    Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum

    Keluarga.

    4. Bapak K.H. Dr. Ahmad Juaini Syukri Lc, M.A., selaku dosen pembimbing

    akademik yang selalu menasehati dan membimbing selama penulis menjalani

    proses perkuliahan.

    5. Ibu Hotnidah Nasution, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu

    menasehati dan membimbing selama penulis menyusun skripsi ini.

    6. Seluruh Dosen, Staf Karyawan, Staf Tata Usaha, Staf Perpustakaan dan

    seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak pernah lelah memberikan ilmu

    dan membantu hingga penulis dapat sampai pada tahap ini.

  • xii

    7. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Drs. H. Ayip, M.H., dan Ibu Cucu

    Sumiati, S.Pd.I., kakak dan adik-adik penulis beserta keluarga besar penulis

    yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat.

    8. Senior-senior penulis, Ka Purba Indah, Bang Sabil Mokodenseho, Bang Satria

    Erlangga, Bang Riyadh Ashomady, Bang Muhammad Sidik, Bang Rifqi Al-

    Buchori, Bang Muhammad Ilham Ramadhan, terima kasih atas segala

    bimbingan dan nasehat yang telah diberikan selama ini. Juga teruntuk

    sahabat-sahabat penulis yang telah menemani penulis berjuang di medan

    perantauan khususnya kepada Ilham Ramdani Rahmat, Muhammad Helmi

    Damas, Irwan Hidayat, Megat Ahmad Najeeb, Iqbal Farisi, Nurdiana

    Ramadhan, Khoerul Ilham Rosyadi, Luthfi Ardiansyah, Maulvi Muhammad

    Ikhwan, Muhammad Syarifuddin Amarullah, Mohammad Zakky Mubarok,

    Kisai Khalaf Muhammad, Khairunnisa Fahmiyanti, Vania Utami Fijriyah,

    Elliani Fikriyah, Fatma Hidayah Fathuri, Defanti Putri Utami, Ana Eka

    Fitriani, Windia Indri Firsada, Siti Dzul Rahmat Al-Istiqlali, Suci Nurindah,

    Sayyidati Nurmuhallilah.

    9. Keluarga Besar Hukum Keluarga angkatan 2015. Semoga kita semua

    senantiasa diberikan kesuksesan.

    10. Rekan-rekan pengurus HMPS Hukum Keluarga periode 2016, DEMA

    Fakultas Syariah dan Hukum 2017, HMPS Hukum Keluarga 2018, juga

    Lembaga Kajian Mahasiswa Ahwal Al-Syakhsiyyah (Elkamasy). Terima

    kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk senantiasa

    beraktualisasi selama penulis berada di kampus .

    11. Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Syariah dan Hukum (Komfaksy).

    Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terus

    berproses serta meng-upgrade intelektual dan organisasi.

    12. Teman-teman KKN 146 Merpati Gunung, Andi Sangkawana, Thohir

    Anwaruddin, Risman, Fahrizal Haris, Laila Farhanah, Ghiska Primayana

  • xiii

    Mufhtih, Qonita, Dita Ahdiani, Seli Nursolihat, Khilda Miftahul Millati,

    Nisrina Afifah, Yunita Anggi, Gina Agiana, Indriyani, Shofiya Arrahmani,

    Lutfiatul Insiah, Anita Rahayu, Auliatunnisa Nurul. Terima kasih atas satu

    bulan lamanya tinggal bersama. Momen yang tak akan pernah terlupakan,

    begitu penuh tawa dan drama yang menguras air mata.

    Penulis berharap semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi

    para pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga,

    Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta. Demikianlah pengantar yang dapat penulis sampaikan, akhir kata

    penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam skripsi ini.

    Jakarta, 30 Agustus 2019

    Lutfi Zakaria Mubarok

  • xiv

    DAFTAR ISI

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................... ii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................................... iii

    LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ iv

    ABSTRAK ........................................................................................................................... v

    PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................................ vi

    KATA PENGANTAR ......................................................................................................... xi

    DAFTAR ISI ........................................................................................................................ xiv

    BAB I PENDAHULUAN.. .................................................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah...................................................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 4

    C. Batasan Masalah ................................................................................................. 5

    D. Rumusan Masalah ............................................................................................... 5

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 5

    F. Kajian Studi Terdahulu ....................................................................................... 6

    G. Metode Penelitian ............................................................................................... 9

    H. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 11

    BAB II HADHĀNAH, MAṢLAḤAH MURSALAH DAN KONSEP

    KESEPAKATAN ................................................................................................................ 12

    A. Hadhānah ............................................................................................................ 12

    1. Pengertian Hadhānah .................................................................................... 12

    2. Dasar Hukum Hadhānah .............................................................................. 13

    3. Syarat-Syarat Hadhānah ............................................................................... 15

    4. Pihak-pihak yang Berhak atas Hadhānah ..................................................... 18

    5. Masa Hadhānah ............................................................................................ 23

  • xv

    B. Maṣlaḥah Mursalah ............................................................................................ 25

    1. Pengertian Maṣlaḥah Mursalah .................................................................... 26

    2. Sumber dan Dasar Hukum Maṣlaḥah Mursalah .......................................... 28

    3. Macam-Macam Maṣlaḥah ............................................................................ 35

    4. Kedudukan Maṣlaḥah Mursalah ................................................................... 40

    5. Urgensi Maṣlaḥah sebagai Metode Ijtihad dalam Hukum Islam .................. 40

    C. Perjanjian ............................................................................................................ 44

    1. Pengertian Perjanjian .................................................................................... 44

    2. Asas-Asas Hukum Perjanjian ....................................................................... 47

    3. Dasar Hukum Perjanjian ............................................................................... 50

    4. Syarat Sah Perjanjian .................................................................................... 51

    BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 343/PDT.G/2014/PA.DPK, PUTUSAN

    NOMOR 227/PDT.G/2014/PTA.BDG, DAN PUTUSAN NOMOR 638

    K/AG/2015 ........................................................................................................................... 55

    A. Deskripsi Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk ........................................... 55

    1. Posisi Kasus .................................................................................................. 55

    2. Duduk Perkara .............................................................................................. 55

    3. Amar Putusan ................................................................................................ 60

    B. Deskripsi Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg ........................................ 62

    1. Posisi Kasus .................................................................................................. 62

    2. Duduk Perkara .............................................................................................. 62

    3. Amar Putusan ................................................................................................ 65

    C. Deskripsi Putusan Nomor 638/K/Ag/2015 ......................................................... 67

    1. Posisi Kasus .................................................................................................. 67

    2. Duduk Perkara .............................................................................................. 67

    3. Amar Putusan ................................................................................................ 76

  • xvi

    BAB IV PENENTUAN HADHĀNAH YANG DIDASARKAN PADA

    KESEPAKATAN SUAMI ISTRI PERSPEKTIF TEORI MAṢLAḤAH

    MURSALAH PADA PUTUSAN NOMOR 343/PDT.G/2014/PA.DPK, NOMOR

    227/PDT.G/2014/PTA/BDG, NOMOR 638/K/AG/2015 ................................................. 79

    A. Perbandingan Pertimbangan Hakim pada Putusan Nomor

    343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Nomor

    638/K/Ag/2015 .................................................................................................. 79

    1. Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk ..................................................... 79

    2. Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg ................................................... 84

    3. Putusan Nomor 638/K/Ag/2015 ................................................................... 87

    B. Analisis Perbandingan Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor

    227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Nomor 638/K/Ag/2015 Serta Implikasi

    Putusan Nomor 638/K/Ag/2015 Ditinjau dari Perspektif Maṣlaḥah

    Mursalah ............................................................................................................ 92

    BAB V PENUTUP ............................................................................................................... 103

    A. Kesimpulan ......................................................................................................... 103

    B. Saran ................................................................................................................... 104

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 106

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Perkawinan dalam Islam ditempatkan pada posisi yang sangat penting,

    agung, dan kokoh (mītṡāqan ghalīẓā).1 Tidak hanya sebagai hubungan

    keperdataan saja, tetapi lebih daripada itu dianggap sebagai perbuatan yang

    bernilai ibadah. Namun, pada kenyataannya tujuan dari perkawinan2 tidak

    jarang berakhir di tengah jalan,3 sehingga tidak sedikit pula banyak pasangan

    yang gagal mempertahankan mahligai rumah tangganya hingga berujung

    kepada perceraian.4

    Perceraian seringkali terjadi karena kehidupan rumah tangga yang

    tidak harmonis. Penyebabnya tentu beragam, diantaranya komunikasi yang

    tidak berjalan dengan baik, perselisihan yang berlangsung terus menerus dan

    faktor-faktor lain yang menyebabkan tidak tercapainya kebahagiaan, sehingga

    pada akhirnya mengakibatkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan

    lagi. Meskipun negara menghendaki adanya perceraian, namun sebisa

    mungkin hal tersebut hanyalah sebagai pintu darurat yang dilakukan setelah

    upaya-upaya perdamaian dilaksanakan, dimana tidak ada jalan lain yang dapat

    ditempuh selain jalur perceraian.5 Banyak ahli hukum berpendapat bahwa

    mereka tidak puas akan prospek perceraian, karena terkadang hanya

    1 Mītṡāqan ghalīẓā adalah perjanjian suci antara suami-istri yang diliputi cinta dan kasih

    sayang. Oleh karena itu kedua belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan

    perjanjian tersebut. Lihat Siti Robikah, “Shifting Paradigm dalam Tafsir al-Qur‟an: Analisis Terhadap

    Perkembangan Tafsir Feminis di Indonesia”, Jurnal Tafsere, vol. 7, no. 2, (2019), h. 59. 2 Tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

    kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan. 3 Lina Kushidayati, “Legal Reasoning Perempuan dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan

    Agama Kudus”, Jurnal Yudisia, vol. 6, no. 1, (Juni 2015), h. 144. 4 Dakwatul Chairah, “Rekonstruksi Makna Perceraian Perspektif Masyarakat Muslim di

    Kabupaten Malang”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 10, no. 2, (Maret 2016), h. 492. 5 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), cet. 2, h. 30.

  • 2

    mengedepankan aspek materiil, tidak menjangkau hal-hal yang bersifat moral

    dan etika.6

    Pada prinsipnya perceraian tidak sesuai dengan tujuan perkawinan,

    sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan

    Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan

    lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

    dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

    kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”7

    Karena tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang

    bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip-

    prinsip yang mempersulit terjadinya perceraian. Untuk mengajukan

    perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang

    pengadilan.8

    Dalam banyak kasus perceraian, setelah pengadilan memutuskan

    untuk mengabulkan gugatan atau permohonan perceraian, biasanya selain

    menentukan pembagian harta bersama, maka turut pula ditentukan perihal hak

    asuh anak (hadhānah) jika pasangan tersebut mempunyai keturunan dari hasil

    pernikahannya.

    Hak asuh anak atau dalam bahasa Undang-Undang Perlindungan Anak

    disebut sebagai kuasa asuh,9 atau dalam literatur hukum Islam disebut dengan

    hadhānah, merupakan kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,

    memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak, sesuai

    dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.10

    6 Judith E. Tucker, Women, Family, and Gender in Islamic Law, (Cambridge: Cambridge

    University Press, 2008), h. 87. 7 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    8 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan Qanuniah,

    (Ciputat: Lentera Hati, 2015), h. 28. 9 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-

    Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 10

    Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007), h. 109-110.

  • 3

    Para ulama fiqh mendefinisikan hadhānah sebagai pemeliharaan

    terhadap anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau

    yang sudah besar tetapi belum mumayyiz,11

    menyediakan sesuatu untuk

    kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang membahayakan, mendidik

    jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup

    dan memikul tanggung jawab.12

    Sedangkan menurut Amir Syarifuddin,

    hadhānah ialah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya

    perceraian atau putusnya perkawinan.13

    Hadhānah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kewajiban

    orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-

    baiknya. Pemeliharaan ini tentu mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan

    segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.14

    Sebagai upaya memberikan kemaslahatan pada anak, ketentuan-

    ketentuan hukum positif telah memberikan perlindungan hukum terhadap

    masalah pemeliharaan anak, baik yang telah terakomodasi dalam Undang-

    Undang Nomor 23 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-

    Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan yang terdapat

    dalam Hukum Islam yang terakomodasi dalam Kompilasi Hukum Islam

    (Inpres No. 1 Tahun 1991) maupun yang bersumber dari nash-nash al-Qur‟ān

    dan hadis, serta aturan-aturan fiqh yang telah mengatur masalah pemeliharaan

    anak (hadhānah).15

    Berdasarkan uraian di atas, hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut

    oleh penulis adalah mengenai adanya perbandingan putusan hakim tentang

    11

    Mumayyiz adalah anak yang mampu dan memahami suatu pembicaraan dan mampu

    menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya. Lihat Al-Imam al-Nawawi, Taḥrir Lughat al-Tanbīh, (Lebanon: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010), h. 116.

    12 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 2007), h. 173.

    13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

    Undang-Undang Perkawinan, (Kencana:Prenada Media, 2006), h. 327. 14

    Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), h. 235. 15

    Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:

    Kencana, 2008), h. 114-115.

  • 4

    pengasuhan anak (hadhānah) akibat adanya kesepakatan perdamaian,

    sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor

    343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor

    227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 638

    K/Ag/2015. Disini penulis menemukan adanya kekhilafan hakim di Tingkat

    Pertama dan Tingkat Banding dalam penentuan hak asuh anak (hadhānah).

    Dimana di Tingkat Pertama dan Tingkat Banding hakim tidak mencantumkan

    kesepakatan perdamaian dalam pertimbangan maupun amar putusan yang

    berimplikasi pada ketidakjelasan penentuan hak asuh anak (hadhānah)

    sehingga mengakibatkan tidak adanya objek yang dapat di eksekusi.

    Kemudian Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding berbeda

    pendapat dalam menafsirkan akta perdamaian perihal penentuan hak asuh

    anak (hadhānah). Di Tingkat Kasasi Majelis Hakim membatalkan Putusan

    Tingkat Pertama dan Tingkat Banding. Atas dasar tersebut penulis ingin

    menganalisis atas dasar pertimbangan apa Majelis Hakim Tingkat Kasasi

    membatalkan putusan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dalam penentuan

    hak asuh anak (hadhānah), dan bagaimana implikasi putusan Nomor

    638/K/Ag/2015 terhadap pemeliharaan anak (hadhānah) ditinjau dari

    perspektif teori Maṣlaḥah Mursalah .

    Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik

    untuk mengangkat sebuah judul “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan

    Anak Perspektif Teori Maṣlaḥah Mursalah (Studi Putusan Nomor 638

    K/Ag/2015)”.

    B. Identifikasi Masalah

    1. Apa dasar pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang menyetujui hak

    pengasuhan anak (hadhānah) dilakukan secara bersama-sama secara

    permanen dalam putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk?

  • 5

    2. Apa dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama

    Depok dalam putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk?

    3. Bagaimana ketentuan hak asuh anak (hadhānah) dalam perspektif hukum

    Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia?

    4. Apa dasar pertimbangan Hakim Tingkat Banding yang menguatkan

    putusan Hakim Tingkat Pertama dalam penentuan hak asuh anak

    (hadhānah) dalam putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg?

    5. Apa dasar pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi yang membatalkan

    putusan Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dalam penentuan

    hak asuh anak (hadhānah) dari hasil putusan Nomor 638 K/Ag/2015?

    C. Batasan Masalah

    Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan di

    lingkungan Peradilan Agama, maka disini penulis hanya membatasi pada

    putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg,

    dan secara lebih khusus berfokus pada putusan Nomor 638/K/Ag/2015.

    D. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana perbandingan pertimbangan hakim dalam hal penentuan hak

    asuh anak (hadhānah) yang didasarkan pada kesepakatan suami istri

    dalam putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor

    227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan putusan Nomor 638/K/Ag/2015?

    2. Bagaimana analisis perbandingan putusan hakim dalam putusan Nomor

    343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan putusan

    Nomor 638/K/Ag/2015 serta implikasi putusan Nomor 638/K/Ag/2015

    terhadap pemeliharaan anak (hadhānah) ditinjau dari perspektif teori

    Maṣlaḥah Mursalah?

    E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

  • 6

    Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, maka

    dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai

    berikut:

    a. Untuk mengetahui perbandingan pertimbangan hakim dalam hal

    penentuan hak asuh anak (hadhānah) dalam Putusan Nomor

    343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan

    Nomor 638/K/Ag/2015.

    b. Untuk mengetahui implikasi putusan Nomor 638/K/Ag/2015

    terhadap pemeliharaan anak (hadhānah) ditinjau dari perspektif

    Maṣlaḥah Mursalah.

    2. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :

    a. Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam

    perkembangan ilmu hukum perkawinan pada umumnya dan konsep

    hak asuh anak (hadhānah) pada khususnya.

    b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara

    mendalam mengenai hak pengasuhan anak (hadhānah).

    c. Selanjutnya sebagai bahan tambahan bagi mahasiswa yang akan

    melakukan penelitian berkaitan dengan hak asuh anak (hadhānah).

    F. Kajian Studi Terdahulu

    Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, ada beberapa

    penelitian yang membahas berkaitan dengan tema hak asuh anak (hadhānah).

    Penelitian tersebut dipublikasikan dalam bentuk jurnal maupun skripsi.

    Jurnal yang berujudul “Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum

    Mumayyiz kepada Ayah (Studi Analisis Putusan Nomor

    1235/pdt.g/2017/PA.Srg)” yang ditulis oleh Jumroh.16

    Hasil penelitian ini

    16

    Jumroh, “Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayyiz kepada Ayah (Studi Analisis

    Putusan Nomor 1235/pdt.g/2017/PA.Srg)”, Jurnal Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, vol. 17, no.

    1, (2018).

  • 7

    menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangannya menggunakan

    hukum positif dan memberikan hak asuh anak (hadhānah) kepada sang ayah.

    Jurnal yang berjudul “Hak Hadhanah dalam Perceraian karena Pindah

    Agama Perspektif Hukum Islam” yang ditulis Ramdan Fawzi.17

    Hasil

    penelitian ini menunjukkan bahwa jumhur ulama mensyaratkan keislaman

    bagi seseorang yang hendak melakukan hadhanah demi tercapainya maksud

    syariah yaitu menjaga agama (hifzh ad-dīn) dan menjaga keturunan (hifzh al-

    nasl).

    Skripsi yang berjudul “Hadhānah Terhadap Anak Akibat Perceraian

    (Studi terhadap Pemikiran Mazhab Syafii dan Relevansinya dengan Hukum

    Keluarga di Indonesia)” yang ditulis oleh Rohadi.18

    Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa dalam penentuan hak asuh anak (hadhānah) mazhab

    syafi‟i mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak untuk bisa

    menentukan kepada siapa hak asuh anak (hadhānah) akan diberikan. Mazhab

    syafi‟i juga menentukan bahwa agama menjadi syarat mutlak dalam

    penentuan hak asuh anak (hadhānah).

    Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat

    Perceraian menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

    Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349/

    K/Ag/2006)” yang ditulis Diana Yulita Sari.19

    Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa hak hadhānah atau pemeliharaan anak dalam hukum

    perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa yang lebih

    17

    Ramdan Fauzi, “Hak Hadhanah dalam Perceraian karena Pindah Agama Perspektif Hukum

    Islam”, Jurnal Tahkim: Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, vol. 1, no. 2, (Oktober, 2018). 18

    Rohadi, “Hadhanah Terhadap Anak Akibat Perceraian (Studi terhadap Pemikiran Mazhab

    Syafii dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga di Indonesia)”. (Skripsi UIN Sunan Kalijaga

    Yogyakarta Tahun 2016). 19

    Diana Yulita Sari, “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian menurut Undang-

    undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah

    Agung Nomor 349/ K/Ag/2006)”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010).

  • 8

    berhak dalam hak hadhānah. Hal tersebut dikembalikan kepada kepentingan

    terbaik anak yang didasarkan pada putusan pengadilan.

    Skripsi yang berjudul “Hadhanah Akibat Perceraian dalam Hukum

    Keluarga di Indonesia dan Maroko” yang ditulis Mutia Wardah.20

    Hasil

    penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan hadhānah akibat perceraian

    antara Indonesia dan Maroko diantaranya adalah mengenai kewajiban

    pengasuhan anak, upah pengasuh, dan biaya akomodasi anak. Perbedaan

    hadhānah akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko secara umum

    adalah peraturan di Maroko lebih terperinci, sedangkan di Indonesia peraturan

    tentang hadhānah belum se-progresif peraturan di Maroko. Seperti orang-

    orang yang diberi hak asuh dan batas usia anak.

    Skripsi yang berjudul “Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir

    (Analisis Putusan Perkara Nomor 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama

    Depok)” yang ditulis oleh Mochammad Ansory.21

    Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa Majelis Hakim memberikan hak pengasuhan anak kedua

    anak kepada sang ibu, namun dalam kenyataannya sang ibu mengalihkan

    pemeliharaan anak kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu

    dikarenakan ibu dari kedua anak tersebut merupakan seorang wanita karir

    yang bekerja pada 2 (dua) tempat yakni Yayasan Sosial dan Hotel Anggrek di

    daerah Tangerang.

    Dari beberapa kajian terdahulu di atas, ada perbedaan yang signifikan

    dengan penelitian yang hendak penulis kaji. Yaitu penelitian ini lebih

    menganalisis terhadap perbandingan pertimbangan hakim dalam hal

    penentuan hak asuh anak (hadhānah) pada Putusan Nomor

    343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan

    20

    Mutia Wardah, “Hadhanah Akibat Perceraian dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan

    Maroko”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2018). 21

    Mochammad Ansory, “Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir (Analisis Putusan

    Perkara Nomor 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok)”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Tahun 2010).

  • 9

    Putusan Nomor 638/K/Ag/2015, kemudian dianalisis melalui perspektif

    Maṣlaḥah Mursalah.

    G. Metode Penelitian

    Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk

    memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang akan

    dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat.

    Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan, antara lain:

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu

    jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori,

    dengan menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu

    melakukan telaah terhadap putusan Pengadilan Agama Depok Nomor

    343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Pengadilan Tinggi Agama Bandung

    227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung Nomor 638/K/Ag/2015

    kemudian mengkajinya secara mendalam dengan mengambil referensi

    dari berbagai kitab, buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, serta

    tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang

    diteliti.

    2. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan

    normatif-yuridis atau yang biasa dikenal dengan penelitian hukum

    doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan

    cara meneliti dokumen yang kemudian akan dianalisis. Menurut Peter

    Mahmud Marzuki, segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal

    research) adalah normatif.

    3. Sumber Data

    a. Sumber Data Primer

  • 10

    Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan hak

    asuh anak (hadhānah) yaitu putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk,

    227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan putusan Nomor 638/K/Ag/2015.

    b. Sumber Data Sekunder

    Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal,

    artikel, serta tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang

    menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.22

    Oleh karena itu,

    umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat

    dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder

    tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.23

    4. Metode Pengumpulan Data

    Penelitian ini menggunakan studi pustaka terhadap bahan-bahan

    hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan

    hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan

    dengan cara membaca, melihat, mendengar, maupun dengan penelusuran

    melalui media internet atas segala hal yang berkaitan dengan tema

    penelitian.

    5. Metode Analisis Data

    Analisa data merupakan bagian penting dalam metode ilmiah.

    Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan

    masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai dengan penelitian ini

    adalah dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan tujuan

    untuk mengetahui secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-

    fakta hukum yang dimaksud.24

    6. Teknik Penulisan

    22

    Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), cet. 3, h. 43. 23

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h.

    11. 24

    Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 18.

  • 11

    Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan

    skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)

    Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.

    H. Sistematika Penulisan

    Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi

    atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

    Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan

    permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, identifikasi

    masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

    penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

    Bab Kedua, mengulas gambaran umum tentang hak pengasuhan anak

    (hadhānah) dan teori Maṣlaḥah Mursalah, mulai dari konsep hadhānah

    sampai konsep Maṣlaḥah Mursalah.

    Bab Ketiga, memaparkan pertimbangan hukum Hakim Tingkat

    Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi dalam hal penentuan hak asuh

    anak (hadhānah).

    Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi

    ini. Yaitu analisis pertimbangan hukum Hakim Tingkat Pertama, Tingkat

    Banding pada umumnya dan Tingkat Kasasi pada khususnya dalam hal

    penentuan hak asuh anak (hadhānah) kemudian dianalisis menggunakan teori

    Maṣlaḥah Mursalah.

    Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari

    penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun

    bagi penyempurnaan penelitian ini.

  • 12

    BAB II

    AH MURSALAH ḤLAṢNAH, MAĀHDHA

    DAN KONSEP KESEPAKATAN

    A. Hadhānah

    1. Pengertian Hadhānah

    Secara etimologi حضانة (hadhānah) adalah bentuk jamak dari kata

    (hidhn) حضن hudhun) yang berasal dari kata) حضن ahdhān) atau) احضاف

    yang berarti anggota badan yang berada di bawah ketiak.1 Sedangkan

    menurut terminologi, definisi hadhānah cukup beragam, seperti yang

    dijelaskan beberapa ulama berikut ini:2

    Menurut Sayyid Sabiq hadhānah adalah suatu sikap pemeliharaan

    terhadap anak kecil yang belum dapat membedakan mana yang baik dan

    mana yang buruk, juga belum mampu mengurus dirinya sendiri. Usaha

    untuk menjaga, mendidik dan mengasuhnya, baik secara fisik, mental

    maupun akal, agar mampu menjalankan kehidupan yang sempurna dan

    bertanggung jawab.3

    Ulama Hanafiah memberikan pengertian hadhānah sebagai usaha

    mendidik anak4 yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hak

    mengasuh. Sementara ulama Syafi‟iyah mendefiniskan hadhānah yaitu

    dengan mendidik orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk

    1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

    Pustaka Progresif, 1984), h. 296. 2 Achmad Muhajir, “Hadhanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor Pendidikan

    Rumah)”, Jurnal SAP, vol. 2, no. 2 (Desember 2017), h. 166. 3 Hasnatul Mahmudah, Juhriati, Zuhrah, “Hadhanah Anak Pasca Putusan Perceraian (Studi

    Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia”, Sangaji: Jurnal Pemikiran Syariah dan

    Hukum, vol. 2, no. 1, (Maret 2018), h. 62. 4 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

    Anak, Pasal 1 ayat (1): “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

    termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan definisi anak menurut WHO, batasan usia

    anak adalah sejak anak berada dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Lihat Buletin Pusat Data dan

    Informasi Kementerian Kesehehatan RI (Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia),

    Juli 2014.

  • 13

    mengurus dirinya sendiri, sebagai upaya menjamin kemaslahatan bagi

    dirinya dan memeliharanya dari segala hal yang dapat membahayakan,

    meskipun orang tersebut telah dewasa. Seperti membantu dalam hal

    membersihkan badannya, memberikan makan, menyucikan pakaian, dan

    lain-lain.

    Dalam literatur fiqh pengasuhan anak digunakan dalam dua kata

    namun dimaksudkan untuk makna yang sama yaitu kaffalah5 dan

    hadhānah. Maksud dari hadhānah atau kaffalah dalam arti sederhana ialah

    “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap

    hadhānah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya

    putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena praktis ketika

    antara suami dan istri bercerai anak-anak memerlukan pengasuhan dan

    perlindungan dari ayah atau ibunya.6

    2. Dasar Hukum Hadhānah

    Para ulama telah sepakat bahwa hukum hadhānah adalah wajib

    dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban bagi ayah dan ibunya. Dasar

    argumentasi kewajiban hadhānah terdapat dalam QS. al-Baqarah [2] :

    (233) yang berbunyi:7

    5 Kaffalah dalam literatur inggris disebut juga dengan Islamic Law Concept of Foster Care.

    Lihat Azizah Mohd dan Nadhilah A. Kadir, “Children Foster Care Law and Practice: What Malaysian

    Can Learn From Foster Care (Ihtidhan) in Jordan”, IIUM Law Jurnal, vol. 22, no. 2, (2014), h. 295. 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 327-

    328. 7 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h.

    37.

  • 14

    “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya

    8 selama dua tahun

    penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban

    ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.

    seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

    janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan

    seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

    apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan

    keduanya dan permusyawaratan,maka tidak ada dosa atas keduanya. dan

    jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa

    bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

    bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha

    melihat apa yang kamu kerjakan.”

    QS. An-Nisa‟ [4] : (9):

    “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

    meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka

    khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah

    mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan

    perkataan yang benar.

    8 Al-Qurthūbiy berpendapat bahwa bahwasanya kata “yurḍi‟na” merupakan kalimat khabar

    yang mengandung makna hukum amr/kewajiban atas sebagian ibu-ibu, dan hukum sunnah terhadap

    ibu-ibu yang lain. Alasan Qurthūbiy menyatakan sunnah dikarenakan kemungkinan adanya udzur

    syar‟i. Sedangkan Imam Mālik berpendapat menyusukan anak adalah sesuatu yang wajib bagi seorang

    ibu yang masih berstatus istri. Adapun ibu yang sudah ditalak ba‟in tidaklah berkewajiban

    menyusukan anaknya, sebab kewajiban tersebut sudah dipikulkan kepada sang ayah. Lihat Masrul

    Isroni Nurwahyudi, “Konsep Raḍā‟ah dalam al-Qur‟ān (Kajian Tafsir Tematik Ayat-Ayat tentang

    Menyusui Bayi dalam Perspektif Mufassir dan Sains), Jurnal Qof, vol. 1, no. 2, (Juli 2017), h. 109.

  • 15

    Juga tercantum dalam QS. At-Tahrim [66] : (6)9

    “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

    dari api neraka.”10

    Ayat-ayat di atas merupakan dasar hukum yang kuat dan tegas

    tentang kewajiban orang tua dalam mendidik, menafkahi agar terhindar

    dari generasi yang lemah, baik iman, ilmu, ekonomi, fisik dan lain

    sebagainya.

    3. Syarat-syarat Hadhānah

    Pemeliharaan atau pengasuhan anak (hadhānah) itu berlaku antara

    dua unsur yang menjadi rukun di dalamnya, yaitu orang tua sebagai

    pengasuh (hadhīn) dan anak yang diasuh (mahdhūn). Kedua unsur

    tersebut harus ada dengan syarat yang ditentukan agar sahnya pengasuhan

    itu. Namun jika bertentangan, maka yang didahulukan adalah orang yang

    dipelihara.11

    Sayyid Sabiq12

    memberikan syarat bagi hadhīn yang menangani

    dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang akan diasuhnya itu

    harus memiliki kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan ini

    9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h.

    560. 10

    Secara bahasa, kalimat qū anfusakum terdiri dari dua kata, yaitu kata qū yang berbentuk

    amr lil jama‟ (kata perintah bentuk plural) yang berasal dari waqā yang berarti jagalah oleh kalian, dan

    kata anfusakum yang berarti diri kalian. Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang yang

    beriman agar menjaga diri beserta mereka agar terhindar dari api neraka dengan cara taat dan patuh

    akan perintah-perintah Allah SWT. Lihat Fakhrurrazi, “Potret Pendidikan Keluarga dalam Al-Qur‟an”,

    Jurnal At-Tibyan, vol. 3, no. 2, (Desember 2018), h. 190. 11

    Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2010), Jilid 10, h. 60. 12

    Sayyid Sabiq mempunyai nama lengkap Sayyid Sabiq Muhammad al-Tihamy. Beliau lahir

    pada tahun 1915 M di desa Istanha, distrik al-Baqhur, provinsi al-Munufiah, Mesir. Ia merupakan

    pengarang dari kitab yang sudah masyhur kita kenal; Fiqh Sunnah yang berjumlah 14 juz yang mana

    dicetak dalam bentuk 3 juz besar. Sayyid Sabiq meninggal dunia pada tanggal 21 Dzulqa‟dah 1420 H

    bertepatan dengan tanggal 27 Februari 2000 M. Lihat Slamet Arofik, “Pengasuhan Anak (Hadhanah)

    Perspektif Sayyid Sabiq dan Wahbah Zuhaily”, Jurnal Usratuna, vol. 2, no. 1, (Desember 2018), h. 3.

    Lihat juga Yusuf Qardhawi, Selamat Jalan Pejuang, Terj. Abdul Hayyie Kattani dan Mujiburrahman

    Subadi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 138-143.

  • 16

    memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini satu saja

    tidak terpenuhi, maka gugur kebolehan menyelenggarakan hadhānah.

    Syarat-syarat hadhīn menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai

    berikut:13

    a. Berakal Sehat

    Berangkat dari syarat pertama ini maka orang idiot maupun orang

    gila tidak boleh mengasuh anak karena untuk mengurusi urusannya

    sendiri saja tidak sanggup apalagi untuk mengurusi orang lain

    b. Baligh

    Anak-anak yang belum baligh, walaupun sudah tamyiz tetap

    membutuhkan orang yang dapat mengurusnya dan mengasuhnya.

    Sehingga dia tidak dapat mengurus orang lain.

    c. Mampu Mendidik

    Orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang

    melemahkan jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh untuk

    menangani urusan anak asuh. Juga tidak berusia lanjut, yang bahkan

    dia sendiri perlu diurus, juga bukan orang yang mengabaikan urusan

    rumah tangga, sehingga merugikan anak kecil yang diurusinya, atau

    bukan pula orang yang tinggal bersama orang yang suka marah pada

    anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri sehingga akibat

    kemarahannya itu ia tidak bisa memperhatikan kepentingan si anak

    secara sempurna dan menciptakan suasana yang nyaman.

    d. Amanah dan Berbudi

    Seorang yang fasiq14

    tidak bisa dipercaya untuk mengasuh anak

    kecil, karena apabila seseorang yang seperti itu menjadi pengasuh

    13

    Slamet Arofik, “Pengasuhan Anak (Hadhanah) Perspektif Sayyid Sabiq dan Wahbah

    Zuhaily”, Jurnal Usratuna, vol. 2, no. 1, (Desember 2018), h. 11-13. 14

    Kata fasiq berasal dari kata الفسق (al-Fisq) atau الفسوك (al-Fusuq) yang mempunyai makna keluar dari sesuatu. Sedangkan secara istilah menurut Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisān al-Arab fasiq

    memiliki makna maksiat, yaitu meninggalkan terhadap segala perintah Allah Swt., dan penyimpangan

  • 17

    bagi anak, maka bisa jadi anak akan tumbuh dengan mengikuti gaya

    hidupnya, atau beretika sebagaimana etika pengasuhnya.

    e. Islam

    Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan

    muslim. Hal ini karena hadhānah berkaitan dengan masalah

    perwalian, sedangkan Allah Swt tidak membolehkan orang mukmin

    berada di bawah perwalian orang kafir. Sayyid Sabiq menganggap

    bahwa hadhānah itu seperti perwalian pernikahan atau harta benda.

    Dikhawatirkan anak kecil yang diasuhnya dididik dengan tradisi

    agamanya sehingga sulit bagi anak untuk meninggalkan agamanya

    ini.

    f. Merdeka

    Hadhānah tidak boleh diserahkan kepada seorang budak,15

    karena

    seorang budak sibuk dengan urusan-urusan tuannya sehingga ia

    tidak mempunyai waktu untuk mengasuh anak kecil.

    Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhūn) itu

    adalah:16

    1. Berada dalam usia anak-anak dan belum mandiri dalam mengurus

    hidupnya sendiri

    terhadap jalan yang benar yang telah ditunjukkan Allah Swt. Lihat Fauziah Nasution, “Kepribadian

    Terbelah dalam Perspektif Al-Qur‟an (Studi Tematik: Konsep Fasiq dalam Tafsir Al-Misbah)”, al-

    Irsyad: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, vol. 1, no. 1, (Juni 2019), h. 38. 15

    Di dalam al-Qur‟ān, ditemukan beragam terminologi yang merujuk kepada makna budak,

    khususnya budak perempuan. Term-term tersebut memiliki penekanan makna tersendiri. Diantaranya

    adalah term „abd. Kata „abada, ya‟budu, ibadat berarti menyembah, mengabdi atau menghinakan diri.

    Kata benda abd-„ibad berarti budak atau hamba sahaya, penyembah sesuatu. Dalam pemahaman

    masyarakat jahiliyyah, „abd dikonotasikan sangat negatif dan merendahkan karena seorang „abd

    berada dalam kepemilikan dan penguasaan tuannya secara mutlak. Mereka tidak memiliki hak apapun,

    kecuali memiliki kewajiban sesuai perintah tuannya. Lihat Rosmini, “Misi Emansipatoris al-Qur‟an

    dalam Relasi Seksual Antara Majikan dan Budak Perempuan”, Jurnal al-Daulah, vol. 4, no. 1, (Juni

    2015), h. 158. 16

    Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan

    Undang-Undang Perkawinan, h. 330.

  • 18

    2. Berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu,

    tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang

    idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak

    boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.

    4. Pihak-pihak yang Berhak atas Hadhānah

    Hadhānah merupakan bentuk keagungan ajaran Islam dalam

    menjaga dan melindungi anak.17

    Seorang anak pada awal mula

    kehidupannya sampai pada usia tertentu memerlukan orang lain untuk

    membantu kehidupannya, seperti makan, berpakaian, membersihkan

    badannya, bahkan sampai kepada pengaturan bangun tidur. Karena itu

    perlu orang yang menjaganya yang mempunyai rasa kasih sayang,

    kesabaran, dan keinginan agar anak tersebut menjadi anak yang baik di

    kemudian hari. Di samping itu, orang yang mengasuh harus mempunyai

    waktu yang cukup untuk melakukan tugasnya tersebut. Karena itu agama

    menetapkan wanita (idealnya) sebagai orang yang masuk dalam syarat-

    syarat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadis:

    ! ِإفه اِْبِِن ُ َعنػُْهَما : أَفه اِْمَر أًَة قَاَلْت: ََي َرُسْوَؿ اَّللِه َىَذا َكاَف بَْطِِن َلُو ِك َعْن َعْبِد َاَّللِه ْبِن َعْمِر َرِضَي َاَّلله

    تَ ِز َعُو ِمِنِّ فَػَقاَؿ ََلَا َرُسْوُؿ َاَّللِه َعاًء, َكثَْدِيي َلُو ِسَقاًء, َكِحْجرِي َلُو ِحَواًء, َكِإْف َأاَبُه طَلهَقِِن, َكأَرَاَد أَْف يَػنػْ

    ُ َعَلْيِو َكَسلهَم أَْنِت َأَحقُّ بِِو, َما َلَْ تَػْنِكِحي (َرَكاُه َأْْحَُد, َكأَبُػْو َداُكَد, َكَصحهَحُو َاْْلَاِكمُ )َصلهى َاَّلله

    “Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata: “Ya

    Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,

    asuhankulah yang mengawasinya dan air susukulah minumannya.

    Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah:

    17

    Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Jakarta:

    Darus Sunnah Press, 2010), h. 1077.

  • 19

    “Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah

    (dengan laki-laki yang lain)”. (HR. Abu Daud).18

    Menurut riwayat Imām Mālik19

    dalam kitabnya al-Muwaththa‟20

    dari Yahya bin Sa‟id berkata Qasim bin Muhammad bahwa Umar bin

    Khattab mempunyai seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian

    ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya

    itu sedang bermain-main di dalam masjid. Umar mengambil anaknya itu

    dan meletakkan di atas kudanya. Kemudian datanglah ibu si anak. Umar

    berkata “anakku”. Wanita itu berkata pula “anakku”. Maka dibawalah

    perkara itu kepada khalifah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan

    bahwa anak Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya: األم اعطف والطف وارحم وااحين وأخري وأرأف وىي أحّق بولدىا

    “Ibu lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih

    penyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya

    selama ia belum kawin (dengan laki-laki lain)”.21

    Menurut hadis-hadis di atas, maka dapatlah ditetapkan bahwa si

    ibu dari anak adalah orang yang paling berhak melakukan hadhānah, baik

    masih terikat perkawinan atau ia dalam masa iddah talak raj‟i22

    , talak

    18

    Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Bab tentang Talāq, Bābu Man

    Ahaqqu bi al-Walad, nomor hadis 2278, juz II, h. 251. 19

    Imām Mālik bernama lengkap Abu Abdullah Malik Ibn Anas ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn

    Amr Ibn Haris. Ia lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Al-Dzahabi menyebut

    bahwa kelahiran Imām Mālik secara pasti yaitu pada tahun 93 H. Lihat Masykur, Berguru Adab

    Kepada Imam Malik, (Sukabumi: CV Jejak, 2018), h. 40. 20

    Kitab al-Muwaththa‟ adalah kitab hadis yang susunannya bernuansa fiqh. Berdasar kitab

    yang di tahqiq Muhammad Fu‟ad „Abd. al-Baqy, kitab al-Muwaththa‟ terdiri atas dua juz, 61 kitab

    (bab) dan 1824 hadis. Lihat Indo Santalia, “Al-Muwaththa‟ Imam Malik dan Pengaruhnya Terhadap

    Pemikiran Hadis”, Jurnal Tahdis, vol. 6, (Januari 2019), h. 48. 21

    Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Dar al-Fath, 1990), Juz II, h. 218. 22

    Talak raj‟i adalah talak yang dimana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah.

    Talak raj‟i ini ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang iwadh dari pihak istri. Lihat

  • 20

    bain23

    atau telah habis masa iddahnya, tetapi ia belum kawin dengan laki-

    laki lain.

    Dalam menentukan siapa yang lebih berhak melakukan hadhānah,

    harus dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak yang sudah

    mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan,

    minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberikan sampai

    umur 7 (tujuh) tahun. Pada tahap perkembangan ini (mumayyiz), orang tua

    diperintahkan menyuruh anaknya melakukan shalat supaya di usia dewasa

    (mukallaf atau baligh) menjadi terbiasa dan terlatih. Pasal 105 huruf a

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan, dalam hal terjadi perceraian,

    pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua

    belas) tahun adalah hak ibunya.24

    Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156, dijelaskan

    bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhānah dari

    ibunya. Bila ibunya meninggal, kedudukannya digantikan oleh:

    a. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke ibu

    b. Ayah

    c. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah

    d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

    e. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari

    ibu

    f. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari

    ayah.

    Dhevi Nayasari, “Pelaksanaan Ruju‟ Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Lamongan”, Jurnal

    Independent, vol. 2, no. 1, h. 78. 23

    Talak ba‟in adalah talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami

    kembali kepada istrinya kecuali dengan akad baru. Lihat Muslim Zainuddin dan Syab‟ati Asyarah

    Agustina, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perubahan Talak Tiga Menjadi Talak Satu (Analisis

    Terhadap Putusan Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh No. 0163/Pdt.G/2016/Ms.Bna)”, Samarah:

    Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, vol. 2, no. 1, (Januari-Juni 2018), h. 128. 24

    Wahyu Kuncoro, Tips Hukum Praktis: Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga,

    (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), h. 66-67.

  • 21

    Kedua pasal di atas menempatkan posisi anak pada dua keadaan;

    Pertama, ketika anak belum berumur 12 tahun atau belum mumayyiz,

    maka diberikan kepada ibunya. Kedua, ketika anak tersebut sudah

    mumayyiz pilihan ditentukan oleh anak sendiri, apakah ingin mengikuti

    ayah atau ibunya.25

    Mengingat pengaruh pengasuh sangat besar terhadap jasmani dan

    rohani anak, maka Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa

    apabila pemegang hadhānah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan

    jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhānah telah

    dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan

    agama dapat memindahkan hak hadhānah kepada kerabat lain yang

    mempunyai hak hadhānah.26

    Pemegang hadhānah harus memenuhi beberapa persyaratan

    diantaranya:27

    a. Beragama Islam apabila anaknya muslim

    b. Al-iffah dan al-amanah (tidak fasik)

    c. Tidak bepergian

    d. Tidak bersuami lagi

    e. Tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu kegiatan

    hadhānah, seperti buta maupun tuli.

    Berdasarkan keterangan di atas, hak asuh ibu didahulukan atas

    ayah. Hal ini disamping bersandar kepada dalil naqli juga diperkuat

    25

    Khairul Nasri, “Penerapan Asas Ius Contra Legem dalam Penyelesaian Sengketa

    Hadhanah”, Jurnal Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, vol. 34, no. 2, (November 2018),

    h. 120. 26

    Pasal 156 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 27

    Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bagho, Al-Fiqh Al-Manhaji‟ Ala Mazhab Al-Imam Al-Syafii, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), cet. VIII, h. 186.

  • 22

    dengan dalil aqli,28

    karena sumber hukum Islam dapat diketahui

    diantaranya melalui sumber naqliyyat dan „aqliyyat.29

    Dalam satu hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa

    Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan, kemudian ia berkata

    “sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku

    yang dia minum, dan di rumahku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan

    sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambil

    dariku”. Mendengar pengaduan itu Rasulullah Saw memberi keputusan

    seraya berkata, “kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak

    menikah lagi.”

    Di samping hadis tersebut, ibu dianggap lebih berhak untuk

    memelihara anak dengan pertimbangan kasih sayang („athifah al-

    umumah) yang pada umumnya lebih besar dari ayah, juga hubungan batin

    ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan ASI dan hanya dimiliki

    ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih cakap untuk

    mengasuh dan merawat anak.

    Apabila anak sudah mumayyiz, maka ia memiliki hak untuk

    memilih untuk ikut ayah atau ibunya.30

    Setelah mumayyiz, anak relatif

    lebih mandiri, dan ketergantungannya kepada ibu berkurang. Pada saat

    yang sama, ia telah mampu membuat penilaian dan keputusan mengenai

    apa yang terbaik bagi dirinya dalam hal-hal tertentu. Ia sudah bisa

    memilih mana yang lebih baik antara hidup bersama ayah atau ibu.

    Kelihatannya, hak memilih antara ayah dan ibu ini sederhana, tetapi

    mengandung nilai pendidikan demokrasi yang luar biasa.

    28

    Dalil „aqli yaitu dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional, sedangkan dalil naqli ialah

    dalil yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis. Lihat Munawir, “Aswaja NU Center dan Perannya

    sebagai Benteng Aqidah”, Jurnal Shahih, vol. 1, no. 1, (Januari-Juni 2016), h. 64. 29

    Wahyu Wibisana, “Konsekuensi Logis Qiyās Terhadap Kemaslahatan Umat”, Jurnal

    Pendidikan Agama Islam – Ta‟lim, vol. 11, no. 2, (2013), h. 96. 30

    Pasal 156 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

  • 23

    Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak berada di bawah

    pengasuhan ibu maka semua biaya hadhānah dan nafkah anak tetap

    menjadi tanggun jawab ayahnya menurut kemampuan. Jadi tidak

    dibenarkan apabila ayah secara sengaja dan tidak bertanggung jawab atas

    urusan nafkah anak, karena hal itu tentu akan memberatkan sang ibu.31

    Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang

    memiliki hak hadhānah tersebut, baik hak hadhānah milik wanita (ibu

    atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh. Ibnu Rusyd32

    mengatakan bahwa hadhānah diatur tertibnya menurut konsep kedekatan

    dalam kelemah lembutan, bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti

    nikah, mawali, shalat jenazah, wala‟, dan warisan. Bisa saja orang yang

    tidak mewarisi tetapi berhak hadhānah seperti orang yang diberi wasiat,

    adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan

    saudara perempuan. Bisa saja orang yang mewarisi tetapi tidak berhak

    hadhānah seperti suami istri orang yang mengasuh, dan perwalian karena

    memerdekakan budak.33

    5. Masa Hadhānah

    Fase kehidupan awal dari anak-anak sampai masa dewasa

    melewati dua masa, yaitu sebagai berikut:

    Periode pertama, dimulai sejak kelahirannya, dan berakhir pada

    saat sampainya ia pada masa kedewasaan, yakni tahun-tahun ketika ia

    tidak lagi memerlukan bantuan kaum wanita. Pada usia belum dewasa ini,

    31

    M. Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maṣlaḥah: Terapan Fikih Sosial Kiai

    Sahal, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010), h. 240-242. 32

    Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Rusyd lahir di

    Cordova pada 1126 dan mengenyam pendidikan bahasa Arab, fiqh, kalam, dan kedokteran dari

    sejumlah guru hingga berusia empat puluh tahun. Ibnu Rusyd menulis banyak kitab, diantaranya empat

    karya penting yang menurut pandangan penulis masuk dalam kategori magnum opus yaitu: Bidayatul

    Mujtahid, Faslul Maqal, Manahij al-Adillah, Tahafut at-Tahafut. Zaprulkhan, Pengantar Filsafat

    Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h. 74-75. 33

    Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan

    Hukum Materiil, (Pamulang: Yasmi, 2018), h. 250.

  • 24

    anak-anak memerlukan bantuan kaum wanita lebih banyak daripada kaum

    pria. Sebab, kaum wanita lebih mampu memelihara dan mengasuh serta

    mendidik anak-anak pada masa tersebut.

    Periode kedua, mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan

    pembinaan akhlak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, laki-laki lebih

    mampu daripada wanita. Periode ini berakhir dengan tumbuhnya

    kedewasaan yang disertai kesempurnaan akal, serta berani mandiri

    sehingga tidak banyak memerlukan bimbingan dari wali (orangtuanya).

    Para fuqaha berbeda pendapat mengenai umur ketika anak-anak

    mulai tidak memerlukan lagi peran serta yang banyak dari kaum wanita.

    Secara garis besarnya mereka dikelompokkan kepada empat kelompok

    pendapat:34

    Fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa masa pengasuhan anak

    (hadhānah) untuk anak laki-laki berakhir ketika ia mencapai umur tujuh

    tahun atau menurut sebagian lagi, sembilan tahun. Sedang masa hadhānah

    untuk anak wanita berakhir ketika anak itu mencapai umur sembilan tahun

    atau menurut sebagian lagi, sebelas tahun. Setelah itu, maka ayah lebih

    berhak dari keduanya.

    Imām Mālik berkata, “Masa hadhānah anak laki-laki itu berakhir

    dengan ihtilah (mimpi). Sedang masa hadhānah untuk anak perempuan

    berakhir dengan sampainya ia pada usia menikah. Jika ia sampai pada

    umur menikah sedang ibu dalam masa iddah, maka ia lebih berhak

    terhadap anak putrinya sampai ia menikah (lagi). Jika tidak dalam kondisi

    demikian, maka anak tersebut dapat dititipkan kepada ayahnya, atau jika

    ayahnya tidak ada, maka ia dapat dititipkan kepada wali-walinya.35

    34

    Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik

    Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,

    2004), 108-114. 35

    Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, h. 115.

  • 25

    Imam Syafi‟i36

    berpendapat bahwa masa hadhānah anak-anak,

    baik pria maupun wanita berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau

    delapan tahun. Jika pada usia tersebut ia termasuk yang berakal sehat,

    maka yang bersangkutan berhak memilih kepada ayah atau ibunya ia akan

    ikut.

    Imam Ahmad bin Hanbal37

    dalam riwayatnya yang masyhur

    menyatakan bahwa hadhānah anak berakhir sampai ia berumur tujuh

    tahun. Jika ia anak laki-laki dan telah mencapai usia tersebut, maka ia

    diperbolehkan untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Namun jika ia

    perempuan, maka ayahnya lebih berhak atasnya, dan tidak ada hak

    baginya untuk memilih.

    B. Maṣlaḥah Mursalah

    Secara umum, fondasi hukum Islam itu mengacu kepada al-Qur‟ān,

    sunnah, qiyās dan ijma‟. Meskipun keempat sumber ini adalah sumber yang

    otoritatif, tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari manusia tidak pernah

    terlepas dari kebutuhan yang selalu bergerak dinamis.38

    Dalam menggali dan

    mengkonstruksi suatu hukum dibutuhkan serangkaian konsep argumentasi

    lain guna memperluas jangkauan untuk pengambilan suatu keputusan, salah

    satunya adalah maṣlaḥah mursalah.39

    36

    Imam Syafi‟i mempunyai nama lengkap Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟i.

    Lahir pada tahun 150 H bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Sejak kecil ia terkenal

    cerdas, kuat hafalannya, dan gigih menuntut ilmu. Menjelang umur 9 tahun ia telah hafal 30 juz al-

    Qur‟ān dan usia 10 tahun ia telah menguasai pramasastra Arab dengan baik. Imam Syafi‟i wafat pada

    29 Rajab tahun 204 H. Lihat Abdul Karim, “Pola Pemikiran Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam”,

    Jurnal Adabiyah, vol. XIII, no. 2, (2013), h. 188. 37

    Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad bin Idris bin

    Abdullah bin Hasan As-Syaibany. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Robi‟ul Awal tahun 164

    H. Lihat Husnul Khatimah, “Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad bin Hanbal”, Jurnal Lisan Al-Hal, vol.

    11, no. 1, (Juni 2017), h. 160. 38

    Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),

    cet. 1, h. 91. 39

    Khaled Abou El Fadl, Reasoning with God: Reclaiming Shari‟ah in the Modern Age,

    (Maryland: Rowman & Littlefield, 2014), h. xxxiv-xxxv.

  • 26

    1. Pengertian Maṣlaḥah Mursalah

    Maṣlaḥah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya

    merupakan bentuk sifat-maushūf, atau dalam bentuk khusus yang

    menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maṣlaḥah. Al-maṣlaḥah

    merupakan bentuk mufrad (tunggal),40 sedangkan bentuk (املصلحة)

    jamaknya (plural) adalah al-masālih (41.(املصاحل Al-maṣlaḥah bisa dimaknai

    sebagai kebaikan,42

    kemanfaatan, kepantasan, keselarasan dan kepatutan.

    Kata al-maṣlaḥah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah, juga

    dilawankan dengan kata al--maḍarrah, yang mengandung arti kerusakan.

    Secara terminologi, para ulama ushul fiqh memberikan makna kata

    al-maṣlaḥah secara beragam. Al-Ghazālī misalnya, mengatakan bahwa

    makna asli dari maṣlaḥah adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan

    dan menyingkirkan atau menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‟ah wa

    daf‟ al-maḍarrah).43

    Menurut al-Ghazālī, yang dimaksud maṣlaḥah dalam

    arti pengertian syar‟i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara‟

    yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta

    kekayaan. Secara tegas al-Ghazālī menyatakan bahwa segala sesuatu yang

    dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut

    dikualifikasikan sebagai maṣlaḥah. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat

    mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah.44

    Jika maṣlaḥah bertentangan dengan nash, maka maṣlaḥah mentakhsis

    40

    Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran Reaktualisasi

    Hukum Islam Muwawir Sjadzali), (Yogyakarta: LKiS, 2015), h. 86. 41

    Muhammad Yusuf, Pendekatan Al-maṣlaḥah Al-Mursalah dalam Fatwa MUI tentang

    Pernikahan Beda Agama, Jurnal Ahkam, vol. XIII, no. 1, (Januari, 2013), h. 100. 42

    Ibnu Manzur, Lisān al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 348. 43

    Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus

    di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), h.

    35. Lihat juga Imran Ahsan Khan Nyazee, Outline of Islamic Jurisprudence, (Islamabad: Advanced

    Legal Studies Institute, 2016), cet. 6, h. 205. 44

    Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maṣlaḥah”, Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum,

    vol. 12, no. 2, (Desember 2014), h. 314.

  • 27

    (mengkhususkan) nash dengan berpijak kepada hadis “la darara wala

    dirar” sebagai basis argumentasi.45

    Sedangkan al-mursalah ( سلةاملر ) adalah isim mafū‟l (objek) dari fi‟il

    madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu

    .ارسل dengan penambahan huruf “alif” di awalnya, sehingga menjadi ,رسل

    Secara etimologis artinya “terlepas” atau dalam arti مطلقة (bebas). Kata

    “terlepas” dan “bebas”,46

    apabila dihubungkan dengan kata maṣlaḥah

    maksudnya adalah terlepas dari dalil-dalil al-Qur‟ān, as-sunnah dan ijma‟,

    akan tetapi tetap terikat kepada maqāṣid al-syari‟ah atau tujuan-tujuan

    syara‟, dengan kata lain terlepas atau terbebas dari keterangan yang

    menunjukkan boleh atau tidak bolehnya sesuatu dilakukan.47

    Jadi secara sederhana maṣlaḥah mursalah dapat dipahami sebagai

    suatu ketetapan hukum yang diambil berdasarkan kemaslahatan manusia

    karena tidak terdapat dalil-dalil syara‟ yang menetapkan boleh atau

    tidaknya sesuatu hal dilakukan.48

    Untuk lebih jelasnya definisi di atas, bahwasanya pembentukan

    hukum dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia.

    Artinya, mendatangkan kemanfaatan, menolak kemudaratan dan

    menghilangkan kesulitan dari mereka. Sesungguhnya kemaslahatan

    manusia tidak berhenti pada teks-teks keagamaan yang terbatas (an-

    nushūsh ad-dīniyyah al-mutanāhiyah), tetapi akan selalu hidup dan

    berdialektika dengan problematika kekinian yang terus berkembang dan

    tidak terbatas (al-waqāi‟ allā mutanāhiyah). Pensyariatan hukum

    45

    Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan

    Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2007), h. 41. 46

    Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 354. 47

    Nur Asiah, “Istislah dan Aplikasinya dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum

    Diktum, vol. 14, no. 2, (Desember 2016), h. 150.

  • 28

    adakalanya mendatangkan kemanfaatan pada suatu masa akan tetapi pada

    masa yang lain tidak lagi relevan untuk digunakan.49

    2. Sumber dan Dasar Hukum Maṣlaḥah Mursalah

    Dasar para ahli hukum Islam mempergunakan maṣlaḥah mursalah

    sebagai dalil hukum dan hujjah syariah adalah sebagai berikut:

    a. Perintah Allah dalam surat Al-Nisa‟ [4]: 5950

    “Hai orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan

    Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

    tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan

    Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah

    dan hari akhir. Yang beriman itu lebih utama (bagimu) dan lebih

    baik akibatnya.”

    Adanya perintah ini yaitu untuk mengembalikan persoalan yang

    diperselisihkan kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, dengan wajh al-istidāl,51

    sebab mungkin perselisihan itu diakibatkan persoalan baru yang tidak

    ditemukan dalam al-Qur‟an dan as-sunnah. Untuk menyelesaikan

    persoalan ini, selain dapat ditempuh dengan menggunakan metode qiyās,

    dapat juga diselesaikan dengan metode lain seperti istislah atau maṣlaḥah

    mursalah.

    49

    Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama, 2014), h.139. 50

    Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h.

    87. 51

    Wajh al-istidāl adalah dasar alasan pengambilan dalil atau hukum. Lihat Walter Edward

    Young, The Dialectical Forge: Judicial Disputation and The Evolution of Islamic Law, (New York:

    Springer, 2016), h. 371. Lihat juga Ajub Ishak, “Daya Serap Lembaga-Lembaga Fatwa di Indonesia

    Terhadap Masalah Hukum Kontemporer”, Jurnal Al-Mizan, vol. 11, no. 1, (Juni 2015), h. 107.

  • 29

    b. Hadits Mu‟adz bin Jabal52

    َرِة ْبنِ َحده ثَػَنا َحْفُص ْبُن ُعَمُر، َعْن ُشْعَبَة، َعْن َأِب َعْوٍف، َعِن اْْلَاِرِث ْبِن َعْمرِك أْبِن َأِخي اْلُمِغيػْ

    ُشْعَبَة، َعْن أَََنٍس ِمْن أَْىِل ِْحٍْص، ِمْن َأْصَحاِب ُمَعاِذ ْبِن َجَبٍل، َأفه رَ ُسْوَؿ هللِا َصلهى هللاُ َعَلْيِو َك

    َعَث ُمَعاًذا ِإََل اْلَيَمْن قَاَؿ : َكْيَف تَػْقِضي ِإَذا َعَرَد َلَك َقَضاٌء؟ قَاَؿ : أَْقضِ ي َسلهَم َلمها أَرَاَد أَْف يَػبػْ

    ِبِكَتاِب هللِا، قَاَؿ فَإْف َلَْ َتَِْد يِف ِكَتاِب هللِا؟ قَاَؿ : فَِبُسنهِة َرُسْوِؿ هللاِ َصلهى هللاُ َعَلْيِو َك َسلهَم ، قَاَؿ

    : فَِإْف ََلْ َتَِْد يِف ُسنهِة َرُسْوِؿ هللِا َصلهى هللِا َعَلْيِو َك َسلهَم، َكاَل يف ِكَتاِب هللِا؟ قَاَؿ : َأْجَتِهدُ رَأِْيي،

    َكاَل آُلو َفَضَرَب َرُسْوُؿ هللِا َصلهى هللاُ َعَلْيِو َك َسلهَم َصْدَرهُ ، َكقَاَؿ : اْْلَْمُد هلِل الهِذي َكفهَق َرُسْوَؿ،

    َرُسْوِؿ هللِا ِلَما يُػْرِضي َرُسْوَؿ هللاِ

    Telah menceritakan hafsah bin Umar bahwa ia telah menerima

    riwayat dari Syu‟bah dari Abi Aun dari Harist bin Amr bin saudara

    Mughirah bin Syu‟bah dari seorang laki-laki penduduk Hamsy

    teman Mu‟adz bin Jabal menceritakan bahwa Nabi Muhammad

    ketika mengutus Mu‟adz ke Yaman beliau berkata: “Bagaimana

    engkau (Mu‟adz) mengambil suatu keputusan hukum terhadap suatu

    persoalan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab Mu‟adz. “Saya

    akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah

    (Al-Qur‟an). “Kalau kamu tidak mendapatkannya dalam kitab

    Allah? Jawab Mu‟adz. “Saya akan mengambil keputusan

    52

    Nama lengkapnya adalah Muadz Ibn Jabal Ibn „Amr Ibn Awus Ibn „Ᾱ‟iz Ibn „Udẓ Ibn

    Ka‟ab Ibn „Amr Ibn Udi Ibn Sa‟ad Ibn „Alẓ Ibn Asad Ibn Sāridah Ibn Tazẓd Ibn Jasym Ibn al-Khazraj

    al-Ansharẓ al-Khazrajẓ. Muaz dikenal juga dengan subutan (kunyah) Abū „Abd al-Rahmān al-Ansharẓ

    dan termasuk golongan Banẓ Salmah melalui jalur „Udẓ, karena „Udẓ merupakan saudara Salmah Ibn

    Sa‟ad yang merupakan salah satu suku yang menjadi nasab golongan Anshar. Lihat Nofialdi,

    “Pengaruh Faktor-Faktor Sosial Terhadap Ijtihad Sahabat Mu‟āz Ibn Jabal”, Jurnal Istinbάth, vol. 15,

    no. 1, (Juni 2016), h. 111.

  • 30

    berdasarkan atas Sunnah Rasul.” Selanjutnya Nabi bertanya, jika

    engkau tidak menemukannya dalam as-Sunnah?Jawab Mu‟adz.

    “Saya akan berijtihad dan saya tidak akan menyimpang

    daripadanya.” Lalu Rasulullah menepuk dada Mu‟adz seraya

    mengatakan. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq

    urusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan Rasul-

    Nya.”53

    Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw. membenarkan dan memberi

    restu kepada Mu‟adz bin Jabal untuk melakukan ijtihad54

    apabila masalah

    yang akan diputuskan hukumnya tidak terdapat dalam al-Qur‟ān dan as-

    Sunnah. Dalam berijtihad banyak metode yang dapat digunakan, bisa

    dengan metode qiyās, karena ada illat yang mempertemukannya. Apabila

    dengan metode qiyās tidak dapat diterapkan, maka dapat dipergunakan

    metode lain seperti istislah atau maṣlaḥah mursalah untuk menyelesaikan

    masalah-masalah yang dihadapi. Dengan demikian, restu Rasulullah Saw

    kepada Mu‟adz untuk melakukan ijtihad dapat dijadikan dalil untuk

    menetapkan suatu hukum.

    Demikian pula ijtihad dalam “Hadis „Amr bin „Ash” menunjukkan

    hal yang sama, meskipun dalam skala yang lebih kecil, namun bersifat

    53

    Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz III, h. 295. Lihat juga

    Muhammad Taufiq, “Validitas Hadits tentang Pengutusan Muaz ke Yaman (Kajian Takhrij Hadis)”,

    Jurnal Al-Hurriyah, vol. 11, no. 1 (Januari-Juni 2010), h. 71. Meskipun keshahihah hadis ini masih

    diperdebatkan para ulama mengenai kualitasnya tetapi hadis ini dapat dijadikan penopang tentang

    anjuran dan kebolehan berijtihad. Penulis menyebutkan kualitas hadis tersebut karena penelitian

    terhadap hadis Nabi merupakan sebuah upaya dalam melestarikan dan memelihara orisinalitas hadis

    Nabi. Lihat Nor Salam, Hadis Ahwal Syakhsiyyah: Konsep, Metodologi Kajian dan Identifikasinya

    dalam Kutub al-Sittah, (Malang: Literasi Nusantara, 2019), h. 67. 54

    Ijtihad adalah masdar dari fi‟il madhi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta‟ pada kata ja-

    ha-da menjadi ijtahada pada wazan if-ta-a‟-la berarti bermakna “usaha itu lebih sungguh-sungguh”.

    Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqh Islam)

    untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara‟ (agama). Lihat Rachmat

    Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 98-99.