guru dalam teks puisi - sinta.unud.ac.id fileguru bahasa dan sastra indonesia yang mengulas tentang...

34
1

Upload: others

Post on 01-Nov-2019

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

2

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian tentang guru dalam khazanah Sastra Indonesia Modern (SIM) dari

para pengarang Bali belum banyak dilakukan oleh peneliti. Hal serupa juga terjadi

pada karya pengarang Bali yang menulis dalam karya Sastra Bali Modern (SBM)

khususnya cerpen dan novel. Selama ini, kajian tentang guru dalam karya sastra

pengarang Bali banyak ditemukan dalam artikel lepas di surat kabar lokal di Bali.

Sementara kajian serius dalam bentuk tesis atau disertasi tentang guru yang

diinspirasikan oleh karya sastra pengarang Bali, belum ditemukan.

Penelitian tentang guru dalam karya SIM saat ini ditemukan dalam

esai,skripsi, dan tesis dalam jumlah yang terbatas. Esai tentang guru dikerjakan oleh

Yunus (1985), Mardiah (2005), Mahayana (2006), Tingkat (2007). Dalam esainya

berjudul “Kenapa Mesti Guru Isa”, Yunus (1985:17) menyoroti tokoh Guru Isa

dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Dalam konteks ini, Yunus

lebih menekankan profesi guru yang dilakoni Isa, sebagai wujud empati terhadap Isa

yang dikisahkan impoten dan berperasaan halus sehingga tidak kuasa melakukan

perlawanan di tengah masa revolusi.

Esai yang membahas tentang guru dikerjakan pula oleh para guru bahasa dan

sastra Indonesia SMA/SMK yang mengikuti lomba mengulas karya sastra tingkat

19

nasional yang rutin digelar Depdiknas setiap tahun, sejak awal dekade 2000-an. Para

guru bahasa dan sastra Indonesia yang mengulas tentang guru umumnya menjadikan

novel Sang Guru karya Gerson Poyk sebagai pijakan. Dengan menyitir Teeuw

(1989), Ratna (201: 101) memasukkan novel Sang Guru sebagai karya sastra warna

lokal. Sementara itu, Poyk (2010: ix) menyebutkan novel Sang Guru sudah mulai

menjadi klasik karena diulas oleh para guru di negeri ini dan telah melahirkan

beberapa sarjana yang menulis skripsi mengenai novel ini.

Pengakuan Poyk terhadap karyanya Sang Guru memang tidak berlebihan,

bahkan Poyk identik dengan Sang Guru. Novel ini seakan menjadi bacaan wajib

bagi para guru di Indonesia untuk melihat sosok guru yang ideal seperti dilakukan

Mardiah (2005) pada saat mengikuti Lomba Mengulas Karya Sastra antarguru

SMA/K Tingkat Nasional. Mardiah memberi judul ulasannya dengan “Redefinisi

Guru dalam Sang Guru Gerson Poyk”, yang meraih nominasi 25 naskah terbaik yang

diterbitkan Depdiknas Jakarta 2006. Dalam ulasannya, Mardiah (2006 : 154)

menyatakan, “Sang Guru mengupas guru dari aspek kemanusiaan. Guru yang

merupakan seorang manusia harus mendidik,mengajar, dan melatih agar manusia lain

menjadi manusia ternyata sarat dengan berbagai permasalahan”.

Esai sastra yang lain tentang guru ditulis oleh Mahayana (2006) yang

menyoroti novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana (http://mahayana-

mahadewa.com). Mahayana menganalogikan kehidupan guru tahun 1960-an sampai

1970-an, sebagai sebuah potret yang tergeletak di pojok ruangan. Guru dicampakkan

20

sekaligus dipuji. Dibersihkan dari debu, lalu dibingkai dengan figura yang lebih

baru, dan digantung di ruang tamu.

Tingkat (2007) menulis esai tentang guru dalam buku Berguru dalam Jejak

Sastra. Pada intinya, sejumlah esai dalam buku ini berpijak pada karya sastra baik

puisi, cerpen, maupun novel yang menyoroti nasib guru dikaitkan dengan situasi

kekinian. Simpulannya, profesi guru bukanlah profesi yang menjanjikan kemewahan

melainkan profesi yang terus-menerus dituntut menjadi teladan bagi anak didiknya.

Untuk mewujudkan hal itu, seorang guru pun dilukiskan bermain sandiwara dengan

idealisme yang dipegangnya. Hal itu ditunjukkan dengan sikap hipokrit. Namun,

dengan kerendahan hati, guru pun menyadari diri untuk menerus berguru tidak hanya

kepada orang-orang besar, tetapi juga kepada murid-muridnya (Tingkat, 2007:5).

Selain esai tentang guru, skripsi tentang guru juga ditulis oleh Arupalaka

dari FIB UI pada 2008, dengan judul, “Citra Guru dalam Kumpulan Cerpen Suci

Menulis di Balik Papan Tulis” karya S.N. Ratmana. Skripsi Arupalaka ini lebih

menekankan pada citra guru dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar di

kelas tanpa mengaitkan dengan konteks sosial kemasyarakatan.

Tesis tentang tokoh guru dalam karya sastra juga dikerjakan oleh Budiarti

dari UPI Bandung pada 2009, dengan judul, “ Representasi Citra Guru dalam Tujuh

Novel Indonesia Modern Pascaproklamasi Kemerdekaan Berdasarkan Tinjauan

Psikologi Sastra”. Pembahasan Budiarti mencakup novel dengan tokoh guru,

karakter tokoh, relasi antartokoh, psikologi tokoh, citra tokoh. Lima fokus penelitian

Budiarti itu didasarkan atas tujuh novel Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan,

21

yaitu Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Bu Guru Dwisari karya Umar Nur

Zain, Pertemuan Dua Hati karya N.H. Dini, Sang Guru karya Gerson Poyk, Bukan

Pasar Malam karya Pramudya Ananta Toer, Sedimen Senja karya SN Ratmana, dan

Laskar Pelangi karya Andre Hirata.

Hasil penelitian Budiarti (2009: 347-350) menunjukkan representasi citra

guru dari segi kondisi kejiwaan yang bermacam-macam, kondisi kepribadian guru

yang sehat secara mental. Selain itu, ditemukan status personal guru yang umumnya

mencakup harga diri, visi, komitmen, keyakinan diri, aspirasi, dan jati diri, status

profesional guru, status sosial nonmateri, dan status sosial materi yang umumnya

masih rendah.

Guru juga dikaji oleh Surakhman (2009). Bahkan karena cintanya

Surakhman terhadap profesi guru, di dalam kajiannya itu juga ditampilkan puisi

berjudul “Melahirkan Kembali Indonesia Raya” (Sebuah Litani Buat Guru Bangsa).

Parodi puitis yang disampaikan Surakhman pada acara peringatan Hari Guru ke-60

di Stadion Manahan Solo, 27 November 2005 itu, telah membuat wakil presiden

Jusuf Kalla waktu itu marah.

Puisi yang disebut sajak “kandang ayam” oleh St. Sularto (2010 : xiii-xvii),

editor buku itu, terdiri atas lima bagian, yaitu (1) Di Kelahirannya, (2) Di Dunianya,

(3)Di Hati Kecilnya, (4) Di Batu Nisannya, dan (5) Di Mata Bangsanya. Pada bagian

pertama puisi tersebut, guru digambarkan tak berdaya.

Dengan hati tersumbat darah

Guru bertanya dalam gumam :

22

Mungkinkah berharap yang terbaik

dalam kondisi yang terburuk?

Hanya pada bagian akhir puisi ini memberikan harapan bagi guru walaupun

dengan tuntutan kerja keras.

Kalau saja kau mau

memanusiakan manusia

membudayakan bangsa

mengindonesiakan nusantara

satu generasi di tanganmu

seagung sebuah Maha Karya…

Selain komentar St. Sularto selaku editor, Surakhman (2010: 282) juga

menyatakan bahwa profesi guru belum pernah tergarap secara maksimal, penanganan

guru cenderung darurat dan kompromistis yang ditandai dengan adanya sekolah

inpres, guru kilat, guru kontrak, dan guru bantu.. Lebih lanjut, Surakhman menulis,

Guru telah lama dihadapi sebagai masalah masa lalu yang berbicara

tentang keterbelakangan. Kini saatnya pemerintah dan masyarakat guru

sendiri menunjukkan bahwa masalah guru bukan sekadar masalah masa lalu

yang penuh dengan anomali, tetapi masalah kemajuan dan eksistensi bangsa,

masalah masa depan yang penuh dengan potensi, yang berbicara tentang

keberhasilan!

Selebihnya, Surakhman mengulas guru dari perspektif UUGD, yang masih

dipertanyakan dan diperdebatkan. Pertanyaan seputar isu kontemporer berkaitan

dengan sertifikasi guru hingga perdebatan tentang LPTK pengganti IKIP yang sampai

kini masih berkutat kembali melihat ke Universitas bekas IKIP. Jadi, bukan saja

perkara guru yang masih gamang, melainkan juga persoalan institusi yang masih

gagap untuk menggarap potensi guru.

23

Studi lain tentang guru juga digarap oleh Gede Suardana, dkk. (2011). Kajian

Suardana, dkk. menyebutkan, tiga masalah pokok berkaitan dengan perlawanan guru

terhadap kekuasaan, yaitu bentuk perlawanan guru terhadap kekuasaan, faktor-faktor

yang memengaruhi perlawanan guru terhadap kekuasaan, dan implikasi perlawanan

guru terhadap kekuasaan. Suardana, dkk. (2011:113-114) menyebutkan ada 4 bentuk

perlawanan guru terhadap kekuasaan, yaitu: (1) dengan melakukan pekerjaan yang

sesuai dan tidak sesuai dengan profesi; (2) dengan grundelan; (3) dengan cara

intelektual; dan (4) dengan pola perlawanan guru terhadap kekuasaan negara.

Selanjutnya, Suardana, dkk. (2011:116-119) menjelaskan pula faktor-faktor

yang memengaruhi perlawanan guru terhadap kekuasaan negara. Paling tidak ada tiga

faktor, yaitu: (1) tekanan kekuasaan politik terhadap guru; (2) kekuasaan ekonomi

yang menyebabkan guru terjebak ke dalam gaya hidup berhutang; dan (3) kekuasaan

kultural memengaruhi interaksi guru dengan kekuasaan negara.

Implikasi perlawanan guru terhadap kekuasaan disebutkan Suardana,dkk.

(2011: 120-121) ada dua, yaitu merkantilisme pendidikan dan perubahan makna guru.

Dengan mengutip Pilliang (2004: 355), Suardana, dkk (2011: 120) menjelaskan

merkantilisme sebagai bertautnya logika pendidikan dengan logika kapitalistik yang

bermuara pada upaya menciptakan citra-citra (lembaga, individu, pengetahuan) yang

sesuai dengan citra kapitalisme. Guru menjadi mesin operator pendidikan terlibat

dalam bagian kapitalisme pendidikan yang bertujuan meraih keuntungan (profit).

Perubahan makna guru dijelaskan Suardana, dkk. (2011: 121) sebagai guru

yang mengalami metamorfosis. Guru terjebak antara memenuhi tuntutan

24

profesionalisme yang ideal dan tuntutan kebutuhan ekonomi. Akibatnya, terjadi

degradasi intelektual di kalangan guru sekaligus mendorong terjadinya dehumanisasi

pendidikan.

Dalam pandangan Abduhzen (Kompas,2/7/2013), perubahan makna guru

akibat logis dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Dari Undang-Undang inilah guru profesional dikenal yang dipertentangkan dengan

guru tradisional sebagai produk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi, Abduhzen menambahkan, “Masa delapan

tahun telah dihabiskan hanya dalam kegaduhan administratif portofolio dan uji

menguji. Serfikasi portofolio hanya berhasil meningkatkan ekonomi guru dan minat

jadi guru, tetapi gagal mencapai tujuan utama profesionalisme, yakni meningkatkan

kinerja guru untuk peningkatan mutu pendidikan nasional”.

Sinamo (2010) di dalam buku berjudul 8 Etos Keguruan yang diterbitkan

Institut Darma Mahardika Jakarta, tidak hanya memfokuskan bahasan tentang

aktivitas guru dalam karya sastra, tetapi banyak terinspirasi dari berbagai sejarah

keguruan di Indonesia yang diambil dari kisah para guru. Dari kajian Sinamo

ditemukan delapan etos keguruan. Kedelapan etos itu adalah: keguruan adalah

rahmat, keguruan adalah amanah, keguruan adalah panggilan, keguruan adalah

aktualisasi, keguruan adalah ibadah, keguruan adalah seni, keguruan adalah

kehormatan, dan keguruan adalah pelayanan. Dari masing-masing etos itulah, Sinamo

mencontohkan tokoh-tokoh guru ke dalam 8 etos. Ini penting untuk melihat sepak

terjang guru dalam perjuangan melawan kolonial hingga masa kemerdekaan.

25

Kajian-kajian terdahalu tentang guru baru sebatas karya SIM, sama sekali

belum menyentuh tokoh guru dari karya pengarang Bali, baik dalam SIM maupun

SBM. Selama ini, penelitian tentang guru dari karya para pengarang Bali luput dari

perhatian para kritikus sastra. Darma Putra (2010: 92) dalam bukunya Tonggak Baru

Sastra Bali Modern, misalnya banyak menampilkan kajian tentang Sastra Bali

Modern, yang walaupun tokohnya adalah guru (Made Sarati) seperti dalam

Mlantjaran ka Sasak, tetapi pembicaraan guru, nihil dari analisisnya. Darma Putra

lebih tertarik membahas hubungan antartokoh dalam konteks kasta. Begitu juga

ketika membahas novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta Layu

Sebelum Mekar) karya Djelantik Santha, Darma Putra (2010: 97) yang mengutip

Windhu Sancaya (1985) juga lebih tertarik mengungkap prahara cinta dalam konteks

perkawinan antarwangsa. Bahasan senada juga dilakukan Darma Putra terhadap

karya-karya I Nyoman Manda, Wiyat S. Ardhi yang juga menulis novel berbahasa

Bali, tetapi juga nihil dari pembicaraan tentang guru.

Ketika Darma Putra (2008: 103) membahas interaksi Bali-Bule, dengan

menampilkan Tiba-tiba Malam dan Dasar karya Putu Wijaya, walaupun di dalamnya

ada tokoh guru, pembicaraan diarahkan pada representasi hubungan tokoh Bali

dengan Bule, dalam konteks pariwisata. Selanjutnya, karya-karya Aryantha

Soethama, seperti Lukisan Rinjin (cerpen) dan Susan (novelet) juga membincangkan

hubungan Bali-Bule dalam hubungan pariwisata. Sementara itu, novel Senja di Candi

Dasa-nya Aryantha Soetama luput dari bidikan Darma Putra, padahal novel ini juga

mengisahkan intrik pariwisata dalam konteks hubungan timur-barat. Hal yang

26

menarik dari novel ini adalah tokoh guru yang berada di persimpangan jalan dan pada

awalnya diberi judul Pilihanku Guru, sebagaimana diakui Aryantha Soethama.

2.2 Konsep

Ada tiga konsep yang dijadikan landasan dalam disertasi ini, yaitu: (1)

representasi; (2) citra guru; dan (3) pengarang Bali. Ketiga konsep itu akan diuraikan

secara berturut-turut di bawah ini.

2.2.1 Representasi

Representasi merupakan praktik-praktik pemaknaan yang tampaknya bisa

mewakili atau menggambarkan suatu objek atau praktik lain di dunia “nyata”. Barker

(2005: 523), dalam bukunya berjudul Cultural Studies Teori dan Praktik,

menegaskan penggambaran objek diistilahkan sebagai “efek representasional” karena

tanda tidaklah mewakili atau merefleksikan objek secara langsung seperti kaca.

Mengacu pada pemahaman Barker tersebut, representasi amat dekat dengan dunia

virtual yang cenderung berpotensi membangun pencitraan.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, representasi diartikan sebagai

pemaknaan yang bisa mewakili objek dunia „nyata‟ sebagai dasar analisis untuk

melihat gambaran sosok guru di tengah nilai-nilai yang berubah dan telah dituangkan

oleh pengarang Bali dalam novel dan cerpennya dikaitkan dengan situasi yang

dihadapi guru dalam konteks sosial budaya pada zamannya.

27

2.2.2 Citra Guru

Istilah „citra‟ mencuat ketika Susila Bambang Yudoyono (SBY) terpilih

sebagai presiden RI kelima melalui pemilu presiden pertama secara langsung, pada

2004. Bahkan para pemerhati politik Indonesia, sepakat mengatakan SBY

menerapkan politik citra dalam pemerintahannya. SBY berhasil memanfaatkan

terminologi Boudrillard yang mengintroduksi simulacrum untuk menyebut realitas

yang dibawakan oleh media massa, terutama televisi.

Prasetyo (2007 : 3) menyebut abad ke-21 adalah abad citra. Abad yang lahir

karena revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang berdampak mengaburkan

batas-batas natural dan artifisal. Bahkan, masyarakat pascamodern dewasa ini

dihidupi dan menghidupi rezim budaya citra, dengan citra visual sebagai panglima.

Di sini, masyarakat disuguhi kemasan yang dinilai lebih bernilai guna daripada isi,

impresi lebih penting ketimbang esensi, visualisasi lebih berguna daripada

kontemplasi (Prasetya, 2007 : 4).

Baudrillard yang dikutip Irwanto (2003 : 20) menyebutkan ada 4 fase suksesif

dari citra. Fase-fase itu bertautan dengan tanda atau suksesi citra yang berdistansi

dengan objek representasi melalui tahapan signifikansi dan nilai : it is the reflection

of basic reality, It mask and preverts a basic reality, It masks the absence of basic

reality, dan It bears no relation to any reality whatever; It is its own pure

simulacrum.

Keempat fase itu pada akhirnya disimpulkan bahwa realitas tidak lagi tampak,

bahkan dikatakan tidak ada realitas di luar tanda atau di luar simulasi sesuai dengan

28

kajian tanda postmodern. Dengan pemahaman itu, citra adalah tanda itu sendiri, yang

(boleh jadi) berdistansi dengan realitas.

KBBI (2002 : 216), menjelaskan citra dari sudut sastra sebagai kesan mental

atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat dan

merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Pengertian ini

selanjutnya disandingkan dengan guru sebagai sebuah profesi.

Kadiman dalam buku 8 Etos Keguruan karya Sinamo ( 2010 : iv),

menyebutkan guru adalah kata yang berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu gabungan

kata „gu‟ dan „ru‟ yang berarti kegelapan (darkness) dan terang (light). Dari sini lalu

ditafsirkan guru sebagai penerang kegelapan. Hal ini juga tersurat dalam syair lagu

Hymne Guru karya Sartono, “engkau s‟bagai pelita dalam kegelapan….” Oleh karena

itu, cukuplah beralasan jika Sularto (2008 : x) menyebutkan profesi guru harus

ditempatkan sebagai tiang penjuru segala kegiatan, murid menjadi fokus praksis

pendidikan yang membebaskan dalam arti memperjuangkan kemampuan eksploratif

anak didik, pembongkaran total atas praksis pendidikan selama ini.

Lebih lanjut Kadiman dalam Sinamo (2010 : v) menjelaskan istilah guru tak

pernah lekang dari dua unsur, yaitu substansi dan pedagogi. Substansi adalah materi

yang oleh sang guru ingin diterangkan, dijelaskan untuk dipahami oleh para murid

atau peserta ajar. Pedagogi adalah seni atau ilmu menjadi guru.

Dengan memperhatikan penjelasan tersebut, sebagai konsep dalam penelitian

ini citra guru mengacu pada kesan mental dari seorang guru dalam perannya di

dunia pendidikan formal sekolah, yang banyak dibidik oleh media massa untuk

29

melihat sosok seorang guru. Oleh karena itu, sosok guru yang ditelaah adalah

pengajar di sekolah dengan tugas-tugasnya yang kompleks sesuai dengan empat

syarat kompetensi yang seharusnya dimiliki : kompetensi profesional, kompetensi

pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian (UUGD, 2005).

2.2.3 Pengarang Bali

Pengarang Bali dalam penelitian ini mengacu pada istilah sastrawan Bali.

Tidak mudah untuk mendefinisikan istilah sastrawan Bali, sebagaimana dijelaskan

Darma Putra (2008 : 99). Menurutnya, istilah “sastrawan Bali” sangat problematik,

tak mungkin didefinisikan tanpa cacat. Namun demikian, ia sampai pada dua batasan

tentang sastrawan Bali : (1) mereka yang memilih Bali sebagai rumah, terlepas dari

etniknya; dan (2) mereka yang lahir sebagai etnik Bali, di mana pun berada.

Dalam penelitian ini pengarang Bali adalah pengarang prosa naratif fiksional

tentang pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling

berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah orang

(karakter) di samping setting (latar) yang spesifik, yang ditulis oleh mereka yang

memilih Bali sebagai rumah, terlepas dari etniknya dan mereka yang lahir sebagai

etnik Bali, di mana pun berada yang telah melahirkan cerpen dan novel.

30

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan tiga teori utama, yaitu sosiologi sastra,

representasi, dan interteks. Teori lain seperti semiotik, struktural, hegemoni,

pascakolonial digunakan secara eklektik sesuai dengan kebutuhan pada analisis.

2.3.1 Teori Sosiologi Sastra

Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali oleh Harsya W.

Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan

oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973 (Ratna, 2003:8). Dengan mencermati kombinasi dua

disiplin ilmu (Sosiologi dan Sastra), penelitian sosiologi sastra mensyaratkan

kehadiran ilmu bantu, seperti sosiologi,antropologi, sejarah, psikologi, agama, dan

masalah-masalah kebudayaan pada umumnya.

Istilah sosiologi sastra menurut Damono (1979: 2) sama dengan sosiosastra,

pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiokultural. Ketiga istilah ini diramu dari

tiga komponen antara sastrawan,sastra, dan masyarakat (Damono, 1979 : 1).

Sastrawan adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra

adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa

merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan

itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup

hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia,

dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

31

Sumardjo (1982: 11) menjelaskan sosiologi sastra mempelajari masyarakat

sastra Indonesia. Di dalamnya terkait dengan interaksi dan interrelasi antara manusia,

syarat-syarat terciptanya hubungan dan akibat terciptanya hubungan.

Teori sosiologi sastra dipilih dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan

bahwa sastra adalah produk masyarakat (Damono, 1979:1; Sumardjo, 1982:12).

Lebih lanjut, Sumardjo menyatakan sebagai produk masyarakat, sastra berada di

tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat berdasarkan

desakan-desakan emosionil atau rasionil dari masyarakatnya. Lebih tegas lagi,

dikatakan sebuah karya baru menjadi “sastra” setelah “dimasyarakatkan” melalui

penerbit, pembeli, toko buku, dan kritikus.

Sumardjo (1982: 12-13) menyebutkan sosiologi sastra Indonesia harus

mengupas sekurang-kurangnya tiga persoalan pokok, yaitu: (1) bagaimana interaksi

dan interelasi antara unsur-unsur masyarakat sastra Indonesia; (2) bagaimana sifat

hubungan sebab akibat antara masyarakat sastra dengan masyarakat luas sezamannya;

dan (3) bagaimana pengaruh sastra itu sendiri bagi bangsa, masyarakat luas secara

keseluruhan.

Yunus (1986:3) sepakat dengan pendapat yang dikembangkan oleh J.

Duvignaud (1972) yang menyatakan analisis karya seni termasuk sastra dihubungkan

dengan perkembangan sosial. Yunus juga menegaskan sosiologi sastra mencakup

sejumlah aspek, antara lain : (1) karya sastra dilihat sebagai dokumen sosiobudaya;

(2) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra; (3) penelitian

32

tentang penerimaan masyarakat terhadap karya seorang penulis tertentu dan apa

sebabnya; dan (4) pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra.

Sastra sebagai dokumen sosiobudaya dapat dicermati dalam karya I Wayan

Bhadra (Gde Srawana) melalui novel Mlantjaran ka Sasak (1939). Dalam sejarah

Indonesia, pada dekade itu terjadi polemik kebudayaan, tarik menarik antara Barat

dan Timur. Pada dekade itu pula, sejumlah intelektual Bali mulai belajar sampai ke

Jawa. Di samping itu, Bali juga mulai diperkenalkan sebagai daerah pariwisata.

Sebelumnya, pada dekade 20-an, di Bali, terjadi polemik antarwangsa antara

golongan triwangsa (menak) dan golongan sudra (jaba). Bersamaan dengan itu, judi

sabungan ayam juga merajalela. Kondisi sosial masyarakat kala itu, dapat diduga

menjadi sumber inspirasi bagi Gde Srawana dalam melahirkan novel Mlantjaran ka

Sasak. Dugaan itu tercermin dari tokoh I Made Sarati yang dikisahkan sebagai anak

dari seorang penjudi, tetapi bisa bersekolah sampai ke Jawa berkat budi baik seorang

punggawa. Semua elemen tersebut merupakan potret sosial budaya masyarakat Bali

kala itu, yang digambarkan oleh I Wayan Bhadra dengan sangat memikat.

Penghasilan dan pemasaran karya sastra berkaitan dengan tingkat

kesejahteraan pengarang dan luasnya daya jangkau penerimaan masyarakat

terhadap karya sastra. Makin tinggi respon masyarakat terhadap sebuah karya sastra,

pemasarannya makin tinggi. Makin tinggi pemasaran, penghasilan pengarang makin

tinggi pula. Itulah sebabnya, novel Laskar Pelangi karya Andre Hirata mengalami

cetak ulang berkali-kali dalam edisi Indonesia. Setelah difilmkan, novel ini

33

diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Hal ini berdampak pada penghasilan

pengarang sebagai pemegang hak atas kekayaan intelektual.

Penerimaan masyarakat terhadap karya sastra dipengaruhi oleh nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai kemanusiaan universal umumnya diterima

sebagai cermin dalam kehidupan sehingga karya yang selalu diapresiasi tanpa putus

oleh penikmat. Ramayana dan Mahabharata adalah contoh nyata dalam karya sastra

klasik. Dalam khasanah sastra Indonesia modern, novel Siti Nurbaya, Layar

Terkembang, Laskar Pelangi adalah contoh lain.

Pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra dapat dicermati dari

berbagai genre sastra yang lahir, baik puisi, cerpen, novel, maupun drama. Akibatnya,

sering terjadi kesalahpahaman antara pengarang dan penguasa dalam menyikapi

karya sastra sebagai karya fiksi dan fakta berita. Ketegangan antara sastrawan dengan

penguasa sering berakibat pembreidelan. Sejarah pembreidelan dalam sastra

Indonesia tidak hanya menyangkut pelarangan dan pembakaran karya tetapi juga

menyangkut penghilangan nyawa pengarang, seperti yang dialami oleh Wiji Thukul

pada zaman Orde Baru, yang sampai kini masih misterius keberadaannya. Faruk

(2004: 48) menilai peristiwa itu sebagai dampak dari konvensi pembacaan dan

penciptaan sastra di Indonesia yang masih berpegang pada anggapan bahwa sastra

merupakan gambaran mengenai kenyataan.

Lukman Ali (2000:570-574) mencatat 10 nama pengarang buku pelajaran

sekolah dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas yang dilarang berdasarkan

Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan Republik Indonesia Nomor 138

34

i/1965. Di samping buku pelajaran, terdapat 60 judul buku pengarang LEKRA yang

dibekukan dan 87 pengarang anggota LEKRA dan artikel-artikel dalam madjalah dan

surat kabar.

Yunus (1986:4) dan Teeuw (2003:194) menegaskan karya sastra sebagai

dokumen sosiobudaya mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat tertentu

terlepas dari unsur-unsur kesatuan karya. Dengan kalimat berbeda, juga disampaikan

Kusuma (1990:3) yang mengatakan bahwa karya sastra bukan lahir dari alam kosong

dan tidak dilepaskan dari aspek sosial budaya masyarakat yang melatarbelakanginya.

Pendekatan sosiologi sastra berdasarkan cerita tanpa mempersoalkan struktur

karya. Implikasinya adalah: (1) analisis karya sastra langsung dihubungkan dengan

suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam

dirinya; (2) analisis dilihat sebagai karya sastra yang membayangkan perkembangan

budaya ; dan (3) analisis karya sastra mengambil motif atau tema yang berbeda secara

gradual. Tema lebih abstrak sedangkan motif lebih konkret karena dikonkretkan oleh

pelaku perbuatan dan penerima perbuatan.

Selanjutnya Yunus (2006: 10) menegaskan penelitian mengenai penghasilan

dan pemasaran karya sastra ini menyentuh empat aspek: (1) penulis dan latar

belakang sosial budayanya; (2) hubungan antara penulis dan pembaca ; (3) pemasaran

hasil sastra; dan (4) pasaran hasil sastra. Latar belakang sosial budaya penulis

mencakup latar belakang sebelum menjadi penulis, kelas sosial (status sosial)

penulis, seks dan umur penulis, pendidikan dan pekerjaan penulis.

35

Hubungan antara penulis dan pembaca memperlihatkan dua kemungkinan

menurut Yunus (2006: 11). Pertama, ada „pembaca‟ tetapi karena seseorang telah

digaji menulis bagi kepentingan seseorang atau sekelompok orang, meskipun mereka

tidak membaca atau mendengarnya. Berlangsung proses patronage seperti penulis

istana yang dibiayai oleh raja zaman dulu. Kedua, yang hanya calon pembaca. Hasil

yang diperoleh oleh seorang penulis dari tulisannya ditentukan oleh pemasaran. Di

sini patronage digantikan oleh penerbit dengan tujuan mencari keuntungan.

Berikutnya, Yunus (2006: 12) menegaskan pemasaran hasil sastra

menyangkut cara penyampaiannya, dalam bentuk buku atau dalam penerbitan

berkala. Selain itu juga menyangkut cara pemasaran yang diserahkan seluruhnya

kepada selera pembaca atau kebutuhan institusi untuk keperluan tertentu. Sementara,

pasaran hasil sastra memungkinkan seorang penulis dapat hidup dari hasil penjualan

karyanya. Dalam hal ini perlu diperhatikan calon pembaca berdasarkan umur, seks,

pendidikan, dan kelas sosial.

Termasuk dalam ranah sosiologi sastra adalah penelitian tentang penerimaan

masyarakat terhadap seorang penulis tertentu. Dengan mengutip Lowenthal, Yunus

(1986: 17) menyebutkan penerimaan karya sastra tertentu pada masa dan daerah

kebudayaan tertentu berhubungan dengan iklim sosiobudayanya. Dengan

menggunakan terminologi Lowenthal, Yunus (1986: 18-19) menunjukkan

penerimaan masyarakat terhadap karya-karya penulis tertentu secara aktif dapat

bersifat positip seperti penerimaan karya-karya Dostoevski di Jerman atau negatif

seperti terlihat dalam ulasan Belenggu di Indonesia (1940). Penerimaan secara pasif

36

dengan hanya melihat karya yang populer pada masa tertentu di daerah dan golongan

tertentu.

Pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra juga merupakan objek

kajian sosiologi sastra. Dengan menyitir Taine, Yunus (1986:19) bertolak dari

anggapan bahwa sastra dapat dikesankan dari dasar material sebuah masyarakat ,

yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Ras dihubungkan dengan sifat kejiwaan yang

turun-temurun, perasaan, bentuk tubuh dan sebagainya. Waktu dihubungkan dengan

jiwa pada suatu zaman, sedangkan lingkungan dibatasi oleh keadaan cuaca dan

geografi.

Ratna (2004: 331) menyebutkan sosiologi sastra sama dengan sosiokritik.

Sosiologi sastra sebagai suatu disiplin ilmu baru menurut Ratna (2004: 332) ditandai

oleh tiga indicator, yaitu : (a) hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan

perlu dipecahkan; (b) adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya;

dan (c) adanya pengakuan secara institusional. Pada bagian lain, Ratna (2004:335-

336) menyebutkan di antara genre utama karya sastra, yaitu: puisi, prosa, drama,

genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan

unsur-unsur sosial. Alasannya: (a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang

paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah

kemasyarakatan yang juga lebih luas; dan (b) bahasa novel cenderung merupakan

bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, secara ontologis, teori sosiologi sastra

memandang karya sastra tidak lahir dari kevakuman sosial. Relasi karya sastra,

37

pengarang, dan masyarakat yang dilukiskan merefleksikan keadaan masyarakat

sesungguhnya. Demikian juga halnya, karya-karya pengarang Bali dengan tokoh

guru, baik yang ditulis dalam SBM maupun SIM merepresentasikan kehidupan para

aktor guru dalam konteks zamannya.

Secara epistemologi, cara kerja teori sosiologi sastra adalah dengan metode

interpretasi. Metode ini digunakan untuk melihat citra guru, faktor penyebab

perubahan citra guru, dan menemukan makna representasi citra guru dalam karya

pengarang Bali. Dengan kalimat lain, metode interpretasi digunakan untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini.

Secara aksiologi, teori sosiologi sastra bermanfaat praktis dalam memahami

hubungan sastra dengan keadaan masyarakat yang digambarkan melalui tokoh guru.

Dalam konteks ini, karya sastra bukanlah fiksi semata melainkan juga realitas yang

fiksionalisasikan. Realitas yang disamarkan untuk menggambarkan citra guru.

2.3.2 Teori Representasi

Barker (2005: 10) menjelaskan representasi sebagai konstruksi dan penyajian

dunia secara sosial dalam rangka memproduksi pengetahuan. Hal ini diistilahkan

sebagai “efek representasional” karena tanda tidaklah mewakili atau merefleksikan

objek secara langsung seperti kaca. Mengacu pada pemahaman Barker tersebut,

representasi amat dekat dengan dunia virtual yang cenderung berpotensi membangun

pencitraan.

Teori representasi dipakai oleh Eriyanto dalam mengkaji berita. Eriyanto

38

(2001: 113) menjelaskan istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang,

satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.

Pemberitaan tidak hanya mengacu pada berita dalam pengertian awam, tetapi juga

mengacu pada makna yang lebih luas, termasuk karya sastra, khususnya novel dan

cerpen yang diteliti. Dengan demikian, penceritaan dalam karya sastra juga dapat

dianalisis melalui teori representasi sebagaimana diberlakukan dalam pemberitaan

melalui karya jurnalistik. Hal ini menguatkan dalil bahwa karya sastra sebagai karya

imajinatif (fiksi, cerita) mengandung fakta (berita) yang tidak terpatahkan.

Dengan pemahaman itu, baik dalam analisis berita maupun analisis sastra,

representasi menjadi penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok,

gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Penggambaran dilakukan apa

adanya, secara objektif. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan

kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau

gagasan tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2001: 113-114).

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok,

atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi wartawan dalam

pemberitaan. Ketiga proses itu bisa saja diadopsi pengarang dalam melahirkan karya.

Pada level pertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level

kedua, ketika memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah

bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut

diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis (Eriyanto,

2001: 114).

39

Pada bagian lain, Eriyanto (2001: 116-130) menunjukkan representasi

dikontraskan dengan misrepresentasi. Kontras di antara keduanya itu disebutkan

sebagai peristiwa kebahasaan. “Realitas “ yang sama dapat menciptakan “realitas”

yang berbeda kalau didefinisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Di sinilah

kepiawaian pengarang menjadikan bahasa sebagai alat (senjata) yang dapat

menghidupkan gagasannya untuk menembak pembaca.

Dalam konteks ini, ada dua strategi menampilkan realitas dalam pemberitaan

yang bisa diadopsi pengarang dalam menampilkan karyanya. Pertama, dengan

memilih fakta tertentu dan membuang fakta yang lain, realitas hadir dengan cara

“bentukan” tertentu kepada khalayak. Barker (2005:274) menyebutkan representasi

mengandung soal pelibatan (inklusi) dan penyingkiran (eksklusi), dan keduanya

selalu terkandung dalam persoalan kuasa.

Kedua, sebagai akibat lebih lanjut, terjadi proses legitimasi dan delegitimasi

kelompok-kelompok yang terlibat dalam pertarungan wacana tersebut (Eriyanto,

2001: 118). Legitimasi berkaitan dengan kewenangan seseorang berdasarkan

seperangkat aturan/surat keputusan. Berbeda dengan delegitimasi yang menekankan

bahwa kelompok sendiri (kami) yang benar, sedangkan kelompok lain tidak benar,

tidak layak, dan tidak absah.

Dalam representasi mungkin terjadi misrepresentasi. Eriyanto (2001: 121-

130) menggambarkan ada empat hal misrepresentasi yang mungkin terjadi, yaitu:

ekskomunikasi (excommunication), eksklusi (exclusion), marjinalisasi, dan

delegitimasi. Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu

40

kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Misrepresentasi terjadi karena

seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenankan untuk berbicara. Eksklusi

berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka

dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka buruk dan

mereka bukan kita. Ada sikap yang diwakili oleh wacana yang mengatakan bahwa

kita baik, sementara mereka buruk (Eriyanto, 2001: 121-122).

Marjinalisasi adalah misrepresentasi yang terjadi karena penggambaran buruk

kepada pihak/kelompok lain. Praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari

marjinalisasi ini antara lain melalui penghalusan makna (eufemisme), pemakaian

bahasa pengasaran (disfemisme), labelisasi, dan stereotipe. Strategi eufemisme

dipilih untuk mengabstraksikan sebuah fakta negatif seolah berubah menjadi positif

karena diperhalus pengungkapannya. Ini terkait dengan fenomena budaya terutama

untuk menjaga norma kesopanan (Eriyanto, 2001: 124-125).

Disfemisme adalah mengungkapkan realitas dengan cara kasar biasanya

dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok bawah. Berbeda

dengan eufemisme dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh kelompok

dominan (Eriyanto, 2001: 126). Selanjutnya, labelisasi adalah pemakaian kata-kata

yang opensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Sebutan ”penggarap liar”

misalnya, mengasosiasikan bahwa petani tersebut liar dan melanggar hukum yang

berimplikasi untuk melakukan tindakan tertentu (Eriyanto, 2001: 126). Sebutan

“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dan “Oemar Bakri” bagi guru adalah bentuk labelisasi

yang menyiratkan hidup dalam kesederhanaan.

41

Steriotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat

negatip atau positip (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat

tindakan. Steriotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu

dengan penuh prasangka, konotasi, yang negatif dan bersifat subjektif (Eriyanto,

2001: 127).

Delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok

dianggap tidak absah. Cara yang ditempuh untuk menyatakan ketidakabsahan itu

antara lain melalui otoritas dan suatu pernyataan apakah suatu pernyataan didukung

dengan alasan formal, yuridis, atau kaidah ilmiah (Eriyanto, 2001: 128).

Berdasarkan uraian di atas, secara ontologis teori representasi memandang

karya sastra adalah cara pengarang menampilkan objek melalui tokoh-tokohnya.

Penampilan tokoh-tokoh guru dalam karya pengarang Bali adalah bentuk abstraksi

yang dapat bersifat misrepresentasi atau sebaliknya.

Secara epistemologi, teori representasi memandang teks sebagai sarana

sekaligus media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri dan

memarjinalkan kelompok lain (Eryanto, 2001: 113). Dalam karya pengarang Bali

misalnya, tokoh-tokoh guru di satu sisi diagungkan dan dipuja, di sisi lain

dilemahkan dan dilecehkan. Hal itu terjadi dalam satu karya baik dalam SIM maupun

dalam SBM.

Dari segi aksiologinya, teori representasi berguna secara praktis untuk melihat

cara para pengarang menampilkan objek melalui tokoh-tokohnya. Apakah pengarang

menampilkan objek berdasarkan realitas atau objek itu ditransmisikan ke dalam kode

42

representasional, ataukah diabstraksikan secara ideologis. Teori ini digunakan

untuk menjawab permasahan pertama yang dirumuskan dalam bab I, berkaitan

dengan citra guru dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali.

2.3.3 Teori Interteks

Dengan mengkaji sejumlah novel dan cerpen dari sejumlah pengarang Bali

yang mengisahkan tokoh guru dimungkinkan untuk menelaahnya berdasarkan teori

interteks. Interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks

yang lain. Kutha Ratna (2005: 217) menyebutkan terdapat tiga varian dalam

interteks, yaitu: intratekstual, transtekstual, dan paratekstual. Sebagai varian,

intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam karya penulis tunggal.

Transtekstual merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interelasi tipe-tipe

wacana, mode ucapan, dan genre literer, sedangkan paratekstual melibatkan

hubungan antara teks sastra dan teks sosial.

Secara etimologis, teks (textus,bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman,

penggabungan, susunan, dan jalinan. Cavallaro (2004:110) mengaitkan teks dengan

perajutan (dari bahasa Latin texere ‟merajut‟). Produksi makna terjadi dalam

interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi (Ratna,

2004:172). Makna yang terbangun melalui proses oposisi dalam interteks tidak

semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebagai pertentangan, baik sebagai

parodi maupun negasi (Kutha Ratna,2004: 173). Pemaknaan demikian menurut

Barthes (1977: 159) melahirkan pluralisme makna. Dalam kaitannya dengan tokoh

43

guru dalam karya pengarang Bali, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa

Bali, intertekstual dapat mencerminkan pluralisme budaya Bali.

Makna yang terbangun melalui proses permutasi dimungkinkan oleh

pembaca karena adanya asosiasi bebas terhadap pembacaan terdahulu yang

memungkinkan untuk memberikan kekayaan bagi teks yang sedang dibaca (Kutha

Ratna, 2004: 175-176). Proses permutasi juga dimungkinkan oleh prinsip-prinsip

dialogisme yang dikembangkan Bakthin melalui Todorov (1983: xiv). Torodov

menegaskan, “baik secara sengaja maupun tidak, semua wacana berada di dalam

dialog dengan wacana yang mendahuluinya tentang masalah yang sama, sedemikian

pula dengan wacana-wacana yang akan datang yang reaksinya dilihat terlebih dahulu

dan yang diantisipasi”.

Menurut Bhaktin, wacana bersifat dialogis, seorang penulis teks pada

dasarnya tidak berbicara dengan dirinya-sendiri., tetapi berhadapan dengan suara teks

lain. Contohnya, puisi sebagai suatu karya secara penuh menyuarakan diri-sendiri,

suara diri-sendirilah yang dipentingkan. Sebaliknya, dalam novel, penulis

berhadapan dengan suara-suara lain. Menarik untuk diperhatikan bagaimana penulis

menempatkan dirinya dan suara-suara lain tersebut dalam teks (Eriyanto,2001: 306).

Kristeva dalam Kutha Ratna (2004: 181) menunjukkan makna intertekstual

yang terbangun melalui proses transpormasi dari satu genre ke dalam genre yang lain,

baik sebagai negasi, oposisi, sinis, lelucon, dan parodi, maupun sebagai apresiasi,

afirmasi, nostalgia, dan jenis pengakuan estetis yang lain. Secara keseluruhan

berfungsi untuk menemukan makna-makna yang baru dan orisinal. Novel dengan

44

penokohan guru dalam karya pengarang Bali merupakan hasil transpormasi dari

pengarang setelah lahirnya cerpen, puisi, esai tentang guru. Atau, transpormasi itu

terjadi sebaliknya, tidak hanya terbatas pada karya pengarang Bali tetapi juga karya

pengarang lain, baik pengarang Indonesia maupun pengarang dunia.

Eriyanto (2001: 305) menjelaskan intertekstual sebagai sebuah istilah yang

merujuk teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling

menanggapi, dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi yang lain. Dalam

kerangka teori interteks menurut Kristeva, setiap teks harus dibaca dengan latar

belakang teks lain. Tidak ada satu teks pun yang dapat dibaca secara benar-benar

mandiri (Ratna, 2005: 218). Hal ini ditegaskan pula oleh Eriyanto (2001: 306) dengan

pernyataan bahwa semua ungkapan baik tertulis maupun lisan dari semua jenis teks

seperti laporan ilmiah, novel, berita dibedakan di antaranya oleh perubahan dari

pembicara (penulis), dan ditujukan dengan pembicara atau penulis sebelumnya.

Semua pernyataan atau ungkapan didasarkan oleh ungkapan yang lain, baik eksplisit

maupun implisit.

Pembacaan wacana secara interteks memungkinkan terjadinya teks plural dan

dengan demikian merupakan indikator utama pluralisme budaya (Ratna, 2004: 173).

Dengan menyitir Barthes (1977: 159), Ratna menunjukkan pluralisme makna dalam

interteks bukan merupakan akibat ambiguitas, melainkan sebagai hakikat tenunannya.

Oleh karena itu, Hutcheon,(1992:vii) menegaskan tidak ada teks tanpa interteks.

Lebih lanjut Ratna (2004: 173) menegaskan pemahaman secara intertekstual

bertujuan untuk menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam

45

sebuah teks. Barthes misalnya, menggali kualitas teks dengan cara menganggap karya

sebagai anonimitas, yaitu yatim piatu, sedangkan Kristeva justru mengembalikannya

ke dalam semestaan budaya, meskipun tetap sebagai kebudayaan yang anonim. Oleh

karena itu, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu (a)

membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, dan (b)

hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah

pernah dibaca sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, secara ontologis, teori interteks memandang

karya sastra sebagai teks plural yang berpotensi memberikan pemahaman akan arti

pluralisme budaya. Pemahaman demikian sangat berkaitan dengan semboyan

Bhineka Tunggal Ika dalam konteks ke-Indonesia-an. Sesuai dengan teori initerteks,

objek penelitian tentang guru dalam karya pengarang Bali bukanlah sesuatu yang

berdiri sendiri. Tokoh guru yang digambarkan pada novel Mlantjaran ka Sasak dapat

dilihat benang merahnya dalam novel Bukit Buung Bukit Mentik atau Manah Bungah

Lenyah di Toyobungkah.

Secara epistimologi, teori interteks bekerja dengan menggunakan metode

jaringan untuk memahami kualitas hubungan antarteks yang dikaji. Untuk

menentukan kualitas hubungan antarteks yang dikaji dapat memanfaatkan hubungan

perbandingan baik secara sinkronis maupun diakronis terhadap objek yang diteliti.

Tokoh guru pada dekade 1930-an dalam Mlantjaran ka Sasak dapat dibandingkan

secara diakronis dengan tokoh guru pada Tiba-Tiba Malam atau Senja di Candi Dasa.

Secara sinkronis, tokoh guru dalam Bukit Buung Bukit Mentik dapat dikomparasikan

46

dengan tokoh guru dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah.

Dari segi aksiologi, teori interteks berguna untuk memahami keberadaan teks

baik yang sezaman maupun yang tidak sezaman. Terkait dengan hal itu, penelitian

tentang tokoh guru dalam karya pengarang Bali dalam dekade yang berbeda haruslah

dipahami dalam kerangka hubungan antarteks. Hubungan antarteks itu tidak saja

berkaitan dengan genre yang sama, tetapi juga dengan genre yang berbeda. Dalam hal

ini, cerpen dan novel pengarang Bali, sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman

reformasi.

Oleh karena itu, peneliti menggunakan teknik pembacaan pertama

berdasarkan kesamaan penokohan guru dalam karya pengarang Bali. Alasanya, teknik

pembacaan dengan cara pertama memungkinkan pembaca bukan lagi merupakan

konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab

merupakan struktur dari struktur. Setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda

kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak. Dengan

kalimat lain, setiap wacana merayakan kelahirannya (Ratna, 2004: 175).

47

2.4 Model Penelitian

Pengarang dalam melahirkan karya sastra berawal dari kenyataan sosial

budaya di sekelilingnya (realitas). Realitas itu diberikan sentuhan imajinasi sehingga

menjadi dunia rekaan (fiksional) dalam berbagai berbentuk karya seni sastra baik

puisi, cerpen, novel, maupun drama. Dunia rekaan yang menjadi objek dalam

penelitian ini adalah cerpen dan novel pengarang Bali, seluruhnya berjumlah tiga

belas karya sastra. Ketiga belas karya sastra itu terbagi atas dua genre, yaitu enam

novel dan tujuh cerpen dalam dua bahasa yang berbeda (bahasa Bali dan bahasa

Indonesia). Keenam novel itu adalah Tiba-Tiba Malam dan Senja di Candi Dasa

(bahasa Indonesia), Mlantjaran ka Sasak, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang,

Teori Sosiologi Sastra

Teori Representasi

Teori Interteks

Novel dan Cerpen Pengarang

Bali tentang Guru

Konsep :

Representasi

Citra Guru

Pengarang Bali

Representasi

Citra Guru

Faktor

Penyebab Perubahan

representasi

Makna dan

Perjuangan Tokoh

guru

Simpulan

Temuan

Realitas Pengarang Seni Sastra

48

Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, dan Bukit Buung Bukit Mentik (bahasa

Bali). Tujuh cerpen dalam penelitian ini terdiri atas lima cerpen dalam bahasa

Indonesia, yaitu “Guru”, “Guru (1)”, “Guru (2)”, “SPP”, dan “Ibu Guru Anakku”

serta dua cerpen dalam bahasa Bali, yaitu “Guru Made” dan “Gamia Gamana.”

Ada tiga konsep yang digunakan untuk mendekati objek penelitian, yaitu

representasi, citra guru, dan pengarang Bali. Tiga persoalan yang muncul dari

penelitian ini dibedah dengan tiga teori pokok, yaitu teori sosiologi sastra, teori

representasi, dan teori interteks. Ketiga persoalan itu adalah representasi citra guru,

faktor penyebab perubahan citra guru, makna dan perjuangan tokoh guru. Jawaban

atas tiga persoalan tentang guru itu ditariklah simpulan dan temuan yang diakhiri

dengan saran.

49