gurita praktek korupsi di daerah melalui desentralisasi otoritas (telaah das sollen dan das sein)

5

Click here to load reader

Upload: arie-hendrawan

Post on 25-Jun-2015

807 views

Category:

News & Politics


3 download

DESCRIPTION

Seperti dinyatakan Lord Acton, keleluasaan otoritas oleh pemerintah cenderung akan membawa oportunitas yang luas pula menuju reaksi distortif. Ada berbagai bentuk operasional yang dilakukan para “cendikiawan-cendikiawan pemerintah” dalam rangka menguntungkan dirinya sendiri. Hal itu sesuai dengan pemahaman korupsi yang pernah dikemukakan Husted, “the minus of public power for private benefit”. Lemahnya job’s control ditengarai menjadi penyebab utama langgengnya praktek korupsi di daerah. Isu miring “kongkalikong” antara lembaga eksekutif dengan legeslatif daerah mungkin bisa dijadikan justifikasi mengapa fungsi kontrol legeslatif terlampau lemah. Rasanya, hanya sekelumit saja politic will pemerintah untuk merekonsiliasi kondisi krisis “kepercayaan masyarakat” saat ini.

TRANSCRIPT

Page 1: GURITA PRAKTEK KORUPSI DI DAERAH MELALUI DESENTRALISASI OTORITAS (TELAAH DAS SOLLEN DAN DAS SEIN)

1

GURITA PRAKTEK KORUPSI DI DAERAH MELALUI

DESENTRALISASI OTORITAS

(TELAAH DAS SOLLEN DAN DAS SEIN)*)

Otonomi Daerah, Seperti Apa Idealnya?

Reposisi pendulum kekuasaan antara pusat dengan daerah yang imbang (equal),

idealnya menjadi angin segar bagi pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan

masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.1 Berkat otonomi daerah, efisiensi

dan efektivitas implementasi pemerintahan daerah diyakini juga akan naik dengan tetap

tidak alpa terhadap sinergisitas potensi-multikulturalisme daerah serta challenge global.

Hal tersebut merupakan implikasi hak daerah otonom, diantaranya mengelola kekayaan

daerah, memungut pajak dan retribusi daerah, plus mendapatkan outcome Sumber Daya

Alam (SDA) yang ada di daerah.2

Otonomi daerah adalah jawaban masalah pemerataan sosial-ekonomi di seluruh

wilayah Indonesia. Konsep otonomi sangat mendorong “ditelorkannya” kreativitas yang

mengejawantahkan kemandirian lokal. Kualitas pelayanan umum yang diberikan lewat

Pemerintah Daerah juga akan lebih baik3 mengingat ada kedekatan masyarakat dengan

pelayan publiknya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dan ruang partisipasi terhadap

proses pembangunan nasional semakin terbuka lebar. Alhasil basis perekonomian-sosial

trans daerah merata4, sekaligus kokoh (mantap) di tengah badai arus globalisasi.

“Modus Operandi” Korupsi Para Teknokrat di Daerah

Seperti dinyatakan Lord Acton, keleluasaan otoritas oleh pemerintah cenderung

akan membawa oportunitas yang luas pula menuju reaksi distortif. Ada berbagai bentuk

operasional yang dilakukan para “cendikiawan-cendikiawan pemerintah” dalam rangka

menguntungkan dirinya sendiri. Hal itu sesuai dengan pemahaman korupsi yang pernah

*)

Essay dalam Journalistic Fair 2013, Himpunan Mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dengan tema: “Ini Indonesiaku”. 1 Coba cermati Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, BAB Pertama, Pasal 2 yang menjelaskan tujuan otonomi daerah. 2 Ibid, Pasal 21 yang mengatur hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi.

3 Dikatakan lebih baik karena sebagai frame eksekutif terdekat Pemerintah Daerah sendiri yang memang paling tahu apa dan bagaimana masalah masyarakatnya. 4 Indikator atau tolak ukurnya, tension gap antara daerah yang maju dan tertinggal harus terus menipis.

Page 2: GURITA PRAKTEK KORUPSI DI DAERAH MELALUI DESENTRALISASI OTORITAS (TELAAH DAS SOLLEN DAN DAS SEIN)

2

dikemukakan Husted, “the minus of public power for private benefit”.5 Lemahnya job’s

control ditengarai menjadi penyebab utama langgengnya praktek korupsi di daerah. Isu

miring “kongkalikong” antara lembaga eksekutif dengan legeslatif daerah mungkin bisa

dijadikan justifikasi mengapa fungsi kontrol legeslatif terlampau lemah. Rasanya, hanya

sekelumit saja politic will pemerintah untuk merekonsiliasi kondisi krisis “kepercayaan

masyarakat” saat ini.

Dua modus operandi populer dalam korupsi ber-jama’ah di daerah yakni APBD

setan dan manipulasi proses pengadaan (oleh eksekutif). Untuk dana APBD jadi-jadian,

contoh kasusnya adalah sebagai berikut: sesuai ketentuan, provinsi dengan PAD sebesar

10-100 milliar rupiah tunjangan aktivitas dewan minimal Rp 625 juta dan maksimal 1%

dari PAD. Jika ada provinsi dengan PAD Rp 100 milliar, “harusnya” tunjangan kegiatan

dewan maksimal Rp 1 milliar. Akan tetapi yang sering terjadi, nominal tunjangan justru

melebihi regulasi (misalnya saja 3, 4, sampai 10 milliar).6 Sedangkan, untuk manipulasi

proses penggadaan dapat dicontohkan via kasus berikut: suatu panitia penggadaan tanah

Pemkab X, di mana salah satu dari panitianya melakukan negosiasi dan transaksi secara

sembunyi-sembunyi. Kemudian, masyarakat yang dibeli tanahnya dipaksa melegitimasi

kwitansi kosong, meskipun belum terjadi pembayaran.7

Bersatu, Lawan dengan Whistleblower dan NGO-NGO Lokal!

Whistleblower dan NGO Lokal merupakan salah satu opsi ampuh dalam “perang

nonfisik” melawan korupsi di daerah. Pertama Whistleblower, yaitu “peniup peluit” atau

biasa disebut sebagai “saksi pelapor” maupun “pengungkap fakta”.8 Umumnya, seorang

Whistleblower melaporkan kejahatan di domain kerjanya kepada otoritas internal dulu.9

Namun tidak sedikit pula yang “langsung” melapor kepada institusi berwenang, bahkan

media masa. Sehingga diharapkan, Whistleblower mampu berperan besar dalam usaha

5 Dalam Dermartoto, Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah, Jurnal Spirit Publik, 2007, hlm. 23-25.

6 Dengan angka-angka yang berbeda, modus tersebut sudah banyak terbongkar di DPRD-DPRD provinsi. Contohnya adalah DPRD NTB, DPRD Sumatra Barat, dan DPRD Toli-Toli. Lebih lanjut, lihat hasil penelitian dari Taufik Rinaldi, dkk, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi (Studi Kasus Penanganan Korupsi di Daerah), Makalah “Justice for The Poor Project”, 2007, hlm. 20. 7 Seperti di atas, dengan numeral tertentu kasus demikian juga pernah terkuak. Tepatnya di ranah kuasa

Pemkab Lombok Tengah. Lebih lengkap, baca hasil penelitian Taufik Rinaldi, dkk, Ibid, hlm. 21. 8 Mahkamah Agung dengan Surat Edaran MA-RI Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan kepada Whistleblower sebagai seorang, “Pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya”. Istilah Whistleblower banyak jadi “buah bibir” semenjak aksi Susno Duadji mengungkap tabir mafia pajak (termasuk kasus korupsi). 9 Coba baca Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban, 2011, hlm. 1.

Page 3: GURITA PRAKTEK KORUPSI DI DAERAH MELALUI DESENTRALISASI OTORITAS (TELAAH DAS SOLLEN DAN DAS SEIN)

3

membongkar tabiat tradisi koruptif di sekitaran “tampuk” kekuasaan pemerintah daerah.

Tanpa eksistensi Whistleblower, praktek-praktek menyimpang, pelanggaran, kejahatan-

pun kian tumbuh subur.10

Kedua NGO (Non Government Organization), di Indonesia sering disebut LSM

(Lembaga Swadaya Masyarakat). Secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai sebuah

lembaga yang tidak memiliki afiliasi apapun terhadap pemerintahan. Kini telah banyak

NGO yang letak (wilayah) kerjanya di daerah. Jauh-jauh hari tepatnya pada tahun 1999,

Hikam telah memperkirakan ada lebih dari 10.000 NGO sedang beroperasi di Indonesia,

baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, di mana jumlahnya semakin

bertambah setiap tahun.11

Dua modal substansial12

yang dipunyai oleh NGO tentu akan

sangat membantu pengungkapan kasus korupsi di daerah. NGO menjadi pioneer tindak

lanjut (follow up) indikasi kasus korupsi. Seperti investigasi, laporan kepada pihak yang

berwajib, publikasi media masa, hingga hearing (demonstrasi). Hal tersebut diaktualkan

secara simultan, dengan netralitas NGO lokal yang bisa diandalkan.13

Integrasi menciptakan masyarakat yang lebih kuat, tidak perlu disangsikan lagi.

Tokoh-tokoh semacam Malinowski, Talcott Parson, Herbert Spencer, sampai Radcliffe-

Brown merasa yakin, masyarakat selalu mempunyai solidaritas organis yang mendorong

integrasi. Tujuan akhirnya jelas, eskalasi “fungsionalisasi dan prestasi” masyarakat yang

lebih tinggi.14

Di sinilah esensi kekuatan terbesar masyarakat daerah yaitu persatuan dan

kesatuan demi mengkocok tuntas perilaku-perilaku koruptif. Selanjutnya, perlu sense of

care, conciuous, consensus, and take action dari masyarakat melawan (against) korupsi

lokal setelah proses integrasi kolektif berjalan. Ini Indonesia kita. Bagaimanapun, right

or wrong is our country15

. Jangan tega biarkan Ibu Pertiwi terbelenggu dalam kubangan

lumpur korupsi. Ingat, peluang korupsi di tingkat daerah tidak akan pernah surut, hanya

ada satu pilihan: lawan!

10

Ibid, hlm. xiv. 11 Simak Muhammad Hikam, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, 1999, hlm. 6. 12

a). Modal fungsi dan kedudukan yang jelas sebagai interest group dan pressure group; b). Modal angka (kuantitas) yang besar di dalam daerah-daerah secara komprehensif. 13

Secara logis NGO tidak terletak di lingkaran pemerintahan. Itu merupakan ciri khas NGO sebagai salah satu komponen dari infrastruktur politik, hanya terdapat dalam masyarakat. Jadi, suasana kenetralannya masih terjaga. Karakteristik lain NGO adalah nirlaba, sukarela, non birokratis, dan grassroots. 14 Hendropuspito dalam Eko Handoyo, dkk, Studi Masyarakat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2007, hlm. 88. 15

Sebuah ucapan yang terkenal dari Lord Palmerston pada abad XIX dari Inggris yang artinya benar atau salah adalah negara kita. Negara harus selalu dibela. Ungkapan senada dikemukakan Bung Karno dan J.F. Kennedy, jangan tanyakan apa yang telah diberikan negara kepada kita, tapi tanyakanlah apa yang telah kita berikan kepada negara (Kaelola, 2009: 296).

Page 4: GURITA PRAKTEK KORUPSI DI DAERAH MELALUI DESENTRALISASI OTORITAS (TELAAH DAS SOLLEN DAN DAS SEIN)

4

REFERENSI

Buku

Handoyo, Eko, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang.

Hikam, Muhammad. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.

Kaelola, Akbar. 2009. Kamus Istilah Politik Kontemporer. Yogyakarta: Cakrawala.

Semendawai, Abdul Haris, dkk, 2011. Memahami Whistleblower. Jakarta: Lembaga -----

Perlindungan Saksi dan Korban.

Peraturan-Peraturan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tentang Perlakuan

Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang --------

Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana.

Jurnal, Makalah, dan Artikel Ilmiah

Dermartoto. 2007. Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah. UNS: Jurnal Spirit Publik

Volume 3 Nomor 2.

Rinaldi, Taufik, dkk. 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi ----

(Studi Kasus Penanganan Korupsi di Daerah). Bank Dunia Indonesia: Makalah

“Justice for The Poor Project”.

Page 5: GURITA PRAKTEK KORUPSI DI DAERAH MELALUI DESENTRALISASI OTORITAS (TELAAH DAS SOLLEN DAN DAS SEIN)

5

LAMPIRAN BIODATA

a. Nama Penulis : Arie Hendrawan

b. Tempat & Tanggal Lahir : Kudus & 28 Agustus 1992

c. Nama Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Semarang

d. Nama Fakultas & Jurusan : Fakultas Ilmu Sosial & Politik dan Kewarganegaraan

e. Domisili : Ds. Jepang, RT05/RW10, Kec. Mejobo, Kab. Kudus

f. Alamat Email : [email protected]

g. Alamat FB : [email protected]

h. Telepon/Ponsel : 085740228837