gumuk sandhi
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KONSEP INTEGRASI DALAM NOVEL “GUMUK SANDHI”:
Telaah Stilistika Kognitif
A. Pendahuluan
Stilitiska, Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman ( 1993:3)
berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan
orientasi lingusitik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi
memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek
yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas
penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan
atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi
terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika
meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa.
Aminuddin menyebutnya stilistika adalah gaya bahasa dalam
karya sastra, gaya bahasa merupakan perwujudan penggunaan bahasa
oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan,
pendapat dan membuahkan efek bagi pembaca (Aminnudin, 1997:1).
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, ,
1990;113)
Stilistika dan teori lain yang relevan, mempunyai hubungan
korelasi maupun kausatif antara lain, stilistika dan analisis teks (wacana),
stilistika dan hermeneutika, stilistika dan semiotika, stilistika dan
postmodernisme..
Perkembangan stilistika mengarah pada pembahasan stilistka
yang tidak lagi hanya membicarakan teks sastra yang bermediakan
bahasa dari sudut linguistik secara luas, tetapi juga menyentuh hal di luar
konteks teks sastra yang ikut memberikan kontribusi dan pengaruh
terciptanya sebuah karya sastra. Stylistika Kontekstual atau Contextualist
stylistics fokus kajian pada pembahasan ini pada elemen kontektual karya
sastra berdasarkan konteks masyarakat, waktu, budaya, ideologi ketika
karya itu diciptakan oleh penulis. Stylistika evaluasi atau Evaluative
stylistics, fokus kajian adalah tentang menilai dan mejudgment seluruh
komponen fungsi estetik dan nilai –nilai estetik dalam sebuah karya
1
sastra, langkah kajian penemuan (disovery), naturalisasi dan
penghakiman (Richad Broadford). Juga Cognitive Stylistics atau stilistika
kognitif, yang akan dibahas pada makalah ini.
Stilistika kognitif adalah penggabungan dua disiplin ilmu yaitu ilmu
stilitiska yang membahas penggunaan gaya bahasa oleh seorang penulis
dalam teks sastra, dan kognitif yaitu sebuah cabang ilmu psikologi
perkembangan yang membahas tentang perkembangan kognitif.
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan
pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif
mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi,
mempelajari, menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi.
Pembahasan stilistika kognitif adalah pembahasan teks karya
sastra dari sisi penggunaan gaya bahasa secara sistematis dan setepat-
tepatnya, yang digunakan pengarang dihubungkan dengan kemampuan
seseorang dalam memproduksi dan meresepsi bahasa yang merupakan
media karya sastra (Semino, 2002:IX).
Kemampuan sesorang untuk memproduksi dan meresepsi bahasa
secara sistematis sejalan dengan pengalaman dan pengetahuan
pembaca dan penulis yang tersimpan dalam memori, isi otak adalah
memori.
Dalam makalah ini novel “Gumuk Sandhi” karya Poerwadhie
Atmodhihardjo akan dibahas dengan menggunakan pendekatan Stilitika
Kognitif.
Pemilihan Novel “Gumuk Sandhi” karya Poerwadhie
Atmodhihardjo dalam pembahasan ini, dengan alasan 1) sepengetahuan
penulis belum pernah ada yang membahas novel Jawa dengan
menggunakan pendekatan stilistika kognitif, 2) latar belakang kehidupan
Poerwadie Atmodiharjo sangat dekat dengan kehidupan penulis hidup
dan dibesarkan di kota yang sama, semua tempat yang menjadi setting
cerita itu dikenal betul oleh penulis, keadaan sosial ekonomi serta konflik
yang dijadi konsep novel ‘Gumuk Sandhi” ikut dilihat, dirasakan dan
dialami oleh penulis.
Dengan kedua alasan itu penulis berharap novel “Gumuk saandhi”
ini bisa dibahas dengan bantuan kemampuan kognitif penulis yang
2
tersimpan di alam pikiran penulis, sehingga bisa secara sistematis tersaji
dangan rinci dan terbaca dengan tepat.
Pembahasan akan mencoba mengacu pada bentuk bahasan
Craig Hamilton yang berjudul Coceptual integrated in chritine de Pizan’s
City of Ladies. Yang memadukan tiga konsep yaitu metapora, analogi dan
alegory. Dengan perbedaan apabila Craig Hamilton dengan
menggunakan metapora analogi dan alegory berdasarkan aspek historis
dan retoris, maka pembahasan “Gumuk Sandhi” dengan analogy
menggunakan konteks masyarakat, sosial ekonomi dan budaya sebagai
sebuah realisme karya sastra. Proses analogi adalah menyatakan sesatu
berdasarkan contoh.
Sebelum pembahasan dialkukan akan disajikan cerita ringkas dari
novel “Gumuk Sandhi” sebagai berikut.
B. Cerita ringkas novel “Gumuk Sandhi”
Diceritakan persahabatan yang tulus antara ketiga remaja, yaitu
Sudira, Marsini, dan Prawita. Persahabatan itu dibangun dengan pondasi
yang kokoh dengan keyakinan ingin bahwa, sebagai generasi muda yang
dapat berguna bagi sesama dalam kehidupan bermasyarakat.
Hampir semua kegiatan pemuda dan kemasyarakatan di
lingkungan Kec. Paron tidak perlu tidak melibatkan keikutsertaan ketiga
remaja itu. Bahkan ketiga remaja itu menjadi pelopor pembaharu di
segala bidang bagi masyarakat di situ. Dalam semua aktivitas dan
kegiatan ketiga remaja itu selalu bersama, dengan julukan SMP. Bila
tidak muncul salah satu terasa kurang.
Tetapi secara pribadi ketiga remaja itu mempunyai hubungan
yang tidak diketahui oleh masyarakat. Terlihat oleh masyarakat Marsini
selalu dekat dengan Prawita, karena kebersamaan itu masyarakat sudah
memastikan bahwa nantinya antara Prawita dan Marsini pasti akan
menikah. Tetapi sebenarnya rasa cinta justru terjalin dengan Sudira,
meskipun pertemuannya agak jarang.
Jalinan Cinta Sudira dan Marsini yang tersembunyi itu berakibat
terjadinya tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan. Hasil perbuatan itu
Marsini hamil, untuk menutupi tindakan yang akan mencoreng nama baik
itu, Sudira melakukan akal licik dengan meminta sahabatnya Sudira untuk
3
mengawini Marsini secara sah tetapi tidak boleh mencitai Marsini apalagi
berlaku layaknya suami istri. Alasan Sudira untuk tidak mengawini
Marsini, karena orang tua Sudira yang merupakan keturunan bangsawan,
tidak mengijinkan Sudira mengawini Marsini yang hanya keturunan
rakyat jelata. Sudira pada akhirnya diusir oleh orang tua, karena telah
dianggap mencemari nama baik keluarga dengan menghamili seorang
gadis anak rakyat biasa.
Prawita dengan niat tulus memenuhi janjinya untuk menikahi
Marsini dan menjaganya sampai anak Sudira berusia dua setengah
tahun, untuk Sudira. Dengan berbagai halangan dan rintangan serta
siksaan batin.
Ternyata janji Sudira untuk segera kembali setelah setengah
tahun dari kepergiannya untuk mencari pekerjaan tidak pernah ditepati.
Dan setelah sekian lama dicari dan ketemu Sudira justru mengatakan
dengan jujur tidak ingin menepati janji, tetapi tetap saja secara egois
mengharus Prawita untuk memberitahu dan menyerahkan anaknya
setelah besar nanti .
Dan Akhirnya marsini tetap menjadi istri Prawita, karena
sebenarnya selama kebersamaanya telah tumbuh benih-benih cinta
diantara mereka.
C. Pembahasan
Pembahasan akan mencoba mengacu pada bentuk bahasan
Craig Hamilton yang berjudul Coceptual integrated in chritine de Pizan’s
City of Ladies. Yang memadukan tiga konsep yaitu metapora, analogi dan
alegory. Dengan perbedaan apabila Craig Hamilton dengan
menggunakan metapora analogi dan alegory berdasarkan aspek historis
dan retoris, maka pembahasan “Gumuk Sandhi” dengan analogy
menggunakan konteks masyarakat, sosial ekonomi dan budaya sebagai
sebuah realisme karya sastra, serta memadukan dengan gaya bahasa
yang lain.
Proses analogi adalah menyatakan sesuatu berdasarkan contoh
yang telah dikuasai berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Alegori
adalah cerita singkat yang mengandung kiasan, makna kiasan ini harus
ditarik keluar dari dalam ke permukaan ceritanya.
4
1. Realisme dalam “Gumuk Sandhi”
Novel “Gumuk Sandhi” karya Poerwadhie Atmodhihardjo, adalah
salah satu novel Jawa yang sangat dikenal dikalangan pencinta
sastra Jawa. Poerwadhie Atmodhihardjo, adalah salah seorang
pengarang sastrawan Jawa yang sangat konsisten dalam memegang
teguh prinsip untuk tetep menyandarkan seluruh hidupnya untuk
sastra Jawa. Untuk itu beliau meninggalkan beberapa pekerjaan yang
sebenar lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Beliau
dilahirkan di Purwokerto, tetapi sejak kecil hingga dewasa beliau
hidup di Paron, Ngawi dan kemudian pindah ke Semarang sampai
akhir hayatnya.
Karena kehidupan beliau bersama keluarganya sehari-harinya
yang serba pas-pasan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
hampir semua karya berseting masyarakat menengah kebawah,
dengan ukuran waktu itu. Oleh karena itu karya-karya Poerwadhie
Atmodhihardjo, oleh para kritikus dan pakar sastra Jawa bersifat
realis. Realis bukan karena ideologi pribadi Mbah Poer juga Realisme,
tetapi murni karena karya itu menyajikan potret kehidupan masyarakat
(rendah dalam strata sosial ekonomi) yang termarjinalkan dengan
golongan masyarakat yang kuat.
Novel “Gumuk Sandhi” ditulis oleh Poerwadi Atmodhihardjo pada
tahun 1963, dan beredar di masyarakat sampai akhir tahun 1965.
setelah tahun 1965 tidak lagi ditemui di pasaran, ini tidak hanya
berlaku pada satu karya dari satu pengarang tetapi hampir berlaku
pada semua hasil karya sastra Jawa. Persoalan utama adalah daya
beli dan ketertarikan masyarakat Jawa terutama generasi muda
sangat rendah, sehingga penerbit enggan untuk menerbitkan hasil
karya sastra. Praktis semua hasil karya sastra Jawa hanya dapat
dijumpai pada majalah-majalah berbahasa Jawa.
Seiring waktu ada sebuah kesadaran akan pentingnya sastra jawa
sebagai bentuk karya seni budaya bangsa, yang mengandung nilai-
nilai budi pekerti luhur yang merupakan jati diri bangsa tahun 2011
banyak karya sastra Jawa yang waktu itu menjadi karya monemental
kembali terbitkan termasuk Novel “Gumuk Sandhi”.
5
Masyarakat pembaca sastra Jawa kembali disuguhi oleh karya-
karya yang sngat bermutu di jamannya, dan ternyata masih sangat
relevan untuk dinikmati sekarang. “Gumuk Sandhi” sebuah potret
kehidupan masyarakat Jawa dengan gejolak yang terjadi antar tahun
1960 – 1965. Gejolak itu semacam euporia terhadap sebuah
kebebasan, setelah sekian lama terbelenggu.
Kebebasan yang sangat luas hampir menyentuh seluruh lapisan
masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan ideologi.
Tokoh sentral dalam novel “Gumuk Sandhi” adalah Sudira, Marsini
dan Prawita. Ketiga tokoh itu mewakili strata sosial ekonomi dan
budaya masing-masing.
Tiga tokoh dalam “Gumuk Sandhi” adalah Raden Mas Sudira,
Marsini dan Prawita. Raden Mas Sudira dengan ada embel Raden
Mas menandakan dia mewakili kelompok bangsawan, karena di
masyarakat Jawa strata sosial yang ditentukan oleh faktor keturunan.
Sehingga ada bangsawan dan rakyat jelata, yang selamanya diyakini
tidak pernah akan sejajar. Meskipun euporia kebebasan telah terbuka
lebar, tidak lagi ada pemerintahan monarki. Seperti pernyataan
berikut.
“Dospundi , Den Mas.... pamine Wira Siman niku disawungaken?” pitakoneKatemun Es, kang nglegakake teka ning omahe Sudira. Sebutane Sudira isih panggah “Den Mas”, jalaran dhasare mula isih asal darah ningrat lan undang-undangan “Den Mas” naluri jaman sing wis kaprah. Bebrayan ngetut wuri, ora merduli marang lakune Revolusi. Wis kadhung mapan, dadi ewuh anggone ngowahi (Atmodhiiharjo, 2011:65).
Prawita tokoh yang mewakili strata yang lebih rendah karena dia
hanya anak seorang pensiunan pegawai rendahan, hanya bisa
disebut sebagai priyayi pinggiran, yang harus bergulat berbagai
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari
seorang istri dan ketiga anaknya
Gathuk karo Marsini ora digawani apa-apa dening bapak ibune. Mung pensiyunan juru taksir Pegadeyan lan isih nyangga wragad sekoalh adhine Prawita lanang lan wadon. Durwita ana ing SMA kelas telu adhine –Muntiwi- sekolah ngetik ing sawise lulus ing SMP. Dadi tumrap Pak Jayatanaya sanggane wis klebu abot, sanajan perkara beras bisa oleh kamurahan saka Koperasi Pensiyunan (Atmodhiiharjo, 2011:51).
6
Marsini mewakili tokoh strata yang lebih rendah lagi dibandingkan
dengan kedua tokoh di atas, dia anak seorang yang secara strata
ekonomi di atas rata-rata, tetapi pada level strata sosial termasuk
rakyat biasa, orang tua Marsini termasuk petani yang sangat kaya di
desanya. Hal ini terbukti dengan bentuk rumahnya yang besar dengan
bentuk limasan dan pendapa kuncungan. Rumah seperti itu hanya
dimiliki oleh orang yang sangat kaya untuk ukuran zaman itu.
Ing imbang kulon, sanajan ora kawistara ngegla, ing kana dununge omahe maratuwane, wong tuwane Marsini. Omah wangun limasan sing diwenehi pendhapa cakrik kuncungan, sing mengkoni sejarah dawa ula tekan sadurunge jaman slakingan ing taun likuran (Atmodhiiharjo, 2011:14).
Secara menyeluruh ditilik dari pembahasan di atas memberikan
kita sebuah gambaran riil dari sebuah peristiwa yang terjadi di
masyarakat Jawa yang masih tetap mempertahankan strata baik
dalam aspek sosial, ekonomi bahkan budaya. Sampai sekarangpun
diakui atau tidak masyarakat Jawa masih terus memegang teguh
tentang bibit, bebet dan bobot.
Realitas yang disuguhkan dalam “Gumuk Sandhi” bagi penulis
bukan lagi sebuah retorika, atau peristiwa imajiner tetapi tergambar
jelas dalam memori sebagai sebuah realitas yang sepanjang
pengetahuan dan pengalaman banyak terjadi di masyarakat Jawa.
Nama tokoh dalam “Gumuk Sandhi” memang fiktif, tetapi apa
yang dialami para tokoh fiktif dalam ‘Gumuk Sandhi” bisa ditemui
dalam dunia nyata oleh penulis, bahkan bila mungkin bisa disebut
namanya (seandainya tidak melanggar Hak Azazi Manusia).
2. Analogi dalam “Gumuk Sandhi”
Sepanjang sejarah peradaban Jawa, peritiwa yang dialami oleh
tokoh – tokoh dalam “Gumuk Sandhi” itu juga banyak dialami dan
melibatkan para bangsawan. Kita ambil contoh tokoh asal usul Raden
Patah, sebenarnya dia adalah putra dari Prabu Brawijaya V dengan
seorang putri bangsawan tetapi bukan putri seorang raja, kemudian
putri itu diberikan kepada orang kepercayaan Prabu Brawijaya yaitu
Arya Damar untuk diperistri, tetapi tidak boleh melakukan hubungan
layaknya suami istri, dan setelah dewasa anak itu harus diserahkan
7
kembali kepada Prabu Brawajaya sebagai pertanggungjawab
terhadap masa depan anaknya. Arya Damar dengan tulus ikhlas
menerima itu sebagai sebuah kehormatan yang akan terus dijaga,
meskipun dengan demikian ia harus merelakan hilangnya kehidupan
pribadinya.
Raja adalah penguasa tertinggi, dengan kekuasan yang absolut
sepertinya dibolehkan untuk melakukan apa saja. Termasuk ketika
menghendaki untuk bersenang-senang dengan wanita, siapapun
wanita itu harus tunduk. Demikian juga seandainya sudah
dikehendaki bisa saja ditinggalkan ataupun mungkin diberikan kepada
siapa begitu saja. Bahkan ketika semuanya dimulai dengan saling
cinta pun, peristiwa seperti itu sering terjadi, tanpa
mempertimbangkan penderitaan batin si wanita yang menjadi korban.
Demikian juga lelaki yang harus menerima wanita dengan suka
rela dengan berbagai alasan. Sehingga terbentuk sebuah anggapan
bahwa orang dengan strata dan kedudukan lebih tinggi boleh
bertindak sesuai kehendakanya terhadap mereka yang ada di
bawahnya, meskipun pada akhirnya nanti para bangsawan itu tetap
bertanggungjawab terhadap perbuatan. Bagi seorang lelaki biasa
diserahi tanggung jawab untuk melindungi wanita dari seorang lelaki
yang lebih tinggi statusnya merupakan kehormatan.
Di sisi lain, masyarakat Jawa juga mempunyai konsep yang
diyakini bahwa jika seorang wanita biasa yang dikehendaki/
disenangi/dicintai oleh seorang bangsawan, merupakan sarana
meningkatkan derajad apabila dia mempunyai keturunan dari
bangsawan tersebut. Bangsawan dalam hal ini tidak hanya raja, tetapi
seluruh kerabat dan petinggi kerajaan disebut bangsawan.
Marsini dan Sudira sebenarnya saling mencintai, dan secara
sadar dan berani telah berbuat melanggar norma, tetapi karena strata
sosial mereka berbeda, mereka tidak bisa bersatu. Sudira
meninggalkan Marsini dengan menyerahkan kepada Prawita, untuk
menutupi masalah yang sebenarnya dibuat olehnya. Sehingga
Marsini dan Prawita harus menanggung akibatnya.
Prawita sendiri dengan tulusnya mau menerima janji bahkan
dianggap sumpah yang dipegang teguh sekuat jiwa dan raganya.
8
Bagi Prawita memegang teguh janji dari seseorang yang dipercaya
merupakan kewajiban mulia. Meskipun Prawita sadar dengan
mengadakan perjanjian itu akan timbul berbagai penderitaan bagi dia
sendiri.
Sudira setelah meninggalkan Marsini, dia juga harus menanggung
semua penderitaan dengan sadar akibat perbuatan, keputusan untuk
tidak menikah selamanya, dan seluruh hasil kerja keras hanya untuk
masa depan anaknya dengan Marsini yaitu Lukita, sebagai bentuk
pertanggungjawabannya.
Jadi dapat dibuat sebuah analogi sebagai berikut raja disejajarkan
dengan para bangsawan.
a. Raja adalah penguasa mutlak
b. Rakyat dibawah kekuasaan raja
c. Rakyat wajib memenuhi titah raja
d. Raja bertanggungjawab terhadap rakyat.
3. Gaya Bahasa dalam “Gumuk Sandhi’
Gaya bahasa dalam “Gumuk Sandhi” sangat beragam.
Keberagaman gaya bahasa yang digunakan oleh penulis dipengaruhi
pengetahuan dan pengalaman penulis. Dengan latar belakang
seorang priyayi (bangsawan) dengan pendidikan yang cukup tinggi,
berpengalaman menjadi pegawai dalam berbagai bidang, bahkan
pernah pula menjadi tentara, kemampuan untuk menggunakan gaya
bahasa yang baik dan tepat sangatlah memungkinkan. Gaya bahasa
yang baik adalah 1) gaya bahasa yang memenuhi kaidah berbahasa
yang benar, 2) gaya bahasanya jelas dan singkat, dan 3) gaya
bahasanya menarik, variatif, penuh daya hidup, membangkitkan
imajinasi (Keraf, 1999;1150
Kalimat-kalimat yang terjalin menjadi paragraf-paragraf dan
rangkaian cerita dalam novel “Gumuk Sandhi” memenuhi standar
gramatika dalam tata bahasa Jawa (paramasastra), juga unggah –
ungguh basa dalam bahasa Jawa. Seperti contoh dialog antara
Prawita, Warsini dengan ayahnya,
“ Wah kok padha macak gajah pasang tlale ki areo dha plesir menyang ndi?” pitakone Pak Harja gedhe ati. Langka banget anake metu sakloron, luwih – luwih yen mung trima klenceran.
9
Mula banjur kena kanggo titikan, angger Prawita karo Marsini padha lelunga bebarengan, mesthi ana perlune sing wigati. Luwih – luwih ing wekti iku, awit sorene Prawita mentas nampa dhuwit selawean ewu kliwat anggone nggliyer babine.
“Badhe mborong – mborong, Pak! Bapak mundhut punapa>” panarine Prawita karo mesem.
“Nek ana... srutu gambar mesjid, nak. Sokur oleh klembak menyan!”
“Ah, kok kaya na Yogya, bapak ki”, aloke Marsini. Nek jaman Paron ki bangsane ngono – ngono ki gak ana, pak. Tiwas mundhut ditukokake, sing arep dituku gaka ana” (Atmidiharjo, 2011:31).
Kalimat penjelas pada dialog di atas sudah memenuhi standar
struktur kalimat bahasa Jawa. Ada jejer, wasesa, lesan dan
katrangan. Dilihat dari segi penutur, petutur dan tuturan, terdapat
kesesuaian maksud dan makna.
Variasi penggunaan bahasa sangat luar biasa, ini menunjukkan
kemampuan penulis sangat bagus. Beberapa gaya bahasa
digunakan dengan apik, dan dpat menimbulkan efek tertentu bagi
pembaca.
“Gumuk Sandhi” dimulai dengan catatan untuk “Mar” dengan
menggunakan gaya bahasa retoris yang sangat indah, untuk
mengajak “Mar” menyadari kenyataan yang sebenarnya dalam hidup,
hidup adalah sebuah misteri.
Mar, Gelaring urip iki satemene ora mung angger urip, mulane urip
iku banjur dadi perkara sing angel. Nyatane mula pancen akeh sing padha nganggep yen urip iki padhane mung sawijining lelucon sing kena digawe klawan sakepenake, kaya-kaya enteke mung tekan dina sesuk. Ananginng samangsa disemak sing temenan, panganggep sing kaya mangkono iku salugune mung kanggo nggorohi rasane batine dhewe sing ora kuwagang njajagi jero cetheking kedhung sing lagi dijeguri kanthi prabot raga pepak. Utawa mung kanggo mblithuk kukum, ketang anggone ora bisa ngetrepi ing dhasar – dhasare. Buktine sanajan ta sinambiya guguyanan ananging samangsa wis anjog ing pantoganing panandhang, lagi gelem tumenga ing akasa ngajab sih palirmaning Gusti. Ing kon adakane manungsa lagi damang, yen gelaring urip iki bebasanne ngrasang pucuking gumuk sandhi...” (Atmodhiharjo, 2011:11)
“ ...Estine penggayuh, nedya labuh, ora ketang kepaluh” gaya
bahasa retoris asonansi juga digunakan.
Variasi gaya bahasa kias yang digunakan pun sangat bervariatif,
dari personifikasi, “Rembulan moblong nggenuki ana ing langit resik”
10
kata sifat “moblong” sebenarnya digunakan untuk wajah seorang
gadis/wanita.
“..sing mengkoni sejarah dawa ula tekan sadurunge jaman
slangkingan ing taun likuran” gaya bahasa metafor digunakan dalam
kalimat ini.
Jalinan cerita dalam “Gumuk Sandhi’ merupakan gaya alegori
dengan perbandingan penuh antara peristiwa rekaan dalam novel
tersebut dengan perbandingan peristiwa yang benar-benar terjadi riil
dalam masyarakat jawa.
Hampir disemua jalinan kalimat yang disusun menggunaka gaya
bahasa yang indah penuh retoris dan kiasan. Seorang pembaca
dengan latar belakang pengalaman dan pengetahuan tentang gaya
bahasa akan sangat menikmati dan dengan mudah memahami
maksud penulis, karena dengan mudah dapat membangkitkan
memori dalam otaknya. Sehingga kemampuan untuk memresepsi
novel tersebut dapat digunakan untuk memproduksi ulang hasil
resepsinya untuk dinikmati sendiri sebagai bentuk rekreasi maupun
refleksi, atau mungkin untuk dikumonikasikan kembali baik secara
lisan maupun tertulis kepada pihak lain dengan sistematis, dan terinci.
D. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan ini adalah
stilistika sebagai sebuah disiplin ilmu yang selalu berkembang dapat
diintergrasikan dengan berbagai disiplin ilmu yang lain, seperti dengan
ilmu psikologi kognitif, menjadi stilistika kognitif.
Stilistika kognitif adalah sebuah pendekatan pada sebuah teks
sastra dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu stilistika
dan kognitif.
Pendekatan dalam stilistika diharapkan dapat memberikan hasil
pembahasan sebuah gaya bahasa dalam sebuah karya sastra dengan
memperhitungkan pengaruh kemampuan kognitif penulis dan pembaca
(yang dimungkinkan).
11
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1997. Stilitika Pengantar memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Atmodhiharjo, Poerwadhie. 2011. Gumuk Sandhi. Bandung: PT Kiblat Buku
Utama.
Keraf, Gorys. 1990. Diksi dan gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia
Semino, lena and Jonathan Culpeper. 2002. Cognitive Stylistics, Language and
cognition in text analysis. Amsterdam/Philadelphia: Jhon Benjamin
Publishing Company.
Widati, Sri dkk. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern, Periode Pra
Kemerdekaan. Yagyakarta:Gadjah Mada University Press.
Widati, Sri dkk. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern, Periode
Kemerdekaan. Yagyakarta:Gadjah Mada University Press.
12