gratifikasi seksual dalam tinjauan hukum pidana...
TRANSCRIPT
GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH :
AFIQ ZAKY LUBIS(1112045100018)
KONSENTRASI HUKUM KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ii
ABSTRAK
AFIQ ZAKY LUBIS. NIM 1112045100018. GRATIFIKASI SEKSUAL DALAMTINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM. Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program StudiJinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta, Tahun 1437 H/ 2016 M. vi + 110 halaman.
Pada penelitian skripsi ini masalah utamanya yaitu pandangan masyarakat yangmenganggap bahwa perbuatan gratifikasi seksual belum diatur dalam undang-undang danadanya ketidakjelasan terkait kedudukan hukum perbuatan gratifikasi seksual. Penulismelakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan hal-hal yang berkaitan dengangratifikasi seksual. Penulis melakukan penelitian dengan berbagai sumber buku-bukureferensi mengenai sanksi gratifikasi seksual baik di dalam Hukum Positif maupun di dalamHukum Islam. Fokus penulis dalam pembahasan ini sebatas Sanksi bagi pelaku GratifikasiSeksual dalam Undang-Undang dan Hukum Pidana Islam.
Metode yang dipergunakan adalah metode kualitatif, adapun jenis penelitiannya yaitupenelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian dilakukan dengan cara penulismengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yangberhubungan dengan tema. Setelah itu penulis menganalisis dari perbandingan hukum dalamperspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam dengan mencari status hukumantara keduanya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan gratifikasi seksual termasuk dalamtindak pidana korupsi, karena perbuatan tersebut terakomodir dalam peraturan perundang-undangan dan pelakunya bisa dijerat UU Tipikor sepanjang memenuhi unsur-unsurnya.Dalam hukum pidana Islam pun secara tegas melarang perbuatan gratifikasi seksual, karenatermasuk dalam jarimah syariah dengan cara jarimah zina.
Kata Kunci : Sanksi Pelaku Gratifikasi Seksual dalam UU Tipikor dan Perspektif HukumPidana Islam.
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d 2014
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBINGPENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSILEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………......... iABSTRAK ………………………………………………………………......... iiKATA PENGANTAR ……………………………………………...……....... iiiDAFTAR ISI ………………………………………………………………..... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 10C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 11D. Kerangka Teori ....................................................................................... 12E. Metode Penelitian ................................................................................... 20
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
GRATIFIKASI DAN SUAP
A. Pengertian Gratifikasi ............................................................................. 24B. Unsur-unsur Gratifikasi .......................................................................... 33C. Pengertian Suap ...................................................................................... 37D. Perbedaan Gratifikasi dan Suap .............................................................. 47E. Hukum Pemberian Hadiah Kepada Pejabat ........................................... 56
BAB III : GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Gratifikasi dalam Hukum Pidana Islam .................................................. 66B. Perbandingan Gratifikasi dengan Hadiah ............................................... 73C. Gratifikasi Seksual dalam Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam ..... 79D. Pelayanan Seksual Sebagai Bentuk Gratifikasi ...................................... 88
BAB IV : SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA GRATIFIKASI SEKSUAL
A. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Gratifikasi Seksual Menurut HukumPositif dan Hukum Islam ........................................................................ 97
vii
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 104B. Saran ...................................................................................................... 105
DAFTAR PUSAKA ......................................................................................... 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus mengenai korupsi seakan selalu menjadi perbincangan
hangat di setiap negara sehingga seperti bahwa korupsi merupakan budaya.
Pada dasarnya korupsi bukan budaya, ia membudaya akibat kebuntuan
birokratis pada struktur sosial, struktur ekonomi, ataupun struktur politik.1 Di
Indonesia sendiri korupsi menjadi kebiasaan sejak zaman lampau. Korupsi
menjadi tradisi dalam corak birokrasi patrimonial. Corak dan system seperti
ini tetap dipertahankan sebagai sebuah kewajaran. Untuk mewujudkan Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik yang telah diatur dalam pasal diktum (6)
UURI Nomor 28 Tahun 1999 yang berbunyi “Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan
dan norma hukum mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih yang
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” nampaknya masih harus melewati
jalan yang terjal.2
Pemberian mengenai gratifikasi yang mengarah kepada suap seakan
tiada habisnya, setiap satu permasalahan, khususnya mengenai gratifikasi, dan
umumnya mengenai korupsi muncul lagi masalah lainnya menyangkut
gratifikasi ataupun korupsi. Masyarakat Indonesia seakan sudah terbiasa
dengan fenomena korupsi, suap dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan sejenis
1 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara,Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik). (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 195.
2 Ermansjah Djaja, Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: SinarGrafika, 2010), hlm. 79.
2
lainnya serta cenderung menerimanya sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari realitas ke-Indonesia. Secara konstitusional, gratifikasi, suap dan korupsi
memang diakui sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), namun
dalam prekteknya, kasus korupsi dan suap yang terungkap cenderung
direduksi menjadi oknum, dan bukan persoalan system atau kultur.3
Sejak Negara Republik Indonesia berdiri, pada masa revolusi fisik
(1945-1950), korupsi sudah dilakukan orang. Lambat laun di pemerintahan
Indonesia, Perangkat Undang-Undang anti korupsi mulai diterapkan. Namun
upaya pemberantasannya tidak mudah dan banyak mengalami hambatan.
Kendati kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam beberapa
tahun terakhir ini semakin gencar melakukan pemantauan dan penangkapan
terhadap para pejabat yang melakukan tindakan korupsi, hasilnya dapat
dikatakan signifikan karena sudah banyak pejabat negara yang di vonis
penjara. Jaringan korupsi benar-benar telah terajut diseluruh sector
kehidupan, dari istana sampai pada tingkat kelurahan bahkan RT. Korupsi
telah menjangkiti birokrasi dari tingkat teratas hingga terbawah.4
Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
korupsi merupakan white collar crime (Kejahatan Kera Putih) dengan
perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala
sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime (kejahatan gaib) yang sangat
sulit memperoleh procedural pembuktiannya, karena seringkali memerlukan
3 Yonky Karman, Korupsi Manusia Indonesia, Opini Kompas, selasa, 10 April 2010.4 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta: Amzah,
2012), hlm. xvii
3
“pendekatan system” (systemic approach) terhadap pemberantasannya.5
Menurut Helbert Edelherz istilah white collar crime (kejahatan kera putih)
ialah suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat illegal yang
dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/ terselubung untuk
mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/
pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis/ keuntungan
pribadi.6
Pada jaman dahulu, praktik gratifikasi (suap) juga pernah dilakukan
oleh ratu Balqis (ratu negeri Saba’) kepada nabi Sulaiman, hal ini dapat
ditemui dalam al-Qur’an yang berbunyi :
دية فـناظرة مب يـرجع المرسلون وإين مرسلة إليهم Artinya: dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka
dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawakembali oleh utusan-utusan itu. (QS. An-Naml (27) : 35).
Ayat diatas sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Katsir dan dikutip oleh
Abu Abdul Halim, menampilkan salah satu upaya negosiasi yang dilakukan
oleh ratu Saba’ kepada nabi Sulaiman, hadiah itu digambarkan berupa bejana-
bejana indah dari emas. Ini merupakan salah satu potret nyata dari kasus
gratifikasi yang terindikasi kuat dalam kategori suap yang pernah ditempuh
oleh ratu Saba’ (yang diwakili oleh aparatnya) kepada nabi Sulaiman, dengan
asumsi, nabi Sulaiman bisa dipengaruhi dan dibeli serta membiarkan ratu
5 Indrianto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, Cet.Pertama, 2009), hlm. 87.
6 Ermansyah Djaja, korupsi bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2009).hlm. 8.
4
Saba’ dalam kemusyrikan dan kesesatan hidup. Namun, nabi Sulaiman
menolaknya dengan tegas.7
Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya
cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi, seperti adanya nilai
atau tradisi pemberian hadiah kepada penjabat pemerintah. Hadiah yang di
maksud dalam istilah hukum di Indonesia adalah gratifikasi, dimana hal ini
akan menjadi concern pembahasan ini. Selain adanya indikasi faktor budaya,
maraknya kasus gratifikasi dan suap yang terjadi di Indonesia jelas
menimbulkan tanda tanya yang sangat besar. Aturan hukum telah dibuat
dengan jelas dan dengan sanksi yang berat pula, instrument hukum juga telah
lengkap. Tapi mengapa pada ranah implementasinya tidak juga mendapatkan
hasil yang memuaskan. Hal ini dibuktikan dari banyaknya jumlah kasus
korupsi yang terjadi, bahkan semakin bertambahnya dari hari ke hari.
Di samping itu, penulis berpandangan bahwa selain faktor kultural
dan lemahnya implementasi hukum (kaitannya dengan jeratan hukum yang di
berikan bagi pelaku gratifikasi, suap dan korupsi), juga disebabkan oleh
kurangnya pemahaman masyarakat terhadapa arti dan juga batasan secara
literal dan juga larangan secara normatif dari al-Qur’an dan hadits (terhadap
preposisi hadiah/gratifikasi) mengenai suap, khususnya gratifikasi itu sendiri.
Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit
menghadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih menganggap
7 Abu Abdul Halim, S, Suap: Dampak dan Bahayanya, Tinjauan Syar’I dan Sosial,(Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 28.
5
bahwa memberi hadiah atau gratifikasi merupakan hal yang lumrah. Secara
sosiologi, hadiah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi berperan sangat
penting dalam merekat “kohesi sosial” dalam suatu masyarakat maupun antar
masyarakat bahkan antar bangsa.8
Gratifikasi menjadi unsur penting dalam system mekanisme
pertukaran hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan
pada penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat seperti, apa yang
dimaksud dengan gratifikasi, dan apakah gratifikasi sama dengan pemberian
hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat ataukah setiap gratifikasi
yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri merupakan
perbuatan yang berlawanan dengan hukum, lalu bagaimana saja bentuk
gratifikasi yang dilarang maupun yang diperbolehkan. Semua itu merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang sering dijumpai dalam setiap persoalan
menyangkut gratifikasi.9
Selanjutnya, selain persoalan-persoalan yang digambarkan diatas,
Islam datang dengan membawa pencerahan, mengajarkan berbagai kiat
merajut tali kasih sayang dan persatuan. Kiat menyuburkan kasih sayang
antara dua insan adalah saling memberi hadiah, hal ini tergambar dalam
hadits Nabi saw., “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah
dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang
8 Doni Muhardiansyah., Buku Saku : Memahami Gratifikasi, Cetakan pertama (Jakarta :Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010), hlm. 1.
9 Doni Muhardiansyah., Buku Saku : Memahami Gratifikasi, Cetakan pertama (Jakarta :Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010), hlm. 1.
6
wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya,
walau hanya berupa kaki kambing (kikil).” (HR, At-Turmudzi), dengan jelas
hadits ini menggambarkan fungsi hadiah dalam syariat Islam. Anjuran saling
memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis
segala bentuk jurang pemisah antara pemberi dan penerima hadiah.
Teknik dan strategi korupsi sangat beragam. Baru-baru ini yang
sedang menjadi perbincangan hangat adalah tindak pidana korupsi dalam
bentuk pelayanan seksual yang selanjutnya muncul istilah “gratifikasi seks”.
Pada dasarnya kasus mengenai gratifikasi dalam bentuk pelayanan seks sudah
mencuat sejak lama dan menjadi rahasia umum. Tindak pidana ini meski
tidak secara jelas termaktup dalam UU PTPK (Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) namun secara tersirat sudah
terakomodir pada Pasal 12B UU PTPK yang tertuang pada penjelasannya
gratifikasi dalam arti luas terdapat pada redaksi “fasilitas lainnya”.10
Sebagai contoh kasus yang lama ini sehingga muncul istilah
“gratifikasi seks” yang di anggap sebagai bagian dari rangkaian tindak pidana
korupsi adalah dugaan yang menjerat Ahmad Fathonah selaku orang terdekat
presiden PKS Luthfi Hasan Ishak, pada saat dilaksanakannya Operasi
Tangkap Tangan oleh KPK tertangkap basa tengah berduaan di dalam kamar
hotel Le Maridien dengan mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di
Jakarta bernama Mariana Suciono (19) dan ditemukan uang sebagai imbalan
sebesar Rp. 10.000.000,-. Dalam kasus demikian ini masih sulit
10 Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU PTPK
7
diidentifikasikan karena masih lemahnya undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi mengenai gratifikasi seks. Kasus serupa juga diduga
menyandung hakim Styabudi Tejochayono, hal itu terungkap setelah adanya
pemeriksaan terhadap pengusaha Toto Hutagalung selaku pemberi suap. Toto
menuturkan bahwa hakim Styabudi meminta jatah wanita setiap hari kamis
atau jum’at.11
Landasan hukum tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi
diatur dalam UU 31/1999 jo UU20/2001, pasal 12 dimana ancamannya
adalah dipidanan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit 200 juta
rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 12 B ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001;
Pasal 12 B ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001.
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tuganya
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi.
11 https://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/17/063473942/hakim-setyabudi-diduga-menerima-gratifikasi-seks, diakses pada 30 april 2016
8
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).12
Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri
atau penyelenggaraan negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama
tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan wajib dilaporkan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.13
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
PTPK) di Indonesia pada pasal 12B dijelaskan mengenai pengertian
gratifikasi bahwa segala pemberian pejabat atau penyelenggara negera
12 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana di Indonesia, cet.ke-1, (Bandung: CVMandar Maju, 2010), hlm. 183.
13 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, cet.ke-1, (Jakarta:Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010), hlm. 3.
9
merupakan tindak pidana gratifikasi14, kecuali bila pejabat atau
penyelenggara negara tersebut melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK dalam kurun waktu tertentu.15 Dalam pasal tersebut juga
terdapat penjelasan, bahwa dalam arti luas “gratifikasi” tidak hanya
mencakup pada nominal, melainkan lebih dari itu seperti rabat, diskon,
perjalanan wisata, tiket, dan fasilitas-fasilitas lain yang melawan dari tugas
dan kewajibannya sebagai penjabat atau penyelenggara negara.16
Dalam Islam, gratifikasi (risywah) merupakan tindakan yang keji dan
para pelakunya telah dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya serta mendapat
tempat di neraka kelak.17 M. Nurul Irfan menyatakan adanya kemungkinan
penerapan konsep hukum pidana Islam dalam menanggulangi kasus tindak
pidana di Indonesia.18 Beliau juga menyebutkan, sekurang-kurangnnya ada
enam istilah sebagai dari tindak pidana korupsi: ghulul (penggelapan),
risywah (penyuapan), ghasap (mengambil paksa hak/harta orang lain),
khianat, sariqah (pencurian) dan hirabah (perampokan).19
Berdasarkan hal-hal diatas, permasalahan tindak pidana korupsi yang
seiring berkembangnya perbuatan yang belum secara jelas terperinci dalam
Perundang-undangan, karna kondisi saat ini masyarakat menganggap bahwa
gratifikasi seks itu tidak sepenuhnya di dalam Undang-undang. Kalaupun
14 Pasal 12B UU. No. 20 Tahun 200115 Pasal 12C (1) UU. No. 20 Tahun 200116 Penjelasan Pasal 12B UU. No. 20 Tahun 200117 Abu Abdul Halim Ahmad, Suap, Dampak dan Bahayanya “Tinjauan Syar’I dan
Sosial”, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1996), hlm. 46-47.18 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 145-
146.19 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 78.
10
gratifikasi seks ini secara umum diakomodir dalam pasal 12B UU No.
31/1999 Jo. UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan arti “pemberian hadiah berupa uang atau jasa atau fasilitas
lainnya”, maka tuduhan-tuduhan yang mengarah kepada pelayanan seks
seperti Antasari Azhar, dan Luthfi Hasan Ishaq seharusnya diadili, bukan
hanya suap berupa uang saja yang diadili. Dengan kondisi yang masih absur
ini penulis merasa kesal terhadap penegak hukum yang masih kurang berani
mengambil keputusan, maka penulis beranjak mengkaji tindak pidana korupsi
yang berkaitan dengan suap dengan cara memberikan hadiah berupa jasa
pelayanan seksual, dengan judul “GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan masalah
1. Pembatasan masalah
Pembahasan tindak pidana korupsi dalam ranah hukum memiliki
dimensi yang sangat luar, oleh karenanya pembatasan dalam mengkaji
gratifikasi sangat lah penting. Berdasarkan hal itu permasalahan yang
akan dibahas dibatasi pada pengkajian mengenai bagaimanakah
kedudukan hukum perbuatan gratifkasi seksual dalam konteks hukum
pidana islam.
2. Perumusan Masalah
Pokok masalah dalam hal gratifiksi seksual ini salah satunya
adalah karena banyaknya masyarakat bahkan pejabat yang masih tidak
paham dengan pengertian gratifikasi. Karena memang di dalam
11
pengertian gratifikasi itu sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan gratifikasi seksual. Maka dari itu penulis mempunyai beberapa
rumusan masalah dalam penelitian ini.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Apakah perbuatan gratifikasi seks termasuk ke dalam Tindak
Pidana Korupsi?
b. Bagaimanakah sanksi bagi pelaku perbuatan Gratifikasi Seksual?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk menjelaskan aturan dan hukum perbuatan gratifikasi seksual.
b. Untuk menjelaskan sanksi Perbuatan Gratifikasi Seksual dalam
pandangan Hukum Pidana Islam.
2. Manfaat Peneliti
Secara teori, manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini
adalah memberikan pemahaman secara eksplisit tentang perbuatan
korupsi dengan cara menerima hadiah berupa jasa seksual dan juga
memberikan penjelasan mendalam status kedudukan hukum pidana islam
mengenai hadiah berupa jasa seksual bagi masyarakat maupun
pemerintah.
12
Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan kontribusi bagi
pemerintah dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi yang berkaitan
dengan perbuatan penerimaan hadiah berupa jasa pelayanan seksual.
D. Kerangka Teori
Dalam rangka penyajian penulisan yang lebih sistematis, terarah, dan
lebih komprehensif, tentunya harus dilandasi pada teori-teori yang ada
sebagai bahan pijakan atau menjelaskan berbagai fenomena yang ada,
berkaitan dengan gratifikasi.
Islam merupakan agama yang mengakomodir berbagai kebutuhan
manusia serta tidak memberikan kesutilan bagi semua pengikutnya dalam
menerapkan hukum-hukumnya. Dengakn kata lain, Islam menghendaki
terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia dengan tak terkecuali, yang
membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan perlakuan terhadap
orang-orang diluar Islam.
Ayat-ayat hukum, tidak semuanya memberikan penjelasan yang
mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengen
kehendak Allah. Karena itu, nabi memberikan penjelasan mengenai maksud
setiap ayat hukum kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum
dalam bentuk petunjuk praktis menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara
13
praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan
pengakannya yang kemudian disebut sunnah Nabi.20
Kaitannya dengan identifikasi tarhadapa gratifikasi yang masuk ke
dalam ketegori korupsi, maka penulis bersandar pada nash-nash utama yaitu
al-Qur’an dan hadits. Sedangkan untuk memahami terhadap ayat-ayat al-
Qur’an dan hadits diperlukan pemahaman yang cukup terhadap teori
berkenaan dengan tema yang diangkat.
Dalam hukum Islam dikenal istilah fiqh jinayah. Secara definitif, fiqh
berarti ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat
furu’iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal.
Sedangkan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan
dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir.21 Disamping itu makna kata
jinayah juga disamakan dengan kata jarimah, dimana perngertian jarimah
ialah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had
atau ta’zir.22
Adapun menenukan apakah suatu perbuatan itu masuk dalam kategori
jinayah atau tidak, maka dia harus memenuhi 3 (tiga) unsur berikut ini:
1. Al-rukn al-syar’i yaitu adanya nash yang melarang perbuatan-
perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-
20 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. Ke-5, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 7.21 Prof. Drs. H. A. Jazuli, Fikih Jinayah. Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
edisi. II, cet. ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), hlm. 2.
22 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang,1986), hlm. 6.
14
perbuatan yang dilakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur
materiil”.
2. Al-rukn al-madi, yaitu adanya perbuatan yang membentuk jinayah,
baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan
perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur
formil”.
3. Al-rukn al-adabi, yaitu pelaku kejahatan adalah orang yang dapat
menerima khithab atau memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi
adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang
mereka lakukan. Unsur ini dikenal juga dengan istilah “unsur moril”.23
Unsur diatas merupakan obyek utama kajian fiqh jinayah bila
dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana atau arkan al-jarimah. Namun,
bila dikaitkan dengan materi pembahasan fiqh jinayah, maka hal ini erat
kaitannya dengan unsur materil atau al-rukn al-madi.
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jarimah apabila secara
umum perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur tadi. Tanpa ketiga unsur
tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan
jarimah. Oleh sebab itu, untuk menemukan dimana posisi gratifikasi dalam
hukum pidana Islam, maka akan dilakukan pembedahan terhadap unsur-unsur
yang ada dalam al-rukn al-jinayah.
Oleh karenanya, bila gratifikasi dikaitkan dengan meteri pembahasan
fiqh jinayah, maka hal ini berkaitan erat dengan unsur materil atau al-rukn al-
23 Muhammad Abu Zahra, al-Jarimah wa al-Uqubah fi Fiqh al-Islami. (al-Qahirah: Daral-arabi, 1998), hlm. 132.
15
madi, dimana kajian utama fiqh jinayah dalam hal jenis pidana dan
pemidanaan meliputi tiga masalah pokok yaitu jarimah qishas, jarimah
hudud, jarimah ta’zir. Jarimah qishas meliputi penganiayaan dan
pembunuhan. Jarimah hudud meliputi zina, menuduh zina, meminum khamr,
mencuri, merampok, murtad, dan pemberontakan.
Adapun jarimah ta’zir adalah semua jenis tindak pidana atau
kejahatan yang tidak secara tegas diatur dan ditentukan oleh nash-nash baik
dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi saw. Jarimah ta’zir merupakan aturan
teknis, jenis dan pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa atau hakim
setempat. Jenis jarimah ta’zir, macam dan bentuknya sangat banyak dan tidak
terbatas sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh manusia.
Selain kajian fiqh jinayah, disini juga akan ditampilkan hukum pidana
positif sebagai bahan perbandingan untuk menganilisis tema penelitian yang
penyusun lakukan.
Hukum pidana positif, memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda
dengan hukum pidana lainnya. Hukum pidana keseluruhan dari pertauran-
peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk
kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap pelakunya.24
Istilah kata korupsi berasal dari satu kata bahasa lain, yakni corupptio
atau corruptus yang disalin dalam bahasa inggris menjadi corruption atau
corrupt, dalam bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda
24 H. Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum (Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2006), hlm. 3.
16
disalin menjadi corruptie (korupptie). Asumsi kuat menyatakan bahwa dari
bahasa Belanda inilah kata yang itu turun kebahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak
jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang menghina atau memfitnah.25 Sedangkan berdasarkan UU
No. 31 Tahun 1999, dalam pasal 2 ayat (1) definisi korupsi ialah setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara.26
Sementara gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma,
dan fasilitas lainnya. Gratifkasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik.
M. Nurul Irfan menegaskan bahwa dalam hukum pidana Islam
sekurang-kurangnya terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang
mendekati terminology korupsi pada zaman sekaran. Yaitu: ghulul
(penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/harta
25 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 33.26 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
17
orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), al-maks
(pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-ihtihab (perampasan).27
Perbuatan suap-menyuap dan gratifikasi (risywah) merupakan
perbuatan yang keji dan pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.28
Apalagi objek perbuatan tersebut berupa pelayan seksual, Islam dengan
sangat tegas melarangnya, karena setiap hubungan kelamin diluar nikah
termasuk perbuatan zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah
kawin maupun belum kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak.29
Sedangkan menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-
dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan
dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada meraka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
27 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, hlm 78.28 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatum Nafs, hlm. 11.29 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm 3
18
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.30
Selanjutnya Moeljatno menjelaskan dari perngertian hukum pidana
tersebut diatas maka yang disebut dalam poin pertama adalah mengenal
“perbuatan pidana” (criminal act). Sedangkan yang disebut dalam poin kedua
adalah mengenai “pertanggungjawaban hukum pidana” (criminal liability
atau criminal responsibility). Dalam mana poin pertama dan kedua
merupakan “hukum pidana materil” (substantive criminal law), oleh karena
mengenai isi hukum pidana sendiri. Sedangkan yang disebut dalam poin
ketiga adalah mengenai bagaimana caranya atau prosedurnya untuk
menuntuk ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan
perbuatan pidana, oleh karena itu hukum acara pidana (criminal procedure).
Lazimnya yang disebut dengan hukum pidana saja adalah hukum pidana
materil.
Selanjutnya pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan
dalam keputusan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana.
30 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2002), hlm. 1.
19
Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana
atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah:
1. Strafbaar Feit adalah peristiwa pidana.
2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang
digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman.
3. Criminal Acr diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Keriminal.31
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau
perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut
delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
(pidana).
Sedangkan menurut Andi Hamzah memberikan definisi mengenai
delik, yaitu “suatu perbuatan atau tindak pidana yang terlarang dan diancam
dengan hukum oleh undang-undang (pidana)”.32 Lanjut Moeljatno
sebagaimana dikutip oleh Chawazi Adami mengartikan Strafbaarfeit sebagai
“suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan”.33
Di dalam ketentuan umum hukum pidana, terdapat obyek utama
dalam pembahasannya, yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materil merupakan kumpulan aturan hukum yang menentukan
pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat pelanggar pidana untuk
31 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Pidana dan PertanggungjawabanPidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2012), hlm. 18-19.
32 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 72.33 Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1: Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 72.
20
kemudian dapat dihukum, serta menunjukan orang yang dapat dihukum dan
dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. Sementara hukum
pidana formil merupakan kumpulan aturan hukum yang mengatur cara
mempertahankan hukum pidana materil terhadapa pelanggaran yang
dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara
bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh
keputusan hakim serta cara mengatur pelaksanaan hakim.34
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang
berhubungan dengan permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang
disebut metodelogi penelitian, yang dimaksud dengan metode penelitian
adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sesama untuk
mencapai suatu tujuan.35 Metode adalah pedoman cara seseorang yang
mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi.36 Sedangkan
penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematika,
metedote ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh suatu yang baru atau asli
dalam usaha memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul
34 Laden Marpaung, Asas-Asas Teori, Praktik Hukum Pidana (Jakarta : Sinar Grafika,2005), hlm. 2.
35 Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Pustaka,1997), hlm. 1.
36 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas IndonesiaPress, 1986), hlm. 6.
21
dimasyarakat.37 Dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan satu jenis
penelitian, yaitu penelitian pustaka.
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Bodgan dan
Taylor (1975 : 5) mendefinisikan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati.38 Karakter khusus penelitian kualitatif
berupaya mengungkap keunikan individu, kelompok, masyarakat atau
organisasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari segi tujuan
dalam penelitian ini termasuk dalam metode penelitian yang bersifat
deskriptif yaitu metode yang dapet diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang sedikit dengan menggambarkan/melukiskan keadaan
subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada
saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana
adanya.39
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan satu jenis
sumber data, yaitu data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui
studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang
37 Sukandarrumidi, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,2004), hlm. 111.
38 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008),hlm. 21.
39 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gadjah MadaUniversity Press, 2007), hlm. 67.
22
bersumber dari buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, tulisan tulisan dari
internet, dan lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana gratifikasi seksual.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik menganalisis data, penulis menggunakan
metode analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka.
4. Teknik Penulisan
Dalam hal ini teknis penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
5. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini lebih sistematik dan lebih terarah. Maka penulis
akan menjelaskan sistematika penulisian dalam skripsi ini. Pada dasarnya
skripsi ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan, yaitu.
BAB I Pendahuluan, pada pembahasan skripsi ini terdapat latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
peneliti, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
23
BAB II menjelaskan pengertian gratifikasi, unsur-unsur gratifikasi,
pengertian suap, perbedaan dan persamaan gratifikasi dengan suap serta
hukum pemberian hadiah kepada pejabat.
BAB III berisi tentang pengertian gratifikasi seksual, perbandingan
antara gratifikasi dan hadiah serta pelayanan seksual sebagai bentuk
gratifikasi dalam pandangan Hukum Islam.
BAB IV menjelaskan tentang bagaimana sanksi bagi pelaku
gratifikasi seksual dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.
BAB V merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam
penulisan skrispsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
24
BAB II
TINJUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DAN
SUAP
Dalam bab ini akan dibahas tentang ketentuan umum gratifikasi dan suap
dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak
Pidana Korupsi dalam bentuk Gratifikasi dan UU No. 11 Tahun 1980 Tentang
Tindak Pidana Suap beserta Persamaan dan Perbedaanya.
A. Pengertian Gratifikasi
Dalam praktik sehari-hari tidak jarang dijumpai pegawai negeri/pejabat/
penyelenggara negara pelayan bangsa yang menerima hadiah dari pelayanan
yang mereka berikan. Terkadang pelayanan baru diberikan bila ada uang pelicin
atau uang jasa. Hampir mustahil pelayanan publik akan lancar jika tidak
menyerahkan uang pelicin.
Menyikapi hal itu, Plato (427 SM - 374 SM) sudah mempunyai gagasan
“para Pelayan Bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima
hadiah”. Ada benarnya gagasan Plato itu, tidak sepantasnya pegawai negeri atau
pejabat negara menerma hadiah dari pelayanan yang mereka berikan. Supaya
pelayanan terhadap masyarakat menjadi lebih baik dan bebas korupsi.1
Dalam istilah hukum, pemberian hadiah kepada pejabat atau
penyelenggara negara dikenal dengan “Gratifikasi”, istilah Gratifikasi berasal
dari bahasa Belanda “Gratificatie” yang diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi
“Gratification” yang artinya “pemberian sesuatu/hadiah”.
1 Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi (Jakarta : Veteran III, tt), hal. 21.
25
Pengertian gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun
2001 yaitu: “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik”. Pengecualian pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C
ayat (1) : “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.2
Peraturan yang mengatur gratifikasi Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999
jo UU No. 20/2001, berbunyi “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Pasal 12C ayat (1)
UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi “Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada KPK”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai
uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.3 Gratifikasi yang
disebutkan dalam Pasal 12B dan 12C Undang-Undang No.20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam arti luas, bukan
2 http://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi/mengenai-gratifikasi3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2003), ed. ke-3, cet. ke-3, hlm. 371.
26
hanya berbentuk uang, melainkan meliputi pemberian barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.4
Black’s Law Dictionary memberikan definisi gratifikasi atau
gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a
service or benefit” yang dapat diartikan sebagai “sebuah pemberian yang
diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.5
Dalam kamus hukum gratifikasi diartikan sebagai pemberian upah, gaji,
hadiah dengan maksud mendapatkan keuntungan dibidang lain atau hadiah
sebagai tanda balas jasa.6
Gratifikasi sebagai sebuah bentuk perbuatan hukum yang mengatur dan
terkait dengan penyelenggaraan negara diatur dalam UU No.20 Tahun 2001,
dalam pasal 12 B setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian Suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan ketentuan sebagai
berikut:7
1. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
4 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 9.
5 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-1 (Bandung : Citra AdityaBakti, 2003), hlm. 109.
6 B.N Marbun, Kamus Hukum Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2006), hlm. 87.
7Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
27
2. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.8
Pengertian gratifikasi terdapat pada penjelesan Pasal 12 B ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 bahwa; yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian
dalam arti luas yakni meliputi:
Pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Apabila dicermati penjelasan Pasal 12 B Ayat (1) di atas kalimat yang
termasuk definisi gratifikasi adalah: pemberian dalam arti luas, sedangkan
kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal
12 B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna
netral, artinya tidak dapat makna yang tercela atau negatif dari arti kata
gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan Pasal 12 B dapat
dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12 B
saja.9
8 Ermanjansah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, hlm. 183.9 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratidikasi, hlm. 3.
28
Berdasarkan hal tersebut maka terlihat bahwa ada dua istilah dalam UU
Tindak Pidana Korupsi terkait pemberian hadiah kepada penjabat atau
penyelenggara negara yaitu gratifikasi dan suap.
Jika dilihat dari rumusan di atas maka dapat dikatakan bahwa suatu
gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu perbuatan pidana suap
khususnya pada seseorang penyelenggara negara atau pegawai negeri adalah
pada saat penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut melakukan
tindakan menerima gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun
sepanjang pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya ataupun
perkerjaannya.10
Perlu dipahami bahwa gratifikasi terdiri dari dua jenis, yakni gratifikasi
illegal (terlarang) dan gratifikasi legal (tidak terlarang). Yang dimaksud
gratifikasi illegal sebagaimana terdapat dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20
Tahun 2001 yaitu gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalana, fasitilas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.11 Sedangkan gratifikasi yang legal adalah gratifikasi
yang tidak dimaksud dalam penjelasan undang-undang tersebut. Gratifikasi legal
dilakukan untuk menjalankan hubungan baik, menghormati martabat seseorang,
10 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bandung : PT. Citra AdityaBakti, 2002) hlm. 29.
11 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi,hlm. 3.
29
memenuhi tuntutan agama, dan mengembangkan berbagai bentuk perilaku
simbolis (diberikan karena alasan yang dibenarkan secara sosial).12
Untuk memahami apakah gratifikasi yang diterima termasuk suatu
pemberian hadiah yang illegal atau legal, maka ilustrasi berikut dapat
membantu memperjelas. Jika seorang ibu penjual makanan di sebuah warung
memberi makanan kepada anaknya yang datang ke warung, maka itu merupakan
pemberian keibuan. Pembayaran dari si anak bukan suatu yang diharapkan oleh
si ibu. Balasan yang diharapakan lebih berupa cinta kasih anak, dan berbagai
macam balasan lainnya yang mungkin diberikan. Kemudian datang seorang
pelanggan, si ibu memberi makanan kepada pelanggan tersebut lalu menerima
pembayaran sebagai balasannya. Keduanya tidak termasuk gratifikasi illegal.
Pada saat lain, datang seorang inspektur kesehatan dan si ibu memberi makanan
kepada si inspektur serta menolak menerima pembayaran. Tindakan si ibu
menolak menerima pembayaran dan si inspektur menerima makanan ini adalah
gratifikasi illegal karena pemberian makanan tersebut memiliki harapan bahwa
inspektur itu akan menggunakan jabatannya untuk melindungi kepentingannya.
Andaikan inspektur kesehatan tersebut tidak memiliki kewenangan dan jabatan
lagi, akankah si ibu penjual memberikan makanan tersebut secara cuma-cuma?13
Banyak sebutan untuk pemberian sesutau kepada petugas atau pegawai di
luar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Dalam syariat
Islam sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu
gaji, bonus, hadiah, dan uang suap. Gaji ialah upah kerja yang dibayar dalam
12 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi hlm. 14.13 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi hlm. 12.
30
waktu yang tetap atau balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang
berdasarkan waktu tertentu,14 sementara bonus pengertiannya tidak jauh beda
dengan hadiah yaitu upah tambahan di luar gaji atau upah sebagai hadiah.15
Mengenai sumber penghasilan hakim yang disebut terakhir, al-San’ani
mengatakan bahwa gaji sebagai sumber penghasilan hakim. Jika seorang hakim
telah memiliki jirayah (jatah rutin) dari baitul mal (kas negara) yang diberikan
kepadanya maka ulama sepakat menyatakan bahwa gaji di luar itu hukumnya
haram sebab ia telah mendapatkan jatah rutin karena pekerjaannya dalam bidang
hukum sehingga dinilai tidak patut untuk diberi upah. Lain halnya bila hakim
tersebut belum mendapat jatah pekerjaannya bukan karena jabatannya sebagai
hakim. Jika ia mengambil bagian lebih dari yang semestinya maka hukumnya
haram sebab ia digaji semata-mata karena pekerjaannya bukan karena
jabatannya sebagai hakim. 16
Oleh sebab itu, jika ia masih menuntut lebih dari yang semestinya berarti
ia menuntut sesuatu berdasarkan status dan jabatannya sebagai hakim, padahal
ulama telah sepakat berpendapat bahwa harta rakyat tidak boleh diambil untuk
menggaji hakim karena jabatannya, ia digaji karena pekerjaannya, tambahan atas
gaji yang telah ditentukan hukumnya haram. Maka dari itu, ada sebuah pendapat
yang menyatakan bahwa mengangkat seseorang kaya untuk menduduki jabatan
hakim jauh lebih baik daripada mengangkat seseorang miskin untuk menduduki
14 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2008), hlm. 406.
15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2008), hlm. 207.
16 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-2
31
jabatan hakim sebab dengan status dan kondisi ekonominya yang tergolong
miskin akan berpotensi menimbulkan niat atau semangat untuk mendapat
fasilitas yang pada dasarnya tidak boleh untuk dimiliki, lebih-lebih jika hakim
miskin tersebut tidak mendapat jatah rutin dari baitul mal. Penulis Subul al-
Salam berkata: “pada saat ini kami tidak bisa menemukan seseorang yang
mencari kedudukan jabatan sebagai hakim kecali secara jelas tampak bahwa
orang tersebut hanya berambisi kepada sesuatu yang menggugah seleranya,
padahal ia pun mengerti bahwa tidak akan memperoleh apa-apa dari baitul
mal”.17
Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah
pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik
dalam bentuk barang bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang
bersifat negatif dan dapat mengarah kepada potensi perbuatan korupsi di
kemudian hari, potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan
Perundang-undangan. Oleh karena itu, beberapa nilai gratifikasi yang diterima
seseorang penyelenggara negara bila pemberian itu patut diduga dengan jabatan
dan kewanangan yang dimiliki. Maka sebaiknya penyelenggara negara atau
pegawai negeri tersebut segera melaporkan ke KPK untuk dianalisis lebih lanjut.
Jadi dapat diambil intisari tidak benar bila Pasal 12 B dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah
melarang praktik gratifikasi dan pemberian hadiah di Indonesia, sesungguhnya
praktik gratifikasi atau pemberian hadiah dikalangan masyarakat tidak dilarang
17 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-2, hlm. 98.
32
tapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi
pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menerima gratifikasi yang
dianggap suap.18
Setelah memahami definisi gratifikasi di atas maka dapat dilihat dan
dianalisis beberapa contoh kasus gratifikasi di antaranya ialah kasus yang terjadi
pada kepala kantor Bea Cukai tipe A Juanda Argandiono yang ditetapkan
sebagai tersangka kasus gratifikasi pada Juni beberapa tahun lalu, dia diduga
menerima uang dari setiap barang yang dikirim melalui bandara Juanda dengan
total mencapai Rp. 11,7 milyar. Kepala Bea Cukai tersebut telah menerima uang
dari Hokky (direktur PT. Corona Mas), Ng. Hirawan Wijaya (Pengusaha Alat
Transportasi). Barhat Madhu Lachmandas (Pengusaha Export dan Import),
Sindowinata Koeswandi, Ridwan T. Willy Tanko, Inggit Halim Kusuma,
Indahwati, Lindiawati, Tingkir dan Wahadi Rezeki. Selain tidak dapat
menunjukkan bukti perihal sumber penerima uang, Argandiono juga tidak dapat
menunjukkan bukti penggunaan dari uang yang ditampungnya di dua
rekeningnya sehingga uang itu diduga diberikan karena kekuasaan dan
kewenangan dalam jabatan.19
Maka dalam kasus ini dapat dianalisis bahwa bea cukai tersebut telah
menerima hadiah atau uang yang terkait dengan jabatan, kewenangan dan
kekuasaannya, sehingga dalam kasus ini bisa dikatakan gratifikasi dan gratifikasi
tersebut mengarah pada perbuatan suap.
18 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bandung : PT. Citra AdityaBakti, 2002) hlm. 32.
19 “Kasus Gratifikasi”, artikel diakses Pada Tanggal 4 Juni 2016 darihttp://www.antikorupsi.org/id/content/dugaan-pemerasan-eks-pejabat-bea-cukai-jadi-tersangka
33
B. Unsur-unsur Gratifikasi
Rumusan korupsi pada Pasal 12B UU No. 20/2001 adalah rumusan
tindak pidana korupsi baru pada UU No. 20/2001 di mana pada peraturan
perundangan sebelumnya tidak diatur secara khusus. Bagaimanakah
menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini,
harus memenuhi unsur-unsur sbb.:
1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
2. Menerima Gratifikasi;
3. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya;
4. Penerimaan Gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.20
Penulis akan mengemukakan lebih lanjut unsur-unsur gratifikasi di atas.
a. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Dalam tindak pidana korupsi untuk definisi tentang Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara memiliki pengertian yang sangat luas
tidak hanya memiliki definisi dalam UU Pokok-pokok Kepegawaian saja.
Dituangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20
Tahun 2001:
Dalam ketentuan yang dimaksud Pegawai Negeri adalah meliputi :
1. Pegawai Negeri sebagaimana di maksud dalam undang-undang
tentang kepegawaian;
20 KPK, Buku Saku : Memahami untuk Membasmi, 2006.
34
2. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana;
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun
2001 tersebut dapat disimpulkan bahwasanya Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara memiliki definsi yang sangat luas yaitu adalah setiap
orang yang menerima gaji atau upah dari APBN, APBD, dari Korporasi yang
menerima bantuan APBN, APBD, modal dan fasilitas negara atau masyarakat.
b. Menerima Gratifikasi
Dalam Pasal 12 B ayat 1 yang merupakan Tindak Pidana bukan
mengenai “Pemberian Gratifikasi”, tetapi mengenai “Penerimaan
Gratifikasi”.21 Atas dasar rumusan pasal itu, dapat ditarik suatu
pengertian bahwa gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi
delik, tetapi merupakan unsur delik. Yang dijadikan delik (perbuatan
yang dapat dipidana) bukan gratifikasinya, melainkan perbuatan
menerima gratifikasi.
21 R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,2005
35
Dengan demikian tidak dapat disimpulkan bahwasanya semua
yang menerima gratifikasi dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi. Karena untuk dapat dinilai sebagai tindak pidana korupsi harus
memenuhi beberapa unsur yang dirumuskan oleh Pasal 12 B ayat 1 dan
Pasal 12 C angka 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001.
c. Berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugas
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 B ayat 1 tindak
pidana korupsi mengenai gratifikasi tidak hanya adanya pemberian
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, tetapi harus pula
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pemberian tersebut “berhubungan dengan jabatan” dari pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian. dapat
diartikan si pemberi mempunyai kepentingan dengan jabatan dari
pegawai negeri yang menerima pemberian tersebut yang nantinya
cepat atau lambat akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara yang bersangkutan.
2. Pemberian tersebut “Berlawanan dengan kewajiban atau tugas” dari
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
tersebut. bisa diartikan bahwa segala perbuatan atau kebijakan yang
diambil oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut telah
terpengaruh oleh penerimaan hadiah.
36
d. Melapor KPK dalam 30 hari
Dalam ketentuan Pasal 12 C ayat 1 tsb di atas dapat dipahami
bahwa tidak setiap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara selalu merupakan tindak pidana korupsi tentang
gratifikasi, jikalau pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima
gratifikasi tersebut telah melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak
diterimanya gratifikasi tersebut oleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara bersangkutan. Dalam 30 hari KPK wajib menilai gratifikasi
tersebut sebagai suap atau bukan.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 C ayat 3 mempunyai
sifat yang imperatif (memaksa), sehingga jika lewat dalam 30 hari, KPK
tidak berwenang lagi untuk menetapkan bahwa gratifikasi tersebut adalah
suap atau bukan. Dapat diartikan bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan tindak pidana korupsi apabila KPK tidak merespon laporan
tersebut lewat 30 hari sejak dilaporkannya gratifikasi itu.22
Mengenai undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam Pasal 12 C ayat 4 yaitu UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Tata cara penyampaian
laporan dan penentuan gratifikasi yang dimaksud dalam Pasal 12 C ayat
4 tertuang dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 UU No. 30 Tahun
2002 tentang KPK.
22 Menurut R. Wiyono : Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi, 2005
37
C. Pengertian Suap
Suap atau sogok dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah risywah yang
pada zaman sekarang semakin merebak dan menjamur dalam segala aspek
kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan bentuk praktik yang lebih
komplek dan bervariasi, risywah ini sering dijumpai dalam masalah penegakan
hukum baik peradilan, dan kehakiman, oleh karenanya beberapa ulama
berpendapat di antarnya ialah Dr. Yusuf Qaradhawi mendefinisikan risywah
sebagai berikut:
“sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan
atau jabatan (apa saja) untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan
lawan-lawannya sesuai dengan apa yang diinginkan, untuk memberikan peluang
kepadanya seperti tender atau menyingkirkan lawan-lawannya….”(al-Halal dan
haram, hal 123).23
Sementara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memberikan definisi
risywah sebagai berikut:
“Imbalan yang diambil seseorang atas perbuatan yang mengaburkan
kebenaran dan mengkedepankan kebathilan, dan kompensasi yang dinikmati
seseorang atas usaha untuk menyampaikan hak orang lain kepada yang
berkompeten.”24
Artinya seorang hakim tidak akan memberikan kebenaran (hak) kepada
yang berhak, akan tetapi dia diam seribu bahasa dan tidak berusaha
23 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terafi Penyakit Korupsi. (Jakarta : Republika, 2004), hlm. 5.Kutipan dari al- Qardhawiy, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, judul asli: al-Halal wa al-Haramfiy al-Islâm, penerjemah: Wahid Ahmadi dkk, Surakarta: Intermedia, 2005
24 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terafi Penyakit Korupsi. (Jakarta : Republika, 2004), hlm. 4.
38
menyelesaikan sehingga dia diberi suap. (Ar-Risywah Muh Taufiq dari Durror
Saniyah, hal 493-494).
Suap disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun
dalam bahasa Arab disebut dengan risywah, yang berarti “memberi uang dan
sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan
dalam suatu urusan”.25
Dalam bahasa sehari-hari, menyuap bisa diartikan sebagai membeli hak
atau kewenangan seseorang yang berkuasa dengan tujuan agar tersuap
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hak atau kewenangannya. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri memang tidak menggunakan
istilah penyuapan.
Namun dari beberapa pasalnya, kita bisa menafsirkan bahwa KUHP
membedakan dua jenis penyuapan, yaitu penyuapan aktif dan penyuapan pasif.
Penyuapan aktif diatur dalam pasal 209 dan 210 KUHP, sedangkan penyuapan
pasif diatur dalam pasal 418, 419 dan 420 KUHP.26
Penyuapan aktif dalam pasal 209 dan 210 KUHP yang berbunyi:
Pasal 209 (1) diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah :
Ke-1. barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu benda kepada
seorang pejabat dengan maksud supaya digerakkan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
25 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 720, dan semakna dengan defimsi para ulama.Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, 4/336.
26 http://generasibaru-intip.blogspot.co.id/2011/02/analisis-penghapusan-pasal-kuhp.html
39
Ke-2. barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 no.
1-4 dapat dijatuhkan.
Pasal 210. (1) diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :
Ke-1. barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang
Hakim, dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
Ke-2. barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang,
yang menurut ketentuan Undang-undang ditentukan menjadi penasehat atau
adviseur untuk menghadiri siding suatu pengadilan, dengan maksud untuk
mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud untuk
memperoleh pemidanaan,maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
(3) pencabutan hak tersebut pasal 35 no.1-4 dapat dijatuhkan.
Penyuapan pasif pada pasal 418, 419, 420 KUHP yang berbunyi:27
Pasal 418 KUHP “Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu
27 Diakses pada tanggal 9 Juni 2016 http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/kuhp/asiamaya_kuhp_penal_code_jabatan.htm
40
ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal 419 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
seorang pejabat:28
l. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
2. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai
akibat. atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 420 KUHP
Ayat 1 Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:
1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui
bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
menjadi tugasnya.
2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi
penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi
nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.
Ayat 2 Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah
atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
28 Pasal 419 KUHP BAB XXVIII – Kejahatan Jabatan
41
Penyuap atau yang memberi suap diancam dengan pidana oleh pasal 209,
210, tetapi yang menerima suap itu diancam di pasal lain, yaitu pasal 418, 419,
dan 420. Karena yang disuap itu adalah pegawai negeri, maka delik-delik 418,
419, dan 420 termasuk juga delik jabatan.29
Ketentuan pasal 418 hanya menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri
yang menerima suatu pemberian atau janji, sedang diketahuinya atau patut harus
menduga bahwa hal itu diberikan ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut maksud si pemberi ada
hubungannya dengan jabatan tersebut, diancam dengan pidana penjara
maksimum enam bulan atau denda maksimum tiga ratus rupiah.
Dari pasal 418 ini bisa kita lihat bahwa subyek adalah pegawai negeri.
Dari bentuk kesalahannya harus dibedakan, untuk perbuatannya itu sendiri dan
untuk apa si pemberi itu memberikan pemberian itu. Untuk perbuatan itu sendiri,
bentuk kesalahannya adalah dengan sengaja yaitu, ia sadar bahwa ia menerima
suatu pemberian atau janji. Untuk unsur selanjutnya, ada dua kemungkinan
bentuk kesalahan yaitu dengan sengaja (sedang diketahui) atau culpa-lata (patut
harus diduga).
Dengan kata lain, ia menyadari atau patut menduga bahwa pemberian itu
diberikan kepadanya, ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya. Jadi bukan merupakan hadiah dari keluarga
atau dari sahabat karib misalnya. Jika tidak ada hubungan kekeluargaan atau
29 Dari artikel yang di akses pada tanggal 10 Juni 2016, http://www.surabayapagi.com/index.php?read= Suap-dalam-KUHP-dan-UU-Tipikor;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962b20ca396d4194bfe191382369326a9db
42
persahabatan atau hubungan yang sah lainnya, tentunya ada "udang di balik
batu" yang jika tidak untuk masa kini, mungkin untuk masa datang.
Untuk pegawai negeri, hal yang telah diuraikan di atas dipertegas lagi
dengan pengucapan sumpah jabatan sebelum dirinya menjabat yang melarang
mereka untuk menerima pemberian yang mungkin berhubungan dengan jabatan
yang ia emban.
Selengkapnya sumpah tersebut berbunyi: "Bahwa saya tidak akan
menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang
saya tahu atau patut dapat menduga bahwa ia bersangkutan atau mungkin
berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan saya"30
Apabila si petindak tidak menyadari/tidak dapat menduga bahwa
pemberian itu ditujukan kepada kekuasaan/kewenangan tersebut, maka alternatif
lainnya ialah sipetindak menyadari/patut menduga maksud si pemberi itu ada
hubungannya dengan jabatan sipetindak.
Alternatif kedua ini adalah lebih ringan dari yang pertama. Dengan
harapan, ini dalam rangka pembuktian tidak bertitik berat kepada si pemberi
apakah ia bermaksud demikian itu atau tidak, melainkan tetap bertitik tolak
kepada kesadaran si petindak yang didukung oleh kenyataan.
Sebenarnya ada dua macam tindakan terlarang di sini dilihat dari sudut
waktu, yaitu sebelum pegawai negeri itu melakukan atau membiarkan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dan setelahnya.
30 Pasal 418 KUHP BAB XXVIII – Kejahatan Jabatan
43
Uraian pada pasal 418 dan 419 ini bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi.
Adapun penjelasan suap dalam UU No. 11 Tahun 1980, Tentang Tindak
Pidana Suap. Dirumuskan sebagai berikut :
Pasal 1
Yang dimaksud dengan tindak pidana suap di dalam undang-undang iniadalah tindak pidana suap di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Pasal 2
Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorangdengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atautidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengankewenangan atau kewajiban yang menyangkut kepentingan umum,dipidana karena memberi siap dengan pidana penjara selama-lamanya 5(lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000,00 (limabelas juta rupiah).
Pasal 3
Barang siapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahuiatau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu tau janji itudimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuau dalamtugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannyayang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suapdengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) ahun atau dendasebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).31
Pasal 4
Apabila tindak pidana tersebut dalam pasal 2 dan pasal 3 dilakukandiluar wilayah Republik Indonesia, maka ketentuan dalam undang-undang ini berlaku juga terhadapnya.
Pasal 5
Tindak pidana dalma undang-undang ini merupakan kejahata.
31 UU No. 11 Tahun 1980, Tentang Tindak Pidana Suap.
44
Juga dalam UU No. 20 Tahun 2001 yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negera dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Memberi sesuatu pada pegawai negeri atau penyelenggara
negera karena atau hubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri penyelenggara negara yang menerima peberian
atau janji sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf
b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1).32
Setelah mencermati definisi suap di atas maka dapat dianalisis beberapa
kasus suap yang terjadi di antaranya ialah kasus yang menimpa mantan ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang tertangkap tangan oleh Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK), bersama dengan anggota DPR, Chairunissa, dan
seorang pengusaha bernama Cornelis. Di rumah Akil Mochtar, Komisi
32 Ermanjansah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, hlm. 169.
45
Pemberantas Korupsi (KPK) menyita uang seberas Rp. 3 milyar dan tiga buah
mobil mewah miliknya. Uang dan mobil tersebut diduga merupakan uang hasil
suap terkait dengan pengurusan sengketa pemilihan kepada daerah di Gunung
Mas, Kalimantan Tengah, dan di Lebak, Banten.33
KPK melakukan ekspose dalam dua kasus. Pertama, kasus dugaan
korupsi pada pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Kedua, kasus dugaan korupsi pengurusan sengketa Pilkada Lebak Banten. Akil
terkena di dua kasus tersebut. Di kasus Gunung Mas, status tersangka ditetapkan
kepada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golongan Karya
Chairunissa, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, dan seorang pengusaha
tambang bernama Cornelis Nalau. Akil dan Chairunissa disangka sebagai
penerima suap, sedangkan Hambit dan Cornelis disangka sebagai pemberi
suap.Di kasus Lebak, status tersangka ditetapkan kepada advokat Susi Tur
Handayani, dan Tubagus Chaeri Wardana, suami Airin Rachmi Diany. Airin
adalah adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Akil dan Susi disangka
sebagai penerima suap, sedangkan Tubagus sebagai pemberi suap.34
Lalu bagaimana hukumnya apabila seseorang menerima suap berupa
uang lalu setelah ada isu tentan suap itu, si penerima suap langsung
mengembalikannya kepada jaksa tanpa mengikuti prosedur pengadilan atau
langsung dengan cara si penerima datang tanpa adanya panggilan?. Tindak
pidana suap ini di atur dalam, UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana
Suap (“UU 3/1980”). Pasal 3 UU 3/1980 menyebutkan:
33 “Politik”, Artikel diakses pada tanggal 10 Juni 2016 dari http://cbanulis.blogspot.co.id/34 Karjadi, M dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
(Bogor:Politeia,1997) hlm. 27.
46
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahuiatau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkansupaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yangberlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkutkepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjaraselama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.-(lima belas juta rupiah).”
Dalam Pasal 3 UU 3/1980 ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
"sesuatu atau janji" tidak selalu berupa uang atau barang. Dengan demikian,
pasal tersebut menjelaskan bahwa “sesuatu” adalah termasuk juga uang.
Selain itu, Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (“UU Tipikor”) juga mengatur:35
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun danpaling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwahadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yangberhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yangmemberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Dengan demikian, tindakan Anda menerima uang suap tersebut
walaupun kemudian dikembalikan setelah ada isu mengenai suap tersebut tetap
dapat dikenakan tindak pidana dikarenakan Anda telah menerima uang tersebut.
Namun, Pasal 12C ayat 1 UU Tipikor menyatakan bahwa apabila dalam
hal gratifikasi, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), maka pidananya
dihapuskan. Seperti diketahui menurut Pasal 12B ayat 1 UU Tipikor, setiap
35 Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
47
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap.36
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (lihat Penjelasan Pasal 12B ayat 1
UU Tipikor).37
Jadi, jika Anda menerima uang suap tersebut, dan baru mengembalikan
uang tersebut kepada Jaksa setelah ada isu mengenai suap tersebut walaupun
tanpa dipanggil, tetap dapat dijerat dengan tindak pidana penyuapan.
D. Perbedaan Gratifikasi dan Suap
Perbedaan gratifikasi dan suap dapat kita bedakan dari pengaturan dan
batasan/defnisi suap dan gratifikasi beserta ancaman sanksi bagi masing-masing
tindak pidana tersebut. Untuk memahami pasal suap tentunya harus memahami
pasal gratifikasi, begitupun sebaliknya untuk memahami pasal gratifikasi
tentunya harus memahami pasal suap. Berikut saya sajikan dalam bentuk table
dibawah ini :
36 Diakses pada tanggal 15 Juni 2016 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6583/uang-suap
37 Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001.
48
No.
UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU
No. 20 Tahun 2010
Uraian KUHP Bab VIII
Kejahatan Terhadap Penguasa
Umum
SUAP
1. Pasal 5 ayat (1) a
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang
: memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 209 (1) KUHP
1) Diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun
delapam bulan atau pidana
denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
Barang siapa memberi atau
menjanjkan sesuatu kepada
seorang penjabat dengan
maksud menggerakkannya
untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya.
2. Pasal 5 ayat (1) b
Memberikan sesuatu kepada
pegawai neger atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya,
Barang siapa memberi sesuatu
kepada seorang pejabat karena
atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam
jabatannya. Pencabutan hak
tersebut dalam pasal 35 No. 1-
49
4 dapat dijatuhkan.
3. Pasal 5 ayat (2)
Bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a dan huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
4. Pasal 6 ayat (1) a
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang
: memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan
perkara yang disarankan kepadanya
untuk diadili.
Pasal 210 KUHP
(1) Diancam dengan pidana
penjara paing lama tujuh
tahun.
Ke-1 barang siapa memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada
seorang hakim dengan maksud
untuk memperngaruhi putusan
tentang perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili,
5. Pasal 6 ayat (1) b
Memberi dan menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi
Ke-2 barang siapa memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada
seorang yang menurut ketentuan
undang-undang ditentukan
menjadi penasihat atau adviseur
50
advokat untung menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
untuk menghadiri sidang atau
pengadilan, dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan
berhubungan dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
Bab XVIII Kejahatan Jabatan
6. Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa
hadia atau janji diberikan karena
kekuasaan atau wewenang yang
berhubungan dengan jabatannya,
atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengang
jabatannya.
Pasal 418 KUHP
Seorang pejabat yang menerima
hadiah atau janji padahal
diketahui atau sepatutnya harus
diduganya, bahwa hadiah atau
janji itu diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya,
atau yang menurut pikiran orang
yang memeberi hadiah atau janji
ada hubungan dengan jabatannya
diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun atau
pidan denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
7. Pasal 12 huruf a
Dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara
Pasal 419
Diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun, apabila
51
paling singkat 4 (empat) tahun dan
laing lama 20 (tahun) dan pidana
denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah): pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya.
seorang pejabat :
Ke-1 yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahuinya bahwa
hadiah atau janji itu diberikan
untuk menggerakkannya supaya
melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajibannya.
8. Pasal 12 huruf b
Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya.
Ke-2 yang menerima hadiah
mengetahui bahwa hadiah itu
diberikan sebagai akibat atau oleh
karena si penerima telah
melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajibannya.
9. Pasal 12 huruf c
Hakim yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberkan untuk
Pasal 420 (1)
Diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun :
Ke-1 seorang hakim yang
menerima hadiah atau janji,
52
mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
padahal diketahui bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk
mempengaruhi puusuan perkara
yang menjadi tugasnya.
10. Pasal 12 huruf d
Seorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atai
pendapat yang akan diberikan,
berhubungan dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
Ke-2 barang siapa menurut
ketentuan undang-undang
ditunjuk menjadi penasihat untuk
menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji
padahal diketahui bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk
mempengaruhi penasihat tenang
perkara yang harus diputus oleh
pengadilan itu.
11. Pasal 13
Setiap orang yang memberikan
hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatannya atau kedudukannya
tersebut, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh
53
juta rupiah).
Gratifikasi
12. Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Yang niainya Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima
gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
Dari kerangka di atas masing-masing mempunyai ketentuan yang
berbeda. Tindak pidana korupsi suap ada si penerima dan si pemberi. Pasal 5
untuk pemberi suap, pasal 6 untuk pemberi suap pada hakim dan advokat, pasal
11 untuk penerima suap yang sifatnya pasif, artinya si penerima tidak harus
melakukan sesuatu (diam), cukup karena jabatannya saja. Contoh, kasus
54
pengadaan barang dan jasa. Ada proses pengadaan barang dan jasa, proses
tersebut sudah benas dan sesuai prosedur, setalah itu si pengusaha memberikan
uang kepada pejabat pengadaan barang dan jasa sebagai uang terimakasih. Nah
jika pejabat tersebut menerima uang maka pejabat tersebut dikenakan pasal 11.
Kemudan pasal 12 huruf a untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima suap sebelum melakukan perbuatan, sedangkan pasal 12 huruf b
untuk pegwai negeri atau penyelenggara negara yang menerima sesudah
melakukan perbuatan. Pasal 12 huruf c untuk hakim yang menerima sebelum
melakukan perbuatan dan pasal 12 huruf d untuk advokat yang menerima
sebelum melakukan perbuatan.
Sedangkan tindak pidana gratifikasi dalam pasal 12B tidak berbicara
nilai, artinya dalam pasal 12B tersebut yang menjelaskan 10 juta itu adalah
aspek pembuktian formil, jadi konsep pembuktian secara umum itu oleh jaksa
penuntut umum, nah di sini diatur khusus (the lex spesialis), kalau di bawah 10
juta pembuktiannya oleh jaksa penuntut umum, sedangkan yang di atas 10 juta
pembuktiannya dilakukan oleh penerima gratifikasi (pasal 12B ayat 1 huruf a
pembuktian oleh si penerima dan pasal 12B ayat 1 huruf b pembuktiannya oleh
jaksa penuntut umum). Gratifikasi dalam pasal 12B redaksinya tidak ada satu
katapun untuk berbuat sesuatu, si PNS tidak butuh berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan jabatannya, tapi ia hanya cukup diam saja. Artinya dalam
pasal 12B ini hanya berhubungan dengan jabatannya atau yang bertentangan
dengan kewajibannya.
55
Seperti halnya dalam Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil, pasal 4 angka 8 yang melarang bahwa Setiap
Pegawai Negeri Sipil menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari
siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaan.38
Selanjutnya contoh kasusu pasal 12 huruf a, yaitu al-Amin Nasution yang
menerima hadiah atau janji yaitu menerima 3 (tiga) lembar Mandiri Travel
Cheque (MTC) masing-masing senilai Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta
rupiah) dari Direktur Utama Badan Pengelola dan Pengembangan Kawasan
Pelabuhan Tanjung Api-Api (BPTAA) / Mantan Sekretaris Daerah Propinsi
Sumatera Selatan Sofyan Rebuin dan Chandra Antonio Tan, serta sejumlah uang
tunai masing-masing sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), SGD 150.000 (seratus lima puluh
ribu Dollar Singapura), SGD 1.500.000,- (satu juta lima ratus Dollar Singapura),
dan pemberian layanan makan hiburan senilai Rp. 6.000.000,- (enam juta
rupiah) dari Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Drs. Azirwan, padahal
diketahui patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatau dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu Terdakwa M. Al Amin Nur
Nasution, SE selaku Anggota Komisi IV DPR RI memproses persetujuan DPR
RI dalam usulan pelepasan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang,
Kabupaten Banyuasin, serta usulan pelepasan Kawasan Hutan Lindung Pulai
Bintan Kabupaten Bintan dan Pemberitahukan hasil Rapat Kerja Komisi IV
38 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
56
DPR RI dengan Departemen Kehutanan yang sifatnya rahasia.39 Dalam kasus
tersebut si pejabat negeri sipil menerima hadiah atau janji sebelum mereka
melakukan perbuatan yang terlarang.
Jadi, perbedaan yang mendasar antara ketentuan suap dan gratifikasi
dalam undang-undang Tindak Pidana Korupsi ialah pasal gratifikasi itu hanya
untuk si penerima, dan penerima gratifikasi ini bisa disebut juga suap pasif,
artinya si penerima cukup diam saja, ia tidak perlu melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan jabatannya atau kewajibannya. Sedangkan pasal suap
mengatur perbuatan suap-menyuap untuk si penerima maupun pemberi, baik
suap aktif maupun suap pasif.
E. Hukum Pemberian Hadiah Kepada Pejabat
Pengertian hadiah adalah pemberian uang atau suatu benda kepada orang
lain sebagai tanda penghormatan atau kasih sayang. Sebagai mana disebutkan
Luwis Ma’luf dalam Kamus Al-Munjid: Hadiah adalah sesuatu yang diberikan
(kepada orang lain), sebagai tanda penghormatan atau kasih sayang.40
Memberikan hadiah kepada pejabat atau atasan semata-mata karena
hubungan perasudaraan atau persahabatan, bukan karena ia sedang memegang
suatu jabatan di pemerintah atau lainnya, dan hadiah tersebut diberikan dalam
jumlah yang wajar untuk mempererat persaudaraan atau persahabatan seperti
yang diberikan pada acara ulang tahun atau resepsi perkawinan, maka hukumnya
39 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 161PK/PID.SUS/2010, putusan.mahkamahagung.go.id
40 M. Hamdani Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, cet. Ke-1,(Jakarta: P.T. Al-Mawardi Prima, 2003), hlm. 311.
57
mubah, bahkan sunnah dan halal, baik bagi pemberi maupun bagi penerima.
Karena Rasulullah Saw, sering menerima dan memberi hadiah, baik dari dan
kepada para sahabat, maupun dari dan kepada non Muslim.
Pada saat menguraikan tentang hadiah bagi seorang imam atau
pemimpin, Abdullah bin Abdul Muhsin Ath-Thariqi dalam Jarimah Ar-Risywah
mengatakan, “Imam disini yang saya maksud adalah penguasa (pejabat
pemerintah).” Dalam Al-fatawa Al-Hindiyyah dinyatakan, “Imam tidak boleh
menerima hadiah, kecuali imam yang dimaksud adalam imam masjid. Jika imam
yang dimaksud adalah presiden, hadiah tidak halal baginya.” Pendapat ini sesuai
dengan dalil-dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun hadist, karena presiden adalah
wali atau pimpinan para pejabat pemerintahan dan kepala negara. Presiden harus
menjadi panutan bagi para bawahannya. Oleh karena itu, hadiah dan berbagai
bentuk pemberian atau gratifikasi dari pihak mana pun diharamkan untuk
seorang kepala negara dan para pejabat yang sedang menjalankan tugasnya.41
Demikian juga beliau sangat menganjurkan umatnya untuk saling
memberikan hadiah untuk mempererat hubungan persaudaraan atau
persahabatan, sebagai mana telah beliau sabdakan dalam Hadist yang
diriwayatkan Imam Baihaqi, Imam Al-Bukhari dan Abu Ya’la RA, sebagai
berikut:
احتابـو تـهادواArtinya: “Saling memberikan hadiahlah kamu sekalian, supaya kalian
saling mencintai”. (HR. Baihaqi).
41 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. Ke-1, hlm. 30.
58
Imam Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam Adab al-Mufrad, bab
qabûl al-hadiyah, hadis no. 612. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini
berturut-turut dari Amru bin Khalid, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin
Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. Abu Ya’la mengeluarkan hadis di
atas dalam Musnad-nya, yakni hadis no. 6013, berturut-turut dari Suwaid bin
Said, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dari
Nabi saw. Adapun al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab
al-Îmân dan al-Adâb li al-Baihaqi.
Hadis ini juga keluarkan oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad ad-
Daulabi dalam Al-Kunâ wa al-Asmâ’, Tamam bin Muhammad dalam Al-
Fawâ’id Tamam, Ibn al-Muqri’ dalam Al-Mu’jam li Ibn al-Muqri’ dan an-Nasai
dalam al-Kunâ.
Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Talkhîsh al-Habîr berkomentar, “Hadis ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad dan al-Baihaqi. Ibn
Thahir menyatakannya dalam Musnad asy-Syihâb dari jalur Muhammad bin
Bukair, Dhimam bin Ismail, Musa bin Wardan dan Abu Hurairah; sanad-nya
hasan…”42
a. Memberikan hadiah kepada pejabat negara atau atasan semata-mata
karena ia sedang memegang suatu jabatan dengan tanpa maksud
menyuap adalah diperbolehkan, tapi bagi pejabat yang menerimanya
harus menyerahkan hadiah tersebut kepada lembaga yang dipimpinnya.
42 Ibn Hajar al-‘Ashqalani, At-Talkhîsh al-Habîr, 3/69-70, ed. As-Sayid Abdullah Hasyimal-Yamani al-Madani, Madinah al-Munawarah. 1384-1964; Abdurrauf al-Minawi, Faydh al-Qadîr, 3/357, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. i. 1415 – 1994.
59
b. Memberikan hadiah kepada pejabat atau atasan dengan tujuan agar
pejabat atau atasan yang diberi hadiah tersebut mengangkat sebagai
pegawai, atau memberikan jabatan (kedudukan) yang diinginkan, atau
memberikan proyek, atau memenangkan tender atau memenangkan
perkara secara batil (tidak benar menurut agama), atau money politik dan
sebagainya adalah dinilai sebagai suap (risywah).43
Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara suap/gartifikasi
dan hadiah, jika dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut bisa dianalisis
bahwa suap atau gratifikasi merupakan pemberian yang bersifat umum, baik
pemberian tersebut diberikan kepada seseorang atau seseorang yang mempunyai
jabatan, kekuasaan dan wewenang terhadap jabatannya dan gratifikasi dalam
aspek hukum positif ini mengarah kepada sebuah pemberian yang diberikan
kepada seseorang yang mempunyai jabatan, kewenangan, dan kekuasaan atas
jabatannya, sehingga pemberian tersebut bisa berhubungan dengan jabatan,
wewenang, dan kekuasaan tersebut, dan pemberian tersebut bisa mengarah
kepada sebuah perbuatan yang menyimpang dari kewajiban dan tugasnya
sebagai pejabat.
Sehingga suap atau gratifikasi bisa dikatakan sebuah pemberian dalam
arti umum, atau bisa dikatakan dengan istilah hadiah, dan hadiah tersebut bisa
berubah menjadi sebuah arti yang khusus yaitu gratifikasi ketika pemberian
tersebut diberikan kepada seseorang yang mempunyai jabatan, kewenangan dan
43 M. Hamdani Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, cet. Ke-1,(Jakarta: P.T. Al-Mawardi Prima, 2003), hlm. 315.
60
kekuasaan dan hadih tersebut berhubungan dengan jabatan, wewenang, dan
kekuasaan si penerima hadiah tersebut.
Sedangkan hadiah dalam konteks umum merupakan sebuah pemberian
yang diberikan kepada seseorang sebagai tanda penghormatan, kasih sayang dan
mempererat tali silaturahmi, sehingga dapat disimpulkan bahwa hadiah ini
merupakan sebuah pemberian dalam kontek umum, dan hadiah tersebut bisa
berubah maknanya menjadi makna khusus, ketika hadiah tersebut diberikan
kepada seseorang dalam kontek tertentu tergantung niat dan tujuan si pemberi
hadiah, sehingga hadiah tersebut bisa mengarah kepada gratifikasi, risywah,
suht, hibah dan sedekah.
Seringkali karena ketidaktahuan kita, kita menerima pemberian atau
hadiah yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan kita. Contohnya, seorang
dosen yang menerima hadiah dari mahasiswa yang dibimbingnya, baik sebelum
atau ketika ujian. Hadiah ini bisa dalam bentuk makanan, pakaian, bahkan uang,
atau bentuk-bentuk hadiah lainnya.44
Dalam kasus ini, Rasulullah SAW. bersabda tentang larangan petugas
zakat menerima hadiah. Abu Humaid As-Sa’idi berkata:
ا ة، فـلم استـعمل رسول الله صلى اهللا عليه وسلم رجال على صدقات بين سليم، يدعى ابن اللتبي فـهال جلست «جاء حاسبه، قال: هذا مالكم وهذا هدية. فـقال رسول الله صلى اهللا عليه وسلم:
أثـىن عليه، مث مث خطبـنا، فحمد الله و » يف بـيت أبيك وأمك، حىت تأتيك هديـتك إن كنت صادقاين الله، فـيأيت فـيـقول: هذا م ” قال: الكم أما بـعد، فإين أستـعمل الرجل منكم على العمل مما وال
تيه هديـته، والله ال يأخذ أحد منكم وهذا هدية أهديت يل، أفال جلس يف بـيت أبيه وأمه حىت تأ
44 Diakses pada tanggal 28 Agustus 2016 dari website https://muslim.or.id/23736-bolehkah-dosen-menerima-hadiah-dari-mahasiswa-1.html
61
حيمل بعريا له رغاء، شيئا بغري حقه إال لقي الله حيمله يـوم القيامة، فألعرفن أحدا منكم لقي الله عر أو بـقرة هلا خوار، أو شاة »اللهم هل بـلغت «مث رفع يده حىت رئي بـياض إبطه، يـقول: ” تـيـ
Artinya : ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat seorangpegawai untuk mengambil harta zakat dari dari bani Sulaim yang bernama IbnuLutbiyah. Ketika Ibnu Lutbiyah kembali (setelah mengambil harta zakat darikaum muslimin) dan menghitungnya dia berkata, ”Ini adalah harta milik kalian,sedangkan yang ini dihadiahkan untukku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam berkata, “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah bapak danibumu, sehingga hadiah itu diberikan kepadamu, jika kamu benar (bahwa ituhadiah)?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah. Beliaumemuji dan menyanjung Allah Ta’ala. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya aku telah mengangkat seseorang pegawai diantara kalian untuk mengurus suatu tugas (yaitu amil zakat yang sudah digajidari negara) dari tugas yang Allah perintahkan kepadaku. Kemudian di datangdan mengatakan, ’Ini adalah untukmu, sedangkan yang itu adalah hadiahuntukku.’ Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya sehinggadia mendapatkan hadiah tersebut? Demi Allah, tidaklah salah seorang di antarakalian mengambil sesuatu (harta) tanpa hak kecuali dia akan bertemu Allahdengan memikul (harta tersebut) di hari kiamat. Maka sungguh aku akanmengetahui salah seorang di antara kalian yang bertemu Allah dalam keadaanmemikul seekor unta atau sapi yang bersuara (menguak), atau seekor kambingyang bersuara (mengembik).” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengangkat kedua tangannya sehingga terlihat ketiak beliau yang putih serayaberkata, ”Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?”45
Hadits ini memberi penjelasan tentang perbedaan antara hadiah dan
suap. Suatu barang (pemberian) yang didapatkan karena masih berhubungan
dengan pekerjaan yang dijabatnya atau profesinya dan bila dia tidak bekerja
dengan jabatannya itu dia tidak mendapatkan barang tersebut, maka hadiah itu
termasuk ghulul (harta khianat atau gratifikasi) dan bukan hadiah. Suatu barang
disebut hadiah ketika diberikan kepada orang tanpa ada tendensi suatu hal yang
berhubungan dengan pekerjaan, jabatan, atau profesinya.
Ibnu Lutbiyah mendapatkan hadiah karena dia bertugas mengambil harta
zakat, padahal dia sudah mendapatkan gaji dari negara. Maka pemberian itu
45 HR. Bukhari no. 6979 dan Muslim no. 1832.
62
adalah harta ghulul dan bukan hadiah. Apa buktinya? Rasulullah SAW.
menggambarkan jika Ibnu Lutbiyah ini hanya duduk-duduk saja di rumahnya
(tidak memiliki tugas sebagai pemungut zakat), apakah dia akan mendapatkan
hadiah dari kaum muslimin? Tentu saja tidak. Maka pemberian itu berkaitan
dengan profesi atau jabatannya dan bukan karena semata-mata (murni) hadiah.
Demikian juga seorang dosen yang sudah mendapatkan gaji untuk
membimbing dan mengajar mahasiswa, maka tidak boleh baginya menerima
hadiah dari mahasiswa yang dibimbingnya dalam bentuk apa pun, entah berupa
makanan, pakaian, uang, parsel atau bentuk pemberian lainnya karena hadiah ini
berkaitan dengan profesinya sebagai dosen, bukan murni hadiah. Apa buktinya?
Kalau sang dosen hanya duduk diam di rumah, tidak membimbing atau menguji
skripsi mahasiswa misalnya, apakah ada mahasiswa yang datang mencari ke
rumahnya dan memberinya hadiah?
Praktik pemberian hadiah seperti ini biasa terjadi sebelum mahasiswa
lulus. Misalnya hadiah saat dosen sedang membimbing penelitian mahasiswa
atau pemberian berupa makanan saat sang dosen menguji skripsi mahasiswa
tersebut atau hadiah lainnya, padahal setiap membimbing mahasiswa seorang
dosen telah menerima gaji dari atasannya (fakultas), maka hadiah semacam ini
tidak boleh diterima karena termasuk harta ghulul. Rasulullah SAW. bersabda:
هدايا العمال غلول Artinya: “Hadiah bagi pegawai (pejabat) adalah ghulul (harta
khianat).”46
46 HR. Ahmad 5/425. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ Al-Ghalilhadits no. 2622.
63
Dari Buraidah, Nabi SAW. bersabda:
فـهو غلول من استـعملناه على عمل فـرزقـناه رزقا فما أخذ بـعد ذلك Artinya: “Barangsiapa yang kami angkat sebagai pegawai kemudian
kami beri rizki (gaji), maka apa yang dia ambil lebih dari itu adalah ghulul(khianat).”47
Hadiah yang diberikan kepada seseorang yang berhubungan dengan
pekerjaan atau jabatannya hanya diperbolehkan dalam tiga kondisi berikut ini:
1. Hadiah yang diberikan seorang atasan kepada bawahannya. Contohnya
adalah hadiah yang diberikan kepala sekolah ke guru; hadiah dari rektor
(pimpinan universitas) yang diberikan ke dekan (pimpinan fakultas); atau
hadiah dari dekan ke dosen. Jika sebaliknya, maka terlarang. Maka
hadiah menjadi terlarang apabila diberikan seorang guru kepada kepala
sekolahnya. Demikian pula terlarang adanya hadiah yang diberikan
seorang dosen kepada dekan atau rektornya.
2. Hadiah yang diberikan kepada pejabat karena masih ada hubungan
kekerabatan. Karena termasuk di dalam pengertian memutus hubungan
silaturahim adalah tidak menerima harta (hadiah) dari kerabat. Akan
tetapi, jika terdapat gejala-gejala adanya maksud dan tujuan yang tidak
baik dengan adanya hadiah tersebut, maka hadiah seperti itu bisa menjadi
hadiah yang dilarang. Sebagai contoh, seseorang yang sedang
mempunyai kasus di pengadilan dan mempunyai saudara yang berprofesi
sebagai seorang hakim. Sebelum dia terlibat kasus, dia sangat jarang
47 HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashoobihhadits no. 3748.
64
menemui apalagi memberi hadiah saudaranya yang berprofesi sebagai
hakim itu. Setelah dia terlibat dalam kasus dan berurusan dengan
pengadilan, dia menjadi sering mendatangi saudaranya dan memberinya
hadiah. Maka hadiah seperti ini tidak boleh diterima.
3. Hadiah dari seseorang yang diberikan kepada pejabat karena orang
tersebut sudah terbiasa memberi hadiah kepada pejabat sejak pejabat
tersebut belum mempunyai jabatan. Misalnya terdapat seseorang yang
berteman dengan orang lain yang sekarang telah menjadi pejabat. Jika
orang tersebut sudah terbiasa memberi hadiah kepada temannya sejak
temannya belum menjadi pejabat, maka hadiah seperti ini diperbolehkan.
Hal ini pun harus dengan syarat bahwa hadiah yang diberikan kepada
temannya antara sebelum dan sesudah menjadi pejabat harus bernilai
sama. Jika terjadi peningkatan nilai, maka perlu untuk dirinci. Jika
hadiahnya berupa barang yang bisa dibagi, maka pejabat tersebut boleh
mengambil hadiah senilai dengan hadiah yang biasa dia terima (sebelum
menjadi pejabat), dan sisa (kelebihannya) wajib dikembalikan kepada
teman yang memberikannya. Namun, ketika hadiahnya berupa barang
yang tidak bisa dibagi, maka wajib bagi pejabat tersebut untuk
mengembalikan seluruh hadiah tersebut kepada teman yang telah
mengirimkannya.48
Jadi, Memberikan hadiah kepada guru laki-laki atau guru perempuan di
sekolah negeri atau swasta semakna dengan risywah (suap). Oleh karena itu,
48 https://muslim.or.id/23740-bolehkah-dosen-menerima-hadiah-dari-mahasiswa-2.html
65
tidak boleh memberi atau menerimanya. Nabi melarang dari menerima hadiah
bagi para pegawai sebagaimana dalam hadits shahih dari Abu Humaid As-Sa’idi
bahwasanya beliau SAW. bersabda, “Hadiah kepada para pegawai adalah
ghulul”.
66
BAB III
GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Dalam bab ini akan dibahas tentang ketentuan gratifikasi dalam Hukum
Pidana Islam lalu bagaimana perbandingannya dengan hadiah berdasarkan
Hukum Islam dan hukum bagi para pelaku gratifikasi seksual.
A. Gratifikasi dalam Hukum Pidana Islam
Menurut hukum pidana Islam, Gratifikasi disebut dengan risywah, suap,
atau sogok. Ulama berbeda pendapat mengenai gratifikasi. Ada yang
berpendapat haram dan ada pula yang berpendapat halal. Ulama menyatakan
bahwa gratifikasi yang haram adalah menyuap untuk membenarkan yang salah
dan menyalahkan yang benar. Sementara itu, ulama menyatakan bahwa
gratifikasi yang halal adalah menyuap untuk memperjuangkan hak yang
seharusnya diterima oleh si pemberi uang atau untuk menolak kemudaratan.1
Pembagian dua jenis yang haram dan halal ini memang tidak secara
eksplisit dapat ditemukan dalam berbagai kitab karya sejumlah ulama. Hal itu
karena ditemukan haram dan halalnya gratifikasi sangat tergantung pada niat
dan motivasi si pemberi. Berikut ini pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai hal
tersebut.
Sesungguhnya seseorang yang memberikan hadiah kepada petugas
agar ia melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan untuknya adalah haram bagi
pemberi hadiah dan penerimanya karena hal ini termasuk suap sebagaimana
yang disabdakan oleh Nabi Saw, “ Allah melaknat penyuap dan yang disuap”.
1 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 40.
67
Sementara itu, jika seseorang memberi hadiah agar terhindar dari kezaliman
atau agar mendapakan hal yang wajib diberikan kepadanya, hadiah semacam
ini hanya haram bagi penerima, tetapi halal bagi pemberi kalau ia telah
meberikan hadiah tersebut kepadanya.2
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gratifikasi adalah “hadiah” yang
mana diberikan kepada seseorang di luar dari gaji yang ia dapatkan. Dalam
islam sendiri, “hadiah” adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain
tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan.3 Dan memiliki hukum
mubah atau boleh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Abu Daud dari Aisyah r.a berkata :
ها كان النيب صلى الله عليه وسلم يـقبل اهلدية و ينيب عليـArtinya: “Pernah Nabi Saw menerima hadiah dan balasannya hadiah
itu”Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa Nabi pernah menerima hadiah
dan membalasnya dengan hadiah yang sama. Dan ada pula sebagian ulama
yang mengatakan tidak boleh untuk menolak hadiah yang telah diberikan,4
dalil yang dijadikan pegangan oleh sebagian ulama tersebut adalah hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Nabi Saw bersabda:
لو دعيت إىل ذراع الجبت ولو اهدي إيل ذراع او كراع لقبلت Artinya: “Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan
dan belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kakikambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya.” 5
2 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 41.
3 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 211.4 Idris Ahmad, Fiqh Al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), hlm. 1625 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 212.
68
Namun, jika dilihat dari hadiah atau gratifikasi yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, yang mana menimbulkan kerugian pada seseorang,
maka masalah tersebut dapat masuk dalam kaidah saddu dzari’ah, karena
pemberian hadiah atau gratifikasi tersebut disalahgunakan dalam arti untuk
memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan banyak orang.
Dan dalam hal ini, gratifikasi atau hadiah tersebut dapat dikategorikan
sebagai suap, dan suap adalah pekerjaan yang sangat dilaknat oleh Allah,
seperti sabda Rasulullah:
لعنة اهللا على الراشى و املرتشىArtinya: “Laknat Allah bagi orang yang menyuap dan menerima
suap”6
Bukan hanya bagi orang yang menerima suap tetapi juga kepada orang
yang memberi suap akan dilaknat oleh Allah SWT. Ini disebabkan oleh
sejumlah uang atau barang yang tidak bernilai di sisi Allah.
Pengertian gratifikasi sekarang dengan pengertian hadiah dalam Islam
sangat bertolak belakang pada zaman ini, hadiah dalam Islam yang bertujuan
untuk saling tolong menolong dan saling memuliakan berbanding jauh dengan
gratifikasi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan menjatuhkan
orang lain. Dan seperti yang kita ketahui kebanyakan dari orang-orang yang
melakukan kegiatan gratifikasi ini adalah dari kalangan pegawai negeri dan
pejabat Negara, yang mana mereka dapt dikatakan sebagai ulil amri.7
6 Hadits Riwayat Imam Ahmad7 Ulil Amri terbagi menjadi 2, yaitu: (1) yang dibebani amanah hukum atau kewenangan
pelaksanaan, yaitu dewan eksekutif, (2) rakyat, merekalah yang memilih dewan eksekutif sertameminta pertanggungjawaban mereka. Mereka adalah Ahlul Hilli wal Aqdi atau dewan legislative.
69
Akibat yang ditimbulkan dari kegiatan gratifikasi ini adalah
ketidakadilan dan hilangnya kebijaksanaan dari para pemerintah, pejabat
Negara atapun pegawai biasa. Dan ini adalah salah satu bentuk dari
kedhzaliman kepada diri sendiri dan orang lain. Karena itu, tidak salah jika
pemerintah melarang adanya gratifikasi. Begitu pula Islam, dilihat dari
kemaslahatan dan kemudharatan yang ditimbulkan oleh gratifikasi ini, maka
Islam mengharamkan adanya gratifikasi. Bila gratifikasi ini masih
diperbolehkan, maka bukan tidak mungkin Negara dan rakyat yang ada di
dalamnya menjadi tak terkendali dan hancur karenanya.
Oleh karena itu, kedhzaliman yang dilakukan oleh seorang penguasa
dalam syari’at Islam wajib dipertanggungjawabkan dengan memaksa para
pengawas yang mengawasi para pejabat yang berlaku curang untuk berlaku
lebih keras demi tercapainya sebuah keadilan. Bukan hanya menghukum,
namun juga mencegah hal tersebut agar tidak terjadi. Karena menegakkan
keadilan merupakan tujuan dari syara’ (ketentuan atau hukum Allah).8
Salah satu sifat yang harus dipegang oleh para pejabat Negara ataupun
pejabat dan pegawai yang lainnya adalah sifat amanah, yang ketika ia sedang
memangku jabatan di mana dirinya ditunjuk untuk mendudukinya tidak
disalahgunakan untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya atau keluarga
dekatnya.9 Dan perbuatan ini pun dapat terjadi dimulai dengan gratifikasi
ataupun suap menyuap. Rasulullah bersabda:
8 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 2049 Ibrahim bin Fatih bin Abd Al-Muqtadir, Uang Haram, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm.
142
70
من استـعملناه على عمل فـرزقـناه رزقا فما اخذ بـعد ذلك فـهو غلول Artinya: “Barang siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan,
kemudian kami rezekikan kepadanya dengan suatu rezeki (tertentu), maka apayang dia ambil setelah rezeki (itu), itu adalah pengkhianatan.”10
Dan pada haditsnya yang lain Rasul bersabda: “Hadiah-hadiah untuk
pekerja itu pengkhianatan.”11 Dari hadits tersebut telah jelas menerangkan
segala bentuk hadiah yang diberikan kepada para pejabat atau pegawai tidak
diperbolehkan.
Gratifikasi digolongkan sebagai salah satu bentuk dari korupsi. Dan di
Indonesia sendiri, korupsi masih terus mengusik hati nurani manusia Indonesia
dan bahkan menjadi black culture yang menghiasi kehidupan sejarah
kehidupan Negara Indonesia.12 Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan:
ا اىل احلكام نكم بالباطل و تدلوا لتآكلوا فريـقا من اموال و ال تآكلوا اموالكم بـيـالناس باالمث و انـتم تـعلمون
Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu denganjalan yang batil, dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada parahakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lainitu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”13
Dari uraian di atas perhatian dan pokok masalah tertuju pada masalah
gratifikasi, dan jika dilihat dari kacamata Islam, hal tersebut masuk dalam salah
satu dalil hukum Islam, yaitu saddu dzari’ah. Maka, diharamkanlah adanya
gratifikasi untuk menutup jalan terjadinya suap menyuap ataupun korupsi.
Karena telah jelas bahwa kebanyakan gratifikasi, tidak membawa banyak
10 Hadits riwayat Al-Bukhari11 Hadits riwayat Ahmad dan Al-Baihaqi dari Abu Hamid As-Sa’idi12 M. Thalhah dan Achmad Mufid, Fiqh Ekologi, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hal.
13713 Q.S Al-Baqarah: 188
71
kemaslahatan bagi orang lain namun justru membawa kemafsadatan bagi
banyak orang.
Adapun macam-macam gratifikasi sebagaimana dikemukakan oleh
Ahmad Fathi Bahnasi dan Jundi Abdul Malik – mereka adalah pakar pidana
Islam berkebangsaan Mesir - terdiri atas empat macam. 14
1. Gratifikasi dalam bentuk pemberian hadiah oleh seseorang kepada
orang lain atas dasar cinta dan kasih sayang. Gratifikasi ini hukumnya
halal baik bagi yang memberi maupun yang menrima.
2. Gratifikasi dalam bentuk pemberian hadiah oleh seseorang karena
dizalimi orang lain sehingga si pemberi merasa takut kepada si
penerima atau hadiah diberikan kepada penguasa agar dapat
memberikan jaminan kemanan bagi si pemberi. Fuqaha umumnya
berpendapat bahwa gratifikasi ini hukumnya halal bagi pemberi, tetapi
haram bagi penerima sebab si pemberi menjadikan sebagian hartanya
untuk melindungi diri. Sementara itu, pihak penerima tetap dharamkan
karena ia memaksa pihak pemberi untuk memberikan suap tersebut dan
termasuk ke dalam kandungan makna hadis secara umum.
3. Gratifikasi dalam bentuk pemberian hadiah oleh seseorang kepada
orang lain agar urusan si pemberi dengan penguasa dapar berlangsung
dengan baik. Gratifikasi jenis ini harus dilihat dari dua sisi.15
14 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 44.
15 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 45.
72
a. Urusan yang hukumnya haram. Karena urusan si pemberi
hukumnya haram, maka gratifikasi yang dilakukan hukumnya
haram pula, baik bagi si pemberi maupun si penerima.
b. Urusan yang hukumnya mubah. Status hukum kasus seperti ini
harus ditinjau dari dua sisi.
1. Apabila pada saat pemberian hadiah disyaratkan bahwa pihak
pemberi mendapatkan fasilitas dari pihak penguasa (hakim,
pemerintah, atau petugas KUA), gratifikasi ini hukumnya
haram. Meskipun demikian, ada sebagian fuqaha yang
membolehkannya.
2. Apabila syarat tidak dinyatakan secara jelas, tetapi gratifikasi
tetap diberikan oleh seseorang kepada oeang lain agar ia
mendapat fasilitas dari penguasa, dalam kasus ini fuqaha
berselisih pendapat. Fuqaha pada umumnya berpendapat bahwa
apabila tidak ada tradisi saling memberi dan menerima hadiah,
hukumnya makruh. Akan tetapi, jika ada tradisi saling memberi
dan menerima hadiah, dalam hal ini hadiah dianggap sebagai
sesuatu yang baik karena terjadi dalam konteks membelas
kebaikan dengan kebaikan.
4. Gratifikasi dalam bentuk pemberian hadiah oleh seseorang kepada
penguasa agar kebijakannya sesuai dengan yang diinginkan si pemberi.
Ulama sepakat bahwa gratifikasi jenis ini hukumnya haram dan semua
pihak yang terlibat dilaknat sebagaimana dinyatakan dalam hadits.
73
Dari keempat macam gratfikasi diatas, bapak M. Nurul Irfan
berpendapat bahwa gratifikasi jenis pertama dan kedua yang halal dilakukan.
Sementara itu, jenis ketiga dan keempat masuk ke dalam kategori risywah yang
pelakunya dilaknat Allah.16
B. Perbandingan Gratifikasi dengan Hadiah
Antara hadiah dan gratifikasi memang sangat tipis perbedaannya.
Pertama, dari sisi definisi. Hadiah ialah pemberian, kenang-kenangan,
penghargaan, dan penghormatan.17 Sementara itu, gratifikasi adalah uang
sogok,18 sogok itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk
menyogok. Dari sisi ini perbedaan atau perbandingan antara hadiah dan
gratifikasi sangat nyata. Hadiah bermakna positif, sedangan gratifikasi
bermakna negatif. Kedua, dari sisi niat pelaku. Jika pelaku berniat memberikan
penghargaan atau penghormatan kepada pihak penerima, hal itu disebut hadiah.
Sementara itu, jika pelaku berniat untuk memberikan sohok, hal itu disebut
gratifikasi.
Untuk membedakan antara hadiah dan gratifikasi dari sisi pelaku, ada
sebagian orang berpendapat bahwa jika pelaku memberikannya sebelum selesai
proses perkara atau tugas yang diembannya, hal itu dinilai sebagai gratifikasi.
Akan tetapi, jika pemberian itu baru diberikan setalah selesai proses acara atau
proses pengurusannya, hal itu disebut hadiah. Dengan kata lain, jika pemberian
itu dilakukan sebelumnya, disebut gratifikasi. Akan tetapi, dika diberikan
16M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 46.
17 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 380.18 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1094.
74
setelah proses perkara selesai, hal itu disebut hadiah. Namun, jika terjadi
kongkalikong secara damai antara pihak pemberi dan penerima bahwa hadiah
ini akan diberikan pada saat selesai perkara dan telah disepakati oleh kedua
belah pihak, tetap saja hal itu disebut gratifikasi sebab walaupun dari sisi waktu
pemberian dinamakan hadiah, tetap saja tidak ada perbedaan antara keduanya
dan pihak pemberi telah memberikan janji sebelumnya.19
Kata hadiah apabila ditelurusi secara etimologis berasal dari kata hada.
Kata ini mengandung makna jama’a dan dhamma (mengumpulkan). Bantuk
jamak dari kata hadiyyah adalah hadaya. Dalam kitab Ash-Shihah, kata
hadiyyah adalah bentuk tunggal dari kata hadaya. Orang mengatakan ahdaitu
lahu dan ahdaitu ilaihi. Kedua kalimat tersebut memiliki pengertian yang
sama. Sementara itu, mihda ialah wadah atau tempat hadiah diletakkan, seperti
thabaq (piring). Ibnu Al-Arabi mengatakan, “Thabaq (piring) tidaklah disebut
sebagai mihda, kecuali pada piring itu diletakkan sesuatu untuk dijadikan
hadiah.” Adapun mihda ialah orang yang memiliki kebiasaan memberi hadiah,
sedangkan tahadi berarti saling memberikan hadiah.
Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadiah secara
terminologis. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadiah ialah harta yang
diberikan oleh seseorang kepada oerang lain tanpa syarat apa pun. Frase tanpa
syarat apa pun inilah yang menjadi pembeda antara hadiah dan gratifikasi. Hal
ini pula yang membedakan antara hadiah dan hibah imbalan (hibah ats-
19 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 27.
75
tsawab). Hibah ats-tsawab ialah hadiah yang mensyaratkan adanya imbalan
balasan dengan nilai yang setara, lebih banyak, atau lebih sedikit.20
Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadiah didefinisikan sebagai
memberikan harta kepada orang lain tanpa terlebih dahulu diminta oleh orang
itu. Pendapat ini mengatakan, hadiah didefinisikansebagai harta yang diberikan
kepada orang lain di mana pemberi tidak mensyaratkan kepada orang yang
diberi itu agar membalasnya dengan pertolongan.21 Ada juga yang menjelaskan
bahwa hadiah didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada orang lain
dengan maksud menunjukkan rasa cinta, mendapatkan rasa sayang dari orang
yang diberi, atau memberikan penghargaan. Orang yang diberi ini bisa jadi
adalah kerabat dekat, teman, ulama, guru, atau orang-orang saleh yang
disangka baik.22
Hadiah sebagai bagian dari hibah kehendaknya bisa datang dari satu
pihak saja, yaitu dari pihak pemberi hadiah. Namun, para fukaha tetap
mengklasifikasikan hibah, termasuk di dalamnya hadiah, sebagai akad. Hal itu
karena meski kehendaknya bisa dari satu pihak saja, namun jika penerima
hibah atau penerima hadiah itu menolaknya maka hibah atau hadiah itu tidak
sempurna.
20 Al-Fatawa Al-Hindiyyah, (Beirut : Dar Al-Fakr, 2008), jilid III, hlm. 226. Lihat pulaFathi Ahmad Bahnasi, Al-Mas’uliyyah Al-Jina’iyyah fi Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Dar Asy-Syuruq, 1998), cet. Ke-4, hlm.70.
21 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 27. Lihat Ali Qara’ah, Al-Ushul Al-Qadha’iyyah fi Al-Murafa’at, hlm. 328.
22 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 28.
76
Sebagai sebuah akad, hadiah memiliki tiga rukun. Pertama, adanya al-
‘âqidân, yaitu pihak pemberi hadiah (al-muhdî) dan pihak yang diberi hadiah
(al-muhdâ ilayh). Al-Muhdî haruslah orang yang layak melakukan tasharruf,
pemilik harta yang dihadiahkan dan tidak dipaksa. Al-Muhdâ ilayh disyaratkan
harus benar-benar ada saat akad. Ia tidak harus orang yang layak melakukan
tasharruf saat akad hadiah itu. Jika al-muhdâ ilayh masih kecil atau gila maka
penerimaan hadiah diwakili oleh wali atau mushi-nya.
Kedua, adanya ijab dan qabul. Hanya saja, dalam hal ini tidak harus
dalam bentuk redaksi (shighat) lafzhiyah. Hal itu karena pada masa Nabi saw.,
hadiah dikirimkan kepada Beliau dan Beliau menerimanya, juga Beliau
mengirimkan hadiah tanpa redaksi lafzhiyah. Fakta seperti itu menjadi fakta
umum pada masa itu dan setelahnya.
Akad hadiah merupakan al-‘aqd al-munjiz, yaitu tidak boleh berupa al-
‘aqd al-mu’alaq (akad yang dikaitkan dengan suatu syarat) dan tidak boleh
berupa al-‘aqd al-mudhâf (akad yang disandarkan pada waktu yang akan
datang). Contoh al-‘aqd al-mu’alaq, jika seseorang berkata, “Saya
menghadiahkan satu juta kepada Anda jika Anda pergi ke Bandung.” Akad
hadiah ini tidak sah. Contoh al-‘aqd al-mudhâf, jika dikatakan, “Saya
menghadiahkan sepeda ini kepada Anda mulai bulan depan.” Akad ini juga
tidak sah. Sebagai al-‘aqd al-munjiz, implikasi akad hadiah itu langsung
berlaku begitu sempurna akadnya dan terjadi al-qabdh. Artinya, al-muhdâ
(hadiah) itu telah sah dimiliki oleh orang yang diberi hadiah.
77
Ketiga, harta yang dihadiahkan al-muhdâ. Al-Muhdâ (barang yang
dihadiahkan) disyaratkan harus jelas ma‘lûm, harus milik al-muhdî (pemberi
hadiah), halal diperjualbelikan dan berada di tangan al-muhdî atau bisa ia serah
terimakan saat akad. Menurut Imam Syafii dan banyak ulama Syafiiyah,
barang itu haruslah barang bergerak, yaitu harus bisa dipindahkan dari satu
tempat ke tempat yang lain. Hal itu karena seperti itulah yang berlangsung
pada masa Nabi saw, di samping tidak ada riwayat yang menjelaskan adanya
hadiah berupa rumah, tanah, dsb itu pada masa Nabi saw. dan para Sahabat.23
Di samping ketiga rukun itu ada syarat yang harus terpenuhi sehingga
hadiah itu sempurna, yaitu harus ada al-qabdh (serah terima), yakni secara real
harus ada penyerahan al-muhdâ kepada al-muhdâ ilayh. Jika tidak ada ijab
qabul secara lafzhiyah maka adanya al-qabdh ini sudah dianggap cukup
menunjukkan adanya pemindahan pemilihan itu. Penyerahan harta itu dianggap
merupakan ijab dan penerimaan hadiah oleh al-muhdâ ilayh merupakan
qabulnya. Untuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau
ditimbang (al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn) maka zat barang itu sendiri
yang harus diserahterimakan. Adapun harta selain al-ma’dûd wa al-makîl wa
al-mawzûn seperti pakaian, hewan, kendaraan, barang elektronik, dsb maka
yang penting ada penyerahan pemilikan atas barang itu kepada al-muhdâ ilayh
dan qabdh-nya cukup dengan menggesernya atau jika hewan dengan
melangkahkannya, atau semisalnya.24
23 Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 http://hizbut-tahrir.or.id/2008/02/05/hadiah/24 Diakses pada tanggal 16 agustus 2016 http://ockym.blogspot.co.id/2012/12/makalah-fiqih-bab-hadiah.html
78
Anjuran Islam untuk memberi hadiah, Dari Sahabat mulia Abu
Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:
تحابواحتادواArtinya : “Hendaklah kalian saling memberi hadiah maka kalian akan
saling mencintai.”25
Hadits di atas merupakan bukti bahwa pemberian hadiah adalah bagian
dari syariat Islam. Bahkan melakukannya dapat mendatangkan pahala dan
menimbulkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Padahal jika suatu kaum
telah saling menyayangi maka persatuan diantara mereka otomatis akan
menguat. Padahal persatuan sesama kaum muslimin merupakan sebuah
kewajiban yang telah Allah tetapkan.
Akan tetapi perlu diingat. Memberi hadiah hukumnya dianjurkan
selama tidak menimbulkan salah faham yang berujung maksiat. Seperti
pemberian bingkisan dari seorang pria kepada wanita yang bukan mahramnya.
Jika terjadi maka hal ini menimbulkan tanda tanya bagi wanita tersebut. bahkan
bisa berujung pada pacaran. Sebuah jalinan cinta yang Allah haramkan dalam
Al Qur’an. Dalil larangan pemberian hadiah jika menjerumuskan kedalam
fitnah sebagai berikut:
والضرار ضرر ال Artinya : “Janganlah engkau merugikan diri sendiri dan orang lain.”26
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghargai orang lain
termasuk dalam perkara pemberian hadiah. Oleh karena itu Rasulullah SAW.
25 Hasan dalam shahihul jami’us shaghir no 300426 HR Ibnu Majah, Hasan
79
mengajarkan kaum muslimin untuk menerima pemberian hadiah dari orang
lain mekipun sedikit atau berupa hal-hal yang kurang berharga.
Beliau bersabda (artinya): “andai saya diundang untuk menikmati
jamuan berupa satu lengan (kambing) atau jamuan satu betis (kambing) niscaya
akan saya datangi jamuan tersebut.” Begitu pula jika saya diberi hadiah berupa
satu lengan atau betis kambing niscaya kuterima hadiah tersebut.27
Betis dan lengan yang disebutkan di atas hanyalah sebagai contoh hal-
hal yang sepele, sedikit atau kurang berharga meskipun demikian Rasulullah
tetap menerimanya dengan baik. Sebagai seorang yang mengaku cinta beliau
sudah sepatutnya perilaku tersebut kita ikuti agar kita diberi pahala. Pahala atas
perbuatan kita meneladani Rasulullah SAW.
Dari penjelasan di atas mengenai hadiah dan gratifikasi dapat dianalisis
bahwa perbandingan antara hadiah dan gratifikasi beda tipis. Hanya saja makna
dari hadiah lebih tertuju pada hal yang positif. Sedangkan, makna gratifikasi
lebih tertuju pada hal yang negatif. Lalu kita juga dapat membedakannya dalam
hal waktu pemberiannya. Jika barang tersebut diberikan secara cuma-cuma
atau setelah proses perkara selesai. Maka dapat kita simpulkan bahwa itu
adalah hadiah. Tapi, jika diberikan sebelum proses perkara belum selesai maka
dapat dikatakan hal itu adalah gratifikasi.
C. Gratifikasi Seksual dalam Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam
Perbuatan pidana sering disebut dengan beberapa istilah seperti tindak
pidana, peristiwa pidana, dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah
27 Shahih: Shahihul Jami’ no: 5268 dan Fathul Bari V: 199 no: 2568
80
suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
pidana.
Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-
peristiwa yang kongkrit dalam laporan hukum pidana, sehingga perbuatan
pidana harus diberi arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan untuk dapat lebih
mudah dipahami oleh masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan
pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana, asal saja dalam pada itu perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu. Suatu larangan itu ditujukan kepada
perbuatan dimana suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh tingkah
laku orang itu sendiri. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang-
orang yang menimbulkanya.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu. Yang
dimaksud dengan perbuatan yaitu kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan.perbutan pidana menunjuk pada sifat perbuatannya saja.28
Dalam perundang-undangan dikenal objek pemberian atau janji adalah
“sesuatu”. Kata sesuatu berarti segala sesuatu benda maupun bukan benda
yang mempunyai nilai, harga, kegunaan yang menyenangkan pegawai negeri
atau penyelenggara negara penerima suap. Apabila objek yang diberikan itu
adalah benda berwujud, maka makna memberikan di sini adalah menyerahkan
dengan mengalihkan kekuasaan atas benda tersebut ke dalam kekuasaan orang
28 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta :Asdi Mahasatya, 2000), hlm. 56.
81
yang menerima untuk dimiliki atau dinikmati atau digunakan sesuai dengan
maksud pemberian itu. Akan tetapi jika pemberian itu bukan benda berwujud
seperti pekerjaan, fasilitas, jasa dan lain-lain, maka yang beralih bukan
bendanya, tapi penguasaan atas benda tak berwujud itu.29
Menurut Adami Chazawi yang dikutip dari Marjane Termorhuizen
(1998-150) sesungguhnya pada pasal 209 KUHP yang rumusannya diadopsi ke
dalam pasal 5, pada pasal 418 (rumusannya diadopsi ke dalam pasal 11) dan
pasal 419 KUHP (rumusannya diadopsi ke dalam pasal 12 huruf a, b). Unsur/
kata memberi (sesuatu) dalam pasal 5 itu maupun kata/ unsur memberi hadiah
berasal dari kata yang sama yaitu gift yang asal katanya geven artinya memberi
(belanda) yang dari sudut bahasa artinya pemberian atau hadiah, berarti gift
bukan kata kerja melainkan kata benda. Dalam pasal 5 gift diadopsi ke dalam
bahasa Indonesia dengan memberikan sesuatu (memberikan adalah kata kerja,
dan sesuatu adalah objeknya, artinya merupakan kata benda) yang lebih sesuau
dengan kata gift, karena di dalam memberikan sesuatu sudah terkandung unsur
perbuatan memberikan (kata kerja) dan terkandung pula objeknya yakni
sesuatu (kata benda). Sedangkan kata gift yang semula dalam pasal 418 KUHP
diadopsi ke dalam pasal 11 dengan kata hadiah ditambah kata memberi
sehingga menjadi “memberi hadiah”. Kalau kita kembali pada pengertian
sesuatu dalam unsur memberikan sesuatu dalam pasal 5, maka sesuatu itu tidak
saja berupa benda atau kebendaan, tetapi juga segala sesuatu pemberian yang
tidak semata-mata bersifat atau dapat dinilai dengan uang, tatapi bernilai bagi
29 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, hlm. 126-127.
82
yang meneriam. Misalnya suatu jasa, suatu pekerjaan, suatu kemudahan, suatu
fasilitas yang dimasukkan dalam pengertian gratifikasi pasal 12B. Inilah
pengertian yang sebenarnya dari “sesuatu” dalam unsur memberikan atau
menjanjikan menurut pasal 5. Sedangkan pengertian menurut tata bahasa,
hadiah lebih mengacu pada pengertian benda atau kebendaan yang bernilai
uang. Contoh konkret menerima sesuatu yang tidak mungkin sama aritnya
dengan menerima hadiah, namun masuk dalam pengertian pasal 11 atau pasal
12 huruf a (jika si penerima hadiah mengetahui atau patut menduga hadiah itu
diberikan akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan
bertentangan dengan kewajiban jabatannya). Misalnya, seorang berurusan
dengan seorang pegawai negeri yang sangat berselera dengan wanita, orang
tersebut menyodorkan seorang wanita cantik untuk ditiduri dengen
menyediakan fasilitas di sebuah hotel ketika si pejabat ini rapat dinas selama
tujuh hari di suatu kota. Hal itu sukar disebut menerima hadiah. Sungguh sulit
diterima akal apabila perbuatan menerima sodoran seorang wanita cantik itu
disebut menerima hadiah, tetapi dapat diterima jika dengan kalimat menerima
sesuatu. Karena menerima sesuatu pengertiannya lebih luas dari sekedar
menerima sesuatu hadiah. Oleh karena itu menerima hadiah di sini harus
diartikan secara luas, jangan diartikan secara sempit sehingga dapat mencakup
pengertian seperti menerima sodoran wanita cantik tersebut.30
Hukum pidana islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh
Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
30 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hlm. 170-171.
83
kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits. Tindakan criminal yang dimaksud adalah
tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta
tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadits.
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat
yang dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu
menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri
sendiri maupun yang ada pada orang lain.31
Dalam hukum pidana Islam dijelaskan bahwa gratifikasi adalah
perbuatan yang dilaknat oleh Allah, hal ini didasarkan atas hadits Nabi saw.
sebagai berikut:
يف احلكم. لعنة اهللا على الراشي واملرتشيArtinya : “laknat Allah akan ditimpakan kepada orang yang menyuap
dan yang disuap dalam masalah hukum”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)32
يلعنة اهللا على الراشي واملرتشArtinya : “laknat Allah akan ditimpakan kepada orang yang
menyuap dan yang disuap.” (HR. Al-Khamsah [lima periwayat hadits], kecualiAn-Nasa’i dan dianggap sahih oleh At-Tirmidzi)33
31 Zainuddin Ali, Hukum Pidana islam, (Jakarta : Sinar Grafika : 2009) cet. 2, hlm. 132 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,
(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 14.33 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,
(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 14.
84
Sangat penting bagi para pejabat dan pegawai yang bekerja
mengumpulkan sedekah, zakat, jizyah, dan bentuk-bentuk pajak tahunan
lainnya yang ditentukan oleh pemerintah. Agar mereka tidak menerima
bantuan dalam bentuk apa pun karena hal demikan ini merupakan bentuk
perbuatan yang mengarah kepada suap atau risywah, yang bertujuan untuk
mendapatkan bantuan, baik karena membayar pajak penuh atau karena
mendapat hasil tambahan di luar yang telah ditentukan. Rasulullah SAW.
mengutus Abdullah bin Al-Luthbiyyah Azdi untuk mengumpulkan zakat dari
suku Bani Sulaiman. Ketika pembayaran itu sudah diserahkan, Abdullah
berkata: jumlah sebanyak ini sudah terkumpul sebagai zakat dan sisanya yang
lain diberikan dalam bentuk sedekah. Mendengar ini, Rasulullah SAW.
bersabda:
اء إىل رسول أن النيب صلى الله عليه وسلم استـعمل ابن األتبية على صدقات بين سليم فـلما ج أهديت يل فـقال رسول الله الله صلى الله عليه وسلم وحاسبه قال هذا الذي لكم وهذه هدية
نت صلى الله عليه وسلم فـهال جلست يف بـيت أبيك وبـيت أمك حىت تأتيك هديـتك إن ك د الله وأثـىن عليه مث قال أما صادقا مث قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فخطب الن اس ومح
كم وهذه بـعد فإين أستـعمل رجاال منكم على أمور مما والين الله فـيأيت أحدكم فـيـقول هذا ل وبـيت أمه حىت تأتيه هديـته إن كان صادقا فـوالله ال هدية أهديت يل فـهال جلس يف بـيت أبيه
ها شيئا قال هشام بغري حقه إال جاء الله حيمله يـوم القيامة أال فألعرفن ما جاء يأخذ أحدكم منـعر مث رفع يديه حىت رأيت بـياض إبطيه أ الله رجل ببع ال ري له رغاء أو ببـقرة هلا خوار أو شاة تـيـ
.هل بـلغت Artinya: “Nabi saw telah mengangkat Ibnu al-Atabiyyah sebagai Amil
untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Tatkala ia menghadap Rasulullah saw,
beliau saw menanyainya, dan ia menjawab, “Ini untukmu (Ya Rasul),sedangkan ini merupakan hadiah yang telah dihadiahkan kepadaku. Beliau
saw bersabda,”Mengapa engkau tidak duduk di rumah bapak dan ibumu,
85
sampai hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika engkau memang jujur”.Rasulullah kemudian berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia, memuji
Allah dan mengagungkanNya, lalu bersabda, “‘Amma ba’du. Aku telahmengangkat seseorang di antara kalian sebagai Amil untuk mengurusi urusan-
urusan yang telah diserahkan Allah kepadaku. Kemudian, salah seorang di
antara kalian itu datang dan mengatakan, ” Ini untukmu, dan ini adalahhadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Apakah tidak sebaiknya dia duduk sajadi rumah ayat dan rumah ibunya sampai hadiah itu datang sendiri kepadanya,
jika dia memang benar-benar jujur. Demi Allah, salah seorang diantara kalian
tidak boleh mengambil harta tersebut dengan cara yang tidak benar, kecuali
kelak pada hari kiamat dia pasti akan menghadap Allah dengan memikulnya.
Ketahuilah, pasti akan aku saksikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah,
seseorang dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh,
dan kambing yang mengembik. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya
hingga aku melihat ketiaknya yang putih, seraya berkata, “Perhatikanlah,bukankah telah aku sampaikan.”34
Pemberian seperti ini tidak dapat diterima, dan bila semuanya diberikan
maka harta itu harus dimasukkan ke Bayt al-Mal. Orang beriman yang taat
tidak akan memberi dan tidak akan menerima bantuan apa pun selama
tugasnya sebagai pegawai. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalid bin Walid
menerapkan jizyah tahunan terhadap penduduk Hirah di Syiria. Penduduk
Hirah ini sangat terkenal dengan kearifan orang-orang Islam dan hubungan
serta sikap yang baik mereka sehingga mereka memaksa mengirimkan hadiah
kedapa Abu Bakar. Ketika sangat sulit bagi Khalid memberitahu mereka agar
tidak memberi hadiah yang mereka inginkan itu. Pada akhirnya Khalid
menerima hadiah tersebut dan kemudian di perhitungkannya sebagai bagian
34 HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832
86
pajak wajib hingga mengurangi jumblah pembayaran jizyah yang sebenarnya
karena telah dibayarkan sebelumnya.
Kemudian Khalid mengirimkan ke Bayt al-Mal. Khalifah Umar bin
Khatthab juga mengirim pesan-pesan kepada semua gubernurnya sebagai
berikut: “Waspadalah dengan hadiah, sebab hal ini merupakan bagian dari
suap”. Pernyataan Khalifah Umar bin Khatthab itu benar bila kita hubungkan
dengan pandangan masyarakat sekarang. Risywah dewasa ini agaknya telah
merajalela dan dijadikan sebagai kedok hadiah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang saleh benar-benar menolak pemberian dalam bentuk apa pun. Seseorang
berkata kepadanya, bahwa Rasulullah biasa menerima hadiah, lalu dia
menjawab: “Baginya itu adalah hadiah, tetapi bagi kami hal itu adalah suap
karen umat menghendaki dekat dengan beliau berkat kenabian beliau bukan
karena kekuasaan beliau, sementara mereka ingin dekat kepada kami karena
kekuasaan kami”. Dengan kata lain, Nabi SAW. pernah menerima hadiah, lalu
diberikan kepada orang miskin. Orang-orang yang membawakan hadiah
kepada beliau itu tidak punya motif keuntungan diri sendiri. Sementara itu,
dalam kasus para penguasa akhir-akhir ini, maksud pemberian itu tidak lebih
dari tujuan pemberian yang tidak benar dan zalim. Namun demikian, tidak ada
larangan untuk saling memberi dan menerima antara teman dan kerabat.
Manurut hadits Nabi SAW. hadiah itu akan membantu menghilangkan
kebencian dan makin bertambah kecintaan dan kasih sayang. Rasulullah SAW,
juga bersabda: “saling memberi hadiah itu akan menambah rasa cintamu”.
Pengambilan hadiah oleh pegawai pemerintah karena dalam proses
87
pembebasan kewajiban mereka adalah tidak dibenarkan menurut syari’ah. Nabi
mengingatkan “akan datang suatu masa di mana Risywah dianggap halal bagi
masyarakat melalui hadiah dan pembunuhan melalui teguran”.35
Dalam kisah tersebut Allah melaknatnya dan hukumnya haram, apa lagi
dalam hal menerima suap dalam bentuk pelayanan seksual, tentunya Islam
secara tegas melarangnya, karena hal ini termasuk ke dalam perbuatan zina,
karena setiap hubungan kelamin di luar nikah termasuk perbuatan zina dan
diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum kawin,
dilakukan dengan suka sama suka tau tidak.36 Hal ini didasarkan pada ayat al-
qur’an sebagai berikut:
.وال تـقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيال
Artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina ituadalah sesuatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
والذين ال يدعون مع الله إهلا آخر وال يـقتـلون النـفس اليت حرم الله إال باحلق وال يـزنون ومن يـفعل ذلك يـلق أثاما.
Artinya: “dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lainbeserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat(pembalasan) dosa(nya). (QS. Al- Furqan : 68)37
Menurut M. Abduh Malik (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) gratifikasi seksual dalam hukum Islam
termasuk ke dalam jarimah zina. Karena dalam istilah syara’, zina ialah
35 A. Rahman I, Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Syariah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 505-506.
36 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 3.37 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 18-19.
88
persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan
melalu vagina di luar nikah dan bukan nikah syubhat.38 Jadi, dalam hukum
pidan Islam kedudukan hukum gratifikasi seksual sangatlah dilaknat Allah,
perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah risywah dengan cara jarimah zina
yang kategorinya termasuk perbuatan dosa besar.
D. Pelayanan Seksual Sebagai Bentuk Gratifikasi
Biasanya gratifikasi dalam bentuk uang sehingga Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikannya sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji
yang telah di tentukan. Namun, ternyata dalam kasus gratifikasi yang satu ini
melibatkan wanita yang dalam kasus kejahatan sangat identik dengan masalah
seks. Jika keberadaan wanita tersebut adalah sebagai suatu bentuk pelayanan
khusus, tampaknya definisi gratifikasi dalam KBBI perlu direvisi sebab pada
kenyataannya gratifikasi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi bisa saja dalam
bentuk barang, jasa, atau pelayanan khusus terkait syahwat. Keberadaan
pelayanan khusus oleh pihak-pihak tertentu kepada pejabat tinggi tertentu
tudak dapat dipungkiri. Permadi, mantan anggota DPR, mengatakan bahwa
pelayanan semacam ini sudah ada sejak lama dan terus berlangsung hingga
kini, bahkan banyak pejabat yang menikmati pelayanan khusus ini.39
Pemberian hadiah berupa layanan seks dapat dikualifikasikan ke dalam
Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 karena beberapa faktor,
antara lain:
38 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP,(Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 25.
39 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 56-57.
89
a. Pemberian hadiah berupa layanan seks sebagai gratifikasi sesuai dengan
tujuan dibuatnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Berdasarkan interprestasi historis pemberian hadiah berupa layanan
seks sebagai gratifikasi sesusai dengan tujuan dibuatnya Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sesuai dengan Pengertian penafsiran
historis atau sejarah yaitu penafsiran dengan cara menganalisa sejarah
peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui tujuan atau
maksud pembuatannya.40 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
bertujuan untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sejak
orde lama. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
telah ada beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan usaha
pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan
beberapa kali perbaikan dan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Semua peraturan yang ada tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi bertujuan untuk memberantas dan
mencegah terjadinya dampak negatif yang ditimbulkan akibat
dilakukannya tindak pidana korupsi. Gratifikasi seks juga harus
diberantas karena dampak yang ditimbulkan sama dengan tindak pidana
korupsi yang lain. Bahkan dampak gratifikasi seks lebih parah karena
tidak hanya menyangkut ketahanan politik maupun ekonomi tetapi juga
menyangkut nilai-nilai kesusilaan yang ada dalam masyarakat.
40 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 256.
90
b. Pemberian hadiah berupa layanan seks sebagai gratifikasi sesuai
dengan penafsiran ekstensif kata fasilitas lain dalam penjelasan Pasal
12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Berdasarkan interpretasi ekstensif yaitu penafsiran yang
dilakukan dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam
peraturan undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan
ke dalamnya.41 Tidak disebutkannya kata seks dalam definisi
gratifikasi berdasarkan penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 mengakibatkan adanya perdebatan mengenai
pemberian hadiah layanan seks sebagai tindak pidana korupsi
gratifikasi. Seks dapat di masukkan kedalam “fasilitas lain” karena
definisi adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi
kemudahan. Sedangkan “sarana” adalah segala sesuatu yang dapat
dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. Dalam kasus
yang terjadi, pemberian hadiah berupa layanan seks diberikan dengan
tujuan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.
Selain dengan adanya kata “fasilitas lain”, pemberian hadiah berupa
layanan seks telah memenuhi unsur-unsur Pasal 12B Undang- Undang Tipikor
karena:
1) Pemberian layanan seks tersebut “berhubungan dengan jabatan” dari
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian,
41 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 93.
91
artinya si pemberi layanan seks mempunyai kemauan atau kepentingan
yang berhubungan dengan jabatan dari pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima pemberian gratifikasi.
2) Pemberian layanan seks tersebut “berlawanan dengan kewajiban atau
tugas” dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian, artinya balas jasa yang telah diberikan oleh pegawai negeri
atau penyelenggara negara adalah sebagai imbalan atas pemberian
layanan seks yang telah diterima, yang sebenarnya walaupun pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian layanan
seks tidak mepunyai kewenangan langsung atau bahkan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya.
c. Pemberian hadiah berupa layanan seks sebagai gratifikasi telah
diterapkan di negara lain.
Berdasarkan interprestasi komparatif atau penadsiran dengan
jalan perbandingan yaitu suatu metode studi hukum yang mempelajari
perbedaan sistem hukum antara negara satu dengan negara lainnya,42
agar dapat ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang. Untuk
gratifikasi seks dilakukan perbandingan dengan undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi di Negara Singapura karena di
Singapura telah terjadi kasus pemberian hadiah berupa layanan seks
kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara yang pelayanan seks
ini telah menjerat sejumlah pejabat tingginya belakangan ini. Mulai
42 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 77
92
dari pejabat kepolisian, kepala pertahanan sipil, kepala sekolah hingga
seorang profesor hukum yang memberikan nilai bagus kepada
mahasiswinya dengan imbalan pelayanan seks.
Prevention of Corruption Act (Chapter 241) yang merupakan
peraturan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi di
negara Singapura tidak mengatur secara jelas mengenai pemberian
hadiah berupa layanan seks, namun pengertian gratikasi didefinisikan
secara luas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mendefinisikan
gartifikasi secara luas. Dalam Pasal 12B juga tidak disebutkan secara
jelas bahwa seks sebagai salah satu bentuk gratifikasi. Namun, karena
pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan dan
diberikan berlawanan dengan kewajiban atau tugas pegawai negeri
atau penyelenggara negara maka Pasal 12B dapat menjerat pelaku
gratifikasi seks.
Perbandingan hukum mengenai pemberian hadiah berupa
layanan seks antara Indonesia dengan Singapura dilakukan dengan
tujuan untuk menemukan jawaban tepat atas masalah hukum yang
terjadi dengan mengumpulkan berbagai informasi mengenai Undang-
Undang Anti Korupsi Negara Singapura dan mendalami penerapannya
dalam rangka memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
Gratifikasi dalam bentuk pelayan syahwat, tampaknya belum pernah
terjadi pada zaman Nabi sehingga tidak ada hadis yang menyebutkan mengenai
93
hal itu. Kalai hadiah berupa wanita budak, jelas sudah ada. Contohnya adalah
Pembesar Iskandariah yang bernama Al-Muqauqis.43 Ia menghadiahkan kepada
Rasulullah saw. seorang wanita budak yang bernama Maria Al-Qibtiyyah yang
akhirnya menjadi istri beliau dan melahirkan seorang putra bernama Ibrahim,
tetapi meninggal ketika masih kecil. Namun, hadiah jelas berbeda dengan
risywah atau gratifikasi. Selain itu, harus dipahami pula bahwa ketika itu
wanita budak masih dianggap sebagai komoditas yang dapat dihadiahkan. Nabi
juah pernah mendapatkan hadiah berupa seorang budak bernama Mid’am yang
akhirnya meninggal dalam sebuah perjalanan. Ia didoakan oleh para sahabat
agar masuk surga. Nabi tidak setuju dengan doa itu, sebab ternyata ia
menggelapkan sebuah mantel dalam tas punggungnya.44
Karena gratifikasi dalam bentuk syahwat belum ada pada zaman Nabi,
maka hadits-hadits tentang risywah atau gratifikasi selalu dimaknai uang atau
barang. Gratifikasi dalam berbagai bentuknya baik berupa uang, barang, jasa,
maupun pelayanan syahwat menurut hukum pidana Islam, termasuk ke dalam
ranah jarimah takzir. Membuktikan gratifikasi seks memang sangat sulit jika
bukan karena tertangkap tangan. Sementara itu gratifikasi jenis ini sangat dekat
dengan perzinaan. Adapun mengenai perzinaan, menurut catatan sejarah, tidak
43 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 57.
44 M. Nurul Irfan, Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta : AMZAH, 2014), cet. k-1, hlm. 57. Lihat M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum PidanaIslam, hlm. 82-83.
94
pernah ada seorang pun yang dihukum rajam atau dicambuk, kecuali pelaku
mengaku telah melakukannya.45
Layanan ‘selangkangan’ atau layanan seks bagi pejabat negara bukan
rahasia umum lagi. Meski tidak semua pejabat negara melakoninya, praktek
layanan ‘selangkangan’ itu kerap kali dilakukan untuk mendapatkan proyek,
meraih jabatan, dan lainnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga
tampaknya secara tidak langsung mengakui praktek itu berlangsung. Maka,
KPK pun kini tengah mengkaji untuk memasukkan pelayanan seks bagi pejabat
negara atau pegawai negeri sipil (PNS) sebagai gratifikasi. “Selain pemberian
uang, layanan seks kepada pejabat itu memang ada. Biasanya untuk
memuluskan suatu proyek besar. Dia menyatakan dari semua pejabat yang
menerima suap, 75 persen di antaranya pasti menerima pelayanan seks,” ujar
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardie kepada Harian
Terbit, Rabu (9/1), seraya menyatakan dirinya tahu betul pejabat-pejabat yang
mendapat layanan seks. Menurutnya mantan Bendahara Partai Demokrat (PD)
M. Nazaruddin yang ketika itu terjerat berbagai kasus suap dan korupsi
memberikan pelayanan seks bagi pejabat negara untuk memuluskan proyek di
sejumlah kementerian. Nazar tegasnya kemungkinan juga memberikan servis
seks kepada rekan-rekannya di Partai Demokrat agar mendapat dukungan
sebagai pencari dana bagi partai berlambang mercy tersebut. “Kalau KPK ingin
mendalami soal service seks kepada pejabat negara, KPK bisa meminta
informasi dari Nazaruddin. Saya yakin Nazar akan membongkarnya,” ujar Adi.
45 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 20-23.
95
Sementara itu, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendrawinata
dihubungi terpisah mengemukakan, sesuai pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001
tentang tindak pidana korupsi,46 penerimaan pelayanan seks bagi pejabat
negara jelas masuk gratifikasi. Itu kan semacam hadiah yang menyenangkan si
pejabat terkait untuk mempengaruhi langsung atau tidak agar bersedia
memenuhi keinginan si pemberi. Menurut Frans, sebaiknya KPK mempercepat
penjerimaan pelayanan seks termasuk kategori gratifikasi sehingga pencegahan
terhadap prilaku korupsi bisa dimaksimalkan. Sebab, modus korupsi tidak
hanya melalui transaksi uang tetapi juga dengan berbagai cara termasuk service
seks bagi pejabat. Di beberapa negara dalam beberapa kasus pemberian
gratifikasi dalam bentuk lain sempat diusut. Dicontohkannya, salah satunya
salah satu pejabat di Singapura pernah dituntut karena dugaan gratifikasi
layanan seks.Secara terpisah Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengakui
saat ini pihaknya tengah mengkaji apakah penerimaan pelayanan seks itu bisa
dimasukkan kategori gratifikasi. Pengkajian ini merujuk pada konvensi
internasional yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Pandu Praja membenarkan pembahasan pidana bagi para pelaku gratifikasi
seks ini sangat menarik. Apalagi jika nilai pelayanan seks tersebut bisa dinilai
dengan rupiah. Sebab, selama ini dalam undang-undang yang ada kebanyakan
peraturan mengenai sanksi gratifikasi terdapat batasan-batasan nominal rupiah.
Untuk itu, aturan-aturan tersebut masih harus disempurnakan. Sementara itu,
46 Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi : Pemberian dalam artiluas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiketperjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukandengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
96
Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono mengatakan, KPK akan mengkaji
soal gratifikasi seks itu. Sebab undang-undang KPK menyiratkan gratifikasi
tidak harus uang tunai, tapi bisa berupa diskon, dan kesenangan. Dalam
beberapa kasus, lanjut Giri, pemberian gratifikasi dalam bentuk lain sempat
diusut. Salah satunya KPK Singapura pernah menuntut dugaan gratifikasi seks.
Ia menceritakan, seorang kepala badan penanggulangan narkotika di Singapura
diadili dalam persidangan karena dianggap menerima gratifikasi dalam bentuk
perempuan. Hal sama terjadi pada menteri pertahanan di sana. Sebagaimana
diketahui gratifikasi menurut penjelasan pasal 12B UU No 20 tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi meliputi pemberian uang,47 barang, rabat
(potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya
kepada setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara. Ancaman bagi
pejabat atau PNS yang terbukti menerima gratifikasi pidana penjara seumur
hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan
denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Gratifikasi
menurut penjelasan pasal 12B UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya kepada setiap pegawai negeri dan
pejabat penyelenggara negara.48
47 Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Meliputi PemberianUang.
48 Dikutip pada tanggal 20 Agustus 2016 dari https://www.nahimunkar.com/gratifikasi-sex-untuk-pejabat-agar-diusut/
97
BAB IV
SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA GRATIFIKASI SEKSUAL
Dalam bab ini akan dibahas tentang sanksi bagi pelaku tindak pidana
gratifikasi seksual baik bagi pelaku yang memberi atau yang menerima dalam
hukum positif dan hukum Islam.
A. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Gratifikasi Seksual Menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam
Pengaturan mengenai Gratifikasi di Indonesia diatur dalam undang-
undang tersendiri di luar KUHP, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni pada
Pasal 12 B Ayat (1). Di dalam Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan
secara eksplisit bahwa gratifikasi dapat dilakukan dengan pemberian layanan
seksual dan menyebut Gratifikasi Seks sebagai salah satu bentuk gratifikasi
yang dapat dituntut secara hukum. Sehingga, Undang- Undang Tipikor yang
berlaku saat ini dirasa kurang memadai karena belum mampu mengatur
secara terperinci seluruh aspek Gratifikasi Seks, yang dalam hal ini masih
terjadi adanya kekosongan norma.
Pengaturan mengenai Gratifikasi Seks memang belum ada yang
mengaturnya secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Namun bila lebih dikaji sebenarnya sangat perlu adanya aturan
hukum yang lebih mengkhusus terhadap tindak pidana Gratifikasi Seks.
Mengenai kekosongan norma yang terjadi terhadap tindak pidana Gratifikasi
Seks sangat diperlukannya suatu aturan khusus yang mampu mengatur secara
98
menyeluruh dan terperinci serta mampu mengatur seluruh aspek dalam
Gratifikasi Seks.
Apabila dengan adanya UU No. 20/2001 menyebabkan dicabutnya
pasal 209, 418, 419 dan lain-lain dan oleh karenanya tidak perlu
menghubungka antara pasal 5 dengan pasal 11 maupun pasal 12 huruf a dan
b, berarti apabila orang yang menyuap dengan menyodorkan wanita tadi
dipidana berdasarkan pasal 5 karena menyuap dengan memberikan sesuatu,
tidak harus sekaligus, pegawai yang menerima sodoran wanita juga dipidana
berdasakan pasal 11 atau 12 huruf a, b, karena memang pegawai negeri yang
menerima sodoran wanita cantik yaitu dapat dipidana menurut pasal 5 ayat (2)
UU No. 20/2001.
Orang yang menerima sodoran wanita cantik tadi telah melanggar
pasal 11 atau 12 huruf A atau B (bergantung pada unsur-unsur lain yang
terpenuhi), sekaligus melanggar pasal 5 ayat (2). Jadi, di sini terjadi
kebersamaan peraturan. Di mana sistem pemidanaan yang berdasarkan pasal
63 KUHP hanya dijatuhkan satu pidana saja.1
Gratifikasi dalam hal ini merupakan tindak pidana. Gratifikasi seperti
konstruksi dalam Pasal 12 B dan 12 C Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) baru dianggap
sebagai tindak pidana, dalam hal ini dipersamakan dengan suap, apabila
berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan
1 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hlm. 172.
99
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, gratifikasi tersebut adalah
perbuatan yang sah menurut hukum.
Pelaku Tindak Pidana Korupsi “Gratifikasi Seks”, baik pelaku pemberi
maupun penerima Gratifikasi Seks dapat dijerat atau didakwa dengan
ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yakni denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).2
Undang-undang Tipikor mengatur tentang ketentuan sanksi terhadap
pelaku pemberi dan penerima gratifikasi, akan tetapi belum memuat ketentuan
sanksi terhadap pelaku perempuan pemberi layanannya. Di rasa perlu
menerapkan sanksi hukum bagi perempuan pemberi layanan seksual ini,
karena ia dikategorikan sebagai pihak yang turut serta dalam tindak pidana
Gratifikasi Seks yang telah ikut serta mendukung dan merusak citra bangsa
ini.
Begitupun sanksi bagi objek hukum suap (wanita pelayan seks) bisa
dijerat pasal 15, karena ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 tersebut
sebenarnya terdiri dari tiga perbuatan, yaitu, percobaan, pembantuan dan
permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14. Ketentuan pasal 15
tersebut adalah sama dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2)
2 http:// m.hukumonline. com/berita/ baca/lt51a72dfed1d6d, Diakses pada tanggal 29Agustus 2016.
100
UU No. 3 Tahun 1971. Dalam penjelasan tersebut, disebutkan bahwa “karena
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara,
maka percobaan untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik
tersendiri dan diancam dengan hukuman sama dengan ancaman bagi tindak
pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Demikan pula mengingat sifat
dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah
dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri”.
Pasal 15 ini merupakan aturan khusus, karena ancaman pidana pada
percobaan dan pembantuan pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari
kedudukannya sebagai orang yang membantu melakukan tindak pidana
korupsi, dan ia bisa diancam dengan hukum yang sama dengan ancaman bagi
pelaku (pemberi) tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan.
Artinya si pelayan seks bisa dijerat dengan pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana
Korupsi.3
Dalam hal ini Islam secara tegas melarang tindakan gratifikasi seks,
sebab menerima gratifikasi barang seperti uang pada umumnya dilaknat oleh
Allah,4 apalagi objek hukum yang digunakan berupa pelayanan seksual, tentu
saja perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah zina.
Zina, menurut Neng Djubaedah, S.H., M.H. adalah hubungan seksual
yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak
terkait dalam perkawinan yang sah secara syariah Islam, atas dasar suka sama
3 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,hlm. 134-135.
4 A. Rahman I, Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, hlm. 505.
101
suak dari kedua belah pihak, tanpa keraguan (syubhat) dari pelaku atau para
pelaku zina yang bersangkutan.5
Ancaman hukuman bagi pelaku gratifikasi seks itu terkena jarimah
zina, baik itu si penerima ataupun objek (wanita pelayan seks) terancam
hukuman berupa jilid (cambuk atau dera), tagrib (Diasingkan), atau rajam.
Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina ghairu muhsan
(belum penah menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan
(pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual melalui pernikahan yang
sah). Hukum islam mengancam hukuman jilid (cambuk) terhadap pelaku zina
ghairu muhsan batasannya sebanyak seratus kali dera.6 Allah SWT berfirman:
هما مئة جلدة وال تأخذكم ما رأفة يف دين الزانية والزاين فاجلدوا كل واحد منـ.الله إن كنتم تـؤمنون بالله واليـوم اآلخر وليشهد عذابـهما طائفة من المؤمنني
Artinya: “Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada merekamencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepadaAllah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman merekadisaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman”.
Para ulama selain Khawarij bersepakat bahwasannya hukuman bagipezina bagi status muhsan (sudah kawin) adalah rajam.7 Hal ini berdasarkanhadits berikut:
أتى رسول اهللا صلى عن أبيب حريـراة ، وزيد بن خالد ،أنـهما قاال, أن رجال من األعراب اهللا عليه وسلم ، فقال : يا رسول اهللا ، أنشدك اهللا إال قضيت يل بكتاب اهللا،وقال اخلضم
ننا بكتاب اهللا , وئذنلي , فقال رسول اهللا صم : وهو أ -اآل خر فـقه منه : نـعم , فاقض بـيـفا على هذا , فـزنىبامرئته , وإين أخربت أن على ابين الرجم : إ "قل" , قال ن ابن كان عسيـ
5 Neng Djubaedah S.H., M.H., Perzinahan Dalam Peraturan Perundang-undangan diIndonesia Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana 2010), ed. 1, cet. 1, hlm. 119.
6 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid IV, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu), hlm.151.
7 Wabbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 317
102
مائة فافـتديت منه مبائة شاة ووليدة , فسألت أهل العلم , فأخربوىن أن على ابين جلد ريب عام، وإن علىامرأة هذا الرجم ، فـقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : والذي وتـغ
نكما بكتاب اهللا , الوليدة والغنم رد ، وعلى ابنك جلد مائة نـفسي بيده، ألقضني بـيـغد يا أنـيسلرجل من أسلم . إىل امرأة هذا، فإن اعتـرفت فارمجها، قال : وتـغريب عام، وا
ا رسول اهللا صم. فـرمجت.فـغدا ها ، فاعتـرفت ، فأمر عليـArtinya: “Dari Abi Hurairah dan Zaid bin Khalid mereka berkata,
bahwa ada seorang laki-laki Baduwi datang ke tempat Rasulullah saw.Seraya berkata, Ya Rasulullah! Demi Allah, sungguh aku meminta kepadamukiranya engkau dapat memutuskan hukum untukku dengan kitabullah, sedanglawannya berkata – padahal yang kedua ini lebih pintar dari pada dia- Ya,putuskanlah hokum antara kami berdua ini menurut kitabullah, danizinkanlah aku (untuk berkata), Lalu Rasullullah saw menjawab, “silahkan”..maka berkatalah kedua orang itu, bahwa anakku bekerja kepada orang inilalu ia berzina dengan istrinya sedang aku sendiri sudah diberitahu, bahwaanakku itu harus dirajam lalu aku akan menebusnya dengan seratus kambingdan seorang anak perempuan (walidah), lalu aku bertanya pada orang-orangyang pintar maka jawabnya, bahwa anakku harus di dera seratus kali dandiasingkan (dipenjara) selama setahun, sedang istri orang ini harus dirajam.Maka jawab Rasulullah saw ,“Demi dzat yang diriku dalam kekuasaanNya,sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan kitabullah, yaitu: Hambadan kambing itu dikembalikan (kepadamu), sedang anakmu harus dideraseratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai Unais pergilahbertemu seorang dari Aslam untuk bersama sama ketempat istri orang ini,dan tanyakan , jika dia mengaku (berzina) maka rajamlah dia”. AbuHurairah berkata, Unais kemudian berangkat ke tempat perempuan tersebut,dan perempuan itupun mengaku. Lalu oleh Rasulullah saw diperintahkanuntuk dirajam, kemudian ia pun di rajam.” Muttafaq ‘alaih, dan susunanmatan hadits ini menurut riwayat muslim.8
Muhammad Abduh Malik mengatakan bahwa pembuktian dalam
jarimah zina terdapat empat macam, yaitu, pengkuan diri dari pelaku zina,
penglihatan mata dari para saksi (dibutuhkan empat saksi laki-laki yang
dikuatkan oleh sumpah), bukti kehamilan (dikuatkan dengan bukti forensik
8 Ash Shan’ani, Subulussalam IV, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, (Surabaya:Al-Ikhlas, 1995), hlm. 14-16.
103
dari dokter ahli) dan bukti telah terjadinya senggama (dikuatkan dengan bukti
forensik dari empat dokter ahli yang dikuatkan dengan sumpah).9
Sedangkan si pemberi (yang menyodorkan wanita) terkena jarimah
takzir, yang hukumannya ditetapkan berdasarkan keputusan hakim.
Begitupun hukuman bagi objek (wanita pelayan seks) yang melayanin
penerima, sedikit kemungkinan bagi mereka hanya melakukan maksiat di
suatu tempat seperti hotel. Maka dari itu, harus dilihat dulu secara jelas
apakah mereka hanya berduaan (qurbu zina) atau bahkan mereka melakukan
perzinaan. Kalau mereka hanya berduaan (qurbu zina) di hotel, maka sanksi
bagi mereka adalah jarimah takzir.
Jadi, dalam kasus gratifikasi seksual ini Islam telah melarang secara
tegas dan jelas. karena dampak dari perbuatan tersebut merusak moral bangsa
dan juga merugikan negara.
9 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm.273-274.
104
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan bahwa subtansi
yang sangat penting dalam penelitian tindak pidana gratifikasi seksual
ialah sebagai berikut:
1. Gratifikasi seksual ialah hadiah pelayanan seksual yang diterima oleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan
kewajiban atau berhubungan dengan jabatannya. Gratifikasi seksual ini
termasuk ke dalam tindak pidana korupsi, karena merujuk pada
pengertian “sesuatu” yang ada dalam undang-undang yang artinya
segala sesuatu benda yang berwujud atau tidak berwujud, benda yang
mempunyai nilai, harga, kegunaan yang menyenangkan. Misalnya
suatu jasa, suatu pekerjaan, suatu kemudahan, suatu fasilitas yang
dimasukkan dalam pengertian gratifikasi pasal 12B, termasuk
gratifikasi seksual. Ancama hukuman gratifikasi seksual dalam hukum
pidana positif bisa di jerat Pasal 5 ayat (1) (bagi si pemberi), Pasal 5
ayat (2), Pasal 12 Huruf a dan b, atau Pasal 12B (bagi si penerima) dan
Pasal 15 (bagi objek/wanita pelayan seks) UU No. 31 Tahun 1999 Jo.
UU No. 20 Tahun 2001 sepanjang memenuhi unsur-unsur tersebut.
2. Dalam hukum pidana Islam istilah gratifikasi bisa dikategorikan ke
dalam risywah, tetapi untuk persoaln gratifikasi seksual Islam pun
secara tegas melarangnya karena hal demikian merupakan jarimah
105
risywah dengan cara jarimah zina. Perbuatan ini sangat jelas bahwa
Allah melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Apalagi
objek (pemberiannya) berupa jasa pelayanan seksual, tentu saja
perbuatan tersebut ternasuk dosa besar dan diancam dengan hukum
takzir berupa penjara, pengasiangan, cambuk, atau bisa terancam
hukuman mati. Dan juga terancam hukuman hudud barupa cambuk
atau rajam (hukuman mati). Dalam perbandingan hukum pidana positif
dan hukum pidana Islam ini tentu keduanya mempunya perbedaan dari
segi pengertian, jenis atau pun sanksinya. Tetapi pada dasarnya kedua
hukum tersebut sama-sama melarang keras perbuatan gratifikasi
seksual, karena dampaknya bisa merusak moral bangsa dan juga
merugikan keuangan atau perekonomian negara.
B. SARAN
Perbuatan gratifikasi seksual sangatlah merusak moral bangsa dan
negara, dengan demikian kita sebagai umat yang memegang teguh ajaran
agama tentunya pemegang roda pemerintahan harus benar-benar hati-hati
dan serius dalam hal menjalani kewajibannya. Apalagi para penegak
hukum, sudah menjadi kewajiban untuk menciptakan keadilan sosial bagi
seluruh bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini masyarakat menganggap
gratifikasi seksual ini sudah lumrah. Maka dari itu para penegak hukum
harus bergerak cepat tanpa pandang bulu mengatasi permasalahan korupsi
khususnya isu-isu merebahnya gratifikasi seksual, tentunya para penegak
106
hukum harus mengklarifikasikan dan mempublikasikan dalam berbagai
media bahwa gratifikasi seksual itu termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Bagi masyarakat tentunya harus menanamkan image sejak dini
bahwa korupsi kejahatan luar biasa, juga mendukung dan mengawasi
kinerja aparatur pemerintahan dengan mengontrolnya supaya terjadi
keseimbangan antara pemerintah dan masyarakat.
107
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman I, Doi. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Syariah.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Abu Abdul Halim Ahmad. 1996. Suap, Dampak dan Bahayanya “Tinjauan Syar’I
dan Sosial”. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Abu Fida’ Abdur Rafi. 2004. Terafi Penyakit Korupsi. Jakarta : Republika.
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1: Stelsel Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta:
PT. Raja Grafindo.
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia.
Jakarta : Bayumedia Publishing. Cet. Pertama.
Ahmad Hanafi. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
cet. ke-3.
Ahmad Wardi Muslich. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Fatawa Al-Hindiyyah. Beirut : Dar Al-Fakr, 2008. jilid III.
Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta:
Mahakarya Rangkang Offset.
Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Arya Maheka. Mengenal dan Memberantas Korupsi. Jakarta : Veteran III, tt.
108
Ash Shan’ani. Subulussalam IV, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
B.N Marbun. 2006. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Edisi kedua.
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : Citra
Aditya Bakti. cet. ke-1.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rineka
Cipta.
Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Cholid Narboko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi
Pustaka.
Darwan Prints.2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. ed. ke-3, cet. ke-3.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Umum. Edisi keempat.
Doni Muhardiansyah, dkk. 2010. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi. cet.ke-1.
E. Utrecht. 1958. Hukum Pidana I. Universitas. Jakarta.
Ermansjah Djaja. 2010. Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Sinar Grafika.
109
Farid Abdul Khaliq. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah.
H. Muchsin. 2006. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Iblam.
Hadari Nawawi. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Hendi Suhendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ibn Hajar al-‘Ashqalani, At-Talkhîsh Al-Habîr, 3/69-70, ed. As-Sayid Abdullah
Hasyim al-Yamani al-Madani, Madinah al-Munawarah. 1384-1964;
Abdurrauf al-Minawi, Faydh Al-Qadîr, 3/357, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, cet. i. 1415 – 1994.
Ibrahim bin Fatih bin Abd Al-Muqtadir. 2006. Uang Haram. Jakarta: Amzah.
Idris Ahmad. 1986. Fiqh Al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah.
Indrianto Seno Adji. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit
Media. Cet. Pertama.
Ishaq. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Karjadi, M dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Bogor: Politeia.
KPK, Buku Saku : Memahami untuk Membasmi, 2006.
Laden Marpaung. 2005. Asas-Asas Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
M. Hamdani Rasyid. 2003. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual.
Jakarta: P.T. Al-Mawardi Prima. cet. Ke-1.
M. Nurul Irfan dan Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta : Amzah.
110
M. Nurul Irfan. 2011. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. Edisi
kedua.
M. Nurul Irfan. 2014. Gratifikasi & Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana
Islam. Jakarta : AMZAH. cet. k-1.
M. Thalhah dan Achmad Mufid. 2008. Fiqh Ekologi. Yogyakarta: Total Media.
Mahrus Ali. 2013. Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press.
Mansyur Semma. 2008. Negara dan Korupsi (Pemikiran Mochtar Lubis atas
Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Muhammad Abduh Malik. 2003. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan
KUHP. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhammad Abu Zahra. 1998. al-Jarimah wa al-Uqubah fi Fiqh al-Islami. al-
Qahirah: Dar al-arabi.
Neng Djubaedah S.H., M.H., 2010. Perzinahan Dalam Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana
2010. ed. 1, cet. 1.
Pipin Syarifin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. 2011. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana. cet. Ke-5.
Prof. Drs. H. A. Jazuli. 1997. Fikih Jinayah. Upaya Menanggulangi Kejahatan
dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. edisi. II, cet. ke-2.
R. Wiyono. 2005. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
111
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
Sukandar rumidi. 2004. Metode Penelitian, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Tim Tsalisah. Ensiklopedia Hukum Islam. Bogor: PT. Kharisma Ilmu. jilid IV.
Wabbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul
Hayyie Al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani.
Yonky Karman. 2010. Korupsi Manusia Indonesia, Opini Kompas, selasa, 10
April 2010.
112
http:// m.hukumonline. com/berita/ baca/lt51a72dfed1d6d,
http://cbanulis.blogspot.co.id/
http://generasibaru-intip.blogspot.co.id/2011/02/analisis-penghapusan-pasal-
kuhp.html
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/02/05/hadiah/
http://ockym.blogspot.co.id/2012/12/makalah-fiqih-bab-hadiah.html
http://www.antikorupsi.org/id/content/dugaan-pemerasan-eks-pejabat-bea-cukai-
jadi-tersangka
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/kuhp/asiamaya_kuhp_penal_code
_jabatan.htm
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6583/ uang-suap
http://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi/mengenai-gratifikasi
http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Suap-dalam-KUHP-dan-UU-
Tipikor;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962b20ca396d4194bfe191382
369326 a9db
https://muslim.or.id/23736-bolehkah-dosen-menerima-hadiah-dari-mahasiswa-
1.html
https://muslim.or.id/23740-bolehkah-dosen-menerima-hadiah-dari-mahasiswa-
2.html
https://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/17/063473942/hakim-setyabudi-
diduga-menerima-gratifikasi-seks,
https://www.nahimunkar.com/gratifikasi-sex-untuk-pejabat-agar-diusut/