good tourism governance dalam pengelolaan kampung wisata

17
GOOD TOURISM GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN KAMPUNG WISATA DI KAWASAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA GOOD TOURISM GOVERNANCE IN TOURISM VILLAGE MANAGEMENT IN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA Oleh: Isna Khoirul Hidayat dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si., Fakultas Ilmu Sosial UNY, [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam penerapan prinsip Good Tourism Governance dalam pengelolaan kampung wisata di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta. Desain penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik analisis data menggunakan teknik menurut Pohan, mencakup analisis langkah permulaan (pengolahan) dan langkah lanjut (penafsiran). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip good tourism governance dalam pengelolaan kampung wisata di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta sudah diterapkan, namun penerapannya masih belum optimal. Hal tersebut terlihat dari: keaktifan dan sinergitas pemangku kepentingan belum sepenuhnya terwujud, hanya masyarakat tertentu yang aktif berpartisipasi, program pelatihan masih belum berkelanjutan, manfaat kampung wisata dan kemitraannya belum dirasakan secara luas dan belum mampu mendorong kepemilikan lokal, aspirasi masyarakat terhenti pada akar rumput, promosi masih minim dan berdiri sendiri-sendiri, serta pedoman monitoring dan evaluasi kampung wisata masih sederhana tanpa ada indikator khusus guna mengukur dampak dari kegiatan wisata yang dilakukan. Prinsip Good Tourism Governance tersebut perlu dioptimalkan apabila kampung wisata di kawasan Kotagede hendak dijadikan alternatif wisata yang berdaya saing. Kata kunci: Good Tourism Governance, Kampung Wisata, dan Kotagede ABSTRACT This research aimed to understand the application of Good Tourism Governance principles in tourism village management in Kotagede Kota Yogyakarta. The design of this research was descriptive research with qualitative approach. The researcher used data analysis technique by Pohan, include startup step (processing) and advanced step (interpretation). The results showed that the good tourism governance principle in tourism village management in Kotagede has not optimal applied yet. First, the synergy between stakeholders has not realized yet and only certain members of the community which were actively participated. Second, sustainability of training programs has not reached yet. Third, the benefits of tourism village and it’s partnership has not widely felt and able to encourage local ownership yet and the community aspirations has been stalled at the grassroots, Then, the promotional activities was still minimum and carried out independently. Last, the guidelines for monitoring and evaluation steps was very simple without specific indicators to measure the impact of tourism activities. The principle of Good Tourism Governance need to be optimized in Kotagede, so it can be a competitive tourism alternative in Yogyakarta. Keywords: Good Tourism Governance, Tourism Village, and Kotagede Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,) 545

Upload: others

Post on 20-Feb-2022

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GOOD TOURISM GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN KAMPUNG

WISATA DI KAWASAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA

GOOD TOURISM GOVERNANCE IN TOURISM VILLAGE MANAGEMENT IN

KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA

Oleh: Isna Khoirul Hidayat dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si., Fakultas Ilmu Sosial UNY,

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam penerapan prinsip Good Tourism

Governance dalam pengelolaan kampung wisata di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta. Desain

penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik analisis data menggunakan teknik

menurut Pohan, mencakup analisis langkah permulaan (pengolahan) dan langkah lanjut (penafsiran).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip good tourism governance dalam pengelolaan kampung

wisata di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta sudah diterapkan, namun penerapannya masih belum

optimal. Hal tersebut terlihat dari: keaktifan dan sinergitas pemangku kepentingan belum sepenuhnya

terwujud, hanya masyarakat tertentu yang aktif berpartisipasi, program pelatihan masih belum

berkelanjutan, manfaat kampung wisata dan kemitraannya belum dirasakan secara luas dan belum

mampu mendorong kepemilikan lokal, aspirasi masyarakat terhenti pada akar rumput, promosi masih

minim dan berdiri sendiri-sendiri, serta pedoman monitoring dan evaluasi kampung wisata masih

sederhana tanpa ada indikator khusus guna mengukur dampak dari kegiatan wisata yang dilakukan.

Prinsip Good Tourism Governance tersebut perlu dioptimalkan apabila kampung wisata di kawasan

Kotagede hendak dijadikan alternatif wisata yang berdaya saing.

Kata kunci: Good Tourism Governance, Kampung Wisata, dan Kotagede

ABSTRACT

This research aimed to understand the application of Good Tourism Governance principles in

tourism village management in Kotagede Kota Yogyakarta. The design of this research was

descriptive research with qualitative approach. The researcher used data analysis technique by

Pohan, include startup step (processing) and advanced step (interpretation). The results showed that

the good tourism governance principle in tourism village management in Kotagede has not optimal

applied yet. First, the synergy between stakeholders has not realized yet and only certain members of

the community which were actively participated. Second, sustainability of training programs has not

reached yet. Third, the benefits of tourism village and it’s partnership has not widely felt and able to

encourage local ownership yet and the community aspirations has been stalled at the grassroots,

Then, the promotional activities was still minimum and carried out independently. Last, the

guidelines for monitoring and evaluation steps was very simple without specific indicators to measure

the impact of tourism activities. The principle of Good Tourism Governance need to be optimized in

Kotagede, so it can be a competitive tourism alternative in Yogyakarta.

Keywords: Good Tourism Governance, Tourism Village, and Kotagede

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

545

PENDAHULUAN

Pertumbuhan sektor pariwisata tentu

tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam

menentukan arah pembangunan nasional

yang terwujud dalam berbagai kebijakan.

Semenjak diundangkannya Undang-Undang

No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,

maka pada prinsipnya keseluruhan

kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan

di Indonesia harus mendasarkan diri pada

prinsip dan kaidah yang terdapat pada

Undang-Undang tersebut beserta segenap

peraturan perundangan pelaksanaannya.

Mandat penting yang ditetapkan dalam UU

No. 10 tahun 2009, terutama terkait dengan

penyelenggaraan kepariwisataan di

Indonesia yakni diberikannya kewenangan

kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah

untuk menyusun dan menetapkan rencana

induk pembangunan kepariwisataan sesuai

dengan tingkatan kewenangannya.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

menjadi salah satu daerah di Indonesia yang

cukup mampu mengelola kekayaannya

meliputi alam, budaya, sosial, sejarah

maupun pendidikan menjadi wisata yang

berdaya saing. Meskipun dalam

pelaksanaannya diketahui bahwa kegiatan

wisata di DIY masih terpusat di beberapa

wilayah dan kurang terdistribusi. Hal

tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.

sebagai berikut.

Tabel 1. Data Jumlah Wisatawan di DIY

Tahun 2014-2016

(Sumber: Buku Statistik Kepariwisataan

DIY 2014-2016, diolah)

Kota Yogyakarta sebagai bagian dari

Daerah Istimewa Yogyakarta mengarahkan

pengembangan wisatanya pada beberapa

area. Haryadi Suyuti (Walikota

Yogyakarta) memaparkan bahwa destinasi

baru yang sedang dibangun oleh

Pemerintah Kota Yogyakarta meliputi area

Kraton, Prawirotaman dan Kotagede.

Adapun ketiga lokasi ini diproyeksikan

menjadi destinasi wisata baru yang

dikembangkan di Kota Yogyakarta.

(Yanuar H., 28 Mei 2017, diakses pada

Liputan6.com hari Senin, 30 Oktober

2017).

Salah satu daya tarik yang potensial

dikembangkan di Kota Yogyakarta adalah

kampung wisata. Kampung wisata sebagai

Obyek Daya Tarik Wisata baru minat

khusus yang berbasis potensi wilayah

kampung memiliki peranan strategis dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sekaligus dalam upaya meningkatkan

kunjungan wisatawan (Dorojati & Astuti,

2016:73-86). Pemerintah Kota Yogyakarta

kemudian memperjelas dasar hukum dalam

Kota/ Kab.

Jumlah Wisatawan DIY

(dalam juta orang)

2014 2015 2016

Yogyakarta 5,25 5,62 5,52

Sleman 4,22 4,95 5,94

Bantul 2,71 4,52 5,15

Kulon Progo 0,91 1,29 0,83

Gunung Kidul 3,68 2,64 3,48

TOTAL 16,78 19,02 20,92

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

546

penyelenggaraan dan pengembangan

kampung wisata sekaligus mempertegas

keberadaan kampung wisata dengan

dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta Nomor 3 tahun 2015 tentang

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Daerah Kota Yogyakarta

Tahun 2015-2025 dan Peraturan Walikota

Yogyakarta Nomor 115 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Kampung Wisata.

Hingga saat ini terdapat 17 kampung

wisata di Kota Yogyakarta yang sudah

dikukuhkan oleh pemerintah, namun baru

ada satu kampung wisata yang masuk

kategori mandiri yakni Kampung Wisata

Dipowinatan. Sedangkan lima kampung

wisata masih dalam taraf rintisan dan 11

kampung wisata masuk kategori

berkembang (Putri, 12 Januari 2017,

diakses pada Republika.co.id hari Rabu, 27

September 2017). Adapun klasifikasi

tersebut berdasarkan pada pasal 14

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 115

tahun 2016 yang terdiri dari 3 klasifikasi

kampung wisata yaitu rintisan, berkembang,

dan mandiri. Klasifikasi kampung wisata

dalam hal ini didasarkan pada penilaian

yang dilakukan oleh Tim Penilai Akreditasi

yang dibentuk oleh Dinas Pariwisata Kota

Yogyakarta.

Keberadaan 17 kampung wisata

tersebar di berbagai wilayah di Kota

Yogyakarta, tiga diantaranya yakni berada

di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta.

Seperti dipaparkan sebelumnya, kawasan

Kotagede merupakan salah satu kawasan

yang dijadikan prioritas dalam

pengembangan pariwisata oleh Pemerintah

Kota Yogyakarta. Selain terkenal dengan

wisata budaya, sejarah dan heritage

(bangunan), kegiatan wisata Kotagede juga

didukung dengan keberadaan tiga kampung

wisata yang terletak di cakupan wilayahnya.

Ketiga kampung tersebut yaitu Kampung

Wisata Rejowinangun, Kampung Wisata

Prenggan, dan Kampung Wisata Purbayan.

Berdasarkan hasil wawancara yang

dilakukan oleh peneliti dengan bapak Budi

Harto (Ketua Pengelola Kampung Wisata

Purbayan), Ibu Shinta (Koordinator

Komunitas Jelajah Pusaka Kotagede),

Bapak Untung (Ketua Pengelola Kampung

Wisata Rejowinangun) dan Ibu Wiwik

(Ketua Pengelola Kampung Wisata

Prenggan) diketahui bahwa hanya terdapat

dua dari tiga kampung wisata di kawasan

Kotagede yang masih aktif dikelola, yaitu

kampung wisata Prenggan dan kampung

wisata Rejowinangun. Sedangkan kampung

lainnya, yaitu kampung wisata Purbayan

sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi

dikelola sebagai kampung wisata.

Layaknya kampung wisata lainnya,

kampung wisata Prenggan dan

Rejowinangun juga menghadapi sejumlah

permasalahan seperti masalah sumber daya

yang kurang memadai, kesadaran

masyarakat untuk ikut mengelola kampung

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

547

yang masih rendah, pengoranisasian atau

pelembagaan kampung wisata yang belum

baik, ketersediaan fasilitas kampung yang

kurang menunjang aktivitas wisata,

minimnya pemasaran/promosi wisata,

adanya kegiatan wisata lokal yang berdiri

sendiri di luar kampung wisata, kemitraan

yang masih kurang optimal serta rendahnya

kontrol terhadap pengelolaan kampung

wisata itu sendiri.

Upaya pemerintah dalam

menyelesaikan sejumlah permasalahan di

bidang kepariwisataan, termasuk dalam

kaitannya dengan kampung wisata,

menggunakan beberapa pendekatan atau

konsep. Pendekatan yang telah banyak

diterapkan oleh pemerintah diantaranya

Community Based Tourism, Sustainable

Tourism dan Good Tourism Governance.

Good Tourism Governance atau Tata

Kelola Kepariwisataan yang Baik

merupakan konsep yang diadaptasi dari

konsep Good Governance untuk melakukan

pengelolaan di sektor pariwisata.

Pengelolaan sektor pariwisata berdasarkan

konsep ini mengedepankan keterlibatan 3

(tiga) aktor kunci, yaitu pemerintah,

masyarakat dan swasta (Sunaryo, 2013: 77).

Ketiganya memiliki peran yang strategis

dalam pengelolaan kampung wisata,

sehingga sinergitas hubungan ketiganya

menjadi faktor yang menentukan

keberhasilan pengelolaan kampung wisata,

termasuk dalam pengelolaan kampung

wisata di kawasan Kotagede.

Prinsip pengelolaan pariwisata yang

baik oleh Cox (Pitana dan Diarta, 2009:81)

dijelaskan sebagai berikut.

1) Pembangunan dan pengembangan

pariwisata harus didasarkan pada

kearifan lokal dan special local sense

yang merefleksikan keunikan

peninggalan budaya dan keunikan

lingkungan.

2) Preservasi (pemeliharaan), proteksi

(perlindungan), dan peningkatan

kualitas sumber daya yang menjadi

basis pengembangan kawasan

pariwisata.

3) Pengembangan atraksi wisata

tambahan yang mengakar pada

kekhasan budaya lokal.

4) Pelayanan kepada wisatawan yang

berbasis keunikan budaya dan

lingkungan lokal.

5) Pemberian dukungan dan legitimasi

pada pembangunan dan

pengembangan pariwisata jika

terbukti memberikan manfaat positif

tetapi sebaliknya mengendalikan

dan/atau menghentikan aktivitas

pariwisata tersebut jika melampaui

ambang batas (carrying capacity)

lingkungan alam atau akseptabilitas

sosial walaupun di sisi lain mampu

meningkatkan pendapatan

masyarakat.

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

548

Lebih lanjut, Sunaryo (2013:78-81)

memaparkan bahwa tata kelola

kepariwisataan yang baik atau Good

Tourism Governance terdiri dari 10 prinsip.

Prinsip tersebut meliputi prinsip partisipasi

masyarakat terkait, keterlibatan pemangku

kepentingan, kemitraan kepemilikan lokal,

pemanfaatan sumber daya secara berlanjut,

aspirasi masyarakat, daya dukung

lingkungan, monitoring dan evaluasi

program, akuntabilitas lingkungan,

pelatihan masyarakat terkait, serta promosi

dan advokasi nilai budaya lokal.

Adapun permasalahan-permasalahan

yang dihadapi dalam pengelolaan kampung

wisata di Kawasan Kotagede Kota

Yogyakarta tercakup dalam beberapa

prinsip Good Tourism Governance

(Sunaryo, 2013:78-81). Adapun kesesuaian

meliputi: 1) kondisi sumber daya yang

kurang memadai dan pengoranisasian

kampung yang belum baik mengarah pada

prinsip pemanfaatan sumber daya berlanjut,

2) rendahnya kesadaran masyarakat

meliputi prinsip partisipasi masyarakat

terkait, 3) ketersediaan fasilitas kampung

kurang menunjang wisata mengacu pada

prinsip daya dukung lingkungan, 4)

minimnya promosi wisata terkait dengan

prinsip promosi dan advokasi nilai budaya

kelokalan, 5) kegiatan wisata lokal berdiri

sendiri di luar kampung wisata terkait

prinsip keterlibatan segenap pemangku

kepentingan, 6) kemitraannya yang kurang

Berdasarkan paparan tersebut, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang

Good Tourism Governance (Sunaryo,

2013:77-81) dalam Pengelolaan Kampung

Wisata di Kawasan Kotagede Kota

Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk

memahami secara mendalam penerapan

prinsip Good Tourism Governance dalam

pengelolaan kampung wisata di kawasan

Kotagede Kota Yogyakarta. Pentingnya

dilakukan penelitian ini dikarenakan hasil

dari penelitian dapat memberikan gambaran

terkait kampung wisata, memberikan

masukan, serta rekomendasi kepada seluruh

pemangku kepentingan guna mewujudkan

kampung wisata di Kotagede maupun

kampung wisata di Kota Yogyakarta

sebagai obyek daya tarik wisata unggulan.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kawasan

Kotagede Kota Yogyakarta, khususnya

pada Kampung Wisata Rejowinangun dan

Kampung Wisata Prenggan. Penelitian ini

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

optimal tercakup dalam prinsip kemitraan

kepemilikan lokal, 7) serta rendahnya

kontrol pengelolaan kampung wisata

berkaitan dengan prinsip monitoring dan

evaluasi program.

549

dilakukan pada bulan 6 Februari 2018

hingga bulan 2 Juli 2018.

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini yaitu: Kasi

ODTW Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta,

Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan

Kotagede, Lurah Prenggan, Lurah

Rejowinangun, Ketua Pengelola Kampung

Wisata Prenggan dan Rejowinangun,

Koordinator Komunitas Jelajah Pusaka

Kotagede, dan Marketing Supervisor dari

H.S. Silver 800-925.

Data dan Sumber Data

Data Primer diperoleh melalui

wawancara dan observasi di lapangan.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari

data dokumen dari aktor yang terlibat yang

didapat di lokasi penelitian.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian

ini yaitu peneliti sendiri, didukung dengan

alat bantu penelitian berupa benda seperti

kertas, pensil atau pulpen, pedoman

wawancara, pedoman observasi, dan

smartphone yang difungsikan sebagai alat

perekam dan kamera. Validasi terhadap

peneliti meliputi validasi terkait

pemahaman metode penelitian yang

digunakan serta wawasan terkait bidang

kepariwisataan, kampung wisata dan good

tourism governance.

Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara dalam penelitian ini

bersifat semi terstruktur, agar alur

pertanyaan dalam wawancara lebih

terarah, jelas dan mudah untuk dipahami

oleh informan yang ditemui.

2. Observasi

Peneliti dalam penelitian ini

melakukan observasi non-partisipatif.

Observasi dilakukan peneliti dengan

mengamati penyelenggaraan lomba

kampung wisata yang diikuti oleh

kampung wisata Prenggan dan

Rejowinangun. Peneliti juga melihat

kondisi fasilitas-fasilitas pendukung

kampung wisata, keaktifan kampung

wisata, dan pemanfaatan berbagai

sumber daya dalam pengelolaan

kampung wisata di kawasan Kotagede.

3. Dokumentasi

dokumen pendukung penelitian yang

digunakan yaitu meliputi Peraturan

Walikota Yogyakarta No. 115 tahun

2016 tentang Penyelenggaraan Kampung

Wisata, bulletin Kotagede, Data

Monografi Kelurahan Kecamatan

Kotagede tahun 2017, SK Lurah

Prenggan nomor 04/KPTS/

PRENGGAN/2018 dan SK Lurah

Rejowinangun nomor 13/KPTS/RJW/

2014 yang mengatur tentang kampung

wisata, buku sekilas profil kampung

wisata rejowinangun, dan KAK

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

550

(Kerangka Acuan Kerja) fasilitasi

kegiatan ketentraman dan ketertiban

kelurahan Rejowinangun tahun 2017,

serta foto-foto kegiatan kampung wisata.

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Penelitian ini menggunakan teknik

triangulasi sumber. Peneliti berusaha

membandingkan data hasil pengamatan

dengan wawancara, membandingkan

keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan orang

lain, serta membandingkan hasil wawancara

dengan isi dokumentasi.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah menggunakan

teknik analisis data menurut Pohan dalam

Prastowo (2012:238-239). penelitian

kualitatif dengan metode ini mencakup dua

langkah analisis, yaitu langkah permulaan

(proses pengolahan) dan langkah lanjut

(penafsiran).

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Keberhasilan penyelenggaraan tata

kelola kepariwisataan yang baik (good

tourism governance) dapat diukur dari

terlaksananya sepuluh prinsip tata kelola

yang meliputi: keterlibatan pemangku

kepentingan, partisipasi masyarakat terkait,

pelatihan masyarakat terkait, kemitraan

kepemilikan lokal, pemanfaatan sumber

daya secara berlanjut, pengakomodasian

aspirasi masyarakat, daya dukung

lingkungan, akuntabilitas lingkungan,

promosi dan advokasi nilai budaya lokal,

serta monitor dan evaluasi program

(Sunaryo, 2013:78-81). Penerapan

kesepuluh prinsip tata kelola kepariwisataan

yang baik (good tourism governance)

tersebut dalam penyelenggaraan kampung

wisata di Kawasan Kotagede Kota

Yogyakarta yaitu sebagai berikut.

Keterlibatan Segenap Pemangku

Kepentingan

Sunaryo (2013:78) menilai bahwa

para pelaku dan pemangku kepentingan

hendaknya terlibat secara aktif dan

produktif dalam upaya pembangunan

keparwisataan. Pelaku disini meliputi

seluruh pihak yang berpengaruh dan

berkepentingan serta menerima manfaat

dari kegiatan pariwisata. Sesuai dengan

paparan teoritis dari Sunaryo tersebut,

sehingga dalam pengelolaan kampung

wisata di kawasan Kotagede Kota

Yogyakarta para pemangku kepentingan

tentu harus terlibat dalam seluruh proses

demi tercapainya tujuan dalam

penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan

yang baik.

Penerapan prinsip keterlibatan

segenap pemangku kepentingan dalam

Good Tourism Governance (Sunaryo,

2013:78) belum optimal melihat keaktifan

dan sinergitas pemangku kepentingan

belum sepenuhnya terwujud. Penerapan

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

551

prinsip tersebut sejauh ini terhambat oleh

beberapa faktor, seperti terkait minimnya

kontribusi pemerintah lokal, rendahnya

komunikasi pemerintah dengan aktor

lainnya, tidak aktifnya pokdarwis,

keberadaan pelaku wisata lain yang belum

tersinergikan, hingga terkait masalah

keaktifan organisasi pengelola kampung

wisata itu sendiri. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Ardianto

(2016:67) yang juga menyatakan bahwa

keterlibatan pemangku kepentingan masih

belum berjalan optimal dan keterlibatan

masyarakat juga masih minim.

Partisipasi masyarakat Terkait

Sunaryo (2013:78) menyebutkan

bahwa masyarakat hendaknya ikut serta

dalam mengawasi ataupun mengontrol

setiap pembangunan kepariwisataan yang

ada. Keikutsertaan dapat meliputi

keterlibatannya dalam penentuan visi, misi

atau tujuan pembangunan kepariwisataan,

pengidentifikasian potensi daya tarik wisata

beserta upaya pengembangan ataupun

pengelolaannya, hingga partisipasi dalam

pengimplementasian rencana dan program

yang telah disusun sebelumnya.

Peneliti menilai bahwa adanya

partisipasi masyarakat pada kampung

wisata di Kotagede telah dimulai sejak

pembentukan kampung wisata, perencanaan

program, pelaksanaan, hingga keikutsertaan

mengawasi aktivitas pengelolaan kampung

wisata mendukung penelitian Ardianto

(2016:65) yang menjelaskan bahwa bentuk

partisipasi masyarakat dalam mendukung

tata kelola pariwisata meliputi keikutsertaan

masyarakat membangun, memiliki dan

mengelola langsung fasilitas wisata serta

pelayanannya. Selain itu penerapan prinsip

tersebut dalam penyelenggaraan kampung

wisata di kawasan Kotagede juga sesuai

dengan Perwal Yogyakarta No. 115 tahun

2015, dimana pada pasal 5 dijelaskan salah

satu persyaratan teknis penyelenggaraan

kampung wisata yaitu penyelenggaraan

yang harusnya berbasis pada masyarakat.

Secara keseluruhan penyelenggaraan

kampung wisata di Kotagede telah sesuai

dengan prinsip partisipasi masyarakat

terkait. Akan tetapi dalam penerapan

prinsip tersebut masih terkendala beberapa

permasalahan, yakni terkait kegiatan

kampung wisata yang hanya diikuti anggota

masyarakat tertentu, komunitas lokal belum

seluruhnya diikutsertakan, masyarakat

kampung wisata yang cenderung pasif

dalam berpartisipasi, generasi muda yang

juga tidak terlalu dilibatkan, hingga terkait

rendahnya upaya pengawasan kegiatan

kampung wisata oleh masyarakat.

Pelatihan pada Masyarakat Terkait

Pembangunan kepariwisataan secara

berlanjut menurut Sunaryo (2013:80) selalu

membutuhkan pelaksanaan program-

program pendidikan dan pelatihan untuk

membekali pengetahuan dan ketrampilan

serta meningkatkan kemampuan dan

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

552

kapasitas masyarakat sebagai sumber daya

yang potensial. Pelatihan sebaiknya

diarahkan pada topik-topik pelatihan yang

berkaitan dengan wawasan keberlanjutan

pembangunan kepariwisataan. Prinsip

pelatihan pada masyarakat terkait dalam

Good Tourism Governance menurut

Sunaryo (2013:80) dapat diukur dengan

melihat ada atau tidaknya program

pendidikan dan pelatihan masyarakat terkait

kepariwisataan.

Secara keseluruhan prinsip pelatihan

terhadap masyarakat terkait telah terlihat

dari adanya berbagai program pendidikan

dan/atau pelatihan masyarakat terkait

kepariwisataan yang telah diselenggarakan

pada kampung wisata di kawasan Kotagede

Kota Yogyakarta. Berbeda dengan hasil

penelitian dari Ardianto (2016:74) yang

memaparkan bahwa pemerintah daerah

yang dalam hal ini merujuk pada Dinas

Pariwisata Kabupaten Natuna belum

menerapkan program pelatihan bagi

masyarakat terkait, pelatihan

kepariwisataan hanya pernah diberikan

kepada pegawai Dinas Pariwisata dalam

bentuk seminar ataupun workshop.

Adapun program pendidikan dan

pelatihan pada kampung wisata di Kotagede

diselenggarakan baik itu oleh pemerintah

maupun pihak swasta. Walaupun dalam

prakteknya masih terdapat beberapa

kendala dalam penyelenggaraan kegiatan

tersebut, meliputi: kegiatan dari pemerintah

yang cenderung digeneralisasikan, tidak

adanya indikator penilaian hasil ataupun

capaian program di masyarakat, hingga

masalah terkait kegiatan yang belum

dilakukan secara berkala berkelanjutan.

Kemitraan Kepemilikan Lokal

Kemitraan atau partnership dapat

diartikan sebagai hubungan yang terjadi

antara pemerintah, sektor swasta dan

masyarakat dalam rangka mencapai suatu

tujuan bersama. Sunaryo (2013:78)

menjelaskan bahwa usaha-usaha wisata

sebagai fasilitas penunjang kepariwisataan

seharusnya dapat dikembangkan dan

dipelihara bersama dengan masyarakat

setempat melalui model kemitraan yang

sinergis. Lebih lanjut Sunaryo (2013:78)

juga memaparkan bahwa keterkaitan antara

swasta (pelaku-pelaku usaha) pariwisata

dengan masyarakat setempat harus

diupayakan dalam menunjang kepemilikan

lokal dari berbagai usaha tersebut.

Berdasarkan paparan tersebut maka

indikator ketercapaian dari prinsip

kemitraan kepemilikan lokal menurut

Sunaryo meliputi adanya kemitraan dalam

pengelolaan wisata dan adanya upaya

bersama dalam pengembangan dan

pemeliharaan usaha fasilitas penunjang

wisata.

Prinsip kemitraan kepemilikan lokal

dalam penyelenggaraan kampung wisata di

kawasan Kotagede terlihat jelas dari

berbagai kemitraan dan kerjasama yang

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

553

dilakukan oleh kampung wisata bersama

sejumlah pihak swasta atau pelaku usaha

pariwisata yang ada. Meskipun dalam

prakteknya penerapan prinsip tersebut

masih belum optimal. Hal tersebut

dikarenakan kebermanfaatan ataupun

dampak dari adanya kemitraan belum dapat

dirasakan oleh masyarakat kampung wisata

pada umumnya. Kemitraan juga masih

berupa Corporate Social Responsibility

(CSR) secara umum, dan belum dilakukan

khusus dengan kampung wisata. Kemitraan

disini belum mampu mendorong munculnya

kepemilikan lokal dari berbagai usaha

fasilitas penunjang wisata di Kotagede.

Kondisi kemitraan tersebut berbeda dengan

penelitian dari Ardianto (2016:69) yang

meyebutkan bahwa kemitraan kepemilikan

lokal yang terjadi di Kabupaten Natuna

hanya dengan adanya pasar oleh-oleh yang

disediakan oleh pemerintah dengan sewa

lahan usaha untuk berjualan, dimana

penyediaannya pun masih sangat terbatas.

Pemanfaatan Sumber Daya secara

Berlanjut

Setiap proses pembangunan

hendaknya diarahkan untuk menghasilkan

apa yang telah direncanakan dengan

menggunakan sumber daya yang tersedia

sebaik mungkin (Jubaedah, Dawud,

Mulyadi, et al, 2008:32). Pembangunan

kepariwisataan seharusnya dapat

menggunakan sumber daya yang

dibutuhkan secara berlanjut, yang artinya

kegiatan-kegiatannya harus menghindari

penggunaan sumber daya yang tidak dapat

diperbaharui secara berlebihan. Program

kegiatan pembangunan kepariwisataan

dalam pelaksanaannya harus menjamin

bahwa sumber daya yang dipergunakan

dapat dipelihara dan diperbaiki (Sunaryo,

2013:79).

Pemanfaatan sumber daya dalam

penyelenggaraan kampung wisata di

Kawasan Kotagede berdasarkan temuan

hasil penelitian meliputi pemanfaatan

sumber daya manusia, sumber daya alam,

sumber daya budaya, sumber daya minat

khusus dan ditambah dengan sumber daya

modal. Hal tersebut sejalan dengan

pemaparan dari Pitana dan Diarta

(2009:68), yang menjelaskan bahwa sumber

daya dalam pariwisata diartikan sebagai

segala sesuatu yang secara langsung

maupun tidak langsung mempunyai potensi

untuk dikembangkan guna mendukung

pariwisata. Lebih lanjut Pitana dan Diarta

(2009:68) menyampaikan bahwa sumber

daya yang terkait dengan pengembangan

pariwisata umumnya berupa sumber daya

alam, sumber daya budaya, sumber daya

manusia, dan sumber daya minat khusus.

Penyelenggaraan kampung wisata di

Kotagede secara keseluruhan telah

memenuhi prinsip pemanfaatan sumber

daya secara berlanjut. Hal tersebut terlihat

dari bagaimana kedua kampung wisata

dalam memanfaatkan berbagai sumber daya

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

554

yang digunakannya dengan tanpa

mengesampingkan faktor keberlanjutan,

mulai dari pemanfaatan sumber daya alam,

manusia, budaya dan minat khusus, hingga

sumber daya modal. sejalan dengan

penelitian Ardianto (2016:70) yang

menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber

daya di Kabupaten Natuna cukup baik

dimana pemerintah memanfaatkan sumber

daya alam yang tidak berlebihan serta

pembangunan sektor wisata dianggap tidak

merusak lingkungan dan kindahan alam

yang tercipta.

Hambatan yang dihadapi lebih terkait

dengan masalah internal sumber daya

manusia organisasi kampung wisata, terkait

keterbatasan modal yang dimiliki oleh

kampung wisata itu sendiri, dan terkait

pemanfaatan sumber daya budaya yang

masih terkotak-kotak.

Mengakomodasi Aspirasi masyarakat

Aspirasi dan tujuan masyarakat

setempat hendaknya dapat diakomodasikan

dalam program kegiatan kepariwisataan,

agar kondisi yang harmonis antara setiap

komponen pariwisata yang terlibat dapat

diwujudkan dengan baik, mulai dari tahap

perencanaan, manajemen, sampai pada

pemasaran (Sunaryo, 2013:79).

Berdasarkan pemaparan tersebut maka

ketercapaian prinsip mengakomodasi

aspirasi masyarakat dapat dinilai dari ada

atau tidaknya upaya menampung,

menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat.

Sesuai dengan prinsip tersebut, pada

penyelenggaraan kampung wisata di

Kawasan Kotagede sudah terdapat upaya

guna menampung, menyalurkan, dan

menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait

kampung wisata. Kegiatan tersebut

dilakukan oleh dua aktor yakni dari

pengelola atau pengurus kampung wisata

itu sendiri serta dari pemerintah. Swasta

belum aktif terlibat dalam kegiatan tersebut

dikarenakan kerjasama yang terjalin dengan

kampung wisata masih bersifat umum dan

keduanya pun masih berdiri sendiri-sendiri

diluar kemitraan yang dilakukan. Sejalan

dengan penelitian Ardianto (2016:71) yang

menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten

Natuna juga telah merekomendasikan

aspirasi masyarakat guna mendukung

pengembangan pariwisata.

Prinsip mengakomodasi aspirasi

masyarakat meskipun telah diterapkan

namun masih kurang optimal. Adapun

penerapan prinsip tersebut terhambat oleh

keaktifan masyarakat setempat dalam

menyampaikan aspirasinya yang masih

tergolong rendah, dimana aspirasi masih

banyak terhenti pada akar rumput dan

belum tersalurkan sepenuhnya sampai pada

pengelola kampung wisata ataupun aktor

pembuat kebijakan.

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

555

Daya Dukung Lingkungan

Sunaryo (2013:79) menjelaskan

bahwa terkait daya dukung (carrying

capacity) lingkungan dalam tata kelola

kepariwisataan yang baik (good tourism

governance), yang harus dijadikan

pertimbangan utama dalam

mengembangkan berbagai fasilitas dan

kegiatan kepariwisataan meliputi daya

dukung fisik, biotik, sosial-ekonomi, dan

budaya. Sunaryo (2013:79) juga

menjelaskan bahwa pembangunan dan

pengembangan harus sesuai dan serasi

dengan batas-batas kapasitas lokal dan daya

dukung lingkungan yang ada.

Prinsip daya dukung lingkungan pada

kampung wisata di kawasan Kotagede telah

sesuai dan terpenuhi. Hal tersebut terlihat

dari bagaimana kondisi fisik, biotik, sosial-

ekonomi, dan kondisi budaya dalam

mendukung penyelenggaraan kampung

wisata dan melibatkan peran serta

pemerintah, swasta, dan masyarakat

setempat. Selain itu dalam kegiatan wisata

yang diselenggarakan pun tidak melampaui

ambang batas dari kapasitas lokal serta daya

dukung lingkungan kampung wisata itu

sendiri. Hal tersebut mendukung penelitian

Ardianto (2016:72) yang menyatakan

bahwa Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna

telah menerapkan pembangunan sektor

pariwisata sesuai dengan kapasitas yang

dimiliki, meliputi kondisi lingkungan yang

cukup aman untuk di datangi, serta

keberadaan budaya lokal yang cukup

menarik.

Akuntabilitas Lingkungan

Perencanaan program pembangunan

kepariwisataan menurut Sunaryo (2013:80)

harus selalu memberi perhatian yang besar

pada kesempatan untuk mendapatkan

pekerjan, peningkatan pendapatan dan

perbaikan kesehatan masyarakat setempat

yang tercermin dengan jelas dalam

kebijakan, program dan strategi

pembangunan kepariwisataan yang ada.

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

alam seperti tanah, air, dan udara harus

menjamin akuntabilitas kinerja yang tinggi

serta memastikan bahwa sumber-sumber

yang ada tidak di eksplorasi secara

berlebihan. Ketercapaian prinsip

akuntabilitas lingkungan dapat diukur

dengan melihat ada atau tidaknya manfaat

bagi kualitas kehidupan dan lingkungan

masyarakat (sosial, ekonomi dan budaya)

serta ada atau tidaknya pemanfaatan sumber

daya yang menjamin kelestarian lingkungan

(alam) dengan tidak dieksploitasi berlebih.

Ketercapaian prinsip tersebut secara

keseluruhan masih belum optimal. Hal ini

dikarenakan dalam kaitannya dengan poin

kebermanfaatan bagi kualitas manusia dan

lingkungan masyarakat, khususnya

menyangkut kebermanfaatan sosial dan

ekonomi, penyelenggaraan kampung wisata

masih belum mampu memberikan pengaruh

yang besar dan luas untuk masyarakat

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

556

sekitar. Hal tersebut terhambat oleh belum

adanya pondasi yang kokoh dan jaringan

kerjasama yang luas dalam

penyelenggaraan kampung wisata, sehingga

aktivitas wisata yang dilakukan oleh

kampung wisata sendiri masih sangat

minim. Disamping itu masyarakat yang

dilibatkan dalam kegiatan kampung wisata

masih terbatas pada masyarakat tertentu.

Hal serupa juga disebutkan oleh Dorojati

dan Astuti (2016:84) dalam penelitiannya

dimana meskipun sudah terdapat organisasi

yang mengelola wisata di kampung wisata

Prenggan, namun belum dirasakan

kebermanfaatan kegiatannya bagi

masyarakat.

Promosi dan Advokasi Nilai Budaya

Kelokalan

Sunaryo (2013:80) menyebutkan

bahwa pembangunan kepariwisataan yang

berlanjut juga membutuhkan program

promosi dan advokasi penggunaan lahan

dan kegiatan yang mampu

merepresentasikan karakter tempat (sense of

place) dan identitas budaya masyarakat

setempat secara baik. Prinsip promosi dan

advokasi budaya lokal dapat diukur dengan

melihat ada atau tidaknya promosi wisata,

yang mana promosi mengedepankan

karakter tempat, nilai masyarakat dan

identitas budaya setempat.

Prinsip promosi dan advokasi nilai

budaya kelokalan belum sepenuhnya

diterapkan. Pada penyelenggaraan kampung

wisata di kawasan Kotagede Kota

Yogyakarta, penerapan prinsip masih

terhambat oleh upaya promosi yang ada

namun minim dilakukan, media promosi

seperti website yang belum dioptimalkan,

dan terbatasnya kerjasama dengan pihak

swasta ataupun pelaku wisata lokal dalam

kaitannya dengan upaya melakukan

promosi bersama. Hasil penelitian tersebut

sedikit mendukung penelitian Ardianto

(2016:53) yang menyatakan bahwa sejauh

ini Dinas Pariwisata telah melakukan upaya

promosi dan pemasaran pariwisata.

Monitoring dan Evaluasi Program

Monitoring dan evaluasi program

merupakan dua kegiatan terpadu dalam

rangka pengendalian suatu program.

Sunaryo (2013:79-80) menyampaikan

bahwa kegiatan monitoring dan evaluasi

dalam program tata kelola kepariwisataan

yang baik (good tourism governance)

mencakup mulai dari kegiatan penyusunan

pedoman, pengembangan indikator atau

batasan dalam mengukur pelaksanaan

monitoring dan evaluasi keseluruhan

kegiatan hingga evaluasi dampak kegiatan

pariwisata. Indikator ketercapaian dari

prinsip ini menurut pemahaman peneliti

meliputi: adanya pengawasan dan evaluasi

program wisata, adanya pedoman

pengawasan dan evaluasi program, serta

adanya batasan atau indikator untuk

mengukur dampak kegiatan wisata.

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

557

Ketercapaian prinsip monitoring dan

evaluasi program dalam penyelenggaraan

kampung wisata di kawasan Kotagede

disesuaikan dengan teori Good Tourism

Governance dinilai masih belum optimal.

Terdapat upaya untuk memonitor dan

mengevaluasi penyelenggaraan kampung

wisata oleh beberapa pihak berdasarkan

pada pedoman-pedoman sederhana. Hal

tersebut mendukung penelitian Ardianto

(2016:73) yang juga memaparkan bahwa

terdapat upaya evaluasi dan monitor

program kegiatan wisata yang dilakukan

oleh pemerintah.

Akan tetapi dalam prakteknya

penyelenggaraan kampung wisata belum

sepenuhnya termonitor dan terevaluasi

secara intensif. Penerapan prinsip tersebut

secara keseluruhan terhambat oleh

minimnya pendataan kegiatan kampung

wisata di Kotagede yang dapat dilaporkan,

rendahnya kesadaran masyarakat untuk

aktif terlibat melakukan pengawasan

terhadap penyelenggaraan kampung wisata,

masih sederhananya pedoman yang

digunakan, dan kegiatan pengawasan oleh

pemerintah Kota belum secara khusus

merujuk pada masing-masing kampung

melainkan masih dilakukan secara general.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prinsip good tourism governance

dalam pengelolaan kampung wisata di

kawasan Kotagede Kota Yogyakarta sudah

diterapkan, namun penerapannya masih

belum optimal. Hal ini dikarenakan

ketercapaian masing-masing prinsip dalam

good tourism governance belum seluruhnya

terpenuhi. Adapun penyelenggaraan

kampung wisata di Kotagede diukur

berdasarkan prinsip Good Tourism

Governance meliputi prinsip keterlibatan

pemangku kepentingan, partisipasi

masyarakat terkait, pelatihan masyarakat

terkait, kemitraan kepemilikan lokal,

pemanfaatan sumber daya secara berlanjut,

aspirasi masyarakat, daya dukung

lingkungan, akuntabilitas lingkungan,

promosi dan advokasi nilai budaya lokal,

serta monitoring dan evaluasi program.

Ketercapaian dari masing-masing prinsip

tersebut belum seluruhnya terpenuhi

dikarenakan sejumlah faktor yang

menghambat penerapannya. Faktor tersebut

meliputi keaktifan dan sinergitas pemangku

kepentingan belum sepenuhnya terwujud,

hanya masyarakat tertentu yang aktif

berpartisipasi, program pelatihan masih

belum berkelanjutan, manfaat kampung

wisata dan kemitraannya belum dirasakan

secara luas dan belum mampu mendorong

kepemilikan lokal, aspirasi masyarakat

terhenti pada akar rumput, promosi masih

minim dan berdiri sendiri-sendiri, serta

pedoman monitoring dan evaluasi kampung

wisata masih sederhana tanpa ada indikator

khusus guna mengukur dampak dari

kegiatan wisata yang dilakukan. Adapun

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

558

pengoptimalan penerapan prinsip Good

Tourism Governance tersebut menjadi

penting apabila kampung wisata di kawasan

Kotagede hendak dijadikan alternatif wisata

yang unggul dan berdaya saing.

Saran

1. Dinas Pariwisata perlu menyusun

pedoman/indikator pengukuran

kampung wisata yang lebih terperinci

dan mengikat, serta menyusun program

pendidikan/pelatihan yang lebih

terfokus dan menyesuaikan kebutuhan

masyarakat.

2. Pemerintah lokal perlu mengkoordinir

pengembangan kampung wisata di

Kotagede kedalam satu kawasan wisata

dan perlu memfasilitasi upaya untuk

menyatukan aktor-aktor pelaku wisata

yang belum bersinergi dengan

kampung wisata.

3. Perlu adanya upaya reorganisasi,

regenerasi dan pengaktifan kembali

organisasi pengelola kampung wisata,

pengaktifan kembali website sebagai

media promosi dan informasi kampung

wisata, serta pembuatan paket-paket

wisata oleh kampung wisata yang

dikemas dengan lebih kreatif dan

inovatif.

4. Kemitraan dengan pihak swasta perlu

ditingkatkan, baik dari segi kuantitas

maupun kualitas.

5. Masyarakat kampung wisata

hendaknya lebih aktif dalam

menyuarakan aspirasinya, kesadaran

masyarakat untuk ikut serta dalam

mengembangkan kampung wisata perlu

ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto. (2016). Peran Dinas Pariwisata

dalam Mengembangkan Potensi

Wisata di Kabupaten Natuna.

Skripsi. Yogyakarta: Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY.

(2017). Buku Statistik

Kepariwisataan DIY 2014. Diunduh

pada hari Senin, 27 November 2017

melalui situs

https://visitingjogja.com/download/s

tatistik-pariwisata/.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY.

(2017). Buku Statistik

Kepariwisataan DIY 2015. Diunduh

pada hari Senin, 27 November 2017

melalui situs

https://visitingjogja.com/download/s

tatistik-pariwisata/.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY.

(2017). Buku Statistik

Kepariwisataan DIY 2016. Diunduh

pada hari Senin, 27 November 2017

melalui situs

https://visitingjogja.com/download/s

tatistik-pariwisata/.

Dorojati, R. & Astuti, N. D. (2016). Model

Pengorganisasian Masyarakat

dalam Pengelolaan dan

Pengembangan Kampung Wisata

Prenggan Kecamatan Kotagede

Kota Yogyakarta. [versi elektronik].

Jurnal Penelitian Bappeda Kota

Yogyakarta Vol 12, 2016, 73-86.

Diunduh pada hari Senin, 16

Oktober 2017 melalui situs

http://bappeda.jogjakota.go.id/ejurna

l/index.php/jarlit.

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

559

H., Yanuar. (28 Mei 2017). Yogyakarta

Jadikan 3 Lokasi Ini Prioritas

Wisata. Diakses di hari Senin, 30

Oktober 2017 pada situs

http://regional.liputan6.com/read/29

67608/yogyakarta-jadikan-3-lokasi-

ini-prioritas-wisata.

Jubaedah, E., Dawud, J., Mulyadi, D., et al.

(2008). Model Pengukuran Good

Governance di Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Bandung: PKP2A

I – LAN.

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 115

Tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Kampung Wisata.

Pitana, I G. & Diarta, I K. S. (2009).

Pengantar Ilmu Pariwisata.

Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian

Kualitatif dalam Rancangan

Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media.

Putri, W. D. (12 Januari 2017). Yogyakarta

Terbitkan Aturan tentang Kampung

Wisata. Diakses di hari Rabu, 27

September 2017 pada situs

http://www.republika.co.id/berita/na

sional/daerah/17/01/12/ojo1y7359-

yogyakarta-terbitkan-aturan-

tentang-kampung-wisata.

Sunaryo, B. (2013). Kebijakan

Pembangunan Destinasi Pariwisata,

Konsep dan Aplikasinya di

Indonesia. Yogyakarta: Gava

Media.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor

10 tahun 2009 tentang

Kepariwisataan.

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)

560

Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,) 17

561