gereja di tengah

Upload: amos-sukamto

Post on 05-Jul-2015

195 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hidup Di Tengah-tengah Arus GlobalisasiAmos Sukamto

(sumber: www.cartoonweb)

1

Globalisasi bukan hanya masih berada di luarjendela rumah kita namun globalisasi sudah masuk dalam rumah kita mewarnai hampir setiap dimensi dari gaya kehidupan kita. Suka tidak suka, mau tidak mau proses globalisasi akan terus berpengaruh dalam kehidupan kita. Tidak ada orang yang imune --termasuk gereja-dari dampak globalisasi, kecuali dia hidup ditengah-tengah belantara hutan tidak bersinggungan dengan dunia luar. Untuk menggambarkan keadaan dunia saat ini Anthony Giddens ahli sosiologi berkebangsaan Inggris menggunakan sebuah metafor Juggernaut (truk atau panser raksasa). Menurutnya laju perkembangan era modern saat ini digambarkan seperti berikut: Kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya (Ritzer dan Goodman 2003:553).

2

Untuk itu sangat beralasan jika kehidupan modern oleh Giddens digambarkan sebagai sebuah: dunia yang tak terkendali atau runaway world dan tidak ada orang yang kebal terhadap dunia seperti ini. Setiap orang akan dipaksa masuk dalam dunia yang tak terkendali ini. Globalisasi merupakan proses yang tak terelakkan (inevitable), niscaya, atau bahkan tak dapat dibalikkan (irreversible).

3

www.geocities.com

Karena tidak ada orang yang imune terhadap globalisasi maka sosok globalisasi tersebut perlu untuk dipelajari, dikaji sehingga kita bisa melihat sisi positif maupun sisi negatif yang dihasilkan oleh proses yang diberi nama dengan globalisasi tersebut. Tulisan singkat ini membahas tiga hal penting yang berkaitan dengan globalisasi: pertama, mendefinisikan istilah globalisasi; kedua, melihat trend-trend atau kecenderungankecenderungan yang muncul dalam arus globalisasi; dan ketiga, bagaimana orang Kristen menyiasati hidup ditengah-tengah arus globalisasi.

1. Apa Itu Globalisasi?Istilah dan wacana tentang globalisasi sering kita dengar dan sering juga membingungkan. Globalisasi telah menjadi sebuah istilah populer buzzword di tengah-tengah kehidupan kita. Namun tidak sedikit orang yang salah memahami makna istilah globalisasi. Realitas semacam ini tentunya bisa diterima mengingat tidak ada definisi monolitik terhadap istilah globalisasi. Globalisasi adalah sebuah keadaan ketika ruang dan waktu tidak penting lagi, atau menjadi relatif (Wibowo 2000:29). Sekat-sekat, 4

batas-batas jarak ruang dan waktu dalam era globalisasi hampir tidak ada artinya lagi. Kejadian di suatu tempat langsung bisa dilihat ditempat lain, kejadian disatu belahan dunia bisa mengundang reaksi secara cepat di belahan dunia lainnya. Jarak antar negara menjadi dekat, jarak antar bangsa menjadi semakin tidak ada. Peristiwa yang terjadi di negara lain seakan-akan terjadi di kampung sebelah. Karena jarak antar negara dan bangsa semakin tidak ada maka tingkat ketergantungan antar negara juga semakin menjadi kuat, demikian juga dengan pengaruh antar satu negara dengan negara lain juga menjadi lebih tampak. Sebagaimana diungkapkan oleh Wibowo bahwa: fenomena globalisasi adalah proses berhubungan (interconnectedness) seluruh pelosok bola dunia pada tingkat extensity, intensity, velocity, dan impact yang luar biasa yang belum pernah ada sebelumnya. Krisis di Timur Tengah dampaknya bisa dirasakan sampai di Indonesia. Perubahan ekonomi di Jepang akan berimbas pada perekonomian di Indonesia. Maka pantas jika pada masa sekarang dunia sering diumpamakan dengan sebutan kampung global (global village). Tak ada kejadian di planet kita yang hanya berpengaruh terbatas pada situasi lokal, semua temuan, kemenangan, dan bencana mempengaruhi seluruh dunia.

5

Kenyarisan menghilangnya batas ruang dan waktu ini bukan disebabkan ukuran dunia menjadi kecil, tetapi terutama karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi maka membuat dunia yang berjarak itu menjadi tidak berarti. Kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah mengintegrasikan seluruh wilayah dalam jejaring tunggal. Waktu dan ruang seakan-akan semakin dipadatkan atau dalam bahasa David Harvey disebut dengan istilah time-space compression. Jarak tempuh lintas antar negara bahkan antar benua semakin lama semakin pendek seperti jarak satu kampung dengan kampung lainnya. Dalam satu hari seseorang bisa memasuki berbagai wilayah budaya, bahasa, bahkan wilayah negara. Situasi seperti inilah yang menyebabkan orang selalu mengasosiasikan globalisasi dengan pengepresan dunia atau pengecilan dunia. Robertson misalnya, merumuskan globalisasi sebagai: . . . the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole. (1992:8). Di dalam pengecilan dunia tersebut peran Barat pada umumnya dan Amerika pada khususnya sangat dominan sehingga sering juga globalisasi dikaitkan dengan Amerikanisasi. Seperti tampak pada definisi Giddens terhadap

6

globalisasi sebagai: restrukturisasi cara-cara di kita menjalani hidup, dan dengan cara yang sangat mendalam. Ia berasal dari barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik Amerika. . . (2003:591). Pengaruh Amerika ini paling gampang dilihat adalah menjamurnya jenis makanan cepat saji (fast food) yang dikonsumsi orang-orang Amerika di berbagai penjuru bagian dunia termasuk Indonesia misalnya McDonalds. Keadaan ini memunculkan sebuah mitos bahwa melalui proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Sebagaimana dikutip oleh Gunaryadi (n.d:2-3) dalam sebuah artikelnya yang berjudul Pendidikan Nasional, Globalisasi, dan Peranan Keluarga J. A. Scholte menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi. Kelima kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas. Adapun kelima kategori tersebut sebagai berikut: 1. Globalisasi Sebagai Internasionalisasi Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara. Ia menggambarkan 7

pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional. 2. Globalisasi Sebagai Liberalisasi Dalam pengertian ini, globalisasi merujuk pada sebuah proses penghapusan hambatanhambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa-batas. Mereka yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan kontrol modal biasanya berlindung di balik mantel globalisasi. 3. Globalisasi Sebagai Universalisasi Dalam konsep ini, kata global digunakan dengan pemahaman bahwa proses mendunia dan globalisasi merupakan proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll. 4. Globalisasi Sebagai Westernisasi atau Americanised Globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur8

struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat. 5. Globalisasi Sebagai Penghapusan Batas Teritorial Globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. A. Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang jauh dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula, dan sebaliknya. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknyayang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas. Kapan globalisasi terjadi? Pertanyaan ini sulit dijawab dengan tepat, namun kebanyakan orang berpendapat bahwa pada thun 1970-an sudah mulai terjadi titik balik yang menandai 9

pesatnya proses globalisasi. pada data yang sangat sebagai berikut:

Hal ini tampak mencengangkan

Antara tahun 1970 dan 1996, jumlah penumpang penerbangan internasional melonjak dari 75 juta orang menjadi 409 juta per tahunnya, dan jumlah komunikasi melalui telepon antar negara melonjak dari 3,2 milyar (tahun 1985) menjadi 20,2 milyar (tahun 1996). Pada periode yang hampir bersamaan, antara 1975-1995, porsi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan global mengalami lonjakan dari 6,6% menjadi 24,7%, sementara perdagangan valuta asing melonjak lebih dari seribu kali, yakni dari 1 milyar dolas AS menjadi 1,2 trilyun dolar AS per hari (Priyono 2003 dikutip oleh Sitompul 2004:14-15). Adapun motor pendukung globalisasi adalah para penganut ideologi neo-liberalisme. Apa itu neo-liberalisme? Sebelum tahun 1960-an ideologi pembangunan yang dominan dicirikan oleh: a. Adanya intervensi atau proteksi negara. b. Berlangsungnya import substitution industrialization. c. Investasi asing. Sejak akhir tahun 1960-an ideologi yang dominan adalah neo-liberalisme (NeoLib). Ciri utama dari ideologi neo-liberalisme (NeoLib) adalah: 10

a. Individualisme vs struktur-struktur ekonomi sosial. b. Fokus pada hubungan-hubungan pertukaran pasar. c. Pasar paling mengetahui. d. Kelenturan (flexibility) e. Export-oriented industrialization (Muchtar 2004:100). Mereka mempunyai semboyan there is no alternatif (TINA), mereka percaya bahwa kapitalisme merupakan satu-satunya cara untuk mencapai kemakmuran global. Melalui free trade dan free market struktur pasar internasional akan terkoreksi dan membawa kemakmuran bagi dunia. Jalan ke masa depan ditempuh melalui strategi privatisasi dan liberalisasi progresif. Kedua hal ini harus didukung dengan kapitalisme hukum. Organisasi dunia yang mendukung globalisasi adalah WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan Bank Dunia. World Trade Organization (WTO) merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995.

11

2. Dampak Globalisasi? Sebagaimana wujud dari globalisasi yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia maka dampak yang dihasilkan oleh globalisasi tidak hanya pada sistem ekonomi, komunikasi, ataupun transportasi. Namun globalisasi dipandang oleh Giddens sebagai sebuah kekuatan yang mengubah (transform) keseluruhan kehidupan sosial di zaman sekarang. Globalisasi juga berdampak pada hidup bersama, pada keluarga, bahkan pada identitas pribadi. Dua dampak besar yang dihasilkan oleh globalisasi menurut Giddens (diambil dari Wibowo 2000:29-32): 1. Munculnya sebuah gejala yang disebut dengan detradisionalisasi. Gejala detradisionalisasi adalah sebuah gejala dimana masyarakat mulai meninggalkan keyakinankeyakinan tradisi yang dipegangnya. Tidak terkecuali tradisi tentang keyakinan keagamaannya. Tradisi bukan satu-satunya pegangan untuk kehidupan pada zaman sekarang. Tradisi telah kehilangan monopoli atas kebenaran. Orang tidak akan percaya begitu saja pada argumen tradisi mengatakan. Akibat dari perubahan seperti ini kemudian muncullah sebuah masyarakat

12

yang disebut dengan sebutan post-traditional society (masyarakat pos-tradisional). Situasi seperti ini mengundang dua cara dalam mempertahankan tradisi yaitu: cara modern dan tradisional. Contoh paling berbahaya adalah dengan cara tradisional yaitu bangkitnya fundamentalisme. Misalnya pada sekarang ini muncul sangat banyak gerakan-gerakan keagamaan yang cukup fundamental bahkan dengan menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan ideologinya. 2. Gejala lain dalam globalisasi adalah social reflexivity. Manusia sekarang mengetahui banyak hal yang dipakai untuk memahami dirinya sendiri. Pengetahuan itu didapat lewat berbagai macam media: buku, majalah, koran, selebaran, TV, internet. Situasi seperti ini kemudian menghasilkan apa yang disebut clever people atau orangorang cerdas. Orang cerdas bukan hanya karena ia mempunyai IQ tinggi tetapi karena ia tahu banyak hal. Karena orang menjadi cerdas maka jika tradisi (termasuk nilai-nilai keagamaan) tidak bisa bersaing dengan segala macam pengetahuan yang ada disekitarnya maka tradisi akan kehilangan kedudukan sentralnya.

3. Gereja Menghadapi Globalisasi13

Gereja merupakan lembaga illahi yang hidup dalam dunia nyata. Ia bukan sebuah lembaga yang hidup di dunia antah berantah, ia bukan hidup di dalam dunia ilusi, ia hidup di dalam dunia real. Gereja bukanlah monasteri tempat para biarawan, rahib dan pertapa mengasingkan diri dari dunia, tapi ia merupakan sebuah organisme yang hidup yang harus memberi cahaya illahi di tengah-tengah berbagai perubahan di dunia. Karena itu gereja seharusnya bukan hanya menjadi lembaga pasif yang hanya menerima dampak arus globalisasi, terlebih dari itu gereja dituntut untuk secara dinamis, kreatif mewujudkan pelayanannya di pelbagai perubahanperubahan dunia. Beberapa hal yang perlu disikapi oleh gereja sehubungan dengan kecenderungankecenderungan yang muncul dalam era globalisasi: a. Dalam era globalisasi muncul sebuah gejala yang disebut dengan detradisionalisasi. Tradisi bukan satu-satunya pegangan untuk kehidupan pada zaman sekarang. Orang tidak akan percaya begitu saja pada argumen tradisi mengatakan. Tentu dalam hal ini termasuk segala dogma dan pengakuan iman gereja juga akan turut dipertanyakan ulang. Umat tidak begitu gampang, mudah menerima apa yang 14

diajarkan oleh pendeta maupun pengkotbah di gereja. Sehingga sering jika kotbah yang disampaikan tidak bisa diterima oleh nalar jemaat, ataupun kurang sistematis sehingga sulit diterka inti berita yang dimaksudkan oleh si pengkotbah maka jemaat akan protes dengan cara mengirim SMS, dan lain sebagainya. Hal seperti ini sangat jarang ditemui barangkali sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Tentu kedepan pemimpin umat bukan hanya dituntut untuk punya kharisma tetapi juga cakap, luas dalam pengetahuannya. Maka kreativitas dan inovasi adalah tema utama untuk bisa menjadikan gereja bertahan hidup. Gereja yang tidak kreatif dan inovatif, meskipun dia cukup berhasil pada masa-masa silam maka perlahan akan ditinggalkan oleh umatnya dan akan menjadi bangunan kuno yang menyisakan kejayaan di masa lampau namun aus pada masa kini. b. Keterbukaan dalam bidang tekhnologi menyebabkan orang bisa belajar ilmu pengetahuan dari berbagai media baik televisi, internet, majalah, koran, dan sebagainya. Keadaan ini memunculkan sebuah masyarakat yang disebut clever people. Karena warga gereja juga bagian dari masyarakat yang hidup di era globalisasi maka warga gerejapun kecenderungan akan menjadi clever people. Warga gereja bisa mempelajari berbagai ragam ilmu 15

pengetahuan termasuk ilmu teologi dari luar gereja. Jika gereja tidak mampu menyediakan alternatif pembelajaran bagi warganya maka sangat memungkinkan mereka akan mencari ditempat-tempat lain. c. Di sisi lain perubahan-perubahan yang cepat menerpa masyarakat akan menimbulkan suatu kegamangan dan ketidakmenentuan. Kegamangan dan ketidakmenentuan ini juga akan membuat orang justru melakukan yang sebaliknya apa yang dilakukan oleh clever people, orang-orang yang gamang dan mengalami ketidakmenentuan ini akan mencari spiritualitas-spiritualitas yang baru yang bisa mengisi kekosongan hati mereka. Tak heran jika yoga kemudian menjadi sangat diminati oleh orang-orang dari Barat, bahkan sekte-sekte baru bermunculan di negara-negara yang sering disebut dengan negara sekuler. Gereja harus menjaga semangat pietis atau kesalehannya, jangan hanya bertumpu pada pemuasan nalar tetapi juga pemuasan hati. Patricia Aburdene coauthor dari buku New York Times Best Seller Megatrends mengatakan dalam bukunya Megatrends 2010 bahwa: 78% orang berusaha akan mencari semangat tambahan sehingga menjadikan meditasi dan yoga akan berjaya (2005:XXIV). d. Reaksi individu terhadap modernitas juga melahirkan apa yang namanya kelompokkelompok self-help. Kelompok yang didirikan 16

oleh orang per orang dengan masalah yang sama (Wibowo 2000:34-35) atau bisa juga dengan hobi, concern yang sama. Munculah banyak kelompok-kelompok harley davidson, mio, jomblo, dan lain sebagainya. Gereja harus kreatif dan inovatif dalam mengakomodasi kepentingan umat, Vibrent Mens Ministry (VMM), Christian Mens Network (CMN) menjadi salah satu contoh kelompok self-help bagi orang-orang yang mempunyai interes bersama, namun tentunya masih banyak diperlukan kelompok self-help lainnya misalnya yang mempunyai interes di politik, perjuangan Hak Asasi Manusia, musik, dan lain sebagainya. Kelompok self-help kemungkinan akan menjadi alternatif yang paling menjanjikan dalam era globalisasi. Salah satu ciri pengikat komunitas pada masa modern bukan lagi letak geografis (wilayah) namun bisa dalam wujud kantor, kelompok futsal, bulutangkis, dll. Orang yang hidup di kota besar biasanya lebih mengenal teman sekantor ketimbang tetangga sebelah. Tetangga sebelah sakit kadang-kadang kita tidak tahu tetapi jika teman dikantor sakit kita langsung bisa mengetahui. e. Era globalisasi adalah sebuah era yang dipenuhi dengan persaingan secara ketat bukan hanya dalam bidang bisnis tetapi termasuk juga dalam gereja. Gereja yang mampu bertahan di tengah-tengah pusaran 17

globalisasi adalah geraja yang mampu bersaing menghadapi tantangan zamannya. Zaman terus berubah dan mengubah dirinya, maka menjadi sebuah keharusan bagi gereja untuk terus mereformasi dirinya di tengahtengah perubahan tersebut. Dengan tetap setia kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan atas gereja, gereja perlu berubah dan mengubah zaman, menjadi institusi paling terdepan dalam menyikapi tanda-tanda zaman. Atau gereja akan kehilangan maknanya jika ia tidak peka terhadap perubahan-perubahan tersebut. Bacaan Rujukan: Aburdene, Patricia. 2005. Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadaran Kapitalisme. Jakarta: TransMedia. Gunaryadi, Pendidikan Nasional, Globalisasi, dan Peranan Keluarga. On line http://sekolahindonesia.nl/globalisasipendidikan.pdf. Akses 10 Februari 2007. Muchtar, Yanti. 2004. Globalisasi dan Respons Gerakan Perempuan. Dalam Globalisasi, Kebangsaan, dan Agama-agama di Indonesia. Einar M. Sitompul, ed. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosilogi Modern. Jakarta: Kencana.

18

Sitompul, Einar M. 2004. Globalisasi, Kebangsaan, dan Agama-agama di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan PGI. Wibowo, I. 2000. Globalisasi dan Gereja (Indonesia). Dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual. J. B. Banwiratma, ed. Yogyakarta: Kanisius.

19

Amos Sukamto lahir di Kendal, Juli 1968. Menyelesaikan program M.Div., dari Asian Center for Theological Studies and Mission (ACTS), Seoul, Korea. Sekarang sedang menyelesaikan program doctoral di Konsorsium Program Pascasarjana Kristen (KPPK) bekerja sama dengan Fuller Theological Seminary, USA. Amos Sukamto dosen penuh waktu di Institut Teologi Indonesia (INTI), Bandung.

20