bab ii tanggungjawab gereja terhadap kemiskinan€¦ · konkret dan kontekstual di tengah...

27
12 BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINAN Kemiskinan adalah suatu masalah besar dan serius yang sedang terjadi ditengah- tengah kehidupan masyarakat bahkan juga ditengah-tengah dunia. Kemiskinan dalam arti, bahwa orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai manusiawi. 17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita, karena kemiskinan untuk sebagaian besar bukanlah kesalahan orang miskin sendiri melainkan akibat kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka. Dalam bab ini penulis akan memaparkan lebih mendalam mengenai tanggungjawab Gereja terhadap kemiskinan. Adapun pembahasan yang akan di paparkan secara berturut- turut ialah: (1) Keprihatinan Gereja terhadap kemiskinan, (2) Diakonia, (3) Bentuk-Bentuk Diakonia, (4) Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU). II.1. Keprihatinan Gereja terhadap Realitas Sosial Gereja merupakan sebuah institusi yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga Gereja tidak dapat terlepas dari tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang abstrak terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu konkret dan kontekstual di tengah masyarakat. 18 Keberadaan Gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan 17 F. Magnis-Suseno dalam buku Banawiratma Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius,1987) 37 18 Eduard R. Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), ix

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 12

    BAB II

    TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINAN

    Kemiskinan adalah suatu masalah besar dan serius yang sedang terjadi ditengah-

    tengah kehidupan masyarakat bahkan juga ditengah-tengah dunia. Kemiskinan dalam arti,

    bahwa orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan-

    kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai

    manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita, karena kemiskinan untuk

    sebagaian besar bukanlah kesalahan orang miskin sendiri melainkan akibat kondisi-kondisi

    objektif kehidupan mereka.

    Dalam bab ini penulis akan memaparkan lebih mendalam mengenai tanggungjawab

    Gereja terhadap kemiskinan. Adapun pembahasan yang akan di paparkan secara berturut-

    turut ialah: (1) Keprihatinan Gereja terhadap kemiskinan, (2) Diakonia, (3) Bentuk-Bentuk

    Diakonia, (4) Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU).

    II.1. Keprihatinan Gereja terhadap Realitas Sosial

    Gereja merupakan sebuah institusi yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga

    Gereja tidak dapat terlepas dari tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang

    dihadapi oleh masyarakat yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi

    dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang

    abstrak terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu

    konkret dan kontekstual di tengah masyarakat.18

    Keberadaan Gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan

    sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan 17 F. Magnis-Suseno dalam buku Banawiratma Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius,1987) 37 18 Eduard R. Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), ix

  • 13

    adanya ketimpangan nilai-nilai atau norma-norma kesejahteraan tersebut. Dalam

    keterlibatannya mengatasi masalah kemiskinan, Gereja dan orang Kristen tidaklah cukup

    hanya memahami apa arti kemiskinan dan siapa yang miskin (orang miskin) saja, tetapi

    Gereja dan orang Kristen harus mampu merangkul mereka dan mengangkat hakekat dan

    martabat mereka yang berada dalam kondisi hidup miskin. Dengan kata lain kesadaran etis

    Gereja dan orang Kristen terhadap masalah kemiskinan harus disertai dengan tindakan

    konkret atau tanggung jawab etis terhadap orang miskin, atau membantu meringankan beban

    berat yang membuat mereka menderita.

    Istilah Gereja berasal dari kata Portugis igreya yang dalam bahasa Yunani adalah

    kyriake, yang berarti menjadi milik Tuhan.19 Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan

    adalah: orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya. Jadi yang

    dimaksud dengan Gereja adalah persekutuan para orang beriman. Kata kyriake sebagai

    sebutan bagi persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru

    kata yang dipakai untuk meyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang

    berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk

    berkumpul. Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan.20

    Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini

    adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap.21

    Tetapi pada saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke

    dalam dunia, ke dalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14).

    Pemanggilan Allah atas umat-Nya ini untuk dijadikan garam dan terang bagi kegelapan dan

    ketawaran yang masih ada di sekitarnya.

    19 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992), 362 20 Ibid, 362 21 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004), 139

  • 14

    Gereja yang seutuhnya adalah seutuhnya dalam melakukan tugas panggilan Gereja

    yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.22 Tugas panggilan Gereja tersebut adalah

    sebagai berikut:

    1) Gereja Dipanggil untuk Ibadah/Penyembahan (Lateria)

    Ibadah (Yun.lateria) adalah cara yang paling jelas bagi Gereja untuk memenuhi

    tujuannya, yakni menghormati Allah serta ibadahpun mempunyai unsur-unsurnya yaitu:

    persembahan puji-pujian, Firman Allah, dan sakramen-sakramen.23

    2) Gereja Dipanggil untuk Persekutuan (Koinonia)

    Persekutuan dalam bahasa Yunani Koinonia yang dipakai bagi persekutuan dengan

    Tuhan Yesus Kristus.24 Soedarmo juga menegaskan bahwa Koinonia, bahwa kini kata

    “keesaan” sering dipakai untuk menggambarkan koinonia antar Gereja dan antar manusia.

    3) Gereja Dipanggil untuk Bersaksi (Marturia)

    Kesaksian (Yunani. Marturia) yang berarti kesaksian, pada masa kini marturia biasa

    dipakai bagi tugas Gereja dan orang percaya untuk bersaksi atas kasih karunia Kristus kepada

    dunia.25 Gereja harusnya bersaksi bagi umatnya yang miskin dan menderita serta membela

    mereka agar mereka terlepas dari kemiskinan dan penderitaan.

    4) Gereja Dipanggil untuk Pelayanan/Melayani (Diakonia)

    Pelayanan (Yunani. Diakonia) menurut Soedarmo dalam bukunya Kamus Istilah

    Teologi dikatakan bahwa:

    22 http://diakoniatransformatif.blogspot.com/ diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 23 Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 306 24 R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 47 25 Ibid, 54

  • 15

    Diakonia pada umumnya dipakai bagi aktivitas Gereja untuk membantu anggota-anggota

    Gereja yang lemah ekonominya (Soedarmo: 1986, hal 19).

    II.2. Diakonia

    II.2.1. Pengertian Diakonia

    J. C. Sikkel (1880) pernah mengatakan bahwa Gereja bisa hidup tanpa gedung, tetapi

    tidak bisa hidup tanpa diakonia.26 Hal ini menandakan bahwa Diakonia sangatlah penting

    dalam kehidupan ber-Gereja. Usia panggilan diakonia setua dengan gerakan Yesus yang lahir

    di Palestina lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Gerakan Yesus tidak bisa dipisahkan dari

    gerakan solidaritas terhadap orang miskin. Solidaritas itu diwujudnyatakan oleh Gereja

    melalui diakonia Gereja. Tanpa diakonia dan perhatian pada orang miskin, sebuah Gereja

    tidak bisa disebut sabagai tubuh Kristus. Diakonia, sebagai misi Gereja dikenal dalam istilah

    tritugas panggilan Gereja, yaitu Koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia

    (pelayanan)

    Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan” atau

    pelayan meja. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonien (melayani),

    dan diakonos (pelayan).27

    Dalam Perjanjian Baru di samping kata-kata ini terdapat lima kata lain untuk

    “melayani”, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-

    terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata “melayani” karena

    26 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010), 1 27 ibid

  • 16

    kosakata bahasa Indonesia yang kurang begitu kaya seperti bahasa Yunani.28 Di samping

    diakonien dalam PB ditemukan kata-kata berikut ini:

    Douleuein: melayani sebagai budak kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari

    orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi

    manusia jika ia dalam keadaan bebas. PB mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa

    sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat

    arti religius.

    Latreuein: melayani untuk uang. Kata benda latreia (pelayan yang diupah) juga dipakai

    dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dari PL, yaitu Septuaginta (LXX),

    kata ini kurang lebih terdapat 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan

    khususnya untuk pelayan persembahan.

    Leitourgein: dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayan umum bagi kesejahteraan rakyat

    dan negara. Dalam LXX arti sosial-politik ini terutama dipakai di lingkungan kuil-kuil.

    Dalam PB (khususnya surat Ibrani) kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam Besar

    Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Korintus 9:12 kata ini dipakai untuk

    kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di

    Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata “liturgi”, yaitu suatu tata ibadah dalam pertemuan

    jemaat.

    Therapeuein: menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin dan

    memfokuskan diri kedalam pelayanan itu. Therapeuein di tempat lain juga dipakai sebagai

    sinonim dari “menyembuhkan”

    28 A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 2-3.

  • 17

    Hupéretein: menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa

    pekerjaan itu dilakukan. Hupéretés berarti sipelaksana memperhatikan instruksi si pemberi

    kerja.

    II.2.2. Diakonia dalam Alkitab dan Gereja Mula-Mula29

    Praktik diakonia (pelayanan) terhadap orang miskin dapat ditemukan dalam Alkitab

    yaitu dalam perjanjian lama, perjanjian baru, dan dalam zaman para rasul serta pada Gereja

    mula-mula.

    II.2.2.1. Diakonia dalam Perjanjian Lama

    Dalam perjanjian lama, misalnya perhatian pada orang miskin, perlindungan pada

    janda, yatim piatu dan orang asing terdapat dalam hukum taurat. Berdasarkan hukum Musa,

    ada beberapa undang-undang yang memberikan perhatian pada orang miskin dan keadilan

    sosial, diantaranya sebagai berikut:

    - Tahun Yobel

    Tahun Yobel tidaklah sekedar ide penataan sosial dalam bentuk pembebasan utang

    dan budak serta pengembalian tanah yang digadaikan kepada pemiliknya, tetapi juga

    memberikan perhatian pada pelestarian lingkungan hidup.30 Tahun Yobel tidak bisa

    dilihat hanya sebagai aktivitas penghapusan utang dan pengembalian tanah pada

    pemiliknya, tetapi Tahun Yobel sarana untuk mewujudkan masyarakat lestari dan

    sustainable society, yaitu adanya economic and ecological justice atau caring and sharing

    economic.

    29 Gereja mula-mula yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah Gereja pada zaman bapa-bapa Gereja. 30 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis...., 20-21

  • 18

    - Tahun Sabat

    Tahun sabat merupakan tahun pembebasan yang dirayakan setiap tujuh tahun sekali.31

    Tujuannnya adalah untuk menolong orang miskin, tanah, dan binatang dari perlakuan

    tidak adil oleh kebijakan ekonomi saat itu. Kata sabat bisa berarti kelegaan, kebebasan,

    dan pemulihan.

    - Perpuluhan

    Hukum perpuluhan dalam perjanjian lama dimaksudkan untuk menyatakan bahwa

    tanah Kanaan berserta isinya adalah milik Allah, sehingga tanah tidak boleh dijadikan

    barang komuditas sebab tanah itu memiliki nilai spritual yang memberi sumber hidup dan

    menajdi barang pusaka.32 Hasil dari tanah Kanaan bukanlah untuk kepentingan penggarap

    dan pemilik tanah saja, tetapi untuk menghidupi orang lain seperti orang Lewi yang tidak

    memiliki warisan tanah Kanaan karena mereka dikhususkan bekerja di Bait Allah. Selain

    untuk orang Lewi hasil tanah Kanaan juga menghidupi orang-orang miskin, yatim-piatu,

    janda miskin, dan orang asing. Orang Israel membantu kesejahteraan orang miskin dari

    persepuluhan yang dipersembahkan untuk bait Allah yang selanjutnya dikelola oleh orang

    Lewi sebagai imam di bait Allah.

    - Larangan mengambil bunga dari yang miskin

    Banyak orang miskin semakin menjadi miskin karena terjerat oleh bunga dalam

    sistem perdagangan. Pada masa itu Israel merupakan bangsa pengembara dan petani,

    sehingga kemiskinan mengancam hidup mereka jika praktik bunga dalam pinjam-

    meminjam dijalankan.33

    31 Ibid, 22 32 Ibid, 22-23 33 Ibid, 24

  • 19

    Dari penjelasan-penjelasan diatas, jelas bahwa pada zaman perjanjian lama sudah ada

    kepedulian terhadap orang-orang miskin. Kepada orang-orang miskin dikembalikan hak-

    haknya, baik hak atas tanah yang sudah sempat dimiliki oleh orang kaya maupun hak untuk

    hidup bebas dari perbudakan.

    II.2.2.2. Diakonia dalam Perjanjian Baru

    Dalam Perjanjian Baru Yesus dengan jelas dan tegas mengajarkan kepada murid-

    murid-Nya untuk memberi perhatian kepada orang miskin, bahkan pelayanan Yesus sendiri

    memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang miskin, orang-orang yang terasing,

    yang lapar, dan sakit dengan cara menyembuhkan dan memberdayakan mereka. Injil yang

    disampaikan Yesus merupakan kabar baik untuk orang miskin. Injil memang merupakan

    kabar baik dan sukacita untuk semua orang, tetapi fokus Allah melalui sejarah dan Yesus

    Kristus adalah memberitakan kabar baik kepada orang miskin yang disebut anawim yaitu

    mereka yang tidak berdaya baik secara sosial ekonomi maupun politik.34

    Perhatian pada orang miskin dan tersisih dilanjutkan oleh murid-murid Yesus sesudah

    Pentakosta.35 Mengurangi kemiskinan dan bersikap solider pada orang-orang miskin dan

    tersisih merupakan praktik hidup dari jemaat pertama dengan cara menjual tanah dan harta

    milik yang hasilnya diserahkan kepada para Rasul untuk mencukupi kebutuhan orang miskin

    diantara mereka.

    Dari uraian diatas jelas bahwa ada tradisi dan cara berdiakonia serta memberi

    perhatian pada orang miskin baik secara pribadi maupun secara terorganisasi di dalam

    Alkitab. Bahkan bisa dikatakan Bait Allah dalam Perjanjian Lama dan Gereja dalam

    Perjanjian Baru tidak sekedar tempat untuk upacara keagamaan, tetapi juga sebagai pusat

    34 Ibid, 26 35 Ibid, 28

  • 20

    pelayanan kesejahteraan sosial yaitu tempat pemberi perhatian kepada orang-orang miskin

    dan yang tersisih.

    II.2.2.3. Diakonia pada masa Gereja Mula-Mula

    Perhatian pada orang miskin atau masalah sosial tidak hanya dilakukan dalam

    perjanjian lama, perjanjian baru atau zaman para Rasul bahkan pada zaman Paulus sebagai

    arsitek perkembangan Gereja saja, tetapi praktik diakonia juga diteruskan oleh para bapa

    Gereja.

    Dalam sejarah Gereja terdapat banyak bapa Gereja yang memberikan ajaran sosial.

    Diantaranya yang terkenal adalah bapak Gereja dari Kapadokia yaitu dua bersaudara: Basil

    dari Kaesarea dan Gregorius dari Nyssa.36 Basil dari Kaesarea terkenal karena dialah yang

    membangun pusat pelayanan sosial.

    Dalam sejarah Gereja tercatat bahwa pada tahun 368 telah terjadi bencana kelaparan

    yang diakibatkan oleh musim kering di Kapadokia.37 Situasi sulit seperti ini bayak digunakan

    oleh penguasa Romawi dan orang-orang kaya untuk memeras petani miskin dengan cara

    mereka harus menjual tanahnya atau terpaksa meminjam uang dari orang kaya dengan bunga

    tinggi.

    Menanggapi situasi seperti ini, Gereja yang dipimpin oleh Basilius tidak sekedar

    mengorganisasikan bantuan pangan kepada mereka yang lapar tetapi juga mengecam

    kekejaman dan kejahatan struktural para penguasa dan orang kaya. Kecaman Gregorius

    terutama ditujukan pada praktik lintah darat yang mencapai 12 persen. Praktik diakonia yang

    dilakukan Basilius tidak terbatas pemberian bantuan pangan kepada orang miskin, tetapi juga

    36 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 92 37 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis...., 61-63

  • 21

    mendirikan pusat pelayanan sosial yang melayani orang yang berada dalam perjalanan dan

    pelayanan kesehatan.

    II.2.3. Hakekat Diakonia

    Melakukan diakonia (pelayanan) secara baik dapat diumpamakan sebagai

    “membangun rumah di atas batu karang yang teguh”.38 Melalui perumpamaan inilah Yesus

    menegur kita sebagai pendengar firmanNya yang hanya mendengar tetapi tidak melakukan

    dalam kehidupan kita, maka kita bagaikan seorang yang membangun rumah di atas pasir dan

    kemudian rumah itu akan roboh terkena hujan dan angin. Bila kita melakukan diakonia, maka

    kita ikut serta membangun fondasi yang kuat bagi Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tanpa

    diakonia, Pekabaran Injil oleh Gereja menjadi abstrak. Ada hubungan yang erat antara

    diakonia dan misi; tanpa diakonia, maka misi tidak mempunyai perspektif.

    Diakonia bukanlah sekedar persoalan memberi uang, tetapi diakonia merupakan

    panggilan untuk berbagi solidaritas dengan yang miskin dan tertindas. Tujuan diakonia

    adalah mewujudkan the sharing and community, bukan untuk menciptakan hubungan antara

    pemberi dan penerima.39 Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei, yaitu kehadiran

    kerajaan Allah di dunia. Wilayah yang di dalamnya Gereja berdiakonia adalah dunia yang

    penuh kontrakdiksi dan kompleks. Lingkup Gereja tidak dibatasi oleh tembok dinding Gereja

    tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik.

    II.2.4. Motif Dasar Diakonia

    Motif dasar yang menjadi titik tolak pelaksanaan pelayanan bukanlah moralisme

    walaupun dalam pelayanan menampakkan moral yang luhur. Bukan pada filanthropis,

    walaupun ada keharusan mengasihi sesama manusia seperti perintah Tuhan. Juga bukan

    38 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 40-43 39 ibid

  • 22

    humanisme meskipun harus memakai cara-cara manusia. Motif dasar yang paling hakiki

    sebagai Theou dalam mengemban akta Tuhan untuk mengasihi ciptaanNya. Respon terhadap

    panggilan Tuhan tersebut adalah suatu dedikasi, yaitu pengabdian, penyerahan diri atau

    pengurbanan tenaga dan waktu untuk melaksanakan perintah Tuhan.

    II.2.5. Tujuan Diakonia

    Berdasarkan pengertian, hakekat dan motif dasar diakonia, serta praktik Diakonia

    dalam Alkitab dan zaman Gereja mula-mula, maka tujuan utama pelayanan dapat

    disimpulkan sebagai berikut:

    (1) Memberitakan kepada umat manusia, bahwa Allah mempunyai rencana mengasihi

    dan menyelamatkan manusia, dan sebagai kawan sekerja Allah (bnd I Kor 3 : 9)

    dengan segala usaha untuk menunjukkan kemuliaan dan kebesaran Allah.

    (2) Membantu menyadarkan dan mengembangkan derajat dan potensi diri atau

    kemampuan manusiawi sebagai makhluk yang diciptakan menurut peta dan gambar

    Allah.

    (3) Menyatakan dan menyajikan kasih Allah kepada sesama orang yang menanggung

    beban derita atau menjadi korban dalam medan percaturan kehidupan bersama.

    (4) Memberikan topangan kepada sesama orang untuk berprestasi atau mengembangkan

    perlengkapan hidup (cipta, rasa dan karsa) yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap

    orang.

    (5) Meringankan beban orang yang mengalami kesulitan hidup dan membantu orang

    yang kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidup.

  • 23

    II.3. Bentuk-Bentuk Diakonia

    Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi hanya dimonopoli kegiatan institusi

    Gereja melainkan telah dilakukan oleh Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan juga Lembaga

    Sosial Masyarakat (LSM) di luar Gereja.40 Bentuk-bentuk dan cara diakonia yang dilakukan

    oleh organisasi sosial Kristen dan dan LSM ini telah berkembang lebih cepat daripada yang

    dilakukan oleh institusi Gereja. Pada umumnya cara berdiakonia dapat dibagi menjadi tiga

    bentuk, yaitu diakonia karikatif, diakonia reformatif dan diakonia transformatif

    (pembebasan).

    II.3.1. Diakonia Karitatif

    Diakonia Karitatif berasal dari kata Charity (Inggris) yang berarti belas kasihan.

    Diakonia ini merupakan bentuk yang paling tua yang dipraktekkan oleh Gereja dan pekerja

    sosial.41 Diakonia Karitatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan dan pakaian

    kepada orang miskin, menghibur orang sakit, dan perbuatan amal kebajikan. Diakonia ini

    didukung dan dipraktekkan oleh institusi Gereja karena: dapat memberikan manfaat langsung

    yang segera dapat dilihat, memberikan penampilan yang baik terhadap diri si pemberi,

    memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, bisa digunakan untuk menarik seseorang yang

    dibantu menjadi anggota agama mereka, menciptakan hubungan subjek-objek

    (ketergantungan) dan status quo.

    Diakonia karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa

    dan Amerika Utara pada abad ke 19. Diakonia Karitatif ini sangat digemari oleh bangsawan

    dan wanita kelas menengah di Inggris pada zaman Victoria karena dapat mengembangkan

    hubungan prbadi yang hangat dengan pihak yang dibantu (Philpot 1986:14).42 Hubungan yng

    40 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Indonesia, 31 41 Ibid, 31-36 42 Ibid, 32

  • 24

    dibangun dalam diakonia karitatif menggambarkan hubungan antara pemberi/penyalur

    bantuan dan pihak yang menerima bantuan.

    Diakonia karitatif disebarkan ke seluruh dunia oleh misi dan zending selama masa

    penjajahan. Diakonia ini sangat didukung oleh pemerintah penjajah tetapi sangat dikecam

    oleh golongan kritis dan kelompok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodward

    diakonia karitatif cenderung mempertahankan ideologi dan teologi status quo, karena:

    kemiskinan tidak terhindarkan yang disebabkan situasi dan ketidakmampuan yang

    bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki

    kesejahtraannya bukan melalui perubahan sosial, mendesak perlunya tanggungjawab moral

    dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan.43

    Pendekatan diakonia karitatif sebagai warisan zaman kolonial mendapat kritik tajam

    dari orang di luar Gereja dan kalangan oikumenis. Bagi kalangan di luar Gereja, diakonia

    karitatif sering kali dikecam karena dituduh sebagai alat untuk menarik seseorang untuk

    masuk kedalam Gereja. Sebaliknya, bagi kelompok oikumenis diakonia ini dikecam karena

    diakonia karitatif menghasilkan ketergantungan dan status quo.

    Bentuk diakonia karitatif yang sering dilakukan oleh Gereja adalah mengunjungi

    orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyedikan beras

    untuk membantu keluarga miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang

    miskin. Walaupun diakonia karitatif digambarkan dengan memberikan ikan dan roti kepada

    yang lapar tanpa memberdayakan mereka, diakonia karitatif tetap masih diperlukan terutama

    dalam keadaan darurat seperti musibah, bencana alam, dll.

    Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karikatif memiliki kelemahan dan

    keterbatasan. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari.

    43 Ibid, 32

  • 25

    Sebab, masalah sosial yang membutuhkan tanggap-darurat sebelum menangani akar

    masalahnya yang lebih bersifat memberdayakan.

    II.3.2. Diakonia Reformatif/ Pembangunan

    Untuk mengurangi ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat, anggota

    PBB sepakat atas perlunya memberikan perhatian pembangunan di negara-negara yang baru

    merdeka.44 Dengan pembangunan, kemiskinan dan kelaparan di dunia diharapkan dapat

    diatasi melalui pertumbuhan ekonomi. Ideologi pembangunan merupakan ideologi yang

    muncul di tengah Perang Dingin ketika terjadi persaingan antara kapitalisme dan komunisme.

    Ideologi pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi untuk menghindari dan menjinakkan

    semangat revolusi melawan kapitalisme dan kolonialisme di negara yang sedang

    berkembang. Ideologi pembangunan ditawarkan sebagai ideologi alternatif untuk mengurangi

    kemiskinan di Dunia Ketiga.

    Setelah berjalan kurang lebih dua dekade, pembanguan tidak menghasilkan

    kesejahtraan dan keadilan, tetapi justru yang sebaliknya yang terjadi. Jurang pemisah antara

    kaya dan miskin dirasakan di kota dan di desa. Pembanguan sering diartikan sebagai

    modenisasi dan westerniasi, di mana kesempatan kerja bagi rakyat kecil semakin sempit.

    Hasil pembangunan selama dua dekade justru menghilangkan kesempatan pekerja tradisional.

    Dalam suasana pembangunan inilah Gereja-Gereja juga ikut berpartisipasi dalam

    pembangunan.

    Pembangunan yang terjadi selama lebih dari dua dekade tidak menghasilkan

    perdamaian, kesejahteraan, dan keadilan, melainkan permusuhan, kemiskinan dan

    ketidakadilan. Pembangunan telah menjadi suatu ideologi untuk menekan hak asasi dan

    martabat manusia pada saat itu. Demi pembangunan harus ada stabilitas. Demi satbilitas

    44 Ibid, 36

  • 26

    segala bentuk kritik sosial harus ditiadakan. Demi pembangunan tanah petani harus

    dikorbankan untuk proyek industri dan perumahan mewah. Demi pembangunan dan stabilitas

    tuntutan gaji dan pemogokan harus ditiadakan. Demi stabilitas, perlu iadakan hukum darurat

    militer dan penahanan tanpa proses pengadilan melalui undang-undang keamanan dalam

    negeri.

    Diakonia reformatif yang lebih dikenal sebagai dikonia pembangunan muncul dalam

    era pembangunan. Kesadaran baru dari Gereja-Gereja untuk melakukan diakonia reformatif

    muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu pada saat

    Sidang Raya Dewan Gereja se Dunia (DGD) IV di Upsalla, Swedia pada tahun 1967. Sidang

    Raya Upsalla mendesak agar negara-negara kaya di Utara bersedia memberikan bantuan

    ekonomi dan teknologi bagi negara-negara miskin di Selatan.

    Sejak Sidang Raya di Upsalla diakonia Gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif

    ke diakonia reformatf/pembangunan. Diakonia karikatif sering digambarkan sebagai tindakan

    belas kasihan pada orang yang lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia

    reformatif sering digambarkan dengan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing

    (bantuan modal) dan mengajar memancing (bantuan teknologi). Dari desa hingga ibu kota,

    bahkan mancanegara, para pemimpin Gereja mulai berbicara tentang pembangunan. Sejak

    tahun 1967, tidak ada kata yang lebih indah dari kata pembangunan.

    Diakonia reformatif/pembangunan bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan

    kemiskinan rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan

    modal dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan yaitu ketidakadilan dan

    pemerataan.

    Seiring dengan perkembangan teologi dan ideologi pembangunan, diakonia Gereja

    bergeser dari diakonia karitatif menjadi diakonia reformatif/pembangunan. Diakonia tidak

  • 27

    lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai memberikan perhatian

    pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman moda pada kelomok

    masyarakat. Mengatasi kemiskinan dengan asumsi kurang teknologi (keterampilan) dan

    modal menjadi alasan dan dasar diakonia reformatif/pembangunan. Sumber kemisikinan

    hanya dilihat sebagai akibat kebodohan, kemalasan, keterampilan/ modal yang kurang, dan

    alam yang tidak subur. Kemiskinan tidak dilihat sebagai akibat tatanan sosial yang tidak adil.

    II.3.3. Diakonia Transformatif

    Di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya

    menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan

    yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang,

    sehingga muncul alternatif ke tiga untuk menjawab permasalahan kemiskinan dan

    ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan.45

    Pada pembahasan sebelumnya diakonia karikatif digambarkan sebagai pelayanan

    memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif atau pembangunan

    adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia

    transformatif atau pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta

    dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri. Pemberian pancing dan

    keterampilan memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dikuasaii oleh

    orang-orang yang serakah. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan

    semangat berjuang perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka dan

    45Bakti Situmorang, Diakonia: Tugas Gereja Untuk Membebaskan, http://baktijsitumorang.files.wordpress.com/2008/03/diakonia-Gereja-sebagai-tugas-pembebasan.pdf diunduh tanggal 17 Juli 2012, pukul 15:48

  • 28

    menyadarkan mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri

    sendiri.46

    Kata transform berarti Their apperance and function is totally change.47 Artinya

    diakonia transformatif bertujuan terjadinya perubahan total dalam fungsi dan penampilan

    dalam kehidupan bermasyarakat baik perubahan sosial, budaya, ekonomi, serta politik.

    Sejarah lahirnya dipelopori oleh Gereja Amerika Latin mencari jawaban atas

    kemiskinan yang sangat parah di sana. Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau

    ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta

    roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul,

    karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah

    tanah? Bila tanah dan laut dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu

    berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan pemberdayaan bagi mereka.

    Peran Gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.48

    Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang Gereja) dan

    merefleksikan Gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah

    Gustavo Gutierrez dengan pendekatan ortopraksis. Digunakannya analisis sosial budaya

    masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan

    institusi sosial yang ada, dan melakukan monitoring dan evaluasi partisipatif. Diakonia

    transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi

    menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas

    kehidupan yang lebih baik. Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali

    peran Gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang

    statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) 46 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi, 114-115 47 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia...., 44 48 http://baktijsitumorang.files.wordpress.com/2008/03/diakonia-Gereja-sebagai-tugas-pembebasan.pdf diunduh tanggal 17 Juli 2012, pukul 15:48

  • 29

    dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu Gereja tidak harus menjadi besar

    dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam

    seluruh sendi kehidupan manusia.

    Titik berangkat teologi pembebasan Gutierrez adalah Gereja dan hubungannya

    dengan dunia di Amerika Latin.49 Guna memindahkannya ke dunianya, Gereja memerlukan

    sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini pula

    fungsi pembebasan Gereja tampak dalam tiga tingkatan: pembebasan politik yang

    mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman

    akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara

    bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan

    hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan.

    Maksud dari diakonia pembebasan adalah diakonia yang bertujuan untuk

    membebaskan rakyat kecil yang terbelenggu struktur yang tidak adil, bukan sekedar diakonia

    yang berfungsi sebagai palang merah yang menolong korban tanpa usaha mencegah dan

    mengurangi sebab-sebab terjadinya korban dari masalah-masalah sosial.

    Dengan kata lain, diakonia tranformatif adalah pelayanan Gereja bagi dan bersama

    orang miskin yang lebih bersifat pendampingan dan mendorong mereka untuk

    memperjuangkan hak-hak mereka guna mengatasi kemiskinan mereka.50 Hal ini

    menunjukkan bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi oleh simiskin itu sendiri. Perjuangan

    mereka untuk mengatasi kemiskinan tersebut tidak hanya membutuhkan bantuan uang dan

    keterampilan, tetapi juga suatu kekuatan bersama dalam kelompok mereka sendiri.

    Diakonia tranformatif juga mempunyai arti menolong masyarakat untuk

    memperjuangkan hak-haknya sehingga bisa hidup dengan layak sebagai manusia dengan

    49 ibid 50 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, 223

  • 30

    harkat dan martabatnya.51 Hak-hak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hak untuk hidup,

    hak memperoleh keadilan, dan lain-lain. Hak-hak tersebut dapat diperoleh oleh

    pemberdayaan yang dilakukan bagi orang-orang miskin.

    Proses penyadaran dan memberikan kekuatan pada rakyat untuk percaya pada dirnya

    (empowering people) melalui pendekatan Community Organization (CO), dengan pendekatan

    pengorganisasian komunitas/ masyarakat diharapkan untuk dapat merancang dan

    merencanakan hidup mereka sendiri.52

    Dengan mengunakan pengorganisasian masyarakat dalam melayani orang miskin dan

    tersisih, maka fokus dari diakonia transformatif adalah:53

    - Pertama, rakyat sebagai subjek dari sejarah, bukan objek;

    - Kedua, tidak karitatif, tetapi preventif;

    - Ketiga, tidak didorong oleh belas kasihan, tetapi keadilan;

    - Keempat, mendorong partisipasi rakyat;

    - Kelima, memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan;

    - Keenam, melakukan penyadaran pada rakyat, dan;

    - Ketujuh, mengorganisasikan rakyat.

    Memberi kekuatan pada rakyat untuk menegakkan keadilan merupakan gerakan

    pelayanan yang saat itu berkembang di Dunia Ketiga. Keadilan tidaklah mungkin jatuh

    sebagai hadiah dari atas, tetapi keadilan merupakan perjuangan dari bawah, dari mereka yang

    diperlakukan tidak adil.

    Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa diakonia transformatif lebih kepada

    pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat membantu diri mereka sendiri untuk

    keluar dari lingkaran kemiskinan. Diakonia transformatif berusaha memampukan manusia

    51 E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan “Berteologi dalam Konteks Awal Milenium III”, 63 52 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia...., 44 53 Ibid, 45

  • 31

    untuk dapat menentukan hidupnya sendiri terlepas dari ketergantungan kepada orang lain.

    Diakonia jenis ini berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan sekedar

    mengusahakan peningkatan pada yang dilayani.

    II.4. Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU)

    II.4.1. Definisi Credit Union (CU)

    Bentuk diakonia yang dilakukan oleh GBKP pada saat ini adalah berupa program

    Credit Union (CU). Credit Union Sendiri mempunyai banyak definisi. Menurut literatur, ada

    beberapa definisi Credit Union (CU) yang dalam penyampaiannya memiliki perbedaan,

    namun sesungguhnya mempunyai arti yang sama.54

    Pertama, Credit Union adalah koperasi keuangan yang dijalankan secara demokratis

    dan bagi hasil (profit sharing), menawarkan berbagai produk simpanan dan pinjaman

    berbunga rendah kepada para anggotanya.

    Kedua, Credit Union (CU) adalah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan

    diawasi oleh para anggotanya dan dioperasikan untuk tujuan mendorong pola hidup hemat,

    menyediakan pinjaman dengan suku bunga bersaing, dan menyediakan berbagai pelayanan

    keuangan lain kepada anggotanya.

    Ketiga, World Council of Credit Union (WOCCU) mendefinisikan Credit Union (CU)

    sebagai “not-for-profit cooperative institutions” yang artinya lembaga koperasi yang bukan

    untuk tujuan mencari keuntungan.

    Keempat, Credit Union (CU) adalah koperasi keuangan yang didirikan dari, oleh, dan

    untuk anggota di mana para anggota adalah penabung, peminjam, dan sekaligus pemegang

    saham. Credit Union (CU) beroperasi dengan basis tidak untuk mencari keuntungan. Credit

    54 Munaldus, dkk, Credit Union “Kendaraan Menuju Kemakmuran, Praktik Bisnis Sosial Model Indonesia” Elex Media (Jakarta:2012),

  • 32

    Union (CU) menawarkan banyak pelayanan perbankan, seperti pinjaman konsumtif dan

    pinjaman komersial (bunga pinjaman biasnya lebih rendah dari suku bunga pasar), simpanan

    sukarela berjangka (suku bunga biasanya lebih tinggi dari suku bunga pasar), kartu kredit,

    dan asuransi. Credit Union (CU) pada umumnya dikenakan pajak lebih rendah bahkan ada

    yang bebas pajak dari pada pajak yang dikenakan pada bank komersial atau lembaga

    keuangan lain. Para anggota diikat dalam satu ikatan pemersatu (common-bond) seperti

    pekerjaan, tempat tingal, dan lain-lain.

    Kelima, Credit Union (CU) adalah koperasi keuangan yang tidak mencari keuntungan

    (not-for-profit), yang kehadirannya bertujuan melayani anggota yang berada dalam satu

    ikatan pemersatu (common-bond) seperti wilayah tempat tinggal, profesi, tempat kerja, dan

    lain-lain. Credit Union (CU) dioperasikan secara demokratis oleh para anggota dan diurus

    oleh para pengurus dan pengawas yang melayani secara sukarela (voluntarily). Para pengurus

    dan pengawas yang melayani anggota secara sukarela ini dipilih dari dan oleh anggota pada

    suatu Rapat Anggota. Tujuan utama Credit Union (CU) adalah melayani para anggota agar

    permasalahan dan kebutuhan keuangan mereka teratasi.

    Keenam, sebuah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh

    anggotanya. Credit Union (CU) tidak untuk keuntungan (not-for-profit) dan hadir untuk

    memberikan tempat yang aman, nyaman bagi anggota untuk menyimpan uang dan

    memperoleh pinjaman dan pelayanan keuangan lainnya dengan harga yang bersaing.

    Dari semua definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Credit Union (CU) adalah

    lembaga keuangan yang lebih memperhatikan kesejahteraan anggota yang ada di dalamnya

    dan yang tidak mencari keuntungan lembaga.

  • 33

    Secara harafiah “kredit” (credit) berasal dari bahasa latin Credere atau Credo yang

    artinya percaya, sedangkan kata “Union” berarti perkumpulan.55 Jadi, Credit Union (CU)

    berarti perkumpulan orang-orang yang saling percaya. Di Indonesia, “Credit Union (CU)”

    diterjemahkan sebagai Koperasi Kedit.

    II.4.2. Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU)

    Koperasi Credit Union (CU) muncul pertama kalinya di Eropa tepatnya di Jerman.56

    Gagasan ini dipelopori pertama kali oleh Walikota Flammersfield yang bernama Frederich

    Wilhelm Raiffeisen. Hal ini dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan

    di Eropa dan pengurangan fungsi sumber daya manusia akibat revolusi industri, sehingga

    buruh-buruh pabrik di PHK dan dengan terpaksa berusaha menciptakan pekerjaan yang baru

    sebagai petani. Tingkat pengangguran yang tinggi ini memaksa penduduk miskin untuk

    berhutang dan menjadi korban lintah darat agar mempunyai modal usaha.

    Langkah-langkah awal yang ditempuh oleh Frederich Wilhelm Raiffeisen untuk

    menanggulangi masalah ini, antara lain ialah menghimpun dana (uang) dari para dermawan

    dan mengumpulkan bahan makanan untuk selanjutnya dibagikan kepada penduduk miskin.

    Namun upaya ini tidak berhasil karena penduduk miskin menjadi terlalu bergantung dan

    bencana kelaparan tetap saja terjadi. Ketidakberhasilan itu mengantarkan sang walikota pada

    suatu kesimpulan, bahwa kesulitan kaum miskin hanya dapat diatasi dengan cara

    mengumpulkan uang dari mereka dan dipinjamkan kembali kepada mereka.

    Sumbangan tidak menolong diri sendiri tetapi sebaliknya merendahkan martabat

    manusia yang menerimanya. Prinsip ini pula yang kemudian dikenal dengan tiga prinsip

    utama Koperasi Credit Union (CU), yaitu :

    55 Ibid, 56 Agustinus Pengarapenta Purba, Menuju Kemandirian Dana GBKP, Abdi Karya (Kabanjahe:2010), 57

  • 34

    1. Tabungan (modal) diperoleh hanya dari anggota.

    2. Pinjaman diberikan hanya kepada anggota.

    3. Jaminan terbaik bagi peminjam adalah “watak.

    Gagasan Credit Union (CU) oleh Friedric Wilhelm Raiffeisen berhasil menghapuskan

    usaha-usaha lintah darat (rentenir, ijon) yang pada masa itu sudah merajalela melakukan

    pemerasan terhadap petani. Credit Union (CU) menjadi salah satu gerakan pemberdayaan

    masyarakat dengan mengembangkan swadaya kemampuan/potensi yang ada.

    Filosofi yang harus dipahami oleh seluruh anggota adalah bahwa Credit Union (CU)

    bukan mencari keuntungan semata (not for profit), bukan untuk tujuan derma/amal (not for

    charity), tetapi adalah untuk pelayanan (service). Secara rinci prinsip dan filosofi Credit

    Union (CU) dapat digambarkan sebgai berikut:57

    a. Credit Union (CU) bukan tempat penanaman modal atau tempat memberikan

    pinjaman dengan bunga tinggi.

    b. Credit Union (CU) bukan organisasi keuangan, melainkan organisasi manusia yang

    mengadakan kerja sama dengan swadaya (self-help) untuk kemajuan bersama.

    c. Credit Union (CU) bukan organisasi pemberi derma/ amal yang menciptakan sikap

    ketergantungan.

    d. Credit Union (CU) merupakan organisasi manusia yang saling memberikan pelayanan

    kepada sesama anggotanya secara swadaya melalui usaha bersama (self-help through

    mutual help)

    57 Ibid, 58

  • 35

    e. Credit Union (CU) adalah organisasi manusia yang melakukan pendidikan terus

    menerus untuk mengatasi segala permasalahan yang menggangu kehidupan dan usaha

    anggotanya.

    Pada tahun 1898 Alphonso Desyading, seorang jurnalis Kanada merasa tertarik dan

    menaruh perhatiannya terhadap Koperasi Credit Union (CU).58 Ia juga mengadakan

    korespondensi dengan Hennry A. Walff, seorang yang ahli di bidang koperasi di Eropa. Pada

    tanggal 1 Desember 1900 ia berhasil mendirikan Koperasi Credit Union (CU) pertama,

    dengan anggota lebih dari 80 orang. Koperasi Credit Union (CU) itu diberi nama Caisse

    Populaire de Levis. Koperasi Credit Union (CU) ini berhasil meningkatkan taraf hidup

    masyarakat di Kanada dan menjadi badan koperasi yang paling berkembang di seluruh dunia.

    Kerberhasilan dan pengaruh yang sangat positif dari pembentukan Koperasi Credit

    Union (CU) di Kanada memicu kemunculan organisasi yang sama di seluruh dunia. Di

    Amerika Serikat, Koperasi Credit Union (CU) didirikan oleh seorang saudagar kaya yang

    bernama Edward A. Fillene pada tahun 1907.

    Sementara itu, di Filipina Koperasi Credit Union (CU) didirikan oleh 2 orang

    Misionaris Protestan dari Amerika Serikat yaitu Rew Allan dan R. Huller sejak tahun 1937.

    Koperasi Credit Union (CU) ini berkembang pesat di Filipina dan kebanyakan dikelola lewat

    pelayanan Gereja, dan tidak terbatas hanya di kota-kota tetapi juga hingga di pedesaan.

    Di Indonesia pembentukan koperasi telah dimulai sebelum adanya peraturan-

    peraturan tentang perkoperasian.59 Pada tahun 1895 di Purwokerto misalnya, Raden

    Wiriatmadja mendirikan semacam koperasi simpan-pinjam (koperasi kredit) yang sama

    58 Kosmas Lawa Bagho, Sejarah Koperasi Kredit/Credit Union.htm di unduh tanggal 27 Septembe 2012 59 Munaldus, dkk, Credit Union “Kendaraan Menuju Kemakmuran, Praktik Bisnis Sosial Model Indonesia”, Elex Media (Jakarta:2012),

  • 36

    seperti dibentuk oleh Raiffesien dan dinamakan ”bank pertolongan dan simpanan.” Pada

    awalnya pembentukan koperasi kredit ini adalah untuk menolong kaum pegawai (priyayi)

    agar mereka terlepas dari ikatan hutang oleh para pelepas uang atau “rentenir.” Dengan

    bantuan E. Seibrugh dan de Wolf van Westerode, maka pada tahun 1898 usaha Patih

    Wiriatmadja dikembangkan menjadi “Bank Penolong Tabungan dan Kredit Pertanian” untuk

    selanjutnya memperluas jangkauan keanggotaannya di kalangan kaum petani. Selain itu,

    terdapat pula rintisan usaha yang sama diberbagai daerah pada saat itu.

    Di Mojowarno muncul semacam bank simpan-pinjam yang dikhususkan bagi kaum

    bumi putera pada tahun 1895. Berikutnya mulai bermunculan pula usaha-usaha serupa di

    Garut, Probolinggo dan Lamongan. Namun demikian, bentuk usaha yang dijalankan itu

    masih belum menetapkan cara kerja koperasi yang sesungguhnya.

    Di awal kebangkitan nasional pada tahun 1908, para perintis kemerdekaan mulai

    mengembangkan koperasi yang memiliki nilai-nilai demokrasi. Pada saat itu Boedi Oetomo

    mulai mengembangkan pendirian koperasi kredit. Koperasi juga dimaksudkan sebagai upaya

    penyebarluasan semangat kebangsaan dan alat perjuangan rakyat di masa pergerakan

    nasional. Walaupun demikian, pada akhirnya hal ini dipandang sebagai ancaman yang dapat

    membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.

    Dalam mengantisipasi berdirinya badan koperasi yang dapat membahayakan

    kedudukan pemerintah kolonial, maka dikeluarkanlah peraturan koperasi yang pertama di

    Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1915. Keputusan tersebut selajutnya sangat

    membatasi pertumbuhan dan perkembangan koperasi di kalangan masyarakat bumiputera,

    bahkan banyak koperasi yang ditutup karena tidak memenuhi persyaratan yang telah

    ditetapkan oleh pemerintah. Berbagai peraturan juga dikeluarkan pada tahun-tahun

    berikutnya hingga tahun 1933, akan tetapi tetap saja tidak membawa perubahan yang berarti.

  • 37

    Pada masa pemerintahan Jepang, cara kerja dan ruang gerak koperasi semakin jauh

    bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang sebenarnya. Koperasi-koperasi yang ada

    kemudian dirubah bentuknya menjadi “kumiai” yang berfungsi sebagai alat ekonomi perang

    atau sebagai sarana pengumpulan dan pendistribusian bahan makanan untuk keperluan

    perang. Akibatnya kepercayaan rakyat terhadap koperasi sebagai lembaga yang dapat

    memperbaiki kesejahteraan menjadi lenyap.

    Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mendirikan semacam “jawatan koperasi” pada

    tahun 1946. Sejak saat itu mulai timbul gagasan-gagasan untuk membentuk koperasi desa

    yang melaksanakan berbagai kegiatan produksi serta pemasaran hasil-hasil pertanian.

    Akhirnya pada tanggal 11-14 Juli 1947 diselenggarkanlah “Kongres Gerakan Koperasi

    Indonesia” yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut dianjurkan agar diadakan

    pendidikan di kalangan pengurus, pegawai, dan anggota-anggotanya. Namun belum sempat

    hasil keputusan itu dilaksanakan, berkobar pula Agresi Militer Belanda dan pemberontakan

    PKI di Madiun, yang menyebabkan terjadinya krisis dan banyak koperasi yang mengalami

    kerugian dan gulung tikar.

    Memasuki Tahun 1950 hingga pertengahan 1960, diawali dengan pembubaran Negara

    Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tanggal 17 agustus

    1950 keadaan koperasi jauh lebih baik jika dibandingkan pada masa sebelumnya. Lahirnya

    Orde Baru kemudian menandai penataan dan penertiban kembali struktur perekonomian di

    Indonesia secara umum, termasuk mengaktifkan peran dan fungsi koperasi secara lebih

    maksimal. Pada masa ini pula, Koperasi Credit Union (CU) di Indonesia mengawali

    perjalanannya.

    Gereja memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengawali perkembangan

    Koperasi Credit Union (CU) di Indonesia. Pada tahun 1967, World Council of Credit Union

  • 38

    (WOCCU) atau Dewan Koperasi Kredit Dunia diundang ke Indonesia yang diwakili oleh Mr.

    A.A. Baily untuk memperkenalkan gagasan Koperasi Credit Union (CU). Pada tahun 1970,

    dibentuklah Credit Union Concelling Office (CUCO) di Jakarta yang dipelopori oleh seorang

    misionaris bernama Pastor Karl Albrecth Karim Arbie S.J.. Namun demikian, ia kemudian

    meninggal dunia pada tanggal 11 September 1999 akibat terbunuh dalam peristiwa Dili

    (Timor-Timur).

    Peran pemerintah juga menjadi sarana yang penting bagi perkembangan Koperasi

    Credit Union (CU) di Indonesia. Pada tahun 1975, BK3I (Badan Koordinasi Koperasi Kredit

    Indonesia) menyelenggarakan kursus dasar Koperasi Credit Union (CU) pertama di

    Nyarumkop dan Sangau (Kalimantan). Dan pada tahun 1976, diadakan pula Konferensi

    Nasional Credit Union (CU) di Ambarawa (Jawa Tengah), yang dihadiri oleh Ir. Ibnu

    Soejono selaku Dirjen Koperasi saat itu. Tahun 1981 kembali diadakan Konferensi Nasional

    Kopdit yang melahirkan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) dengan Robby

    Tulus sebagai ketuanya. Adapun fungsi dari BK3I diantaranya, yaitu:

    1. Memberikan konsultasi

    2. Menyediakan bahan dan program pelatihan

    3. Menyelenggarakan kursus-kursus dan pelatihan

    4. Menyebarkan informasi tentang gerakan Koperasi Credit Union (CU)

    5. Merintis pembentukan Badan Koordinasi Kopdit Daerah.