gejala dehumanisasi dalam pendidikan

43
Gejala dehumanisasi dalam kebijakan pendidikan kita Oleh Rum Rosyid Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah semestinya mampu menjadi ruang untuk melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat, esensi pendidikan tersebut sepertinya telah jauh dari harapan yang ada. Keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini malah menjadi institusi yang menghamba pada modal dan kekuasaan, keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang dijadikan alat pembenar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang anti terhadap rakyat. Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu hubungan sosial dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan. Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006) tidak mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat material saja dengan komunikasi untuk membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah penyucian batin maupun spiritual. Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun dengan niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat Indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai bidang pembagunan, utamanya dalam bidang pendidikan politik, maka

Upload: rumrosyid

Post on 26-Jun-2015

461 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Gejala dehumanisasi dalam kebijakan pendidikan kitaOleh Rum Rosyid

Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah semestinya mampu menjadi ruang untuk melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat, esensi pendidikan tersebut sepertinya telah jauh dari harapan yang ada. Keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini malah menjadi institusi yang menghamba pada modal dan kekuasaan, keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang dijadikan alat pembenar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang anti terhadap rakyat.Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu hubungan sosial dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan. Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006) tidak mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat material saja dengan komunikasi untuk membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah penyucian batin maupun spiritual.

Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.Namun dengan niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat Indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai bidang pembagunan, utamanya dalam bidang pendidikan politik, maka sisi ketunggalan dari “Bhineka Tunggal Ika” makin mencuat. Berbagai upaya yang dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah (misalnya dengan mata pelajaran pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dll) maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 non penataran, dll) telah mulai menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh. Berbagai upaya tersebut dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyrakat Indonesia.

Ketika ekonomi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis ekonomi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter ekonomi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Banyak agenda membangun peradaban yang lebih baik, digagas dari segala penjuru. Membangun peradaban tidak dapat hanya dilakukan parsial. Membangun peradaban harus dilakukan secara bersama melalui mekanisme organis dengan kesamaan substansi menuju bentuk peradaban yang sama. Salah satu tugas peradaban adalah proses pencarian dan penggalian (ilmu) ekonomi. Pencarian dan penggalian tidak dapat dijalankan hanya dengan proses adopsi tanpa adaptasi. Pencarian dan penggalian juga harus dilakukan dengan cara pencerahan sekaligus pembebasan sesuai realitas di mana ekonomi dikembangkan. Pembebasan dan pencerahan menurut Mulawarman (2006b) adalah proses mempertemukan dua dimensi

Page 2: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

praxis menuju pencerahan yang berujung perubahan pemahaman dan praxis baru. Habermas (Held 1980, 249-259) berusaha melakukan pertalian antara teori dan praxis yang telah ditanggalkan Marx dan Kapitalisme.

Ketika ekonomi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC's (Multi National Company's) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka ekonomi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi kepentingan neoliberalisme ekonomi pula. Globalisasi dan neoliberalisme semuanya mengarah kepentingan ekonomi dengan alat bantu teknologi yang makin tak terkendali. Kepentingan pengembangan ekonomi dan teknologi neoliberalisme masih bertumpu self interest dan antroposentris. Kondisi seperti itu berdampak pada lalu lintas moneter dan penguasaan  teknologi serta produksi hanya terkonsentrasi pada segelintir perusahaan multinasional. Konsentrasi memunculkan hegemoni politik ekonomi dan menggeser kekuatan ekonomi negara berkembang menjadi pemain pinggiran yang tak pernah terselesaikan nasibnya. Negara dan ekonomi rakyat di dalamnya akan terhegemoni menjadi 'perusahaan jajahan kolonial' dari perusahaan multinasional.

Bentuk hegemoni MNC's tersebut adalah sub-ordinat kekuasaan perusahaan multinasional, dan didukung pemerintahan yang juga korup. Bentuk konkrit hegemoni MNC's dalam akuntansi menurut Graham dan Neu (2003) dengan menerapkan teknologi dan praktik akuntansi yang dijalankan MNC's dalam bentuk tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi. Tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi dilakukan melalui sistem "aliran lintas batas melampaui ruang dan waktu". Keduanya jelas sekali bermuatan ekonomi politik untuk kepentingan MNC's melalui berbagai institusinya seperti IFM (International Financial Markets), IASB (International Accounting Standard Boards), IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), WB (World Bank), dan lainnya.

Menurut Mulawarman (2006) melakukan perubahan melalui penyucian harus dimulai dari pendidikan ekonomi. Caranya adalah pencerahan (enlightenment) dan pembebasan (emansipation) tujuan pendidikan. Pendidikan ekonomi memegang peranan penting untuk memunculkan nilai-nilai baru dan konsep pembelajaran ekonomi pro-Indonesia. Tugas dan akuntabilitas akademisi ekonomi adalah tugas kesejarahan yang tak mungkin berjalan dan berhenti di satu titik tertentu, tetapi harus selalu melakukan proses perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Ainsworth (2001): Perhaps, as educators, we spend too much time  trying to "prove" what we teach rather than striving to "improve" what and how we teach.

Mahasiswa adalah “Buruh” dan kampus adalah “Pabrik”. Itulah gambaran yang mewakili rupa pendidikan di Indonesia(bahkan Dunia). Orientasinya adalah, setelah lulus para pesrta didik ini akan segera menjadi penggerak kapitalisme yang menghisap. Berbondong-bondong mendatangi perusahaan-perusahaan asing dan dalam negri, berlomba menjadi manajer, direktur, mengumpulkan harta yang banyak, gengsinya meningkat dan mereka mengabaikan kesejahteraan buruh, jauh dari watak sosial. Kapitalisme membutuhkan para buruh untuk memutarkan baling-baling industrinya, begitu juga dengan para lulusan mahasiswa saat ini.

Page 3: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Pendidikan ekonomi sekular hanya cinta dunia dan berujung pada kepentingan keuntungan pribadi (antroposentrik) dan materialistik (kapitalistik) semata. Pendidikan ekonomi sekular diorientasikan pada self-interest dan kesadaran menikmati kesejahteraan materi. Dengan adanya krisis kapitalisme, maka perusahaan-perusahaan besar para tuan modal satu-persatu merugi, bangkrut, gulungtikar akibat kesalahan yang ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri. Kesalahan yang selalu ada(inhern)dalam tubuh kapitalisme ialah: Produksi memiliki watak sosial, tapi alat produksinya dimiliki individu. Oleh Marx dinyatakan dalam kalimat: ”Kapitalisme sedang menggali liang kuburnya sendiri”. Kesalahan itulah yang jadi awal penyebabnya.

Saat ini memang benar terjadi banyak PHK, industri bangkrut, penganguran melimpah. Kepala Subdirektorat Statistik Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS) Aden Gultom mengatakan, jumlah penganggur terdidik terus bertambah sejak 2003 lalu.Ini didasarkan pada indikator pertambahan lulusan universitas atau setara diploma yang tidak memiliki pekerjaan. Mengutip data statistik penganggur menurut tingkat pendidikan, angka pengangguran terdidik lulusan universitas mencapai 626,6 ribu orang dari total penganggur 9,259 juta per Februari 2009. Angka ini meningkat dari total penganggur universitas periode Agustus 2008 sebanyak 598,3 ribu orang dari total pengangguran nasional 9,394 juta orang. Begitu juga penganggur lulusan setara diploma yang mencapai 486,4 ribu orang per Februari 2009, meningkat dari 362,7 ribu orang per Agustus 2008. Bandingkan dengan penganggur tidak terdidik yang tidak atau belum pernah tamat sekolah yang tercatat mencapai 60,3 ribu per Februari 2009, turun hampir dua kali lipat dari 103,2 ribu orang per Agustus 2008. Per Februari 2009, pengangguran lulusan universitas mencapai 12,95% dari total penganggur nasional, jauh di atas porsi pengangguran dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah yang hanya mencapai 4,51%. “Masing-masing membengkak dari 10,94% untuk penganggur lulusan universitas dan penganggur dengan pendidikan SD ke bawah 5,83% di tahun 2004 lalu,”katanya.

Pendidikan ekonomi yang asasi adalah pendidikan ekonomi dengan cinta. Cinta bukan hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove (cinta melampaui). Pendidikan ekonomi dengan cinta dengan demikian dijalankan untuk menumbuhkan dan membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah Ketuhanan, didasari rasa saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan penghianatan.

Pengaruh revolusi industri terhadap pendidikanFaham kapitalisme berpengaruh terhadap sistem pendidikan di suatu negara. Lahirnya teori educational production process dalam pendidikan yang memandang proses pendidikan sama dengan proses produksi di sebuah pabrik. Anak didik dipandang sebagai masukan kasar (raw input), sekolah adalah sebagai pabriknya, sedang guru, kurikulum, buku, dan fasilitas pendidikan lainnya sebagai masukan instrumental (instrumental input), kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan aspek pertahanan keamanan merupakan masukan lingkungan (environmental input). Semua masukan kasar dan instrumental tersebut akan mempengaruhi keluaran yang diharapkan (output) dan hasilnya (outcomes).

Page 4: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Pandangan tersebut memang memiliki pengaruh positif dalam menghasilkan keluaran atau output secara massal yang memiliki standar tertentu. Semua komponen dalam sistem telah terstandar. Oleh karena itu hasilnya diharapkan juga akan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kesalahan yang terjadi adalah mutu produk sering dikaitkan dengan mutu instrumentalnya. Jika gurunya bagus, kurikulumnya juga bagus, dan gedung sekolah, buku, dan fasilitas lainnya bagus, maka diharapkan hasilnya juga akan bagus.

Namun, apa yang terjadi dalam praktik dan kenyataan. Guru telah ditingkatkan kompetensinya melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan. Kurikulum telah diubah, dan fasilitas pendidikan juga telah dibangun dan dilengkapi. Kenyataannya, keluaran dan hasil pendidikan tidak pernah naik secara signifikan. Hal tersebut tejadi karena yang digarap hanya instrumental input-nya. Proses pendidikan di dalam kelas tidak terjadi proses humanisasi, melainkan dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang diisi dengan muatan yang sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak menyenangkan, dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).

Dalam pendidikan sekolah, yang sering dilupakan adalah prosesnya, yang sebenarnya amat ditentukan oleh aspek manusianya, bukan mesin seperti dalam dunia industri (meski dalam dunia industri pun manusia juga memegang peranan penting). Proses dalam dunia pendidikan amat memegang peranan penting, karena yang diproses adalah manusia, yang memproses juga manusia. Akibatnya, sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh faham kapitalisme ini menganggap peserta didik adalah obyek, bahkan sering disebut untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) amat dekat dengan konsep dehumanisasi pendidikan. Proses pendidikan yang terjadi lebih menghasilkan manusia kuli atau manusia robot dengan standar yang ditentukan oleh kaum pemegang modal (kapitalis). Inilah aspek negatif yang ditimbulkan oleh paham kapitalistik dari era revolusi industri tersebut. Manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia secara pribadi (subyek). Inilah hakikat dehumanisasi dalam pendidikan (Intisari pengarahan Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Bambang Sudibyo, pada acara pembukaan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Seni, di PPPG Kesenian Yogyakarta, tanggal 23 Mei 2005).

Awal Kapitalisme Pendidikan : Pendidikan Sebagai KomoditasDi era reformasi dan globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan kekuasaan negara melemah di desak oleh kekuasaan ekonomi. Indikasinya bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik. Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis. Meskipun pemerintah dikritik bahkan didemo oleh masyarakat yang keberatan, tetapi kebijakan itu tetap berlangsung . Pemerintah dalam hal ini tampak tidak berdaya menghadapi para pemilik modal. Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan

Page 5: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim.

Sejarah mencatat, bahwa di tahun 60-an, Amerika Serikat menemukan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham (Abuddin Nata, 2009). Setelah itu Amerika Serikat membiayai penelitian terapan (applied research) dalam bidang pendidikan tidak kurang dari 6 milyar dollar. Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pendidikan yang berorientasi pasar. Standarsisasai terhadap berbagai aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia, karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing dalam merebut peluang. Untuk itu mulai tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia.

Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum memiliki political will untuk memprioritaskan pendidikan untuk perbaikan ekonomi dan sumber daya manusia. Negara sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII /MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN. Ironisnya DPR dan partai politik tidak ada yang protes.

Sesungguhnya telah banyak bukti seperti dinyakatan Lauritz-Holm Nielson (Lead Specialist for Higher Education, Science and Technology the World Bank) pada acara International Conference Higher Education Reform 2001 di Jakarta bahwa pendidikan tinggi merupakan kunci terpenting dalam pembangunan ekonomi secara global. Akumulasi penguasaan pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompetitif suatu negara. Selanjutnya Nielson menyatakan di negara – negara maju, investasi di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) bisa mencapai 85 % dari total anggaran litbang seluruh dunia. Di India, Brasil, Cina, dan negara-negara Asia Timur lainnya, anggaran litbangnya mencapai 11 % dari total anggaran litbang dunia. Hanya tersisa 4 % yang dibagi oleh negara – negara sedang berkembang. Dalam kondisi dana litbang yang sangat minim di negara sedang berkembang, Nielson melihat negara –negara sedang berkembang tidak memahami strategi pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan pengetahuan. Padahal penguasaan pengetahuan melalui pendidikan pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas keuntungan kompetitif negaranya ( http: / / www. yahoo. com , 1 September 2004).

Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Setiap orang yang akan memasuki sebuah perguruan tinggi misalnya, terlebih dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi apa, Kerjanya di mana, Dan gajinya berapa. Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini tentunya adalah: jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah mendapatkan kerja dengan gaji yang besar. Jika program studi atau satuan pendidikan

Page 6: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan pasar. Itulah sebabnya beberapa program studi, termasuk program studi agama saat ini kurang mendapatkan peminat, dibandingkan dengan program studi lainnya, seperti kedokteran, ekonomi, komputer dan sebagainya.

Berbagai peraturan perundang-undangan tentang pendidikan yang ada di seluruh dunia pada umumnya memuat pasal yang saling membolehkan di antara negara-negara di dunia untuk membuka praktek pendidikan. Karena pendidikan sudah merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan, maka pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, pragmatis dan sistemik. Berbagai komponen pendidikan: visi, missi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Membuka lembaga pendidikan yang berbasis pada logika bisnis, tak ubahnya seperti membuka restoran. Menu yang disajikan harus sesuai dengan selera pelanggan, letaknya strategis, pelayanannya cepat, tepat, ramah, menyenangkan dan profesional, ruang dan tata letaknya asri, indah, aman dan nyaman, harganya terjangkau, dan seterusnya. Dengan ilustrasi tersebut, maka pendidikan yang ditawarkan harus sesuai dengan yang diinginkan masyarakat, para pendidik, tenaga kependidikan dan pengelolanya profesional, letaknya mudah dijangkau, lingkungannya yang kondusip, dan biayanya yang terjangkau. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang diakui (recognize). Lembaga pendidikan dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki sistem dan infra-struktur yang dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture). Logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis ini telah menggeser praktek pendidikan yang didasarkan pada logika filsafat, agama, politik dan ilmu pengetahuan sebagaimana di atas.

Rasionalisasi tersebut akhirnya memakan korban yang sangat tragis. Kaum miskin yang berpenghasilan sederhana akan semakin meratapi nasib, karena anak-anak mereka pasti 'gagal' menangkap peluang strategis di institusi pendidikan. Rakyat kecil akan semakin terpinggirkan aksesibilitas publiknya, karena hak pendidikannya terpasung oleh ambisi dan arogansi kuasa pasar. Sangat ironis, memang. Institusi pendidikan sudah diibaratkan 'barang dagangan' (komoditas) yang diperjualbelikan, sesuai dengan tingkat kenaikan harga di pasar.

Ketika Dunia pendidikan Indonesia memasuki tahun ajaran baru 2008/2009 diwarnai dengan ragam gejolak ihwal naiknya biaya pendaftaran dan registrasi. Institusi pendidikan terus "menancap gas" dalam menaikkan biaya pendidikan, terlebih seiring dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan biaya itu, oleh institusi pendidikan, dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sesuai dengan kenaikan harga kebutuhan manusia yang juga terus melonjak naik.

Nasib rakyat kecil yang menjadi korban kapitalisasi pendidikan meradang. Kasus di Semarang, di mana biaya masuk sekolah negeri mencapai biaya Rp 5 juta sampai Rp 6

Page 7: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

juta. Demikian juga yang terjadi di Jakarta, sekolah berlomba menaikkan biaya pendaftaran dan registrasi, sehingga kaum miskin kehilangan kesempatan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Nasib tragis warga miskin di berbagai pelosok negeri masih bergentayangan. Terlebih di Indonesia wilayah timur. Selain gagal menggapai pendidikan, nasib mereka masih dikerubungi aneka krisis gizi, kekeringan, dan sebagainya.

Tidak mudah bagi mereka yang berada pada level menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan di sekolah swasta. Partisipasi masyarakat dalam menuntaskan wajib belajarpun masih memprihatinkan. Misalnya bisa dilihat indikatornya masih banyaknya usia wajib belajar belum memperoleh pendidikan. Pada tahun 2004 menurut Depdiknas dari 13 juta anak usia 13 – 15 tahun atau usia SMP yang belum tertampung masih sekitar 2, 5 juta anak. Pendidikan alternatif program paket belajar belum mampu mengatasi anak yang belum tertampung. Karena baru sekitar 245.000 yang terlayani melalui 12.871 TBK (Tempat Kegiatan Belajar) di bawah naungan 2 870 sekolah. Kondisi ini masih diperparah sekitar 97 % pelajar SMP terbuka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan factor ekonomi atau tidak adanya sekolah lanjutan di tempat tinggal mereka (Kompas, 19 Juli 2004).

Gejala dehumanisasi dalam kebijakan pendidikan kitaTidak semua kebijakan pendidikan di Indonesia menunjukkan adanya indikasi terjadinya dehumanisasi pendidikan. Kebijakan Sekolah Rakyat dengan kurikulum dengan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar merupakan bentuk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Adanya mata pelajaran 'pekerjaan tangan' dan 'hari krida' untuk berkebun di Sekolah Rakyat tempo dulu juga merupakan kebijakan yang selaras dengan kondisi dan kebutuhan lokal pada masa itu. Lahirnya kurikulum terintegrasi (fusi mata pelajaran) pada tahun 1968 merupakan satu bentuk kebijakan pendidikan untuk mengendalikan agar mata pelajaran tidak terlalu bersifat akademis dan terlepas dari hidup dan kehidupan manusia (contextual teaching and learning atau dikenal dengan CTL).

Kebijakan sekolah pembangunan yang dilahirkan oleh Komisi Pembaharuan Pendidikan, juga tidak terlepas dari upaya dan kepentingan untuk lebih memperhatikan peserta didik yang memang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih. Ketika itu lahirlah sistem modul yang digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan sistem modul ini, siswa yang lebih cepat belajar akan lebih cepat menyelesaikan pelajarannya. Sayangnya, kompetisi seperti itu hanya berlaku dalam bidang akademis, tidak berlaku dalam bidang nonakademis. Jalur pendidikan keterampilan di SMA tidak pernah hidup.

Sebenarnya di sini telah mulai adanya indikasi dehumanisasi, karena siswa yang memiliki bakat dan kemampuan nonakademis seperti seni musik, seni rupa, seni tari, dan olah raga tidak memperolah hak dan perhatian sebagaimana mestinya. Kelahiran kebijakan pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dan Pendidikam Moral Pancasila (PMP) sebenarnya merupakan keinginan untuk memperbaikai aspek kepribadian dan moralitas bangsa melalui pendidikan. Konsep ini mengalami kemacetan dalam perjalanannya, karena model indoktrinasi dalam proses pembelajarannya kemudian dihadang secara pelan tapi pasti oleh derasnya arus informasi, demokratiasi, globasisasi, dan reformasi,

Page 8: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

yang terjadi di belahan bumi mana pun juga.

Kebijakan tentang sekolah unggulan yang pernah muncul, dan yang kini dicoa untuk dibangkitkan kembali dengan pola sekolah global, sekolah (SMP dan SMA) dengan standar nasional dan standar internasional, TK/SD model, sebenarnya merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang makin hari makin tertinggal jauh dengan sekolah-sekolah internasional yang semakin hari semakin diminati oleh masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi. Model sekolah seperti ini dapat masuk dalam kategori dehumanisasi jika kebijakan itu tidak memiliki perhatian yang adil bagi mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah.

Pada umumnya keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk meningkatkan mutu pendidikan anaknya. Maka muncullah masalah jurang pemisah antara yang mampu dengan yang miskin. Dari sinilah muncul indikasi dehumanisasi, karena faktor sosial ekonomi. Ada kesan kuat pemerintah lebih memperhatikan pendidikan untuk kalangan yang mampu dari aspek sosial ekonomi, akibat dari kebijakan seperti itu. Timbulnya gagasan kebijakan baru tentang sekolah mandiri dan sekolah standar sebenarnya dilatarbelakangi untuk lebih memperhatikan kalangan yang tidak mampu, agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan akademis dan kemampuan ekonomisnya. Untuk itulah maka ditemukan peta keadaan pendidikan di negeri ini seperti ini, yang melahirkan gagasan tersebut.

Dari sinilah muncul kritik tajam tentang isu keadilan dan dehumanisasi dari kalangan praktisi pendidikan. Jika penggolongan ini tidak dalam bentuk lembaga pendidikan yang terpisah, memang akan menjadi proses alineasi dari kalangan keluarga mampu dan tidak mampu. Dan ini akan sangat berbahaya karena bisa menimbulkan konflik sosial yang berbahaya. Tetapi, jika penggolongan itu hanya terbatas untuk digunakan dalam membangun sistem pemberian beasiswa untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, maka sistem ini tidak dapat diindikasikan dengan isu ketidakadilan dan dehumanisasi.

Bukankah untuk memberikan beasiswa kepada siswa memang diperlukan data tentang prestasi akademis dan nonakademis siswa. Ketika negara masih memiliki anggaran yang terbatas, maka beasiswa tersebut hanya akan diberikan bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang rendah, supaya tidak mengalami DO. Sementara siswa yang berasal dari keluarga yang mampu dinilai telah dapat meneruskan pelajarannya sesuai dengan tingkat kemandiriannya.

Pendidikan di Persimpangan : perlunya keseimbangan dan pengawasanDalam situasi pendidikan yang tengah berada di persimpangan jalan itu, maka paling kurang perlu dua hal (Abuddin Nata, 2009). Pertama, pendidikan seharusnya tidak didominasi oleh salah satu kekuatan dari kekuatan-kekuatan tersebut di atas. Pendidikan perlu mempertimbangkan seluruh kepentingan secara seimbang. Kepentingan filsafat, agama, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, bisnis dan sebagainya harus diberi porsi secara wajar dan seimbang, mengingat semua hal tersebut dibutuhkan oleh

Page 9: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

manusia. Pendidikan yang hanya memperhatikan salah satu kepentingan saja, adalah pendidikan yang akan menghasilkan manusia yang tidak utuh, atau manusia yang terkotak-kotak. Manusia yang demikian adalah manusia yang rapuh, dan tidak memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai problema kehidupan.

Kedua, perlu ada semacam badan pemeriksa dan pengawas pendidikan, yang tugasnya antara lain melakukan pengawasan dan merevieuw terhadap seluruh kebijakan dalam bidang pendidikan secara utuh dan konprehensif, sehingga pendidikan tidak terjebak kepada salah satu tarikan yang merugikan. Melalui badan pemeriksa dan pengawas ini, maka pendidikan akan diarahkan pada terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya, yaitu pendidikan yang bukan hanya ada dalam rumusan konsep, tetapi juga dalam praktek. Dengan cara itulah, pendidikan tidak akan tersesat di persimpangan jalan. Kalau kita merunut beberapa tahun kebelakang, maka akan ditemukan beberapa hal yang menjadi penyebabnya.

Di tengah euforia Reformasi 1998, lahir suatu wacana tentang Otonomi Kampus yang dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada perguruan-perguruan tinggi dalam melaksanakan mimbar akademik. Lahirnya PP No. 61 tahun 1999 justru mengaburkan itu semua. Logika yang dipakai pemerintah merupakan suatu pembebanan biaya pendidikan kepada PTN yang sebenarnya adalah tanggung jawab negara. Maka kemudian diubahnya PTN menjadi BHMN merupakan awal dari malapetaka pendidikan tinggi. Ada empat PTN di Indonesia telah menjadi BHMN, yaitu UI, IPB, ITB,UGM dan UNAIR (yang secara resmi ditetapkan melalui PP No. 153 tahun 2000). Pemerintah, dengan demikian mulai melepaskan subsidi pendidikan secara bertahap, sehingga konsekuenisinya setiap institusi pendidikan harus mengusahakan sendiri biaya untuk pendidikan.

Lahirnya beberapa produk peraturan pemerintah yang sangat pro terhadap modal tidak bisa dilepaskan dari peran serta intelektual dan instituasi pendidikan yang menjadi agen intelektual untuk melegitimasi kebijakan tersebut, sebut saja beberapa rentetan lahirnya produk peraturan pemerintah seperti: undang-Undang Privatisasi yang kemudian dibarengi degan lahirnya undang-undang lainnya yang pro modal seperti : UU Migas, UU SDA, UU Sisdiknas, UU Ketenagakerjaan, Perpres 36 tentang pertanahan-semua menjadi cerminan atas kebobrokan kaum intelektual serta institusi pendidikan yang telah menjadi alat dari kapitalisme internasional dan kekuasaan untuk menindas rakyat.

Paradigma pendidikan nasional yang kapitalistik ini mendapat legitimasinya, saat UU-BHP di syahkan 2007. Penataan pilot proyek liberalisasi Indonesia alias penataan industrialisasi Perguruan Tinggi pasca reformasi sudah disiapkan secara sistematis melalui payung PP No/60/1999 Tentang Perguruan tinggi, PP No/61/1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No/151/2000, PP No/152/2000, PP No/153/2000, PP No/154/2000 dan PP No/06/2004. Itulah kelengkapan legal untuk menata empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia, yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB, yang kemudian diikuti oleh USU, UPI dan terakhir UNAIR, menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Keempat perguruan tinggi pertama tersebut dijadikan percontohan penerapan otonomi perguruan tinggi. Ciri khas suatu PT-BHMN adalah pengumpulan dan pengelolaan dana dilakukan secara

Page 10: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. Pemerintah tidak lebih hanya bertindak sebagai fasilitator asing alias kaki tanganya saja.

Di samping itu, pemerintah tidak berwenang untuk menunjuk rektor karena peran tersebut sudah diambil oleh Majelis Wali Amanat (WMA). Dalam RUU BHP juga disebutkan bahwa BHP dapat melakukan Investasi yang mengasilkan pendapatan tetap dibawah kontrol MWA. Dari situ sangat jelas bahwa kewenangan MWA dapat berperan sebagaimana layaknya Dewan komisaris dan Dewan Direksi, sebagai pemegang kontrol tertinggi atas kehidupan BHP-nya. Karena secara prisnsip MWA hanya memikirkan keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara umum.

Bekerjanya MWA yang Profit oriented itu, memang tidak bisa dilepaskan dengan komposisi isi dari MWA itu sendiri, yang 2/3-nya bukan dari perwakilan satuan pendidikan namun dari perwakilan masyarakat atau swasta yang notabene memiliki kepentingan besar dalam mengembangkan investasi-nya dalam bisnis di bidang jasa pendidikan. Selain itu dalam pasal 28 ayat 1 juga dijelaskan bahwa BHP bisa melakukan penggabungan atau merger atas badan hukum satuan pendidikan yang lain, jadi gambaran pendidikan yang akan datang, kampus atau Universitas termasuk Institut dan yang setingkatnya yang tidak memiliki kecukupan modal dalam mengelola BHP maka secara otomatis gulung tikar kalau tidak mau melakukan merger dan akuisisi dengan BHP yang lebih kuat modalnya. Disamping itu BHP juga bisa membentuk unit lain diluar MWA yang menunjang aktivitasnya.

Karakter kampus yang elitis akhirnya hanya mampu menghasilkan intelektual-intelektual gadungan yang menopang sistem kekuasaan. Apa yang tercantum dalam UUD 1945 ternyata jauh dari kenyataan, karena tidak semua warga negara dapat menikmati pendidikan dengan layak. Pasalnya, biaya pendidikan dinaikan begitu saja tanpa adanya pertimbangan terhadap kondisi ekonomi sebagian besar rakyat, yang sampai hari ini belum juga membaik. Data yang ada menunjukan bahwa hanya sekitar 12% lulusan sekolah menengah yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan sebagian besar sisanya tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi karena masalah ekonomi. Sehingga, dengan logika yang sederhana pun kita dapat menyimpulkan bahwa seleksi ke perguruan tinggi lebih ditentukan oleh seleksi ekonomi dari pada akademis.

Kebijakan Pendidikan Perspektif Bank Dunia: pendekatan fungsi produksiSelama setengah abad terakhir, pemberian bantuan didorong oleh aspek  ideologis. Ini dapat dilihat dalam program bantuan utang Amerika kepada  Eropa usai perang dunia II. Program Marshall Plan dibuat bukan hanya  untuk membangun kembali eropa yang hancur pasca perang, tapi lebih  penting dari itu ialah untuk membuka pasar bagi produk Amerika. Sesungguhnya utang luar negeri untuk pembiayaan proyek-proyek adalah  cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi suatu negara dalam hal  ini adalah negara berkembang terlebih lagi adalah negeri-negeri Muslim.  Kita masih ingat bagaimana Inggris bisa melakukan penjajahan terhadap  Mesir, yakni dengan cara jeratan utang. Begitu pula dengan negara  Perancis berhasil menjajah Tunisia dengan menjeratnya

Page 11: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

melalui utang.  Bahkan, salah satu cara negara-negara Barat dalam meruntuhkan negara  Utsmaniyah di Turki adalah dengan menjeratnya melalui utang.

Di bidang pendidikan kebijakan Bank dunia senantiasa bertumpu pada the Production Function Approach, Pendekatan Fungsi Produksi. Pendekatan ini mendeskripsikan bahwa mutu pendidikan merupakan hasil dari proses yang merupakan fungsi dari input, baik raw input maupun instrumental input. Karena proses merupakan kotak Pandora, the black box yang tidak teridentifikasi, maka pendekatan fungsi produksi di dunia pendidikan menjadi output merupakan fungsi dari input. Berdasarkan fungsi ini dapat dijelaskan bahwa out put secara langsung dan linier ditentukan oleh input. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu harus dilakukan dengan peningkatan kualitas input.

Input pendidikan dapat diidentifikasi secara jelas. Yakni, kurikulum, guru dan tenaga kependidikan yang lain, pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku. Peningkatan mutu sekolah merupakan upaya dan kegiatan untuk meningkatkan berbagai input tersebut, termasuk raw input, yakni siswa. Variabel pertama dan utama yang menurut Bank Dunia adalah kualitas pembelajaran. Oleh karena itu peningkatan kualitas guru sebagai instrumental input merupakan suatu keharusan, termasuk keberadaan pendidikan dan pelatihan guru yang relevan dan memadai. Peningkatan kualitas pembelajaran disamping ditentukan oleh kualitas guru juga ditentukan oleh keberadaan teknologi informasi dan komunikasi modern dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, teknologi informasi dan komunikasi sebagai fasilitas pembelajaran harus dipersiapkan. Siswa sebagai input juga perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu anak-anak semenjak dini harus mendapatkan pendidikan taman kanak-kanak. Dengan mendapatakn pendidikan TK inilah anak-anak dipersiapkan dengan baik untuk masuk ke jenjang sekolah dasar. Disamping itu, kurikulum baik dalam arti isi maupun delivery and instructional system serta evaluasi perlu dipersiapkan, bahkan perlu distandarisasi. Oleh karena itu bagi Bank Dunia reformasi kurikulum amat diperlukan dalam peningkatan mutu sekolah. Bank dunia juga menekankan reformasi manajemen pendidikan sebagai salah satu upaya dalam peningkatan kualitas sekolah, termasuk diantaranya perlu peningkatan kualitas kepemimpinan kepala sekolah.

Sebagai lembaga multinasional, Bank Dunia bergerak di hampir semua negara. Dengan pendekatan fungsi produksi diatas, Bank Dunia memiliki kecenderungan berasumsi, kebijakan yang dilaksanakan dan berhasil meningkatkan mutu pendidikan di suatu negara akan berhasil pula manakala diaplikasikan di negara lain. Misalnya, metoda CBSA telah berhasil dilaksanakan di negara-negara di Amerika Latin, dibawa dan diaplikasikan di Indonesia. Ternyata, asumsi tersebut tidak selamanya benar.

Kebijakan pragmatisme yang ditempuh bank dunia, jelas terkait dengan misi world Bank sebagai lembaga kreditur yang membantu pendanaan dunia ketiga. Proyek-proyek yang dibiayai world bank yang memiliki persyaratan-persyaratan yang harus ditaati oleh debitur. Baik proyek infrastruktur maupun suprastruktur suatu Negara.

Seandainya kita mau berpikir sejenak, niscaya kita akan mudah memahami  hakikat dari

Page 12: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

utang luar negeri. Negara-negara maju tidak akan  meminjamkan sekeping uang pun, kecuali bila mereka yakin bahwa hasilnya  tidak akan memberi manfaat apa pun bagi negara peminjam. Negara-negara  berkembang yang terus berada di bawah pengaruh mereka tidak akan pernah  menjadi apa pun selain konsumen dari perbagai produk yang mereka buat,  dan tidak akan pernah menjadi kompetitor handal dalam pasar dunia.  Pinjaman yang mereka berikan hanya ditujukan untuk proyek-proyek yang  tidak produktif, seperti perbaikan jalan, pembangunan jembatan, hotel  untuk pariwisata, dan proyek-proyek yang sama sekali tidak bernilai apa  pun.     Hal ini diakui oleh salah seorang peraih hadiah nobel dan ketua tim  ekonomi Bank Dunia periode 1996 hingga november 1999, Joseph Stiglitz.  Ia mengatakan “kebijakan yang dibuat oleh Washington dan Bank-Bank  Internasional selama tahun 1990-an sama dengan menggunakan Flamethrower  (alat yang bisa menyemprotkan api) untuk menghilangkan permukaan cat  rumah, dan kemudian menyesal bahwa Anda tidak dapat menyelesaikan  pengecatan karena rumah itu sudah hangus terbakar”. Hampir senada dengan ucapan Stiglitz di atas, Perdana Menteri Malaysia  pernah mengatakan dalam menanggapi bahaya dari utang luar negeri,  “meskipun Jepang memberikan bantuan, tapi Jepang mengambil kembali  dengan cara lain, seperti sihir, hampir dua kali lipat dari yang mereka  berikan”.         Oleh karena itu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, sesungguhnya apa  yang dikatakan dengan bantuan atau utang luar negeri adalah suatu  bentuk penipuan dari negara-negara donor atau lembaga-lembaga  Internasional terhadap negara yang menerima bantuan. Sejak 1997 Indonesia menjadi ‘pasien’ agen dana Internasional seperti IMF, World Bank dan ADB. Sebagai penerima donor kita harus mau ‘tunduk’ dan menelan obat yang mereka resepkan. Tetapi syaratnya sangat mahal: kita harus merestrukturisasi sistem pemerintahan yang tidak efektif - misalnya melalui pemberian otonomi kepada daerah, mengubah praktek negara dari birokrasi otoriter (authoritarian bureaucratic state) menjadi lebih demokrasi dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan, yang lebih penting, kita harus komit dengan program structural adjustment (perubahan structural) yang mereka agendakan.     Bantuan yang ditawarkan ke Indonesia setelah krisis ekonomi Asia  1997-1998, misalnya, ternyata malah meningkatkan angka kemiskinan  secara signifikan. Untuk mendapatkan dana bantuan darurat, pemerintah  Indonesia harus menyetujui privatisasi layanan publik,  merestrukturisasi perbankan nasional, memangkas anggaran sosial dan  mencabut subsidi BBM, listrik dan pangan. Pada mei 1998, karena kesepakatan antara IMF dan Soeharto, pemerintah mencabut subsidi bahan pokok, dan menaikkan harga minyak dan listrik. Kebijakan ini menyulut penolakan keras dari rakyat dan tak lama kemudian, suharto jatuh.

Post Program Monitoring : kepanjangan neoliberalismeHubungan mesra IMF dan Indonesia terus berjalan dengan ditandai kesepakatan LOI -I sampai dengan IV. Sejak tahun 1997 sampai tahun 2003, pada masa Megawati berkuasa, tepatnya pada agustus 2003 pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan program bantuan IMF dan memilih untuk masuk dalam Post Program Monitoring (PPM).

Page 13: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Pilihan Pemerintah ini menimbulkan konsekwensi yang tidak jauh beda dengan pada saat melakukan program kerjasama. Karena IMF masih dapat terus mendikte kebijakan ekonomi Indonesia Karena pemerintah masih harus mengkonsultasikan setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil. Masa pemandoran IMF ini menghasilkan Inpres No. 5 tahun 2003 yang sering disebut inpres “white paper” .Inpres tersebut adalah produk kebijakan negara yang dilahirkan dari intervensi IMF, maka tidak heran jika arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam inpres tersebut persis dengan kebijakan IMF meskipun dibuat oleh pemerintah Indonesia.

Konsep tentang neoliberal saat ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, wacana publik tentang neoliberal menjadi komoditas politik yang sedang memanas dan menarik saat ini. Kedua, konsep neoliberal dalam prakteknya di Indonesia telah dilakukan sejak era presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, terutama dalam kebijakan privatisasi BUMN. Kebijakan ekonomi dalam inpres yang direstui IMF tersebut terbagi dalam tiga bagian : pertama, stabilitas makro ekonomi, Restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dan yang terakhir peningkatan Investasi.inpres tersebut tetap berlaku meskipun telah terjadi pergantian pemerintahan pada tahun 2004, perpres tersebut merupakan alat legitmasi secara hukum untuk melakukan liberalisasi ekonomi pasca hubungan dengan IMF.

Apa yang salah dengan neoliberal menjadi pertanyaan menarik dengan melihat  sejarah konsep pemikiran neoliberal. Tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang berpendapat bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan polisi, yang melindungi hidup warganya. Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika negara berusaha mengatasinya. Agar gagasan tersebut dapat terwujud maka harus dibentuk tatanan global yang diikuti oleh negara-negara di dunia.  Amerika dan Inggris yang semenjak terjadi “Revolusi Konservatif” di masa Reagen dan Thacher menjadi pelopor perubahan tatanan global menuju neoliberalisme itu.  Lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan bank-bank pembangunan regional, seperti Asian Development Bank (ADB) dijadikan sebagai kepanjangan tangan untuk keperluan transformsi tersebut. Negara-negara sedang berkembang yang memperoleh dukungan pinjaman dana dari lembaga-lembaga tersebut harus terlebih dahulu menandatangani perjanjian yang memuat prinsip-prinsip yang dikenal dengan the Washington Consensus.

Posisi utang luar negeri pemerintah sampai dengan akhir September 2006 mencapai US$ 77,347 Juta, jumlah ini belum ditambah dengan utang swasta yang mencapai US$51,022 Juta sehingga total utang Indonesia pada triwulan ketiga 2006 sebesar US$128,369 Juta. Jumlah ini relatif berkurang jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2005 saja total utang Indonesia sebesar US$ 130,652 Juta. Negara kreditor dan lembaga internasional yang memberikan utang pada pemerintah Indonesia tergabung dalam Consultative Groups on Indonesia (CGI) yang dalam sidang CGI tahun 2006 menyepakati jumlah utang yang disanggupi (pledge) sebesar US$2,920 Juta untuk Utang Billateral dan US$2,202 Juta Utang Multilateral.

Page 14: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Pemerintah Indonesia mengumumkan akan membayar utang pada IMF yang masih tersisa, senilai total US$ 7,8 billion, dalam waktu 2 tahun. Jumlah tersebut adalah sisa dari utang Indonesia pada IMF sebesar US$ 25 Million saat krisis, secara politik keputusan tersebut tepat, sebagai langkah untuk melepaskan diri dari pemandoran dan intervensi kebijakan ekonomi yang terus berlangsung sejak krisis 1997. pembayaran utang tersebut dilakukan dua tahap, pada bulan juni 2006 sebesar US$ 3,75 miliar dan sisanya sebesar US$ 3,2 miliar dilunasi pada bulan Oktober.

Namun pelunasan utang pemerintah ke IMF hanya mengurangi sedikit sekali total beban utang luar negeri pemerintah karena selain IMF pemerintah juga mendapat utang multilateral lain Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia disamping itu pemerintah juga mendapat utang yang sifatnya bilateral dari negara-negara kreditor utama Indonesia antara lain Amerika, Jepang, kanada dan Jerman.

Dari jumlah utang tersebut meskipun telah dikurangi utang pemerintah pada IMF, dalam APBN-P 2006 cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah mencapai US$ 2,510 M atau 30% dari total pengeluaran pemerintah. Maka yang harus dilakukan pemerintah setelah membayar lunas utang IMF adalah dengan membatalkan seluruh peraturan perundangan termasuk inpres white paper yang muncul karena tekanan IMF, dan melakukan keputusan progresif untuk melakukan penghapusan utang demi kesejahteraan rakyat. Pokok-pokok ajaran neoliberal tergambar pada: pertama biarkan pasar bekerja, kedua kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi pelayanan sosial, ketiga lakukan deregulasi ekonomi, keempat keyakinan terhadap privatisasi, kelima keyakinan pada tanggung jawab individual. Lebih jauh paham Neoliberal percaya bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi individu, khususnya dunia usaha (pasar), kebebasan dan hak-hak kepemilikan.  Di luar ini peranan negara harus minimal, karena itu negara harus melakukan privatisasi.  Dengan privatisasi atau swastanisasi dimaksudkan adalah tindakan untuk mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peranan dari sektor swasta dalam kegiatan atau pun dalam pemilikan harta kekayaan (Savas, 1987).  Privatisasi menurut paham ini merupakan kunci untuk pemerintahan yang lebih baik.

Ide neoliberal sejak penemuannya kali pertama hingga sekarang seakan menjadi jargon utama bagi perkembangan negara-negara di dunia. Bahkan Fakih (2003) menyatakan bahwa neoliberalisme telah menjadi semacam “agama baru” bagi banyak masyarakat negara-negara di dunia. Privatisasi BUMN sebagai bagian dari doktrin neoliberal pada intinya adalah pemindahan pengelolaan dari sektor publik ke sektor swasta. Gagasan utama di belakang proyek privatisasi adalah kredo private is good, public is bad, sehingga dibutuhkan pendefinisian ulang peran negara dalam pasar.Konsep privatisasi dalam sejarahnya menandai awal terjadinya pergeseran pendulum ekonomi dunia dari model liberal kepada bentuk kapitalisme terbaru yaitu model neoliberal, bersamaan dengan itu agenda globalisasi di bidang ekonomi dan demokratisasi di bidang politik tengah mendapatkan simpati masyarakat dunia.

Page 15: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Setidaknya terdapat enam alasan yang dikemukakan kaum neoliberal terhadap privatisasi BUMN. Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri. Keenam, sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international. Dalam praktiknya privatisasi BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru sampai saat ini. Hal ini terjadi, misalnya, di era Soeharto, pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994) dan 35 % saham PT Aneka Tambang (1997). Pada era presiden Habibie, privatisasi dilakukan terhadap 12 BUMN, termasuk privatisasi PT Semen Gresik pada 1998 yang menimbulkan kontroversi. Sementara di era Megawati privatisasi dilakukan, misalnya  tergadap PT Indosat (2002) dan pada era presiden Susilo Bambang Yudoyono  tetap melanjutkan program privatisasi BUMN.

Namun demikian, dalam implementasi kebijakan privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Sementara itu, ada sebagian masyarakat berpikir secara realistis. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia. Bukti empiris menunjukkan bahwa kebijakan privatisasi di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia  lebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia.

Gagasan privatisasi yang bersumber di negara-negara maju dicangkokkan mentah-mentah tanpa melihat perbedaan yang ada dalam struktur sosial, ekonomi, maupun politik antara negara berkembang dan negara maju. Sehingga terjadilah penyimpangan yang kemudian menimbulkan banyak kontroversi. Penyimpangan ini terjadi misalnya dalam kebijakan privatisasi PT. Semen Gresik dan PT Indosat. Proses divestasinya yang tidak transparan menimbulkaan dugaan penyalahgunaan hasil penjualan sebagai sumber pendanaan bagi kepentingan partai politik dan para elite politik tertentu yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Privatisasi juga banyak dikecam karena dipandang merugikan negara triliunan rupiah akibat harga jualnya yang terlalu murah.Keputusan pemerintah pada waktu itu untuk menjual PT Semen Gresik dan PT Indosat sebagai cara cepat untuk mendapatkan dana segar guna menutupi defisit APBN cenderung tidak menunjukkan langkah strategis ke depan yang ingin dicapai pemerintah dalam konteks perencanaan pembangunan, khususnya di sektor industri. Privatisasi tersebut juga sangat elitis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam hal kepemilikan saham. Padahal, justru kepemilikan saham oleh masyarakat luaslah (terutama karyawan perusahaan) yang berusaha dicapai dalam privatisasi yang ideal di negara maju.

Page 16: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Kontroversi ini sebagian besarnya menyangkut masalah habisnya wewenang pemerintah dalam mengontrol pengelolaan perusahaan. Pemerintah tidak lagi punya otoritas untuk turut berpartisipasi menentukan strategi dan sasaran ke depan yang ingin ditempuh perusahaan. Pemerintah juga tidak punya kapasitas untuk intervensi keputusan pengelola swasta yang merugikan atau menimbulkan biaya sosial bagi publik. Dalam hal ini, pemerintah tidak berdaya untuk turut mengontrol berjalannya fungsi pelayanan, distribusi dan keadilan berkonsumsi. Padahal di negara maju sendiri, peran pemerintah tetap dipertahankan lewat kepemilikan golden share.

Paham ini juga diterapkan secara internasional dalam bentuk implementasi perdagangan dan pasar bebas.  Paham Neoliberal sangat percaya bahwa mekanisme pasar adalah cara optimal dalam mengorganisir barang dan jasa.  Perdagangan dan pasar bebas membebaskan potensi-potensi kreatif dan kewiraswastaan dan karena itu menuju kearah kebebasan individu dan kesejahteraan serta efisiensi dalam alokasi sumber daya.Menurut paham Neoliberal ekonomi moneter mendominasi makro ekonomi dan intervensi ekonomi negara tidak diharapkan, karena akan mengganggu logika pasar dan mengurangi efesiensi ekonomi. Paham ini juga mendukung perdagangan bebas secara internasional.  Sebagai hasil dari implementasi dari paham ini kekayaan dan kekuasaan tidak lagi berada di tangan pemerintah yang dipilih oleh rakyat melainkan pada kelompok-kelompok elite bisnis dan perusahaan-perusahaan multinasional. Kesimpulannya,  prinsip utama dalam ekonomi  neoliberal adalah free market dan free trade.

Kebijakan-kebijakan ini jelas  tidak sesuai dengan kebutuhan dasar mayoritas rakyat Indonesia.  Hasilnya, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan berlipat ganda dan  upah riil selama periode itu jatuh sebanyak 30%, jutaan orang mengalami  malnutrisi kriminalitas meningkat tajam sebesar 1000%, 4,5 juta anak  putus sekolah, dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Dampak ketundukan kepada syarat2 agen dana Internasional ini jelas. Kita mulai ‘memprivatisasi’ sistem pendidikan (PT dan sekolah dibebaskan menarik uang kuliah/sekolah langsung), pengurangan public spending (memotong subsidi, menaikan pajak, memprioritaskan pembayaran utang) dan melakukan proyek2 desentralisasi dibawah petunjuk, arahan dan ‘biaya’ agen asing/ Internasional.

Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang dana anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 % dari total APBN), angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 % dari total APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun, dimana angka tersebut jauh lebih sedikit dibanding beban pembayaran utang luar negri. Alokasi pembayaran bunga utang dalam negri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga utang luar negri Rp. 25,14 trilyun, cicilan pokok utang luar negri sebesar Rp. 46,84 trilyun. Jika ditotal, maka pembayaran utang luar negri telah menghabiskan 25,10 % dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, yang berarti juga memboroskan pendapatan negara sebesar 29,33%.

Page 17: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Seharusnya tidak begitu keadaannya pendidikan kita jika diingat bahwa letak geografis Indonesia sangat menguntungkan bagi kemakmuran rakyatnya, karena kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa kaya. Lihat saja pendapatan dari berbagai industri pertambangan asing di Indonesia seperti Exxon Mobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 Billion atau Rp3.723 trilyun serta Chevron di tahun 2007 mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 Billion atau Rp 171 trilliyun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Tidak seharusnya negeri ini miskin, karena sama sekali tidak memiliki alasan untuk itu.

Komersialisasi Pendidikan : tarikan logika bisnisDalam pidato yang disiarkan metro TV tanggal 07 April 2010 Jam 13. 10 WIB, Presiden SBY mengumumkan dibatalkannya UU BHP oleh MK sebagai penggantinya akan dicari format terbaik yang lain untuk kemajuan pendidikan. Pembatalan ini merupakan pelajaran untuk melihat kondisi pendidikan yang selama ini telah terjadi. Persoalannya kemudian adalah momentum komersialisasi tersebut dapatkah dihentikan oleh pemerintah dengan mengumumkan pembatalan tersebut. Jika menarik pelajaran kita tidak akan bisa menurunkan harga jika sudah terjadi.

Proyek komersialisasi sekolah yang sedang berjalan sekarang sangat mungkin mencerminkan kesulitan, bahkan kegagalan pendidikan dalam melepaskan diri dari jerat kapitalisasi. Jerat kapitalisasi pendidikan, menurut Darmaningtyas (2005), menjadikan pendidikan harus 'menyembah' kepada aturan main pasar, sehingga kebijakan dunia pendidikan bukan lagi berorientasi kepada pencerdasan dan pemanusiaan manusia, tetapi justru menjadi ajang mengeruk keuntungan finansial. Menyembah kepada pasar, mengakibatkan dunia pendidikan menjadi salah satu sarana rekolonialisasi dan reimprealisasi neoliberal dalam menghegemoni seluruh ruang gerak manusia.

Gerak laju dunia pendidikan akhirnya terjebak dalam statistik yang penuh rentetan data sebagai bahan laporan bagi lembaga yang disetir dunia pasar. Data-data itu kemudian menjadi bahan dasar 'pengelola pasar' dalam monitoring laku-tidaknya aksentuasi formalitas pendidikan dalam pertarungan dunia industri global. Dalam tataran demikian, siswa dan mahasiswa dijebak dalam jerat permainan industri global.

Pendidikan di Indonesia saat ini tengah menghadapi tarikan logika bisnis yang amat kuat. Munculnya PP No. 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, kebijakan tentang pendidikan bertarap internasional, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Pendidikan Profesi Keguruan, Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Mendiknas No. 26 Tahun 2007 tentang kerjasama Perguruan Tinggi dengan pihak asing, dan lain sebagainya, menunjukkan kuatnya pengaruh dunia perdagangan dalam pendidikan.

Lahirnya UU BHP merupakan amanat dari bagian pembukaan (menimbang point C) Sisdiknas berbunyi, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi

Page 18: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Untuk itu pemerintah perlu melakukan perbaikan pada system pendidikan dari PT sampai tingkat Dasar guna mencapai tujuan di atas. Sehingga pendidikan tersebut memeliki kredibilitas dan akuntabilitas dimata public. Untuk itu maka satuan pendidikan perlu berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti yang ditetapkan dalam sisdiknas pasal 53 ayat 14 yang berbunyi: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

Pendidikan dengan logika bisnis juga membutuhkan sistem dan infra-struktur yang kuat dan handal, yang memungkinkan mengantarkan situasi orang yang menggunakannya akan mencapai tujuannya dengan hasil yang memuaskan. Dalam konteks pendidikan, Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya, ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial.

Perubahan proporsi kebijakan ini tidak didasari cara berpikir integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, tetapi juga pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri. Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik sesuai kompetensi yang dibutuhkan, hanya akan menciptakan tenaga kerja murah dan hanya menguntungkan perusahaan swasta karena mereka tak perlu membiayai ongkos pelatihan untuk perekrutan karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung negara.

Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian tugas Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat akademi merupakan bagian kinerja Ditjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini harus bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke politeknik atau akademi yang setingkat dengan PT. Melulu membangun SMK tanpa dibarengi pengembangan politeknik dan akademi hanya akan melahirkan tenaga kerja murah.

Page 19: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Guru besar bidang linguistik Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam membangun pendidikan tidak perlu terlalu menyalahkan dan menggantungkan diri pada pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang pernah memimpin sebuah jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan tinggi swasta. “Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana pemerintah. Biarkan tumbuh universitas- universitas swasta yang dikelola seperti perusahaan atau industri. Lembaga pendidikan memang harus dikelola seperti badan usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan dikembalikan untuk peningkatan mutu lembaga pendidikan itu,” katanya.

Komersialisasi Sekolah : memutus benang kusutUntuk melaksanakan konsep-konsep di atas tidaklah mudah, Kadang terjadi distorsi yang tidak kecil antara penerjemahan konsep ke hal yang lebih teknis. Lagi pula untuk melakukan itu semua harus diawali oleh seorang pemimpin bangsa yang berani. Dan di ikuti oleh segenap elemen bangsa yang memiliki satu tekat keberpihakan kepada rakyat kecil. Gerakan sosial untuk mengusung pendidikan murah dan berkualitas harus di hidupkan. Guru dan dosen sudah waktunya mempelopori untuk memperjuangkan kepentingannya dan peserta didiknya. Guru, dosen dan orang tua peserta didik akan menjadi kekuatan politik mandiri jika bisa melakukan persekutuan taktis.

Di Unair , bagi calon mahasiswa yang diterima, baik melalui jalur SPMB maupun melalui PMDK-UNAIR harus merogoh kocek minimal Rp 5 juta untuk SPMA. Masih ada lagi “jalur khusus” yang mensyaratkan nominal puluhan hingga ratusan juta rupiah. Seakan belum cukup, mahalnya biaya pendidikan ini masih ditambah dengan SPP, IKOMA dan yang sebentar lagi akan diberlakukan melalui SK Rektor adalah dinaikannya biaya SKS. Namun fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di UNAIR, tapi juga di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lain di Indonesia, terutama yang menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara).Memasuki dunia pendidikan, maka mindsetnya dicetak dalam bingkai laku-tidaknya dalam dunia pasar. Terbukti, jurusan-jurusan yang menjadi favorit mesti jurusan yang selalu 'laku keras' dalam arus industri global. Jurusan yang tidak laku, maka akan ditinggalkan, bahkan kalau perlu 'dimuseumkan', sehingga tidak lagi menjadi incaran peminat.

Menggiring mindset siswa dalam logika pasar inilah yang sedang berlangsung sangat kolosal dalam alur dunia pendidikan di Indonesia. Misi dunia pendidikan dalam upaya memanusiakan manusia jadi terganggu. Sekolah sekarang mencetak siswa-siswa yang segera layak jual di dunia industri. Guru-guru dan seluruh insan dunia pendidikan kemudian sibuk dengan agenda birokratisasi 'proyek yang sedang ramai' setiap tahun ajaran baru menggelinding. Atau setiap babakan momentum penting yang terjadi, maka akan selalu dimanfaatkan untuk mensukseskan sekian proyek kapitalisasi yang mendatangkan keuntungan finansial tinggi.

Tragedi komersialisasi sekolah telah menghadirkan duka sejarah yang berulang-ulang. Setiap tahun ajaran baru, tragedi itu terus diulang-ulang. Bukannya disudahi, tetapi justru

Page 20: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

prakyek komersialisasi semakin merajalela. Jurus-jurus komersialisasi juga semakin canggih, sehingga sulit diendus publik. Sampai titik ini, institusi pendidikan sejatinya sedang dalam gawat darurat. Peserta didik akan menjadi manusia robot, yang seluruh gerak langkahnya ditentukan oleh mesin produksi pasar. Jadilah mereka menjadi sosok yang saklek, monoton, dan tak berkreasi mencipta hal baru yang inspirasional. Terjebak dalam instanisme dan pragmatisme. Kaku dalam bertindak, miskin gagasan mencipta visi.

Maka, sudah saatnya sekarang semua pihak harus berupaya memutus benang kusut proyek komersialisasi sekolah. Sekolah harus dikembalikan kepada hakikatnya sebagai proses memanusiakan manusia. Proses belajar-mengajar adalah proses agung dalam mentransfer tata nilai kehidupan dan tata nilai gagasan. Tahun ajaran baru harus dikembalikan sebagai ritus suci mencipta manusia baru yang berjuang demi membela hakekat kemanusiaan dan kehidupan.

Tahun 2005 adalah tahun pahit bagi guru dan dosen swasta. Betapa tidak, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tak satupun pasal dan ayat yang ada dalam konsideransnya mengatur tentang kesejahteraan guru/dosen swasta. Posisi guru/dosen swasta penting untuk dipersoalkan disini karena sejak dulu hingga kini, posisi guru/dosen swasta secara hukum tak pernah jelas, terutama jika ditinjau dari segi aspek kesejahteraan dan kelayakan profesi. Dari sisi yuridis, respon berbagai pihak terhadap UU 14/2005 tersebut minimal diarahkan pada dua pertanyaan berikut: pertama, apakah layak profesi guru dan dosen di atur bersama dalam satu UU. Kedua, mengapa UU 14/2005 tidak mengatur secara rinci posisi hukum guru/dosen swasta yang bekerja di bawah payung hukum yayasan.

Guru, dosen dan masyarakat harus merumuskan program pembaharuan sosial melalui terbentuknya sekolah murah. Gerakan ini niscaya akan mendapat dukungan yang massif karena orientasi keperpihakannya yang tegas. Gerakan sosial sekolah murah ini di harapkan dapat melakukan penolakannya pada komersialisasi pendidikan apapun modelnya. Gerakan ini hendaknya juga bisa melakukan advokasi pada guru, dosen, maupun murid yang dirugikan oleh sistem pendidikan. Sementara jika ditinjau dari sisi kuantitas, guru/dosen swasta jelas jumlahnya lebih banyak dibanding guru/dosen negeri. Anehnya, dari segi yuridis, posisi ketenagakerjaan guru/dosen swasta hingga turunnya UU 14/2005 tetap dianggap sebagai isu non-negara. Jika dilihat dari segi UU Kepegawaian juga tidak relevan, karena para guru dan dosen yang bekerja di lembaga pendidikan swasta bukanlah PNS.Dicakup dari segi UU Ketenagakerjaan kurang mengena karena guru/dosen tidak dapat dikategorikan begitu saja sebagai pekerja/buruh perusahaan. Karena yayasan penyelenggara sekolah/PTS (yang menaungi mempekerjakan guru/dosen swasta) juga tidak dapat digolongkan sebagai perusahaan. Posisi yang tak jelas ini mengakibatkan payung hukum ketenagakerjaan (termasuk didalamnya program pembinaan) guru/dosen swasta sebagai tenaga kependidikan menjadi tak jelas ada dalam kewenangan atau tanggung jawab siapa.Untuk menaikan kesejahteraannya sudah waktunya guru, dan dosen ikut dalam perjuangan ini. Kisah guru-guru yang tergabung dalam PGRI baik dari jawa timur, jawa

Page 21: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

tengah, dan jawa barat akhir juni 2007 lalu yang melakukan aksi tuntutan pemenuhan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan kesejahteraan guru ke istana negara harus terus di hidupkan. Guru dan dosen sudah saatnya menjadi kekuatan politik yang bergerak memperjuangkan sistem pendidikan yang berpihak kepada rakyat.

Rendahnya Mutu Buku Pelajaran : Pemborosan Biaya BukuSetiap kali kenaikan kelas, orang tua murid selalu gundah mencari tambahan biaya untuk membeli buku paket pelajaran baru dari sekolah. Ditengah-tengah keresahan orang tua siswa tersebut, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab, melontarkan gagasan pemberlakuan buku pelajaran minimal 5 tahun. Gagasan ini muncul merespon ramainya keluhan para orang tua siswa yang harus menanggung lebih banyak biaya untuk buku paket pelajaran. Meskipun seorang siswa memiliki kakak yang duduk di kelas lebih tinggi, ia harus membeli buku pelajaran baru. Fenomena ini seringkali dilukiskan dengan jargon ”ganti tahun ganti buku pelajaran”. Menindaklanjuti gagasan Menko Kesra ini, akhirnya kebijakan tentang perbukuan tingkat SD sampai dengan SLTA dimasukkan sebagai target wajib belajar pendidikan 9 tahun dalam Program 100 Hari SBY. Untuk ini akan diterbitkan Peraturan Presiden yang mengatur buku pelajaran. Substansi peraturan ini antara lain adalah buku pelajaran dibatasi masa pakainya minimal lima tahun. Penerbit dilarang langsung berjualan buku ke sekolah dan ada sanksi administrasi bagi pelanggarnya. Hal ini terutama untuk menghindari praktik percaloan buku di sekolah yang ujung-ujungnya hanya akan memberatkan beban orang tua siswa. Kebijakan pembatasan buku pelajaran ini sekilas nampak sebagai kebijakan populis. Artinya pemerintah dengan kebijakan ini ingin mencitrakan keberpihakannya pada rakyat banyak. Pasalnya dengan mematok buku pelajaran berlaku minimal selama lima tahun, masyarakat tak perlu harus membeli buku pelajaran baru. Siswa memiliki pilihan untuk memakai buku pelajaran kakak kelasnya, sehingga siswa miskin tak lagi perlu mengeluarkan biaya. Namun demikian, Perpres pembatasan buku pelajaran sekolah ini apabila tidak dikaji secara serius sebenarnya mengandung dampak negatif menghambat pembaharuan informasi bagi anak didik. Untuk menghindari ”salah kebijakan” yang dapat berakibat buruk bagi mutu pendidikan di Indonesia sebaiknya pemerintah SBY-Kalla memilah persoalan yang ada. Dalam hal buku paket sekolah ini, sebenarnya ada dua akar persoalan yang membutuhkan penyelesaian berbeda. Persoalan pertama, mutu buku paket pelajaran. Mutu buku sekolah saat ini masih sangat rendah. Hal ini paling tidak tercermin dari studi Sri Redjeki pada tahun 1997. Dari sekitar 300 buku teks biologi SD-SMA yang ia teliti, ternyata isi buku-buku teks Biologi yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia ketinggalan 50 tahun (Supriadi, Dedi 2000: 27). 

Page 22: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pembatasan masa berlaku buku pelajaran saja buku-buku ilmu pengetahuan Indonesia tertinggal jauh. Apalagi kalau di adakan pembatasan sebagaimana yang dilontarkan oleh pemerintah. Ilmu pengetahuan dan informasi berkembang sangat cepat, apabila buku pelajaran dipatok berlaku selama minimal 5 tahun akan menghambat perkembangan pengetahuan anak didik. Apalagi perubahan isi buku tidak hanya menyangkut substansi atau isi, tetapi juga metodologi dan cara penyampaian. Persoalan menjadi lebih parah karena masyarakat Indonesia saat ini masih amat bergantung kepada buku pelajaran dan belum terbiasa dengan media lain seperti internet, sementara guru tidak memiliki motivasi mencari alternatif informasi, hal ini dapat menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pembatasan masa pakai buku pelajaran ini ditakutkan justru akan lebih menurunkan kualitas pendidikan siswa Indonesia. Melihat kondisi ini semestinya pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperbaharui secara kontinyu buku paket pelajaran siswa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Persoalan kedua, mencegah beban biaya yang terlalu berat bagi orang tua siswa. Buku sekolah saat ini memegang peranan yang sangat dominan di sekolah. Studi yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif dan signifikan dengan hasil belajarnya sebagaimana diukur dengan Nilai Ebtanas Murni (Supriyadi 1997 dalam Supriyadi 2000: 46). Semakin banyak buku yang dimiliki dan dibaca oleh siswa semakin baik prestasi belajarnya. Meskipun buku memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih miskin. Jangankan membeli banyak buku pelajaran sekolah, biaya pokok sekolah saja masih menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka. Saat ini mayoritas masyarakat menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal. Ditengah persoalan semacam ini, praktek percaloan buku di sekolah sudah menjadi rahasia umum. Pihak guru atau sekolah mengharuskan siswa untuk membeli buku-buku paket pelajaran melalui mereka, sehingga muncul semacam praktek monopoli yang merugikan. Keharusan membeli buku pelajaran baru setiap tahun ajaran baru membuat beban orang tua menjadi lebih berat. Kebijakan pemerintah yang diambil semestinya mengatasi dua hal tersebut. Publik membutuhkan kebijakan yang mampu mengurangi beban orang tua tanpa mengorbankan kualitas pendidikan siswa. Kualitas pendidikan siswa dapat dijaga dengan menerbitkan kebijakan yang ketat terhadap pembaharuan isi dan metodologi buku pelajaran. Selain itu juga memperbesar akses siswa terhadap buku pelajaran. Salah satu caranya tentu saja dengan diterbitkannya banyak jenis buku paket gratis dan buku murah. 

Page 23: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Mahkfiuddin Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), menyarankan agar kebijakan yang ditempuh bukannya mematok masa pakai buku pelajaran namun memperketat pengawasan agar tidak terjadi monopoli perdagangan buku di sekolah. Selain itu ia juga mengusulkan adanya pembenahan subsidi pada buku pejaran, buku pelajaran dapat dibebaskan dari pajak sehingga harganya lebih murah.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta. Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture

and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980

Page 24: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.

Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;

2001, 2003)Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit

Paradigma, YogyakartaWilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Page 25: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur

Page 26: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com

Page 27: Gejala Dehumanisasi Dalam Pendidikan

Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education