ganti kelamin secara etika
TRANSCRIPT
Etika adalah usaha mengadakan refleksi yang tertib mengenai gerakan atau intuisi
moral dan pilihan moral yang seseorang putuskan. Etika kedokteran dapat diartikan sebagai
kewajiban berdasarkan akhlak/moral yang menentukan praktek kedokteran. Pada
kenyataannya dunia saat ini membutuhkan refleksi etis, termasuk etika kedokteran. Berbagai
perkembangan dan kemajuan IPTEK, globalisasi, serta perubahan pola hidup masyarakat
yang berubah radikal menuntut landasan etis di dalamnya. Salah satu bentuk kemajuan dalam
bidang kedokteran adalah operasi ganti kelamin. Tentu saja berbagai pertanyaan mengenai
masalah etika dari tindakan ini marak disuarakan. Berbagai pihak menilai bahwa hal itu
dianggap tidak etis, karena berusaha untuk mengintervensi apa yang telah diciptakan dan
tidak sedikit pula yang mengungkapkan bahwa seseorang lahir dengan hak, dan selama hak
itu tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang lain, hal seperti ini seharusnya
dapat diterima.
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia pasal 7c “seorang dokter harus menghormati hal-hak pasien, hak-
hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien”.
Dalam kaitannya dengan kasus kali ini, hal yang perlu dicermati adalah hak pasien yang
harus dihormati dokter. Hak-hak pasien telah diatur dalam beberapa ketentuan yakni :
a. Declaration of Lisbon 1991
b. Penjelasan pasal 53 UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
c. Surat Edaran (SE) Ditjen Yanmed Depkes RI No. YM02.04.3.5.2504 tentang
pedoman Hak dan Kewajiban pasien, dokter, dan rumah sakit
d. Deklarasi Muktamar IDI 2000 tentang hak dan kewajiban pasien dan dokter.
Walaupun begitu KODEKI dan Pedoman Pelaksanaan KODEKI tidak mencantumkan secara
pasti mengenai operasi kelamin ini. Hal tersebut dikatakan Ketua Majelis Kehormatan Kode
Etik Kedoteran (MKEK) IDI Agus Purwadianto dalam wawancaranya mengenai Operasi
Kelamin yang dilakukan RSU Soetomo Surabaya 2009 lalu. dr. Agus menandaskan, pihak
rumah sakit sebelum melakukan operasi sudah pasti melakukan proses assessment (penilaian)
panjang dengan melibatkan beberapa dokter dan ahli kejiwaan. “Yang tidak boleh adalah
kalau ada pasien yang minta ganti kelamin lalu dokter langsung melaksanakan tanpa
melakukan assessment dulu,” katanya.
dr. Agus mengungkapkan, dalam etika kedokteran, aturan boleh dan tidaknya berganti
kelamin tidak disebutkan secara spesifik dan dalam aturan tertulis. Namun, teori etika
kedokteran tidak hanya didasarkan pada perbuatan, tapi juga akibat yang baik bagi orang
bersangkutan atau diistilahkan teleologi. Artinya, operasi ganti kelamin diperkenankan jika
akibatnya baik bagi yang bersangkutan.
Kesimpulan :
Etika Kedokteran tidak mengatur secara khusus tentang Operasi ganti kelamin. Walaupun begitu, hal
ini tidak serta-merta dilakukan, melainkan melalui tahapan yang panjang sebelum operasi ganti
kelamin. Menurut ketua Majelis Kehormatan Kode Etik Kedoteran (MKEK) IDI Agus
Purwadianto, operasi ganti kelamin dapat dilakukan apabila berdampak baik bagi yang
bersangkutan.