gangguan kecemasan
DESCRIPTION
gangguan kecemasanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kecemasan merupakan pengalaman emosional yang berlangsung singkat
dan merupakan respon yang wajar, pada saat individu menghadapi tekanan atau
peristiwa yang mengancam kehidupannya.
Pada tahun 1894, Freud menciptakan istilah ‘’anxiety neurosis’’. Kata
anxiety diambil dari kata ‘’angst” yang berarti ‘’ketakutan yang tidak–perlu’’ .
Pada mulanya Freud mengartikan kecemasan (anxietas) sebagai transformasi
lepasnya ketegangan seksual yang menumpuk melalui sistem saraf otonom
dengan menggunakan saluran pernafasan. Kemudian kecemasan ini diartikan
sebagai perasaan takut atau khawatir yang berasal dari pikiran atau keinginan
yang direpresi. Dapat pula diartikan sebagai suatu respon terhadap situasi yang
berbahaya. Kecemasan merupakan pengalaman yang bersifat subjektif,tidak
menyenangkan, tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan akan adanya
kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya, dan seringkali disertai oleh gejala-
gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan aktifitas otonomik.
Istilah kecemasan dalam psikiatri muncul untuk merujuk suatu respons
mental dan fisik terhadap situasi yang menakutkan dan mengancam. Secara
mendasar lebih merupakan respon fisiologis ketimbang respon patologis terhadap
ancaman. Sehingga orang cemas tidaklah harus abnormal dalam perilaku mereka,
bahkan kecemasan merupakan respon yang sangat diperlukan. Ia berperan untuk
menyiapkan orang untuk menghadapi ancaman (baik fisik maupun psikologik).
Perasaan cemas atau sedih yang berlangsung sesaat adalah normal dan hampir
semua orang pernah mengalaminya
Menurut DSM-IV yang termasuk gangguan kecemasan adalah gangguan
panik dengan dan tanpa agorafobia, agorafobia tanpa riwayat gangguan panik,
fobia spesifik dan sosial, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres
pascatraumatik, gangguan stress akut, gangguan kecemasan menyeluruh,
gangguan kecemasan karena kondisi medis umum, gangguan kecemasan akibat
zat dan gangguan kecemasan yang tidak ditentukan, termasuk gangguan
kecemasan-depresif campuran.
Gangguan kecemasan disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya
tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari
secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak
berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya
atau mengancam.
Jika memeriksa pasien dengan kecemasan, klinisi harus membedakan
antara jenis kecemasan yang normal dan patologis. Pada tingkat praktis,
kecemasan patologis dibedakan dari kecemasan normal oleh penilaian pasien,
keluarganya, teman-temannya, dan klinisi kemudian menunjukkan akan adanya
kecemasan patologis. Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang
berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran
berkonsentrasi dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin,
berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala
gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala
yang lain. Kecemasan normal ditemukan misalnya pada bayi yang ditinggal orang
tuanya, anak yang masuk sekolah untuk pertama kalinya, orang dewasa yang
menghadapi hari tuanya dan saat mau meninggal, seorang istri yang ditinggal
suaminya menuju garis depan, seorang buruh yang dikeluarkan dari pekerjaannya.
Pada umumnya kecemasan merupakan fenomena normal dalam
mengiringi proses pertumbuhan dan perkembangan, pada pengalaman-
pengalaman baru dan pada hal-hal yang belum pernah dicoba.
Terapi yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan cemas
adalahkemungkinan dengan mengkombinasikan manajemen krisis,
farmakoterapeutik, dan psikoterapeutik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Cemas (anxietas) merupakan pengalaman yang bersifat subjektif,
tidak menyenangkan, tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan
akan adanya kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya, dan seringkali
disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan
aktifitas otonomik.
“ Anxietas adalah perasaan yang difus, yang sangat tidak
menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan
terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah
yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu.
Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung
berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau
buang air besar. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan
gelisah.”
B. ETIOLOGI
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan faktor yang diduga
menyebabkan terjadinya gangguan anxietas menyeluruh. Teori-teori
tersebut antara lain :
1. Teori psikoanalitik
Meskipun Freud awalnya diyakini bahwa kecemasan berasal dari
penumpukan fisiologis libido, ia akhirnya merumuskan kembali
kecemasan sebagai sinyal adanya bahaya di bawah sadar. Menanggapi
sinyal ini, ego digunakan sebagai mekanisme pertahanan untuk mencegah
pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima yang muncul ke dalam
kesadaran. Dari perspektif psikodinamik, tujuan terapi tidak diperlukan
untuk menghilangkan kecemasan, tapi untuk meningkatkan toleransi
kecemasan, yaitu kemampuan untuk mengalami kecemasan dan
menggunakannya sebagai sinyal untuk menyelidiki konflik yang
mendasari yang telah menciptakannya. Kecemasan muncul sebagai respon
terhadap berbagai situasi selama siklus hidup.
Sumber lain dari kecemasan melibatkan anak yang takut
kehilangan cinta atau persetujuan orang tua. Seringkali, sebuah wawancara
psikodinamik dapat menjelaskan tingkat kecemasan yang dialami seorang
pasien. Beberapa kecemasan jelas berkaitan dengan konflik pada beberapa
tingkat perkembangan yang bervariasi.
2. Teori Perilaku
Teori-teori perilaku adalah respon terkondisi terhadap rangsangan
lingkungan tertentu. Dalam model pengkondisian klasik, seorang gadis
dibesarkan oleh seorang ayah yang kasar, misalnya, dapat menjadi cemas
segera setelah ia melihat ayahnya yang kasar. Dalam model pembelajaran
sosial, seorang anak dapat mengembangkan respon kecemasan dengan
meniru kecemasan di lingkungan, seperti orang tua cemas.
3. Teori eksistensial
Teori kecemasan eksistensial menyediakan model untuk
kecemasan umum, di mana tidak ada stimulus khusus yang diidentifikasi
untuk rasa cemas yang sifatnya kronis. Kekhawatiran eksistensial tersebut
dapat meningkat sejak pengembangan senjata nuklir dan bioterorisme.
Teori kognitif-perilaku
Penderita GAD berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman,
disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal yang negative pada
lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang
sangat negative terhadap kemampuan diri untuk menghadapi ancaman.
Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien
GAD dan gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga
tingkat pertama penderita GAD juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan
penelitian pada pasangan kembar didapatkan angka 50% pada kembar
monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.
Kontribusi Ilmu Biologi
1. Sistem saraf otonom
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu contoh
pada sistem kardiovaskular (misalnya, takikardia), otot (misalnya, sakit
kepala), pencernaan (misalnya, diare), dan pernapasan (misalnya,
takipnea).
2. Neurotransmitter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan
dengan dasar dari studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah
norepinefrin (NE), serotonin, dan gama-ainobutyric acid (GABA). Salah
satu eksperimen untuk mempelajari kecemasan adalah tes konflik, di
mana hewan secara bersamaan disajikan dengan rangsangan yang positif
(misalnya makanan) dan negatif (misalnya, sengatan listrik). Anxiolytic
narkoba (misalnya benzodiazepin) cenderung memfasilitasi adaptasi
hewan untuk situasi ini, sedangkan obat lain (misalnya, amfetamin) lebih
lanjut mengganggu respon perilaku hewan.
3. Norepinefrin
Gejala kronis yang dialami oleh pasien dengan gangguan
kecemasan, seperti serangan panik, insomnia, terkejut, dan hyperarousal
otonom, merupakan karakteristik fungsi noradrenergik yang meningkat.
Itu teori umum tentang peranan norepinefrin pada gangguan kecemasan
dimana pasien yang terkena mungkin memiliki sistem noradrenergik yang
buruk. Badan sel dari sistem noradrenergik terutama terlokalisasi pada
lokus seruleus di pons rostral, dan mereka memproyeksikan akson mereka
ke korteks otak, sistem limbik, batang otak, dan sumsum tulang belakang.
Percobaan pada primata telah menunjukkan bahwa stimulasi dari lokus
seruleus menghasilkan respon ketakutan pada hewan dan bahwa ablasi dari
daerah yang sama atau sama sekali menghambat menghambat kemampuan
hewan untuk membentuk respon ketakutan.
4. Serotonin
Identifikasi jenis reseptor serotonin telah mendorong pencarian
untuk peran serotonin dalam patogenesis gangguan kecemasan. Berbagai
hasil test pada stres akut menunjukkan omset 5-hidroksitriptamin (5-HT)
yang meningkat pada korteks prefrontal, amigdala, dan hipotalamus
lateral. Kepentingan dalam hubungan ini pada awalnya didorong oleh
pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek terapi dalam
beberapa gangguan kecemasan misalnya, clomipramine (Anafranil) di
OCD. Efektivitas buspirone (BuSpar), suatu serotonin 5-HT1A agonis
reseptor, dalam pengobatan gangguan kecemasan juga menunjukkan
kemungkinan adanya hubungan antara serotonin dan kecemasan. Badan
sel neuron serotonergik kebanyakan terletak di inti raphe di batang otak
dan sel – sel yang menuju ke korteks, sistem limbik (khususnya amigdala
dan hippocampus), dan hipotalamus. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa meta-chlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik, dan
fenfluramine (Pondimin), yang menyebabkan pelepasan serotonin,
menyebabkan kecemasan meningkat pada pasien dengan gangguan
kecemasan, dan banyak laporan menunjukkan bahwa serotonergik
halusinogen dan stimulansia misalnya, asam diethylamide lysergic (LSD)
dan 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) terkait dengan
perkembangan gangguan kecemasan akut dan kronis pada orang yang
menggunakan obat ini.
5. GABA
Peran GABA pada gangguan kecemasan sebagai contoh
penggunaan golongan benzodiazepin, yang meningkatkan aktivitas GABA
pada jenis reseptor GABA A (GABAA), dalam pengobatan beberapa jenis
gangguan kecemasan. Meskipun potensinya rendah, benzodiazepin adalah
obat yang paling efektif untuk mengatasi gejala dari gangguan kecemasan
umum, potensi tinggi obat – obat golongan benzodiazepin, seperti
alprazolam (Xanax), dan clonazepam efektif dalam pengobatan gangguan
panik. Sebuah antagonis benzodiazepin, flumazenil (Romazicon),
menyebabkan serangan panik sering berat pada pasien dengan gangguan
panik. Data ini telah membawa para peneliti berhipotesis bahwa beberapa
pasien dengan gangguan kecemasan memiliki fungsi abnormal dari
reseptor GABAA mereka, meskipun hubungan ini belum terbukti secara
langsung.
6. Hipotalamus-hipofisis-adrenal Axis
Bukti yang konsisten menunjukkan bahwa banyak bentuk stres
psikologis meningkatkan sintesis dan pelepasan kortisol. Kortisol
berfungsi untuk memobilisasi dan untuk melengkapi penyimpanan energi
dan kontribusi untuk gairah meningkat, kewaspadaan, perhatian terfokus,
dan pembentukan memori; penghambatan pertumbuhan dan sistem
reproduksi, dan penahanan dari respon kekebalan. Sekresi kortisol yang
berlebihan dan berkelanjutan dapat memiliki efek samping yang serius,
termasuk hipertensi, osteoporosis, imunosupresi, resistensi insulin,
dislipidemia, dyscoagulation, dan, akhirnya, aterosklerosis dan penyakit
kardiovaskular.
7. Corticotropin-releasing hormone (CRH)
Salah satu mediator yang paling penting dari respon stres, CRH
mengkoordinasikan perubahan perilaku dan fisiologis adaptif yang terjadi
selama stres.Tingkat CRH di hipotalamus meningkat pada orang dengan
stres, mengakibatkan aktivasi dari sumbu HPA dan meningkatkan
pelepasan kortisol dan dehydroepiandrosterone (DHEA). CRH juga
menghambat berbagai fungsi neurovegetative, seperti asupan makanan,
aktivitas seksual, dan program endokrin untuk pertumbuhan dan
reproduksi.
C. EPIDEMIOLOGI
Gangguan kecemasan adalah salah satu gangguan mental yang
paling lazim terjadi di masyarakat umum. Di Amerika Serikat, dilaporkan
prevalensi gangguan cemas pada orang dewasa sebesar 2,9% dari seluruh
populasi, sedangkan di Indonesia diperkirakan adalah sebanyak 6-7%.
Wanita lebih banyak mengalami gangguan cemas dibandingkan pria,
dengan rentang usia 16-40 tahun.
D. PATOFISIOLOGI
Kecemasan berhubungan dengan multiple struktur otak dan fungsi
abnormal dari sistem beberapa neurotransmiter : Nor Epinefrin /NE, γ-
aminobutyric acid / GABA, dan serotonin (5-HT).
Ada beberapa Teori Neurokimia (Neurochemical Theories) :
Model nor Adrenergic
Teori ini menyatakan bahwa sistem saraf autonom penderita
ansietas bersifat hipersensitif dan mempunyai reaksi yang berlebihan
terhadap berbagai jenis stimulus / rangsangan. Sebagai respon terhadap
stimulus yang mengancam/berbahaya, maka LC (locus ceruleus)
sebagai pusat alarm, akan mengaktivasi release NE dan menstimulasi
sistem saraf simpatik & parasimpatik. Obat-obat anxiogenik (misal
yohimbin & isoproterenol) akan menstimulasi LC dan meningkatkan
aktivitas NE sehingga memicu gangguan ansietas maupun panik.
Sebaliknya obat-obat anxiolytic atau antipanic (misal BZs,
antidepresan, klonidin) akan menghambat LC, menurunkan aktivitas
NE dan menghambat efek obat-obat anxiogenik.
Model reseptor Benzodiazepine
Secara fungsional dan struktural, reseptor BZ berhubungan dengan
reseptor GABA tipe A (GABAA) dan chanel ion Cl yang dikenal
sebagai GABA – BZ receptor complex. GABA sebagai
neurotransmiter inhibitori mayor dalam CNS, mempunyai kekuatan
sebagai pengatur atau penghambat pada sistem 5 – HT, NE, dan DA.
Pada waktu GABA terikat pada masing2 reseptor tersebut, maka
chanel ion Cl membuka & menyebabkan influks ion muatan negatif Cl
sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran sel dan menyebabkan
penurunan eksitabilitas sel saraf.
Model Serotonin
Ansietas berhubungan dengan abnormalitas fungsi 5 – HT. 5 – HT
sebagai neurotransmiter inhibitori mempunyai aksi yang diatur oleh
minimal 13 sub tipe reseptor yang berbeda. Aktivitas 5 – HT yang lebih
besar akan mengurangi aktivitas NE dalam LC, menghambat pertahanan /
hilangnya respon melalui daerah abu-abu periaqueductal dan mengurangi
release CRF dari hipotalamus. (Obat-obat SSRIs selektif akan
menghambat manifestasi panik). Aktivitas 5 – HT yang rendah akan
menyebabkan disregulasi neurotransmiter lain. NE mempunyai aksi pada
terminal 5 – HT presinaptik sehingga menurunkan release 5 – HT,
sebaliknya aktivitasnya pada reseptor postsinaptik akan meningkatkan
release 5 – HT.
E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dinilai dari 2 hal, yaitu gejala somatik dan gejala
psikologik.
1. Gejala somatik
• Gemetar
• Nyeri punggung dan nyeri kepala
• Ketegangan otot
• Napas pendek, hiperventilasi
• Mudah lelah, sering kaget
• Hiperaktivitas otonomik (wajah merah dan pucat, takikardia,
palpitasi, tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing)
• Parestesia
• Sulit menelan
2. Gejala psikologik
• Rasa takut yang berlebihan dan sulit untuk dikontrol
• Sulit konsentrasi
• Insomnia
• Libido menurun
• Rasa mual di perut
• Hipervigilance (siaga berlebih)
F. DIAGNOSIS
Gangguan cemas menyeluruh, menurut DSM-IV-TR, ditandai
dengan pola yang sering, kekhawatiran terus-menerus dan kegelisahan
yang tidak sesuai dengan dampak dari peristiwa atau keadaan yang
merupakan fokus dari rasa khawatir. Perbedaan antara gangguan cemas
menyeluruh dan kecemasan yang normal ditekankandalam kriteria yang
menggunakan kata-kata yang berlebihan dan sulit dikendalikan; dan gejala
yang menyebabkan penurunan yang signifikan.
a. Kecemasan yang berlebihan dan khawatir dapat terjadi harian atau
minimal selama minimal 6 bulan, atau pada beberapa acara atau
kegiatan (seperti pekerjaan atau saat aktivitas sekolah).
b. Orang yang mengalami kesulitan untuk mengontrol rasa khawatir.
c. Kecemasan dan kekhawatiran berkaitan dengan tiga (atau lebih) dari
enam gejala berikut (dengan setidaknya beberapa gejala ada selama 6
bulan terakhir).
Catatan: Hanya satu gejala saja yang diperlukan pada anak.
1) Kegelisahan atau perasaan tegang saat mendekati hari yang
ditentukan.
2) Menjadi mudah lelah
3) Sulit berkonsentrasi atau pikiran akan kosong
4) Mudah marah
5) Ketegangan otot
6) Gangguan tidur (kesulitan untuk memulai tidur, atau tidur tidak
nyenyak)
d. Fokus dari kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada isi
daripada gangguan Axis I, misalnya, kecemasan atau kekhawatiran
yang bukan tentang serangan panik (seperti pada gangguan panik),
menjadi malu bila muncul di depan umum (seperti dalam fobia sosial),
berada jauh dari rumah atau kerabat dekat (seperti pada gangguan
kecemasan perpisahan), kenaikan berat badan (seperti dalam anoreksia
nervosa), memiliki beberapa keluhan fisik (seperti pada gangguan
somatisasi), atau memiliki penyakit yang serius (seperti dalam
hypochondriasis), dan kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi
secara eksklusif selama gangguan stres pasca trauma.
e. Kecemasan, khawatir, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam social atau
pekerjaan.
f. Gangguan itu bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis
umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak terjadi secara khusus
selama gangguan mood, gangguan psikotik, atau pervasive
developmental disorder.
Berdasarkan PPDGJ III, pedoman diagnosis untuk gangguan cemas
menyeluruh (F41.1) adalah:
1. penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai
beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan
situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau mengambang)
2. gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung
tanduk, sulit konsentrasi, dsb)
ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai); dan
overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala,
mulut kering, dsb)
3. pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
4. adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa
hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama
gangguan anxietas menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi
kriteria lengkap dari episode depresif, gangguan anxietas fobik,
gangguan panik, atau gangguan obsesif-kompulsif.
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan anxietas fobik (F.40)
Anxietas yang timbul harus terbatas pada terutama terjadi dalam
hubungan setidaknya dua dari situasi berikut : banyak orang atau
keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian
sendiri.
2. Gangguan campuran anxietas dan depresi (F.41.2)
Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, masing-masing
tidak menunjukkan gejala yang berat untuk menegakkan diagnose
sendiri. Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup
berat untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua
diagnosis tersebut harus dikemukakan. Dan diagnosis gangguan
campuran tidak dapat digunakan.
3. Gangguan anxietas campuran lainnya (F.41.3)
Memenuhi kriteria gangguan anxietas menyeluruh dan juga
menunjukkan meskipun hanya dalam jangka waktu yang pendek
ciri-ciri yang menonjol dari kategori gangguan F40-49, akan tetapi
tidak memenuhi kriteria secara lengkap.
H. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian
benzodiazepine dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan
sampai mencapai respons terapi. Pengguanaan sediaan dengan
waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah
terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata
2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2
minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-
anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan
operatif. Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan
Benzodiazepin antara lain:
• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 5-
10 mg (im/iv), broadspectrum
• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari,
broadspectrum
• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas
dan anti-insomnia. Lebih efektif sebagai anti-anxietas, untuk
pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas
dan anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai
anti-anxietas, psychomotor performance paling kurang
terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang masih ingin
tetap aktif.
• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas
dan anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai
anti-anxietas.
• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk
anxietas tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan
mempunyai komponen efek anti-depresi.
b. Non-benzodoazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron
lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif disbanding gejala
somatik. Tidak menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10
mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya baru terasa setelah
2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah
menggunakan Benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang
baik dengan Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama
antara Benzodiazepin dengan Buspiron kemudian dilakukan
tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi
Buspiron sudah mencapai maksimal.
2. Psikoterapi
a. Terapi kognitif perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa
pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian
stimulus-kognisi-respon, dimana proses kognisi akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir,
merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada
modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan
menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan,
bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan mengubah
arus pikiran dan perasaan, klien diharapkan dapat mengubah
tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif.Tujuan terapi kognitif
perilaku ini adalah untuk mengajak pasien menentang pikiran (dan
emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang
bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang
dihadapi. Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung
mengenali distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali
gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan
pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.
b. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali
potensi-potensi yang ada dan belum tampak, didukung egonya,
agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai
penyingkapan konflik bawah sadar, menilik egostrength, relasi
objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan
komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk menjadi
lebih matur, bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar
pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
I. PROGNOSIS
Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis
yang berlangsung seumur hidup. Prognosis dipengaruhi oleh usia, durasi
gejala, dan perkembangan komorbiditas gangguan cemas dan depresi.
Karena, tingginya insidensi gangguan mental komorbid pada pasien
dengan gangguan kecemasan menyeluruh, perjalanan klinis dan prognosis
gangguan cemas menyeluruh sukar untuk ditentukan. Namun, demikian
beberapa data menyatakan bahwa peristiwa kehidupan berhubungan
dengan onset gangguan kecemasan menyeluruh. Terjadinya beberapa
peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan
akan terjadinya gangguan cemas menyeluruh. Hal ini berkaitan pula
dengan berat ringannya gangguan tersebut. Menurut definisinya, gangguan
kecemasan menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin
seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya akan mengalami
gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.