gambaran presisi dan akurasi penimbangan...
TRANSCRIPT
GAMBARAN PRESISI DAN AKURASI PENIMBANGAN BALITA OLEH
KADER POSYANDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN
PESANGGRAHAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2017
SKRIPSI
Disusun Oleh
AJENG SAKINA GANDAASRI
1112101000071
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2017
Ajeng Sakina Gandaasri
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI MASYARAKAT Skripsi, Juni 2017
AJENG SAKINA GANDAASRI, NIM: 1112101000071
Gambaran Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017 xiv + 90 halaman, 7 tabel, 3 bagan, 2 gambar, 5 lampiran
ABSTRAK Penimbangan balita di posyandu dengan melihat parameter berat badan menjadi
kegiatan yang penting dilakukan, karena berat badan dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi. Uji presisi dan akurasi dapat dilakukan untuk mengetahui kualitas data penimbangan. Dengan begitu, jika data yang diperoleh sudah baik, dapat mencegah kesalahan interpretasi status gizi sehingga pengambilan keputusan penanganan masalah gizi dapat lebih tepat sasaran. Namun, di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan dengan persentase gizi kurang paling sedikit pada tahun 2015 di Jakarta Selatan, belum pernah dilakukan uji presisi dan akurasi sehingga kualitas data hasil penimbangan oleh kader posyandu masih diragukan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran presisi dan akurasi penimbangan balita oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2017. Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah kader posyandu yang biasa bertugas menimbang di posyandu sebanyak 27 kader secara proportional random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51.9% kader memiliki presisi baik dan tidak ada (0%) kader posyandu menimbang dengan akurasi baik. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa 77.8% kader berumur >40 tahun dan memiliki tingkat pendidikan menengah (SMA) dan telah menjadi kader selama >5 tahun (74.1%). Hanya 25.1% kader pernah mendapatkan pelatihan dan 51.9% kader berpengetahuan kurang. Presisi baik dalam menimbang balita banyak dimiliki kader yang berumur >40 tahun (50.0%), kader dengan pendidikan menengah (55.6%) dan telah bekerja >5 tahun (50.0%). Presisi baik juga dimiliki kader yang pernah mendapatkan pelatihan (57.1%) dan mempunyai pengetahuan baik (53.8%). Meskipun akurasi semua kader tidak baik, kader yang pernah mendapatkan pelatihan memiliki nilai rata-rata selisih ∑d2 dengan supervisor lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak pernah mendapatkan pelatihan.
Saran untuk puskesmas agar mengadakan pelatihan atau penyegaran kader mengenai pengukuran antropometri dan membahas presisi akurasi serta melakukan uji presisi dan akurasi secara berkala terhadap hasil penimbangan yang dilakukan kader posyandu. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melihat faktor lainnya dengan analisis bivariat sehingga dapat diketahui variabel yang berhubungan dengan presisi dan akurasi penimbangan balita. Kata Kunci: presisi, akurasi, penimbangan balita, kader posyandu, puskesmas Daftar Bacaan: 50 (1983-2016)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PROGRAM STUDY OF PUBLIC HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH NUTRITION CONCENTRATION Undergraduate Thesis, June 2017
AJENG SAKINA GANDAASRI, NIM: 1112101000071
Overview of Precision and Accuracy Toddler Weighing by Posyandu Cadres in Work Area of Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan South Jakarta Year 2017 xiv + 90 pages, 7 tables, 2 charts, 2 images, 5 attachments
ABSTRACT Toddler weighing in posyandu by looking at the parameters of weight becomes an
important activity, because weight can be used to see physical growth rate and nutritional status. Precision and accuracy tests can be performed to determine the quality of weighing data as a way to prevent misinterpretation of nutritional status so that decision-making in handling nutritional problems can be more targeted. However, in the work area of Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan with the lowest percentage of malnutrition by 2015 in South Jakarta, precision and accuracy test has never been established, so that the data quality of weighing results by posyandu cadres are still in doubt.
This study aims to determine the description of the precision and accuracy of underfive weighing by posyandu cadres in the work area of Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, South Jakarta in 2017. This research used a cross-sectional study design. The sample of this research is posyandu cadre which is used to weigh in posyandu work area of Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, total of 27 cadres were selected by proportional random sampling.
Result analysis of the data showed that 51.9% of cadres have good precision and no (0%) posyandu cadres weigh with good accuracy. 77.8% of the cadres are over 40 years old, 77.8% of cadres have secondary education and have worked as cadre for more than five years (74.1%). Only 25.1% of posyandu cadres have received training and 51.9 % cadres have less knowledge. The good precision in weighing toddler is mostly owned by cadres who are> 40 years old (50.0%), cadres with secondary education (55.6%) and have worked> 5 years (50.0%). Good precision is also owned by cadres who have received training (57.1%) and have good knowledge (53.8%). Although the accuracy of all cadres are not good, cadres who have received training have an average value of the difference Σd2 with supervisors smaller than those who have never received training.
Suggestion for puskesmas to conduct training or refreshing for cadre about anthropometry measurement and discuss precision and accuracy, to conduct precision and accuracy tests on weighing results by posyandu cadres periodically. Further research is needed by looking at other factors with bivariate analysis so it can be known what variables associated with the precision and accuracy of toddler weighing.
Keywords: precision, accuracy, toddler weighing, cadre, posyandu, puskesmas Bibliography: 50 (1983-2016)
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan Judul
GAMBARAN PRESISI DAN AKURASI PENIMBANGAN BALITA OLEH
KADER POSYANDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN
PESANGGRAHAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2017
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juni 2017
Oleh:
Ajeng Sakina Gandaasri
1112101000071
Mengetahui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Febrianti, M.Si
NIP.19710221 200501 2 004
Dudung Angkasa, M.Gz
NIP. -
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
vi
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Juni 2017
Penguji I
Ratri Ciptaningtyas, MHS NIP. 19840404 200912 2 007
Penguji II
Dr. Ela Laelasari, M.Kes NIP. 19721002 200604 2 001
Penguji III
Fitrianna Cahyaningrum, M.Gz NIP. 19830310 200604 2 007
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
Nama : Ajeng Sakina Gandaasri
Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 11 November 1994
Alamat : Jalan Camar IV H7 No.9 RT 005 RW 014, Villa
Ciomas Indah, Ciomas Rahayu, Bogor
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : [email protected]
Pendidikan Formal
2012-Sekarang : Gizi Masyarakat, Kesehatan Masyarakat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2009-2012 : SMA Negeri 5 Kota Bogor
2006-2009 : SMP Negeri 4 Kota Bogor
2000-2006 : SD Rimba Putra Bogor
1999-2000 : TK Kartika Bogor
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gambaran Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu di Wilayah
Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017” dengan
baik.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kedua orangtua yang senantiasa memberikan doa serta dukungan kepada
penulis dalam penyusunan skripsi ini
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Fajar Arianti, S.KM, M.Kes, PhD selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Febrianti, M.Si dan Bapak Dudung Angkasa, M.Gz selaku dosen
pembimbing skripsi yang sudah memberikan waktu, ilmu dan arahan untuk
membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini
5. Pihak Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan yang sudah membantu penulis
dalam menyediakan data yang diperlukan dan persiapan pengambilan data
untuk skripsi ini
6. Pihak Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan dan Puskesmas Kelurahan
Petukangan Utara, Petukangan Selatan, Ulujami, dan Bintaro Jakarta selatan
yang telah membantu dan memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
data skripsi ini
7. Ibu Ita Puspitasari dan Tirza Dewi Sinaga selaku supervisor dan para kader
posyandu, serta ibu dan balita yang sudah yang banyak membantu penulis
selama proses penelitian
ix
8. Teman-teman Kesmas 2012, Peminatan Gizi 2012 terimakasih untuk segala
ilmu, saran, dan pengalaman yang telah diberikan serta senantiasa
memberikan doa, dukungan dan semangatnya hingga laporan skripsi ini
selesai
9. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dari awal
perkuliahan hingga skripsi ini selesai.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
agar skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Juni 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... ii
ABSTRAK ........................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN. ........................................................................ v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN. ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang. ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah. ........................................................................................ 6
1.3 Pertanyaan Penelitian. ................................................................................... 7
1.4 Tujuan .......................................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ...................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus ..................................................................................... 8
1.5 Manfaat ........................................................................................................ 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian. ............................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 10
2.1 Presisi dan Akurasi ....................................................................................... 10
2.2 Kualitas Data dalam Sistem Informasi Kesehatan ......................................... 15
2.3 Penimbangan Balita ...................................................................................... 20
2.4 Kader Posyandu ............................................................................................ 36
xi
2.5 Kerangka Teori ............................................................................................. 46
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..................... 48
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................... 48
3.2 Definisi Operasional ..................................................................................... 50
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................................... 54
4.1 Desain Penelitian .......................................................................................... 54
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................................... 54
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian..................................................................... 54
4.4 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian .................................... 57
4.5 Pengolahan Data ........................................................................................... 59
4.6 Analisis Data ................................................................................................ 63
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................... 64
5.1 Gambaran Faktor Kader dalam Menimbang Balita di Posyandu .................... 64 5.2 Gambaran Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu .... 66 5.3 Gambaran Presisi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu Berdasarkan
Faktor Kader ................................................................................................. 67 5.4 Gambaran Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu Berdasarkan
Faktor Kader ................................................................................................. 69
BAB VI PEMBAHASAN ...................................................................................... 71
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 84
7.1 Simpulan ...................................................................................................... 84
7.2 Saran ............................................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 86
LAMPIRAN .......................................................................................................... 91
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1Presisi dan Akurasi Pengukuran .............................................................. 12
Tabel 3.1Definisi Operasional ................................................................................ 50
Tabel 4.1Penarikan Sampel Posyandu dari Tiap Kelurahan .................................... 55
Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Faktor Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017 ........................... 64
Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Kader yang Mengetahui Tahap Penimbangan
Berdasarkan Pertanyaan tentang Pengetahuan Menimbang dengan Dacin di
Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun
2017 ....................................................................................................... 65
Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Kader Posyandu Berdasarkan Presisi dan Akurasi
Penimbangan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017 ............................................. 66
Tabel 5.4Distribusi Frekuensi Kader Berdasarkan Presisi Penimbangan Balita pada
Setiap Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan Tahun 2017 .................................................................... 67
Tabel 5.5Distribusi Frekuensi Presisi Kader Posyandu dalam Menimbang Balita
Berdasarkan Faktor Kader di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017 ............................................. 68
Tabel 5.6Distribusi Frekuensi Akurasi Kader Posyandu dalam Menimbang Balita
Berdasarkan Faktor Kader di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017 ............................................. 69
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ..................................................................................... 47
Bagan 3.1 Kerangka Konsep .................................................................................. 48
Bagan 4.1 Alur Pemilihan Sampel.......................................................................... 56
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Contoh entry data pada microsoft excel hasil pengukuran I dan II berat
badan balita oleh supervisor dan kader di Petukangan Selatan ........... 60
Gambar 4.2 Contoh perhitungan tes standarisasi pengukuran berat badan balita oleh
salah satu kader posyandu di Petukangan Selatan .............................. 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selain data yang tepat waktu dan relevan, data yang akurat merupakan salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan pengambilan keputusun dalam kebijakan
kesehatan. Data yang akurat akan menjadi informasi, dasar bukti dan pengetahuan
untuk membentuk tindakan kesehatan (WHO, 2008). Menurut Depkes (1997) data
yang akurat adalah data yang sama dengan keadaan sebenarnya dan sesuai dengan
definisi operasional dari masing-masing variabel yang telah ditetapkan dalam batasan
operasional laporan sistem pencatatan dan pelaporan. Menurut Jogiyanto (2010),
akurat berarti informasi dari data yang diperoleh harus bebas dari kesalahan-
kesalahan dan tidak menyesatkan bagi orang yang menerima informasi tersebut.
Keakuratan data dalam sistem informasi puskesmas akan berdampak pada
keakuratan data dalam sistem informasi kesehatan yang ada di tingkat atasnya yaitu
di daerah dan nasional. Secara tidak langsung, hal ini juga berpengaruh pada
pengambilan kebijakan kesehatan di tingkat nasional (Kemenkes RI, 2011).Oleh
karena itu, sistem informasi di tingkat puskesmas dibuat kementerian kesehatan untuk
membantu pelaporan aliran data dari tingkat bawah sampai ke pusat, dimana sumber
utamanya adalah sistem pencatatan dan pelaporan terpadu puskesmas. Menurut
Kemenkes RI (2011), sistem informasi di puskesmas ini juga mampu mengelola
informasi dari kegiatan di luar gedung seperti kegiatan posyandu dan pengelolaan
informasi gizi masyarakat. Dari sistem informasi ini dapat diperoleh informasi
mengenai status gizi pada balita.
Berdasarkan laporan pemantauan status gizi yang dilakukan Kemenkes RI pada
tahun 2015, status gizi balita di Jakarta Selatan dapat dikatakan cukup baik karena
dilihat dari persentase gizi kurang pada balita usia 0-59 bulan sebesar 9.1% pada
tahun 2015 dan belum mencapai cut off yang ditentukan oleh WHO yaitu 10%. Gizi
2
kurang dapat diketahui dari salah satu parameter berat badan. Berat badan merupakan
pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain berat badan merupakan
parameter yang paling baik sehingga mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat
karena perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan, memberikan
gambaran status gizi sekarang dan kalau dilakukan secara periodik memberikan
gambaran yang baik tentang pertumbuhan. Pada masa bayi dan balita, berat badan
dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi
(Supariasa, dkk, 2001).
Adapun Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan menjadi wilayah
dengan persentase gizi kurang paling sedikit yaitu sebesar 0.11% pada tahun 2015.
Selain itu, sistem informasi kesehatan sudah diterapkan oleh Suku Dinas Kesehatan
Jakarta Selatan.Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan belum pernah mengevaluasi
terkait sistem informasi di puskesmas.Tetapi, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
melihat dari segi ketepatan dan kelengkapan data. Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan di Jakarta Selatan sudah dapat dikatakan baik. Hal ini dapat diketahui
dari jarangnya keterlambatan pelaporan data dari puskesmas ke suku dinas kesehatan,
yaitu paling lambat tanggal 10 setiap bulannya dan data yang dilaporkan sudah
lengkap sesuai dengan format yang disediakan (KMK Nomor
873/Menkes/SK/VII/2007). Namun, data ini belum dapat dipastikan semuanya bebas
dari kesalahan, karena pihak suku dinas kesehatan jarang melakukan pemeriksaan
data langsung ke sumber data.
Jika hal ini dibiarkan, sistem informasi kesehatan kemungkinan tidak
menghasilkan output yang baik sehingga pengambilan keputusan tidak dapat diambil
sesuai dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, perencanaan program menjadi
kurang tepat dalam mengatasi masalah yang ada. Masyarakat juga tidak dapat
mengetahui permasalahan kesehatan yang sebenarnya terjadi di wilayahnya sehingga
upaya pembangunan kesehatan menjadi kurang efektif dan efisien (WHO, 2008).
3
Maka dari itu, pemeriksaan data penting untuk dilakukan salah satunya dengan
melihat keakuratan data status gizi.
Hal ini dapat bermula dari pengumpulan data pada tingkat paling bawah yaitu
di posyandu melalui kegiatan pemantauan pertumbuhan. Menurut Riskesdas (2013)
pemantauan pertumbuhan balita merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan
untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan secara dini. Kegiatan ini juga
berperan dalam menunjang upaya perbaikan gizi. Penimbangan menjadi salah satu
cara untuk mengetahui pertumbuhan balita yang perlu dilakukan setiap bulan. Hasil
penimbangan yang dicatat di kartu menuju sehat balita ini menjadi salah satu sumber
data yang digunakan dalam sistem pencatatan dan pelaporan puskesmas dari
posyandu.
Apabila terjadi kesalahan pengukuran, informasi yang dihasilkan juga salah.
Berdasarkan wawancara dengan bagian gizi di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan,
data dari posyandu akan langsung diperiksa lagi oleh puskesmas hanya untuk bayi
dan balita yang diduga gizi buruk. Akan tetapi jika laporan dari posyandu
menyatakan bahwa bayi dan balita sehat, puskesmas tidak akan memeriksa kembali,
walaupun ada kemungkinan ternyata bayi dan balita yang dilaporkan sehat tersebut
mengalami gizi buruk atau gizi kurang. Petugas puskesmas jarang melakukan
pengecekan ulang karena keterbatasan waktu dan belum pernah melakukan uji presisi
dan akurasi penimbangan pada kader posyandu.
Kualitas data hasil penimbangan balita dapat diketahui dari presisi dan akurasi
hasil penimbangan. Presisi adalah suatu derajat yang memberikan informasi sejauh
mana pengukuran ulang dari variabel yang sama memberikan nilai yang sama.
Akurasi adalah suatu derajat memberikan informasi sejauh mana pengukuran dekat
dengan nilai sebenarnya. Presisi dan akurasi dalam pengukuran antropometri dapat
dipengaruhi oleh orang yang melakukan pengukuran, instrument yang digunakan dan
subjek atau responden (Gibson, 2005).
4
Menurut Gibson (2005) presisi dan akurasi perlu diketahui sebagai upaya
meningkatkan kekuatan untuk mendeteksi efek, meningkatkan keandalan sistem
penilaian gizi dan meningkatkan validitas kesimpulan. Dengan diketahuinya presisi
dan akurasi dari sebuah data yang dikumpulkan seperti pada penilaian status gizi saat
mengukur berat badan, ini dapat mencegah kesalahan interpretasi status gizi. Apabila
presisi dan akurasi pengukuran berat badan buruk, dapat menyebabkan kesalahan
pengukuran dari nilai yang sebenarnya sehingga tidak bisa dilihat perbandingan berat
badan tiap bulan apakah memang benar hasil pengukuran berat badannya atau malah
cenderung menurun dan bahkan cenderung menimbang lebih berat. Data yang akurat
akan menjadi informasi, dasar bukti dan pengetahuan untuk membentuk tindakan
kesehatan (WHO, 2008). Jika interpretasi sudah salah, balita gizi kurang yang terlalu
lama dalam kondisi tersebut pun dapat menjadi lebih parah. Ini dapat mengakibatkan
kondisi yang lebih buruk jika intervensi terlambat diberikan.
Namun, presisi dan akurasi penimbangan balita di posyandu masih rendah.
Berdasarkan penelitian Indriaty (2003) di posyandu di Kabupaten Sukabumi, Bogor,
Demak dan Semarang, sebanyak 59.7% kader memiliki presisi yang kurang baik dan
hampir semua kader (97.2%) memiliki akurasi yang kurang baik. Dengan demikian
kualitas data hasil penimbangan oleh kader masih sangat rendah. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Fadjri (2016), diketahui bahwa tingkat presisi dan
akurasi para kader posyandu masih rendah sehingga kualitas data hasil penimbangan
kader masih kurang (55.9%). Hasil survey pendahuluan yang dilakukan Sukiarko
pada September 2006 pada tujuh Posyandu di Kecamatan Tempuran, menunjukkan
62.5% kader gizi tidak melakukan penimbangan balita sesuai prosedur. Mahmudiono
(2007) menyebutkan bahwa 61% kader posyandu di beberapa wilayah kurang teliti
dan 97% tidak akurat dalam melakukan penimbangan. Selain itu, berdasarkan
UNICEF dalam Fadjri (2016), bahwa presisi kader yang baik dalam menimbang
sebanyak 39% dan akurasi kader yang baik dalam melakukan penimbangan hanya
3%.
5
Presisi dan akurasi dari hasil penimbangan pada balita berhubungan dengan
faktor keterampilan kader yang menjadi faktor penting pada kualitas data, sebagian
besar kader kurang terampil, terutama dalam hal mengatur posisi bandul timbangan.
Faktor keterampilan kader ini lebih lanjut dipengaruhi oleh pengetahuan kader yang
kurang mengenai cara menimbang balita (Indriaty, 2003). Kader memiliki peran
penting dalam pelaksanaan posyandu. Pelaksanaan dan peningkatan pemantauan
status gizi menjadi kewajiban kader diantaranya melalui kegiatan penimbangan
sehingga pengetahuan dan keterampilan kader yang baik dalam penimbangan dan
pengukuran antropometri lainnya sangat penting untuk diperhatikan agar
mendapatkan data yang akurat dan presisi (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan penelitian Munfarida (2012), sebanyak 67.5% kader masih kurang
terampil. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan kader tersebut
diantaranya adalah pendidikan, pekerjaan, lama menjadi kader, tugas di posyandu.
Selain itu, berdasarkan penelitian Irma di Puskesmas Hamparan Perak tahun 2013,
diketahui bahwa 54.1% kader tidak terampil. Menurut Irma (2013) faktor yang paling
mempengaruhi keterampilan kader dalam melaksanakan tugas adalah
pengetahuannya. Berdasarkan penelitian Fadjri (2016) pengetahuan kader posyandu
tentang penimbangan berat badan balita mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kualitas hasil penimbangan berat badan.
Peran kader yang begitu penting di posyandu dapat membantu peningkatan
kualitas data. Informasi yang dihasilkan harus memiliki kualitas yang baik agar dapat
digunakan sebagai indikator kesejahteraan di masyarakat, terutama yang berkaitan
dengan hasil penimbangan balita. Menurut Indriaty (2003), selama ini masalah
kualitas data penimbangan posyandu sering dipertanyakan karena data yang sangat
terbatas. Data pemantauan pertumbuhan yang tidak tepat menyebabkan interpretasi
status gizi yang salah pula dan berakibat pada kesalahan pengambilan keputusan
penanganan masalah gizi. Oleh karena itu, presisi dan akurasi dari hasil penimbangan
oleh kader perlu diperhatikan.
6
Berdasarkan informasi dan uraian yang telah dijelaskan di atas, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai gambaran presisi dan akurasi penimbangan
balita oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan tahun 2017.
1.2 Rumusan Masalah
Jika dilihat dari segi ketepatan dan kelengkapan data, Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan yang berada di bawah Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan dapat
dikatakan baik. Hal ini dapat diketahui dari jarangnya keterlambatan pelaporan data
dari puskesmas ke suku dinas kesehatan, yaitu paling lambat tanggal 10 setiap
bulannya dan data yang dilaporkan sudah lengkap sesuai dengan format yang
disediakan. Selain itu, Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan menjadi
wilayah dengan persentase gizi kurang paling sedikit yaitu sebesar 0.11% pada tahun
2015.
Namun data ini belum dapat dipastikan, karena belum diketahui presisi dan
akurasi data yang tersedia. Hal ini terjadi karena pihak suku dinas kesehatan dan
puskesmas jarang melakukan pemeriksaan data langsung ke sumber data seperti di
tingkat bawah yaitu posyandu melalui kegiatan penimbangan.Untuk mencegah
kesalahan interpretasi status gizi balita, pihak Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
hanya akan memeriksa kembali data dari posyandu pada balita yang diduga gizi
buruk. Petugas puskesmas jarang melakukan pengecekan ulang karena keterbatasan
waktu dan belum pernah melakukan uji presisi dan akurasi penimbangan pada kader
posyandu sehingga kualitas data hasil penimbangan oleh kader di posyandu masih
diragukan. Data pemantauan pertumbuhan yang tidak tepat menyebabkan interpretasi
status gizi yang salah pula dan berakibat pada kesalahan pengambilan keputusan
penanganan masalah gizi. Hal ini diduga karena kurangnya pengetahuan dan
kurangnya keterampilan kader yang dilihat dari tingkat presisi dan akurasi saat
7
menimbang balita. Oleh karena itu, gambaran presisi dan akurasi penimbangan balita
oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta
Selatan perlu diteliti.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Adapun beberapa pertanyaan penelitian selanjutnya yang hendak diteliti dalam
penelitian ini adalah
1. Bagaimana gambaran faktor kader yang meliputi umur, pendidikan, lama
menjadi kader, pelatihan dan pengetahuan kader posyandu di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2017?
2. Bagaimana gambaran presisi penimbangan balita oleh kader posyandu
berdasarkan umur, pendidikan, lama menjadi kader, pelatihan dan pengetahuan
di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun
2017?
3. Bagaimana gambaran akurasi penimbangan balita oleh kader posyandu
berdasarkan umur, pendidikan, lama menjadi kader, pelatihan dan pengetahuan
di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun
2017?
1.4 Tujuan
A. Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran presisi dan akurasi penimbangan balita oleh
kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta
Selatan tahun 2017.
8
B. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran faktor kader yang meliputi umur, pendidikan,
lama menjadi kader, pelatihan dan pengetahuan kader posyandu di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun
2017.
2. Diketahuinya gambaran presisi penimbangan balita oleh kader posyandu
berdasarkan umur, pendidikan, lama menjadi kader, pelatihan dan
pengetahuan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan tahun 2017.
3. Diketahuinya gambaran akurasi penimbangan balita oleh kader posyandu
berdasarkan umur, pendidikan, lama menjadi kader, pelatihan dan
pengetahuan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan tahun 2017.
1.5 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain
A. Bagi Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam
membuat program pelatihan dan pembinaan kader tentang pengukuran status
gizi balita dan pemantauan pertumbuhan balita. Pihak puskesmas dapat
melakukan upaya promotif berupa pengaktifan dan peningkatan posyandu,
pemberian informasi dan edukasi bagi para kader. Selain itu, hasil penelitian
ini diharapakan dapat dijadikan bahan evaluasi pihak puskesmas bersama
suku dinas kesehatan untuk promosi dan edukasi pentingnya kualitas data
pada penyelenggaraan sistem informasi kesehatan sehingga dapat
berkontribusi dalam upaya pembangunan kesehatan.
9
B. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat
khususnya mengenai presisi dan akurasi penimbangan balita oleh kader di
posyandu. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain
untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan penelitian yang sejenis.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran presisi dan akurasi penimbangan
balita oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggarahan
Jakarta Selatan pada tahun 2017. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan desain
cross sectional dan pendekatan kuantitatif. Penelitian dimulai sejak bulan Februari-
Maret 2017. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh peneliti dari wawancara mengunakan kuesioner dan formulir
pencatatan hasil penimbangan kepada responden yaitu 27 kader posyandu.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Presisi dan Akurasi
A. Presisi dan Akurasi
Menurut Deswarni Idrus dan Gatot Kunanto (1990) dalam Supariasa, dkk
(2001), presisi adalah kemampuan mengukur subjek yang sama secara berulang-
ulang dengan kesalahan yang minimum. Sedangkan akurasi adalah kemampuan untuk
mendapatkan hasil yang sedekat mungkin dengan hasil yang diperoleh penyelia atau
supervisor. Presisi adalah suatu derajat yang memberikan informasi sejauh mana
pengukuran ulang dari variabel yang sama memberikan nilai yang sama. Akurasi
adalah suatu derajat memberikan informasi sejauh mana pengukuran dekat dengan
nilai sebenarnya (Gibson, 2005). Menurut WHO (1983) kualitas data pengukuran
antropometri dapat dinilai dari tingkat presisi dan akurasi. Presisi merupakan
konsistensi kedekatan antara beberapa hasil penimbangan terhadap objek yang sama
pada diri individu kader, sedangkan akurasi adalah kedekatan hasil penimbangan
terhadap objek yang sama antar kader dengan supervisor.
Presisi adalah sejauh mana pengukuran ulang dari variabel yang sama
memberikan nilai yang sama adalah ukuran dari reproduktivitas juga dapat dikatakan
sebagai keandalan dalam penilaian biokimia.Berbagai strategi dapat digunakan untuk
meningkatkan keandalan sistem penilaian gizi. Ini dibahas secara rinci oleh Hulley
dan Cummings (1988) dalam Gibson (2005) dan meliputi:
a) Menyusun sebuah panduan operasi yang berisi pedoman tertulis khusus untuk
mengambil setiap pengukuran, untuk memastikan semua teknik telah
terstandarisasi
b) Melatih semua penguji untuk menggunakan teknik standar secara konsisten;
yang terakhir ini sangat penting dalam survei besar yang melibatkan beberapa
penguji
11
c) Hati-hati memilih dan standarisasi instrumen yang digunakan untuk
pengumpulan data; dalam beberapa kasus, variabilitas dapat dikurangi dengan
penggunaan protokol wawancara melalui komputer
d) Mengurangi efek dari kesalahan acak dari sumber manapun dengan mengulangi
semua pengukuran, jika memungkinkan, atau setidaknya pada subsampel acak.
Akurasi adalah sejauh mana nilai yang benar dari pengukuran dicapai (Mueller
dan Martorell, 1988 dalam Ulijaszek dan Deborah, 1999). Istilah akurasi secara
konseptual dekat dengan istilah validitas, yakni sejauh mana pengukuran benar-benar
mengukur karakteristik. Menurut Norton dan Olds, (1996) dalam Ulijaszek dan
Deborah (1999), nilai yang benar dari pengukuran tidak mungkin dan sulit untuk
ditentukan.
Menurut Gibson (2005), istilah akurasi paling baik digunakan dalam arti
statistik dibatasi untuk menggambarkan sejauh mana pengukuran dekat dengan nilai-
nilai yang benar. Oleh karena itu pengukuran dapat presisi, tapi, pada saat yang sama,
tidak akurat, ini merupakan situasi yang terjadi ketika ada bias dan kesalahan
sistematis dalam pengukuran. Semakin besar kesalahan sistematis, semakin
berkurang juga akurasi pengukuran. Pengukuran yang akurat, bagaimanapun,
memerlukan reproduktivitas atau presisi tinggi.
Mengontrol keakuratan pengukuran biokimia relatif mudah dan dapat dicapai
dengan menggunakan bahan referensi. Kontrol akurasi dalam metode penilaian
lainnya lebih sulit. Misalnya, nilai yang benar dari setiap pengukuran antropometri
tidak pernah diketahui dengan kepastian yang mutlak. Dengan tidak adanya standar
referensi absolut, keakuratan pengukuran antropometri diperkirakan dengan
membandingkan mereka dengan yang dibuat oleh kriteria antropometris atau ahli
antropometri yang ditunjuk. Strategi tambahan yang juga dapat digunakan untuk
meningkatkan akurasi mencakup a) melakukan pengukuran dengan mengurangi
gangguan yang ada, dan b) kalibrasi instrumen. Strategi ini, harus selalu digunakan
12
untuk membantu menghindari bias (Gibson, 2005).Perbandingan presisi dan akurasi
dari sebuah pengukuran dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Presisi dan Akurasi Pengukuran
Presisi Akurasi
Definisi Suatu derajat yang
memberikan informasi
sejauh mana pengukuran
ulang dari variabel yang
sama memberikan nilai yang
sama
Suatu derajat memberikan
informasi sejauh mana
pengukuran dekat dengan nilai
sebenarnya
Dinilai oleh Perbandingan antara
pengukuran berulangkali
Perbandingan dengan bahan
referensi yang bersertifikasi,
metode kriteria, atau kriteria
antropometris
Manfaat
untuk studi
Meningkatkan kekuatan
untuk mendeteksi efek
Meningkatkan validitas
kesimpulan
Dipengaruhi
oleh
Kesalahan acak dikontribusi
oleh:
- Pengukur
- Responden, atau
- Instrumen
Kesalahan sistematik
dikontribusi oleh:
- Pengukur
- Responden, atau
- Instrumen
Sumber: Gibson (2005) dalam Principles of Nutritional Assessment, Oxford University Press
13
B. Teknik Melakukan Uji Presisi dan Akurasi
Pengendalian kualias data antropometri perlu diperhatikan untuk mendapatkan
data yang baik melalui prosedur standarisasi.Tujuan dari prosedur standarisasi adalah
memberikan informasi yang cepat dan menunjukkan kesalahan secara tepat sehingga
perubahan dapat dilakukan sebelum sumber kesalahan dapat dipastikan. Penyelia
mempelajari hal-hal apa yang perlu diperhatikan untuk menjamin presisi dan akurasi
pengukuran dan keterampilan apa yang perlu diberikan. Uji presisi dan akurasi
menjadi salah satu cara yang dilakukan untuk pengendalian kualitas data
antropometri (Supariasa, dkk., 2001). Teknik melakukan uji presisi dan akurasi
menurut Supariasa, dkk (2001) adalah sebagai berikut.
a. Pengumpulan data
Dalam pelaksanaan prosedur standarisasi berikut ini digunakan 10 orang
yang diukur secara berulang oleh 6 petugas pengukur. Setiap petugas
mengukur dua kali setiap subjek. Pengukuran dan pencatatan dilakukan
sedemikian rupa sehingga hasil pengukuran ulang tidak terpengaruh oleh
hasil pengukuran sebelumnya.
b. Langkah-langkah perhitungan data
1. Hasil dua kali pengukuran disajikan pada kolom a dan b
2. Pada kolom d disajikan hasil pengukuran (a-b), berikut tanda masing-
masing (+/-)
3. Pada kolom d2 diisikan hasil kuadrat (a-b)
4. Tanda plus dan minus pada kolom dihitung. Jumlah tanda yang muncul
terbanyak menjadi pembilang dari pecahan dengan subjek sebagai
penyebut. Tanda nol tidak dihitung
5. Pada kolom s diisikan jumalah (a+b). Kelima langkah ini dilakukan
secara serentak oleh semua petugas pengukur dan penyelia
6. Kolom s lembar penyelia dipindahkan ke lembar tiap petugas di bawah
kolom S
14
7. Perbedaan s petugas dan S penyelia diisikan ke kolom D (s-S) dengan
tanda yang tepat, dan kuadratnya pada kolom D2
8. Tanda plus dan minus (s-S) dihitung. Jumlah tanda muncul terbanyak
menjadi pembilang dari pecahan dengan jumlah subjek sebagai
penyebut. Tanda nol tidak dihitung
9. Hasil penjumlahan d2 dan D2, serta hasil perhitungan tanda dipindahkan
ke lembar lain.
c. Penilaian hasil
Ketentuan umum berikut ini digunakan dalam menganalisis hasil:
1. Jumlah d2 penyelia biasanya paling kecil; presisinya paling besar karena
kompetensinya lebih besar
2. Jumlah d2 petugas (berkaitan dengan presisi) tidak lebih besar dari dua
kali jumlah d2 penyelia
3. Jumlah D2 petugas (berkaitan dengan akurasi) tidak lebih besar dari tiga
kali jumlah d2 penyelia (supervisor)
4. Jumlah D2 petugas harus lebih besar dari jumlah d2 nya. Jika tidak, data
tersebut harus diperiksa dan dihitung kembali.
Menurut WHO (1983) pengukuran antropometri dikatakan presisi bila
∑do2< 2 ∑ds2 dan akurat bila ∑D2< 3∑ds2 dengan kriteria sebagai berikut.
a. Kuadrat dari selisih pengukuran pertama dan kedua oleh petugas
terhadap anak yang sama = ds2
b. Kuadrat dari selisih pengukuran pertama dan kedua oleh kader terhadap
anak yang sama = do2
c. Kuadrat selisih dari penjumlahan pengukuran pertama dan kedua oleh
kader dengan penjumlahan pengukuran pertama dan kedua oleh petugas
= D2
15
2.2 Kualitas Data dalam Sistem Informasi Kesehatan
A. Data dan Informasi
Data adalah fakta dan angka yang tidak sedang digunakan pada proses
keputusan. Sedangkan informasi terdiri dari data yang telah diambil kembali diolah
atau sebaliknya digunakan untuk tujuan informatif atau kesimpulan, argumentasi atau
sebagai dasar pengambilan keputusan (Murdick et al, 1997). Maka dari itu, kualitas
data perlu diperhatikan agar dapat menghasilkan informasi yang baik. Adapun syarat
data yang baik menurut Supranto (2000) antara lain data harus sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya (objektif), representatif, kesalahan minimal yang mempunyai tingkat
ketelitian yang tinggi, tepat waktu dan relevan.
Data yang akurat akanmenjadi informasi, dasar bukti dan pengetahuan untuk
membentuk tindakan kesehatan (WHO, 2008). Menurut Depkes (1997) data yang
akurat adalah data yang sama dengan keadaan sebenarnya dan sesuai dengan definisi
operasional dari masing-masing variabel yang telah ditetapkan dalam batasan
operasional laporan sistem pencatatan dan pelaporan. Sistem informasi kesehatan
yang kuat memastikan bahwa data memenuhi standar keandalan, transparansi dan
kelengkapan. Hal ini penting untuk menilai sumber data dan teknik statistik dan
metode estimasiyang digunakan untuk menghasilkan indikator (WHO, 2008).
Dalam pengolahan data menjadi informasi dapat terjadi kesalahan-kesalahan
yang disebabkan oleh metode pengukuran dan pengumpulan data yang salah, tidak
mengikuti prosedur pengolahan yang benar, data hilang atau tidak terolah, kesalahan
dalam prosedur pengolahan atau akibat kesalahan yang disengaja ini akan berdampak
pada kualitas data. Berbagai kebijakan dan proses diperlukan untuk memastikan agar
kualitas data baik (Davis, 1993).
Kualitas data yang kurang baik dapat disebabkan karena organisasi yang kurang
optimal dan kemampuan sumber daya manusia yang belum baik. Sumber data,
manajemen data hingga diseminasi menjadi bagian dari komponen dan standar sistem
16
informasi kesehatan untuk memastikan kualitas data. Kriteria berikut dapat digunakan
untuk menilai kualitas data yang berhubungan dengan kesehatan dan indikator
(WHO, 2008):
1. Ketepatan waktu-periode antara pengumpulan data dan ketersediaannya ke
tingkat yang lebih tinggi, atau publikasi;
2. Periodisitas-frekuensi diukurnya indikator;
3. Konsistensi-konsistensi internal data dalam dataset serta konsistensi antara
dataset dan dari waktu ke waktu; dan sejauh mana perbaikan mengikuti
jadwal dan proses, transparan;
4. Keterwakilan-sejauh mana data yang cukup mewakili populasi dan sub-
populasi yang relevan;
5. Pemilahan-ketersediaan statistik dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin,
usia, status sosial ekonomi, wilayah geografis atau administratif utama dan
etnis yang sesuai;
6. Kerahasiaan, keamanan data dan aksesibilitas data-sejauh mana praktik
sesuai dengan standar yang ditetapkan dan lainnya untuk penyimpanan,
backup, transportasi informasi (terutama melalui internet) dan pengambilan.
B. Sistem Informasi Kesehatan
Selain melihat kualitas data, untuk dapat menghasilkan informasi yang baik
dibutuhkan sebuah sistem informasi yang baik sehingga dapat mengolah data menjadi
informasi dengan benar. Sistem informasi kesehatan adalah seperangkat tatanan yang
meliputi data, informasi, indikator, prosedur, perangkat, teknologi juga sumber daya
manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan
tindakan atau keputusan yang berguna dalam mendukung pembangunan kesehatan
(Kemenkes, 2011).
Sistem informasi kesehatan yang efektif dapat memberikan dukungan berupa
informasi untuk proses pengambilan keputusan di semua tingkat. Oleh karena itu,
17
sistem informasi di tingkat puskesmas dibuat kementerian kesehatan untuk membantu
pelaporan aliran data dari tingkat bawah sampai ke pusat, dimana sumber utamanya
adalah sistem pencatatan dan pelaporan terpadu puskesmas. Menurut Kemenkes RI
(2011), sistem informasi manajemen di puskesmas ini juga mampu mengelola
informasi dari kegiatan di luar gedung seperti kegiatan posyandu dan pengelolaan
informasi gizi masyarakat.
Sistem informasi manajemen adalah sebuah sistem manusia/mesin yang terpadu
untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen dan
pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi (Davis, 1993). Sistem informasi
manajemen menyajikan informasi untuk pengambilan keputusan perihal integrasi
organisasi melalui proses manajemen (Murdick et al, 1997). Menurut Kemenkes
(2011) sistem informasi manajemen yang baik akan sangat membantu setiap
tingkatan pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan terbaik yang berdasar
kepada data dan informasi yang dibangun secara tepat, akurat, benar, dan lengkap.
Secara tidak langsung, hal ini juga berpengaruh pada pengambilan kebijakan
kesehatan di tingkat nasional (Kemenkes RI, 2011).Sistem informasi manajemen
puskesmas adalah suatu tatanan manusia/peralatan yang menyediakan informasi
untuk membantu proses manajemen puskesmas mencapai sasaran kegiatannya.
Sumber informasi utamanya berupa sistem pencatatan dan pelaporan terpadu
puskesmas (Depkes, 1997).
Suatu sistem informasi yang berkualitas dapat dilihat dari kualitas
informasinya. Menurut Amsyah (2007), informasi yang berkualitas dapat dilihat dari
indikator berikut, yaitu:
1. Relevan
Informasi harus memberikan manfaat bagi pemakainya. Relevansi
informasi untuk tiap-tiap individu satu dengan yang lainnya berbeda. Informasi
hendaknya sesuai dengan keperluan pemakai, pekerjaan atau manajemen.
18
2. Akurasi
Informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak bias atau
menyesatkan, dan harus jelas mencerminkan maksudnya. Akurasi sebagai
perbandingan dari informasi yang benar dengan jumlah seluruh informasi yang
dihasilkan pada proses pengolahan data tertentu. Ketidakakuratan dapat terjadi
karena sumber informasi (data) mengalami gangguan atau kesengajaan
sehingga merusak atau atau merubah data-data asli tersebut.
3. Ketepatan waktu
Informasi yang dihasilkan atau dibutuhkan tidak boleh terlambat (usang).
Informasi yang usang tidak mempunyai nilai yang baik, sehingga kalau
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan akan berakibat fatal
atau kesalahan dalam keputusan dan tindakan. Informasi harus bisa tepat waktu
atau setidaknya ada saat informasi diperlukan.
4. Kelengkapan
Bagian informasi yang esensial bagi pemakai tidak boleh ada yang hilang
atau kurang. Misalnya: sebuah laporan harus menyajikan semua perhitungan
dan menyajikannya dengan jelas sehingga tidak menimbulkan laporan yang
ambigu.
Menurut Jogiyanto (2010), data yang diolah saja tidak cukup dapat dikatakan
sebagai suatu informasi. Dari segi kualitas, informasi harus didukung oleh tiga pilar
yaitu 1) tepat orangnya, 2) tepat waktu, 3) tepat nilainya atau akurat, berarti informasi
dari data yang diperoleh harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak menyesatkan
bagi orang yang menerima informasi tersebut.
Dalam penguatan sistem informasi kesehatan, terdapat beberapa pendekatan
yang harus dilakukandengan memperhatikan komponen dan standar seperti sumber
data, manajemen data dan diseminasi (WHO, 2008).
19
1. Pengumpulan dan pengolahan data
Sebelum mengumpulkan data, para pemangku kepentingan sebaiknya
mengidentifikasi data yang diperlukan, untuk manajemen yang tepat,
pengambilan keputusan strategis dan pengembangan kebijakan. Data tersebut
kemudian harus tersedia secara tepat waktu dan dapat diandalkan.
Pengumpulan data diperoleh dari sumber data antara lain 1) pendekatan
berbasis populasi (sensus, pencatatan sipil dan survei populasi) dan 2) data
berbasis institusi (catatan individu, catatan layanan dan catatan sumber daya).
Sumber data yang telah dimiliki lalu diolah melalui serangkaian manajemen
data, ini mencakup semua aspek penanganan data dari pengumpulan,
penyimpanan, jaminan kualitas dan aliran, pengolahan, kompilasi dan analisis.
Tindakan manajemen dilakukan untuk meningkatkan kontrol kualitas data
dan penggunaan pemeriksaan data rutin lokal, penggunaan definisi yang jelas
dari elemen data, pelatihan, dan sering umpan balik kepada pengumpul data dan
penggunaan. Inti dari pengolahan data dan penyusunan adalah ekstraksi dan
mengintegrasikan data. Ini melibatkan penggalian data dari sumber data,
memastikan konsistensi dan kualitas data, dan mencapai kesesuaian melalui
transformasi data sehingga data dari sumber yang terpisah dapat digunakan
bersama-sama. Pengolahan data dan penyusunan juga memiliki sejumlah
persyaratan luas lainnya, di antaranya adalah memastikan bahwa informasi
yang relevan dan tepat dibuat mudah diakses dan dipahami isinya.
2. Analisis, penyajian dan pelaporan
Data semata tidak mengungkapkan situasi penuh, artinya hanya diperoleh
ketika data dianalisis dan diinterpretasikan. Data juga perlu dianalisis dan
disajikan. Dengan cara ini data ditransformasikan menjadi informasi, bukti dan
pengetahuan untuk membentuk tindakan kesehatan. Dampak akhir dari
pengolahan data dan penyusunan diukur dengan sejauh mana data dapat
20
memberikan informasi yang ditargetkan untuk tindakan. Penyajian data
dilakukan untuk menyajikan informasi dalam format yang relevan dan
dipahami para pembuat kebijakan, masyarakat atau mereka yang bekerja di
sektor-sektor lain selain kesehatan agar informasi kesehatan jelas dan tidak
bertentangan.
3. Diseminasi dan penggunaan informasi
Data yang telah diolah, dianalisis, dibaca, untuk kemudian digunakan atau
ditindaklanjuti oleh pemakai. Para pengambil keputusan di semua tingkat
sistem kesehatan memerlukan informasi yang relevan, dapat diandalkan dan
tepat waktu. Keluaran dari sistem informasi kesehatan melalui penyebaran dan
penggunaan dimana nilai informasi kesehatan dapat ditingkatkan dengan
membuatnya mudah diakses bagi para pengambil keputusan (memberikan
perhatian karena kendala perilaku dan organisasi). Langkah lain yang penting
dalam memperkuat sistem informasi kesehatan adalah untuk menghubungkan
produksi data dengan penggunaan data. Sistem informasi kesehatan perlu
menunjukkan dan menyebarkan informasi dalam format yang tepat untuk
berbagai pemakai.
Serangkaian pendekatan yang dilakukan untuk penguatan sistem informasi
kesehatan ini dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, kualitas, dan
penggunaan informasi kesehatan dalam pengambilan keputusan (WHO, 2008).
2.3 Penimbangan Balita
A. Penimbangan Balita sebagai Pengukuran Antropometri
Penimbangan merupakan bagian dari pengukuran antropometri untuk
melihat massa tubuh dengan mengukur berat badan seseorang. Antropometri
adalah pengukuran yang paling sering digunakan sebagai metode penilaian
21
status gizi secara langsung untuk menilai masalah gizi utama seperti gizi kurang
pada balita dan ibu hamil (Supariasa, dkk., 2001).
Balita termasuk salah satu kelompok rentan gizi dengan rentang umur 1-5
tahun, karena pada kelompok umur ini menunjukkan pertumbuhan pesat dan
memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Penimbangan balita
berguna untuk memantau pertumbuhan sehingga dapat diketahui jika ada
gangguan pertumbuhan secara dini. Penimbangan berat badan anak balita
berguna untuk memantau keadaan kesehatan dan gizi melalui pertumbuhan atas
dasar kenaikan berat badan (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat,
2010).
Salah satu pengukuran yang paling penting dalam penilaian gizi adalah
berat badan. Berat merupakan variabel penting dalam persamaan atau rumus
memprediksi pengeluaran kalori dan indeks dari komposisi tubuh (Lee dan
David, 2010). Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan
paling sering digunakan pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk
mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat
dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali
terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Berat
badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2010). Menurut Arisman (2009),
berat badan bayi dan balita harus ditimbang secara berkala, agar diperoleh
gambaran pertumbuhan mereka.
Berat badan menjadi ukuran suatu massa jaringan. Pertumbuhan massa
jaringan menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang atau
saat pengukuran. Berat badan adalah pengukuran antropometri yang paling
sering digunakan meskipun sering terjadi kesalahan dalam pengukuran
(Supariasa, dkk., 2001). Berat badan mencerminkan jumlah protein, lemak, air
dan massa mineral tulang. Berat badan sewaktu lahir dapat digunakan sebagai
22
indikator bayi dengan BBLR. Untuk menilai status gizi biasanya berat badan
dihubungkan dengan pengukuran lain, seperti umur dan tinggi badan
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2010).
Dalam penilaian status gizi diperlukan berbagai jenis parameter.
Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat
badan, tinggi badan. Penggunaan dan pemilihan parameter sangat tergantung
dari tujuan pengukuran status gizi, apakah mengukur status gizi sekarang atau
mengukur status gizi yang dihubungkan dengan masa lampau (Supariasa, dkk.,
2001).
Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai pertimbangan,
antara lain:
1. Parameter yang paling baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat
karena perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan
2. Memberikan gambaran status gizi sekarang dan kalau dilakukan secara
periodik memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan
3. Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum dan luas di
Indonesia
4. Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur
5. KMS yang digunakan sebagai alat yang baik unutk pendidikan dan
memonitor kesehatan anak menggunakan juga berat badan sebagai dasar
pengisiannya
6. Alat pengukur dapat diperoleh di daerah pedesaan dengan ketelitian yang
tinggi dengan menggunakan dacin yang juga sudah dikenal oleh masyarakat
Akan tetapi, setiap pengukuran antropometri memiliki kelebihan dan
keterbatasan. Menurut Jelliffe DB dan Jelliffe EFP (1989) dalam buku
Communitry Nutritional Assessment, kelebihan dan keterbatasan antropometri
adalah sebagai berikut.
23
a. Kelebihan : relatif murah; cepat sehingga dapat dilakukan pada populasi
yang besar; objektif; gradable yaitu dapat dirangking apakah ringan, sedang
atau berat; tidak menimbulkan rasa sakit pada responden
b. Keterbatasan: membutuhkan data referensi yang relevan; kesalahan yang
muncul seperti kesalahan pada peralatan (belum dikalibrasi), kesalahan
pada observer (kesalahan pengukuran, pembacaan, dan pencatatan); hanya
mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energi
dan protein, tidak dapat memperoleh informasi mengenai defisiensi zat gizi
mikro.
Menurut Supariasa, dkk (2001) ada beberapa syarat yang mendasari
penggunaan antropometri yaitu
a. Alatnya mudah didapat dan digunakan seperti dacin,pita lengkar lengan
atas
b. Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif
c. Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus professional,
juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu
d. Hasilnya mudah disimpulkan karena mempunyai ambang batas dan baku
rujukan yang sudah pasti
e. Secara ilmiah diakui kebenarannya.
Oleh karena itu, keunggulan antropometri gizi adalah sebagai berikut.
a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel
yang besar
b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga
yang sudah dilatih dalam waktu singkat
c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama
d. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan
e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau
24
f. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada
periode tertentu
g. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi
Adapun kelemahan antropometri menurut Supariasa, dkk (2001) adalah sebagai
berikut.
a. Tidak sensitif
b. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi,
akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi
c. Kesalahan ini terjadi karena: pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik
fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asumsi yang keliru
d. Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan latihan petugas yang
tidak cukup, kesalahan alat atau alat tidak ditera, kesulitan pengukuran
Dalam menentukan status gizi dapat dilihat dari indeks berat badan
menurut umur ataupun berat badan menurut tinggi badan. Pengukuran dari
beberapa parameter ini disebut indeks antropometri. Indeks antropometri bisa
merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau
yang dihubungkan dengan umur. Berikut penjelasan mengenai indeks
antropometri menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2010).
a. BB/U (Berat badan terhadap umur):
1. Indikator status gizi kurang saat sekarang
2. Sensitif terhadap perubahan kecil
3. Perhitungan umur secara akurat sulit didapat
4. Memantau pertumbuhan
5. Pengukuran yang berulang dapat mendeteksi growth failure karena
infeksi atau KEP
b. BB/TB (berat badan menurut tinggi badan):
1. Mengetahui proporsi badan (gemuk, normal, kurus)
2. Indikator status gizi saat ini
25
3. Umur tidak perlu diketahui
B. Alat-Alat Pengukuran Berat Badan
Pengukuran berat badan balita pada kondisi normal dapat menggunakan
beberapa alat-alat sebagai berikut.
a. Suspended scale/Weighing sling
Menurut Jellife (1966) dalam Gibson (2005), dalam survey lapangan,
suspended scale dan weighing sling mungkin dapat digunakan untuk
penimbangan bayi dan anak-anak dengan umur kurang dari dua tahun. Mereka
harus ditimbang dalam keadaan tanpa pakaian atau dengan pakaian yang
seminimal mungki. Setelah meletakkan subjek ke dalam sling, berat badan
dicatat segera setelah indikator pada timbangan telah stabil. Pengukuran berat
badan pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa harus dilakukan setelah
pengosongan saluran kandung kemih dan sebelum makan. Penggunaan
timbangan, keseimbangan harus ditempatkan pada permukaan yang datar keras,
dan keseimbangan diperiksa untuk berada pada angka nol sebelum setiap
pengukuran. Subjek harus berdiri tanpa bantuan, di tengah platform, dan
diminta untuk melihat lurus ke depan, berdiri santai sebaiknya tanpa pakaian.
Jika ini tidak memungkinkan, subjek dapat menggunakan pakaian yang ringan.
Berat badan harus dicatat mendekati 0.1 kg (Gibson, 2005).
b. Timbangan bayi (pediatric scale)
Pediatric scale juga dapat digunakan. Petugas harus memastikan
bahwa bayi telah ditempatkan pada bagian pan sehingga berat badan
terdistribusi seimbang di sekitar bagian tengah dari pan. Setelah bayi
berbaring dengan tenang, berat dicatat yang paling dekat 10g (Gibson,
2005). Jika tidak ada alternatif lain, ibu dan bayinya dapat ditimbang
bersamaan, lalu ibu dari bayi ditimbang lagi menggunakan timbangan
26
balance beam. Berat badan subjek lalu dapat dihitung dengan melakukan
pengurangan dari berat badan ibu (Gibson, 2005).
Timbangan bayi digunakan untuk bayi 0-1 tahun dengan kapasitas
berat hingga 20 kg.Timbangan ini memiliki penunjuk jarum merah 0-10 kg
dan jarum biru untuk 10-20 kg. Jarum merah memiliki kepekaan 0.05 kg dan
jarum biru memiliki kepekaan 0.1 kg. Pengukuran berat badan dilakukan
dengan meletakkan timbangan pada bidang yang datar. Bayi ditempatkan
pada timbangan kemudian perhatikan jarum penunjuk. Jika setelah bayi
diletakkan dan jarum berhenti berwarna merah, angka yang dibaca adalah
angka yang berwarna merah, namun jika jarum bergerak hingga batas akhir
kemudian kembali lagi dan jarum warna biru, maka yang dibaca adalah
angka yang biru. Setelah muncul angka, hasil penimbangan langsung dicatat.
Pengukuran dengan alat ini biasanya cukup sulit jika bayi tidak bisa diam
atau sedang rewel sehingga kesulitan untuk membaca hasilnya, tetapi bayi
bisa ditidurkan pada alat timbangan.
c. UNICEF Electronic Scale 890 atau Uniscale
Menurut de Onis, et al. (2004), untuk mengukur berat badan, mereka
menggunakan timbangan elektronik portabel yang memiliki kemampuan
menunjukkan angka dan dikalibrasi hingga 0.1 kg. Alat ini mudah digunakan
dan mudah dibawa kemana-mana.Peralatan itu dikalibrasi secara teratur,
biasanya setiap hari sebelum kunjungan rumah atau rumah sakit. Timbangan
dikalibrasi dengan bobot standar. Perbedaan maksimum yang diijinkan untuk
berat badan ditetapkan pada 100 g untuk memungkinkan pembulatan dalam
unit kalibrasi terkecil dari skala.
Penimbangan dapat dilakukan untuk bayi bersama ibunya sehingga
bayi lebih tenang dan santai. Skala atau hasil pengukuran yang ditunjukkan
dalam timbangan eletronik ini dapat menurunkan kesalahan pengukuran oleh
27
pengamat. Selain itu, timbangan ini memungkinkan berat badan ibu dicatat
pada setiap kunjungan. Peralatan itu dikalibrasi secara teratur, biasanya
setiap hari sebelum kunjungan rumah atau rumah sakit.
Saat pengukuran akan dilakukan, antropometris menjelaskan kepada
ibu semua prosedur yang akan dilakukan dan menekankan bahwa ini tidak
berbahaya. Bayi dan anak-anak dipegang oleh ibu mereka untuk
menumbuhkan rasa aman bagi bayi. Kepercayaan diri antropometris dan
ketenangan sangat penting untuk meyakinkan ibu dan anak, dan termasuk
menjaga kontak mata dan berbicara dengan anak dalam tenang dan
menenangkan suara (de Onis, et al, 2004).
Menurut de Onis, et al (2004) untuk pengukuran berat badan, ibu
melepas semua pakaian anak, tetapi bila dalam cuaca dingin, bayi ditutupi
badannya menggunakan selimut. Orang tua melepas sepatu mereka, pakaian
tebal, dan benda-benda berat lainnya sebelum ditimbang. Orang tua
mengenakan pakaian ringan untuk ditimbang kemudian dikurangi dari berat
badan subjek. Dalam studi longitudinal, ibu ditimbang dahulu, setelah berat
badannya tercatat, ibu ditimbang lagi bersama bayinya. Ibu diminta untuk
berdiri diam sampai berat badan bayi telah ditampilkan dan direkam. Ketika
anak tidak bisa melepaskan semua pakaian, mereka juga dapat mengenakan
pakaian ringan yang beratnya sudah diketahui kemudian dicatat dan
dikurangi untuk mendapatkan berat badan anak. Dalam studi potong lintang,
anak-anak berusia dua tahun atau lebih ditimbang dan berdiri dengan kaki
mereka sendiri.
d. Detecto scale
Detecto scale dapat menimbang berat badan dan mengukur tinggi
badan anak-anak, dewasa dan lansia.Terdapat dua macam detecto scale,
28
yaitu detecto scale yang dilengkapi dengan alat ukur tinggi badan dan tidak
dilengkapi alat ukur tinggi badan (detecto geser).
Detecto scale dengan alat ukur tinggi badan menggunakan jarum
penunjuk dengan beban maksimal 120 kg dan tinggi meteran mencapai 200
cm. Pengukuran berat bedan menggunakan alat ini yaitu dengan cara
menaruh timbangan pada lantai atau tanah yang datar atau rata, subjek
berdiri tegap pada timbangan, lalu pengukur melihat dan membaca angka
pada jarum penunjuk. Alat ini mampu mengukur berat badan sekaligus
tinggi badan, tetapi alat ini kurang praktis karena ukuran yang besar dan
berat (Aritonang, 2010).
Pada detecto scale yang tidak dilengkapi alat ukur tinggi badan
menggunakan bandul geser dengan beban maksinal 120 kg dan kepekaan 0.1
kg. Alat ini hanya dapat mengukur berat badan pada anak-anak, dewasa, dan
lansia.Penggunaan alat ini dengancara meletakkan timbangan pada lantai
yang datar, subjek berdiri dengan badan tegap dan pandangan lurus ke
depan, lalu bandul dengan berat puluhan kilogram digeser sampai mencapai
keseimbangan. Hasil ukur diketahui dengan membaca angka pada ujung
bandul. Alat ini dapat digunakan seorang diri namun cukup sulit dalam
penggunaannya karena harus menyeimbangkan dengan cara menggeser
bandul yang berat, susah untuk dipindahkan atau pun dibawa kemana-mana
karena ukurannya yang besar dan berat (Aritonang, 2010).
e. Dacin
Menurut Supariasa, dkk (2001) alat yang digunakan di lapangan dalam
penentuan berat badan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan.
1. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain
2. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya
3. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0.1 kg
29
4. Skalanya mudah dibaca
5. Cukup aman untuk menimbang anak balita.
Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan
dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin.
Penggunaan dacin mempunyai beberapa keuntungan antara lain dacin sudah
dikenal umum sampai pelosok pedesaan, dibuat di Indonesia dan mudah
didapat serta ketelitian dan ketepatan cukup baik.
Dacin dapat digunakan untuk menimbang berat badan balita usia 1-5
tahun. Dacin terbuat dari kuningan dengan berat ± 5 kg, panjang 90 cm dan
mempunyai gelang gantung. Alat lain yang diperlukan adalah kantong
celana timbang atau kain sarung, kotak atau keranjang yang tidak
membahayakan anak terjatuh pada waktu ditimbang. Diperlukan pula tali
atau sejenisnya yang cukup kuat untuk menggantungkan dacin.Berat badan
yang dapat diukur untuk anak adalah maksimal 25 kg.Dacin memiliki
kepekaan 0.1 kg. Namun, penggunaan dacin kurang praktis, karena ukuran
yang relatif besar dan berat sehingga mempunyai risiko jika terjadi
kesalahan dalam pemasangan alat, sehingga sulit melihat skala dan anak
biasanya menangis dan terlalu aktif (Supariasa, dkk., 2001).
C. Prosedur Penimbangan Balita dengan Dacin
Cara menimbang/mengukur berat badan menurut Supariasa, dkk (2001)
adalah dengan memeriksa dacin dengan seksama, apakah masih dalam kondisi
baik atau tidak.Dacin yang baik adalah apabila bandul geser berada pada posisi
skala 0.0 kg, jarum penunjuk berada pada posisi seimbang. Setelah alat timbang
lainnya (celana atau sarung timbang) dipasang pada dacin, lakukan peneraan
yaitu dengan cara menambah beban pada ujung tangkai dacin, misalnya plastik
berisi pasir.
30
Petunjuk menimbang balita menggunakan dacin menurut buku kader
dalam Supariasa, dkk (2001) dikenal dengan 9 langkah penimbangan, yaitu:
1. Gantungkan dacin pada: dahan pohon, palang rumah atau penyangga kaki
tiga
2. Periksalah apakah dacin sudah tergantung kuat. Tarik batang dacin ke
bawah kuat-kuat
3. Sebelum dipakai letakkan badul geser pada angka 0. Batang dacin dikaitkan
dengan tali pengaman
4. Pasanglah celana timbang, kotak tibang atau sarung timbang yang kosong
pada dacin. Ingat bandul geser pada angka 0
5. Seimbangkan dacin yang sudah dibebani celana timbang, sarung timbang
atau kotak timbangan dengan cara memasukkan pasir ke dalam kantong
plastik
6. Anak ditimbang dan seimbangkan dacin
7. Tentukan berat badan anak dengan membaca angka di ujung bandul geser
8. Catat hasil penimbangan di atas dengan secarik kertas
9. Geserlah bandul ke angka 0, letakkan batang dacin dalam tali pengaman,
setelah itu bayi atau anak dapat diturunkan
Berdasarkan buku panduan kader (2011), menimbang balita di posyandu
termasuk salah satu dari lima langkah kegiatan di meja posyandu. Kegiatan
penimbangan balita dimulai dari mempersiapkan dacin.
a. Mempersiapkan dacin
1. Gantung dacin pada tempat yang kokoh seperti pelana rumah atau
kusen pintu atau dahan pohon atau penyangga kaki tiga yang kuat
2. Letakkan bandul geser pada angka nol, jika ujung kedua paku timbang
tidak dalam posisi lurus, maka timbangan perlu ditera atau diganti
dengan yang baru.
31
3. Atur posisi angka pada batang dacin sejajar dengan mata penimbang.
Letakkan bandul geser pada angka nol
4. Pastikan bandul geser berada pada angka nol
5. Pasang sarung timbang/celana timbang/kotak timbang yang kosong
pada dacin
6. Seimbangkan dacin yang telah dibebani dengan sarung timbang/celana
timbang/kotak timbang dengan memberi kantung plastik berisikan
pasir/batu diujung batang dacin, sampai kedua jarum di atas tegak
lurus
b. Menimbang balita
1. Masukkan balita ke dalam sarung timbang dengan pakaian seminimal
mungkin tanpa alas kaki dan popok dan geser bandul sampai jarum
tegak lurus.
2. Baca berat badan balita secara cermat dengan melihat angka di ujung
bandul geser.
3. Catat hasil penimbangan dengan benar di kartu bantu atau secarik
kertas yang diselipkan dalam KMS/buku KIA dalam kg dan ons.
4. Kembalikan bandul ke angka nol dan keluarkan balita dari
sarung/celana/kotak timbang.
Menurut Supariasa, dkk (2001), dalam menimbang bayi harus
memperhatikan hal-hal seperti pakaian dibuat seminim mungkin, sepatu,
baju/pakaian yang cukup tebal harus ditanggalkan, kantong celana timbang
tidak dapat digunakan, bayi ditidurkan didalam kain sarung, menggeser anak
timbang sampai tercapai keadaan seimbang, kedua ujung jarum terdapat pada
satu titik lalu melihat angka pada skala batang dacin yang menunjukkan berat
badan bayi. Kegiatan terakhir yaitu mencatat berat badan dengan teliti sampai
satu angka desimal, misalnya 7.5 kg. Dengan cara yang sama, menimbang anak
juga harus memperhatikan hal-hal seperti kantong celana timbang, kain sarung
32
atau keranjang dapat digunakan. Sebelum anak ditimbang, jarum harus
menunjukkan skala 0 (nol) setelah ditambahkan kain sarung atau keranjang.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menimbang berat badan anak
menurut Supariasa, dkk (2001) adalah sebagai berikut.
a. Pemeriksaan alat timbang
Sebelum digunakan, dacin harus diperiksa secara seksama, apakah masih
dalam kondisi baik dan tidak. Dacin yang baik adalah apabila bandul geser
berada pada posisi skala 0.0 kg, jarum penunjuk berada pada posisi seimbang.
Disamping itu keadaan bandul geser tidak longgar terhadap tangkai dacin.
Untuk penelitian, peneraan alat timbang ini sangat penting untuk mendapatkan
data dengan validitas yang tinggi.
b. Anak balita yang ditimbang
Balita yang akan ditimbang sebaiknya memakai pakaian seminim
mungkin dan seringan mungkin. Sepatu, baju dan topi sebaiknya dilepaskan.
Apabila hal ini tidak memungkinkan, maka hasil penimbangan harus dikoreksi
dengan kain balita yang ikut tertimbang. Bila keadaan ini memaksa dimana
anak balita tidak mau ditimbang tanpa ibunya atau orang tua yang
menyertainya, maka timbangan dapat dilakukan dengan menggunakan
timbangan injak dengan cara pertama, timbang balita beserta ibunya. Kedua,
timbang ibunya saja. Ketiga, hasil timbangan dihitung dengan mengurangi berat
badan ibu dan anak, dengan berat badan ibu sendiri.
c. Keamanan
Faktor keamanan penimbangan sangat perlu diperhatikan.Tidak jarang
petugas di lapangan kurang memperhatikan keamanan itu. Misalnya langkah
ke-2 dari 9 langkah penimbangan tidak dilakukan, maka kemungkinan dacin
dan anak yang ditimbang bisa jatuh, karena dacin tidak tergantung kuat.Oleh
33
karena itu, segala sesuatu menyangkut keamanan harus diperhatikan termasuk
lantai dimana di lakukan penimbangan. Lantai tidak boleh terlalu licin,
berkerikil atau bertangga. Hal itu dapat mempengaruhi keamanan, baik yang
ditimbang, maupun petugas.
d. Pengetahuan dasar petugas
Untuk memperlancar proses penimbangan, petugas dianjurkan untk
mengetahui berat badan secara umum pada umur-umur tertentu. Hal ini sangat
penting diketahui untuk dapat memperkirakan posisi bandul geser yang
mendekati skala berat pada dacin sesuai dengan umur anak yang ditimbang.
Cara ini dapat menghemat waktu, jika penimbangan dilakukan dengan
memindah-mindahkan bandul geser secara tidak menentu.
D. Kesalahan yang Terjadi pada Pengukuran Berat Badan
Kesalahan dapat terjadi di antropometri gizi yang dapat mempengaruhi
presisi dan akurasi pengukuran. Tiga sumber utama dari kesalahan yang
signifikan antara lain kesalahan pengukuran, perubahan dalam komposisi dan
sifat fisik jaringan tubuh tertentu, dan penggunaan asumsi yang tidak valid
dalam derivasi dari komposisi tubuh dari pengukuran antropometri (Heymsfield
dan Casper, 1987 dalam Gibson, 2005).
Kesalahan pengukuran secara acak dan sistematis dapat terjadi dalam
antropometri. Kesalahan acak membatasi presisi atau sejauh mana pengukuran
ulang memberikan nilai yang sama. Kesalahan pengukuran sistematis
mempengaruhi akurasi atau sejauh mana pengukuran berangkat dari nilai
sebenarnya. Kesalahan pengukuran timbul dari kesalahan pemeriksa yang
dihasilkan dari pelatihan yang tidak memadai, kesalahan instrumen, dan
kesulitan dalam membuat pengukuran (misalnya, ketebalan lipatan kulit)
(Gibson, 2005)
34
Kesalahan pengukuran secara acak adalah sebagian besar karena adanya
variabilitas pengukuran ulang dari pengamat, dan karena adanya perbedaan
pengukuran intra dan inter-observer. Semakin besar variabilitas antara
pengukuran ulang dari subjek yang sama dengan satu (perbedaan intra-
observer) atau dua atau lebih (perbedaan interobserver) pengamat, presisi juga
semakin rendah (Norton dan Olds, 1996 dalam Ulijaszek dan Deborah,1999).
Ketidaktepatan yang semakin meluas kemungkinan akan meningkat jika
antropometri dilakukan oleh individu yang kurang terlatih. Sejak antropometri
sering dianggap sebagai pengukuran status gizi yang lebih mudah untuk
dilaksanakan diibandingkan metode lain sehingga pengukuran sering
didelegasikan kepada staf yang memiliki kualitas lebih rendah. Hal ini dapat
diterima asalkan calon antropometris potensial menerima pelatihan yang
memadai dari seorang ahli atau kriteria antropometris untuk mencapai tingkat
keahlian yang memadai sebelum survei, dan mempertahankannya saat bekerja
di lapangan (Ulijaszek & Deborah, 1999).
Tidak akurat adalah kesalahan sistematis, dan dapat terjadi karena
kesalahan instrumen atau kesalahan teknik pengukuran. Kedua faktor ini relatif
dapat memberikan bias sistematis untuk semua pengukuran terhadap peralatan
yang dikalibrasi dan digunakan oleh antropometris berpengalaman (de Onis, et
al., 2004).
Variabilitas dalam pengukuran bayi dan anak dapat dihasilkan dari
sejumlah pengaruh seperti pengaturan di mana pengukuran dilakukan; perut dan
volume kandung kemih (dalam kasus berat); variasi diurnal (panjang/tinggi);
perilaku dan kerjasama dari ibu dan anak dan yang diukur; akurasi dan presisi
instrumen; kapasitas teknis antropometris (pelatihan, pengalaman); dan metode
perekaman data (membaca, menulis hasil pengukuran). Pelatihan yang
memadai dan standarisasi yang terus berlanjut, kepatuhan terhadap metode dan
prosedur yang ditetapkan, dan memantau kualitas data sangat penting untuk
35
mengurangi kesalahan pengukuran dan meminimalkan bias dalam studi (de
Onis, et al., 2004).
Kesalahan yang umum terjadi pada semua pengukuran adalah instrumen
yang tidak memadai, anak gelisah, kesalahan saat membaca hasil pengukuran
dan kesalahan saat mencatat atau merekam hasil pengukuran. Solusi yang dapat
diajukan untuk mengatasi kesalahan tersebut antara lain memilih metode yang
tepat terhadap sumber daya yang ada, menunda pengukuran atau melibatkan
orang tua dalam prosedur pengukuran atau menggunakan prosedur sesuai
dengan budaya setempat, melaksanakan pelatihan dan penyegaran latihan
terutama mengenai akurasi dan tindakan perbaikan oleh penyelia atau atasan,
dan harus segera mencatat hasil pengukuran setelah selesai dilakukan saat itu
juga dan telah diperiksa oleh pihak atau orang kedua (Zerfas 1979, dalam
Gibson, 2005).
Kesalahan umum yang terjadi pada pengukuran berat badan adalah
ruangan dingin, tidak ada privasi, timbangan tidak dikalibrasi ke nol, subjek
mengenakan pakaian tebal, dan subjek yang bergerak atau cemas sebagai akibat
dari insiden yang pernah dialami sebelumnya. Solusi yang dapat ditawarkan
dalam mengatasi kesalahan tersebut yaitu menggunakan fasilitas klinik yang
tepat, mengkalibrasi ulang alat setiap subjek telah selesai diukur, melepas
pakaian atau menggunakan pakaian seminimal mungkin, dan tunggu sampai
subjek tenang atau menghapus penyebab kecemasan (misalnya, timbangan
terlalu tinggi) (Zerfas 1979, dalam Gibson, 2005).
Kesalahan-kesalahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kesalahan pengukuran, kesalahan alat, dan kesalahan oleh tenaga yang
mengukur. Untuk mengatasi kesalahan tersebut dapat dilakukan usaha seperti
memilih alat ukur yang sesuai dengan yang diukur, membuat aturan
pelaksanaan pengukuran, pelatihan petugas, peneraan alat ukur secara berkala,
36
pengukuran silang antarobserver dan pengawasan (uji petik) (Supariasa, dkk.,
2001).
Menurut Supariasa, dkk (2001), kesalahan pengukuran dapat terjadi
karena petugas kurang berhati-hati dan prosedur pengukuran yang salah.
Penyebab kesalahan dalam pengukuran antara lain
a) Pada waktu penimbangan berat badan, timbangan belum di titik nol, dacin
belum dalam keadaan seimbang dan dacin tidak berdiri tegak lurus
b) Kesalahan pada peralatan.
Peralatan yang digunakan untuk mengukur berat badan adalah dacin
dengan kapasitas 20-25 kg dan ketelitiannya 0.1 kg
c) Kesalahan yang disebabkan oleh tenaga pengukur
Kesalahan ini dapat terjadi karena petugas pengumpul data kurang hati-hati
atau belum mendapat pelatihan yang memadai.
Kesalahan pengukuran antropometri tidak dapat dihindari, dan harus
diminimalkan dengan memperhatikan secara dekat dengan setiap aspek dari
proses pengumpulan data. Ini termasuk memastikan bahwa ada pencahayaan
yang baik saat melakukan pengukuran, rutin mengkalibrasi peralatan, dan
pencegahan kelelahan di antara petugas pengukur untuk mengurangi
kemungkinan kesalahan (Ulijaszek & Deborah, 1999).
2.4 Kader Posyandu
Menurut WHO (1993), kader adalah laki-laki atau perempuan yang
dipilih masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan
baik perseorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan
yang amat dekat dengan tempat-tempat pelayanan kesehatan dasar.
37
Kader posyandu adalah anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan
memilik waktu untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu secara sukarela.
Kader posyandu diharapkan berasal dari anggota masyarakat setempat, dapat
membaca dan menulis huruf latin, berminat dan bersedia menjadi kader,
bersedia bekerja secara sukarela, dan memiliki kemampuan dan waktu luang
(Kemenkes, 2011).
Kader posyandu dipilih oleh pengurus posyandu dari anggota masyarakat.
Pemilihan pengurus dan kader posyandu dilakukan melalui pertemuan khusus
dengan mengundang para tokoh dan anggota masyarakat terpilih. Sebelum
melaksanakan tugasnya, kader posyandu perlu diberikan pelatihan oleh
puskesmas (Depkes, 2006).
A. Tugas dan Tanggung Jawab Kader Mengenai Penimbangan Balita
Pada hari buka posyandu, tugas dan tanggung jawab kader menurut buku
pedoman umum pengelolaan posyandu dari Depkes RI (2006) adalah sebagai
berikut.
a. Menyiapkan tempat pelaksanaan, peralatan, sarana dan prasarana posyandu
b. Melaksanakan pendaftaran pengunjung posyandu
c. Melaksanakan penimbangan balita yang berkunjung ke posyandu
d. Mencatat hasil penimbangan di KMS atau buku KIA dan mengisi buku
register posyandu
e. Melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan dan gizi sesuai dengan hasil
penimbangan
f. Setelah pelayanan posyandu selesai, kader bersama petugas puskesmas
melengkapi pencatatan dan membahas hasil kegiatan serta tindak lanjut
Adapun tugas dan tanggung jawab kader di luar hari buka posyandu
menurut Depkes RI (2006), adalah sebagai berikut.
38
a. Mengadakan pemutakhiran data sasaran posyandu: bayi, anak balita, ibu
hamil dan ibu menyusui
b. Membuat grafik SKDN, yaitu jumlah semua balita yang bertempat tinggal
di wilayah kerja posyandu (S), jumlah balita yang mempunyai kartu
menuju sehat atau buku KIA (K), jumlah balita yang datang pada hari buka
posyandu (D) dan jumlah balita yang timbangan berat badannya naik (N)
c. Melakukan tindak lanjut terhadap: sasaran yang tidak datang dan sasaran
yang memerlukan penyuluhan lanjutan.
d. Memberitahukan kepada kelompok sasaran agar berkunjung ke posyandu
saat hari buka
B. Kegiatan Utama Posyandu
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber
Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk
dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna
memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat
dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar/sosial dasar untuk mempercepat
penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi (Kemenkes RI, 2011).
Posyandu menjadi sarana pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau
oleh masyarakat. Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit
pemantau tumbuh kembang anak, serta menyampaikan peran kepada ibu
sebagai agen pembaharuan dan anggota keluarga yang memiliki bayi dan balita
dengan mengupayakan bagaimana memelihara anak secara baik, yang
mendukung tumbuh kembang anak sesuai potensinya (Depkes, 2006).
Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2007, sebanyak 78.3% penimbangan
balita terjadi di posyandu ini menunjukkan betapa vitalnya peran posyandu
dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar.
39
Berdasarkan buku pedoman umum pengelolaan posyandu dari Depkes RI
(2006), kegiatan posyandu terdiri atas:
1. Kegiatan pemantauan tumbuh kembang balita :
a. Penimbangan balita setiap bulan
b. Pemantauan perkembangan balita
2. Pelayanan kesehatan ibu
3. Pelayanan KB
4. Pelayanan kesehatan anak
5. Penyuluhan dan rujukan konseling bagi ibu dan anak
Menurut Kemenkes RI (2011) pelaksanaan kegiatan posyandu terdiri atas
dua tahap yaitu persiapan pelaksanaan posyandu (H-1) dan pelaksanaan
posyandu
a. Persiapan pelaksanaan posyandu
Sebelum pelaksanaan posyandu, kader memastikan sasaran seperti jumlah
bayi baru lahir, bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, PUS.
a) Menyebarluaskan hari buka posyandu melalui pertemuan warga
setempat
b) Mempersiapkan tempat pelaksanaan posyandu
c) Mempersiapkan sarana posyandu
Kebutuhan sarana berupa KMS/buku KIA, alat timbang (dacin dan
sarung, pita LILA), obat gizi (kapsul Vitamin A, tablet tambah darah,
oralit), alat bantu penyuluhan, buku pencatatan dan pelaporan, dan
lainnya.
d) Melakukan pembagian tugas antar kader
Pembagian tugas dilakukan sesuai dengan langkah kegiatan yang
dilakukan di posyandu seperti pendaftaran, penimbangan, pencatatan,
penyuluhan, dan pelayanan yang dapat dilakukan oleh kader.
40
e) Kader berkoordinasi dengan petugas kesehatan dan petugas lainnya.
Sebelum pelaksanaan kegiatan di posyandu, kader berkoordinasi
dengan petugas kesehatan dan petugas lainnya terkait dengan sasaran,
tindak lanjut dari kegiatan posyandu sebelumnya, dan rencana kegiatan
berikutnya.
f) Mempersiapkan bahan PMT penyuluhan
Kader membuat PMT penyuluhan dengan bahan makanan yang
diperoleh dari daerah setempat, beraneka ragam dan bergizi.
b. Pelaksanaan posyandu (hari H)
Kegiatan posyandu terdiri dari 5 langkah atau yang lebih dikenal dengan
sistem lima meja, yaitu:
1) Pendaftaran
Pendaftaran berada pada meja pertama. Kegiatan ini melayani
pendaftaran bagi para pengunjung posyandu yang dikelompokkan
menjadi tiga bagian yaitu balita, ibu hamil dan menyusui, dan
pasangan usia subur. Pelayanan meja pertama dilakukan oleh kader.
2) Penimbangan dan pengukuran lingkar lengan atas
Penimbangan dan pengukuran lingkar lengan atas dilakukan pada meja
2. Kegiatan terdiri atas mempersiapkan dacin, menimbang balita, dan
pengukuran lingkar lengan atas pada ibu hamil dan wanita usia subur
yang dilayani oleh kader.
3) Pencatatan
Pada langkah ketiga atau meja 3, kader melayani kegiatan pencatatan
hasil dari penimbangan di meja 2 ke dalam Kartu Menuju Sehat
(KMS), baik KMS bayi/balita maupun KMS ibu hamil.
4) Penyuluhan dan konseling
Penyuluhan dilakukan pada langkah ke empat atau meja 4 oleh petugas
kesehatan atau kader untuk ibu balita misalnya dengan memberikan
41
saran kepada ibu untuk memerhatikan umur dan hasil penimbangan
anak bulan ini, memberi penyuluhan pada ibu balita sesuai hasil
penimbangan dankondisi anak.
5) Pelayanan kesehatan oleh petugas kesehatan
Pelayanan kesehatan di posyandu oleh petugas kesehatan antara lain
pemberian vitamin A pada ibu nifas, bayi dan balita, pemberian tablet
tambah darah pada ibu hamil, pemberian penyuluhan PMT, pelayanan
KB, imunisasi pemberian oralit dan zink.
C. Faktor Kader dalam Melakukan Penimbangan Balita
Kader berperan penting dalam pelaksanaan penimbangan balita. Penimbangan
balita merupakan salah sata cara pemantauan pertumbuhan balita yang dapat
dilakukan di posyandu (Riskesdas, 2013).
a. Umur kader
Umur adalah usia seseorang yang dihitung sejak lahir sampai dengan
batas akhir masa hidupnya. Menurut Hurlock (2003) semakin cukup umur
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang semakin matang dalam
berpikir dan bekerja ini terjadi pada masa dewasa. Pembagian masa dewasa
menurut Hurlock diantaranya masa dewasa dini dimulai pada umur 18
tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai dan berkurangnya kemampuan reproduktif. 2)
Masa dewasa madya dimulai pada umur 41 tahun sampai pada umur 60
tahun, yaitu saat menurunnya kemampuan fisik maupun psikologis yang
jelas nampak pada setiap orang. 3) Masa dewasa lanjut (usia lanjut) atau
usia lanjut dimulai umur 61 tahun sampai kematian, kemampuan fisik
maupun psikologis menurun. Menurut Robins (2003), ada suatu keyakinan
42
bahwa produktivitas menurun seiring dengan menuanya usia seseorang,
keterampilan seseorang berkaitan dengan kecekatan, kekuatan koordinasi
dan hal ini diduga akan menurunkan produktivitas bersama bertambahnya
usia seseorang. Semakin lanjut usia pekerja semakin mampu menunjukkan
kematangan pikiran, mampu mengendalikan emosi, dan semakin terampil
menjalankan tugasnya. Lebih lanjut ia menjelaskan pekerja yang lebih tua
kecil kemungkinan akan berhenti, karena masa kerja mereka yang lebih
tinggi dan tunjangan yang lebih menarik.
Pada penelitian mengenai karakteristik kader posyandu sebagian
besar kader berada pada masa dewasa. Seperti pada hasil penelitian Wati,
dkk (2013) sebagian besar kader berada pada kelompok umur 30-40 tahun.
Sucipto (2009) menunjukkan ada hubungan antara umur dengan praktik
kader posyandu dalam penimbangan balita di posyandu. Dalam penelitian
yang dilakukan Lubis dan Isyatun (2015), kader umumnya berumur 20
sampai 49 tahun sebanyak 78.5 %.
b. Pendidikan kader
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain, baik individu atau masyarakat sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmojo,
2003). Menurut Azwar (2007) bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang
sengaja dilakukan untuk memperoleh hasil berupa pengetahuan,
keterampilan dan sikap seseorang.
Menurut Notoatmodjo (1995), pendidikan kader sangat berpengaruh
terhadap pengetahuannya, sehingga kader perlu tambahan pengetahuan
melalui kursus ulang kader, bimbingan dan penyuluhan di lapangan. Latar
belakang pendidikan penting karena akan mempengaruhi dalam
pelaksanaan tugas kader di posyandu seperti memberikan penyuluhan
kepada masyarakat, penerimaan materi yang diberikan petugas kesehatan
43
saat mengikuti pelatihan (Harisman dan Dina, 2012). Menurut kajian
pelaksanaan revitalisasi posyandu pada masyarakat nelayan dan petani di
Proponsi Jawa Barat, bahwa kader yang diikutsertakan dalam kegiatan
posyandu minimal seharusnya berpendidikan SMA, agar dapat lebih
mudah memahami dan mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan
posyandu (Irawati, 2002).
Pendidikan mempengaruhi pemahaman atau pengetahuan seseorang
terhadap berbagai hal, pendidikan adalah sebagai landasan untuk
membentuk, mempersiapkan, membina dan mengembangkan sumberdaya.
Pendidikan yang baik akan berbanding lurus dengan pengetahuan yang
baik, yaitu dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi maka pengetahuan
yang dimiliki juga akan cenderung tinggi dan pemberian informasi akan
lebih mudah dipahami. Bila dilihat pendidikan kader dalam penelitian ini
umumnya termasuk tinggi yaitu 60,6 % SMA dan bahkan ada yang
perguruan tinggi (diploma) sebanyak 17,9 %, sehingga pelatihan yang
diberikan dapat dengan mudah dipahami oleh kader (Lubis dan Isyatun,
2015). Berdasarkan penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan kader mempunyai hubungan yang signifikan dengan kualitas
hasil penimbangan berat badan balita.
c. Lama menjadi kader
Menurut Sukiarko (2007) kegiatan kader dalam melaksanakan tugas-
tugasnya dipengaruhi oleh lamanya menjadi kader. Lama masa tugas
sebagai kader dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak
positifnya adalah kader mendapatkan pengalaman yang lebih baik, banyak
dan lebih dikenal oleh pengunjung posyandu, sehingga memudahkan
komunikasi pada waktu melaksanakan kunjungan rumah dan kegiatan
posyandu berjalan baik. Sedangkan dampak negatifnya adalah dapat
menimbulkan rasa bosan atau kejenuhan pada kader dalam melakukan
tugas yang monoton setiap bulannya. Kinerja masa lalu cenderung
44
dihubungkan pada hasil seseorang, semakin lama ia bekerja maka semakin
terampil dalam melaksanakan tugasnya sehingga senioritas dalam bekerja
akan lebih terfokus jika dibandingkan dengan orang yang baru bekerja
(Robbins, 2003). Berdasarkan penelitian Munfarida (2012), lama menjadi
kader kader berhubungan dengan keterampilan kader dalam menjalankan
tugasnya. Menurut Razak (2000), kader posyandu sebaiknya mempunyai
pengalaman menjadi kader sekurang-kurangnya 60 bulan.jumlah kader
sedikitnya lima orang, tidak ada pergantian kader sedikitnya dalam
setahun.
d. Pelatihan kader
Pelatihan merupakan suatu proses belajar mengajar terhadap
pengetahuan dan keterampilan tertentu serta sikap agar peserta semakin
terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin
baik, sesuai dengan standar. Pelatihan menurut Strauss dan Syaless di
dalam Notoatmodjo (1995) berarti mengubah pola perilaku, karena dengan
pelatihan maka akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan
adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar, berguna
untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat dan metodenya
mengutamakan praktek daripada teori.
Dalam menjalankan program posyandu, kader harus diikutsertakan
pada pelatihan ulang secara berkala sebagai upaya untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan keterampilan. Pelatihan kader posyandu
perlu diadakan guna meningkatkan kapasitas kader posyandu dalam
pelatihan kader dititikberatkan pada keterampilan teknis menyusun rencana
kerja kegiatan di posyandu seperti cara menimbang kelompok sasaran yang
menjadi tanggung jawab posyandu, cara menilai pertumbuhan anak, cara
menyiapkan kegiatan pelayanan sesuai kebutuhan anak dan ibu, cara
menyiapkan peragaan, cara pemberian makanan pendamping ASI, cara
45
pemberian makanan tambahan dan cara memantau perkembangan ibu
hamil dan ibu menyusui (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan penelitian Lubis dan Isyatun (2015) terdapat pengaruh
pelatihan terhadap pengetahuan kader dalam menilai pertumbuhan balita
begitu juga dengan hasil penelitian Fitri dan Mardiana (2011) dan Laraeni
dan Afni (2014). Pada penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa ada
hubungan antara pelatihan kader dengan kualitas hasil penimbangan berat
badan balita. Berdasarkan Ekowati (2015) menunjukkan ada perbedaan
yang signifikan antara pengetahuan kader tentang antropometri sebelum
dan setelah pelatihan. Ketidaktepatan yang semakin meluas kemungkinan
akan meningkat jika antropometri dilakukan oleh individu yang kurang
terlatih (Ulijaszek & Deborah, 1999). Pelatihan yang memadai sangat
penting untuk mengurangi kesalahan pengukuran dan meminimalkan bias
dalam studi (de Onis, et al., 2004).
e. Pengetahuan kader
Pengetahuan merupakan kumpulan hasil belajar kognitif dari pajanan
objek, pengalaman, kesadaran, yang sehingga secara bertahap seseorang
menjadi tahu (Green, 2005). Menurut Bloom (1908) yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2010), pengetahuan termasuk dalam domain perilaku yakni
domain kognitif. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau
hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga, dan sebagainya).
Berdasarkan penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara pengetahuan kader posyandu tentang penimbangan berat
badan balita dengan kualitas hasil penimbangan berat badan balita. Pada
penelitian Irma (2013) diketahui bahwa pengetahuan kader berhubungan
dengan keterampilan kader dalam melaksanakan tugas. Pengetahuan kader
berhubungan dengan praktik penimbangan balita di posyandu karena
46
dengan pengetahuan yang baik akan memotivasi kader dalam melakukan
penimbangan dengan baik (Sucipto, 2009).
2.5 Kerangka Teori
Berdasarkan pemaparan tinjauan pustaka, dapat diketahui bahwa kader
berperan penting dalam pelaksanaan kegiatan posyandu khususnya pada
penimbangan balita sehingga kegiatan ini perlu diperhatikan agar dapat mengurangi
kesalahan yang terjadi saat pengukuran berat badan balita dilakukan dan dapat
membantu peningkatan kualitas data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
teori yang disusun oleh Gibson (2005) dan de Onis et al (2004) mengenai pengukuran
antropometri dan teori WHO (2008) mengenai komponen dan standar sistem
informasi kesehatan dan penguatan sistem informasi kesehatan yang bermula dari
kualitas data yang baik. Adapun kerangka teori yang dibuat untuk penelitian ini dapat
dilihat pada bagan 2.1.
47
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Faktor Kader:
Umur Pendidikan Lama menjadi
kader Pelatihan Pengetahuan
Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita
Faktor Instrumen:
Alat timbangan yang digunakan
Faktor Responden:
Kerja sama saat penimbangan
Random error/ Kesalahan acak
Systematic error/ Kesalahan sistematik
Meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, kualitas, dan penggunaan informasi kesehatan untuk pengambilan keputusan
Sumber data, manajemen data, diseminasi
Penguatan sistem informasi kesehatan
Sumber: Disusun dari teori Gibson (2005), WHO (2008), de Onis, et al (2004)
48
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti
menyimpulkan variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini, antara lain
umur, pendidikan, lama menjadi kader kader, pelatihan dan pengetahuan kader.
Adapun kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada bagan 3.1.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel pada kerangka teori yang tidak
diteliti. Hal tersebut dilakukan karena peneliti hanya membatasi penelitian pada
presisi dan akurasi sehingga tidak melihat variabel di atasnya yaitu mengenai
komponen dan standar sistem informasi kesehatan dan penguatan sistem informasi
kesehatan yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Penyusunan teori
tersebut dibuat untuk menyatakan bahwa presisi dan akurasi penimbangan sebagai
sumber data harus bisa menghasilkan informasi yang baik karena dapat berdampak
pada penguatan sistem informasi kesehatan dan memiliki outcome pada ketersediaan,
aksesibilitas, kualitas, dan penggunaan informasi kesehatan untuk pengambilan
keputusan.
Faktor Kader:
Umur Pendidikan Lama menjadi
kader Pelatihan Pengetahuan Pengetahuan
Presisi dan Akurasi
Penimbangan Balita oleh
Kader Posyandu di Wilayah
Kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan
49
Selain itu, faktor instrument tidak diteliti karena peneliti menggunakan alat
timbangan dacin yang telah dikalibrasi pada semua posyandu terpilih saat penelitian
dilakukan. Data presisi dan akurasi penimbangan oleh kader diperoleh dengan
membandingkan hasil pengukuran yang dilakukan supervisor dengan menggunakan
timbangan dacin yang sama. Variabel kerja sama saat penimbangan tidak diteliti
karena responden yang dipilih adalah ibu dengan balita dalam kondisi yang
memungkinkan untuk ditimbang, telah bersedia dan mau bekerjasama saat penelitian
dilakukan.
50
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Pengukuran
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Presisi Perbandingan hasil
pengukuran pertama dan
pengukuran ulang berat
badan balita oleh kader yang
sama dengan hasil
pengukuran berat badan
yang dilakukan supervisor
terhadap 20 balita
Notulensi (mencatat
hasil wawancara ke
dalam formulir hasil
penimbangan lalu
menghitung nilai
presisi berdasarkan
WHO (1983)
Formulir pencatatan
hasil penimbangan
0. Presisi tidak
baik, jika ∑do2>
2 ∑ds2
1. Presisi baik,
jika ∑do2 ≤ 2
∑ds2
Ordinal
Akurasi
Perbandingan hasil
pengukuran berat badan
oleh kader dengan
supervisor yang dilakukan
terhadap 20 balita
Notulensi (mencatat
hasil wawancara ke
dalam formulir hasil
penimbangan lalu
menghitung nilai
akurasi berdasarkan
Formulir pencatatan
hasil penimbangan
0. Akurasi tidak
baik, jika ∑D2>
3∑ds2
1. Akurasi baik,
jika ∑D2 ≤
3∑ds2
Ordinal
51
Variabel Definisi Operasional Pengukuran
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
WHO (1983)
Umur Lamanya waktu hidup
responden dihitung mulai
dari tangga lahir sampai
ulang tahun terakhir saat
penelitian dilakukan
Wawancara
Kuesioner
0. > 40 tahun
1. ≤ 40 tahun
Ordinal
Tingkat
pendidikan
Jenjang pendidikan formal
terakhir yang telah
diselesaikan kader posyandu
Wawancara
Kuesioner
0. Pendidikan
dasar: SD, SMP
1. Pendidikan
menengah:
SMA
2. Pendidikan
tinggi: Diploma,
Sarjana
Ordinal
52
Variabel Definisi Operasional Pengukuran
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Lama menjadi
kader
Lamanya atau periode
waktu yang dijalani kader
posyandu dalam
menjalankan tugasnya
sampai saat ini dihitung
dalam tahun
Wawancara
Kuesioner
0. ≤ 5 tahun
1. > 5 tahun
(Razak, 2000)
Ordinal
Pelatihan Kesempatan yang diberikan
untuk meningkatkan
pengetahuan dan
keterampilan kader dalam
melaksanakan tugas
penimbangan
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak
1. Ya
Nominal
53
Variabel Definisi Operasional Pengukuran
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Pengetahuan Kemampuan kader
memahami tugas kader dan
proses pelaksanaan kegiatan
di posyandu mengenai
penimbangan balita
Wawancara Kuesioner 0. Kurang, jika
mendapat skor
4-7
1. Baik, jika
mendapat skor 8
(Indriaty, 2003)
Ordinal
54
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross
sectional dan pendekatan kuantitatif, yaitu untuk mengetahui gambaran presisi dan
akurasi penimbangan balita oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2017.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2017. Pemilihan lokasi
penelitian yaitu di lima posyandu dari empat kelurahan yang ada di Kecamatan
Pesanggrahan. Sebelumnya, dari 13 posyandu yang menjadi perwakilan di
Kecamatan Pesanggrahan, peneliti memusatkan di salah satu posyandu secara acak
yang ada di setiap kelurahan tempat penelitian sehingga penelitian dilakukan di lima
posyandu. Seperti pada Kelurahan Petukangan Selatan, terdapat dua sampel
posyandu, lalu peneliti mengumpulkan responden di salah satu posyandu yang
terpilih di kelurahan tersebut, begitu juga untuk kelurahan yang lain.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kader yang bertugas melakukan
penimbangan pada saat penelitian dilakukan di semua posyandu terpilih. Posyandu
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan
adalah sebanyak 120 posyandu. Pemilihan sampel dapat dilihat pada bagan alur 4.1.
Pengambilan sampel dilakukan dengan proportional random sampling menurut
jumlah posyandu. Metode ini digunakan karena jumlah posyandu di setiap kelurahan
tidak sama, yaitu di Kecamatan Pesanggrahan terdapat lima kelurahan dengan jumlah
masing-masing posyandu sebanyak 25 posyandu di Kelurahan Petukangan Utara, 20
posyandu di Petukangan Selatan, 25 poyandu di Ulujami, 19 posyandu di
55
Pesanggrahan, dan 31 posyandu di Bintaro. Pengambilan sampel dimulai dengan
menentukan jumlah posyandu yang diteliti yaitu 10% dari 120 posyandu, yaitu 12
dipilih secara acak dari tiap kelurahan yang ada di Kecamatan Pesanggrahan. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan memudahkan dalam pengambilan data penelitian
karena ingin mendeskripsikan fakta yang ditemukan. Selanjutnya, agar posyandu
setiap kelurahan dapat terpilih secara proposional, maka jumlah sampel masing–
masing posyandu diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut. Perhitungan
penarikan sampel posyandu dari tiap kelurahan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Jumlah sampel posyandu tiap kelurahan =
×12
Tabel 4.1 Penarikan Sampel Posyandu dari Tiap Kelurahan
Kelurahan Jumlah sampel
Petukangan Utara × 12 = 2.5 ≈ 3 posyandu
Petukangan Selatan × 12 = 2 posyandu
Ulujami × 12 = 2.5≈ 3 posyandu
Pesanggrahan × 12 = 1.9≈ 2 posyandu
Bintaro × 12 = 3.1 ≈ 3 posyandu
Terdapat 13 posyandu dengan pemilihan posyandu dari setiap kelurahan,yaitu 3
posyandu di Petukangan Utara, 2 posyandu di Petukangan Selatan, 3 posyandu di
Ulujami dan 3 posyandu di Bintaro sebagai lokasi penelitian, dilakukan secara acak
sederhana. Namun, dari lima kelurahan yang menjadi sampel penelitian, peneliti tidak
mengambil dari Kelurahan Pesanggrahan karena peneliti lama mendapatkan
konfirmasi kesediaan dari kader sehingga sulit menentukan jadwal yang sesuai dan
perlu menjadwal ulang antara pihak supervisor dengan kader lainnya. Supervisor
yang membantu dalam penelitian ini berjumlah dua orang, satu petugas gizi
56
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan sebagai supervisor di Kelurahan Petukangan
Utara, Petukangan Selatan dan Ulujami, dan petugas gizi Puskesmas Petukangan
Utara sebagai supervisor di Bintaro dan Pesanggrahan. Berdasarkan informasi dari
petugas gizi di Puskesmas Pesanggrahan, sebagian besar kader di Bintaro dan
Pesanggrahan memiliki tingkat pendidikan menengah atau SMA. Oleh karena itu,
untuk mengganti sampel sebanyak dua posyandu dari Kelurahan Pesanggrahan,
peneliti mengambil dari kelurahan yang sama yaitu Bintaro I dan Bintaro II.
Persentase gizi kurang pada balita 0-59
bulan sudah mendekati cut-off sebesar
9.1% pada tahun 2015
Persentase gizi kurang paling sedikit
yaitu sebesar 0.11% pada tahun 2015.
Proportional random sampling
Peneliti memusatkan di salah satu
posyandu dari 13 posyandu di lima
kelurahan secara acak
Total sebanyak 2-3 kader yang biasa
menimbang dari 13 posyandu dipilih
Bagan 4.1 Alur pemilihan sampel
Dari masing-masing posyandu diwakili oleh dua sampai tiga kader yang biasa
bertugas melakukan penimbangan. Hal ini karena kader jarang bergiliran dalam
melaksanakan tugas posyandu dan jumlah kader yang biasa menimbang tidak
diketahui. Oleh karena itu, sebanyak 27 kader posyandu menjadi sampel penelitian.
Adapun jumlah kader posyandu di Petukangan Utara dan Ulujami, masing-masing
ada enam kader yang mewakili, di Petukangan Selatan ada lima kader, di Bintaro I
dan Bintaro II masing-masing ada lima kader.
Kota Jakarta Selatan
Kecamatan Pesanggrahan
13 Posyandu
5 posyandu
27 kader posyandu
57
4.4 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil
penimbangan oleh kader, variabel umur, pendidikan, lama menjadi kader, pelatihan
dan pengetahuan kader posyandu. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data
primer tentang faktor kader yang meliputi umur, pendidikan, lama menjadi kader,
pelatihan dan pengetahuan kader posyandu dilakukan dengan wawancara
menggunakan kuesioner. Sedangkan, data mengenai presisi dan akurasi dalam
penelitian ini dikumpulkan dengan mencatatat hasil timbangan dari kader dan
supervisor ke dalam formulir hasil penimbangan balita.
Sebelum dicatat, data presisi dan akurasi diperoleh dengan penimbangan yang
dilakukan oleh kader posyandu dan supervisor, yaitu petugas gizi puskesmas yang
sebelumnya telah mendapatkan pengarahan dari pihak Suku Dinas Kesehatan Jakarta
Selatan. Petugas puskesmas ini diharapkan dapat menjadi gold standard untuk
pembanding hasil presisi akurasi penimbangan dari kader saat penelitian dilakukan,
sehingga total supervisor dalam penelitian berjumlah dua orang, satu dari petugas gizi
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan dan satu lagi dari petugas gizi Puskesmas
Kelurahan Petukangan Utara.
Penimbangan dilakukan kepada 20 balita di lima kelurahan terpilih sehingga
total balita dalam penelitian ini adalah 100 balita. Alur pengumpulan data penelitian
ini adalah sebagai berikut.
a. Tahap pertama adalah peneliti membuat jadwal penimbangan di luar hari buka
posyandu lalu menyesuaikannya dengan jadwal petugas gizi puskesmas dan
kader. Lalu peneliti mengumpulkan 20 ibu dan balitanya dengan bantuan kader
setempat yang telah dipilih menjadi sampel setelah menentukan posyandu di
setiap kelurahan untuk datang pada saat penimbangan dilakukan.
b. Tahap kedua adalah peneliti menyiapkan satu timbangan dacin yang sudah
tersedia dan telah dikalibrasi di posyandu kelurahan terpilih. Lalu peneliti
mewawancarai kader menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data
58
variabel umur, pendidikan, lama menjadi kader, pelatihan dan pengetahuan
kader posyandu sebelum penimbangan dimulai.
c. Tahap ketiga adalah dari 20 balita yang bersedia ditimbang, dibagi dua sesi,
dengan 10 balita pertama diukur dua kali oleh kader dan dua kali oleh petugas
gizi puskesmas, lalu 10 balita lagi diukur setelahnya. Pengukuran I dan II
dilakukan secara berurutan oleh kader, dengan jumlah kader di setiap posyandu
5-6 orang. Kader pertama sampai kader ke enam secara berurutan dipanggil
oleh peneliti untuk menimbang balita. Setelah kader menimbang, kemudian
petugas gizi puskesmas menimbang balita. Kader yang sudah menimbang
kembali ke tempat menunggu yang sudah disediakan dan diinstruksikan untuk
tidak memberitahukan hasil penimbangannya ke kader yang lain. Setiap balita
yang ditimbang, kader mengukur lalu petugas gizi mengukur masing-masing
dua kali pengukuran terhadap balita yang sama, hingga semua balita ditimbang.
Total menimbang pada satu balita yaitu 14 kali ditimbang jika ada enam kader
dan supervisor. Jadi tiap kader dan supervisor menimbang 20 balita yang
ditimbang sebanyak dua kali dengan menggunakan dacin yang sama di
posyandu terpilih di satu kelurahan.
d. Tahap keempat adalah selama penimbangan oleh kader dan supervisor, peneliti
langsung mencatat hasil pengukuran I dan pengukuran II di formulir hasil
penimbangan.
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa lembar
pertanyaan dalam bentuk kuesioner sebagai alat bantu dalam pengumpulan data
mengenai faktor kader. Adapun alat timbangan digunakan untuk memperoleh data
berat badan balita hasil pengukuran kader dan supervisor, kemudian nilai presisi dan
akurasi dihitung dengan merujuk pada rumus dari WHO dengan bantuan Ms.Excel.
Selanjutnya, hasil penimbangan dicatat di formulir yang telah disediakan lalu
dihitung nilai presisi dan akurasinya. Alat timbangan yang digunakan adalah lima
dacin yang sudah dikalibrasi dan telah tersedia di posyandu tempat penelitian. Cara
59
mengkalibrasi dacin yang sudah dibebani kain karung atau sarung timbang, dilakukan
dengan menambah beban pada ujung tangkai dacin, yaitu memasukkan beras ke
dalam kantong plastik, lalu dilihat keseimbangan dacin, bandul geser berada pada
posisi skala 0.0 kg, jarum penunjuk berada pada posisi seimbang. Dacin yang
digunakan pada penelitian ini terbuat dari kuningan dengan berat ± 5 kg, panjang 90
cm dan dilengkapi dengan kain sarung. Dacin yang digunakan dapat mengukur berat
badan maksimal 25 kg dengan kepekaan 0.1 kg. Hampir semua dacin yang digunakan
saat penelitian sudah lebih dari satu tahun pemakaian untuk kegiatan posyandu.
4.5 Pengolahan Data
Semua data yang telah dikumpulkan, akan diolah melalui beberapa tahap atau
rangkaian pengolahan data sebagai berikut.
1. Pemberian kode (Coding)
Data yang terkumpul diberi kode angka atau huruf, untuk mempermudah
memasukkan data. Data pada masing-masing variabel dilakukan
pengelompokkan. Pada variabel identitas responden diberi kode A1-A2. Umur,
diberi kode A3, pendidikan diberi kode A4, lama menjadi kader dan pelatihan
masing-masing diberi kode A5, A6-A8. Variabel pengetahuan kader diberi
kode B1.
Berikut adalah penjelasan mengenai variabel, skoring, dan hasil ukur
pada penelitian ini
a. Presisi dan akurasi penimbangan balita oleh kader posyandu
Pada variabel ini, data dari formulir pencatatan hasil penimbangan
dimasukkan ke dalam tabel perhitungan uji presisi dan akurasi
menggunakan Microsoft Excel kemudian dihitung nilai presisi dan
akurasinya, lalu dikelompokkan menjadi (0) presisi tidak baik dan (1)
presisi baik; (0) akurasi tidak baik dan (1) akurasi baik lalu dilihat
distribusi frekuensi responden berdasarkan presisi dan akurasi
60
penimbangan balita. Contoh entry data untuk pengolahan hasil
penimbangan oleh kader dan supervisor dapat dilihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Contoh entry data pada microsoft excel hasil pengukuran I dan II berat badan balita oleh supervisor dan kader di Petukangan Selatan
Gambar 4.2 Contoh perhitungan tes standarisasi pengukuran berat badan balita oleh salah satu kader posyandu di Petukangan Selatan
Pada gambar 4.2 dapat dilhat nilai ∑d2 adalah 0.09 dan nilai 2∑ds2
supervisor adalah 0.16. Maka, nilai ∑d2kader<2∑ds2 (0.09<0.16), berarti
presisi pengukuran kader sudah baik dan diberi kode 1. Begitu juga untuk
kader lain di Petukangan Selatan, jika nilai ∑d2 kader<0.16, berarti
61
pengukuran kader sudah presisi. Apabila nilai ∑d2 kader>0.16, berarti
presisi pengukuran kader di Petukangan Selatan tidak baik dan diberi kode
0. Berikut nilai 2∑ds2 supervisor pada setiap kelurahan:
1) Petukangan Selatan = 0.16
2) Petukangan Utara = 0.28
3) Ulujami = 0.16
4) Bintaro I = 0.14
5) Bintaro II = 0.12
Penilaian akurasi dapat dilihat dari nilai ∑D2 ≤ 3∑ds2. Pada gambar 4.2
diketahui bahwa nilai ∑D2 adalah 0.35 dan nilai 3∑ds2 adalah 0.24. Maka,
nilai ∑D2>3∑ds2 (0.35>0.24), berarti akurasi pengukuran kader di
Petukangan Selatan tidak baik dan diberi kode 0, sedangkan jika ∑D2<
3∑ds2 berarti pengukuran kader sudah akurat atau akurasinya sudah baik
dan diberi kode 1. Untuk melihat nilai akurasi, nilai ∑D2 dibandingkan
dengan nilai 3∑ds2. Berikut nilai 3∑ds2 pada setiap kelurahan:
1) Petukangan Selatan = 0.24
2) Petukangan Utara = 0.42
3) Ulujami = 0.24
4) Bintaro I = 0.21
5) Bintaro II = 0.18
b. Umur
Pada variabel ini, hasil ukurnya yaitu (0) > 40 tahun dan (1) ≤ 40 tahun.
c. Pendidikan
Pada variabel ini, hasil ukurnya yaitu (0) pendidikan dasar: SD, SMP (1)
pendidikan menengah: SMA, (2) pendidikan tinggi: diploma, sarjana
d. Lama menjadi kader
Pada variabel ini, hasil ukurnya yaitu (0) ≤ 5 tahun dan (1) > 5 tahun.
62
e. Pelatihan
Pada variabel ini, hasil ukurnya yaitu (0) tidak dan (1) ya.
f. Pengetahuan tentang penimbangan balita
Variabel ini merupakan total skor dari variabel pengetahuan kader dalam
menjawab kondisi timbangan yang layak dipakai, cara memasang
timbangan yang benar, menentukan posisi bandul timbangan dan cara
menangani anak yang ditimbang. Masing-masing variabel memiliki skor
dari 1 sampai 2, sehingga dari ke empat variabel pertanyaan tersebut
diperoleh skor paling rendah 4 dan paling tinggi 8. Apabila kader
menjawab dan mendapat skor 4-7 diberi kode 0 dan apabila mendapat skor
8 diberi kode 1. Kode 0 adalah pengetahuan kurang, kode 1 adalah
pengetahuan baik.
2. Pemasukan data (Entry)
Pada tahap ini, data-data dimasukkan dalam program perangkat lunak
komputer, setelah semua isian kuesioner terisi dan juga sudah melewati proses
pengkodean. Data dari formulir hasil penimbangan dimasukkan dengan bantuan
Ms.Excel dan SPSS. Data dari kuesioner dimasukkan dengan bantuan software
SPSS.
3. Pengoreksian data (Cleaning)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kembali data yang sudah
dimasukkan ke dalam software dan dilihat kelengkapan jawaban serta
kesalahan dalam pemberian kode. Tahap ini dilakukan agar selanjutnya data
siap untuk dianalisis.
63
4.6 Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat.
Data dianalisis menggunakan SPSS. Data yang telah dianalisis disajikan dalam
bentuk tabel. Analisis univariat bertujuan menggambarkan variabel yang diteliti,
berupa distribusi frekuensi pada setiap variabel yaitu, umur, tingkat pendidikan, lama
menjadi kader, pelatihan dan pengetahuan serta presisi dan akurasi hasil penimbangan
balita oleh kader di posyandu wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan.
Pada data hasil penimbangan oleh kader, sebelumnya diolah dengan bantuan
Ms.Excel lalu dihitung nilai presisi dan akurasi kader berdasarkan WHO (1983).
Pengukuran antropometri dikatakan
a. presisi jika ∑d2 kader < 2 ∑ds2 supervisor
b. akurat jika ∑D2< 3∑ds2 supervisor.
Keterangan:
ds2 = kuadrat dari selisih pengukuran pertama dan kedua oleh petugas gizi
terhadap anak yang sama
d2 = kuadrat dari selisih pengukuran pertama dan kedua oleh kader terhadap
anak yang sama
D2 = kuadrat selisih dari penjumlahan pengukuran pertama dan kedua oleh
kader dengan penjumlahan pengukuran pertama dan kedua oleh petugas
gizi
64
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Faktor Kader dalam Menimbang Balita di Posyandu
Gambaran distribusi faktor kader meliputi umur, pendidikan, lama menjadi
kader, pelatihan dan pengetahuan kader dalam menimbang balita dapat dilihat
pada tabel 5.1.
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Faktor Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017
Variabel Jumlah (n) Persentase (%) Umur
> 40 tahun ≤ 40 tahun
21 6
77.8 22.2
Pendidikan Dasar (SD, SMP) Menengah (SMA) Tinggi (Diploma)
8
18 1
29.6 66.7 3.7
Lama menjadi kader ≤ 5 tahun > 5 tahun
7
20
25.9 74.1
Pelatihan Tidak pernah Pernah
20 7
74.1 25.9
Pengetahuan
Kurang Baik
14 13
51.9 48.1
65
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa dari 27 kader posyandu di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan, 21 (77.8%) kader
diantaranya berumur lebih dari 40 tahun, sebagian besar kader posyandu (77.8%)
memiliki tingkat pendidikan menengah (SMA) dan telah menjadi kader selama
lebih dari lima tahun (74.1%). Hanya 25.9% kader posyandu di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan yang pernah mendapatkan
pelatihan tentang penimbangan balita menggunakan dacin dan 14 (51.9%) kader
memiliki pengetahuan yang kurang tentang penimbangan balita menggunakan
dacin.
Bagian tahap penimbangan yang diketahui oleh kader dapat dilihat pada
tabel 5.2.
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Kader yang Mengetahui Tahap Penimbangan
Berdasarkan Pertanyaan tentang Pengetahuan Menimbang dengan Dacin di
Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan
Tahun 2017
Bagian Pertanyaan Jumlah (n) Persentase (%)
Menentukan kondisi timbangan 19 70.37
Memasang timbangan 19 70.37
Mengatur posisi bandul
timbangan
21 77.77
Menangani anak yang ditimbang
dan yang perlu diperhatikan saat
menimbang anak
13 48.14
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa sebagian bear kader telah
mengetahui tahap penimbangan menggunakan dacin, namun hanya 13 (48.14%)
66
kader yang mengetahui pada bagian menangani anak yang ditimbang dan yang
perlu diperhatikan saat menimbang anak.
5.2 Gambaran Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu
Gambaran distribusi presisi dan akurasi kader dalam menimbang balita
dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Kader Posyandu Berdasarkan Presisi dan Akurasi
Penimbangan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan Tahun 2017
Variabel Jumlah (n) Persentase (%)
Presisi
Baik Tidak baik
14
13
51.9
48.1
Akurasi
Baik Tidak baik
0
27
0.0 100.0
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa dari 27 kader posyandu di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, presisi kader dalam menimbang
balita yang baik yaitu sebanyak 14 (51.9%). Jika dilihat dari akurasi kader,
diketahui bahwa tidak ada (0%) kader posyandu yang menimbang dengan baik di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan.
Pada tabel 5.4 dapat dilihat gambaran presisi oleh kader dalam menimbang
balita berdasarkan kelurahan yang ada di Kecamatan Pesanggrahan.
67
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Kader Posyandu Berdasarkan Presisi Penimbangan Balita
pada Setiap Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan Tahun 2017
Kelurahan
Presisi
Tidak baik Baik
n % n %
Petukangan Utara 2 33.3 4 66.7
Petukangan Selatan 0 0 5 100
Ulujami 3 50 3 50
Bintaro I 4 80 1 20
Bintaro II 4 80 1 20
Total 13 48.1 14 51.9
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa semua kader posyandu di wilayah
Kelurahan Petukangan Selatan menimbang balita dengan presisi baik.
5.3 Gambaran Presisi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu Berdasarkan
Faktor Kader
Gambaran distribusi presisi kader dalam menimbang balita berdasarkan
faktor kader yang meliputi umur, pedidikan, lama menjadi kader, pelatihan, dan
pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.5.
68
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Presisi Kader Posyandu dalam Menimbang Balita
Berdasarkan Faktor Kader di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017
Variabel
Presisi Total
Tidak baik Baik
n % N % n %
Umur > 40 tahun ≤ 40 tahun
10 3
47.6 50.0
11 3
52.4 50.0
21 6
100.0
Pendidikan Dasar (SD, SMP) Menengah (SMA) Tinggi (Diploma)
4 8 1
50.0 44.4 100.0
4 10 0
50.0 55.6 0.0
8 18 1
100.0
Lama menjadi kader ≤ 5 tahun > 5 tahun
3 10
42.9 50.0
4 10
57.1 50.0
7 20
100.0
Pelatihan Tidak pernah Pernah
10 3
50.0 42.9
10 4
50.0 57.1
20 7
100.0
Pengetahuan Kurang Baik
7 6
50.0 46.2
7 7
50.0 53.8
14 13
100.0
Jumlah 13 48.1 14 51.9 27 100.0
Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa kader yang berumur >40 tahun dan
memiliki presisi baik lebih banyak (52.4%) dibandingkan pada kader umur ≤ 40
tahun dengan presisi baik (50.0%). Kader yang memiliki presisi baik banyak
termasuk pendidikan menengah (55.6%). Kader yang telah bekerja >5 tahun
dengan presisi yang baik ada 50.0%, sedangkan kader yang baru bekerja ≤ 5 tahun
69
dengan presisi baik ada 57.1%. Presisi baik lebih banyak pada kader yang pernah
mendapatkan pelatihan (57.1%) dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan
pelatihan dengan presisi baik (50.0%). Pengetahuan kader yang baik dengan
presisi baik lebih bannyak (53.8%) dibandingkan dengan pengetahuan kader yang
kurang dengan presisi baik (50.0%).
5.4 Gambaran Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu Berdasarkan Faktor Kader
Gambaran distribusi akurasi kader dalam menimbang balita berdasarkan
faktor kader yang meliputi umur, pedidikan, lama menjadi kader, pelatihan, dan
pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Akurasi Kader Posyandu dalam Menimbang
Balita Berdasarkan Faktor Kader di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017
Variabel Akurasi tidak baik Nilai rata-rata selisih ∑d2 dengan supervisor n (%)
Umur > 40 tahun ≤ 40 tahun
21 (77.8) 6 (22.2)
4.47 2.06
Pendidikan Dasar (SD, SMP) Menengah (SMA) Tinggi (Diploma)
8 (29.6)
18 (66.7) 1 (3.7)
0.74 3.68 0.21
Lama menjadi kader ≤ 5 tahun > 5 tahun
7 (25.9)
20 (74.1)
2.09 2.99
70
Variabel Akurasi tidak baik Nilai rata-rata selisih ∑d2 dengan supervisor n (%)
Pelatihan
Tidak pernah Pernah
20 (74.1) 7 (25.9)
3.01 1.51
Pengetahuan Kurang Baik
14 (51.9) 13 (48.1)
2.86 2.04
N=27
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa kader berumur >40 tahun dengan
akurasi tidak baik sebanyak 77.8%. Nilai rata-rata selisih ∑d2 kader dengan
supervisor pada kader yang berumur >40 tahun lebih besar (4.47) dibandingkan
dengan kader berumur ≤ 40 tahun (2.06). Akurasi tidak baik pada kader dengan
pendidikan dasar ada 29.6%. Nilai rata-rata selisih∑d2 kader dengan supervisor
pada kader yang termasuk pendidikan menengah paling besar (3.68)
dibandingkan dengan pendidikan dasar dan tinggi.
Kader yang baru menjadi kader ≤ 5 tahun dengan akurasi tidak baik ada
sebanyak 25.9%. Nilai rata-rata selisih ∑d2 kader dengan supervisor pada kader
yang kader yang bekerja ≤ 5 tahun (2.09) lebih kecil dibandingkan dengan kader
yang bekerja >5 tahun (2.99)
Sebanyak 74.1% kader yang tidak pernah mendapatkan pelatihan memiliki
akurasi tidak baik dengan nilai rata-rata selisih ∑d2 dengan supervisor lebih
tinggi (3.01) dibandingkan dengan yang pernah mendapatkan pelatihan (1.51).
Pengetahuan kader yang kurang dengan akurasi tidak baik sebanyak 51.9%
dengan nilai nilai rata-rata selisih ∑d2 dengan supervisor lebih tinggi (2.86)
dibandingkan dengan kader berpengetahuan baik (2.04).
71
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya hanya
menggambarkan setiap variabel yang diteliti dan berfokus pada presisi dan akurasi
penimbangan balita dengan melihat faktor kader yang terdiri atas umur, tingkat
pendidikan, pelatihan dan pengetahuan. Alat timbangan dan kerjasama pada
responden tidak diteliti. Dari lima kelurahan yang menjadi sampel penelitian, peneliti
tidak mengambil salah satu kelurahan karena peneliti tidak bisa mendapatkan kader
yang bersedia dijadikan sampel, dikarenakan sulitnya menentukan jadwal yang sesuai
sehingga perlu menjadwal ulang antara pihak supervisor dengan kader lainnya. Oleh
karena itu, untuk mengganti sampel dari kelurahan tersebut, peneliti mengambil dari
kelurahan yang sama yaitu Bintaro I dan Bintaro II.
6.2 Gambaran Faktor Kader dalam Menimbang Balita
Pada penelitian ini, terdapat beberapa faktor kader yang diteliti. Menurut
Gibson (2005) presisi dan akurasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan acak dan
kesalahan sistematis masing-masing dikontribusi salah satunya oleh orang yang
mengukur. Kapasitas teknik pengukur dapat dilihat dari pelatihan, pengalaman, dan
produktivitas (de Onis et al, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian, banyak kader yang berumur lebih dari 40 tahun
(77.8%). Hal ini juga ditemukan pada penelitian Hardiyanti, dkk (2016) yang
menunjukkan sebagian besar kader (59%) berumur ≥45 tahun. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Indriaty (2003) 44.4% kader berada pada rentang umur 31-40 tahun.
Umur kader posyandu dalam penelitian ini sebagian besar sudah termasuk dewasa
madya hingga dewasa lanjut. Menurut Hurlock (2003) masa dewasa madya dimulai
pada umur 41 tahun sampai pada umur 60 tahun, sedangkan masa dewasa lanjut (usia
72
lanjut) atau usia lanjut dimulai umur 61 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Indriaty (2003) menunjukkan bahwa dari 56 kader yang berumur ≤ 40 tahun ada
sebanyak 96,4% kader yang tidak akurat hasil penimbangannya, sedangkan 16 kader
diantaranya yang berumur lebih dari 40 tahun semuanya tidak ada yang akurat dalam
melakukan penimbangan.
Jika dilihat dari pendidikan kader dalam penelitian ini, umumnya kader
termasuk tingkat pendidikan menengah yaitu 77.8% SMA dan ada yang termasuk
perguruan tinggi (diploma) yaitu 3.7%, dan sebanyak 29.6% kader termasuk
pendidikan dasar (SD dan SMP). Seperti pada penelitian lain menunjukkan bahwa
sebagian besar kader memiliki tingkat pendidikan menengah (Indriaty, 2003;
Hardiyanti, 2016). Menurut de Onis et al (2004) orang yang melakukan pengukuran
antropometri setidaknya sudah harus menempuh pendidikan sekolah menengah. Latar
belakang pendidikan penting karena akan mempengaruhi dalam pelaksanaan tugas
kader di posyandu sepertipenerimaan materi yang diberikan petugas kesehatan saat
mengikuti pelatihan (Harisman dan Dina, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Fadjri (2016) diketahui bahwa pendidikan kader
berhubungan dengan kualitas hasil penimbangan berat badan balita. Sedangkan pada
penelitian Hardiyanti, dkk (2016), pendidikan tidak berhubungan dengan presisi dan
akurasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriaty (2003) yang
menyatakan bahwa pendidikan kader tidak berhubungan dengan tingkat presisi dan
akurasi hasil penimbangannya karena kader yang berpendidikan menengah juga dapat
melakukan penimbangan dengan selisih penimbangan pertama dan kedua besar yang
berarti tingkat presisi dan akurasinya rendah.
Selain pendidikan, dari hasil penelitian ini ditemukan sebagian besar telah
menjadi kader di posyandu selama lebih dari lima tahun (74.1%) dengan lama masa
kerja sebagai kader paling lama yaitu sudah 40 tahun menjadi kader posyandu,
sedangkan hanya 25.1% kader yang baru menjadi kader selama ≤ 5 tahun. Seperti
73
pada penelitian Indriaty (2003) dan Hardiyanti, dkk (2016) masing-masing sebanyak
61.1% kader bekerja lebih dari lima tahun dan sebanyak 82.6% kader sudah bekerja
lebih dari tiga tahun.
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa semua kader di Kelurahan Petukangan
Selatan memiliki presisi baik dan sudah menjadi kader selama lebih dari lima tahun.
Lamanya menjadi kader dapat menggambarkan pengalaman seorang pengukur
antropometri, pengalaman yang sudah lebih banyak biasanya memiliki kapasitas
teknik pengukuran antropometri yang lebih baik (de Onis et al, 2004). Kegiatan kader
dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat dipengaruhi oleh lamanya menjadi kader
(Sukiarko, 2007). Lama masa tugas sebagai kader dapat memberikan dampak positif
maupun negatif. Dampak positifnya adalah kader mendapatkan pengalaman yang
lebih baik, banyak dan lebih dikenal oleh pengunjung posyandu, sehingga
memudahkan komunikasi pada waktu melaksanakan kunjungan rumah dan kegiatan
posyandu berjalan baik. Sedangkan dampak negatifnya adalah dapat menimbulkan
rasa bosan atau kejenuhan pada kader dalam melakukan tugas yang monoton setiap
bulannya.
Meskipun banyak yang telah lama menjadi kader posyandu, berdasarkan hasil
penelitian ini, hanya 25.1% kader posyandu yang pernah mendapatkan pelatihan
tentang penimbangan balita menggunakan dacin. Sedangkan sebanyak 74.1% kader
belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai penimbangan balita menggunakan
dacin. Dari 25.1% kader yang pernah mendapatkan pelatihan ini, frekuensi
mendapatkan pelatihan pada setiap kader bervariasi. Ada kader yang baru
mendapatkan pelatihan sekali, ada yang empat kali, lima kali, delapan kali, dan
sampai 10 kali mengikuti pelatihan tentang penimbangan balita menggunakan dacin.
Terakhir kali mengikuti pelatihannya pun juga berbeda-beda, ada kader yang baru
mendapatkan pelatihan setahun yang lalu dihitung sejak pengambilan data penelitian
ini dilakukan, ada juga tiga tahun yang lalu, delapan tahun yang lalu sampai 17 dan
18 tahun yang lalu. Seperti pada penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa
74
sebagian besar kader mendapatkan satu sampai dua kali pelatihan (Indriaty, 2003;
Hardiyanti, dkk, 2016).
Pelatihan yang tidak memadai dapat mengurangi kemampuan orang yang
melakukan pengukuran antropometri sehingga berkontribusi juga menurunkan presisi
dan akurasi yang diperoleh (Gibson, 2005). Menurut de Onis et al (2004) pelatihan
dan standarisasi dilakukan setiap dua bulan sekali untuk menilai presisi dan akurasi
atau setahun sekali dimana orang yang dilatih atau kader dibandingkan dengan
pengukur antropometri yang ahli dari tingkat yang lebih tinggi. Menurut Ulijaszek
dan Deborah (1999) pengukuran banyak yang tidak presisi dan akurat akan
meningkat jika pengukuran antropometri dilakukan oleh individu yang kurang
terlatih.
Berdasarkan penelitian ini ditemukan juga bahwa 51.9% kader memiliki
pengetahuan yang kurang tentang penimbangan balita menggunakan dacin (Tabel
5.1). Hal ini seperti pada penelitian Indriaty (2003) bahwa sebagian besar kader
memiliki pengetahuan kurang namun pengetahuannya tidak berhubungan dengan
presisi dan akurasi. Sedangkan pada penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa ada
hubungan pengetahuan kader posyandu tentang penimbangan berat badan balita
dengan kualitas hasil penimbangan berat badan balita. Seperti pada penelitian
Hardiyanti, dkk (2016), diketahui bahwa 43.5% kader memiliki pengetahuan kurang
tentang penimbangan dan pengetahuan penimbangan secara signifikan berhubungan
dengan presisi dan akurasi kader.
Pelatihan yang tidak memadai membuat seorang pengukur tidak memiliki
pengetahuan yang cukup untuk melakukan pengukuran antropometri sesuai prosedur,
ini dapat mengakibatkan kesalahan pengukuran antropometri yang mempengaruhi
nilai presisi dan akurasi hasil pengukuran (Gibson, 2005). Maka, seorang pengukur
yang melakukan penimbangan sesuai prosedur karena memiliki pengetahuan cukup
dapat mengurangi kesalahan pengukuran berat badan sehingga ada pengukur yang
nila presisi dan akurasinya cenderung lebih baik. Seperti pada penelitian Fadjri
75
(2016) dan Hardiyanti, dkk (2016), masing-masing sebanyak 51.5% dan 67.4%
kader memiliki presisi baik, 44.1% dan 34.8% memiliki akurasi baik. Pada penelitian
Sucipto (2009) pengetahuan kader berhubungan dengan praktik penimbangan balita
di posyandu, menurutnya dengan pengetahuan yang baik akan memotivasi kader
mengubah praktik atau perilaku sehingga mereka dapat melakukan penimbangan
dengan baik. Pelatihan kader posyandu perlu diadakan guna meningkatkan kapasitas
kader posyandu (Kemenkes, 2011). Berdasarkan penelitian Lubis dan Isyatun (2015)
terdapat pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan kader dalam menilai pertumbuhan
balita begitu juga dengan hasil penelitian Fitri dan Mardiana (2011) menyatakan
bahwa ada perbedaan keterampilan kader posyandu dalam pengukuran antropometri
sebelum dan sesudah pelatihan. Penelitian Laraeni dan Afni (2014) juga menyatakan
bahwa ada pengaruh penyegaran kader terhadap tingkat pengetahuan dan
keterampilan kader Posyandu.
Pada penelitian Ekowati (2015) diketahui pemberian pelatihan dengan metode
demonstrasi dan praktik memberikan pengaruh terhadap peningkatan pengetahuan
karena hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pengetahuan dan keterampilan kader sebelum dan setelah pelatihan antropometri
termasuk menimbang balita dengan dacin. Maka dari itu, kader perlu meningkatkan
pengetahuannya tentang presisi dan akurasi penimbangan balita. Pihak puskesmas
sebaiknya tetap memberikan pelatihan pada kader posyandu seperti mengadakan
simulasi penimbangan balita termasuk prosedurnya serta membahas presisi akurasi.
Dengan begitu, kader dapat mengetahui penyebab kesalahan pengukuran berat badan
dan melakukan perbaikan sehingga hasil penimbangan oleh kader dapat lebih baik.
Maka, diharapkan selanjutnya semakin banyak kader yang menimbang balita dengan
presisi dan akurasi yang baik.
Walaupun pengukuran berat badan menggunakan dacin relatif mudah
digunakan, skalanya mudah dibaca dan cukup aman untuk menimbang anak balita.
Namun, penggunaan dacin kurang praktis, karena ukuran yang relatif besar dan berat
76
sehingga mempunyai risiko jika terjadi kesalahan dalam pemasangan alat, sehingga
sulit melihat skala dan anak biasanya menangis dan terlalu aktif. Maka, untuk
mengatasi kesalahan pengukuran perlu dilakukan usaha seperti membuat aturan
pelaksanaan pengukuran, pelatihan petugas, peneraan alat ukur secara berkala,
pengukuran silang antarobserver dan pengawasan. Beberapa solusi tersebut
seharusnya sudah diketahui oleh semua kader yang bertugas sehingga saat hari
penimbangan dilakukan, kader sudah mempersiapkan diri untuk meminimalkan
kemungkinan kesalahan yang terjadi dan bisa segera mengetahui apabila telah terjadi
kesalahan dan segera memperbaikinya (Supariasa, dkk., 2001).
6.3 Gambaran Presisi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu
Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa 48.1% kader posyandu
menimbang balita dengan presisi yang tidak baik meskipun kader yang menimbang
secara presisi lebih banyak (51.9%). Hal ini juga ditemukan pada penelitian lain,
meskipun masih ada sebagian kader yang menimbang secara presisi tetapi lebih
banyak kader yang tidak akurat (Indriaty, 2003; Fadjri, 2016, Hardiyanti, dkk, 2016).
Pada Indriaty (2003), Fadjri (2016) dan Hardiyanti, dkk (2016) diketahui bahwa
masing-masing 59.7%, 48.5%, dan 32.6% kader menimbang tidak presisi.
Menurut Gibson (2005) presisi adalah suatu derajat yang memberikan informasi
sejauh mana pengukuran ulang dari variabel yang sama memberikan nilai yang sama.
Presisi merupakan konsistensi kedekatan antara beberapa hasil penimbangan terhadap
objek yang sama pada diri individu kader. Pengukuran dapat presisi, tapi, pada saat
yang sama, tidak akurat. Kesalahan acak dapat mempengaruhi presisi. Hal ini
dikontribusi oleh pengukur, subjek yang diukur, atau instrumen. Pengukur atau
petugas antropometris perlu mengurangi kesalahan acak yang terjadi untuk
mendapatkan nilai presisi yang baik. Presisi perlu diketahui sebagai upaya
meningkatkan kekuatan untuk mendeteksi efek. Dengan diketahuinya presisi dari
sebuah data yang dikumpulkan seperti pada penilaian status gizi saat mengukur berat
badan, ini dapat mencegah kesalahan interpretasi status gizi.
77
Dari penelitian ini ditemukan bahwa presisi baik dalam menimbang balita
banyak dimiliki kader yang berumur >40 tahun (52.4%) dan telah bekerja menjadi
kader >5 tahun (50.0%). Jika dilihat dari pendidikan kader dalam penelitian ini,
ditemukan bahwa kader yang temasuk pendidikan menengah dengan presisi baik
lebih banyak (55.6%) dibandingkan dengan kader yang pendidikan dasar dan
memiliki presisi baik. Pada penelitian ini ditemukan bahwa dari 20 kader yang sudah
menjadi kader lebih dari lima tahun, sebanyak 10 (50.0%) kader yang memiliki
presisi baik, sedangkan kader yang bekerja ≤ 5 tahun dengan presisi tidak baik
sebanyak 42.9%. Lamanya menjadi kader dapat menggambarkan pengalaman
seorang pengukur antropometri, pengalaman yang sudah lebih banyak biasanya
memiliki kapasitas teknik pengukuran antropometri yang lebih baik (de Onis et al,
2004). Lama masa tugas yang lebih banyak sebagai kader dapat memberikan
pengalaman yang lebih baik dalam menjalankan tugasnya sebagai kader posyandu
(Sukiarko, 2007). Menurut de Onis et al (2004) orang yang melakukan pengukuran
antropometri setidaknya sudah harus menempuh pendidikan sekolah menengah.
Berdasarkan hasil penelitian Fadjri (2016) diketahui bahwa pendidikan kader
berhubungan dengan kualitas hasil penimbangan berat badan balita. Sedangkan pada
penelitian Hardiyanti, dkk (2016), pendidikan tidak berhubungan dengan presisi,
namun, kader yang memiliki pendidikan dasar (SD) berisiko 3.62 kali tidak presisi
dibandingkan dengan kader yang berpendidikan menengah sampai tinggi.
Berdasarkan penelitian Indriaty (2003) dan Hardiyanti, dkk (2016) diketahui bahwa
lama menjadi kader tidak berhubungan dengan presisi.
Presisi baik juga dimiliki kader yang pernah mendapatkan pelatihan.Dari tujuh
kader yang pernah mendapatkan pelatihan, sebanyak 57.1% memiliki presisi baik
dibandingkan kader yang tidak pernah mendapatkan pelatihan dengan presisi baik ada
50.0%. Pada penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pelatihan kader dengan kualitas hasil penimbangan berat badan balita. Berdasarkan
penelitian Indriaty (2003) dan Hardiyanti, dkk (2016) menunjukkan bahwa pelatihan
78
kader tidak berhubungan dengan presisi hasil penimbangan balita. Tetapi pada
penelitian Hardiyanti, dkk (2016) diketahui bahwa kader yang tidak pernah mengikuti
pelatihan berisiko 1.43 kali tidak presisi dibandingkan dengan kader yang pernah
mengikuti pelatihan.
Selain itu, pengetahuan kader yang baik dengan presisi baik sebanyak 53.8%
dibandingkan pengetahuan kader yang kurang dan memiliki presisi baik ada 50.0%,
Berdasarkan penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan
kader posyandu tentang penimbangan berat badan balita dengan kualitas hasil
penimbangan berat badan balita. Seperti pada penelitian Hardiyanti, dkk (2016),
diketahui bahwa pengetahuan penimbangan secara signifikan berhubungan dengan
presisi kader. Kader yang memiliki pengetahuan kurang cenderung 22.3 untuk
mendapatkan presisi tidak baik. Menurut Gibson (2005) seorang pengukur yang tidak
memiliki pengetahuan cukup untuk melakukan pengukuran antropometri sesuai
prosedur dapat mengakibatkan kesalahan pengukuran antropometri. Hal ini dapat
mempengaruhi nilai presisi dan akurasi hasil pengukuran. Maka, seorang pengukur
perlu memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat melakukan penimbangan sesuai
prosedur sehingga kesalahan pengukuran berat badan dapat diminimalkan.
Pada saat penelitian dilakukan terjadi kondisi yang tidak terduga seperti anak
yang gelisah atau rewel terutama setelah pengukuran kedua oleh banyak kader dan
supervisor juga bisa menyebabkan kesalahan pengukuran berat badan, dan anak
ditimbang lupa diingatkan oleh kader untuk tidak mengenakan pakaian tebal seperti
jaket, topi dan melepas sandal atau sepatu. Balita juga masih menggunakan pampers
saat ditimbang. Pada penelitian Indriaty (2003) menyatakan bahwa dari hasil
pengamatan banyak ditemukan bahwa posisi timbangan pada saat akan menimbang
dalam keadaan tidak seimbang, miring ke kiri. Selain itu, menurut Indriaty (2003)
dari hasil pengamatannya ternyata anak ditimbang menggunakan pakaian lengkap
bahkan ada yang memakai sepatu. Pengukuran antropometri yang tidak sesuai
79
prosedur dapat mengakibatkan hasil pengukuran yang tidak presisi dan tidak akurat
(de Onis, et al., 2004).
Berdasarkan pengamatan, ada beberapa kader kesulitan membaca hasil
penimbangan. Hal ini karena tinggi badan kader tidak sejajar dengan jarum penunjuk
angka skala ukur dan beberapa kader menyatakan memiliki keluhan kondisi mata
yang tidak bisa melihat dengan jelas skala angka hasil ukurnya. Seperti pada
penelitian Hardiyanti (2016) banyak kader yang umurnya sudah tua, sehingga
kemungkinan penglihatan kader sudah menurun semakin besar, selain itu kader
jarang untuk bergantian dalam bertugas. Pada penelitian ini, kader mengaku
kelelahan karena mengukur sebanyak dua kali terhadap 20 balita. Dari penelitian ini
ditemukan bahwa lima kader dari lima kelurahan berbeda yang mendapat giliran
menimbang balita pertama kali, sebanyak 60% memiliki presisi baik dibandingkan
kader yang menimbang terakhir kali. Pada kader yang mendapatkan giliran
menimbang urutan terakhir, hanya 20% yang mempunyai presisi baik.ini dapat dilihat
pada lampiran 4.
Zerfas (1979) dalam Gibson (2005) memang menyatakan bahwa kesalahan
yang umum terjadi pada semua pengukuran antropometri terutama berat badan
diantaranya adalah anak gelisah, kesalahan saat membaca hasil pengukuran,
timbangan tidak dikalibrasi ke nol, subjek mengenakan pakaian tebal, dan subjek
yang bergerak atau cemas sebagai akibat dari insiden yang pernah dialami
sebelumnya. Supariasa, dkk (2001) juga menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan
yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti kesalahan pengukuran,
kesalahan alat, dan kesalahan oleh tenaga yang mengukur. Kesalahan pengukuran
dapat terjadi karena petugas kurang berhati-hati dan prosedur pengukuran yang salah.
Penyebab kesalahan dalam pengukuran antara lain pada waktu penimbangan berat
badan, timbangan belum di titik nol, dacin belum dalam keadaan seimbang dan dacin
tidak berdiri tegak lurus, kesalahan pada peralatan dan kesalahan yang disebabkan
oleh tenaga pengukur. Kesalahan ini dapat terjadi karena petugas pengumpul data
kurang hati-hati atau belum mendapat pelatihan yang memadai.
80
Menurut Gibson (2005) solusi yang dapat diajukan untuk mengatasi kesalahan
pengukuran antropometri sehingga menghasilkan presisi yang baik antara lain
memilih metode yang tepat terhadap sumber daya yang ada, menunda pengukuran
atau melibatkan orang tua dalam prosedur pengukuran atau menggunakan prosedur
sesuai dengan budaya setempat. Selain itu, memerhatikan kondisi anak yang akan
ditimbang dengan melepas pakaian atau menggunakan pakaian seminimal mungkin,
dan tunggu sampai subjek tenang atau menghapus penyebab kecemasan perlu
diperhatikan untuk mengurangi kesalahan yang terjadi.
6.4 Gambaran Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 100% kader posyandu memiliki
akurasi yang tidak baik dalam melakukan penimbangan balita. Temuan ini, seperti
pada penelitian Indriaty (2003) diketahui bahwa 97.2% kader tidak akurat, penelitian
Fadjri (2016) 55.9% kader memiliki akurasi yang kurang dan penelitian Hardiyanti,
dkk (2016) akurasi yang tidak baik pada kader yaitu sebesar 65.2%.
Menurut Gibson (2005) akurasi adalah suatu derajat memberikan informasi
sejauh mana pengukuran dekat dengan nilai sebenarnya. Akurasi dapat dilihat dari
kedekatan hasil penimbangan terhadap objek yang sama antar kader dengan
supervisor. Akurasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan sistematis dalam pengukuran.
Semakin besar kesalahan sistematis, semakin berkurang juga akurasi. Kesalahan
sistematis ini dikontribusi oleh pengukur, subjek yang diukur, atau instrumen.
Apabila nilai akurasi diabaikan akan memberikan dampak pada kualitas data yang
dihasilkan. Menurut Gibson (2005) akurasi perlu diketahui sebagai upaya
meningkatkan keandalan sistem penilaian gizi dan meningkatkan validitas
kesimpulan.
Dalam mencapai nilai akurasi yang baik, pengukur atau petugas antropometris
perlu mengurangi kesalahan sistematis yang terjadi. Kesalahan pengukuran timbul
dari kesalahan pengukur yang dihasilkan dari pelatihan yang tidak memadai,
kesalahan instrumen dan kesulitan dalam membuat pengukuran. Pelaksanaan
81
pelatihan dan penyegaran latihan terutama mengenai akurasi dan tindakan perbaikan
oleh penyelia atau atasan perlu dilakukan dan saat mengukur (Gibson, 2005).
Menurut de Onis, et al. (2004), tidak akurat adalah kesalahan sistematis, dan dapat
terjadi karena kesalahan instrumen atau kesalahan teknik pengukuran. Kedua faktor
ini relatif dapat memberikan kesalahan sistematis untuk semua pengukuran terhadap
peralatan yang dikalibrasi dan digunakan oleh antropometris berpengalaman. Alat
ukur juga harus dikalibrasi ulang setiap subjek telah selesai diukur.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa akurasi tidak baik banyak ditemukan pada
kader yang berumur >40 tahun (77.8%). Akurasi tidak baik pada kader dengan
pendidikan dasar ada 29.6%. Berdasarkan hasil penelitian Fadjri (2016) diketahui
bahwa pendidikan kader berhubungan dengan kualitas hasil penimbangan berat badan
balita. Sedangkan pada penelitian Hardiyanti, dkk (2016), pendidikan tidak
berhubungan dengan akurasi, namun, kader yang memiliki pendidikan dasar (SD)
berisiko 2.30 kali tidak akurat dibandingkan dengan yang berpendidikan menengah
sampai tinggi.
Dari penelitian ini ditemukan juga kader yang baru menjadi kader ≤ 5 tahun
dengan akurasi tidak baik sebanyak 25.9%, dibandingkan dengan kader yang telah
bekerja >5 tahun dengan akurasi tidak baik sebanyak 74.1%. Berdasarkan penelitian
Hardiyanti, dkk (2016) diketahui bahwa tidak ada hubungan antara lama bekerja
sebagai kader dengan akurasi hasil penimbangan. Dari segi akurasi hasil
penimbangan kader, kader yang bekerja kurang dari tiga tahun berisiko 1.75 kali
tidak akurasi dibandingkan dengan kader yang bekerja lebih dari tiga tahun.
Selain itu, sebanyak 74.1% kader yang tidak pernah mendapatkan pelatihan
memiliki akurasi tidak baik.Berdasarkan penelitian Indriaty (2003) dan Hardiyanti,
dkk (2016) menunjukkan bahwa pelatihan kader tidak berhubungan dengan akurasi
hasil penimbangan balita. Tetapi pada penelitian Hardiyanti, dkk (2016) diketahui
bahwa kader yang tidak pernah mengikuti pelatihan berisiko 2.30 kali tidak akurat
dibandingkan dengan kader yang pernah mengikuti pelatihan.
82
Akurasi tidak baik juga dimiliki oleh kader dengan pengetahuan yang kurang
sebanyak 51.9%. Berdasarkan penelitian Fadjri (2016) menunjukkan bahwa ada
hubungan pengetahuan kader posyandu tentang penimbangan berat badan balita
dengan kualitas hasil penimbangan berat badan balita. Seperti pada penelitian
Hardiyanti, dkk (2016), diketahui bahwa pengetahuan penimbangan secara signifikan
berhubungan dengan akurasi kader. Kader yang memiliki pengetahuan kurang
cenderung 5.6 kali untuk mendapatkan akurasi yang tidak baik.
Berdasarkan pengamatan saat penelitian dilakukan, jika dilihat dari instrument
atau alat timbang yang digunakan, setelah pengukuran berat badan oleh kader
dilakukan berulang kali, kadang kondisi timbangan dacin yang sudah lama digunakan
ikut berubah juga menjadi kurang seimbang dan kader lupa menyeimbangkannya
kembali, ada beberapa timbangan yang baru digunakan dan kader kesulitan mengeser
bandulnya. Kader yang lupa mengkalibrasi ulang dapat menjadi penyebab kesalahan
sistematis. Pada penelitian Hardiyanti (2016) yang menyatakan bahwa dacin yang
digunakan sudah lama tidak dikalibrasi sehingga menyulitkan kader dalam menggeser
bandul. Pada penelitian Indriaty (2003) menyatakan bahwa dari hasil pengamatan
banyak ditemukan bahwa posisi timbangan pada saat akan menimbang dalam
keadaan tidak seimbang, miring ke kiri. Maka dari itu, peneliti selanjutnya sebaiknya
memerhatikan kondisi saat penimbangan dilakukan seperti menyertakan variabel
instrument yang tidak diteliti pada penelitian ini. Menurut Gibson (2005) strategi
yang dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi antara lain melakukan pengukuran
dengan mengurangi gangguan yang ada dan kalibrasi instrument. Akurasi yang baik
dapat bermanfaat untuk meningkatkan validitas kesimpulan sehingga hasil dari suatu
temuan dapat lebih dipercaya.
Kesalahan pengukuran, baik itu secara acak maupun sistematis dalam
antropometri, tidak dapat dihindari, dan harus diminimalkan dengan memperhatikan
secara dekat dengan setiap aspek dari proses pengumpulan data. Ini termasuk
memastikan bahwa ada pencahayaan yang baik saat melakukan pengukuran, rutin
83
mengkalibrasi peralatan, dan pencegahan kelelahan di antara petugas pengukur untuk
mengurangi kemungkinan kesalahan (Ulijaszek dan Deborah, 1999). Menurut de
Onis, et al. (2004) pelatihan yang memadai dan standarisasi yang terus berlanjut,
kepatuhan terhadap metode dan prosedur yang ditetapkan, dan memantau kualitas
data sangat penting untuk mengurangi kesalahan pengukuran dan meminimalkan bias
dalam studi. Menurut WHO (2008) data yang akurat akan menjadi informasi, dasar
bukti dan pengetahuan untuk membentuk tindakan kesehatan. Sumber data yang
digunakan inilah yang selanjutnya akan diolah dan didiseminasikan melalui sistem
informasi kesehatan. Dengan adanya sistem informasi kesehatan yang kuat dapat
memastikan bahwa data memenuhi standar keandalan, transparansi dan kelengkapan.
Oleh karena itu, penting untuk menilai sumber data dan teknik pengolahan yang
digunakan untuk menghasilkan indikator atau kesimpulan.
Data penimbangan yang baik dapat menjadi salah satu sumber informasi
penting dalam penguatan sistem informasi kesehatan di puskesmas. Melalui data ini,
pihak puskesmas dapat mengetahui perkembangan dan pertumbuhan balita di wilayah
kerjanya karena dapat diolah menjadi informasi mengenai status gizi balita. Ini dapat
memudahkan pemegang kebijakan dalam mengambil keputusan sesuai dengan
kondisi yang ada yang berguna dalam mendukung pembangunan kesehatan. Menurut
WHO (2008) serangkaian pendekatan yang dilakukan untuk penguatan sistem
informasi kesehatan ini dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas,
kualitas, dan penggunaan informasi kesehatan dalam pengambilan keputusan.
84
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang presisi dan akurasi
penimbangan balita oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2017 didapatkan kesimpulan sebagai berikut.
1. Gambaran faktor kader penimbang berdasarkan umur adalah lebih banyak
kader yang berumur lebih dari 40 tahun, hampir semua kader telah menjadi
kader posyandu selama lebih dari lima tahun. Selain itu, lebih banyak kader
posyandu yang belum pernah mengikuti pelatihan mengenai penimbangan
menggunakan dacin dan pengetahuan kader tentang penimbangan
menggunakan dacin juga masih kurang
2. Presisi kader posyandu dalam menimbang balita sebagian besar sudah baik,
tetapi akurasi semua kader tidak baik
3. Presisi baik dalam menimbang balita banyak dimiliki kader yang berumur >40
tahun, kader dengan pendidikan menengah dan telah bekerja >5 tahun. Presisi
baik juga dimiliki kader yang pernah mendapatkan pelatihan dan mempunyai
pengetahuan baik
4. Meskipun akurasi semua kader tidak baik, kader yang pernah mendapatkan
pelatihan memiliki nilai rata-rata selisih ∑d2 dengan supervisor lebih kecil
dibandingkan dengan yang tidak pernah mendapatkan pelatihan.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat disampaikan sebagai berikut.
1. Bagi Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
85
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam melakukan
perbaikan sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan penimbangan balita
khususnya di posyandu seperti melaksanakan pelatihan ataupun
penyegaran kader secara preriodik serta melakukan uji presisi dan akurasi
secara berkala terhadap hasil penimbangan yang dilakukan kader
posyandu, dan mengevaluasi penggunaan dacin sebagai alat penimbangan
balita
b. Petugas kesehatan diharapkan lebih optimal dalam memberikan pelatihan
pada kader posyandu, baik pemberian materi dan praktik seperti
mengadakan simulasi penimbangan balita termasuk prosedurnya serta
membahas presisi akurasi kepada kader posyandu pada pertemuan khusus
ataupun saat penyelenggaraan kegiatan posyandu
2. Bagi Peneliti Lain
a. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat menyertakan variabel instrument
atau alat timbangan lain sebagai pembanding dan kerja sama responden,
dan faktor lainnya yang tidak diteliti pada penelitian ini
b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan analisis bivariat
sehingga dapat diketahui hubungan dari setiap variabel yang diteliti.
86
Daftar Pustaka
Amsyah, Zulkifli. 2007. Manajemen Sistem Informasi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Aritonang, Irianton. 2010. Menilai Status Gizi untuk Mencapai Sehat Optimal.
Yogyakarta: Leutika Books
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka
Cipta
Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC
Azwar, Azrul. 2007. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa
Davis, B.Gordon. 1993. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian 1
Pengantar. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo
de Onis, et al. 2004. Measurement and Standardization Protocols for Anthropometry
Used in the Construction of a New International Growth Reference. Food and
Nutrition Bulletin, 25(1)
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2010. Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Pers
Depkes RI. 1997. Buku Pedoman Sistem Informasi Manajemen Puskesmas. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Ekowati, Diah. 2015. Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Kader
tentang Antropometri Melalui Pelatihan Pengukuran Antropometri [Skripsi].
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
87
Fadjri, T.Khairul. 2016. Kualitas Hasil Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu.
Aceh Nutrition Journal 1(2)
Fitri M., Hida dan Mardiana. 2011. Pelatihan terhadap Keterampilan Kader
Posyandu. Kemas 7 (1)
Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutritional Assessment Second Edition. New York:
Oxford University Press Inc
Green, Lawrence W & Marshall W. Kreuter. 2005. Health Program Planning: an
Educational and Ecological Approach 4th Edition. New York: McGraw-Hill
Hardiyanti, Rosliana. 2016. Hubungan Lama Kerja Menjadi Kader, Pengetahuan,
Pendidikan, Pelatihan dan Presisi, Akurasi Hasil Penimbangan Berat Badan
Balita oleh Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskemas Duri Kepa [Skripsi].
Jakarta: Universitas Esa Unggul
Hardiyanti, Rosliana, dkk. 2016. Knowledge on Weighing was Associated with
Cadre’s Precision and Accuracy. 7th International Symposium on Wellness,
Healthy Lifestyle and Nutrition
Harisman dan Dina, 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Kader di
Desa Mulang Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara Tahun
2012. Jurnal Dunia Kesmas Vol 1 No.4
Hurlock, E.B. 2003. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Indriaty, Cahaya. 2002. Hubungan Karakteristik Kader Penimbang dengan Presisi
dan Akurasi Hasil Penimbangannya di Kabupaten Sukabumi, Bogor, Demak
dan Semarang Tahun 2002 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia
Irawati, A., 2002. Kajian Revitalisasi Posyandu pada Masyarakat Nelayanan dan
Petani di Provinsi Jawa Barat. Center of Research and Development of
Nutrition and Food. Jakarta
88
Irma, Julianti. 2013. Pengaruh Karakteristik dan Pembinaan Kader dalam
Pelaksanaan Kegiatan Posyandu terhadap Keterampilan Kader di Wilayah
Kerja Puskesmas Hamparan Perak Tahun 2013 [Tesis]. Medan: Universitas
Sumatera Utara
Jelliffe DB dan Jelliffe EFP. 1989. Communitry Nutritional Assessment. New York:
Oxford University Press
Jogiyanto. 2010. Analisis dan Desain Sistem Informasi Edisi IV. Yogyakarta: Andi
Offset
Kemenkes RI. 2011. Buku Panduan Kader Posyandu: Menuju Keluarga Sadar Gizi.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kemenkes RI. 2011. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: SIKDA
Generik. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI
Kemenkes RI. 2016. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan Indikator Kinerja Gizi
Tahun 2015. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal
Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI
Laraeni, Yuli dan Afni. 2014. Pengaruh Penyegaran Kader terhadap Pengetahuan
dan Keterampilan Kader Posyandu Menggunakan Dacin di Wilayah Kerja
Puskesmas Dasan Cermen Kecamatan Sandubaya Kota Mataram. Media BIna
Ilmiah, Volume 8, No. 4
Lee, Robert D. dan David C.Nielman. 2010. Nutritional Assessment Fifth Edition.
New York: McGraw Hill
Lubis, Zulhaida dan Isyatun. 2015. Pengetahuan dan Tindakan Kader Posyandu
dalam Pemantauan Pertumbuhan Anak Balita. Kemas 11 (1)
Mahmudiono, T. 2007. Understanding the Increased of Child Height for Age Index
during the Decline Coverage of Posyandu Using Intrinsic, Extrinsic and
89
Macro-Environmental Factors Approach. The Indonesian Journal of Public
Health 2007; 4(1)
Munfarida, S. 2012. Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Pengetahuan dan
Keterampilan Kader Posyandu [Skripsi]. Surabaya: Universitas Airlangga
Murdick et al. 1997. Sistem Informasi Manajemen untuk Manajemen Modern.
Jakarta: Erlangga
Notoatmodjo, S. 1995. Studi Sistem Penghargaan Kader Sebagai Upaya
Melestarikan Posyandu di Jawa Barat dan Jawa Timur. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Tahun XXIII, Nomor 10, 647-650
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta
Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan. Profil Kesehatan Suku Dinas Kesehatan
Jakarta Selatan Tahun 2015. Jakarta
Razak. 2000. Permintaan Pelayanan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pesisir.
Makassar: Kalammedia Pustaka
Riskesdas. 2013. Laporan Hasil Riskesdas 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
Robins, S. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: Prenhallindo
Sucipto, E. 2009. Berbagai Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kader
Posyandu dalam Menimbang Balita dan Cakupan D/S di Posyandu Wilayah
Puskesmas Geyer II Kabupaten Grobogan [Tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro
Sukiarko, Edy. 2007. Pengaruh Pelatihan dengan Metode Belajar Berdasarkan
Masalah terhadap Pengetahuan dan Keterampilan Kader Gizi dalam Kegiatan
Posyandu Studi di Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang [Tesis].
Semarang: Universitas Diponegoro
90
Suranadi, Luh. 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Kader
Posyandu dengan Capaian Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas
Gerung Lombok Barat. Jurnal Kesehatan Prima, 5(2)
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Supranto, J. 2000. Statistik: Teori & Aplikasi, Edisi 6, Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Ulijaszek & Deborah. 1999. Anthropometric Measurement Error and the Assessment
of Nutritional Status. British Journal of Nutrition, 82
Wati, dkk. 2013. Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Keterampilan Deteksi
Dini Pertumbuhan Anak pada Kader Posyandu di Wilayah Puskesmas Sewon II
Bantul Yogyakarta. BIMIKI Vol 1 No.2
WHO. 1983. Measuring Changes in Nutritional Status
WHO. 1993. Kader Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
WHO. 2008. HMN, Framework and Standards for Country Health Information
Systems 2nd Edition
91
LAMPIRAN
92
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Saya Ajeng Sakina Gandaasri mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan penelitian mengenai presisi dan akurasi penimbangan balita oleh kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2017.
Peneliti menjamin penelitian ini tidak akan menimbulkan sesuatu yang berdampak negatif terhadap para ibu kader maupun lingkungannya. Setiap data yang ada dalam penelitian ini akan dirahasiakan dan digunakan untuk kepentingan penelitian. Peneliti sangat mengharapkan partisipasi Ibu dalam penelitian ini dengan menjawab pertanyaan dengan lengkap dan jujur.
Lembar Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian
(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama :
Alamat :
Telp/ HP : Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2017” maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian tersebut. Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa jawaban yang saya berikan diisi secara jujur dan tanpa paksaan.
Jakarta, 2017
( )
93
Lampiran 2 KUESIONER
Gambaran Presisi dan Akurasi Penimbangan Balita oleh Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Pesanggarahan Jakarta Selatan Tahun 2017
1. Identitas Responden (diisi oleh
peneliti)
1. No.responden ( ) A1
2. Nama responden ( ) A2
2. Umur ………..tahun ( ) A3
3. Pendidikan terakhir …………………… ( ) A4
4. Lama menjadi kader ………..tahun ( ) A5
5. Pelatihan
Apakah Ibu pernah mengikuti pelatihan kader tentang penimbangan balita?
(1) Ya (0) Tidak
(Lanjut ke
B)
( ) A6
Jika pernah, berapa kali Ibu mendapatkan pelatihan/penyegaran kader?
………………kali ( ) A7
Kapan terakhir kali Ibu mengikuti pelatihan kader tentang penimbangan balita?
…….bulan / tahun yang
lalu
*coret yang tidak perlu
( ) A8
94
2. Pengetahuan
B1. Bila ibu hendak menimbang apa yang perlu ibu perhatikan dari:
a. Kondisi timbangan ……………………………………………………..
( )
b. Memasang timbangan ……………………………………………………..
( )
c. Posisi bandul timbangan
……………………………………………………..
( )
d. Kondisi balita yang akan ditimbang ……………………………………………………..
( )
Lampiran 3 Formulir Pencatatan Hasil Penimbangan
Kelurahan :
Posyandu :
Nama Pengukur :
Tanggal Pengukuran :
No. Nama Anak Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
BB (kg) Pengukuran 1 Pengukuran 2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
95
Lampiran 4 Bintaro I
Pengukuran ∑d2 Selisih Supervisor 0.07 Kader I 0.14 0.07 Kader II 0.31 0.24 Kader III 0.15 0.08 Kader IV 0.34 0.27 Kader V 0.32 0.25 2ds2 supervisor = 0.14 3ds2 supervisor = 0.21
Bintaro II
Pengukuran ∑d2 Selisih Supervisor 0.06 Kader I 0.16 0.10 Kader II 0.18 0.12 Kader III 0.09 0.03 Kader IV 0.16 0.10 Kader V 0.16 0.10 2ds2 supervisor = 0.12 3ds2 supervisor = 0.18
Petukangan Selatan
Pengukuran ∑d2 Selisih Supervisor 0.08 Kader I 0.09 0.01 Kader II 0.10 0.02 Kader III 0.15 0.07 Kader IV 0.12 0.04 Kader V 0.16 0.08 2ds2 supervisor = 0.16 3ds2 supervisor = 0.24
96
Petukangan Utara
Pengukuran ∑d2 Selisih Supervisor 0.14 Kader I 0.09 -0.05 Kader II 0.10 -0.04 Kader III 0.21 0.07 Kader IV 0.29 0.15 Kader V 0.21 0.07 Kader VI 0.33 0.19 2ds2 supervisor = 0.28 3ds2 supervisor = 0.42
Ulujami
Pengukuran ∑d2 Selisih Supervisor 0.08 Kader I 0.29 0.21 Kader II 0.10 0.02 Kader III 0.15 0.07 Kader IV 0.07 -0.01 Kader V 1.17 1.09 Kader VI 1.63 1.55
2∑d2 Supervisor = 0.16 3∑d2 Supervisor = 0.24
Kelurahan Kader urutan pertama menimbang yang berpresisi baik
Ya Tidak Bintaro I √ Bintaro II √ Peetukangan Selatan √ Petukangan Utara √ Ulujami √ Total 3 2
97
Kelurahan Kader urutan terakhir menimbang yang berpresisi baik
Ya Tidak Bintaro I √ Bintaro II √ Peetukangan Selatan √ Petukangan Utara √ Ulujami √ Total 1 4
Analisis deskriptif univariat
kategorik_umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid > 40 tahun 21 77.8 77.8 77.8
<=40 tahun 6 22.2 22.2 100.0
Total 27 100.0 100.0
kategori_pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kurang 14 51.9 51.9 51.9
Baik 13 48.1 48.1 100.0
Total 27 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid dasar 8 29.6 29.6 29.6
menengah 18 66.7 66.7 96.3
98
tinggi 1 3.7 3.7 100.0
Total 27 100.0 100.0
lama_kerja
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Baru (≤5thn) 7 25.9 25.9 25.9
Lama
(>5thn) 20 74.1 74.1 100.0
Total 27 100.0 100.0
pelatihan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 20 74.1 74.1 74.1
ya 7 25.9 25.9 100.0
Total 27 100.0 100.0
kategori_akurasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak akurat 27 100.0 100.0 100.0
kategori_presisi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak baik 13 48.1 48.1 48.1
baik 14 51.9 51.9 100.0
99
kategori_presisi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak baik 13 48.1 48.1 48.1
baik 14 51.9 51.9 100.0
Total 27 100.0 100.0
Analisis crosstab
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kategorik_umur *
kategori_presisi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
kategorik_umur * kategori_presisi Crosstabulation
kategori_presisi
Total tidak baik baik
kategorik_umur > 40 tahun Count 10 11 21
% within kategorik_umur 47.6% 52.4% 100.0%
<=40 tahun Count 3 3 6
% within kategorik_umur 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 13 14 27
% within kategorik_umur 48.1% 51.9% 100.0%
100
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pendidikan * kategori_presisi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
pendidikan * kategori_presisi Crosstabulation
kategori_presisi
Total tidak baik baik
pendidikan dasar Count 4 4 8
% within pendidikan 50.0% 50.0% 100.0%
% within kategori_presisi 30.8% 28.6% 29.6%
menengah Count 8 10 18
% within pendidikan 44.4% 55.6% 100.0%
% within kategori_presisi 61.5% 71.4% 66.7%
tinggi Count 1 0 1
% within pendidikan 100.0% .0% 100.0%
% within kategori_presisi 7.7% .0% 3.7%
Total Count 13 14 27
% within pendidikan 48.1% 51.9% 100.0%
% within kategori_presisi 100.0% 100.0% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
lama_kerja * kategori_presisi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
101
lama_kerja * kategori_presisi Crosstabulation
kategori_presisi
Total tidak baik baik
lama_kerja baru(≤5
thn)
Count 3 4 7
% within lama_kerja 42.9% 57.1% 100.0%
% within kategori_presisi 23.1% 28.6% 25.9%
Lama
(>5thn)
Count 10 10 20
% within lama_kerja 50.0% 50.0% 100.0%
% within kategori_presisi 76.9% 71.4% 74.1%
Total Count 13 14 27
% within lama_kerja 48.1% 51.9% 100.0%
% within kategori_presisi 100.0% 100.0% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pelatihan * kategori_presisi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
pelatihan * kategori_presisi Crosstabulation
kategori_presisi
Total tidak baik baik
pelatihan tidak Count 10 10 20
% within pelatihan 50.0% 50.0% 100.0%
% within kategori_presisi 76.9% 71.4% 74.1%
ya Count 3 4 7
% within pelatihan 42.9% 57.1% 100.0%
102
% within kategori_presisi 23.1% 28.6% 25.9%
Total Count 13 14 27
% within pelatihan 48.1% 51.9% 100.0%
% within kategori_presisi 100.0% 100.0% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kategori_pengetahuan *
kategori_presisi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
kategori_pengetahuan * kategori_presisi Crosstabulation
kategori_presisi
Total tidak baik baik
kategori_penget
ahuan
kurang Count 7 7 14
% within
kategori_pengetahuan 50.0% 50.0% 100.0%
% within kategori_presisi 53.8% 50.0% 51.9%
baik Count 6 7 13
% within
kategori_pengetahuan 46.2% 53.8% 100.0%
% within kategori_presisi 46.2% 50.0% 48.1%
Total Count 13 14 27
% within
kategori_pengetahuan 48.1% 51.9% 100.0%
% within kategori_presisi 100.0% 100.0% 100.0%
103
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kategorik_umur *
kategori_akurasi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
kategorik_umur * kategori_akurasi Crosstabulation
kategori_akurasi
Total tidak akurat
kategorik_umur > 40 tahun Count 21 21
% within kategorik_umur 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 77.8% 77.8%
<=40 tahun Count 6 6
% within kategorik_umur 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 22.2% 22.2%
Total Count 27 27
% within kategorik_umur 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 100.0% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pendidikan *
kategori_akurasi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
104
pendidikan * kategori_akurasi Crosstabulation
kategori_akurasi
Total tidak akurat
pendidikan dasar Count 8 8
% within pendidikan 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 29.6% 29.6%
menengah Count 18 18
% within pendidikan 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 66.7% 66.7%
tinggi Count 1 1
% within pendidikan 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 3.7% 3.7%
Total Count 27 27
% within pendidikan 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 100.0% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
lama_kerja *
kategori_akurasi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
lama_kerja * kategori_akurasi Crosstabulation
kategori_akurasi
Total tidak akurat
lama_kerja baru Count 7 7
105
% within lama_kerja 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 25.9% 25.9%
lama Count 20 20
% within lama_kerja 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 74.1% 74.1%
Total Count 27 27
% within lama_kerja 100.0% 100.0%
% within kategori_akurasi 100.0% 100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pelatihan * kategori_akurasi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
pelatihan * kategori_akurasi Crosstabulation
kategori_akurasi
Total tidak akurat
pelatihan tidak Count 20 20
% within kategori_akurasi 74.1% 74.1%
ya Count 7 7
% within kategori_akurasi 25.9% 25.9%
Total Count 27 27
% within kategori_akurasi 100.0% 100.0%
106
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kategori_pengetahuan *
kategori_akurasi 27 100.0% 0 .0% 27 100.0%
kategori_pengetahuan * kategori_akurasi Crosstabulation
kategori_akurasi
Total tidak akurat
kategori_pengetahuan kurang Count 14 14
% within kategori_akurasi 51.9% 51.9%
baik Count 13 13
% within kategori_akurasi 48.1% 48.1%
Total Count 27 27
% within kategori_akurasi 100.0% 100.0%
107
Lampiran 5