gambaran hasil pemeriksaan bera dan oae pada anak bisu tuli

Upload: ventrix-gunawan

Post on 10-Oct-2015

134 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Gambaran Hasil Pemeriksaan Bera Dan Oae Pada Anak Bisu Tuli

TRANSCRIPT

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN BERA DAN OAE PADA ANAK DENGAN KELUHAN KETERLAMBATAN BICARA DI POLIKLINIK THT-KL RSUD DR

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN BERA DAN OAE PADA ANAK DENGAN KELUHAN BISU TULI DI POLIKLINIK THT-KL RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Oleh :

Fitri SholihatiPPDS I THTPembimbing :Dr. Djoko S. Sindhusakti, Sp.THT-KL(K), MBA, MARS, MSiBAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN THT-KLFK UNS / RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2010

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN BERA DAN OAE PADA ANAK DENGAN KELUHAN BISU TULI DI POLIKLINIK THT-KL RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Fitri Sholihati, dr., Djoko SS., dr. Sp.THT-KL(K)

Bagian IK. THT-KL FK UNS/RSUD, DR. Moewardi Surakarta

ABSTRAK

Latar Belakang. Pendengaran diperlukan untuk kemahiran bicara. Gangguan pendengaran yang terjadi pada usia prasekolah akan berpengaruh pada perkembangan emosional, tingkah laku, perhatian dan prestasi akademik. Pemeriksaan baku emas yang dianjurkan adalah OAE dan BERA. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hasil pemeriksaan BERA dan OAE pada anak dengan keluhan bisu tuli.

Metode dan Bahan. Penelitian ini dilakukan secara Retrospektif dengan analisa deskriptif terhadap 64 anak dengan keluhan bisu tuli yang menjalani pemeriksaan BERA dan pada 38 anak yang menjalani pemeriksaan OAE dipoliklinik THT-KL RSUD Moewardi Surakarta selama periode November 2006 sampai Maret 2008

Hasil. Pada pemeriksaan BERA dari 128 telinga (64 anak) didapatkan hasil respon auditori positif pada 88 telinga dan respon auditori negatif pada 40 telinga. Pada pemeriksaan OAE dari 56 telinga (38 anak), didapatkan 51 telinga dengan hasil refer dan 5 telinga dengan hasil Pass.

Kesimpulan. Kelompok umur terbanyak yang menjalani pemeriksaan yaitu 2 3 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki. Hasil pemeriksaan BERA terbanyak SNHL sedang berat dan gambaran OAE terbanyak Refer.

Kata kunci : Bisu tuli, BERA, OAE

ABSTRACT

Background Hearing was needed for conversation expertness. Hearing disturbance in preschool age lead to speaking development, social and emotional development, behavior, attention, and academic performance. The gold standard examination to be used are OAE and BERA. examination. The goal of the research was to analyse the result of BERA and OAE examination.

Method. The restrospective descriptif research is presented of 64 children with chief complain of deaf mutism who undergo BERA examination and 56 children with chief complain of deaf mutism who undergo OAE examination during periode of November 2006 to March 2008 in ENT clinic Moewardi Hospital Surakarta

Result out of 128 ear of 64 children are examinated with BERA and the result is 88 ear resulting positive respond in auditory and 40 ear resulting negative respond in auditory. 56 ear of 28 children are examinated with OAE and the result is 51 ear resulting refer and 5 ear resulting pass..

Conclusion The biggest age group of children with chief complain Deaf mutism is from 2 to 3 year, man more than woman. The result of BERA examination are moderat-severe in sensory neural hearing loss, with the result of OAE examination are refer.

Key word : Deaf mutism , BERA, OAE

BAB 1PENDAHULUAN1.1 latar BelakangBahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan anak. Kemampuan bicara dan bahasa melibatkan perkembangan kognitif, sensoris, psikologis, emosi dan lingkungan sekitar anak.1,2 Perkembangan berbicara dan berbahasa merupakan salah satu yang perlu dinilai dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum. Kata-kata pertama yang diucapkan oleh anak merupakan sesuatu yang dinanti-nantikan oleh setiap orang tua, karena berbicara dianggap sebagai dimulainya komunikasi verbal. Berbicara adalah aktivitas yang merupakan jalur kearah komunikasi dan interaksi sosial, yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan berbicara seseorang dapat mengemukakan secara ekspresif apa yang sedang dipikirkan. Kemampuan berbicara dan berbahasa berhubungan sangat erat dengan fungsi pendengaran. Anak yang mengalami gangguan pendengaran berat sejak lahir, proses bicaranya tidak akan bisa berkembang tanpa dibantu dengan program habilitasi.3 Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab yang paling sering yang ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan kepada dokter. Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat. Menurut penelitian Parker gangguan berbicara dan bahasa terjadi 1 % sampai 32 % populasi normal.4,5 Sedangkan dari penelitian Hendarmin tentang hasil survei kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia (1994 1996) mendapatkan prevalensi tuli sejak lahir 0,1 % dari 19.375 sample yang diperiksa. Dari angka tersebut dapat kita perkirakan berapa jumlah penderita ketulian penduduk Indonesia saat ini. Bisu atau sering disebut keterlambatan bicara atau delayed speech merupakan gangguan berkomunikasi yang dapat menghalangi kemajuan pendidikan dan perkembangan emosi pada anak.6,7 Gangguan pendengaran pada anak sering tidak disadari terutama oleh orang tuanya, dan hal ini dapat mengakibatkan handicap (hambatan) dimasa yang akan datang.gangguan ini dikatakan tersembunyi karena pada anak-anak terutama bayi dan balita belum dapat mengatakan pada kita bahwa mereka mengalami gangguan pendengaran. Bila tidak dideteksi secara dini, dan ditangani dengan baik, akan menyebabkan keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa. Disamping gangguan pendengaran dapat menyebabkan gangguan dalam hubungan sosial dan gangguan emosi serta dapat mengganggu proses akademik. Tuli atau Gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir pada seorang bayi sering sulit diketahui mengingat ketulian tidak terlihat oleh mata. Hal ini akan disadari oleh orang tua maupun pengasuhnya apabila anak tidak memberi respon terhadap bunyi. Pada anak gangguan pendengaran baru diketahui biasanya pada saat anak tidak dapat melakukan komunikasi atau berbicara sesuai dengan anak normal seusianya. Apabila gangguan pendengaran yang terjadi baik pada bayi maupun anak dalam tahun pertama kehidupannya tidak terdeteksi dan ditangani maka ini akan berdampak lebih luas antara lain terjadinya gangguan kemampuan berbicara dan berbahasa, kognitif, akademik dan social. Adanya perkembangan ilmu saat ini memudahkan kita untuk melakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak.8Untuk memeriksa fungsi pendengaran pada bayi dan anak diperlukan ketelatenan dan kesabaran pemeriksa, karena anak dan bayi belum bisa memberikan jawaban terhadap rangsang bunyi yang diberikan secara baik dan akurat. Ada beberapa cara yang dianjurkan untuk memeriksa pendengaran mereka yaitu pemeriksaan elektrofisiologis yang merupakan pemeriksaan objektif dengan menggunakan alat seperti Brainstem Evoked Respon Audiometri (BERA) dan Otoaqustic Emission (OAE).4 Dan merupakan pemeriksaan baku emas yang telah mendapat rekomendasi dari Joint Comitte on Infant Hearing. 9Dalam bidang pediatrik BERA dan OAE digunakan untuk mengevaluasi pendengaran pada bayi baru lahir (screening) yaitu melalui program Newborn Hearing Screening (NHS). Pemeriksaan terutama dilakukan terhadap bayi lahir dengan resiko tinggi. Dibidang audiologi anak penggunaan BERA dan OAE sangat menonjol terutama dalam penilaian fungsi pendengaran pada usia dini seperti bayi dan anak yang tidak kooperatif, yang sebelumnya dengan cara konvensional tidak mungkin diperiksa. Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian, upaya habilitasi harus segera dilaksanakan. American Comitte on Infant Hearing (2000) merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan. Penelitian-penelitian ini telah membuktikan bahwa bila habilitasi yang optimal sudah dimulai pada usia 3 bulan perkembangan bicara anak yang mengalami ketulian dapat mendekati kemampuan wicara anak normal.1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran Otoakustik Emission (OAE) pada pasien dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT-KL RSUD Moewardi Surakarta selama periode November 2006 sampai Maret 20082. Bagaimana gambaran BERA pada pasien dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT-KL RSUD Moewardi Surakarta selama periode November 2006 sampai Maret 2008

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umumMengetahui gambaran Otoakustik Emission dan BERA pada anak dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT-KL RSUD Moewardi Surakarta selama periode November 2006 sampai Maret 2008

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik faktor resiko pada anak yang mengalami bisu tuli

2. Mengetahui jenis ketulian dan derajat ketulian pada anak dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT-KL RSUD Moewardi Surakarta1.4 Manfaat penelitianSebagai pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, devisi Neurootologi dan devisi THT komunitasBAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran 10,112.1.1. Anatomi Pendengaran

Getaran suara lewat udara akan dihantarkan berturut-turut melalui telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam sebelum mencapai reseptor sensorik organ spiral corti (gambar 1). Telinga luar terdiri dari daun telinga (auriculus) dan liang telinga yang berakhir pada gendang telinga (membran tympani) yang berbentuk lonjong. Liang bekerja sebagai resonator, khususnya pada frekuensi dengan ketajaman tertinggi (2000 5500 Hz) dan sebagai penyangga terhadap perubahan suhu dan kelembaban yang dapat mengubah kekenyalan gendang. Membran tympani berbentuk kerucut tipis agak kaku (seperti corong kertas) yang peka terhadap getaran lewat udara.

Gambar 1 : Anatomi telinga ( dikutip dari Leblance A, 2007, Atlas of Hearing and Balance Organs)

Karena ambang pendengaran rendah, maka pemindahan energi-getar dari udara atmosfer yang dapat dimampatkan (impedance rendah) ke cairan perilimfe yang tidak dapat dimampatkan (impedance tinggi) dalam telinga dalam harus berlangsung tanpa kehilangan energi. Alat pengimbang impedance yang menghasilkan pemindahan energi yang efisien ini meliputi urutan membran tympani ke tuas padat (tulang pendengaran) ke perilimfe yang cair, ke receptor sel rambut sensorik (padat) dalam organ spiral corti. Alat ini bekerja dengan efisien transmisi sebesar 99,9 persen. Telinga dianggap sebagai penkonversi yang lebih efisien daripada mata.

Telinga tengah (cavitas tympani) merupakan ruang kecil yang terletak antara membran tympani dan telinga dalam. Pada telinga tengah terdapat tulang pendengaran (malleus, incus dan stapes) dalam telinga tengah yang berhubungan dengan faring melalui tuba auditiva atau pharyngotympanica eustachius (gambar l). Kaki stapes (sanggurdi) yang lonjong sesuai dengan fenestra vestibuli dalam labirin tulang yang menjadi tempat kontak fungsional antara stapes dan perilimfe telinga dalam. Efisiensi pemindahan energi dari membran tympani ke fenestra vestibuli diperkuat oleh 1) susunan serabut-serabut jaringan ikat dalam membran tympani dan 2) fakta bahwa membran tympani mempunyai tuas yang kira-kira 18 kali lebih besar daripada jendela lonjong. Perbedaan tuas ini menyebabkan dorongan piston hidraulik yang besar dari stapes terhadap perilimfe. Kerja tuas tulang pendengaran hanya kecil perananya, pada pemindahan energi. Jadi telinga tengah merupakan transformator yang efisien dalam mengkonversi getaran suara beramplitudo besar dan bertenaga rendah dalam udara pada membran tympani menjadi getaran beramplitudo kecil dan bertenaga besar pada jendela lonjong.

Gelombang tekanan ini merambat melalui perilimfe skala vestibuli ke atas ke helikotrema pada apeks kohlea dan diteruskan lintas membran vestibular ke endolimfe duktus kohlear. Setelah melewati helikotrema getaran merambat ke bawah melalui perilimfe skala tympani dan diteruskan ke membran basilar dan organ spiral corti dan akhimya ke membran tipis dan ulet pada jendela bundar di dasar kohlea. Membran pada jendela bundar ini menampung gerak getar perilimfe yang dibangkitkan pada jendela lonjong. Dorongan stapes ke dalam atau keluar disertai, setelah fraksi sedetik oleh gerak imbangan ke luar atau ke dalam pada membran di jendela bundar.

Organ spiral corti dan membran basilar melekat pada tiap sisi labirin tulang, sepanjang seluruh panjang gulungan kohlea yang panjangnya 35 mm. Membran berangsur makin naik makin melebar yaitu 0,08 mm pada dasar menjadi 0,52 mm pada ujung apeks. Organ spiral corti merupakan kompleks sel-sel penunjang selsel rambut yang terorganisir (gambar 2).

Gambar 2 : Penampang lintang melalui organ spiral corti ( dikutip dari Leblance A, 2007; Atlas of Hearing and Balance Organs )Sel rambut (organ akhir sensorik neuroepitel) tersusun dalam barisan sepanjang gulungan. Jumlah barisan sal rambut berkisar antara 3 buah pada dasar gulungan dan 4 buah ditengah gulungan sampai sebanyak 5 buah di dalam gulungan bagian apeks. Sel rambut dalam ditata dalam satu barisan. Sel rambut berjumlah kira-kira 20.000 buah (gambar 3)Sel rambut merupakan mekanoreseptor dimana berlangsung transduksi energi mekanis gelombang suara menjadi potensial generator pada ujung-ujung saraf kohlear. Respon dalam sel rambut dan terminal sel adalah bertingkat. Tiap sel rambut dipersarafi oleh berbagai neuron. Terminal saraf pada serabut saraf koklear yang bermielin merupakan serabut telanjang (tanpa mielin dan sarung sel neurolemma). Secara total terdapat kira-kira 23.500 sel rambut dalam organ spiral corti.

Gambar 3 : Sel rambut pada organ spiral corti (dikutip dari leblance A, 2007;Atlas of Hearing and Balance Organ

Sifat perilimfe dan endolimfe mungkin bermakna dalam kelahiran potensial reseptor dan potensial aksi. Perilimfe mirip ultrafiltrat darah yang berkomposisi sama, seperti cairan ekstraseluler lain termasuk cairan serebrospinal. Perilimfe mempunyai koinsentrasi Na+ yang tinggi dan K + yang rendah. Sedangkan endolimfe mirip cairan intra seluler yang berisi K+ tinggi dan Na+ rendah. Endolimfe dalam koklea terletak dalam duktus koklear, termasuk sel antara membran tektoria dan membran retikular organ spiral corti. Organ corti tidak mempunyai pembuluh darah sendiri, sehingga penyediaan aksigen tampaknya berasal dari perilimfe melalui kortilimfe. Penyediaan oksigen yang berkurang untuk masa singkat, sebagiannya diimbangi oleh konsentrasi enzim yang tinggi dalam kortilimfe. Enzim-enzim itu memungkinkan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan organ akan energi.

2.1.2. Jalur pendengaran

Ciri umum jalur pendengaran asendern pada sistem pendengaran terdiri dari urutan neuron yang tersusun baik secara serial maupun secara paralel. Beberapa neuron membentang dari satu nukleus ke nukleus berikutnya, neuron lain tersusun sejajar membentang dari satu nukleus dan memintasi (by pass) suatu nukleus sebelum berakhir dalam nukleus lain. Susunan semacam ini tidak memungkinkan penandaan yang tepat dalam neuron orde kedua, ketiga dan keempat. Pada umumnya urutan berikut sebagai urutan dasar (gambar 4).

Gambar 4 : Jalur pendengaran (dikutip dari Leblance, 2007; Atlas of Hearing and Balance organs )

1. Neuron orde pertama dengan badan sel dalam ganglion spiral saraf koklear membentang dari organ spiral corti dan berakhir di sentral dalam nukleus koklear dorsal dan ventral.

2. Neuron orde kedua, dengan badan sel dalam nukleus koklear dorsal dan ventral membentang dari nukleus-nukleus itu dan naik sebagai serabut menyilang dalam lemnikus lateral ke kolikel inferior.

3. Neuron orde ketiga, dengan badan sel dalam kolikel inferior mempunyai akson yang berjalan melalui brakhium kolikel inferior ke badan sel genikulat medial pada thalamus.4. Neuron orde keempat, dengan badan sel dalam badan genikulat medial berjalan dari tempat ini melalui radiasi akustik (genikulokortikal) ke korteks pendengaran primer (girus-girus temporal lintang Heschl, area 41 dan 42) Masukan dari telinga sebagian besar naik pada sisi otak yang berlawanan menerangkan mengapa suara yang didengar telinga kanan menimbulkan aktifitas saraf dalam korteks pendengaran serebrum kiri. Adanya lesi yang memutuskan jalur pendengaran asendern tidak menimbulkan tuli secara purna pada telinga yang mana saja, melainkan menimbulkan lebih banyak pengurangan pendengaran, khususnya pada sisi yang berlawanan. Komposisi proyeksi pendengaran secara bilateral membantu menerangkan hal ini. Tuli total merupakan akibat lesi bersifat bilateral sempurna pada saraf koklear, nukleus koklear atau bagian koklear kedua telinga.2.1.3 Fisiologi Suara dan Mendengar2.1.3.1 Fisiologi Mendengar

Terdapat dua aspek untuk dapat berkomunikasi, pertama aspek sensorik (input bahasa yang melibatkan telinga dan mata, dan kedua aspek motorik (output bahasa) yang melibatkan vokalisasi dan pengaturan.13Otak memiliki tiga pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat. Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area Wernicke, merupakan pusat persepsi auditoroleksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 Broadman adalah pusat persepsi visuoleksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.13Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membran timpani. Kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrana tympani dan tingkap lonjong. Energi yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana reisner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan in bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke kortek pendengaran (area 39 40) sampai dilobus temporalis dan diteruskan ke area Wernicke. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting.1,13,142.1.3.2 Fisiologi Suara

Suara manusia dihasilkan dari interaksi yang terkoordinasi dari laring, paru-paru, diafragma, otot perut, tenggorok, otot leher, bibir, lidah, buccinator dan palatum mole. Suara terdiri dari tiga proses komponen : fonasi, resonansi dan artikulasi. Fonasi adalah generasi suara denga getaran plika vokalis. Resonansi adalah getaran induksi dari saluran vokal yang lainnya untuk mengatur dan memperkuat output laring. Artikulasi adalah pembentukan suara ke dalam kata-kata yang menjadi ciri suara manusia.a. Fonasi

Suara dihasilkan oleh laring ketika aliran udara ekspirasi yang menyebabkan getaran dari ujung bebas dari plika vokalis sebagai hasil dari interaksi gaya aerodinamika dan myoelastic. Lima kondisi yang harus dipenuhi untuk menyokong fonasi normal : aproksimasi plika vokalis yang sesuai, ekspirasi yang adekuat, kapasitas getaran yang cukup dari plika vokalis, kontur plika vokalis yang baik, dan kontrol panjang dan ketegangan plika vokalis. Tepat sebelum fonasi, plika vokalis beraproksimasi di garis tengah. Ekshalasi yang kemudian menyebabkan tekanan subglotik naik sampai plika vokalis didorong terpisah. Pemisahan ini menghasilkan penurunan cepat tekanan subglotik. Plika vokalis kemudian kembali ke garis tengah sebagai akibat penurunan tekanan tiba-tiba, tekanan elastis diplika vokalis dan efek Bernoulli. Tekanan dalam trakea terbentuk sekali lagi dan siklus diulang. Selama modal fonasi, plika vokalis bergetar sebagai dua massa, dengan tepi atas tertinggal dari tepi bawah. Hal ini menghasilkan gelombang berjalan, dari kaudal ke rostral, dikenal sebagai gelombang mukosa. Dalam modus Falsetto, plika vokalis lebih tipis dan bergetar sebagai massa tunggal, sehingga gelombang mukosa tidak ada.Posisi plika vokalis merupakan faktor penting dalam fonasi. Ketika plika vokalis yang longgar didekatkan, mukosa dapat dengan mudah mengayun terbuka untuk menghasilkan fluktuasi luas dalam tekanan. Jika plika vokalis yang erat dikompresi, upaya ekspirasi lebih kuat diperlukan untuk memulai dan mempertahankan fonasi. Jika ada gap antara plika vokalis, efisiensi berkurang dan aliran udara yang lebih tinggi diperlukan untuk menginduksi getaran. Suara yang dihasilkan mendesah dan durasi fonasi dipersingkat. Dengan gap yang besar, kebutuhan aliran udara melebihi kapasitas ekspirasi dan suara mungkin berkurang menjadi bisikan.Dalam suara percakapan normal, kekuatan pendorong untuk fonasi adalah ekshalasi pasif, pelepasan energi yang tersimpan dalam tulang rusuk dan diafragma. Lebih dalam inspirasi lebih banyak energi tersimpan dan karena itu menghasilkan fonasi lebih keras dan lebih lama. Kontraksi otot perut dan interkostal memberikan kekuatan ekspirasi tambahan selam upaya fonasi yang lebih besar seperti menyanyi atau berteriak. Peningkatan kenyaringan fonasi dirasakan selama menyanyi dapat dicapai dengan teknik yang dikenal sebagai vibrator, upaya ekspirasi biasanya siklus yang bervariasi untuk menetapkan perubahan tekanan frekuensi lambat dalam output vokal. Kapasitas plika vokalis untuk bergetar secara periodik tergantung homogenitas dan fleksibilitas mukosa dan integritas lamina propia. Edema dapat meningkatkan impedansi submukosa dan merusak getaran. Trauma, infeksi atau operasi dapat menghasilkan luka yang melekatkan epitel ke otot yang mendasari dan menghalangi propagasi normal gelombang mukosa.

Kontur permukaan plika vokalis menentukan bentuk saluran glotal. Untuk menyokong fonasi normal, permukaan medial bagian getaran dari plika vokalis harus paralel kasar. Jika otot vokal adalah atropi, maka permukaan medial cekung ketimbang cembung, menghasilkan glottis konvergen yang kurang baik untuk fonasi.Perubahan panjang dan ketegangan plika vokalis mempengaruhi frekuensi getaran plika vokalis untuk menghasilkan pita suara yang dinamis. Frekuensi juga dapat dikontrol dengan mengubah ketebalan plika atau dengan membatasi panjang segmen plika vokalis yang berpartisipasi dalam getaran. Sifat fisik laring yang menentukan berbagai kisara pitch yang dihasilkan. Laring anak yang kecil memiliki rentang pitch lebih tinggi dari laring yang besar pada orang dewasa. Laki-laki dewasa muda, dengan plka vokalis yang lebih panjang dan berat serta supraglottis yang lebih dalam, menghasilkan pitch terendah pada manusia. Pada laki-laki selama pubertas, peningkatan pesat dalam ukuran seringkali melampaui kapasitas untuk adaptasi, sehingga sering terjadi perubahan pitch tiba-tiba. Ukuran bukan satu-satunya penentu rentang pitch, namun karena ossifikasi tulang rawan tiroid dengan bertambahnya usia berkontribusi pada elevasi pitch.

Banyak upaya telah dilakukan untuk model bagaimana gerakan getaran pita suara terkait dengan aliran udara global dan perubahan tekanan. Baru-baru ini, sebuah sistem telah melaporkan bahwa menggunakan langkah-langkah simultan aerodinamis dan videostroboscopic yang dikalibrasi memungkinkan fenomena ini dipelajari dalam subjek manusia selam fonasi. Laporan awal menunjukkan bahwa teknik ini memiliki kegunaan yang memadai untuk meningkatkan pemahaman kita tentang normal dan abnormal pola getaran pita suara.

b. ResonansiOutput suara dari laring yang terisolasi sama sekali tidak mirip dengan suara manusia. Fonatori output dimodulasi oleh resonansi, induksi getaran dalam dada, faring dan kepala dengan amplifikasi selektif komponen frekuensi tertentu. Resonansi tidak hanya memberikan pola karakteristik akustik suara, tetapi juga dapat memperkuat suara. Pelatihan vokal, untuk bernyanyi dan bertindak atau berbicara didepan umum, sangat berkonsentrasi pada memperbaiki dan memaksimalkan resonansi, sehingga suara paling keras dan paling menyenangkan dapat diproduksi dengan sedikit ketegangan atau tekanan pada laring. Resonansi dikendalikan dengan mengubah bentuk dan volume faring, dengan meningkatkan dan menurunkan laring, dengan menggerakkan lidah atau posisi rahang, atau dengan variasi jumlah transmisi suara melalui nasofaring dan hidung. 15c. Artikulasi

Untuk dapat mengucapkan kata - kata sebaik baiknya, sehingga bahasa yang didengar dapat ditangkap dengan jelas dan setiap suku kata dapat terdengar secara terinci, maka mulut, lidah, bibir, palatum mole dan pita suara, serta otot otot pernafasan harus melakukan gerakan sempurna. Bila ada salah satu gerakan tersebut diatas terganggu, timbullah cara berbahasa yang kurang jelas ada kata kata yang seolah olah ditelan terutama pada akhir kalimat.16 Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum molle turun untuk aliran udara.

Berbicara normal dan menyanyi merupakan kombinasi dua proses fisiologik : produksi suara dan pembentukan unit fonemik yang membentuk bahasa ucapan. Suara dibentuk di Laring oleh vibrasi pita suara, yang dihasilkan oleh aliran pernafasan. Bunyi suara yang keluar dari laring hanya mempunyai sedikit sifat bahasa atau tidak ada sama sekali. Unit fonemik yang membentuk bahasa atau tidak ada sama sekali. Unit fonemik yang dipadu menjadi kata-kata dan kalimat dibentuk di Faring, Mulut dan hidung dengan menggunakan struktur yang bergerak didaerah tersebut, gerakan-gerakan ini mengubah ukuran dan bentuk saluran nafas bagian atas, dan oleh karena itu dapat mengatur suara laring melalui resonansi dan penyaringan. Bila saluran cukup menyempit pada tempat-tempat tertentu seperti bibir , gigi, langit-langit, sehingga menyebabkan aliran udara terdengar, berhenti, atau dikeluarkan melalui hidung, maka akan terbentuk konsonan. Bila pita suara bergetar waktu aliran udara dihalangi atau dihindari, maka dihasilkan konsonan bersuara seperti b, d, g, m, n, ng, w, v, th, (this), z, zh, l dan r. Bila pita suara tidak bergetar, tetapi dilakukan sikap yang sama seperti pada pembentukan konsonan tidak bersuara , seperti p, t, k, wh, f, th, s dan sh. Konsonan m, n, ng, l, dan r dan suara huruf hidup tidak mempunyai unsur tak bersuara, kecuali bila berbicara dengan berbisik16

Salah satu fungsi laring adalah sebagai fonasi, dengan membuat suara dan menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka muskulus krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan muskulus aritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi muskulus krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menetukan tinggi rendahnya nada.17Tabel 1. Petunjuk penguasaan normal bunyi konsonan17bunyiKebiasaan artikulasi 50 % anak-anak (umur)Kebiasaan artikulasi 90 % anak-anak (umur)

p , m, n, h, w, b

k, g, d

t, ng

f, y

r, l

s

kh, sh

z

j

v

zh1,5

2,0

2,0

2,5

3,0

3,0

3,5

3,5

4,0

6,03,0

4,0

6,0

4,0

6,0

8,0

7,0

8,0

7,0

8,0

8,0+

Dari Saunder E : When are speech sounds learned? Speech Hear. Disord. 37; 55, 1972Pembentukan konsonan dan vokal yang sebagian besar dikendalikan oleh bibir, lidah, palatum dan faring. Laring juga berpartisipasi dalam artikulasi dengan koordinasi awal dan akhir dari fonasi untuk berkoordinasi dengan artikulator-artikulator atas, memproduksi suara dan bunyi.d. Input sensoris ke kontrol bicara

Salah satu mekanisme untuk mengontrol output fonatori selam bicara adalah umpan balik auditori. Namun, ketika kita berbicara atau menyanyi, kita tidak hanya membuat suara acak dan kemudian menyesuaikan pitch dan kualitas, kita juga menyetel alat suara untuk suara dimaksudkan. Ketrampilan ini dipelajari pada awal kehidupan, menggunakan isyarat yang sebagian besar tidak disadari. Bukti lain untuk keterlibatan isyarat non auditory dikontrol suara adalah kemampuan pasien tuli untuk mempertahankan cukup pola bicara yang normal. Penyanyi terlatih dapat tampil dengan kontrol pitch yang baik dan nyaring bahkan ketika mereka tidak bisa mendengar suara mereka sendiri. Sensasi taktil dari getaran yang diinduksi pada wajah, leher dan dada adalah penting bagi penyanyi terlatih. Reseptor pada laring yang mempengaruhi kontrol vokal tidak diketahui. Rangsangan seperti kontak dari permukaan mukosa, tekanan udara, peregangan kapsul sendi dan ketegangan pada otot merupakan indikator dari postur laring dan upaya ekspirasi dan dapat penting dalam pengendalian suara.152.2. Bisu Tuli2.2.1. Definisi

Yang dimaksud dengan bisu atau keterlambatan bicara adalah suatu kondisi dimana perkembangan bicara anak secara nyata dibawah rata rata normal anak yang seusianya. 18 Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran. Gangguan bicara juga berhubungan erat dengan area lain yang mendukung seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaranan. Keterlambatan dan gangguan bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang tidak normal (serak) sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme oral-otot dalam fungsinya untuk bicara dan makan. 13 Tuli atau gangguan pendengaran adalah .suatu kondisi dimana anak secara penuh atau sebagian tidak dapat mendeteksi beberapa frekwensi suara yang dapat didengar anak normal seusianya Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.17 Jenis gangguan pendengaran / ketulian adalah : Tuli Konduksi ( tuli hantaran), Tuli Sensorineural ( tuli saraf ), Tuli campuran.Tuli konduktif terjadi sebagai akibat tidak sempurnanya atau tidak berfungsinya organ telinga yang berperan menghantarkan bunyi dari dunia luar ke telinga dalam ( inner ear). Kondisi ini misalnya dijumpai pada keadaan tidak terbentuknya liang telinga sejak lahir, liang telinga tersumbat kotoran atau benda asing, telinga tengah berisi cairan, pilek atau radang tenggorok yang menyebabkan terganggunya fungsi tuba Eustachii ( saluran penghubung antara telinga tengah dengan atap tenggorok).

Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada rumah siput (koklea), saraf pendengaran dan batang otak (brainstem) sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.

Tuli campur ( mixed deafness) bila gangguan pendengaran/ ketulian konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan. Perlu diketahui bahwa untuk dapat mendengar dan mengerti bunyi diperlukan suatu proses penghantaran dan pengolahan bunyi ( di telinga ) dan dilanjutkan dengan interpretasi bunyi (di otak) Sehinga mungkin saja dijumpai kasus dengan penhantaran dan pengolahan bunyi yang baik ( dapat mendengar) namun akibat gangguan pada otak, bunyi yang terdengar tidak dapat diartikan ( auditory receptive). Hal ini terjadi pada CAPD (central auditory processing disorder) yang diagnosis dan penanganannya lebih sulit dan memerlukan kerjasama antar disiplin. 172.2.2. Kekerapan18,19Prevalensi tuna wicara atau keterlambatan bicara bervariasi diperkirakan sekitar 3 10 %. Menurut Coplan gangguan perkembangan bicara dan berbahasa terjadi pada 10 15 % anak anak pra-sekolah. Berdasarkan Survei epidemiologik di 7 Propinsi ( 1994 -1996) prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8 % dan 0.4 % ( Thailand ; 13,1 % dan 0.5 % ). Juga diketahui prevalensi ketulian sejak lahir sebesar 0.1 %. Data di Negara maju mendapatkan 1 3 penderita tuli dari 1000 kelahiran hidup.2.2.3. Etiologi20,21Etiologi terjadinya bisu tuli multifaktorial. Maka beberapa faktor yang dicurigai sebagai faktor resiko gangguan pendengaran menurut Joint Comitte on Infant Hearing (Ballenger, J.J, 2003, konvensi HTA, 2006)

1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir

2. Infeksi prenatal, TORCH

3. Kelainan anatomy pada kepala dan leher4. Sindroma yang berhubungan dengan tuli kongenital

5. Berat badan lahir rendah

6. Meningitis bakterialis

7. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi darah

8. Asfiksia berat

9. Pemberian obat ototoksik

10. Menggunakan alat bantu pernafasan / ventilasi mekanik > 5 hari2.2.4. Patofisiologi Bisu Tuli

Untuk dapat memahami masalah gangguan bicara dan pendengaran, maka perlu dipahami mengenai anatomi, fisiologi mendengar dan bicara serta adanya gangguan dalam fungsi mendengar dan bicara.. Secara umum perkembangan bicara meliputi tahap-tahap sebagai berikut : cooing, babbling, echolalia, jargon, pembentukan kata, penggabungan kata dan kalimat. 18 2.2.4.1. Auditory Expressive Language Development 18Pada awal kehidupan, akan terjadi vokalisasi pralinguistik yang belum memiliki nilai nilai simbolik seperti cooing, tertawa, babbling monosilabik ( ga, ba, da dll), babbling polisilabik atau lalling ( bababababa, dadadadada,lalalalala. Vokalisasi ini bersifat universal, pada usia yang relatif sama dan pada semua bangsa. Bayi yang lahir tuli pada awalnya juga memiliki kemampuan cooing dan babbling. Sekitar usia 6 bulan terjadi proses vocal imitation,pada bayi normal produksi vokal nya lebih terbatas mengikuti ucapan bunyi disekitarnya ( suara orang tua); sedangkan pada bayi tuli mulai terjadi penurunan produksi vokal karena terbatasnya stimulus bunyi dan auditory feedback. Pada usia 6 9 bulan, babbling seperti mama dan dada bersifat non-spesifik, hanya sekedar vocal play setelah usia 10 bulan, bayi belajar menghubungkan babbling tersebut dengan target individual (menyebut orang tua) Pada anak normal usia 12 18 bulan perbendahaaraan kata-kata tunggal mulai bertambah dan secara dramatis meningkat pesat setelah usia 18 bulan. Pada masa ini anak mulai belajar menggabungkan 2 kata sebagai kalimat pendek. selanjutnya pada usia sekitar 30 bulan mulai mampu menggabungkan 3 sampai 5 kata walaupun belum mengikuti kaidah tata bahasa ( kata pengubung, tunggal / majemuk dll). Kejelasan pengucapan kata ( intelli gibility) berangsur-angsur mengalami penyesuaian sekitar usia 2 4 tahun2.2.4.2. Auditory Receptive Language DevelopmentAuditory receptive language development adalah tahapan perkembangan belajar memahami bunyi. Pada bayi di bawah usia 4 bulan proses ini dimulai dengan mengetahui atau menyadari bunyi (alerting to sound ) dengan cara memberi respons behavioral yang umumnya bersifat refleks. Respons behavioral dimaksud antara lain mengejapkan mata ( eye blink reflex), berhenti menghisap (cessation reflex), meningkatnya frekuensi jantung, terkejut ( Moro reflex). Pada usia 4 6 bulan mulai mampu melokalisir sumber bunyi (orienting to sound) , dimulai dari arah horizontal kemudian dari arah bawah dan atas.Bayi lebih tertarik dengan stimulus berupa suara ucapan (speech sound) dibandingkan dengan bunyi lainnya (non speech sound). Alerting dan orienting to sound tidak hanya dipengaruhi keutuhan sistim auditorik namun juga berhubungan dengan kemampuan kognitif dan berbahasa. Pada usia 9 bulan, bayi memberi respons bila namanya dipanggil, mengerti kata tidak dan dapat menjalankan instruksi sederhana dengan bantuan isyarat; sekitar usia 12 bulan instruksi tersebut dapat dimengerti tanpa bantuan isyarat. Sedangkan instruksi yang lebih kompleks sudah dapat dilakukan pada usia 2 tahun. Setelah usia 2 tahun anak mulai mampu mengucapkan kalimat pertanyaan. Tabel 2. Tahap perkembangan bicara dan bahasa menurut Milestones 19umurKemampuan ReseptifKemampuan Ekspresif

Lahir2-4 bulan

6 bulan

9 bulan

12 bulan

15 bulan18 24 bulan24 36 bulan

36 48 bulan

48 60 bulan

6 tahunMelirik kearah suaraMemperlihatkan ketertarikan terhadap suara-suara

Memberi respon jika namanya dipanggilMengerti dengan kata-kata yang rutin (da da)

Menuruti dan memahami perintah sederhana

Menunjuk anggota tubuh

Mengerti kalimatMenjawab pertanyaanMengikuti 2 langkah perintah

Mengerti banyak apa yang diucapkan

Mengerti banyak apa yang dikatakan sepadan dengan fungsi kognitifMenangisTertawa dan mengoceh tanpa arti

Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (vocal) dan huruf mati (konsonan)

Mengucapkan ma ma, dad a

Bergumam, mengucapkan kata-kata, mempelajari kata-kata dengan perlahanMenggunakan/merangkai 2 kata

Menggunakan 2 kata

Frase 50 % dapat dimengerti

Membentuk 3 atau lebih kalimat

Menyakan apa

Menanyakan mengapa

Kalimat 75 % dapat dimengerti, bahasa sudah mulai jelas, menggunakan lebih dari 4 kata dalam satu kalimatMenyususn kalimat dengan baik, Bercerita

100 % kalimat dapat dimengerti

Pengucapan bahasa lebih jelas

2.2.5. Diagnosis

2.2.5.1. Anamnesis

Riwayat pasien yang harus dianalisa meliputi perkembangan, perbaikan dan deteroriation pada kemampuan anak untuk mendengar. Riwayat keluarga dengan ketulian dan adanya kelainan bawaan 202.2.5.2. Pemeriksaan Fisik

Mula mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang daun telinga apakah terdapat tanda peradangan atau sikatrik. Dengan menarik daun telinga ke atas dan kebelakang, liang telinga menjadi lurus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang telinga dan membran tympani. Dengan memakai otoskop untuk melihat lebih jelas bagian bagian membran tympani.2.2.5.3. Pemeriksaan Penunjang22,23a) Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan diantaranya adalah kadar bilirubin direct dan indirect.

b) Pemeriksaan radiologi

1) Pemeriksaan radiologi tidak diperlukan pada periode baru lahir

2) CT scan temporal diperlukan untuk menilai abnormalitas inner hair cell.

3) MRI bukan merupakan pemeriksaan standar.

c) Pemeriksaan audiologi

1) Behavioral audiometry, Visual Reinforcement audiometry, play audiometry, bila pasien > 6 bulan2) Pemeriksaan tympanometri untuk mengukur kelenturan membrane tympani dan system osikuler serta kelainan telinga tengah.3) Reflek akustik, untuk melihat kontraksi dari musculus stapedius pada telinga tengah. Penyimpangan dari nilai normal mengindikasikan gangguan pada system auditori dan saraf pendengaran.

4) OAEs, untuk menilai integritas dari out hair cell dari kohlea dan fungsi kohlea. Kohlear mikroponic z(CMs) juga untuk menilai fungsi dari kohlea.

5) BERA, hasil test yang abnormal menunjukan saraf pendengaran (nuclei otak pusat,) tidak mampu memproses suara secara benar.a. Pemeriksaan Otoacoustic emission

Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang objektif, otomatis (menggunakan kriteria PASS / lulus artinya terdapat gelombang OAE dan REFER / tidak lulus artinya ada ketulian), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal Newborn Screening).Digunakan criteria Pass (lulus) artinya ada gelombang OAE yang dapat diartikan sebagai tidak ada ketulian pada Koklea, sebaliknya bila refer (tidak lulus) artinya tidak ada gelombang OAE berarti ada ketulian pada kohlea lebih dari 40 db.

OAE merupakan respon sel rambut luar organ corti dikoklea terhadap stimulus. Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim kebatang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju keliang telinga. Produk sampingan koklea ini selanjutnya disebut sebagai emisi otoakustik (Oto Acustic Emission).

Tujuan OAE untuk mengetahui fungsi koklea, terutama fungsi sel rambut. Koklea tidak hanya menerima dan memproses bunyi tetapi juga dapat memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer hair cells). Saat suara digunakan untuk menimbulkan emisi, gelombang tersebut ditransmisikan melalui telinga luar dimana stimulus pendengaran tersebut diubah dari sinyal akustik menjadi sinyal mekanik pada membran tympani dan kemudian disalurkan melalui osikula auditiva, dan kaki stapes menggerakkan foramen ovale, menyebabkan terbentuknya gelombang pada koklea yang berisi cairan. Pergerakan cairan koklea menggerakkan membran basiler bersifat paling sensitif terhadap rentang frekwensi tertentu. Daerah yang paling dekat dengan foramen ovale bersifat lebih sensitif terhadap frekwensi rendah. Oleh karena itu untuk OAE respon pertama yang kembali dan terekam oleh mikrofon probe (sumbatan liang telinga) adalah yang berasal dari daerah frekwensi tertinggi koklea karena jarak tempuhnya paling rendah.

Pemeriksaan tidak harus diruang kedap suara, cukup diruangan yang tenang. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan, dan merupakan pemeriksaan pendengaran yang cepat dan efektif.24,25,26,27

b. Pemeriksaan BERA

BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem auditorik, bersifat objektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa dan penderita koma.28 Galambos menetapkan bahwa BERA merupakan metode pemeriksaan non invasif, objektif untuk mengevaluasi fungsi apparatus pendengaran perifer pada neonatus dan anak-anak. Sedangka Abramovich pada tahun 1987 melaporkan bahwa BERA merupakan alat audiometrik untuk mengevaluasi pendengaran secara dini dan penanggulangannya . 29

BERA menilai fungsi saraf pendengaran dan batang otak dalam memberikan respon terhadap stimulus akustik dari luar. BERA merupakan metode yang objektif dan tidak invasif untuk pemeriksaan keadaan retrokoklea. BERA menngunakan stimulus click atau tone brust yang menimbulkan respon dari regio basiler koklea. BERA akan mendeteksi sinyal evoked potensial sebagai respon terhadap stimulus akustik yang melalui jalur auditorik mulai dari nukleus koklea proksimal sampai kolikulus inferior didalam batang otak .30

BERA merupakan cara pengukuran evoked potential ( aktivitas listrik yang dihasilkan n. VIII, pusat-pusat neural dan traktus didalam batang otak ) sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Respon terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam melalui elektroda permukaan ( surface elektrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosessus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif ( gelombang I sampai V ) yang terjadi sekitar 2 12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan (1) morfologi gelombang. (2) masa laten (3) amplitudo gelombang.

Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menetukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi EP untuk masing-masing gelombang (gel I sampai V). Dikenal 3 jenis masa laten : (1) masa laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang (interwave latency dan interpeak latency) dan (3) masa laten antar telinga (interaural latency). Masa laten gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten antar gelombang I-III, III-V, I-V. Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolut gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal ini perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi bila intensitas stimulus diperkecil. Terdapat pemanjangan masa laten pada beberapa frekwensi menunjukkan adanya gangguan konduksi. Perlu pertimbangan faktor maturitas jaras syaraf auditorik pada bayi dan anak yang usianya kurang dari 12 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten, amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar dan dewasa. 31,32

Gambar 5. Berbagai gelombang BERA sesuai dengan lokasi respon. Dikutip dari Probst

Gambar 6. Gambaran BERA sesuai jenis ketulian

Interpretasi hasil tes BERA32

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan interpretasi hasil tes BERA

1. Maturitas susunan saraf central

Tes BERA pada neonatos terutama yang lahir prematur perlu dipertimbangkan factor maturitas saraf karena perpanjangan masa latensi respon. Problem keterlambatan maturasi saraf yang dapat menyebabkan kelainan pada BERA (positif palsu). Anak usia 18 bulan , masa latesi BERA sesuai dengan orang dewasa. 2. Neuropati saraf pendengaran

Respon BERA merupakan sinkroni neural, bukan tes pendengaran. Dengan demikian tidak ada respon s/d intensitas 90 dBHL pada tes BERA tidak selalu menggambarkan kondisi gangguan pendengaran derajat sangat berat/profound SNHL. Kondisi seperti pada neuropathy auditori kerusakan terjadi mulai dari sel rambut koklea bagian dalam (inner hair cell) ke arah rostral, akan tetapi kondisi sel rambut koklea bagian luar (outer hair cell) masih baik. Hasil BERA kemungkinan tidak ada respon, timpanogram normal dan reflek akustik tidak timbul, akan tetapi OAE normal. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi outer hair cell nya masih baik.

3. Kondisi pendengaran perifer

a) Pengaruh gangguan konduktif pada respon BERA

semua gelombang bergeser kekanan. Latency intensity function bergeser sesuai dengan perubahan intensitas secara proporsional dan tidak ada kelainan IWL

b) Pengaruh gangguan sensorineural pada respon ABR

Kerusakan koklea dapat mempengaruhi latency intensitas function gelombang BERA. Penurunan pendengaran di regio 1000 4000 Hz dapat menyebabkan : kemunduran latensi semua gelombang BERA, penurunan amplitudo gelombang dan kesulitan mendeteksi gelombang I .

Peranan BERA dalam bidang audiologi

1) Evaluasi fungsi pendengaran

Dapat digunakan evaluasi pendengaran secara objektif. Respon EP tidak dipengaruhi oleh kondisi pasien baik dalam keadaan tidur, pemberian sedatif maupun keadaan koma. Hal ini Sangat bermanfaat pada anak-anak yang sulit dinilai dengan tes subjektif. Misalnya pada anak dengan retardasi mental, autism atau multihandicap. Perkiraan ambang dengar dengan cara menilai intensitas stimulus terendah dimana respon EP mash dapat dinilai.

2) Diagnosis lesi retrokoklea dan gangguan pendengaran central

Kecurigaan lesi central pada gangguan pendengaran unilateral. Perpanjang masa latensi absolut, perpanjangan IWL, morfologi gelombang yang tidak normal kemungkinan lesi diretrokoklea. BERA juga membantu diagnosis gangguan pendengaran tipe central dengan gejala kesulitan komunikasi dengan hasil audiogram dan ABR dalam batas normal, hasil audiometri tutor dibawah normal.

Tabel 3. Harga-harga Normal BERA

GelombangIpsilateralKontralateral

I

II

III

IV

V

VI

VII

I III

III - V

I V1,67 + 0,13

2,71 + 0,19

3,76 + 0,21

4,98 + 0,22

5,64 + 0,71

7,24 + 0,37

8,82 + 0,41

2,17 + 0,17

1,94 + 0,15

4,08 + 0,21-

2,84 + 0,17

3,65 + 0,27

4,9 + 0,2

5,75 + 0,2

7,35 + 0,39

8,71 + 0,47

-

2,08 + 0,15

-

Diambil dari Evoked Potencial Manual hal 121

2.2.6. Penatalaksanaan

a) Terapi medik 22,23,33,34Penatalaksanaan bisu tuli diawali dengan edukasi kepada orang tua pasien mengenai kondisi anaknya yang mengalami gangguan pendengaran. Edukasi meliputi adanya gangguan bicara, pemakaian hearing aid dan pilihan terapi yang lain. Penggunaan hearing aid sebaiknya diawali sedini mungkin ketika anak berusia 3 bulan. Penggunaan hearing aid amplificatory pada hanya memberikan manfaat sekitar 50 %, hal ini ditunjukkan dengan adanya perbaikan dalam speech discrimination score sesuai dengan derajad gangguan pendengaran yang diperkirakan seperti gambaran pure tone audiometry score.

Sehingga penggunaan hearing aid pada cohlear implantation sangat direkomendasikan. Pada saat anak menjelang usia 6 bulan, test behavior audiometry threshold harus dilakukan. Gambaran yang mungkin didapat bervariasi, sehingga gambaran yang lebih akurat diperlukan dalam penatalaksanaan selanjutnya.

Terapi berkomunikasi merupakan sebuah pilihan pada pasien dengan gangguan pendengaran derajad ringan sampai berat, demikian juga pada pasien AN/AD. Penggunaan hearing aid konvensional dan model FM dapat dapat membantu dalam perkembangan kemampuan berbicara. Bila hasil evaluasi pemakaian hearing aid tidak menunjukkan perkembangan dalam kemampuann berbicara, maka terapi kohlear implant seyognya dipertimbangkan.b) Terapi pembedahan 35Kohlear implant merupakan sebuah pilihan terapi yang telah direkomendasikan oleh FDA Amerika Serikat sejak tahun 1984 terutama pada usia dewasa. Belakangan sekitar 6 tahun terakhir penggunaannya diperluas bukan hanya pada usia dewasa namun juga pada anak-anak dan diperkirakan telah mencapai 6000 kohlear implant terpasang dengan kasus yang bervariasi. Sejak tahun 2001 penggunaan kohlear implant juga banyak digunakan pada pasien bisu tuli. Penggunaan kohlear implant pada pasien bisu tuli memberikan harapan yang baik, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan mendengar.

c) Konsultasi dan Follow up 36Pasien bisu tuli lebih banyak membutuhkan perhatian dibandingkan anak normal. Pendekatan secara multidisiplin diperlukan termasuk otologist atau neurootologist, speech patologis konselor genetic, audiologist dan neurologi anak dan ahli neonatologi.]BAB 3METODE PENELITIAN3.1 Jenis dan rancangan penelitianDilakukan penelitian secara retrospektif dengan analisa deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran BERA dan OAE pada anak-anak dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT RSUD Moewardi Surakarta.3.2 Populasi, Sampel, besar sampel dan teknik pengambilan3.2.1 Populasi

Semua anak dari catatan medik dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT RSUD Moewardi Surakarta, selama periode November 2006 sampai Maret 2008, dan memenuhi kriteria inklusi3.2.2 Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh anak dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT RSUD Moewardi Surakarta, selama periode November 2006 sampai Maret 2008, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut :

a. anak dengan keluhan bisu tuli yang datang ke poliklinik THT RSUD Moewardi

b. tidak menderita kelainan kongenital pada kedua telinga

c. tidak mengalami infeksi pada kedua telingad. membrana tympani intak3.2.3 Besar sampel

Besarnya sampel ditentukan berdasarkan waktu mulai bulan November 2006 sampai Maret 20083.2.4 Teknik pengambilan

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu setiap anak dengan keluhan bisu tuli yang melakukan pemeriksaan BERA dan OAE dipoliklinik THT RSUD Moewardi Surakarta. Pemeriksaan BERA menggunakan alat ABR Stand Alone Unit EP25 dengan stimulus klik dan pemeriksaan OAE menggunakan alat Otoacustic Emisin pada kedua liang telinga.3.3 Variabel penelitian

3.3.1 Variabel penelitian

Variabel yang diamati adalah hasil pemeriksaan Emisi Otoakustik yaitu Pass dan Refer, hasil pemeriksaan BERA meliputi jenis ketulian dan derajat ketulian, faktor resiko, jenis kelamin3.3.2 Definisi Operasional Variabel

a. Anak yang diperiksa adalah anak dengan keluhan bisu tuli yang melakukan pemeriksaan BERA dan OAE dipoliklinik THT RSUD Moewardi Surakarta, yang memenuhi kriteria inklusi selama periode November 2006 sampai Maret 2008.b. Faktor resiko gangguan pendengaran menurut Joint Comitte on Infant Hearing Riwayat keluarga dgn tuli kongenital ( sejak lahir) mulai dari kakek, nenek, ayah dan ibu serta suadara kandung Infeksi pranatal : TORCH Merupakan akronum dari Toksoplasmosis: others, yaitu siphilis, Rubela, Cytomegalo virus, Varisella Zoster Virus (VZV) dan human Parvovirus, Rubella virus, Cytomegalo Virus (CMV), Herpes simplek virus (HSV) 35 Kelaianan anatomi pada kepala leher (misal kraniostosis, kelainan daun telinga dan liang telinga) Sindrom yg berhubungan dgn tuli kongenital.(sindroma Wadenburg dan sindrom Ushers) Berat badan lahir rendah (BBLR) < 1500 gram)

Meningitis bakterialis : diagnosa meningitis bakterialis ditegakkan berdasarkan kultur cairan cerebrospinalis 35 Hiperbilirubinemia ( bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar Asfiksia berat. Kriteria Asfiksia : (1) Apgar Score 0-3 > 5 menit , (2) gangguan metabolik yang berat, (3) adanya manifestasi neurologik, (4) disfungsi sistem multiorgan 35 Pemberian obat ototoksik. Aminoglikosida : Gentamisin, Kanamisin, Neomisin, tobramisin, Amikasin. Golongan Makrolide : Eritromisin, Azitromisin. Obat-obat Neoplastik : cisplatin, obat-obat diuretik : Furosemid, Etacrinic acid 35 Mempergunakan alat bantu napas /ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)

c. pemeriksaan TEOAE dan BERA dibantu oleh PT. Alat Bantu Dengar Indonesia

d. pemeriksaa TEOAE akan memberikan hasil Refer dan Pass

e. pemeriksaan BERA akan memberikan hasil gelombang I, III, V3.4 Alat dan Bahan penelitian

Pemeriksaan BERA menggunakan alat ABR Stand Alone Unit EP25 dengan stimulus klik dan pemeriksaan OAE menggunakan alat Otoacustic Emisin pada kedua liang telinga.

3.5 Lokasi dan Waktu penelitianPenelitian dilakukan dengan melihat catatan medik di poliklinik THT RSUD Moewardi Surakarta selama periode November 2006 sampai Maret 2008,BAB 4HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu 17 bulan yaitu dari bulan November 2006 sampai Maret 2008, telah dilakukan pemeriksaan BERA pada 64 anak dengan total sampel 128 telinga dan dilakukan pemeriksaan OAE pada 28 anak dengan total sampel 56 telinga.

Tabel 1 Distribusi sampel berdasarkan umur dan jenis kelaminKelompok umurJeniskelamintotal

Laki-lakiperempuan

n%n%n%

< 2 th

2 3 th

3 4 th

4 5 th

5 6 th

> 6 th5

18

4

6

027,8 %28 %

6,25 %

9,4 %

0

3,1 %815

1

4

0

112,5 %23,5 %

1,6 %

6,25 %

0

1,6 %1333

5

10

0

320,3 %51,4 %

7,85 %

15,65 %

0

4,7 %

3554,55 %2945,45 %64100 %

Pada tabel 1 jumlah sample yang berusia kurang dari 2 tahun sebanyak 13 anak (20,3 %), terdiri dari 5 anak laki (7,8 %), dan 8 anak perempuan (12,5 %), usia antara 2 3 tahun sebanyak 33 anak (51,4 %), usia antara 3 4 tahun sebanyak 33 anak (51,4 %), usia antara 3 4 tahun sebanyak 5 anak (7,85 %), usia antara 5 6 tahun tidak ada, dan usia lebih dari 6 tahun 3 anak (4,7 %).Tabel 2 berdasarkan faktor resiko terjadinya bisu tuli faktor resikon%

riwayat tuli keluarga

infeksi prenatal

kelainan anatomi kepala leher

sindroma tuli kongenital

BBLR

Meningitis bakterialis

Hiperbilirubinemia, tranfusi Asfixia berat

Obat ototoksik Alat bantu nafas > 5 hari33

0

1

4

0

0

6

1

016,716,7

0

5,6

22,1

0

0

33,3

5,6

0

18100 %

Berdasarkan tabel diatas factor resiko bisu tuli meliputi riwayat asfiksia 6 anak (33,3 %), BBLR meliputi 4 anak (22,1 %), riwayat tuli keluarga 3 anak (16,7 %), riwayat infeksi prenatal 3 anak (16,7%), sindroma kongenital 1 anak (5,6 %), obat ototoksik 1 anak (5,6 %)Tabel 3 Hasil Tes Otoacoustic Emission berdasarkan jenis kelaminHasil OAELaki-lakiperempuanjumlah

PassAD1 (1,81 %)1 (1,8 %)2

AS2 (3,6 %)1 (1,8 %)3

ReferAD17 (30,4 %)9 (16 %)26

AS16 (28,6 %)9 (16 %)25

Jumlah362056

Hasil OAE menunjukkan hasil refer/tidak lulus sebanyak 51 (91 %) telinga dan pass/lulus sebanyak 5 ( 8 %) telinga, prosentase refer lebih banyak dari passTabel 4 distribusi derajat ketulian dari hasil pemeriksaan BERABerdasarkan derajat ketulianADAS

0 - 25 db (normal)> 25 40 db(mild SNHL)> 40 55 db(moderate SNHL)> 55 70 db(moderate severe SNHL)> 70 - 90 db(severe SNHL)> 90 db( profound SNHL)1 (1,56 %)2 (3,13 %)

4 (6,25 %)

25 (39 %)13 (20,36 %)19 (29,6 %)3 (4,69 %)2 (3,13 %)1 (1,56 %)31 (48,4 %)

6 (9,38 %)21 (32,84 %)

64 (100 %)64 (100%)

Pada tabel 4 Dari pemeriksaan BERA didapatkan hasil telinga normal 4 telinga (6,25 %), mild SNHL 4 telinga (6,25 %), moderate SNHL 5 telinga (7,81 %), moderate severe SNHL 56 telinga (87,4 %), severe SNHL 19 telinga (29,68 %), profound SNHL 30 telinga (53,44 %). Hal itu memperlihatkan angka ketulian terbanyak pada moderate severe SNHL Tabel 5 Distribusi respon Audiometri yang dihasilkan pada pemeriksaan BERA

Respon auditoriN%

Positif

Negative88

4068,75 %

31.25 %

128100 %

Dapat dilihat jumlah sampel dengan respon auditori positif dari hasil pemeriksaan BERA sebanyak 88 telinga (68,75 %) sedangkan respon auditori negative sebanyak 40 telinga (31,25 %).

BAB 5PEMBAHASAN

Hasil penelitian (tabel 1 ) diatas menunjukkan bahwa dari 128 telinga, umumnya yang datang dengan keterlambatan bicara berusia dibawah 5 tahun, dengan usia terbanyak antara 2 3 tahun sebesar 51,4 %, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sininger, di AS, tanpa program skrining pendengaran gangguan pendengaran baru diketahui pada usia 18 24 bln. Sedang dipoliklinik THT Komunitas RSCM (1992 2006) didapatkan 3087 bayi/anak tuli saraf berat bilateral usia terbanyak adalah 1 3 tahun (43,7 %). Dan Yusuf M, di RSUD dr. Sutomo Surabaya (1997) yang mendapatkan usia terbanyak antara 1,5 3 tahun, menunjukkan bahwa orang tua di Solo umumnya masih kurang menyadari bahwa keterlambatan bicara dapat terjadi akibat ketulian. Sementara 3 anak yang datang pada usia diatas 5 tahun yaitu diatas 6 tahun, dapat disebabkan karena pihak keluarga atau orangtua tidak tahu, atau belum mengerti, bahwa anaknya mengalami keterlambatan bicara , kemungkinan mengalami ketulian. Seperti telah diketahui bahwa penanganan anak keterlambatan bicara adalah melalui pendidikan dan latihan. Hasil terbaik untuk penanganan tersebut adalah apabila dilakukan pendidikan dan latihan sedini mungkin, bahkan saat anak belum mulai bicara terutama bila diduga ada faktor resiko. Menurut penelitian Yoshinaga Itano (USA, 1998), bila gangguan pendengaran / ketulian sudah diketahui sebelum usia 3 bulan, selanjutnya diberikan habilitasi pendengaran mulai usia 6 bulan, maka pada saat anak berusia 3 tahun perkembangan wicara dan bahasanya dapat mendekati anak yang pendengarannya normal.Faktor resiko yang kami dapatkan pada penelitian ini melalui anamnesa dari orang tua atau keluarga penderita. Berdasarkan tabel 2 diatas factor resiko bisu tuli meliputi riwayat asfiksia 6 anak (33,3 %), BBLR meliputi 4 anak (22,1 %), riwayat tuli keluarga 3 anak (16,7 %), riwayat infeksi prenatal 3 anak (16,7%), sindroma kongenital 1 anak (5,6 %), obat ototoksik 1 anak (5,6 %). Menurut penelitian di RSCM, factor resiko tuli congenital 2 terbanyak yang ditemui meliputi : asfiksia 27,37 % dan kejang demam 15,6 %. Bila dijumpai 1 faktor risiko terdapat kemungkinan mengalami gangguan pendengaran 10,1 kali lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki faktor risiko. Kemungkinan terjadinya ketulian meningkat menjadi 63 kali bila terdapat 3 faktor risiko. Namun beberapa penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah bayi yang mengalami ketulian hanya sekitar 40 - 50 % saja yang memiliki faktor resiko. Dari kepustakaan dijelaskan (Reardon, 1997) bahwa bayi dengan factor resiko BBLR mempunyai esiko terjadinya gangguan pendengaran jika dibandingkan dengan bayi tanpa factor resiko. Biasanya pada bayi-bayi tersebut terjadi hipoksia atau asidosis, juga disebutkan bahwa pada bayi-bayi tersebut mempunyai fungsi metabolic yang immature, factor-faktor tersebut secara sinergi memberikan efek pada system auditori.Pada tabel 3 Hasil OAE menunjukkan hasil refer/tidak lulus sebanyak 51 (91 %) telinga dan pass/lulus sebanyak 5 ( 8 %) telinga, prosentase refer lebih banyak dari pass, pass berarti tidak ada ketulian kohlea, sebaliknya bila TEOAE reffer berarti ada ketulian kohlea lebih dari 40 dB. Distribusi jenis kelamin bayi yang diteliti oleh Khairi et all (2005) terbagi menjadi 45,4 % perempuan dan 54,4 % laki-laki dan 0,2 % berkelamin ganda. Mashari (1999) di RSUP Dr. Sardjito DIY periode bulan Januari 1995 Desember 1998, ketulian lebih banyak ditemukan pada laki laki yaitu sebanyak 51,7 % dibandingkan perempuan sebanyak 48,93 %.Pada tabel 4 Dari pemeriksaan BERA didapatkan hasil telinga normal 4 telinga (6,25 %), mild SNHL 4 telinga (6,25 %), moderate SNHL 5 telinga (7,81 %), moderate severe SNHL 56 telinga (87,4 %), severe SNHL 19 telinga (29,68 %), profound SNHL 30 telinga (53,44 %). Hal itu memperlihatkan angka ketulian terbanyak pada moderate severe SNHL yaitu 87,4 % kemudian profound SNHL yaitu 53,44 %. Dari penelitian dipoliklinik THT Komunitas RSCM (1992 2006) didapatkan 57 % (3087 bayi/anak) tuli saraf berat bilateral. Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor keturunan) dan non genetik. Untuk mencegah terjadinya tuli herediter sebaiknya hindarilah perkawinan antar keluarga / sedarah. Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf ( sensorineural) derajat berat sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dl lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata. Pada tabel 5 dari pemeriksaan BERA memberikan hasil respon auditori positif 88 telinga, sedangkan respon auditori negatif pada 44 telinga. Lebih banyak respon auditori yang positif menandakan alat ini dapat merekam potensial listrik yang dihasilkan sel-sel koklea selama menempuh perjalanan mulai dari telinga dalam hingga inti-inti tertentu dibatang otak dengan cara melakukan penyadapan impuls listrik melalui elektroda-elektroda yang dipasang pada kulit kepala dan mastoid. Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuannya milidetik) mulai saat pemberian impuls sampai timbul reaksi dalam bentuk gelombang. Jadi sekalipun gelombang yang timbul memiliki bentuk, amplitude dan masa laten yang abnormal, dapat dikatakan respon positif karena impuls auditori dapat dibangkitkan. Sebaliknya jika gelombang tidak dapat dimunculkan atau memiliki bentuk yang datar, maka kemungkinan penderita mengalami ketulian sensorineural yang berat dimana kerusakan terletak pada koklea.

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN6.1 Kesimpulan1. Dari 64 anak , kelompok umur terbanyak yang menderita bisu tuli yaitu 2 3 tahun (51,4 %) , denganjenis kelamin terbanyak laki laki (54,55 %)

2. Faktor resiko terbesar penyebab bisu tuli dalam penelitian ini adalah asfiksia 33,3 % kemudian BBLR 22,1 %

3. Dari 56 anak yang menjalani OAE menunjukkan hasil refer/tidak lulus sebanyak 91 % telinga dan pass/lulus sebanyak 8 %4. Dari hasil pemeriksaan BERA sebanyak 128 telinga didapatkan terbanyak SNHL moderate-severe 87,4 % , kemudian profound SNHL 53,44 %. 6.2 Saran

1. Perlu dilakukan screening pendengaran pada bayi baru lahir di RSUD Moewardi Surakarta, baik menggunakan OAE maupun menggunakan BERA sebagai upaya preventif dan promotif gangguan pendengaran sedini mungkin 2. dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dengan jumlah sampel yang lebih besar agar dapat diketahui angka kejadian hasil pemeriksaan BERA dan OAE secara lebih akurat

3. Untuk dilakukan sosialisasi pada orang tua khususnya di Surakarta, agar melakukan skreening pendengaran pada bayi mereka sejak lahir sehingga gangguan pendengaran dapat terdeteksi sedini mungkin.DAFTAR PUSTAKA1. Ramin A, David TW. Dalam : Richard EB, Robert MK, Hal BJ. Penyunting. Nelson Text Book of Pediatrics. Edisi ke-18 Philadelphia: Saunders, 2004; 151-61

2. Soetjiningsih, Perkembangan Anak dan Permasalahannya. Dalam : Narendra MB, Sularyo, Soetjiningsih, suyitno H, Ranuh IG : penyunting. Buku Ajar tumbuh kembang anak dan remaja; Edisi-1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, Sagung Seto, 2002: 913. Law J. Factors Assosiated With Language Impairment In: The Early Identification of Language Impairment I Children. Chapman and Hill. 1992. pp 1-18 (sat 1

4. Bussori, Waggeler MN, How to Investigated and manage the Child who is slow to speak, BMJ, 2004: 328 : 272-276

5. Parker S, Zuckerman B, Augustin M; Developmental and Behavioral Pediatric (2nd ed) Language Delay: Philadelphia: Lippincott William & Wilkin, 2005

6. Soedarmi M. Pola penanganan penderita tuna rungu dan peran tympanometri dalam membantu menetukan derajat tuli. Dalam kumpulan Naskah pertemuan Ilmiah Tahunan PERHATI tahun 1996, Batu, Malang; 408-417

7. Mashari. Faktor-faktor prognostic yang mempengaruhi prestasi belajar anak tuna rungu di SDLB Kalibayem. Dalam ORLI, Vol. XXXI, No. 3, Juli-September, NO.4, Okt-Des 2001; 19-25 8. Zizlavsky S. Gangguan Dengar Pada Bayi dan Anak. Deteksi Dini, Diagnosis dan Penanganan. Dalam simposium Telinga Sehat Menjamin Pendengaran yang Sempurna. Jakarta 2008

9. Alviandi W. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran dan Wicara. Dalam simposium Sehari Mengenal Keterlambatan Wicara Pada Anak. Jakarta 2004.

10. Soetirto, Hendarmin, Bashirudin; Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga, dalam Buku Ajar Ilmu kesehatan telinga hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam, Balai Penerbit FK UI, jakarta, 2007, hal : 10 22

11. Mills JH, Kharilawa SS, Weber PC; Anatomy and Physiology of Hearing: in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages : 1883 1903 12. Leblane A, Atlas of hearing dan balance organs. A practical guide for Otolaryngologist . Springer. 200013. Guyton AC, Hall JE. Dalam : Irawati Setyawan, penyunting. Buku ajar fisiologi kedokteran14. Heidi M. Fieldman. Evaluation and Management of Speech Language disorder in Pre school Children. Pediatric in Review 2005; 26 (4) 131-134 15. Gayle E. Woodson; Upper Airway Anatomy and Function: in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages : 694 702

16. Virginia W, Meredith G, Dalam : Adam, boeis highler. Gangguan bicara dan bahasa. Buku ajar penyakit telinga, hidung, tenggorok. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997 ; 3974-1010. 17. Mooer G.P, Hicks D.M, dan Abbot T. M, Gangguan Bicara dan Bahasa. Dalam : Ballenger J. J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1, alih bahasa: Staff ahli THT RSCM FKUI, Bina rupa Aksara, Jakarta, hal : 786-9

18. Suwento, R. Keterlambatan Bicara dan Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak. Komnas PGPKT. 2007: 1-2 19. Coplan J. Early Languange Milestone Scale-2 ; Examiner Manual.2nd ed. Pro-ed. Texas,1993 20. Ballenger J.J Diagnostic Audiology, Hearing Aids and Habilitation Option; in Ballengers. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 6th edition : 145 7

21. Konvensi Health Technology Assesment. Joint Comitte on Infant Hearing. KODI. THT Komunitas PP. PERHATI KL. DITJEND YANMEDIK Spesialistik Depkes RI 200622. Carlson DI, Reeh HL; Pediatric Audiology : in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages : 1276 1288.23. Brookhouser PE; Sensory Hearing Loss : in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages : 1289 1302.24. Probst R et all, Objective Hearing Test in Basic Otolaryngology. Step by step Learning Guide. Thieme, New york, Stutgart, 2006 : p. 184-91(ten 4)

25. Thompson. DC, Mc Phillips. H, Davis. RL, Lieu. TA. Universal Newborn Hearing Screening. JAMA. 2001;286:2000-2010.26. Chawla D, Agarwal R., Deorai AK, Paul VK. Retinopathy of prematury. Indian Journal of Pediatrics. 2008;75(1):73-76.27. De Capua B, et all. Newborn hearing screening by transient evoked otoacoustic emissions: analysis of response as afunction of risk factors. Acta Otorhinolaryngol Ital 2003;23:16-2028. Mustarsid , Deteksi dini gangguan pendengaran pada neonatus dalam symposium deteksi dini gangguan pendengaran, Juli 2008 29. Suwento R, Zizlavsky S, Hendarmin H ; Gangguan pendengaran pada Bayi dan Anak dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi ke-630. Purmessur MNS, Singh RS. BERA in Diagnosis of Deafness In Children. A retrospective survey of its use in a district general hospital. The J Laryngol and Otol 1988; 102: 981-531. Suwento .R. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dan Anak. Dalam Seminar Sehari Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Dan Ketulian. Semarang 2007

32. Abiratno S. F. OAE & ABR, Prinsip dasar, metodologi dan aplikasi klinis dalam Workshop : Peranan OAE dan ABR dalam klinik. RSUD Dr. Soetomo/FK Unair. Surabaya, 2003;11-20 33. Johnson R, Greinwald J; Genetic Hearing Loss : in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages : 2279 2292.

34. Ricketts TA, DeChicchis AR, Bess FH; Hearing Aids and Assistive Listening Devices : in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages : 2279 2292.35. Miyamoto RT, Kirk KI; Cochlear Implants and Other Implantable Auditory Prostheses : in Bailey, Bayron J, Johnson, Jonas T, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed 4 th, Lippincott Williams and Wilkins, 2006, Pages: 2265 2276.36. Gomello et all, Follow up of High Risk Infants. In: Lange, Clinical Manual Neonatology Management, Procedures, On Call Problems, Diseases and Drugs. 5th Ed. Mc. Graw Hill Companies. USA, 2004: 139-43LAMPIRANALUR DETEKSI DINI GANGGUAN WICARA DAN DENGAR ANAK 15

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Otoskopi

1. Test reaksi (behavior Test)

2. FFT (Free Field Test)

3. Timpanometri

4. Echoscreen (screning OAE)

5. BERA

6. OAE

7. Audiometri (>5 tahun)

Pendengaran normal

pendengaran abnormal bilateral

Ggx. Wicara bahasa

ggx. Wicara

Tuli saraf sedang

tuli konduktif/campur

Evaluasi :

kelaianan TL/TT

Visual reinforcment

kelaianan kongenital

Audiometri Behavioral

(atresia LT, Mikrotia)

Observational Audiometri

OME

Penatalaksanaan

disesuaikan

(lihat bawah)

Assesmen komunikasi

1. Kelainan wicara

2. Kelaianan suara

3. Kelainan bahasa

4. Kelainan irama

Assesmen psikologi

IQ Normal

IQ Normal

IQ NormalIQ Normal

Pend normal

pend. Abnormal

pend. NormalPend. Abnormal

Ggn. Wicara

Ggn. Wicara

Ggn. WicaraGgn. Wicara

..................................................................................................................................Terapi Wicara

Sekolah biasa

SLB-B, ABD

SLB-C

SLB-C, ABD

Sekolah khusus

integrasi sek. Biasa Guideline Penyakit THT-KL (PERHATI-KL)STRATEGI TES PENDENGARAN PADA ANAK 24( Dikutip dari Audiologi Pediatri oleh : Dr. S. Faiza Abiratno Sp.THT-KL MSc Audiolmed)

PERTIMBANGAN SESUAI USIA ANAK

(DIKELOMPOKAN DALAM 3 GROUP)

RIWAYAT ANAK

Lahir --- 4 Bln

5 --- 24 Bln

25 ---- 48 Bln

Elektrofisiologi

Elektrofisiologi

Audiometri Behavioral

Audiometri Behavioral

Elektrofisiologi

OAE : DPOAE-TPOAE

OAE : DPOAE-TPOAE

ABR :

Behavioral Audiometri

Latency-intensitas function> Telinga yg spesifik

Stimulus TB

> Stimulus nada murni

Stimulus BC

> Stimulus kata-kata

Elektroakustik Imitans

Pengaturan Imitans

Timpanometri

> Timpanometri

Refleks Akustik

> reflek Akustik

BOA

ABR

EMBED Word.Picture.8

Anak dengan :

Terlambat bicara

Belum bicara

Bicara tak jelas

Gangguan wicara

Reaksi dengar kurang

Curiga gangguan pendengaran

PAGE 1

_1000103778.doc