buta tuli dan bisu dalam al-qur’an
TRANSCRIPT
BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN
(KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Sholihatina Sadita
NIM: 11140340000186
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
Ahmad Rifqi Muchar, MA
Di bawah Bimbingan:
BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN
(KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Sholihatina Sadita
NIM: 11140340000186
NIP. 196908221997031002
PROGRAM STUDI ISLAM AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H /2020 M
i
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 07 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M. Ag.
Fahrizal Mahdi, Lc.,MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, M. Ag.
Moh. Anwar Syarifuddin, MA. NIP. 19600908 198903 1 005 NIP. 19720518 199803 1 003
Pembimbing,
Ahmad Rifqi Muchtar, MA. NIP. 19690822 199703 1 002
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sholihatina Sadita
NIM : 11140340000186
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Alamat Rumah : Kp. Cirarak Desa Kiarasari Kec. Sukajaya Kab.
Bogor Rr/Rwe 04/05
Telp/Hp : 085859981359
Judul Skripsi : Tuli, Bisu dan Buta dalam Al-Qur’an (Kajian Ayat-
Ayat Amtsal)
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Uin Syarih
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlakudi UIN Syarif Hidayatullah
Jakara.
Ciputat, 31 Maret 2020
Sholihatina Sadita
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż zet dengan titik atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
ẓ zet dengan titik bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qi ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.
Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah ـ
I Kasrah ـ
U Ḍammah ـ
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ Ai a dan i
و ـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab
dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ىا
Ī i dengan topi di atas ىي
Ū u dengan topi di atas ىو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf ال dialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
الجامعة الإسلاميةAl-jāmi‘ah al-
islāmiyyah Diikuti oleh kata sifat
waḥdat al-wujūd وحدة الوجودDiikuti oleh kata
benda
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih
aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang,
dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya:
Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū ‘Abdullāh Muhammad
Al-Qurṭubī
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait
nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn
al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:
Kata Arab Alih Aksara
آن Faiżā qara’ta al-Qur’āna فإذا قرأ ت ال قر
نون Fī kitābin maknūn في كتاب مك
آن Afalā yatadabbarūna al-Qur’āna أفلا يتدبرون ال قر
رون Lā yamassuhū illa al-Muṭahharūna ل يمسه إل ال مطه
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
MSI Mushaf Stndar Indonesia
MP Mushaf Pakistan
ABSTRAK
SHOLIHATINA SADITA (11140340000186)
Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an (Kajian Ayat-ayat Amṡāl)
Penulis mengambil tiga ayat yang di dalamnya terdapat lafaz-lafaz
ṣummun bukmun dan umyun yaitu surat Hūd(11) ayat 24, al-Nahl ayat 76
dan al-Baqarah(2) ayat 171. KPenulis menggunakan metode tafsir mauḍūi
dengan menggunakan beberapa penafsiran yaitu dari al-Ṭabari, al-Qurṭubi,
Sayyid Qutb dan al-Azhar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa lafaz tuli,
bisu dan buta dalam ketiga ayat tersebut adalah sebagai simbol konkrit dari
keadaan orang-orang yang tidak mampu memanfaatkan anggota tubuhnya
sebagai jalan mencari kebenaran ajaran Allah Swt dan rasul-nya. Pada surat
Hūd Allah membandingkan dua golongan sebagai pelajaran supaya
manusia memberikan nilai yang baik dalam kehidupan dan memilih sengan
segenap kesadaran akan perannya di muka bumi ini. Pada surat al-Nahl ayat
76, Allah membuat dua permisalan untuk menjadi renungan dan pelajaran
bagi manusia untuk tetap selalu mencari dan memilih jalan kebanaran. Ayat
terakhir surat al-Baqarah(2) ayat 171 yaitu allah membuat gambaran
kesesatan orang-orang kafir yang enggan untuk menerima kebenran Tauhid
Allah dan ajaran nabi-nabi-Nya dan mereka lebih memilih ber-taqlid
kepada ajaran-ajaran nenek moyang mereka yang juga berada di dalam
kesesatan.
Adapun makna amṡal dari ketiga ayat adalah, ketiganya sama-sama
menekankan pentingnya mendalami tauhid dan mempelajarinya dengan
segenap hati dan dengan seluruh anggota badan. Ayat ini juga
memperingatkan tentang bahayanya ber-taqlid buta dalam hal Tauhid dan
ibadah. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa itu adalah perilaku yang
dilakukan oleh para penentang-Nya yang Allah ceritakan dalam ayat-ayat
ini. Sifat dan perilaku merekalah yang akhirnya membawa mereka terus
menerus terjerumus di dalam kesesatan.
Penyampaian dengan menggunakan Amṡāl merupakan salah satu cara al-
Qur’an untuk lebih dalam menyentuh sanubari dengan gaya bahasa yang
biasa digunakan masyarakat bangsa Arab, dengan nilai sastra yang tinggi
dan nilai moral yang dibutuhkan saat wahyu-wahyu itu turun.
Kata Kunci: Ṣummun, bukmun,Umyun.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmȃnirrahȋm
Segala puji serta syukur tak hentinya penulis panjatkan ke hadirat Allah
swt, karena dengan izin dan kasih-Nya penulis mampu untuk
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta para sahabatnya,
keluarganya, serta mereka yang berjuang di jalan Allah dan Nabi-Nya,
sehingga sampai kepada penulis yang juga berjuang menyusun skripsi dan
dapat meyelesaikannya dengan judul: Buta, Tuli dan Bisu dalam Kajian
Amtsal.
Rampungnya skripsi ini,tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak
yang turut memberikan andil, baik secara langsung maupun tidak langsung,
baik moril maupun materil. Maka sepatutnya peneliti mengcapkan rasa
syukur, terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Amany Lubis MA, selaku rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Yusuf Rahman MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta
jajarannya.
3. Eva Nugraha MA, selaku ketua jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
dan juga kepada sekretaris jurusan Fahrizal, yang telah banyak
membantu penulis agar skripsi ini menjadi baik.
4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis khususnya
pada bidang tafsir, serta selalu meluangkan waktunya dalam
membantu penulis menyelesaikan tugas ini dengan penuh
kesabaran.
5. Seluruh Dosen dan staff \pengajar pada program studi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan,
bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis
selama masa studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Orang-orang tersayang, mama tercinta Ibu Nunung Faridah dan
ayah Kasmid Arta, juga alm Bapak Romli Koto, Umi Hikmah, Abah
Ahmad Degel yang telah mendoakan, mendukung, memotivasi
dengan bimbingan dan kasih sayang kepada penulis dalam
perjalanan menyelesaikan masa studi. Terima kasih untuk uwa
tercinta Mimih Ida, Abi Nadia, teh Ncie dan keluarga yang banyak
membantu dengan ikhlas dan mendukung penulis dengan penuh.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih dan sayang untuk adik-
adik ku yang telah ikut mendoakan Rusli Sulaiman, Fajar dan Intan.
7. Untuk teman-teman terkasih yang selalu menemani dalam
perjuangan ini, azizah, tria, mia, himma, mia, nuris, aal, dhea,
nurfik, laila, putri indriani, alya Ina, mba may, Imas, badiah, ka ani,
mujiyanti dan teman-teman lain yang banyak memotivasi serta
menghiburku. Terima kasih kawan-kawan, semoga pertemanan kita
sampai ke surga-Nya.
8. Dan terimakasi juga kepada kawan-kawan bagai saudara yang jauh
di mata dekat di hati, terkhusus Raden Ghaitsa Khoirunnisa,
Sumayyah Bajrey, Opi Rani, Sellyda Puji, Siti Fajar dan kawan-
kawanku yang lainnya di mana pun kalian berada. Kalian akan tetap
menjadi bagian terbaik dalam hidupku.
9. Dan pihak-pihak lain yang telah banyak berkontribusi membantu
penulis tetapi tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah swt
membalas kebaikannya. Aamin.
Ciputat, 31 Maret 2020
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
A. Latar Belakang............................................................ ................2
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah..................... .... ...................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka.......................................................... ................10
E. Metode Penelitian dan Sumber data..............................................13
F. Sistematika Penulisan....................................................................15
BAB II KAJIAN TEORITIS AMSAL DAN DIFABILITAS
A. Kajian Teroritis Amsal ...................................... ............................21
B. Kajian Teoritis Buta Tuli dan Bisu........................ .........................38
C. Klasifikasi Ayat-Ayat Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an.. ......54
BAB III MAKNA BUTA TULI DAN BISU MENURUT KAJIAN
AMSAL
A. Gambaran orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dalam
surat Hud(11) ayat 24…………………………………………….56
B. Gambaran orang-orang yang menjadikan sekutu selain Allahdalam
surat al-Nahl(16) ayat 76…………………………………………63
C. Orang-orang yang tidak memanfaatkan pancaindra untuk menerima
kebenaran dalam surat al-Baqarah (2) ayat 171………………….71
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 81
B. Saran ......................................................................................82
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi. Kemujizatan al-
Qur’an akan terus terbukti dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah
Swt menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw demi
membebaskan manusia dari gelapnya hidup menuju kepada
cahaya kebenaran ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang
benar. Nabi menyampaikan kepada para sahabatnya sebagai
penduduk asli Arab yang sudah pasti dapat memahami kebiasaan
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka
tentang ayat-ayat yang disampaikan kepada mereka, mereka
langsung menanyakannya kepada Rasulullah.1
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan
sifat. Salah satunya adalah bahwa ia merupakan kitab yang ke-
otentikannya dijamin oleh Allah Swt., dan ia adalah kitab yang
selalu dipelihara.2 Jaminan ini diberikan atas dasar
kemahakuasaan-Nya, melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh
manusia. Dengan adanya jaminan tersebut, setiap muslim percaya
1Mannā Khalīl al-Qaṭan, Mabāhis Fi Ulumil Qu’an, terj. Aunur Rafiq
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 3. 2 M Quraish Ṣihāb, Membumikan al-Qur’an Fungsi Wahyu dan Peran
dalam Kehidupan Masyarakat cet ke-18 ( Bandung: Mizan, 1999), 21. فظون كر وإنا لهۥ لح لنا ٱلذ [٩ة الحجر]سور٩إنا نحن نز
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya
2
bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an tidak
berbeda dengan apa yang pernah didengar dan dibaca oleh
Rasulullah saw dan para sahabatnya.3
Al-Qur’an sebagai mukjizat merupakan kitab yang berbahasa
Arab dengan gaya bahasa yang amat indah. Al-Qur’an sendiri
menantang orang-orang Arab waktu itu supaya bergabung
bersama-sama jin untuk membuat semacam al-Qur’an, tetapi
mereka tidak akan mampu membuatnya sekalipun salinng bantu
membatu.4 Orang-orang yang dapat mengetahui kemukjizatan dan
keindahan bahasa al-Qur’an adalah mereka yang paham betul
seluk-beluk bahasa AFrab. Oleh karena al-Qur’an adalah bagian
dari Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad Saw. Maka kemukjizatan al-Qur’an bersifat
universal dan untuk manusia seluruhnya. Karenanya kemukjizatan
itu ada yang telah diketahui oleh orang-orang terdahulu, ada yang
sedang kita ketahui dan ada yang akan diketahui oleh generasi
setelah kita.5
Mengutip dari al-Zarqāni, ia menyatakan bahwa al-Qur’an
berisi ribuan mukjizat. Ia mengemukakan bahwa beberapa segi
yang menurutnya dipandang bebas dari cacat. Di antaranya adalah
3 M Quraish Ṣihāb, Membumikan al-Qur’an, 21 4 Lihat QS. al-Isrā ayat 88
أن يأتوا قل لئن ٱجتمعت نس وٱلجن على ذا ٱلقرءان لا يأتون ٱل بمثلهۦ بمثل ه
٨٨ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain"
5 Chotibul Umam dalam Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok, Sejarah
dan Wacana Kajian (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004), 114.
3
segi bahasa dan uslub-nya. Ketinggian bahasa dan uslub-nya tidak
dapat diingakari karena ia tidak dapat ditandingi oleh siapa pun.6
Pakar bahasa Abu al-Hadid (w. 1258 M), seperti dikutip oleh
al-Suyūṭi, mengibaratkan bahwa keindahan bahasa al-Qur’an
seperti seorang perempuan yang menyandang aneka tolok ukur
kecantikan seperti warna kulitnya putih menarik, bibirnya bagai
delima merekah, matanya bagai bintang kejora, hidungnya
mancung menarik, dan perawakannya semampai. Kemudian ada
perempuan yang secara tolok ukur kecantikan dia lebih rendah,
akan tetapi lebih menarik dan membuat perhatian tertuju padanya.
Yang demikian adalah peranan rasa, ilimu-lmu kebahasaan dapat
membantu, tapi rasalah yang lebih memiliki peran.7
Kemudian Imam Fakhr Al-Dīn al-Rāzi berpendapat bahwa
aspek kemukjizatan al-Qur’an terletak pada kefasihan kata-
katanya, keunikan gaya bahasanya dan kesempurnaan redaksinya.
Berbeda dengan al-Rāzi, al-Zamlākāni menegaskan bahwa aspek
kemukjizatan al-Qur’an dikembalikan pada susunan spesifiknya
(al-ta’līf al-khasāsh), bukan pada susunan globalnya (mutlaq al-
ta’līf). Mengenai ini Ibnu ‘Aṭiyah juga berpendapat bahwa yang
benar dan sesuai dengan pendapat mayoritas ulama dan para
intelektual adalah kemukjizatan al-Qur’an terletak pada keindahan
susunan, validitas makna, dan kesinambungan dalam kefasihan
6Rahmat Syafei, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 60. 7 M Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 337-338.
4
kata-katanya. Sebab Allah Swt., mengetahui segala sesuatu,
termasuk pengetahuan tentang menyusunan kalimat.8
Selanjutnya menurut Mannā Khalīl al-Qaṭān hakikat-hakikat
yang tinggi dalam makna dan tujuannya akan memperlihatkan
gambarannya dengan lebih menarik jika dituangkan dalam
kerangka retorika yang indah. Dengan analogi yang tepat, ia akan
lebih dekat kepada pemahaman suatu ilmu yang telah diketahui
secara yakin. Tamṡīl(perumpamaan) merupakan kerangka yang
dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup di
dalam pikiran. Biasanya hal ini dilakukan dengan metode
“mempersonifikasikan” sesuatu yang gaib dengan yang hadir,
yang abstrak dengan yang konkrit, atau dengan menganalogikan
sesuatu hal yang serupa. Dengan tamṡīl, banyak makna yang
asalnya baik, menjadi indah, menarik dan mempesona. Karena
tamṡīl dianggap mampu mendorong jiwa untuk menerima makna
yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas.9
Sedangkan dalam al-Qur’an nama lain dari tamṡīl adalah Amṡāl
al-Qur’an yang merupakan salah satu cara al-Qur’an
menyampaikan pesan. Amṡāl adalah bentuk jamak dari kata
maṡalyang mempunyai banyak arti di antaranya keserupaan,
keseimbangan, kadar sesuatu, yang menakjubkan/mengherankan
dan pelajaran yang dapat deipetik, di samping berarti peribahasa.
Dalam banyak ayat al-Qur’an, kata maṡaldigunakan dalam arti
8Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Samudra Ilmu-ilmu al-Qur’an (ringkasan kitab al-
Itqan fi ulum al-Qur’an) terj. Tarmana Abdul Qosim (Bandung: Penerbit Arasy,
2003), 232-233. 9 Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhis Fī Ulūmil Qur’ān, 352.
5
sifat/keadaan yang meakjubkan/mengherankan dan tidak jarang
digunakan dalam arti keserupaan10.
Terdapat perbedaan antara maṡal dan miṡil. Mistil adalah
kesamaan, dengan maṡal adalah keserupaan. Firmah Allah:
ثل نة م ٱلج ت ون و ع دٱل تق جم اءغيج ءف يٱل نجهرم نم
نهاأ اس
ه م طعج ج يتغي مج ل بنجهرم نل
ۥوأ
(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan
kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada
sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-
sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan
sungai-sungai dari madu yang disaring.
Menurut pendapat Quraish Shihab, ayat ini menggambarkan
betapa menakjubkan surga sekaligus dan bahwa yang dilukisakan
ini bukan persamaan, tetapi sekadar maṡal atau keserupaan saja,
karena hakikat surga dan kenimatannya tidak sama dengan apa
yang terlukiskan ayat in.11
Adapun Orang yang pertama kali mengarang Ilmu Amṡāl al-
Qur’ān ialah Syaikh Abdur Rahman bin Husein al-Naisābūri
(wafat 406).12 Sebagian ulama ada yang menulis kitab khusus
tentang perumpamaan-perumpamaan (Amṡāl) dalam al-Qur’an,
dan ada pula yang hanya membuat satu bab dalam salah satu satu
kitab-kitabnya. Kelompok pertama, misalnya Abu al-Hasan al-
Mawardi.13 Sedang kelompok kedua antara lain; al-Suyūṭi dalam
10 M Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir, 263-264. 11 M Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir, 264. 12 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), 314. 13 Ia adalah Abu al-Hasan Ali Habib al-Syafi’i, penulis kitab Adab al-Dunya
wa al-Din dan Ahkam al-Sulṭaniyah, wafat pada 450 H.
6
al-Itqān yang menyediakan satu bab khusus yang membicarakan
Ilmu Amṡāl al-Qur’ān dengan lima pasal di dalamnya. dan Ibnu
al-Qayyim dalam I’lām al-Muwaqqi’in. Bila kita teliti, Amṡāl
dalam al-Qur’an mengandung makna tasybīh yaitu penyerupaan
sesuatu dengan sesuatu yang serupa lainnya dan membuat setara
antara keduanya dalam hukum. Amṡāl yang seperti ini lebih dari
empat buah jumlahnya.14
Pembahasan mengenai Amṡāl dalam al-Qur’an begitu banyak
dan meluas dilihat dari adanya beberapa macam jenis Amṡāl yang
diklasifikasikan oleh para ahli ‘Ulūm al-Qur’ān. Salah satu
pembahasan yang menarik adalah perumpamaan/Amṡāl yang
Allah buat dengan menggunakan lafaz-lafaz yang memiliki arti
“buta tuli dan bisu dalam al-Qur’an” Allah Swt., berfirman:
مج مثل ه توجقد ٱل يكمثل ل نارافلمٱسج ماحوج ضاءتج ذهبۥاأ ٱلل
و ونب ن ور ه مج بجص ي ل متل ظ ف مج م ١٧تركه لص مج فه مج مع ب كجع ون وج١٨يرجج
ماء كصي بم نأ ظ ٱلس قيججعل ف يه دوبرج ونل متورعج
م ن ءاذان ه م ف مج صب عه ع ق أ و حذرٱلص جموجت وٱل م يطٱللف ر ينب كق ١٩ٱلج جبج ٱل بجصريكاد
أ شيجطف مم له ضاء
أ ما مج ك اه وج
ش ولوج وا قام يجه مجلمعل ظج
وإذاأ اءف يه ٱلل
وأ ع ه مج هبب سمج ل بجصر ه مج
إ ن يرٱلل ءقد شج ك ٢٠عل
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan
api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu
14Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, 252-253.
7
dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang
benar), atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari
langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat
telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara)
petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang
yang kafir.Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan
mereka.Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan
di baw ah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka
berhenti.Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah
berkuasa atas segala sesuatu
Muhammad Ali al-Shabūnī mengatakan dalam bukunya bahwa
ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa Allah menyerupakan
kemunafikan dan keadaan mereka dengan keadaan seorang yang
menyalakan api agar menerangi. Akan tetapi api itu tidak bertahan
lama dan kemudian mereka dalam kegelapan dan kebingungan
disertai ketakutan yang mencekam. Ayat ini merupakan
perumpamaan yang Allah buat untuk menggambarkan keadaan
orang-orang munafik, karena mereka lebih menyukai kesesatan
daripada petunjuk.15
Setelah penulis melakukan pencarian terhadap pembahasan
yang mengkaji ayat-ayat Amṡāl dalam al-Qur’an ternyata kajian
ini cukup banyak diminati oleh para pengkaji sastra bahasa Arab.
Akan tetapi pembahasan Amṡāl dalam al-Qur’an mengenai kata-
kata “buta tuli dan bisu belum begitu banyak. Lafaz-lafaz buta, tuli
dan bisu dalam al-Qur’an lebih banyak digunakan dalam arti
konotasinya di beberapa ayat. Dengan kata lain meski lafaz-
lafaznya memiliki arti yang sama yaitu “buta, tuli dan bisu”, akan
15 Muhammad Ali al-Shābuny, Cahaya al-Qur’an terj. Kathur Suhardi
(Jakarta: Pustala Al-Kautsar, 2000), 8.
8
tetapi memiliki konteks dan objek yang berbeda dan ditujukan
pada subjek yang berbeda.16
Meskipun sentimen masyarakat terhadap disabilitas dan difabel
masih cenderung mengarah kepada opini yang negatif karena
kekurangan/ ketidak mampuan fisik yang mereka (kaum
disable/difabel) miliki.17 Penggambaran buta, tuli dan bisu dalam
al-Qur’an banyak dikategori ke dalam kajian “Amṡāl al-Qur’an”.
Namun, kajian mengenai Amṡāl dalam kategori ini masih sangat
sedikit dan cukup terbatas. Dari sekitar 38 ayat mengenai buta, tuli
dan bisu, 34 ayat di antara nya menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah kecacatan non fisik dan teologis. Kajian-kajian
terdahulu yang berkaitan dengan masalah ini hanya menjelaskan
garis besar nya saja atau bahkan parsial dan tidak menyeluruh dan
cenderung mengkaji lafaz-lafaz ini dari pandangan makna ẓahir-
nya.
Maka dari itu penting untuk dilakukan penelitian mengenai
bagaimana lafaz-lafaz buta, tuli dan bisu digunakan sebagai
perumpamaan terhadap situasi/keadaan golongan tertentu yang
menunjukkan adanya kecacatan non fisik dan cacat teologis.
Demikian akan dicapai penggambaran yang berbeda antara lafaz-
lafaz yang bermakna denotasi atau pun konotasi dengan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dan mengkajinya.
Berdasarkan penjelasan tersebut penulis akan mengangkat
16 Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab jilid 12 ( Beirut: Dar Shādir, tt), 53 & 343 17Khairannas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif al-
Qur’an.Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No 2, Juli-Desember 2017, 222
9
permasalahan ini dengan mengajukan judul “BUTA TULI DAN
BISU DALAM AL-QUR’AN” (Kajian Tematik).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Penelitian yang akan penulis lakukan terhadap ayat-ayat buta
tuli dan bisu dalam al-Qur’an akan dibatasi dengan ayat-ayat yang
mengandung makna konotasi buta, tuli dan bisu sebagai bagian
dari kajian Amṡāl/perumpamaan. Terdapat kurang lebih 37 ayat
yang mengandung lafaz-lafaz buta, tuli dan bisu yang digunakan
sebagai perumpamaan/Amṡāl. Selanjutnya ayat-ayat tersebut akan
dihimpun dan dianalisis dengan menggunakan metode tematik dan
lebih terfokus pada makna konotasinya.
Dalam penelitian nya, peneliti akan menggunakan tafsir Jami’
al-Bayān Fi Tafsir al-Qur’ān karya dari Ibnu Jarīr al-Ṭabāri.
Tafsir ini berisi eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen
terutama dalam hal makna dan penggunaan bahasa Arab.Tafsir ini
juga kental dengan riwayat-riwayat sumber penafsiran (ma’ṡūr)
yang disandarkan pada pendapat para sahābat, tābi’īn, tabi’it
tābi’īn melalui hadis yang mereka riwayatkan. Penafsiran dalam
kitab ini pula didukung dengan nalar (ra’yu) untuk membangun
pemahaman-pemahaman objektifnya.18
Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah di
atas, maka penulis merumuskan permasalahan pada : “Apa makna
18 Srifariyati, Manhaj Tafsir Jami’ Al-Bayan Fi tafsir al-Qur’an.Jurnal
Madaniyah Vol 7 No 2 Edisi Agustus 2017, 319-342.
10
lafaz Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an menurut kajian
Amṡāl al-Qur’an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dijelaskan di atas,
maka penelitian ini mempunyai tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat makna yang dimaksud oleh lafaz-
lafaz buta, tuli dan bisu dan sebab-sebab yang melatarbelakangi
penggunaannya sebagai perumpamaan/Amṡāl dan tujuannya
dalam penyampaian pesan-pesan ilahi.
2. Penelitian ini untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
sarjana strata satu (S1)
Hasil dari penelitian ini dimaksudkan agar menjadi manfaat dan
kontribusi terhadap kajian Amṡāl yang dapat memberikan
pelajaran kehidupan/ibrah bagi para pembacanya.
D. Tinjauan Pustaka
Khairunnas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam
Perspektif Al-Qur’an. Kajian ini bertujuan untuk melihat
bagaimana al-Qur’an berbicara mengenai penyandang cacat serta
eksistensinya dalam tatanan hukum dan sosial. Terdapat 38 ayat
yang tersebar dalam 26 surah dalam al-Qu’an. Dari jumlah tersebut
hanya lima yang berbicara mengenai cacat fisik dan selebihnya
berbicara mengenai cacat non fisik. Dari tulisan ini dapat diketahui
11
bahwa penyandang cacat menurut al-Qur’an adalah orang yang
memiliki kecacatan fisik dan teologis.19
Abu Bakar, Nilai-Nilai Pendidikan Pada Ayat-Ayat Amṡāl
dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah. Penelitian dalam jurnal ini
dilatarbelakangi oleh keinginan penulis untuk mengetahui nilai-
nilai yang terkandung pada ayat-ayat Amṡāl yang terkadang Allah
memberikan perumpamaan terhadap golongan tertentu dan dengan
perumpamaan yang menarik perhatian pembaca. Adapun objek
yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an
yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Ada pun ayat-ayatnya
adalah surah al-Baqarah ayat 17-19, ayat 146, ayat 171, dan ayat
265.20
Lilis Suryani. “Amṡāl dalam AL-Qur’an: Kajian Tafsir Tahlili
Surat al-A’rāf Ayat: 175-178”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh
adanya perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Allah, diumpamakan dengan anjing yang menjulurkan lidahnya
tidak hanya ketika dia letih dan kehausan, tetapi sepanjang
hidupnya anjing selalu demikian, sama dengan orang yang
memperoleh ilmu pengetahuan akan tetapi tetap terjerumus oleh
hawa nafsunya. Penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa
Allah mengumpamakan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hewan yang hina karena sifatnya yang sangat
buruk, baik dari sifat zāhir maupun batinnya. Hikmah yang
terdapat pada tamṡīl anjing ini adalah Allah memberikan
19 Khairunnas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif al-
Qur’an.Jurnal Ushuluddin Vol 25 No 2, Juli-Desember 2017, 221-234. 20Abu Bakar, Nilai-Nilai Pendidikan Pada Ayat-Ayat Amṡaldalam al-Qur’an
QS.al-Baqarah. Jurnal Syamil Vol. 5(1), 2017.
12
pembelajaran pada manusia agar senantiasa bersyukur atas nikmat
yang telah diberikan dan cara menggunakan nikmat agar tidak
kufur.21
Isramin, Gaya Bahasa Amṡāl Musharrahah dalam al-Qur’an
(suatu kajian Tematik). Kajian ini mencoba memperkenalkan
kepada para pembaca mengenai Amṡāl Musharrahah dalam al-
Qur’an. Melalui Amṡāl jenis ini al-Qur’an menarik perhartian
manusia untuk memerhatikan pesan yang terkandung dalam ayat
tersebut. Gaya Amṡāl jenis ini tidak hanya menyentuh pikiran
seseorang, tapi lebih dari pada itu menyentuh dan menggerakkan
perasaan yang paling dalam, sehingga manusia tergerak untuk
menerima kandungan al-Qur’an.22
Nunung Lasmana, Rekonstruksi Ayat-ayat Amṡāl Tentang
Kaum Munafik. Kajian Amṡāl dalam jurnal ini dikaji dengan
menggunakan penafsiran Muhammad Abduh yaitu kitab Tafsir al-
Manār. Sedangkan kajian Amṡāl -nya dibatasi dengan hanya
mencantumkan ayat-ayat Amṡāl musharrahah dan tidak termasuk
di dalamnya ayat-ayat Amṡāl kāminah dan mursalah. Kajian ini
sedikit berbeda dengan peneliti dari segi objek ayat-ayat yang
digunakan.Jurnal ini mencantumkan juga ayat-ayat yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan orang munafik yang
digambarkan oleh kata-kata selain buta, tuli dan bisu.23
21Lilis Suryani. Amṡāl dalam Al-Qur’an Kajian Tahili Surah al-‘Araf ayat
175-178. “ Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang, 2016.” 22Isramin, Gaya Bahasa AmṡalMusharrahah dalam al-Qur’an (Suatu Kajian
Tematik).Jurnal Rausyan sssFikr Vol 12 No 1 Juni 2016:125-141. 23 Nunung Lasmana, Rekonstruksi Ayat-ayat AmṡalTentang Kaum
Munafik.Jurnal At-Tibyan Vol 1 No 1 Januari-Juni 2016,19-44.
13
Rofi’atul Khoiriyah, Difabilitas dalam Al-Qur’an. Kajian
mengenai skripsi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan difabilitas
di kalangan masyarakat. Para penyandang difabel masih sering
dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas. Hal tersebut
dikarena oleh beberapa faktor yang beberapa di antaranya
disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam melakukan suatu
aktivitas dan keterbatasan kemampuan fisiknya. Pandangan
negatif masyarakat terhadap penyandang difabel menyebabkan
kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, dan
kewajiban serta peran yang sama dengan masyarakat lainnya.24
Penelitian ini pun menghasilkan kesimpulan bahwa al-Qur’an
menyebutkan dua jenis difabel yaitu tunanetra dan tunadaksa yang
dalam al-Qur’an memberikan penuh perhatian terhadap kaum
difabel, yakni dengan tidak membeda-bedakan antara satu dan
lainnya, baik seseorang dalam keadaan cacat atau pun sempurna,
karena yang dinilai Allah adalah ketakwaan dan keimanan saja.25
Nidaul Fajriyyah. “Karakter Munafik Sebagai Gangguan
Kepribadian: Kajian Surah al-Baqarah ayat 8-20”. Skripsi ini
mengkaji mengenai karakter munafik sebagai gangguan mental
kepribadian sebagai lawan munafik atau nifāq merupakan sifat
yang lahir dari batinnya berbeda. Metode yang digunakan adalah
metode tahlīlī yaitu menghimpun ayat-ayat yang memiliki tujuan
yang sama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa munafik jangan
hanya dipandang sebagai dosa yang besar saja., akan tetapi
24 Rofi’atul Khoiriyah, Difabilitas dalam al-Qur’an.”Skripsi Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015”. 25 Rofi’atul Khoiriyah, Difabilitas dalam al-Qur’an, xviii
14
terdapat kaitannya dengan kondisi mental, dan sangat penting
diperlukan agar mengetahui latar belakang seseorang berbuat
munafik. 26
Muhammad Ali, Fungsi Perumpamaan dalam Al-
Qur’an.Jurnal ini membahas fungsi perumpamaan dalam al-
Qur’an dan menjabarkan macam-macam perumpamaan yang
terdapat dalam al-Qur’an.Dalam kajian ini ditemukan bahwa
perumpamaan dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang
mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, baik dalam
bentuk isti’ārah, tasybīh, atau pun yang berbentuk majāz. Kajian
ini menemukan bahwa ayat-ayat yang mengandung perumpamaan.
Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pelajaran/I’tibār bagi manusia
agar lebih mudah difahami dan diterima dalam menanamkan
keimanan maupun kemuliaan perilaku kepada manusia serta
menunjukkan kepada mereka atas keindahan bahasa al-Qur’an.27
Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl al-Qur'an (Anailis Stilistika).
Jurnal ini membahas tentang ayat-ayat tamṡīl yang dianalisis
menurut stilistika. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih
jauh bentuk-bentuk tamṡīl dan faidah nya bagi manusia. Dari
telaah yang dilakukan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
ditemukan sebanyak 168 kali ayat-ayat yang mendung tamṡīl
dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuknya. Dari segi uslub (gaya
26Nidaul Fajriyyah, Karakter Munafik Sebagai Gangguan Kepribadian,
“Skripsi Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,
2014”, Iv. 27Muhammad Ali, Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur’an. Jurnal
Tarbawiyah Vol 10 NO 2 Edisi Juli-Desember 2013, 21-31.
15
bahasa) adalah sebagai targhīb, tarhīb dan tahzīr, mau’izhah dan
i’tibār.28
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas sebagai kajian terdahulu
yang menjadi tolak ukur penelitian selanjutnya, peneliti
menemukan bahwa meski terdapat kesamaan terhadap ayat-ayat
yang digunakan sebagai objek penelitian, akan tetapi pembahasan
dan tujuan penelitian yang akan dilakukan dan yang sudah
dilakukan memiliki perbedaan. Dalam skripsi dan jurnal mengenai
difabel misalnya, terdapat persamaan ayat-ayat yang digunakan
yaitu ayat yang mengandung lafaz “shummun dan Bukmun” yang
sama-sama memiliki arti tuli dan bisu. Kajian dalam jurnal ini
lebih mengarah kepada bagaimana eksistensi difabel dalam al-
Qur’an dan perhatiannya, tentu jelas bahwa penelitian ini lebih ke
arah memaknai lafaz-lafaz tersebut sebagai cacat fisik bukan cacat
non fisik.Kajian jurnal-jurnal di atas juga sebagai referensi yang
sama-sama membahas mengenai Amṡāl dengan lebih
umum/general dan tidak meluas atau masih kurang merinci.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari suatu objek yang dapat diambil dan diteliti. Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini selanjutnya akan bersumber
dari dokumen perpustakaan tertulis (Library Research) dan
28 Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika).
Jurnal al-Ta’lim, jilid 1 Nomor 4 Februari 2013, 285-298.
16
pengumpulannya ialah dengan cara menelusuri buku-buku dan
kitab-kitab serta referensi ilmiah dan referensi tertulis lainnya.
2. Sumber data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah al-
Qur’an.Peneliti menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai objek
utama dalam penelitian.Selanjutnya sumber sekunder lainnya
yaitu berupa kitab tafsir dan kitab-kitab ulum al-Qur’an.
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Dalam pengumpulan ayat-ayat terkait penulis menggunakan
kitab indeks ayat-ayat. Kemudian peneliti mencari ayat-ayat yang
berkaitan dengan cara menggunakan kata kunci buta tuli dan bisu.
Metode pengolahan data yang akan digunakan nantinya,
peneliti memilih untuk menggunakan metode tematik atau
metodemauḍū’i yaitu metode yang mengarahkan pandangan
kepada suatu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an
tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
membicarakannya, menganalisis, dan memahami ayat-ayatnya.29
Al-Farmawy mengatakan dalam bukunya bahwa metode ini
memiliki dua bentuk:
1) Pertama, Tafsir yang membahasa satu surah al-Qur’an secara
menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud
umum dan khususnya secara garis besar dengan cara
menghubungan ayat satu dengan ayat lainnya, atau bisa juga
menghubungan satu pokok masalah dengan pokok masalah
lainnya. Dengan menggunakan metode ini surah tersebut tampak
29 Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir, 385.
17
dalam bentuk utuh, teratur dan betul-betul cermat, teliti dan
sempurna. Sebagaimana dikutip dari kitabnya al-Farmawy
mengatakan: “Satu surah al-Qur’an, meskipun mengandung
banyak masalah, masalah-masalah itu sebenarnya adalah satu, dan
pada hakikatnya menunjuk kepada satu maksud.”30
2) Kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-
Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian
memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu
bahasan tema tertentu. 31
Jenis penelitian yang akan penulis laksanakan adalah termasuk
kepada jenis yang ke dua, yaitu menghimpun dan menyusun ayat-
ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian
memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu
bahasan tema tertentu.
Adapun tafsiran yang digunakan adalah tafsir dari Ibnu Jarīr al-
Ṭabāri. Sumber penafsiran tafsir Jami’ al-Bayan adalah bil-
ma’ṡūr, yaitu penafsiran-penafsiran yang bersumber langsung
kepada ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada Nabi saw., pendapat para sahabat, dan para tābi’īn.
Penafsiran al-Ṭabāri memiliki keunggulan dari para penafsir
30 Quraish Ṣihāb dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2013), 192.
Lihat Abu al-Hayy al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mauḍū’i: Dirasat
Mahajiyyah Mawḍū’iyyah(1997), 7, 50. 31 Quraish Ṣihāb dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, 193. Lihat Abu al-Hayy
al-Farmawy dan Zabir ibn Awal al-Alma’i, Muhammad Baqir al-Shadr dan
lainnya yang menamakan kedua bagian tafsir ini sebagai al-Tafsir al-Mauḍū’i.
Tetapi Muhammad al-Ghazali membeda.kan nama kedua bentuk tafsir ini meski
namanya tidak jauh berbeda. Lihat Nahw Tafsir Mawḍū’i li Suwar al-Qur’an
al-Karim cetakan ke-2 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1992), 5-6.
18
henerasi sebelumnya yaitu beliau tidak hanya mengutip riwayat
Nabi saw., dan pendapat para sahabat melainkan juga mengkritisi
riwayat yang mana yang shahih maupun ḍaīf, serta mengutip
pendapat yang paling kuat (rājih) bila terjadi perbedaan pendapat
di kalangan sahabat dan tabi’iin. Pembahasan yang dikandung oleh
tafsir Jāmi’ al-Bayān mencakup beberapa disiplin ilmu seperti
kebahasaan, nahwu, syair dan macam qiraaqiraat yang disertai
pen-tarjih-an terhadap riwayat qira’at yang dikutip. Riwayat-
riwayat yang dikutip berfungsi salah satunya untuk menjelaskan
akan makna kata atau ayat al-Qur’an yang dibahas. Beliau juga
menyeleksi dan memilih pendapat yang menurut beliau paling kuat
di antara pendapat lain yang dikutip.32
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah diadakannya penelitian, pokok masalah yang
menjadi dasar dan dicari jawabannya, tujuan dan manfaat
penelitian, telaah pustaka untuk menelaah kajian-kajian terdahulu
yang berkaitan dengan topik kajian yang telah dilakukan orang
lain, metode penelitian yang menerangkan metode-metode yang
digunakan, sistematika pembahasan yang mengatur urutan
pembahasan. Bab ini diuraikan sebagai gambaran mendasar yang
menentukan isi penelitian.
Bab dua berisi gambaran umum tentang Amṡāl al-Qur’an, pada
bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian Amṡāl baik secara
32 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizi, Membahasa Kitab Tafsir Klasik
Modern(Ciputat, Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), 5-6
19
bahasa mau pun istilah. Selanjutnya dijelaskan juga pengertian
amṡal dalam al-Qur’an, jenis dan atau macam-macam Amṡāl
dalam al-Qur’an, serta manfaat dan faedah-faedah adanya ilmu
Amṡāl dalam al-Qur’an.
Bab tiga berisi tentang kajian teoritis terhadap buta, tuli dan
bisu dan lafaz-lafaz yang memiliki makna buta, tuli dan bisu dalam
al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an beberapa lafaz yang
merepresentasikan kosa kata tersebut seperti shummun, bukmun,
‘umyun dan lafaz lain yang serupa namun berbeda pola. Ayat-ayat
berisi lafaz-lafaz ini pula akan disertai tafsir sebagai penjelasan.
Bab empat adalah adalah pembahasan mengenai makna ayat-
ayat yang terkandung di dalamnya lafaz-lafaz buta, tuli dan bisu
yang memiliki makna konotasi dan juga termasuk ke dalam
kategori ayat-ayat Amṡāl. Penulis akan mendeskripsikan apa saja
subjek, objek dan konteks yang dimaksud oleh ayat-ayat tersebut
dan selanjutnya penulis akan mengidentifikasi aspek-aspek
tersebut sehingga dapat meyimpulkan apa yang dimaksudkan
Allah dalam pesan-pesannya tersebut.
Bab lima berisi kesimpulan berupa jawaban dari rumusan
masalah yang telah dibuat berdasarkan indentifikasi masalah dan
saran-saran berisi anjuran tentang kelanjutan kajian yang
bertemakan sama dan peluang untuk dilanjutkan ke ranah yang
lebih luas.
20
21
BAB II
KAJIAN TEORITIS AMṠĀL DAN DIFIBALITAS
A. Kajian Teoritis Amṡāl
Tamtsīl adalah makna lain dari matsal. Bentuk mashdar (kata
dasar)Tamtsīl yang merupakan derivasi dari kata dasar al-matsal
yang kemudian diubah menjadi bentuk زيد ثلا ثيما yaitu bab
ث ل- تامثيلmaka ia menjadi تامثيل ثال -يما Tamtsīl dalam bahasa 1.ما
Arab mengandung beberapa makna yaitu sebagai berikut : 1.
menggambarkan sesuatu baik melalui tulisan atau pun lisan
sehingga seolah-olah dia betul-betul dapat dilihat. 2.
Menyampaikan atau menyerupakan sesuatu dengan yang dan
menjadikannya sebagai contoh. 3. Menjadikan sesuatu sebagai
pelajaran.2
Tamtsīl (perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat
menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup di dalam
pikiran. Biasanya dilakukan dengan metode
“mempersonifikasikan”3 sesuatu yang gaib dengan yang hadir,
1 Lihat Ali Abdul Wahid Wafi, Fiqh al-Lughah Al-Arabiyyah (Mesir: Lajnah
al-Bayan al-Araby, 1962), 172. Dalam bahasa Arab bila satu kata diubah kepada
bentuk yang lain dengan tetap menjaga urutan huruf asalnya, maka kata baru
tetap mengandung arti kata asalnya. Dalam istilah Arab disebut: al-Isytiqāq al-
Âm. Hafni Bustami, Penafsiran Ayat-ayat Tamṡīl dalam Tafsir al-Kasyaf
(Jakarta: Nuansa Madani, 2002), 9 2 Ibnu manzhur, Lisān al-Arab (Beirut: Fin Syifa Al-Turaṡ al-Araby, tt), 24. 3Pengumpamaan(perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia,
seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan menjadi saki sumpah setia.;
mempersonifikasi (kata kerja), mengumpamakan (melambangkan) benda mati
seolah-olah hidup sebagai manusia; patung itu- dirinya sebagai pembela hebat
manusia. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. Ke 4 ( Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2008), 1062
22
yang abstrak dengan yang konkrit, atau dengan menganalogikan
sesuatu hal dengan hal serupa. Dengan Tamtsīl, makna yang
asalnya baik, menjadi lebih indah, menarik dan mempesona,
karena Tamtsīl dianggap lebih dapat mendorong jiwa untuk
menerima makna yang dimaksudkan, dan membuat akal merasa
puas. Tamtsīl adalah salah satu metode al-Qur’an dalam
mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatan.4
Berikut adalah pengertian lebih jelasnya:
1. Amṡāl Menurut Bahasa
Ada pun secara Etimologi kata الأامثاال merupakan bentuk jamak
dari ثال yang berarti serupa/sama.5 Dilihat dari wazan (pola ما
kata)nya, kata ثال ,مثل ,ما ثال بها adalah satu pola dengan kata ما ,شا
6.شاابه danشبه Secara etimologi pengertian ثال terdapat tiga ما
macam. Pertama, bisa bermakna perumpamaan, gambaran atau
keserupaan. Kedua, bisa bermakna kisah atau cerita, jika
keadaannya sangat menakjubkan. Ketiga, bisa bermakna sifat,
keadaan tingkah laku yang menakjubkan.7
Sedangkan Secara terminologi ثال اامثاال atau ما menurut para
ahli sastra adalah ucapan yang banyak disebutkan yang telah
4Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-
Azmi (Jakarta: Pustaka al-Kauṡar, 2006), 352. 5Menurut Ibnu Faris, kata maṡal termasuk dalam fi’il shahih terdiri dari
huruf mim, ṡa’ dan lam, yang memiliki arti menyamakan sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Lihat Mu’jam aqayis al-Lughah, jilid V (Mesir :Isa al-Babiy al-
Halaby,1972), 296. Pendapat ini terdapat dalam buku Hasani Ahmad Syamsuri,
Studi Ulumul Qur’an (Jakarta: Zikra-Press, 2009), 173. 6Al-Rāghib al-Isfāhaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Fikr,t.t), 482. 7Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, 173-174.
23
terbiasa dikatakan orang, dimaksudkan untuk menyamakan
keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang
dituju.8 Berikut ini dipaparkan beberapa pendapat mengenai
pengertian Amṡāl:
a. Menurut ulama Bayān, Amṡāl merupakan bentuk majāz
murakkab yang konteksnya adalah persamaan. Maksudnya Amṡāl
adalah ungkapan majaz majemuk yang kaitan antara yang
disamakan dan asalnya disebabkan adanya keserupaan. Semua
bentuk Amṡāl ini adalah isti’ārah Tamtsīliyyah (kiasan yang
menyerupakan).9
b. Menurut ulama tafsir matsal adalah menampakan pengetian
abtsrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang
tertancap dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybīh mau pun از جا ما
ungkapan bebas(.10)مرسال
c. Ibnu al-Qayyim mendefinisikan Amṡāl al-Qur’an yaitu
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukumnya
dan mendekatkan sesuatu yang abstrak ( عقول dengan yang (ما
konkrit ( 11 .(حس
8Lihat pada Bakri Syeikh Amin dalam Muhammad bakr Ismail Dirasat fi
Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Manar, 1991), 341. Al-Raghib al-Isfahani, 462.
Pendapat ini dikutip oleh Hasani Ahmad dalam bukunya Studi Ulumul Qu’an,
174.-175. 9 Lihat Muhammad Bakr Ismail, Dirasat Fi Ulum al-Qur’an, 342. 10Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), 311. 11Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 283. Rasyid Ridha
ketika menafsirkan ayat 17 QS. al-Baqarah menyatakan bahwa perumpamaan
sesuatu adalah sifat sesuatu itu yang menjelaskannya dan mengungkap
hakikatnya; atau apa yang dimaksudnya untuk dijelaskannya, baik sifat mau pun
ahwalnya. Terkadang perumpamaan sesuatu berarti penggambarannya dan
pengungkapan hakikatnya melalui majaz (metafor) atau hakikat, dilakukan
dengan mentasybīhkannya. Terkadang pengumpamaan yang paling balig adalah
24
Pendapat lain mengatakan bahwa kata matsal yang memiliki
arti perumpamaan dalam kamus Arab Lisān al-Arab dan memiliki
beberapa makna antara lain: ناظير (sifat,seperti), atau ة عبرا yaitu
peringatan/pelajaran. Makna kata ثال lainnya yaitu menjadi ما
contoh bagi yang lain atau yang ditiru.12 Selain beberapa makna
tersebut, matsal juga memiliki makna lain sebagaimana yang akan
dijelaskan berikut:
Menurut al-Jawhary seperti dikutip dalam jurnalnya Hafni
Bustami bahwa kata matsal bisa juga berarti sifat. Sebagaimana
firman Allah dalam surah al-Ra’du ayat ke-35.13 Sedangkan
menurut Abu Ali kata matsal dalam ayat di atas bukan berarti sifat,
tetapi mengandung arti perumpamaan (tamtsīl) karena sifat itu
tidak dikenal di kalangan orang Arab. Sedangkan contoh yang
tepat untuk makna sifat adalah firman Allah dalam surah al-Fath
(48) ayat29.14 Matsal juga mengandung makna ة ,pelajaran)عبرا
perbandingan), seperti terdapat dalam firman Allah surah al-
Zukhruf (43) ayat 56: pengumpamaan yang rasional dengan gambaran in derawi dan sebaliknya. Lihat
Tafsir al-Manar, Juz I ( Maktabah al-Manar, 1346), 167. 12Ja’far Subhani, Wisata al-Qur’an :Tafsir Ayat-ayat Metafora, 1. 13QS. Al-Ra’du (13) ayat ke -35.
داائم ا أكلها ر انها ٱلأ ا تاجريمنتاحتها ٱلمتقونا نةٱلتيوعدا ٱلجا ثال ۞م
عقباىٱل اتلكا ظلها فريناٱلناروا عقباىٱلكا و٣٥ذيناٱتقاوا
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang
takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya;
buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah
tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat
kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka
14Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika).
Jurnal al-Ta’lim, jilid 1 Nomor 4 Februari 2013, 286.
25
رينفجعلنهم لأخ ٥٦سلفاومثلل
Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi
orang-orang yang kemudian.
Selanjutnya menurut Fairuz Abadi, ia berpendapat bahwa kata
matsal berarti syibh atau serupa. Kata matsal juga memiliki makna
yang berarti hujjah (bukti, alasan, sifat). Ada pun kata mitsal
( )berarti miqdar (مثاال atau ukuran yang juga berarti qishash (مقداار
( pembalasan yang sepadan. Penulis buku Mu’jam (قصااص
Maqāyis menyatakan bahwa makna-makna yang disebutkan di atas
adalah gambaran luarnya saja. Sebuah kata atau lafaz mestinya
hanya memiliki satu atau dua makna saja, ada pun bila lebih dari
itu maka yang dikemukakan yaitu merupakan gambaran dari
pemahaman kata yang dimaksud.15
Berdasarkan pemaparan pendapat-pendapat mengenai
pengertian Amṡāl atau matsal di atas, dapat disimpulkan bahwa,
matsal adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan
suatu keadaan/benda/sifat dengan suatu yang lain yang memiliki
keserupaan, atau kemiripan yang dapat merepresentasikan sesuatu
yang digambarkan sehingga dapat dimengerti oleh panca indra dan
pikiran.
2. Amṡāl Menurut Istilah
Pendapat pertama mengaenai pengertian Amṡāl menurut istilah
diugkapkan oleh Ja’far Subhāni yang menyatakan bahwa matsal/
Amṡāl secara istilah adalah termasuk di antara kata-kata bijak atau
15Ja’far Subhani, Wisata al-Qur’an :Tafsir Ayat-ayat Metafora, 1-2.
26
bagian dari kata-kata yang mengandung hikmah. Hikmah atau
kebijaksanaan dalam kata atau kalimat muncul dalam sebuah
kejadian karena kesesuaian dan keserupaan suatu peristiwa.
Kemudian masyarakat tertentu memakai kembali kata atau kalimat
tersebut dalam kejadian-kejadian serupa yang menimpanya,
dengan tidak mengubah makna, baik dalam ringkasan, keganjilan,
kesamaran atau pun penggambarannya.16
Adapun kata yang mengadung hikmah terdapat dua macam:
Pertama kalimah sā’irah atau kata yang beredar dan biasa dikenal
di tengah masyarakat dan berlaku dalam bahasa komunikasi
mereka. Kata atau kalimat hikmah yang demikian disebut matsal/
Amṡāl. Kedua, kata hikmah yang bermakna khusus dan tidak
berlaku secara umum (kalimah ghairu sā’irah) di tengah
masyarakat. Selain itu, perumpamaan yang beredar (matsal
sā’irah) juga mempunyai sifat yang dapat menjelaskan (qāid
taudhihi), bukan memiliki sifat yang memisahkan (qaid ihtirāzi).
17
Ada pun pengertian Amṡāl al-Qur’an adalah salah satu cara
yang digunakan oleh al-Qur’an dalam penyampaian pesan. Amṡāl
adalah bentuk kata jamak dari kata matsal yang memiliki banyak
makna di antaranya keserupaan, keseimbangan, sesuatu yang
mengherankan atau menakjubkan, kadar sesuatu, pelajaran yang
dapat dipetik, dan juga memiliki arti peribahasa.
16Ja’far Subhani, Wisata al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Metafora (Jakarta:
Penerbit al-Huda, 2007), 8. 17Ja’far Subhani,Wisata al-Qur’an: Tafsir ayat-ayat Metafora, 8.
27
Quraish Shihâb berpendapat dalam bukunya bahwa tidak jarang
para ulama yang terpengaruh oleh bahasa susastra, menguraikan
kajian Amṡāl al-Qur’an serupa dengan bahasan sastrawan tentang
Amṡāl dalam arti peribahasa. Oleh sebab itu mereka membagi
Amṡāl al-Qur’an menjadi:18
1. Kalimat-kalimat singkat dalam al-Qur’an yang maknanya
serupa dengan peribahasa yang digunakan oleh masyarakat,
seperti:
Khoirul umūr al-Wasthu:“Sebaik-baiknya hal adalah yang di
tengah/moderasi. Sebagaimana Allah berfirman:
لا فارض ول بكر عوان بين ذلك Sapi betina itu” tidak tua dan juga tidak muda(tapi)
pertengahan antara itu.
Ayat yang disebutkan dinilai sama dengan peribahasa di atas.
2. Kalimat-kalimat singkat dalam al-Qur’an atau penggalan ayat
yang kemudian menjadi peribahasa, meskipun tidak ada
padanannya dalam literatur atau penggunaan masyarakat, namun
karena sering diucapkan atau didengar, singkat, indah, dan
mengandung makna yang dalam, maka seriring berjalannya waktu
menjadi peribahasa. Seperti firman-Nya: Thāha ayat 40:
مدينث هلأ نينف م فلبثتس ئتع ج ٤٠قدريموس
(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata
kepada (keluarga Fir´aun): "Bolehkah saya menunjukkan
kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka Kami
mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak
berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu
Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah
mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal
beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu
datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa
18 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 264-265.
28
Potongan ayat di atas diucapkan sebagai peribahasa saat
kehadiran seseorang yang tidak terduga. Orang tersebut disambut
dengan sedemikian rupa karena berkaitan dengan apa yang sedang
dibicarakan/dihadapi oleh yang menyambutnya. Sebagai contoh
jika ada masalah yang tidak dapat dipecahkan lalu kemudian hadir
lah seseorang yang dinilai mampu untuk memecahkan masalah
tersebut.
Pegertian lain yang dipaparkan oleh Sayyid Quthb mengenai
matsal/ Amṡāl yaitu bahwa matsal di dalam al-Qur’an merupakan
sarana untuk menggambarkan kondisi bangsa-bangsa pada masa
lampau dan untuk menggambarkan akhlaknya yang sudah sirna.19
Penyair zuhair dan Nabighah al-Dzibyani, seperti dikutip Ahmad
Hasyimi, menyatakan bahwa Amṡāl biasanya digunakan untuk
sesuatu keadaan dan sesuatu kisah yang hebat.20 Matsal
menonjolkan sesuatu makna yang abstrak ke dalam bentuk yang
indrawi agar menjadi indah dan menarik.
Berdasarkan penuturan beberapa pendapat di atas, maka penulis
dapat memberi kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Amṡāl
al-Qur’ān adalah salah satu cara yang Allah gunakan untuk
menyampaikan pesan dengan mempersonifikasikan sesuatu hal
dengan sesuatu yang lain, yang memiliki keserupaan, atau
menggambarkan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang
mampu ditangkap oleh panca indra, yang bertujuan untuk
menyampaikan pesan kepada yang dituju agar lebih mengena,
19 Lihat Sayyid Quṭb , al-Taṣwīrul Fanni fil Qur’an (beirut; Darusy Syurug,
1982), 242. 20 Lihat Ahmad Hasyimi, Jawāhirul Adab fi Adabiyyat wa Insyāil Lughah al-
Arabiyyah, juz II (mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t,th), 26.
29
jelas, dan dapat diambil pelajaran serta hikmah dari apa yang
disampaikan di dalamnya.
3. Unsur-Unsur Amṡāl dalam Al-Qur’an
Unsur-unsur Amṡāl sebagaimana dalam tasybīh yaitu meliputi
beberapa hal berikut ini21:
1. Al-Musyabbah (yang diserupakan)
2. Al-Musyabbah bih (asal cerita/ tempat menyamakan); dan
3. Wajh al-syibh (segi/arah persamaan).
Dalam ilmu balaghah, matsal harus mencakup ketiga unsur
tersebut di atas. Begitu pula dengan Amṡāl al-Qur’an. Namun,
menurut hasil penelitian para penulis al-Qur’an, Amṡāl al-Qur’an,
baik yang berbentuk isti’ārah, tasybīh mau pun majaz mursal,
tidak selamanya harus ada musyabbah bih-nya sebagai yang
berlaku dalam Amṡāl menurut para ahli bahasa dan ilmu bayān.
Para ahli bahasa mengidentifikasi karakteristik matsal sebagai
berikut:
1. Mendatangkan makna yang banyak dengan kalimat yang
ringkas.
2. Maknanya harus tepat (ishābah al-makna)
3. Perumpamaannya harus baik (husn al-tasybīh)
4. Kināyah-nya harus indah (jawād al-kināyah)
Matsal dalam al-Qur’an tidak hanya mencakup kaidah-kaidah
akhlak dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga nilai kandungannya
tidak akan pernah sirna.
4. Jenis-jenis Amṡāl
21Hasani Ahmad Syamsuri, Studi al-Qur’an (Jakarta: Zikra Press, 2009),
176.
30
Ada pun matsal jika dilihat dari segi uslub-nya yang terdapat
dalam al-Qur’an makan seperti berikut:
1) Amṡāl Muṣṣarraḥah (الأمثال المصرحة )
Amṡāl musharrahah yaitu sesuatu yang dijelaskan dengan lafaz
mastal atau sesuatu yang menunjukkan tasybīh (penyerupaan).
Amṡāl jenis terdapat beberapa dalam al-Qur’an, dan berikut ini
beberapa di antaranya22:
a) Tentang orang munafik surah al-Baqarah(2) ayat 17-20:
مثلهم يكمثل ضاءتماحولنارافلٱستوقدٱل اأ ذهبۥم
ٱلل ظلمتل نورهموتركهمف ونب بكمعميصم ١٧يبصعون و١٨فهمليرج
نأ بم ماءٱلس كصي ورعدي فيهظلمتي
هم ءاذان صبعهمفيعلونأ نوبرقي عقم و حذرٱلص ٱلموت
و ٱلل فرينميطب ك مقٱلبيكاد١٩ٱلك بصرهمايطفأ
ع ظلمأ وإذا فيه شوا م لهم ضاء
أ شاء ولو قاموا يهم
ل ٱلل بصرهمإن
سمعهموأ هبب ل يريٱلل ءقد ش
ك ٢٠ع
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan
(matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api
dalam firman-Nya “adalah seperti orang yang menyalakan (ناار)
api” karena di dalam api terdapat unsur cahaya. Matsal yang lain
adalah berkenaan dengan air (ماء) “atau seperti (orang-orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit” karena di dalam terdapat
materi kehidupan, dan wahyu yang turun dari langit pun
22Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 356-258
31
bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah
juga menyebutkan kondisi orang munafik dalam dua keadaan. Di
satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk
penerangan dan kemanfaatan. Dalam hal ini mereka mendapatkan
kemanfaatan materi dikarenakan memeluk Islam. Namun ke-
Islaman (keberagamaan) mereka tidak memberikan pengaruh
terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya ( (نور
yang ada dalam api itu, “Allah menghilangkan cahaya (yang
menyinari mereka).” Kemudian membiarkan unsur api membakar
yang ada padanya. Ini lah perumpamaan mereka yang berkenaan
dengan api.
2) Amṡāl Kāminah ( الأمثال الكامنة )
Amṡāl kaminah adala Amṡāl yang di dalamnya tidak disebutkan
dengan jelas lafaz Tamtsīl, tetapi ia menunjukkan makna-makna
yang indah, menarik dengan redaksi yang singkat, padat dan
mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang
serupa dengannya. Berikut adalah contoh-contohnya23:
a. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ungkapan “sebaik-baiknya
perkara adalah yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang”, yaitu:
1. Firman Allah tentang sapi betina surah al-Baqarah ayat 68:
قالواٱدع اماه ل هابۥن هقالإلارب كيبين يقولإن ل ي قرةف ك ل ذ بين كرعوان ولب ٱفعفارضي ٦٨ماتؤمرونلوا
Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk
kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah
23Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 258.
32
itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa
sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda;
pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu"
2. Firman Allah tentang nafkah surah al-Furqan ayat 67:
ين نفقوٱل كقواماإذاأ ل ذ واوكنبين ٦٧والميسفواولميقت
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian
3. Firman Allah tentang shalat dalam surah al-Isrā ayat 110:
قل ٱدعواٱلل وفلهٱدعواٱلر حمنأ تدعوا ا م ي ا
أ
سماءٱلسن هاوٱل كولتافتب صلت ٱبتغولتهرب بين
كسبيل ل ١١٠ذKatakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul
husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"
b. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ungkapan “orang yang
mendengarkan itu tidak sama dengan yang menyeksikannya
sendiri.” Seperti contoh firman Allah tentang Ibrahim dalam surah
al-Baqarah(2) ayat 260:
وإذ كيفقالإبره رنأ مرب ىتح ولمتؤمنىٱلموت
قالأ
ى لبق طمئن
نل ولك قالبلDan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,
perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?"
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi
agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).
33
c. Ayat yang senada dengan perkataan “Seperti yang telah kamu
lakukan, maka seperti itu kamu akan dibalas” seperti contoh
Firman Allah dalam surah al-Nisā(4) ayat 123:
ل يس هلأ مان
كمولأ ماني
أ ٱلب منيعملسوءايزكتب
ه ۥوليدلۦب مندون يراوول اٱلل ١٢٣لنص(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang
kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli
Kitab.Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat
pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
d. Ayat yang senada dengan perkataan “orang mukmin tidak akan
masuk dua kali lubang yang sama” sebagaimana dalam Firman
Allah dalam surah Yusuf ayat 64 yang berbunyi:
منقالكماأ يهمنقبلهلءامنكمعليهإل خ
أ تكمع
ف رحمٱلل وهوأ حفظا خير ٦٤ينٱلر ح
Berkata Ya´qub: "Bagaimana aku akan mempercayakannya
(Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu
dahulu?".Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia
adalah Maha Penyanyang di antara para penyanyang.
3) Amṡāl Mursalah (الأمثال المرسلة)
Amṡāl mursalah adalah kalimat-kalimat bebas yang tidak
menggunakan lafadz tasybīh secara jelas, akan tetapi kalimat-
kalimat tersebut berlaku sebagai Amṡāl. Berikut contoh-contohnya
di dalam al-Qur’an:24
1) Firman Allah dalam surah Yusuf ayat 51
24Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 259.
34
يوسفعنقال رودت ن إذ خطبكن هما ن فس قلنحشۦ قالت منسوء ماعلمناعليه تٱلعزيزٱلـنٱلل
حصحصمرأ
نارودت هٱلق هۥأ قينلمنۥوإن هۦعنن فس د ٥١ٱلص
Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana
keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan
dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: "Maha Sempurna Allah,
kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya".
Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah
yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku),
dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar"
2) Firman Allah dalam surah al-Najm ayat 58
ليسلهامندون فةٱلل ٥٨كشTidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain
Allah
3) Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 216
كتب ل كمٱلقتالعليكم ي كره نتكرهواوهوأ وعس
ش شي نتب واأ ل كموعس خيري وهو ل كم يا ي ش اوهو
و ٱلل ٢١٦نتملتعلمونيعلموأ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci.Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
5. Faedah-Faedah Amṡāl 25
1. Menampilkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk konkrit yang
dapat dirasakan oleh indra manusia, sehingga dapat diterima oleh
25 Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 361-363.
35
akal. Oleh karena pengertian-pengertian yang abstrak tidak akan
dapat tertanam dalam benak kecuali apabila dituangkan ke dalam
bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Sebagaimana
contohnya dalam Firman Allah surah al-Baqarah ayat 264.26
2. Amṡāl al-Qur’an dapat mengungkap hakikat-hakikat sesuatu
yang abstrak menjadi sesuatu yang konkrit atau nyata.
Sebagaimana Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 27527
tentang perumpamaan orang-orang pemakan riba yang ditipu hawa
26 QS. al-Baqarah (2) ayat 264.
ها ي أ يني ٱل تكمب صدق لوا تبط ل ءامنوا ذىوٱلمن
يكٱل مالٱل رئاءۥينفق
ٱل اس وليؤمنب رىٱلوموٱلل صابۥفمثلهٱلأخفأ ترابي صفوانعليه ۥهكمثل لي واب
ك اكسبهۥفت م ءم ش رونع يقد ل ا وصل وا فٱلقومليهديٱلل ٢٦٤رينٱلك
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di
atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah).Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
27 QS. al-Baqarah (2) ayat 275.
ين كلونٱل يأ ا بو كمايقٱلر يومليقومونإل يطنيتخب طهٱل منٱلش ٱل مس
إن ما قالوا ن همأ ب ك ل ٱليعذ مثل ا بو ٱلر حل
وأ ٱليعٱلل م وحر ا بو ۥفمنجاءهٱلر
ه ب نر مرهۥفلهٱنتهفۦموعظةيم إلۥماسلفوأ ئكٱلل
ولومنعدفأ
صحبأ
ونٱل ارى ٢٧٥همفيهاخل
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila.
36
nafsunya, diserupakan dengan orang-orang yang sempoyongan
karena kemasukan syaithān.
3. Amṡāl al-Qur’an juga menghimpun makna yang indah dan
menarik dalam bentuk ungkapan yang singkat dan padat sebagai
sebagaimana Amṡāl kamina dan Amṡāl mursalah.
4. Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai
dengan isi matsal, jika itu merupakan suatu hal yang disenangi
jiwa. Sebagaimana contohnya dalam firman Allah surah al-
Baqarah ayat 261 tentang menafkahkan harta di jalan Allah, di
mana perbuatan demikian akan memberikan kepadanya kebaikan
yang banyak.
5. Menjauhkan dan menghindarkan, jika isi matsal adalah sesuatu
yang tidak disenangi oleh jiwa. Sebagai contohnya adalah firman
Allah mengenai larangan menggunjing.
6. Untuk memuji orang yang diberi matsal. Sebagai mana firman
Allah dalam surah al-Fath ayat 29.28
28 QS al-Fath ayat 29: دي م م ر سول ينوٱلل ۥمعهٱل ع اء د ش
ارأ رٱلكف هم بينهمترى دارحاء سج عا ك
ن يبتغونفضلم نٱلل وجورضو يماهمف س ثرانأ جود وههمم كمثٱلس ل ذ لهمف
ٱ ف ومثلهم ة نجيللت ورى شطٱل خرجأ ستوىٱفٱستغلظفۥازره فۥه كزرع ع
بۦسوقه اعيعج ر همٱلز غيظب ل ار ٱوعدٱلكف ينلل ءامنواوعملواٱل لحتٱلص غف يم ارةمنهمم جراعظ
٢٩وأ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka.Kamu lihat mereka ruku´ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada
muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
37
7. Untuk menggambarkan sesuatu yang memiliki sifat tidak baik
menurut pandangan orang banyak. misalnya matsal tentang
keadaan orang yang dikaruniakan kepadanya Kitābullah, namun ia
tersesat dan tidak mengamalkannya.29
8. Amṡāl lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif dalam
memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan,
lebih dapat memuaskan hati. Allah menyebut Amṡāl dalam al-
Qur’an untuk peringatan dan pelajaran.
lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besa.r 29 QS. al-’Arāf ayat 175-176.
وٱتلنبأ يعليهم فٱل تنا ءاي لخٱنسءاتينه تبعه
فأ يطنمنها منفكنٱلش
هاولكن هولو١٧٥ٱلغاوين ئنالرفعنهب ۥشإلأ خل رض
فٱت بعوٱل ه ۥمثلههوى كمثل
كهيلهث ٱلكب وتتكمإنتملعليهيلهثأ ل ينٱلقومثلذ ٱل بوا تناباكذ ي
ف رونٱلقصصٱقصص ١٧٦لعل هميتفك
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab),
kemudian dia ssmelepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti
oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-
orang yang sesat.Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung
kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir
38
B. Kajian Teoritis Buta Tuli dan Bisu
Penyandang ketunaan berasal dari kata “tuna”, dari Jawa Kuno
yang berarti rusak atau rugi. Penggunaan kata ini diperkenalkan
pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu
kepada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi organ
tubuhnya secara spesifik, seperti istilah tunanetra, tunarungu,
tunadaksa, dan tunagrahita. Penggunaan istilah yang diawali kata
tuna ini dimaksud untuk memperhalus kata cacat demi tetap
menghormati martabat penyandangnya, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya kata tuna digunakan untuk bentuk
istilah yang mengacu pada kekurangan non-organik seperti
tunawisma, tunasusila,dan tunalaras. 30
Kata disabilitas berasal dari kata disable atau disability yang
artinya cacat atau ketidakmampuan, cacat jasmani yang terdiri dari
kata dis berarti tidak dan ability yang artinya mampu, jadi artinya
dari disability adalah ketidakmampuan.31 Istilah lainnya yang
digunakan untuk penyebutan penyandang cacat adalah difabel.
Kata difabel pertama sekali diperkenalkan oleh Mansour Fakih
pada tahun 1995 yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu differently
able (orang yang berkemampuan berbeda) yang kemudian
dialihbahasakan menajdi difabel32. Kedua istilah tersebut sama-
sama digunakan untuk menunjukkan istilah penyandang cacat.
30 Ahmad Sholeh, Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap
Perguruan Tinggi ( Yogyakarta : Lkis, 2016), 21.
31 John M. Echol dan Hassan Saddily, Kamus Besar Bahasa Inggris
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1983), h. 167.
32 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Kerja dan ketatanegaraan: Tafsir
al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur’an), h. 496.
39
Istilah disabilitas lebih digunakan untuk penyebutan kepada orang
yang mempunyai hambatan atau kekurangan, misalnya disabilitas
mata, disabilitas pendengaran dan lain sebagainya. Adapun istilah
difabel lebih kepada orang yang mempunyai keahlian khusus atau
skill tertentu misalnya main gitar, menyanyi dan sebagainya,
sehingga didapat ungkapan “kelompok difabel yang menjuarai
satu cabang perlombaan catur sehingga mengharumkan nama
Indonesia”.
1. Pengertian Buta, Tuli dan Bisu
Secara langsung tidak ditemukan term dalam al-Qur’an yang
menunjukkan makna cacat, melainkan hanya ditemukan beberapa
term yang memberikan indikasi makna bagian dari kategori
penyandang difabel. Dengan bantuan kitab yang menghimpun
lafaz-lafaz dalam al-Qur’an, terdapat beberapa kosa kata yang
masuk dalam kategori penyandang cacat. Pada penelitian ini
penulis hanya akan membahas tiga lafaz yang di antaranya yaitu,
lafaz عمي yang artinya memiliki makna orang-orang yang buta,
lafaz بكم yang menunjukkan makna bisu (tunawicara), lafaz صم
dan derivasinya yang menunjukkan kata tuli(tunarungu).
Sebagaimana Firman Allah Swt surat al-Baqarah (2) ayat 18:
عونصم فهمليرج ١٨بكمعميMereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar).
Ayat ini memiliki hubungan dengan ayat sebelumnya yaitu surat
al-Baqarah ayat 17 yang dalam kitab tafsirnya Quraish Shihab
40
menjelaskan bahwa mereka (orang-orang munafik) enggan untuk
memanfaatkan api dan cahaya itu yang demikian berarti itu
menjadi sia-sia, sehingga cahaya yang semestinya menerangi jalan
mereka dipadamkan oleh Allah walau pun apinya sendiri tidak
padam, sehingga mereka menderita akibat panasnya api dan
hilangnya cahaya. Allah Swt., membiarkan mereka dalam keadaan
kegelapan-kegelapan sehingga mereka tidak dapat melihat tuli,
bisu dan buta.33 Dalam ayat ini disebutkan mereka tidak hanya
dalan satu kegelapan saja melainkan kegelapan-kegelapan.34
Sedangkan pada ayat 18 merupakan penjelas bagi keadaan
orang-orang yang digambarkan pada ayat 17. Bahwa makna tuli,
bisu dan buta dalam ayat ini yaitu “mereka (orang-orang kafir dan
munafik) tidak memanfaatkan potensi yang diberikan Allah
kepadanya sehingga mereka tuli tidak dapat mendengar petunjuk,
bisu tidak mengucapkan kebenaran, dan buta tidak melihat tanda-
tanda kebesaran Allah”. Dengan demikian, semua alat-alat (mata,
telinga, lidah, hati) yang diberikan oleh Allah untuk digunakan
dalam memperoleh petunjuk telah lumpuh, dan pada akhirnya
mereka tidak dapat kembali taubat dan menyadari kesesatan
mereka.35
Ada pun Abu Ja’far mengatakan bahwa makna صم بكمعميعون يرج ل adalah firman-Nya yang terletak di akhir tapi فهم
berposisi di awal, dan makna ayat selengkapnya adalah terkandung
dalam surat al-Baqarah ayat 16 sampai dengan 18. Sedangkan
33 Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ jilid 1, 113.
34 Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ jilid 1, 113-114.
35 Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ jilid 1, 114.
41
bentuk mar’fu dalam ayat 18 menunjukkan indikasi celaan, dan
orang Arab biasa menggunakan ini dalam pujian dan celaan.36 Abu
Ja’far mengatakan bahwa ayat ini adalah informasi dari Allah
mengenai orang-orang munafik, bahwa perilaku mereka membeli
kesesatan dengan petunjuk tidak akan menunjuki mereka kepada
petunjuk dan kebenaran, justru menjadikan mereka tuli sehingga
tidak dapat mendengar seruan kebenaran, dan bisu sehingga tidak
dapat mengatakan kebenaran dan buta sehingga tidak dapat melihat
kebenaran, karena Allah telah mengunci-mati hati mereka
disebabkan kemunafikan mereka.37 Dengan kata lain lafaz-lafaz
buta,tuli dan bisu yang dimaksud di dalam ayat memiliki makna
konotasi/hiasan yang menggambarkan betapa orang-orang kafir
dan munafik berada dalam kesesatan kegelapan seolah-olah
mereka buta, tuli dan bisu.
Selanjutnya Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa kata tuli, bisu dan buta merupakan tasybih baligh yakni
mereka seperti orang yang tuli, bisu dan buta dalam hal tidak dapat
menarik faedah dari indra-indra itu. Surat al-Baqarah ayat 17
sampai dengan 20 saling berkaitan dan membangun makna yang
mengandung ekspresi yang kuat, efek yang dalam dan
perumpamaan yang memukau. Pada ayat-ayat tersebut al-Qur’an
diumpamakan dengan hujan. Bila hujan turun, bumi menjadi
hidup, sebagaimana al-Qur’an menghidupkan jiwa-jiwa yang mati,
36Abu Ja’far al-Ṭabāri, Jāmi’ al-Bayān an Ta’wil Ayi al-Qur’an, jilid ke-
1penerjemah Akhmad Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 413.
37 Abu Ja’far al-Ṭabāri, Jāmi’ al-Bayān an Ta’wīl Ayi al-Qur’ān, jilid ke-1,
414
42
Sementara orang-orang yang tersesat melihat bahwa di dalam al-
Qur’an terdapat syubhāt-syubhāt yang serupa dengan kegelapan
yang menggiring turunnya hujan. Dalam ayat-ayat ini juga
terkandung janji dan ancaman yang dahsyatnya bagaikan petir.38
Adapun mengenai ayat ke 18, Wahbah Zuhaili menjelaskan
bahwa orang-orang munafik menelantarkan perasaan dan indra
mereka. Mereka tidak memfungsikan manfaat telinga. Mereka
tidak mendengar nasihat orang lain dan bahkan mereka tidak
paham jika mendengarnya, seolah-olah mereka tuli, tak mendengar
kebenaran. Mereka juga menelantarkan manfaat berbicara,
bertanya dan berdiskusi, mereka tidak menuntut bukti atas suatu
masalah, tidak meminta penjelasan atas suatu persoalan seakan-
akan mereka bisu, tidak mampu untuk berbicara. Mereka pun tidak
memanfaatkan fungsi penglihatan, mereka tidak memandang dan
mengambil pelajaran dari berbagai cobaan yang melanda mereka
dan ujian yang menimpa berbagai umat, yang demikian mereka
seakan-akan buta dan tidak dapat melihat petunjuk. Mereka sama
sekali tidak berpaling dari keadaan mereka, enggan untuk
meninggalkan kesesatan menuju kebenaran. 39
Berdasarkan penjelasan dan penafsiran dari para penafsir di
atas, semuanya menyatakan bahwa makna bisu, tuli dan buta dalam
ayat ini merupakan “perumpamaan” bagi keadaan mereka yang
tidak mampu untuk mendengar, mengatakan dan melihat
kebenaran petunjuk dari Allah yang disampaikan melalui para
38 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid-1 penerj. Abdul Hayyie al-Kattani
(Jakarta: Gema Insani, 2013), 62.
39 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munīr jilid-1, 64.
43
utusan-Nya. Mereka tidak menggunakan alat-alat indra yang Allah
berikan untuk menjemput hidayah mereka, yang demikian
menyebabkan mereka berada dalam kegelapan yang berlipat-lipat
dan tidak menemukan jalan untuk kembali kegelapan itu.
Selain ketiga lafaz di atas, terdapat beberapa derivasi lafaz-lafaz
tersebut yang tersebar di dalam al-Qur’an. Derivasi dalam kamus
besar bahasa Indonesia memiliki arti yaitu proses pengimbuhan
afiks yang tidak bersifat infleksi pada bentuk dasar untuk
membentuk kata. Derivasi juga dapat bermakna sebagai proses
pembentukkan kata-kata baru atau perubahan morfemis yang
menghasilkan kata dan identitas morfemis lainnya.40
(Umyun) عمي (1
Secara bahasa tunanetra terdiri dari dua suku kata yaitu tuna dan
netra. Tuna berarti rusak, luka, kurang atau tidak memiliki,
sedangkan netra berarti mata. Maka jika kedua suku kata
digabungkan menjadi nutanetra artinya menjadi orang yang rusak
atau luka matanya sehingga tidak dapat atau kurang dalam
pengelihatannya. Terdapat dua jenis tunanetra yaitu buta total dan
buta sebagian (low vision). Menurut Kamus Besar Bahasa
pengertian tunanetra adalah tidak dapat melihat, buta. Adapun
menurut Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) 2004
mendefinisikan bahwa tunanetra sebagai mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali(buta total) hingga mereka yang
masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan
40 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.
3. cet. 3. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 345.
44
penglihatannya untuk membaca tulisan dalam keadaan cahaya
normal meskipun dibantu dengan kacamata.41
a. Klasifikasi Tunanetra
Berikut adalah klasifikasi tunanetra menurut Lowenfeld
berdasarkan waktu terjadinya kebuta-an :
1) Kebutaan yang dialami setelah lahir atau ketika masih
kecil. Mereka telah mempunyai kesan-kesan serta
pengalaman visual, akan tetapi belum terlalu kuat dan
mudah terlupakan.
2) Kebutaan yang dialami pada usia sekolah atau ketika usia
remaja. Mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual yag cukup dan meninggalkan pengaruh
yang mendalam terhadap proses pengembangan pribadi.
3) Kebutaan yang dialami ketika usia dewasa. Pada umumnya
para penyandang kebutaan pada usia dewasa dengan
kesadaran penuh mampu melakukan penyesuaian diri.
4) Kebutaan pada usia lanjut. Sebagian besar dari para
penyandangnya sudah sulit mengikuti latihan-latihan
penyesuaian diri.
5) Tunanetra akibat bawaan.42
Sedangkan dalam al-Qur’an kata buta direpresentasikan oleh
lafaz-lafaz seperti ى merupakan bentuk isim fa’il dan (a’mā) الاعما
adalah bentuk jamaknya yang berasal dari (umyun‘) عمي
41 Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(Jakarta: Balai Pustaka, tt), 1082. 42 Safrudin Aziz, Perpustakaan Raman Difabel (Yogyakarta: AR-Ruzz
Media, 2014), 41.
45
mufradat(kosa kata) bahasa Arab dalam bentuk (kata kerja) عاميا
(fi’il māḍi), ى ياعما (fi’il muḍāri’). Kosa kata ini secara bahasa
memiliki arti hilangnya seluruh penglihatan. Pengertian ini sesuai
dengan kata tunanetra dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam
kamus Muṣṭalaḥāt al-‘Ulum al- Ijtima’iyah al-Injiliziy wa al-
‘Arabiy, kata ااعماى berarti suatu keadaan terhambatnya
penglihatan yang mencakup kebutaan total maupun keadaan-
keadaan lain yang mendekatinya, yang dalam bahasa inggris
disebut blindness.43 Berdasarkan hasil penelusuran melalui kitab
Mu’jam al-Mufḥras lil Alfāz al-Qur’an al-Karim kata buta dan
derivasinya terulang sebanyak 33 kali dalam 30 ayat yang tersebar
dalam 21 surat. 44
a. Lafaz buta dalam wazan Fi’il Māḍī Ma’lūm dalam Surat al-
Māidah ayat 71, dan Fi’il Māḍī Majhūl dalam surat Hūd ayat 28
adalah فاعاموا , يات فاعم :
بو وحس ا فتنةي تكون ل وصم أ فعموا وا تاب ثم ثم ٱلل يهم
علنهمو م واكثيري عمواوصم ير ٱلل مايعملونبص ٧١ب
Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun
(terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka
(karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah
menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka
43 Ibnu Manzhur, Lisān al-Arab jilid 4 (Beirut: Dar Shadir, 2010), 3115.
44 Muhammaad Fuad ‘Abd al-baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-
Qur’an al-Karim ( Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H), 488-489.
Sebaran ayat-ayat tersebut adalah surah al-Baqarah [2]: 18, 171, al-Maidah [5] :
71, al-An’am [6]: 104, 50, al-A’raf [7]: 64, Yunus [10]: 43, Hud [11]: 24, 28, al-
Qashas [28]: 66, al-Ra’d [13]: 16, 19, al-Isra [17]: 73, 97, al-Hajj [22]: 46, Ṫaha
[20]: 124, 125, al-Nur [24]: 61, al-Furqan [25]: 73, al-Naml [27]: 66, 81, al-Rum
[30]: 53, Faṭir [35]: 19, al-Ghafir [40]: 58, al-Fushilat [41]: 17, al-Zukhruf [43]:
40, Muhammad [47]: 23, al-Fath [48]: 17, Abasa [80]: 2.
46
buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan
نةقال بي ع كنت إن رءيتم
أ يقوم رحةم ن وءاتى بي نر نم
ه يتۦعند فعم نلزمكموهاوأ
٢٨نتملهاكرهونعليكمأ
Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku
rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa
akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu
tiada menyukainya?
b. Lafaz buta dalam bentuk Fi’il muḍāri’ surat al-Hajj (22) ayat
46:
فلم أ ف يروا يس رض
ٱل ءاذاني و
أ ها ب يعقلون قلوبي لهم فتكون
ن ها فإ ها بصرلتعميسمعونبنتعمٱل ٱلقلوبولك ت
ٱل فدور ٤٦ٱلص
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada.
c. Kata buta dalam wazan Isim Fāil adalah عمياانا ياالعم , ى , الاعما
yaitu terdapat pada surat Yūnus ayat 43, al-Furqān ayat 73 dan Hūd
ayat 24:
نتتهديومنهمفأأ نينظرإلك ونٱلعمم ٤٣ولوكنواليبص
Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah
dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta,
walaupun mereka tidak dapat memperhatikan
47
ين رواباوٱل اوعمياناإذاذك واعليهاصم هملمير رب ٧٣يتDan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-
ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai
orang-orang yang tuli dan buta.
عمكٱلفريقين۞مثلصم وٱل
يروٱل وٱلص ميع ٱلس هليستويان
أ رونمثل ٢٤فلتذك
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-
orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang
dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu
sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil
pelajaran (daripada perbandingan itu)
d. Kata buta dalam wazan Isim Maṣdar adalah ى terdapat العاما
dalam surat Fuṣilat ayat 17:
ا م ثمودفهدينهمفوأ ٱلعمٱستحب وا خذتهمصعقةٱلهدىع
فأ
بونٱلهونٱلعذاب ماكنوايكس ١٧بDan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri
petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan)
daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang
menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan
e. Kata buta dalam bentuk wazan lainnya adalah عامينا ,عامونا
terdapat dalam surat al-Naml ayat 66 dan suratal-A’rāf ayat 64:
ركبل ٱد رة علمهمف نهاٱلأخ بلهمم نها م شك عمونبلهمف٦٦
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai
(kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-
lebih lagi mereka buta daripadanya
48
بوه وفكذ نجينهينفأ ۥمعهٱل فلكٱلف غرقنا
ينوأ بوٱل اكذ
إن همكنواقوماعبا ٦٤مينيتناMaka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan
dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami
tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).
صم (2 (Ṣummun)
Tunarungu adalah suatu kondisi yang dialami seseorang ketika
kehilangan pendengaran yang mengakibatkannya tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui
pendengarannya. Dikatakan juga bahwa tunarungu adalah sebutan
bagi individu yang mengalami kehilangan kemampuan untuk
menerima sinyal auditif sehingga tidak dapat mendengar secara
menyeluruh atau sebagian. Secara fisik, penyandang tunarungu
dari lahir tidak berbeda dengan orang pada umunya, sebab orang
akan mengetahui bahwa penyandang tunarungu pada saat
berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang
tidak jelas artikulasinya, atau tidak berbicara sama sekali. 45
Andreas Dwidjosumarto46 mengemukakan bahwa seseorang
yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan
tunarungu. Adapun tunarungu dibedakan menjadi dua kategori
yaitu: tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah
seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan
dalam taraf berat sehingga ia tidak berfungsi, sedangkan kurang
dengar adalah seorang yang indera pendengarannya mengalami
45 Husamah, Kamus Psikologi A to Z Super Lengkap ( Yogyakarta: Penerbit
ANDI, tt), 442.
46 Dikutip dari Didi Tarsidi, “Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi
Kognitif Anak”, Makalah, 9
49
kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik
dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing
aids). Tingkat ketajaman pendengarannya dapat diketahui dengan
“tes audiometris”.47
Secara medis kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran.48
Klasifikasi tunarungu menurut etiologi adalah sebagai berikut:
a. Faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtuanya
mengalami ketunarunguan. Tunarungu jenis ini disebut tunarungu
genetik. Biasanya koklea anak tidak berkembang secara normal
akibatnya terjadi kelainan pada organ korti.
b. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit cacar atau
campak (rubela, german measles) sehingga anak yang dilahirkan
menderita tunarungu mustisin. Selain itu juga megakibatkan
kerusakan pada koklea dan terjadi tunarungu perseptif.
c. Ibu yang mengandung menderita keracunan darah atau
toksemia akibatnya plasenta rusak dan memberi pengaruh terhadap
pertumbuhan janin, anak yang kan lahir akan menjadi tunarungu.
d. Anak yang mengalami infeksi pada kelahiran yang
menyebabkan kerusakan pada alat atau syaraf pendengarannya
yang meliputi meningitis atau peradangan selaput otak
mengakibatkan tunarungu perseptif atau otitis media kronis.
47 Ahmad Sholeh, Aksesibilitas Penyandang Disabilitas terhadap Perguruan
Tinggi, 27-28.
48 Keperawatan anak-anak untuk spk, 216.
50
e. Otosklerosis ialah tumbuh tulang pada sekitar fenestra ovalis
atau pada ketiga tulang pendengaran.
f. Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat-alat
pendengaran bagian dalam. 49
Adapun dalam al-Qur’an tuli atau tunarungu digambarkan oleh
bebera lafaz di antaranya lafaz dan derivasinya (bentuk jamak) صم
di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 15 kali dalam 14 ayat dan
tersebar dalam 13 surat.50 Kata berasal dari kata صم مما صا
bentuk ṡulāṡī mujarrad yang menjadi taḍ’īf yaitu م م-صا -ياصا
ا م ما-صا ما صا dan memiliki pengertian tersumbatnya telinga dan
beratnya pendengaran. Bentuk isim fā’il dari lafaz م nya adalah صا
م “ artinya orang yang tuli. Dikatakan bahwa ااصا م الشخس:صا
سامعه artinya hilangnya pendengarannya. Sedangkan lafaz ”ذاهابا
tuli (هم م .adalah bentuk dari wazan Fi’il māḍī muta’addī-nya (فاااصا
Berikut beberapa derivasi lafaz tuli di dalam al-Qur’an :
a. Tuli dalam wazan Fi’l Māḍī Ma’lūm dan Fi’l Māḍī Muta’ddī
surat al-Māidah(5) ayat 71 dan Muhammad(47) ayat 23:
و بوا تكونفتنةيفعمواحس ل وأ وصم تابا ثم يهمثٱلل
عل م نهمو م واكثيري عمواوصم ير ٱلل مايعملونبص ٧١ب
49 Keperawatan anak-anak untuk spk, h, 217.
50 Muhammaad Fuad ‘Abd al-baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-
Qur’an al-Karim, 456.
al-Baqarah [2]: 18, 171, al-Māidah [5] : 71, al-An’ām [6]: 39, al-Anfal [8]: 22,
Yūnus [10]: 42, Hūd [11]: 24, al-Isrā [17]: 97, al-Anbiyā [21]: 45, al-Furqan
[25]: 73, al-Naml [27]: 70, al-Rūm [30]: 52, al-Zukhruf [43]: 40, Muhammad
[47]: 23.
51
Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun
(terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka
(karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah
menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka
buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan
ئك ولينأ لعنهمٱل همٱلل صم
بصرهمفأ
أ عم
٢٣وأ
Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-
Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.
b. Lafaz tuli dalam wazan Isim fā’il dalam surat al-An’ām(6) ayat
39:
ين بواباوٱل ييتناكذ صم وبكميف لمت منيشإٱلظ يضللهٱلل ستقيم رطم ص يعلهع
٣٩ومنيشأ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah
pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang
dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya
petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan
yang lurus.
3) Bisu بكم
Setiap gangguan bicara yang dialami seseorang dan berpotensi
menghambat komunikasi verbal yang efektif disebut tunawicara.
Gangguan bicara dapat muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat
bicara, artikulasi yang aneh dan tidak sesuai, gagap, tidak mampu
menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks, penggunaan
bahasa yang aneh atau sedikit berbicara. Terdapat pula tunawicara
karena mengalami kondisi kelainan bahasa. Dalam bahasa
ilmiahnya disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay
52
yaitu orang yang memiliki gannguan kesulitan memahami bahasa
lisan yang didengarnya atau pun tidak bisa mengekspresikan pikiran
secara verbal akibat gagal menemukan kata yang sesuai.51
Selanjutnya di dalam al-Qur’an kata tunawicara salah satunya
digambarkan denga lafaz كم ب yang memiliki arti bisu dan
derivasinya di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 6 kali yang
tersebar dalam 5 surat.52 Kata بكم adalah jamak dari kata اابكام,
berasal dari kata باكيم-يابكام-باكما وا باكم وا اابكام فاهوا باكاما ة باكااما . Di
dalam Lisan al-Arab dikatakan bahwa lafaz بكم juga bisa berasal
dari .باكما53 Menurut Tsa’laba dalam Lisan al-Arab dikatakan bahwa
makna لباكاما adalah “seseorang yang terlahir dalam keadaan tidak
memiliki kemampuan berbicara, mendengar dan melihat.”54
Adapun al-Azhari berendapat bahwa terdapat perbedaan antara
س س .البكم dan الاخرا memiliki makna yaitu orang yang الاخرا
dilahirkan dalam keadaan sama sekali tidak memiliki kemampuan
berbicara sebagaimana hewan buas. Sedangkan الابكام adalah orang
yang lisan-nya mampu berbicara akan tetapi tidak dapat
mengetahui jawaban atau topik pembicaraan dan juga tidak
mengetahui dengan baik bentuk-bentuk percakapan. Sedangkan
51 Dewi Panji dan Winda Wardani, Sudahkah Kita Ramah Anak Special
Needs? ( Jakarta: Alex Media Komputindo, 2013), 20.
52 Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an
al-Karim, 133.
yaitu pada surat al-Baqarah [2]: 18, 171, al-An’am [6]: 39, al-Anfal [8]: 33, [16]:
76 dan al-Isra [17]: 97.
53 Ahmad Mukhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Ma’āshirah
(al-Qahirah: Âlim al-Kutub, 2008), 235-236
54 Lihat Lisān al-‘Arab, 53.
ع لاياسما ثاعلاب:الباكاماانيولاداالإنساانلايانطقوا قاالا اابكامواوا هوا ة,وا لايبصر,باكااما وا ااباكيم سا يااخرا
. سا را باي نالخا
53
menurut Ibnu al-Atsī البكم adalah jamak dari الابكام yang bermakna
yaitu orang yang terlahir dalam keadaan bisu, kerena mereka tidak
diberikan manfaat dari pendengaran atau kemampuan
berbicaranya, yang demikian karena kedua fungsi tersebut telah
dihilangkan.55 Sedangkan Berikut derivasi lafaz bisu dalam al-
Qur’an:
a. Lafaz bisu dalam wazan Isim Fāil Jama surat al-Anfāl ayat 22 :
ش ۞إن واب عندٱلد م ٱلل ينكمٱلٱلص ليعقلونٱل ٢٢
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya
pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang
tidak mengerti apa-apapun
b. Lafaz bisu dalam wazan isim fā’il mufrad dalam surat al-
Nahl(16) ayat 76:
وضب حدهماٱلل أ بكمثلر جلين
ءوهومأ ش رع ليقد
ليأ هه ينمايوج
هأ مولى ع يرهليستويهوومنيك
ب مرتأ
ستقيمٱلعدلب رطم ص وهوع
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi
beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh
penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh
berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus
55 Ibnu Manzhur, Lisānal-Arab jilid 12, 53
54
C. Klasifikasi Ayat-Ayat Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an
Berikut adalah kalsifikasi ayat-ayat buta, tuli dan bisu dalam
beberapa tema di antaranya terkandung dalam ayat-ayat permisalan
dalam al-Qur’an.
1. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang buta, tuli dan bisu (mata
hatinya)dalam menerima risalah para nabi, mereka lebih memilih
gelapnya kesesatan, berikut terdapat dalam QS 7:64, QS 27:81, QS
27:80, QS 41:17, QS 43:40, QS 30:52, QS 30:53, QS 5:71, QS
17:97.
2. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang buta mata hatinya dalam
mendustakan ayat-ayat Allah terkandung dalam QS. 11:24, QS.
11:28, QS. 25:73, QS. 6:39, QS. 8:22, QS. 13:19, QS. 22:46, QS.
21:45, QS. 41:44 :
3. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang buta, tuli lagi bisu
disebabkan menjadikan sekutu selain Allah yaitu terdapat pada QS.
16:76, QS. 13:16, QS. 6:60, QS. 16:76.
4. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang hilang kemampuan
pancaindranya dalam menerima kebenaran ajaran Allah, berikut
terdapat pada QS. 10:42, QS. 6:104, QS. 2;18, QS. 2:171.
5. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang Allah hendaki buta dan
tuli mata hatinya disebabkan oleh kesombongan dan ingkarnya
mereka terhadap kekuasaan Allah, QS. 35:19, QS. 40:58, QS. 47:
23.
6. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang Allah kumpulkan dalam
keadaan buta di Akhirat, QS. 20: 124-125, QS. 27:66, QS. 28:66,
QS. 17: 72.
55
7. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang cacat secara fisik,
berikut dalam QS. 80: 2, QS. 3:49, QS. 24: 61, QS. 48: 17, QS.
5:110.
56
56
BAB III
MAKNA AYAT-AYAT BUTA TULI DAN BISU
Lafaz-lafaz yang memiliki makna buta, tuli dan bisu banyak
ditemui dalam surah dan ayat-ayat al-Qur’an. Pada umumnya
lafaz-lafaz tersebut dalam al-Qur’an digunakan dengan tujuan
makna konotasi. Maksudnya adalah makna buta, tuli dan bisu
digunakan oleh Allah dalam mengumpakan orang-orang yang
tidak menggunakan pancaindra (mata, telinga dan mulut) dengan
baik sehingga tidak mampu memaksimalkan fungsi-fungsi dari
ketiganya, yang berakibat pada hasil dari penurunan fungsi dalam
menangkap informasi oleh ketiga pancaindra tersebut.
Terdapat beberapa jenis amṡal dalam ilmu al-Qur’an. Salah
satunya adalah yang paling zahir yaitu amṡal muṣarraḥah. Jenis
amṡal ini memiliki ciri-ciri salah satunya bahwa ayat-ayat amṡal
mengandung kata-kata “perumpamaan” seperti maṡala. Oleh
karena itu, setelah penulis menelaah ayat-ayat yang mengandung
makna buta, tuli dan bisu, maka penulis memfokuskan kepada ayat-
ayat yang mengandung ciri-ciri tersebut yaitu terdapat pada:
A. Orang yang Buta Matahatinya dalam Kedustaan Terhadap
Ayat-Ayat Allah dalam Surat Hud(11) ayat 24.
عمى ك ٱلفريقي ۞مثل صم و ٱل
ميع و ٱلصي و ٱل هل يستويان ٱلس
رون فل تذك أ ٢٤مثلا
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-
orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang
dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu
57
sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil
pelajaran (daripada perbandingan itu).
Ibnu Qayyim mengatakan dalam kitabnya bahwa Allah
menggambarkan orang-orang kafir sebagai orang-orang yang tidak
dapat melihat dan mendengar, sedangkan orang-orang mukmin
adalah orang-orang yang memiliki iman, amal saleh, tunduk
kepada Allah dan senantiasa beribadah lahir batin. Maka orang-
orang kafir itu buta dan tuli karena hati mereka tidak melihat dan
mendengar dengan hati mereka sebagaimana mata mereka melihat
dan telinga mereka mendengar. Setelah memberikan perumpamaan
tersebut, ayat ini menafikan persamaan antara kedua belah pihak
dengan kalimat “adakah kedua golongan itu sama keadaan dan
sifatnya?”1
1. Penafsiran menurut al-Ṭabarī
Adapun pendapat Abu Ja’far dalam kitab tafsirnya ia
menuturkan bahwa Allah swt berfirman dan menjelaskan ayat
tersebut sebagai “perbandingan kedua golongan, yaitu orang-orang
kafir dan orang-orang beriman. Golongan yang pertama yaitu
orang kafir dianalogikan dengan orang buta yang tidak dapat
melihat apa-apa dengan mata kepala sendiri, dan orang tuli yang
tidak dapat mendengar apapun. Jadi demikianlah golongan pertama
yaitu orang-orang kafir yang tidak dapat melihat kebenaran dan
tidak mampu mengikutinya dan beramal dengannya, lantaran
kelalaiannya yang disebabkan kekafirannya kepada Allah swt dan
mengalahkan kehinaan Allah atasnya, tidak mendengar seruan
Allah yang mengajak kepada jalan petunjuk. Dia terus-menerus
1 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Amṡalatul Qur’ān, terj. Anwar Wahdi Hasi
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 17.
58
berada dalam kesesatan dan bimbang dalam keraguannya. Adapun
kondisi golongan yang kedua yaitu dari orang-orang mukmin yang
dianalogikan dengan orang yang dapat mendengar dan melihat.
Mereka mendengar dan melihat bukti dan keterangan-keterangan
Allah, mengakui dengan apa yang telah ditunjukkan kepadanya
dengan menuhankan Allah, meninggalkan sesembahan patung dan
berhala lainnya, mengakui kenabian para nabi serta mendengar
seruan dan panggilan Allah, lalu menjawab panggilan tersebut dan
melaksanakannya semata-mata karena taat kepada Allah.2
Demikian perumpamaan ini dibuat oleh Allah sebagai gambaran
orang-orang kafir dan orang-orang mukmin yang tidak akan pernah
sama dalam pandangan Allah. Buta,tuli, mendengar dan melihat
masuk ke dalam empat lafaz, akan tetapi maknanya hanya menjadi
dua. Maka dari itu diakhir ayat dikatakan “ ان مثلا هل يستوي ”
adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Makna
sifat yang pertama menjadi “yang buta tuli” dan makna yang kedua
adalah “yang mendengar melihat”.
2. Penafsiran menurut al-Qurṭubi
Al-Qurṭubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa maksud dari
firman Allah dalam ayat ini adalah sebagaimana ia kutip dari al-
Nuhās yaitu ketentuannya adalah perumpamaan golongan yang
kafir seperti orang yang buta dan tuli, dan perumpamaan golongan
yang mukmin seperti orang yang mendengar dan melihat. Oleh
karena itu, Allah swt, berfirman “ هل يستويان مثلا” “adakah
2 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, terj. Anshari
Taslim dkk, jilid 23 ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 899-901.
59
kedua golongan itu sama?” kalimat ini dikembalikan kepada dua
golongan tersebut. Kemudian al-Qurṭubi mengutip dari al-Ḍaḥḥāk
yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang yang buta
dan tuli seperti orang kafir, sedangkan orang yang melihat dan
mendengar adalah seperti orang mukmin.” Sedangkan yang
dimaksud dengan “ أفل تذكرون” “maka tidakkah kamu megambil
pelajaran (daripada perbandingan itu?)” maknanya adalah dalam
kedua sifat tersebut sedangkan kalian melihatnya. 3
3. Penafsiran manurut Hamka
Adapun pendapat Hamka sebagaimana dikutip dari tafsirnya. Ia
mengatakan bahwa ayat ini meminta kita untuk mengumpamakan
dan membandingkan perbedaan di antara seseorang yang tuli
berbicara dengan seseorang yang pendengarannya jelas dan
penglihatannya pun jelas. Tentu akan berbeda di antara keduanya.
Si buta tidak akan mampu membedakan warna dan menunjukkan
ukuran karena alat penglihatan untuk membandingkan tidak ada.
Sedangkan orang yang tuli, tidak akan mampu mendengar suara
baik suara itu nyaring atau pun tidak, jauh ataupun dekat, dia tidak
akan mampu membedakannya. Demikian ini adalah perumpamaan,
karena maksud ayat ini adalah buta hatinya dan tuli jiwanya. 4
Hamka menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa “ هل يستويان
apakah sama kedua golongan tersebut sama dalan ”مثلا
perumpamaannya? maksudnya adalah apakah sama orang yang
3 Imam al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān, terj. Faṭurrahman jilid ke-
9(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 52-53. 4 Abdul malik Abdulkarim Abdullah, Tafsiir Al-Azhar, Juz XII (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1982), 35.
60
hatinya tertutup dari kebenaran dengan orang yang hatinya terbuka
karena keimanan. Adakah persamaan di antara orang yang datang
ke dunia tetapi tidak melakukan apapun dengan orang yang
menentukan hidupnya yang sementara di dunia ini, tetapi memberi
nilai hidup yang sebentar itu dengan bekas yang beratus tahun.
Tentu keduanya sama sekali berbeda. Hamka menjelaskan dalam
tafsirnya bahwa ayat ini hendaknya membuat manusia sadar bahwa
Allah menjadikan manusia hidup dan diberikan alat hidup berupa
akal dan pikiran, jika tidak digunakan dengan benar maka
kedatanganya ke dunia ini akan sia-sia. Ayat ini memberikan
petunjuk dan tuntunan kepada kita bahwa dalam beragama
hendaklah dengan peringatan dan kesadaran, dengan berpikir dan
menilai. Kemudian menjadi jelas bahwa kedatangannya (manusia)
di muka bumi ini bukanlah semata-mata untuk makan, minum dan
berkelamin. Nilai kehidupan sungguh jauh lebih tinggi, dan sangat
tinggi dari sekedar itu, hendaknya manusia sadar dan ingat.5
4. Penafsiran menurut Sayyid Quṭb
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Sayyid Quṭub adalah
bahwa makna “ مثل ٱلفريقين كٱلعمى وٱلصم وٱلبصير وٱلسميعا”
adalah sebuah gambaran indrawi yang mempersonifikasikan
kondisi dua golongan. Golongan pertama digambarkan seperti
orang yang buta yang tidak mampu melihat dan orang yang tuli
yang tidak mampu mendengar. Dengan kata lain orang yang tidak
dapat memanfaatkan fungsi dan tujuan dari pancaindranya yaitu
sebagai alat pemberi informasi bagi hati dan akal agar mampu
5 Hamka, Tafsiir Al-Azhar juz XII, 36.
61
memahami dan merenungkan. Yang demikian seolah-olah dia
tidak dikaruniai kedua pancaindra tersebut. Sedangkan golongan
yang kedua digambarkan seperti orang yang memiliki kemampuan
melihat dan mendengar, sehingga penglihatan dan pendengarannya
itu memberinya petunjuk.6
Selanjutnya makna “ هل يستويان مثلا” menurut penjelasan
Sayyid Quṭub dalam tafsirnya yaitu bahwa lafaz ini merupakan
pertanyaan mengenai gambaran permisalan ini tidak membutuhkan
sebuah jawaban, karena gambaran tersebut merupakan jawaban
yang telah ditetapkan. Sedangkan lafaz terakhir yaitu “ أفل
dijelaskan bahwa yang diperlukan dari perumpamaan ini ”تذكرون
hanya mengambil pelajaran, karena yang demikian merupakan
perkara aksiomatik.7
Surat Hūd dalam kronologi penurunannya adalah termasuk surat
yang masuk ke dalam kategori surat makiyah. Surat ini banyak
menampilkan kisah-kisah yang menjadi batang tubuh surat ini dan
tampak jelas bahwa pemaparan gerakan akidah rabbaniah dalam
sejarah manusia menjadi sasaran yang amat jelas. Di dalam surat
Hūd kita dapat menemukan tiga poin penting yang berbeda.
Pertama,surat ini mengandung hakikat akidah sebagaimana
tercantum dalam pendahuluan surat. Kedua, berisi gerakan akidah
dalam sejarahnya, dan ini merupakan bagian besar kandungan
6 Syahid Sayyid Quṭb, Tafsir fī Zhilālil Qur’an: Di Bawah Naungan al-
Qur’an, terj. M Misbah jilid ke-7(Jakarta: Robbani Press, 2006), 86. 7 Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān: Di Bawah Naungan al-Qur’an, 86-
87.
62
surat. Ketiga, surat ini memaparkan akibat bagi gerakan ini arahnya
yang terbatas. 8
Berdasarkan penafsiran di atas, penulis menyimpulkan bahwa
para penafsir sepakat mengenai ayat ini yaitu sebagai
perumpamaan orang-orang kafir yang digambarkan sebagai orang
yang buta dan tuli, dan orang-orang-orang mukmin yang
digambarkan sebagai yang dapat melihat dan mendengar. Tentu
keduanya adalah dua keadaan yang sangat berbeda. Dengan
pancaindra manusia mampu menangkap ilmu pengetahuan dan
memprosesnya dengan akal, yang demikian menjadi unsur
pembeda antara manusia dan hewan.9 Dengan kemampuan tersebut
manusia dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mengambil
pelajaran. Maka dari itu ayat ini memberikan perumpamaan
sebagai pelajaran bagi manusia untuk senantiasa menggunakan
segenap pancaindra dan anggota tubuh, merenungkan dengan
pikiran dan kesadaran penuh berusaha secara maksimal dapat
memanfaatkan karunia Allah tersebut secara lahir mapun batin.10
8 Sayyid Quṭb, Tafsir fī Zhilālil Qur’an, terj. As’ad Yasin jilid ke-6 cet ke-
5(Jakarta: Gema Insani, 2000), 179. 9 Tim Penyusun , Al-Qur’an dan Tafsirnya, juz ke-12 (Jakarta: Departemen
Agama Ri, 2004), 402. 10
63
B. Orang-Orang yang Buta Karena Menjadikan Sekutu Selain
Allah swt dalam Surat al-Nahl(16) ayat 76.
وضب ب ٱللحدهما أ
رجلي أ
ء وهو مثلا ى ش كم ل يقدر عل هه ل يأ ينما يوج
ىه أ ى مولى ك عل
ي هل يستوي هو ومن يأ
مر ت ب ستقيم ٱلعدل ب ى صرىط م ٧٦وهو عل
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi
beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh
penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh
berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus.
1. Penafsiran menurut al-Ṭabāri
Abu Ja’far menjelaskan dalam tafsirnya bahwa terdapat
beberapa riwayat memiliki pendapat yang berbeda tentang ayat ini.
64
Pendapat yang pertama11 menyatakan bahwa ayat ini merupakan
perumpamaan yang Allah ciptakan tentang diri-Nya dan tuhan-
tuhan yang disembah selain-Nya. Makna dari “ مثلا وضرب ٱلل
جلين أحدهما أبكم ل يقدر على شيء adalah sesembahan selain ”ر
Allah yaitu berhala yang tidak dapat mendengar dan berbicara
sedikit pun karena ia terbuat dari kayu yang diukir, atau dari
tembaga yang dibuat, tidak mendatangkan manfaat bagi
penyembahnya, dan tidak menghindarkan muḍarat darinya.12
Adapun makna dari “ dan dia menjadi“ ” مولىه وهو كل على
beban atas penanggungnya” adalah orang yang bisu tersebut
menjadi beban tanggungjawab bagi saudara-saudaranya, para
sekutunya,dan orang-orang yang menjadi walinya. Sebagaimana
berhala, akan menjadi tanggungan terhadap orang-orang yang
menyembahnya. Ia perlu dibawa, ditelakkan, dan dilayani oleh
penyembahnya, begitu pula dengan orang bisu yang dengan
ketidakmampuannya menjadi beban untuk para kerabatnya.13
Makna potongan ayat selanjutnya “ هه ل يأت بخي ر أينما يوج ”
adalah ke mana saja dia diperintah oleh penanggungnya itu, dia
11 Pendapat ini dikutip dari riwayat yang sampai kepada Qatadah dan yang
sependapat dengannya. Ia mengatakan bahwa perumpamaan pertama ini dibuat
Allah tentang diri-Nya dan berhala”, kemudian riwayat yang bersandar sampai
kepada mujahid mengatakan bahwa semua perumpamaan ini merupakan tentang
Tuhan yang Haq dan tuhan batil yang disembah di sisi-Nya. Lihat Abdurrazaq
dalam tafsirnya (2/275) dan al-Qurṭubi dalam tafsirnya (10/149) al-Ṭabarī, Jami’
al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 16, 242-244.
12 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, jilid 16, h.
241. 13 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, jilid 16 ,
241-242.
65
tidak mampu mendatangkan kebaikan apapun, karena ia tidak
memahami apa yang dikatakan kepadanya, dan ia tidak mampu
mengungkapkan dengan kata-kata apa yang dia inginkan, karena
dia tidak paham dan tidak bisa dipahami. Begitu pula dengan
berhala, ia tidak akan memahami apa yang dikatakan para
penyembahnya kepadanya, sehingga ia tidak akan mampu
mengikuti apa yag diperintahkan kepadanya, dan juga tidak dapat
berbicara untuk memerintah ataupun melarang.14
Kemudian makna potongan ayat “ هل يستوي هو ومن يأمر
samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat“ ”بٱلعدل
keadilan” maksudnya adalah apakah dapat disamakan antara orang
yang bisu, menjadi beban bagi penanggungnya dan tidak dapat
mendatangkan kebaikan apapun, dengan yang berbicara dan dapat
memerintah, mengajak kepada kebenaran, yaitu Allah yang Maha
Esa, Maha perkasa dan mengajak hamba-hambaNya untuk
mengesakan-Nya dan menaati-Nya. Maka tidaklah sama antara
Allah dan berhala itu.
Makna potongan ayat terakhir “ ستقيم ط م dan“ ”وهو على صر
dia berada pula di atas jalan yang lurus” adalah selain
memerintahkan bebuat adil, Ia juga berada di jalan yang benar
dalam ajakan dan perintah-Nya kepada keadilan itu, tidak
menyimpang dari kebenaran.
Pendapat lain yang berbeda mengenai ayat ini salah satunya
adalah riwayat yang bersandar kepada Ibnu Abbas, bahwa makna
14 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, 242.
66
dari lafaz “ جلين أحدهما أبكم ل يقدر مثلا ر على شيء وضرب ٱلل
كل على مولىه وهو ” dalam ayat ini yang dimaksud dengan “ أبكم”
atau “bisu” adalah yang menjadi beban bagi penanggungnya yang
kafir. Sedangkan lafaz ومن يأمر بٱلعدل “dengan orang yang
menyuruh berbuat keadilan” orang mukmin. Perumpamaan ini
berkaitan dengan amal.15
Adapun pendapat yang dipilih oleh Abu Ja’far adalah adalah
pendapat dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini
merupakan perumpamaan yang dibuat bagi orang-orang kafir yang
tidak sanggup berbuat sesuatu dan tidak dikaruniai rezeki yang
baik, serta perumpamaan tentang orang mukmin yang diberi taufik
oleh Allah, untuk berbuat taat, dan diberi-Nya petunjuk untuk
melakukan apa yang diridhai Allah. Lalu perumpamaan dari Allah
berupa orang yang bisu yang tidak sanggup berbuat apapun. Ini
menunjukkan bahwa di antara orang-orang kafir terdapat orang
yang memiliki banyak harta dan terkadang mendatangkan muḍarat
yang besar karena kerusakan dirinya. 16
2. Penafsiran menurut Al-Qurṭubi
Pendapat selanjutnya penulis kutip dari penjelasan al-Qurṭubi
mengenai ayat ini. Ia juga menjelaskan bahwa terdapat dua
pendapat yang berbeda mengenai ayat ini, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abu Ja’far. Pendapat pertama yang mengatakan
bahwa ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah
swt untuk Dzat-Nya sendiri dan berhala. Orang bisu yang tidak bisa
15 Lihat al-Syaukani dalam Faṭ al-Qadr (3/183) dan al-Suyuṭi dalam al-Durr
Manṡur (5/151) al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 16,
244-245. 16 al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid16, 246.
67
melakukan apa pun adalah berhala, sedangkan yang
memerintahkan untuk berlaku adil adalah Allah swt. Pendapat ini
dikutip dari riwayat Qatadah dan yang sependapat dengannya.17
Pendapat kedua dikutip dari riwayat Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa perumpamaan orang yang bisu adalah budak
milik Uṡman bin Affan yang diajak masuk Islam namun ia tetap
tidak mau. Sedangkan yang memerintahkan untuk berbuat adil
adalah perumpamaan yang dibuat untuk menggabarkan perilaku
adil Uṡman. 18
3. Penafsiran Menurut Sayyid Quṭb
Ada pun berikutnya, penulis mengutip dari penafsiran Sayyid
Quṭub, beliau menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini
merupakan sebuah perumpamaan untuk bahan renungan bagi
manusia. Ayat ini menggambarkan seorang yang bisu, lemah dan
dungu. Dengan ketidakmampuan tersebut tentu saja ia tidak bisa
memahami apa pun dan tidak bisa mendatangkan kebaikan.
Kemudian digambarkan pula seorang yang kuat, yang mampu
berbicara, dan menyeru untuk berlaku adil. Ia pun seorang yang
aktif dan lurus di atas jalan kebaikan. Tentu orang yang berakal
tidak akan menyamakan antara kedua orang tersebut. Allah
membuat perumpamaan ini dan perumpamaan pada ayat
sebelumnya, yang pertama diawali dengan sebuah perintah kepada
manusia agar mereka tidak menjadikan dua tuhan sesembahan,
17 Sebuah aṡar yang disebutkan oleh al-Ṭabarī dalam Jami’ al-Bayan
(14/101), Ibnu Aṭiyah dalam al-Muharrar al-Wajiz (8/477), Abu Hayyan dalam
al-Bahr al-Muhiṭ (5/519), dan al-Suyūṭi dalam al-Durr al-Manṡur (4/125)
Qurṭubi, jilid 10, 368. 18 Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān jilid 10, 368.
68
kemudian ditutup dengan rasa keheranan atas mereka yang
menjadikan dua (atau lebih) tuhan sebagai sesembahan. 19
4. Penafsiran menurut Hamka
Hamka berpendapat mengenai ayat ini bahwa ini terdapat dua
perbandingan dan perumpamaan lagi di antara seorang budak yang
bisu yang hanya menjadi beban bagi tuannya saja. Seorang budak
itu bisu dan bodoh, tidak mampu untuk diberi tugas apapun, karena
dia tidak dapat memahaminya. Hal yang demikian hanya kerugian
yang lebih banyak didapat dalam memeliharanya daripada
keuntungan. Apabila dibandingkan dengan seorang yang berakal
budi, berani bertindak, dan berpandangan jauh, menyuruh orang
bebuat adil dan sanggup juga berlaku adil. Terlihat perbedaan yang
sangat jauh di antara kedua manusia tersebut.20
Hamka dalam tafsirnya juga mengutip pendapat al-Azhari, al-
Zamakhsyari dan al-Ṭabarī terhadap ayat ini. Pendapat Azhari
mengenai perumpamaan ini yaitu bahwa Allah mengambil
perumpamaan bagi berhala yang mereka sembah, yang tidak dapat
berbuat sesuatu apapun, yang ada hanya memberi beban kepada
pemiliknya. “Lalu samakah berhala yang memberakan iu dengan
yang memerintahkan berbuat adil?” ini merupakan pertanyaan
hardikan yang menjelaskan bahwa “tidaklah sama di antara berhala
19 Dalam tema ini, ayat ini bersambungan dengan ayat sebelumnya yang
membicarakan tentang permisalan seorang budak/hamba sahaya yang idak
memiliki apa pun dengan tuannya yang memiliki kebebasan untuk berbuat atas
budaknya. Akan tetapi mengapa mereka menyamakan antara Tuhan para budak
itu yakni Allah dengan pemilik(tuan) mereka, dengan seseorang atau sesuatu dari
makhluk ciptaannya, sedangkan semua makhluk adalah hamba-
hambanya.Syahid Sayyid Quṭb, Tafsir fī Zhilālil Qur’an, terj. As’ad Yasin jilid
ke-7 cet ke-5, 197. 20 Abdul malik Abdulkarim Abdullah, Tafsiir Al-Azhar jilid 5 (Jakarta:
Gema Insani, 2015), 200-201.
69
yang memberatkan dengan Allah pencipta seluruh alam.
Berikutnya pendapat Zamakhsyari yaitu bahwa ayat ini merupakan
perimpamaan yang dibuat Allah untuk diri-Nya kepada seluruh
hamba-Nya dan diturunkan-Nya yang meliputi, baik dalam urusan
agama maupun indrawi. Cobalah bandingkan itu dengan berhala
yang mereka puja itu, berhala yang mati tak bernyawa, tidak
memberi ke muḍarat-an tidak memberi manfaat.21
Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah dijelaskan
bantahan kepada para penyembah berhala yang menyamakan Allah
dengan patung-patung sesembahan mereka yang tidak mempunyai
ilmu dan kekuasaan. Begitu pula pada ayat ini Allah membuat
perumpaan dua orang yang dalam kondisi yang berbeda. Orang
pertama digambarkan dengan orang yang bisu dan tidak dapat
melakukan apapun, melainkan hanya menjadi beban bagi mereka
para penanggungnya. Sedangkan orang yang kedua digambarkan
dengan orang yang secara fisik normal dan mampu mengerjakan
dan mendatangkan kebaikan juga menyuruh untuk berbuat adil dan
senantiasa berada dalam jalan yang lurus.
Berdasarkan penafsiran di atas terdapat dua pendapat mengenai
penafsiran ayat ini. Pertama, bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Usman bin ‘Affan dengan budaknya yang membenci Islam
yaitu usaid bin Abi al-As’ad yang tidak menyukai Islam dan
melarangnya untuk bersedekah dan berbuat baik.22 Padahal Usman
bersedekah kepadanya dan menanggung serta mencukupi
kebutuhannya. Akan tetapi budaknya itu melarangnya
21 Hamka, Tafsiir Al-Azhar jilid 5, 200-201 22 Tim penyusun, Tafsir Depag juz 14, 353-356.
70
mengeluarkan sedekah dan berbuat baik. Kedua, pendapat lain
mengatakan bahwa ayat ini adalah sebagai perumpamaan yang
Allah buat untuk dirinya sendiri dan untuk berhala-berhala lain
yang disembah. Kondisi laki-laki pertama digambarkan sebagai
orang yang tuli dan tidak mampu melakukan apapun dalah sebagai
berhala yang dibuat oleh orang-orang yang menentang ajaran
Allah. Mereka digambarkan sebagi yang tuli, tidak mampu
melakukan apapu, apalagi mendengar dan mengabulkan hal-hal
yang diminta oleh para penyembahnya. Sedangkan kondisi yang
kedua adalah laki-laki yang normal dan mampu mendatangkan
kebaikan dan menyuruh berbuat adil adalah sebagai gambaran bagi
sifat Allah Swt yang mencintai berbuat adil dan hanya menyuruh
kepada kebaikan. Tentu kedua kondisi ini sangatlah berbeda dan
hendaknya direnungkan sebagai pelajaran bagi manusia dan
hamba-hamba-Nya.
71
C. Golongan Manusia yang Kehilangan Pancaindra Sebab
Memilih Kesesatan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 171.
ين ومثل يكفروا كمثل ٱل ٱل ما ل يسمع إل دعاءا و ينعق ب نداءا بكم عم فهم ل يعقلون ١٧١صم
Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang
kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang
yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka
tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
Menurut pendapat Ibnu Qayyim di dalam kitabnya menuturkan
bahwa ayat ini memuat perumpamaan penggembala yang berteriak
memanggil kambing atau binatang lain. Maka yang dimaksud
penggembala di sini adalah penyembah berhala, dan berhala inilah
yang diseru dan dipanggil. Maka orang kafir, ketika berdoa kepada
berhala-berhala sembahannya yang tidak mengerti itu, seperti
keadaan penggembala yang memanggil binatang-binatang yang
tidak mendengar. Seruan dan panggilannya tidak bermanfaat
sedikit pun kepada tuhan-tuhan mereka. Demikian pula keadaan
orang musyrik ketika berdoa dan beribadah. Demikian sekelompok
ahli, seperti Abdurrahman bin Zaid dan lain-lainnya. Sekelompok
lain menyatakan bahwa perumpamaan orang kafir seperti binatang
ternak dan tidak mengerti apa-apa atas seruan penggembalanya
kecuali sebagai suara saja. Maka si penggembala adalah penyeru
orang-orang kafir, sedangkan orang-orang kafir adalah binatang
ternak yang dipanggil dan diseru itu.23
1. Penafsiran menurut al-Ṭabarī
23 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Amṡalatul Qur’an, terj. Anwar Wahdi Hasi
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 48.
72
Selanjutnya adalah penjelasan Abu Ja’far dalam tafsirnya
mengenai ayat ini yaitu bahwa para penafsir memiliki perbedaan
pendapat mengenai penafsiran ayat “ ومثل ٱلذين كفروا كمثل ٱلذي
ini. Perdapat pertama yaitu ”ينعق بما ل يسمع إل دعاءا ونداءاا
mereka yang mengatakan bahwa ayat ini adalah sebuah
perumpamaan orang kafir yang tidak memahami apa yang
diturunkan oleh Allah dan tidak mau mengikuti ajaran tauhid yang
diserukan kepada mereka, yang demikian seperti binatang yang
mendengar suara yang diteriakan kepada mereka namun mereka
tidak mampu untuk memahami maknanya24 abu Ja’far mengatakan
bahwa makna dari penakwilan pendapat ini ada dua: yang pertama
adalah sebuah perumpamaan menasehati orang kafir dan
nasihatnya adalah bagaikan teriakan penggembala kepada binatang
gembalaannya. Makna kedua adalah sebagai perumpamaan orang-
orang kafir yang tidak mengerti tentang Allah dan Rasul-Nya
adalah seperti binatang yang dipanggil penggembalanya, ia tidak
mengerti perintah dan larangan selain mendengar suaranya.25
Pendapat kedua adalah bawa ayat ini merupakan perumpamaan
orang-orang kafir yang berdoa kepada patung dan sesembahan
24 Pendapat ini menurut beberapa riwayat di antaranya dari riwayat abdul
Ahwaṣ yang sampai kepada Ikrimah yang berkata bahwa “mereka seperti unta
atau keledai yang engkau panggil, ia mendengar tapi tidak mengerti apa yang
engkau katakan kepadanya. Riwayat lainnya dari Muhammad bin Sa’ad yang
sampai kepada Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa “ ذي ينعق ومثل ٱلذين كفروا كمثل ٱل
,seperti unta, keledai kambing yang engkau panggil ”بما ل يسمع إل دعاءا ونداءاا
semuanya tidak mengerti apa yang engkau katakan, tapi ia mendengar suaramu,
demikian orang kafur jika diperintahkan untuk melakukan kebaikan atau
dilarang untuk tidak melakukan kenurukan, ia tidak mengerti apapun yang
engkau katakan, meskipun ia mendengar suaramu. Lihat Abu Ja’far al-Ṭabarī,
Tafir al-Ṭabarī, jilid 2 h. 749-750. 25 Abu Ja’far al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, jilid 2, 753.
73
mereka yang tidak mampu mendengar dan tidak memiliki akal.
Mereka adalah seperti binatang yang tidak mendengar selain suara
dan panggilannya.26
Adapun pendapat yang paling tepat dari penakwilan-
penakwilan di atas menurut Abu Ja’far adalah penakwilan Ibnu
Abbas dan yang memiliki pendapat yang sama dengannya, yaitu
bahwa ayat ini maknanya adalah perumpamaan menasehati orang
kafir dan penasehatnya adalah seperti seorang penggembala yang
berteriak kepada hewan gembalaannya, ia mendengar teriakannya,
tetapi tidak dapat memahami apa yang diteriakan kepadanya.27
Adapun lafaz “ صم بكم عمي فهم ل يعقلون” menurut Abu Ja’far
adalah bahwa orang-orang kafir yang perumpamaan mereka seperti
binatang gembala yang tidak mengerti sedikit pun maksud dari
teriakan penggembalanya adalah tuli dan tidak dapat mendengar
kebenaran, bisu tidak dapat mengatakan kebenaran dan
menyatakan kebenaran Nabi Muhammad saw, dan buta tidak dapat
melihat petunjuk dan jalan kebenaran. 28
2. Penafsiran menurut al-Qurṭubi
Selanjutnya al-Qurṭubi juga menuturkan beberapa pendapat
yang ia kutip dalam tafsirnya mengenai ayat ini. Pendapat pertama
26 Pendapat ini dikutip dari riwayat Yunus bin Abdul A’la yang sampai
kepada Abdurrahman bin Zaid, ia mengatakan bahwa: orang yang teriak di
tengah gunung lalu dibalas dengan dengungan suara, perumpamaan tuhan-tuhan
mereka yang tidak mengerti doa mereka adalah seperti dengungan suara ini,
tidak berguna, tidak mendengar kecuali panggilan dan seruan. Lihat Ibnu Aṭiyah
dalam al-Muharrir al-Wajiz (1/238). Abu Ja’far, al-Bayān an Tanwīl Ayi al-
Qur’ān jilid 2, 753. 27 al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 2, 574. 28 Pendapat ini dikutip dari riwayat Qatadah, Ibnu Abbas dll. Lihat al-Ṭabarī,
al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 2, 755-756.
74
adalah mereka yang mengatakan bahwa pada ayat ini Allah
menyamakan antara pendakwah dan penyeru orang-orang kafir,
yakni Nabi Muhammad saw dengan penggembala yang memanggil
domba dan untanya. Hewan-hewan tersebut hanya dapat
mendengar suara panggilan saja, namun tidak dapat memahami apa
yang diucapkan oleh penggembalanya.29
Adapun pendapat yang kedua dari Ibnu Zaid bahwa makna dari
ayat ini adalah sebagai perumpamaan orang-orang kafir yang
memanggil Tuhan mereka yang tidak mampu bergerak itu seperti
orang yang berteriak di tengah malam, yang akan dijawab hanya
oleh gema sendiri saja. Ia berteriak, namun tidak ada satu pun yang
mendengarkannya, adapun yang menjawabnya tidak memiliki
hakikat dan tidak bermanfaat sama sekali. 30 Pendapat terakhir
yang dikutip dari Quṭrub mengenai ayat ini maknanya adalah
perumpamaan orang-orang kafir yang memanggil sesuatu yang
tidak dapat dimengerti panggilan mereka, yakni berhala mereka,
seperti penggembala yang memanggil dombanya, namun
penggembala tersebut tidak tahu tempat dombanya berada.31
Mengenai perumpamaan ini, al-Qurṭubi juga mengutip pendapat
al-Qutabi yang mengatakan bahwa orang-orang Arab sudah
terbiasa mengambil permisalan orang yang bodoh dengan
29 Pendapat ini dikutip dari penafsiran yang disampaikan oleh Ibnu Abbas,
Ikrimah, Mujahid, As-Suddi, Al-Zujaz, al-Farra’, dan Sibawaih. Sibawaih
menambahkan bahwa ayat ini tidak menekankan perumpamaan pada pemanggil,
yang ditekankan di sini adalah yang dipanggil. Yaitu begitulah permisalanmu
Muhammad, sedangkan permisalan orang-orang kafir itu seperti hewan yang
digembalakan, mereka tidak mengerti apa yang dimaksud dengan panggilan
tersebut. Lihat al-Qurṭubi jilid 2, 494. 30 Pendapat ini dituturkan oleh Ibnu Zaid. Lihat Al-Qurṭubi jilid 2, 494-495. 31 Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān jilid 2, 494-495.
75
penggembala domba, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa
tidak ada yang lebih bodoh dari penggembala domba.32
3. Penafsiran Menurut Sayyid Quṭb
Sedangkan menurut pendapat Sayyid Quṭub dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa perumpamaan ini dibuat sebagai gambaran
penghinaan yang sesuai dengan sikap taklid dan kebekuan ini, yaitu
gambaran binatang liar yang tidak memahami apa yang dikatakan
kepadanya, bahkan jika penggembalanya berteriak memanggilnya,
binatang itu hanya mendengar suaranya saja, tanpa memahami apa
yang dia dengar. Bahkan lebih rendah dari binatang, yang masih
bisa melihat, mendengar dan bersuara. Sedangkan orang kafir,
mereka bisu, tuli dan buta. Sekalipun mereka memiliki lidah,
telinga dan mata, mereka tidak mampu memanfaatkannya dan tidak
mendapatkan petunjuk. Seola-olah semua indra tersebut tidak bisa
menjalankan fungsi dari penciptaannya. Seolah-olah mereka tidak
dikaruniakan kepadanya telinga, lidah dan mata. Menurut Sayyid
Quṭub ini merupakan puncak penghinaan terhadap orang yang
tidak memfungsikan daya pikirnya, menutup jendela-jendela
pengetahuan dan petunjuk, dan menerima persoalan aqidah dam
syari’ah dari pihak yang tidak memiliki kemampuan untuk
dijadikan sebagai sumber pengambilan persoalan aqidah dan
syariah.33
Berdasarkan penafsiran-penafsiran tersebut bahwa ayat ini
memiliki dua macam penakwilan. Pertama, pendapat ini
mengatakan bahwa ayat ini adalah sebuah perumpamaan orang-
32 Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān jilid 2, 495. 33 Sayyid Quṭub, Tafsir fī Zhilālil Qur’an, jilid 1, terj. Aunur rafiq, 452-453.
76
orang kafir dalam kebodohan dan kesesatan. Mereka digambarkan
sebagai seorang gembala yang memanggil gembalaanya. Hewan-
hewan yang tidak mengerti panggilan gembalanya selain dan hanya
mendegar suara saja adalah gambaran bagi orang kafir sedangkan
gembalanya adalah mereka yang menyeru orang-orang kafir
menuju jalan kebenaran. Kedua, pendapat ini mengatakn bahwa
penggambaran seorang gembala yang memanggil hewan
peliharannya adalah perumpamaan bagi orang kafir yang
menyembah berhala. Seberapa pun kerasnya dia meminta dan
memohon kepada berhalanya itu, ia sama sekali tidak memahami
apa yang mereka katakan, yang demikian lebih hina kedudukannya
dari hewan ternak yang setidaknya mampu mendengar suara.
Perumpamaan ini memberi pelajaran bahwa pentingnya bagi
manusia yang berakal untuk senantiasa mempelajari tauhid sampai
pada tahap yakin. Demikian tauhid dipelajari dari al-Qur’an dan
sunnah dan menghindari taqlid buta dalam hal tauhid dan agama,
sebagaimana perilaku bangsa-bangsa sebelumnya, yang lebih
memilih mengikuti ajaran nenek moyang dan ketua suku mereka.
Perilaku ini membuat mereka seakan buta, tuli dan bisu karena
tidak memfungsikan pancaindra dan anggota tubuh mereka untuk
mempelajari dan mendapatkan hidayah dari Allah Swt.
4. Penafsiran Hamka
Sebagaimana ayat sebelum ini, yaitu al-Baqarah ayat 170, yang di
dalamnya mengandung pelajaran bahwa sesatnya orang-orang
kafir disebabkan oleh karena mereka lebih suka untuk mengikuti
ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh
nenek moyang mereka. sikap mereka yang demikian menunjukkan
77
bahwa mereka lebi mengutamakan hawa nafsu mereka
dibandingkan pikirannya. Kemudian berikutnya bersambung pada
ayat 171. Allah membuat perumpamaan sebagai penjelas dari bagi
kondisi orang-orang yang bersikeras untuk tetap berpegang teguh
pada ajaran nenek moyang mereka. Meskipun secara fisik mereka
hidup, memiliki pancaindra yang normal, akan tetapi mereka mati
dari dalam diri mereka dan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Hal
ini yang menyebabkan susahnya masuk kebenaran ke dalam diri
mereka, membuat mereka menjadi seakan-akan bisu, tuli dan buta
karena tidak mampu menerima kebenaran. Diumpamakan sekeras
apapun penggembala itu memanggil hewan ternaknya, mereka
tidak akan memahami panggilan tuannya. Maka kalimat “ ي لقع ىن
maknanya adalah Allah ingin manusia senantiasa ”مهف ل
menggunakan akalnya untuk berfikir dan belajar sehingga
mendatangkan manfaat bagi manusia lain. Begitu pula dalam hal
kepercayaan, manusia hendaknya memikirkan dan menggunakan
akal mereka dalam memilih mana yang benar untuk diambil dan
diikuti. Dan tidak begitu saja mengikuti ajaran-ajaran terdahulu
dikarenakan menjaga pusaka nenek moyang mereka.34
Berdasarkan penafsiran-penafsiran tersebut ayat ini memiliki
dua macam penakwilan. Pertama, pendapat ini mengatakan bahwa
ayat ini adalah sebuah perumpamaan orang-orang kafir dalam
kebodohan dan kesesatan. Mereka digambarkan sebagai seorang
gembala yang memanggil gembalaanya. Hewan-hewan ternak
yang tidak mengerti panggilan gembalanya selain hanya
mendengar suara teriakan adalah gambaran bagi orang kafir.
34 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 53-54.
78
Sedangkan gembalanya adalah mereka yang menyeru orang-orang
kafir menuju jalan kebenaran, sekeras apapun teriakan itu, hanya
akan sia-sia dan tidak akan difahami. Kedua, pendapat ini
mengatakan bahwa penggambaran seorang gembala yang
memanggil hewan peliharannya adalah perumpamaan bagi orang
kafir yang menyembah berhala. Seberapa pun kerasnya dia
meminta dan memohon kepada berhalanya itu, ia sama sekali tidak
memahami apa yang mereka katakan, yang demikian lebih hina
kedudukannya dari hewan ternak yang setidaknya mampu
mendengar suara. Perumpamaan ini memberi pelajaran bahwa
pentingnya bagi manusia yang berakal untuk senantiasa
mempelajari tauhid sampai pada tahap yakin. Demikian tauhid
dipelajari dari al-Qur‟an dan sunnah dan menghindari taqlid buta
dalam hal tauhid dan ibadah. Sebagaimana perilaku umat
terdahulu, yang lebih memilih mengikuti ajaran nenek moyang dan
ketua suku mereka. Perilaku ini membuat mereka seakan buta, tuli
dan bisu karena tidak memfungsikan pancaindra dan anggota tubuh
mereka untuk mencari dan mendapatkan hidayah dari Allah Swt
dan lebih mengikuti hawa nafsunya. Berdasarkan penafsiran-
penafsiran tersebut bahwa ayat ini memiliki dua macam
penakwilan. Pertama, pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini
adalah sebuah perumpamaan orang-orang kafir dalam kebodohan
dan kesesatan. Mereka digambarkan sebagai seorang gembala yang
memanggil gembalaanya. Hewan-hewan yang tidak mengerti
panggilan gembalanya selain dan hanya mendegar suara saja
adalah gambaran bagi orang kafir sedangkan gembalanya adalah
mereka yang menyeru orang-orang kafir menuju jalan kebenaran.
79
Kedua, pendapat ini mengatakn bahwa penggambaran seorang
gembala yang memanggil hewan peliharannya adalah
perumpamaan bagi orang kafir yang menyembah berhala. Seberapa
pun kerasnya dia meminta dan memohon kepada berhalanya itu, ia
sama sekali tidak memahami apa yang mereka katakan, yang
demikian lebih hina kedudukannya dari hewan ternak yang
setidaknya mampu mendengar suara. Perumpamaan ini memberi
pelajaran bahwa pentingnya bagi manusia yang berakal untuk
senantiasa mempelajari tauhid sampai pada tahap yakin. Demikian
tauhid dipelajari dari al-Qur‟an dan sunnah dan menghindari taqlid
buta dalam hal tauhid dan agama, sebagaimana perilaku bangsa-
bangsa sebelumnya, yang lebih memilih mengikuti ajaran nenek
moyang dan ketua suku mereka. Perilaku ini membuat mereka
seakan buta, tuli dan bisu karena tidak memfungsikan pancaindra
dan anggota tubuh mereka untuk mempelajari dan mendapatkan
hidayah dari Allah Swt.
80
81
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan bab-bab dalam penelitian ini
penulis telah mendapatkan jawaban dari rumusan masalah
penelitian ini. Setelah menelaah beberapa ayat yang di
dalamnya terdapat lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada
makna “buta, tuli dan bisu”. Selanjutnya, melalui penelitian ini
penulis memilih untuk meneliti ketiga ayat yang semuanya
termasuk ke dalam kategori ayat-ayat Amṡāl muṣarraḥah. Dua
ayat pertama adalah ayat yang termasuk ke dalam surat al-
makiyah yaitu surat Hūd(11) ayat 24 dan al- Nahl(16) ayat 76
sedangkan ayat ke-tiga adalah masuk ke dalam kategori al-
madaniyah yaitu surat al-Baqarah(2) ayar 171.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap tiga ayat ini dengan
berbasis ilmu Amṡāl, ketiganya menunjukkan bahwa lafaz-
lafaz ṣummun, bukmun dan ‘umyun menurut kajian Amṡāl al-
Qur’an adalah sebuah gambaran visualisasi dari keadaan,
perilaku dan sifat beberapa kaum yang Allah maksudkan dalam
al-Qur’an. Ketiganya merupakan penggambaran mengenai
orang-orang yang secara fisik mereka bisa saja memiliki
kemampuan melihat, mendengar dan berbicara dengan baik.
Namun Allah menggunakan lafaz-lafaz ini sebagai simbol
ataupun representasi dari keadaan dan situasi tersebut dengan
tujuan sebagai peringatan dan pelajaran kepada manusia.
82
Adapun makna amṡal dari ketiga ayat adalah, ketiganya
sama-sama menekankan pentingnya mendalami tauhid dan
mempelajarinya dengan segenap hati dan dengan seluruh
anggota badan. Ayat ini juga memperingatkan tentang
bahayanya ber-taqlid buta dalam hal Tauhid dan ibadah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa itu adalah perilaku
yang dilakukan oleh para penentang-Nya yang Allah ceritakan
dalam ayat-ayat ini. Sifat dan perilaku merekalah yang
akhirnya membawa mereka terus menerus terjerumus di dalam
kesesatan.
Penyampaian dengan menggunakan Amṡāl merupakan salah
satu cara al-Qur’an untuk lebih dalam menyentuh sanubari
dengan gaya bahasa yang biasa digunakan masyarakat bangsa
Arab, dengan nilai sastra yang tinggi dan nilai moral yang
dibutuhkan saat wahyu- wahyu itu turun
B. Saran-Saran
Penelitian yang penulis lakukan terhadap ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa kajian terhadap lafaztuli, bisu dan buta
masih sangat terbatas dan hanya pada tiga ayat saja. Terdapat
lebih dari tiga puluh ayat yang di dalamnya terdapat lafaz-lafaz
tersebut yang dapat dikaji. Selanjutnya penelitian masih bisa
dilakukan terhadap tiga puluh ayat lainnya dengan
menggunakan kajian-kajian ilmu-ilmu Qur’an lainnya dan
tidak hanya terbatas pada ilmu Amṡāl saja.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul malik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhār. Jakarta: Gema Insani, 2015.
Abdullah, Abdul malik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhār. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Ali, Muhammad. Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur’an. Jurnal Tarbawiyah Vol 10 NO
2 Edisi Juli-Desember 2013.
Aziz, Safrudin. Perpustakaan Raman Difabel. Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2014.
Bakar, Abu. Nilai-Nilai Pendidikan Pada Ayat-Ayat Amṡaldalam al-Qur’an QS.al-
Baqarah. Jurnal Syamil Vol. 5(1), 2017.
al-Bāqi Muhammaad Fuad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (
Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H.
Bustami, Hafni. Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika). Jurnal al-
Ta’lim, jilid 1 Nomor 4 Februari 2013.
Bustami, Hafni. Penafsiran Ayat-ayat Tamṡīl dalam Tafsir al-Kasyāf. Jakarta: Nuansa
Madani, 2002.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Fajriyyah, Nidaul. Karakter Munafik Sebagai Gangguan Kepribadian, “Skripsi
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2014”.
al-Farmawy, Abu al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mauḍū’i : Dirasat Mahajiyyah
Mawḍū’iyyah, 1997.
Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika). Jurnal al-Ta’lim,
jilid 1 Nomor 4 Februari 2013.
Hasyimi, Ahmad. Jawāhirul Adab fi Adabiyyat wa Insyāil Lughah al-Arabiyyah, juz II.
Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t,th.
Husamah, Kamus Psikologi A to Z Super Lengkap. Yogyakarta: Penerbit ANDI, tt.
Ibnu Qayyim. Amṡalatul Qur’ān, terj. Anwar Wahdi Hasi. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1993.
Imam al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān, terj. Faṭurrahman jilid ke-9. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
al-Isfāhaniy, Al-Rāghib. Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Isramin, Gaya Bahasa AmṡalMusharrahah dalam al-Qur’an (Suatu Kajian Tematik).
Jurnal Rausyan sssFikr Vol 12 No 1 Juni 2016:125-141.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. Ke 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka,
2008.
Khairannas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif al-Qur’an. Jurnal
Ushuluddin Vol. 25 No 2, Juli-Desember 2017.
Khoiriyah, Rofi’atul. Difabilitas dalam al-Qur’an.”Skripsi Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015”.
Manzhur, Ibnu. Lisan al-‘Arab jilid 12. Beirut: Dar Shādir, tt.
Manẓur, Ibnu. Lisān al-Arab. Beirut: Fin Syifa Al-Turaṡ al-Araby, tt..
Nunung Lasmana, Rekonstruksi Ayat-ayat AmṡalTentang Kaum Munafik.Jurnal At-
Tibyan Vol 1 No 1 Januari-Juni 2016.
Panji, Dewi dan Wardani, Winda. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs?.Jakarta:
Alex Media Komputindo, 2013.
al-Qaṭan, Mannā Khalīl. Mabāhis Fi Ulumil Qu’an, terj. Aunur Rafiq.Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2006.
al-Quṭb, Sayyid , al-Tahswīrul Fanni fil Qur’an. Beirut; Darusy Syurug, 1982.
al-Quṭb, Sayyid Tafsir fī Zhilālil Qur’an, terj. As’ad Yasin jilid ke-6 cet ke-5(Jakarta:
Gema Insani, 2000.
al-Quṭb, Syahid Sayyid. Tafsir fī Zhilālil Qur’an: Di Bawah Naungan al-Qur’an, terj. M
Misbah jilid ke-7.Jakarta: Robbani Press, 2006.
Sholeh, Ahmad. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Perguruan
Tinggi.Yogyakarta: Lkis, 2016.
Ṣihāb, M Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
_______ Membumikan al-Qur’an Fungsi Wahyu dan Peran dalam Kehidupan Masyarakat cet
ke-18. Bandung: Mizan, 1999.
_______ Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
al-Shābuny, Muhammad Ali. Cahaya al-Qur’an penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta:
Pustala Al-Kautsar, 2000.
Srifariyati, Manhaj Tafsir Jami’ Al-Bayan Fi tafsir al-Qur’an. Jurnal Madaniyah Vol 7
No 2 Edisi Agustus 2017.
Subhani, Ja’far. Wisata al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Metafora. Jakarta: Penerbit al-Huda,
2007.
Suryani, Lilis. Amṡāl dalam Al-Qur’an Kajian Tahili Surah al-‘Araf ayat 175-178. “
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang, 2016.”
al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn. Samudra Ilmu-ilmu al-Qur’an (ringkasan kitab al-Itqan fi ulum
al-Qur’an) terj. Tarmana Abdul Qosim. Bandung: Penerbit Arasy, 2003.
Syafei, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi al-Qur’an. Jakarta: Zikra Press, 2009. 176.
_______Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra-Press, 2009.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizi. Membahasa Kitab Tafsir Klasik Modern.
Ciputat, Lembaga Penelitian UIN Jakarta 2011.
al-Ṭabāri, Ibnu Jarir. Jāmi’ al-Bayān an Ta’wil Ayi al-Qur’an, jilid ke-1 terj. Akhmad
Affandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
al-Ṭabarī, Ibnu Jarir. Jāmi’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, terj. Anshari Taslim dkk,
jilid 23. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Tim Penyusun, Al-Qur’an dan Tafsirnya, juz ke-12. Jakarta: Departemen Agama Ri,
2004.
Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, tt.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 3.
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Umam, Chotibul. Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok, Sejarah dan Wacana
Kajian.Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004.
Umar, Ahmad Mukhtar. Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Ma’āshirah. al-Qahirah:
Âlim al-Kutub, 2008.
Wafi, Ali Abdul Wahid. Fiqh al-Lughah Al-Arabiyyah. Mesir: Lajnah al-Bayan al-
Araby, 1962.
Zuhaili,Wahbah. Tafsir al-Munir, jilid-1 penerj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema
Insani, 2013.