buta tuli dan bisu dalam al-qur’an

103
BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Sholihatina Sadita NIM: 11140340000186 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

(KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Sholihatina Sadita

NIM: 11140340000186

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

Page 2: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

Ahmad Rifqi Muchar, MA

Di bawah Bimbingan:

BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

(KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Sholihatina Sadita

NIM: 11140340000186

NIP. 196908221997031002

PROGRAM STUDI ISLAM AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H /2020 M

i

Page 3: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN AYAT-AYAT AMṠĀL) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 07 Agustus 2020

Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M. Ag.

Fahrizal Mahdi, Lc.,MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. M. Suryadinata, M. Ag.

Moh. Anwar Syarifuddin, MA. NIP. 19600908 198903 1 005 NIP. 19720518 199803 1 003

Pembimbing,

Ahmad Rifqi Muchtar, MA. NIP. 19690822 199703 1 002

Page 4: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sholihatina Sadita

NIM : 11140340000186

Fakultas : Ushuluddin

Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Alamat Rumah : Kp. Cirarak Desa Kiarasari Kec. Sukajaya Kab.

Bogor Rr/Rwe 04/05

Telp/Hp : 085859981359

Judul Skripsi : Tuli, Bisu dan Buta dalam Al-Qur’an (Kajian Ayat-

Ayat Amtsal)

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Uin Syarih

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlakudi UIN Syarif Hidayatullah

Jakara.

Ciputat, 31 Maret 2020

Sholihatina Sadita

Page 5: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

ṡ es dengan titik atas ث

J Je ج

ḥ ha dengan titik bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Ż zet dengan titik atas ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

ṣ es dengan titik bawah ص

ḍ de dengan titik bawah ض

Page 6: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

ṭ te dengan titik bawah ط

ẓ zet dengan titik bawah ظ

‘ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Qi ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ’ ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.

Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatḥah ـ

I Kasrah ـ

U Ḍammah ـ

Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Page 7: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

يـ Ai a dan i

و ـ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab

dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ā a dengan topi di atas ىا

Ī i dengan topi di atas ىي

Ū u dengan topi di atas ىو

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

huruf ال dialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah

maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan

tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu

terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.

6. Tā’ Marbūṭah

Kata Arab Alih Aksara Keterangan

Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة

الجامعة الإسلاميةAl-jāmi‘ah al-

islāmiyyah Diikuti oleh kata sifat

waḥdat al-wujūd وحدة الوجودDiikuti oleh kata

benda

Page 8: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih

aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang,

dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya:

Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū ‘Abdullāh Muhammad

Al-Qurṭubī

Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait

nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,

disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari

bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn

al-Rānīrī.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara

terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan

diatas:

Kata Arab Alih Aksara

آن Faiżā qara’ta al-Qur’āna فإذا قرأ ت ال قر

نون Fī kitābin maknūn في كتاب مك

آن Afalā yatadabbarūna al-Qur’āna أفلا يتدبرون ال قر

رون Lā yamassuhū illa al-Muṭahharūna ل يمسه إل ال مطه

9. Singkatan

Huruf Latin Keterangan

Swt, Subḥāh wa ta‘ālā

Page 9: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam

QS. Quran Surat

M Masehi

H Hijriyah

w. Wafat

MSI Mushaf Stndar Indonesia

MP Mushaf Pakistan

Page 10: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

ABSTRAK

SHOLIHATINA SADITA (11140340000186)

Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an (Kajian Ayat-ayat Amṡāl)

Penulis mengambil tiga ayat yang di dalamnya terdapat lafaz-lafaz

ṣummun bukmun dan umyun yaitu surat Hūd(11) ayat 24, al-Nahl ayat 76

dan al-Baqarah(2) ayat 171. KPenulis menggunakan metode tafsir mauḍūi

dengan menggunakan beberapa penafsiran yaitu dari al-Ṭabari, al-Qurṭubi,

Sayyid Qutb dan al-Azhar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa lafaz tuli,

bisu dan buta dalam ketiga ayat tersebut adalah sebagai simbol konkrit dari

keadaan orang-orang yang tidak mampu memanfaatkan anggota tubuhnya

sebagai jalan mencari kebenaran ajaran Allah Swt dan rasul-nya. Pada surat

Hūd Allah membandingkan dua golongan sebagai pelajaran supaya

manusia memberikan nilai yang baik dalam kehidupan dan memilih sengan

segenap kesadaran akan perannya di muka bumi ini. Pada surat al-Nahl ayat

76, Allah membuat dua permisalan untuk menjadi renungan dan pelajaran

bagi manusia untuk tetap selalu mencari dan memilih jalan kebanaran. Ayat

terakhir surat al-Baqarah(2) ayat 171 yaitu allah membuat gambaran

kesesatan orang-orang kafir yang enggan untuk menerima kebenran Tauhid

Allah dan ajaran nabi-nabi-Nya dan mereka lebih memilih ber-taqlid

kepada ajaran-ajaran nenek moyang mereka yang juga berada di dalam

kesesatan.

Adapun makna amṡal dari ketiga ayat adalah, ketiganya sama-sama

menekankan pentingnya mendalami tauhid dan mempelajarinya dengan

segenap hati dan dengan seluruh anggota badan. Ayat ini juga

memperingatkan tentang bahayanya ber-taqlid buta dalam hal Tauhid dan

ibadah. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa itu adalah perilaku yang

Page 11: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

dilakukan oleh para penentang-Nya yang Allah ceritakan dalam ayat-ayat

ini. Sifat dan perilaku merekalah yang akhirnya membawa mereka terus

menerus terjerumus di dalam kesesatan.

Penyampaian dengan menggunakan Amṡāl merupakan salah satu cara al-

Qur’an untuk lebih dalam menyentuh sanubari dengan gaya bahasa yang

biasa digunakan masyarakat bangsa Arab, dengan nilai sastra yang tinggi

dan nilai moral yang dibutuhkan saat wahyu-wahyu itu turun.

Kata Kunci: Ṣummun, bukmun,Umyun.

Page 12: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmȃnirrahȋm

Segala puji serta syukur tak hentinya penulis panjatkan ke hadirat Allah

swt, karena dengan izin dan kasih-Nya penulis mampu untuk

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta para sahabatnya,

keluarganya, serta mereka yang berjuang di jalan Allah dan Nabi-Nya,

sehingga sampai kepada penulis yang juga berjuang menyusun skripsi dan

dapat meyelesaikannya dengan judul: Buta, Tuli dan Bisu dalam Kajian

Amtsal.

Rampungnya skripsi ini,tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak

yang turut memberikan andil, baik secara langsung maupun tidak langsung,

baik moril maupun materil. Maka sepatutnya peneliti mengcapkan rasa

syukur, terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Amany Lubis MA, selaku rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Yusuf Rahman MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta

jajarannya.

3. Eva Nugraha MA, selaku ketua jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,

dan juga kepada sekretaris jurusan Fahrizal, yang telah banyak

membantu penulis agar skripsi ini menjadi baik.

4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA selaku pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis khususnya

pada bidang tafsir, serta selalu meluangkan waktunya dalam

membantu penulis menyelesaikan tugas ini dengan penuh

kesabaran.

Page 13: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

5. Seluruh Dosen dan staff \pengajar pada program studi Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan,

bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis

selama masa studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Orang-orang tersayang, mama tercinta Ibu Nunung Faridah dan

ayah Kasmid Arta, juga alm Bapak Romli Koto, Umi Hikmah, Abah

Ahmad Degel yang telah mendoakan, mendukung, memotivasi

dengan bimbingan dan kasih sayang kepada penulis dalam

perjalanan menyelesaikan masa studi. Terima kasih untuk uwa

tercinta Mimih Ida, Abi Nadia, teh Ncie dan keluarga yang banyak

membantu dengan ikhlas dan mendukung penulis dengan penuh.

Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih dan sayang untuk adik-

adik ku yang telah ikut mendoakan Rusli Sulaiman, Fajar dan Intan.

7. Untuk teman-teman terkasih yang selalu menemani dalam

perjuangan ini, azizah, tria, mia, himma, mia, nuris, aal, dhea,

nurfik, laila, putri indriani, alya Ina, mba may, Imas, badiah, ka ani,

mujiyanti dan teman-teman lain yang banyak memotivasi serta

menghiburku. Terima kasih kawan-kawan, semoga pertemanan kita

sampai ke surga-Nya.

8. Dan terimakasi juga kepada kawan-kawan bagai saudara yang jauh

di mata dekat di hati, terkhusus Raden Ghaitsa Khoirunnisa,

Sumayyah Bajrey, Opi Rani, Sellyda Puji, Siti Fajar dan kawan-

kawanku yang lainnya di mana pun kalian berada. Kalian akan tetap

menjadi bagian terbaik dalam hidupku.

Page 14: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

9. Dan pihak-pihak lain yang telah banyak berkontribusi membantu

penulis tetapi tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah swt

membalas kebaikannya. Aamin.

Ciputat, 31 Maret 2020

Page 15: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................1

A. Latar Belakang............................................................ ................2

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah..................... .... ...................7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................... 8

D. Tinjauan Pustaka.......................................................... ................10

E. Metode Penelitian dan Sumber data..............................................13

F. Sistematika Penulisan....................................................................15

BAB II KAJIAN TEORITIS AMSAL DAN DIFABILITAS

A. Kajian Teroritis Amsal ...................................... ............................21

B. Kajian Teoritis Buta Tuli dan Bisu........................ .........................38

C. Klasifikasi Ayat-Ayat Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an.. ......54

Page 16: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

BAB III MAKNA BUTA TULI DAN BISU MENURUT KAJIAN

AMSAL

A. Gambaran orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dalam

surat Hud(11) ayat 24…………………………………………….56

B. Gambaran orang-orang yang menjadikan sekutu selain Allahdalam

surat al-Nahl(16) ayat 76…………………………………………63

C. Orang-orang yang tidak memanfaatkan pancaindra untuk menerima

kebenaran dalam surat al-Baqarah (2) ayat 171………………….71

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................ 81

B. Saran ......................................................................................82

Page 17: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi. Kemujizatan al-

Qur’an akan terus terbukti dengan semakin majunya ilmu

pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah

Swt menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw demi

membebaskan manusia dari gelapnya hidup menuju kepada

cahaya kebenaran ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang

benar. Nabi menyampaikan kepada para sahabatnya sebagai

penduduk asli Arab yang sudah pasti dapat memahami kebiasaan

mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka

tentang ayat-ayat yang disampaikan kepada mereka, mereka

langsung menanyakannya kepada Rasulullah.1

Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan

sifat. Salah satunya adalah bahwa ia merupakan kitab yang ke-

otentikannya dijamin oleh Allah Swt., dan ia adalah kitab yang

selalu dipelihara.2 Jaminan ini diberikan atas dasar

kemahakuasaan-Nya, melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh

manusia. Dengan adanya jaminan tersebut, setiap muslim percaya

1Mannā Khalīl al-Qaṭan, Mabāhis Fi Ulumil Qu’an, terj. Aunur Rafiq

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 3. 2 M Quraish Ṣihāb, Membumikan al-Qur’an Fungsi Wahyu dan Peran

dalam Kehidupan Masyarakat cet ke-18 ( Bandung: Mizan, 1999), 21. فظون كر وإنا لهۥ لح لنا ٱلذ [٩ة الحجر]سور٩إنا نحن نز

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya

Kami benar-benar memeliharanya

Page 18: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

2

bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Qur’an tidak

berbeda dengan apa yang pernah didengar dan dibaca oleh

Rasulullah saw dan para sahabatnya.3

Al-Qur’an sebagai mukjizat merupakan kitab yang berbahasa

Arab dengan gaya bahasa yang amat indah. Al-Qur’an sendiri

menantang orang-orang Arab waktu itu supaya bergabung

bersama-sama jin untuk membuat semacam al-Qur’an, tetapi

mereka tidak akan mampu membuatnya sekalipun salinng bantu

membatu.4 Orang-orang yang dapat mengetahui kemukjizatan dan

keindahan bahasa al-Qur’an adalah mereka yang paham betul

seluk-beluk bahasa AFrab. Oleh karena al-Qur’an adalah bagian

dari Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn yang diwahyukan kepada

Nabi Muhammad Saw. Maka kemukjizatan al-Qur’an bersifat

universal dan untuk manusia seluruhnya. Karenanya kemukjizatan

itu ada yang telah diketahui oleh orang-orang terdahulu, ada yang

sedang kita ketahui dan ada yang akan diketahui oleh generasi

setelah kita.5

Mengutip dari al-Zarqāni, ia menyatakan bahwa al-Qur’an

berisi ribuan mukjizat. Ia mengemukakan bahwa beberapa segi

yang menurutnya dipandang bebas dari cacat. Di antaranya adalah

3 M Quraish Ṣihāb, Membumikan al-Qur’an, 21 4 Lihat QS. al-Isrā ayat 88

أن يأتوا قل لئن ٱجتمعت نس وٱلجن على ذا ٱلقرءان لا يأتون ٱل بمثلهۦ بمثل ه

٨٨ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk

membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat

membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi

pembantu bagi sebagian yang lain"

5 Chotibul Umam dalam Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok, Sejarah

dan Wacana Kajian (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004), 114.

Page 19: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

3

segi bahasa dan uslub-nya. Ketinggian bahasa dan uslub-nya tidak

dapat diingakari karena ia tidak dapat ditandingi oleh siapa pun.6

Pakar bahasa Abu al-Hadid (w. 1258 M), seperti dikutip oleh

al-Suyūṭi, mengibaratkan bahwa keindahan bahasa al-Qur’an

seperti seorang perempuan yang menyandang aneka tolok ukur

kecantikan seperti warna kulitnya putih menarik, bibirnya bagai

delima merekah, matanya bagai bintang kejora, hidungnya

mancung menarik, dan perawakannya semampai. Kemudian ada

perempuan yang secara tolok ukur kecantikan dia lebih rendah,

akan tetapi lebih menarik dan membuat perhatian tertuju padanya.

Yang demikian adalah peranan rasa, ilimu-lmu kebahasaan dapat

membantu, tapi rasalah yang lebih memiliki peran.7

Kemudian Imam Fakhr Al-Dīn al-Rāzi berpendapat bahwa

aspek kemukjizatan al-Qur’an terletak pada kefasihan kata-

katanya, keunikan gaya bahasanya dan kesempurnaan redaksinya.

Berbeda dengan al-Rāzi, al-Zamlākāni menegaskan bahwa aspek

kemukjizatan al-Qur’an dikembalikan pada susunan spesifiknya

(al-ta’līf al-khasāsh), bukan pada susunan globalnya (mutlaq al-

ta’līf). Mengenai ini Ibnu ‘Aṭiyah juga berpendapat bahwa yang

benar dan sesuai dengan pendapat mayoritas ulama dan para

intelektual adalah kemukjizatan al-Qur’an terletak pada keindahan

susunan, validitas makna, dan kesinambungan dalam kefasihan

6Rahmat Syafei, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 60. 7 M Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 337-338.

Page 20: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

4

kata-katanya. Sebab Allah Swt., mengetahui segala sesuatu,

termasuk pengetahuan tentang menyusunan kalimat.8

Selanjutnya menurut Mannā Khalīl al-Qaṭān hakikat-hakikat

yang tinggi dalam makna dan tujuannya akan memperlihatkan

gambarannya dengan lebih menarik jika dituangkan dalam

kerangka retorika yang indah. Dengan analogi yang tepat, ia akan

lebih dekat kepada pemahaman suatu ilmu yang telah diketahui

secara yakin. Tamṡīl(perumpamaan) merupakan kerangka yang

dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup di

dalam pikiran. Biasanya hal ini dilakukan dengan metode

“mempersonifikasikan” sesuatu yang gaib dengan yang hadir,

yang abstrak dengan yang konkrit, atau dengan menganalogikan

sesuatu hal yang serupa. Dengan tamṡīl, banyak makna yang

asalnya baik, menjadi indah, menarik dan mempesona. Karena

tamṡīl dianggap mampu mendorong jiwa untuk menerima makna

yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas.9

Sedangkan dalam al-Qur’an nama lain dari tamṡīl adalah Amṡāl

al-Qur’an yang merupakan salah satu cara al-Qur’an

menyampaikan pesan. Amṡāl adalah bentuk jamak dari kata

maṡalyang mempunyai banyak arti di antaranya keserupaan,

keseimbangan, kadar sesuatu, yang menakjubkan/mengherankan

dan pelajaran yang dapat deipetik, di samping berarti peribahasa.

Dalam banyak ayat al-Qur’an, kata maṡaldigunakan dalam arti

8Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Samudra Ilmu-ilmu al-Qur’an (ringkasan kitab al-

Itqan fi ulum al-Qur’an) terj. Tarmana Abdul Qosim (Bandung: Penerbit Arasy,

2003), 232-233. 9 Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhis Fī Ulūmil Qur’ān, 352.

Page 21: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

5

sifat/keadaan yang meakjubkan/mengherankan dan tidak jarang

digunakan dalam arti keserupaan10.

Terdapat perbedaan antara maṡal dan miṡil. Mistil adalah

kesamaan, dengan maṡal adalah keserupaan. Firmah Allah:

ثل نة م ٱلج ت ون و ع دٱل تق جم اءغيج ءف يٱل نجهرم نم

نهاأ اس

ه م طعج ج يتغي مج ل بنجهرم نل

ۥوأ

(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan

kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada

sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya,

sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-

sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan

sungai-sungai dari madu yang disaring.

Menurut pendapat Quraish Shihab, ayat ini menggambarkan

betapa menakjubkan surga sekaligus dan bahwa yang dilukisakan

ini bukan persamaan, tetapi sekadar maṡal atau keserupaan saja,

karena hakikat surga dan kenimatannya tidak sama dengan apa

yang terlukiskan ayat in.11

Adapun Orang yang pertama kali mengarang Ilmu Amṡāl al-

Qur’ān ialah Syaikh Abdur Rahman bin Husein al-Naisābūri

(wafat 406).12 Sebagian ulama ada yang menulis kitab khusus

tentang perumpamaan-perumpamaan (Amṡāl) dalam al-Qur’an,

dan ada pula yang hanya membuat satu bab dalam salah satu satu

kitab-kitabnya. Kelompok pertama, misalnya Abu al-Hasan al-

Mawardi.13 Sedang kelompok kedua antara lain; al-Suyūṭi dalam

10 M Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir, 263-264. 11 M Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir, 264. 12 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), 314. 13 Ia adalah Abu al-Hasan Ali Habib al-Syafi’i, penulis kitab Adab al-Dunya

wa al-Din dan Ahkam al-Sulṭaniyah, wafat pada 450 H.

Page 22: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

6

al-Itqān yang menyediakan satu bab khusus yang membicarakan

Ilmu Amṡāl al-Qur’ān dengan lima pasal di dalamnya. dan Ibnu

al-Qayyim dalam I’lām al-Muwaqqi’in. Bila kita teliti, Amṡāl

dalam al-Qur’an mengandung makna tasybīh yaitu penyerupaan

sesuatu dengan sesuatu yang serupa lainnya dan membuat setara

antara keduanya dalam hukum. Amṡāl yang seperti ini lebih dari

empat buah jumlahnya.14

Pembahasan mengenai Amṡāl dalam al-Qur’an begitu banyak

dan meluas dilihat dari adanya beberapa macam jenis Amṡāl yang

diklasifikasikan oleh para ahli ‘Ulūm al-Qur’ān. Salah satu

pembahasan yang menarik adalah perumpamaan/Amṡāl yang

Allah buat dengan menggunakan lafaz-lafaz yang memiliki arti

“buta tuli dan bisu dalam al-Qur’an” Allah Swt., berfirman:

مج مثل ه توجقد ٱل يكمثل ل نارافلمٱسج ماحوج ضاءتج ذهبۥاأ ٱلل

و ونب ن ور ه مج بجص ي ل متل ظ ف مج م ١٧تركه لص مج فه مج مع ب كجع ون وج١٨يرجج

ماء كصي بم نأ ظ ٱلس قيججعل ف يه دوبرج ونل متورعج

م ن ءاذان ه م ف مج صب عه ع ق أ و حذرٱلص جموجت وٱل م يطٱللف ر ينب كق ١٩ٱلج جبج ٱل بجصريكاد

أ شيجطف مم له ضاء

أ ما مج ك اه وج

ش ولوج وا قام يجه مجلمعل ظج

وإذاأ اءف يه ٱلل

وأ ع ه مج هبب سمج ل بجصر ه مج

إ ن يرٱلل ءقد شج ك ٢٠عل

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan

api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah

hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan

mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu

14Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, 252-253.

Page 23: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

7

dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang

benar), atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari

langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat

telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara)

petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang

yang kafir.Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan

mereka.Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan

di baw ah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka

berhenti.Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan

pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah

berkuasa atas segala sesuatu

Muhammad Ali al-Shabūnī mengatakan dalam bukunya bahwa

ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa Allah menyerupakan

kemunafikan dan keadaan mereka dengan keadaan seorang yang

menyalakan api agar menerangi. Akan tetapi api itu tidak bertahan

lama dan kemudian mereka dalam kegelapan dan kebingungan

disertai ketakutan yang mencekam. Ayat ini merupakan

perumpamaan yang Allah buat untuk menggambarkan keadaan

orang-orang munafik, karena mereka lebih menyukai kesesatan

daripada petunjuk.15

Setelah penulis melakukan pencarian terhadap pembahasan

yang mengkaji ayat-ayat Amṡāl dalam al-Qur’an ternyata kajian

ini cukup banyak diminati oleh para pengkaji sastra bahasa Arab.

Akan tetapi pembahasan Amṡāl dalam al-Qur’an mengenai kata-

kata “buta tuli dan bisu belum begitu banyak. Lafaz-lafaz buta, tuli

dan bisu dalam al-Qur’an lebih banyak digunakan dalam arti

konotasinya di beberapa ayat. Dengan kata lain meski lafaz-

lafaznya memiliki arti yang sama yaitu “buta, tuli dan bisu”, akan

15 Muhammad Ali al-Shābuny, Cahaya al-Qur’an terj. Kathur Suhardi

(Jakarta: Pustala Al-Kautsar, 2000), 8.

Page 24: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

8

tetapi memiliki konteks dan objek yang berbeda dan ditujukan

pada subjek yang berbeda.16

Meskipun sentimen masyarakat terhadap disabilitas dan difabel

masih cenderung mengarah kepada opini yang negatif karena

kekurangan/ ketidak mampuan fisik yang mereka (kaum

disable/difabel) miliki.17 Penggambaran buta, tuli dan bisu dalam

al-Qur’an banyak dikategori ke dalam kajian “Amṡāl al-Qur’an”.

Namun, kajian mengenai Amṡāl dalam kategori ini masih sangat

sedikit dan cukup terbatas. Dari sekitar 38 ayat mengenai buta, tuli

dan bisu, 34 ayat di antara nya menunjukkan bahwa yang

dimaksud adalah kecacatan non fisik dan teologis. Kajian-kajian

terdahulu yang berkaitan dengan masalah ini hanya menjelaskan

garis besar nya saja atau bahkan parsial dan tidak menyeluruh dan

cenderung mengkaji lafaz-lafaz ini dari pandangan makna ẓahir-

nya.

Maka dari itu penting untuk dilakukan penelitian mengenai

bagaimana lafaz-lafaz buta, tuli dan bisu digunakan sebagai

perumpamaan terhadap situasi/keadaan golongan tertentu yang

menunjukkan adanya kecacatan non fisik dan cacat teologis.

Demikian akan dicapai penggambaran yang berbeda antara lafaz-

lafaz yang bermakna denotasi atau pun konotasi dengan

menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dan mengkajinya.

Berdasarkan penjelasan tersebut penulis akan mengangkat

16 Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab jilid 12 ( Beirut: Dar Shādir, tt), 53 & 343 17Khairannas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif al-

Qur’an.Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No 2, Juli-Desember 2017, 222

Page 25: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

9

permasalahan ini dengan mengajukan judul “BUTA TULI DAN

BISU DALAM AL-QUR’AN” (Kajian Tematik).

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Penelitian yang akan penulis lakukan terhadap ayat-ayat buta

tuli dan bisu dalam al-Qur’an akan dibatasi dengan ayat-ayat yang

mengandung makna konotasi buta, tuli dan bisu sebagai bagian

dari kajian Amṡāl/perumpamaan. Terdapat kurang lebih 37 ayat

yang mengandung lafaz-lafaz buta, tuli dan bisu yang digunakan

sebagai perumpamaan/Amṡāl. Selanjutnya ayat-ayat tersebut akan

dihimpun dan dianalisis dengan menggunakan metode tematik dan

lebih terfokus pada makna konotasinya.

Dalam penelitian nya, peneliti akan menggunakan tafsir Jami’

al-Bayān Fi Tafsir al-Qur’ān karya dari Ibnu Jarīr al-Ṭabāri.

Tafsir ini berisi eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen

terutama dalam hal makna dan penggunaan bahasa Arab.Tafsir ini

juga kental dengan riwayat-riwayat sumber penafsiran (ma’ṡūr)

yang disandarkan pada pendapat para sahābat, tābi’īn, tabi’it

tābi’īn melalui hadis yang mereka riwayatkan. Penafsiran dalam

kitab ini pula didukung dengan nalar (ra’yu) untuk membangun

pemahaman-pemahaman objektifnya.18

Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah di

atas, maka penulis merumuskan permasalahan pada : “Apa makna

18 Srifariyati, Manhaj Tafsir Jami’ Al-Bayan Fi tafsir al-Qur’an.Jurnal

Madaniyah Vol 7 No 2 Edisi Agustus 2017, 319-342.

Page 26: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

10

lafaz Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an menurut kajian

Amṡāl al-Qur’an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dijelaskan di atas,

maka penelitian ini mempunyai tujuan

1. Untuk mengetahui hakikat makna yang dimaksud oleh lafaz-

lafaz buta, tuli dan bisu dan sebab-sebab yang melatarbelakangi

penggunaannya sebagai perumpamaan/Amṡāl dan tujuannya

dalam penyampaian pesan-pesan ilahi.

2. Penelitian ini untuk memenuhi syarat memperoleh gelar

sarjana strata satu (S1)

Hasil dari penelitian ini dimaksudkan agar menjadi manfaat dan

kontribusi terhadap kajian Amṡāl yang dapat memberikan

pelajaran kehidupan/ibrah bagi para pembacanya.

D. Tinjauan Pustaka

Khairunnas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam

Perspektif Al-Qur’an. Kajian ini bertujuan untuk melihat

bagaimana al-Qur’an berbicara mengenai penyandang cacat serta

eksistensinya dalam tatanan hukum dan sosial. Terdapat 38 ayat

yang tersebar dalam 26 surah dalam al-Qu’an. Dari jumlah tersebut

hanya lima yang berbicara mengenai cacat fisik dan selebihnya

berbicara mengenai cacat non fisik. Dari tulisan ini dapat diketahui

Page 27: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

11

bahwa penyandang cacat menurut al-Qur’an adalah orang yang

memiliki kecacatan fisik dan teologis.19

Abu Bakar, Nilai-Nilai Pendidikan Pada Ayat-Ayat Amṡāl

dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah. Penelitian dalam jurnal ini

dilatarbelakangi oleh keinginan penulis untuk mengetahui nilai-

nilai yang terkandung pada ayat-ayat Amṡāl yang terkadang Allah

memberikan perumpamaan terhadap golongan tertentu dan dengan

perumpamaan yang menarik perhatian pembaca. Adapun objek

yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an

yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Ada pun ayat-ayatnya

adalah surah al-Baqarah ayat 17-19, ayat 146, ayat 171, dan ayat

265.20

Lilis Suryani. “Amṡāl dalam AL-Qur’an: Kajian Tafsir Tahlili

Surat al-A’rāf Ayat: 175-178”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh

adanya perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat

Allah, diumpamakan dengan anjing yang menjulurkan lidahnya

tidak hanya ketika dia letih dan kehausan, tetapi sepanjang

hidupnya anjing selalu demikian, sama dengan orang yang

memperoleh ilmu pengetahuan akan tetapi tetap terjerumus oleh

hawa nafsunya. Penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa

Allah mengumpamakan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat

al-Qur’an dengan hewan yang hina karena sifatnya yang sangat

buruk, baik dari sifat zāhir maupun batinnya. Hikmah yang

terdapat pada tamṡīl anjing ini adalah Allah memberikan

19 Khairunnas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif al-

Qur’an.Jurnal Ushuluddin Vol 25 No 2, Juli-Desember 2017, 221-234. 20Abu Bakar, Nilai-Nilai Pendidikan Pada Ayat-Ayat Amṡaldalam al-Qur’an

QS.al-Baqarah. Jurnal Syamil Vol. 5(1), 2017.

Page 28: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

12

pembelajaran pada manusia agar senantiasa bersyukur atas nikmat

yang telah diberikan dan cara menggunakan nikmat agar tidak

kufur.21

Isramin, Gaya Bahasa Amṡāl Musharrahah dalam al-Qur’an

(suatu kajian Tematik). Kajian ini mencoba memperkenalkan

kepada para pembaca mengenai Amṡāl Musharrahah dalam al-

Qur’an. Melalui Amṡāl jenis ini al-Qur’an menarik perhartian

manusia untuk memerhatikan pesan yang terkandung dalam ayat

tersebut. Gaya Amṡāl jenis ini tidak hanya menyentuh pikiran

seseorang, tapi lebih dari pada itu menyentuh dan menggerakkan

perasaan yang paling dalam, sehingga manusia tergerak untuk

menerima kandungan al-Qur’an.22

Nunung Lasmana, Rekonstruksi Ayat-ayat Amṡāl Tentang

Kaum Munafik. Kajian Amṡāl dalam jurnal ini dikaji dengan

menggunakan penafsiran Muhammad Abduh yaitu kitab Tafsir al-

Manār. Sedangkan kajian Amṡāl -nya dibatasi dengan hanya

mencantumkan ayat-ayat Amṡāl musharrahah dan tidak termasuk

di dalamnya ayat-ayat Amṡāl kāminah dan mursalah. Kajian ini

sedikit berbeda dengan peneliti dari segi objek ayat-ayat yang

digunakan.Jurnal ini mencantumkan juga ayat-ayat yang

digunakan untuk menggambarkan keadaan orang munafik yang

digambarkan oleh kata-kata selain buta, tuli dan bisu.23

21Lilis Suryani. Amṡāl dalam Al-Qur’an Kajian Tahili Surah al-‘Araf ayat

175-178. “ Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam

Negeri Raden Fatah Palembang, 2016.” 22Isramin, Gaya Bahasa AmṡalMusharrahah dalam al-Qur’an (Suatu Kajian

Tematik).Jurnal Rausyan sssFikr Vol 12 No 1 Juni 2016:125-141. 23 Nunung Lasmana, Rekonstruksi Ayat-ayat AmṡalTentang Kaum

Munafik.Jurnal At-Tibyan Vol 1 No 1 Januari-Juni 2016,19-44.

Page 29: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

13

Rofi’atul Khoiriyah, Difabilitas dalam Al-Qur’an. Kajian

mengenai skripsi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan difabilitas

di kalangan masyarakat. Para penyandang difabel masih sering

dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas. Hal tersebut

dikarena oleh beberapa faktor yang beberapa di antaranya

disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam melakukan suatu

aktivitas dan keterbatasan kemampuan fisiknya. Pandangan

negatif masyarakat terhadap penyandang difabel menyebabkan

kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, dan

kewajiban serta peran yang sama dengan masyarakat lainnya.24

Penelitian ini pun menghasilkan kesimpulan bahwa al-Qur’an

menyebutkan dua jenis difabel yaitu tunanetra dan tunadaksa yang

dalam al-Qur’an memberikan penuh perhatian terhadap kaum

difabel, yakni dengan tidak membeda-bedakan antara satu dan

lainnya, baik seseorang dalam keadaan cacat atau pun sempurna,

karena yang dinilai Allah adalah ketakwaan dan keimanan saja.25

Nidaul Fajriyyah. “Karakter Munafik Sebagai Gangguan

Kepribadian: Kajian Surah al-Baqarah ayat 8-20”. Skripsi ini

mengkaji mengenai karakter munafik sebagai gangguan mental

kepribadian sebagai lawan munafik atau nifāq merupakan sifat

yang lahir dari batinnya berbeda. Metode yang digunakan adalah

metode tahlīlī yaitu menghimpun ayat-ayat yang memiliki tujuan

yang sama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa munafik jangan

hanya dipandang sebagai dosa yang besar saja., akan tetapi

24 Rofi’atul Khoiriyah, Difabilitas dalam al-Qur’an.”Skripsi Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015”. 25 Rofi’atul Khoiriyah, Difabilitas dalam al-Qur’an, xviii

Page 30: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

14

terdapat kaitannya dengan kondisi mental, dan sangat penting

diperlukan agar mengetahui latar belakang seseorang berbuat

munafik. 26

Muhammad Ali, Fungsi Perumpamaan dalam Al-

Qur’an.Jurnal ini membahas fungsi perumpamaan dalam al-

Qur’an dan menjabarkan macam-macam perumpamaan yang

terdapat dalam al-Qur’an.Dalam kajian ini ditemukan bahwa

perumpamaan dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang

mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, baik dalam

bentuk isti’ārah, tasybīh, atau pun yang berbentuk majāz. Kajian

ini menemukan bahwa ayat-ayat yang mengandung perumpamaan.

Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pelajaran/I’tibār bagi manusia

agar lebih mudah difahami dan diterima dalam menanamkan

keimanan maupun kemuliaan perilaku kepada manusia serta

menunjukkan kepada mereka atas keindahan bahasa al-Qur’an.27

Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl al-Qur'an (Anailis Stilistika).

Jurnal ini membahas tentang ayat-ayat tamṡīl yang dianalisis

menurut stilistika. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih

jauh bentuk-bentuk tamṡīl dan faidah nya bagi manusia. Dari

telaah yang dilakukan ditemukan hal-hal sebagai berikut:

ditemukan sebanyak 168 kali ayat-ayat yang mendung tamṡīl

dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuknya. Dari segi uslub (gaya

26Nidaul Fajriyyah, Karakter Munafik Sebagai Gangguan Kepribadian,

“Skripsi Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,

2014”, Iv. 27Muhammad Ali, Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur’an. Jurnal

Tarbawiyah Vol 10 NO 2 Edisi Juli-Desember 2013, 21-31.

Page 31: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

15

bahasa) adalah sebagai targhīb, tarhīb dan tahzīr, mau’izhah dan

i’tibār.28

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas sebagai kajian terdahulu

yang menjadi tolak ukur penelitian selanjutnya, peneliti

menemukan bahwa meski terdapat kesamaan terhadap ayat-ayat

yang digunakan sebagai objek penelitian, akan tetapi pembahasan

dan tujuan penelitian yang akan dilakukan dan yang sudah

dilakukan memiliki perbedaan. Dalam skripsi dan jurnal mengenai

difabel misalnya, terdapat persamaan ayat-ayat yang digunakan

yaitu ayat yang mengandung lafaz “shummun dan Bukmun” yang

sama-sama memiliki arti tuli dan bisu. Kajian dalam jurnal ini

lebih mengarah kepada bagaimana eksistensi difabel dalam al-

Qur’an dan perhatiannya, tentu jelas bahwa penelitian ini lebih ke

arah memaknai lafaz-lafaz tersebut sebagai cacat fisik bukan cacat

non fisik.Kajian jurnal-jurnal di atas juga sebagai referensi yang

sama-sama membahas mengenai Amṡāl dengan lebih

umum/general dan tidak meluas atau masih kurang merinci.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari suatu objek yang dapat diambil dan diteliti. Sumber data

yang digunakan dalam penelitian ini selanjutnya akan bersumber

dari dokumen perpustakaan tertulis (Library Research) dan

28 Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika).

Jurnal al-Ta’lim, jilid 1 Nomor 4 Februari 2013, 285-298.

Page 32: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

16

pengumpulannya ialah dengan cara menelusuri buku-buku dan

kitab-kitab serta referensi ilmiah dan referensi tertulis lainnya.

2. Sumber data

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah al-

Qur’an.Peneliti menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai objek

utama dalam penelitian.Selanjutnya sumber sekunder lainnya

yaitu berupa kitab tafsir dan kitab-kitab ulum al-Qur’an.

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Dalam pengumpulan ayat-ayat terkait penulis menggunakan

kitab indeks ayat-ayat. Kemudian peneliti mencari ayat-ayat yang

berkaitan dengan cara menggunakan kata kunci buta tuli dan bisu.

Metode pengolahan data yang akan digunakan nantinya,

peneliti memilih untuk menggunakan metode tematik atau

metodemauḍū’i yaitu metode yang mengarahkan pandangan

kepada suatu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an

tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang

membicarakannya, menganalisis, dan memahami ayat-ayatnya.29

Al-Farmawy mengatakan dalam bukunya bahwa metode ini

memiliki dua bentuk:

1) Pertama, Tafsir yang membahasa satu surah al-Qur’an secara

menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud

umum dan khususnya secara garis besar dengan cara

menghubungan ayat satu dengan ayat lainnya, atau bisa juga

menghubungan satu pokok masalah dengan pokok masalah

lainnya. Dengan menggunakan metode ini surah tersebut tampak

29 Quraish Ṣihāb, Kaidah Tafsir, 385.

Page 33: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

17

dalam bentuk utuh, teratur dan betul-betul cermat, teliti dan

sempurna. Sebagaimana dikutip dari kitabnya al-Farmawy

mengatakan: “Satu surah al-Qur’an, meskipun mengandung

banyak masalah, masalah-masalah itu sebenarnya adalah satu, dan

pada hakikatnya menunjuk kepada satu maksud.”30

2) Kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-

Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian

memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu

bahasan tema tertentu. 31

Jenis penelitian yang akan penulis laksanakan adalah termasuk

kepada jenis yang ke dua, yaitu menghimpun dan menyusun ayat-

ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian

memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu

bahasan tema tertentu.

Adapun tafsiran yang digunakan adalah tafsir dari Ibnu Jarīr al-

Ṭabāri. Sumber penafsiran tafsir Jami’ al-Bayan adalah bil-

ma’ṡūr, yaitu penafsiran-penafsiran yang bersumber langsung

kepada ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang disandarkan

kepada Nabi saw., pendapat para sahabat, dan para tābi’īn.

Penafsiran al-Ṭabāri memiliki keunggulan dari para penafsir

30 Quraish Ṣihāb dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2013), 192.

Lihat Abu al-Hayy al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mauḍū’i: Dirasat

Mahajiyyah Mawḍū’iyyah(1997), 7, 50. 31 Quraish Ṣihāb dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, 193. Lihat Abu al-Hayy

al-Farmawy dan Zabir ibn Awal al-Alma’i, Muhammad Baqir al-Shadr dan

lainnya yang menamakan kedua bagian tafsir ini sebagai al-Tafsir al-Mauḍū’i.

Tetapi Muhammad al-Ghazali membeda.kan nama kedua bentuk tafsir ini meski

namanya tidak jauh berbeda. Lihat Nahw Tafsir Mawḍū’i li Suwar al-Qur’an

al-Karim cetakan ke-2 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1992), 5-6.

Page 34: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

18

henerasi sebelumnya yaitu beliau tidak hanya mengutip riwayat

Nabi saw., dan pendapat para sahabat melainkan juga mengkritisi

riwayat yang mana yang shahih maupun ḍaīf, serta mengutip

pendapat yang paling kuat (rājih) bila terjadi perbedaan pendapat

di kalangan sahabat dan tabi’iin. Pembahasan yang dikandung oleh

tafsir Jāmi’ al-Bayān mencakup beberapa disiplin ilmu seperti

kebahasaan, nahwu, syair dan macam qiraaqiraat yang disertai

pen-tarjih-an terhadap riwayat qira’at yang dikutip. Riwayat-

riwayat yang dikutip berfungsi salah satunya untuk menjelaskan

akan makna kata atau ayat al-Qur’an yang dibahas. Beliau juga

menyeleksi dan memilih pendapat yang menurut beliau paling kuat

di antara pendapat lain yang dikutip.32

F. Sistematika Penulisan

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah diadakannya penelitian, pokok masalah yang

menjadi dasar dan dicari jawabannya, tujuan dan manfaat

penelitian, telaah pustaka untuk menelaah kajian-kajian terdahulu

yang berkaitan dengan topik kajian yang telah dilakukan orang

lain, metode penelitian yang menerangkan metode-metode yang

digunakan, sistematika pembahasan yang mengatur urutan

pembahasan. Bab ini diuraikan sebagai gambaran mendasar yang

menentukan isi penelitian.

Bab dua berisi gambaran umum tentang Amṡāl al-Qur’an, pada

bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian Amṡāl baik secara

32 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizi, Membahasa Kitab Tafsir Klasik

Modern(Ciputat, Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), 5-6

Page 35: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

19

bahasa mau pun istilah. Selanjutnya dijelaskan juga pengertian

amṡal dalam al-Qur’an, jenis dan atau macam-macam Amṡāl

dalam al-Qur’an, serta manfaat dan faedah-faedah adanya ilmu

Amṡāl dalam al-Qur’an.

Bab tiga berisi tentang kajian teoritis terhadap buta, tuli dan

bisu dan lafaz-lafaz yang memiliki makna buta, tuli dan bisu dalam

al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an beberapa lafaz yang

merepresentasikan kosa kata tersebut seperti shummun, bukmun,

‘umyun dan lafaz lain yang serupa namun berbeda pola. Ayat-ayat

berisi lafaz-lafaz ini pula akan disertai tafsir sebagai penjelasan.

Bab empat adalah adalah pembahasan mengenai makna ayat-

ayat yang terkandung di dalamnya lafaz-lafaz buta, tuli dan bisu

yang memiliki makna konotasi dan juga termasuk ke dalam

kategori ayat-ayat Amṡāl. Penulis akan mendeskripsikan apa saja

subjek, objek dan konteks yang dimaksud oleh ayat-ayat tersebut

dan selanjutnya penulis akan mengidentifikasi aspek-aspek

tersebut sehingga dapat meyimpulkan apa yang dimaksudkan

Allah dalam pesan-pesannya tersebut.

Bab lima berisi kesimpulan berupa jawaban dari rumusan

masalah yang telah dibuat berdasarkan indentifikasi masalah dan

saran-saran berisi anjuran tentang kelanjutan kajian yang

bertemakan sama dan peluang untuk dilanjutkan ke ranah yang

lebih luas.

Page 36: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

20

Page 37: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

21

BAB II

KAJIAN TEORITIS AMṠĀL DAN DIFIBALITAS

A. Kajian Teoritis Amṡāl

Tamtsīl adalah makna lain dari matsal. Bentuk mashdar (kata

dasar)Tamtsīl yang merupakan derivasi dari kata dasar al-matsal

yang kemudian diubah menjadi bentuk زيد ثلا ثيما yaitu bab

ث ل- تامثيلmaka ia menjadi تامثيل ثال -يما Tamtsīl dalam bahasa 1.ما

Arab mengandung beberapa makna yaitu sebagai berikut : 1.

menggambarkan sesuatu baik melalui tulisan atau pun lisan

sehingga seolah-olah dia betul-betul dapat dilihat. 2.

Menyampaikan atau menyerupakan sesuatu dengan yang dan

menjadikannya sebagai contoh. 3. Menjadikan sesuatu sebagai

pelajaran.2

Tamtsīl (perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat

menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup di dalam

pikiran. Biasanya dilakukan dengan metode

“mempersonifikasikan”3 sesuatu yang gaib dengan yang hadir,

1 Lihat Ali Abdul Wahid Wafi, Fiqh al-Lughah Al-Arabiyyah (Mesir: Lajnah

al-Bayan al-Araby, 1962), 172. Dalam bahasa Arab bila satu kata diubah kepada

bentuk yang lain dengan tetap menjaga urutan huruf asalnya, maka kata baru

tetap mengandung arti kata asalnya. Dalam istilah Arab disebut: al-Isytiqāq al-

Âm. Hafni Bustami, Penafsiran Ayat-ayat Tamṡīl dalam Tafsir al-Kasyaf

(Jakarta: Nuansa Madani, 2002), 9 2 Ibnu manzhur, Lisān al-Arab (Beirut: Fin Syifa Al-Turaṡ al-Araby, tt), 24. 3Pengumpamaan(perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia,

seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan menjadi saki sumpah setia.;

mempersonifikasi (kata kerja), mengumpamakan (melambangkan) benda mati

seolah-olah hidup sebagai manusia; patung itu- dirinya sebagai pembela hebat

manusia. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. Ke 4 ( Jakarta:

PT Gramedia Pustaka, 2008), 1062

Page 38: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

22

yang abstrak dengan yang konkrit, atau dengan menganalogikan

sesuatu hal dengan hal serupa. Dengan Tamtsīl, makna yang

asalnya baik, menjadi lebih indah, menarik dan mempesona,

karena Tamtsīl dianggap lebih dapat mendorong jiwa untuk

menerima makna yang dimaksudkan, dan membuat akal merasa

puas. Tamtsīl adalah salah satu metode al-Qur’an dalam

mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatan.4

Berikut adalah pengertian lebih jelasnya:

1. Amṡāl Menurut Bahasa

Ada pun secara Etimologi kata الأامثاال merupakan bentuk jamak

dari ثال yang berarti serupa/sama.5 Dilihat dari wazan (pola ما

kata)nya, kata ثال ,مثل ,ما ثال بها adalah satu pola dengan kata ما ,شا

6.شاابه danشبه Secara etimologi pengertian ثال terdapat tiga ما

macam. Pertama, bisa bermakna perumpamaan, gambaran atau

keserupaan. Kedua, bisa bermakna kisah atau cerita, jika

keadaannya sangat menakjubkan. Ketiga, bisa bermakna sifat,

keadaan tingkah laku yang menakjubkan.7

Sedangkan Secara terminologi ثال اامثاال atau ما menurut para

ahli sastra adalah ucapan yang banyak disebutkan yang telah

4Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-

Azmi (Jakarta: Pustaka al-Kauṡar, 2006), 352. 5Menurut Ibnu Faris, kata maṡal termasuk dalam fi’il shahih terdiri dari

huruf mim, ṡa’ dan lam, yang memiliki arti menyamakan sesuatu dengan sesuatu

yang lain. Lihat Mu’jam aqayis al-Lughah, jilid V (Mesir :Isa al-Babiy al-

Halaby,1972), 296. Pendapat ini terdapat dalam buku Hasani Ahmad Syamsuri,

Studi Ulumul Qur’an (Jakarta: Zikra-Press, 2009), 173. 6Al-Rāghib al-Isfāhaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an (Beirut: Dar

al-Fikr,t.t), 482. 7Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, 173-174.

Page 39: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

23

terbiasa dikatakan orang, dimaksudkan untuk menyamakan

keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang

dituju.8 Berikut ini dipaparkan beberapa pendapat mengenai

pengertian Amṡāl:

a. Menurut ulama Bayān, Amṡāl merupakan bentuk majāz

murakkab yang konteksnya adalah persamaan. Maksudnya Amṡāl

adalah ungkapan majaz majemuk yang kaitan antara yang

disamakan dan asalnya disebabkan adanya keserupaan. Semua

bentuk Amṡāl ini adalah isti’ārah Tamtsīliyyah (kiasan yang

menyerupakan).9

b. Menurut ulama tafsir matsal adalah menampakan pengetian

abtsrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang

tertancap dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybīh mau pun از جا ما

ungkapan bebas(.10)مرسال

c. Ibnu al-Qayyim mendefinisikan Amṡāl al-Qur’an yaitu

menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukumnya

dan mendekatkan sesuatu yang abstrak ( عقول dengan yang (ما

konkrit ( 11 .(حس

8Lihat pada Bakri Syeikh Amin dalam Muhammad bakr Ismail Dirasat fi

Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Manar, 1991), 341. Al-Raghib al-Isfahani, 462.

Pendapat ini dikutip oleh Hasani Ahmad dalam bukunya Studi Ulumul Qu’an,

174.-175. 9 Lihat Muhammad Bakr Ismail, Dirasat Fi Ulum al-Qur’an, 342. 10Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), 311. 11Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 283. Rasyid Ridha

ketika menafsirkan ayat 17 QS. al-Baqarah menyatakan bahwa perumpamaan

sesuatu adalah sifat sesuatu itu yang menjelaskannya dan mengungkap

hakikatnya; atau apa yang dimaksudnya untuk dijelaskannya, baik sifat mau pun

ahwalnya. Terkadang perumpamaan sesuatu berarti penggambarannya dan

pengungkapan hakikatnya melalui majaz (metafor) atau hakikat, dilakukan

dengan mentasybīhkannya. Terkadang pengumpamaan yang paling balig adalah

Page 40: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

24

Pendapat lain mengatakan bahwa kata matsal yang memiliki

arti perumpamaan dalam kamus Arab Lisān al-Arab dan memiliki

beberapa makna antara lain: ناظير (sifat,seperti), atau ة عبرا yaitu

peringatan/pelajaran. Makna kata ثال lainnya yaitu menjadi ما

contoh bagi yang lain atau yang ditiru.12 Selain beberapa makna

tersebut, matsal juga memiliki makna lain sebagaimana yang akan

dijelaskan berikut:

Menurut al-Jawhary seperti dikutip dalam jurnalnya Hafni

Bustami bahwa kata matsal bisa juga berarti sifat. Sebagaimana

firman Allah dalam surah al-Ra’du ayat ke-35.13 Sedangkan

menurut Abu Ali kata matsal dalam ayat di atas bukan berarti sifat,

tetapi mengandung arti perumpamaan (tamtsīl) karena sifat itu

tidak dikenal di kalangan orang Arab. Sedangkan contoh yang

tepat untuk makna sifat adalah firman Allah dalam surah al-Fath

(48) ayat29.14 Matsal juga mengandung makna ة ,pelajaran)عبرا

perbandingan), seperti terdapat dalam firman Allah surah al-

Zukhruf (43) ayat 56: pengumpamaan yang rasional dengan gambaran in derawi dan sebaliknya. Lihat

Tafsir al-Manar, Juz I ( Maktabah al-Manar, 1346), 167. 12Ja’far Subhani, Wisata al-Qur’an :Tafsir Ayat-ayat Metafora, 1. 13QS. Al-Ra’du (13) ayat ke -35.

داائم ا أكلها ر انها ٱلأ ا تاجريمنتاحتها ٱلمتقونا نةٱلتيوعدا ٱلجا ثال ۞م

عقباىٱل اتلكا ظلها فريناٱلناروا عقباىٱلكا و٣٥ذيناٱتقاوا

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang

takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya;

buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah

tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat

kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka

14Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika).

Jurnal al-Ta’lim, jilid 1 Nomor 4 Februari 2013, 286.

Page 41: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

25

رينفجعلنهم لأخ ٥٦سلفاومثلل

Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi

orang-orang yang kemudian.

Selanjutnya menurut Fairuz Abadi, ia berpendapat bahwa kata

matsal berarti syibh atau serupa. Kata matsal juga memiliki makna

yang berarti hujjah (bukti, alasan, sifat). Ada pun kata mitsal

( )berarti miqdar (مثاال atau ukuran yang juga berarti qishash (مقداار

( pembalasan yang sepadan. Penulis buku Mu’jam (قصااص

Maqāyis menyatakan bahwa makna-makna yang disebutkan di atas

adalah gambaran luarnya saja. Sebuah kata atau lafaz mestinya

hanya memiliki satu atau dua makna saja, ada pun bila lebih dari

itu maka yang dikemukakan yaitu merupakan gambaran dari

pemahaman kata yang dimaksud.15

Berdasarkan pemaparan pendapat-pendapat mengenai

pengertian Amṡāl atau matsal di atas, dapat disimpulkan bahwa,

matsal adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan

suatu keadaan/benda/sifat dengan suatu yang lain yang memiliki

keserupaan, atau kemiripan yang dapat merepresentasikan sesuatu

yang digambarkan sehingga dapat dimengerti oleh panca indra dan

pikiran.

2. Amṡāl Menurut Istilah

Pendapat pertama mengaenai pengertian Amṡāl menurut istilah

diugkapkan oleh Ja’far Subhāni yang menyatakan bahwa matsal/

Amṡāl secara istilah adalah termasuk di antara kata-kata bijak atau

15Ja’far Subhani, Wisata al-Qur’an :Tafsir Ayat-ayat Metafora, 1-2.

Page 42: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

26

bagian dari kata-kata yang mengandung hikmah. Hikmah atau

kebijaksanaan dalam kata atau kalimat muncul dalam sebuah

kejadian karena kesesuaian dan keserupaan suatu peristiwa.

Kemudian masyarakat tertentu memakai kembali kata atau kalimat

tersebut dalam kejadian-kejadian serupa yang menimpanya,

dengan tidak mengubah makna, baik dalam ringkasan, keganjilan,

kesamaran atau pun penggambarannya.16

Adapun kata yang mengadung hikmah terdapat dua macam:

Pertama kalimah sā’irah atau kata yang beredar dan biasa dikenal

di tengah masyarakat dan berlaku dalam bahasa komunikasi

mereka. Kata atau kalimat hikmah yang demikian disebut matsal/

Amṡāl. Kedua, kata hikmah yang bermakna khusus dan tidak

berlaku secara umum (kalimah ghairu sā’irah) di tengah

masyarakat. Selain itu, perumpamaan yang beredar (matsal

sā’irah) juga mempunyai sifat yang dapat menjelaskan (qāid

taudhihi), bukan memiliki sifat yang memisahkan (qaid ihtirāzi).

17

Ada pun pengertian Amṡāl al-Qur’an adalah salah satu cara

yang digunakan oleh al-Qur’an dalam penyampaian pesan. Amṡāl

adalah bentuk kata jamak dari kata matsal yang memiliki banyak

makna di antaranya keserupaan, keseimbangan, sesuatu yang

mengherankan atau menakjubkan, kadar sesuatu, pelajaran yang

dapat dipetik, dan juga memiliki arti peribahasa.

16Ja’far Subhani, Wisata al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Metafora (Jakarta:

Penerbit al-Huda, 2007), 8. 17Ja’far Subhani,Wisata al-Qur’an: Tafsir ayat-ayat Metafora, 8.

Page 43: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

27

Quraish Shihâb berpendapat dalam bukunya bahwa tidak jarang

para ulama yang terpengaruh oleh bahasa susastra, menguraikan

kajian Amṡāl al-Qur’an serupa dengan bahasan sastrawan tentang

Amṡāl dalam arti peribahasa. Oleh sebab itu mereka membagi

Amṡāl al-Qur’an menjadi:18

1. Kalimat-kalimat singkat dalam al-Qur’an yang maknanya

serupa dengan peribahasa yang digunakan oleh masyarakat,

seperti:

Khoirul umūr al-Wasthu:“Sebaik-baiknya hal adalah yang di

tengah/moderasi. Sebagaimana Allah berfirman:

لا فارض ول بكر عوان بين ذلك Sapi betina itu” tidak tua dan juga tidak muda(tapi)

pertengahan antara itu.

Ayat yang disebutkan dinilai sama dengan peribahasa di atas.

2. Kalimat-kalimat singkat dalam al-Qur’an atau penggalan ayat

yang kemudian menjadi peribahasa, meskipun tidak ada

padanannya dalam literatur atau penggunaan masyarakat, namun

karena sering diucapkan atau didengar, singkat, indah, dan

mengandung makna yang dalam, maka seriring berjalannya waktu

menjadi peribahasa. Seperti firman-Nya: Thāha ayat 40:

مدينث هلأ نينف م فلبثتس ئتع ج ٤٠قدريموس

(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata

kepada (keluarga Fir´aun): "Bolehkah saya menunjukkan

kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka Kami

mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak

berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu

Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah

mencobamu dengan beberapa cobaan; maka kamu tinggal

beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu

datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa

18 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 264-265.

Page 44: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

28

Potongan ayat di atas diucapkan sebagai peribahasa saat

kehadiran seseorang yang tidak terduga. Orang tersebut disambut

dengan sedemikian rupa karena berkaitan dengan apa yang sedang

dibicarakan/dihadapi oleh yang menyambutnya. Sebagai contoh

jika ada masalah yang tidak dapat dipecahkan lalu kemudian hadir

lah seseorang yang dinilai mampu untuk memecahkan masalah

tersebut.

Pegertian lain yang dipaparkan oleh Sayyid Quthb mengenai

matsal/ Amṡāl yaitu bahwa matsal di dalam al-Qur’an merupakan

sarana untuk menggambarkan kondisi bangsa-bangsa pada masa

lampau dan untuk menggambarkan akhlaknya yang sudah sirna.19

Penyair zuhair dan Nabighah al-Dzibyani, seperti dikutip Ahmad

Hasyimi, menyatakan bahwa Amṡāl biasanya digunakan untuk

sesuatu keadaan dan sesuatu kisah yang hebat.20 Matsal

menonjolkan sesuatu makna yang abstrak ke dalam bentuk yang

indrawi agar menjadi indah dan menarik.

Berdasarkan penuturan beberapa pendapat di atas, maka penulis

dapat memberi kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Amṡāl

al-Qur’ān adalah salah satu cara yang Allah gunakan untuk

menyampaikan pesan dengan mempersonifikasikan sesuatu hal

dengan sesuatu yang lain, yang memiliki keserupaan, atau

menggambarkan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang

mampu ditangkap oleh panca indra, yang bertujuan untuk

menyampaikan pesan kepada yang dituju agar lebih mengena,

19 Lihat Sayyid Quṭb , al-Taṣwīrul Fanni fil Qur’an (beirut; Darusy Syurug,

1982), 242. 20 Lihat Ahmad Hasyimi, Jawāhirul Adab fi Adabiyyat wa Insyāil Lughah al-

Arabiyyah, juz II (mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t,th), 26.

Page 45: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

29

jelas, dan dapat diambil pelajaran serta hikmah dari apa yang

disampaikan di dalamnya.

3. Unsur-Unsur Amṡāl dalam Al-Qur’an

Unsur-unsur Amṡāl sebagaimana dalam tasybīh yaitu meliputi

beberapa hal berikut ini21:

1. Al-Musyabbah (yang diserupakan)

2. Al-Musyabbah bih (asal cerita/ tempat menyamakan); dan

3. Wajh al-syibh (segi/arah persamaan).

Dalam ilmu balaghah, matsal harus mencakup ketiga unsur

tersebut di atas. Begitu pula dengan Amṡāl al-Qur’an. Namun,

menurut hasil penelitian para penulis al-Qur’an, Amṡāl al-Qur’an,

baik yang berbentuk isti’ārah, tasybīh mau pun majaz mursal,

tidak selamanya harus ada musyabbah bih-nya sebagai yang

berlaku dalam Amṡāl menurut para ahli bahasa dan ilmu bayān.

Para ahli bahasa mengidentifikasi karakteristik matsal sebagai

berikut:

1. Mendatangkan makna yang banyak dengan kalimat yang

ringkas.

2. Maknanya harus tepat (ishābah al-makna)

3. Perumpamaannya harus baik (husn al-tasybīh)

4. Kināyah-nya harus indah (jawād al-kināyah)

Matsal dalam al-Qur’an tidak hanya mencakup kaidah-kaidah

akhlak dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga nilai kandungannya

tidak akan pernah sirna.

4. Jenis-jenis Amṡāl

21Hasani Ahmad Syamsuri, Studi al-Qur’an (Jakarta: Zikra Press, 2009),

176.

Page 46: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

30

Ada pun matsal jika dilihat dari segi uslub-nya yang terdapat

dalam al-Qur’an makan seperti berikut:

1) Amṡāl Muṣṣarraḥah (الأمثال المصرحة )

Amṡāl musharrahah yaitu sesuatu yang dijelaskan dengan lafaz

mastal atau sesuatu yang menunjukkan tasybīh (penyerupaan).

Amṡāl jenis terdapat beberapa dalam al-Qur’an, dan berikut ini

beberapa di antaranya22:

a) Tentang orang munafik surah al-Baqarah(2) ayat 17-20:

مثلهم يكمثل ضاءتماحولنارافلٱستوقدٱل اأ ذهبۥم

ٱلل ظلمتل نورهموتركهمف ونب بكمعميصم ١٧يبصعون و١٨فهمليرج

نأ بم ماءٱلس كصي ورعدي فيهظلمتي

هم ءاذان صبعهمفيعلونأ نوبرقي عقم و حذرٱلص ٱلموت

و ٱلل فرينميطب ك مقٱلبيكاد١٩ٱلك بصرهمايطفأ

ع ظلمأ وإذا فيه شوا م لهم ضاء

أ شاء ولو قاموا يهم

ل ٱلل بصرهمإن

سمعهموأ هبب ل يريٱلل ءقد ش

ك ٢٠ع

Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan

(matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api

dalam firman-Nya “adalah seperti orang yang menyalakan (ناار)

api” karena di dalam api terdapat unsur cahaya. Matsal yang lain

adalah berkenaan dengan air (ماء) “atau seperti (orang-orang

yang ditimpa) hujan lebat dari langit” karena di dalam terdapat

materi kehidupan, dan wahyu yang turun dari langit pun

22Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 356-258

Page 47: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

31

bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah

juga menyebutkan kondisi orang munafik dalam dua keadaan. Di

satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk

penerangan dan kemanfaatan. Dalam hal ini mereka mendapatkan

kemanfaatan materi dikarenakan memeluk Islam. Namun ke-

Islaman (keberagamaan) mereka tidak memberikan pengaruh

terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya ( (نور

yang ada dalam api itu, “Allah menghilangkan cahaya (yang

menyinari mereka).” Kemudian membiarkan unsur api membakar

yang ada padanya. Ini lah perumpamaan mereka yang berkenaan

dengan api.

2) Amṡāl Kāminah ( الأمثال الكامنة )

Amṡāl kaminah adala Amṡāl yang di dalamnya tidak disebutkan

dengan jelas lafaz Tamtsīl, tetapi ia menunjukkan makna-makna

yang indah, menarik dengan redaksi yang singkat, padat dan

mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang

serupa dengannya. Berikut adalah contoh-contohnya23:

a. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ungkapan “sebaik-baiknya

perkara adalah yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang”, yaitu:

1. Firman Allah tentang sapi betina surah al-Baqarah ayat 68:

قالواٱدع اماه ل هابۥن هقالإلارب كيبين يقولإن ل ي قرةف ك ل ذ بين كرعوان ولب ٱفعفارضي ٦٨ماتؤمرونلوا

Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk

kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah

23Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 258.

Page 48: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

32

itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa

sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda;

pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang

diperintahkan kepadamu"

2. Firman Allah tentang nafkah surah al-Furqan ayat 67:

ين نفقوٱل كقواماإذاأ ل ذ واوكنبين ٦٧والميسفواولميقت

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka

tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah

(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian

3. Firman Allah tentang shalat dalam surah al-Isrā ayat 110:

قل ٱدعواٱلل وفلهٱدعواٱلر حمنأ تدعوا ا م ي ا

أ

سماءٱلسن هاوٱل كولتافتب صلت ٱبتغولتهرب بين

كسبيل ل ١١٠ذKatakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan

nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul

husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu

mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula

merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

b. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ungkapan “orang yang

mendengarkan itu tidak sama dengan yang menyeksikannya

sendiri.” Seperti contoh firman Allah tentang Ibrahim dalam surah

al-Baqarah(2) ayat 260:

وإذ كيفقالإبره رنأ مرب ىتح ولمتؤمنىٱلموت

قالأ

ى لبق طمئن

نل ولك قالبلDan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,

perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan

orang-orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?"

Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi

agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).

Page 49: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

33

c. Ayat yang senada dengan perkataan “Seperti yang telah kamu

lakukan, maka seperti itu kamu akan dibalas” seperti contoh

Firman Allah dalam surah al-Nisā(4) ayat 123:

ل يس هلأ مان

كمولأ ماني

أ ٱلب منيعملسوءايزكتب

ه ۥوليدلۦب مندون يراوول اٱلل ١٢٣لنص(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang

kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli

Kitab.Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan

diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat

pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.

d. Ayat yang senada dengan perkataan “orang mukmin tidak akan

masuk dua kali lubang yang sama” sebagaimana dalam Firman

Allah dalam surah Yusuf ayat 64 yang berbunyi:

منقالكماأ يهمنقبلهلءامنكمعليهإل خ

أ تكمع

ف رحمٱلل وهوأ حفظا خير ٦٤ينٱلر ح

Berkata Ya´qub: "Bagaimana aku akan mempercayakannya

(Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah

mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu

dahulu?".Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia

adalah Maha Penyanyang di antara para penyanyang.

3) Amṡāl Mursalah (الأمثال المرسلة)

Amṡāl mursalah adalah kalimat-kalimat bebas yang tidak

menggunakan lafadz tasybīh secara jelas, akan tetapi kalimat-

kalimat tersebut berlaku sebagai Amṡāl. Berikut contoh-contohnya

di dalam al-Qur’an:24

1) Firman Allah dalam surah Yusuf ayat 51

24Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 259.

Page 50: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

34

يوسفعنقال رودت ن إذ خطبكن هما ن فس قلنحشۦ قالت منسوء ماعلمناعليه تٱلعزيزٱلـنٱلل

حصحصمرأ

نارودت هٱلق هۥأ قينلمنۥوإن هۦعنن فس د ٥١ٱلص

Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana

keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan

dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: "Maha Sempurna Allah,

kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya".

Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah

yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku),

dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar"

2) Firman Allah dalam surah al-Najm ayat 58

ليسلهامندون فةٱلل ٥٨كشTidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain

Allah

3) Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 216

كتب ل كمٱلقتالعليكم ي كره نتكرهواوهوأ وعس

ش شي نتب واأ ل كموعس خيري وهو ل كم يا ي ش اوهو

و ٱلل ٢١٦نتملتعلمونيعلموأ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah

sesuatu yang kamu benci.Boleh jadi kamu membenci sesuatu,

padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu

menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah

mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

5. Faedah-Faedah Amṡāl 25

1. Menampilkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk konkrit yang

dapat dirasakan oleh indra manusia, sehingga dapat diterima oleh

25 Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhiṡ Fi Ulumil Qur’an, 361-363.

Page 51: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

35

akal. Oleh karena pengertian-pengertian yang abstrak tidak akan

dapat tertanam dalam benak kecuali apabila dituangkan ke dalam

bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Sebagaimana

contohnya dalam Firman Allah surah al-Baqarah ayat 264.26

2. Amṡāl al-Qur’an dapat mengungkap hakikat-hakikat sesuatu

yang abstrak menjadi sesuatu yang konkrit atau nyata.

Sebagaimana Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 27527

tentang perumpamaan orang-orang pemakan riba yang ditipu hawa

26 QS. al-Baqarah (2) ayat 264.

ها ي أ يني ٱل تكمب صدق لوا تبط ل ءامنوا ذىوٱلمن

يكٱل مالٱل رئاءۥينفق

ٱل اس وليؤمنب رىٱلوموٱلل صابۥفمثلهٱلأخفأ ترابي صفوانعليه ۥهكمثل لي واب

ك اكسبهۥفت م ءم ش رونع يقد ل ا وصل وا فٱلقومليهديٱلل ٢٦٤رينٱلك

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan

(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti

(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya

karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan

hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di

atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu

menjadilah dia bersih (tidak bertanah).Mereka tidak menguasai

sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

27 QS. al-Baqarah (2) ayat 275.

ين كلونٱل يأ ا بو كمايقٱلر يومليقومونإل يطنيتخب طهٱل منٱلش ٱل مس

إن ما قالوا ن همأ ب ك ل ٱليعذ مثل ا بو ٱلر حل

وأ ٱليعٱلل م وحر ا بو ۥفمنجاءهٱلر

ه ب نر مرهۥفلهٱنتهفۦموعظةيم إلۥماسلفوأ ئكٱلل

ولومنعدفأ

صحبأ

ونٱل ارى ٢٧٥همفيهاخل

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran

(tekanan) penyakit gila.

Page 52: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

36

nafsunya, diserupakan dengan orang-orang yang sempoyongan

karena kemasukan syaithān.

3. Amṡāl al-Qur’an juga menghimpun makna yang indah dan

menarik dalam bentuk ungkapan yang singkat dan padat sebagai

sebagaimana Amṡāl kamina dan Amṡāl mursalah.

4. Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai

dengan isi matsal, jika itu merupakan suatu hal yang disenangi

jiwa. Sebagaimana contohnya dalam firman Allah surah al-

Baqarah ayat 261 tentang menafkahkan harta di jalan Allah, di

mana perbuatan demikian akan memberikan kepadanya kebaikan

yang banyak.

5. Menjauhkan dan menghindarkan, jika isi matsal adalah sesuatu

yang tidak disenangi oleh jiwa. Sebagai contohnya adalah firman

Allah mengenai larangan menggunjing.

6. Untuk memuji orang yang diberi matsal. Sebagai mana firman

Allah dalam surah al-Fath ayat 29.28

28 QS al-Fath ayat 29: دي م م ر سول ينوٱلل ۥمعهٱل ع اء د ش

ارأ رٱلكف هم بينهمترى دارحاء سج عا ك

ن يبتغونفضلم نٱلل وجورضو يماهمف س ثرانأ جود وههمم كمثٱلس ل ذ لهمف

ٱ ف ومثلهم ة نجيللت ورى شطٱل خرجأ ستوىٱفٱستغلظفۥازره فۥه كزرع ع

بۦسوقه اعيعج ر همٱلز غيظب ل ار ٱوعدٱلكف ينلل ءامنواوعملواٱل لحتٱلص غف يم ارةمنهمم جراعظ

٢٩وأ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama

dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih

sayang sesama mereka.Kamu lihat mereka ruku´ dan sujud mencari

karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada

muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam

Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang

mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat

Page 53: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

37

7. Untuk menggambarkan sesuatu yang memiliki sifat tidak baik

menurut pandangan orang banyak. misalnya matsal tentang

keadaan orang yang dikaruniakan kepadanya Kitābullah, namun ia

tersesat dan tidak mengamalkannya.29

8. Amṡāl lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif dalam

memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan,

lebih dapat memuaskan hati. Allah menyebut Amṡāl dalam al-

Qur’an untuk peringatan dan pelajaran.

lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman

itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak

menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang

mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan

mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala

yang besa.r 29 QS. al-’Arāf ayat 175-176.

وٱتلنبأ يعليهم فٱل تنا ءاي لخٱنسءاتينه تبعه

فأ يطنمنها منفكنٱلش

هاولكن هولو١٧٥ٱلغاوين ئنالرفعنهب ۥشإلأ خل رض

فٱت بعوٱل ه ۥمثلههوى كمثل

كهيلهث ٱلكب وتتكمإنتملعليهيلهثأ ل ينٱلقومثلذ ٱل بوا تناب‍اكذ ي

ف رونٱلقصصٱقصص ١٧٦لعل هميتفك

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan

kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab),

kemudian dia ssmelepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti

oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-

orang yang sesat.Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami

tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung

kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka

perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya

diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia

mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-

orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada

mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir

Page 54: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

38

B. Kajian Teoritis Buta Tuli dan Bisu

Penyandang ketunaan berasal dari kata “tuna”, dari Jawa Kuno

yang berarti rusak atau rugi. Penggunaan kata ini diperkenalkan

pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu

kepada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi organ

tubuhnya secara spesifik, seperti istilah tunanetra, tunarungu,

tunadaksa, dan tunagrahita. Penggunaan istilah yang diawali kata

tuna ini dimaksud untuk memperhalus kata cacat demi tetap

menghormati martabat penyandangnya, tetapi dalam

perkembangan selanjutnya kata tuna digunakan untuk bentuk

istilah yang mengacu pada kekurangan non-organik seperti

tunawisma, tunasusila,dan tunalaras. 30

Kata disabilitas berasal dari kata disable atau disability yang

artinya cacat atau ketidakmampuan, cacat jasmani yang terdiri dari

kata dis berarti tidak dan ability yang artinya mampu, jadi artinya

dari disability adalah ketidakmampuan.31 Istilah lainnya yang

digunakan untuk penyebutan penyandang cacat adalah difabel.

Kata difabel pertama sekali diperkenalkan oleh Mansour Fakih

pada tahun 1995 yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu differently

able (orang yang berkemampuan berbeda) yang kemudian

dialihbahasakan menajdi difabel32. Kedua istilah tersebut sama-

sama digunakan untuk menunjukkan istilah penyandang cacat.

30 Ahmad Sholeh, Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap

Perguruan Tinggi ( Yogyakarta : Lkis, 2016), 21.

31 John M. Echol dan Hassan Saddily, Kamus Besar Bahasa Inggris

Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1983), h. 167.

32 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Kerja dan ketatanegaraan: Tafsir

al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur’an), h. 496.

Page 55: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

39

Istilah disabilitas lebih digunakan untuk penyebutan kepada orang

yang mempunyai hambatan atau kekurangan, misalnya disabilitas

mata, disabilitas pendengaran dan lain sebagainya. Adapun istilah

difabel lebih kepada orang yang mempunyai keahlian khusus atau

skill tertentu misalnya main gitar, menyanyi dan sebagainya,

sehingga didapat ungkapan “kelompok difabel yang menjuarai

satu cabang perlombaan catur sehingga mengharumkan nama

Indonesia”.

1. Pengertian Buta, Tuli dan Bisu

Secara langsung tidak ditemukan term dalam al-Qur’an yang

menunjukkan makna cacat, melainkan hanya ditemukan beberapa

term yang memberikan indikasi makna bagian dari kategori

penyandang difabel. Dengan bantuan kitab yang menghimpun

lafaz-lafaz dalam al-Qur’an, terdapat beberapa kosa kata yang

masuk dalam kategori penyandang cacat. Pada penelitian ini

penulis hanya akan membahas tiga lafaz yang di antaranya yaitu,

lafaz عمي yang artinya memiliki makna orang-orang yang buta,

lafaz بكم yang menunjukkan makna bisu (tunawicara), lafaz صم

dan derivasinya yang menunjukkan kata tuli(tunarungu).

Sebagaimana Firman Allah Swt surat al-Baqarah (2) ayat 18:

عونصم فهمليرج ١٨بكمعميMereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali

(ke jalan yang benar).

Ayat ini memiliki hubungan dengan ayat sebelumnya yaitu surat

al-Baqarah ayat 17 yang dalam kitab tafsirnya Quraish Shihab

Page 56: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

40

menjelaskan bahwa mereka (orang-orang munafik) enggan untuk

memanfaatkan api dan cahaya itu yang demikian berarti itu

menjadi sia-sia, sehingga cahaya yang semestinya menerangi jalan

mereka dipadamkan oleh Allah walau pun apinya sendiri tidak

padam, sehingga mereka menderita akibat panasnya api dan

hilangnya cahaya. Allah Swt., membiarkan mereka dalam keadaan

kegelapan-kegelapan sehingga mereka tidak dapat melihat tuli,

bisu dan buta.33 Dalam ayat ini disebutkan mereka tidak hanya

dalan satu kegelapan saja melainkan kegelapan-kegelapan.34

Sedangkan pada ayat 18 merupakan penjelas bagi keadaan

orang-orang yang digambarkan pada ayat 17. Bahwa makna tuli,

bisu dan buta dalam ayat ini yaitu “mereka (orang-orang kafir dan

munafik) tidak memanfaatkan potensi yang diberikan Allah

kepadanya sehingga mereka tuli tidak dapat mendengar petunjuk,

bisu tidak mengucapkan kebenaran, dan buta tidak melihat tanda-

tanda kebesaran Allah”. Dengan demikian, semua alat-alat (mata,

telinga, lidah, hati) yang diberikan oleh Allah untuk digunakan

dalam memperoleh petunjuk telah lumpuh, dan pada akhirnya

mereka tidak dapat kembali taubat dan menyadari kesesatan

mereka.35

Ada pun Abu Ja’far mengatakan bahwa makna صم بكمعميعون يرج ل adalah firman-Nya yang terletak di akhir tapi فهم

berposisi di awal, dan makna ayat selengkapnya adalah terkandung

dalam surat al-Baqarah ayat 16 sampai dengan 18. Sedangkan

33 Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ jilid 1, 113.

34 Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ jilid 1, 113-114.

35 Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ jilid 1, 114.

Page 57: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

41

bentuk mar’fu dalam ayat 18 menunjukkan indikasi celaan, dan

orang Arab biasa menggunakan ini dalam pujian dan celaan.36 Abu

Ja’far mengatakan bahwa ayat ini adalah informasi dari Allah

mengenai orang-orang munafik, bahwa perilaku mereka membeli

kesesatan dengan petunjuk tidak akan menunjuki mereka kepada

petunjuk dan kebenaran, justru menjadikan mereka tuli sehingga

tidak dapat mendengar seruan kebenaran, dan bisu sehingga tidak

dapat mengatakan kebenaran dan buta sehingga tidak dapat melihat

kebenaran, karena Allah telah mengunci-mati hati mereka

disebabkan kemunafikan mereka.37 Dengan kata lain lafaz-lafaz

buta,tuli dan bisu yang dimaksud di dalam ayat memiliki makna

konotasi/hiasan yang menggambarkan betapa orang-orang kafir

dan munafik berada dalam kesesatan kegelapan seolah-olah

mereka buta, tuli dan bisu.

Selanjutnya Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan

bahwa kata tuli, bisu dan buta merupakan tasybih baligh yakni

mereka seperti orang yang tuli, bisu dan buta dalam hal tidak dapat

menarik faedah dari indra-indra itu. Surat al-Baqarah ayat 17

sampai dengan 20 saling berkaitan dan membangun makna yang

mengandung ekspresi yang kuat, efek yang dalam dan

perumpamaan yang memukau. Pada ayat-ayat tersebut al-Qur’an

diumpamakan dengan hujan. Bila hujan turun, bumi menjadi

hidup, sebagaimana al-Qur’an menghidupkan jiwa-jiwa yang mati,

36Abu Ja’far al-Ṭabāri, Jāmi’ al-Bayān an Ta’wil Ayi al-Qur’an, jilid ke-

1penerjemah Akhmad Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 413.

37 Abu Ja’far al-Ṭabāri, Jāmi’ al-Bayān an Ta’wīl Ayi al-Qur’ān, jilid ke-1,

414

Page 58: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

42

Sementara orang-orang yang tersesat melihat bahwa di dalam al-

Qur’an terdapat syubhāt-syubhāt yang serupa dengan kegelapan

yang menggiring turunnya hujan. Dalam ayat-ayat ini juga

terkandung janji dan ancaman yang dahsyatnya bagaikan petir.38

Adapun mengenai ayat ke 18, Wahbah Zuhaili menjelaskan

bahwa orang-orang munafik menelantarkan perasaan dan indra

mereka. Mereka tidak memfungsikan manfaat telinga. Mereka

tidak mendengar nasihat orang lain dan bahkan mereka tidak

paham jika mendengarnya, seolah-olah mereka tuli, tak mendengar

kebenaran. Mereka juga menelantarkan manfaat berbicara,

bertanya dan berdiskusi, mereka tidak menuntut bukti atas suatu

masalah, tidak meminta penjelasan atas suatu persoalan seakan-

akan mereka bisu, tidak mampu untuk berbicara. Mereka pun tidak

memanfaatkan fungsi penglihatan, mereka tidak memandang dan

mengambil pelajaran dari berbagai cobaan yang melanda mereka

dan ujian yang menimpa berbagai umat, yang demikian mereka

seakan-akan buta dan tidak dapat melihat petunjuk. Mereka sama

sekali tidak berpaling dari keadaan mereka, enggan untuk

meninggalkan kesesatan menuju kebenaran. 39

Berdasarkan penjelasan dan penafsiran dari para penafsir di

atas, semuanya menyatakan bahwa makna bisu, tuli dan buta dalam

ayat ini merupakan “perumpamaan” bagi keadaan mereka yang

tidak mampu untuk mendengar, mengatakan dan melihat

kebenaran petunjuk dari Allah yang disampaikan melalui para

38 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid-1 penerj. Abdul Hayyie al-Kattani

(Jakarta: Gema Insani, 2013), 62.

39 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munīr jilid-1, 64.

Page 59: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

43

utusan-Nya. Mereka tidak menggunakan alat-alat indra yang Allah

berikan untuk menjemput hidayah mereka, yang demikian

menyebabkan mereka berada dalam kegelapan yang berlipat-lipat

dan tidak menemukan jalan untuk kembali kegelapan itu.

Selain ketiga lafaz di atas, terdapat beberapa derivasi lafaz-lafaz

tersebut yang tersebar di dalam al-Qur’an. Derivasi dalam kamus

besar bahasa Indonesia memiliki arti yaitu proses pengimbuhan

afiks yang tidak bersifat infleksi pada bentuk dasar untuk

membentuk kata. Derivasi juga dapat bermakna sebagai proses

pembentukkan kata-kata baru atau perubahan morfemis yang

menghasilkan kata dan identitas morfemis lainnya.40

(Umyun) عمي (1

Secara bahasa tunanetra terdiri dari dua suku kata yaitu tuna dan

netra. Tuna berarti rusak, luka, kurang atau tidak memiliki,

sedangkan netra berarti mata. Maka jika kedua suku kata

digabungkan menjadi nutanetra artinya menjadi orang yang rusak

atau luka matanya sehingga tidak dapat atau kurang dalam

pengelihatannya. Terdapat dua jenis tunanetra yaitu buta total dan

buta sebagian (low vision). Menurut Kamus Besar Bahasa

pengertian tunanetra adalah tidak dapat melihat, buta. Adapun

menurut Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) 2004

mendefinisikan bahwa tunanetra sebagai mereka yang tidak

memiliki penglihatan sama sekali(buta total) hingga mereka yang

masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan

40 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.

3. cet. 3. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 345.

Page 60: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

44

penglihatannya untuk membaca tulisan dalam keadaan cahaya

normal meskipun dibantu dengan kacamata.41

a. Klasifikasi Tunanetra

Berikut adalah klasifikasi tunanetra menurut Lowenfeld

berdasarkan waktu terjadinya kebuta-an :

1) Kebutaan yang dialami setelah lahir atau ketika masih

kecil. Mereka telah mempunyai kesan-kesan serta

pengalaman visual, akan tetapi belum terlalu kuat dan

mudah terlupakan.

2) Kebutaan yang dialami pada usia sekolah atau ketika usia

remaja. Mereka telah memiliki kesan-kesan serta

pengalaman visual yag cukup dan meninggalkan pengaruh

yang mendalam terhadap proses pengembangan pribadi.

3) Kebutaan yang dialami ketika usia dewasa. Pada umumnya

para penyandang kebutaan pada usia dewasa dengan

kesadaran penuh mampu melakukan penyesuaian diri.

4) Kebutaan pada usia lanjut. Sebagian besar dari para

penyandangnya sudah sulit mengikuti latihan-latihan

penyesuaian diri.

5) Tunanetra akibat bawaan.42

Sedangkan dalam al-Qur’an kata buta direpresentasikan oleh

lafaz-lafaz seperti ى merupakan bentuk isim fa’il dan (a’mā) الاعما

adalah bentuk jamaknya yang berasal dari (umyun‘) عمي

41 Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(Jakarta: Balai Pustaka, tt), 1082. 42 Safrudin Aziz, Perpustakaan Raman Difabel (Yogyakarta: AR-Ruzz

Media, 2014), 41.

Page 61: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

45

mufradat(kosa kata) bahasa Arab dalam bentuk (kata kerja) عاميا

(fi’il māḍi), ى ياعما (fi’il muḍāri’). Kosa kata ini secara bahasa

memiliki arti hilangnya seluruh penglihatan. Pengertian ini sesuai

dengan kata tunanetra dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam

kamus Muṣṭalaḥāt al-‘Ulum al- Ijtima’iyah al-Injiliziy wa al-

‘Arabiy, kata ااعماى berarti suatu keadaan terhambatnya

penglihatan yang mencakup kebutaan total maupun keadaan-

keadaan lain yang mendekatinya, yang dalam bahasa inggris

disebut blindness.43 Berdasarkan hasil penelusuran melalui kitab

Mu’jam al-Mufḥras lil Alfāz al-Qur’an al-Karim kata buta dan

derivasinya terulang sebanyak 33 kali dalam 30 ayat yang tersebar

dalam 21 surat. 44

a. Lafaz buta dalam wazan Fi’il Māḍī Ma’lūm dalam Surat al-

Māidah ayat 71, dan Fi’il Māḍī Majhūl dalam surat Hūd ayat 28

adalah فاعاموا , يات فاعم :

بو وحس ا فتنةي تكون ل وصم أ فعموا وا تاب ثم ثم ٱلل يهم

علنهمو م واكثيري عمواوصم ير ٱلل مايعملونبص ٧١ب

Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun

(terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka

(karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah

menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka

43 Ibnu Manzhur, Lisān al-Arab jilid 4 (Beirut: Dar Shadir, 2010), 3115.

44 Muhammaad Fuad ‘Abd al-baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-

Qur’an al-Karim ( Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H), 488-489.

Sebaran ayat-ayat tersebut adalah surah al-Baqarah [2]: 18, 171, al-Maidah [5] :

71, al-An’am [6]: 104, 50, al-A’raf [7]: 64, Yunus [10]: 43, Hud [11]: 24, 28, al-

Qashas [28]: 66, al-Ra’d [13]: 16, 19, al-Isra [17]: 73, 97, al-Hajj [22]: 46, Ṫaha

[20]: 124, 125, al-Nur [24]: 61, al-Furqan [25]: 73, al-Naml [27]: 66, 81, al-Rum

[30]: 53, Faṭir [35]: 19, al-Ghafir [40]: 58, al-Fushilat [41]: 17, al-Zukhruf [43]:

40, Muhammad [47]: 23, al-Fath [48]: 17, Abasa [80]: 2.

Page 62: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

46

buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka

kerjakan

نةقال بي ع كنت إن رءيتم

أ يقوم رحةم ن وءاتى بي نر نم

ه يتۦعند فعم نلزمكموهاوأ

٢٨نتملهاكرهونعليكمأ

Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada

mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku

rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa

akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu

tiada menyukainya?

b. Lafaz buta dalam bentuk Fi’il muḍāri’ surat al-Hajj (22) ayat

46:

فلم أ ف يروا يس رض

ٱل ءاذاني و

أ ها ب يعقلون قلوبي لهم فتكون

ن ها فإ ها بصرلتعميسمعونبنتعمٱل ٱلقلوبولك ت

ٱل فدور ٤٦ٱلص

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka

mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau

mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang

buta, ialah hati yang di dalam dada.

c. Kata buta dalam wazan Isim Fāil adalah عمياانا ياالعم , ى , الاعما

yaitu terdapat pada surat Yūnus ayat 43, al-Furqān ayat 73 dan Hūd

ayat 24:

نتتهديومنهمفأأ نينظرإلك ونٱلعمم ٤٣ولوكنواليبص

Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah

dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta,

walaupun mereka tidak dapat memperhatikan

Page 63: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

47

ين رواب‍اوٱل اوعمياناإذاذك واعليهاصم هملمير رب ٧٣يتDan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-

ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai

orang-orang yang tuli dan buta.

عمكٱلفريقين۞مثلصم وٱل

يروٱل وٱلص ميع ٱلس هليستويان

أ رونمثل ٢٤فلتذك

Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-

orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang

dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu

sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil

pelajaran (daripada perbandingan itu)

d. Kata buta dalam wazan Isim Maṣdar adalah ى terdapat العاما

dalam surat Fuṣilat ayat 17:

ا م ثمودفهدينهمفوأ ٱلعمٱستحب وا خذتهمصعقةٱلهدىع

فأ

بونٱلهونٱلعذاب ماكنوايكس ١٧بDan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri

petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan)

daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang

menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan

e. Kata buta dalam bentuk wazan lainnya adalah عامينا ,عامونا

terdapat dalam surat al-Naml ayat 66 dan suratal-A’rāf ayat 64:

ركبل ٱد رة علمهمف نهاٱلأخ بلهمم نها م شك عمونبلهمف٦٦

Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai

(kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-

lebih lagi mereka buta daripadanya

Page 64: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

48

بوه وفكذ نجينهينفأ ۥمعهٱل فلكٱلف غرقنا

ينوأ بوٱل اكذ

إن همكنواقوماعب‍ا ٦٤مينيتناMaka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan

dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami

tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).

صم (2 (Ṣummun)

Tunarungu adalah suatu kondisi yang dialami seseorang ketika

kehilangan pendengaran yang mengakibatkannya tidak dapat

menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui

pendengarannya. Dikatakan juga bahwa tunarungu adalah sebutan

bagi individu yang mengalami kehilangan kemampuan untuk

menerima sinyal auditif sehingga tidak dapat mendengar secara

menyeluruh atau sebagian. Secara fisik, penyandang tunarungu

dari lahir tidak berbeda dengan orang pada umunya, sebab orang

akan mengetahui bahwa penyandang tunarungu pada saat

berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang

tidak jelas artikulasinya, atau tidak berbicara sama sekali. 45

Andreas Dwidjosumarto46 mengemukakan bahwa seseorang

yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan

tunarungu. Adapun tunarungu dibedakan menjadi dua kategori

yaitu: tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah

seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan

dalam taraf berat sehingga ia tidak berfungsi, sedangkan kurang

dengar adalah seorang yang indera pendengarannya mengalami

45 Husamah, Kamus Psikologi A to Z Super Lengkap ( Yogyakarta: Penerbit

ANDI, tt), 442.

46 Dikutip dari Didi Tarsidi, “Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi

Kognitif Anak”, Makalah, 9

Page 65: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

49

kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik

dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing

aids). Tingkat ketajaman pendengarannya dapat diketahui dengan

“tes audiometris”.47

Secara medis kekurangan atau kehilangan kemampuan

mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak

berfungsinya sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran.48

Klasifikasi tunarungu menurut etiologi adalah sebagai berikut:

a. Faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtuanya

mengalami ketunarunguan. Tunarungu jenis ini disebut tunarungu

genetik. Biasanya koklea anak tidak berkembang secara normal

akibatnya terjadi kelainan pada organ korti.

b. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit cacar atau

campak (rubela, german measles) sehingga anak yang dilahirkan

menderita tunarungu mustisin. Selain itu juga megakibatkan

kerusakan pada koklea dan terjadi tunarungu perseptif.

c. Ibu yang mengandung menderita keracunan darah atau

toksemia akibatnya plasenta rusak dan memberi pengaruh terhadap

pertumbuhan janin, anak yang kan lahir akan menjadi tunarungu.

d. Anak yang mengalami infeksi pada kelahiran yang

menyebabkan kerusakan pada alat atau syaraf pendengarannya

yang meliputi meningitis atau peradangan selaput otak

mengakibatkan tunarungu perseptif atau otitis media kronis.

47 Ahmad Sholeh, Aksesibilitas Penyandang Disabilitas terhadap Perguruan

Tinggi, 27-28.

48 Keperawatan anak-anak untuk spk, 216.

Page 66: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

50

e. Otosklerosis ialah tumbuh tulang pada sekitar fenestra ovalis

atau pada ketiga tulang pendengaran.

f. Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat-alat

pendengaran bagian dalam. 49

Adapun dalam al-Qur’an tuli atau tunarungu digambarkan oleh

bebera lafaz di antaranya lafaz dan derivasinya (bentuk jamak) صم

di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 15 kali dalam 14 ayat dan

tersebar dalam 13 surat.50 Kata berasal dari kata صم مما صا

bentuk ṡulāṡī mujarrad yang menjadi taḍ’īf yaitu م م-صا -ياصا

ا م ما-صا ما صا dan memiliki pengertian tersumbatnya telinga dan

beratnya pendengaran. Bentuk isim fā’il dari lafaz م nya adalah صا

م “ artinya orang yang tuli. Dikatakan bahwa ااصا م الشخس:صا

سامعه artinya hilangnya pendengarannya. Sedangkan lafaz ”ذاهابا

tuli (هم م .adalah bentuk dari wazan Fi’il māḍī muta’addī-nya (فاااصا

Berikut beberapa derivasi lafaz tuli di dalam al-Qur’an :

a. Tuli dalam wazan Fi’l Māḍī Ma’lūm dan Fi’l Māḍī Muta’ddī

surat al-Māidah(5) ayat 71 dan Muhammad(47) ayat 23:

و بوا تكونفتنةيفعمواحس ل وأ وصم تابا ثم يهمثٱلل

عل م نهمو م واكثيري عمواوصم ير ٱلل مايعملونبص ٧١ب

49 Keperawatan anak-anak untuk spk, h, 217.

50 Muhammaad Fuad ‘Abd al-baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-

Qur’an al-Karim, 456.

al-Baqarah [2]: 18, 171, al-Māidah [5] : 71, al-An’ām [6]: 39, al-Anfal [8]: 22,

Yūnus [10]: 42, Hūd [11]: 24, al-Isrā [17]: 97, al-Anbiyā [21]: 45, al-Furqan

[25]: 73, al-Naml [27]: 70, al-Rūm [30]: 52, al-Zukhruf [43]: 40, Muhammad

[47]: 23.

Page 67: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

51

Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun

(terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka

(karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah

menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka

buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka

kerjakan

ئك ولينأ لعنهمٱل همٱلل صم

بصرهمفأ

أ عم

٢٣وأ

Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-

Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.

b. Lafaz tuli dalam wazan Isim fā’il dalam surat al-An’ām(6) ayat

39:

ين بواب‍اوٱل ييتناكذ صم وبكميف لمت منيشإٱلظ يضللهٱلل ستقيم رطم ص يعلهع

٣٩ومنيشأ

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah

pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang

dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan

barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya

petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan

yang lurus.

3) Bisu بكم

Setiap gangguan bicara yang dialami seseorang dan berpotensi

menghambat komunikasi verbal yang efektif disebut tunawicara.

Gangguan bicara dapat muncul dalam berbagai bentuk. Terlambat

bicara, artikulasi yang aneh dan tidak sesuai, gagap, tidak mampu

menggunakan kata-kata yang tepat sesuai konteks, penggunaan

bahasa yang aneh atau sedikit berbicara. Terdapat pula tunawicara

karena mengalami kondisi kelainan bahasa. Dalam bahasa

ilmiahnya disebut Expressive Aphasia atau severe languange delay

Page 68: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

52

yaitu orang yang memiliki gannguan kesulitan memahami bahasa

lisan yang didengarnya atau pun tidak bisa mengekspresikan pikiran

secara verbal akibat gagal menemukan kata yang sesuai.51

Selanjutnya di dalam al-Qur’an kata tunawicara salah satunya

digambarkan denga lafaz كم ب yang memiliki arti bisu dan

derivasinya di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 6 kali yang

tersebar dalam 5 surat.52 Kata بكم adalah jamak dari kata اابكام,

berasal dari kata باكيم-يابكام-باكما وا باكم وا اابكام فاهوا باكاما ة باكااما . Di

dalam Lisan al-Arab dikatakan bahwa lafaz بكم juga bisa berasal

dari .باكما53 Menurut Tsa’laba dalam Lisan al-Arab dikatakan bahwa

makna لباكاما adalah “seseorang yang terlahir dalam keadaan tidak

memiliki kemampuan berbicara, mendengar dan melihat.”54

Adapun al-Azhari berendapat bahwa terdapat perbedaan antara

س س .البكم dan الاخرا memiliki makna yaitu orang yang الاخرا

dilahirkan dalam keadaan sama sekali tidak memiliki kemampuan

berbicara sebagaimana hewan buas. Sedangkan الابكام adalah orang

yang lisan-nya mampu berbicara akan tetapi tidak dapat

mengetahui jawaban atau topik pembicaraan dan juga tidak

mengetahui dengan baik bentuk-bentuk percakapan. Sedangkan

51 Dewi Panji dan Winda Wardani, Sudahkah Kita Ramah Anak Special

Needs? ( Jakarta: Alex Media Komputindo, 2013), 20.

52 Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an

al-Karim, 133.

yaitu pada surat al-Baqarah [2]: 18, 171, al-An’am [6]: 39, al-Anfal [8]: 33, [16]:

76 dan al-Isra [17]: 97.

53 Ahmad Mukhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Ma’āshirah

(al-Qahirah: Âlim al-Kutub, 2008), 235-236

54 Lihat Lisān al-‘Arab, 53.

ع لاياسما ثاعلاب:الباكاماانيولاداالإنساانلايانطقوا قاالا اابكامواوا هوا ة,وا لايبصر,باكااما وا ااباكيم سا يااخرا

. سا را باي نالخا

Page 69: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

53

menurut Ibnu al-Atsī البكم adalah jamak dari الابكام yang bermakna

yaitu orang yang terlahir dalam keadaan bisu, kerena mereka tidak

diberikan manfaat dari pendengaran atau kemampuan

berbicaranya, yang demikian karena kedua fungsi tersebut telah

dihilangkan.55 Sedangkan Berikut derivasi lafaz bisu dalam al-

Qur’an:

a. Lafaz bisu dalam wazan Isim Fāil Jama surat al-Anfāl ayat 22 :

ش ۞إن واب عندٱلد م ٱلل ينكمٱلٱلص ليعقلونٱل ٢٢

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya

pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang

tidak mengerti apa-apapun

b. Lafaz bisu dalam wazan isim fā’il mufrad dalam surat al-

Nahl(16) ayat 76:

وضب حدهماٱلل أ بكمثلر جلين

ءوهومأ ش رع ليقد

ليأ هه ينمايوج

هأ مولى ع يرهليستويهوومنيك

ب مرتأ

ستقيمٱلعدلب رطم ص وهوع

Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang

seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi

beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh

penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu

kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh

berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus

55 Ibnu Manzhur, Lisānal-Arab jilid 12, 53

Page 70: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

54

C. Klasifikasi Ayat-Ayat Buta, Tuli dan Bisu dalam al-Qur’an

Berikut adalah kalsifikasi ayat-ayat buta, tuli dan bisu dalam

beberapa tema di antaranya terkandung dalam ayat-ayat permisalan

dalam al-Qur’an.

1. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang buta, tuli dan bisu (mata

hatinya)dalam menerima risalah para nabi, mereka lebih memilih

gelapnya kesesatan, berikut terdapat dalam QS 7:64, QS 27:81, QS

27:80, QS 41:17, QS 43:40, QS 30:52, QS 30:53, QS 5:71, QS

17:97.

2. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang buta mata hatinya dalam

mendustakan ayat-ayat Allah terkandung dalam QS. 11:24, QS.

11:28, QS. 25:73, QS. 6:39, QS. 8:22, QS. 13:19, QS. 22:46, QS.

21:45, QS. 41:44 :

3. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang buta, tuli lagi bisu

disebabkan menjadikan sekutu selain Allah yaitu terdapat pada QS.

16:76, QS. 13:16, QS. 6:60, QS. 16:76.

4. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang hilang kemampuan

pancaindranya dalam menerima kebenaran ajaran Allah, berikut

terdapat pada QS. 10:42, QS. 6:104, QS. 2;18, QS. 2:171.

5. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang Allah hendaki buta dan

tuli mata hatinya disebabkan oleh kesombongan dan ingkarnya

mereka terhadap kekuasaan Allah, QS. 35:19, QS. 40:58, QS. 47:

23.

6. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang Allah kumpulkan dalam

keadaan buta di Akhirat, QS. 20: 124-125, QS. 27:66, QS. 28:66,

QS. 17: 72.

Page 71: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

55

7. Ayat-ayat mengenai orang-orang yang cacat secara fisik,

berikut dalam QS. 80: 2, QS. 3:49, QS. 24: 61, QS. 48: 17, QS.

5:110.

Page 72: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

56

Page 73: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

56

BAB III

MAKNA AYAT-AYAT BUTA TULI DAN BISU

Lafaz-lafaz yang memiliki makna buta, tuli dan bisu banyak

ditemui dalam surah dan ayat-ayat al-Qur’an. Pada umumnya

lafaz-lafaz tersebut dalam al-Qur’an digunakan dengan tujuan

makna konotasi. Maksudnya adalah makna buta, tuli dan bisu

digunakan oleh Allah dalam mengumpakan orang-orang yang

tidak menggunakan pancaindra (mata, telinga dan mulut) dengan

baik sehingga tidak mampu memaksimalkan fungsi-fungsi dari

ketiganya, yang berakibat pada hasil dari penurunan fungsi dalam

menangkap informasi oleh ketiga pancaindra tersebut.

Terdapat beberapa jenis amṡal dalam ilmu al-Qur’an. Salah

satunya adalah yang paling zahir yaitu amṡal muṣarraḥah. Jenis

amṡal ini memiliki ciri-ciri salah satunya bahwa ayat-ayat amṡal

mengandung kata-kata “perumpamaan” seperti maṡala. Oleh

karena itu, setelah penulis menelaah ayat-ayat yang mengandung

makna buta, tuli dan bisu, maka penulis memfokuskan kepada ayat-

ayat yang mengandung ciri-ciri tersebut yaitu terdapat pada:

A. Orang yang Buta Matahatinya dalam Kedustaan Terhadap

Ayat-Ayat Allah dalam Surat Hud(11) ayat 24.

عمى ك ٱلفريقي ۞مثل صم و ٱل

ميع و ٱلصي و ٱل هل يستويان ٱلس

رون فل تذك أ ٢٤مثلا

Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-

orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang

dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu

Page 74: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

57

sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil

pelajaran (daripada perbandingan itu).

Ibnu Qayyim mengatakan dalam kitabnya bahwa Allah

menggambarkan orang-orang kafir sebagai orang-orang yang tidak

dapat melihat dan mendengar, sedangkan orang-orang mukmin

adalah orang-orang yang memiliki iman, amal saleh, tunduk

kepada Allah dan senantiasa beribadah lahir batin. Maka orang-

orang kafir itu buta dan tuli karena hati mereka tidak melihat dan

mendengar dengan hati mereka sebagaimana mata mereka melihat

dan telinga mereka mendengar. Setelah memberikan perumpamaan

tersebut, ayat ini menafikan persamaan antara kedua belah pihak

dengan kalimat “adakah kedua golongan itu sama keadaan dan

sifatnya?”1

1. Penafsiran menurut al-Ṭabarī

Adapun pendapat Abu Ja’far dalam kitab tafsirnya ia

menuturkan bahwa Allah swt berfirman dan menjelaskan ayat

tersebut sebagai “perbandingan kedua golongan, yaitu orang-orang

kafir dan orang-orang beriman. Golongan yang pertama yaitu

orang kafir dianalogikan dengan orang buta yang tidak dapat

melihat apa-apa dengan mata kepala sendiri, dan orang tuli yang

tidak dapat mendengar apapun. Jadi demikianlah golongan pertama

yaitu orang-orang kafir yang tidak dapat melihat kebenaran dan

tidak mampu mengikutinya dan beramal dengannya, lantaran

kelalaiannya yang disebabkan kekafirannya kepada Allah swt dan

mengalahkan kehinaan Allah atasnya, tidak mendengar seruan

Allah yang mengajak kepada jalan petunjuk. Dia terus-menerus

1 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Amṡalatul Qur’ān, terj. Anwar Wahdi Hasi

(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 17.

Page 75: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

58

berada dalam kesesatan dan bimbang dalam keraguannya. Adapun

kondisi golongan yang kedua yaitu dari orang-orang mukmin yang

dianalogikan dengan orang yang dapat mendengar dan melihat.

Mereka mendengar dan melihat bukti dan keterangan-keterangan

Allah, mengakui dengan apa yang telah ditunjukkan kepadanya

dengan menuhankan Allah, meninggalkan sesembahan patung dan

berhala lainnya, mengakui kenabian para nabi serta mendengar

seruan dan panggilan Allah, lalu menjawab panggilan tersebut dan

melaksanakannya semata-mata karena taat kepada Allah.2

Demikian perumpamaan ini dibuat oleh Allah sebagai gambaran

orang-orang kafir dan orang-orang mukmin yang tidak akan pernah

sama dalam pandangan Allah. Buta,tuli, mendengar dan melihat

masuk ke dalam empat lafaz, akan tetapi maknanya hanya menjadi

dua. Maka dari itu diakhir ayat dikatakan “ ان مثلا هل يستوي ”

adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Makna

sifat yang pertama menjadi “yang buta tuli” dan makna yang kedua

adalah “yang mendengar melihat”.

2. Penafsiran menurut al-Qurṭubi

Al-Qurṭubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa maksud dari

firman Allah dalam ayat ini adalah sebagaimana ia kutip dari al-

Nuhās yaitu ketentuannya adalah perumpamaan golongan yang

kafir seperti orang yang buta dan tuli, dan perumpamaan golongan

yang mukmin seperti orang yang mendengar dan melihat. Oleh

karena itu, Allah swt, berfirman “ هل يستويان مثلا” “adakah

2 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, terj. Anshari

Taslim dkk, jilid 23 ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 899-901.

Page 76: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

59

kedua golongan itu sama?” kalimat ini dikembalikan kepada dua

golongan tersebut. Kemudian al-Qurṭubi mengutip dari al-Ḍaḥḥāk

yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang yang buta

dan tuli seperti orang kafir, sedangkan orang yang melihat dan

mendengar adalah seperti orang mukmin.” Sedangkan yang

dimaksud dengan “ أفل تذكرون” “maka tidakkah kamu megambil

pelajaran (daripada perbandingan itu?)” maknanya adalah dalam

kedua sifat tersebut sedangkan kalian melihatnya. 3

3. Penafsiran manurut Hamka

Adapun pendapat Hamka sebagaimana dikutip dari tafsirnya. Ia

mengatakan bahwa ayat ini meminta kita untuk mengumpamakan

dan membandingkan perbedaan di antara seseorang yang tuli

berbicara dengan seseorang yang pendengarannya jelas dan

penglihatannya pun jelas. Tentu akan berbeda di antara keduanya.

Si buta tidak akan mampu membedakan warna dan menunjukkan

ukuran karena alat penglihatan untuk membandingkan tidak ada.

Sedangkan orang yang tuli, tidak akan mampu mendengar suara

baik suara itu nyaring atau pun tidak, jauh ataupun dekat, dia tidak

akan mampu membedakannya. Demikian ini adalah perumpamaan,

karena maksud ayat ini adalah buta hatinya dan tuli jiwanya. 4

Hamka menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa “ هل يستويان

apakah sama kedua golongan tersebut sama dalan ”مثلا

perumpamaannya? maksudnya adalah apakah sama orang yang

3 Imam al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān, terj. Faṭurrahman jilid ke-

9(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 52-53. 4 Abdul malik Abdulkarim Abdullah, Tafsiir Al-Azhar, Juz XII (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1982), 35.

Page 77: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

60

hatinya tertutup dari kebenaran dengan orang yang hatinya terbuka

karena keimanan. Adakah persamaan di antara orang yang datang

ke dunia tetapi tidak melakukan apapun dengan orang yang

menentukan hidupnya yang sementara di dunia ini, tetapi memberi

nilai hidup yang sebentar itu dengan bekas yang beratus tahun.

Tentu keduanya sama sekali berbeda. Hamka menjelaskan dalam

tafsirnya bahwa ayat ini hendaknya membuat manusia sadar bahwa

Allah menjadikan manusia hidup dan diberikan alat hidup berupa

akal dan pikiran, jika tidak digunakan dengan benar maka

kedatanganya ke dunia ini akan sia-sia. Ayat ini memberikan

petunjuk dan tuntunan kepada kita bahwa dalam beragama

hendaklah dengan peringatan dan kesadaran, dengan berpikir dan

menilai. Kemudian menjadi jelas bahwa kedatangannya (manusia)

di muka bumi ini bukanlah semata-mata untuk makan, minum dan

berkelamin. Nilai kehidupan sungguh jauh lebih tinggi, dan sangat

tinggi dari sekedar itu, hendaknya manusia sadar dan ingat.5

4. Penafsiran menurut Sayyid Quṭb

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Sayyid Quṭub adalah

bahwa makna “ مثل ٱلفريقين كٱلعمى وٱلصم وٱلبصير وٱلسميعا”

adalah sebuah gambaran indrawi yang mempersonifikasikan

kondisi dua golongan. Golongan pertama digambarkan seperti

orang yang buta yang tidak mampu melihat dan orang yang tuli

yang tidak mampu mendengar. Dengan kata lain orang yang tidak

dapat memanfaatkan fungsi dan tujuan dari pancaindranya yaitu

sebagai alat pemberi informasi bagi hati dan akal agar mampu

5 Hamka, Tafsiir Al-Azhar juz XII, 36.

Page 78: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

61

memahami dan merenungkan. Yang demikian seolah-olah dia

tidak dikaruniai kedua pancaindra tersebut. Sedangkan golongan

yang kedua digambarkan seperti orang yang memiliki kemampuan

melihat dan mendengar, sehingga penglihatan dan pendengarannya

itu memberinya petunjuk.6

Selanjutnya makna “ هل يستويان مثلا” menurut penjelasan

Sayyid Quṭub dalam tafsirnya yaitu bahwa lafaz ini merupakan

pertanyaan mengenai gambaran permisalan ini tidak membutuhkan

sebuah jawaban, karena gambaran tersebut merupakan jawaban

yang telah ditetapkan. Sedangkan lafaz terakhir yaitu “ أفل

dijelaskan bahwa yang diperlukan dari perumpamaan ini ”تذكرون

hanya mengambil pelajaran, karena yang demikian merupakan

perkara aksiomatik.7

Surat Hūd dalam kronologi penurunannya adalah termasuk surat

yang masuk ke dalam kategori surat makiyah. Surat ini banyak

menampilkan kisah-kisah yang menjadi batang tubuh surat ini dan

tampak jelas bahwa pemaparan gerakan akidah rabbaniah dalam

sejarah manusia menjadi sasaran yang amat jelas. Di dalam surat

Hūd kita dapat menemukan tiga poin penting yang berbeda.

Pertama,surat ini mengandung hakikat akidah sebagaimana

tercantum dalam pendahuluan surat. Kedua, berisi gerakan akidah

dalam sejarahnya, dan ini merupakan bagian besar kandungan

6 Syahid Sayyid Quṭb, Tafsir fī Zhilālil Qur’an: Di Bawah Naungan al-

Qur’an, terj. M Misbah jilid ke-7(Jakarta: Robbani Press, 2006), 86. 7 Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān: Di Bawah Naungan al-Qur’an, 86-

87.

Page 79: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

62

surat. Ketiga, surat ini memaparkan akibat bagi gerakan ini arahnya

yang terbatas. 8

Berdasarkan penafsiran di atas, penulis menyimpulkan bahwa

para penafsir sepakat mengenai ayat ini yaitu sebagai

perumpamaan orang-orang kafir yang digambarkan sebagai orang

yang buta dan tuli, dan orang-orang-orang mukmin yang

digambarkan sebagai yang dapat melihat dan mendengar. Tentu

keduanya adalah dua keadaan yang sangat berbeda. Dengan

pancaindra manusia mampu menangkap ilmu pengetahuan dan

memprosesnya dengan akal, yang demikian menjadi unsur

pembeda antara manusia dan hewan.9 Dengan kemampuan tersebut

manusia dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mengambil

pelajaran. Maka dari itu ayat ini memberikan perumpamaan

sebagai pelajaran bagi manusia untuk senantiasa menggunakan

segenap pancaindra dan anggota tubuh, merenungkan dengan

pikiran dan kesadaran penuh berusaha secara maksimal dapat

memanfaatkan karunia Allah tersebut secara lahir mapun batin.10

8 Sayyid Quṭb, Tafsir fī Zhilālil Qur’an, terj. As’ad Yasin jilid ke-6 cet ke-

5(Jakarta: Gema Insani, 2000), 179. 9 Tim Penyusun , Al-Qur’an dan Tafsirnya, juz ke-12 (Jakarta: Departemen

Agama Ri, 2004), 402. 10

Page 80: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

63

B. Orang-Orang yang Buta Karena Menjadikan Sekutu Selain

Allah swt dalam Surat al-Nahl(16) ayat 76.

وضب ب ٱللحدهما أ

رجلي أ

ء وهو مثلا ى ش كم ل يقدر عل هه ل يأ ينما يوج

ىه أ ى مولى ك عل

ي هل يستوي هو ومن يأ

مر ت ب ستقيم ٱلعدل ب ى صرىط م ٧٦وهو عل

Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang

seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi

beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh

penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu

kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh

berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus.

1. Penafsiran menurut al-Ṭabāri

Abu Ja’far menjelaskan dalam tafsirnya bahwa terdapat

beberapa riwayat memiliki pendapat yang berbeda tentang ayat ini.

Page 81: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

64

Pendapat yang pertama11 menyatakan bahwa ayat ini merupakan

perumpamaan yang Allah ciptakan tentang diri-Nya dan tuhan-

tuhan yang disembah selain-Nya. Makna dari “ مثلا وضرب ٱلل

جلين أحدهما أبكم ل يقدر على شيء adalah sesembahan selain ”ر

Allah yaitu berhala yang tidak dapat mendengar dan berbicara

sedikit pun karena ia terbuat dari kayu yang diukir, atau dari

tembaga yang dibuat, tidak mendatangkan manfaat bagi

penyembahnya, dan tidak menghindarkan muḍarat darinya.12

Adapun makna dari “ dan dia menjadi“ ” مولىه وهو كل على

beban atas penanggungnya” adalah orang yang bisu tersebut

menjadi beban tanggungjawab bagi saudara-saudaranya, para

sekutunya,dan orang-orang yang menjadi walinya. Sebagaimana

berhala, akan menjadi tanggungan terhadap orang-orang yang

menyembahnya. Ia perlu dibawa, ditelakkan, dan dilayani oleh

penyembahnya, begitu pula dengan orang bisu yang dengan

ketidakmampuannya menjadi beban untuk para kerabatnya.13

Makna potongan ayat selanjutnya “ هه ل يأت بخي ر أينما يوج ”

adalah ke mana saja dia diperintah oleh penanggungnya itu, dia

11 Pendapat ini dikutip dari riwayat yang sampai kepada Qatadah dan yang

sependapat dengannya. Ia mengatakan bahwa perumpamaan pertama ini dibuat

Allah tentang diri-Nya dan berhala”, kemudian riwayat yang bersandar sampai

kepada mujahid mengatakan bahwa semua perumpamaan ini merupakan tentang

Tuhan yang Haq dan tuhan batil yang disembah di sisi-Nya. Lihat Abdurrazaq

dalam tafsirnya (2/275) dan al-Qurṭubi dalam tafsirnya (10/149) al-Ṭabarī, Jami’

al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 16, 242-244.

12 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, jilid 16, h.

241. 13 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, jilid 16 ,

241-242.

Page 82: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

65

tidak mampu mendatangkan kebaikan apapun, karena ia tidak

memahami apa yang dikatakan kepadanya, dan ia tidak mampu

mengungkapkan dengan kata-kata apa yang dia inginkan, karena

dia tidak paham dan tidak bisa dipahami. Begitu pula dengan

berhala, ia tidak akan memahami apa yang dikatakan para

penyembahnya kepadanya, sehingga ia tidak akan mampu

mengikuti apa yag diperintahkan kepadanya, dan juga tidak dapat

berbicara untuk memerintah ataupun melarang.14

Kemudian makna potongan ayat “ هل يستوي هو ومن يأمر

samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat“ ”بٱلعدل

keadilan” maksudnya adalah apakah dapat disamakan antara orang

yang bisu, menjadi beban bagi penanggungnya dan tidak dapat

mendatangkan kebaikan apapun, dengan yang berbicara dan dapat

memerintah, mengajak kepada kebenaran, yaitu Allah yang Maha

Esa, Maha perkasa dan mengajak hamba-hambaNya untuk

mengesakan-Nya dan menaati-Nya. Maka tidaklah sama antara

Allah dan berhala itu.

Makna potongan ayat terakhir “ ستقيم ط م dan“ ”وهو على صر

dia berada pula di atas jalan yang lurus” adalah selain

memerintahkan bebuat adil, Ia juga berada di jalan yang benar

dalam ajakan dan perintah-Nya kepada keadilan itu, tidak

menyimpang dari kebenaran.

Pendapat lain yang berbeda mengenai ayat ini salah satunya

adalah riwayat yang bersandar kepada Ibnu Abbas, bahwa makna

14 Ibnu Jarir al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, 242.

Page 83: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

66

dari lafaz “ جلين أحدهما أبكم ل يقدر مثلا ر على شيء وضرب ٱلل

كل على مولىه وهو ” dalam ayat ini yang dimaksud dengan “ أبكم”

atau “bisu” adalah yang menjadi beban bagi penanggungnya yang

kafir. Sedangkan lafaz ومن يأمر بٱلعدل “dengan orang yang

menyuruh berbuat keadilan” orang mukmin. Perumpamaan ini

berkaitan dengan amal.15

Adapun pendapat yang dipilih oleh Abu Ja’far adalah adalah

pendapat dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini

merupakan perumpamaan yang dibuat bagi orang-orang kafir yang

tidak sanggup berbuat sesuatu dan tidak dikaruniai rezeki yang

baik, serta perumpamaan tentang orang mukmin yang diberi taufik

oleh Allah, untuk berbuat taat, dan diberi-Nya petunjuk untuk

melakukan apa yang diridhai Allah. Lalu perumpamaan dari Allah

berupa orang yang bisu yang tidak sanggup berbuat apapun. Ini

menunjukkan bahwa di antara orang-orang kafir terdapat orang

yang memiliki banyak harta dan terkadang mendatangkan muḍarat

yang besar karena kerusakan dirinya. 16

2. Penafsiran menurut Al-Qurṭubi

Pendapat selanjutnya penulis kutip dari penjelasan al-Qurṭubi

mengenai ayat ini. Ia juga menjelaskan bahwa terdapat dua

pendapat yang berbeda mengenai ayat ini, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Abu Ja’far. Pendapat pertama yang mengatakan

bahwa ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah

swt untuk Dzat-Nya sendiri dan berhala. Orang bisu yang tidak bisa

15 Lihat al-Syaukani dalam Faṭ al-Qadr (3/183) dan al-Suyuṭi dalam al-Durr

Manṡur (5/151) al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 16,

244-245. 16 al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid16, 246.

Page 84: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

67

melakukan apa pun adalah berhala, sedangkan yang

memerintahkan untuk berlaku adil adalah Allah swt. Pendapat ini

dikutip dari riwayat Qatadah dan yang sependapat dengannya.17

Pendapat kedua dikutip dari riwayat Ibnu Abbas yang

mengatakan bahwa perumpamaan orang yang bisu adalah budak

milik Uṡman bin Affan yang diajak masuk Islam namun ia tetap

tidak mau. Sedangkan yang memerintahkan untuk berbuat adil

adalah perumpamaan yang dibuat untuk menggabarkan perilaku

adil Uṡman. 18

3. Penafsiran Menurut Sayyid Quṭb

Ada pun berikutnya, penulis mengutip dari penafsiran Sayyid

Quṭub, beliau menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini

merupakan sebuah perumpamaan untuk bahan renungan bagi

manusia. Ayat ini menggambarkan seorang yang bisu, lemah dan

dungu. Dengan ketidakmampuan tersebut tentu saja ia tidak bisa

memahami apa pun dan tidak bisa mendatangkan kebaikan.

Kemudian digambarkan pula seorang yang kuat, yang mampu

berbicara, dan menyeru untuk berlaku adil. Ia pun seorang yang

aktif dan lurus di atas jalan kebaikan. Tentu orang yang berakal

tidak akan menyamakan antara kedua orang tersebut. Allah

membuat perumpamaan ini dan perumpamaan pada ayat

sebelumnya, yang pertama diawali dengan sebuah perintah kepada

manusia agar mereka tidak menjadikan dua tuhan sesembahan,

17 Sebuah aṡar yang disebutkan oleh al-Ṭabarī dalam Jami’ al-Bayan

(14/101), Ibnu Aṭiyah dalam al-Muharrar al-Wajiz (8/477), Abu Hayyan dalam

al-Bahr al-Muhiṭ (5/519), dan al-Suyūṭi dalam al-Durr al-Manṡur (4/125)

Qurṭubi, jilid 10, 368. 18 Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān jilid 10, 368.

Page 85: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

68

kemudian ditutup dengan rasa keheranan atas mereka yang

menjadikan dua (atau lebih) tuhan sebagai sesembahan. 19

4. Penafsiran menurut Hamka

Hamka berpendapat mengenai ayat ini bahwa ini terdapat dua

perbandingan dan perumpamaan lagi di antara seorang budak yang

bisu yang hanya menjadi beban bagi tuannya saja. Seorang budak

itu bisu dan bodoh, tidak mampu untuk diberi tugas apapun, karena

dia tidak dapat memahaminya. Hal yang demikian hanya kerugian

yang lebih banyak didapat dalam memeliharanya daripada

keuntungan. Apabila dibandingkan dengan seorang yang berakal

budi, berani bertindak, dan berpandangan jauh, menyuruh orang

bebuat adil dan sanggup juga berlaku adil. Terlihat perbedaan yang

sangat jauh di antara kedua manusia tersebut.20

Hamka dalam tafsirnya juga mengutip pendapat al-Azhari, al-

Zamakhsyari dan al-Ṭabarī terhadap ayat ini. Pendapat Azhari

mengenai perumpamaan ini yaitu bahwa Allah mengambil

perumpamaan bagi berhala yang mereka sembah, yang tidak dapat

berbuat sesuatu apapun, yang ada hanya memberi beban kepada

pemiliknya. “Lalu samakah berhala yang memberakan iu dengan

yang memerintahkan berbuat adil?” ini merupakan pertanyaan

hardikan yang menjelaskan bahwa “tidaklah sama di antara berhala

19 Dalam tema ini, ayat ini bersambungan dengan ayat sebelumnya yang

membicarakan tentang permisalan seorang budak/hamba sahaya yang idak

memiliki apa pun dengan tuannya yang memiliki kebebasan untuk berbuat atas

budaknya. Akan tetapi mengapa mereka menyamakan antara Tuhan para budak

itu yakni Allah dengan pemilik(tuan) mereka, dengan seseorang atau sesuatu dari

makhluk ciptaannya, sedangkan semua makhluk adalah hamba-

hambanya.Syahid Sayyid Quṭb, Tafsir fī Zhilālil Qur’an, terj. As’ad Yasin jilid

ke-7 cet ke-5, 197. 20 Abdul malik Abdulkarim Abdullah, Tafsiir Al-Azhar jilid 5 (Jakarta:

Gema Insani, 2015), 200-201.

Page 86: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

69

yang memberatkan dengan Allah pencipta seluruh alam.

Berikutnya pendapat Zamakhsyari yaitu bahwa ayat ini merupakan

perimpamaan yang dibuat Allah untuk diri-Nya kepada seluruh

hamba-Nya dan diturunkan-Nya yang meliputi, baik dalam urusan

agama maupun indrawi. Cobalah bandingkan itu dengan berhala

yang mereka puja itu, berhala yang mati tak bernyawa, tidak

memberi ke muḍarat-an tidak memberi manfaat.21

Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah dijelaskan

bantahan kepada para penyembah berhala yang menyamakan Allah

dengan patung-patung sesembahan mereka yang tidak mempunyai

ilmu dan kekuasaan. Begitu pula pada ayat ini Allah membuat

perumpaan dua orang yang dalam kondisi yang berbeda. Orang

pertama digambarkan dengan orang yang bisu dan tidak dapat

melakukan apapun, melainkan hanya menjadi beban bagi mereka

para penanggungnya. Sedangkan orang yang kedua digambarkan

dengan orang yang secara fisik normal dan mampu mengerjakan

dan mendatangkan kebaikan juga menyuruh untuk berbuat adil dan

senantiasa berada dalam jalan yang lurus.

Berdasarkan penafsiran di atas terdapat dua pendapat mengenai

penafsiran ayat ini. Pertama, bahwa ayat ini turun berkenaan

dengan Usman bin ‘Affan dengan budaknya yang membenci Islam

yaitu usaid bin Abi al-As’ad yang tidak menyukai Islam dan

melarangnya untuk bersedekah dan berbuat baik.22 Padahal Usman

bersedekah kepadanya dan menanggung serta mencukupi

kebutuhannya. Akan tetapi budaknya itu melarangnya

21 Hamka, Tafsiir Al-Azhar jilid 5, 200-201 22 Tim penyusun, Tafsir Depag juz 14, 353-356.

Page 87: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

70

mengeluarkan sedekah dan berbuat baik. Kedua, pendapat lain

mengatakan bahwa ayat ini adalah sebagai perumpamaan yang

Allah buat untuk dirinya sendiri dan untuk berhala-berhala lain

yang disembah. Kondisi laki-laki pertama digambarkan sebagai

orang yang tuli dan tidak mampu melakukan apapun dalah sebagai

berhala yang dibuat oleh orang-orang yang menentang ajaran

Allah. Mereka digambarkan sebagi yang tuli, tidak mampu

melakukan apapu, apalagi mendengar dan mengabulkan hal-hal

yang diminta oleh para penyembahnya. Sedangkan kondisi yang

kedua adalah laki-laki yang normal dan mampu mendatangkan

kebaikan dan menyuruh berbuat adil adalah sebagai gambaran bagi

sifat Allah Swt yang mencintai berbuat adil dan hanya menyuruh

kepada kebaikan. Tentu kedua kondisi ini sangatlah berbeda dan

hendaknya direnungkan sebagai pelajaran bagi manusia dan

hamba-hamba-Nya.

Page 88: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

71

C. Golongan Manusia yang Kehilangan Pancaindra Sebab

Memilih Kesesatan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 171.

ين ومثل يكفروا كمثل ٱل ٱل ما ل يسمع إل دعاءا و ينعق ب نداءا بكم عم فهم ل يعقلون ١٧١صم

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang

kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang

yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka

tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.

Menurut pendapat Ibnu Qayyim di dalam kitabnya menuturkan

bahwa ayat ini memuat perumpamaan penggembala yang berteriak

memanggil kambing atau binatang lain. Maka yang dimaksud

penggembala di sini adalah penyembah berhala, dan berhala inilah

yang diseru dan dipanggil. Maka orang kafir, ketika berdoa kepada

berhala-berhala sembahannya yang tidak mengerti itu, seperti

keadaan penggembala yang memanggil binatang-binatang yang

tidak mendengar. Seruan dan panggilannya tidak bermanfaat

sedikit pun kepada tuhan-tuhan mereka. Demikian pula keadaan

orang musyrik ketika berdoa dan beribadah. Demikian sekelompok

ahli, seperti Abdurrahman bin Zaid dan lain-lainnya. Sekelompok

lain menyatakan bahwa perumpamaan orang kafir seperti binatang

ternak dan tidak mengerti apa-apa atas seruan penggembalanya

kecuali sebagai suara saja. Maka si penggembala adalah penyeru

orang-orang kafir, sedangkan orang-orang kafir adalah binatang

ternak yang dipanggil dan diseru itu.23

1. Penafsiran menurut al-Ṭabarī

23 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Amṡalatul Qur’an, terj. Anwar Wahdi Hasi

(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 48.

Page 89: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

72

Selanjutnya adalah penjelasan Abu Ja’far dalam tafsirnya

mengenai ayat ini yaitu bahwa para penafsir memiliki perbedaan

pendapat mengenai penafsiran ayat “ ومثل ٱلذين كفروا كمثل ٱلذي

ini. Perdapat pertama yaitu ”ينعق بما ل يسمع إل دعاءا ونداءاا

mereka yang mengatakan bahwa ayat ini adalah sebuah

perumpamaan orang kafir yang tidak memahami apa yang

diturunkan oleh Allah dan tidak mau mengikuti ajaran tauhid yang

diserukan kepada mereka, yang demikian seperti binatang yang

mendengar suara yang diteriakan kepada mereka namun mereka

tidak mampu untuk memahami maknanya24 abu Ja’far mengatakan

bahwa makna dari penakwilan pendapat ini ada dua: yang pertama

adalah sebuah perumpamaan menasehati orang kafir dan

nasihatnya adalah bagaikan teriakan penggembala kepada binatang

gembalaannya. Makna kedua adalah sebagai perumpamaan orang-

orang kafir yang tidak mengerti tentang Allah dan Rasul-Nya

adalah seperti binatang yang dipanggil penggembalanya, ia tidak

mengerti perintah dan larangan selain mendengar suaranya.25

Pendapat kedua adalah bawa ayat ini merupakan perumpamaan

orang-orang kafir yang berdoa kepada patung dan sesembahan

24 Pendapat ini menurut beberapa riwayat di antaranya dari riwayat abdul

Ahwaṣ yang sampai kepada Ikrimah yang berkata bahwa “mereka seperti unta

atau keledai yang engkau panggil, ia mendengar tapi tidak mengerti apa yang

engkau katakan kepadanya. Riwayat lainnya dari Muhammad bin Sa’ad yang

sampai kepada Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa “ ذي ينعق ومثل ٱلذين كفروا كمثل ٱل

,seperti unta, keledai kambing yang engkau panggil ”بما ل يسمع إل دعاءا ونداءاا

semuanya tidak mengerti apa yang engkau katakan, tapi ia mendengar suaramu,

demikian orang kafur jika diperintahkan untuk melakukan kebaikan atau

dilarang untuk tidak melakukan kenurukan, ia tidak mengerti apapun yang

engkau katakan, meskipun ia mendengar suaramu. Lihat Abu Ja’far al-Ṭabarī,

Tafir al-Ṭabarī, jilid 2 h. 749-750. 25 Abu Ja’far al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, jilid 2, 753.

Page 90: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

73

mereka yang tidak mampu mendengar dan tidak memiliki akal.

Mereka adalah seperti binatang yang tidak mendengar selain suara

dan panggilannya.26

Adapun pendapat yang paling tepat dari penakwilan-

penakwilan di atas menurut Abu Ja’far adalah penakwilan Ibnu

Abbas dan yang memiliki pendapat yang sama dengannya, yaitu

bahwa ayat ini maknanya adalah perumpamaan menasehati orang

kafir dan penasehatnya adalah seperti seorang penggembala yang

berteriak kepada hewan gembalaannya, ia mendengar teriakannya,

tetapi tidak dapat memahami apa yang diteriakan kepadanya.27

Adapun lafaz “ صم بكم عمي فهم ل يعقلون” menurut Abu Ja’far

adalah bahwa orang-orang kafir yang perumpamaan mereka seperti

binatang gembala yang tidak mengerti sedikit pun maksud dari

teriakan penggembalanya adalah tuli dan tidak dapat mendengar

kebenaran, bisu tidak dapat mengatakan kebenaran dan

menyatakan kebenaran Nabi Muhammad saw, dan buta tidak dapat

melihat petunjuk dan jalan kebenaran. 28

2. Penafsiran menurut al-Qurṭubi

Selanjutnya al-Qurṭubi juga menuturkan beberapa pendapat

yang ia kutip dalam tafsirnya mengenai ayat ini. Pendapat pertama

26 Pendapat ini dikutip dari riwayat Yunus bin Abdul A’la yang sampai

kepada Abdurrahman bin Zaid, ia mengatakan bahwa: orang yang teriak di

tengah gunung lalu dibalas dengan dengungan suara, perumpamaan tuhan-tuhan

mereka yang tidak mengerti doa mereka adalah seperti dengungan suara ini,

tidak berguna, tidak mendengar kecuali panggilan dan seruan. Lihat Ibnu Aṭiyah

dalam al-Muharrir al-Wajiz (1/238). Abu Ja’far, al-Bayān an Tanwīl Ayi al-

Qur’ān jilid 2, 753. 27 al-Ṭabarī, Jami’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 2, 574. 28 Pendapat ini dikutip dari riwayat Qatadah, Ibnu Abbas dll. Lihat al-Ṭabarī,

al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān jilid 2, 755-756.

Page 91: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

74

adalah mereka yang mengatakan bahwa pada ayat ini Allah

menyamakan antara pendakwah dan penyeru orang-orang kafir,

yakni Nabi Muhammad saw dengan penggembala yang memanggil

domba dan untanya. Hewan-hewan tersebut hanya dapat

mendengar suara panggilan saja, namun tidak dapat memahami apa

yang diucapkan oleh penggembalanya.29

Adapun pendapat yang kedua dari Ibnu Zaid bahwa makna dari

ayat ini adalah sebagai perumpamaan orang-orang kafir yang

memanggil Tuhan mereka yang tidak mampu bergerak itu seperti

orang yang berteriak di tengah malam, yang akan dijawab hanya

oleh gema sendiri saja. Ia berteriak, namun tidak ada satu pun yang

mendengarkannya, adapun yang menjawabnya tidak memiliki

hakikat dan tidak bermanfaat sama sekali. 30 Pendapat terakhir

yang dikutip dari Quṭrub mengenai ayat ini maknanya adalah

perumpamaan orang-orang kafir yang memanggil sesuatu yang

tidak dapat dimengerti panggilan mereka, yakni berhala mereka,

seperti penggembala yang memanggil dombanya, namun

penggembala tersebut tidak tahu tempat dombanya berada.31

Mengenai perumpamaan ini, al-Qurṭubi juga mengutip pendapat

al-Qutabi yang mengatakan bahwa orang-orang Arab sudah

terbiasa mengambil permisalan orang yang bodoh dengan

29 Pendapat ini dikutip dari penafsiran yang disampaikan oleh Ibnu Abbas,

Ikrimah, Mujahid, As-Suddi, Al-Zujaz, al-Farra’, dan Sibawaih. Sibawaih

menambahkan bahwa ayat ini tidak menekankan perumpamaan pada pemanggil,

yang ditekankan di sini adalah yang dipanggil. Yaitu begitulah permisalanmu

Muhammad, sedangkan permisalan orang-orang kafir itu seperti hewan yang

digembalakan, mereka tidak mengerti apa yang dimaksud dengan panggilan

tersebut. Lihat al-Qurṭubi jilid 2, 494. 30 Pendapat ini dituturkan oleh Ibnu Zaid. Lihat Al-Qurṭubi jilid 2, 494-495. 31 Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān jilid 2, 494-495.

Page 92: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

75

penggembala domba, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa

tidak ada yang lebih bodoh dari penggembala domba.32

3. Penafsiran Menurut Sayyid Quṭb

Sedangkan menurut pendapat Sayyid Quṭub dalam tafsirnya

menjelaskan bahwa perumpamaan ini dibuat sebagai gambaran

penghinaan yang sesuai dengan sikap taklid dan kebekuan ini, yaitu

gambaran binatang liar yang tidak memahami apa yang dikatakan

kepadanya, bahkan jika penggembalanya berteriak memanggilnya,

binatang itu hanya mendengar suaranya saja, tanpa memahami apa

yang dia dengar. Bahkan lebih rendah dari binatang, yang masih

bisa melihat, mendengar dan bersuara. Sedangkan orang kafir,

mereka bisu, tuli dan buta. Sekalipun mereka memiliki lidah,

telinga dan mata, mereka tidak mampu memanfaatkannya dan tidak

mendapatkan petunjuk. Seola-olah semua indra tersebut tidak bisa

menjalankan fungsi dari penciptaannya. Seolah-olah mereka tidak

dikaruniakan kepadanya telinga, lidah dan mata. Menurut Sayyid

Quṭub ini merupakan puncak penghinaan terhadap orang yang

tidak memfungsikan daya pikirnya, menutup jendela-jendela

pengetahuan dan petunjuk, dan menerima persoalan aqidah dam

syari’ah dari pihak yang tidak memiliki kemampuan untuk

dijadikan sebagai sumber pengambilan persoalan aqidah dan

syariah.33

Berdasarkan penafsiran-penafsiran tersebut bahwa ayat ini

memiliki dua macam penakwilan. Pertama, pendapat ini

mengatakan bahwa ayat ini adalah sebuah perumpamaan orang-

32 Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān jilid 2, 495. 33 Sayyid Quṭub, Tafsir fī Zhilālil Qur’an, jilid 1, terj. Aunur rafiq, 452-453.

Page 93: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

76

orang kafir dalam kebodohan dan kesesatan. Mereka digambarkan

sebagai seorang gembala yang memanggil gembalaanya. Hewan-

hewan yang tidak mengerti panggilan gembalanya selain dan hanya

mendegar suara saja adalah gambaran bagi orang kafir sedangkan

gembalanya adalah mereka yang menyeru orang-orang kafir

menuju jalan kebenaran. Kedua, pendapat ini mengatakn bahwa

penggambaran seorang gembala yang memanggil hewan

peliharannya adalah perumpamaan bagi orang kafir yang

menyembah berhala. Seberapa pun kerasnya dia meminta dan

memohon kepada berhalanya itu, ia sama sekali tidak memahami

apa yang mereka katakan, yang demikian lebih hina kedudukannya

dari hewan ternak yang setidaknya mampu mendengar suara.

Perumpamaan ini memberi pelajaran bahwa pentingnya bagi

manusia yang berakal untuk senantiasa mempelajari tauhid sampai

pada tahap yakin. Demikian tauhid dipelajari dari al-Qur’an dan

sunnah dan menghindari taqlid buta dalam hal tauhid dan agama,

sebagaimana perilaku bangsa-bangsa sebelumnya, yang lebih

memilih mengikuti ajaran nenek moyang dan ketua suku mereka.

Perilaku ini membuat mereka seakan buta, tuli dan bisu karena

tidak memfungsikan pancaindra dan anggota tubuh mereka untuk

mempelajari dan mendapatkan hidayah dari Allah Swt.

4. Penafsiran Hamka

Sebagaimana ayat sebelum ini, yaitu al-Baqarah ayat 170, yang di

dalamnya mengandung pelajaran bahwa sesatnya orang-orang

kafir disebabkan oleh karena mereka lebih suka untuk mengikuti

ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh

nenek moyang mereka. sikap mereka yang demikian menunjukkan

Page 94: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

77

bahwa mereka lebi mengutamakan hawa nafsu mereka

dibandingkan pikirannya. Kemudian berikutnya bersambung pada

ayat 171. Allah membuat perumpamaan sebagai penjelas dari bagi

kondisi orang-orang yang bersikeras untuk tetap berpegang teguh

pada ajaran nenek moyang mereka. Meskipun secara fisik mereka

hidup, memiliki pancaindra yang normal, akan tetapi mereka mati

dari dalam diri mereka dan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Hal

ini yang menyebabkan susahnya masuk kebenaran ke dalam diri

mereka, membuat mereka menjadi seakan-akan bisu, tuli dan buta

karena tidak mampu menerima kebenaran. Diumpamakan sekeras

apapun penggembala itu memanggil hewan ternaknya, mereka

tidak akan memahami panggilan tuannya. Maka kalimat “ ي لقع ىن

maknanya adalah Allah ingin manusia senantiasa ”مهف ل

menggunakan akalnya untuk berfikir dan belajar sehingga

mendatangkan manfaat bagi manusia lain. Begitu pula dalam hal

kepercayaan, manusia hendaknya memikirkan dan menggunakan

akal mereka dalam memilih mana yang benar untuk diambil dan

diikuti. Dan tidak begitu saja mengikuti ajaran-ajaran terdahulu

dikarenakan menjaga pusaka nenek moyang mereka.34

Berdasarkan penafsiran-penafsiran tersebut ayat ini memiliki

dua macam penakwilan. Pertama, pendapat ini mengatakan bahwa

ayat ini adalah sebuah perumpamaan orang-orang kafir dalam

kebodohan dan kesesatan. Mereka digambarkan sebagai seorang

gembala yang memanggil gembalaanya. Hewan-hewan ternak

yang tidak mengerti panggilan gembalanya selain hanya

mendengar suara teriakan adalah gambaran bagi orang kafir.

34 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 53-54.

Page 95: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

78

Sedangkan gembalanya adalah mereka yang menyeru orang-orang

kafir menuju jalan kebenaran, sekeras apapun teriakan itu, hanya

akan sia-sia dan tidak akan difahami. Kedua, pendapat ini

mengatakan bahwa penggambaran seorang gembala yang

memanggil hewan peliharannya adalah perumpamaan bagi orang

kafir yang menyembah berhala. Seberapa pun kerasnya dia

meminta dan memohon kepada berhalanya itu, ia sama sekali tidak

memahami apa yang mereka katakan, yang demikian lebih hina

kedudukannya dari hewan ternak yang setidaknya mampu

mendengar suara. Perumpamaan ini memberi pelajaran bahwa

pentingnya bagi manusia yang berakal untuk senantiasa

mempelajari tauhid sampai pada tahap yakin. Demikian tauhid

dipelajari dari al-Qur‟an dan sunnah dan menghindari taqlid buta

dalam hal tauhid dan ibadah. Sebagaimana perilaku umat

terdahulu, yang lebih memilih mengikuti ajaran nenek moyang dan

ketua suku mereka. Perilaku ini membuat mereka seakan buta, tuli

dan bisu karena tidak memfungsikan pancaindra dan anggota tubuh

mereka untuk mencari dan mendapatkan hidayah dari Allah Swt

dan lebih mengikuti hawa nafsunya. Berdasarkan penafsiran-

penafsiran tersebut bahwa ayat ini memiliki dua macam

penakwilan. Pertama, pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini

adalah sebuah perumpamaan orang-orang kafir dalam kebodohan

dan kesesatan. Mereka digambarkan sebagai seorang gembala yang

memanggil gembalaanya. Hewan-hewan yang tidak mengerti

panggilan gembalanya selain dan hanya mendegar suara saja

adalah gambaran bagi orang kafir sedangkan gembalanya adalah

mereka yang menyeru orang-orang kafir menuju jalan kebenaran.

Page 96: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

79

Kedua, pendapat ini mengatakn bahwa penggambaran seorang

gembala yang memanggil hewan peliharannya adalah

perumpamaan bagi orang kafir yang menyembah berhala. Seberapa

pun kerasnya dia meminta dan memohon kepada berhalanya itu, ia

sama sekali tidak memahami apa yang mereka katakan, yang

demikian lebih hina kedudukannya dari hewan ternak yang

setidaknya mampu mendengar suara. Perumpamaan ini memberi

pelajaran bahwa pentingnya bagi manusia yang berakal untuk

senantiasa mempelajari tauhid sampai pada tahap yakin. Demikian

tauhid dipelajari dari al-Qur‟an dan sunnah dan menghindari taqlid

buta dalam hal tauhid dan agama, sebagaimana perilaku bangsa-

bangsa sebelumnya, yang lebih memilih mengikuti ajaran nenek

moyang dan ketua suku mereka. Perilaku ini membuat mereka

seakan buta, tuli dan bisu karena tidak memfungsikan pancaindra

dan anggota tubuh mereka untuk mempelajari dan mendapatkan

hidayah dari Allah Swt.

Page 97: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

80

Page 98: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

81

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan bab-bab dalam penelitian ini

penulis telah mendapatkan jawaban dari rumusan masalah

penelitian ini. Setelah menelaah beberapa ayat yang di

dalamnya terdapat lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada

makna “buta, tuli dan bisu”. Selanjutnya, melalui penelitian ini

penulis memilih untuk meneliti ketiga ayat yang semuanya

termasuk ke dalam kategori ayat-ayat Amṡāl muṣarraḥah. Dua

ayat pertama adalah ayat yang termasuk ke dalam surat al-

makiyah yaitu surat Hūd(11) ayat 24 dan al- Nahl(16) ayat 76

sedangkan ayat ke-tiga adalah masuk ke dalam kategori al-

madaniyah yaitu surat al-Baqarah(2) ayar 171.

Berdasarkan penelitian penulis terhadap tiga ayat ini dengan

berbasis ilmu Amṡāl, ketiganya menunjukkan bahwa lafaz-

lafaz ṣummun, bukmun dan ‘umyun menurut kajian Amṡāl al-

Qur’an adalah sebuah gambaran visualisasi dari keadaan,

perilaku dan sifat beberapa kaum yang Allah maksudkan dalam

al-Qur’an. Ketiganya merupakan penggambaran mengenai

orang-orang yang secara fisik mereka bisa saja memiliki

kemampuan melihat, mendengar dan berbicara dengan baik.

Namun Allah menggunakan lafaz-lafaz ini sebagai simbol

ataupun representasi dari keadaan dan situasi tersebut dengan

tujuan sebagai peringatan dan pelajaran kepada manusia.

Page 99: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

82

Adapun makna amṡal dari ketiga ayat adalah, ketiganya

sama-sama menekankan pentingnya mendalami tauhid dan

mempelajarinya dengan segenap hati dan dengan seluruh

anggota badan. Ayat ini juga memperingatkan tentang

bahayanya ber-taqlid buta dalam hal Tauhid dan ibadah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa itu adalah perilaku

yang dilakukan oleh para penentang-Nya yang Allah ceritakan

dalam ayat-ayat ini. Sifat dan perilaku merekalah yang

akhirnya membawa mereka terus menerus terjerumus di dalam

kesesatan.

Penyampaian dengan menggunakan Amṡāl merupakan salah

satu cara al-Qur’an untuk lebih dalam menyentuh sanubari

dengan gaya bahasa yang biasa digunakan masyarakat bangsa

Arab, dengan nilai sastra yang tinggi dan nilai moral yang

dibutuhkan saat wahyu- wahyu itu turun

B. Saran-Saran

Penelitian yang penulis lakukan terhadap ayat-ayat yang

menunjukkan bahwa kajian terhadap lafaztuli, bisu dan buta

masih sangat terbatas dan hanya pada tiga ayat saja. Terdapat

lebih dari tiga puluh ayat yang di dalamnya terdapat lafaz-lafaz

tersebut yang dapat dikaji. Selanjutnya penelitian masih bisa

dilakukan terhadap tiga puluh ayat lainnya dengan

menggunakan kajian-kajian ilmu-ilmu Qur’an lainnya dan

tidak hanya terbatas pada ilmu Amṡāl saja.

Page 100: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

83

Page 101: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul malik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhār. Jakarta: Gema Insani, 2015.

Abdullah, Abdul malik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhār. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Ali, Muhammad. Fungsi Perumpamaan dalam Al-Qur’an. Jurnal Tarbawiyah Vol 10 NO

2 Edisi Juli-Desember 2013.

Aziz, Safrudin. Perpustakaan Raman Difabel. Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2014.

Bakar, Abu. Nilai-Nilai Pendidikan Pada Ayat-Ayat Amṡaldalam al-Qur’an QS.al-

Baqarah. Jurnal Syamil Vol. 5(1), 2017.

al-Bāqi Muhammaad Fuad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (

Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H.

Bustami, Hafni. Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika). Jurnal al-

Ta’lim, jilid 1 Nomor 4 Februari 2013.

Bustami, Hafni. Penafsiran Ayat-ayat Tamṡīl dalam Tafsir al-Kasyāf. Jakarta: Nuansa

Madani, 2002.

Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

Fajriyyah, Nidaul. Karakter Munafik Sebagai Gangguan Kepribadian, “Skripsi

Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2014”.

al-Farmawy, Abu al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mauḍū’i : Dirasat Mahajiyyah

Mawḍū’iyyah, 1997.

Hafni Bustami, Ayat-ayat Tamṡīl dalam al-Qur’an (Analisis Stilistika). Jurnal al-Ta’lim,

jilid 1 Nomor 4 Februari 2013.

Hasyimi, Ahmad. Jawāhirul Adab fi Adabiyyat wa Insyāil Lughah al-Arabiyyah, juz II.

Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t,th.

Husamah, Kamus Psikologi A to Z Super Lengkap. Yogyakarta: Penerbit ANDI, tt.

Ibnu Qayyim. Amṡalatul Qur’ān, terj. Anwar Wahdi Hasi. Jakarta: Pustaka Panjimas,

1993.

Imam al-Qurṭubi, Al-Jāmi’li Ahkām al-Qur’ān, terj. Faṭurrahman jilid ke-9. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007.

al-Isfāhaniy, Al-Rāghib. Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Isramin, Gaya Bahasa AmṡalMusharrahah dalam al-Qur’an (Suatu Kajian Tematik).

Jurnal Rausyan sssFikr Vol 12 No 1 Juni 2016:125-141.

Page 102: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. Ke 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka,

2008.

Khairannas Jamal dkk, Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif al-Qur’an. Jurnal

Ushuluddin Vol. 25 No 2, Juli-Desember 2017.

Khoiriyah, Rofi’atul. Difabilitas dalam al-Qur’an.”Skripsi Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015”.

Manzhur, Ibnu. Lisan al-‘Arab jilid 12. Beirut: Dar Shādir, tt.

Manẓur, Ibnu. Lisān al-Arab. Beirut: Fin Syifa Al-Turaṡ al-Araby, tt..

Nunung Lasmana, Rekonstruksi Ayat-ayat AmṡalTentang Kaum Munafik.Jurnal At-

Tibyan Vol 1 No 1 Januari-Juni 2016.

Panji, Dewi dan Wardani, Winda. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs?.Jakarta:

Alex Media Komputindo, 2013.

al-Qaṭan, Mannā Khalīl. Mabāhis Fi Ulumil Qu’an, terj. Aunur Rafiq.Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2006.

al-Quṭb, Sayyid , al-Tahswīrul Fanni fil Qur’an. Beirut; Darusy Syurug, 1982.

al-Quṭb, Sayyid Tafsir fī Zhilālil Qur’an, terj. As’ad Yasin jilid ke-6 cet ke-5(Jakarta:

Gema Insani, 2000.

al-Quṭb, Syahid Sayyid. Tafsir fī Zhilālil Qur’an: Di Bawah Naungan al-Qur’an, terj. M

Misbah jilid ke-7.Jakarta: Robbani Press, 2006.

Sholeh, Ahmad. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Perguruan

Tinggi.Yogyakarta: Lkis, 2016.

Ṣihāb, M Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.

_______ Membumikan al-Qur’an Fungsi Wahyu dan Peran dalam Kehidupan Masyarakat cet

ke-18. Bandung: Mizan, 1999.

_______ Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.

al-Shābuny, Muhammad Ali. Cahaya al-Qur’an penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta:

Pustala Al-Kautsar, 2000.

Srifariyati, Manhaj Tafsir Jami’ Al-Bayan Fi tafsir al-Qur’an. Jurnal Madaniyah Vol 7

No 2 Edisi Agustus 2017.

Subhani, Ja’far. Wisata al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Metafora. Jakarta: Penerbit al-Huda,

2007.

Page 103: BUTA TULI DAN BISU DALAM AL-QUR’AN

Suryani, Lilis. Amṡāl dalam Al-Qur’an Kajian Tahili Surah al-‘Araf ayat 175-178. “

Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah

Palembang, 2016.”

al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn. Samudra Ilmu-ilmu al-Qur’an (ringkasan kitab al-Itqan fi ulum

al-Qur’an) terj. Tarmana Abdul Qosim. Bandung: Penerbit Arasy, 2003.

Syafei, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi al-Qur’an. Jakarta: Zikra Press, 2009. 176.

_______Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra-Press, 2009.

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizi. Membahasa Kitab Tafsir Klasik Modern.

Ciputat, Lembaga Penelitian UIN Jakarta 2011.

al-Ṭabāri, Ibnu Jarir. Jāmi’ al-Bayān an Ta’wil Ayi al-Qur’an, jilid ke-1 terj. Akhmad

Affandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

al-Ṭabarī, Ibnu Jarir. Jāmi’ al-Bayān an Tanwīl Ayi al-Qur’ān, terj. Anshari Taslim dkk,

jilid 23. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Tim Penyusun, Al-Qur’an dan Tafsirnya, juz ke-12. Jakarta: Departemen Agama Ri,

2004.

Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, tt.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet. 3.

Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Umam, Chotibul. Pengantar Kajian al-Qur’an (Tema Pokok, Sejarah dan Wacana

Kajian.Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004.

Umar, Ahmad Mukhtar. Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Ma’āshirah. al-Qahirah:

Âlim al-Kutub, 2008.

Wafi, Ali Abdul Wahid. Fiqh al-Lughah Al-Arabiyyah. Mesir: Lajnah al-Bayan al-

Araby, 1962.

Zuhaili,Wahbah. Tafsir al-Munir, jilid-1 penerj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema

Insani, 2013.