gagal napas

35
GAGAL NAPAS 1. Pendahuluan A.Defenisi Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1). Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (P a O 2 ) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (P a CO 2 )> 50mmHg(2, 3). B. Klasifikasi gagal napas Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana P a O 2 < 60 mmHg dengan P a CO 2 yang normal atau rendah, dan dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai kegagalan pompa dari otot

Upload: kotak3kotak

Post on 25-Dec-2015

64 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

definisi, pembagian gagal napas

TRANSCRIPT

Page 1: Gagal Napas

GAGAL NAPAS

1.Pendahuluan

A. Defenisi

Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer

dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1).

Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60

mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2)> 50mmHg(2,

3).

B. Klasifikasi gagal napas

Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat

diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang

dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada

penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana

PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan

dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai

kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan

hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan

PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal

napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal

napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai

peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion

hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat (H2CO3),

yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35). Sebaliknya

gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal (7,35 -

Page 2: Gagal Napas

7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini

disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara

retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya HCO3

-

serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan disebut

gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang akut

pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35 meskipun

bikarbonat serum meningkat. Namun, dengan meningkatnya kadar

HCO3- serum, PaCO2 akan secara bermakna lebih tinggi dibandingkan

pasien dengan gagal napas hipeerkapnia akut.(2)

C. Epidemiologi

Insiden dan prevalensi gagal napas sulit untuk diketahui,

karena gagal napas mewakili suatu sindroma daripada proses patologis

tunggal. Data di Eropa menunjukkan angka kejadian gagal napas akut

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Napas(2)

Page 3: Gagal Napas

yang mengancam jiwa antara 77,6 dan 88,6 kasus per 100.000

penduduk pertahun(4).

2.Etiologi

Ada banyak penyebab gagal napas. Meskipun secara garis

besar dapat dipisahkan penyebab gagal napas tipe 1 (oksigenisasi) dan

gagal napas tipe 2 (ventilasi), tetapi tidak ada aturan mutlak dan

banyak penyebab gagal napas berpotensi untuk menyebabkan pola

gagal napas tipe 1 atau tipe 2(5). Gagal napas dapat dipicu oleh

kelainan di salah satu komponen dari sistem pernapasan, dari saluran

napas bagian atas sampai dengan sistem muskuloskeletal(6):

Obstruksi jalan napas: benda asing, tumor, hilangnya refleks

jalan napas (seperti pada penurunan kesadaran), bronkospasme,

bronkitis kronis

Parenkim paru: penumonia, acute respiratory distress

syndrome (ARDS), edema alveolar, kolaps lobus paru, kontusio

paru atau perdarahan, atelektasis, penyakit paru intertisial, emfisema

Pleura: pneumotoraks, efusi pleura, hemotoraks

Vaskular: emboli paru

Sistem saraf pusat: obat-obatan sedatif, opiat, segala kondisi

yang menyebabkan koma, penyakit motor neuron

Sistem saraf perifer: sindroma Guillain-Barre, lesi saraf frenikus,

poliomielitis

Sistem muskular: mieastenia gravis, distrofi otot, blokade

neuromuskular residu setelah anastesi, diafragma letak tinggi/

imobilisasi diafragma (cth. oleh karena obesitas dan nyeri abdomen)

Sistem skeletal: fraktur tulagn rusuk, kiposkilosis

Page 4: Gagal Napas

3.Patofisiologi

Gagal napas dapat timbul dari kelainan di saluran napas,

alveoli, sistem saraf pusat dan perifer, otot pernapasan dan dinding

dada. Pemahaman mengenai patofisiologi gagal napas merupakan hal

yang sangat penting dalam penatalaksanaannya nanti. Secara umum

mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi meliputi

gangguan diffusi, ketidaksesuaian ventilasi/perpusi (V/Q

missmatch), pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt) dan

hipoventilasi.(7) Sesuai patofisiologinya gagal napas dapat dibedakan

dalam dua bentuk yaitu hipoksemia atau kegagalan oksigenisasi dan

hiperkapnia atau kegagalan ventilasi

3.1 Kegagalan Oksigenisasai (Gagal napas tipe

1/Hipoksemia)

Gagal napas hipoksemia adalah tidak adekuatnya pertukaran

gas di paru karena ketidakmampuan untuk mengoksidasi darah vena.

Ciri utama gagal napas hipoksemia adalah adanya kadar PaO2

Gambar 2. Mekanisme Patofisiologis Gagal Napas Hipoksemia(2)

Page 5: Gagal Napas

dibawah 60 mmHg pada udara ruangan yang sesuai dengan SpO2

dibawah 90%. Gambar 2 menunjukkan mekanisme patofisiologis dan

penyebab klinis dari gagal napas hipoksemia.

3.1.1 Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi (V/Q

missmatch)

Merupakan penyebab hipoksemia yang paling sering.

Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak

melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi. Sebaliknya beberapa

area di paru mendapatkan ventilasi yang kurang dibandingkan

banyaknya aliran darah yang menuju area tersebut. Di sisi lain,

beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih

dibandingkan aliran darah regiomal yang relatif sedikit.(1)

Darah yang melalui kapiler paru di area hipoventilasi relatif,

akan kurang mendapat oksigen dibanding keadaan normal. Hal ini

menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidakseimbangan V/Q

terhadap pertukaran gas antara kapiler - alveolus seringkali kompleks,

Contoh dari penyakit paru yang merbah distribusi ventilasi atau aliran

darah seningga terjadi ketidaksesuain V/Q adalah : Asma dan penyakit

paru obstruktif kronis, dimana variasi pada resistensi jalan napas

cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit

vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi

berubah. Petunjuk akan adanya ketidakseimbangan V/Q adalah PaO2

dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan

pemberian oksigen tambahan.(1, 2, 6)

3.1.2 Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt)

Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,

bercampur dengan darah yang berasl dari paru, akibatnya ialah

Page 6: Gagal Napas

pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru

dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Mekanisme hipoksemia ini

dikenal sebagai pirau kanan-ke-kiri. Hal ini dapt terjadi pada:

1.Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus

dengangkan aliran darah dipertahankan. 2. Penyakit jantung

kongenital dengan defek septum. 3. ARDS, dimana terjadi edema paru

yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi

pirau kanan ke kiri yang hebat.(1)

Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri adalah: 1) Hipoksemia

berat dalam pernapasan udara ruangan. 2) Hanya sedikit peningkatan

PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3) Dibutuhkan FiO2> 0,6

untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). paO2 < 550 mmHg saat

mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat pernapasan dengan

O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.(1)

3.1.3 Hipoventilasi alveolar

Volume respirasi/menit (VE) adalah sejumlah udara yang

dihirup atau dihembuskan permenit dan bertanggungjawab untuk

menjaga PaCO2 dalam batas normal (35-45mmHg). VE memiliki dua

komponen: frekuensi pernafasan (RF) dan volume tidal (VT), dan VT

meiliki komponen: volume dead space (VD) dan volume alveolar

(VA) yang menjadi komponen efisien terakhir untuk mengeliminasi CO2.

(3)

Ingat bahwa

dimana V’CO2 adalah nilai CO2 yang diproduksi dan V’A adalah

ventilasi alveolar. Dalam hal ini semua penyebab yang menghasilkan

hipoventilasi alveolar akan mencapai suatu retensi CO2 (dan

Page 7: Gagal Napas

hiperkapnia). Yang paling sering adalah VT dan/atau berkurangnya

RF. Namun demikian, hiperkapnia juga terkait dengan peningkatan

produksi CO2 (tanpa peningkatan kompensasi dari V’A) dan juga

dalam kasus adanya peningkatan pada VD/VT (Tabel 1).

Tabel 1. Penyebab peningkatan CO2 dan VD/VT(3)

Penyebab peningkatan produksi CO2

Penyebab peningkatan VD/VT

1. Luka bakar2. Sepsis3. Agitasi4. Olah raga5. Hipertermia6. Hipertermia malignan7. Intake hiperkalorik atau diet

kaya karbohidrat8. Menggigil, kejang, tremor

1.Penyakit paru obstruktif (emfisema)2. Penyakit paru interstitial3. Penurunan curah jantung

akut4. Emboli paru5. Hipertensi pulmonal akut6. Ventilasi tekanan positif,

terutama dengan PEEP (Positive end-expiratory pressure)

Hipekapnia akan menghasilkan penurunan dari tekanan oksigen

alveolar (PaO2). Sesuai dengan persamaan gas alveolar :

Dimana PiO2 adalah tekanan oksigen inspirasi (P barometrik dikali

FiO2; 150 mmHg pada FiO2 0.21) dan R adalah rasio pertukaran udara

pernapasan (rasio steady-state CO2 memasuki dan O2

meninggalkan ruang alveolar: 250/300 = 0.8)

Dengan demikian, mengikuti persamaan ini kita dapat melihat

bahwa peningkatan PaCO2 akang mengurangi PaO2, meskipun

hipoksemia yang dihasilkan tidak relevan. Misalnya, hipoventilasi

dengan PaCO2 65 mmHg akan menghasilkan:

Page 8: Gagal Napas

Jika 30% oksigen diberikan PaO2 akan menjadi 130 mmHg

dan PaO2 akan diatas 100 mmHg. Bahkan pada kasus yang

hiperkapnia berat, katakanlah PCO2 80 mmHg dengan 30% oksigen,

PaO2 akan menjadi 110 mmHg dan tidak terdeteksi oleh pulse

oksimetri (SpO2 >98%).

Setelah semua hal diatas kita bisa katakan hiperkapnia tidak

menghasilkan hipoksemia yang signifikan dan bahwa hal itu dapat

dibalikkan dengan meningkatkan FiO2 sampai 30%.(3)

3.1.4 Penurunan tekanan parsial oksigen inspirasi

Hipoksemia ini tidak terlalu penting karena sangat jarang. Hal

ini hanya dapat terjadi ketika berada pada ketinggian, atau bila FiO2

rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana

sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). Jelas, melihat persamaan

gas alveolar, penurunan PiO2 secara paralel akan menghasilkan

penurunan PaO2.(3)

3.1.5 Kelainan difusi (impaired diffusion)

Penyebab hipoksemia yang jarang lainnya adalah gangguan

kemampuan paru-paru untuk mengangkut oksigen ke dalam dan

keluar darah. Hal ini dihasilkan pada tingkat membrana alveolar-

kapiler. Gas berdifusi melalui membran ini karena tekanan gradien

antara darah vena dan gas alveolar. Dalam keadaan normal, terdapat

waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedia

paru untuk mendapatkana kesetimbangan gas dengan alveolus.

Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalau

cepat sehingga tidak cukup bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami

Page 9: Gagal Napas

kesetimbagnan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan

menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga disufi

oksigen melalui membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu

transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Penebalan membran

dan gangguan difusi disebabkan oleh fibrosis paru, asbestoss,

pneumoconiosis, penyakit vaskular paru, pulmonary alveolar

proteinosis.(1, 3)

3.2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Napas Tipe

II/Hiperkapnia)

Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk

mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan

ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau

hiperkapnia) disertai dengan penurnan pH yang abnormal dan

penurunan PO2 atau hipoksemia. Hal ini muncul sebagai akibat dari

ketidakseimbangan antara tiga komponen pompa otot pernapasan;

Page 10: Gagal Napas

beban pada sistem pernapasan, kapasitas pompa otot pernapasan dan

dorongan dari persyarafan pernapasan.(2, 6)

4.Diagnosis

A. Tanda dan gejala

Manifestasi dari gagal napas mencerminkan gabungan dari

gambaran klinis penyakit yang mendasarinya, faktor pencetus, serta

manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran

klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi

pencetusnya (Tabel 2).

Tabel 2. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia(6)

Hipoksemia Hiperkapnia

Neurologis AnietasPerubahan status mentalKejangbingung

Somnolen dan letargiAsteriksTidak dapat tenangBicara kacauSakit kepalaPenurunan kesadaran

Kardiovaskular TakikardiAritmiaBradikardi dan hipotensi (jika memberat)

Vasodilaatasi periferTakikardiAritmia

Pernapasan TakipnuPenggunaan otot aksessoris pernapasan

Tanda obstruksi atau penyempitan jalan napas (cth: stridor, mengi)

Umum SianosisDiaporesis

Perifer hangat

Tanda dan gejala hiposkemia merupakan akibat langsung dari

hipoksia jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk

menentukan adanya hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2

mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap

penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru.

Gambar 3. Mekanisme gagal napas tipe 2(2)

Page 11: Gagal Napas

Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis,

berupa sakit kepala, perubahan mental, gangguan dalam presepsi dan

penilaian, berbicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan

gelisah yang dapat berlanjut menjadi tidak sadar.(8) Respon

kardiovaskular terhadap hipoksemia awalnya berupa takikardi dan

peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap,

dapat terjadi bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan

aritmia. Hipoksemia dapat menyebabkan vasokontriksi pada

pembuluh darah paru-paru. Meskipun sianosis sering dianggap

sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat

diandalkan. Gejala klasik dispnea

Hiperkapnia yang terjadi dalam ruangan selalu disertai

hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah

penekanan sistem saraf pusat. Itulah mengapa hiperkapnia yang berat

kadang-kadang disebut sebagai narkosis CO2. hiperkapnia

mengakibatkan vasodilatasi serebral, peningkatan aliran darah

serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial. Akibatnya timbul

gejala yang khas, berupa sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu

bangun tidur pada pagi hari karena PaCO2 sedikit meningkat pada

waktu tidur. Tanda dan gejala lain adalah edema papil, iritabilitas

neuromuskular, perasaan yang berubah-ubah, dan rasa mengantuk

yang terus bertambah, yang akhirnya menuju penurunan kesadaran

dan koma. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan

yang paling kuat untuk bernapas, tetapi juga mempunyai efek

menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu,

orang dengan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap

peningkatan PaCO2 dan menjadi tergantung pada dorongan hipoksia.

Page 12: Gagal Napas

Hiperkania menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru-paru,

segingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi

CO2 sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas

miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal jantung dan hipotensi.

Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik yang sering

bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hipoksia. Campuran

ini dapat mengakibatkan penurunan yang serius dari pH darah. respon

kompensasi ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi

bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap normal.(2)

B. Laboratorium

Analisis gas darah

Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.

Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah

harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe

gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal

napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk

patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal

napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan

kesulitan respirasi adalah peningkatan laju pernapasan Sedangkan

kapasitas vital paru baik digunakan unutk menilai gangguan respirasi

akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Bare, dimana

kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.

Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu

gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi

jaringan.

Page 13: Gagal Napas

C. Pemeriksaan penunjang

Pulse oximetry

Saturasi oksigen darah kapiler > 90% dianggap normal.

Penurunan SpO2 secara tiba-tiba <80% berhubungan dengan gagal

napas. Pada umumnya, pasien menunjukkan gejala klinis gagal napas

ketika SpO2 <90%. Bersamaan dengan pengukuran saturasi SpO2,

serum bikarbonat (HCO3) dapat menolong untuk menentukan apakah

COPD dengan retensi karbon dioksida (HCO3 meningkat) yang

mendasari gagal napas tersebut atau adanya suatu asidosis (HCO3

menurun). Ketidakakuratan dapat terjadi dengan perfusi ujung jari

yang buruk. Masalah ini dapat diatasi dengan menempelkan probe ke

lobus telinga. Cat kuku, kulit yang berpigmen gelap, anemia,

pencahayaan yang terang, korboksihemaglobinemia, dan

methaemoglobinemia dapat juga menurunkan akurasi.(9)

Foto toraks

Harus dilakukan pada pasien dengan gagal napas dalam rangka

untuk membantu diagnosis penyebab. Gambaran infiltrat yang difus

pada foto toraks berhubungan dengan pneumonia, edema paru,

aspirasi, penyakit paru interstitial yang progresif, memar paru, dan

perdarahan alveolar. Perubahan minimal pada foto toraks sering

terlihat pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis, asma,

emboli paru dan depresi pernapasan. Foto toraks juga digunakan untuk

menilai pneumotoraks, kolpas paru dan efusi. Pada pasien asma,

hiperinflasi paru berhubungan dengan obstruksi saluran udara kecil

yang berat.

5.Diagnosis banding

Page 14: Gagal Napas

Diagnosa banding gagal napas adalah edema paru dan acute

respiratory distress syndrome

6.Penatalaksanaan

Gagal napas merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk

itu penanganannnya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum

di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),

dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal

napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas

adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan

perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu

penyakit yang mendasari gagal napas tersebut.

Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan

nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya doperlukan kombinasi

keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung

ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan

pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.

6.1 Pengobatan nonspesifik

Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk

mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam

keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dulakukan pengobatan

spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.

6.1.1 Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya

untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal

napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien

sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan

Page 15: Gagal Napas

tidak terangsang oleh hiperbaric drive melainkan terhadap

hypoxemic drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat,

pasien dapat menjadi apnoe.(10)

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah

pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian

oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam

jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi

dan menghindari toksisitas.(11)

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang

dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.

Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak

diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi

ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu

pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen

diberikan dengan dosis yang dapat mengatasu hipoksemia dan

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat

diberikan terus-menerus.(12)

Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu low-

flow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery

(sistem arus tinggi) (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat

dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul

arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6

L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-44%). Aliran yang lebih

tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat

mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki

efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya

electronic demand device, reservoir nasal canul, dan

Page 16: Gagal Napas

transtracheal catheters, dan dibandingkan nasal kanul

konvesional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen

arus tinggi diantaranya ventury mask dan reservoir nebulizer

blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing

(efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan

secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien

dengan PPOK dan gagl napas tipe 2, bernapas dengan mask ini

mengurangi risiko retensi CO2 dan memperbaiki hioksemia. Alat

tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi

melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus

tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui

mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua

indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini

adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien dengan

ventilasi abnormal.(11)

Tabel 3. Cara pemberian oksigen(11)

Alat 02 flow rate (L/m)

FiO2 Keuntungan Kerugian

Low flow delivery devices :

Kanul nasal 2 - 6 0,24 - 0,35 Pasien nyaman FiO2 bervariasi dengan VE

Simple mask 4 - 8 0,24 - 0,40 - FiO2 bervariasi dengan VE

High-flow delivery devices :

Venturi mask 2 - 12 0,25 - 0,50 FiO2 konstan dengan VE Aliran tidak adekuat pada FiO2 tinggi

Nonrebreathing mask 6 -15 0,70 - 0,90 FiO2 tinggi Tidak nyaman; FiO2 tidak dapat disesuaikan

High-flow O2 blender 6 - 20 0,50 - 0,90 FiO2 tinggi pada aliran total tinggi

6.1.2 Atasi Hiperkabia : Perbaiki Ventilasi

Page 17: Gagal Napas

Jalan napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenisasi dan

pemberian obat-obatan pernapasan. PAda semua pasien gangguan

pernapasan harus dipikirkan dan diperikja adanya obstruksi jalan

napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti

endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan

napas artifisial dibandingkan jalan napas alami.(1, 11)

Risiko jalan napas aritifisial adalah trauma insersi, kerusakan

trakea (erosi), gangguan respon batuk, risiko aspirasi, gangguan fungsi

mukosiliar, risiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja

pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi

obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-

obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,

memfasilitasi penyedotan sekret,dan rute bronkoskopi fiberoptik(1,

11)

Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah

oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan

napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas

artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada

Tabel 4.

Tabel 4. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik

Secara Fisiologis

a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

b. PaCO2 > 55mmHg dengan pH<7,25

c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular

Page 18: Gagal Napas

Secara Fisiologis

Secara Klinis

a. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas

b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik

c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi terletak di atas trakea)

d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien, dan butuh

penyedotan

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi

endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon

terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu

dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi

tekanan positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-invasif,

NIPPV=NIV)(1, 11)

Ventilasi : Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik

Pada keadaan darurat bantuan napas dapat dilakukan secara

mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup

muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa

kantungnya untuk memasukkana udara ke dalam paru.

Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.

Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak

adekuatnya respon ventilasi pada bagian imbalan ventilasi-perfusi.

Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan

asidosis respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2 > 46

mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena kompensasi

metabolik. Pada pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi

mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan

Page 19: Gagal Napas

alternatif yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan

pemulihan yang lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode

assist-control atau synchronized intermittent ventilation

dengan setting rate sesuai dengan laju napas spontan pasien untuk

menyakinkan kenyamanan pasien.(13)

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal

napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas

yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas

adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau

kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang

tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan

tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak

dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator

harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang

dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48

jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka

kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas

dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival

berhubungan sekali dengan diagnosa utama, usia, dan jumlah organ

yang mengalami kegagalan fungsi.(11)

6.1.3 Terapi supportif lainnya

Fisioterapi dada

Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret,

sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga unutk

tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila

perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan

telapak tangan pada saat inspirasi. PAsien melakukan batuk yang

Page 20: Gagal Napas

efektif. Dilakukan juga tepuka-tepukan pada dada, punggung,

dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang

diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator(1)

Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)

Obat-obat ini lebih efektif diberikan dalam bentuk inhalasi

dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk

efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih

sedikit sehingga dosis besar dapat diberikans ecara inhalasi. Terapi

yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik

yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang

direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada

nebulasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap

jam/nebulasi jontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat

didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek

samping. Diantara yang tersedia adalah elbuterol, metaproterenal,

terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,

dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung

iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walupun jarang

terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan

kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartment

ekstrasi ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta

adregenik(1, 11)

Antikolinergik/parasimpatolitik

Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung

pada drajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan

pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,

dibandingkan bronkitis kronik, dima tonus parasimpatis tampaknya

Page 21: Gagal Napas

lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk

bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas,

antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta

adregergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI

(metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulasi. Efek

samping jarang terjadi, seperti takikardi, palpitasi, dan retensi urin.(1,

11)

Teofilin

Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.

Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,

daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung

dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki

potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi

yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status

mental, dan kejang.(1, 14)

Kortikosteroid

Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar

belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi

saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid

serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir

selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa

hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid

akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan

perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian

kortikosteroid parenteral. (1, 6)

Page 22: Gagal Napas

7. Kepustakaan1. Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 218-26.

2. Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine. 2102;40(6):293–7.

3. Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of respiratory failure. Trends in Anaesthesia and Critical Care. 2013;3(5):265-9.

4. Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of acute respiratory failure. Critical care. 2003 Aug;7(4):288-90. PubMed PMID: 12930552. Pubmed Central PMCID: 270706.

5. Burt CC, Arrowsmith JE. Respiratory failure. Surgery. 2009;27(11):475-9.

6. Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery. 2012;30(10):518-24.

7. West JB. Respiratory physiology e the essentials. 9th ed. Baltimore: Lippincott, Williams and Wilkins; 2012.

8. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and pathophysiologic aspects of respiratory failure. Principles of pulmonary medicine. 6 ed. Piladelphia: Elsevier; 2014. p. 344-50.

9. Jubran A. Pulse oximetry. Critical care. 1999;3(2):R11-R7. PubMed PMID: 11094477. Pubmed Central PMCID: 137227.

10. Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 161-5.

11. Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JRE, editors. Current Diagnosis & Treatment Critical Care. 3rd ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008. p. 247-313.

12. Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients with chronic obstructive pulmonary disease: an old tool revisited. American journal of respiratory and critical care medicine. 2003 Nov 1;168(9):1021-2. PubMed PMID: 14581283.

13. Neema PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anasthesia. 2003;47(5):360-6.

Page 23: Gagal Napas

14. Forte P, Mazzone M, Portale G, Falcone C, Mancini F, Silveri NG. Approach to respiratory failure in emergency department. European review for medical and pharmacological sciences. 2006 May-Jun;10(3):135-51. PubMed PMID: 16875048.