gagal napas 1
DESCRIPTION
penjelasan mengenai gagal napas dan klasifikasinyaTRANSCRIPT
GAGAL NAPAS
1. Pendahuluan
A. Defenisi
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer
dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1).
Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60
mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) > 50mmHg(2,
3).
B. Klasifikasi gagal napas
Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat
diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang
dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada
penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana
PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan
dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai
kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan
hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan
PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal
napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal
napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai
peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion
hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat
(H2CO3), yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35).
Sebaliknya gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal
(7,35 - 7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini
disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara
retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya
HCO3- serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan
disebut gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang
akut pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35
meskipun bikarbonat serum meningkat. Namun, dengan
meningkatnya kadar HCO3- serum, PaCO2 akan secara bermakna
lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gagal napas hipeerkapnia
akut.(2)
C. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi gagal napas sulit untuk diketahui,
karena gagal napas mewakili suatu sindroma daripada proses
patologis tunggal. Data di Eropa menunjukkan angka kejadian gagal
napas akut yang mengancam jiwa antara 77,6 dan 88,6 kasus per
100.000 penduduk pertahun(4).
2. Etiologi
Ada banyak penyebab gagal napas. Meskipun secara garis
besar dapat dipisahkan penyebab gagal napas tipe 1 (oksigenisasi) dan
gagal napas tipe 2 (ventilasi), tetapi tidak ada aturan mutlak dan
banyak penyebab gagal napas berpotensi untuk menyebabkan pola
Gambar 1. Klasifikasi Gagal Napas(2)
gagal napas tipe 1 atau tipe 2(5). Gagal napas dapat dipicu oleh
kelainan di salah satu komponen dari sistem pernapasan, dari saluran
napas bagian atas sampai dengan sistem muskuloskeletal(6):
Obstruksi jalan napas: benda asing, tumor, hilangnya refleks jalan
napas (seperti pada penurunan kesadaran), bronkospasme, bronkitis
kronis
Parenkim paru: penumonia, acute respiratory distress syndrome
(ARDS), edema alveolar, kolaps lobus paru, kontusio paru atau
perdarahan, atelektasis, penyakit paru intertisial, emfisema
Pleura: pneumotoraks, efusi pleura, hemotoraks
Vaskular: emboli paru
Sistem saraf pusat: obat-obatan sedatif, opiat, segala kondisi yang
menyebabkan koma, penyakit motor neuron
Sistem saraf perifer: sindroma Guillain-Barre, lesi saraf frenikus,
poliomielitis
Sistem muskular: mieastenia gravis, distrofi otot, blokade
neuromuskular residu setelah anastesi, diafragma letak tinggi/
imobilisasi diafragma (cth. oleh karena obesitas dan nyeri abdomen)
Sistem skeletal: fraktur tulagn rusuk, kiposkilosis
3. Patofisiologi
Gagal napas dapat timbul dari kelainan di saluran napas,
alveoli, sistem saraf pusat dan perifer, otot pernapasan dan dinding
dada. Pemahaman mengenai patofisiologi gagal napas merupakan hal
yang sangat penting dalam penatalaksanaannya nanti. Secara umum
mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi meliputi
gangguan diffusi, ketidaksesuaian ventilasi/perpusi (V/Q missmatch),
pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt) dan hipoventilasi.(7) Sesuai
patofisiologinya gagal napas dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu
hipoksemia atau kegagalan oksigenisasi dan hiperkapnia atau
kegagalan ventilasi
3.1 Kegagalan Oksigenisasai (Gagal napas tipe 1/Hipoksemia)
Gagal napas hipoksemia adalah tidak adekuatnya pertukaran
gas di paru karena ketidakmampuan untuk mengoksidasi darah vena.
Ciri utama gagal napas hipoksemia adalah adanya kadar PaO2
dibawah 60 mmHg pada udara ruangan yang sesuai dengan SpO2
dibawah 90%. Gambar 2 menunjukkan mekanisme patofisiologis dan
penyebab klinis dari gagal napas hipoksemia.
Gambar 2. Mekanisme Patofisiologis Gagal Napas Hipoksemia(2)
3.1.1 Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi (V/Q missmatch)
Merupakan penyebab hipoksemia yang paling sering.
Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak
melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi. Sebaliknya beberapa
area di paru mendapatkan ventilasi yang kurang dibandingkan
banyaknya aliran darah yang menuju area tersebut. Di sisi lain,
causes. Hypercapnic respiratory failure arises as a result of animbalance between the three components of the respiratorymuscle pump: the load on the respiratory system, the capacity ofthe respiratory muscle pump and neural respiratory drive(Figure 3). By considering these pathophysiological causes, evenwithout an in-depth knowledge of respiratory physiology, a clin-ically relevant list of conditions can be devised (Figure 4).
Respiratory system load may be resistive, due to airwaysobstruction, or elastic, due to reduced compliance of the respi-ratory system, as in pneumonia, acute respiratory distresssyndrome, kyphoscoliosis and obesity. There may also bea threshold load on the respiratory system, in the form of intrinsicpositive end-expiratory pressure (PEEPi). PEEPi represents theinspiratory pressure that the respiratory muscles are required togenerate before the onset of inspiratory flow; it is present inpatients with obstructive lung diseases due to high airwaysresistance, which impairs complete lung emptying during expi-ration and leads to lung hyperinflation. PEEPi has also beenshown to be present in obese patients as a consequence of earlyairways closure due to patients breathing at low lung volumes.6
The capacity of the respiratory muscle pump may be impairedby weakness of the respiratory muscles, in conditions such asmuscular dystrophy and other myopathies (e.g. myotonicdystrophy). High spinal cord lesions, motor neuropathies anddisorders of the neuromuscular junction can lead to failure oftransmission of central drive to the respiratory muscle pump.Central respiratory drive itself may be reduced due to an intra-cranial insult and drugs (such as opiates and benzodiazepines).Furthermore, an elevated serum bicarbonate, arising frommetabolic compensation in conditions such as COPD andneuromuscular disease, may diminish central drive. In the
absence of central drive failure or transmission failure, neuralrespiratory drive reflects the balance between the load on therespiratory system and its capacity. Neural drive has been shownto be increased compared to healthy controls in stable COPD,poorly-controlled asthma and obesity.6e8
Acute, chronic and acute-on-chronic respiratory failure
The distinction between these presentations is most apparent inhypercapnic respiratory failure, where the arterial blood gasmeasurements once again reflect the balance between neuralrespiratory drive, respiratory system load and respiratory musclepump capacity. PaCO2 is directly proportional to the rate ofproduction of CO2 and inversely proportional to the rate ofelimination of CO2 from the alveoli:
PaCO2fVCO
VA
where VCO2 is the rate of production of CO2 and VA is alveolarventilation.
In acute hypercapnic respiratory failure, a rapid rise in PaCO2
results in an excess of hydrogen ions in arterial blood through thedissociation of carbonic acid (H2CO3), leading to respiratoryacidosis (pH <7.35). By contrast, chronic hypercapnic respiratoryfailure is characterized by a normal pH (7.35e7.45) despite thepresence of an elevated PaCO2; this is due to renal retention ofbicarbonate ðHCO"
3 Þ, which results in an elevated serum HCO"3
(>26 mmol/litre) that buffers the excess hydrogen ions. Acute-on-chronic respiratory failure occurs when a patient with chronicrespiratory failure deteriorates such that pH <7.35 despite theincreased serum bicarbonate. However, with the increasedserum HCO"
3 , PaCO2 will be significantly higher than is seen inpatients with acute hypercapnic respiratory failure.
Type 1 hypoxaemic respiratory failure
*Ventilation-perfusionmismatch
HypoxaemiaAnatomicalR-L shunt
Impaireddiffusion
Low partial pressureof inspired oxygen
Alveolarhypoventilation
e.g. chronic obstructive pulmonary disease, asthma, pulmonary embolus, pulmonary oedema, cystic fibrosis,bronchiectasis
Using the five pathophysiological mechanisms of hypoxaemia,a comprehensive list of conditions that cause hypoxaemia can be generated
e.g. diffuseparenchymallung disease
e.g. pulmonary arteriovenousmalformation, pneumonia
e.g. flying e.g. opiate overdose
*V/Q mismatch is the most important cause of hypoxaemia
Figure 2
Type 2 hypercapnic respiratory failure is an imbalance between neural respiratory drive, the load on therespiratory muscles and capacity of the respiratorymuscles
DRIVE FAILURECortical brainstem
TRANSMISSION &ACTION FAILURE
Spinal cordPeripheral nerves
Neuromuscular junctionRespiratory muscles
HIGH LOADResistive elastic
threshold
RESPIRATORY MUSCLEPUMP FAILURE
Type 2 hypercapnicrespiratory failure
Figure 3
RESPIRATORY FAILURE
MEDICINE 40:6 294 ! 2012 Elsevier Ltd. All rights reserved.
Hipoksemia
Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi
Hipoventilasi alveolar
R-L Shunt Kelainan difusi
Penurunan tekanan parsial oksigen inspirasi
beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih
dibandingkan aliran darah regiomal yang relatif sedikit.(1)
Darah yang melalui kapiler paru di area hipoventilasi relatif,
akan kurang mendapat oksigen dibanding keadaan normal. Hal ini
menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidakseimbangan V/Q
terhadap pertukaran gas antara kapiler - alveolus seringkali kompleks,
Contoh dari penyakit paru yang merbah distribusi ventilasi atau aliran
darah seningga terjadi ketidaksesuain V/Q adalah : Asma dan penyakit
paru obstruktif kronis, dimana variasi pada resistensi jalan napas
cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit
vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi
berubah. Petunjuk akan adanya ketidakseimbangan V/Q adalah PaO2
dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan
pemberian oksigen tambahan.(1, 2, 6)
3.1.2 Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt)
Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasl dari paru, akibatnya ialah
pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Mekanisme hipoksemia ini
dikenal sebagai pirau kanan-ke-kiri. Hal ini dapt terjadi pada:
1.Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
dengangkan aliran darah dipertahankan. 2. Penyakit jantung
kongenital dengan defek septum. 3. ARDS, dimana terjadi edema paru
yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi
pirau kanan ke kiri yang hebat.(1)
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri adalah: 1) Hipoksemia
berat dalam pernapasan udara ruangan. 2) Hanya sedikit peningkatan
PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3) Dibutuhkan FiO2> 0,6
untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). paO2 < 550 mmHg saat
mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat pernapasan dengan
O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.(1)
3.1.3 Hipoventilasi alveolar
Volume respirasi/menit (VE) adalah sejumlah udara yang
dihirup atau dihembuskan permenit dan bertanggungjawab untuk
menjaga PaCO2 dalam batas normal (35-45mmHg). VE memiliki dua
komponen: frekuensi pernafasan (RF) dan volume tidal (VT), dan VT
meiliki komponen: volume dead space (VD) dan volume alveolar (VA)
yang menjadi komponen efisien terakhir untuk mengeliminasi CO2.(3)
Ingat bahwa
differentiate between right or left ventricular failure because thepathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different. Inright ventricular failure the cause is due to pulmonary hyperten-sionwhilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be relatedto a desaturation of mixed venous blood or to the shunt effect dueto pulmonary oedema.5,14,15 Other common causes of hypoxaemiaof haemodynamic origin are hypovolaemia and anaemia.14,15
2.3. Alveolar hypoventilation
Minute volume (VE) is the amount of exhaled gas per minuteand is responsible for maintaining PaCO2 in the normal range (35e45 mmHg). It has two components: respiratory frequency (RF) andtidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:dead space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being thelast the efficient component for CO2 elimination.9
Remember that:
PaCO2 ¼ V 0CO2=V 0A
Being V0CO2 the CO2 production by the organism and V0A thealveolar ventilation. In this sense all causes producing alveolarhypoventilation carried CO2 retention (and hypercapnoea). Themost frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can beseen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2production (without a compensatory increase of V0A) and in cases ofincrease in VD/VT (see Table 3).
Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygenpressure (PaO2). Indeed, following the alveolar gas equation4,5,9:
PaO2¼ PiO2 " ½PaCO2=R$
Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship betweenCO2 production and O2 consumption: 250/300 ¼ 0.8).
This way, following the equation we can see that an increase inPaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is notrelevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHgwill produce:
PaO2 ¼ 150" ½65=0:8$ ¼ 150" 80 ¼ 70 mmHgðSpO2 > 90%Þ
If 30% oxygen is administered PaO2 will turn in 130 mmHg andPaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyper-capnoea, let’s say a PCO2 of 80 mmHg with 30% oxygen, the PaO2
will be 110 mmHg and undetectable by pulse oximetry(SpO2 > 98%).
Following all the above we could say that hypercapnoea doesnot produce significant hypoxaemia and that it can be reversed byincreasing FiO2 to 30%.
2.4. Hypoxaemia due to low FIO2
This hypoxaemia is not very important due to its infrequency.This may only happen at high altitude, when smoke is inhaled orduring fire where combustion produces oxygen consumption inbreathing air. Obviously, looking at the alveolar gas equation, a dropin PiO2 will produce a parallel drop in PaO2.9
2.5. Diffusion disorders
Another infrequent cause of hypoxaemia is the disorder of theability of the lung to transport oxygen into and out of the blood. It isproduced at the alveolar-capillary membrane level. Gas diffusesthrough this membrane due to a pressure gradient between thevenous blood and alveolar gas and a thickening of the membranecould slow down oxygen uptake and CO2 elimination. However, redblood cells are fully oxygenated after one third of its course in thealveolar capillary bed; this way despite a slow uptake, there is ahigh reserve in the transit time to reach the equilibrium. CO2elimination is even less affected because its diffusion capacity is 20times higher than the O2.5,12
Membrane thickening and diffusion disorders are produced inpulmonary fibrosis, asbestosis, pneumoconiosis, diffuse lung lymphgranulomatosis and other more uncommon diseases.9,12 Thesediseases do not produce hypoxaemia in resting conditions butduring exercise because tachycardia produces a reduction in thetransit time of the venous blood through the alveolar-capillarymembrane. However there are many other causes more frequentin anaesthesia that may produce hypoxaemia, for example the lossof alveolar-capillary surface due to pulmonary resections. Hypo-xaemia in pneumonectomized patients may appear after subse-quent interventions if patients become tachycardic.
3. Mechanical respiratory failure
Mechanical respiratory failure is characterized by a disorder ofeffective alveolar ventilation producing hypercapnoea with orwithout concomitant hypoxaemia. Causes of this disorder are manybut of particular importance are pathophysiological mechanismswhich cause alteration of the respiratory pump. The causes of thepump failure are organized below following the several compo-nents of the respiratory pump.4,7,9,17
3.1. Depression of the respiratory centre
Depression of the respiratory centre located in the medullaoblongata is a frequent cause of mechanical RF in anaesthesiabecause most hypnotic and analgesic drugs produce depression ofthe respiratory centre. In these cases respiratory dive is abolished
Table 1Causes of hypoxaemic respiratory failure.
1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect2. Severe haemodynamic dysfunction3. Alveolar hypoventilation4. Low FiO2
5. Diffusion impairment
Table 2Causes of increase in CO2 production.4,5
1. Burns2. Sepsis3. Agitation4. Exercise5. Hyperthermia6. Malignant hyperthermia7. Hypercaloric intake or carbohydrate rich diet8. Shivering, seizures, tremor
Table 3Causes of increase in VD/VT.16
1. Obstructive pulmonary diseases (emphysema.)2. Interstitial pulmonary diseases3. Acute reduction in cardiac output4. Pulmonary embolism5. Acute pulmonary hypertension6. Positive pressure ventilation, especially with PEEP
F.J. Belda et al. / Trends in Anaesthesia and Critical Care 3 (2013) 265e269266
dimana V’CO2 adalah nilai CO2 yang diproduksi dan V’A adalah
ventilasi alveolar. Dalam hal ini semua penyebab yang menghasilkan
hipoventilasi alveolar akan mencapai suatu retensi CO2 (dan
hiperkapnia). Yang paling sering adalah VT dan/atau berkurangnya
RF. Namun demikian, hiperkapnia juga terkait dengan peningkatan
produksi CO2 (tanpa peningkatan kompensasi dari V’A) dan juga
dalam kasus adanya peningkatan pada VD/VT (Tabel 1).
Tabel 1. Penyebab peningkatan CO2 dan VD/VT(3)
Penyebab peningkatan produksi CO2 Penyebab peningkatan VD/VT
1.Luka bakar2.Sepsis3.Agitasi4.Olah raga5.Hipertermia6.Hipertermia malignan7.Intake hiperkalorik atau diet kaya
karbohidrat8.Menggigil, kejang, tremor
1.Penyakit paru obstruktif (emfisema)2. Penyakit paru interstitial3. Penurunan curah jantung akut4. Emboli paru5. Hipertensi pulmonal akut6. Ventilasi tekanan positif,
terutama dengan PEEP (Positive end-expiratory pressure)
Hipekapnia akan menghasilkan penurunan dari tekanan oksigen
alveolar (PaO2). Sesuai dengan persamaan gas alveolar :
differentiate between right or left ventricular failure because thepathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different. Inright ventricular failure the cause is due to pulmonary hyperten-sionwhilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be relatedto a desaturation of mixed venous blood or to the shunt effect dueto pulmonary oedema.5,14,15 Other common causes of hypoxaemiaof haemodynamic origin are hypovolaemia and anaemia.14,15
2.3. Alveolar hypoventilation
Minute volume (VE) is the amount of exhaled gas per minuteand is responsible for maintaining PaCO2 in the normal range (35e45 mmHg). It has two components: respiratory frequency (RF) andtidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:dead space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being thelast the efficient component for CO2 elimination.9
Remember that:
PaCO2 ¼ V 0CO2=V 0A
Being V0CO2 the CO2 production by the organism and V0A thealveolar ventilation. In this sense all causes producing alveolarhypoventilation carried CO2 retention (and hypercapnoea). Themost frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can beseen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2production (without a compensatory increase of V0A) and in cases ofincrease in VD/VT (see Table 3).
Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygenpressure (PaO2). Indeed, following the alveolar gas equation4,5,9:
PaO2¼ PiO2 " ½PaCO2=R$
Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship betweenCO2 production and O2 consumption: 250/300 ¼ 0.8).
This way, following the equation we can see that an increase inPaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is notrelevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHgwill produce:
PaO2 ¼ 150" ½65=0:8$ ¼ 150" 80 ¼ 70 mmHgðSpO2 > 90%Þ
If 30% oxygen is administered PaO2 will turn in 130 mmHg andPaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyper-capnoea, let’s say a PCO2 of 80 mmHg with 30% oxygen, the PaO2
will be 110 mmHg and undetectable by pulse oximetry(SpO2 > 98%).
Following all the above we could say that hypercapnoea doesnot produce significant hypoxaemia and that it can be reversed byincreasing FiO2 to 30%.
2.4. Hypoxaemia due to low FIO2
This hypoxaemia is not very important due to its infrequency.This may only happen at high altitude, when smoke is inhaled orduring fire where combustion produces oxygen consumption inbreathing air. Obviously, looking at the alveolar gas equation, a dropin PiO2 will produce a parallel drop in PaO2.9
2.5. Diffusion disorders
Another infrequent cause of hypoxaemia is the disorder of theability of the lung to transport oxygen into and out of the blood. It isproduced at the alveolar-capillary membrane level. Gas diffusesthrough this membrane due to a pressure gradient between thevenous blood and alveolar gas and a thickening of the membranecould slow down oxygen uptake and CO2 elimination. However, redblood cells are fully oxygenated after one third of its course in thealveolar capillary bed; this way despite a slow uptake, there is ahigh reserve in the transit time to reach the equilibrium. CO2elimination is even less affected because its diffusion capacity is 20times higher than the O2.5,12
Membrane thickening and diffusion disorders are produced inpulmonary fibrosis, asbestosis, pneumoconiosis, diffuse lung lymphgranulomatosis and other more uncommon diseases.9,12 Thesediseases do not produce hypoxaemia in resting conditions butduring exercise because tachycardia produces a reduction in thetransit time of the venous blood through the alveolar-capillarymembrane. However there are many other causes more frequentin anaesthesia that may produce hypoxaemia, for example the lossof alveolar-capillary surface due to pulmonary resections. Hypo-xaemia in pneumonectomized patients may appear after subse-quent interventions if patients become tachycardic.
3. Mechanical respiratory failure
Mechanical respiratory failure is characterized by a disorder ofeffective alveolar ventilation producing hypercapnoea with orwithout concomitant hypoxaemia. Causes of this disorder are manybut of particular importance are pathophysiological mechanismswhich cause alteration of the respiratory pump. The causes of thepump failure are organized below following the several compo-nents of the respiratory pump.4,7,9,17
3.1. Depression of the respiratory centre
Depression of the respiratory centre located in the medullaoblongata is a frequent cause of mechanical RF in anaesthesiabecause most hypnotic and analgesic drugs produce depression ofthe respiratory centre. In these cases respiratory dive is abolished
Table 1Causes of hypoxaemic respiratory failure.
1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect2. Severe haemodynamic dysfunction3. Alveolar hypoventilation4. Low FiO2
5. Diffusion impairment
Table 2Causes of increase in CO2 production.4,5
1. Burns2. Sepsis3. Agitation4. Exercise5. Hyperthermia6. Malignant hyperthermia7. Hypercaloric intake or carbohydrate rich diet8. Shivering, seizures, tremor
Table 3Causes of increase in VD/VT.16
1. Obstructive pulmonary diseases (emphysema.)2. Interstitial pulmonary diseases3. Acute reduction in cardiac output4. Pulmonary embolism5. Acute pulmonary hypertension6. Positive pressure ventilation, especially with PEEP
F.J. Belda et al. / Trends in Anaesthesia and Critical Care 3 (2013) 265e269266
Dimana PiO2 adalah tekanan oksigen inspirasi (P barometrik dikali
FiO2; 150 mmHg pada FiO2 0.21) dan R adalah rasio pertukaran udara
pernapasan (rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan
ruang alveolar: 250/300 = 0.8)
Dengan demikian, mengikuti persamaan ini kita dapat melihat
bahwa peningkatan PaCO2 akang mengurangi PaO2, meskipun
hipoksemia yang dihasilkan tidak relevan. Misalnya, hipoventilasi
dengan PaCO2 65 mmHg akan menghasilkan:
differentiate between right or left ventricular failure because thepathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different. Inright ventricular failure the cause is due to pulmonary hyperten-sionwhilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be relatedto a desaturation of mixed venous blood or to the shunt effect dueto pulmonary oedema.5,14,15 Other common causes of hypoxaemiaof haemodynamic origin are hypovolaemia and anaemia.14,15
2.3. Alveolar hypoventilation
Minute volume (VE) is the amount of exhaled gas per minuteand is responsible for maintaining PaCO2 in the normal range (35e45 mmHg). It has two components: respiratory frequency (RF) andtidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:dead space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being thelast the efficient component for CO2 elimination.9
Remember that:
PaCO2 ¼ V 0CO2=V 0A
Being V0CO2 the CO2 production by the organism and V0A thealveolar ventilation. In this sense all causes producing alveolarhypoventilation carried CO2 retention (and hypercapnoea). Themost frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can beseen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2production (without a compensatory increase of V0A) and in cases ofincrease in VD/VT (see Table 3).
Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygenpressure (PaO2). Indeed, following the alveolar gas equation4,5,9:
PaO2¼ PiO2 " ½PaCO2=R$
Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship betweenCO2 production and O2 consumption: 250/300 ¼ 0.8).
This way, following the equation we can see that an increase inPaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is notrelevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHgwill produce:
PaO2 ¼ 150" ½65=0:8$ ¼ 150" 80 ¼ 70 mmHgðSpO2 > 90%Þ
If 30% oxygen is administered PaO2 will turn in 130 mmHg andPaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyper-capnoea, let’s say a PCO2 of 80 mmHg with 30% oxygen, the PaO2
will be 110 mmHg and undetectable by pulse oximetry(SpO2 > 98%).
Following all the above we could say that hypercapnoea doesnot produce significant hypoxaemia and that it can be reversed byincreasing FiO2 to 30%.
2.4. Hypoxaemia due to low FIO2
This hypoxaemia is not very important due to its infrequency.This may only happen at high altitude, when smoke is inhaled orduring fire where combustion produces oxygen consumption inbreathing air. Obviously, looking at the alveolar gas equation, a dropin PiO2 will produce a parallel drop in PaO2.9
2.5. Diffusion disorders
Another infrequent cause of hypoxaemia is the disorder of theability of the lung to transport oxygen into and out of the blood. It isproduced at the alveolar-capillary membrane level. Gas diffusesthrough this membrane due to a pressure gradient between thevenous blood and alveolar gas and a thickening of the membranecould slow down oxygen uptake and CO2 elimination. However, redblood cells are fully oxygenated after one third of its course in thealveolar capillary bed; this way despite a slow uptake, there is ahigh reserve in the transit time to reach the equilibrium. CO2elimination is even less affected because its diffusion capacity is 20times higher than the O2.5,12
Membrane thickening and diffusion disorders are produced inpulmonary fibrosis, asbestosis, pneumoconiosis, diffuse lung lymphgranulomatosis and other more uncommon diseases.9,12 Thesediseases do not produce hypoxaemia in resting conditions butduring exercise because tachycardia produces a reduction in thetransit time of the venous blood through the alveolar-capillarymembrane. However there are many other causes more frequentin anaesthesia that may produce hypoxaemia, for example the lossof alveolar-capillary surface due to pulmonary resections. Hypo-xaemia in pneumonectomized patients may appear after subse-quent interventions if patients become tachycardic.
3. Mechanical respiratory failure
Mechanical respiratory failure is characterized by a disorder ofeffective alveolar ventilation producing hypercapnoea with orwithout concomitant hypoxaemia. Causes of this disorder are manybut of particular importance are pathophysiological mechanismswhich cause alteration of the respiratory pump. The causes of thepump failure are organized below following the several compo-nents of the respiratory pump.4,7,9,17
3.1. Depression of the respiratory centre
Depression of the respiratory centre located in the medullaoblongata is a frequent cause of mechanical RF in anaesthesiabecause most hypnotic and analgesic drugs produce depression ofthe respiratory centre. In these cases respiratory dive is abolished
Table 1Causes of hypoxaemic respiratory failure.
1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect2. Severe haemodynamic dysfunction3. Alveolar hypoventilation4. Low FiO2
5. Diffusion impairment
Table 2Causes of increase in CO2 production.4,5
1. Burns2. Sepsis3. Agitation4. Exercise5. Hyperthermia6. Malignant hyperthermia7. Hypercaloric intake or carbohydrate rich diet8. Shivering, seizures, tremor
Table 3Causes of increase in VD/VT.16
1. Obstructive pulmonary diseases (emphysema.)2. Interstitial pulmonary diseases3. Acute reduction in cardiac output4. Pulmonary embolism5. Acute pulmonary hypertension6. Positive pressure ventilation, especially with PEEP
F.J. Belda et al. / Trends in Anaesthesia and Critical Care 3 (2013) 265e269266
Jika 30% oksigen diberikan PaO2 akan menjadi 130 mmHg
dan PaO2 akan diatas 100 mmHg. Bahkan pada kasus yang
hiperkapnia berat, katakanlah PCO2 80 mmHg dengan 30% oksigen,
PaO2 akan menjadi 110 mmHg dan tidak terdeteksi oleh pulse
oksimetri (SpO2 >98%).
Setelah semua hal diatas kita bisa katakan hiperkapnia tidak
menghasilkan hipoksemia yang signifikan dan bahwa hal itu dapat
dibalikkan dengan meningkatkan FiO2 sampai 30%.(3)
3.1.4 Penurunan tekanan parsial oksigen inspirasi
Hipoksemia ini tidak terlalu penting karena sangat jarang. Hal
ini hanya dapat terjadi ketika berada pada ketinggian, atau bila FiO2
rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana
sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). Jelas, melihat persamaan
gas alveolar, penurunan PiO2 secara paralel akan menghasilkan
penurunan PaO2.(3)
3.1.5 Kelainan difusi (impaired diffusion)
Penyebab hipoksemia yang jarang lainnya adalah gangguan
kemampuan paru-paru untuk mengangkut oksigen ke dalam dan
keluar darah. Hal ini dihasilkan pada tingkat membrana alveolar-
kapiler. Gas berdifusi melalui membran ini karena tekanan gradien
antara darah vena dan gas alveolar. Dalam keadaan normal, terdapat
waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedia
paru untuk mendapatkana kesetimbangan gas dengan alveolus.
Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalau
cepat sehingga tidak cukup bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami
kesetimbagnan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan
menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga disufi
oksigen melalui membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu
transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Penebalan membran
dan gangguan difusi disebabkan oleh fibrosis paru, asbestoss,
pneumoconiosis, penyakit vaskular paru, pulmonary alveolar
proteinosis.(1, 3)
3.2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Napas Tipe II/Hiperkapnia)
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan
ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau
hiperkapnia) disertai deng penurnan pH yang abnormal dan penurunan
PO2 atau hipoksemia.
4. Diagnosis
A. Tanda dan gejala
Manifestasi dari gagal napas mencerminkan gabungan dari
gambaran klinis penyakit yang mendasarinya, faktor pencetus, serta
manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran
klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi
pencetusnya (Tabel 2).
Tabel 2. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia(6)
Hipoksemia Hiperkapnia
Neurologis AnietasPerubahan status mentalKejangbingung
Somnolen dan letargiAsteriksTidak dapat tenangBicara kacauSakit kepalaPenurunan kesadaran
Kardiovaskular TakikardiAritmiaBradikardi dan hipotensi (jika memberat)
Vasodilaatasi periferTakikardiAritmia
Pernapasan TakipnuPenggunaan otot aksessoris pernapasan
Tanda obstruksi atau penyempitan jalan napas (cth: stridor, mengi)
Umum SianosisDiaporesis
Perifer hangat
Tanda dan gejala hiposkemia merupakan akibat langsung dari
hipoksia jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk
menentukan adanya hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2
mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap
penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru.
Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis,
berupa sakit kepala, perubahan mental, gangguan dalam presepsi dan
penilaian, berbicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan
gelisah yang dapat berlanjut menjadi tidak sadar.(8) Respon
kardiovaskular terhadap hipoksemia awalnya berupa takikardi dan
peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap,
dapat terjadi bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan
aritmia. Hipoksemia dapat menyebabkan vasokontriksi pada
pembuluh darah paru-paru. Meskipun sianosis sering dianggap
sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat
diandalkan. Gejala klasik dispnea
Hiperkapnia yang terjadi dalam ruangan selalu disertai
hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah
penekanan sistem saraf pusat. Itulah mengapa hiperkapnia yang berat
kadang-kadang disebut sebagai narkosis CO2. hiperkapnia
mengakibatkan vasodilatasi serebral, peningkatan aliran darah
serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial. Akibatnya timbul
gejala yang khas, berupa sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu
bangun tidur pada pagi hari karena PaCO2 sedikit meningkat pada
waktu tidur. Tanda dan gejala lain adalah edema papil, iritabilitas
neuromuskular, perasaan yang berubah-ubah, dan rasa mengantuk
yang terus bertambah, yang akhirnya menuju penurunan kesadaran
dan koma. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan
yang paling kuat untuk bernapas, tetapi juga mempunyai efek
menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu,
orang dengan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap
peningkatan PaCO2 dan menjadi tergantung pada dorongan hipoksia.
Hiperkania menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru-paru,
segingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi
CO2 sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas
miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal jantung dan hipotensi.
Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik yang sering
bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hipoksia. Campuran
ini dapat mengakibatkan penurunan yang serius dari pH darah. respon
kompensasi ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi
bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap normal.(2)
B. Laboratorium
Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe
gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal
napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk
patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal
napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan
kesulitan respirasi adalah peningkatan laju pernapasan Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan unutk menilai gangguan respirasi
akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Bare, dimana
kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi
jaringan.
C. Pemeriksaan penunjang
Pulse oximetry
Saturasi oksigen darah kapiler > 90% dianggap normal.
Penurunan SpO2 secara tiba-tiba <80% berhubungan dengan gagal
napas. Pada umumnya, pasien menunjukkan gejala klinis gagal napas
ketika SpO2 <90%. Bersamaan dengan pengukuran saturasi SpO2,
serum bikarbonat (HCO3) dapat menolong untuk menentukan apakah
COPD dengan retensi karbon dioksida (HCO3 meningkat) yang
mendasari gagal napas tersebut atau adanya suatu asidosis (HCO3
menurun). Ketidakakuratan dapat terjadi dengan perfusi ujung jari
yang buruk. Masalah ini dapat diatasi dengan menempelkan probe ke
lobus telinga. Cat kuku, kulit yang berpigmen gelap, anemia,
pencahayaan yang terang, korboksihemaglobinemia, dan
methaemoglobinemia dapat juga menurunkan akurasi.(9)
Foto toraks
Harus dilakukan pada pasien dengan gagal napas dalam rangka
untuk membantu diagnosis penyebab. Gambaran infiltrat yang difus
pada foto toraks berhubungan dengan pneumonia, edema paru,
aspirasi, penyakit paru interstitial yang progresif, memar paru, dan
perdarahan alveolar. Perubahan minimal pada foto toraks sering
terlihat pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis, asma,
emboli paru dan depresi pernapasan. Foto toraks juga digunakan
untuk menilai pneumotoraks, kolpas paru dan efusi. Pada pasien asma,
hiperinflasi paru berhubungan dengan obstruksi saluran udara kecil
yang berat.
5. Diagnosis banding
Diagnosa banding gagal napas adalah edema paru dan acute
respiratory distress syndrome.
6. Penatalaksanaan
Gagal napas merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk
itu penanganannnya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),
dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal
napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas
adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan
perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal napas tersebut.
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan
nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya doperlukan kombinasi
keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
6.1 Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk
mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam
keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dulakukan pengobatan
spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
6.1.1 Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan
tidak terangsang oleh hiperbaric drive melainkan terhadap hypoxemic
drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat
menjadi apnoe.(10)
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian
oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam
jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.(11)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.
Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasu hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat
diberikan terus-menerus.(12)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu low-
flow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery (sistem arus
tinggi) (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem
arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan
FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki
efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya
electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal
catheters, dan dibandingkan nasal kanul konvesional alat-alat tersebut
lebih efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat venturi mask
menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini
bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen
rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagl napas tipe 2,
bernapas dengan mask ini mengurangi risiko retensi CO2 dan
memperbaiki hioksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai,
dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan
arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai
40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen
dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian
FiO2 dan pasien dengan ventilasi abnormal.(11)
Tabel 3. Cara pemberian oksigen(11)
Alat 02 flow rate (L/m)
FiO2 Keuntungan Kerugian
Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :
Kanul nasal 2 - 6 0,24 - 0,35 Pasien nyaman FiO2 bervariasi dengan VE
Simple mask 4 - 8 0,24 - 0,40 - FiO2 bervariasi dengan VE
High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :
Alat 02 flow rate (L/m)
FiO2 Keuntungan Kerugian
Venturi mask 2 - 12 0,25 - 0,50 FiO2 konstan dengan VE Aliran tidak adekuat pada FiO2 tinggi
Nonrebreathing mask 6 -15 0,70 - 0,90 FiO2 tinggi Tidak nyaman; FiO2 tidak dapat disesuaikan
High-flow O2 blender 6 - 20 0,50 - 0,90 FiO2 tinggi pada aliran total tinggi
6.1.2 Atasi Hiperkabia : Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenisasi dan
pemberian obat-obatan pernapasan. PAda semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperikja adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas
artifisial dibandingkan jalan napas alami.(1, 11)
Risiko jalan napas aritifisial adalah trauma insersi, kerusakan
trakea (erosi), gangguan respon batuk, risiko aspirasi, gangguan fungsi
mukosiliar, risiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-
obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, danrute bronkoskopi fiberoptik(1,
11)
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah
oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan
napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas
artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada
Tabel 4.
Tabel 4. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis
a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b. PaCO2 > 55mmHg dengan pH<7,25
c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular
Secara Fisiologis
Secara Klinis
a. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas
b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi terletak di atas trakea)
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien, dan butuh penyedotan
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi
endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon
terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu
dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi
tekanan positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-invasif,
NIPPV=NIV)(1, 11)
Ventilasi : Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik
Pada keadaan darurat bantuan napas dapat dilakukan secara
mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup
muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa
kantungnya untuk memasukkana udara ke dalam paru.
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.
Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian imbalan ventilasi-perfusi.
Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan
asidosis respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2 > 46
mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena kompensasi
metabolik. Pada pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi
mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif
yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan
yang lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode assist-
control atau synchronized intermittent ventilation dengan setting rate
sesuai dengan laju napas spontan pasien untuk menyakinkan
kenyamanan pasien.(13)
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal
napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas
yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas
adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang
tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan
tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak
dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator
harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48
jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka
kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas
dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival
berhubungan sekali dengan diagnosa utama, usia, dan jumlah organ
yang mengalami kegagalan fungsi.(11)
6.1.3 Terapi supportif lainnya
Fisioterapi dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga unutk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila
perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. PAsien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepuka-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator(1)
Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)
Obat-obat ini lebih efektif diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk
efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih
sedikit sehingga dosis besar dapat diberikans ecara inhalasi. Terapi
yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik
yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada
nebulasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/
nebulasi jontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan
pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.
Diantara yang tersedia adalah elbuterol, metaproterenal, terbutalin.
Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan
hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walupun jarang
terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan
kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartment
ekstrasi ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta
adregenik(1, 11)
Antikolinergik/parasimpatolitik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung
pada drajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan
pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan bronkitis kronik, dima tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk
bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas,
antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
adregergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered
dose inhaler) atau solusio untuk nebulasi. Efek samping jarang terjadi,
seperti takikardi, palpitasi, dan retensi urin.(1, 11)
Teofilin
Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.
Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,
daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung
dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki
potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi
yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status
mental, dan kejang.(1, 14)
Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar
belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi
saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid
serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid
akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian
kortikosteroid parenteral. (1, 6)
Bibliography1.! Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 218-26.
2.! Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine. 2102;40(6):293–7.
3.! Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of respiratory failure. Trends in Anaesthesia and Critical Care. 2013;3(5):265-9.
4.! Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of acute respiratory failure. Critical care. 2003 Aug;7(4):288-90. PubMed PMID: 12930552. Pubmed Central PMCID: 270706.
5.! Burt CC, Arrowsmith JE. Respiratory failure. Surgery. 2009;27(11):475-9.
6.! Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery. 2012;30(10):518-24.
7.! West JB. Respiratory physiology e the essentials. 9th ed. Baltimore: Lippincott, Williams and Wilkins; 2012.
8.! Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and pathophysiologic aspects of respiratory failure. Principles of pulmonary medicine. 6 ed. Piladelphia: Elsevier; 2014. p. 344-50.
9.! Jubran A. Pulse oximetry. Critical care. 1999;3(2):R11-R7. PubMed PMID: 11094477. Pubmed Central PMCID: 137227.
10.! Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 161-5.
11.! Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JRE, editors. Current Diagnosis & Treatment Critical Care. 3rd ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008. p. 247-313.
12.! Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients with chronic obstructive pulmonary disease: an old tool revisited. American journal of respiratory and critical care medicine. 2003 Nov 1;168(9):1021-2. PubMed PMID: 14581283.
13.! Neema PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anasthesia. 2003;47(5):360-6.
14.! Forte P, Mazzone M, Portale G, Falcone C, Mancini F, Silveri NG. Approach to respiratory failure in emergency department. European review for medical and
pharmacological sciences. 2006 May-Jun;10(3):135-51. PubMed PMID: 16875048.