gagal napas 1

20
GAGAL NAPAS 1. Pendahuluan A. Defenisi Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1). Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) > 50mmHg(2, 3). B. Klasifikasi gagal napas Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat (H2CO3), yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35). Sebaliknya gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal (7,35 - 7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara

Upload: kotak3kotak

Post on 07-Feb-2016

58 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

penjelasan mengenai gagal napas dan klasifikasinya

TRANSCRIPT

Page 1: Gagal Napas 1

GAGAL NAPAS

1. Pendahuluan

A. Defenisi

Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer

dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1).

Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60

mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) > 50mmHg(2,

3).

B. Klasifikasi gagal napas

Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat

diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang

dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada

penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana

PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan

dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai

kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan

hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan

PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal

napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal

napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai

peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion

hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat

(H2CO3), yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35).

Sebaliknya gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal

(7,35 - 7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini

disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara

Page 2: Gagal Napas 1

retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya

HCO3- serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan

disebut gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang

akut pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35

meskipun bikarbonat serum meningkat. Namun, dengan

meningkatnya kadar HCO3- serum, PaCO2 akan secara bermakna

lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gagal napas hipeerkapnia

akut.(2)

C. Epidemiologi

Insiden dan prevalensi gagal napas sulit untuk diketahui,

karena gagal napas mewakili suatu sindroma daripada proses

patologis tunggal. Data di Eropa menunjukkan angka kejadian gagal

napas akut yang mengancam jiwa antara 77,6 dan 88,6 kasus per

100.000 penduduk pertahun(4).

2. Etiologi

Ada banyak penyebab gagal napas. Meskipun secara garis

besar dapat dipisahkan penyebab gagal napas tipe 1 (oksigenisasi) dan

gagal napas tipe 2 (ventilasi), tetapi tidak ada aturan mutlak dan

banyak penyebab gagal napas berpotensi untuk menyebabkan pola

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Napas(2)

Page 3: Gagal Napas 1

gagal napas tipe 1 atau tipe 2(5). Gagal napas dapat dipicu oleh

kelainan di salah satu komponen dari sistem pernapasan, dari saluran

napas bagian atas sampai dengan sistem muskuloskeletal(6):

Obstruksi jalan napas: benda asing, tumor, hilangnya refleks jalan

napas (seperti pada penurunan kesadaran), bronkospasme, bronkitis

kronis

Parenkim paru: penumonia, acute respiratory distress syndrome

(ARDS), edema alveolar, kolaps lobus paru, kontusio paru atau

perdarahan, atelektasis, penyakit paru intertisial, emfisema

Pleura: pneumotoraks, efusi pleura, hemotoraks

Vaskular: emboli paru

Sistem saraf pusat: obat-obatan sedatif, opiat, segala kondisi yang

menyebabkan koma, penyakit motor neuron

Sistem saraf perifer: sindroma Guillain-Barre, lesi saraf frenikus,

poliomielitis

Sistem muskular: mieastenia gravis, distrofi otot, blokade

neuromuskular residu setelah anastesi, diafragma letak tinggi/

imobilisasi diafragma (cth. oleh karena obesitas dan nyeri abdomen)

Sistem skeletal: fraktur tulagn rusuk, kiposkilosis

3. Patofisiologi

Gagal napas dapat timbul dari kelainan di saluran napas,

alveoli, sistem saraf pusat dan perifer, otot pernapasan dan dinding

dada. Pemahaman mengenai patofisiologi gagal napas merupakan hal

yang sangat penting dalam penatalaksanaannya nanti. Secara umum

mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi meliputi

gangguan diffusi, ketidaksesuaian ventilasi/perpusi (V/Q missmatch),

pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt) dan hipoventilasi.(7) Sesuai

patofisiologinya gagal napas dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu

hipoksemia atau kegagalan oksigenisasi dan hiperkapnia atau

kegagalan ventilasi

3.1 Kegagalan Oksigenisasai (Gagal napas tipe 1/Hipoksemia)

Page 4: Gagal Napas 1

Gagal napas hipoksemia adalah tidak adekuatnya pertukaran

gas di paru karena ketidakmampuan untuk mengoksidasi darah vena.

Ciri utama gagal napas hipoksemia adalah adanya kadar PaO2

dibawah 60 mmHg pada udara ruangan yang sesuai dengan SpO2

dibawah 90%. Gambar 2 menunjukkan mekanisme patofisiologis dan

penyebab klinis dari gagal napas hipoksemia.

Gambar 2. Mekanisme Patofisiologis Gagal Napas Hipoksemia(2)

3.1.1 Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi (V/Q missmatch)

Merupakan penyebab hipoksemia yang paling sering.

Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak

melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi. Sebaliknya beberapa

area di paru mendapatkan ventilasi yang kurang dibandingkan

banyaknya aliran darah yang menuju area tersebut. Di sisi lain,

causes. Hypercapnic respiratory failure arises as a result of animbalance between the three components of the respiratorymuscle pump: the load on the respiratory system, the capacity ofthe respiratory muscle pump and neural respiratory drive(Figure 3). By considering these pathophysiological causes, evenwithout an in-depth knowledge of respiratory physiology, a clin-ically relevant list of conditions can be devised (Figure 4).

Respiratory system load may be resistive, due to airwaysobstruction, or elastic, due to reduced compliance of the respi-ratory system, as in pneumonia, acute respiratory distresssyndrome, kyphoscoliosis and obesity. There may also bea threshold load on the respiratory system, in the form of intrinsicpositive end-expiratory pressure (PEEPi). PEEPi represents theinspiratory pressure that the respiratory muscles are required togenerate before the onset of inspiratory flow; it is present inpatients with obstructive lung diseases due to high airwaysresistance, which impairs complete lung emptying during expi-ration and leads to lung hyperinflation. PEEPi has also beenshown to be present in obese patients as a consequence of earlyairways closure due to patients breathing at low lung volumes.6

The capacity of the respiratory muscle pump may be impairedby weakness of the respiratory muscles, in conditions such asmuscular dystrophy and other myopathies (e.g. myotonicdystrophy). High spinal cord lesions, motor neuropathies anddisorders of the neuromuscular junction can lead to failure oftransmission of central drive to the respiratory muscle pump.Central respiratory drive itself may be reduced due to an intra-cranial insult and drugs (such as opiates and benzodiazepines).Furthermore, an elevated serum bicarbonate, arising frommetabolic compensation in conditions such as COPD andneuromuscular disease, may diminish central drive. In the

absence of central drive failure or transmission failure, neuralrespiratory drive reflects the balance between the load on therespiratory system and its capacity. Neural drive has been shownto be increased compared to healthy controls in stable COPD,poorly-controlled asthma and obesity.6e8

Acute, chronic and acute-on-chronic respiratory failure

The distinction between these presentations is most apparent inhypercapnic respiratory failure, where the arterial blood gasmeasurements once again reflect the balance between neuralrespiratory drive, respiratory system load and respiratory musclepump capacity. PaCO2 is directly proportional to the rate ofproduction of CO2 and inversely proportional to the rate ofelimination of CO2 from the alveoli:

PaCO2fVCO

VA

where VCO2 is the rate of production of CO2 and VA is alveolarventilation.

In acute hypercapnic respiratory failure, a rapid rise in PaCO2

results in an excess of hydrogen ions in arterial blood through thedissociation of carbonic acid (H2CO3), leading to respiratoryacidosis (pH <7.35). By contrast, chronic hypercapnic respiratoryfailure is characterized by a normal pH (7.35e7.45) despite thepresence of an elevated PaCO2; this is due to renal retention ofbicarbonate ðHCO"

3 Þ, which results in an elevated serum HCO"3

(>26 mmol/litre) that buffers the excess hydrogen ions. Acute-on-chronic respiratory failure occurs when a patient with chronicrespiratory failure deteriorates such that pH <7.35 despite theincreased serum bicarbonate. However, with the increasedserum HCO"

3 , PaCO2 will be significantly higher than is seen inpatients with acute hypercapnic respiratory failure.

Type 1 hypoxaemic respiratory failure

*Ventilation-perfusionmismatch

HypoxaemiaAnatomicalR-L shunt

Impaireddiffusion

Low partial pressureof inspired oxygen

Alveolarhypoventilation

e.g. chronic obstructive pulmonary disease, asthma, pulmonary embolus, pulmonary oedema, cystic fibrosis,bronchiectasis

Using the five pathophysiological mechanisms of hypoxaemia,a comprehensive list of conditions that cause hypoxaemia can be generated

e.g. diffuseparenchymallung disease

e.g. pulmonary arteriovenousmalformation, pneumonia

e.g. flying e.g. opiate overdose

*V/Q mismatch is the most important cause of hypoxaemia

Figure 2

Type 2 hypercapnic respiratory failure is an imbalance between neural respiratory drive, the load on therespiratory muscles and capacity of the respiratorymuscles

DRIVE FAILURECortical brainstem

TRANSMISSION &ACTION FAILURE

Spinal cordPeripheral nerves

Neuromuscular junctionRespiratory muscles

HIGH LOADResistive elastic

threshold

RESPIRATORY MUSCLEPUMP FAILURE

Type 2 hypercapnicrespiratory failure

Figure 3

RESPIRATORY FAILURE

MEDICINE 40:6 294 ! 2012 Elsevier Ltd. All rights reserved.

Hipoksemia

Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi

Hipoventilasi alveolar

R-L Shunt Kelainan difusi

Penurunan tekanan parsial oksigen inspirasi

Page 5: Gagal Napas 1

beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih

dibandingkan aliran darah regiomal yang relatif sedikit.(1)

Darah yang melalui kapiler paru di area hipoventilasi relatif,

akan kurang mendapat oksigen dibanding keadaan normal. Hal ini

menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidakseimbangan V/Q

terhadap pertukaran gas antara kapiler - alveolus seringkali kompleks,

Contoh dari penyakit paru yang merbah distribusi ventilasi atau aliran

darah seningga terjadi ketidaksesuain V/Q adalah : Asma dan penyakit

paru obstruktif kronis, dimana variasi pada resistensi jalan napas

cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit

vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi

berubah. Petunjuk akan adanya ketidakseimbangan V/Q adalah PaO2

dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan

pemberian oksigen tambahan.(1, 2, 6)

3.1.2 Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt)

Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,

bercampur dengan darah yang berasl dari paru, akibatnya ialah

pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru

dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Mekanisme hipoksemia ini

dikenal sebagai pirau kanan-ke-kiri. Hal ini dapt terjadi pada:

1.Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus

dengangkan aliran darah dipertahankan. 2. Penyakit jantung

kongenital dengan defek septum. 3. ARDS, dimana terjadi edema paru

yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi

pirau kanan ke kiri yang hebat.(1)

Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri adalah: 1) Hipoksemia

berat dalam pernapasan udara ruangan. 2) Hanya sedikit peningkatan

PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3) Dibutuhkan FiO2> 0,6

untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). paO2 < 550 mmHg saat

mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat pernapasan dengan

O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.(1)

3.1.3 Hipoventilasi alveolar

Page 6: Gagal Napas 1

Volume respirasi/menit (VE) adalah sejumlah udara yang

dihirup atau dihembuskan permenit dan bertanggungjawab untuk

menjaga PaCO2 dalam batas normal (35-45mmHg). VE memiliki dua

komponen: frekuensi pernafasan (RF) dan volume tidal (VT), dan VT

meiliki komponen: volume dead space (VD) dan volume alveolar (VA)

yang menjadi komponen efisien terakhir untuk mengeliminasi CO2.(3)

Ingat bahwa

differentiate between right or left ventricular failure because thepathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different. Inright ventricular failure the cause is due to pulmonary hyperten-sionwhilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be relatedto a desaturation of mixed venous blood or to the shunt effect dueto pulmonary oedema.5,14,15 Other common causes of hypoxaemiaof haemodynamic origin are hypovolaemia and anaemia.14,15

2.3. Alveolar hypoventilation

Minute volume (VE) is the amount of exhaled gas per minuteand is responsible for maintaining PaCO2 in the normal range (35e45 mmHg). It has two components: respiratory frequency (RF) andtidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:dead space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being thelast the efficient component for CO2 elimination.9

Remember that:

PaCO2 ¼ V 0CO2=V 0A

Being V0CO2 the CO2 production by the organism and V0A thealveolar ventilation. In this sense all causes producing alveolarhypoventilation carried CO2 retention (and hypercapnoea). Themost frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can beseen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2production (without a compensatory increase of V0A) and in cases ofincrease in VD/VT (see Table 3).

Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygenpressure (PaO2). Indeed, following the alveolar gas equation4,5,9:

PaO2¼ PiO2 " ½PaCO2=R$

Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship betweenCO2 production and O2 consumption: 250/300 ¼ 0.8).

This way, following the equation we can see that an increase inPaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is notrelevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHgwill produce:

PaO2 ¼ 150" ½65=0:8$ ¼ 150" 80 ¼ 70 mmHgðSpO2 > 90%Þ

If 30% oxygen is administered PaO2 will turn in 130 mmHg andPaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyper-capnoea, let’s say a PCO2 of 80 mmHg with 30% oxygen, the PaO2

will be 110 mmHg and undetectable by pulse oximetry(SpO2 > 98%).

Following all the above we could say that hypercapnoea doesnot produce significant hypoxaemia and that it can be reversed byincreasing FiO2 to 30%.

2.4. Hypoxaemia due to low FIO2

This hypoxaemia is not very important due to its infrequency.This may only happen at high altitude, when smoke is inhaled orduring fire where combustion produces oxygen consumption inbreathing air. Obviously, looking at the alveolar gas equation, a dropin PiO2 will produce a parallel drop in PaO2.9

2.5. Diffusion disorders

Another infrequent cause of hypoxaemia is the disorder of theability of the lung to transport oxygen into and out of the blood. It isproduced at the alveolar-capillary membrane level. Gas diffusesthrough this membrane due to a pressure gradient between thevenous blood and alveolar gas and a thickening of the membranecould slow down oxygen uptake and CO2 elimination. However, redblood cells are fully oxygenated after one third of its course in thealveolar capillary bed; this way despite a slow uptake, there is ahigh reserve in the transit time to reach the equilibrium. CO2elimination is even less affected because its diffusion capacity is 20times higher than the O2.5,12

Membrane thickening and diffusion disorders are produced inpulmonary fibrosis, asbestosis, pneumoconiosis, diffuse lung lymphgranulomatosis and other more uncommon diseases.9,12 Thesediseases do not produce hypoxaemia in resting conditions butduring exercise because tachycardia produces a reduction in thetransit time of the venous blood through the alveolar-capillarymembrane. However there are many other causes more frequentin anaesthesia that may produce hypoxaemia, for example the lossof alveolar-capillary surface due to pulmonary resections. Hypo-xaemia in pneumonectomized patients may appear after subse-quent interventions if patients become tachycardic.

3. Mechanical respiratory failure

Mechanical respiratory failure is characterized by a disorder ofeffective alveolar ventilation producing hypercapnoea with orwithout concomitant hypoxaemia. Causes of this disorder are manybut of particular importance are pathophysiological mechanismswhich cause alteration of the respiratory pump. The causes of thepump failure are organized below following the several compo-nents of the respiratory pump.4,7,9,17

3.1. Depression of the respiratory centre

Depression of the respiratory centre located in the medullaoblongata is a frequent cause of mechanical RF in anaesthesiabecause most hypnotic and analgesic drugs produce depression ofthe respiratory centre. In these cases respiratory dive is abolished

Table 1Causes of hypoxaemic respiratory failure.

1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect2. Severe haemodynamic dysfunction3. Alveolar hypoventilation4. Low FiO2

5. Diffusion impairment

Table 2Causes of increase in CO2 production.4,5

1. Burns2. Sepsis3. Agitation4. Exercise5. Hyperthermia6. Malignant hyperthermia7. Hypercaloric intake or carbohydrate rich diet8. Shivering, seizures, tremor

Table 3Causes of increase in VD/VT.16

1. Obstructive pulmonary diseases (emphysema.)2. Interstitial pulmonary diseases3. Acute reduction in cardiac output4. Pulmonary embolism5. Acute pulmonary hypertension6. Positive pressure ventilation, especially with PEEP

F.J. Belda et al. / Trends in Anaesthesia and Critical Care 3 (2013) 265e269266

dimana V’CO2 adalah nilai CO2 yang diproduksi dan V’A adalah

ventilasi alveolar. Dalam hal ini semua penyebab yang menghasilkan

hipoventilasi alveolar akan mencapai suatu retensi CO2 (dan

hiperkapnia). Yang paling sering adalah VT dan/atau berkurangnya

RF. Namun demikian, hiperkapnia juga terkait dengan peningkatan

produksi CO2 (tanpa peningkatan kompensasi dari V’A) dan juga

dalam kasus adanya peningkatan pada VD/VT (Tabel 1).

Tabel 1. Penyebab peningkatan CO2 dan VD/VT(3)

Penyebab peningkatan produksi CO2 Penyebab peningkatan VD/VT

1.Luka bakar2.Sepsis3.Agitasi4.Olah raga5.Hipertermia6.Hipertermia malignan7.Intake hiperkalorik atau diet kaya

karbohidrat8.Menggigil, kejang, tremor

1.Penyakit paru obstruktif (emfisema)2. Penyakit paru interstitial3. Penurunan curah jantung akut4. Emboli paru5. Hipertensi pulmonal akut6. Ventilasi tekanan positif,

terutama dengan PEEP (Positive end-expiratory pressure)

Hipekapnia akan menghasilkan penurunan dari tekanan oksigen

alveolar (PaO2). Sesuai dengan persamaan gas alveolar :

differentiate between right or left ventricular failure because thepathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different. Inright ventricular failure the cause is due to pulmonary hyperten-sionwhilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be relatedto a desaturation of mixed venous blood or to the shunt effect dueto pulmonary oedema.5,14,15 Other common causes of hypoxaemiaof haemodynamic origin are hypovolaemia and anaemia.14,15

2.3. Alveolar hypoventilation

Minute volume (VE) is the amount of exhaled gas per minuteand is responsible for maintaining PaCO2 in the normal range (35e45 mmHg). It has two components: respiratory frequency (RF) andtidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:dead space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being thelast the efficient component for CO2 elimination.9

Remember that:

PaCO2 ¼ V 0CO2=V 0A

Being V0CO2 the CO2 production by the organism and V0A thealveolar ventilation. In this sense all causes producing alveolarhypoventilation carried CO2 retention (and hypercapnoea). Themost frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can beseen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2production (without a compensatory increase of V0A) and in cases ofincrease in VD/VT (see Table 3).

Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygenpressure (PaO2). Indeed, following the alveolar gas equation4,5,9:

PaO2¼ PiO2 " ½PaCO2=R$

Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship betweenCO2 production and O2 consumption: 250/300 ¼ 0.8).

This way, following the equation we can see that an increase inPaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is notrelevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHgwill produce:

PaO2 ¼ 150" ½65=0:8$ ¼ 150" 80 ¼ 70 mmHgðSpO2 > 90%Þ

If 30% oxygen is administered PaO2 will turn in 130 mmHg andPaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyper-capnoea, let’s say a PCO2 of 80 mmHg with 30% oxygen, the PaO2

will be 110 mmHg and undetectable by pulse oximetry(SpO2 > 98%).

Following all the above we could say that hypercapnoea doesnot produce significant hypoxaemia and that it can be reversed byincreasing FiO2 to 30%.

2.4. Hypoxaemia due to low FIO2

This hypoxaemia is not very important due to its infrequency.This may only happen at high altitude, when smoke is inhaled orduring fire where combustion produces oxygen consumption inbreathing air. Obviously, looking at the alveolar gas equation, a dropin PiO2 will produce a parallel drop in PaO2.9

2.5. Diffusion disorders

Another infrequent cause of hypoxaemia is the disorder of theability of the lung to transport oxygen into and out of the blood. It isproduced at the alveolar-capillary membrane level. Gas diffusesthrough this membrane due to a pressure gradient between thevenous blood and alveolar gas and a thickening of the membranecould slow down oxygen uptake and CO2 elimination. However, redblood cells are fully oxygenated after one third of its course in thealveolar capillary bed; this way despite a slow uptake, there is ahigh reserve in the transit time to reach the equilibrium. CO2elimination is even less affected because its diffusion capacity is 20times higher than the O2.5,12

Membrane thickening and diffusion disorders are produced inpulmonary fibrosis, asbestosis, pneumoconiosis, diffuse lung lymphgranulomatosis and other more uncommon diseases.9,12 Thesediseases do not produce hypoxaemia in resting conditions butduring exercise because tachycardia produces a reduction in thetransit time of the venous blood through the alveolar-capillarymembrane. However there are many other causes more frequentin anaesthesia that may produce hypoxaemia, for example the lossof alveolar-capillary surface due to pulmonary resections. Hypo-xaemia in pneumonectomized patients may appear after subse-quent interventions if patients become tachycardic.

3. Mechanical respiratory failure

Mechanical respiratory failure is characterized by a disorder ofeffective alveolar ventilation producing hypercapnoea with orwithout concomitant hypoxaemia. Causes of this disorder are manybut of particular importance are pathophysiological mechanismswhich cause alteration of the respiratory pump. The causes of thepump failure are organized below following the several compo-nents of the respiratory pump.4,7,9,17

3.1. Depression of the respiratory centre

Depression of the respiratory centre located in the medullaoblongata is a frequent cause of mechanical RF in anaesthesiabecause most hypnotic and analgesic drugs produce depression ofthe respiratory centre. In these cases respiratory dive is abolished

Table 1Causes of hypoxaemic respiratory failure.

1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect2. Severe haemodynamic dysfunction3. Alveolar hypoventilation4. Low FiO2

5. Diffusion impairment

Table 2Causes of increase in CO2 production.4,5

1. Burns2. Sepsis3. Agitation4. Exercise5. Hyperthermia6. Malignant hyperthermia7. Hypercaloric intake or carbohydrate rich diet8. Shivering, seizures, tremor

Table 3Causes of increase in VD/VT.16

1. Obstructive pulmonary diseases (emphysema.)2. Interstitial pulmonary diseases3. Acute reduction in cardiac output4. Pulmonary embolism5. Acute pulmonary hypertension6. Positive pressure ventilation, especially with PEEP

F.J. Belda et al. / Trends in Anaesthesia and Critical Care 3 (2013) 265e269266

Dimana PiO2 adalah tekanan oksigen inspirasi (P barometrik dikali

FiO2; 150 mmHg pada FiO2 0.21) dan R adalah rasio pertukaran udara

pernapasan (rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan

ruang alveolar: 250/300 = 0.8)

Page 7: Gagal Napas 1

Dengan demikian, mengikuti persamaan ini kita dapat melihat

bahwa peningkatan PaCO2 akang mengurangi PaO2, meskipun

hipoksemia yang dihasilkan tidak relevan. Misalnya, hipoventilasi

dengan PaCO2 65 mmHg akan menghasilkan:

differentiate between right or left ventricular failure because thepathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different. Inright ventricular failure the cause is due to pulmonary hyperten-sionwhilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be relatedto a desaturation of mixed venous blood or to the shunt effect dueto pulmonary oedema.5,14,15 Other common causes of hypoxaemiaof haemodynamic origin are hypovolaemia and anaemia.14,15

2.3. Alveolar hypoventilation

Minute volume (VE) is the amount of exhaled gas per minuteand is responsible for maintaining PaCO2 in the normal range (35e45 mmHg). It has two components: respiratory frequency (RF) andtidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:dead space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being thelast the efficient component for CO2 elimination.9

Remember that:

PaCO2 ¼ V 0CO2=V 0A

Being V0CO2 the CO2 production by the organism and V0A thealveolar ventilation. In this sense all causes producing alveolarhypoventilation carried CO2 retention (and hypercapnoea). Themost frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can beseen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2production (without a compensatory increase of V0A) and in cases ofincrease in VD/VT (see Table 3).

Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygenpressure (PaO2). Indeed, following the alveolar gas equation4,5,9:

PaO2¼ PiO2 " ½PaCO2=R$

Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship betweenCO2 production and O2 consumption: 250/300 ¼ 0.8).

This way, following the equation we can see that an increase inPaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is notrelevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHgwill produce:

PaO2 ¼ 150" ½65=0:8$ ¼ 150" 80 ¼ 70 mmHgðSpO2 > 90%Þ

If 30% oxygen is administered PaO2 will turn in 130 mmHg andPaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyper-capnoea, let’s say a PCO2 of 80 mmHg with 30% oxygen, the PaO2

will be 110 mmHg and undetectable by pulse oximetry(SpO2 > 98%).

Following all the above we could say that hypercapnoea doesnot produce significant hypoxaemia and that it can be reversed byincreasing FiO2 to 30%.

2.4. Hypoxaemia due to low FIO2

This hypoxaemia is not very important due to its infrequency.This may only happen at high altitude, when smoke is inhaled orduring fire where combustion produces oxygen consumption inbreathing air. Obviously, looking at the alveolar gas equation, a dropin PiO2 will produce a parallel drop in PaO2.9

2.5. Diffusion disorders

Another infrequent cause of hypoxaemia is the disorder of theability of the lung to transport oxygen into and out of the blood. It isproduced at the alveolar-capillary membrane level. Gas diffusesthrough this membrane due to a pressure gradient between thevenous blood and alveolar gas and a thickening of the membranecould slow down oxygen uptake and CO2 elimination. However, redblood cells are fully oxygenated after one third of its course in thealveolar capillary bed; this way despite a slow uptake, there is ahigh reserve in the transit time to reach the equilibrium. CO2elimination is even less affected because its diffusion capacity is 20times higher than the O2.5,12

Membrane thickening and diffusion disorders are produced inpulmonary fibrosis, asbestosis, pneumoconiosis, diffuse lung lymphgranulomatosis and other more uncommon diseases.9,12 Thesediseases do not produce hypoxaemia in resting conditions butduring exercise because tachycardia produces a reduction in thetransit time of the venous blood through the alveolar-capillarymembrane. However there are many other causes more frequentin anaesthesia that may produce hypoxaemia, for example the lossof alveolar-capillary surface due to pulmonary resections. Hypo-xaemia in pneumonectomized patients may appear after subse-quent interventions if patients become tachycardic.

3. Mechanical respiratory failure

Mechanical respiratory failure is characterized by a disorder ofeffective alveolar ventilation producing hypercapnoea with orwithout concomitant hypoxaemia. Causes of this disorder are manybut of particular importance are pathophysiological mechanismswhich cause alteration of the respiratory pump. The causes of thepump failure are organized below following the several compo-nents of the respiratory pump.4,7,9,17

3.1. Depression of the respiratory centre

Depression of the respiratory centre located in the medullaoblongata is a frequent cause of mechanical RF in anaesthesiabecause most hypnotic and analgesic drugs produce depression ofthe respiratory centre. In these cases respiratory dive is abolished

Table 1Causes of hypoxaemic respiratory failure.

1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect2. Severe haemodynamic dysfunction3. Alveolar hypoventilation4. Low FiO2

5. Diffusion impairment

Table 2Causes of increase in CO2 production.4,5

1. Burns2. Sepsis3. Agitation4. Exercise5. Hyperthermia6. Malignant hyperthermia7. Hypercaloric intake or carbohydrate rich diet8. Shivering, seizures, tremor

Table 3Causes of increase in VD/VT.16

1. Obstructive pulmonary diseases (emphysema.)2. Interstitial pulmonary diseases3. Acute reduction in cardiac output4. Pulmonary embolism5. Acute pulmonary hypertension6. Positive pressure ventilation, especially with PEEP

F.J. Belda et al. / Trends in Anaesthesia and Critical Care 3 (2013) 265e269266

Jika 30% oksigen diberikan PaO2 akan menjadi 130 mmHg

dan PaO2 akan diatas 100 mmHg. Bahkan pada kasus yang

hiperkapnia berat, katakanlah PCO2 80 mmHg dengan 30% oksigen,

PaO2 akan menjadi 110 mmHg dan tidak terdeteksi oleh pulse

oksimetri (SpO2 >98%).

Setelah semua hal diatas kita bisa katakan hiperkapnia tidak

menghasilkan hipoksemia yang signifikan dan bahwa hal itu dapat

dibalikkan dengan meningkatkan FiO2 sampai 30%.(3)

3.1.4 Penurunan tekanan parsial oksigen inspirasi

Hipoksemia ini tidak terlalu penting karena sangat jarang. Hal

ini hanya dapat terjadi ketika berada pada ketinggian, atau bila FiO2

rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana

sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). Jelas, melihat persamaan

gas alveolar, penurunan PiO2 secara paralel akan menghasilkan

penurunan PaO2.(3)

3.1.5 Kelainan difusi (impaired diffusion)

Penyebab hipoksemia yang jarang lainnya adalah gangguan

kemampuan paru-paru untuk mengangkut oksigen ke dalam dan

keluar darah. Hal ini dihasilkan pada tingkat membrana alveolar-

kapiler. Gas berdifusi melalui membran ini karena tekanan gradien

antara darah vena dan gas alveolar. Dalam keadaan normal, terdapat

waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedia

paru untuk mendapatkana kesetimbangan gas dengan alveolus.

Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalau

cepat sehingga tidak cukup bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami

kesetimbagnan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan

menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga disufi

oksigen melalui membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu

Page 8: Gagal Napas 1

transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Penebalan membran

dan gangguan difusi disebabkan oleh fibrosis paru, asbestoss,

pneumoconiosis, penyakit vaskular paru, pulmonary alveolar

proteinosis.(1, 3)

3.2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Napas Tipe II/Hiperkapnia)

Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk

mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan

ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau

hiperkapnia) disertai deng penurnan pH yang abnormal dan penurunan

PO2 atau hipoksemia.

4. Diagnosis

A. Tanda dan gejala

Manifestasi dari gagal napas mencerminkan gabungan dari

gambaran klinis penyakit yang mendasarinya, faktor pencetus, serta

manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran

klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi

pencetusnya (Tabel 2).

Tabel 2. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia(6)

Hipoksemia Hiperkapnia

Neurologis AnietasPerubahan status mentalKejangbingung

Somnolen dan letargiAsteriksTidak dapat tenangBicara kacauSakit kepalaPenurunan kesadaran

Kardiovaskular TakikardiAritmiaBradikardi dan hipotensi (jika memberat)

Vasodilaatasi periferTakikardiAritmia

Pernapasan TakipnuPenggunaan otot aksessoris pernapasan

Tanda obstruksi atau penyempitan jalan napas (cth: stridor, mengi)

Umum SianosisDiaporesis

Perifer hangat

Page 9: Gagal Napas 1

Tanda dan gejala hiposkemia merupakan akibat langsung dari

hipoksia jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk

menentukan adanya hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2

mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap

penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru.

Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis,

berupa sakit kepala, perubahan mental, gangguan dalam presepsi dan

penilaian, berbicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan

gelisah yang dapat berlanjut menjadi tidak sadar.(8) Respon

kardiovaskular terhadap hipoksemia awalnya berupa takikardi dan

peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap,

dapat terjadi bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan

aritmia. Hipoksemia dapat menyebabkan vasokontriksi pada

pembuluh darah paru-paru. Meskipun sianosis sering dianggap

sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat

diandalkan. Gejala klasik dispnea

Hiperkapnia yang terjadi dalam ruangan selalu disertai

hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah

penekanan sistem saraf pusat. Itulah mengapa hiperkapnia yang berat

kadang-kadang disebut sebagai narkosis CO2. hiperkapnia

mengakibatkan vasodilatasi serebral, peningkatan aliran darah

serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial. Akibatnya timbul

gejala yang khas, berupa sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu

bangun tidur pada pagi hari karena PaCO2 sedikit meningkat pada

waktu tidur. Tanda dan gejala lain adalah edema papil, iritabilitas

neuromuskular, perasaan yang berubah-ubah, dan rasa mengantuk

yang terus bertambah, yang akhirnya menuju penurunan kesadaran

dan koma. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan

yang paling kuat untuk bernapas, tetapi juga mempunyai efek

menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu,

orang dengan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap

peningkatan PaCO2 dan menjadi tergantung pada dorongan hipoksia.

Hiperkania menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru-paru,

Page 10: Gagal Napas 1

segingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi

CO2 sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas

miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal jantung dan hipotensi.

Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik yang sering

bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hipoksia. Campuran

ini dapat mengakibatkan penurunan yang serius dari pH darah. respon

kompensasi ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi

bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap normal.(2)

B. Laboratorium

Analisis gas darah

Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.

Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah

harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe

gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal

napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk

patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal

napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan

kesulitan respirasi adalah peningkatan laju pernapasan Sedangkan

kapasitas vital paru baik digunakan unutk menilai gangguan respirasi

akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Bare, dimana

kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.

Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu

gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi

jaringan.

C. Pemeriksaan penunjang

Pulse oximetry

Saturasi oksigen darah kapiler > 90% dianggap normal.

Penurunan SpO2 secara tiba-tiba <80% berhubungan dengan gagal

napas. Pada umumnya, pasien menunjukkan gejala klinis gagal napas

ketika SpO2 <90%. Bersamaan dengan pengukuran saturasi SpO2,

serum bikarbonat (HCO3) dapat menolong untuk menentukan apakah

Page 11: Gagal Napas 1

COPD dengan retensi karbon dioksida (HCO3 meningkat) yang

mendasari gagal napas tersebut atau adanya suatu asidosis (HCO3

menurun). Ketidakakuratan dapat terjadi dengan perfusi ujung jari

yang buruk. Masalah ini dapat diatasi dengan menempelkan probe ke

lobus telinga. Cat kuku, kulit yang berpigmen gelap, anemia,

pencahayaan yang terang, korboksihemaglobinemia, dan

methaemoglobinemia dapat juga menurunkan akurasi.(9)

Foto toraks

Harus dilakukan pada pasien dengan gagal napas dalam rangka

untuk membantu diagnosis penyebab. Gambaran infiltrat yang difus

pada foto toraks berhubungan dengan pneumonia, edema paru,

aspirasi, penyakit paru interstitial yang progresif, memar paru, dan

perdarahan alveolar. Perubahan minimal pada foto toraks sering

terlihat pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis, asma,

emboli paru dan depresi pernapasan. Foto toraks juga digunakan

untuk menilai pneumotoraks, kolpas paru dan efusi. Pada pasien asma,

hiperinflasi paru berhubungan dengan obstruksi saluran udara kecil

yang berat.

5. Diagnosis banding

Diagnosa banding gagal napas adalah edema paru dan acute

respiratory distress syndrome.

6. Penatalaksanaan

Gagal napas merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk

itu penanganannnya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum

di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),

dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal

napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas

adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan

Page 12: Gagal Napas 1

perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu

penyakit yang mendasari gagal napas tersebut.

Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan

nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya doperlukan kombinasi

keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung

ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan

pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.

6.1 Pengobatan nonspesifik

Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk

mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam

keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dulakukan pengobatan

spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.

6.1.1 Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya

untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal

napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien

sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan

tidak terangsang oleh hiperbaric drive melainkan terhadap hypoxemic

drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat

menjadi apnoe.(10)

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah

pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian

oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam

jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi

dan menghindari toksisitas.(11)

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang

dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.

Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak

diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi

ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu

pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen

diberikan dengan dosis yang dapat mengatasu hipoksemia dan

Page 13: Gagal Napas 1

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat

diberikan terus-menerus.(12)

Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu low-

flow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery (sistem arus

tinggi) (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem

arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul arus rendah

mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan

FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak

meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat

mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki

efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya

electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal

catheters, dan dibandingkan nasal kanul konvesional alat-alat tersebut

lebih efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury

mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat venturi mask

menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini

bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen

rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagl napas tipe 2,

bernapas dengan mask ini mengurangi risiko retensi CO2 dan

memperbaiki hioksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai,

dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan

arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai

40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total

kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen

dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian

FiO2 dan pasien dengan ventilasi abnormal.(11)

Tabel 3. Cara pemberian oksigen(11)

Alat 02 flow rate (L/m)

FiO2 Keuntungan Kerugian

Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :Low flow delivery devices :

Kanul nasal 2 - 6 0,24 - 0,35 Pasien nyaman FiO2 bervariasi dengan VE

Simple mask 4 - 8 0,24 - 0,40 - FiO2 bervariasi dengan VE

High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :High-flow delivery devices :

Page 14: Gagal Napas 1

Alat 02 flow rate (L/m)

FiO2 Keuntungan Kerugian

Venturi mask 2 - 12 0,25 - 0,50 FiO2 konstan dengan VE Aliran tidak adekuat pada FiO2 tinggi

Nonrebreathing mask 6 -15 0,70 - 0,90 FiO2 tinggi Tidak nyaman; FiO2 tidak dapat disesuaikan

High-flow O2 blender 6 - 20 0,50 - 0,90 FiO2 tinggi pada aliran total tinggi

6.1.2 Atasi Hiperkabia : Perbaiki Ventilasi

Jalan napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenisasi dan

pemberian obat-obatan pernapasan. PAda semua pasien gangguan

pernapasan harus dipikirkan dan diperikja adanya obstruksi jalan

napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti

endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas

artifisial dibandingkan jalan napas alami.(1, 11)

Risiko jalan napas aritifisial adalah trauma insersi, kerusakan

trakea (erosi), gangguan respon batuk, risiko aspirasi, gangguan fungsi

mukosiliar, risiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja

pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi

obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-

obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,

memfasilitasi penyedotan sekret, danrute bronkoskopi fiberoptik(1,

11)

Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah

oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan

napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas

artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada

Tabel 4.

Tabel 4. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik

Secara Fisiologis

a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

b. PaCO2 > 55mmHg dengan pH<7,25

c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular

Page 15: Gagal Napas 1

Secara Fisiologis

Secara Klinis

a. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas

b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik

c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi terletak di atas trakea)

d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien, dan butuh penyedotan

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi

endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon

terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu

dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi

tekanan positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-invasif,

NIPPV=NIV)(1, 11)

Ventilasi : Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik

Pada keadaan darurat bantuan napas dapat dilakukan secara

mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup

muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa

kantungnya untuk memasukkana udara ke dalam paru.

Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.

Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak

adekuatnya respon ventilasi pada bagian imbalan ventilasi-perfusi.

Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan

asidosis respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2 > 46

mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena kompensasi

metabolik. Pada pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi

mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif

yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan

yang lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode assist-

control atau synchronized intermittent ventilation dengan setting rate

sesuai dengan laju napas spontan pasien untuk menyakinkan

kenyamanan pasien.(13)

Page 16: Gagal Napas 1

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal

napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas

yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas

adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau

kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang

tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan

tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak

dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator

harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang

dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48

jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka

kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas

dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival

berhubungan sekali dengan diagnosa utama, usia, dan jumlah organ

yang mengalami kegagalan fungsi.(11)

6.1.3 Terapi supportif lainnya

Fisioterapi dada

Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret,

sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga unutk

tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila

perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan

telapak tangan pada saat inspirasi. PAsien melakukan batuk yang

efektif. Dilakukan juga tepuka-tepukan pada dada, punggung,

dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang

diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator(1)

Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)

Obat-obat ini lebih efektif diberikan dalam bentuk inhalasi

dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk

efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih

sedikit sehingga dosis besar dapat diberikans ecara inhalasi. Terapi

yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik

yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang

direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada

Page 17: Gagal Napas 1

nebulasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/

nebulasi jontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan

pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.

Diantara yang tersedia adalah elbuterol, metaproterenal, terbutalin.

Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan

hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung

iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walupun jarang

terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan

kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartment

ekstrasi ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta

adregenik(1, 11)

Antikolinergik/parasimpatolitik

Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung

pada drajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan

pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,

dibandingkan bronkitis kronik, dima tonus parasimpatis tampaknya

lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk

bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas,

antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta

adregergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered

dose inhaler) atau solusio untuk nebulasi. Efek samping jarang terjadi,

seperti takikardi, palpitasi, dan retensi urin.(1, 11)

Teofilin

Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.

Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,

daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung

dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki

potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi

yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status

mental, dan kejang.(1, 14)

Kortikosteroid

Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar

belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi

Page 18: Gagal Napas 1

saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid

serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir

selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa

hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid

akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan

perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian

kortikosteroid parenteral. (1, 6)

Page 19: Gagal Napas 1

Bibliography1.! Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 218-26.

2.! Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine. 2102;40(6):293–7.

3.! Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of respiratory failure. Trends in Anaesthesia and Critical Care. 2013;3(5):265-9.

4.! Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of acute respiratory failure. Critical care. 2003 Aug;7(4):288-90. PubMed PMID: 12930552. Pubmed Central PMCID: 270706.

5.! Burt CC, Arrowsmith JE. Respiratory failure. Surgery. 2009;27(11):475-9.

6.! Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery. 2012;30(10):518-24.

7.! West JB. Respiratory physiology e the essentials. 9th ed. Baltimore: Lippincott, Williams and Wilkins; 2012.

8.! Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and pathophysiologic aspects of respiratory failure. Principles of pulmonary medicine. 6 ed. Piladelphia: Elsevier; 2014. p. 344-50.

9.! Jubran A. Pulse oximetry. Critical care. 1999;3(2):R11-R7. PubMed PMID: 11094477. Pubmed Central PMCID: 137227.

10.! Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 161-5.

11.! Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JRE, editors. Current Diagnosis & Treatment Critical Care. 3rd ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2008. p. 247-313.

12.! Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients with chronic obstructive pulmonary disease: an old tool revisited. American journal of respiratory and critical care medicine. 2003 Nov 1;168(9):1021-2. PubMed PMID: 14581283.

13.! Neema PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anasthesia. 2003;47(5):360-6.

14.! Forte P, Mazzone M, Portale G, Falcone C, Mancini F, Silveri NG. Approach to respiratory failure in emergency department. European review for medical and

Page 20: Gagal Napas 1

pharmacological sciences. 2006 May-Jun;10(3):135-51. PubMed PMID: 16875048.