gagal ginjal

62
Gangguan Ginjal Akut I. Definisi Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yairu berupa kenaikan kadar kreatinin serum >0.3 mg/dl (> 26.4 umol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum >50% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat: 1. Sembuh sempurna 2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap l-4)

Upload: maya-jou-san-ismayanti

Post on 05-Sep-2015

58 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

ginjal, referat

TRANSCRIPT

Gangguan Ginjal AkutI. Definisi Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yairu berupa kenaikan kadar kreatinin serum >0.3 mg/dl (> 26.4 umol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum >50% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup.Perjalanan GGA dapat: 1. Sembuh sempurna2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap l-4)3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK (CKD tahap 1-4)4.Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal inidapat dilihat di gambar berikut.

Gambar 1. Natural history of AKI

II. KlasifikasiTabel 1. Klasifiksi RIFLEKatagori RIFLEKriteria Keratinin SerumKriteria UO

RiskKenaikan kratinin serum 1.5 nilai dasar atau penurunan GFR 25% < 0.5 mL/kg/jam for 6/jam

InjuryKenaikan kratinin serum 2.0 nilai dasar atau penurunan GFR 50%< 0.3 mL/kg/jam for 24/jam

FailureKenaikan kratinin serum 3.0x 5x nilai dasar atau penurunan GFR 75% atauNilai absolut kreatinin serum 4 mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mgAnuria 12 jam

AKIN criteriaKriteria kratinin serum Kriteria UO

Tabel 2. Klasifiksi AKINTahapKriteria kreatinin serum Krteria produksi urin

1Kenaikan kreatinin serum 0.3mg/dl (26.4 mol/l) atau kenaikan 150% to 200% (1.5-2x ) dari nilai dasarKurang dari 0.5 ml/kg per jam lebih dari 6 jam

2Kenaikan kreatinin serum >200%-300% (> 2-3x) dari kenaikan dasar keratinin serum 200%-300% (>2-3x ) dari nilai dasarKurang dari 0.5 ml/kg per jam lebih dari 12 jam

3Kenaikan kreatinin serum >300 (>3x) dari kenaikan dasar atau serum keratinin 4.0 mg/dl ( 354 mol/l) with an acte increase of at least 0.5 mg/dl (44 molKurang dari 0.5 ml/kg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam

Gamabar 2. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI

III. Epidemiologi Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.

IV. EtiologiEtiologi acute kidney injury dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: Pre-renal failure Intrinsic renal failure Post-renal failure

a. Gagal ginjal prerenal Gagal ginjal prerenal adalah bentuk yang paling sering dari gagal ginjal akut dan merupakan respon fisiologik terhadap hipoperfusi ginjal. Gagal ginjal prerenal dapat dengan cepat direversibel dengan mengembalikan laju darah ke ginjal dan tekanan ultrafiltrasi glomerulus. Jaringan parenkim ginjal tidak mengalami kerusakan, akan tetapi hipoperfusi yang berat dapat menyebabkan iskemia pada jaringan parenkim ginjal dan menjadi gagal ginjal intrinsik. Oleh karena itu, gagal ginjal prerenal dan gagal ginjal intrinsik yang disebabkan oleh iskemia adalah bagian dari manifestasi yang luas pada hipoperfusi ginjal. Gagal ginjal prerenal dapat disebabkan oleh hipovolemia, penurunan curah jantung, vasodilatasi sistemik dan vasokonstriksi ginjal yang selektif. (Harrison, 2003)Hipovolemia dapat disebabkan oleh perdarahan, kehilangan cairan melalui gastrointestinal, dehidrasi, diuresis yang berlebihan, pankreatitis, luka bakar, trauma, dan peritonitis. (Current, 2001)Penurunan dari curah jantung dapat disebabkan oleh syok kardiogenik, gagal jantung, emboli paru, dan perikardial tamponade. Aritmia dan kelainan katup dapat juga mengurangi curah jantung. Di ruangan ICU ventilasi dengan tekanan positif akan menurunkan aliran balik vena yang akhirnya akan menyebabkan penurunan curah jantung. (Current, 2001)Perubahan pada resistensi vaskuler dapat terjadi secara sistemik dengan terjadinya sepsis, anafilaktik, anestesi, dan obat-obatan yang menurunkan afterload. ACE inhibitor akan mencegah vasokonstriksi dari arterioral efferen ginjal sehingga menurunkan laju filtrasi ginjal. NSAIDs akan mencegah vasodilatasi dari pembuluh arteriol afferen dengan cara menginhibisi sinyal yang di mediasi oleh prostaglandin. Sehingga pada sirosis dan gagal jantung dimana prostaglandin digunakan untuk meningkatkan aliran darah ginjal, NSAIDs memiliki efek yang berlawanan. Epinefrin, norepinerfrin, obat-obat anestesi dan siklosporin dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal, stenosis dari arteri ginjal(arteri renal) akan meningkatkan resistensi dan menurunkan perfusi. (Current, 2001)Pengelolaan dari gagal ginjal prerenal sangat bergantung pada penyebabnya, akan tetapi mempertahankan euvolemia dan memperhatikan kadar potasium serum dan meghindari obat-obatan yang bersifat nefrotoksik merupakan gold standard dari pengobatan. Hal ini berhubungan dengan penilaian status volume penggunaan obat-obatan dan fungsi jantung.b. Gagal Ginjal Intrinsik Gagal ginjal intrinsik dapat merupakan komplikasi pada penyakit-penyakit di jaringan parenkim ginjal. Dari segi patologi klinik, gagal ginjal intrinsik dibagi menjadi:1. Penyakit pembuluh besar renal2. Penyakit mikrosirkulasi renal dan glomeruli3. Iskemik dan nefrotoksik4. TubulointerstitialSebagian besar dari gagal ginjal intrinsik dipicu oleh iskemik dan nefrotoksin yang dapat menyebabkan kerusakan sehingga memicu terjadinya nekrosis tubuler akut. (Harrison, 2003)c. Gagal Ginjal PostrenalGagal ginjal postrenal jarang ditemukan. Diperkirakan hanya terdapat 5 % dari seluruh kasus gagal ginjal akut. Hal ini terjadi apabila aliran urin dari kedua ginjal terobstruksi. Masing-masing nefron memiliki tekanan intraluminal yang meningkat sehingga laju filtrasi glomerular menurun.(Current,2001)Gagal ginjal postrenal dapat disebabkan oleh obstruksi uretra, disfungsi atau obstruksi dari kandung kemih dan obstruksi dari kedua ureter dan pelvis renal. Pada laki-laki, Benign Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan penyebab tersering. Pasien yang mengkonsumsi obat-obatan kolinergik memiliki faktor resiko. Penyebab yang jarang ditemukan adalah batu uretra bilateral, batu uretra atau striktur uretra dan nekrosis papillary bilateral. Pada pasien yang memiliki hanya satu ginjal, obstruksi tunggal pada ureter dapat menyebabkan gagal ginjal postrenal. (Current,2001)Pasien yang anuria ataupun poliuria dan mengeluh nyeri pada perut bawah patut untuk dicurigai. Obstruksi dapat bersifat menetap ataupun hilang timbul. Pada pemeriksaan, dapat ditemukan prostat yang membesar, kandung kemih yang mengembang atau ditemukannya massa pada daerah pelvis. Pada pemeriksaan laboratorium, pada awalnya akan menunjukkan osmolalitas urin yang meninggi, penurunan sodium urin, dan peningkatan rasio BUN: kreatinin. Setelah beberapa hari sodium urin akan meningkat sejalan dengan gagalnya ginjal untuk berfungsi dan tidak mampu untuk mengkonsentrasikan urin sehingga isotenuria tampak. Sedimen urin biasanya ringan. Pasien dengan gagal ginjal akut dan dicurigai gagal ginjal postrenal harus melakukan ultrasonografi dan kateterisasi kandung kemih apabila hidroureter dan hidronefrosis tampak bersamaan dengan pembesaran kandung kemih. Pasien-pasien ini harus melalui diuresis post obstruktif dan harus diperhatikan pencegahan terhadap dehidrasi. Pengobatan yang tepat untuk obstruksi ini dengan menggunakan kateter dapat memberikan hasil reversibel yang komplit pada proses akut.

IV. PatofisiologiAda tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)3. Obstruksi renal akut (post renal)- Bladder outlet obstruction (post renal)- Batu, trombus atau tumor di ureter

a. Gagal Ginjal Akut Pre Renal Gagal Ginjal akut prerenal merupakan kelainan fungsional,tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron yang paling sering menyebabkan gagal ginjal akut (GGA) karena adanya ketidakseimbangan aliran darah ginjal (renal blood flow) yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) karena penurunan tekanan filtrasi. Aliran darah ginjal walaupuin berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Sebetulnya menggambarkan respon fisiologis terhadap hipoperfusi ginjal ringan hingga sedang.Hipoperfusi disebabkan adanya vasokonstriksi renal, hipotensi, hipovolemia, perdarahan, atau ketidakmampuan curah jantung (gagal jantung).Gagal ginjal akut prerenal dapat menjadi gagal ginjal kronik karena keadaan stress yang tiba-tiba pada fungsi ginjal yang sudah mulai menurun. Kegagalan untuk mengemablikan volume darah atau tekanan darah dapat mengakibatkan nekrosis tubular akut atau nekrosis kortikal akut.

b. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :1. Pembuluh darah besar ginjal2. Glomerulus ginjal3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut4. Interstitial ginjalGagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut disebakan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin

c. Gagal Ginjal Akut Post RenalKeadaan ini jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan obstruksi saluran kemih yang mengenai kedua ginjal (Bladder outlet obstruction). Obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan intra luminla disertai laju filtrasi glomerulus yang menurun secara bertahap.Manifestasi klinis yang terjadi adalah sakit pinggang dengan anuria yang berlangsung beberapa jam kemudian disertai poliuria. Penyebab gagal ginjal akut postrenal dapat disebabkan oleh tindakan pemasangan kateter yang dapat memnyebabkan edema pada lumen tubular

PatogenesisPada keadaan hipoksia atau iskemia, cadangan ATP dan aktifitas ATP-ase akan diikuti penurunan cadangan energi dari sel-sel. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan transport ion keluar dan masuk ke dalam sel terutama Na, K, dan Ca. (Enday Sukandar,2006)Perubahan transport ion-ion menyebabkan kenaikan konsentrasi ion Na intrasel dan K ekstrasel, diikuti depolarisasi membran sel. Di dalam sel mitokondria akan menangkap Ca, tetapi jumlah Ca yang berlebih akan merusak dan menimbulkan pembengkakan serta lisis membran mitokondria, klasifikasi, dan pembentukan matriks yang amorf dan menimbulkan kerusakan mitokondria. (Enday Sukandar,2006)Pada keadaan normal asam amino intrasel lebih tinggi daripada ekstrasel untuk mempertahankan berbagai macam jejas, tetapi pergeseran asam amino ke ruang ekstraseluler dapat menyebabkan penurunan konsentrasi glisin yang dianggap sebagai pelindung sel sehingga sel akan lebih rentan terhadap berbagai jejas. Kerusakan sel-sel (nekrosis atau disfungsi) berhubungan dengan beberapa keadaan patologi berikut:a). Kenaikan asupan kalsium (Ca) seluler akibat kerusakan membran selb). Penurunan keluaran Ca akibat gangguan sintesis mitokondriac). Gangguan peranan mitokondria yang bertindak sebagai buffer Ca.Semua keadaan patologi tersebut menyebabkan kenaikan sistolik Ca, diikuti perubahan hemodinamik ginjal dan kerusakan sel-sel epitel tubulus ginjal. (Enday Sukandar,2006)

V. Gambaran KlinikPada pasien dengan azotemia harus diperiksa untuk menentukan apakah gagal ginjalnya akut atau kronik. Suatu proses akut disimpulkan bila hasil pemeriksaan lab yang baru dikerjakan memperlihatkan peningkatan BUN dan kreatinin serum tetapi pemeriksaan sebelumnya biasanya tidak ada kelainan. Jika diagnostik GGA telah ditegakkan, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan, yakni: 1). Identifikasi penyebab GGA, 2). Eliminasi faktor pencetus 3). Pencegahan dan pengelolaan komplikasi uremia.(Harrison 2003)Oligouria (urin < 400 mL/hari) mulai terjadi sehari setelah hipotensi dan berlangsung hingga 1-3 minggu, namun regresi dapat terjadi dalam beberapa jam atau berlanjut hingga beberapa minggu tergantung dari durasi iskemia atau beratnya luka karena toksin. Anuria (output urin < 100 mL/hari) jarang terjadi pada nekrosis tubuler akut dan 10-20 % kasus tidak mengalami oligouria. Anuria menggambarkan oklusi arteri renalis bilateral, uropati obstruktif, atau nekrosis kortikal akut. Keadaan non oligouria biasanya menunjukkan luka yang kurang berat. Output urin dapat bervariasi, namun peningkatan kadar ureum maupun kreatinin dapat terjadi.Manifestasi awal lain tergantung pada penyebab dari gagal ginjalnya. Individu post trauma atau pembedahan dalam kondisi katabolic mungkin akan meningkat lebih cepat ureumnya. Mereka rentan terhadap hiperkalemia atau hiperfosfatemia karena pemecahan sel. Aritmia dapat terjadi karena hiperkalemia. Retensi cairan dapat menyebabkan edema. Gejala gagal jantung kongestif dapat berkembang pada penderita penyakit jantung. Mual, muntah dan rasa letih dapat menyertai gangguan keseimbangan elektrolit dan uremia. Efusi pericardial juga dapat terjadi dan ditemukan pericardial friction rub. Efusi dapat menyebabkan tamponade. Penyembuhan luka terhambat, dan resiko terjadi infeksi terutama pneumonia menjadi lebih besar.

VI. Pemeriksaan Klinika. Gambaran klinik Pre renal ARF:- Rasa haus- Hipotensi ortostatik- Takikardi- Penurunan tekanan vena jugularis- Penurunan turgor kulit - Selaput lendir kering- Berkurangnya keringat aksila- Data penurunan secara progresif output urin dan baru saja mendapat pengobatan NSAIDs, ACE Inhibitors, Angiotensin II receptor blocker.Diagnosis azotemia pre renal hanya dapat dibuat bila perbaikan perfusi ginjal mengakibatkan resolusi ginjal.( Harrison,2003)b. Gambaran klinis Renal ARFDisebabkan oleh iskemia yang mungkin dijumpai pada GGA dengan hipoperfusi ginjal yang lama dan berat sebagai komplikasi hipovolemia atau syok septic atau operasi mayor. Diagnosis GGA nefrotoksik perlu riwayat data klinis, catatan farmasi, perawatan dan radiologik terapi nefrotoksik atau penggunaan zat radiokontras.Walaupun GGA iskemia dan nefrotoksik terjadi lebih dari 90 % pada intrinsic renal ARF, penyakit parenkim ginjal lainnya perlu dipertimbangkan. Nyeri tumpul tampak dominan pada penyumbatan arteri dan vena renalis akut, pada pielonefritis akut, dan glomerulonefritis nekrosis akut. Nodul subkutan kemih, collecting system dan capsule. Nyeri kolik tumpul yang menjalar ke paha,plak arteriola retina berwarna orange dan iskemia digital meski teraba nadi di kaki, memberi kesan ateroembolisme. GGA yang dengan oliguri, edema, hipertensi dan sediment urin yang aktif ( sindroma nefritis) memberi kesan glomerulonefritis perlu dicari tahu pemyebab sekunder ( SLE, endokarditis bakterialis, krioglobulinemi). Demam, artralgia, dan ruam eritomatosa pruritus memberi kesan nefritis interstitial alergik, meskipun gambaran hipersensitivitas sistemik sering tampak.c. Gambaran Klinis post-renal ARFDapat asimptomatik bila obstruksi berjalan lambat, nyeri pinggang atau suprapubik dijumpai bila ada distemsi akut pada kandung mberi kesan obstruksi ureter akut. Diagnosa definitif azotemia pasca renal biasanya bergantung pada adanya penggunaan pemeriksaan radiologik dan perbaikan fungsi ginjal yang cepat bila obstruksinya dihilangkan.

UrinalisisAnuria komplit menunjukkan obstruksi total saluran kemih, tetapi dapat menimbulkan komplikasi GGA pre renal atau intrinsic yang berat. Fluktuasi yang besar dalam jumlah urin yang diproduksi memberi kesan obstruksi intermitten danpasien dengan obstruksi saluran kemih parsial dapat menderita poliuri akibat gangguan mekanisme konsentrasi urin sekunder.(Harrison,2003)GGA pre renal, sediment urin khas aseluler, dapat mengandung silinder hialin. Hyaline casts dibentuk dalam urin yang terkonsentrasi dan unsur urin yang normal, terutama protein Tamm-Horsfall yang normalnya disekresikan oleh sel epitel Ansa Henle. GGA post renal memiliki sediment inaktif, meski hematuri dan piuria lazim dengan penyakit prostate dan obstruksi intra lumen. Silinder granular pigmen (muddy brown) dan silinder yang mengandung sel epitel tubulus adalah ciri khas nekrosis tubulus dan memberi kesan GGA iskemik atau nefrotoksik. Silinder eritrosit menunjukkan cidera glomerulus akut. Silinder leukosit dan silinder granuler tidak berpigmen memberi kesan nefritis interstitial dan sillinder granuler yang lebar dari penyakit ginjal kronik mungkin disebabkan oleh fibrosis interstitial dan dilatasi tubulus. Eosinofiluria (lebih dari 5 % leukosit urin) umumnya ditemukan pada nefritis interstitial alergik yang diinduksi antibiotic. Eosinofiluria dapat terjadi pada GGA ateroembolisasi. Krisstal asam urat terdapat pada pasien azotemia prerenal, tapi bila jumlahnya banyak kesan nefropati urat akut.

VIII. Pemeriksaan Penunjang Diagnosa 1. Pemeriksaan laboratoriumAnalisa urin rutin: proteinuria positif 1-3, silinder titik kasar, macam-macam sel ( debris, leukosit,eritrosit), berat jenis.Analisa urin khusus : natrium, ureum, kreatinin, osmolaritas, fibrin degradation product (FDP)Biakan rutin2. Pemeriksaan DarahDarah rutin : Hb, Leukosit, laju endap darah, Ht, morfologi darah tepi.Darah Khusus : FDP serum, trombosit, fibrinogen, waktu protrombin.Faal Ginjal : Laju Filtrasi Glomerulus( ureum dan kreatinin serum), Penjernihan kratinin ( creatinin clearance), faal tubulus.3. Pemeriksaan EKG rutin pada pasien gagal ginjal akut.Pemeriksaan ini penting untuk menentukan diagnosis dan tindak lanjut hiperkalemia.4. Prosedur Pencitraan ginjalBeberapa prosedur pemeriksaan ginjal seperti foto polos perut, USG ginjal dan saluran kemih. CT scan dan renografi hippuran, sangat penting untuk menentukan diagnosis banding : a. Nekrosis akut tubular (nefropati vasomotor)b. Nefrosis akut tubular nefrotoksikc. Gagal ginjal akut glomerulopatid. Nefropati obstruktif akut (GGA post renal).

Pendekatan DiagnosisPada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.

Pemeriksaan KlinisPetunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig- mata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostover- tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.

Pemeriksaan PenunjangDari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial.Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4).

Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi)Indeks DiagnosisAKI PrarenalAKI Renal

UrinalisisSilinder hialinAbnormal

Gravitasi Spesifik>1,020~1,010

Osmolalitas Urin (mmol/kgH20)>500~300

Kadar natrium utin (mmol/L)40)

Fraksi eksresi natrium (%)1

Fraksi eksresi urea (%)35

Rasio Cr Urin/Cr plasma>40815 mmol/l dan pH arteri > 7,2)

5. Hiperfosfatemia Batasi intake fosfat (800mg/hari) Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat, alumunium HCI, sevalamer

6. Hipokalsemia Beri Kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc)

7. Hiperuriksemia Tidak perlu terapi bila kadar asam urat 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, degan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau uri, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit.1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG lebih dari 60 ml/menit1,73 m2, Tidak termasuk kriteria pnyakit ginjal kronik.

II. Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai berikut:LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x berat badan *) 72 x kreatinin plasma (mg/dl)*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2.Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakitDerajatPenjelasanLFG (ml/mnt/1,73 m2)

1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat 90

2Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan60 - 89

3Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang30 59

4Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat15 29

5Gagal ginjal< 15 atau dialisis

III. EpidemiologiDi Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.

IV. Etiologi Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

V. Patofisiologi CKDPenyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa. Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masingmasing memiliki kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag. Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron. Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen. Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD. Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH. Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zatzat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal. Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatalgatal. Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung. Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448)

Gambar 1 Patofisiologi CKD. Dikutip dari: Pathophysiology.org

Gambar 2. Patofisiologi

VI. Penegakan DiagnostikGambaran KlinisGambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia^ yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, praritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

Gambaran LaboratorisGambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan Kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran RadiologisPemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi GinjalBiopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan.histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinerik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas

VII. PenatalaksanaanPenatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan drajatnya, dapat dilihat pada taber berikut:

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya:Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.Pencegahan dan terapi kondisi komorbidPenting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid {superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.Menghambat perburukan fungsi ginjalFaktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 2,5 kali normal.

Pembatasan Cairan dan ElektrolitPembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

Brady HR, Brenner BM. 2003. Acute Renal Failure. Harrisons Principal of Medicine 15th edition. Volume II. Chapter 269. Halaman 1541-1550. USA. The Mcgraw-Hill Companies. Needham, Eddie. 2005. Acute renal failure. American Family Physician Volume 72. Nomor 9. diakses dari : www.aafp.org/afpSinto, Robert., Nainggola, Ginova. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. Majalah Kedokeran Indonesia Vol. 60 No.2Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal Akut. Nefrologi Klinik. Bab VI. Halaman 284-320. Bandung : Penerbit ITBSudoyo, Aru W dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam edisi V. Interna Publishing, Jakarta.