fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan …/fungsi... · pendidikan program studi...

103
1 FUNGSI PARTAI POLITIK SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENYIKAPI GOLONGAN PUTIH (Absentia Voter) DI TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA XII SONDAKAN PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 (Studi pada Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakata) Oleh : WAHYU JATMIKO NIM : K6405040 Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: trananh

Post on 15-Mar-2019

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

FUNGSI PARTAI POLITIK SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN POLITIK

UNTUK MENYIKAPI GOLONGAN PUTIH (Absentia Voter) DI

TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA XII SONDAKAN PADA

PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009

(Studi pada Dewan Pengurus Daerah

Partai Keadilan Sejahtera

Kota Surakata)

Oleh :

WAHYU JATMIKO

NIM : K6405040

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi di dunia. Pemilihan

umum (pemilu) menjadi indikator sebuah negara demokratis. Pemilu merupakan

pesta akbar bagi rakyat Indonesia untuk menentukan masa depan Indonesia.

Penyelenggaraan pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, bahwa ”Pemilihan

umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan

rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Di Indonesia terdapat beberapa macam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu)

salah satunya yaitu Pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat baik

ditingkat daerah maupun pusat.

Pemilu merupakan sebuah sarana untuk mengisi jabatan-jabatan politik

dalam pemerintahan berdasarkan pada pilihan warga negara yang sudah

memenuhi syarat. Syarat warga negara yang mempunyai hak pilih diatur dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, Pasal 19 menyatakan bahwa ”Warga Negara Indonesia yang pada hari

pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau

sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”. Hal tersebut berarti bahwa semua

warga negara yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih mempunyai hak untuk

memilih dalam hal ini memilih para calon legislatif (caleg) untuk mengisi jabatan

pada lembaga legislatif. Hal tersebut berarti juga rakyat terlibat secara langsung

dalam menciptakan perubahan politik, khususnya menciptakan sirkulasi elite,

melalui rekrutmen elite politik baru melalui mekanisme pemilu. Dari segi itulah

terlihat sangat jelas pentingnya partisipasi politik dalam pemilu, yang merupakan

salah satu perwujudan dari partisipasi politik dalam demokrasi.

3

Pemilu dapat dijadikan sebagai salah satu parameter dari sebuah negara

yang demokratis. Hal tersebut berarti negara atau pemerintahan yang demokratis

tidak terlepas dari kualitas dari penyelenggraaan pemilu. Seperti yang

diungkapkan oleh Kenneth Janda et al (1992 : 239) bahwa :

The heart of democratic government lies the electoral process. Elections are important to democracy for their potential to institusionalize mass participation in government according to the three normative principles for procedural democracy discussed in Chapter 2. Electoral rules specify (1) Who is allowed to vote, (2) How much each person’s vote counts, and (3) How many votes are needed to win.

Menurut Kenneth Janda seperti diatas, inti dari sebuah pemerintahan

yang demokratis terletak pada proses pemilu. Pemilu adalah yang terpenting

dalam demokrasinya sebuah negara, terletak pada partisipasi masyarakat dalam

pemerintahan sesuai dengan tiga prinsip dasar piagam prosedur demokrasi Bab 2

tentang peraturan-peraturan pemilu disebutkan yang (1) Siapa yang diijinkan

untuk memilih, (2) Berapa banyak masing-masing pemilih memberikan suaranya,

(3) Berapa banyak jumlah suara yang diperlukan sebagai pemenang. Hal tersebut

dapat diartikan bahwa partisipasi rakyat dalam proses pemilu sangat penting

sekali. Besar kecilnya partisipasi rakyat dalam pemungutan suara memang tidak

bisa dijadikan tolak ukur sah tidaknya pemilu, akan tetapi besar kecilnya

partisipasi rakyat dalam pemilu berpengaruh terhadap legitimasi politik yang

dihasilkan dalam pemilihan umum tersebut. Begitu juga partisipasi rakyat dalam

penyelenggaraan pemilu legislatif sangat penting sekali terhadap legitimasi politik

kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat karena salah satu fungsi

yang paling mendasar dalam pemilu yaitu memberi legitimasi politik atau

kekuasaan. Memberikan hak pilih dalam pemilu memang bukan sebuah

kewajiban, akan tetapi menggunakan hak pilih berarti seseorang telah ikut ambil

bagian dalam proses perubahan politik. Begitu juga dalam penggunaan hak pilih

dalam pemilu legislatif, seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya pada

saat pemungutan suara berarti seseorang tersebut tidak menggunakan sebuah

kesempatan dalam proses perubahan politik dalam hal ini perubahan elite wakil-

wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan.

4

Di Indonesia telah dilakukan pemilu sebanyak sepuluh kali mulai tahun

1955 sampai dengan tahun 2009. Dalam penyelenggaraan pemilu tersebut

diketahui bahwa angka partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya dari

tahun-ketahun terus mengalami penurunan mulai pada tahun 1992, untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Fenomena Golongan Putih dari Pemilu 1955 - 2004

Pemilu Terdaftar Suara sah Tidak hadir Angka AV (%)

Kenaikan

1955 43.104.464 37.785.229 5.319.165 12,34 1971 58.556.776 54.669.509 3.889267 6,67 (-)5,67

1977 69.871.092 63.998.344 5.872.267 8,40 (+)1,73

1982 82.134.195 75.126.306 7.007.889 9,61 (+)1,21

1987 93.737.633 85.869.816 7.867.817 8,39 (-)0,22

1992 107.565.697 97.789.534 9.776.163 9,05 (+)0,26

1997 124.740.987 112.991.150 11749.837 10,07 (+)1,02

1999 117.815.053 105.786.661 12.028.392 10,4 (+)0,34

2004 148.000.369 113.462414 34.537.955 23,34 (+)13,30

* Di dalam angka-angka ini yang dimaksudkan dengan Golput adalah para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ditambah dengan suara yang tidak sah.

Sumber: Asfar, M., Presiden Golput, JP Press, Surabaya, 2004:5.Asfar (2004:5)

Sedangkan hasil penghitungan perolehan suara partai politik pemilu

legislatif 2009 yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 sebagai berikut :

Tabel 2. Perolehan Suara Partai 10 Besar Hasil Pemilu Legislatif 2009 dari KPU.

No Nama Partai Politik Perolehan Suara 1. P. Demokrat 20,85% 2. GOLKAR 14,45% 3. PDIP 14,03% 4. PKS 7,88% 5. PAN 6,01% 6. PPP 5,32% 7. PKB 4,94% 8. GERINDRA 4,46% 9. HANURA 3,77% 10. PBB 1,79% Suara tidak memilih 29,01%

5

Suara tidak sah 16,75% Suara Sah Pemilu Legislatif 2009 104.099.785

Sumber : http://www.ylbhi.or.id · http://www.dishub-surakarta.co.cc/ ...

Hasil akhir penghitungan suara nasional yang dilakukan oleh KPU Pusat

pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009, jumlah golongan putih menunjukkan

peningkatan sejumlah ada 29,01% warga yang mempunyai hak pilih tidak

menggunakan hak pilihnya. Dan ini lebih besar dari partai peraih nomor 1 pemilu,

Partai Demokrat yang hanya meraih 20,85 %. Demikian pula suara tidak sah

mencapai 16,75% dibanding juara kedua Partai Golkar yang meraih 14,45% suara.

(Koran Target, http://korantarget.wordpress.com/2009/05/10/hasil-akhir-pemilu-

legislatif-2009-juara-1-tetap-golput-juara-3-suara-tidak-sah/, Diakses pada 10 Mei

2009).

Golongan putih merupakan bentuk sikap protes terhadap mekanisme atau

sistem politik yang sedang berjalan baik dengan cara tidak hadir ke TPS pada saat

dilakukannya pemungutan suara maupun pemilih yang hadir ke TPS tetapi tidak

menggunakan hak pilihnya dengan benar. Seperti yang diungkapkan oleh Asfar

(2004 : 11-12 ) konsep golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut :

Pertama, Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes; Kedua, Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan; Ketiga, Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Sementara konsep non-voting ditujukan pada perilaku tidak memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Namun kedua kedua istilah tersebut menunjuk pada hasil perbuatan yang sama, yakni hak pilihnya tidak digunakan dengan benar.

Menjelang pemilu tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa

kelompok generasi muda yang dimotori oleh Arief Budiman, terutama dikalangan

mahasiswa untuk meboikot pemilu sebagai bentuk aksi protes terhadap dominasi

politik Golkar yang didukung oleh militer dan pemerintah yang dirasakan tidak

adil. Istilah golput kemudian populer dilekatkan pada mereka yang tidak

menggunakan hak pilihnya dalam pemilu baik karena kesengajaan maupun tidak.

Seiring dengan perkembangan demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia dari

tahun-ketahun jumlah golput dalam pemilu terus mengalami peningkatan. Bagi

negara-negara yang tingkat kehadirannya pemilihnya cukup tinggi, mungkin tidak

6

begitu merisaukan persoalan rendahnya kehadiran pemilih dalam pemilu. Namun,

bagi negara-negara yang tingkat ketidak hadiran pemilih cukup tinggi, sebagian

elite politik, pengamat politik, maupun pemerintah yang sedang berkuasa

menganggap cukup mengkhawatirkan seperti halnya di Indonesia pada tahun 2009

mencapai angka 45,76%.

Meningkatnya jumlah golput pada pemilu legislatif dapat disebabkan

karena tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan

anggota dewan menyebabkan sikap antipati pada sebagian kelompok terhadap

partai politik. Tingginya tingkat ketidak percayaan masyarakat terhadap partai

politik dan anggota dewan tidak terlepas dari penilaian masyarakat terhadap

anggota dewan baik secara perorangan maupun kelembagaan tidak pernah

menunjukkan kinerjanya sebagai lembaga perwakilan rakyat secara baik. Hasil

pemilu yang dilaksanakan pada periode lima tahun sebelumnya sangat

berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat pada pemilu periode lima tahun

mendatang. Meningkatnya angka golput dalam setiap pemilu menyebabkan

banyak kekhawatiran terutama bagi pemerintah yang sedang berkuasa.

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, apabila ditinjau secara teoritis

ketidakhadiran pemilih dimaknakan sebagai indikator lemahnya legitimasi rezim

yang sedang berkuasa. Sehingga suara golput bisa dimaknakan sebagai

ketidakpercayaan pada pemerintahan yang sedang berjalan. Seperti halnya pada

masa pemerintahan untuk meminimalisir meningkatnya angka golput pada pemilu

2004 Presiden Megawati berulang kali menyerukan rakyatnya agar menggunakan

hak suaranya.

Tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu tidak

terlepas dari pelaksanaan pendidikan politik masyarakat tersebut. Pendidikan dan

politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik

negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian

yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak memiliki hubungan apa-apa.

Padahal, keduanya saling berhubungan yaitu saling bahu-membahu dalam proses

pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lembaga-lembaga dan

proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik

7

masyarakat di negara tersebut. Salah satu lembaga pendidikan yang sangat penting

sekali dalam proses pendidikan politik masyarakat yaitu partai politik. Untuk

meminimalisir jumlah golput pada pemilu berikutnya selain pemerintah dan KPU

selaku penyelenggara pemilu di Indonesia, partai politik juga mempunyai peran

yang sangat penting dalam hal tersebut. Hal tersebut sangat berkaitan dengan

peran partai politik dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana pendidikan

politik bagi anggota maupun masyarakat. Pendidikan politik bertujuan untuk

membangun kesadaran politik masyarakat. Sehingga apabila dikaitkan dengan

golput, maka bahwa pendidikan politik mempunyai tujuan yaitu membangun

kesadaran dan partisipasi politik rakyat, sehingga masyarakat akan lebih mengerti

arti pentingnya partisipasi politik rakyat dalam pemberian suara dalam pemilu dan

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam rangka

membangun kesadaran politik masyarakat, pendidikan politik tidak hanya

ditujukan kepada masyarakat yang masih terbelakang pengetahuan politiknya,

akan tetapi juga ditujukan kepada masyarakat yang sudah ”melek” politik. Selain

itu pendidikan politik juga harus diberikan kepada generasi muda yang menjadi

penerus memperjuangkan bangsa ini. Pendidikan politik harus dilaksanakan

secara sistematis dan intensif.

Salah satu partai yang secara resmi lolos menjadi peserta pemilu tahun

2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai Keadilan Sejahtera

merupakan penggabungan dengan Partai Keadilan (PK), yaitu partai berbasis

Islam dalam pemilu 1999 yang tidak memenuhi electoral threshold sehingga

harus berganti nama. Perolehan PKS sebesar 7,88% dalam pemilu legislatif 2009

secara nasional, bila ditelisik perolehan suara PKS adalah karena politik

pencitraan yang sangat bagus di hadapan publik dan sistem pengorganisasian

partai yang rapi. Di tengah apatisme publik terhadap partai politik, PKS tampil

dengan selogan sebagai ”partai yang bersih”. PKS berusaha menumbuhkan

kepercayaan publik bahwa berpolitik tidak harus ”kotor”. Selain itu, kader-kader

PKS secara aktif juga berusaha masuk dalam berbagai lini masyarakat. Kader-

kader PKS aktif melakukan rekruitmen anggota dan berbagai aktifitas simpatik

kemasyarakatan yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada mereka.

8

Nama PKS sudah tidak asing lagi dalam mengisi dunia perpolitikan di Indonesia.

Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai da’wah penegak keadilan dan

kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Partai Keadilan

Sejahtera juga mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik

secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat

Indonesia yang madani. PKS sebagai partai baru peserta pemilu mampu menarik

perhatian ribuan masa di berbagai daerah di Indonesia. PKS mempunyai peran

yang sangat penting serkali dalam mewujudkan kesadaran dan partisipasi politik

masyarakat. Melalui kursus-kursus pendidikan politik yang dilakukan yaitu

menanamkan ideologi dan loyalitas kepada negara dan partai. Pendidikan politik

berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga

masyarakat atau melatih warga masyarakat menjalankan peran-peran politik

tertentu. Dengan pendidikan politik diharapkan setiap orang menjadi warga

masyarakat yang sadar politik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban dalam

kehidupan bersama.

PKS salah satu partai yang anggota dewan dan kadernya terdapat

diberbagai daerah di Indonesia salah satunya di wilayah Surakarta yang jumlah

kadernya terhitung banyak, hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh karena

mayoritas penduduknya beragama Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Ignas

Kleden dalam Kalla et al (2004 : 17) menyatakan bahwa “Partai yang bernafaskan

keagamaan atau memakai atribut keagamaan lebih mudah menarik orang karena

dorongan identifikasi dengan partainya”. Kemampuan Partai Keadilan Sejahtera

untuk melahirkan massa dan pendukung yang solid tentunya tidak terlepas dari

pendidikan politik bagi anggotanya. Sebagai partai kader, Partai Keadilan

Sejahtera mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap proses pendidikan

politik baik untuk anggota atau kadernya maupun bagi masyarakat. Kegiatan

berupa program-program pendidikan dan pelatihan politik yang mengarah pada

upaya untuk meningkatkan kualitas kader tidak hanya dibidang politik akan tetapi

juga meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi bagian dari

aktivitas rutin partai.

9

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka terdapat

perumusan masalah sebagai berikut :

1. Mengapa Golput (Absentia Voter) dalam setiap penyelenggaraan Pemilu

selalu mengalami peningkatan jumlahnya ?

2. Bagaimana DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di wilayah Surakarta

menyikapi Golput (Absentia Voter) dalam penyelenggaraan Pemilihan umum

yang setiap tahun mengalami peningkatan jumlahnya ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain :

1. Untuk mengetahui penyebab meningkatnya jumlah Golongan putih (Absentia

Voter) pada pemilihan umum legislatif tahun 2009.

2. Untuk mengetahui pendidikan politik DPD Partai Keadilan Sejahtera di Kota

Surakarta untuk menyikapi Golput (Absentia Voter).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menghasilkan informasi

yang rinci, akurat dan aktual yang dapat memberikan manfaat dalam menjawab

permasalahan yang sedang diteliti. Selain itu diharapkan mempunyai manfaat

teoritis untuk mengembangkan ilmu lebih lanjut ataupun dalam bentuk kegunaan

praktis yang menyangkut pemecahan-pemecahan masalah yang aktual. Adapun

manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan

khususnya bidang studi yang sesuai dengan penelitian ini.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding bagi siapa saja

yang ingin mengkaji lebih dalam lagi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah

10

Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah tentang

pentingnya pendidikan politik terhadap masyarakat terutama yang sudah

memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pemilu.

b. Bagi masyarakat.

Diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti

pentingnya partisipasi mereka dalam menggunakan hak suaranya dalam

pemilu yang akan datang.

c. Bagi partai politik

Diharapkan dapat memberikan masukan kepada partai politik di Indonesia,

partai politik tidak hanya sebagai sebuah alat memperoleh kekuasaan saja

tetapi juga wajib melaksanakan fungsinya dengan baik.

d. Bagi penulis

Dapat dijadikan sebagai modal dalam penelitian tentang fungsi partai politik

sebagai sarana pendidikan politik masyarakat dalam menyikapi

meningkatnya jumlah Golput (Absentia Voter) dalam pemilu selanjutnya.

11

BAB II

LANDASAN TORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Partai Politik

a. Pengertian Partai Politik

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,

menyatakan bahwa :

Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta melahirkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Miriam Budiardjo (2008 : 403) bahwa “Partai politik adalah

suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-

nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara

konstitusional untuk melaksanakan programnya”.

Mark N. Hagopian yang dikutip Ichlasul Amal (1988 : xi) memberikan

definisi “Partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk

mempengaruhi bentuk dan karakter kebijakan publik dalam kerangka prinsip-

prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara

langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan”.

Menurut Nurul Aini (2006 : 121) memberikan pengertian “Partai politik

merupakan lembaga untuk mengemukakan kepentingan, baik secara sosial

maupun ekonomi, moril maupun materiil”. Cara mengemukakan keinginan rakyat

melalui parpol ini mengandung pengertian adanya demokrasi.

Menurut Carl J. Friedrich yang dikutip dalam bukunya Ng. Philipus dan

Nurul Aini (2006 : 121-122) “Partai politik adalah sekelompok manusia yang

terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan

penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan

12

penguasaan ini ia memberikan manfaat yang bersifat idiil maupun materiil kepada

anggotanya”.

Menurut Giovani Sartori dalam Miriam Budiardjo (2008 : 404-405)

“Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum

itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan

publik (A party is any political group that present at elections, and is capable of

placing through elections candidates for public office).”

Menurut Ichlasul Amal (1988 : xi) memberikan definisi yang modern,

“Partai politik dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan

calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat

mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah”.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kenneth Janda et all (1992 :

266-267) yaitu ” A political party is an organization that sponsors candidates for

political office under the organization’s name”. Pendapat tersebut dapat diartikan

bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang mendukung calon-calonnya

memperoleh jabatan politik melalui nama organisasinya (partai). Partai politik

mengajukan nama-nama calon untuk menjadi wakil rakyat untuk dipilih oleh

rakyat untuk menduduki jabatan publik (lembaga legislatif) pada saat pemilihan

umum sehingga dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Menurut A. Mukthie Fadjar (2008 : 15) Pengertian modern “Partai

politik adalah suatau kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik

untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengatasi atau mempengaruhi tindakan-

tindakan pemerintah”.

Sedangkan menurut Saeful Muhtadi (2008 : 165) bahwa :

1) Partai adalah juga wadah berkumpulnya para pemimpin masyarakat. Sebab partai idealnya selalu lahir dari jantung kehidupan masyarakat, atas dasar kebutuhan politik para pengikutnya, dan bukan karena cita-cita politik personal ataupun sekelompok orang.

2) Partai adalah juru bicara massa pendukungnya, untuk mampu berdialog dengan massa dari partai-partai yang lainnya. Sebab partai merupakan salah satu ciri demokrasi, dan demokrasi sendiri mensyaratkan adanya kompromi.

13

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli ataupun sarjana tersebut, dapat

diambil suatu kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang

mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta mengajukan calon-

calon yang dipilih rakyat dalam pemilu untuk menduduki atau mempertahankan

jabatan publik sehingga dapat mengontrol dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan

pemerintah. Kehidupan masyarakat yang demokratis, modern, dan kompleks

memunculkan banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat

atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas apabila

tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang

senada. Salah satu sarana dan alat untuk menyatukan gagasan dan cita-cita

bersama tersebut adalah melalui partai politik. Partai politik merupakan sarana

partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk

menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.

b. Jenis Partai Politik

Ichlasul Amal (1988 : xii-xiii) mengklasifikasikan partai politik menjadi

5 (lima) jenis berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan

kepentingan, yakni :

1. Partai Proto, adalah tipe awal parpol sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini yang muncul di Eropa Barat sekitar abad tegah sampai akhir abab 19. Ciri paling menonjol partai porto adalah perbedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-anggota (outs). Masih belum nampak sebagai parpol modern, tetapi hanya merupakan faksi-faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi dalam masyarakat.

2. Partai Kader, merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto, muncul sebelum diterapkan hak pilih secara luas bagi rakyat, sehingga sangat tergantung masyarakat kelas menengah keatas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta pemberi dana. Tingkat ideologi dan organisasi masih rendah karena aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat.

3. Partai Massa, muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut.

4. Partai Diktatorial, merupakan sub-tipe dari partai massa, tetapi memiliki ideologi yang lebih kaku dan radikal.

14

5. Partai Catch-all, merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Catch-all diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”.

Miriam Budiardjo (1982 : 166) partai politik berdasarkan segi komposisi

dan fungsi keanggotaannya dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Partai Massa Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur.

2. Partai Kader Partai kader mementingkan kekuatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap anggotanya dan memecat anggotanya yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Menurut Haryanto (1982 : 97) apabila dilihat dari segi sifat dan

orientasinya partai politik dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Partai Lindung (Patronage Party) Partai lindung adalah yang biasanya aktif pada saat menjelang dilangsungkannya pemilu saja. Adapun yang menjadi tujuannya berusaha memenangkan pemilu, yang berarti pula berusaha mendudukan anggota-anggota partai pada jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan yang memang sudah ditargetkan. Partai lindung ini biasanya kurang mempunyai disiplin yang kuat dari anggotanya.

2. Partai Ideologi atau Asas (Programmatic Party) Partai ideologi atau partai asas pada umumnya mempunyai disiplin yang kuat dan mengikat diantara anggota-anggotanya. Pedoman partai digariskan dengan tegas dan dilaksanakan dengan ketat pula. Para warga negara yang akan masuk menjadi anggota partai ini harus melalui penyaringan terlebih dahulu. Demikian diadakan seleksi ketat bagi anggota-anggota partai yang akan dilibatkan menjadi pemimpin. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

partai kader mempunyai keunggulan dibangdingkan dengan partai massa yaitu

partai kader dalam hal keoorganisasian lebih sistematis dan lebih matang

dibandingkan dengan partai massa. Partai kader mempunyai keunggulan dalam

15

hal peningkatan kualitas koorganisasian salah satunya yaitu mengenai rekrutmen

anggota dan pendidikan politiknya.

c. Fungsi Partai Politik

Partai politik merupakan organisasi politik tidak hanya sebuah sarana

untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan atau jabatan publik saja, akan

tetapi lebih luas lagi seperti yang dikemukana oleh Gabriel Almond dan Coleman

yang dalam bukunya Ng. Philipus dan Nurul Aini (2006 : 122-123) dalam setiap

sistem politik, partai politik menjalankan fungsi input, yaitu :

1) Sosialisasi dan rekruitmen politik;

2) agregasi kepentingan;

3) artikulasi kepentingan;

4) komunikasi politik.

Menurut David Beetham dan Kevin Boyle (2004 : 31) partai politik

mempunyai fungsi yaitu :

1) Bagi elektorat (para pemilih)

Partai politik membantu menyederhanakan dan memfokuskan pilihan

mereka terhadap kedudukan-kedudukan politik dan program-program

kebijakan yang pantas dipilih.

2) Bagi pemerintah

Partai politik menyediakan pengikut atau pendukung politis yang cukup

stabil yang akan memungkinkan mereka melaksanakan program-

programnya setelah mereka terpilih.

3) Bagi pihak-pihak yang mempunyai komitmen politis yang lebih kuat

Partai politik memberikan kesempatan untuk terlibat dalam masalah-

masalah publik; Partai politik juga dapat menjadi sarana bagi pendidikan

politik serta saluran untuk mempengaruhi kebijakan publik.

Menurut Sukarna (1981 : 90) Adapun beberapa fungsi partai politik ialah

sebagai berikut :

1) Pendidikan politik ( political education).

2) Sosialisasi politik (political socialization).

16

3) Pemilihan pemimpin-pemimpin politik (political selection).

4) Pemaduan pemikiran-pemikiran politik (political aggregation).

5) Memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat (interest

articulation).

6) Melakukan tata-hubungan politik (political communication).

7) Mengeritik rezime yang memerintah (criticism of regime).

8) Membina opini masyarakat (stimulating public opinion).

9) Mengusulkan calon (proposing candidates).

10) Memilih pejabat-pejabat yang akan diangkat (choosing appointive

officers).

11) Bertanggung jawab atas pemerintahan (responsibility for government).

12) Menyelesaikan perselisihan (conflict management).

13) Mempersatukan pemerintahan (unifying the government).

Menurut Miriam Budiardjo (2008 : 409) Fungsi partai politik di negara

demokrasi adalah :

1) Sebagai sarana komunikasi politik.

2) Sebagai sarana sosialisasi politik

3) Sebagai sarana rekrutmen politik

4) Sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management)

Sedangkan menurut Gaffar dan Amal yang dikutip dalam Mukthie Fadjar

(2008 : 21) partai politik mempunyai peran, yaitu :

1) Dalam proses pendidikan politik;

2) Sebagai sumber rekruitmen para pemimpin bangsa guna mengisi

berbagai macam posisi dalam kehidupan bernegara;

3) Sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan masyarakat, dan

4) Sebagai penghubung antara penguasa dan rakyat.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal

11 Ayat (1), Partai politik berfungsi sebagai sarana :

17

1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi

Warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam

merumuskan dan menetapkan kebijaksanaan Negara;

4) Partisipasi politik Warga Negara Indoneisa; dan

5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui

mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan

gender.

Sedangkan menurut Amal (1988 : xi) menyatakan sebagai berikut :

Sebagai organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan secara maksimal kepemimpinan politik secara sah (legitimate) dan damai.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai fungsi partai politik

dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu fungsi partai politik dalam rangka

untuk membangun kesadaran dan patisipasi politik masyarakat yaitu terletak

fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik, dengan dilaksanakannya

pendidikan politik sehingga masyarakat memiliki kesadaran sehingga mau

melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara, dalam hal ini salah satunya yaitu menggunakan hak pilihnya dalam

pemilu.

d. Hak dan Kewajiban Partai Politik

Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, partai

politik mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Partai politik

berhak :

1) Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;

2) Mengatur dan mengurusi rumah tangga organisasi secara mandiri;

18

3) Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai

Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

4) Ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan

Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan;

5) Membentuk fraksi ditingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota sesuia dengan

peraturan perundang-undangan;

6) Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

7) Mengusulkan pergantian antar waktu anggotaya di Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

8) Mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

9) Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon

gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta

calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;

10) Membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan

11) Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Selain partai politik mempunyai hak, ia juga mempunyai kewajiban yang

harus dilaksanakan. Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik, partai politik berkewajiban :

19

1) Mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan;

2) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatua Republik

Indonesia;

3) Berpartisipasi dalam pembangunan nasional;

4) Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi

manusia;

5) Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik

anggotanya;

6) Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;

7) Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban anggota;

8) Membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan

sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat;

9) Menyampaikan laporan pertanggung jawaban penerimaan dan

pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah secara berkala 1(satu) tahun sekali kepada Pemerintah

setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

10) Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan

11) Mensosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.

Sesuai dengan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menyatakan

bahwa Partai politik selain mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban,

salah satu kewajiban tersebut adalah melakukan pendidikan politik dan

menyalurkan aspirasi politik masyarakat”.

2. Tinjauan Tentang Pendidikan Politik

a. Pengertian Pendidikan Politik

Menurut Solly Lubis (1989 : 81) pendidikan politik ditinjau dari aspek

konstusional dan relevansinya terhadap pembangunan nasional yaitu ”pendidikan

politik adalah merupakan subsistem atau komponen atau bagian dari kehidupan

20

politik, dan jika dilihat dari segi tugas kepartaian maka pendidikan politik itu

adalah salah satu dari tugas-tugas Partai Politik (Parpol)”.

Menurut David Beetham dan Kevin Boyle (2004 : 31) mengatakan

“partai politik juga dapat menjadi sarana bagi pendidikan politik serta saluran

untuk mempengaruhi kebijakan publik”. Hal tersebut juga banyak diungkapkan

oleh para ahli mengenai fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik.

Kesadaran dan partisipasi politik merupakan dua hal yang dihasilkan melalui

pendidikan politik.

Menurut R. Hajar yang dikutip oleh Kartini Kartono (1989 : 14)

“Pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang

bertanggung jawab dalam politik”.

Menurut Kartini Kartono (1989 : 14) Pendidikan politik ialah :

1) Bentuk pendidikan orang dewasa dengan jalan menyiapkan kader-kader untuk pertarungan politik, agar menang dalam perjuangan politik.

2) Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis atau moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik.

Menurut Abu Ridho (2002 : 7) bahwa “pendidikan politik atau tarbiyah

siyasiyah adalah jagat siyasiyah tarbiyah atau pendidikan politik yang diarahkan

untuk menumbuhkan kesadaran politik atau al wa’yu al siyasi dan partisipasi

politik atau musyarokah siyasiyah”.

Sedangkan menurut konsep Ikhwanul Muslimin dalam Utsman Abdul

Mu’iz Ruslan ( 2000 : 45) bahwa pendidikan politik merupakan:

Upaya yang dilakukan untuk membangun dan menumbuhkan keyakinan, nilai dan orientasi pada para anggotanya, yang menjadikan mereka dapat menerima prinsip dan tujuan Islam, juga untuk menghapuskan imperialisme dalam segala bentuknya, membantu mereka membangun pola pikir sesuai dengan Islam seputar masalah hukum dan kekuasaan yang berati pula memberikan penyadaran tentang Islam; tentang persoalan politik, baik regional, nasional maupun internasional, tentang berbagai hal yang terjadi di seputar sikap politik. Ini berarti membangun kesadaran beraqidah, hingga siap berjihad di jalan Islam, yang setiap muslim adalah senjata untuk membela dan melawan musuh-musuh Islam, di samping juga untuk membela dan melawan musuh-musuh Islam, di samping juga untuk membela hak-haknya sebagai masyarakat serta untuk dapat menunaikan

21

berbagai kewajiban. Dengan demikian, ia menjadi aktivis di lapangan kerja sosial dalam berbagai bentuknya dan berpartisipasi dalam kehidupan politik secara memadai.

Katini Kartono (1989 : 20) menyatakan bahwa :

Pendidikan Politik ialah rangkaian upaya edukatif yang sistematis dan intensional untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara, dalam menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai falsafah hidup serta landasan konstitusional; juga merupakan upaya pembaharuan kehidupan politik bangsa Indonesia dalam rangka tegaknya satu sistem politik yang demokratis, sehat dan dinamis.

Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan politik adalah suatu

rangkaian pendidikan yang dilakukan dengan sadar, sistematis, dan

berkesinambungan dalam rangka membentuk individu yang mempunyai

kasadaran dan partisipasi politik sehingga dia dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Tujuan Pendidikan Politik

Menurut Solly Lubis (1989 : 90) menyatakan bahwa ”tujuan dari

pendidikan politik adalah untuk membentuk kader-kader yang tangguh dan

berkualitas maupun dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang beroriantasi

kepada program pembangunan”.

Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 31

Ayat (1), partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai

dengan ruang lingkup dan tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan

dan kesejahteraan gender dengan tujuan antara lain :

1) Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

3) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Kartini Kartono (1989 :21) bahwa landasan pokok yang dipakai

dalam melaksanakan pendidikan politik ialah Pancasila, UUD 1945, GBHN dan

22

Sumpah Pemuda 1928. Khusus bagi generasi mudanya, tujuan pendidikan politik

di Indoneisa ialah :

1) Membangun generasi muda Indonesia yang sadar politik dan sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

2) Sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang perwujudannya tercermin dalam sejumlah sifat watak atau karakteristik kepribadian Indonesia.

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo (2008 : 408) menyatakan ”Ada

lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi

sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia

yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan mendapatkan

kepentingannya sendiri di bawah kepentingan nasional”.

Menurut Utsman Abdul Mu’iz Ruslan (2000 : 91) menyatakan

”Pendidikan politik bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian

politik dan kesadaran politik, sebagaimana juga bertujuan untuk membentuk

kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu itu menjadi

partisan politik dalam bentuk yang positif”.

Sedangkan menurut Ikhwanul Muslimin dalam Abdul Mu’iz Ruslan

(2000 : 485-547) ada beberapa aspek yang terkandung di dalam pendidikan

politik, meliputi :

1) Pendidikan Aqidah, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk

memperkokoh keimanannya dan keyakinannya atas kekuasaan Allah

SWT dengan menyembah-Nya. Menempatkan loyalitas hanya kepada-

Nya dan menolak loyalitas selain kepada-Nya.

2) Pendidikan Spiritual, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk

memperkuat hubungan ruhani manusia dengan sang pencipta, sehingga

membangkitkan ruh (jiwa) agar ia bangkit untuk bergerak, yang

terejawantahkan dalam kegiatan memberantas kemungkaran dan

menegakkan sistem yang adil.

23

3) Pendidikan Moral, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk

memunculkan sikap dan perilaku positif, seperti jujur, memiliki kemauan

kuat, tabah, tidak lemah, dan sebagainya.

4) Pendidikan Sosial, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk

memunculkan sikap solidaritas sosial, peduli pada sekitar dan melakukan

pemberdayaan sosial.

5) Pendidikan Jasmani, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk

membangun kekuatan fisik dan mengembangkan sikap sportif,

kerjasama, dan sebagainya.

6) Pendidikan Intelektual, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan

untuk mengembangkan wawasan dan membentuk intelektual muslim

yang memahami Islam secara benar, memiliki kemerdekaan berfikir,

kritis, sehingga mampu menganalisa berbagai problematika dan

menemukan solusinya.

Dari beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan politik dapat

disimpulkan bahwa pendidikan politik bertujuan untuk membangun dan

meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, juga bertujuan untuk

membangun kepribadian seseorang dengan membangun mental spiritualnya

sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c. Metode Sosialisasi Politik

Menurut Ikhwanul Muslimin yang dikutip dalam bukunya Abdul Mu’iz

Ruslan (2000 : 76-78) menyatakan secara global, ada dua metode pendidikan

politik, yaitu :

1) Metode Pengajaran Tidak Langsung, merupakan proses untuk

mendapatkannya melalui berbagai persiapan dan orientasi secara umum,

yang ia sendiri tidak harus bersifat politis, akan tetapi setelah itu

mempengaruhi perkembangan orientasi politik pada individu. Misalnya

melalui :

a) Talmadzah (apprenticeship; pelatihan atau magang)

24

Yang dimaksud di sini adalah transformasi berbagai pengalaman dan

keterampilan pada individu melalui berbagai kegiatan di bidang-

bidang nonpolitik. Misalnya kelembagaan mahasiswa atau organisasi

kemasyarakatan lainnya.

b) Ta’mim (generalization), Artinya memperluas cakupan nilai-nilai

sosial keberbagai bidang politik yang akhirnya akan membentuk

orientasi politiknya.

2) Metode Pengajaran Langsung, yaitu berbagai proses kegiatan yang

dengannya terjadi transformasi muatan politik tertentu kepada individu,

dengan tujuan membentuk orientasi-orientasi politik. Misalnya :

a) Pembelajaran Politik (Political Learning), yaitu berbagai proses

kegiatan yang dimaksudkan untuk mentransfer orientasi-orientasi

politik kepada orang lain, baik melalui jalur formal maupun non

formal.

b) Taklid (Imitation), yaitu meniru cara hidup para pemimpin atau tokoh

merupakan sumber penting bagi nilai-nilai dan orientasi-orientasi

politik.

c) Pengalaman-pengalaman politik, yakni hal-hal yang diperoleh

seseorang melalui partisipasi politik.

Berdasarkan uraian di atas mengenai metode sosialisasi politik yang pada

dasarnya berhubungan dengan proses pendidikan politik untuk membentuk dan

menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, serta membentuk

kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu tersebut

menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif dapat dilakukan dengan

metode pengajaran langsung dan metode pengajaran tidak langsung. Pendidikan

politik yang diberikan kepada individu maupun masyarakat tidak selalu bermuatan

tentang politik saja, akan tetapi dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan

maupun kemahasiswaan.

25

3. Tinjauan Tentang Partisipasi Politik

a. Pengertian Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan aspek terpenting dalam sebuah tatanan

negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.

Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 67) menyatakan “partisipasi politik

merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses

pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan yang dilakukan pemerintah”.

Menurut Kenneth Janda et al (1992 : 228 ) yaitu “ Political participation

as those actions of private citizens by which they seek to influence or to support

government and politics”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi

politik merupakan perbuatan yang dilakukan warga negara secara sadar tanpa

paksaan yang mana mencoba untuk mempengaruhi atau mendukung pemerintah

dan politik.

Ramlan Surbakti yang dikutip oleh A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah

Said (2007 : 90-91) mengatakan “Partisipasi politik adalah sebagai keikutsertaan

warga negara biasa (yang tidak memiliki kewenangan) dalam memengaruhi

proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik”.

Menurut Hutington dan Nelson yang dikutip Sidijono Sastroatmodjo

(1995 : 68) mengartikan “partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara

preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan

oleh pemerintah”.

Miriam Budiardjo (2008 : 367) mengartikan “partisipasi politik adalah

kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam

kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara

langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public

policy)”.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau waraga negara secara sadar dan

dengan sukarela dalam bidang politik yang dilakukan secara langsung maupun

tidak langsung untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain itu dapat

26

diketahui bahwa partisipasi politik sangat erat sekali kaitannya dengan kesadaran

politik masyarakat.

b. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Menurut Ramlan Surbakti yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 :

74) mengatakan bahwa “Sebagai suatu kegiatan, partisipasi dibedakan mejadi

partisipasi aktif dan partisipasi pasif”. Dimana partisipasi aktif mencangkup

kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatau kebijakan umum,

mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan

pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan

kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut serta dalam pemilihan pimpinan

pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif, antara lain berupa kegiatan mentaati

peraturan atau perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan

pemerintah saja.

Sedangkan Milbrath dan Goel yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo

(1995 : 74-75) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori, yaitu :

Kategori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah spektator. Kategori kedua ini berupa orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator, yakni orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat. Keempat pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.

Sementara itu menurut Huntington dan Nelson yang dikutip Miriam

Budiardjo (1998 : 4) mengatakan bahwa “partisipasi yang bersifat otonom

(autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh

pihak lain (mobilized participation)”.

Sedangkan menurut Edward N. Muller yang dikutip Sudjiono

Sastroatmidjo (1995 : 77) mengatakan bahwa “bentuk-bentuk partisipasi politik

berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi politik

individual dan partisipasi kolektif”. Partisipasi individual dapat berwujud kegiatan

seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah,

27

sedangkan partisipasi kolektif merupakan kegiatan warga negara secara serentak

yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam

pemilihan umum.

Kenneth Janda et al (1992 : 228) partisipasi politik dibedakan menjadi

dua yaitu “conventional participation and unconventional participation”. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan berikut ini :

a) Conventional participation is relatively routine behavior that uses the institutional channels of representative government, especially campaigning for candidates and voting in elections.

b) Unconvetional participation is relatively uncommon behavior that challenges or defies government channnels or the dominant culture (and thus is personally stressful to participants and their opponents).

Bentuk-bentuk partisipasi politik diatas dapat diartikan partisipasi

konvensional adalah tindakan yang relatif sering dilakukan menyalurkan aspirasi

melalui lembaga pemerintahan, terutama pada saat kegiatan kampanye para calon-

calon dan pemberian suara dalam pemilu. Sedangkan partisipasi nonkonvensional

adalah tindakan yang jarang dilakukan untuk menentang atau melawan kebijakan

pemerintah. (Dalam kondisi seperti itu seseorang akan mengalami keputusasaan

untuk ikut serta sehingga mereka melawan).

Pendapat tersebut juga dikemukankan oleh Mochtar Mas’oed dan Colin

Mc Andrews (2006 : 47) bentuk-bentuk partisipasi politik juga dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

Tabel 3. Bentuk-Bentuk partisipasi politik

Konvensional Non-Konvensional

Pemberian suara (voting) Diskusi politik Kegiatan kampanye Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan. Komunikasi individual dengan pejabat politik administratif

Pengjuan petisi Berdemonstrasi Konfrontasi Mogok Tindakan kekerasan politik terhadap harta-benda (perusakan, pengeboman, pembakaran). Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) Perang gerilya dan revolusi.

28

Menurut N. Muller dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 77-78)

menyatakan “Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya

dikategorikan menjadi dua, yakni partisipasi individual dan partisipasi kolektif.

Partisipasi individual berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan

atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga

negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti

kegiatan dalam pemilihan umum”. Partisipasi kolektif dapat dibedakan mejadi

dua, yaitu partisipasi kolektif yang konvensional dan partisipasi politik yang tak

konvensional.

Menurut Miriam Budiardjo (1998 : 5) menyatakan bahwa “ disamping

mereka yang ikut dalam satu atau lebih bentuk partisipasi, ada warga negara

masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik”. Hal

ini adalah kebalikan dari partisipasi dan disebut apati (apathy). Sikap seseorang

yang demikian sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan perkembangan

demokrasi dan terutama keberhasilan dalam pelaksanaan pemilihan umum.

Dari berbagai macam bentuk partisipasi politik dari beberapa ahli, dapat

ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik merupakan suatu bentuk respon yang

diberikan seseorang atau masyarakat terhadap sebuah kebijakan-kebijakan politik

maupun sistem politik pemerintah yang sedang berkuasa. Bentuk partisipasi yang

lebih mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat adalah bentuk partisipasi

politik secara kolektif konvensional, misalnya yang sering dilakukan yaitu

partisipasi politik dalam penggunaan hak suara pemilihan umum, kampanye,

diskusi politik. Meskipun ada sebagian dari masyarakat melakukan partisipasi

politik dalam bentuk Non-Konvensional, misalnya berdemonstrasi, melakukan

aksi mogok, dan lain sebagainya.

c. Penyebab Partisipasi Politik

Menurut Myron Weiner yang dikuti Mochtar Mas’oed dan Colin Mac

Andrews (2006 : 45-46) mengemukakan lima penyebab timbulnya gerakan ke

arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :

29

1) Modernisasi disemua bidang sehingga mereka merasa ternyata dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri dan mereka semakin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.

2) Perubahan-perubahan struktur kelas sosial sehingga timbul suatu pertanyaan mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.

3) Pengaruh kaum intelektual dan komuniakasi massa modern. Melalui kaum intelektual dan media komunikasi modern, ide demokratisasi partisipasi telah tersebar kebangsa-bangsa baru merdeka jauh sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.

4) Konflik diantara kelompok-kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar elit, yang dicari adalah dukungan rakyat.

5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan publik. Menurut Romdlon Naning (1982 : 58-59) menyatakan keharusan

partisipasi rakyat disebabkan oleh dua hal, yaitu :

1) Keinginan rakyatlah yang harus dilaksanakan. Prinsip yang paling mendasar baik dalam perjuangan kemerdekaan, dalam Proklamasi Kemerdekaan maupun dalam penyusunan UUD 1945 adalah prinsip kedaulatan rakyat.

2) Rakyat yang menetukan penyelenggaraan negara. Ada 6 hajat hidup negara yang harus diselenggarakan oleh masing-masing penyelenggara negara. Pengisian lembaga-lembaga tersebut hanya dapat dilakukan oleh rakyat selaku yang berdaulat untuk menetukan siapa-siapa yang harus mengisinya. Apabila rakyat tidak berpartisipasi dalam pengisian kelembagaan tersebut baik langsung maupun tidak, maka jelas akan mengakibatkan tidak adanya penyelenggara negara (pelaksana tugas dan fungsi nhegara), dan ini berarti mandeglah hidupnya negara.

Michael Rush dan Philip Althoff yang dikutip oleh A.A. Sahid Gatra dan

Moh. Dzulkiah Said (2007 : 93) dalam hierarkhi partisipasi politiknya juga

menjelaskan bahwa kegiatan “partisipasi politik disebabkan oleh adanya

keinginan untuk mencari jabatan politik atau administrasi maupun menduduki

jabatan politik atau administrasi”.

Sedangkan A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said (2007 : 99-100)

berpendapat bahwa partisipasi politik juga disebabkan oleh adanya “faktor

kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik)”.

30

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

seseorang berpartisipasi politik karena adanya kesadaran politik pada dirinya dan

adanya pengaruh dari luar, selain itu seseorang berpartisipasi politik karena hal

tersebut dipandang baik secara langsung maupun tidak langsung akan

berpengaruh terhadap pribadinya.

d. Fungsi Partisipasi Politik

Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 86), menyatakan bahwa bagi

pemerintah, partisipasi politik warga negara dapat dikemukakan dalam berbagai

fungsi, yaitu :

1) Partisipasi masyarakat untuk mendukung program-program pemerintah 2) Partisipasi politik masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang

menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan, selain itu partisipasi politik masyarakat juga digunakan sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Menurut Robert Lane yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 84)

bahwa partisipasi politik paling tidak mempunyai empat fungsi, yaitu sebagai

berikut :

1) Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi 2) Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian

sosial 3) Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus 4) Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam sadar dan kebutuhan

psikologi tertentu.

Menurut Arbi Sanit (1985 : 95) menyatakan bahwa ada tiga tujuan

partisipasi politik massa di Indonesia, yaitu sebagai berikut :

1) Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang disusunnya.

2) Partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan penguasa dengan harapan supaya penguasa mengubah ataupun memperbaiki kelemahan tersebut.

3) Partisipasi politik sebagai tanggapan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkan sehingga terjadi perubahan pemerintahannya atau sistem politik.

31

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut

dapat disimpulkan bahwa fungsi partisipasi politik dapat dibagi menjadi dua

fungsi, yaitu partisipasi politik untuk memenuhi kepentingan individu atau pribadi

dan partisipasi untuk kepentingan umum atau bersama. Partisipasi untuk

memenuhi kebutuhan individu atau pribadi dimaksudkan untuk memperoleh suatu

kedudukan atau jabatan, kekuasaan dan kepuasan psikologi pribadi seseorang.

Sedangkan yang dimaksud dengan partisipasi politik untuk kepentingan bersama

yaitu turut ambil bagian dalam usaha memberikan kritikan, masukan dan

pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa dan

pemerintah.

4. Tinjauan Tentang Golongan Putih (Absentia Voter)

a. Pengertian Golongan Putih

Menurut Abdurrahman Wahid dalam Asfar (2004 : xiv) memberikan

definisi “Golput adalah tidak memberikan suara dengan jalan tidak datang ke

TPS, atau’mencoblos’ semua calon yang disahkan KPU”.

Golput merupakan bentuk sikap protes terhadap sistem politik yang ada.

Sehingga konsep golput berbeda dengan apatis (non-vote). Menurut Asfar (2004 :

11-12 ) konsep golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut :

1) Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes,

2) Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan

3) Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara.

Sedangkan konsep non-voting (apatis) ditujukan pada perilaku tidak

memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Namun kedua kedua istilah

tersebut menunjuk pada hasil perbuatan yang sama, yakni hak pilihnya tidak

digunakan dengan benar.

Nyoman Subanda bahwa “golput bisa diartikan sebagai protes atau

penolakan terhadap mekanisme atau sistem yang sedang berjalan”. (Nyoman

32

Subanda, blogs.depkominfo.go.id/bip/files/2009/.../edisi-4_desember-2008.pdf,

Diakses pada hari Sabtu 4 September 2009).

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat diambil

kesimpulan pengertian golput adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau

sekelompok dengan sengaja atau secara sadar dengan tidak menggunakan hak

pilihnya dengan baik pada saat dilaksanakannya pemungutan suara.

b. Faktor-faktor Penyebab Golongan Putih

Menurut Asfar (2004 : 259-291) menyatakan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi seseorang berperilaku tidak memilih, yaitu :

1) Faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi, yaitu bahwa perilaku nonvoting

dapat dijelaskan berdasarkan latarbelakang sosial ekonomi mereka

seperti tingkat pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan dan aktivitas

dalam organisasi.

2) Karakteristik Kepribadian dan Pengalaman Sosialisasi, yaitu perilaku

nonvoting di Indonesia lebih merefleksikan kepedulian atas kepentingan

publik dan nasib orang lain dari pada sebaliknya.

3) Protes terhadap Sistem Politik dan Pemilu, yaitu perilaku golput pada era

reformasi maupun Orde Baru sama-sama ditujukan sebagai protes

terhadap sistem politik dan pemilu. Konsep sistem di sini tidak semata-

mata dalam pengertian prosedural atau aturan main, tetapi lebih

mengarah pada kebijakan pemerintah dan kinerjanya dalam

mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. Ada beberapa hal

yang menyebabkan seseorang melakukan sebagai aksi protes terhadap

sistim politik yang ada, yaitu :

a) Sistem politik yang sedang dikembangkan rezim yang sedang

berkuasa sekarang dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang

sehat, baik pada tingkat elite maupun massa.

b) Para pendukung golput juga kecewa dengan sistem politik yang

sedang dikembangkan oleh bangsa ini, dengan tidak memberi

33

kewenangan yang memadai terhadap Dewan Perwakilan Daerah

(DPD), sebagaimana hasil amandeman UUD 1945.

4) Rendahnya Kepercayaan Politik, yaitu ketidak hadiran dalam pemilu atau

perilaku golput merupakan bentuk protes atas ketidakpercayaan mereka

terhadap sistem politik yang ada. Ada beberapa penyebab rendahnya

kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik baik diera reformasi

maupun dimasa Orde Baru, yaitu :

a) tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan rakyat, khususnya

DPR/MPR

b) tidak berfungsinya lembaga peradilan pada masa pemerintahan

c) praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh

pemerintahan, baik di era reformasi maupun di masa Orde Baru

d) berbagai kebijakan politik pemerintahan yang tidak kondusif bagi

proses demokrasi di Indonesia.

Menurut Syamsudin Haris yang dikutip dalam bukunya Tataq Chidmad

(2004 : 57) minimal empat faktor dimana orang enggan untuk aktif berperan

dalam pemilu yaitu :

1) Kekecewaan publik terhadap parpol

2) Parpol sebagian kaya akibat money politics

3) KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society

4) Sistem pemilu yang rumit.

Menurut Moon yang dikutip oleh Asfar (2004 : 30-31) menguraikan

bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran

pemilih (turn out) atau ketidak hadiran pemilih (nonvoting) dalam suatu Pemilu,

yaitu : pendekatan karakteristik sosial-psikologi pemilih dan karakteristik

institusional sistem pemilu. Dalam pendekatan ini biasanya menemui kesulitan

dalam membangun penjelasan kehadiran atau ketidakhadiran, sehingga dapat

diambil kesimpulan mengenai faktor yang paling penting terhadap penjelasan

mengenai kehadiran dan ketidakhadiran pemilih. Dalam sudut pandang semacam

ini, telah terbukti bahwa faktor-faktor seperti pendidikan, sikap terhadap sistem

politik, hubungannya dengan partai politik, tatanan-tatanan institusi (institutional

34

arrangements), dan sebagainya mempunyai hubungan sangant kuat dengan

kehadiran pemilih.

Menurut Campbell yang dikutip Asfar (2004 : 34) ia menggunakan

istilah passive citizen bahwa “the truly passive citizen is nonvoter because of lack

motivation”. Menurut Campbell memberikan istilah “warganegara yang pasif”.

Sesungguhnya warga negara yang pasif adalah tidak memilih hal tersebut

disebabkan karena tidak mempunyai motivasi.

Menurut McClosky yang dikutip Miriam Budiardjo (1995 : 5) sikap

apatis disebabkan karena :

Ada yang tidak ikut dalam pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan di mana ketidak-sertaan merupakan hal yang terpuji.

Menurut Abdurrahman Wahid dalam bukunya Asfar (2004 : xvii)

menyatakanbahwa “faktor penyebab golput adalah pesimisme yang ada tentang

hasil pemilu merupakan pemicu dari sikap untuk mendorong golput”. Pesimisme

tersebut disebabkan oleh banyak hal, yang akhirnya menimbulkan sikap umum

untuk tidak mempercayai pemilu itu sendiri sebagai suatu yang ada gunanya.

Menurut Ignas Kleden dalam Kalla et al (2004 : 18) bahwa :

Kelemahan seorang tokoh politik dapat diimbangi oleh visi, organisasi, dan disiplin partai; dan sebaliknya kelemahan dalam visi dan organisasi partai dapat diimbangi oleh inspirasi, kepemimpinan, dan karisma seorang pemimpin politik. Kalau dua jenis identifikasi ini menghadapi terlalu banyak kesulitan (partai centang-perentang dan pemimpinnya tanpa integritas), besar kemungkinan orang tidak bergairah memilih, dan mulai berfikir untuk bergabung dengan golput (golongan putih).

Menurut Asfar (2004 : 13) menyatakan ada beberapa penjelasan

mengapa suara golput menguat pada Pemilu 2004, yaitu : Pertama, adanya

kelompok-kelompok yang semakin berani menunjukkan pilihan politiknya untuk

tidak memilih, Kedua, tingkat ketidak kepercayaan masyarakat terhadap partai

politik dan anggota dewan menyebabkan sikap antipati pada sebagian kelompok

terhadap partai politik.

35

Dari beberapa pendapat para sarjana di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa seseorang melakukan tindakan golput di Indonesia pada umumnya

disebabkan antara lain yaitu : Pertama, faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi;

Kedua, tidak mempunyai motivasi atau niat; Ketiga, rendahnya kepercayaan dan

kecewa terhadap partai politik maupun anggota legislatif; Keempat, sistem pemilu

yang rumit.

c. Pengaruh Golongan Putih

Seberapa tingginya atau besarnya golput tidak dapat dijadikan tolak ukur

sah tidaknya hasil pemilu. Menurut M. Mahfud MD dalam Kalla et al (2004 : 66)

menyatakan bahwa “Memang, berapapun besarnya jumlah golput dan suara

coblosan yang tidak sah tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan pemilu

tidak sah secara yuridis, tetapi secara politis hasil pemilu itu bisa dipersoalkan dari

aspek legitimasi politiknya dan bukan dari legitimitas yuridisnya”.

Asfar (2004 : 8) yang menyatakan “secara teoritis, ketidak hadiran

pemilih oleh sebagian teoritisi politik dimaknakan sebagai indikator lemahnya

legitimasi rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga suara golput bisa dimaknakan

sebagai ketidakpercayaan pada pemerintah yang sedang berjalan. Ketidak hadiran

pemilih dianggap sebagai reaksi atau ekspresi dan ketidaksukaan masyarakat

terhadap rezim yang berkuasa.

Dari uraian hasil pendapat dari ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

besar kecilnya jumlah golput berpengaruh terhadap legitimasi politik kebijakan-

kebijakan publik pemerintahan yang sedang berkuasa.

5. Tinjauan Tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif

Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 3) menyatakan bahwa “Pemilu adalah

arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang

didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat”. Peserta

pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling utama

adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk

kemudian dipilih oleh rakyat.

36

Menurut David Beetham (2000 : 63 ) menyatakan “Tujuan pemilu di

tingkat nasional ada dua, yaitu : yang pertama adalah untuk memilih kepala

pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menggolkan kebijakan umum yang

akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih. Yang kedua adalah untuk memilih

anggota-anggota lembaga perwakilan, legislatif atau parlemen, yang akan

menetapkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan serta

mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat”.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (2) tentang

diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Prwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif,

yaitu : DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Legislatif, yang menyatakan bahwa :

1) Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3) Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4) Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Derah kabupaten/kota sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum (pemilu) anggota

legislatif adalah pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif yag terdiri dari

37

anggota DPR, DPD, dan DPRD yang didasarkan pada pilihan formal dari warga

negara yang memenuhi syarat.

a. Pemilih dan Peserta Pemilihan Umum Legislatif 2009

Warga negara yang berhak memilih telah diatur dalam Undang-Undang

No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pada pasal 19

menyebutkan bahwa :

(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.

Selanjutnya untuk dapat menggunakan hak pilihnya harus terdaftar dalam

Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sudah disahkan oleh KPU. Sedangkan untuk

mengantisipasi Warga Negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat sebagai

pemilih tetapi karena sesuatu hal belum terdaftar sebagai pemilih dalam DPT

seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pada pasal 19 ayat (1), maka berkaitan

dengan hal tersebut dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling

lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara. Hal tersebut diatur

dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyar Daerah pasal 40 yang menyebutkan bahwa :

(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Daftar pemilih tambahan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.

(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.

38

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada suatu alasan apapun bagi

Warga Negara Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih pada pemilu legislatif

tahun 2009 untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan belum terdaftar

sebagai pemilih dalam DPT.

Pada pemilu legislatif tahun 2009 peserta pemilu tergantung pada jenis

pemilunya. Untuk pemilu DPR/DPRD pesertanya adalah partai politik sedangkan

pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

1) Peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah

Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 134) pada tingkat nasional, peserta

pemilu legislatif 2009 berjumlah 38 partai politik. Dari jumlah tersebut, secara

kategoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a) Partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi di DPR pada pemilu sebelumnya yaitu pemilu legislatif tahun 2004. Pada kategori ini, terdapat 7 (tujuh) partai yang lolos electoral threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD, dan PKS.

b) Partai-partai baru berdiri dan lolos berdasarkan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu. Masuk dalam kategori ini 27 partai politik.

c) Kelompok partai politik yang pada pemilu 2004 mendapat kursi di DPR tetapi perolehan kursinya tidak mencapai electoral threshold 2%. Terdapat 10 partai politik yang masuk dalam kategori ini.

d) Kelompok partai politik dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold dan tidak mendapat kursi di DPR. Terdapat 4 partai politik dalam kategori ini, yaitu Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Serikat Indonesia, dan Partai buruh.

Kelompok partai politik dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos

electoral threshold dan tidak mendapat kursi di DPR dapat menjadi peserta

pemilu 2009 karena gugatan mereka atas ketidakadilan dari pasal 316 huruf d

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas putusan MK tersebut, KPU

tanpa melakukan verifikasi keabsahan syarat-syarat ikut serta dalam pemilu 2009

mengesahkan mereka menjadi peserta pemilu 2009.

Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 137) terkait dengan syarat pencalonan,

dalam pemilu legislatif tahun 2009 terdapat beberapa perubahan dalam

pencalonan anggota DPR dan DPRD dibandingkan pemilu sebelumnya, dan

selebihnya adalah sama. Perbedaan tersebut yaitu :

39

a) Tidak adanya larangan dari mereka yang diindikasikan terlibat PKI untuk mencalonkan diri.

b) Adanya ketentuan untuk mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota TentaraNasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan tidak dapat ditarik kembali.

c) Adanya ketentuan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan.

d) Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-pejabat lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang bersumber dari keuangan negara.

2) Peserta Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Peserta DPD dapat berasal dari calon independen ataupun individu yang

berasal atau aktif dari partai politik. Selain itu, untuk menjadi calon anggota DPD

tidak menyertakan syarat domisili calon.

Terkait dengan syarat dukungan calon seperti yang telah diatur dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, Pasal 13, seseorang calon harus mendapatkan dukungan pemilih sebagai

berikut :

a) Provinsi berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta), minimal didukung 1.000 (seribu) pemilih;

b) Provinsi berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) - 5.000.000 (lima juta), minimal didukung 2.000 (dua ribu) pemilih;

c) Provinsi berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) - 10.000.000 (sepuluh juta), minimal didukung 3.000 (tiga ribu) pemilih;

d) Provinsi berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) - 15.000.000 (lima belas juta), minimal didukung 4.000 (empat ribu) pemilih; atau

e) Provinsi berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) minimal didukung 5.000 (lima ribu) pemilih.

Dukungan pemilih tersebut harus tersebar di 50% kabupaten/kota dari

provinsi tempat seorang mencalonkan diri. Sementara itu, bagi anggota

(incumbent) dapat langsung menjadi calon anggota DPD tanpa harus mendapat

40

persyaratan dukungan minimal. Incumbent cukup memenuhi persyaratan

administrasi/kualifikasi.

b. Sistem Pemilu Pemilihan Umum Legislatif 2009

1) Sistem Pemilu DPR dan DPRD

Secara prinsip, sistem pemilu yang dipakai masih melanjutkan sistem

pemilu sebelumnya, yaitu sistem proporsional, meskipun dengan melakukan

beberapa modifikasi. Konsep representasi atau daerah pemilih yang dipakai

adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi

yang diperebutkan disetiap daerah pemilihan (district magnitude) berkisar antara 3

(tiga) sampai dengan 10 (sepuluh) kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi

yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan berkisar antara 3 sampai dengan 12

kursi. Dalam kandidasi anggota DPR, setiap partai poltik dapat mengajukan calon

sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang

ditetapkan pada setiap daerah pemilihan. Pada setiap tiga nama calon, partai harus

menyertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) calon perempuan (kuota 30% dalam

pencalonan). Cara menempatkan calon perempuan bisa disetiap kelipatan tiga

ataupun dua.

Dalam format kertas suara, dicantumkan nama dan tanda gambar partai

serta daftar calon nggota DPR dari setiap partai berdasarkan nomor urut. Cara

penyuaraan (balloting) yang dipakai adalah dengan menandai salah satu diantara

gambar partai, nomor urut calon, atau nama calon. Suara tidak sah apabila

memberi tanda lebih dari satu kali pada kertas suara.

Pada pemilu kali ini memakai 2 (dua) threshold. Pertama, electoral

threshold, yaitu syarat partai untuk dapat ikut serta dalam pemilu sebelumnya,

sebesar 3% suara. Kedua, Parliementary threshold, yaitu syarat partai untuk dapat

diikutsertakan dalam penghitungan kursi DPR, yaitu sebesar 2,5%. Partai-partai

yang perolehan suaranya tidak mencapai 2,5% tidak dapat menempatkan wakilnya

di DPR. Parliementary threshold ini dijadikan dasar untuk menentukan partai-

partai yang tidak diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi partai.

41

Penghitungan perolehan kursi partai untuk DPRD tidak berbeda dengan

pemilu tahun 2004. Sementara itu, pada penentuan perolehan kursi DPR terdapat

modifikasi, yaitu menggunakan sistem sisa suara terbesar (largest remainder)

varian Hare dengan bersyarat. Penentuan perolehan kursi partai dilakukan setelah

dilakukan pengurangan suara dari partai-partai yang memenuhi parliamentary

threshold, dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama

disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapatkan suara lebih

dari 50% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Apabila masih terdapat sisa kursi

disebuah daerah pemilihan tetapi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50%

BPP maka suara partai diakumulasikan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan

pembagi pemilih baru untuk menetapkan kursi.

Adapun penentuan calon jadi disebuah partai politik yang memperoleh

kursi parlemen adalah didasarkan pada sistem suara terbanyak. Kandidat yang

memperoleh suara terbanyak tanpa melihat nomor urut dalam daftar pencalonan

ditetapkan menjadi calon jadi. Penggunaan sistem suara terbanyak ini didasarkan

pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-IV/2008 yang membatalkan

ketentuan Pasal 214 Huruf a sampai e Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang

Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang dipandang bertentangan dengan prinsip

konstitusi tentang kedaulatan rakyat.

2) Sistem Pemilu DPD

Pada pemilu 2009 sama dengan sistem yang dipakai dalam pemilu 2004,

yaitu sistem distrik berwakil banyak (single Non-transfverebel Vote/SNTV). Setiap

privinsi diwakili oleh 4 (empat) orang anggota DPD. Pemilih memilih satu

kandidat, dan pemenangnya adalah yang memperoleh suara terbanyak. Empat

orang calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai

pemenang.

B. Kerangka Berfikir

Kehidupan masyarakat yang demokratis, modern, dan kompleks

memunculkan banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat

atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas apabila

42

tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang

senada. Salah satu sarana dan alat untuk menyatukan gagasan dan cita-cita

bersama tersebut adalah melalui partai politik (parpol). Partai politik merupakan

sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan

demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggungjawab. Seperti

halnya dengan PKS, merupakan partai da’wah penegak keadilan dan

kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Partai Keadilan

Sejahtera juga mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik

secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat

Indonesia yang madani. Selain mempunyai visi khusus tersebut, PKS sebagai

partai politik mempunyai beberapa fungsi yang salah satunya yaitu sebagai sarana

pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat. Pendidikan politik sangat

penting sekali dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik, kepribadian, dan

partisipasi politik anggota maupun masyarakat. Dalam upaya mewujudkan visinya

dan fungsinya tersebut yaitu sebagai sarana pendidikan politik, PKS sebagai partai

politik turut ambil bagian dalam menghadapi permasalahan berhubungan dengan

menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu yaitu meningkatnya

jumlah golongan putih (golput).

Golongan putih adalah Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan

suara sebagai aksi protes, Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi

tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan Orang yang menggunakan hak

pilihnya namun dengan jalan mencontreng bagian putih dari kartu suara.

Berdasarkan konsep golput tersebut dapat disimpulkan bahwa golput yaitu tidak

digunakannya hak pilihnya dengan benar. Faktor-faktor yang menyebabkan

meningkatnya jumlah golput pada dasarnya di Indonesia disebabkan karena yaitu :

Pertama, faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi; Kedua, tidak mempunyai

motivasi atau niat; Ketiga, rendahnya kepercayaan dan kecewa terhadap partai

politik maupun anggota legislatif; Keempat, sistem pemilu yang rumit.

Sebagai upaya mengurangi jumlah golput, PKS sebagai partai politik

dalam mewujudkan visi khususnya yaitu sebagai partai berpengaruh baik secara

kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat

43

Indonesia yang madani, pendidikan politik sangat diperlukan dalam upaya

menumbuhkan kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik anggota

maupun masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam upaya mengnyikapi golput

dapat dilakukan metode sosialisasi politik yang pada dasarnya berhubungan

dengan proses pendidikan politik untuk membentuk dan menumbuhkan

kepribadian politik dan kesadaran politik, serta membentuk kemampuan dalam

berpartisipasi politik pada individu, agar individu tersebut menjadi partisan politik

dalam bentuk yang positif dapat dilakukan dengan metode pengajaran langsung

dan metode pengajaran tidak langsung. Pendidikan politik yang diberikan kepada

individu maupun masyarakat tidak selalu bermuatan tentang politik saja, akan

tetapi dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan maupun kemahasiswaan.

Sebagai gambaran pemikiran untuk memecahkan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta

Meningkatnya Golput

Faktor Penyebab Golput

Pendidikan Politik Tidak Langsung

Pendidikan Politik Langsung

Kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik masyarakat

dalam Pemilu Legislatif

44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Suatu penelitian memerlukan tempat penelitian yang dijadikan objek

untuk memperoleh data penelitian. Didalam melaksanakan penelitian ini peneliti

memilih lokasi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan,

Kecamatan Laweyan, Surakarta dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai

Keadilan Sejahtera Kota Surakarta yang berlokasi di Jl. Slamet Riyadi No. 465 B.

Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta. Adapun alasan peneliti memilih tempat

penelitian ini karena :

1. Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Sondakan, Kecamatan Laweyan

berlokasi di tempat tinggal peneliti sehingga mempermudah peneliti untuk

melakukan penelitian tentang penyebab pemilih di TPS XII melakukan golput

dalam pemilihan umum legislatif 2009.

2. Partai Keadilan Sejahtera merupakan salah satu partai politik yang dalam

setiap pemilihan umum legislatif mengalami peningkatan perolehan jumlah

suaranya di Kota Surakarta dan dapat dikatakan sebagai salah satu partai

politik di Kota Surakarta yang kader-kader PKS aktif melakukan rekruitmen

anggota dan berbagai aktifitas simpatik kemasyarakatan.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk mengadakan penelitian ini selama tujuh

bulan, yaitu mulai bulan Juni 2009 sampai dengan bulan April 2010. Kegiatan

tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

45

Tabel 4. Rencana Waktu Penelitian

Bulan No Kegiatan

Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

1. Pra penelitian

2. Pengajuan judul

3. Membuat

proposal

4. Pengurusan ijin

5. Pengumpulan

data

6. Analisa data

7. Menulis laporan

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif, karena dalam mengkaji

masalah, peneliti tidak membuktikan atau menolak hipotesis yang dibuat sebelum

penelitian tetapi mengolah data dan menganalisis suatu masalah secara non

numerik.

Suharsimi Arikunto (2002 : 10-11) mengatakan diantara banyak model

yang ada dalam penelitian kualitatif, yang dikenal di Indonesia adalah penelitian

naturalistic atau kualitatif naturalistik. Istilah “naturalistik menunjukkan bahwa

pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam

situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada

deskripsi secara alami”.

Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 4) yang mengutip pendapatnya

Bogdan dan Taylor tentang Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :

“Metodologi kualitatif adalah prosedur yang dihasilkan data deskriptif berupa kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.

46

Sesuai perumusan permasalahan yang dirumuskan peneliti, maka jenis

penelitian yang sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai penyebab golongan putih

dan pendidikan politik DPD PKS Kota Surakarta untuk menyikapi golongan putih

dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009.

2. Strategi Penelitian

Dalam setiap penelitian agar tujuan yang telah direncanakan dapat

dicapai dan untuk mengkaji permasalahan penelitian secara mendetail dan lengkap

maka diperlukan strategi penelitian yang tepat. Strategi yang dipilih oleh peneliti

digunakan sebagai dasar untuk mengamati, mengumpulkan data dan untuk

menyajikan analisis hasil penelitian. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002 : 42) menjelaskan sebagai

berikut : “bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian

kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang

akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke

lapangan studinya”.

Dalam penelitian ini, peneliti sudah menetukan terlebih dahulu fokus

pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan

variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian

yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian

dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap. Jadi

penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek penelitian

adalah tunggal yaitu Pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan

Sondakan, Kecamatan Laweyan yang melakukan golput; Pengurus dan kader

DPD PKS Kota Surakarta.

Terpancang sendiri mempunyai arti yaitu untuk mengetahui faktor

penyebab golput dan pendidikan politik DPD PKS Kota Surakarta untuk

menyikapi golongan putih pada pemilihan umum legislatif tahun 2009.

47

C. Sumber Data

Menurut H.B. Sutopo (2002 : 50) menyatakan bahwa “sumber data

dalam penelitian kualitatif terdiri dari berbagai jenis, bisa berupa orang, peristiwa

dan tempat atau lokasi, benda, serta dokumen atau arsip”.

Sumber-sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah

data yang berupa informan, tempat dan peristiwa, serta dokumen atau arsip.

1. Informan

Informan adalah orang yang dianggap dapat memberikan informasi atau

keterangan-keterangan sesuai dengan masalah yang diteliti. Di dalam penelitian

kualitatif, informan ini disebut responden.

Menurut HB. Sutopo (2002 : 50) “Dalam penelitian kualitatif, posisi

narasumber sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi”. Oleh

karena itu di dalam memilih siapa yang akan menjadi informan, peneliti wajib

memahami posisi dengan beragam peran serta yang ada sehingga dapat diperoleh

informasi, pernyataan maupun kata-kata yang diperoleh dari informan yang

disebut data primer atau sering disebut sebagai informan kunci (key informan).

Adapun informan dalam penelitian ini antara lain :

a. Bapak Dardji selaku Kepala Kelurahan Sondakan.

b. Bapak Soemardjo Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan

Sondakan.

c. Yophi Irawan, Yekti Sulastri, Dwi Lismawan selaku anggota KPPS TPS

XII.

d. Rizky Rachmawati, Deky Lesmana, Rachmad Andi Sulistyo, Yanuar

Joko Listyanto, Ninik Resmi Nur Akhdiyati, dan Slamet, Zaini Anggoro

Putro, Harman Suryono, Salimi, dan Heri Tamtomo selaku masyarakat

yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan

umum legislatif 2009.

e. Sugeng Riyanto, S.S selaku Ketua DPD PKS Kota Surakarta.

f. Ikhlas Thamrin, S.H selaku Ketua Bidang Politik DPD PKS Kota

Surakarta.

48

g. Ahmad Faizal, Choirul selaku Kader DPD PKS Kota Surakarta.

2. Lokasi Penelitian

H.B. Sutopo (2002 : 52) menyatakan “ Tempat atau lokasi penelitian

yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian juga merupakan salah

satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan oleh peneliti”.

Hal-hal yang dapat dijadikan sumber data sekaligus objek pengamatan

dari lokasi penelitian ini meliputi gambaran keadaan tempat atau ruang., benda

atau peralatan, para pelaku, kegiatan atau aktivitas yang berlangsung. Berkaitan

dengan hal tersebut, sesuai dengan permasalahan yang diteliti, lokasi penelitian

dalam hal ini yaitu : Premulung RT 01 RW IX, Kelurahan Sondakan, Kecamatan

Laweyan Surakarta yang menjadi TPS XII dan Kantor DPD PKS Kota Surakarta

Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta.

3. Dokumen

Menurut HB. Sutopo (2002 : 54) mengemukakan bahwa “Dokumen

adalah bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas

tertentu, sedangkan arsip merupakan catatan rekaman yang lebih bersifat formal

dan terencana dalam organisasi”.

Dalam penelitian ini, dokumen dan arsip yang digunakan antara lain :

a. Berita Acara Pemungutan Suara Dan Penghitungan Suara Di Tempat

Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD

Kabupaten/Kota Tahun 2009. (Lampiran 5)

b. Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara

Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009.

(Lampiran 6).

c. Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta

Revisi Hasil Penghitungan Suara Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah.

(Lampiran 7).

d. Laporan Monografis Dinamis Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan

Triwulan : I/Bulan : Februari/Tahun : 2010. (Lampiran 8).

49

e. AD/ART Partai Keadilan Sejahtera. (Lampiran 9).

f. Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera.

D. Teknik Sampling

H.B. Sutopo (2002 : 54) menyatakan “Teknik cuplikan merupakan suatu

bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang

mengarah pada seleksi”. Peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu

dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui

masalahnya secara mendalam.

Menurut Goetz dan Le Compte dalam H.B. Sutopo (2002 : 185) bahwa

“Purposive Sampling yaitu teknik mendapatkan sampel dengan memilih individu-

individu yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam

dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data”.

Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan teknik purposive

sampling. Dimana peneliti hanya memilih informan yang danggap mengetahui

informasi dan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk

menjadi sumber data yang mantap. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil

sempel yaitu : Kepala Kelurahan Sondakan, Ketua Panitia Pemungutan Suara

(PPS) Kelurahan Sondakan, Ketua dan anggota Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara (KPPS) TPS XII Kelurahan Sondakan, beberapa masyarakat

yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum

legislatif 2009, Ketua DPD PKS Kota Surakarta, Pengurus DPD PKS Kota

Surakarta, dan Kader DPD PKS Kota Surakarta.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh

oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu

penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu

diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil

data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :

50

1. Observasi

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik

terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut pendapat H.B.

Sutopo (2002 : 64) bahwa “teknik observasi digunakan untuk menggali data yang

berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekanan gambar”.

Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara

pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-

gejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada

tempat terjadinya peristiwa.

Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara

pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-

gejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada

tempat terjadinya peristiwa yaitu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII.

2. Wawancara

Teknik wawancara merupakan cara penyelenggaraan pemeriksaan

dengan seksama. Dengan meninjau setiap aktivitas secara bergilir serta

komunikasi langsung dengan mengajukan suatu rangkaian pertanyaan yang

sistematis. Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 186) mengemukakan bahwa

“Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviwer) yang mengajukan

pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan”.

Menurut H. B. Sutopo (2002 : 59) mengatakan bahwa wawancara dalam

penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan secara tidak terstruktur atau sering

disebut sebagai teknik wawancara mendalam. Dengan demikian wawancara yang

dilakukan mengarah pada kedalaman informasi.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam, karena

dengan wawancara mendalam peneliti memperoleh data dari para informan,

dengan maksud dapat mengungkap permasalahan yang diteliti melalui pertanyaan

maupun sikap. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada

51

kedalaman informasi untuk menggali pandangan subyek yang diteliti tentang

banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian

informasi secara lebih mendalam.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat daftar pertanyaan

terlebih dahulu agar pokok-poko yang telah direncanakan dapat tercakup

seluruhnya dan hasil wawancara dapat mencapai sasaran. Daftar pertanyaan yang

peneliti ajukan dalam penelitian ini telah peneliti susun secara sistematis,

menggunakan bahasa yang jelas dan sederhana agar sesuai dengan permasalahan

yang sedang diteliti.

Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan metode tanya

jawab dan diskusi. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai

pokok permasalahan sesuai dengan pedoman wawancara tetapi tidak menutup

kemungkinan bahwa pertanyaan yang diajukan lebih luas (untuk pedaoman

wawancara dapat dilihat dilampiran 1, sedangkan hasil petikan wawancara dapat

dilihat pada lampiran 2). Adapun informan yang diwawancarai dalam penelitian

ini sebagai berikut :

a. Bapak Dardji selaku Kepala Kelurahan Sondakan.

b. Bapak Soemardjo Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Sondakan

c. Yophi Irawan, Yekti Sulastri, Dwi Lismawan selaku anggota KPPS TPS XII.

d. Rizky Rachmawati, Deky Lesmana, Rachmad Andi Sulistyo, Yanuar Joko

Listyanto, Ninik Resmi Nur Akhdiyati, dan Slamet, Zaini Anggoro Putro,

Harman Suryono, Salimi, dan Heri Tamtomo selaku masyarakat yang

melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum

legislatif 2009.

e. Sugeng Riyanto, S.S selaku Ketua DPD PKS Kota Surakarta.

f. Ikhlas Thamrin, S.H selaku Ketua Bidang Politik DPD PKS Kota Surakarta.

g. Ahmad Faizal, Choirul selaku Kader DPD PKS Kota Surakarta.

3. Analisi Dokumen

Merupakan teknik penelitian yang dilakukan dengan cara mencatat dan

mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang isinya

52

berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian. H.B. Sutopo (2002 : 54)

mengemukakan bahwa “Dokumen adalah bahan tertulis yang bergayutan dengan

suatu peristiwa atau aktivitas tertentu, sedangkan arsip merupakan catatan

rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana dalam organisasi”.

Dokumen yang dianalisis dalam penelitian yang dilakukan peneliti yaitu :

Berita Acara Pemungutan Suara Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan

Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009,

Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam

Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, Berita Acara

Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta Revisi Hasil Penghitungan

Suara Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah, Laporan Monografis Dinamis

Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan Triwulan : I/Bulan : Februari/Tahun :

2010, AD/ART Partai Keadilan Sejahtera, dan Platform Kebijakan Pembangunan

Partai Keadilan Sejahtera.

c. Validitas Data

Validitas data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data

dalam suatu penelitian, mulai dari penjabaran konsep sampai pada data siap

dianalisa. Validitas data dapat di uji dengan menggunakan trianggulasi. Menurut

Lexy J. Moleong (2008 : 330) mengemukakan bahwa “Trianggulasi adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu

dan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”.

Kemudian menurut Patton dalam HB. Sutopo (2002 : 78) menyatakan

ada empat macam trianggulasi yaitu :

1. Trianggulasi Data (data Triangulation), dimana peneliti menggunakan beberapa sumber dengan data yang sama.

2. Trianggulasi Peneliti (Investigator Triangulation), yaitu pengumpulan data yang sama dan dilakukan oleh beberapa orang peneliti.

3. Trianggulasi Metodologi (Methodological Triangulation), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data yang sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda.

4. Trianggulasi Teoritis (Theoretical Triangualtion), yaitu menggunakan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda.

53

Adapun trianggulasi yang peneliti terapkan dalam penelitian ini adalah

triangulasi data. Sebab cara ini mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan

data harus menggunakan beragam data yang tersedia, artinya data yang sama atau

sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang

berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari

informan yang berbeda baik dari yang terlibat langsung dengan golput maupun

yang tidak terlibat secara langsung. Data hasil trianggulasi data I dan trianggulasi

data II dapat dilihat pada lampiran 3 dan lampiran 4.

d. Analisis Data

Metode analisis yang peneliti gunakan pada penelitian ini adalah model

analisi interaktif mengalir, yaitu model analisi yang menyatu dengan proses

pengumpulan data dalam suatu siklus. Secara garis besar analisi interaktif

mengalir terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk lebih

jelasnya dapat peneliti uraikan mengenai tiga alur kegiatan dalam analisis

interaktif mengalir yakni sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk

memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui

kegiatan observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang dikumpulkan masih

berupa data mentah, sehingga harus di analisis agar menjadi data yang lebih

teratur.

2. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan dan abstraksi dari fieldnote (data mentah). Menurut H.B. Sutopo

(2002 : 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian dari proses analisis,

yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-halyang tidak

penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan peneliti dapat

dilakukan”.

54

3. Sajian Data

Sajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang

memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa

matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan table. Semuanya dirakit

secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir

pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa

pengulangan dengan melihat kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan

yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Ketiga macam kegiatan analisis yang menyatu dengan pengumpulan data

si muka saling berhubungan atau terkait dan berlangsung terus menerus selama

penelitian dilakukan. Secara skematis, model analisis interaktif mengalir dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Skema Model Analisi Interaktif (Huberman & Miles, 1992 : 20)

e. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa langkah atau melalui

beberapa prosedur yaitu :

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Kesimpulan/ Verifikasi

Penyajian Data

55

1. Persiapan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merencanakan segala

sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian, yakni mengurus

perijinan penelitian, menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman

pengumpulan data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian

2. Pengumpulan Data

Kegiatan yang dilakukan setelah persiapan penelitian selesai adalah

mengumpulkan data di lapangan dengan observasi, wawancara mendalam, dan

mencatat serta menyimpan dokumen. Setelah data terkumpul tahap selanjutnya

melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul. Tahap

yang terakhir yaitu memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.

3. Analisis Data

Kegiatan yang dilakukan setelah pengumpulan data adalah menentukan

teknik analisa data yang tepat. Selanjutnya mengembangkan sajian data dengan

analisis lanjut kemudian dicocokkan dengan temuan lapangan. Setelah

mendapatkan data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses

verivikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan kepada orang yang lebih

ahli. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan peneliti.

4. Penulisan Laporan

Tahap penulisan laporan dilakukan dengan menyusun laporan awal dari

hasil analisis data yang diperoleh di lapangan. Selanjutnya dilakukan review

laporan dengan dilakukan pengecekan ulang laporan yang telah tersusun agar

lebih valid. Tahap selanjutnya yaitu penyusunan laporan akhir.

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Deskripsi Kelurahan Sondakan

Lokasi Kelurahan Sondakan terletak di Kecamatan Laweyan, Kota

Surakarta. Kelurahan Sondakan terbagi menjadi 15 (lima belas) Rukun Warga

(RW) yang keseluruhannya mencangkup 5 lingkungan (kampung) yaitu Tegalrejo,

Sondakan, Premulung, Mutihan, dan Jantirejo.

Berdasarkan data monografi Kelurahan Sondakan tahun 2010 triwulan ke

I, bulan Februari 2010, letak geografisnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Batas Wilayah :

a. Sebelah Utara : Kelurahan Kerten dan Kelurahan Pajang

b. Sebelah Selatan : Kelurahan Laweyan dan Kelurahan Pajang

c. Sebelah Barat : Kelurahan Pajang

d. Sebelah Timur : Kelurahan Purwosari dan Kelurahan Bumi

2. Keadaan Penduduk :

a. Jumlah Penduduk : 11.918 jiwa

b. Jumlah Kepala Keluarga : 2.772

Selanjutnya jumlah penduduk Kelurahan Sondakan menurut umur,

tingkat pendidikan dan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel sebagai

berikut :

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Kelamin

57

No. Kel. Umur Jumlah % 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

0 – 4

5 – 9

10 – 14

15 – 19

20 – 24

25 – 29

30 – 39

40 - 49

50 – 59

60 >

493

840

867

989

1.025

1.187

2.101

1.821

1.347

1.248

4,1

7,0

7,3

8,3

8,6

10

17,6

15,3

11,3

10,5

Jumlah 11.918 100

Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010

Komposisi tabel diatas dapat diketahui berarti besarnya penduduk di

Kelurahan Sondakan yang memiliki usia produktif sebagai pemilih dalam pemilu

atau sudah memenuhi sayarat sebagai pemilih dalam pemilu sesuai dengan

ketentuan sebagai pemilih Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu dari usia 17 tahun atau sudah kawin

kurang lebih sebanyak 59,8 %. Dari banyaknya jumlah penduduk yang

mempunyai usia produktif tersebut, dapat diketahui jumlah penduduk menurut

mata pencaharian sebagai berikut :

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Bagi Umur 10 tahun

keatas)

No Mata Pencaharia Jumlah %

58

1. Petani sendiri - - 2. Buruh tani - - 3. Nelayan - - 4. Pengusaha - - 5. Buruh industri 2.887 27,3 6. Buruh bangunan 3.185 30,2 7. Pedagang 969 9,2 8. Pengangkutan 808 7,7 9. Peg. Negeri (Sipil/ABRI) 594 5,6 10. Pensiunan 280 2,7 11. Lain-lain 1.839 17,4

Jumlah 10.562 100 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010

Berdasarkan data tabel di atas, dapat diketahui mayoritas penduduk di

Kelurahan Sondakan bermata pencaharian sebagai buruh bangunan dan buruh

industri. Selain itu dapat diketahui penduduk di Kelurahan Sondakan yag bermata

pencaharian sebagai pedagang dan pengangkutan lebih besar dari pada jumlah

penduduk yang bermata pencaharian sebagai PNS (Sipil/ABRI) dan Pensiunan.

Sehingga berdasarkan dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas

penduduk di Kelurahan Sondakan berada pada tingkat ekonomi menengah ke

bawah.

Sedangkan jumlah penduduk Kelurahan Sondakan berdasarkan tingkat

pendidikannya dapat di lihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Pendidikan Jumlah % 1. Tamat Akdm/Perg. Tinggi 1.611 14,6 2. Tamat SLTA 3.763 34,1 3. Tamat SLTP 1.835 16,6 4. Tamat SD 1.563 14,1 5. Tidak Tamat SD 541 4,9 6. Belum Tamat SD 918 8,3 7. Tidak Tamat Sekolah 816 7,4

Jumlah 11.047 100 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di

Kelurahan Sondakan memiliki tingkat pendidikan tamat SLTA dan tamat SLTP.

Sedangkan penduduk yang memiliki tingkat pendidikan tamat

59

Akademi/Perguruan Tinggi menempati urutan yang ketiga. Selain itu juga dapat

diketahui bahwa jumlah penduduk di Kelurahan Sondakan yang mempunyai

pendidikan tergolong masih rendah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan yang menengah keatas.

Sedangkan berdasarkan jumlah penduduk Kelurahan Sondakan

berdasarkan agama yang dianut mayoritas penduduk di Kelurahan Sondakan

adalah beragama Islam yatu sebanyak 88,6%.. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Agama yang Dianut

No. Agama Jumlah % 1. Islam 10.562 88,6 2. Kristen Katholik 863 7,2 3. Kristen Protestan 437 3,7 4. Budha 40 0,3 5. Hindu 16 0,1 Jumlah 11.918 100

Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010

2. Tempat Pemungutan Suara XII Sondakan

Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII dalam pemilihan umum legislatif

yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 berlokasi di Premulung RT 01 RW

IX, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Berdasarkan data

Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang di peroleh dari KPU Kota Surakarta terdapat

337 pemilih yang mempunyai hak pilih sesuai dengan Undang-Undang No. 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 9. Data Pemilih Pemilu Legislatif 2009 di TPS XII Sondakan, Laweyan,

Kota Surakarta.

No. Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Jumlah pemilih terdaftar dalam

Daftar Pemilih Tetap 166 169 335

2. Jumlah Pemilih Terdaftar Dalam Pemilih Tambahan

1 1 2

3. Jumlah Seluruh Pemilih Terdaftar 167 170 337

60

dalam Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan

Sumber : KPU Kota Surakarta

Berdasarkan dari tabel di atas, dapat diketahui terdapat 335 jumlah

pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dan terdapat 2 jumlah pemilih

yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan, sehingga jumlah keseluruhan

pemilih di TPS XII yaitu 337 pemilih. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal

40 yang mengatur tentang Daftar Pemilih Tambahan.

Pada saat hari pelaksanaan pemungutan suara tanggal 9 April 2009 di

TPS XII terdapat sejumlah 122 jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak

pilihnya dan sebanyak 14 jumlah suara yang tidak sah. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 10. Data Penggunaan Hak Pilih Pemilu Legislatif 2009 di TPS XII

Sondakan, Laweyan, Surakarta.

No. Uraian Jumlah

1. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih 215

2. Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih 122

3. Jumlah 337

Sumber : KPU Kota Surakarta

Berdasar pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 337 pemilih

di TPS XII yang mempunyai hak pilih sebanyak 215 atau 63,8% pemilih

menggunakan hak pilihnya, sebanyak 122 atau 36,2% pemilih tidak menggunakan

hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. Sedangkan data suara sah/tidak sah

pemilu legislatif 2009 di TPS XII lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai

berikut :

Tabel 11. Data Suara Sah/Tidak Sah DPRD Kabupaten/Kota

No. Uraian Jumlah

1. Jumlah Suara Sah 201

61

2. Jumlah Suara Tidak Sah 14

3 Jumlah 215

Sumber : KPU Kota Surakarta

Berdasarkan data di atas dapat diketahui dari sejumlah 215 pemilih yang

menggunakan hak pilihnya dalam pemiliu legislatif 2009 di TPS XII Sondakan

terdapat 201 atau 93,5% jumlah suara yang sah dan 14 atau 6,5% jumlah suara

yang tidak sah. Sehingga berdasarkan data tersebut dapat diketahui banyaknya

pemilih yang golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar pada

pemilu legislatif 2009 di TPS XII Sondakan sebanyak 136 pemilih.

3. Latar Belakang Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera

a. Sejarah Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru yang sangat fenomenal

adalah penetapan ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal kehidupan sosial

politik masyarakat. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.3 dan

8 tahun 1985. Kebijakan ini bergulir dalam rangka menghilangkan perbedaan

ideologi dari berbagai kelompok masyarakat, sehingga kondisi stabilitas nasional

bisa tetap terlestarikan. Adanya aneka ragam ideologi yang dianut setiap

kelompok masyarakat, dipandang sebagai bibit perpecahan yang akan

mengganggu stabilitas nasional. Selain itu adanya perbedaan ideologi dikalangan

masyarakat akan mengancam kestabilan jalannya roda pemerintahan.Hal ini

disebabkan karena dengan adanya perbedaan ideologi antara negara dengan suatu

kelompok masyarakat akan mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat

tersebut kepada negara, dan ini akan menghambat jalannya pemerintahan. Dalam

rangka stabilitas nasional ini pula sebelum digulirkannya UU tersebut, pemerintah

Orde Baru telah melakukan penyederhanaan partai. Langkah ini kemudian diikuti

dengan upaya penyeragaman asas partai politik dalam satu asas tunggal Pancasila.

Pemberlakuan asas tunggal ini pula tidak hanya dikenakan pada kehidupan politik,

namun lebih luas diberlakukan terhadap seluruh kehidupan organisasi. Organisasi-

organisasi yang berdiri dan tidak menggunakan asas tunggal Pancasila dianggap

subvertif, membahayakan negara, sehingga harus “ditumpas” eksistensinya.

62

Dengan kata lain, pemerintah orde baru tidak memberikan celah terhadap adanya

perbedaan yang sifatnya fundamental. Kebijakan pemberlakuan asas tunggal

cukup mengganggu eksistensi organisasi-organisasi pada saat itu, terkhusus di

dalamnya organisasi-organisasi massa Islam. Sudah sejak lama kekuatan Islam

dipandang serius oleh pemerintah. Kekuatan Islam sejak lama merupakan sebuah

kekuatan yang sangat potensial untuk membuat gerakan yang biasanya akan selalu

berlawanan dengan arah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Lebih jauh

ternyata kekuatan tersebut mengarah kepada gerakan perlawanan dan

pemberontakan. Hal ini muncul karena adanya sebuah keinginan yang sangat

fundamental, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.

Pemerintah Orde Baru memandang bahwa ideologi yang berbasis

keagamaan pada suatu organisasi akan sangat mudah memunculkan semangat

perlawanan terhadap pemerintah. Pemerintah memandang tepat untuk adanya

penyatuan yang sifatnya fundamental berupa penyeragaman ideologi. Pada

kondisi dimana setiap organisasi menerapkan asas Pancasila, maka semangat

perlawanan kepada pemerintah yang tumbuh dari nilai-nilai ajaran agama mampu

diredam. Setelah itu, maka langkah selanjutnya adalah mengarahkan pandangan

dan kehendak masyarakat sesuai dengan kepentingan dan kehendak pemerintah.

Dalam mengarahkan kehendak dan pandangan masyarakat tersebut, pemerintah

Orde Baru menerapkan gagasan sekulerisasi dalam kehidupan negara. Pemerintah

memandang bahwa masalah agama adalah urusan individual dan tidak ada

relevansinya dengan urusan politik kenegaraan. Agama hanyalah sebagai modal

dasar dalam menetukan arah perubahan sosial, namun tidak memiliki hubungan

struktural dengan institusi kenegaraan. Pandangan seperti itu cukup efektif dalam

mendoktri masyarakat dalam melakukan setiap aktivitasnya untuk

mengesampingkan ajaran agama dalam setiap hubungan sosialnya. Beragam

respon yang dilontarkan umat Islam terhadap kebijakan penyeragaman ideologi

itu. Respon tersebut di antaranya berbentuk penerimaan, sikap apatis, dan sikap

penolakan. Salah satu bentuk penolakan yang dilakukan oleh Mahasiswa Islam

Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Dua organisasi kaum pemuda Islam ini menolak dengan tegas tanpa kompromi

63

pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Kedua organisasi inilah yang kemudian

mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kemunculan gerakan-gerakan

kampus. Sikap penolakan tanpa kompromi terhadap pemberlakuan asas tunggal

itu membuahkan tindakan keras dari pemerintah Orde Baru saat itu, yaitu

pembubaran organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan dianggap terlarang

melalui SK Mendagri No. 120 tahun 1987.

Pembubaran secara formal PII tidak menjadikan mereka berhenti dari

perjuangnnya. Mereka melakukan gerakan-gerakan “bawah tanah” dalam

membina kaum muda Islam. Dalam situasi yang cukup menegangkan dan

statusnya yang illegal, maka pembinaan-pembinaanyang dilakukan pula sangat

sarat dengan muatan-muatan ideologis. Dari pembinaan-pembinaan yang

dilakukan itu menghasilkan kader-kader pemuda yang militan yang mempunyai

semangat dan pengorbanan yang besar dalam menentang kebijakan pemerintah

yang sangat kontroversial tersebut.

Kebijakan NKK/BKK yang digulirkan pada awal tahun 1980-an semakin

mempersempit ruang gerak dari gerakan mahasiswa. Semua aktivitas kampus

yang berbau politis harus disingkirkan dan tidak boleh hidup di tengah-tengah

kehidupan kampus. Aktivitas politis menjadi suatu wilayah “terlarang” bagi para

aktivis dakwah kampus. Aktivitas dakwah kampus pada saat itu lebih berorientasi

pada pemurnian ajaran dan pemikiran Islam, dari pada gerakan yang berorientasi

politik. Gerakan-gerakan yang mereka jalankan harus berada pada koridor

gerakan moral, tanpa ada misi-misi politik di dalamnya. Oleh karena itu,

pemerintah Orde Baru sangat concern pada upaya-upaya pengidentifikasian

gerakan-gerakan mahasiswa yang dipandang menyimpang dari konsep

NKK/BKK. Dalam kondisi yang penuh kekangan tersebut, bermunculan

kelompok-kelompok studi Islam, yang secara tidak langsung membawa

pencerahan baru bagi aktivitas dakwah kampus. Forum-forum studi yang

terbentuk berpengaruh pada perkembangan ke-Islaman dalam berbagai bidang

kehidupan dan implementasi nilai-nilai serta ajaran Islam dalam kehidupan sehari-

hari.

64

Sebelum menjadi sebuah partai, para aktivis PK adalah orang-orang yang

lebih bergelut di seputar kegiatan dakwah. Mereka bergerak di kampus-kampus

dan sangat terbatas disejumlah sekolah. Sesuai dengan kondisi Orde Baru yang

sangat reprensif dan “anti-Islam”, gerakan mereka bersifat bawah tanah. Pada

dekade 1980-an, kita mengenal mereka sebagai gerakan usroh. Namun, pada

1990-an dan hingga kini, mereka lebih menyukai disebut sebagai gerakan tarbiyah

(pendidikan).

Kegiatan mereka relatif tertutup dan dalam kelompok-kelompok kecil.

Lingkup kegiatannya terbatas pada pengajian dan sesekali tadabur alam. Mereka

sangat menghindari untuk bersentuhan dengan kegiatan politik maupun sosial.

Pokok bahasannya lebih pada masalah tauhid. Namun, mereka sangat disiplin

dalam hal ritual ibadah dan bentuk-bentuk keshalihan sosial. Organisasi mereka

sangat sederhana namun dengan disiplin dan hierarki yang ketat.

Situasi ini sangat berbeda dengan organisasi dakwah lain yang kemudian

bermetamorfosis menjadi partai atau berafiliasi dengan partai seperti Nahdlatul

Ulama dan Muhammadiyah. Walaupun mereka lahir dan tumbuh pada masa

kolonial, namun mereka organisasi permukaan tanah. Aktivitasnya terbuka dan

tokohnya pun dikenal sehingga publik cukup kenal mereka saat, mereka kemudian

bersama-sama mendirikan partai Masyumi atau ketika mereka kemudian

mendirikan/ merestui PKB maupun PAN. Kegiatan dakwah gerakan

usroh/tarbiyah relatif mengisolasi diri dari kehidupan politik, sosial, maupun

budaya di sekitarnya. Strategi ini paling pas buat mereka. Walau bagaimanapun,

mereka menyadari bahwa jika mereka tampil maka yang akan terjadi adalah

kegagalan: ditangkap, diintimidasi, dimati-sosialkan, dan akhirnya lebur dalam

suasana mayoritas yang diam terhadap represi dan ketidakadilan Orde Baru.

Walaupun mereka mengisolasi diri bukan berarti mereka adalah sekumpulan

orang-orang yang asing dan berjarak dengan negara-kebangsaan (nation-state)

Indonesia. Mereka mengisolasi diri untuk membentuk masyarakat yang solid

untuk melawan kediktaktoran.

Terbukti, ketika Orde Baru mulai melemah, mereka segera keluar sarang.

Aktivis mereka awalnya mengambil tema-tema dunia Islam Internasional seperti

65

soal Palestina maupun Bosnia. Walaupun demo-demo yang mereka gelar diikuti

massa yang sangat besar, namun mereka aman dari represi pemerintah saat itu.

Hal itu juga sekaligus sebagai ajang pelatihan. Massa mereka merupakan yang

paling efektif, berdisiplin, dan damai saat gerakan reformasi Mei 1998. Sampai

pada saat digulingkannya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai wujud

aksi perlawanan mahasiswa bersama rakyat untuk menyusun kekuatan untuk

mengadakan proses perubahan terhadap kondisi yang ada pada saat itu.

Lengsernya Soeharto bukan berarti menandai berakhirnya perjuangan mencapai

cita-cita dakwah untuk mengubah kondisi bangsa dan negara. Namun ini hanya

sebagai pintu gerbang untuk mengawali proses perubahan kehidupan bangsa

dalam sekuruh aspek kehidupan. Kondisi negara paska lengsernya Soeharto bukan

berarti Indonesia terlepas dari segala hal permasalahan yang ada sebelumnya.

Pada saat itu pengelolaan negara baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun

yudikatif masih banyak terpengaruh budaya Orde Baru, yaitu masih

membudayanya praktek-praktek KKN. Walaupun pada saat itu pintu kebebasan

sudah terbuka begitu lebar, namun kontrol masyarakat dalam hal ini terutama para

kativis dakwah kampus masih mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap para

penyelenggara negara. Berangkat dari kondisi seperti ini, maka munculah

pemikiran tentang membangun institusi kuat yang mempunyai daya tawar yang

baik terhadap pemerintah. Pada akhirnya, wacana ini cukup menkristal dalam

gagasan-gagasan para aktivis dakwah kampus, sehingga sampai pada suatu

kesimpulan pada suasana kebebasan yang terbentuk itu, perlu dimanfaatkan

seoptimal mungkin untuk mencapai cita-cita dakwah Islam. Institusi sebagai

pengontrol negara dan juga sebagai sarana perjuangan dakwah, pada akhirnya

berwujud sebagai sebuah partai politik.

Masyarakat mulai menyadari ada kekuatan yang besar dan terorganisasi

dengan rapi yang selama ini ada di bawah permukaan. Berawal dari gagasan-

gagasan itu, maka secara resmi pada tanggal 20 Juli 1998 (26 Rabi’ul Awwal

1419 H), didirikanlah sebuah partai politik yang diberi nama Partai Keadilan

(PK). Adapun pengukuhan dalam bentuk deklarasi oleh Dewan Pendiri Partai

dilakukan pada hari Ahad, 9 Agustus 1998 yang bertempat di Masjid Al-Azhar

66

Jakarta. Dewan Pendiri Partai berjumlah 50 orang dengan diwakili oleh Dr.H.M.

Hidayat Nur Wahid, MA, dan H. Luthfi Hasan Ishaaq, MA. Deklarasi partai

dihadiri oleh sekitar 50 ribu massa pendukung.

Dengan dukungan dan jaringan yang cukup besar bagi sebuah partai baru

tersebut, maka Partai Keadilan berhasil lolos menjadi salah satu kontestan Pemilu

1999. Perolehan suara yang diraih oleh PK cukup mengejutkan. Sebagai partai

baru yang belum mampunyai pengalaman masa lalu dan tidak memiliki tokoh

bertaraf nasional, ternyata PK berhasi mejadi tujuh partai besar dalam pemilu

1999 tersebut. Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta

suara (7 kursi DPR, 26 Kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD

Kota/Kabupaten). Namun demikian, dengan jumlah suara tersebut, Partai

Keadilan tidak mampu menembus ketentuan electoral threshold, yaitu batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 2% atau sepuluh kursi di DPR. Dengan

ketentuan tersebut, sudah bisa dipastikan Partai Keadilan tidak bisa lagi menjadi

kontestan pemilu pada tahun 2004.

Setelah melalui berbagai pemikiran dan pertimbangan, maka tibalah pada

sebuah keputusan, bahwa dalam rangka mempertahankan kiprah partai dalam

arena perpolitikan, dalam rangka mempertahankan serta menegakkan dakwah di

lingkungan kekuasaan negara, maka perlu dibentuk institusi baru untuk

melanjutkan perjuangan dari Partai Keadilan. Institusi baru penerus Partai

Keadilan tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai baru ini secara

resmi dideklarasikan pada hari Ahad, 20 April 2003 (9Jumadil’Ula 1423 H) di

lapangan Monas Jakarta. Pada saat itu pula disampaikan pernyataan resmi dari

Presiden Partai Keadilan, bahwa Partai Keadilan secara resmi bergabung dan siap

dipimpin oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS percaya bahwa jawaban

untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan

mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan

professional. Karena itu PKS sangat peduli dengan perbaikan-perbaikan kearah

terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera. Kepedulian ini yang menapaki

setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari sebuah entitas yang belum dikenal

67

sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia hingga dikenal dan eksis sampai

saat ini.

Beberapa hal yang terdapat dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS),

antara lain :

1) Landasan Filosofis

Pendirian Partai Keadilan Sejahtera tidak terlepas dari tujuan untuk

mencapai cita-cita perjuangan dakwah. Harakatul Islam (gerakan perbaikan) yang

meliputi segala aspek kehidupan bangsa dan negara memerlukan institusi politik

yang mempunyai kekuatan untuk ikut andil dalam menentukan kebijakan

pemerintah. Oleh karena itu, pembentukan partai merupakan pilihan yang lebih

tepat dalam rangka eksistensi perjuangan dakwah.

Partai politik merupakan sarana untuk menata kekuatan dan strategi

perjuangan untuk mencapai cita-cita dakwah. Adanya institusi formal ini akan

menjadi wadah konsolidasi kekuatan dan penentuan strategi perjuangan, sehingga

aktivitas dakwah menjadi lebih sistematis dan produktif. Banyaknya unsure

kekuatan dakwah yang sudah dimiliki akan menghasilkan perubahan kehidupan

bangsa yang signifikan, tanpa adanya pengaturan barisan dengan orientasi dan

perncanaan yang jelas. Oleh karena itu, partai ini didirikan dalam rangka

membangun kesadaran umat terhadap eksistensi dirinya dan menghimpunnya

dalam sebuah barisan yang solid, kuat dan teratur.

PKS mencoba menawarkan model sebuah partai yang modern yang tetap

memegang teguh nilai-nilai Islam. Sebagai partai dakwah, PKS tidak hanya

berorientasi untuk turut serta dalam pemilihan umum, namun lebih jauh

berorientasi pada perluasan dakwah dalam rangka mengembalikan nilai-nilai

Islam dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, partai ini tidak akan bubar hanya

karena kalah dalam jumlah perolehan suara dalam pemilu. Pemilihan umum

hanyalah sebagai wasilah (sarana), bukan sebagai tujuan dari keberadaan PKS.

Tujuan utama yang akan diraih adalah mewujudkan bangsa dan negara Indonesia

yang diridhoi Allah SWT.

Orientasi dan keberadaan partai yang tidak hanya menuju pemilu dan

kursi kekuasaan merupakan suatu hal yang tidak cukup lazim dalam budaya

68

perpolitikan Indonesia. Terlebih lagi bertujuan sebagai sarana kegiatan dakwah,

yang nilai dan budaya sudah mereka bangun selama ini dalam kegiatan

dakwahnya, belum tentu bisa diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, PKS sulit

untuk diidentikkan dengan keberadaan partai-partai lainnya di masa lalu.

2) Karakteristik

Ada tujuh karakteristik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sesuai dengan

apa yang tertuang dalam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pimpinan pusat.

Tujuh karakter tersebut adalah moralis, profesional, patriotik, moderat, demokrat,

reformis, dan independen.

a) Moralis

Sebagai sebuah partai yang memiliki semangat dan berlandaskan pada

nilai-nilai ke-Islaman, maka aspek moralitas ditempatkan pada karakter pertama

partai. Islam sebagai agama dan pedoman hidup yang lengkap dan sempurna,

tentunya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur

umatnya dalam masalah kegiatan ritual ibadah. Sebagai pedoman hidup, Islam

juga mengatur masalah ekonomi, hukum, politik, kebudayaan, dan pendidikan.

Islam merupakan jalan hidup yang total dan tawazun (seimbang), yang tidak

hanya mengatur aktivitas yang berorientasi ukhrawi, namun juga mengatur

masalah-masalah duniawi. Sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam juga

memberikan bimbingan dan menjadi pedoman dalam kehidupan politik. Politik

merupakan salah satu bagian terpenting dalam Islam. Dalam melakukan aktivitas

politik ini, setiap muslim terikat dan harus mengacu pada etika maupun norma

yang telah digariskan. Setiap muslim dilarang untuk menghalalkan segala cara

untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Prinsip-prinsip kebenaran, kejujuran, dan

amanah harus menjadi landasan dalam kiprah seorang muslim dalam kiprah

berpolitik.

b) Profesional

Profesional bercirikan pada penguasaan detail masalah yang akan

mengantarkan partai pada kebijakan-kebijakan yang bertanggung jawab atas

berbagai masalah yang dihadapi, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan

69

budaya. Pembentukan pribadi dengan memperhatikan intelektualitas, sikap kritis,

dan sensivitas mendapatkan perhatian yang lebih dalam aktivitas partai ini.

Profesional yang terbentuk tidak bisa terlepas dari karakter moral.

Dengan kata lain profesionalitas yang tumbuh dari kondisi yang penuh kebebasan

jharus senantiasa dikendalikan oleh rasa tanggung jawab pribadi. Dengan rasa

tanggung jawab ini maka segala bentuk penyelewengan, anarki, dan pelanggaran

terhadap hak-hak asasi orang lain dapat dihilangkan dari mulai lingkup organisasi.

c) Patriotik

Bagi kader PKS hidup berpartai adalah jihad siyasi (jihad dalam politik).

Jihad dalam politik merupakan perjuangan menegakkan dakwah Islam melalui

arena perpolitikan. Karena itu jihad politik merupakan sebuah kewajiban bagi

kader dalam rangka memperjuangkan dakwah Islam melalui medan siyasah

(politik). Pemahaman dan keyakinan seperti ini telah terpatri dalam pribadi kader,

sehingga mereka siap mengerahkan segenap kemampuan untuk menjayakan

partai. Hal ini tidak mengherankan karena jiwa patriotik sesungguhnya merupakan

sebuah karakter yang dibangun sejak lama dalam tubuh Partai Keadilan, atau

bahkan sebelum berdirinya Partai Keadilan, melalui proses tarbiyah (pembinaan).

d) Moderat

Sikap moderat merupakan sesuatu sikap yang alamiyah., bahwa alam ini

diciptakan dengan segala keseimbangan dan keadilannya. Kehidupan alam

semesta tidak hanya mengutamakan satu sisi kehidupan saja, namun secara

komprehensif memperhatikan seluruh segi kehidupan. Oleh karena itu, sikap

pertengahan merupakan sebuah sikap yang alamiah, dimana pemikiran,

pandangan, dan sikap moderasi, berimbang dan pertengahan, serta saling

melengkapi bagi manusia dan kehidupan merupakan sikap objektif yang selaras

dengan tata alamiah. Sikap semacam ini merupakan refleksi dari pandangan yang

menggambarkan jalan tengah yang telah menjadi ciri umat pilihan, umat yang

jauh dari sikap berlebih-lebihan dan pengabaian.

e) Demokrat

Berkaitan dengan karakter ini, Partai Keadilan Sejahtera menerima nilai-

nilai universal dari demokrasi, yang notabene bukan nilai yang berasal dari Islam.

70

Nilai dan semangat demokrasi dalam kondisi bangsa yang ada saat ini lebih

memungkinkan masyarakat leluasa dalam menyikapi pendapat, mengekspresikan

diri dan menyalurkan potensinya membentuk kekuatan kebersamaan. Nilai

demokrasi yang beresensikan pada pembentukan partisipasi rakyat dalam

penyelenggaraan kekuasaan Negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Namun perlu diingat bahwa penyelenggaraan negara disini didasarkan pada nilai-

nilai syuro, dimana penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah Negara

didasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan sunnah.

f) Reformis

Partai Keadilan Sejahtera menempatkan dirinya sebagai partai reformis

yang berupaya konsisten menjauhkan diri dari sifat-sifat atau karakter-karakter

yang menyimpang dan menimbulkan kerusakan. Karakter reformis pada diri PKS

berawal dari kualitas pribadi kader yang mampu menampilkan shaksiyah

(kepribadian) Islam dalam berbagai segi kehidupan. PKS berprinsip bahwa

persoalan politik sama pentingnya dengan pembinaan pribadi para calon politikus.

Oleh karena itu aktivitas kaderisasi pada partai ini menjadi aktivitas utama yang

terus dilakukan secara intensif. Tidak heran kalau partai ini sering disebut sebagai

partai kader.

g) Independen

Definisi independen atau merdeka yang dimiliki oleh PKS adalah seperti

halnya yang dikemukakan oleh seorang panglima perang Islam, Ribi’ bin Amir di

hadapan panglima Rustum, “Aku datang diutus untuk membebaskan manusia

menuju penghambaan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju

keluasan dunia-akhirat, dan dari tirani agama-agama menuju keadilan Islam”.

Dengan prinsip kemerdekaan ini, maka kemerdekaan, kebebasan, dan keasilan

yang dipunyai dan dicita-citakan oleh Partai Keadilan Sejahtera adalah tidak

terbataskan oleh perbedaan etnis, ras, suku, status sosial, dan agama.

3) Paradigma

Terminologi yang muncul di tengah kehidupan modern untuk

menggambarkan aktivitas perubahan sosial terencana adalah pembangunan. Sejak

71

akhir tahun lima puluhan dan akhir tahun enem puluhan, pembangunan disama

artikan dengan kemajuan dan modernisasi. Menurut konsep ini, perbaikan

lingkungan fisik atau kemajuan material merupakan fokus dari aktivitas

pembangunan. Negara sedang berkembang dan negara terbelakang diartikan

sebagai negara yang dalam bidang industri, ekonomi, teknologi, kelembagaan dan

kebudayaan sedang berusaha untuk maju meniru model negara maju di barat.

Implementasi konsep pembangunan semacam itu, akan menihilkan

perlindungan terhadap lima aspek utama kebutuhan dasar manuasia (agama, jiwa,

akal, harta dan keturunan). Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam atas

konsep pembangunan yang akan diterapkan. Urbanisasi dan industrialisasi

melahirkan masalah kebodohan, kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan rasa

tidak tenteram. Beberapa analisis mutakhir atas dampak ideologi

developmentalisme Barat memperlihatkan suatu kesimpulan, bahwa pembangunan

telah menyeret manusia kepada enam ancaman serius, yaitu: industri yang tidak

terkendali; mengeringnya sumber-sumber alam (seperti energi, hutan, pangan dan

air); tekanan perkapita yang telah melampaui titik kritis atas tanah dan

lingkungan; limbah industri dan rumah tangga yang terus bertambah; perlombaan

senjata nukli, kimia dan biologi; pertumbuhan dan persebaran penduduk dunia

secara tidak terkendali. Indonesia harus merumuskan ulang paradigma

pembangunannya dengan menyaring konsep yang dating dari luar secara kritis

dan tepat, dan berani mengungkapkan gagasan-gagasan orisinilnya.

Pancasila sebagai dasar negara, secara konsepsional mengandung nilai-

nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), demokrasi (syura), hak asasi manusia

(maqasi syariah), pluralitas persatuan dan kesatuan, dalam semangat

kekeluargaan dan kebersamaan yang harmonis serta untuk mewujudkan keadilan

social bagi seluruh Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan idiil

kehidupan berasama bangsa Indonesia.

Tujuan didirikannya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagaimana

tertuang dalam Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera Pasal 5, yaitu:

72

1. Terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun

1945, dan

2. Terwujudnya masyrakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi

Allah subhanahu wa ta’ala, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4) Prinsip Dasar

Sebagai Industri kepartaian yang memiliki agenda politik, ada beberapa

prinsip dasar yang menjadi pegangan Partai Keadialan Sejahtera, yaitu sebagai

berikut:

a) Keadilan, persamaan dan keseimbangan adalah pengakuan terhadap

keberadaan dan hak-hak politik dan sosial setiap manusia yang memiliki

kedudukan hukim dan undang-undang yang sama, meski berbeda suku, warna

kulit, dan agama, baik laki-laki maupun perempuan.

b) Kesatuan nasional, yaitu memperkokoh struktur Negara sambil tetap menjaga

integritas dan persatuan nasional. Memandang pluralitas rakyat dan realitas

hokum serta kekayaan alam sebagai kenyataan alamiah yang harus dihormati

secara proporsional.

c) Kemajuan, adalah membangun kesadaran sejarah, kesadaran tentang realitas

dan kesadaran tentang keharusan melakukan perbaikan sebagai perwujudan

kewajiban sebagai makhluk moral dalam melaksanakan misi untuk

membangun peradaban.

d) Khidmatul Ummah demi persatuan, adalah upaya menjadi jembatan berbagai

kelompok, organisasi atau partai-partai Islam dalam mewujudkan persatuan

umat.

e) Kerjasama internasional, yaitu menjalin interaksi dengan bangsa lain dalam

rangka menandaskan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia

adalah bangsa yang cinta damai, mengakui hak-hak bangsa-bangsa dalam

kehidupan bersama yang saling menghormati dan saling bekerja sama untuk

meningkatkan kemajuan, pertumbuhan, dan pemekmuran bumi yang dilandasi

rasa keadilan.

73

5) Visi dan Misi

a) Visi Partai Keadilan Sejahtera

PKS mempunyai Visi Umum dan Visi Khusus, yaitu :

(1) Visi Umum

Sebagai Partai Dakwah Penegak Keadilan dan Kesejahteraan Dalam

Bingkai Persatuan Umat dan Bangsa.

(2) Visi Khusus

Partai berpengaruh, baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun

opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yanga madani.

Visi ini akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai:

1. Partai da’wah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses

pembangunan kembali umat dan bangsa diberbagai bidang.

3. Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan

berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan

system Islam yang rahmatan lil alamin.

4. Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia.

b) Misi Partai Keadilan Sejahtera

1) Menyebarluaskan da’wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai

anashir taghyir.

2) Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami

diberbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.

3) Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi

penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.

4) Membangun kesadaran politik masyrakat, melakukan pembelaan,

pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.

5) Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara

konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam.

74

6) Secara efektif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan ishlah

dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya

ukhuwah Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai

komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam

merealisir agenda reformasi.

7) Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan

menolak kedhaliman khususnya terhdap negeri-negeri muslim yang

tertindas.

6) Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera

Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, merupakan

dokumen yang merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap

berbagai persoalan di Indonesia. Platform Kebijakan Pembangunan PKS ini akan

menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai, dan akan menjadi sebuah

dakwah Partai Keadilan Sejahtera di semua sektor kehidupan, dapat diberdayakan

dan didaya gunakan, bekerja secara terintegrasi, kontinyu, fokus dan terarah

sehingga sumber daya partai yang terbatas bisa dikelola secara baik menjadi

efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan

secara langsung bisa dirasakan oleh para simpatisan, konstituen partai, dan

masyarakat. Platform Kebijakan Pembangunan PKS dalam berbagai bidang

kehidupan yang strategis dipandang penting untuk dua sasaran, yaitu pertama,

sebagai instrument komunikasi kepada massa konstituen sekaligus sebagai alat

untuk meresonansikan presepsi tentang kehidupan bersama yang diperjuangkan.

Kedua, Sasaran yang bersifat internal ke dalam tubuh PKS sebagai institusi

dakwah terhadap negara, pengelolaan negara dan kehidupan bersama dalam

wilayah NKRI. Platform politik ini juga menegaskan kembali karakteristik PKS

sebagai partai dakwah, yang bukan sekedar bekerja struggle for power secara

structural politik setiap 5 tahunan dalam bingkai pemilu, tetapi juga sebagai

sebuah partai yang menggulirkan kerja-kerja kultural dalam pembangunan umat

dan peradaban.

75

Sebagai wujud dari ras tanggung jawab PKS dalam perbaikan kehidupan

bangsa dan negara dan sebagai dari penyelesaian masalah bangsa dalam rangka

mewujudkan masyarakat madani adil, sejahtera dan bermartabat, maka dalam

platform tersebut berisi kebijakan-kebijakan yang dibagi menjadi dua rumusan

yaitu kebijakan umum. Kebijakan umum dijabarkan dalam berbagai aspek yang

merupakan lingkup kehidupan sehari-hari partai yaitu :

a) Ideologi

Diprediksi kesadaran politik masyarakat akan terus meningkat seiring

penguatan ideologisasi dalam tubuh partai politik. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan

sebuah kebijakan dasar dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya konflik-

konflik ideologis dikalangan aktivis partai.

1) Memproyeksikan Islam sebagai sebuah ideologi umat yang menjadi

landasan perjuangan politik menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin.

2) Menjadikan ideologi Islam sebagai ruh perjuangan pembebasan manusia

dari penghambaan anata sesama manusia manuju pengahambaan hanya

kepada Allah SWT; pembebasan manusia dari kefajiran idiologi rekaan

manusia menuju keadilan Islam; dan mengantarkan manusia kepada

kebahagiaan dan ketenangan hidup.

3) Operasionalisasi ideologi Islam dan cita-cita politiknya di atas tiga

prinsip, yaitu:

a. Kemenyeluruhan dan finalitas Islam

b. Otoritas syari’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan

Ijtihad

c. Kesesuaian aplikasi sistem dan solusi Islam dengan setian zaman dan

tempat

b) Politik

(1) Pembanguna sistem. Memperjuangkan konsepsi-konsepsi Islam dalam

sistem kemasyarakatan dan kenegaraan

(2) Pembangunan komunikasi politik. Komunikasi politik dipandang sebagai

proses yang dilakukan satu system untuk mempengaruhi sistem yang lain

76

melalui signal-signal yang disampaikan. Dikarenakan komunikasi politik

dilakukan dengan tujuan tujuan agar orang lain mau berpartisipasi dalam

politik maka diperlukan beberapa kerangka dasar yang dapat dijadikan

guidance para aktivis dalam komunikasi politik, yaitu :

(a) Penyadaran umum pentingnya sistem politik Islami sebagai solusi

terhadap persoalan bangsa dan negara.

(b) Mengokohkan kredibilitas dan efektifitas komunikasi antara partai

dan masyarakat

(3) Pembangunan budaya politik

a. Mengokohkan Islam sebagai sumber nilai budaya dalam kehidupan

politik

b. Mengembangkan budaya egaliter dan demokratis yang tercermin

dalam perilaku politik

c. Membangun budaya rasionalitas dalam kehidupan politik

d. Mengembangkan budaya hisbah

(4) Pembangunan partisipasi politik

(a) Perubahan kondisi yang menyebabkan lahirnya kesediaan

masyarakat untuk berpartisipasi politik melalui Partai Keadialan

Sejahtera secara sukarela.

(b) Mempersiapkan suasana yang konusif yang dapat menarik orang

untuk berpartisipasi secara bebas.

(5) Hubungan Eksternal

Pola ta’awun ‘alal birri wat taqwa (bekerja sama dalam merealisir

kebijakan dan taqwa), dan tidak ta’wun ‘alal ismi wal ‘udwan

(bekerjasama dalam dosa dan melanggar hukum) adalah merupakan

prinsip dasar dalam membangun kerjasama. Selain itu Al-Wala

merupakan asas hubungan sesama muslim. Sedangkan Al-Barra

merupakan asas hubungan dengan orang-orang kafir. Dalam rangka

optimalisasi prinsip dasar hubungan sesame manusia dalam perspektif

Islam itu perlu kebijakan umum, yaitu:

77

(a) Bersikap cinta, kerja sama (ta’awun), dan loyal dengan partai,

organisasi, dan lembaga-lembaga Islam, baik di dalam maupun di

luar negeri.

(b) Aktif dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk terciptanya

kerjasama, ukhuwah, dan persatuan antara lembaga-lembaga Islam.

(c) Membudayakan sikap baik sangka (husnuzhan) terhadap sesama

organisasi Islam.

(d) Bersikap tegas terhadapa semua institusi yang mengusung dan

mengibarkan bendera kekufuran.

c) Birokrasi

Dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul dalam bidang

birokrasi maka Partai Keadilan Sejahtera perlu memiliki kebijakan dalam bidang

birokrasi dengan tujuan islah al-hukumah dengan kebijakan sebagai berikut, yaitu:

1) Lebih memperhatikan birokrasi dengan memasukkan anasir-anasir

taghyir internal untuk menduduki jabatan strategis dengan tetap

berpegang pada asas kepatutan dan akhlak karimah

2) Membentuk wadah independent bagi pegawai yang bekerja di

pemerintahan

3) Menjadi pelopor dalam pemberantasan KKN dan dalam menegakkan

kejujuran, keadilan, kesederhanaan, dan profesionalisme dalam melayani

masyarakat.

4) Melakukan kontrol secara aktif.

d) Ekonomi dan Kesejahteraan

Langkah-langkah strategis dan konkrit dalam upaya menumbuhkan

kemandirian, yaitu:

1) Menumbuhkan kesadaran nilai-nilai Islam dalam perilaku dan kebijakan

ekonomi

2) Mambangun kekuatan ekonomi umat dan bangsa melalui pendirian

proyek ekonomi yang mandiri betapapun kecilnya dan memberantas

KKN, sistem kartel, dan monopoli yang menghancurkan ekonomi rakyat.

78

3) memeilihara kekayaan umat secara umum dengan mendorong

berkembangnya industri dan proyek-proyek ekonomi Islam.

4) tidak membiyarkan begitu saja satu keping mata uang jatuh ketangan

musuh-musuh umat

5) menjaga kekayaan alam dari eksploitasi yang merugikan rakyat banyak

6) memperbanyak usaha-usaha solutif dan pilot roject untuk memajukan

ekonomi rakyat, bekerjasama dengan berbagai pihak yang komitmen baik

di dalam maupun diluar negeri.

e) Sosial Budaya

Kecenderungan membiaknya deviasi sistemik pada bidang sosial budaya,

pengabaian nilai-nilai luhur yang diiringi dengan menguatnya kultur materialisme,

dan serbuan budaya pop yang dibarengi dengan kecenderungan distorsi

pemahaman keagamaan bagi sebagian besar masyarakat muslim telah menjadi

fenomena umum. Hal itu menjadi kondisi lingkungan sosial yang jauh dari nilai-

nilai Islam. Oleh sebab itu, Partai Keadilan Sejahtera perlu mengantisipasi sedini

mungkin setidak-tidaknya untuk membentengi dengan menetapkan kebijakan

umum sebagai berikut, yakni:

(1) Membangun imunitas individu, keluarga, dan masyarakat dari berbagai

virus sosial budaya yang dapat merusak jati diri kaum muslimin.

(2) Mengembangkan produk-produk budaya Islam baik dalam bentuk

keteladanan ataupun dalam bentuk kesenian

(3) Aktif dalam mewujudkan perundang-undangan yang meninggikan

budaya bangsa dan mengkoreksi budaya yang merusak.

f) IPTEK dan Industri

IPTEK dan industri merupakan syarat bagi kemajuan materi suatu bangsa

dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Sedangkan kebahagiaan hakikinya

hanya mungkin tercipta apabila manusia mampu memahami kehendak Allah yang

dimanifestasikan di dalam hukum-hukum-Nya, dan diaplikasikan melalui aktivitas

etis, aktivitas sosial, dan teknologi yang dikendalikan secara etis. Untuk itu perlu

sebuah kebijakan yang dapat mengarahkan IPTEK dan industri untuk kebahagiaan

manusia, yaitu :

79

(1) Penguasaan bidang IPTEK dan industri sebagai syarat kemajuan

materi suatu bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan hidup

manusia.

(2) Menghidupkan upaya-upaya pemberian bingkai moral dalam

pengembangan dan aplikasi IPTEK, sehingga menjadi rahmat bagi

manusia.

(3) Mengembangkan IPTEK terapan untuk membantu akselerasi

penguasaan teknologi dalam rangka peningkatan sumber daya umat.

(4) Menumbuhkembangkan sentra-sentra industri yang strategis untuk

kemajuan ekonomi umat dan bangsa.

g) Peran dan Tugas Wanita

Pada kenyataannya bahwa tugas memakmurkan bumi (istikhlaf)

merupakan tugas kolektif manusia (laki-laki dan perempuan) yang menunjukkan

kenyataan adanya prinsip ‘kemitraan’ dalam peran sosial politiknya. Hal itu

setidak-tidaknya tercermin dalam persamaan nilai kemanusiaan, persamaan hak

sosial, dan persamaan dalam tanggung jawab beserta balasannya. Kenyataan lain

menunjukkan partisipasi wanita dalam siyasah, terutama dalam perolehan suara

pada Pemilu, sangat signifikan. Oleh sebab itu, partai perlu memiliki kebijakan

dasar mengenai keterlibatan wanita dalam politik, yaitu:

(1) Mengoptimalkan peran wanita dalam segala bidang kehidupan dengan

tetap memelihara harakat dan martabat kewanitaan.

(2) Membangun kondisi yang kondusif bagi optimalisasi peran politik

wanita dalam mengusung cita-cita politik dengan tetap berpegang pada

nilai-nilai Islam dan fitrah.

(3) Keseimbangan hak pemberdayaan politik

(4) Keseimbangan proporsional dalam penempatan wanita di lembaga-

lembaga strategis baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

(5) Perhatian yang cukup terhapa isu-isu kontemporer wanita yang

berkembang di masyarakat.

(6) Menjadikan institusi keluarga sebagai lembaga pendidikan politik.

h) Hukum

80

Dalam rangka turut menegakkan supremasi hukum di Indonesia, maka

Partai Keadilan Sejahtera perlu menentukan kebijakan dasar sebagai berikut :

(1) Mendukung terwujudnya supremasi hukum di dalam kehidupan

masyarakat.

(2) Membangun kesipan masyarakat untuk secara bertahap manerima

syariat Islam melalui cara-cara yang syar’i dan konstitusional.

(3) Memperjuangkan secara struktural pemberlakuan hukum-hukum Islam

yang masyarakat telah siap menerimanya.

(4) Mempraktekkan ajaran Islam dan syariatnya secara istiqomah, sebagai

solusi, keteladanan dan rahmat bagi kehidupan.

i) Pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang seharusnya

ditangani secara serius dan bertanggungjawab. Dalam konteks kehidupan

berbangsa dan bernegara, pendidikan adalah dasar pembentukan karakter bangsa.

Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan harus sejalan dengan nilai-nilai dan

keyakinan otentik bangsa. Maka setiap upaya pendidikan yang bertentangan

dengan nilai-nilai dasar suatu bangsa akan melahirkan generasi yang rapuh dan

lepas dari akar kekuatannya. Partai Keadilan Sejahtera mempunyai kebijakan

dalam rangka turut serta meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, yaitu :

(1) Mengupayakan secara sungguh-sungguh terselenggaranya system

pendidikan integral yang menjamin lahirnya generasi yang beriman,

bertaqwa, cerdas, dan trampil.

(2) Melindungi anak bangsa dari sasaran rekayasa pendangkalan aqidah

dan pemurtadan yang berkedok aktivitas pendidikan.

(3) Memperjuangkan model pendidikan yang terjangkau seluruh elemen

masyarakat dan berkualitas.

b. Deskripsi Partai Keadilan Sejahtera Skala Nasional

1) Struktur Organisasi

81

Sejak awal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera pada tanggal 20 April

2002, partai ini telah berhasil melakukan pengembangan struktural partai secara

vertikal dengan terbentuknya jaringan sebanyak 30 DPW, 366 DPD, dan 2475

DPC di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Anggaran Dasar Partai BAB IV Pasal 8

tentang Struktur Organisasi, di tingkat nasional/pusat, yaitu:

a) Majelis Syura

b) Dewan Pimpinan Tingkat Pusat

c) Majelis Pertimbangan Pusat

d) Dewan Pengurus Pusat

e) Dewan Syari’ah Pusat

Struktur pelaksana harian diserahkan kepada Dewan Pimpinan Pusat

(DPP) dengan skup nasional sampai tingkat kelurahan, yang meliputi:

a) DPP (Pengurus harian setingkat nasional)

b) DPW (Pengurus harian setingkat propinsi)

c) DPD (Pengurus harian setingkat kotamadya atau kabupaten)

d) DPC (pengurus harian setingkat kecamatan)

e) DPRa (Pengurus harian setingkat kelurahan)

2) Keanggotaan

Dalam Anggaran Dasar BAB III Pasal 9 mengenai Keanggotaan

disebutkan bahwa setiap warga Negara Indonesia dapat menjadi anggota partai.

Sedangkan dalam Anggran Rumah Tangga BAB III Pasal 5 mengenai Sistem dan

Prosedur Keanggotaan disebutkan bahwa anggota Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) terdiri dari, yaitu:

a) Anggota Kader Pendukung, yaitu mereka yang terlibat aktif mendukung setiap

kegiatan kepartaian. Anggota Kader Pendukung terdiri dari:

(1) Anggota Pemula yaitu mereka yang mengajukan permohonan untuk

menjadi anggota partai dan terdaftar dalam keanggotaan partai yang

dicatat oleh Dewan Pimpinan Cabang setelah lulus mengikuti Training

Orientasi Partai.

82

(2) Anggota Muda yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai

yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dan telah lulus

pelatihan kepartaian tingkat dasar satu.

b) Anggota Kader Inti yaitu anggota yang telah mengikuti berbagai kegiatan

pelatihan kepartaian dan dinyatakan lulus oleh panitia penyeleksi. Anggota

Kader Inti terdiri dari :

(1) Anggota Madya yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai

yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dan telah lulus

pelatihan kepartaian tingkat dasar dua.

(2) Anggota Dewasa yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan

partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah dan telah lulus

pelatihan kepartaian tingkat lanjut.

(3) Anggota Ahli yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai

yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dan telah lulus pelatihan

kepartaian tingkat tinggi.

(4) Anggota Purna yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai

yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dan telah lulus pelatihan

kepartaian tingkat ahli.

c) Anggota Kehormatan, yaitu mereka yang berjasa dalam perjuangan partai dan

dikukuhkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.

c. Diskripsi Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta

1) Struktur Kepengurusan

Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)

PKS, Dewan Pimpinan Tingkat Daerah (DPTD) terdiri dari Majelis Pertimbangan

Daerah (MPD), Dewan Pengurus Derah (DPD), dan Dewan Syari’ah Daerah

(DSD). Dalam struktur kepengurusan ketiganya memiliki kedudukan yang sejajar.

Adapun Struktur komposisi pengurus DPTD PKS Kota Surakarta adalah sebagai

berikut :

a) Majelis Pertimbngan Daerah (MPD)

Kepengurusan MPD Kota Surakarta terdiri dari :

83

(1) Ketua : Muhammad Rodhi, Ir

(2) Sekretaris : Ma’ruf Pujianto

(3) Anggota : - Dra. Muti Mujiyati, M.Si.

- Haryanto, S.Pd.

b) Dewan Pengurus Daerah (DPD)

DPD adalah lembaga eksekutif partai di tingkat kabupaten/kota.

Kepengurusan DPD PKS Kota Surakarta terdiri dari seorang Ketua Umum,

beberapa Ketua Bidang, Seorang Sekretaris dan beberapa wakil Sekretaris Umum

dan seorang Bendahara Umum dan beberapa wakil Bendahara Umum, Lebih

jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Struktur Komposisi DPD PKS Kota Surakarta

Gambar 3. Struktur Komposisi DPD PKS Kota Surakarta

c) Dewan Syari’ah Daerah (DSD)

Kepengurusan MPD Kota Surakarta terdiri dari :

Ketua Umum DPD Sugeng Riyanto,SS

Bendahara Umum Asih Sunjoto Putro, S.Si

Sekretaris Umum Abdul Ghofur I, S.Si

Bidang Pembinanaa Kader

Fa. Izzaturrohman, ST, MT

Bidang Ekueintek

Dwi Setyo I,SP

Bidang Kewanitaan

Suranti Donita R, S.Pi

Bidang Pelajar dan Mahasiswa

Ahmad Masduki, SH

Bidang Politik dan Hukum M. Ikhlas

Thamrin, SH

Bidang Humas Thamrin

Kurniawan

Bidang Kesejahteraan

Rakyat Lukman Ali P,

S.Sos

84

(1) Ketua : Wahid Ahmadi

(2) Anggota : Kasori Mujahid, S.Si

2) Sekretariat

Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta

berlokasi di Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta,

Jawa Tengah.

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian

Pemilu merupakan sebuah sarana untuk mengisi jabatan-jabatan politik

dalam pemerintahan berdasarkan pada pilihan warga negara yang sudah

memenuhi syarat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat

dalam menggunakan hak pilihnya dalam hal ini pemilu legislatif sangat penting

sekali dalam rangka menciptakan sirkulasi elite atau wakil-wakil rakyat melalui

mekanisme pemilu tersebut. Meskipun berhasil atau tidaknya penyelenggaraan

pemilu tidak dapat didasarkan besar-kecilnya partisipasi masyarakat, tetapi besar-

kecailnya partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya secara tidak

langsung berpengaruh terhadap legitimasi politik kebijakan-kebijakan lembaga

legislatif maupun pemerintah yang sedang berkuasa. Akan tetapi, dalam

kenyataannya tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada

pemilu legislatif 2009, salah satunya di warga masyarakat di Tempat Pemungutan

Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta

sejumlah 136 pemilih.

Salah satu upaya untuk menekan angka golput agar tidak mengalami

peningkatan jumlahnya dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan

politik bagi masyarakat terutama bagi pelaku golput itu sendiri. Pendidikan politik

dilakukan dengan bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesadaran dan

partisipasi politik masyarakat, juga bertujuan untuk membangun kepribadian

seseorang dengan membangun mental spiritualnya sehingga dapat melaksanakan

hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Salah satu dari lembaga pendidikan politik yaitu partai politik. Partai politik

mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik dalam menumbuhkan

85

kepribadian, kesadaran, dan partisipasi politik masyarakat. Salah satu tujuan dari

pendidikan politik dalam menumbuhkan sikap, kesadaran, dan partisipasi politik

salah satunya dalam pelaksanaan pemilu yaitu dengan menggunakan hak pilihnya

dengan benar. Sesuai dengan hal tersebut maka untuk memberikan gambaran

mengenai permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun

2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan.

Pemilihan umum legislatif merupakan manifestasi dari sebuah pesta

akbar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi

tidak semua warga negara yang mempunyai hak pilih dapat memanfaatkan

kesempatan tersebut dengan baik yaitu dengan cara menggunakan hak pilihnya

untuk ambil bagian dalam proses perubahan politik dalam hal ini perubahan elite

wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan. Dengan berbagai alasan

yang komplek menyebabkan sebagian pemilih memutuskan tidak menggunakan

hak pilihnya dengan baik. Seperti halnya dengan apa yang telah terjadi kepada

sebagian masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik di TPS

XII Sondakan, Laweyan, Kota Surakarta. Meskipun dilakukan oleh sebagian

pemilih di TPS tersebut, akan tetapi layak menjadi sebuah bahan pembelajaran

mengenai faktor peyebab yang menjadikan sebagian pemilih di TPS tersebut tidak

menggunakan hak pilihnya dengan baik.

Data jumlah pemilih di TPS XII Sondakan secara keseluruhan sebanyak

337 pemilih. Tidak semua pemilih di TPS XII Sondakan mengguanakan hak

pilihnya dengan baik yang dikarenakan oleh faktor antara lain : Pertama, masalah

administratif yaitu Dia (pemilih) terdaftar sebagai pemilih di sini atau TPS XII

Kelurahan Sondakan, tetapi tempat tinggalnya di luar kota atau daerah tempat dia

berkerja; Kedua, ideologis yaitu sebagian pemilih menganggap memilih atau

tidak, tidak akan berpengaruh secara langsung terhadap mereka; Ketiga,

masyarakat tidak mengenal atau mengetahui para caleg secara jelas karena

kurangnya sosialisasi. Faktor-faktor penyebab tersebut untuk lebih jelasnya

dipaparkan sebagai berikut :

86

a. Masalah Administratif

Masalah Administratif menjadi salah satu faktor penyebab sebagian

pemilih di TPS XII tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009.

Hal tersebut dialami oleh beberapa warga yang terdaftar sebagai pemilih di TPS

XII yang pada saat hari dilaksanakannya pemungutan suara tidak berada dimana

pemilih terdaftar sebagai pemilih di TPS XII Sondakan. Meskipun sebenarnya

memilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai pemilih di perbolehkan,

tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Apabila

pemilih tidak dapat melakukan pemilihan di TPS dimana ia terdaftar, sebelumnya

harus melakukan pemberitahuan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara

ditempat ia terdaftar sebagai pemilih dengan memberikan alasan yang jelas dan

dapat diterima. Apabila dapat diterima dan disetujui akan diberi surat pengantar

yang ditujukan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara yang ditunjuk

oleh pemilih. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di luar

kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan. Seperti yang diungkapkan oleh

Rachmad Andi Sulistyo, S.T. dan Ninik Resmi Nur Akhdiyati yang pada hari

pemungutan suara tidak menggunakan hak pilihnya karena berada di Jakarta

untuk berkerja sebagai berikut :

Kebetulan saya dan istri saya pada pemilu legislatif 2009 sama-sama berkerja di Jakarta dan mengontrak rumah disana padahal saya masih tercatat sebagai warga di kampung dan terdaftar sebagai pemilih di daerah saya. Pada hari pemungutan suara saya tidak bisa pulang karena liburnya hanya sehari dan pekerjaan saya masih banyak yang harus segera diselesaikan, sehingga saya tidak menggunakan hak pilih karena tidak datang ke TPS. (Wawancara dengan Rachmad Andi Sulistyo, S.T. dan Ninik Resmi Nur Akhdiyati, 11 November 2009).

Hal tersebut juga di ungkapkan oleh Yanuar Joko Listyanto, S.T. sebagai pemilih

di TPS XII Sondakan yang juga tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada

pemilu legislatif dikarenakan terkendala masalah administratif untuk menjadi

pemilih di TPS di tempat tinggalnya dimana dia berkerja, yang mengatakan “Pada

pemilu legislatif kemarin saya tidak menyontreng karena saya masih di Jakarta

menyelesaikan proyek dan tidak sempat balik ke Solo. Padahal Saya terdaftar

menjadi pemilih di Solo untuk mengurus menjadi pemilih disana juga harus

87

meminta surat pengantar dari Solo dulu”. (Wawancara dengan Yanuar Joko

Listyanto, S.T. , 18 November 2009).

Ketatnya prosedur yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umum

tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi adanya kecurangan

yang dilakukan oleh pemilih pada pemilu legislatif 2009 agar tidak menjadi

pemilih ganda yang dapat dimanfaatkan untuk memenangkan calon anggota

legislatif maupun partai politik. Karena pemilu legislatif sendiri merupakan

pemilihan umum dengan skala nasional sehingga memang harus benar-benar

maksimal. Akan tetapi hal tersebut juga mempunyai kelemahan yaitu terhadap

pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya di TPS bukan dimana dia terdaftar

sebagai pemilih. Dari uraian penjelasan di atas merupakan salah satu faktor yang

menjadi penyebab pemilih di TPS XII Sondakan tidak dapat menggunakan hak

pilihnya.

b. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada

Masyarakat

Pemilu legislatif era reformasi berbeda dengan pemilu pada masa orde

baru yang hanya di ikuti oleh tiga partai politik, akan tetapi pasca tumbangnya

orde baru berganti dengan sistem multi partai (banyak partai) dan pemilihan

secara langsung untuk memilih calon anggota legislatif. Sistem pemilu yang

dipakai masih melanjutkan sistem pemilu sebelumnya, yaitu sistem proporsional.

Konsep representasi atau daerah pemilih yang dipakai adalah provinsi atau

bagian-bagian provinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi yang diperebutkan

disetiap daerah pemilihan (district magnitude) berkisar antara tiga sampai dengan

sepuluh kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi yang diperebutkan di

setiap daerah pemilihan berkisar antara tiga sampai dengan dua belas kursi. Dalam

kandidasi anggota DPR, setiap partai poltik dapat mengajukan calon sebanyak-

banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada

setiap daerah pemilihan. Pada setiap tiga nama calon, partai harus menyertakan

sekurang-kurangnya 1 (satu) calon perempuan (kuota 30% dalam pencalonan).

88

Dengan semakin banyaknya partai politik dan caleg yang diajukan setiap

partai tidak diimbangi dengan pelaksanaan kampanye yang cukup singkat

menimbulkan sebuah persoalan yang secara langsung berhubungan dengan

pemilih yaitu kurang optimalnya kampanye yang berhubungan dengan pengenalan

atau sosialisasi calon legislatif terhadap pemilih. Sosialisasi tidak hanya sekedar

memasang atribut dan gambar caleg dan partai, akan tetapi ada yang lebih penting

dari hal tersebut yaitu pengenalan secara langsung caleg dengan visi, misi dan

program yang ditawarkan kepada pemilih, karena masyarakat sudah semakin jeli

dan pandai dalam memberikan. Kurang optimalnya sosialisasi caleg dengan

pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak digunakannya hak pilihnya.

Seperti yang di ungkapkan oleh Rizky Rachmawati pemilih yang tidak

menggunakan hak pilihnya yaitu “Karena Saya tidak mengenal para caleg yang

ikut dalam pemilu legislatif kemarin. Hal itu karena saya menjadi warga

pendatang di daerah tempat pemilihan saya yang baru. Hal tersebut dikarenakan

kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh masing-masing caleg, tim sukses

maupun partai politik di daerah tempat tinggal saya”. (Wawancara dengan Rizky

Rachmawati, 9 November 2009). Hal tersebut juga dialami oleh Deky Lesmana

yang menyatakan ” Saya tidak tahu siapa yang akan saya pilih karena tidak ada

satu pun caleg yang saya kenal, ketimbang saya asal memilih caleg. Selain itu

juga tidak ada yang melarang datang ke TPS apa tidak”. (Wawancara dengan

Deky Lesmana, 10 November 2009). Kurangnya sosialisasi secara langsung

dengan pemilih juga dialami oleh Bapak Slamet yang mengatakan ”Saya tidak

mempunyai pilihan karena saya juga tidak tahu caleg-caleg tersebut, yang saya

tahu hanya gambar orangnya saja”. (Wawancara dengan Bapak Slamet, 17

November 2009). Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh alasan yang

diungkapkan oleh Bapak Salimi dan Heri Tamtomo yang tidak menggunakan hal

pilihnya dikarenakan tidak mengenal caleg secara jelas.

c. Ideologis Pemilih

Yang dimaksud dengan faktor ideologis pemilih adalah bahwa setiap

orang mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda-beda terhadap

89

penyelenggraan pemilu yang tidak terlepas dari salah satu perwujudan demokrasi.

Seperti halnya dengan pendapat dan pandangan seseorang mengenai

menggunakan hak pilihnya atau tidak memilih dalam penyelenggaraan

pemungutan suara merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi.

Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik

terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik

tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan

yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan

menyeluruh. Anggota legislatif baik yang berada di tingkat kota/kabupaten

maupun di tingkat pusat yaitu DPR RI merupakan wakil-wakil rakyat yang

diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat kepada penguasa berkaitan

dengan pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat.

Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan

melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan

amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan

kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat sebagian pemilih

ragu-ragu dan bahkan tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Seperti yang

diungkapkan oleh Zaini Anggoro Putro pemilih di TPS XII yang tidak

menggunakan hak pilihnya yaitu ”Saya rasa menyontreng atau tidak juga sama

saja selama wakil-wakil rakyat belum bisa mengesampingkan kepentingan pribadi

dan partainya. Selain itu tidak ada yang melarang saya menyontreng apa tidak

adalah hak saya”. (Wanwancara dengan Zaini Anggoro Putro, 31 November

2009). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Harman Suryono yang juga tidak

menggunakan hak pilihnya menyatakan “Alasan saya tidak datang ke TPS untuk

mencontreng karena saya merasa seperti pada tahun-tahun yang lalu menyontreng

atau tidak menurut saya juga sama saja dan saya tidak mengenal caleg-calegnya

secara pasti, kalau pemilu legisalatif lima tahun yang lalu saya datang ke TPS ikut

mencoblos karena di daerah saya ada yang menjadi caleg dan saya kenal”.

(Wanwancara dengan Harman Suryono, 4 November 2009).

Dari beberapa faktor yang menyebabkan sebagian warga masyarakat

yang menjadi pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak pilihnya

90

(golput) tersebut merupakan sebagian kecil dari perilaku politik masyarakat yang

tidak memanfaatkan kesempatan dengan baik dalam proses perubahan politik

dalam hal ini elit politik di lembaga legislatif.

2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera

dalam Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota

Surakarta

Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai dakwah penegak keadilan

dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Sebagai partai

dakwah, PKS mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik

secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat

Indonesia yang madani. Sebagai partai dakwah, pendidikan politik bertujuan

untuk membangun karakter kepribadian seseorang yang utuh dan kesadaran

politik. Salah satu wujud nyata dalam rangka menjalankan visinya salah satunya

yaitu melaksanakan pendidikan politik. Pendidikan politik yang dilakukan PKS

kepada anggotanya maupun masyarakat lebih berorientasi pada pembentukan

pribadi Islami yang mempunyai komitmen dan loyalitas pada aktualisasi dakwah

Islam dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan politik akan selalu berfondasikan

pada pembentukan pribadi kader, sehingga aktivitas politik yang dilakukan adalah

politik yang sehat, bermoral dan jauh dari ambisi pribadi yang cenderung

diskriminatif.

Sebagai upaya meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan, dan

kesadaran politik anggota maupun masyarakat, PKS mempunyai format-format

pendidikan politik sendiri. Pendidikan politik yang dilakukan PKS tidak hanya

ditujukan kepada anggota atau kader PKS saja, tetapi juga kepada masyarakat.

Kegiatan-kegiatan pendidikan politik yang diberikan anggota dan masyarakat

pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah bobot materi yang disampaikan.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ikhlas Thamrin selaku ketua bidang politik DPD

PKS Kota Surakarta sebagai berikut :

Pada prinsipnya sama materi yang diberikan dalam pendidikan politik yang diberikan kepada kader PKS maupun masyarakat, hanya yang membedakan yaitu bobotnya. Tetapi pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama agar

91

mempunyai pendidikan politik yang baik. Misalnya agar bisa menerima adanya perbedaaan, bagaimana cara mengemukakan pendapat yang baik, bagaimana kebebasan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam kehidupan pribadi. Hal tersebut memang benar-benar riil terjadi di PKS. (Wawancara dengan Ikhlas Thamrin, 25 Desember 2009).

Pendidikan politik DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta untuk

menyikapi golput lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :

a. Nadwah atau Seminar

Seminar di PKS merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan politik

bagi anggota maupun masyarakat. Kegiatan nadwah atau seminar merupakan

forum diskusi untuk mengkaji suatu permasalahan dan memberikan pemecahan

masalah serta mengambil keputusan dalam menyikapi permasalahan tersebut,

yang diikuti baik anggota amupun masyarakat umum. Seminar dengan

mengangkat tema isu-isu maupun fenomena-fenomena yang berkembang dalam

masyarakat yang tidak hanya dalam bidang politik saja akan tetapi juga seluruh

bidang kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Sugeng Riyanto yaitu :

Nadwah atau seminar yaitu aktivitas pengkajian terhadap suatu masalah. Seminar yang dilaksanakan dalam pendidikan politik ini mengambil tema-tema tentunya mengenai politik dan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dimasyarakat. Seminar tersebut juga didukung oleh pemateri yang tidak hanya dari tokoh internal partai, tetapi juga menghadirkan tokoh-tokoh atau pakar dari luar partai baik yang berskala lokal maupun nasional. Sasaran kegiatan ini dimaksudkan untuk terbentuknya pemahaman yang luas atas berbagai macam masalah politik dan problematika masyarakat melalui dialog dengan berbagai macam latarbelakang pemikiran dari berbagai disiplin ilmu dan mengenal berbagai macam metodologi praktis untuk menyelesaikan persoalan dari berbagai sudut pandang. (Wawancara dengan Sugeng Riyanto, 8 Desember 2009).

Kegiatan nadwah atau seminar mempunyai muatan pendidikan politik

yang terkandung didalamnya, yaitu terbentuknya pemahaman yang luas atas

berbagai ragam masalah politik dan problematika masyarakat melalui dialog

dengan berbagai macam latar belakang pemikiran dari berbagai disiplin ilmu,

selain itu juga memberikan pengenalan berbagai ragam metodologi praktis untuk

menyelesaikan persoalan dari berbagai sudut pandang kepada kader maupun

masyarakat.

92

b. Tatsqif atau Kajian

Tatsqif atau kajian yaitu aktivitas untuk memperluas wacana dan

intelektual anggota, diantaranya tatsqif yang membahas masalah ke-Islaman,

tatsqif siyasi (politik) yang membahas masalah-masalah politik, dan lain

sebagainya. Sugeng Riyanto menyatakan bahwa :

Tatsqif atau kajian yaitu aktivitas untuk memperluas wacana dan intelektual anggota, diantaranya tatsqif yang membahas masalah ke-Islaman, tatsqif siyasi (politik) yang membahas masalah-masalah politik, dan lain sebagainya. Kegiatan kajian tidak hanya diperuntukkan kepada anggota atau kader saja tetapi juga terbuka bagi masyarakat yang ingin bergabung berdiskusi mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan. (Wawancara dengan Sugeng Riyanto, 8 Desember 2009).

Kegiatan kajian ini biasanya terdiri dari beberapa anggota maupun

masyarakat yang dipimpin oleh seorang ustadz. Kegiatan kajian ini biasanya

dilaksanakan setiap pekanan atau dua pekanan dan dilaksanakan di bisa dimasjid

maupun dirumah peserta kajian secara bergiliran. Kegiatan ini bertujuan untuk

menambah wawasan politik, keagamaan, keluarga dan permasalahan-

permasalahan lainnya.

c. Kegiatan Sosial

Di PKS banyak sekali kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

pendidikan politik selain seperti yang telah diuraikan diatas. Kader-kader PKS

aktif melakukan rekruitmen anggota dan berbagai aktifitas simpatik

kemasyarakatan yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada mereka.

Dalam rangka pengenalan program partai (Direct Selling) PKS dengan

masyarakat, PKS juga melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau bakti sosial PKS.

Salah satu wujud kegiatan tersebut yaitu dengan membuka sekolah gratis untuk

pendidikan usia dini, membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis

untuk masyarakat, silaturahmi dengan langsung mendatangi rumah warga

masyarakat dan lain sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh Choirul anggota

DPD PKS kota Surakarta sebagai berikut :

93

Saya menjadi kader PKS bukan mengharapkan sesuatu untuk kepentingan pribadi saya. Saya memandang bahwa partai politik yang sangat kental sekali dengan kekuasaan, akan tetapi berbeda dengan PKS meskipun sebagai partai politik tetapi PKS tidak hanya mengajarkan cara berpolitik saja, akan tetapi juga diajarkan tetang dakwah dan bersosial dengan baik. Kegiatan-kegiatan di PKS menurut saya sangat positif. Dalam setiap kegiatan-kegiatannya selalu tertanam unsur-unsur dakwah yaitu bagaimana menjaga amanah, bermasyarakat, dan berpolitik dengan baik juga. Misalnya : PKS menyelenggarakan kegiatan pengobatan gratis bagi masyarakat tiap bulan, mendirikan pos penanggulangan bencana, Mengadakan seminar bagi umum dan remaja, PKS juga membuka sekolah untuk usia dini secara gratis, dan berbagai kajian dan pengajian secara rutin. (Wawancara dengan Choirul, 17 Desember 2009).

Kegiatan pendidikan politik yang dilakukan DPD PKS kota Surakarta

seperti yang sudah diuraikan di atas merupakan kegiatan pendidikan politik dalam

upaya untuk menyikapi golput di kota Surakarta. Pada dasarnya kegiatan

pendidikan politik tersebut dilaksanakan tidak hanya selalu bermuatan politik saja

akan tetapi juga terdapat muatan-muatan keagamaan yang tidak terlepas dari PKS

sebagai partai dakwah. Dalam upaya menyikapi golput DPD PKS kota Surakarta

lebih cenderung kearah diskusi dan kajian-kajian untuk memberikan pemahaman

terhadap masyarakat baik mengenai politik maupun keagamaan. Strategi tersebut

dirasa sangat tepat oleh DPD PKS Kota Surakarta untuk melakukan pendekatan

terhadap masyarakat, karena dengan diskusi dan kajian-kajian dirasa lebih

mengena. Selain pendidikan politik yang dilaksanakan berupa diskusi dan kajian,

DPD PKS Kota Surakarta juga melakuakan kegiatan sosial yang bertujuan untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung.

Hasil yang diperoleh pendidikan politik yang dilakukan DPD PKS di

Kota Surakarta dengan melakukan berbagai kegiatan penidikan politik yang

bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, karakter, dan partisipasi politik

anggota dan masyarakat seperti yang telah diuraikan di atas, salah satunya yaitu

bertambahnya jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta setiap tahunnya, untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 12. Jumlah Kader DPD PKS Kota Surakarta tahun 2006 – 2009.

94

Tahun 2006 2007 2008 2009

Jumlah

Kader

5.278 4.253 4.339 5.400

Sumber : Arsip DPD PKS Kota Surakarta

Jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta yang sudah mengikuti

pembinaan pada tahun 2006 sebanyak 5.278 orang yang menjadi kader DPD PKS

Kota Surakarta. Sebanyak 5.278 orang kader tersebut ada sebagian kader dari

berbagai daerah Se- Eks Karesidenan Surakarta yang meliputi Surakarta, Boyolali,

Sragen, Wonogiri, Karanganyar, dan Sukoharjo yang terdaftar sebagai kader DPD

PKS Kota Suarakarta. Pada tahun 2007 DPD PKS Kota Surakarta melakukan

verifikasi terhadap kadernya yang bukan berdomisili di Kota Surakarta dengan

menyerahkannya kepada DPD atau Pengurus Cabang di daerahnya masing-

masing, sehingga setelah dilakukannya verifikasi tersebut jumlah kader DPD PKS

Kota Surakarta menjadi 4.253 orang. Pada tahun 2008 jumlah kader DPD PKS

Kota Surakarta mengalami penambahan menjadi 4.339 orang dan bertambah

menjadi 5.400 orang pada tahun 2009. Bertambahnya jumlah kader DPD PKS

Kota Surakarta merupakan sebuah hasil yang diperoleh dari pendidikan politik

DPD PKS kota Surakarta, seperti yang di ungkapkan oleh Ikhlas Thamrin selaku

ketua bidang politik DPD PKS Kota Surakarta sebagai berikut :

“Pendidikan politik PKS diberikan selain kepada anggota juga kepada masyarakat, bahkan kepada seseorang yang tadinya memilih golput pun juga kami berikan. Banyak masyarakat yang telah kami beri pendidikan politik di beri pemahaman, pengetahuan akhirnya pada pemilu berikutnya dia mau datang ke TPS untuk memberikan suara dan malah banyak yang kemudian menjadi kader PKS. Hal tersebut merupakan hasil yang diperoleh dari pendidikan politik yang dilakukan oleh DPD PKS selama ini. (Wawancara dengan Ikhlas Thamrin, 25 Desember 2009).

Pendidikan politik juga membawa hasil terhadap keberhasilan PKS

dalam pemilu legislatif 2009 baik di daerah maupun nasional. Hasil yang

diperoleh PKS dalam pemilu legislatif 2009 di kota Suarakarta mengalami

peningkatan dibandingkan dengan perolehan suara pada pemilu legislatif 2004,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini :

95

Tabel 13. Perolehan Suara Tujuh Besar Partai Pemilu Legislatif 2004 di Kota

Surakarta

Partai Jumlah Suara % PDIP 104.932 35,85 PAN 41.549 14,19 PD 32.700 11,17

Partai GOLKAR 31.274 10,68 PDS 25.906 8,85 PKS 23.833 8,14 PPP 9.263 3,16

Sumber : Arsip DPD PKS Kota Surakarta

Partai Keadilan Sejahtera pada pemilu legislatif 2004 di Kota Surakarta

memperoleh suara sebanyak 23.833 atau 8,14%, sedangkan pada pemilu legislatif

2009 memperoleh suara sebanyak 25.993. Apabila dibandingkan perolehan suara

PKS dalam pemilu legislatif 2004 dengan peilu legislatif 2009 mengalami

peningkatan sebanyak 2.160 suara.

C. Temuan Studi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, peneliti

menemukan beberapa temuan studi yaitu :

1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009

di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan.

Dari hasil penelitian terhadap beberapa responden, dapat diketahui faktor

yang menyebabkan pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak

pilihnya (golput) pada pemilu legislatif 2009 yaitu :

a. Masalah Administratif

Menggunakan hak pilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai

pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang

sudah ditetapkan. Apabila pemilih tidak dapat melakukan pemilihan di TPS

dimana ia terdaftar, sebelumnya harus melakukan pemberitahuan kepada panitia

penyelenggara pemungutan suara ditempat ia terdaftar sebagai pemilih dengan

memberikan alasan yang jelas dan dapat diterima. Apabila dapat diterima dan

disetujui akan diberi surat pengantar yang ditujukan kepada panitia penyelenggara

96

pemungutan suara yang ditunjuk oleh pemilih. Proses tersebut menjadi kendala

bagi pemilih yang berada di luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan.

b. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada Masyarakat

Sosialisasi tidak hanya sekedar memasang atribut dan gambar caleg dan

partai, akan tetapi ada yang lebih penting dari hal tersebut yaitu pengenalan secara

langsung caleg dengan visi, misi dan program yang ditawarkan kepada pemilih,

karena masyarakat sudah semakin jeli dan pandai dalam memberikan. Kurang

optimalnya sosialisasi caleg dengan pemilih berakibat pada keragu-raguan dan

tidak digunakannya hak pilihnya.

c. Ideologis Pemilih

Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik

terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik

tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan

yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan

menyeluruh. Anggota legislatif baik yang berada di tingkat kota/kabupaten

maupun di tingkat pusat yaitu DPR RI merupakan wakil-wakil rakyat yang

diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat kepada penguasa berkaitan

dengan pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat.

Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan

melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan

amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan

kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat sebagian pemilih

ragu-ragu dan bahkan tidak menggunakan hak pilihnya (golput).

2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam

Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta

Pendidikan politik PKS tidak hanya ditujukan kepada anggota atau

kadernya saja tetapi juga ditujukan kepada masyarakat. Tujuan dilaksanakannya

pendidikan politik di PKS adalah selain untuk pengetahuan tentang politik,

kesadaran politik juga lebih ditekankan pada pembentukan moral yaitu

meningkatkan keimanan dan ketaqwaan anggota dan masyarakat. Bentuk

pendidikan politik di PKS antara lain : Tatsqif atau kajian, nadwah atau seminar,

97

dan kegiatan sosial. Selain itu juga dilaksanakan pendidikan politik yang secara

langsung melibatkan masyarakat atau kegiatan sosial antara lain : PKS juga

terdapat sekolah politik bagi anggota atau kader juga masyarakat umum dan

simpatisan partai, membuka sekolah gratis pendidikan untuk usia dini (play

group), baksos (membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis),

ceramah-ceramah, silaturahmi langsung kerumah warga masyarakat maupun

tokoh masyarakat, dan lain-lain.

Akan tetapi pendidikan politik tersebut apabila dikaitkan dengan

pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS untuk mengatasi golongan putih

masih kurang optimal, karena dilihat dari faktor penyebab golput sendiri sangat

komplek. Untuk menekan golput dengan pendidikan politik tersebut kurang

maksimal, karena tidak semua pemilih yang golput orang yang tidak paham

politik, tetapi bagaimana dengan faktor penyebab golput berhubungan dengan

masalah administratif.

98

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan analisis yang telah

dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009

di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan.

Dari hasil penelitian terhadap beberapa responden, dapat diketahui faktor

yang menyebabkan pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak

pilihnya (golput) pada pemilu legislatif 2009 yaitu :

c. Masalah Administratif

Menggunakan hak pilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai

pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang

sudah ditetapkan. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di

luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan.

d. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada Masyarakat

Kurang makasimalnya pengenalan secara langsung calon anggota

legislatif kepada pemilih di TPS XII Sondakan tentang visi, misi dan program

yang ditawarkan kepada pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak

digunakannya hak pilihnya.

c. Ideologis Pemilih

Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik

terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik

tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan

yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan

menyeluruh. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal

tersebut, dengan melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu

melaksanakan amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih

mengedepankan kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat

99

sebagian pemilih tidak menggunakan hak pilihnya (golput) karena mersa tidak

berpengaruh baik secara langsung maupun tidak terhadap dirinya.

2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam

Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta

Bentuk pendidikan politik di PKS antara lain : Tatsqif atau kajian,

nadwah atau seminar, dan kegiatan sosial. Selain itu juga dilaksanakan pendidikan

politik yang secara langsung melibatkan masyarakat atau kegiatan sosial antara

lain : PKS juga terdapat sekolah politik bagi anggota atau kader juga masyarakat

umum dan simpatisan partai, membuka sekolah gratis pendidikan untuk usia dini

(play group), baksos (membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis),

ceramah-ceramah, silaturahmi langsung kerumah warga masyarakat maupun

tokoh masyarakat, dan lain-lain.

Akan tetapi pendidikan politik tersebut apabila dikaitkan dengan

pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS untuk mengatasi golongan putih

masih kurang optimal, karena dilihat dari faktor penyebab golput sendiri sangat

komplek. Untuk menekan golput dengan pendidikan politik tersebut kurang

maksimal, karena tidak semua pemilih yang golput orang yang tidak paham

politik, tetapi bagaimana dengan faktor penyebab golput berhubungan dengan

masalah administratif.

B. Implikasi

Berdasarkan kesimpulan peneliti di atas, maka dapat dikemukakan hasil

penelitian. Implikasi hasil penelitian ini adalah :

1. Dengan dioptimalkannya sosialsiasi politik dapat memberikan rangsangan

terhadap seseorang atau masayarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik

yang dapat berpengaruh pada partsisipasi politik seseorang atau masyarakat

terutama pada pelaksanaan pemilu.

2. Dengan dioptimalkannya peran partai politik dalam pendidikan politik

masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap meningkatnya kesadaran

politik dan partisipasi politik masyarakat salah satunya dalam pelaksanaan

pemilu.

100

C. Saran

Dari hasil analisi, pembahasan, kesimpulan dan implikasi diatas, maka

peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Bagi Masyarakat

Golput bukan merupakan tindakan yang tepat masih banyak alternatif-

alternatif yang lain selain melakukan golput, karena dengan melakukan golput

tidak akan memberikan perubahan. Dalam rangka mewujudkan kehidupan dan

pemerintahan yang demokaratis dibutuhkan peran aktif masayarakat terutama

partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

2. Partai Politik

a. Khususnya bagi PKS, dalam rangka meningkatkan kesadaran politik dan

keimanan anggota atau kader dan masyarakat lebih ditingkatkan pelaksanaan

pendidikan politiknya. Pendidikan politik tidak hanya diberikan pada orang

dewasa saja, tetapi lebih mengena apabila juga diberikan sejak usia dini.

b. Dalam rangka mengembalikan keprcayaan masyarakat, partai politik harus

mampu maningkatkan kualitasnya, terutama peningkatan kualitas anggota

atau kadernya, sehingga apabila nantinya menjadi wakil rakyat bisa benar-

benar melaksanakan kinerjanya dengan baik. Partai politik harus benar-

benar dapat menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat.

101

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said. 2007. Sosiologi Politik : Konsep dan

Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung : Pustaka Setia. Abu Ridho. 2002. Pengantar Pendidikan Dalam Islam. Bandung : PT Syamil

Cipta Media. A. Mukthie Fadjar. 2008. Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem

Ketatanegaraan Indonesia. Malang : In-TRANS Publising. A. Saeful Muhtadi. 2008. Komunikasi Politik Indonesia Dinamika Islam Politik

Pasca-Orde Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Arbi Sanit. 1985. Perwakilan Politik Di Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali.

David Beetham, Kevin Boyle. 2000. DEMOKRASI. Yogyakarta : KANISIUS.

, Kevin Boyle. 2004. DEMOKRASI. Yogyakarta : KANISIUS.

Haryanto. 1982. Sistem Politik Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.

Ichlasul Amal. 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

Janda, K., Berry.M.J, Goldman, Jerry. 1992. The Challenge of Democracy

Government in America. USA : Houghton Mifflin Company. Kalla et al.2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada. Kartini Kartono. 1989. Pedidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang

Dewasa. Bandung : Mandar Maju. (Koran Target, http://korantarget.wordpress.com/2009/05/10/hasil-akhir-pemilu-

legislatif-2009-juara-1-tetap-golput-juara-3-suara-tidak-sah/, Diakses pada 10 Mei 2009).

Lexy J. Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

102

Mattew Milles dan Hubberman. 1992 . Analisis Data Kuantitatif. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Miriam Budiardjo. 1982. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia

Pustaka Utama. .1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

.2008. Dasar Dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Muhammad Asfar. 2004. Presiden Golput. Surabaya : Jawa Pos Press.

Ng. Philipus dan Nurul Aini.2006. Sosisologi dan Politik. Jakarta: PT Raj Grafindo Persada.

NN. 2008. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indoneisa. Solo : Adzana Putra.

NN. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bandung : Nuansa Aulia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik, http://www.kpu.go.id. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum. http://www.kpu.go.id. Nyoman Subanda, blogs.depkominfo.go.id/bip/files/2009/.../edisi-4_desember-

2008.pdf, Diakses pada hari Sabtu 4 September 2009. Sigit Pamungkas. 2009. PERIHAL PEMILU. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan

Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Ramdlon Naning.1982. Pendidikan Politik Dan Regenerasi. Yogyakarta : Liberty.

Solly Lubis. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung : CV. Mandar Maju.

103

Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.

Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Penelitian Praktik. Jakarta : Rineka Pustaka.

Sukarna.1981. SISTIM POLITIK. Bandung : Alumni.

Sutopo.H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian Tiga. Surakarta : Uiversitas Sebelas Maret Press.

Tataq Chidmad. 2004. Kritik Terhadap Pemilihan Langsung. Yogyakarta :

Pustaka Widyatama. Utsman Abdul Mu’iz Ruslan. 2000. PENDIDIKAN POLITIK IKHWANUL

MUSLIMIN (Studi Analisis Evaluatif terhadap Proses Pendidikan Politik ”IKHWAN” untuk para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954), Salafuddin Abu Sayyid et al. Solo : Era Media.