fuad albani · 2019-02-28 · produksi biogas dari feses gajah sumatera (elephas maximus sumatranus...
TRANSCRIPT
PRODUKSI BIOGAS DARI FESES GAJAH SUMATERA
(Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)
TERHADAP JENIS PAKAN YANG DIBERIKAN
DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
JAKARTA SELATAN
FUAD ALBANI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/ 1437 H
i
PRODUKSI BIOGAS DARI FESES GAJAH SUMATERA
(Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)
TERHADAP JENIS PAKAN YANG DIBERIKAN
DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
FUAD ALBANI1110095000011
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/ 1437 H
ii
PRODUKSI BIOGAS DARI FESES GAJAH SUMATERA
(Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847)
TERHADAP JENIS PAKAN YANG DIBERIKAN
DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,
JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
FUAD ALBANI1110095000011
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli Dr. Irawan SugoroNIP: 19720322 200212 2 002 NIP: 19761018 200012 1001
Mengetahui,
Ketua Jurusan BiologiFakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Dasumiati, M.SiNIP: 197309231999032002
iii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Produksi Biogas dari Feses Gajah Sumatera (Elephasmaximus sumatranus Temminck, 1847) Terhadap Jenis pakan yang diberikan diTaman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan” yang ditulis oleh Fuad Albani,NIM 1110095000011 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidangmunaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta pada hari Jumat, 1 Juli 2016. Skripsi ini telah diterimasebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) JurusanBiologi.
Menyetujui,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Fahma Wijayati, M.SiNIP.196903172003122001
Etyn Yunita, M.SiNIP. 197006282014112002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Megga Ratnasari PikoliNIP. 197203222002122002
Dr. Irawan SugoroNIP. 197610182000121001
Mengetahui,
DekanFakultas Sains dan Teknologi,
Dr. Agus Salim, M.SiNIP. 197208161999031003
Ketua Jurusan Biologi,Fakultas Sains dan Teknologi,
Dr. Dasumiati, M.SiNIP. 197309231999032002
iv
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKANSEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGIATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juni 2016
Fuad Albani1110095000011
v
ABSTRAK
FUAD ALBANI, Produksi Biogas dari Feses Gajah Sumatera (Elephas maximussumatranus Temmnick, 1847) Terhadap Jenis Pakan yang Diberikan di TamanMargasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Di bawah bimbingan Dr. MeggaRatnasari Pikoli dan Dr. Irawan Sugoro
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi pakan terbaik untukproduksi biogas dari feses gajah Sumatera Taman Margasatwa Ragunan. Gajahdiaklimatisasi dengan dua kelompok perlakuan pakan, yaitu rumput gajah dankombinasi rumput gajah, ubi, jagung, dan pisang selama 4 hari. Fermentasi fesesgajah dilakukan menggunakan fermentor sederhana dengan volume 3,42 L selama28 hari dan dilakukan pengukuran parameter fermentasi serta pengukuran biogasyang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi pakanmemengaruhi terhadap produksi biogas oleh feses gajah. Feses gajah perlakuanpakan rumput gajah mengalami degradasi sebesar 5,1% dengan produksi gasmaksimal sebesar 6,08 L dan proporsi metana sebesar 59,64% setelah 28 hari.Sementara itu, feses gajah perlakuan pakan kombinasi hanya mengalamidegradasi sebesar 4,2% dengan produksi gas maksimal sebesar 3,59 L danproporsi metana sebesar 38,73% setelah 28 hari. Penelitian ini menunjukkanbahwa perlakuan pakan rumput gajah lebih efektif sebagai pakan gajah untukproduksi biogas dibandingkan dengan kombinasi dari rumput gajah, ubi, jagung,dan pisang.
Kata Kunci: Biogas, Feses, Gajah, Pakan
vi
ABSTRACT
FUAD ALBANI, Biogas Production from Sumatran Elephant Feces (Elephasmaximus sumatranus Temmnick, 1847) Based on Variation of Forage Type in theRagunan Zoo, South Jakarta. Under guidance by Dr. Megga Ratnasari Pikoliand Dr. Irawan Sugoro
This study aims to determine the best forage composition on production ofbiogas from Sumatran elephant’s feces in Ragunan Zoo. Elephants wereacclimatized for 4 days with two types of forage, which were elephant grass andcombination of elephant grass, sweet potatoes, maize, and bananas. Fermentationof the feces were conducted by using simple fermenters by volume of 3.42 L for28 days and performed measurements of parameters as well as of biogasproduction. The result showed that the composition of forage affects theproduction of biogas by elephant feces. Feces that produced by consumingelephant grass forage were degraded by 5.1% with a maximum gas production by6.08 L and 59.64% proportion of methane after 28 days. Meanwhile, the feces thatproduced by consuming forage combination was degraded by 4.2% with amaximum gas production up to 3.59 L and 38.73% proportion of methane after 28days. This study shows that elephant grass forage was more effective for theproduction of biogas than the combination of elephant grass, sweet potatoes,maize, and bananas.
Keywords: Biogas, Feces, Elephant, Forage
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang tidak henti-hentinya memberikan
karunia dan kesehatan pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Skripsi ini berjudul "Produksi Biogas dari Feses Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) Terhadap Jenis Pakan yang diberikan di Taman
Margasatwa Ragunan." Penulis menyusun Skripsi ini dalam rangka memenuhi
tugas akhir penyusunan skripsi yang wajib ditempuh oleh mahasiswa Jurusan
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Bantuan dari berbagai pihak telah membantu penulis menyelesaikan
Skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Ayah dan Ibu (Ngadilan dan Nunuk Kumoro Dewi) yang tidak lelah
memberikan dukungan moral dan moril yang tidak terhingga kepada anaknya
sehingga selalu berjuang, adik (Ernita Dwi Astuti) yang selalu memberikan
dukungan dan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan dan para staff Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Dasumiati dan Etyn Yunita, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
4. Dr. Megga Ratnasari Pikoli dan Dr. Irawan Sugoro selaku pembimbing yang
senantiasa memberikan ilmu, saran, pemahaman dan bimbingan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik.
5. Seluruh dosen Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan ilmu dan pengajaran kepada
penulis.
6. Dr. Bambang Triana selaku kepala kantor Taman Margasatwa Ragunan.
7. Ibu Hj. Suhartini, Ibu Maya, Ibu Dian, dan Ibu Berliana, staf penidikan Taman
Margasatwa Ragunan.
8. Pak Sudi, Pak Sodikin, dan Pak Qodim selaku Kepper Gajah Sumatera di
TMR, yang banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian ini.
9. Sahabat-sahabat Dengkulers Momo, Mutayoshi, Stragilintel, Yaun, Cuki,
Bibong, Rangga, Immar, Nanda, dan Obi, banyolan dan sindiran kalian
memacu penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Teman-teman seperjuangan Alfan, Firdaus, Fazri, Fadil, Bang Dodi, Robby,
Arif, Aya, dan seluruh angkatan biologi 2010 yang memberikan dukungan
kepada penulis sehingga penulis termotivasi menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari Skripsi ini membutuhkan saran dan kritik yang
membangun untuk menyempurnakan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini kelak
memberikan banyak manfaat kepada pembacanya.
Jakarta, Juni 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................ v
KATA PENGANTAR.......................................................................... vii
DAFTAR ISI......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................... 4
1.3 Hipotesis...................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................ 4
1.5 Manfatat Penelitian ..................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................... 5
2.1 Gajah Sumatra............................................................. 5
2.1.1 Pakan dan Prilaku Pakan Gajah ..................... 6
2.1.2 Sistem Pencernaan Gajah............................... 7
2.1.3 Feses Gajah .................................................... 10
2.2 Biogas........................................................................... 11
2.3 Proses Pembentukan Biogas ........................................ 15
2.4 Faktor – Faktor Pembentukan Biogas ......................... 18
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... 22
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................... 22
3.2 Alat dan Bahan............................................................. 22
x
3.3 Prosedur Kerja.............................................................. 23
3.3.1 Pembuatan Digester dan Gas Collector ......... 23
3.3.2 Pengambilan Sampel Feses Gajah .................. 24
3.3.3 Pengukuran Karakteristik Fisika dan Kimia
Feses Gajah ................................................... 26
3.3.3.1 Pengukuran Rasio C/N Feses......... 26
3.3.3.1.1 Pengukuran Karbon
Organik ....................... 27
3.3.3.1.2 Pengukuran Nitrogen
Organik ....................... 28
3.3.3.2 Pengukuran Kadar Bahan Air dan
Bahan Organik Feses..................... 29
3.3.4 Fermentasi Sampel Feses Gajah. .................... 30
3.3.5 Pengukuran Karakteristik Fermentasi. ............ 31
3.3.5.1 Pengukuran Suhu dan pH Sampel ... 30
3.3.5.2 Pengukuran Amonia (NH3).............. 32
3.3.5.3 Pengukuran Volatile Fatty Acids
(VFA)............................................... 32
3.3.5.4 Pengukuran Presentase Degradasi
Bahan Organik ................................. 33
3.3.5.5 Pengamatan Mikroorganisme ..........
3.3.5.6 Pengukuran Produksi Gas ................
35
35
3.3.5.7 Uji Nyala Api ................................... 37
3.4 Analisis Data ..............................................................
3.5 Bagan Kerja................................................................
38
39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................... 39
4.1 Karakteristik Fisik dan Kimia Feses Gajah Sumatera 39
4.2 Karakteristik Fermentasi ............................................. 45
4.2.1 Suhu dan pH .................................................. 45
4.2.2 Konsentrasi Amonia dan VFA ...................... 49
xi
4.2.3 Presentase degradasi Substrat ....................... 54
4.2.4 Pengamatan Mikroorganisme ........................ 57
4.3 Produksi, Komposisi dan Nyala Api Gas .................... 60
4.3.1 Produksi Gas ................................................... 60
4.3.2 Komposisi Gas ................................................ 62
4.3.3 Uji Nyala Api .................................................. 65
BAB V PENUTUP............................................................................ 68
5.1 Kesimpulan ................................................................. 68
5.2 Saran............................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 69
LAMPIRAN.......................................................................................... 76
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Perbandingan Morfologi Gajah Asia dan Afrika ................... 5
Gambar 2. Rancangan Fermentor yang Digunakan .................................. 23
Gambar 3. Rancangan Gas Collector System yang Digunakan ............... 24
Gambar 4. Skema pengerjaan MPN.......................................................... 36
Gambar 5. Feses gajah hasil aklimatisasi selama 4 hari ........................... 40
Gambar 6. Perubahan nilai suhu dalam fermentor selama masafermentasi................................................................................ 45
Gambar 7. Perubahan nilai pH dalam fermentor selama masafermentasi................................................................................ 47
Gambar 8. Konsentrasi amonia dalam fermentor selama masafermentasi................................................................................ 50
Gambar 9. Konsentrasi VFA dalam fermentor selama masa fermentasi .. 53
Gambar 10. Persentase degradasi substrat feses gajah setelah 28 hari ....... 55
Gambar 11. Hasil pengamatan mikroorganisme pada hari ke-0 dan 21.(A: Hari ke-0, B: Hari ke-21, panah hitam: ragi S.cerevisae). ............................................................................... 58
Gambar 12 Volume Total biogas yang dihasilkan selama masafermentasi ............................................................................... 60
Gambar 13. Komposisi biogas yang dihasilkan selama masa fermentasi28 hari (A:Proporsi gas (%) B: Volume Biogas (L)).............. 63
Gambar 14. Hasil uji nyala api pada hari ke-21 dan ke-28......................... 67
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi dan Karakteristik Biogas ....................................... 13
Tabel 2. Macam-Macam Gas dan Unsur Pengotor Biogas ................... 14
Tabel 3. Kandungan Biogas dan Proporsi Metana Berbagai Substrat ... 15
Tabel 4. Tahapan degradasi anaerobik dan mikroorganisme yangberperan.................................................................................... 17
Tabel 5. Porsi Pemberian Pakan Gajah Per Hari Selama MasaAklimatisasi. ............................................................................ 26
Tabel 6. Karakteristik Fisik-Kimia Feses Gajah ................................... 41
Tabel 7. Hasil Uji MPN pada hari ke-28 pengamatan .......................... 59
Tabel 8. Hasil pengujian nyala api selama proses fermentasi ............... 66
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Uji Statistik Suhu Feses Gajah ................................... 76
Lampiran 2. Hasil Uji Statistik Rasio C/N Feses Gajah .......................... 78
Lampiran 3. Hasil Uji Statistik Kadar Air Feses Gajah ........................... 80
Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Kadar Organik Feses Gajah ................... 82
Lampiran 5. Hasil Uji Statistik Suhu Fermentor ...................................... 84
Lampiran 6. Hasil Uji Statistik pH Fermentor ......................................... 86
Lampiran 7. Hasil Uji Statistik Konsentrasi Amonia Fermentor ............. 88
Lampiran 8. Hasil Uji Statistik Konsentrasi VFA Fermentor .................. 90
Lampiran 9. Hasil Uji Statistik Degradasi Bahan Organik Fermentor .... 92
Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Volume Gas ........................................... 94
Lampiran 11. Hasil Uji Statistik Konsentrasi Metana ............................... 96
Lampiran 12 Hasil Uji Statistik Konsentrasi Karbon Dioksida ................ 98
Lampiran 13. Tabel Nilai MPN ................................................................. 100
Lampiran 14. Dokumentasi Metodelogi Penelitian ................................... 101
Lampiran 15. Pengamatan Mikroorganisme .............................................. 104
Lampiran 16. Rata-rata komposisi gas pengotor hasil fermentasi selama28 hari .................................................................................. 105
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perencanaan energi perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan energi
dengan harga yang terjangkau untuk jangka panjang. Solusi dalam mengatasi
masalah energi di antaranya adalah diversifikasi energi, yang berarti sumber
energi yang digunakan tak lagi mutlak dari satu atau dua penghasil energi. Salah
satu sumber energi alternatif yang terbarukan, ramah lingkungan dan memiliki
prospek yang cukup baik di masa depan adalah biogas. Biogas merupakan gas
yang berasal dari berbagai macam limbah organik melalui proses anaerobik atau
melalui cara-cara termokimia, seperti gasifikasi, yang dapat dimanfaatkan menjadi
sumber energi gas yang dapat secara luas digunakan untuk sektor rumah tangga,
industri, maupun transportasi (Weiland, 2010).
Biogas terbentuk ketika mikroorganisme mendegradasi bahan organik
tanpa adanya oksigen melalui proses metanogenesis. Biogas dapat dicirikan
berdasarkan komposisi kimia dan karakteristik fisik yang dihasilkan dari proses
anaerobik. Komposisi kimia dari biogas di antaranya metana (CH4) dan gas
karbon dioksida (CO2), sedangkan karakteristik fisiknya memiliki sifat tidak
berwarna dan mudah terbakar. Biogas dapat dihasilkan melalui degradasi
anaerobik oleh mikroorganisme yang berasal dari sampah peternakan, pertanian,
rumah tangga, dan industri tertentu (Imam et al., 2013).
Sumber feses hewan yang biasa digunakan untuk memproduksi biogas
biasanya berasal dari sapi, babi, ayam ataupun kambing. Menurut Weiland (2010),
2
sapi dapat menghasilkan 25 m3 biogas per ton feses sapi, sedangkan babi dapat
menghasilkan 30 m3 biogas per ton feses babi. Normak dan Menin (2010)
menambahkan bahwa feses ayam petelur dapat menghasilkan 90-150 m3 biogas
per ton feses ayam petelur, sedangkan ayam boiler dapat menghasilkan 50-100 m3
biogas per ton feses ayam boiler. Sementara itu, feses kambing dapat
menghasilkan 40-93 m3 biogas per ton feses kambing (Kanwar dan Kalia, 1993).
Alternatif lain sumber bahan pembuatan biogas adalah feses gajah dari
kebun binatang. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di kebun
binatang biasanya menghasilkan jumlah dan kualitas feses yang sama setiap
harinya. Kondisi ini disebabkan oleh pemberian pakan yang telah terukur dan
terjadwal. Menurut Association of Zoo and Aquarium (AZA) (2003), dalam sehari
rata-rata seekor gajah di kebun binatang dapat menghasilkan sekitar 50-60 kg
feses. Feses gajah memiliki karakteristik tinggi serat pakan dibandingkan dengan
feses sapi. Hal ini disebabkan oleh sistem pencernaan gajah yang bukan
ruminansia seperti sapi. Pencernaan gajah hanya mampu menyerap 40% nutrisi
dari makanan yang dicerna dan selebihnya akan dibuang menjadi feses, sehingga
gajah akan cenderung makan banyak dan juga menghasilkan banyak feses
(Association of Zoo and Aquarium, 2003). Tingginya serat pakan (selulosa) dalam
feses gajah ini kemungkinan besar akan meningkatkan produksi biogas melalui
proses anaerobik.
Weiland (2010) menjelaskan bahwa kadar biogas yang dihasilkan
bergantung pada material mentah yang digunakan. Oleh karena itu kemungkinan
besar feses yang dihasilkan gajah akan bergantung pada apa yang dikonsumsi
3
gajah. Gajah di kebun binatang biasanya diberi pakan berupa rumput gajah
(Pennisetum purpureum schaum) ataupun daun kelapa (Cocos nucifera) sebagai
pakan utama yang ditambah pelengkap berupa buah-buahan, seperti jagung (Zea
mays), papaya (Carica papaya), pisang (Musa paradisiaca), wortel (Dacus
carota), kelapa, sayuran seperti kacang panjang (Vigna sp.), tebu (Saccharum
officinarun), dan umbi-umbian, seperti ubi jalar (Hipomoea batatas). Kondisi ini
membuat penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh jenis pakan terhadap
produksi biogas yang dihasilkan oleh feses gajah.
Penelitian sebelumnya mengenai biogas feses gajah telah dilakukan oleh
Hardyanti dan Sutrisno (2007) yang menghasilkan biogas maksimal sebesar 15,2
L/kg kotoran gajah dengan variasi penambahan urin, air dan starter. Sementara
itu, penelitian mengenai produksi biogas dari feses gajah berdasarkan jenis pakan
yang diberikan ini berfokus pada jenis pakan yang diberikan, mengingat gajah
adalah hewan generalist feeder dengan kemampuan mencerna hijauan yang
rendah maka kemungkinan besar tumbuhan yang dimakan oleh gajah akan
mempengaruhi produksi biogas.
Sampel feses gajah diperoleh dari Taman Margasatwa Ragunan (TMR)
yang merupakan salah satu lembaga konservasi ex-situ di Indonesia dengan total
jumlah Gajah Sumatera sebanyak 14 ekor yang terdiri dari 12 ekor dewasa dan 2
ekor anakan. Selama ini feses gajah di TMR hanya dibuang ke dalam lubang
galian tanah tanpa adanya proses pengelolaan limbah lebih lanjut. Oleh karena itu,
melalui penelitian ini diharapkan feses gajah akan lebih bermanfaat terutama
4
untuk mensuplai kebutuhan oprasional dari TMR. Hal inilah alasan mengapa
satwa gajah dijadikan objek penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan produksi biogas dari feses gajah yang diberi pakan
rumput gajah dengan kombinasi rumput gajah, ubi jalar, pisang, dan jagung?
1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan produksi biogas antara feses gajah yang diberi pakan
rumput gajah dengan kombinasi rumput gajah, ubi jalar, pisang, dan jagung.
1.4 Tujuan Penelitian
Mengetahui komposisi pakan terbaik untuk produksi biogas dari feses Gajah
Sumatera Taman Margasatwa Ragunan.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai acuan dalam manajemen limbah padat di Taman Margasatwa
Ragunan maupun tempat penangkaran ex-situ lainnya.
2. Memberikan nilai tambah ekonomi dari konservasi gajah melalui produksi
biogas feses gajah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
Gajah Sumatera merupakan sub spesies dari Gajah Asia (Elephas
maximus) yang diperkenalkan oleh Temminck dengan nama ilmiah Elephas
maximus sumatranus (Temminck, 1847). Gajah Sumatera termasuk ke dalam
famili Elephantidae, Genus Elephas, Spesies Elephas maximus (Linnaeus, 1758)
sub spesies Elephas maximus sumatranus (Temminck, 1847). Gajah Sumatera
atau Elephas maximus sumatranus merupakan salah satu sub spesies Gajah Asia
yang memiliki habitat asli di Pulau Sumatera. Gajah Sumatera tergolong sub
spesies Gajah Asia yang memiliki ukuran tubuh relatif kecil dibandingkan Gajah
Afrika. Perbandingan morfologi Gajah Sumatera dan Gajah Afrika dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Morfologi Gajah Asia dan Afrika (Eade, 2011)
6
Perbedaan mencolok selain dari ukuran tubuh Gajah Asia dan Afrika
adalah adalah telinga, gading, jari kaki, dan bibir pada belalai gajah. Telinga
Gajah Asia cenderung lebih kecil dan tidak menutupi bahu dibandingkan dengan
Gajah Afrika yang lebih besar dan menutupi bahu. Gading Gajah Asia juga
memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan Gajah Afrika, sementara itu baik
pejantan maupun betina yang memiliki gading dengan ukuran yang sama pada
Gajah Afrika, sedangkan pada Gajah Asia betina juga memiliki gading, namun
ukurannya lebih kecil dari gading pejantannya. Kepala Gajah Asia memiliki 2
kubah (dome) bagian pada tulang frontal yang menonjol, sedangkan pada Gajah
Afrika hanya ada satu. Bagian pembeda terakhir adalah jari kaki, pada Gajah Asia
kaki depan memiliki 5 jari dan 4 jari pada kaki belang, sedangkan pada Gajah
Afrika memiliki 4 jari kaki pada kaki depan dan 3 jari pada kaki belakang (Frei,
2016).
Gajah Sumatera memiliki jumlah tulang rusuk sebanyak 20 pasang
(berbeda dengan subspesies lainnya yang umumnya hanya memiliki 19 pasang
tulang rusuk), telinga yang berukuran lebih besar, dan gading yang relatif lebih
panjang dibanding Gajah Asia lainnya (Sitompul, 2011). Siklus hidup gajah dapat
dikategorikan menjadi 3 periode utama yaitu : bayi, remaja dan gajah dewasa.
Seperti manusia, setiap tahap berlangsung untuk jangka waktu dan tahap
perkembangan yang sangat berbeda bergantung dari ciri masing-masing tingkat
kematangan.
7
2.1.1 Pakan dan Prilaku Makan Gajah
Gajah Sumatera termasuk ke dalam hewan generalist feeder yang
merupakan hewan dengan kemampuan dapat mengkonsumsi berbagai jenis dan
bagian tumbuhan. Gajah merupakan hewan opurtunis yang dapat mengkonsumsi
tumbuhan apapun sesuai dengan lokasi dan musimnya, ia juga dapat
mengkonsumsi sebagian besar bagian tumbuhan seperti daun, batang, ranting,
akar, buah, dan bunga (Sukumar, 2003).
Sebuah studi di Taman Nasional Rajaji bagian India, tercatat bahwa pakan
Gajah Asia terdiri dari 50 jenis tumbuhan (Joshi dan Singh, 2008). Sebaliknya
sebuah studi oleh Sukumar di tahun 1990 menunjukkan bahwa gajah memakan
112 spesies tumbuhan di India Selatan. Bervariasinya jenis pakan juga terlihat
pada Gajah Afrika, sebuah studi yang dilakukan di Taman Nasional Lope, Gabon
menemukan bahwa gajah memakan minimum 307 spesies tanaman (White et al.,
1993).
2.1.2 Sistem Pencernaan Gajah
Sistem pencernaan gajah secara umum sama seperti pencernaan mamalia
pada umumnya, kecuali untuk ukurannya yang lebih besar. Secara anatomis
organ-organ pencernaan dibagi menjadi beberapa bagian yakni mulut bersama
gigi, esofagus, lambung, hati, pankreas, dan usus. Bagian pertama adalah mulut
yang memiliki 3 komponen yakni bibir, lidah dan gigi. Mulut merupakan tempat
pertama makanan mulai dicerna. Bibir bagian atas bergabung dengan belalai,
sedangkan bibir bawahnya mengerucut ke depan. Lidah gajah memiliki
karakteristik besar, berdaging, dan lincah. Lidah ini tak mampu menjulur ke luar
8
mulut karena bagian pangkal lidah telah menempel dengan dasar rongga mulut.
Lidah ini berfungsi untuk mengarahkan makanan ke dalam rongga mulut (Fowler
dan Mikota, 2006).
Kelenjar saliva pada gajah terletak sepanjang mandibular ramus di bawah
external auditory meatus. Kelenjar ini berfungsi untuk mensekresikan saliva yang
membantu proses pencernaan. Saliva pada gajah mengandung enzim alfa amilase
(tidak pada Gajah Afrika) untuk membantu memcah molekul polisakarida. Tetapi
secara umum saliva membantu melumasi coarse ingesta. Kandungan dari saliva
(protein, sodium, kalsium, magnesium, fosfat dan urea) dapat berbeda-beda
tergantung dari umur, tingkat hidrasi, status hormon, dan laju sekresi saliva dari
seekor gajah (Fowler dan Mikota, 2006).
Gigi pada gajah memiliki formasi I 1/0, C 0/0, PM 3/3, M 3/3. Seekor
gajah akan memiliki 24 gigi molar (geraham) selama perjalanan hidupnya yang
pada masing-masing rahang terdapat 6 gigi. Premolars dan molars mengandung
enamel dan dentin yang tersusun dalam beberapa lamella, masing-masing lamella
terikat satu sama lain dengan cementum. Cementum menutupi bagian luar
permukaan dari masing-masing molar kecuali bagian apikal dari kepala gigi
(Dumonceaux, 2006).
Organ kedua adalah esofagus yang merupakan penghubung antara rongga
mulut dan lambung dari gajah. Organ ketiga adalah lambung, lambung gajah
merupakan organ sederhana dengan banyak lipatan kasar pada bagian kardiaknya.
Sphincter dari kardiak bersifat sangat tebal dan berotot. Volume maksimum yang
9
tercatat dari lambung Gajah Asia dewasa adalah 76,6 L, sedangkan pada Gajah
Afrika adalah sekitar 60,5 L (Dumonceaux, 2006).
Organ keempat adalah hati (hepar), hati dari gajah memiliki 2-3 lobus.
Hati gajah dengan 3 lobus lebih sering dijumpai. Lobus sebelah kanan akan lebih
besar dibandingkan dengan lobus kiri ketika hanya terdapat terdapat 2 lobus pada
hati (Dumonceaux, 2006). Variasi individu diduga menjadi penyebab perbedaan
jumlah lobus pada hati gajah. Berat hati pada gajah betina dewasa adalah sekitar
36-45 kg sedangkan pada jantan dewasa adalah sekitar 59-68 kg. Tidak terdapat
vesica velea (kantung empedu) namun terdapat saluran empedu. Saluran hati
bergabung bersama saluran utama pankreas dan tersambung ke dinding duodenum
(usus duabelas jari) membentuk ampulla yang mengandung banyak lipatan
mukosa (Dumonceaux, 2006).
Organ kelima adalah pankreas yang terletak memanjang secara transversal
pada mesoduodenum. Pankreas memiliki fungsi endokrin dan eksokrin dengan
berat sekitar 2 kg. Organ keenam adalah usus (intestinum), sama halnya pada
mamalia lainnya usus pada gajah dibagi menjadi dua bagian yakni usus kecil dan
usus besar. Usus kecil terdiri dari duodenum, ileum, dan jejenum dengan total
panjang 11-21,6 m (Mikota, 1994). Variasi perbedaan panjang ini bergantung dari
ukuran tubuh dan umur gajah. Duodenum dimulai dari pylorus lambung dan
berakhir pada jejenum. Jejenum terletak pada lilitan mesentrium di dasar rongga
abdominal pada sisi kanan dan kiri. Bagian terakhir yaitu ileum yang berakhir
pada cecum.
10
Bagian kedua dari usus adalah usus besar yang terdiri atas cecum, colon,
dan mesocolon. Usus besar memiliki panjang 6-12,8 m (Mikota, 1994). Secara
fisiologis gajah merupakan hewan hindgut fermentor, yang artinya proses utama
penyerapan nutrisi makanan terjadi pada bagian posterior dari tubuh. Cecum
(sekum) adalah tempat pertama terjadi fermentasi pakan yang masuk. Sekum
merupakan bagian usus yang mempertemukan usus halus dengan usus besar,
bakteri membantu proses pencernaan selulosa pada organ ini. Sekum memiliki
banyak pembuluh darah yang terbagi menjadi banyak kantung kecil dan hasil
pencernaan dari makanan akan diserap melalui bagian ini. Colon (kolon) dianggap
sebagai organ pencerna utama dari gajah menyerap air dan sisa nutrisi yang
masih bisa diserap (Fowler dan Mikota, 2006).
Strategi penceraan dari gajah adalah dengan melewatkan sejumlah besar
pakan kualitas rendah melalui GI (Gastrointestinal) tract dalam waktu yang
singkat. Waktu transit pakan pada GI tract bergantung pada jenis pakan yang
dikonsumsi. Menu pakan berupa konsentrat dengan rumput akan lebih cepat
dibandingkan dengan hanya rumput. Terdapat perbedaan pula antara spesies
gajah, Gajah Afrika cenderung memiliki MRT (mean retention time) lebih cepat
dibandingkan dengan Gajah Asia (Dumonceaux, 2006).
2.1.3 Feses Gajah
Gajah dapat makan sekitar 200 sampai 270 kg pakan dalam sehari dan
menghasilkan sekitar 100 sampai 130 kg feses per hari dalam bentuk bola dengan
diameter 10-15 cm dan berat 1-2 kg. Gajah dapat melakukan defekasi sebanyak
15-20 kali per hari dengan 5-8 bola feses per defekasi (Cheeran, 2002). Lima
11
hingga enam puluh persen pakan keluar sebagai feses tanpa tercerna. Gajah
merupakan hewan yang tak mampu mencerna makanan dengan baik, feses mereka
memiliki karakteristik tinggi serat yang banyak mengandung ranting, serat, dan
biji (Kitamura, 2007). Nehanji dan Plumptre (2001) menambahkan bahwa laju
dekomposisi dari feses gajah ini sangat lambat, dalam kurun waktu tiga bulan
feses masih dalam kondisi stabil.
Feses gajah yang dikeluarkan oleh kegiatan makan gajah pada ekosistem
alami mengalami proses pengembalian mineral ke tanah. Weir dalam Fowler dan
Mikota (2006), membandingkan komposisi kimia dari kotoran gajah dengan
tanaman pangan utama gajah, menunjukkan bahwa banyak mineral penting seperti
nitrogen, fosfat, dan kalium cenderung lebih tinggi pada feses dari pada material
pangan. Penyebab utamanya adalah sumber energi pada tanaman telah hilang,
mengakibatkan peningkatan proporsional dalam mineral yang belum
diasimilasikan. Penyebab lainnya, gajah menunjukkan seleksi intraspesifik untuk
bagian dari tanaman pangan yang memiliki kualitas nutrisi lebih tinggi.
Mineralisasi karbon dari feses gajah terjadi sangat cepat ketika 48 jam
pertama setelah dekomposisi tetapi aktivitas mikroorganisme makin terbatas oleh
kelembaban setelah periode awal, dan relatif rendah setelah dua minggu ketika
feses mengering (Masunga, 2006). Studi rata-rata komposisi kimia dari feses
Gajah Afrika di Kenya yakni 6,95 ±0,21% protein kasar, 1,108 ±0,033% nitrogen,
46,93 ± 1,16% serat kasar, 2,04 ± 0,085% kalsium, 0,246 ±0,013% fosfat, 0,134
±0,008% natrium, dan 0,577 ± 0,025% kalium (Dougal, 1963 dalam Fowler dan
Mikota 2006).
12
2.2 Biogas
Biogas adalah gas hasil degradasi agen biologis yang mudah terbakar.
Komposisi biogas yang penting dan utama adalah gas metana (CH4) dan karbon
dioksida (CO2). Biogas dihasilkan dari dekomposisi senyawa organik oleh bakteri
anaerobik (tanpa oksigen). Gas-gas yang terbentuk berasal dari bahan-bahan
organik oleh aktivitas mikroorganisme dekomposer dan komposisi gas tergantung
substrat yang didegradasi (Jorgensen, 2010). Biogas dapat dihasilkan dari
fermentasi feses ternak misalnya sapi, kerbau, babi, kambing, ayam, yang di
rendam dalam air dan disimpan dalam tempat tertutup atau kedap udara (anaerob),
pada kondisi ini bakteri akan mencerna bahan organik yang menghasilkan gas
metana. Biogas sebenarnya dapat terjadi secara alami, namun untuk mempercepat
dan menampung gas ini memerlukan alat yang memenuhi syarat terjadinya gas
tersebut (Mustafa dan Ismail, 2010).
Biogas dapat menghasilkan gas terutama metana dan karbon dioksida,
selain itu biogas juga menghasilkan gas-gas lain seperti nitrogen, hidrogen
hidrogen sulfida, ammonia, serta uap air (Graaf dan Fendler, 2010). Biogas
terbentuk hari ke 4-5 sesudah biodigester terisi penuh dan mencapai puncak pada
hari ke-20 hingga 25. Biogas akan menghasilkan energi ketika dilakukan
pembakaran. Energi ini dapat dimanfaatkan untuk memasak, menjalankan mesin-
mesin pembakaran, alat penerangan dan lain-lain (Haryati, 2006). Komposisi dan
karakteristik biogas dapat dilihat pada tabel 1.
Dekomposisi bahan-bahan organik dalam kondisi anaerobik dapat
menghasilkan suatu gas yang sebagian besar terdiri atas campuran metana dan
13
karbon dioksida (Santoso, 2010). Komposisi biogas dapat bervariasi, selain
tergantung dari substrat yang digunakan juga dapat dipengaruhi oleh parameter
proses anaerobik yang terjadi. Gas landfill memiliki konsentrasi metana sekitar
50%, sedangkan sistem pengolahan limbah maju dapat menghasilkan biogas
dengan 55-75% metana (Mustafa dan Ismail, 2010).
Tabel 1. Komposisi dan karakteristik biogas
Komponen 50-70% Metana (CH4)
30-45% Karbon dioksida (CO2)
0-0,5% Hidrogen sulfida (H2S)
0-0,5% Amonia (NH3)
1-5% Uap air (H2O)
0-5% Nitrogen (N2)
0-50 mg/m3 Siloxanes (SiO2)
<0,2% karbon Monoksida (CO)
Energi 6-6,5 kWh/m3
Batas Aman Ledakan 6-12% di udara
Suhu Pembakaran 650-750oC
Masa Jenis 1,2 kg/m3
Masa Molekul 16,043 kg/kmol
(Sumber: Deublein dan Steinhauser, 2008)
Komponen-komponen gas yang menyusun biogas akan memengaruhi
kualitas biogas. Proporsi gas metana dan karbon dioksida dipengaruhi oleh 7
faktor, yaitu jumlah rantai panjang hidrokarbon, waktu retensi, pengadukan, kadar
air ataupun jumlah fase cair dalam fermentor, suhu dan tekanan, serta substrat
yang digunakan. Selain itu semakin sedikit kandungan gas-gas ataupun zat
pengotor akan meningkatkan kalori biogas yang dihasilkan (Deublein dan
14
Steinhauser, 2008). Macam-macam gas dan zat pengotor dapat dilihat pada tabel
2.
Tabel 2. Macam-macam gas dan unsur pengotor biogas
Komponen Pengaruh
CO2 - Mengurangi nilai kalori (energi)
- Dapat menyebabkan korosi (jika gasnya mencair)
- Meningkatkan sifat anti-knock dari mesin
-Merusak alkalinitas fuel cell
H2S - Memiliki efek korosi pada peralatan dan sistem pipa
- Akan menghasilkan emisi SO2 jika dibakar atau H2S jika
pembakaran tidak sempurna
- Sumber bau tak sedap
NH3 - Emisi NOx akan merusak fuel cell
- Meningkatkan sifat anti-knock dari mesin
H2O - Memiliki efek korosi pada peralatan dan sistem pipa
- Beresiko akan menyumbat pipa dan keran
N2 - Mengurangi nilai kalori (energi)
- Meningkatkan sifat anti-knock dari mesin
SiO2 - Berperan sebagai senyawa abrasif dan merusak mesin
(Sumber: Deublein dan Steinhauser, 2008)
Substrat yang digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan biogas
akan memengaruhi karakteristik dan komposisi gas yang dihasilkan. Secara umum
selama bahan baku atau substrat yang digunakan mengandung karbohidrat,
protein, lemak, selulosa sebagai komponen utama. Menurut Ertem (2011) terdapat
beberapa pertimbangan dalam memilih substrat untuk biogas yaitu nilai nutrisi
atau kandungan bahan organik, ada atau tidaknya agen patogen ataupun substansi
berbahaya, hasil biogasnya dapat digunakan untuk aplikasi selanjutnya, dan residu
15
degradasinya dapat digunakan kembali (sebagai pupuk). Contoh substrat dan
potensi biogasnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kandungan biogas dan proporsi metana berbagai substratSubstrat Total Bahan
Kering (%bahanbasah)
BahanOrganik (%bahankering)
WaktuRetensi(hari)
KandunganBiogas (m3/kgBahan Organik)
ProporsiCH4 (%)
Feses Babi 3-81 70-80 20-40 0,25-0,50 70-80
Feses Sapi 5-12 75-85 20-30 0,20-0,30 55-75FesesAyam
10-30 70-80 >30 0,35-0,60 60-80
Sisamakanan
10 80 10-20 0,50-0,60 70-80
Whey (airdadih)
1-5 80-95 3-10 0,80-0,95 60-80
Silase 60-70 90 8-30 0,56 -Jerami 70 90 10-50 0,35-0,45 -
(Sumber: Khanal, 2008)
2.3. Proses Pembentukan Biogas
Pembentukan biogas meliputi empat tahap proses, yaitu: hidrolisis,
fermentasi (acidogenesis), oksidasi anaerobik (acetogenesis), dan metanogenesis
(Tabel 4). Empat tahap proses tersebut saling berkaitan satu sama lain untuk
memproduksi biogas yang efektif dan produktif. Produksi biogas dibutuhkan
parameter lingkungan yang optimal, nutrisi, dan peran mikroorganisme untuk
proses dekomposisi bahan-bahan organik (Zieminski dan Frac, 2012).
Hidrolisis adalah tahap pertama dari proses dekomposisi biogas. Gula,
lemak, dan protein dalam tahap ini diubah menjadi senyawa organik yang lebih
sederhana seperti asam amino, gula sederhana, asam lemak, dan beberapa alkohol.
Tahap pertama ini sangat penting karena hasil hidrolisis molekul organik
16
kompleks digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber nutrisi (Schnurer dan
Jarvis, 2009).
Molekul organik kompleks seperti protein, lemak dan karbohidrat akan
dipecah menjadi senyawa organik sederhana dengan bantuan enzim yang
dikeluarkan oleh bakteri hidrolitik (Jarvis et al., 2004). Enzim hidrolisis yang
diproduksi oleh bakteri dan bereaksi dengan air akan memecah senyawa organik
kompleks menjadi gula sederhana, asam amino, asam lemak dan alkohol (Persson
et al., 2010).
Tahap fermentasi (acidogenesis) dalam proses biogas menghasilkan asam
organik (asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam suksinat, asam laktat),
alkohol, amonia (dari asam amino), karbon dioksida dan hidrogen (Schnurer dan
Jarvis, 2010). Selama tahap ini, bakteri asidogenik mengubah zat kimia yang larut
dalam air, termasuk hasil hidrolisis menjadi asam organik rantai pendek (format,
asetat, propionat, butirat, pentanoik), alkohol (metanol, etanol), aldehid, karbon
dioksida dan hidrogen dari dekomposisi protein, asam amino dan peptida
(hidrolisis) yang akan menjadi sumber energi bagi mikroorganisme anaerobik
(Zieminski dan Frac, 2012).
Hasil reaksi yang terbentuk selama tahap fermentasi selanjutnya dipecah
oleh berbagai reaksi oksidasi anaerobik. Tahapan ini yang sangat penting dalam
proses biogas yang membutuhkan kerja sama yang erat antara organisme yang
melakukan oksidasi dan organisme yang memproduksi metana yang aktif dalam
tahap berikutnya, yaitu pembentukan metana murni. Selama oksidasi anaerobik,
17
proton digunakan sebagai akseptor elektron akhir dan menghasilkan gas hidrogen
(acetogenesis) (Schnurer dan Jarvis, 2009).
Tabel 4. Tahapan degradasi anaerobik dan mikroorganisme yang berperanTahapan Mikroorganisme
Hidrolisis
(C6H10O5)n + nH2O = n(C6H12O6)
Bergantung dari substratyang digunakan
Asidogenesis
C6H12O6 + 2H2O = 2CH3COOH + 4H2 + CO2
C6H12O6 + 2H2 = 2CH3CH2COOH + 2H2O C6H12O6
= CH3CH2 CH2COOH + 2CO2 + 2H2
C6H12O6 = 2CH3 CHOHCOOHC6H12O6 = 2CH3 CH2OH + 2CO2
Bacteriodes, clostridiumButyrivibrie, eubacteriumBifidobacterium,lactobacillus
Acetogenesis
CH3CHOHCOOH + H2O = CH3 COOH + CO2 +2H2
CH3CH2OH + H2O = CH3COOH + 2H2
CH3CH2CH2COOH + 2H2O = 2CH3COOH + 2H2
CH3CH2COOH + 2H2O = CH3COOH + CO2 + 3H2
Desulfovibrio,Syntrophobacter wolinii,syntrophomonas
Metanogenesis
4H2 + CO2 = CH4 + 2H2O2CH3 CH2 OH + CO2 = 2CH3COOH + CH4
2CH3(CH2)2 COOH + 2H2O + CO2 = 4CH3COOH+ CH4
CH3 COOH = CH4 + CO2
MethanobacteriumformicicumMethanobacteriumbryantii,MethanobrevibacterRuminantium,MethanobrevibacterarboriphilusMethanospirilum hungateiMethanosarcina barkeri
(Sumber: Abbasi et al., 2012)
Tahap metanogenesis adalah tahap terakhir dalam pembentukan biogas.
Tahap ini menggunakan asam asetat, hidrogen dan karbon dioksida untuk
menghasilkan metana (Schnurer dan Jarvis, 2009). Tahap metanogenesis
dilakukan oleh beberapa kelompok mikroorganisme yang mendegradasi asam
18
asetat, karbon dioksida dan hidrogen menjadi metana. Produksi metana dilakukan
oleh bakteri metanogen. Metanogen pada tahap ini dari kelompok Archaea,
eukariot dan bakteri (Eubacteria). Kondisi stabil dalam tahap ini, sekitar 70% dari
produksi metana berasal dari degradasi asam asetat, sedangkan sisanya 30%
berasal dari karbon dioksida dan hidrogen (Jorgensen, 2010).
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas
Lingkungan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikroorganisme
untuk proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses anaerobik antara lain: temperatur, pH, kadar air, konsentrasi substrat,
Volatile Fatty Acid (VFA) dan ammonia (NH3). Faktor pertama yaitu temperatur,
faktor ini berpengaruh terhadap perkembangan bakteri dalam proses pencernaan
bahan organik. Metanogen merupakan bakteri golongan mesofil yang hidup di
suhu kamar. Temperatur optimum berkisar di antara 30-35oC. Kisaran temperatur
ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi
metana di dalam digester dengan proses yang pendek (Yanti, 2009).
Faktor kedua yaitu potensial hidrogen (pH), pH dapat mempengaruhi laju
produksi biogas. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik
yaitu sekitar pH 6,8-8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih
tinggi atau rendah (Haryati, 2006). Mikroorganisme metanogen menggunakan
asam organik untuk sumber nutrisi dan tidak bisa bertahan dalam lingkungan
asam. Nilai pH yang baik untuk mikroorganisme metanogen berada di antara 6,5-
8 dengan pH optimum adalah 7,2. Ketika proses degradasi seimbang, keasaman
dalam fermentor akan berada dalam kisaran tersebut. Keasaman yang seimbang di
19
dalam fermentor dapat mengoptimalkan dan menstabilkan untuk memproduksi
biogas (Jorgensen, 2010).
Faktor ketiga yaitu kadar air, yang secara langsung dapat mempengaruhi
produksi biogas. Air berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik.
Penambahan air dapat meratakan sebaran bakteri dalam substrat, menjamin
pencampuran, ketersediaan nutrien, melarutkan inhibitor, menghambat transport
oksigen dari udara serta memfasilitasi penukaran substrat, nutrisi dan buffer
(Yanti, 2009). Kadar air tidak hanya bertujuan untuk pergerakan bakteri tetapi
juga mempengaruhi transpor materi serta keseimbangan produksi volatile fatty
acids (VFA) oleh bakteri asidogenik dan konversi asam menjadi metana oleh
bakteri metanogen (Lay et al., 1997). Kadar air dalam substart dan homogenitas
sistem juga mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kadar air yang tinggi
akan memudahkan proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem membuat
kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih erat (Manurung,
2004).
Faktor keempat yaitu ketersediaan nutrisi. Pertumbuhan mikroorganisme
membutuhkan unsur-unsur seperti karbon, Nitrogen, Posfor dan Sulfur harus ada
pada sumber makanannya (media tumbuh). Sel mikroorganisme mengandung
Karbon, Nitrogen, Posfor dan Sulfur dengan perbandingan 100:10:1:1. Seperti
pada makhluk hidup pada umumnya, nutrisi pada mikroorganisme dibagi menjadi
dua yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien paling penting yang
dibutuhkan pada semua proses degradasi biologis adalah nitrogen dan phospat.
Nutrisi tersebut tersedia bagi mikroorganisme metanogen sebagai ammonia-
20
nitrogen (NH4+-N) dan ortophospat-phospat (HPO4-P). Mikroorganisme
pembentuk metan lebih menyukai NH4+ -N (Ertem, 2011).
Terdapat empat mikronutrien penting bagi kelangsungan hidup
mikroorganisme metanogen yang berkaitan dengan proses enzimatis yaitu kobalt,
besi, nikel, dan sulfida. Kobalt dibutuhkan sebagai aktifator pada sistem enzim
mikroorganisme metanogen. Nikel secara umum tidak esensial bagi kebanyakan
mikroorganisme, tetapi pada mikroorganisme metanogen dibutuhkan untuk
memproduksi beberapa enzim khusus untuk produksi metana. Sulfida merupakan
sumber dasar sulfur untuk mikroorganisme metanogen (Gerardi, 2003).
Faktor kelima yaitu Volatile Fatty Acid (VFA) atau asam lemak volatil
adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi biogas. Selain
sebagai sumber energi, VFA memiliki peran sebagai pembentuk protein
mikroorganisme. Keberhasilan proses asidifikasi dapat dilihat dari tingkat
pembentukan asam-asam organik rantai pendek yang berupa asam butirat, asam
propionat dan asam asetat yang keseluruhannya dideteksi dengan analisa kadar
VFA (Purwati, 2011). VFA terbentuk dalam proses pengasaman atau asidogenesis
untuk pembentukan asam-asam organik di dalam digester anaerobik seperti asam
asetat, asam format, asam propionat dan asam butirat (Jorgensen, 2010). Asam-
asam organik tersebut digunakan oleh mikroorganisme untuk proses asetogenesis
yang akan menghasilkan gas metana dan karbon dioksida (Wieland, 2010).
Faktor keenam yaitu Ammonia (NH3). Ammonia adalah hasil
katabolisme protein yang diekskresikan oleh organisme dan merupakan salah satu
hasil dari penguraian zat organik oleh bakteri. Amonia di dalam air terdapat dalam
21
bentuk tak terionisasi (NH3) atau bebas, dan dalam bentuk terionisasi (NH4) atau
ionamonium (Dinas Perikanan, 1997). Amonia adalah gas yang diperoleh dari
hasil pemecahan senyawa nitrogen atau protein. Ammonia merupakan sumber
penting dari nitrogen dan diperlukan untuk sintesis asam amino (Rani dan
Neeraja, 2013).
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Sampel penelitian ini berasal dari feses Gajah Sumatera di Taman
Margasatwa Ragunan (TMR), yang beralamat di Jalan Harsono RM. 1 Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Pusat
Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Teknologi Nuklir Nasional (PAIR-BATAN)
Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan bulan Januari 2016 hingga
Feburari 2016.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah 6 pipa polyvinyl chloride (PVC)
dengan diameter 3 inci, 6 pipa PVC dengan diameter 0,5 inci, 6 buah stop valve
PVC, dop penutup pipa PVC, tip, selang silikon, penjepit kertas, bejana bening,
gas bag 5 L, gergaji besi, bor listrik Maktec MT 60, cawan petri, pipet tetes,
cawan Conway, gas analyzer MRU Vario Plus Industrial, mikroskop Novel, UV-
VIS LAMDA 950 Perkin Elmer, pH meter, TDS-3 HM Digital, plastik sampel 5
kg, sekop, termometer, pH meter, destilator volatile fatty acid (VFA), pipet tetes,
selang plastik, plester hitam, object glass, cover glass, yellow tube, microtube,
timbangan analitik, tanur, dan oven. Bahan-bahan yang digunakan adalah rumput
gajah, pisang, ubi jalar, jagung, feses gajah, alkohol 70%, ragi instan merek
fermipan, aquadest, alumunium foil, vaselin, H2SO4, K2CO3, HCl, NaOH, H3BO3
dan indikator phenolphthalein.
23
3.3 Prosedur Kerja Penelitian
3.3.1 Pembuatan Fermentor dan Gas Collector System
Tabung fermentor biogas dibuat dari pipa PVC berdiameter 3 inci dengan
panjang 75 cm, pada bagian atas dan bawah pipa ditutup dengan dop. Dop pada
bagian atas dilubangi dengan ukuran yang sesuai dengan diameter tip, sedangkan
dop pada bagian bawah dilem menggunakan lem pipa PVC. Tip pada bagian atas
kemudian disambungkan dengan selang plastik berdiameter 0,635 cm. Pipa PVC
kemudian dilubangi sebesar 0,5 inci 25 cm dari bagian bawah pipa menggunakan
bor listrik, kemudian dimasukkan pipa PVC 0,5 inci dengan panjang 10 cm
setelah itu direkatkan dengan lem PVC. PVC Stop valve kemudian dimasukkan ke
ujung pipa PVC 0,5 inci tersebut. PVC stop valve ini berfungsi sebagai katup
pencuplikan slurry untuk pengukuran parameter uji selanjutnya.
Gambar 2. Rancangan fermentor yang digunakan (dok. pribadi, 2016)
Keterangan :
1. Tip2. Dop PVC atas3. Selang plastik4. Pipa PVC 3 inci5. Pipa PVC 0,5 inci6. PVC stop valve7. Dop PVC bawah8. Gas bag
1
2
3
4
5
6
8
7
24
Gas collector system sederhana dibuat dengan menggunakan container
box bening berukuran 15 L yang telah diberi skala volume dan gas bag berukuran
5 L. Pertama-tama gas bag disambungkan dengan selang dari fermentor, lalu
diletakkan di dasar container box dan direkatkan posisinya dengan plester hitam
berbahan kain. Container box kemudian diisi air sebanyak 2 L. Pertambahan
volume air pada skala yang ada di container box kemudian dicatat sebagai
volume kosong dari gas bag. Gas hasil fermentasi akan mengisi ruang pada gas
bag yang akan menambah volumenya. Kondisi ini akan membuat volume air dari
container box bertambah. Pertambahan volume ini diasumsikan sebagai volume
gas yang dihasilkan dari proses fermentasi. Pengukuran volume gas yang
terbentuk dijelaskan lebih lanjut pada subbab 3.3.5.6.
Gambar 3. Rancangan gas collector system yang digunakan (dok. pribadi, 2016)
3.3.2 Pengambilan Sampel Feses Gajah
Sampel feses gajah diperoleh dari 2 kelompok gajah di TMR, yang
masing-masing kelompok terdiri atas 3 individu (Lampiran 14). Kelompok
pertama, adalah gajah yang hanya diberi pakan berupa rumput gajah (perlakuan
pakan rumput gajah). Kelompok kedua, adalah gajah yang diberi pakan berupa
Keterangan :
1. Container box2. Selang plastik3. Plester hitam4. Gas bag
1
2
3
4
25
rumput gajah, pisang, ubi jalar dan jagung (perlakuan pakan kombinasi).
Pemilihan jenis pakan sebagai kelompok perlakuan bertujuan untuk melihat
apakah ada perbedaan produksi biogas di antara pakan utama dengan pakan utama
yang ditambah dengan pakan tambahan.
Gajah yang menjadi objek penelitian adalah gajah yang telah masuk
kriteria penelitian dengan kisaran umur 30 tahun baik jantan ataupun betina dan
dipilih secara acak dengan cara diundi. Sebelum dilakukan sampling feses, gajah
terlebih dahulu diaklimatisasi dengan jenis pakan yang akan diujikan selama 4
hari untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pengambilan
feses gajah dilakukan pada hari ke-5 setelah masa aklimatisasi selesai. Sampling
dilakukan dengan cara komposit (composite samples), keseluruhan feses yang
dihasilkan melalui proses defekasi oleh gajah pada masing masing kelompok
perlakuan uji pada hari ke-5 dikumpulkan menjadi satu. Kemudian feses yang
tersampling diamati karakteristik fisik seperti bentuk, berat, dan diameter.
Kemudian diukur suhu, kadar air, kadar bahan organik dan rasio C/N.
Jumlah pakan yang diberikan sesuai kebutuhan pakan harian gajah
(Sukumar, 1989) dengan estimasi berat maksimal Gajah Asia (5000 kg) dikalikan
1,9% atau 95 kg. Pemberian pakan dilakukan setiap hari selama masa
aklimatisasi. Jadwal pemberian pakan mengikuti standar oprasional yang ada di
TMR, yakni siang dan sore hari. Jagung, ubi jalar, dan pisang diberikan pada
siang hari (12.00 WIB), sedangkan rumput gajah diberikan pada sore hari (15.00
WIB). Pemberian pakan dengan 2 waktu ini juga ditujukan agar pakan uji yang
26
diberikan dapat seluruhnya dikonsumsi oleh gajah uji (Lampiran 14). Proporsi
pemberian pakan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Porsi pemberian pakan gajah per hari selama masa aklimatisasi
Jenis PakanPerlakuan Pakan Rumput Gajah
(kg)
Perlakuan Pakan Kombinasi
(kg)
Rumput Gajah 95 65
Jagung - 10
Ubi Jalar - 10
Pisang - 10
3.3.3 Pengukuran Karakteristik Fisika dan Kimia Feses Gajah
Karakteristik Fisika feses yang diukur diantaranya suhu, diameter, berat,
dan tampilan fisik dari masing-masing perlakuan uji. Pertama-tama tampilan fisik
dari feses masing-masing perlakuan diamati bentuk dan sifatnya (berserat atau
tidak berserat). Kemudian suhu feses gajah diukur menggunakan termometer
raksa dengan memasukkan termometer ke dalam feses. Pengukuran suhu ini
dilakukan pada setiap feses yang dihasilkan oleh proses defekasi gajah pada
masing-masing perlakuan. Diameter feses diukur menggunakan pita meteran dan
berat feses ditimbang dengan timbangan analog. Karakteristik Kimia feses yang
diukur diantaranya rasio C/N, kadar bahan organik, dan kadar air yang akan di
bahas pada subbab selanjutnya.
3.3.3.1 Pengukuran Rasio C/N Feses
Rasio C/N merupakan indikator yang menunjukkan proses mineralisasi
unsur hara oleh mikrobia dekomposer bahan organik. Fermentasi anaerobik pada
fermentor diketahui dari pengukuran rasio C/N awal dan akhir. Rasio C/N optimal
27
untuk digester anaerobik berkisar 20–30 (Haryati, 2006). Perhitungan rasio C/N
menggunakan rumus (Indrasti dan Rio, 2004):
Rasio C/N = C-organikN-organikSebelum dapat mengukur rasio C/N dari feses, terlebih dahulu dilakukan
pengukuran karbon dan nitrogen organik menggunakan metode spektrofotometri
dan kjedhal yang akan di bahas pada subbab selanjutnya.
3.3.3.1.1 Pengukuran Karbon Organik (C-Organik)
Analisis karbon organik dikerjakan dengan metode spektrofotometri
(Agus et al., 2005). Sebanyak 0,10 g sampel feses kering yang telah dihaluskan
menggunakan blender dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Sebanyak 5 ml
K2Cr2O7 2 N dan 7 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam labu ukur yang telah berisi
feses, kemudian diamkan selama 30 menit.
Larutan standar karbon 250 ppm dibuat dari larutan standar karbon 5000
ppm. Larutan standar karbon 5000 ppm dibuat dengan menimbang 12,5 g glukosa
yang ditambahkan 36,60 ml K2Cr2O7 2 N dan 100 ml H2SO4, kemudian dilarutkan
ke dalam 1000 ml aquademineralized (air bebas ion). Pembuatan larutan standar
karbon 250 ppm dibuat dengan 5 ml larutan standar karbon 5000 ppm yang
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 2 N dan
7 ml H2SO4.
Larutan selanjutnya yang dibuat adalah larutan blanko sebagai standar
karbon 0 ppm. Larutan sampel, standar karbon 250 ppm dan 0 ppm kemudian
diencerkan hingga tanda tera 100 ml dan dihomogenkan. Larutan yang telah
28
homogen didiamkan selama semalam kemudian diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 561 nm. Kadar C-organik dapat diukur dengan
perhitungan sebagai berikut:
C-organik (%) = ppm kurva x100
mg sampelx fk
Keterangan:
ppm: kadar contoh yang di dapat dari kurva regresi hubungan antara kadar deretstandar dengan pembacaannya setelah dikurangi blanko
fk: faktor koreksi kadar air = 100/ (100 - % kadar air)
3.3.3.1.2 Pengukuran Kadar Nitrogen Organik (N-Organik)
Pengukuran nitrogen organik dilakukan dengan menggunakan metode
Kjedahl. Sampel feses ditimbang 250 mg, lalu dimasukkan ke dalam tabung
digestion Kjedahl, selanjutnya ditambahkan 1 g campuran selen dan 2,5 ml H2SO4
pekat. Kemudian sampel didestruksi selama 30 menit pada suhu 350oC hingga
didapat ekstrak berwarna jernih. Lalu tabung didinginkan dan ekstraknya
diencerkan dengan air bebas ion hingga 50 ml, dikocok hingga homogen dan
dibiarkan selama semalam agar partikel mengendap. Larutan blanko juga dibuat
dengan cara yang sama, namun menggunakan aquades sebagai pengganti sampel
feses.
Hasil ekstraksi kemudian didestilasi dan ditampung dengan menggunakan
Erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 1% ditambah 2 tetes indikator Conway.
Sebanyak 10 ml NaOH 40% ditambahkan dengan ke dalam labu didih yang berisi
ekstrak sampel. Distilasi dilakukan hingga volume mencapai 50-75 ml atau
berubah warna menjadi kehijauan. Hal yang sama dilakukan pada blanko. Distilat
29
dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga berwarna merah muda. Volume titrasi sampel
dan blanko dicatat dan digunakan dalam perhitungan (Agus et al., 2005):
N-Organik (%)=(Vc-Vb) x N x 14 x50
10 mlx
100
250 mgx fk
Keterangan:
Vc: ml titrasi sampelVb: ml titrasi blankoN: normalitas larutan baku H2SO4
14: berat molekul unsur Nitrogen100: konversi ke %fk: faktor koreksi kadar air = 100 / (100-% kadar air)
3.3.3.2 Pengukuran Kadar Air dan Bahan Organik Feses
Pengukuran kadar air dan bahan organik feses dilakukan dengan
menggunakan metode Association of Official Analytical Chemists (AOAC, 1999)
yang dimodifikasi. Prosedur kerja pertama untuk dapat mengetahui kadar air dari
feses adalah dengan menghilangkan proporsi air dalam feses (berat kering).
Pengukuran berat kering feses dilakukan dengan mengambil 5 g sampel feses lalu
diletakkan ke dalam cawan porsen yang telah ditimbang berat konstannya.
Kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam dan
ditimbang berat keringnya. Kadar air dari feses dapat diketahui dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar Air (%) =Berat Basah - Berat Kering
Berat Keringx 100%
Pengukuran kadar bahan organik feses dapat diketahui dengan mengukur
kadar abu. Kadar abu sampel diukur dengan melanjutkan proses sebelumnya,
sampel feses kering dan cawan porselen yang telah ditimbang beratnya
30
dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600oC selama 4-5 jam untuk mengubah
sampel kering menjadi abu, setelah itu sampel dan cawan dibiarkan selama
semalam dalam tanur. Kemudian cawan porselen berisi abu dipindahkan ke dalam
desikator selama 15-30 menit dan ditimbang. kadar abu kemudian dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Kadar Abu (%) =(C - A)
Bx 100%
Keterangan:
A: Berat konstan cawan porselenB: Berat kering sampelC: Berat abu sampel
Setelah didapatkan kadar abu sampel, kadar bahan organik dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Bahan Organik (%) = (100 - abu)%3.3.4 Fermentasi Sampel Feses Gajah
Sampel feses pada hari ke-5 setelah masa aklimatisasi dikumpulkan dalam
satu wadah, kemudian dicampur rata. Setelah feses tercampur rata, 1 kg feses
ditambah dengan 1 L aquadest dan 5 g ragi merek fermipan sebagai pembuat
kondisi anaerob, setelah itu diaduk rata dan dimasukkan ke dalam fermentor.
Kemudian fermentor ditutup oleh dop penutup yang telah dihubungkan oleh
selang plastik dan gas collector. Selanjutnya untuk mencegah kebocoran atau
masuknya udara ke dalam fermentor, pada sekitar dop diberi lem PVC.
Lama proses fermentasi sampel adalah 28 hari sejak dimasukkannya
sampel ke dalam fermentor. Fermentor diletakkan pada suhu ruang untuk
31
merepresentasikan keadaan alami Taman Margasatwa Ragunan. Suhu dan pH
fermentor dibiarkan sebagaimana proses fermentasi berjalan tanpa ada perlakuan
ataupun modifikasi tambahan. Hal ini ditujukan untuk melihat apakah suhu
lingkungan TMR dapat mendukung proses fermentasi dan substrat dapat
menghasilkan biogas secara optimal tanpa penambahan zat asam/basa.
3.3.5 Pengukuran Karakteristik Fermentasi
Karakteristik fermentasi dari feses gajah kedua perlakuan pakan yang
diukur diantaranya adalah suhu, pH, konsentrasi ammonia, konsentrasi Volatile
Fatty Acid (VFA), degradasi substrat, pengamatan mikroorganisme dengan
metode apusan, pengukuran mikroorganisme asetotrofik dengan metode Most
Probable Number (MPN), produksi biogas, dan pengujian nyala api. Karakteristik
fermentasi tersebut secara rinci akan di bahas pada subbab selanjutnya.
3.3.5.1 Pengukuran Suhu dan pH Sampel
Pengukuran suhu dan pH sampel dilakukan dengan mengambil 10 ml
slurry dari fermentor melalui stop valve. Kemudian diukur suhunya menggunakan
TDS-3 HM Digital dan pHnya diukur menggunakan pH meter pada masing-
masing fermentor setiap interval 7 hari selama 28 hari. Pengukuran suhu dan pH
ini ditujukan untuk memonitor salah satu indikator proses fermentasi yang sedang
berlangsung. Suhu optimum yang disarankan pada proses fermentasi ini berkisar
antara 30-35oC sedangkan pH optimum yang disarankan adalah 6,8-7,2.
32
3.3.5.2 Pengukuran Amonia (NH3)
Pengukuran amonia dilakukan dengan metode mikrodifusi Conway
(General Laboratory Procedures, 1966) setiap interval 7 hari selama 28 hari.
Sampel yang berasal dari fermentor diambil sebanyak 1,5 ml dan dimasukkan ke
dalam microtube. Cawan Conway yang telah dibersihkan diolesi dengan vaseline
pada bagian tepinya. Sebanyak 1 ml H3BO3 (warna larutan merah muda)
diteteskan pada bagian tengah cawan, pada bagian kiri cawan diteteskan 1 ml
K2CO3 dan sebanyak 1 ml sampel di bagian kanan cawan. Kemudian cawan
digoyangkan agar sampel dan K2CO3 tercampur (namun H3BO3 tidak ikut
tercampur) setelah itu ditunggu sampai 2 jam hingga terlihat perubahan warna
menjadi biru. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N hingga berubah menjadi
warna awal (merah muda), dicatat volume HCl yang terpakai dan dihitung
konsentrasi N-NH3 yang dihasilkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Konsentrasi NH3mg
100 ml=(vol.HCl x N HCl x BM NH3) x
100
Ax(A+B)
C
Keterangan:A: volume supernatant sampel (1 ml)B: volume K2CO3 (1 ml)C: volume larutan sampel (A+B) di dalam Cawan Conway (1 ml)N: normalitas HCl (0,01)BM: berat molekul NH3 (17)
3.3.5.3 Pengukuran Volatile Fatty Acid (VFA) Total
Pengukuran VFA total bertujuan untuk mengetahui VFA total yang
diproduksi selama fermentasi berlangsung. Apabila VFA total tinggi diharapkan
asam-asam organik yang dikonversi menjadi gas akan lebih banyak (Plummer,
33
1971). Pengukuran VFA total dilakukan dengan teknik destilasi uap (General
Laboratory Procedure, 1966) pada setiap interval 7 hari selama 28 hari. Proses
distilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi
air mendidih pada destilator Volatile Fatty Acids (VFA). Pertama-tama sebanyak
9 ml sampel slurry dimasukkan ke dalam yellow tube yang telah berisi 1 ml
H2SO4, kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Lalu sebanyak 5
ml supernatannya diambil untuk didestilasi.
Sampel didestilasi sampai 100 ml pada tabung erlenmeyer yang telah
berisi 5 ml NaOH 0,5 N, kemudian ditambahkan 2 tetes indikator phenolphthalein
dan dititrasi dengan HCl 0,5 N hingga berwarna merah muda.
Perhitungan :
Konsentrasi VFA total mmol100 ml = Vol. HCl × N HCl × 100A × A + BCKeterangan :
N HCl = Normalitas HCla = volume supernatant sampel (5 ml)b = volume H2SO4 15% (1 ml)c = volume larutan sampel (A+B) di dalam tabung distilasi (6 ml)
3.3.5.4 Pengukuran Persentase Degradasi Bahan Organik
Pengukuran degradasi bahan organik dilakukan untuk mengetahui
persentase pengurangan bahan organik dari awal hingga akhir proses fermentasi.
Presentase degradasi bahan organik diukur menggunakan metode Association of
Official Analytical Chemists (AOAC, 1999) yang dimodifikasi. Presentase
degradasi bahan organik dapat diketahui melalui 2 pengukuran, yaitu pengukuran
berat kering dan kadar abu sampel. Pengukuran berat kering sampel dilakukan
34
dengan mengambil 5 g sampel diletakkan ke dalam cawan porsen yang telah
ditimbang berat konstannya. Kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
105oC selama 24 jam dan ditimbang berat keringnya.
Kadar abu sampel diukur dengan melanjutkan proses sebelumnya, sampel
kering dan cawan porselen yang telah ditimbang beratnya dimasukkan ke dalam
tanur bersuhu 600oC selama 4-5 jam untuk mengubah sampel kering menjadi abu,
setelah itu sampel dan cawan dibiarkan selama semalam dalam tanur. Kemudian
cawan porselen berisi abu dipindahkan ke dalam desikator selama 15-30 menit
dan ditimbang. kadar abu kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar Abu (%) =(C - A)
Bx 100%
Keterangan:
A: Berat konstan cawan porselenB: Berat kering sampelC: Berat abu sampel
Setelah didapatkan kadar abu sampel, persen bahan organik dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Bahan Organik (%) = (100 - abu)%Pengukuran ini dilakukan sebelum proses fermentasi (hari ke-0) dan setelah
proses fermentasi selesai (hari ke-28). Hasil dari pengukuran bahan organik yang
diperoleh, digunakan untuk mengetahui persen degradasi bahan organik slurry
selama fermentasi :
% Degradasi = (Bahan organik awal - Bahan organik akhir)
35
3.3.5.5 Pengamatan Mikroorganisme
Pengamatan mikroorganisme dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu
pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop dan perhitungan bakteri
asetotrofik menggunakan metode Most Probable Number (MPN). Pengamatan
mikroskopis dilakukan pada hari ke-0, 7, 14, dan 21, kemudian pada hari ke-28
dilakukan perhitungan bakteri metanogen asetotrofik menggunakan metode MPN.
Pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop merek Novel yang terintegrasi
dengan kamera pada perangkat komputer. Uji MPN yang dilakukan merupakan uji
penduga untuk melihat adanya mikroba yang mengasimilasi asetat sebagai sumber
nutrisinya.
Langkah kerja yang dilakukan pada pengamatan mikroskopis dimulai
dengan sampel slurry dari masing-masing perlakuan diambil sebanyak 1 tetes
untuk dibuat apusan di kaca objek. Kaca objek kemudian ditutup menggunakan
kaca penutup. Sampel yang berada di kaca objek diamati dengan mikroskop pada
perbesaran 400 x dan 1000 x. Masing-masing pengamatan pada setiap perbesaran
dilakukan dokumentasi.
Langkah kerja yang dilakukan pada perhitungan bakteri metanogen
asetotrofik melalui metode MPN mengacu pada standar FDA (2002) yang
dimodifikasi. Pengerjaan MPN dilakukan pada laminar anaerob untuk
meminimalisir adanya oksigen yang dapat menghambat bakteri asetotrofik. Setiap
pemindahan sampel ke tabung MPN selalu dilakukan gassing dengan gas CO2.
Pertama-tama sampel slurry diencerkan ke dalam 3 pengenceran, yaitu 10-1, 10-2,
dan 10-3. Kemudian disiapkan 9 tabung MPN yang dibagi menjadi 3 untuk masing
36
masing pengenceran. Setiap tabung MPN berisi 10 ml asam asetat 25% dan
tabung durham di dalamnya (Gambar 4).
Gambar 4. Skema pengerjaan MPN.
Sampel yang telah diencerkan kemudian dimasukkan ke dalam 3 seri
tabung MPN. Pengenceran 10-1 dimasukkan sebanyak 1 ml ke 3 tabung pertama,
pengenceran 10-2 dimasukkan sebanyak 1 ml ke 3 tabung kedua dan pengenceran
10-3 dimasukkan sebanyak 1 ml ke 3 tabung ketiga. Tabung kemudian diinkubasi
pada suhu 35oC selama 24 jam, setelah itu diamati terbentuknya gas pada tabung
durham sebagai interpretasi hasil positif. Hasil tabung yang positif pada masing-
masing seri kemudian dicocokkan dengan tabel nilai MPN (Lampiran 13).
3.3.5.6 Pengukuran Produksi Gas
Pengukuran volume gas dilakukan dengan menggunakan prinsip
Archimedes, setiap interval 7 hari gas yang tertampung pada gas bag dimasukkan
ke dalam container box berskala yang berisi air dengan volume terukur.
Pertambahan volume air dari container box tersebut kemudian dicatat sebagai
37
volume biogas yang dihasilkan. Data yang diperoleh bertujuan untuk mengetahui
peningkatan produksi gas mingguan.
Selain melakukan pengukuran secara kuantitatif berupa volume biogas
yang terbentuk, dilakukan juga analisis kualitatif gas dengan menggunakan MRU
Vario Plus gas analyzer. Penggunaan gas analyzer dilakukan pada hari ke-7, 14,
21 dan 28 untuk mengetahui persentase komponen gas yang terbentuk. Gas bag
yang berisi biogas dengan volume yang diketahui (100 ml) dihubungkan dengan
selang gas analyzer yang telah terhubung dengan perangkat komputer sebagai
output pembacaan hasil komposisi gas. Komponen-komponen gas yang dapat
diketahui adalah CH4, CO2, H2S, NOx, SO2 dan CO, namun hanya gas CO2 dan
CH4 yang akan dianalisis.
Prinsip kerja MRU Vario Plus gas analyzer dalam mengukur gas CO2 dan
CH4 (hidrokarbon) adalah deteksi dengan menggunakan cahaya inframerah.
Sampel gas yang masuk akan dipaparkan oleh cahaya inframerah dari gas
analyzer, cahaya inframerah ini kemudian akan diserap oleh masing-masing
komponen penyusun gas dengan panjang gelombang yang sesuai dengan
komponen gas yang diperiksa (CO2 dan CH4). Penyerapan cahaya inframerah
inilah yang menunjukan kadar dari masing masing komponen gas dalam suatu
sampel gas.
3.3.5.7 Uji Nyala Api
Uji nyala api bertujuan untuk mengetahui kualitas gas, yaitu dengan
melihat warna nyala api yang dihasilkan pada saat pembakaran. Pengujian nyala
api dilakukan dengan cara sederhana yaitu menekan gas bag hingga gas keluar
38
melalui selang ke arah lilin yang sedang menyala. Gas yang memiliki kandungan
metana yang cukup akan membuat nyala api pada lilin membesar, menandakan
adanya gas metana yang terbakar. Gas yang lebih banyak mengandung karbon
dioksida akan membuat nyala api menjadi padam.
3.4 Analisis Data
Setiap data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji statistik
independent samples T-test pada taraf signifikansi 95% dengan dua kali
pengulangan untuk tiap parameter. Analisis ini menggunakan program Software
Statistical Product and Service Solutions (SPSS) V.23.
Hipotesis yang diuji adalah:
H0 = Tidak ada perbedaan antara produksi biogas dari feses gajah yang diberi
pakan rumput gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan (Parameter
uji : suhu, kadar air, kadar bahan organik dan rasio C/N feses, suhu, pH,
VFA total, amonia, persentase degradasi bahan organik, dan volume gas
total serta komposisi gas (proporsi CH4 dan CO2) fermentor)
H1 = Terdapat perbedaan produksi biogas dari feses gajah yang diberi pakan
rumput gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan (Parameter uji :
suhu, kadar air, kadar bahan organik dan rasio C/N feses, suhu, pH, VFA
total, amonia, persentase degradasi bahan organik, dan volume gas total
serta komposisi gas (proporsi CH4 dan CO2) fermentor)
Jika Signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima
Jika Signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak
39
3.5 Bagan Kerja
hari ke-21:suhu, pH, VFA,amonia,produksi biogas,uji nyala, danpengamatanmikroorganisme
Persiapan
Survey Lapangan:- Observasi daerah penelitian- Kondisi gajah yang akan diteliti
Dimasukkan ke dalam fermentor dan didiamkanselama 28 hari
Ditambah aquadest 1 L dan 5 g ragiinstan kemudian diaduk rata
Sampling feses gajah secara komposit,diambil 1 kg dari total feses yang
dihasilkan
Aklimatisasi selama 4 hari dengan 2kelompok perlakuan pakan uji
Diukur suhu, kadar air,kadar bahan organik, danrasio C/N feses masing
masing perlakuan
hari ke-0: suhu,pH, VFA,Amonia, kadarbahan organik,dan pengamatanmikroorganisme
hari ke-28: suhu,pH, VFA,amonia,produksi biogas,bahan organikuji MPN, dan ujinyala api
Pengukuran Parameter Uji
Analisis Data
Pengambilan Kesimpulan
hari ke-14:suhu, pH, VFA,amonia,produksibiogas, danpengamatanmikroorganisme
hari ke-7: suhu,pH, VFA,amonia,produksi biogas,dan pengamatanmikroorganisme
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Fisika dan Kimia Feses Gajah Sumatera
Hasil pengamatan karakteristik fisik dari feses Gajah Sumatera yang diberi
perlakuan pakan juga tidak menunjukkan adanya perbedaan. Feses gajah berbentuk
seperti bola dengan diameter 10-15 cm, berat 1-2 kg dan memiliki karakteristik
tinggi serat pakan (Gambar 5). Hal ini karena rumput gajah tetap menjadi pakan
utama yang menyebabkan bentukan feses gajah memiliki serat pakan yang tinggi.
Gambar 5. Feses gajah hasil aklimatisasi selama 4 hari (dok. Pribadi)
Rumput gajah memiliki tiga kandungan utama yakni 6-10% protein kasar, 2-
4% lemak kasar dan 33-34% serat kasar. Kandungan serat kasar pada rumput gajah
akan memengaruhi kondisi pencernaan gajah dan sifat fisik dari feses yang
dihasilkan. Serat kasar cenderung merepresentasikan kandungan fraksi organik dari
dinding sel tumbuhan yang tidak dapat dicerna oleh enzim mamalia. Oleh karena
itu, serat kasar harus baik dicerna atau dicerna dengan bantuan mikroorganisme
simbion yang hidup di sekum dan kolon dari gajah (Adrianton, 2010).
Feses dengan pakan rumput gajah Feses dengan pakan kombinasi
41
Hasil pengukuran karakter fisika-kimia dari feses gajah menunjukkan
perbedaan (Tabel 6). Suhu feses gajah pada perlakuan pakan rumput gajah berkisar
37oC, sedangkan suhu feses gajah pada perlakuan pakan kombinasi berkisar 36oC.
Nilai suhu ini masih dalam kisaran normal suhu feses gajah yang berkisar 36-38oC
(Urley 1997). Berdasarkan uji statistik independent samples T-test (Lampiran 1),
nilai suhu tidak menunjukkan perbedaan pada kedua perlakuan (P>0,05). Menurut
Sukumar (2003) suhu yang dihasilkan oleh feses gajah dapat dipengaruhi oleh
pakan, tingkat metabolisme, dan kesehatan gajah. Hal ini berarti kedua perlakuan
pakan yang diberikan tidak memengaruhi suhu feses yang dihasilkan gajah.
Tabel 6. Karakteristik fisika dan kimia feses gajah
Menurut Drosg et al., (2013), suhu bahan baku saat akan memasuki fermentor
biogas dapat menjadi informasi penting. Terutama jika proses fermentasi
terintregasi pada sebuah sistem biogas, daripada mengalami pemindahan tempat
atau disimpan dalam waktu lama. Jika suhu bahan baku rendah kemudian dicampur
dengan air, maka akan membutuhkan pemanasan untuk mengoptimalkan proses
fermentasi. Hal ini akan menyebabkan energi hasil dari biogas akan berkurang.
Rasio C/N feses gajah tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan
pakan berdasarkan uji statistik independent samples T-test (Lampiran 2), dengan
pembacaan nilai signifikansi yang melebihi 0,05 (P>0,05). Rasio C/N kedua
perlakuan termasuk dalam katagori tinggi untuk dijadikan sebagai bahan baku
ParameterPerlakuan Pakan
Rumput gajah KombinasiSuhu (oC) 37±1,00 36±0,58Rasio C/N 35,89±2,06 38,37±3,05
Kadar bahan organik (%) 93,33±2,43 94,73±0,40Kadar air (%) 87,99±1,90 79,13±6,97
42
biogas dan akan memengaruhi volume biogas yang dihasilkan. Menurut Triatmojo
(2004) rasio C/N yang baik untuk produksi biogas adalah 25-30. Jika rasio C/N
terlalu tinggi, maka nitrogen akan cepat diasimilasi oleh mikroorganisme untuk
memenuhi kebutuhan protein dan tidak akan tersedia lagi untuk mengimbangi
karbon yang tersisa, sehingga produksi biogas akan berkurang. Jika rasio C/N
terlalu rendah, maka nitrogen akan tersedia bebas dan terakumulasi dalam bentuk
amonia. Kondisi ini akan meningkatkan pH fermentor yang akan menyebabkan
efek toksik bagi mikroorganisme metanogenik (Abbasi et al., 2012).
Rasio C/N feses gajah hasil aklimatisasi dengan kedua kelompok perlakuan
pakan dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Rasio C/N feses
dari rata-rata 8 gajah di Machan Wildlife Resort, Nepal yaitu sekitar 43 (Karki,
2009), tetapi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Anderson dan Coe (1974)
di Taman Nasional Tsavo Kenya, feses gajah segar memiliki rasio C/N sebesar 36,
nilai rasio C/N tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian ini. Nilai rasio
C/N pada feses gajah dapat bervariasi tergantung oleh kandungan karbon dan
nitrogen pakan yang di konsumsi dan tingkat kecernaan dari masing-masing jenis
pakan.
Rasio C/N yang terkandung dalam feses gajah akan berhubungan dengan
kadar bahan organik dari feses. Kadar bahan organik feses pada kedua perlakuan
pakan tidak menunjukkan perbedaan berdasarkan uji statistik independent samples
T-test (Lampiran 4), dengan pembacaan nilai signifikansinya yang di atas 0,05
(P>0.05). Kadar bahan organik dari suatu bahan memiliki urgensi dalam proses
fermentasi biogas, karena merepresentasikan fraksi dari bahan yang dapat dirubah
43
menjadi biogas. Menurut Wilkie (2015) kadar bahan organik (volatile solids) yang
berasal dari feses dapat berkisar di antara 70-90%. Sementara itu, kadar abu (fixed
solid) yang berisi materi anorganik (pasir, mineral, dan garam), dapat mengurangi
kandungan energi dan berdampak pada proses degradasi.
Kedua feses perlakuan pakan memiliki kandungan bahan organik yang lebih
dari kriteria kadar bahan organik yang berasal dari feses (Wilkie, 2015) dan hal ini
baik untuk proses fermentasi. Sanjaya et al., (2015) menjelaskan bahwa semakin
besar kandungan organik pada bahan baku, maka akan semakin mudah untuk dapat
didegradasi menjadi produk-produk fermentasi. Wilkie (2015) menambahkan,
meskipun kadar bahan organik adalah indikaror dari potensi produksi metana, tetapi
kandungan spesifik metana berdasarkan kandungan bahan organik tidak selalu
konstan. Hal ini karena komposisi penyusun bahan organik terdiri atas materi yang
mudah didegradasi seperti lemak, protrein, dan karbohidrat serta materi yang sulit
didegradasi seperti materi lignoselulosa, kompleks polisakarida, protein struktur
(keratin) dan materi lainnya yang dapat berbeda-beda tiap bahan baku. Sifat
kompleks dari komposisi sebuah bahan organik ini menandakan kandungan metana
akan lebih baik jika dideterminasi dengan pengujian degradasi anaerobik dengan
sampel yang sesuai (berdasarkan kandungan materi yang mudah didegradasi).
Kadar bahan organik yang terkandung pada feses kedua perlakuan pakan akan
membutuhkan kandungan air yang cukup untuk dapat melakukan proses degradasi
yang optimal. Kadar bahan organik yang terkandung pada feses kedua perlakuan
pakan akan membutuhkan kandungan air yang cukup untuk dapat melakukan
proses degradasi yang optimal. Pemeriksaan kadar air feses gajah dilakukan karena
44
kadar air dapat memengaruhi proses dekomposisi secara biologis, terutama dalam
hal pencampuran (mixing), ketersediaan nutrien dan menjaga agar temperatur
konstan. Air penting untuk proses fermentasi karena digunakan sebagai pelarut
nutrien bagi mikroorganisme sebelum diasimilasi (Lay et al., 1997). Kadar air tidak
hanya bertujuan untuk pergerakan bakteri tetapi juga memengaruhi transpor materi
serta keseimbangan produksi volatile fatty acids (VFA) oleh bakteri asidogenik dan
konversi asam menjadi metana oleh bakteri metanogen (Lay et al., 1997).
Kadar air yang dikandung dari feses gajah tidak menunjukkan perbedaan di
antara kedua perlakuan pakan, berdasarkan uji statistik independent samples T-test
(Lampiran 3), dengan pembacaan nilai signifikansi di atas 0,05 (P>0.05). Kadar air
yang dikandung oleh feses kedua perlakuan belum cukup untuk dapat dijadikan
bahan baku biogas, oleh karena itu perlu ditambahkan air untuk menambah kadar
airnya. Menurut Wiratma et al., (2012), aktivitas normal dari mikroorganisme
pengahsil metana membutuhkan kadar air sekitar 90% untuk dapat mengoptimalkan
proses fermentasi. Penambahan air sebanyak 1 L yang ditambahkan pada fermentor
akan membuat kadar air meningkat sebesar 93,99% pada perlakuan pakan rumput
gajah dan 89,57% pada perlakuan pakan kombinasi. Kadar air feses pada perlakuan
pakan rumput gajah sudah lebih dari cukup untuk mengoptimalkan proses
fermentasi, tetapi pada perlakuan pakan kombinasi seharusnya ditambahkan air lagi
sebanyak 100 ml agar kadarnya menjadi 90% sehingga proses fermentasi akan lebih
optimal.
45
4.2 Karakteristik Fermentasi
4.2.1 Suhu dan pH
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam degradasi anaerobik, karena
nilainya akan secara langsung memengaruhi metabolisme dari komunitas
mikroorganisme di dalam fermentor. Hasil pengamatan parameter suhu dari
fermentor perlakuan pakan rumput gajah maupun perlakuan pakan kombinasi
mengalami perubahan nilai selama masa fermentasi, dengan suhu tertinggi sebesar
31oC pada hari ke-14 untuk kedua perlakuan dan terendah sebesar 29oC pada
perlakuan pakan rumput gajah serta sebesar 28,5oC pada perlakuan pakan
kombinasi (Gambar 6). Berdasarkan uji statistik independent samples T-test
(Lampiran 5), nilai suhu fermentor yang dibandingkan setiap interval 7 hari tidak
menunjukkan perbedaan pada kedua perlakuan dengan pembacaan nilai
signifikansi yang melebihi 0,05 (P>0,05).
Gambar 6. Perubahan nilai suhu dalam fermentor selama masa fermentasi
25
30
35
0 7 14 21 28
Suhu
(o C)
HariPakan rumput gajah Pakan kombinasi
46
Menurut Gerardi (2003), proses degradasi anaerob akan menghasilkan panas
dari terdekomposisinya senyawa-senyawa organik. Proses degradasi anaerobik
dapat berlangsung pada rentang suhu mesofilik (25-40oC) hingga rentang termofilik
(50-60oC). Dengan demikian, suhu yang dihasilkan dari proses degradasi anaerob
pada perlakuan pakan rumput gajah maupun perlakuan pakan kombinasi berada
dalam kategori suhu mesofilik. Hal ini menunjukkan bahwa proses degradasi
anaerob dari feses gajah berlangsung secara optimal. Menurut Weiland (2010) pada
rentang suhu tersebut bakteri mesofilik dapat mentoleransi fluktuasi suhu ± 3oC
tanpa pengurangan produksi metana yang signifikan .
Perubahan suhu yang terjadi pada masing-masing perlakuan uji selain dapat
disebabkan oleh proses degradasi bahan, juga dapat disebabkan oleh flukruasi suhu
lingkungan pada saat penelitian berlangsung. Menurut Pham et al., (2014), yang
menguji produksi biogas skala kecil di utara Vietnam dengan 4 fermentor (dua
diisolasi dan dua tidak diisolasi dengan stereofoam). Selama 7 bulan pengujian
terdapat perbedaan suhu yang menunjukkan bahwa suhu fermentor dipengaruhi
oleh suhu lingkungannya. Penelitian sebelumnya oleh Kalia dan Sing (1998) dalam
Khoiyangbam et al., (2004), menunjukkan kesamaan pengamatan pada fermentor
biogas tanpa pengaturan suhu yang dilakukan di daerah perbukitan India.
Proses perubahan suhu pada fermentor akan memengaruhi proses
metabolisme mikroorganisme yang akan berdampak pada perubahan pH fermentor.
Hasil pengamatan parameter pH fermentor pada masing-masing perlakuan
memiliki pola perubahan seiring waktu yang serupa (Gambar 7). Hal ini didukung
oleh hasil uji statistik independent samples T-test (Lampiran 6), yaitu nilai pH
47
fermentor yang dibandingkan setiap interval 7 hari tidak menunjukkan perbedaan
pada kedua perlakuan, dengan pembacaan nilai signifikansi yang melebihi 0,05
(P>0,05). Nilai pH tertinggi terjadi pada hari ke-0 sebesar 7,5 pada perlakuan pakan
rumput gajah dan 7,25 pada perlakuan pakan kombinasi. Sementara itu nilai pH
terendah terjadi pada hari ke-14 sebesar 5,8 pada kedua perlakuan.
Gambar 7. Perubahan nilai pH dalam fermentor selama masa fermentasi
Potensial Hidrogen (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang
penting bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini karena bakteri tertentu akan
aktif pada pH tertentu juga. pH dapat memengaruhi aktivitas enzim karena setiap
enzim dapat aktif hanya pada pH spesifik dan pH rentang tertentu serta
menunjukkan aktivitas maksimumnya pada pH optimum. Nilai pH dalam degradasi
anaerobik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok asidogenesis dan
metanogenesis. Kelompok asidogenesis mempunyai pH optimum 5,5-6,5 dan 7,8-
8,2 untuk kelompok metanogenesis. Jika dikombinasikan, maka pH optimum untuk
keseluruhan proses degradasi anaerobik adalah 6,8-7,4 (Ertem, 2011).
4.5
6
7.5
9
0 7 14 21 28
Nila
i pH
HariPakan rumput gajah Pakan kombinasi
48
Perubahan pH pada kedua perlakuan tidak masuk dalam katagori pH yang
optimum untuk proses degradasi anaerobik. Perubahan pH ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah tahapan fermentasi yang sedang
berlangsung. Penurunan pH dari hari ke-0 ke hari ke-7 dapat diasumsikan bahwa
mikroorganisme asidogenesis aktif mengkonversi produk-produk hasil hidrolisis.
Asam amino, asam lemak, dan gula sederhana dari tahap hidrolisis difermentasikan
untuk membentuk VFA seperti asam laktat, propionat, butirat, dan valerat pada
tahapan ini. VFA yang dihasilkan ini dapat menurunkan nilai pH menjadi asam jika
konsentrasinya terlalu tinggi pada beberapa fermentor tertentu. Faktor kedua adalah
konsentrasi amonia yang dapat memengaruhi pH menjadi basa jika konsentrasinya
terlalu tinggi (Abbasi et al., 2012).
Penurunan pH menjadi kisaran 5 pada kedua fermentor ini dapat disebabkan
oleh aktivitas ragi Saccharomyces cerevisiae. Walker (2009) menjelaskan, ragi S.
cerevisiae yang sedang aktif tumbuh dapat mengasamkan lingkungan hidupnya
melalui kombinasi penyerapan ion diferensial, sekresi proton saat transport nutrien,
sekresi asam organik (suksinat dan asetat), dan perubahan serta pemecahan karbon
dioksida. pH interselular pada ragi S. cerevisiae juga diatur ketat yaitu sekitar 5
melalui aksi membran plasma dalam pompa proton ATP-ase. Hal ini sesuai dengan
kisaran nilai pH pada fermentor di hari ke-7. Nilai pH fermentor yang turun menjadi
5 tentu akan sangat menghambat proses fermentasi yang terjadi di dalam fermentor,
tetapi penambahan ragi ini dapat berperan untuk membantu proses asidogenesis
dalam memproses gula sederhana maupun turunan protein seperti amonia
(Schaechter, 2009).
49
Nilai pH pada hari ke-7 hingga hari ke-14 pada kedua perlakuan cenderung
konstan pada kisaran 5,80-5,95. Hal ini dapat disebabkan proses degradasi oleh
mikroorganisme stabil pada tahapan asidogenesis. Nilai pH mulai mengalami
sedikit kenaikan pada hari ke-21 hingga ke-28 yang mengindikasikan perubahan
komposisi mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi anaerobik. Peran
ragi akan segera digantikan bakteri metanogenik pada hari ke-21. Bakteri
metanogenik akan memproses asetat dan karbon dioksida yang dihasilkan baik oleh
proses asetogenesis maupun hasil metabolisme dari ragi (Gerardi, 2003). Hal ini
dibuktikan oleh pengamatan mikroorganisme pada hari ke-21 (Lampiran 15), yang
jumlah ragi S. cerevisiae-nya diperkirakan berkurang tidak seperti pada hari ke-0
dan ke-7.
4.2.2 Konsentrasi Amonia dan VFA
Pengukuran konsentrasi amonia fermentor dilakukan untuk menggambarkan
degradasi protein pada feses gajah. Hasil pengukuran konsentrasi amonia
menunjukkan terdapat pola perubahan konsentrasi amonia yang serupa, tetapi
memiliki perbedaan nilai pada kedua perlakuan selama proses fermentasi 28 hari
(Gambar 8). Hal ini didukung oleh hasil uji statistik independent samples T-test
(Lampiran 7), yaitu konsentrasi amonia fermentor yang dibandingkan setiap
interval 7 hari menunjukkan perbedaan pada kedua perlakuan, dengan pembacaan
nilai signifikansi yang di bawah 0,05 (P<0,05). Konsentrasi amonia tertinggi pada
kedua perlakuan terjadi pada hari ke-14 sebesar 18,7 mg/100 ml pada perlakuan
pakan rumput gajah dan 13,6 mg/100 ml pada perlakuan pakan kombinasi.
50
Sementara itu, konsentrasi amonia terendah ada pada hari ke-0 sebesar 3,4 mg/100
ml pada kedua perlakuan.
Gambar 8. Konsentrasi amonia dalam fermentor selama masa fermentasi
Peningkatan konsentrasi amonia pada hari ke-0 sampai ke-14 menunjukkan
bahwa protein dalam feses sedang mengalami proses degradasi menjadi asam-asam
amino yang kemudian diasimilasi oleh beberapa bakteri untuk memenuhi
kebutuhan sumber nitrogen dan menghasilkan produk samping berupa amonia.
Sementara itu penurunan konsentrasi amonia pada hari ke-14 sampai ke-28 dapat
disebabkan oleh aktivitas ragi S. cerevisiae. Ragi S. cerevisiae mulai mengasimilasi
amonia sejak konsentrasinya mulai meningkat pada di antara hari ke-0 sampai ke-
7, sehingga peningkatan amonia tidak besar pada hari ke-7 sampai ke-14 yang
kemudian mengalami penurunan hingga akhir masa fermentasi. Merurut Schaechter
(2009), S. cerevisiae dapat mengikat garam-garam amonia seperti amonium sulfat
sebagai sumber nitrogen, begitu juga dengan nitrat, asam amino, peptida, purine,
pirimidin, dan amina.
0
5
10
15
20
25
0 7 14 21 28
Kon
sent
rasi
NH
3(m
g/10
0ml)
HariPakan rumput gajah Pakan kombinasi
51
Peningkatan konsentrasi amonia pada hari ke-7 sampai ke-14 pada kedua
fermentor seharusnya dapat membuat pH fermentor meningkat, tetapi hasil
pengukuran pH fermentor menunjukkan penurunan (Gambar 4). Nilai pH terlihat
turun menjadi kisaran 5,95-5,8. Hal ini dapat disebabkan oleh setidaknya 2 faktor.
Pertama, aktivitas ragi S. cerevisiae mensekresikan asam-asam organik untuk
membantu mengimbangi produksi amonia (Walker, 2009). Kedua, peningkatan
amonia secara cepat dari hari ke-0 menuju hari ke-7 dapat menyebabkan
peningkatan VFA, kehilangan alkalinitas dan penurunan pH (Gerardi, 2003). Kedua
faktor ini terjadi lebih dominan, sehingga nilai pH tidak naik meskipun produksi
amonia meningkat.
Hasil pengukuran konsentrasi amonia ini sesuai dengan perkiraan protein
yang dikandung dalam masing-masing pakan. Perkiraan kandungan protein
menunjukkan bahwa perlakuan pakan rumput gajah akan memiliki kandungan
protein tertinggi. Hasil analisis Nast (2014), dalam 100 g jagung, pisang, dan ubi
jalar memiliki kandungan protein masing-masing sebesar 19%, 2%, dan 3%.
Berdasarkan informasi tersebut maka dalam 10 kg jagung, pisang, dan ubi akan
mengandung 1.900 g, 200 g, dan 300 g protein. Sementara itu, hasil analisis oleh
Andrianton (2010) menyebutkan bahwa rumput gajah mengandung 6-10% protein
per 100 g. Berdasarkan informasi tersebut maka dalam 95 kg rumput gajah pada
perlakuan pakan rumput gajah dan 65 kg rumput gajah pada perlakuan pakan
kombinasi, masing-masing akan mengandung 5.700-9.500 g dan 3.900-6.500 g
protein. Maka total protein yang dikandung oleh perlakuan pakan rumput gajah
sebesar 5.700-9.500 g dan 5.600-8.900 g pada perlakuan pakan kombinasi.
52
Amonia dapat terkandung dalam bahan baku ataupun diproduksi saat
proses degradasi (Ertem, 2011). Keberadaan amonia dalam fermentor ini dapat
berpengaruh positif maupun negatif. Ion amonium dapat digunakan sebagai sumber
nutrisi, tetapi di sisi lain seiring dengan peningkatan pH akibat jumlah amonia bebas
yang bertambah dapat bersifat toksik bagi mikroorganisme metanogenik (Gerardi,
2003). Molekul amonia yang bersifat hidrofobik dapat berdifusi ke dalam sel,
menyebabkan tidak seimbangnya proton dan kekurangan kalium (Chen et al.,
2008). Konsentrasi amonia pada penelitian ini masih masuk dalam katagori yang
aman bagi kelangsungan aktivitas mikroba metanogenik. Menurut Chen et al.,
(2008), konsentrasi amonia di bawah 20 mg/100 ml yang dapat bermanfaat bagi
proses, karena nitrogen dapat menghasilkan kapasitas buffer bagi sistem yang
sangat penting untuk mikroorganisme. Konsentrasi amonia pada perlakuan pakan
rumput gajah akan lebih optimal bagi proses fermentasi feses menjadi biogas. Hal
ini karena konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan
kombinasi, namun nilainya masih di bawah 20 mg/100 ml.
Hasil pengamatan VFA menunjukkan terdapat perubahan dan perbedaan
nilai konsentrasi VFA baik pada perlakuan pakan rumput gajah maupun perlakuan
pakan kombinasi selama proses fermentasi 28 hari (Gambar 9). Perbedaan ini di
dukung oleh hasil uji statistik independent samples T-test (Lampiran 8), yaitu
konsentrasi VFA fermentor yang dibandingkan setiap interval 7 hari menunjukkan
perbedaan pada kedua perlakuan, dengan pembacaan nilai signifikansi yang di
bawah 0,05 (P<0,05). Konsentrasi VFA tertinggi terjadi pada hari ke-21 sebesar 93
mmol/100 ml pada perlakuan pakan rumput gajah dan hari ke-0 sebesar 70,20
53
mmol/ 100 ml pada perlakuan pakan kombinasi. Sementara itu konsentrasi VFA
terendah terjadi pada hari ke-7 sebesar 53,10 mmol/100 ml pada perlakuan pakan
rumput gajah dan di hari ke-28 sebesar 55,20 mmol/100 ml pada perlakuan pakan
kombinasi.
Gambar 9. Konsentrasi VFA dalam fermentor selama masa fermentasi
Konsentrasi VFA mengalami dua kali penurunan pada perlakuan pakan
rumput gajah dan pada perlakuan pakan kombinasi konsentrasinya terus mengalami
penurunan. Penurunan konsentrasi VFA mengindikasikan bahwa mikroorganisme
menggunakan VFA untuk metabolismenya yang kemudian dapat dijadikan asetat,
hidrogen, dan karbon dioksida pada tahap asetogenesis. Kondisi berbeda terjadi
pada perlakuan pakan kombinasi, konsentrasi VFA yang cenderung terus
mengalami penurunan diduga disebabkan oleh kurangnya aktivitas bakteri
asidogenesis dalam memproses produk tahapan hidrolisis, sedangkan tingkat
asimilasi VFAnya lebih tinggi. Menurut Seadi et al., (2008), dua digester yang sama
dapat memberikan respon yang sangat berbeda terhadap konsentrasi VFA yang
40
60
80
100
0 7 14 21 28Kon
sent
rasi
VFA
(m
mol
/100
ml)
HariPakan rumput gajah Pakan kombinasi
54
sama, di satu sisi VFA dapat optimal membantu proses dan di sisi lain VFA dapat
menjadi inhibitor. Hal ini karena komposisi populasi mikroorganisme yang
bervariasi dari masing-masing fermentor.
Nilai pH pada hari ke-21 dan ke-24 mengalami peningkatan pada kedua
perlakuan uji (Gambar 7), padahal berdasarkan konsentrasi VFA pada hari ke-21,
VFA terlihat mengalami peningkatan pada perlakuan pakan rumput gajah dan
cenderung turun pada perlakuan pakan kombinasi. Peningkatan konsentrasi VFA
dapat menjadi indikasi bahwa mikroorganisme pada tahap asidogenesis aktif
merombak monomer hasil hidrolisis. Weiland (2010) menjelaskan bahwa
akumulasi dari VFA tidak selalu dapat menyebabkan turunnya nilai pH karena
kapasitas buffer yang dimiliki oleh substrat. Hal ini disebabkan oleh surplus
alkalinitas yang dimiliki oleh feses hewan yang dapat menstabilkan nilai pH ketika
terjadi akumulasi VFA. Konsentrasi VFA pada perlakuan pakan rumput gajah lebih
optimal untuk produksi biogas. Hal ini karena semakin tinggi konsentrasi VFA
maka prekursor berupa asam asetat, propionat, butirat, dan valerat akan lebih tinggi
untuk dapat menghasilkan gas metana.
4.2.3 Presentase Degradasi Substrat
Presentase degradasi substrat yang berasal dari feses gajah baik pada
perlakuan pakan rumput gajah maupun perlakuan pakan kombinasi memiliki nilai
yang berbeda setelah 28 hari (Gambar 10). Persentase degradasi substrat
menunjukkan adanya aktivitas metabolisme mikroorganisme dalam mendegradasi
polimer seperti karbohidrat, protein dan lemak yang berasal dari feses gajah.
Perbedaan nilai presentasi ini juga di dukung oleh hasil uji statistik independent
55
samples T-test (Lampiran 9), dengan pembacaan nilai signifikansi yang di bawah
0,05 (P<0,05).
Gambar 10. Persentase degradasi substrat feses gajah setelah 28 hari
Perlakuan pakan rumput gajah memiliki perentase degradasi bahan organik
0,9% lebih banyak dibandingkan perlakuan pakan kombinasi. Perbedaan nilai
degradasi substrat antara perlakuan disebabkan oleh perbedaan tingkat pemanfaatan
bahan organik yang terkandung dalam substrat oleh mikroorganisme untuk hidup
dan regenerasi selama proses fermentasi. Semakin tinggi nilai degradasi suatu
substrat maka akan semakin tinggi aktifitas mikroorganisme dan produk fermentasi
yang dihasilkannya. Kondisi ini dapat menyebabkan konsentrasi amonia, VFA,
maupun produksi gas meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran amonia
dan VFA yang ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6 serta hasil pengukuran gas pada
Gambar 12. Perlakuan pakan rumput gajah memiliki konsentrasi amonia, VFA dan
produksi gas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan kombinasi.
5.1
4.2
2
4
6
Pakan rumput gajah Pakan kombinasi
% D
egra
dasi
Sub
stra
t
56
Degradasi bahan organik dipengaruhi juga oleh kandungan air. Kandungan
air dalam substrat ini akan memengaruhi proses kerja mikroorganisme. Menurut
Manurung (2004) andungan air yang tinggi akan memudahkan proses penguraian.
Perlakuan pakan rumput gajah memiliki persentase kandungan air tertinggi yaitu
87,99%, sedangkan perlakuan pakan kombinasi dengan persentase 79,13% (Tabel
6). Kandungan air yang tinggi pada perlakuan pakan rumput gajah memudahkan
proses penguraian bahan organik, sehingga persentase degradasi bahan organik
perlakuan pakan rumput gajah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan
kombinasi.
Degradasi bahan organik dari feses gajah selama masa fermentasi 28 hari
ini termasuk sangat rendah jika dibandingkan dengan feses hewan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian Abubakar dan Ismail (2012), menunjukkan bahwa
nilai degradasi bahan organik dari feses sapi sebesar 47% dengan produksi biogas
sebesar 0,15 L/kg bahan organik, sedangkan degradasi feses gajah tertinggi yaitu
pada perlakuan pakan rumput gajah di penelitian ini hanya 5,1%, tetapi dengan
produksi biogas hingga 5,42 L/kg bahan organik. Berdasarkan perbandingan
tersebut, maka kemungkinan besar feses gajah masih dapat ditingkatkan potensi
produksi biogasnya dengan meningkatkan degradasi bahan organiknya. Kadar
bahan organik yang terkandung dalam suatu substrat biogas tidak dapat dijadikan
standar untuk menentukan potensi biogas yang dihasilkan. Hal ini karena bahan
organik merupakan gabungan dari polimer-polimer yang menyusun suatu substrat
dapat berbeda-beda komposisinya.
57
4.2.4 Pengamatan Mikroorganisme
Hasil dari degradasi anaerobik berhubungan erat dengan struktur komunitas
mikroorganisme pada fermentor. Parameter operasional dan lingkungan dari proses
secara jelas akan memengaruhi karakteristik, hasil, dan komunitas mikroorganisme
dalam fermentor. Sifat dan pengaruh dari bahan baku yang digunakan juga apat
memengaruhi proses degradasi anaerobik (Ertem, 2011). Oleh karena itu,
pengamatan ini bertujuan sebagai data untuk menguatkan hasil dari parameter-
parameter uji seperti amonia, VFA, degradasi bahan organik, dan produksi biogas
bahwa terdapat peran komunitas mikroorganisme dalam proses fermentasi
(Lampiran 15).
Pengamatan mikroorganisme pada kedua perlakuan uji pada hari ke-0
menunjukkan dominansi ragi S. cerevisae (Gambar 11). Dominansi S. cerevisae
juga masih tetap berlanjut pada hari ke-7. Bakteri dengan bentuk diplobacillus dan
spesies yang diduga protozoa juga terlihat pada pengamatan hari ke-7. Dominansi
ragi S. cerevisae dapat terjadi karena penambahan ragi S. cerevisae sebanyak 5 g
pada digestor.
Pengamatan mikroorganisme pada hari ke-14 masih menunjukkan ragi S.
cerevisae tetapi jumlahnya diperkirakan mulai berkurang akibat mulai
meningkatnya produksi VFA dalam fermentor. Ragi S. cerevisae pada hari ke-14
terlihat masih dapat beregenerasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya budding yang
ditunjukkan oleh panah merah. Menurut Walker (2009), media yang diasamkan
dengan asam-asam organik seperti laktat dan asetat akan menghambat pertumbuhan
ragi S. cerevisae, dibandingkan dengan media yang diasamkan dengan mineral. Hal
58
ini karena asam organik yang tidak terdisosiasi akan menurunkan pH interselular
dengan translokasi menuju membran sel ragi S. cerevisae.
Gambar 11. Hasil pengamatan mikroorganisme pada hari ke-0 dan 21 pada dan. (A: Hari ke-0 P. 400x, B: Hari ke-21 P. 1000x, panah hitam: ragi S.cerevisae ; biru: bakteri)
Pengamatan mikroskopis pada hari ke-21 tidak banyak menunjukkan
adanya mikroorganisme yang diindikasikan berpernan dalam proses metanogenesis
(Gambar 11). Pengamatan mikroskopis pada hari ke-21 ini masih menunjukkan
adanya ragi S. cerevisae, tetapi jumlahnya diperkirakan lebih sedikit dibandingkan
dengan hari ke-14. Sementara itu, pengamatan mikroskopis pada hari ke-28 sama
sekali tidak menunjukkan adanya mikroorganisme.
Berbeda dengan pengamatan mikroorganisme pada hari ke-28, hasil uji
MPN menunjukkan hasil positif pada kedua perlakuan pakan terhadap
mikroorganisme metanogen yang mengasimilasi asam asetat (asetotrofik) sebagai
sumber nutrisi (Tabel 7). Hasil Uji MPN menunjukkan jumlah mikroorganisme
metanogen yang lebih banyak pada perlakuan pakan rumput gajah sebesar 150
MPN/ml, sedangkan pada perlakuan pakan kombinasi hanya memiliki 45 MPN/ml.
A B
59
Perbedaan jumlah perkiraan mikroorganisme asetotrofik melalui metode MPN pada
perlakuan pakan rumput gajah dibandingkan dengan perlakuan pakan kombinasi
jika berdasarkan pakan yang diberikan seharusnya tidak terjadi. Hal ini karena
kandungan bahan organik ataupun rasio C/N dari kedua feses tidak berbeda secara
signifikan (Lampiran 2 dan 4), tetapi terdapat perbedaan signifikan pada
konsentrasi VFA (Lampiran 8), diduga konsentrasi VFA ini yang menjadi penyebab
pebedaan jumlah mikroba antar dua perlakuan pakan.
Tabel 7. Hasil Uji MPN pada hari ke-28 pengamatan
Perlakuan pakan rumput gajah memiliki konsentrasi VFA yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan kombinasi terutama pada hari ke-14,
21, dan 28 (Gambar 9). Tingginya konsentrasi VFA akan meningkatkan jumlah
mikroorganisme asetotrofik yang dapat mengasimilasinya menjadi biogas. Menurut
Karakashev et al., (2006), mikroorganisme metanogen asetotrofik terbagi menjadi
dua kelompok yaitu bakteri dan archaea, yang mengubah asetat menjadi metana dan
karbon dioksida. Aktivitas dan hasil dari mikroorganisme ini sangat penting saat
konversi anaerobik dari asetat. Asetat adalah prekursor utama untuk produksi
metana pada proses degradasi anaerobik dari material organik. Abbasi et al., (2012)
menambahkan, produksi metana melalui proses metanogenesis dapat dihasilkan tak
hanya melalui asam asetat (asetotrofik) melainkan dapat melalui gas karbon
dioksida bersama gas hidrogen (hidrogenotrofik), dan melalui metanol
(methilotrofik).
Hari Ke-Jumlah mikroorganisme asetotrofik (MPN/ml)
Pakan rumput gajah Pakan kombinasi
28 150 45
60
4.3 Produksi, Komposisi, dan Uji Nyala Gas
4.3.1 Produksi Gas
Produksi gas merupakan bukti bahwa terjadi proses fermentasi pada kedua
perlakuan. Hasil produksi gas menunjukkan peningkatan seiring waktu pada
perlakuan pakan rumput gajah dan perlakuan pakan kombinasi selama masa
fermentasi 28 hari (Gambar 12). Berdasarkan uji statistik independent samples T-
test (Lampiran 10) produksi gas yang dibandingkan setiap interval 7 hari
menunjukkan perbedaan pada kedua perlakuan dengan pembacaan nilai
signifikansi yang di bawah 0,05 (P<0,05). Gas hasil fermentasi feses gajah mulai
terbentuk pada hari ke-7 pengamatan. Perlakuan pakan rumput gajah menghasilkan
gas sebesar 0,41 L, sedangkan pada perlakuan pakan kombinasi menghasilkan 0,38
L. Produksi maksimal gas pada masing-masing perlakuan terjadi pada hari ke-28.
Perlakuan pakan rumput gajah selama 28 hari mampu menghasilkan 6,08 L gas,
sedangkan pada perlakuan pakan kombinasi menghasilkan 3,59 L.
Gambar 12. Volume total biogas yang dihasilkan selama masa fermentasi
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
0 7 14 21 28Vol
ume
Tot
al B
ioga
s (L
)
Hari
Pakan rumput gajah Pakan kombinasi
61
Produktivitas gas dapat dipengaruhi oleh kandungan organik dari substrat
yang difermentasi, tetapi pada penelitian ini baik kandungan organik maupun rasio
C/N tidak terlalu terpaut jauh dan tidak berbeda secara statistik (Lampiran 2).
Kemungkinan penyebab utama tingginya produksi gas oleh perlakuan pakan
rumput gajah adalah konsentrasi VFA. Konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh
perlakuan pakan rumput gajah terlihat lebih tinggi dibandingkan perlakuan pakan
kombinasi mulai setelah hari ke-7 sampai ke-28. VFA merupakan senyawa
perantara untuk dapat menghasilkan biogas yang dihasilkan pada tahapan
asidogenesis. VFA akan diubah menjadi asam asetat, gas karbon dioksida dan gas
hidrogen pada tahap asetogenesis, baru kemudian diubah menjadi metana pada
tahap methanogenesis (Weiland, 2010).
Penelitian yang dilakukan Saputra et al., (2010) yang menguji produksi
biogas berdasarkan rasio C/N menunjukkan bahwa rasio C/N dengan nilai 30-35
akan menghasilkan produksi gas dan proporsi metana lebih banyak dibandingkan
rasio C/N 25 dan 40. Rasio C/N pada perlakuan pakan kombinasi memang lebih
tinggi 6,91% dibandingkan dengan perlakuan pakan rumput gajah, tetapi aktivitas
mikroorganisme pada perlakuan pakan rumput gajah lebih baik dalam
menghasilkan VFA, sehingga produksi gasnya juga lebih besar. Produksi gas
tertinggi pada penelitian ini dapat menghasilkan 6,08 L/kg feses gajah. Hasil ini
lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Hardianti (2007) yang dapat
menghasilkan maksimal 15,2 L/kg kotoran gajah yang dicampur dengan urin dan
starter mikroorganisme dengan pakan yang diasumsikan tidak berbeda dengan
penelitian ini.
62
4.3.2 Komposisi Gas
Komposisi gas hasil dari proses fermentasi feses Gajah Sumatra di TMR di
antaranya adalah metana (CH4), karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO),
nitrogen oksida (NOx), hidrogen sulfida (H2S), dan belerang dioksida (SO2). Gas
metana dan karbon dioksida merupakan gas utama penyusun biogas. Sementara itu,
gas CO, NOx, SO2, dan H2S terdapat dalam jumlah sangat sedikit dibandingkan
dengan gas metana dan karbon dioksida (Lampiran 16). Kedua gas utama ini
proporsinya mengelami pola perubahan yang serupa selama masa fermentasi pada
kedua perlakuan pakan (Gambar 13 A). Berdasarkan uji statistik independent
samples T-test (Lampiran 11) untuk proporsi metana pada kedua perlakuan
memiliki perbedaan, dengan pembacaan nilai signifikansi yang di bawah 0,05
(P<0.05). Berbeda dengan proporsi karbon dioksida, pada kedua perlakuan tidak
memiliki perbedaan berdasarkan uji statistik independent samples T-test (Lampiran
12) dengan pembacaan nilai signifikansi yang di atas 0,05 (P>0.05).
Proporsi gas metana pada kedua perlakuan mencapai puncaknya pada hari
ke-28, sebesar 59,64% pada perlakuan pakan rumput gajah, sedangkan pada
perlakuan pakan kombinasi mencapai 38,73%. Sementara itu, proporsi gas karbon
dioksida pada kedua perlakuan mencapai puncaknya pada hari ke-14 sebesar 52,6%
pada perlakuan pakan rumput gajah dan sebesar 45,19% pada perlakuan pakan
kombinasi. Secara total volume gas yang dihasilkan, komposisi gas metana terus
mengalami peningkatan baik pada perlakuan 1 maupun perlakuan 2, sedangkan
komposisi gas karbon dioksida mengalamai penurunan pada hari ke-28 (Gambar 13
B). Produksi gas metana maksimal terjadi pada hari ke-28, pada perlakuan 1 sebesar
63
3,63 L, sedangkan pada perlakuan 2 sebesar 1,39 L. Hasil berbeda ditunjukkan pada
komposisi gas karbon dioksida yang produksi maksimalnya terjadi pada hari ke-21,
perlakuan 1 menghasilkan 1,42 L sedangkan perlakuan 2 menghasilkan 1,39 L.
Gambar 13. Komposisi biogas yang dihasilkan selama masa fermentasi 28 hari(A:Proporsi gas (%) B: Volume Biogas (L))
Gas metana yang mulai terbentuk pada hari ke-7 pada perlakuan pakan
rumput gajah sebenarnya adalah tanda bahwa proses fermentasi pada fermentor
berjalan secara parsial. Hal ini karena prekursor yang tersedia (asam asetat, CO2,
0
50
100
0 7 14 21 28
Pro
pors
i Gas
(%
)
Hari
CH₄ CO₂ CH₄ CO₂Pakan kombinasiPakan rumput gajah
(A)
0.0
2.5
5.0
0 7 14 21 28
Kom
posi
si B
ioga
s (L
)
Hari
CH₄ CO₂ CH₄ CO₂Pakan rumput gajah Pakan kombinasi
(B)
64
dan H2) hanya sedikit maka proporsi metana yang dihasilkan hanya sedikit. Berbeda
pada hari ke-14 sampai ke-28, mikroorganisme pada fermentor telah banyak
menghasilkan prekursor untuk membuat gas metana. Berkurangnya proporsi
karbon dioksida pada fermentor dapat disebabkan oleh asimilasi oleh bakteri
metanogenik. Bakteri Methanobacterium formicium merupakan salah satu spesies
bakteri yang dapat mengubah gas karbon dioksida dan hidrogen menjadi metana
dan air melalui jalur hidrogenotrofik (Abbasi et al., 2012).
Peran dari bakteri asetotrofik dan hidrogenotrofik sangat penting untuk
tahap terakhir dari methanogenesis. Demirel dan Scherer (2008) menjelaskan
bahwa pada konsentrasi asetat yang rendah spesies dari Methanosaetaceae akan
mendominansi, tetapi tingginya konsentrasi inhibitor seperti amonia, hidrogen
sulfida, dan VFA akan menghambat pertumbuhan spesies dari Methanosaetaceae.
Sebaliknya hal ini akan memberikan keuntungan bagi spesies dari
Methanosarcinaceae. Kondisi ini bisanya ditemui pada substrat yang menggunakan
kotoran hewan. Penjelasan tersebut sesuai dengan kondisi yang dialami oleh
penelitian ini, konsentrasi amonia dan VFA yang terukur terlihat tinggi pada hari
ke-7 hingga ke-21. Hal ini memungkinkan spesies asetotrofik jenis
Methanosarcinaceae diduga akan lebih mendominansi dibandingkan dengan
bakteri asetotrofik jenis Methanosaetaceae.
Potensi produksi gas metana yang dihasilkan dari feses Gajah Sumatera
Taman Margasatwa Ragunan pada penelitian ini termasuk tinggi dibandingkan
dengan sumber-sumber lainnya. Proporsi gas metana yang terbentuk dari campuran
ampas tebu dan kotoran sapi pada penelitian yang dilakukan oleh Saputra et al.,
65
(2010) berkisar 23,8-27,5%. Penelitian lain yang menggunakan feses kuda dan sapi
yang dicampur dengan daun jati oleh Windyasmara et al., (2012) menghasilkan
metana sebesar 33,74-39,67%. Selanjutnya Wahyudi et al., (2012) melakukan
penelitian tentang pengaruh suhu mesofilik dan termofilik terhadap produksi biogas
dari feses kuda dan didapatkan hasil yang tidak berbeda jauh dari proporsi metana
penelitian ini yaitu 56,3% untuk mesofilik dan 59,8% untuk termofilik.
Berdasarkan perbandingan penelitian-penelitian diatas, produksi biogas dari
feses Gajah Sumatera Taman Margasatwa Ragunan dapat dikembangkan sebagai
sumber energi terbarukan. Produksi biogas, baik volume maupun komposisi gas
terutama metana perlu dilakukan upaya peningkatan, terutama sumber nitrogen
untuk menurunkan rasio C/N dan penambahan starter mikroorganisme
pendegradasi polimer seperti lignin, hemiselulosa, lignoselulosa dan sebagainya,
sehingga dapat meningkatkan produktivitas produksi biogas.
4.3.3 Uji Nyala Api
Nyala api yang dihasilkan oleh biogas hasil fermentasi merupakan salah
satu indikator yang dapat menentukan potensi suatu substrat menjadi biogas.
Pengujian nyala api pada penelitian ini dapat menghasilkan api mulai dari hari ke-
21 (Tabel 9). Adanya api pada pengujian bergantung dari volume gas dan
konsentrasi metana yang dihasilkan selama proses fermentasi. Hal ini karena gas
metana merupakan satu-satunya gas yang dapat dibakar (oksidasi) dan
menghasilkan energi.
66
Tabel 9. Hasil pengujian nyala api selama proses fermentasi
Hari ke-Pakan rumput gajah Pakan kombinasi
Nyala Api Warna Nyala Api Warna7 - - - -14 - - - -21 + Jingga + Jingga28 + Biru + Jingga
Ket : (-) : Tidak menghasilkan api(+) : Menghasilkan api
Pengujian nyala api mulai dilakukan mulai hari ke-7, saat gas karbon
dioksida dan gas metana mulai terbentuk, namun belum menghasilkan nyala api.
Hal ini karena proporsi metana yang terbentuk masih sangat sedikit untuk
menghasilkan nyala api. Hal yang sama juga terjadi pada pengujian hari ke-14.
Nyala api mulai ada pada hari ke-21 saat proporsi metana mencapai 48,55% pada
perlakuan pakan rumput gajah dan 27,93% pada perlakuan pakan kombinasi yang
sama sama didominasi oleh warna api jingga (Gambar 14). Pengujian nyala api
pada hari ke-28 juga menunjukkan adanya nyala api yang lebih besar dengan warna
api yang menjadi biru pada perlakuan pakan rumput gajah. Hal ini karena proporsi
metana yang dihasilkan pada hari ke-28 lebih besar dari hari ke-21. Sementara itu,
pada perlakuan pakan kombinasi nyala api masih didominasi oleh warna api jingga.
67
Gambar 14. Hasil uji nyala api pada hari ke-21 dan ke-28 (A dan B: perlakuan pakanrumput gajah hari ke-21 dan 28; C dan D: perlakuan pakan kombinasihari ke-21 dan 28).
Menurut Yenni dan Sari (2012), warna nyala api yang dihasilkan pada saat
pembakaran ini sesuai dengan kandungan metannya. Jika gas langsung terbakar dan
warna api yang dihasilkan biru, maka gas yang dihasilkan berkualitas baik. Jika
biogas mengandung lebih banyak gas-gas pengotor lainnya maka warna api yang
dihasilkan adalah cenderung kemerah-merahan. Jika nyala api hampir tidak terlihat
(tidak terbakar) menandakan bahwa kandungan metana dalam biogas yang
terbentuk masih sangat sedikit.
A B
C D
68
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pemberian pakan gajah menghasilkan perbedaan pada produksi biogas,
yaitu berupa rumput gajah lebih efektif dalam menghasilkan biogas sebesar 6,08
L/kg dan proporsi metana sebesar 59,64%, sedangkan kombinasi pakan yang
menghasilkan 3,59 L/kg biogas dan proporsi metana sebesar 38,73%.
5.2 Saran
1) Perlu dilakukan penambahan unsur nitrogen sebagai campuran feses gajah,
agar rasio C/N dapat lebih rendah sehingga dapat memaksimalkan produksi
biogas.
2) Perlu ditambahkan starter mikroorganisme seperti jamur atau bakteri untuk
membantu hidrolisis komponen lignoselulosa atau materi organik lain yang
sulit didegradasi dari feses gajah agar proses hidrolisis lebih cepat dan
efesien.
3) Perlu pengaturan suhu agar produktifitas dari produksi biogas dapat tetap
terjaga, pengaturan suhu ini dapat dilakukan dengan penggunaan fermentor
biogas yang terintregasi dengan termostat untuk mengatur dan memonitor
suhu.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi, T., S. M. Tauseef dan S. A. Abbasi. 2012. Biogas Energy. Springer.Berlin.
Adrianton. 2010. Pertumbuhan dan Nilai Gizi Tanaman Rumput Gajah padaBerbagai Interval Pemotongan. Jurnal Agroland. 13(1): 192-197.
Agus, F., Sulaeman, Suparto dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis KimiaTanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Badan PenelitianPengembangan Teknologi (BPPT), Departemen Pertanian. Jakarta.
Anderson, J. M. dan M. J. Coe. 1974. Decomposition of Elephant Dung in anArid, Tropical Environment. Oecologia. 14: 111-125.
Arntzen, J. O. 2013. Manure Energy Exploitation: The Use of Biogas to secureWater Supply in Developing Countries. University of Agder, Faculty ofEngineering and Science Department of Engineering Sciences. Ohio.
Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official methods of Analysis16th Edition. Association of Analytical Chemists. Washington DC.
Association of Zoo and Aquarium. 2003. AZA Standard for ElephantManagement and Care. AZA. Washington DC.
Cheeran, J. V. 2002. Elephant facts. Journal of Indian Veterinary Association.7(3): 12-14.
Chen Y., Cheng J. J. dan Creame K. S. 2008. Inhibition of anaerobic digestionprocess: A review. Bioresource Technology. 99: 4044–4064.
Demirel B. dan P. Scherer. 2008. The roles of Acetotrophic andHydrogenotrophic Methanogens during Anaerobic Conversion of Biomasto Methane: a Review. Rev. Environ. Sci. Biotechnol. 7:173-190.
Deublein dan Steinhauser. 2008. Biogas From Waste and Renewable Resources.WILEY-VCH. Weinheim.
Dinas Perikanan. 1997. Pengelolaan Air pada Budidaya Udang. Bagian ProyekPembinaan Perikanan. Semarang.
Dougall, H. W. 1963. On The Chemical Composition of Elephant Feces. EastAfrican Wildlife Journal. 1(5): 123-129.
70
Drosg B., R. Braum dan G. Bochmann. 2013. Analysis and Characterization ofBiogas Feedstocks in: Wellinger, A., J. Murphy dan D. Baxter (editors).The biogas Handbook. Woodhead Publishing. Cambridge.
Dumonceaux, G. A. 2006. Digestive system. In: Fowler, M. E. dan S. K. Mikota(editors). Biology, Medicine, and Surgery of Elephants. BlackwellPublishing. Oxford.
Eade, S. 2011. What is The Difference Between African and Asian Elephant.http://www.eleaid.com, 20 Juni 2016, pk. 15.20 WIB
Ertem, F. C. 2011. Improving Biogas Production by Anaerobic Digestion ofDifferent Substrates–Calculation of Potential Energy Outcomes. Thesis:Applied Environmental Science Halmstad University. Halmstad.
Fowler, M. E. dan S. K. Mikota. 2006. Biology, Medicine, and Surgery ofElephants. Blackwell Publishing. Oxford.
Frei, G. 2016. Diferences between Asian and Adrican Elephant in ElephantEncyclopedia. http://www.upali.ch/differences_en.html, 31 Mei 2016, pk.20.50 WIB.
General Laboratory Procedure. 1996. Report of Diary Science. University ofWisconsin. Madison.
Gerardi, M. 2003. The Microbiology of Anaerobic Digesters. John Wiley & Sons.Inc. New Jersey.
Graaf, D. dan R. Fendler. 2010. Biogas Production in Germany. FederalEnvironment Agency. Dessau-Rosslau.
Hackenberger, M. K., J. H. Burton, J. L. Atkinson dan K. M. Dickson. 1986. Rateof Ingesta Passage Within Captive African Elephants (Loxodontaafricana). Proceeding Annual Elephant Workshop 7.
Hardyanti, N. dan E. Sutrisno. 2007. Uji Pembuatan Biogas dari Kotoran Gajahdengan Variasi Penambahan Urin Gajah dan Air. Jurnal Presipitasi. 3(2):73-77.
Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber EnergiAlternatif. Jurnal Wartazoa. 16(3): 160-169.
Imam, M. F .I. A., M. Z. H. Khan, M. A. R. Sarkar, dan S. M. Ali. 2013.Development of Biogas Processing from Cow Dung, Poultry Waste, andWater Hyacinth. International Journal of Natural and Applied Science2(1): 13-17.
71
Indrasti, N. S. dan R. R. Elia. 2004. Pengembangan Media Tumbuh Anggrekdengan Menggunakan Kompos. Jurnal Teknik Industri Pertanian. 14(2):40-50.
Jarvis, A. 2004. Biogas. Swedish Energy Agency and in cooperation with theSwedish Gas Centre. Swedia.
Jorgensen, P. J. 2010. Biogas: Green Energy 2nd Edition. Faculty of AgriculturalSciences, Aarhus University. Swedia.
Joshi, R. dan R. Singh. 2008. Feeding behaviour of wild Asian Elephants(Elephas maximus) in the Rajaji National Park. The Journal of AmericanScience. 4(2): 34-48.
Kalia, A. K. dan S. P. Singh. 1998. Horse Dung as a Partial Subtitute for CattleDung for Operating Familiy-size Biogas Plants in a hilly Region.Bioresour, Technol. 65: 61-63.
Kanwar, S. S. dan A. K. Kalia. 1993. Anaerobic Fermentation of sheep Droppingsfor Biogas production. World journal of Microbiology and Biotechnoogy.9: 174-175.
Karakashev, D., D. J. Batstone, E. Trably dan I. Angelidaki. 2006. AcetateOxidation is the Dominant Methanogenic Pathway from Acetate in TheAbsence of Methanosaetaceae. Applied and Environmental Microbiology.7(72): 5138-5141.
Karki, A. B. 2009. Biogas as Renewable Energy From Organic Waste. In: Doelle,H. W., S. Rokem dan M. Berovic. Biotechnology. EOLLS Publication.Paris.
Khanal, S. 2008. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production: Principlesand Apllication. Wiley-Blackwell. Hoboken.
Khoiyangbam, R. S., S. Kumar, M. C. Jain, N. Gupta, A. Kumar dan V. Kumar.2004. Methane Emission from Fixed Dome Biogas Plants in Hilly anfPlain Region of Notrhern India. Bioresour, Technol. 95: 35-39.
Kitamura, S., T. Yumoto, P. Poonswad dan P. Wohandee. 2007. Frugivory andseed dispersal by Asian elephants in a moist evergreen forest of Thailand.Journal of Tropical Ecology. 23: 373-376.
Lay, J. J., Y. Y. Li, T. Noike, J. Endo dan S. Ishimoto. 1997. Analysis ofEnvironmental Factors Affecting Methane Production from High-SolidsOrganic Waste. Water Science Technology. 6(36): 493-500.
72
Manurung, R. 2004. Proses Anaerobik Sebagai Alternatif untuk MengolahLimbah Sawit. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik UniversitasSumatera Utara. Medan.
Mariappa, D. 1986. Anatomy and Histology of the Indian Elephant. IndiraPublishing House. Michigan.
Mikota, S. K., E. L. Sargent dan G. S. Ranglack. 1994. Medical Management ofthe Elephant. Indira Publishing House. Michigan.
Mustafa dan N. R. Ismail. 2010. Pengaruh Tekanan Biogas Terhadap KinerjaMesin Stasioner. Jurnal Agritek. 11(2): 39-48.
Nast, C. 2014. Self Nutrirtion data. http://nutritiondata.self.com. 16 Mei 2016, pk.18.50 WIB.
Nehanji, A. C. dan A. J. Plumptre. 2001. Seasonality in elephant dung decay andimplications for censusing and population monitoring in south-westernCameroon. African Journal of Ecology. 39: 24-32.
Normak, A. dan A. Menind. 2010. Animal Wastes and Energy Production:Manure, Biogas, and Compost. Eesti Maaülikool University. Estonia.
Ortner, M., K. Leitzinger, S. Skupien, G. Bochman dan W. Fuchs. 2014. EfficientAnaerobic Mono-digestion of N-rich Slaughterhouse Waste: Influence ofAmmonia, Temperature, and Trace Elements. Bioresources Technology.174: 222-232.
Pavlostathis, S. G. dan E. G. Gomez. 1991. Kintics of Anaerobic Treatment: aCritical Review. Crit. Rev. Environ. Control. 21: 411-490.
Persson, E., E. Ossiansson, M. Carlsson, M. Uldal dan L. E. Olsson. 2010.Peningkatan pencernaan dengan hidrolisis awal untuk ekstraksi metana dipabrik pengolahan limbah dan tanaman biogas. Svenskt GastekniskCenter. Swedia.
Pham, C. H., C. C. Vu, S. G. Sommer, S. Bruun. 2014. Factors Affecting ProcessTemperature and Biogas Production in Small-cale Rural Biogas Digesterin Winter in Northern Vietnam. Asian Australian Journal of AnimalScience. 27(7):1050-1056.
Purnomo. 2009. Pemanfaatan Biogas Kotoran Ternak Sapi Sebagai PenggantiBahan Bakar Minyak dan Gas. Departemen Fisika. USU.
73
Purwati, S., R. S. Soetopo dan T. Idiyanti. 2011. Aplikasi Protease dan PengaruhSuhu pada Asidifikasi Digestasi Anaerobik Dua-Tahap Lumpur Ipal.Biologi Industri Kertas. 1(1): 20-30.
Rani, A. S. dan P. Neeraja. 2013. Ammonia Stress Induced Biochemical ChangesIn Liver And Brain Of Albino Rat. Journal of Bio Chemistry 4(2): 73-78.
Sanjaya, D. A. Haryanto, Tmrin. 2015. Produksi Biogas Dari Campuran KotoranSapi dengan Kotoran Ayam. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. 4(2): 127-136.
Santoso, A. A. 2010. Produksi Biogas dari Limbah Rumah Makan MelaluiPeningkatan Suhu dan Penambahan Urea pada Perombakan Anaerob.Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Sebelas Maret.
Saputra, T., S. Triatmojo dan A. Pertiwiningrum. 2010. Produksi Biogas dariCampuran Feses Sapid an Ampas Tebu (Baggase) dengan Rasio C/N yangBerbeda. Buletin Perternakan. 34(2): 114-122.
Savira, M. 2012. Analisis Variasi D-Loop DNA Mitikondria pada Populasi GajahSumatera (Elephas maximus) di Taman Nasional Way Kambas. Skripsi.FMIPA Departemen Biologi Universitas Indonesia. Depok.
Schaechter, M. 2009. Encyclopedia of Microbiology Third Edition. AcademicPress. Cambridge.
Schneur, A. dan A. Jarvis. 2010. Microbiological Handbook for Biogas Plants.Swedish Gas Center. Swedia.
Seadi T. A., D. Rutz, H. Prassl, M. Kӧttner, T. Finsterwalde, S. Volk dan R.Janssen. 2008. Biogas Handbook. University of Southern DenmarkEsbjerg. Esbjerg.
Shoshani, J., R. Alder, K. Andrews, M. J. Baccala, A. Barbish, S. Barry, R.Battiata, M. P. Bedore, Berbenchuk dan D. Yehiel. 1982. On the dissectionof a female Asian elephant (Elephas maximus maximus Linnaeus, 1758)and data from other elephants. Elephant. 2(1): 3-93.
Sikes, S. K. 1967. The African elephant, Loxodonta africana: Afield method forthe estimation of age. London Journal Zoology. 154(5): 235-248.
Sitompul, F. A. 2011. Ecology and Conservation of Sumatran Elephants inSumatra Indonesia. Desertasi Ph.D. University of massachusets,Massachusets, USA.
74
Sugiyono A., Anindhita, M. S. Boedoyo, Adiarso. 2014. Outlook EnergiIndonesia 2014. BPPT. Jakarta.
Sukumar, R. (1989). The Asian Elephant: Ecology and Management. CambridgeStudies in Applied Ecology and Resource Management. CambridgeUniversity Press, Cambridge, U.K.
Sukumar, R. (2003). The Living Elephants: Evolutionary Ecology, Behavior andConservation. Oxford University Press, New York.
Suriawiria, U. 2008. Mikrobiologi Air. Alumni. Bandung.
Tilman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, Prawirokusumo dan S.Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
Triatmojo, S. 2004. Diktat Penanganan Limbah Peternakan. Jurusan TeknologiHasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Urley, D. E., S. D. Crissey dan H. F. Hintz. 1997. Elephants: Nutrition andDietary Husbandry. Nutrition Advisory Group. Michigan.
Van Hoven, W., R. A. Prins dan A. Lankhorst. 1981. Fermentative digestion inthe African elephant. South African Journal of Wildlife Research. 11(3):78-86.
Wahyudi, M. A., D. Widhiyanuriyawan dan N. Hamidi. 2012. Pengaruh KondisiTemperatur Meshophilic dan Thermophilic Anaerob Digester TerhadapParameter Karakteristik Biogas. Jurusan Teknik Mesin Fakultas TeknikUniversitas Brawijaya. Malang.
Walker, G. M. 2009. Yeast In: Schaechter, M. (Editor). Encyclopedia ofMicrobiology Third Edition. Academic Press. Cambridge.
Weiland, P. 2010. Biogas Production: Current State and Perspectives. AppliedMicrobiology and Biotechnology 85: 849-860.
White, L. J. T., C. E. G. Tutin dan Fernandez. 1993. Group composition and dietof forest elephants, Loxodonta africana cyclotis Matschie 1900, in theLope Reserve, Gabon. African Journal of Ecology. 31: 181-199.
Wilkie, A. 2015. Biogas a Renewable Biofuel; Feedstocks for Biogas Production.http://biogas.ifas.ufl.edu/feedstocks.asp, 25 Mei 2016, pk. 08.30 WIB.
Windyasamara, L., A. Pertiwiningrum dan L. M. Yusiati. 2012. Pengaruh jenisKotoran Ternak Sebagai Substrat dengan Penambahan Serasah Daun Jati
75
(Tectona grandis) Terhadap Karatkteristik Biogas pada Proses Fermentasi.Buletin Peternakan. 36(1): 40-47.
Wiratmana, I. P. A., I. G. K. Sukadana, I. G. N. P. Tenaya. 2012. StudiEksperimental Pengaruh Variasi Bahan Kering Terhadap Produksi danNilai Kalor Biogas Kotoran Sapi. Jurnal Energi dan Manufaktur. 5(1): 22-32.
Yanti, A. 2009. Produksi Biogas Melalui Degradasi Bahan Organik dari SampahSayuran. Skripsi. Program Studi Kimia Fakultas Sains dan TeknologiUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Yenni, Y. Dewilda, dan S. M. Sari. 2012. Pembentukan Biogas dari SubstratSampah Sayur dan Buah denan Ko-Substrat Limbah Rumen Sapi. JurnalTeknik Lingkungan UNAND. 9(1): 26-36.
Ziemiński, K. dan M. Frąc. 2012. Methane fermentation process as anaerobicdigestion of biomass: Transformations, stages and microorganisms.African Journal of Biotechnology. 11(18): 4127 - 4139.
76
LAMPIRAN 1
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Data Suhu Feses Gajah
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap suhu feses yang dihasilkan.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap suhu feses yang dihasilkan.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) suhu feses gajah lebih
dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga mempunyai
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah
dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap suhu yang dihasilkan oleh feses
gajah.
Independent Samples Test
Suhu_Feses
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T dfSig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Perlakuan_10,40 0,56 1,00 4 0,37 0,67 0,67 -1,18 2,52
Perlakuan_2
77
LAMPIRAN 2
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Rasio C/N Feses Gajah
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap rasio C/N feses yang dihasilkan.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap rasio C/N feses yang dihasilkan.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) rasio C/N feses lebih
dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga mempunyai
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah
dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap rasio C/N yang dihasilkan oleh
feses gajah.
Independent Samples Test
Rasio_CN
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. T df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Perlakuan_10,87 0,40 -1,17 4 0,31 -2,48 2,12 -8,38 3,42
Perlakuan_2
78
LAMPIRAN 3
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Kadar Air Feses Gajah
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap kadar air feses yang dihasilkan.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap kadar air feses yang dihasilkan.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) kadar air feses lebih
dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga mempunyai
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah
dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap kadar air yang dihasilkan oleh feses
gajah.
Independent Samples Test
Kadar_air
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95%
Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Perlakuan_11,98 0,23 2,13 4 0,10 8,86 4,17 -2,71 20,43
Perlakuan_2
79
LAMPIRAN 4
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Kadar Organik Feses Gajah
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan kadar bahan organik antara gajah yang diberi pakan rumput
gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan.
H1 : Ada perbedaaan kadar bahan organik antara gajah yang diberi pakan rumput gajah
dengan gajah yang diberi kombinasi pakan.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) kadar bahan organik
feses lebih dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga
mempunyai kesimpulan bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan
rumput gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap kadar bahan organik
yang dihasilkan oleh feses gajah.
Independent Samples Test
Bahan_Organik
Levene's
Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Perlakuan_13,18 0,15 -1,03 4 0,37 -1,45 1,42 -5,40 2,51
Perlakuan_2
80
LAMPIRAN 5
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Suhu Fermentor
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap suhu fermentor.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap suhu fermentor.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) suhu fermentor lebih
dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga mempunyai
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah
dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap suhu fermentor.
Independent Samples Test
Suhu
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_0 Perlakuan_10,40 0,56 -2,00 4 0,12
0,580,67 -3,18 0,52
Perlakuan_2 0,58
Hari_7 Perlakuan_114,06 0,02 -0,92 4 0,41
0,000,47 -1,74 0,87
Perlakuan_2 0,60
Hari_14 Perlakuan_11,73 0,26 0,27 4 0,80
0,290,60 -1,5 1,84
Perlakuan_2 1,00
Hari_21 Perlakuan_10,24 0,65 -1,21 4 0,29
0,500,55 -2,20 0,87
Perlakuan_2 0,44
Hari_28 Perlakuan_12,00 0,23 2,60 4 0,06
0,500,58 -0,10 3,10
Perlakuan_2 1,00
81
LAMPIRAN 6
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test pH Fermentor
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap pH fermentor.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap pH fermentor.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) pH fermentor lebih dari
0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga mempunyai kesimpulan
bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap pH fermentor.
Independent Samples Test
pH
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_0 Perlakuan_13,20 0,148 2,24 4 0,09
0,170,11 -0,06 0,56
Perlakuan_2 0,87
Hari_7 Perlakuan_12,78 0,171 -0,67 4 0,54
0,350,23 -0,78 0,48
Perlakuan_2 0,18
Hari_14 Perlakuan_10,00 1,00 0,00 4 1,00
0,360,29 -0,80 0,80
Perlakuan_2 0,35
Hari_21 Perlakuan_10,00 1,00 1,63 4 0,18
0,150,12 -0,14 0,54
Perlakuan_2 0,15
Hari_28 Perlakuan_11,99 0,23 2,29 4 0,83
0,340,22 -0,11 1,14
Perlakuan_2 0,20
82
LAMPIRAN 7
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Konsentrasi Amonia Fermentor
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi amonia fermentor.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi amonia fermentor.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) konsentrasi amonia
fermentor kurang dari 0,05 (P<0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 ditolak, sehingga
mempunyai kesimpulan bahwa ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput
gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi amonia selama
28 hari masa fermentasi.
Independent Samples Test
Amonia
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_7 Perlakuan_16,01 0,07 0,84 4 0,001
0,871,79 0,12 10,08
Perlakuan_2 0,70
Hari_14 Perlakuan_10,08 0,79 3,59 4 0,023
1,701,42 1,16 9,04
Perlakuan_2 1,78
Hari_21 Perlakuan_110,81 0,03 3,31 4 0,005
0,880,51 0,28 3,12
Perlakuan_2 0,60
Hari_28 Perlakuan_12,63 0,18 3,41 4 0,008
0,620,99 0,63 6,17
Perlakuan_2 1,70
83
LAMPIRAN 8
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Konsentrasi VFA Fermentor
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi VFA fermentor.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi VFA fermentor.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) konsentrasi VFA
fermentor kurang dari 0,05 (P<0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 ditolak, sehingga
mempunyai kesimpulan bahwa ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput
gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi VFA selama 28
hari masa fermentasi.
Independent Samples Test
VFA
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_0 Perlakuan_10,01 0,94 -10,33 4 0,000
1,801,39 -18,27 -10,53
Perlakuan_2 1,61
Hari_7 Perlakuan_10,07 0,80 -6,15 4 0,004
2,262,11 -18,81 -7,10
Perlakuan_2 2,87
Hari_14 Perlakuan_10,69 0,45 -9,55 4 0,001
1,201,15 7,78 14,15
Perlakuan_2 1,59
Hari_21 Perlakuan_11,71 0,26 42,71 4 0,000
1,060,70 28,05 31,95
Perlakuan_2 0,60
Hari_28 Perlakuan_10,00 0,99 10,56 4 0,000
2,562,19 17,05 29,21
Perlakuan_2 2,80
84
LAMPIRAN 9
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Degradasi Bahan Organik dalam
Fermentor
Independent Samples Test
Persen_Degradasi
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95%
Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Equal variances
assumed0,15 0,72 3,62 4 0,02 0,90 0,25 0,21 1,59
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap degradasi bahan organik dalam fermentor.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap degradasi bahan organik dalam fermentor.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) degradasi bahan
organik kurang dari 0,05 (P<0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 ditolak, sehingga
mempunyai kesimpulan bahwa ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput
gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap degradasi bahan organik
dalam fermentor selama 28 hari masa fermentasi.
85
LAMPIRAN 10
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Volume Gas
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap volume gas yang dihasilkan selama proses
fermentasi.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap volume gas yang dihasilkan selama proses
fermentasi.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) volume gas lebih
dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 ditolak, sehingga mempunyai
kesimpulan bahwa ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan
gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap volume gas yang dihasilkan selama proses
fermentasi.
Independent Samples Test
Volume_Gas
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_7 Perlakuan 14 0,12 5,20 4 0,01
0,100,01 0,01 0,05
Perlakuan 2 0,00
Hari_14 Perlakuan 111,58 0,27 3,00 4 0,04
0,300,18 0,04 1,02
Perlakuan 2 0,04
Hari_21 Perlakuan 10,05 0,83 3,40 4 0,03
0,630,54 0,33 3,31
Perlakuan 2 0,68
Hari_28 Perlakuan 110,76 0,03 3,19 4 0,04
1,360,80 0,28 4,70
Perlakuan 2 0,23
86
LAMPIRAN 11
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Konsentrasi Metana
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi metana yang dihasilkan selama
proses fermentasi.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi metana yang dihasilkan selama proses
fermentasi.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) konsentrasi metana
kurang dari 0,05 (P<0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 ditolak, sehingga mempunyai
kesimpulan bahwa ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan
gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi metana yang dihasilkan selama
proses fermentasi.
Independent Samples Test
Metana
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_7 Perlakuan 10,12 0,75 4,49 4 0,01
0,110,09 0,15 0,65
Perlakuan 2 0,11
Hari_14 Perlakuan 10,23 0,66 3,07 4 0,04
0,980,88 0,26 5,14
Perlakuan 2 1,17
Hari_21 Perlakuan 10,01 0,93 8,32 4 0,00
3,002,48 13,74 27,50
Perlakuan 2 3,07
Hari_28 Perlakuan 15,34 0,08 4,16 4 0,01
8,145,03 6,95 34,87
Perlakuan 2 3,10
87
LAMPIRAN 12
Hasil Uji Statistik Independent Sampels T-test Konsentrasi Karbon Dioksida
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah
yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi karbon dioksida yang dihasilkan
selama proses fermentasi.
H1 : Ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan rumput gajah dengan gajah yang
diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi karbon dioksida yang dihasilkan
selama proses fermentasi.
Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom Sig. (2-tailed) konsentrasi karbon
dioksida lebih dari 0,05 (P>0,05). Berdasarkan hal tersebut H0 diterima, sehingga
mempunyai kesimpulan bahwa tidak ada perbedaaan antara gajah yang diberi pakan
rumput gajah dengan gajah yang diberi kombinasi pakan terhadap konsentrasi karbon
dioksida yang dihasilkan selama proses fermentasi.
Independent Samples Test
Karbon_dioksida
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T dfSig. (2-
tailed)
Std.
Deviation
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Hari_7 Perlakuan 10,39 0,57 -0,30 4 0,78
0,410,30 -0,94 0,76
Perlakuan 2 0,34
Hari_14 Perlakuan 10,50 0,52 1,92 4 0,13
4,083,87 -3,34 18,16
Perlakuan 2 5,32
Hari_21 Perlakuan 10,01 0,95 -0,67 4 0,54
0,800,60 -2,07 1,27
Perlakuan 2 0,67
Hari_28 Perlakuan 10,07 0,80 1,74 4 0,16
4,363,75 -3,89 16,95
Perlakuan 2 4,82
88
LAMPIRAN 13Tabel Nilai MPN
Tabung PositifMPN/ml
Interval Kepercayaan (95 %)0.10 0.01 0.001 Atas Bawah
0 0 0 <3.0 -- 9.50 0 1 3.0 0.15 9.60 1 0 3.0 0.15 110 1 1 6.1 1.2 180 2 0 6.2 1.2 180 3 0 9.4 3.6 381 0 0 3.6 0.17 181 0 1 7.2 1.3 181 0 2 11 3.6 191 1 0 7.4 1.3 201 1 1 11 3.6 381 2 0 11 3.6 421 2 1 15 4.5 421 3 0 16 4.5 422 0 0 9.2 1.4 382 0 1 14 3.6 422 0 2 20 4.5 422 1 0 15 3.7 422 1 1 20 4.5 422 1 2 27 8.7 942 2 0 21 4.5 422 2 1 28 8.7 942 2 2 35 8.7 942 3 0 29 8.7 942 3 1 36 8.7 943 0 0 23 4.6 943 0 1 38 8.7 1103 0 2 64 17 1803 1 0 43 9 1803 1 1 75 17 2003 1 2 120 37 4203 1 3 160 40 4203 2 0 93 18 4203 2 1 150 37 4203 2 2 210 40 4203 2 3 290 90 10003 3 0 240 42 10003 3 1 460 90 20003 3 2 1100 180 41003 3 3 >1100 420 --
89
LAMPIRAN 14
Dokumentasi Metodologi Penelitian
Objek PenelitianPerlakuan Pakan Rumput Gajah Perlakuan Pakan Kombinasi
1. Gajah Melky 2. Gajah Mulyani
3. Gajah Putri 4. Gajah Ratih
5. Gajah Arli 6. Gajah Ola
90
Pemberian Pakan dan Proses Fermentasi
Proses pemberian pakan Feses yang terkumpul dalam 15 jam
Penimbangan feses Pencampuran bahan baku fermentasi
Memasukkan slurry ke dalam fermentor Fermentor
91
Pengujian Parameter Fermentasi
Penimbangan abu dalam uji kadar organik Uji konsentrasi amonia
Uji MPN Perhitungan volume gas
Uji Komposisi Gas Uji Nyala
92
LAMPIRAN 15
Dokumentasi Pengamatan Mikroorganisme
1. Foto Mikroskopis mikroorganisme hari ke-0pada perbesaran 400x (panah hitam: ragi
Saccharomyces cerevisiae)
2. Foto Mikroskopis mikroorganisme hari ke-7pada perbesaran 1000x (panah hitam: ragi S.
cerevisiae, kotak merah: bakteri diplobacillus)
3. Foto Mikroskopis mikroorganisme hari ke-7pada perbesaran 1000x, masih menunjukkan
dominansi ragi S. cerevisiae.
4. Foto Mikroskopis mikroorganisme hari ke-7pada perbesaran 1000x (kotak merah: protozoa)
5. Foto Mikroskopis mikroorganisme hari ke-14pada perbesaran 1000x (panah hitam: ragi S.
cerevisiae, panah merah: proses budding)
6. Foto mikroskopis mikroorganisme hari ke-21pada perbesaran 1000x (panah hitam: ragi S.
cerevisiae)
93
LAMPIRAN 16
Rata-rata komposisi gas pengotor hasil fermentasi selama 28 hari
Komposisi Gas (ppm)Perlakuan Pakan
Rumput Gajah KombinasiCO 0,38 ± 0,70 0,31 ± 0,88NO 0,63 ± 0,18 0,19 ± 0,53NO2 0,63 ± 0,18 tidak terdeteksiSO2 0,63 ± 0,18 tidak terdeteksiH2S 1,88 ± 3,23 0,88 ± 1,22