fragmentasi partai koalisi dan oposisi di dpr ri

9
Fragmentasi Partai Koalisi dan Oposisi di DPR RI 1 Oleh : Dony Septriana Rosady 2 BANDUNG 2012 1 Tugas salah satu mata kuliah 2 Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan

Upload: dony-septriana-rosady

Post on 08-Apr-2016

16 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Fragmentasi Partai Koalisi dan Oposisi di DPR RI1

Oleh :

Dony Septriana Rosady2

BANDUNG

2012

1 Tugas salah satu mata kuliah

2 Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik,

presiden adalah kepala negara dan berkewajiban membentuk departemen-

departemen yang akan melaksanakan kekuasaan eksekutif dan

melaksanakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh

seorang menteri.

Kabinet presidensial adalah suatu kabinet di mana

pertanggungjawaban atas kebijakan pemerintah dipegang oleh presiden.

Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri, sehingga para

menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen/DPR melainkan kepada

Presiden. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet presidensial

adalah Amerika Serikat dan Indonesia.

Beberapa prinsip pokok yang bersifat universal dalam sistem

pemerintahan presidensial, sebagai berikut : 1. Terdapat pemisahan

kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif; 2.

Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak

terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja; 3. Kepala

pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala

negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan; 4. Presiden

mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang

bertanggung jawab kepadanya; 5. Anggota parlemen tidak boleh

menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya; 6. Presiden

tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen; 7. Jika dalam

sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam

sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu,

pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi; 8. Eksekutif

bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; dan 9.

Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer

yang terpusat pada parlemen.

Dalam sistem presidensial, Presiden tidak bisa membubarkan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebaliknya DPR tidak bisa menjatuhkan

Presiden, kecuali Presiden yang “menjatuhkan” dirinya sendiri dengan

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Hubungan antara Presiden dan DPR tidak didesain dalam pola

koalisi atau oposisi, melainkan lebih dalam pelaksanaan checks and

balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh menerima atau menolak

RUU secara apriori yang diajukan pemerintah. Dalam fungsi anggaran

DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer rancangan

anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang diajukan

Presiden. Dan, dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori

menutup mata terhadap apa yang dilakukan Presiden/pemerintah.

Meskipun Presiden tersebut berasal dari partai politik yang sama.

Kriterium penerimaan atau penolakan DPR seharusnya hanyalah satu :

berpihak kepada kepentingan rakyat atau tidak.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pembahasan

Indonesia sebagai salah satu negara yang menerapkan sistem

presidensil seharusnya tidak mengenal kriterium koalisi atau oposisi.

Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, anggota DPR tetap bertugas

mengawasi Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya, power tends to

corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sebab siapa pun dia, begitu

mereka memegang kekuasaan maka yang berlaku adalah hukum

kekuasaan : cenderung untuk korup. Karena itu setiap kegiatan adatu

kebijakan yang dikeluarkan harus diawasi. Dalam konteks dan perspektif

ini maka dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa

dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara.

Pemerintahan SBY periode 2009-2014, membentuk aliansi dengan

bergabungnya 24 parpol. Namun hanya enam parpol yang menempatkan

wakilnya di DPR, yakni Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai

Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan

Bangsa, dan Partai Golkar dengan 423 kursi. Aliansi ini dilembagakan

sebagai Setgab/Sekretariat Gabungan.

Dalam teori politik, terdapat the ruling party (partai berkuasa) dan

the oposition party (partai oposisi). Saat ini, ada “partai” yang masuk

kabinet/pemerintah; secara teori, dia adalah partai koalisi, tetapi di DPR

dia menjadi partai oposisi.

Dalam konteks penguatan sistem kepartaian dan memperkuat daya

tahan stabilitas demokrasi presidensial, pemberlakuan ambang batas

legislatif (electoral thresold dan electoral parlementary) 20-25% pada

Pemilu 2009 berpotensi positif, apabila dibarengi konsistensi yang

koheren. Dengan demikian, pengembangan institusionalisasi

(kelembagaan) partai politik senantiasa menjadi bahasan yang serius dari

para ilmuan politik di tanah air.

Hingga saat ini pengembangan institusionalisasi partai politik oleh

partai-partai politik dirasakan belum maksimal. Sehingga dari waktu ke

waktu, para ilmuan politik ditanah air, sering mencari formula yang tepat

bagi maksimalisasi pengembangan institusionalisasi partai politik di tanah

air. Salah satu problematika partai politik di Indonesia dewasa ini adalah

belum terlembaganya partai sebagai organisasi modern. Secara akal sehat,

tak ada demokrasi yang bisa bekerja efektif jika tingkat polarisasi dan

fragmentasi partai terlalu tinggi seperti dianut sistem kepartaian bangsa

kita. Energi partai-partai di parlemen acap kali hanya tersedot untuk

memperdebatkan soal-soal elementer seperti tata bahasa dan istilah dalam

berbagai rancangan kebijakan.

Terdapat tiga masalah fundamental terkait fragmentasi partai

koalisi atau oposisi di Indonesia yang harus diklarifikasi dan diselesaikan

sebelum koalisi politik di Indonesia dapat stabil pada masa mendatang.

Pertama, tidak jelasnya arti partai koalisi dan partai oposisi dalam politik

Indonesia. Kedua, dasar bagi koalisi pendukung pemerintah lebih banyak

terkait kepentingan politik ketimbang persamaan visi dan kebijakan.

Ketiga, mekanisme sanksi terhadap partai koalisi yang “membelot” tidak

jelas.

Melihat kondisi yang terjadi saat ini, banyak ketidak jelasan dalam

menentukan sikap politik. Partai yang menyatakan diri sebagai partai

koalisi di Pemerintahan dengan menitipkan kadernya sebagai menteri,

tetap dapat bersebrangan pendapat dengan partai koalisi di legislatif.

Partai-partai yang berkoalisi di tingkat pusat tetap bisa bersebrangan di

tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota. Jelas kondisi ini

mengindikasikan bahwa kekuatan partai yang dibangun baik koalisi

maupun oposisi tidak didasarkan atas kesamaan visi atau pandangan tetapi

didasarkan atas kepentingan pragmatis.

Permasalahan lainnya terkait keengganan kader partai yang masuk

menjadi jajaran kabinet untuk melepaskan jabatan partainya membuat

banyak pihak mempertanyakan kenetralan dari setiap kebijakan yang akan

diambil. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh level menteri bahkan

dilakukan juga oleh Presiden yang enggan melepaskan jabatan Ketua

Dewan Pembina Partai. Seharusnya ketika sesorang dapat masuk ke

pemerintahan artinya dia harus berposisi netral dan menjadi pelayan

seluruh rakyat, tidak boleh memihak atau membela golongan tertentu.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Pemerintahan presidensil seharusnya mampu dijalankan secara baik.

Wujud dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah dengan terwujudnya

fungsi check and balance secara proporsional. Fungsi ini hanya dapat terwujud

jika para pejabata negara mampu mendasarkan setiap kebijakan demi kepentingan

rakyat.

Fragmentasi partai koalisi dan oposisi yang tidak stabil jelas

mengindikasikan bahwa koalisi ataupun oposisi yang dijalankan didasarkan pada

kepentingan politik pragmatis saja. Perbedaan sikap kader partai yang sama di

pusat dan daerah makin menjelaskan bahwa ketidakjelasan sikap berpolitik tidak

hanya terjadi di tingkat pusat namun juga terjadi di internal partai sendiri.

Permasalahan fundamental terkait fragmentasi partai koalisi atau oposisi di

Indonesia disebabkan karena 3 hal yaitu : tidak jelasnya arti partai koalisi dan

partai oposisi dalam politik Indonesia, dasar bagi koalisi pendukung pemerintah

lebih banyak terkait kepentingan politik ketimbang persamaan visi dan kebijakan,

dan mekanisme sanksi terhadap partai koalisi yang “membelot” tidak jelas.

3.2. Saran

Perlu dilakukan pembenahan terkait sistem kepartaian di Indonesia.

Seharusnya diatur bahwa setiap warga negara yang berada di Pemerintahan harus

bersikap netral dan menjadi pelayan masyarakat secara umum bukan hanya milik

perorangan atau golongan. Hal ini dapat dimulai dengan keharusan melepaskan

jabatan partai ketika seseorang dinyatakan menjadi pejabat publik.

Mekanisme koalisi dan oposisi pun perlu diatur dengan jelas, agar koalisi

atau oposisi yang dibentuk memang didasarkan atas kesamaan visi, pemikiran,

dan tujuan bukan didasarkan atas kepentingan politik pragmatis. Sehingga fungsi

check and balance dapat berjalan optimal untuk mewujudkan kehidupan

berbangsan dan bernegara yang lebih baik.

Daftar Pustaka

1. Jimmly Asshidiqie. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta : 2007.

2. Arif Hidayat. Stabilitas Demokrasi dalam Sistem Multi Partai dan

Presidensialisme Indonesia. UNS. Semarang : 2008.

3. Soetanto Soepiadhy. Koalisi dalam Kabinet Presidensial. SP. Surabaya : 2011.

4. M. Ilham Habibie. Pengaruh Konstelasi Politik terhadap Sistem Presidensial

Indonesia. Undip. Semarang : 2009.