format baru otonomi daerah

41
PERENCANAAN DAN ANALISIS PEMBANGUNAN DAERAH Format Baru Otonomi Daerah: Menuju Daerah Membangun? Agung Jatmiko Abstraksi Sejak tahun 2001 Inodnesia secara formal telah menjalankan desentralisasi pemerintahan (ekonomi) dengan semangat tunggal memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk urusan ekonomi. Pola pelaksanaan desentralisasi yang tidak konsisten sejak jaman revolusi kemerdekaan hingga era orde baru membuat Indonesia seolah kehilangan arah dalam melaksanakan desentralisasi. UU No.22/1999 dibuat oleh pemerintah peralihan sebagai dasar untuk melaksanakan desentralisasi dengan lebih terarah dan diikuti dengan munculnya UU No.32/2004. Hubungan fiskal pusat- daerah juga telah diatur dalam UU No.25/1999. Namun, di tengah semangat pelaksanaan otonomi daerah juga banyak ditemui berbagai kendala mulai dari misalokasi anggaran, munculnya perda-perda bermasalah dan banyak lainnya. Hal ini menunjukkan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih sangat jauh dari sempurna. Tulisan ini berupaya untuk menguraikan perjalanan desentralisasi Indonesia sejak diberlakukannya UU No.22/1999 dan bagaimana pelaksanaannya serta beberapa isu sentral dalakm pelaksanaan otonomi daerah.

Upload: agung-jatmiko

Post on 07-Dec-2014

27.379 views

Category:

Business


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Format baru otonomi daerah

PERENCANAAN DAN ANALISIS PEMBANGUNAN DAERAH

Format Baru Otonomi Daerah:

Menuju Daerah Membangun?

Agung Jatmiko

Abstraksi

Sejak tahun 2001 Inodnesia secara formal telah menjalankan desentralisasi pemerintahan

(ekonomi) dengan semangat tunggal memberikan kewenangan yang lebih besar kepada

daerah untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk urusan ekonomi. Pola pelaksanaan

desentralisasi yang tidak konsisten sejak jaman revolusi kemerdekaan hingga era orde baru

membuat Indonesia seolah kehilangan arah dalam melaksanakan desentralisasi. UU

No.22/1999 dibuat oleh pemerintah peralihan sebagai dasar untuk melaksanakan

desentralisasi dengan lebih terarah dan diikuti dengan munculnya UU No.32/2004. Hubungan

fiskal pusat-daerah juga telah diatur dalam UU No.25/1999. Namun, di tengah semangat

pelaksanaan otonomi daerah juga banyak ditemui berbagai kendala mulai dari misalokasi

anggaran, munculnya perda-perda bermasalah dan banyak lainnya. Hal ini menunjukkan

pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih sangat jauh dari sempurna. Tulisan ini

berupaya untuk menguraikan perjalanan desentralisasi Indonesia sejak diberlakukannya UU

No.22/1999 dan bagaimana pelaksanaannya serta beberapa isu sentral dalakm pelaksanaan

otonomi daerah.

Page 2: Format baru otonomi daerah

Pendahuluan

Sejak tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia, tidak terkecuali di negara maju,

disibukkan dengan proyek penataan kembali pengelolaan ekonomi di dalam negeri. Di negara

maju restrukturisasi perekonomian tersebut difokuskan kepada upaya untuk membangun

hubungan keuangan intra-pemerintahan agar bisa mengimbangi perkembangan kegiatan

ekonomi yang semakin kompleks. Sedangkan di negara yang sedanga mengalami transisi

ekonomi seperti di Eropa Timur, sedang giat-giatnya membenahi sistem keuangan

pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, banyak negara

berkembang lainnya juga berpikir keras untuk melakukan desentralisasi fiskal sebagai salah

satu jalan meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefisienan pemerintahan,

ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi yang telah

menyebabkan negara-negara itu jatuh terperosok akhir-akhir ini (Bird dan Vaillancourt,

1998:1). Proses yang sama setidaknya juga berlangsung di Indonesia, ketika pada tahun 2001

memaklumatkan pemberlakuan otonomi daerah (desentralisasi) yang terlebih dahulu diikuti

dengan masa peralihan dari rezim Orde Baru menuju pemerintahan dengan basis semangat

reformasi.

Secara teoritis, desentralisasi sendiri bisa didefiniskan sebagai penciptaan badan yang

terpisah (bodies separated) oleh aturan hukum (undang-undang) dari pemerintah pusat, di

mana pemerintah (perwakilan) lokal diberi kekuasaan formal untuk memutuskan ruang

lingkup persoalan publik Jadi di sini basis politiknya ada di tingkat lokal, bukan nasional.

Dalam pengertian ini, meskipun era otoritas pemerintah lokal terbatas, namun hak untuk

membuat keputusan diperkuat melalui undang-undang dan hanya dapat diubah lewat legislasi

baru baru (Mawhood, 1983). Dengan begitu, prinsip desentralisasi dapat disinonimkan

dengan isntilah ‘diet’, yakni untuk mengurangi obesitas akut yang diderita sebuah negara.

Untuk konteks, obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang besar,

wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat variatif. Dengan

pemahaman ini, yang dimaksud dengan program diet adalah mencoba menurunkan level

pelayanan masyarakat ke tingkat wilayah adminsitratif yang paling rendah. Dengan

desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk mengatur pembangunan

menjadi lebih lincah, akurat, dan cepat.

Page 3: Format baru otonomi daerah

Pendekatan Big Bang atau Zig-Zag?

Sejarah mencatat bahwa upaya desentralisasi di Indonesia bak ayunan pendulum: pola

zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi. Upaya desentralisasi telah dicoba

diterapkan pada masa penjajahan Belanda (1900-1940) dan revolusi kemerdekaan (1945-

1949); di luar periode itu sentralisasi secara administratif, politik dan fiskal amat terasa (Jaya

dan Dick,2001).

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai

di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim.

Dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis setelah jatuhnya pemerintahan

Soeharto dan sebagai reaksi yang kuat dari kecenderungan sentralisasi kekuasaan dan sumber

daya di pemerintah pusat selama tiga dekade terakhir.

Masalahnya, pemerintahan demokratis yang datang setelah pergantian rezim tidak

memiliki kekuatan “pemersatu nasional” seprti yang dimiliki rezim sebelumnya, juga tidak

memiliki daya sentrifugal politis. Banyak propinsi yang kaya sumber daya alam menyatakan

ketidakpuasan akan hasil eksplitasi sumber daya alamnya yang sebagian besar digunakan

oleh pemerintah pusat. Struktur pemerintahan terpusat telah mengakibatkan kesenjangan

regional antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun antara Kawasan Timur

Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia (Kuncoro, 2002). Rasa sentiment yang muncul

adalah sumbangan yang sangat besar yang diberikan propinsi yang kaya sumber daya alam

pada pembangunan ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.

Pergeseran prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri yang

mendukung pertanian, yang tidak disertai dengan pertimbangan spasial, memberikan dampak

percepatan pembangunan di satu pihak dan penumpukan konsentrasi manufaktur di pihak

lain. Sebagai hasil dari pendekatan tersebut antara lain peningkatan kontribusi dari sektor

manufaktur dan jasa yang terkonsentrasi di Jawa dan sebagian di Sumatra. Studi yang

menganalisis tren aglomerasi dan kluster dalam sektor industri manufaktur Indonesia,1976-

1999, menyatakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diterapkan pemerintah

Indonesia sejak 1985 telah berdampak pada semakin menguatnya konsentrasi industri secara

spasial di daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabotabek-Bandung

dan Gerbangkertosusila (Kuncoro, 2002). Studi Kuncoro juga menyimpulkan bahwa

konsentrasi spasial industri besar dan menengah dapat diasosiasikan dengan konsentrasi

perkotaan di Pulau Jawa. Hal yang sama juga dapat dilihat dari kontribusi PDRB Jawa

Page 4: Format baru otonomi daerah

terhadap PDN Nasional (1983-1996) yang menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan

mendominasi, yaitu dari 51% (1983) meningkat menjadi 60% (1996).

Upaya deregulasi perdagangan di Indonesia pasca pertengahan 1980-an gencar dilakukan

namun ternyata kebijakan intervensi yang lebih menguntungkan Jawa juga diterapkan. Fakta

ini didukung oleh sebuah studi yang menunjukkan bahwa rezim intervensi Indonesia (yaitu

kebijakan perdagangan dan harga) selama 1987-1995 telah menguntungkan pulau Jawa dan

memajakai propinsi-propinsi di luar pulau Jawa (Garcia, 2000). Dengan kata lain, kebijakan

yang membuka diri terhadap persaingan internasional semacam ini telah menimbulkan

transfer pendapatan dari daerah yang miskin ke daerah yang kaya.

Dapat dipahami apabila konstelasi semacam ini menyulut ketidakpuasan daerah. Gerakan

separatis mulai muncul di propinsi Timor Timur, Aceh, Papua dan skala yang lebih kecil

terjadi di Riau, yang mengakibatkan terancamnya integritas nasional Indonesia. Dengan

mengecualikan Timor Timur, protes berbasis kedaerahan yang terjadi pada penghujung 1998

secara tegas mengindikasikan ketidakpuasan terhadap kebijakan sentralisasi pemerintahan

dan keuangan sebagai pemicu utamanya (Pratikno, 1999). Tuntutan terhadap otonomi yang

lebih puas, bahkan tuntutan federasi maupun merdeka, terutama datang dari daerah-daerah

yang mempunyai sumber daya alam yang kuat, seperti Aceh, Papua, dan Riau, yang

menberikan kontribusi penting terhadap pendapatan nasional, namun tidak memperoleh

alokasi keuntungan yang berarti. Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya

rezim Soeharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan

dihadapkan pada pilihan untuk melakukan pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan

otonomi kepada daerah. Pilihan lain yang mungkin diambil adlaah pembentukan negara

federal atau membuat pemerintah propinsi sebagai agen murni pemerintah pusat (Kuncoro,

2004)

Pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi, yaitu UU No.22/1999

mengenai Pemerintahan Daerah, dan UU No.25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan

antara Pusat dan Daerah. UU No.22/1999 mendelegasikan kekuasaan tertentu kepada

pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah. UU No.25/1999 mendorong

desentralisasi dengan memberikan pembagian sumber daya fiskal kepada pemerintah daerah.

Tanggung jawab penyusunan desain dan draft undang-undang desentralisasi diserahkan

kepada sekelompok pejabat pemerintah dan akademisi yang dikenal sebagai pelopor

desentralisasi. Untuk itu mereka hanya diberikan waktu yang relatif singkat, sehingga mereka

tidak berkesempatan secara intensif untuk melakukan konsultasi dan berunding dengan

Page 5: Format baru otonomi daerah

berbagai kelompok kepentingan yang ada di Indonesia untuk menciptakan consensus nasional

mengenai visi dasar desentralisasi di Indonesia.

Keadaan tersebut, terutama motivasi politik, tidak diragfukan lagi mempengaruhi banyak

aspek dalam desain akhir desentralisasi seperti yang dituangkan dalam undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah. Setelah menerapkan sistem yang amat sentralistik, kedua

UU di atas menegaskan adanya fungsi dan kewenangan pemerintah daerah yang lebih besar

dibandingkan UU No.5/1975. Oleh karena itu, beberapa pengamat menyebut diterapkannya

pendekatan big bang, radikal, dalam struktur pemerintahan dan desentralisasi fiskal karena

mengubah drastis pola hubungan pusat dan daerah (Ma & Hofman,2002; Alm, Aten, & Bahl,

2001).

Dengan latar belakang sosial-politik seperti itu, bisa dipastikan bahwa UU No.22/1999

tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuanganj Pusat-

Daerah, digunakan untuk memuat dua misi utama (Pratikno, 1999): pertama, untuk

memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi di tingkat

daerah. Ini diwujudkan dengan ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah dan

memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat daerah dengan

memberikan kesempatan untuk menikmati symbol-simbol utama demokrasi lokal (misalnya

pemilihan Kepala Daerah). Kedua, untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumber daya alam

yang “memberontak” dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumber

daya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.

Page 6: Format baru otonomi daerah

Reformasi Strukur Pemerintahan Menurut UU No.22/1999

Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah mengisyaratkan adanya secercah harapan bagi daerah terhadap reformasi

penyelenggaraan pemerintahan Daerah di Indonesia, dari kondisi yang selama ini kurang

memberikan ruang yang cukup bagi daerah sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No.

5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, menjadikan daerah sedikit

terlepas dari kungkungan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Dalam kaitan dengan implementasi kebijakan reformasi penyelenggaraan pemerintahan

daerah di Indonesia, yang harus dipahami semua pihak adalah makna dan arti reformasi itu

sendiri secara benar, yaitu reformasi sebagai suatu langkah perubahan kearah perbaikan tanpa

merusak atau sekaligus memelihara dengan diprakarsai oleh mereka yang memimpin suatu

sistem. Hal ini perlu disadari bahwa tanpa reformasi sistem itu bisa goyah, atau dengan kata

lain sebaiknya reformasi itu diprakarsai dari sistem itu sendiri sehingga metode reformasi

akan dapat bersifat gradual, bertahap dan berkesinambungan (Faisal Tamin, 1998:2).

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menawarkan berbagai

macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi

Keanekaragaman Dalam Kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara lain:

1) Kedaulatan Rakyat,

2) Demokratisasi,

3) Pemberdayaan Masyarakat,

4) Pemerataan dan Keadilan.

Selain perubahan sosial terjadi pula perubahan dimensi struktural yang mencakup

hubungan antara pemerintahan daerah, hubungan antara masyarakat dengan pemerintah,

hubungan antara eksekutif dan legeslatif serta perubahan pada struktur organisasinya.

Perubahan dimensi fungsional dalam lembaga pemerintahan daerah dan lembaga masyarakat

terjadi sejalan dengan perubahan pada dimensi kultural sebagai dampak otonomi daerah yang

meliputi faktor kreativitas, inovatif dan berani mengambil resiko, mengandalkan keahlian,

bukan pada jabatan atau kepentingan saja tetapi lebih jauh lagi adalah untuk mewujudkan

sistem pelayanan masyarakat dan membangun kepercayaan masyarakat (trust) sebagai dasar

Page 7: Format baru otonomi daerah

bagi terselenggaranya upaya pelaksanaan otonomi daerah diseluruh pelosok tanah air

Indonesia.

Undang-Undang No.22/1999 menyerahkan fungsi, perosnil, dan asset pemerintah pusat

kepada pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Hal ini berarti tambahan kekuasaan dan

tanggung jawab diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, serta membentuk sistem

yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan

koadministratif di masa lalu (Kuncoro, 2004).

Di semua sektor adminsitratif pemerintah, undang-undang telah memindahkan fungsi

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dengan pengecualian dalam hal pertahanan dan

keamanan, kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, hukum dan urusan agama.

Provinsi memiliki status ganda sebagai daerah yang otonom dan sebagai daerah perwakilan

pemerintah pusat di daerah. Sebagai daerah otonom, provinsi memiliki kewenangan untuk

mengatur urusan-urusan tertentu di mana administrasi dan kewenangan hubungan antar

kabupaten dan kota tidak (atau belum) diterapkan oleh kabupaten dan kota. Sebagai

perwakilan pemerintah pusat, pemerintah propinsi melaksanakantugas administratif tertentu

yang didelegasikan oleh Presiden kepada Gubernur. Kekuasaan Kabupaten dan Kota meliputi

seluruh sektor kewenangan administratif selain kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,

pertanian, transportasi, industri dan perdagangan, investasi, lingkungan hidup, urusan tanah,

koperasi dan tenaga kerja.

Wilayah Indonesia dibagi menjadi propinsi, kabupaten dan kota otonom. Secara teknis,

kabupaten dan kota mempunyai level yang sama dalam pemerintahan. Pembagian tersebut

berdasarkan atas apakah administrasi pemerintah berlokasi di wilayah pedesaan atau di

wilayah perkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat kecamatan yang merupakan unit

pemerintahan administratif yang lebih kecil. Setiap kecamatan dibagi menjadi desa. Desa di

wilayah pedesaan disebut desa, sedangkan di wilayah perkotaan disebut kelurahan (Kuncoro,

2004).

Berbeda dengan sistem federalisme, otonomi daerah di Indonesia diletakkan dalam

kerangka negara kesatuan (Unitary State). Perbedaan utama sistem federalism dan unitaristik

terletak pada sumber kedaulatan, yaitu: “Dalam sistem federalisme, kedaulatan diperoleh dari

unit-unit politik yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahan

bersama, ……dalam pemerintahan yang unitaristik kedaulatan langsung bersumber dari

seluruh penduduk dalam negara tersebut” (Syaukani, Gaffar & Rasyid, 2002:5).

Karena beragamnya daerah otonom di Indonesia, dibutuhkan adanya sistem yang

mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar dan daerah yang kaya membantu

Page 8: Format baru otonomi daerah

daerah yang miskin. Dalam sistem ini, penyerahan kewenangan (desentralisasi) bebarengan

dengan pelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan tugas perbantuan (Kuncoro, 2004).

UU No.22/1999 memperpendek jangkauan atas dekonsentrasi yang dibatasi hanya

sampai pemerintahan Propinsi. Perubahan yang dilakukan UU ini terhadap UU No.5/1974

ditandai dengan (Pratikno, 1999, 2000):

Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan. Istilah Dati I dan Dati

II yang dalam UU terdahulu digunakan untuk menggambarkan pemerintahan daerah

otonom (asas desentralisasi), sekarang ini sudah tidak dipergunkan lagi. Istilah yang

dipilih adalah istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota, untuk

menghindari citra bahwa tingkatan yang lebih tinggi (Dati I) secara hiearkis lebih

berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Hal ini untuk menegaskan bahwa

semua daerah otonom merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar. Daerah

Otonom Propinsi tidak mempunyai hubungan komando dengan Daerah Otonom

Kabupaten maupun Kota.

Istilah pemerintah daerah dalam UU No. 22/1999 digunakan untuk merujuk pada

Badan Eksekutif Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah

Otonom. Hal ini berbeda dengan UU No. 5/1974 yang menggunakan istilah

pemerintah daerah yang meliputi DPRD dan menempatkan DPRD sebagai mitra

eksekutif. Perubahan pengertian yang dilakukan UU No.22/1999 ini membawa

implikasi pada keterpisahan secara tegas antara badan eksekutif dan legislatif, serta

penempatan fungsi control DPRD terhadap eksekutif daerah.

Pemerintahan di tingkat propinsi hampir tidak berubah. Gubernur tetap menjadi wakil

pusat dan sekaligus Kepala Daerah, dan Kanwil (instrument Menteri) tetap ada.

Namun, pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang

dulu dilakukan nelalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom dan Kepala

Wilayah Administratif (wakil pusat). Bupati dan Walikota adalah Kepala Daerah

Otonom saja. Sementara itu, jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan kota sudah

tidak dikenal lagi. Konsekuensinya Kandep (bawahan Kanwil) tidak dikenal lagi, dan

instansi teknis yang ada hanyalah Dinas-Dinas Daerah Otonom. Bahkan UU ini juga

menempatkan pemerintahan kecamatan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan

daerah otonom Kabupaten/Kota (desentralisasi) dan bukan sebagai aparat

Pusat/Propinsi (dekonsentrasi).

Page 9: Format baru otonomi daerah

Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menjadikan

pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan

dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupaten

dan kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat

mereka daripada pemerintah pusat. Walaupun hal ini sangat potensial bagi kabupaten dan

kota untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, namun sebelum hal tersebut dapat

terlaksana, partai politik dan kelompok masyarakat sipil yang ada di daerah perlu diperkuat

untuk menjamin bahwa proses pemerintahan yang bersih dapat terlaksana.

Desentralisasi terfokus pada tingkat kabupaten dan kota. Kedua pemerintahan tersebut

berada di level ketiga setelah pemerintah pusat dan propinsi. Sampai dengan akhir 2003

terdapat 434 pemerintah kabupaten dan kota dan 31 propinsi di Indonesia. Beberapa

pengamat menyarankan bahwa desentralisasi harus dilaksanakan pada tingkat propinsi karena

propinsi dianggap memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menangani seluruh tanggung

jawab yang dilimpahkan oleh kabupaten dan kota. Walaupun demikian, sudah menjadi

rahasia umum bahwa pemerintah pusat merasa tidak diuntungkan secara politis jika harus

membentuk pemerintahan otonom propinsi yang kuat. Alasannya adalah akan menjadi

potensi disintegrasi yang semakin kuat, khususnya di wilayah seperti Aceh dan Papua, di

mana gerakan menuntut kemerdekaan harus dihadapi oleh pemerintah pusat.

Reformasi penting yang perlu dicatat adalah sebagtai berikut: pertama, ada banyak

tingkatan dalam pemerintahan daerah dan level yang mana seharusnya menerima pelimpahan

kekuasaan merupakan pertanyaan mendasar yang muncul. Menurut UU No.22/1999,

pemerintah kabupaten dan kota telah menjadi level yang tepat untuk pelimpahan kekuasaan

dan pengelolaan sumber daya. Pemerintah propinsi diberi peran sebagai agen pemerintah

pusat dan sebagai pengawas pemerintah kabupaten dan kota. Ada banyak dasar pemikiran

untuk hal tersebut. Formulasinya bersumber pada UU No.5/1974, dan bertujuan untuk

menekankan seminimal mungkin setiap kecenderungan separatism daerah dengan kekuatan

politik atau munculnya kekuatan politik sentrifugal yang menjauhi pusat. Pemerintah pusat

tidak perlu takut akan kehilangan control terhadap pemerintah daerah. Juga ada argument

efisiensi dalam institusi pelayanan publik untuk sedekat mungkin dengan masyarakat tanpa

kehilangan skala ekonomis ketika populasi suatu kabupaten dan kota berkisar antara 25.000

sampai 4 juta jiwa.

Kedua, walaupun kecendeungan terjadinya separatism semakin kuat dan terlihat di

beberapa wilayah di daerah lainnya, reformasi struktur pemerintahan seperti yang telah

tercermin dalam UU No.22/1999 adalah memperlakukan semua pemerintah daerah di

Page 10: Format baru otonomi daerah

Indonesia secara adil, dengan pengecualian Jakarta sebagai ibu kota negara dengan tetap

menyandang status sebagai daerah khusus tanpa subdivisi kota. Hal itu terlihat bahwa

formulasi tersebut – perlakuan yang sama untuk semua wilayah di Indonesia – mencerminkan

penolakan pemerintah pusat akan konsep federalisme dan memilih konsep negara kesatuan.

Konsekuensinya, pembangunan politik memerlukan pemberlakuan dua undang-undang

khusus untuk Aceh dan Papua, yaitu derajat otonomi daerah yang lebih besar diberikan

kepada pemerintah propinsi daripada kepada pemerintah kabupaten dan kota.

Ketiga, hal penting lain dalam UU No.22/1999 adalah cakupan yang lebih luas untuk

fungsi dan aktivitas pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat

hanya memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap pertahanan dan keamanan

nasional, urusan agama dan fungsi khusus lain seperti perencanaan ekonomi makro, sistem

transfer fiskal, administrasi pemerintah, pengembangan sumber daya manusia,

pengembangan teknologi dan standar nasional. Fungsi lain yang tidak disebutkan secara

khusus harus dilimpahkan kepada pemerintah daerah, dan lebih khusus lagi, UU ini

menyebutkan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pekerjaan umum, manajemen

kesehatan, urusan pendidikan dan kebudayaan, pembangunan pertanian, transportasi,

peraturan kegiatan manufaktur dan pembangunan sumber daya manusia. Jika memperhatikan

UU tersebut, kekuasaan, otoritas, dan tanggung jawab pemerintah kabupaten dan kota

menjadi sangat substansif dan ekstensif, dan kebijakan desentralisasi seperti yang

digambarkan di sini sangat radikal, reformasi big bang terhadap struktur pemerintahan

(Kuncoro, 2004).

Kajian UU No.22/1999 dan UU No.32/2004

Page 11: Format baru otonomi daerah

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah dan juga diikuti dengan otonomi Desa telah berlangsung

sekitar 4 (empat) tahun. Selama periodisasi pelaksanaan otonomi ini telah terjadi perubahan

yang mendasar dari konsepsi pelaksanan otonomi daerah yang telah dilaksanakan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah. Jika sebelumnya pelaksanaan “otonomi daerah” dijalankan secara sentralistik,

melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicoba diberikan makna otonomi yang

sesungguhnya.

Namun demikian, ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini tidak berumur

lama. Hanya berjalan sekitar lima tahun, Undang-undang ini harus diganti dengan Undang-

Undang yang baru. Pada bulan September 2004 telah terjadi perubahan besar menyangkut

perubahan paradigma dan substansi materi mengenai otonomi daerah dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dianggap tidak relevan lagi

untuk diterapkan sebagai payung hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati

Soekarno Putri pada tanggal 15 Oktober 2004.

Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh sebagian kalangan

dianggap sebagai kemunduran konseptual dan kontekstual bagi pelaksanaan otonomi daerah

yang sesungguhnya. Undang-undang yang telah disahkan pada akhir september 2004 tersebut

sebenarnya bukan hanya revisi atas Undang-undang sebelumnya. Lebih tepat jika

kemunculan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 nyata-nyata sebagai pengganti bagi

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dianggap tidak relevan lagi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang sebelumnya

hanya terdiri dari 16 Bab dengan 134 Pasal telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang terdiri dari 16 Bab dengan 204 Pasal. Dari sinilah perbedaan demi

perbedaan dapat ditemui dari kedua Undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut.

Pergeseran demi pergeseran pemaknaan tentang konsep otonomi daerah yang

fundamental dapat ditemukan dari pergantian Undang-undang tersebut. Makna desentralisasi

misalnya, dari penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan kepala daerah otonom

Page 12: Format baru otonomi daerah

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Pemerintahan Republik

Indonesia.

Perubahan kalimat “Untuk mengatur dan mengurus rumah pemerintahan dalam sistem

Pemerintahan Republik Indonesia” dalam Pasal 1 (7) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tersebut sebenarnya telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Penambahan kalimat tersebut hanya akan menyempitkan makna otonomi (khususnya yang

bersifat politis) di daerah. Pemahaman sempit yang muncul dari adanya kalimat tersebut

menimbulkan pengertian yang membatasi otonomi daerah menjadi hanya pada kewenangan

untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan Daerah. Kalimat mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan akan semakin sempit dipahami hanya sebagai penyerahan

kewenangan secara birokratis bukan penyerahan kewenangan yang seutuhnya sesuai dengan

kehendak otonomi oleh sebagian besar masyarakat. Selain pergeseran makna desentralisasi,

makna otonomi daerah juga bergeser. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Perbedaan yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah berdasarkan kedua Undang-

Undang adalah dihapuskannya kalimat “Kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” dari pemaknaan Otonomi Daerah sebagaimana yang

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Penghapusan kalimat tersebut akan

memberikan implikasi atas kewenangan yang diserahkan kepala daerah otonom. Daerah

otonom akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan

bukan pada adanya kehendak dan aspirasi dari masyarakat setempat. Padahal, secara nyata

Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud adalah tidak lain Peraturan Perundang-

undangan diatas Peraturan Daerah yang kewenangan pembuatannya berada pada kekuasaan

Pemerintahan Pusat. Dari sinilah, terkesan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah akan mengembalikan konsep desentralisasi sebagai konsep

dasar pelaksanaan otonomi daerah menjadi sentralisasi yang justru mengkerdilkan makna

otonomi itu sendiri.

Perubahan mendasar juga terjadi pada konsep otonomi desa yang diatur oleh kedua

Undang-Undang ini (penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Desa). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara definitif menyebutkan:

Page 13: Format baru otonomi daerah

“Desa ataupun kampung nagari, betook, dll merupakan kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada

di daerah kabupaten”. Desa adalah “ sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu

wilayah, yang memiliki suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan

yang sitetapkan sendiri, serta berada dibawah pimpinanpimpinan desa yang mereka pilih dan

tetapkan sendiri”

( Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Pasal 1(o) ).

Melalui definisi tersebut, desa sebagai suatu unit kelembagaan pemerintahan mempunyai

kewenangan pengelolaan wilayah pedesaan. Wilayah pedesaan adalah:

“Wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan

sumber daya alam dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman pedesaan, pelayanan jasa

pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi” ( UU No.22/1999 Pasal 1(p) ).

Konsep tentang definisi desa ini ternyata juga mengalami perbedaan sejak disahkannya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini. Definisi desa sebagaimana dimaksud pada Pasal

1 (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan

mendasar terjadi dengan dihapuskannya kalimat “berada di daerah Kabupaten”. Penghapusan

kalimat ini mengisyaratkan bahwa kewenangan yang diberikan, adalah kewenangan yang

diberikan oleh pemerintahan pusat dan bukan yang diberikan oleh daerah karena

kedudukannya di daerah Kabupaten. Perubahan ini juga akan memberikan arti bahwa semua

wilayah terkecil dari daerah adalah desa baik yang berada di Kotamadya maupun Kabupaten.

Hal ini berbeda dengan konsep Undang-undang sebelumnya yang menempatkan desa hanya

pada daerah Kabupaten.

Pembahasan mengenai Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa, di dalam Undang-

Undang yang lama (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) Pasal 104 dinyatakan bahwa

“Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat

istiadat, membuat peraturan serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

Pemerintahan Desa” pada Pasal selanjutnya (Pasal 105) dinyatakan bahwa:

Page 14: Format baru otonomi daerah

1. Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk-penduduk desa yang

telah memenuhi persyaratan.

2. Pimpinan Badan Perwakilan Daerah dipilih dari dan oleh anggota.

3. Badan Perwakilan Daerah bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.

4. Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa.

Konsepsi Badan Perwakilan Desa sebagaimana yang diinginkan oleh Undang-Undang

No. 22 Tahun 1999 adalah untuk memberikan fungsi kontrol yang kuat kepada Kepala Desa.

Selain itu, dikenalkannya Badan Perwakilan Desa adalah untuk memperkenalkan adanya

lembaga legislatif, dan mempunyai kewenangan-kewenangan legislasi pada umumnya di

desa.

Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Badan Perwakilan Desa

yang semula diharapkan dapat menjalankan fungsi check and balance di desa, telah dikurangi

perannya. Di desa, berdasarkan Undang-undang ini, tidak mengenal lagi lembaga perwakilan.

Yang ada hanyalah lembaga permusyawaratan desa yang disebut dengan Badan

Permusyawaratan Desa. Pada Pasal 209 Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Badan

Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa,

menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pada Pasal selanjutnya (Pasal 210)

dinyatakan bahwa:

1. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa

bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

2. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa dipilih dari dan oleh anggota Badan

Permusyawaratan Desa.

3. Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah 5 (lima) tahun dan dapat

dipilih untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

4. Syarat dan penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa diatur

dalam Perda yang berpedoman pada pertauran Pemerintah.

Dari sini kemudian berlanjut pada hubungan antara Kepala Desa dengan Badan

Perwakilan Desa. Jika sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah

Page 15: Format baru otonomi daerah

memberikan legitimasi kepada BPD untuk melakukan pengawasan yang penuh terhadap

pelaksanaan pemerintahan seorang Kepala Desa. Kepala Desa, berdasarkan Undang-undang

22 Tahun 1999 bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan

pelaksanaan tugasnya pada Bupati. Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama

sekali tidak memberikan legitimasi untuk itu. Pengaturannya lebih lanjut didasarkan pada

Peraturan Pemerintah.

Beberapa perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah sebagaimana telah disebutkan diatas, hanyalah sebagian kecil dari adanya pergeseran

paradigma otonomi daerah dari yang semula dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999.

Sebenarnya masih banyak perbedaan-perbedaan antara kedua Undang-undang Tentang

Otonomi Daerah tersebut yang memberikan implikasi pergeseran paradigma otonomi itu

sendiri. Kecenderungan yang tersirat adalah adanya keinginan untuk menggiring proses

pelaksanaan otonomi daerah menuju desentralisasi kewenangan.

Namun, di tengah keterbatasan waktu serta tuntutan otonomi yang semakin menguat di

awal era reformasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

telah meletakkan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan prinsip

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan

keanekaragaman daerah. Otonomi daerah dimaknai sebagai pemberian kewenangan yang

luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah serta proporsional yang diwujudkan dengan

pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi.

Page 16: Format baru otonomi daerah

Reformasi Hubungan Fiskal Pusat-Daerah

Sejak tahun anggaran 2001, pemerintah telah menerapkan UU No.25/1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan diberlakukannya UU

tersebut, Indonesia memasuki era baru dalam desentralisasi fiskal (fiscal decentralization).

Dengan demikian telah terjadi perubahan struktural, di mana pada era sebelumnya

pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara sentralistik kemudian berubah menjadi

desentralisasi. Tujuan umum dari perubahan tersebut adalah untuk membentuk dan

membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik lokal yang

semakin efektif dan efisien, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini akan

berwujud dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk

melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam

bentuk transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Secara teoritis, beberapa argument yang dapat dijadikan dasar pemikiran desentralisasi

antara lain dikemukakan oleh Stigler (dalam Vidyattama, 2002:4), yang melihat ada dua

prinsip:

1) Pemerintah sebagai wakil akan bekerja semakin baik apabila ia bekerja semakin dekat

dengan masyarakatnya.

2) Masyarakat harus memiliki hak untuk menentukan jenis dan jumlah fasilitas publik

yang mereka inginkan.

Oleh karena itu, pengambilan keputusan harus dilakukan di tingkat yang paling rendah

dalam pemerintahan seiring dengan tujuan dari efisiensi alokasi. Argumen lain disampaikan

noleh Tiebout (dalam Sidik, 2002:3) yang terkenal dengan ungkapannya “Love it or Leave

it”. Artinya, ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam

pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik, maka hanya ada dua pilihan bagi warga

masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah itu dengan

berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD. Hipotesis tersebut bermakna

bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam

penyediaan barang publik pada tingkat lokal.

Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Artinya, berbicara

desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, di mana

Page 17: Format baru otonomi daerah

kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari kemampuan

menggali dan mengelola keuangannya.

Menurut Sidik (2002:41), tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat

menjamin: (1) Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks

kebijakan ekonomi makro; (2) Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah

(horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (vertical imbalance)

untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan

pemerintah daerah; (3) Dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal,

dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (4) Meningkatkan

akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di

tingkat daerah; (5) Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya

pelayanan yang berkualitas di setiap daerah; dan (6) Menciptakan kesejahteraan sosial (social

welfare) bagi masyarakat.

Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa setiap kewenangan yang

diberikan kepada daerah aharus disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai degan

besarnya kewenangan tersebut. Konsep inilah yang dikenal dengan money follows function

bukan lagi, function follows money. Artinya, pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan

yang dipandang efisien ditangani oleh daerah atau dengan kata lain didelegasikan dari pusat

kepada daerah. Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin sumber keuangan untuk

pendelegasian wewenang tersebut. Hal ini berarti bahwa hubngan keuangan antara pusat

dengan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran

yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan

yang ada.

Terkait dengan pendelegasian wewenang tersebut, dari segi anggaran negara,

desentralisasi memerlukan dana yang cukup besar. Hal ini membawa konsekuensi pada

perubahan peta pengalokasian fiskal yang cukup mendasar, ditandai dengan semakin

besarnya transfer dana dari APBN ke daerah.

Impikasi UU No.33 Tahun 2004

Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah

telah melakukan revisi atas UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU No.33/2004. Menurut UU

No.25/1999 tersebut, sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang sah.

Page 18: Format baru otonomi daerah

PAD terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan

Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan merupakan

pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),

Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil bersumber

dari pajak dan sumber daya alam yang dibagikan kepada daerah berdasarkan presentase

tertentu. Dalam UU No.33/2004, terjadi revisi mengenai dana reboisasi yang semula

termasuk bagian dari DAK, kini menjadi bagian dari DBH. DAK merupakan dana yang

berasal dari APBN dan dialokasikan kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu

membiayai kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Menurut UU tersbeut, pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelengaraan

pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Oleh karenanya,

kepala daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan

pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau

dikenal sebagai dana perimbangan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan

asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat

pemerintahan yang menugaskan.

UU No.33/2004 mengubah pola bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat ke

pemerintah daerah dan berlaku hingga saat ini. Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres

dihapuskan dan diganti dengan DAU, Menurut UU No.33/2004, DAU bertujuan untuk

mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Jumlah

DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam negeri dan akan dibagikan kepada

seluruh propinsi dan kabupaten/kota menurut suatu rumusan. Dalam UU tersebut secara

eksplisit disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni

kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi perekonomian daerah (fiscal capacity).

Kemampuan fiskal yang dimaksud adalah kemampuan anggaran pemerintah yang

bersangkutan dalam membiayai pemerintahannya, meliputi PAD, PPB, Bagi Hasil, PPh orang

pribadi, Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PDRB, potensi SDM.

Sedangkan besarnya kebutuhan daerah (fiscal needs) dilihat dari jumlah penduduknya, luas

wilayah, keadaan geografis, dan tingkat kemakmuran masyarakat dengan memperhatikan

kelompok miskin. Celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan dasar penentuan DAU, adalah

selisih antara fiscal capacity dengan fiscal needs. Dengan kata lain, DAU digunakan untuk

menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari potensi penerimaan

Page 19: Format baru otonomi daerah

daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU akan lebih kecil

kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif besar. Sebaliknya perolehan

DAU yang lebih besar akan diberikan kepada daerah-daerah dengan kemampuan fiskal relatif

kecil. Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya

alam dapat memperoleh DAU yang negatif.

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penurunan kemampuan daerah dalam

membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, selain menggunakan

formula fiscal gap perhitungan DAU juga menggunakan faktor penyeimbang yang terdiri

dari: (a) lumpsum yang bgerasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara

merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung pada kemampuan keuangan negara;

(b) transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji

pegawai masing-masing daerah. Dengan adanya faktor penyeimbang, alokasi DAU kepada

daerah ditentukan dengan perhitungan formula fiscal gap dan faktor penyeimbang.

Dengan begitu, kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa

mendatang pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi bahkan melepaskan

ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat. Perlu dimengerti, karena

tingkat ketergantungan financial tersebut mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat

perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka untuk mengurangi ketergantungan finansial

tersebut pemerintah daerah harus merancang dan menetapkan berbagai skim peningkatan

PAD. Secara umum skim peningkatan PAD meliputi:

1) Intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk pajak atau retribusi.

2) Eksplorasi sumber daya alam/

3) Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah melalui

penggalangan dana atau menbarik investor.

Dari ketiga pilihan kebijakan ini, tampaknya skim menarik investor merupakan pilihan yang

paling bersifat sustainable dan mempunyai multiplier effect yang bermanfaat, yaitu

penciptaan lapangan pekerjaan. Pilihan intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah, baik

secara langsung maupu secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya high cost

economy yang mengarah pada tekanan inflasi, sedangkan pilihan kedua, terutama jika sumber

daya yang tersedia bersifat tak-terbarukan (non-renewable), akan terbentur pada persoalan

keberlanjutan (sustainability).

Page 20: Format baru otonomi daerah

Isu Sentral dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berjalan sejak tahun

anggaran 2001 merupakan proses transformasi menuju terbentuknya keseimbangan, yakni

antara dampak positif dan negatif yang muncul akibat dari proses tersebut. Implikasi positif

yang dapat dikemukakan adalah semakin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan

daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya. Salah satunya adalah terjadinya

perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah

(bottom-up planning), peningkatan peluang sharing kekuatan antara stakeholders dan

pelaksanaan program-program pembangunan yang ternyata memperoleh respons positif,

yakni dalam bentuk meningkatnya kegairahan masyarakat untuk turut berpatisipasi dalam

mensukseskan pelaksanaan program-program pembangunan tersebut.

Beberapa daerah menunjukkan perkembangan perekonomian yang signifikan dengan

pemberlakuan otonomi dan desentralisasi, ditandai dengan perkembangan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB), Income Per Capita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin

membaiknya fungsi intermediasi bank umum. Meskipun secara makro kebijakan

desentralisasi fiskal menunjukkan dampak yang positif, namun secara regional ada sebagian

propinsi justru memperoleh dampak negatif dari kebijakan tersebut. Penurunan atau

peningkatan kinerja perekonomian di masing-masing propinsi akibat desentralisasi fiskal

disebabkan oleh beberapa variabel internal di masing-masing propinsi, seperti potensi fiskal,

variabel sumber daya manusia, ketersediaan modal, infrasturktur ekonomi, potensi sumber

daya alam dan energi, dan tingkat kegiatan ekonomi di daerah tersebut sebelum diberlakukan

kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal.

Selain implikasi positif, masyarakat menilai implementasi otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal tersebut juga mengakibatkan beberapa dampak negatif. Jika ditinjau dari

sisi menimbulkan banyak kebocoran (korupsi) dan tidak mengarah pada alokasi

pembangunan daerah. Jika ada belanja pemerintah, hal itu hanya kepada pengeluaran rutin.

Problem lain yang melekat dalam desentralisasi adalah terbukanya potensi kegaduhan

yang disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk

mengimplementasikan proses desentralisasi. Kegaduhan tersebut bisa dibaca dari dua

fenomena berikut: desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan

spirit otonomi daerah. Kasus di Indonesia memperlihatkan hal itu, di mana desentralisasi

sampai kini bukannya mengurangi watak sentralisasi, tetapi malah menyuburkan tabiat

Page 21: Format baru otonomi daerah

tersebut dalam area-area yang lebih kecil, sehingga penyakit-penyakit semacam korupsi dan

kolusi justru semakin parah. Jika pada masa sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertical

dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak

KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daera)

mengambil bagian yang sama.

Contoh lain yang memprihatinkan, Pemda dengan segala jalan mencoba meningkatkan

penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah,

peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat

memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya. Sebagai contoh, Menteri

Keuangan pada tahun 2003 telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk

mencabut 206 Perda di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sebagian besar Perda-perda

tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi)

sehingga tidak mendukung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk

pajak, retribusi, maupun non-pungutan. Perda yang bermasalah pada level kabupaten pada

tahun 2006 bahkan mencapai 65,63% dari seluruh total Perda yang diproduksi, sedangkan

pada level propinsi dan kota di bawah 22%. Faktor inilah yang menjadi penyebab lesunya

dunia usaha di daerah dalam beberapa tahun terakhir dan bukan semata akibat belum

pulihnya krisis ekonomi. Dengan begitu, Perda-perda “ekonomi” yang men-sabotase geliat

bisnis itu menunjukkan bahwa pemerintah daerah mencoba memungut sebanyak mungkin

uang dari rakyat untuk dimasukkan ke sakunya sendiri. Pada kasus ini tentu saja pemerintah

daerah telah berperan sebagai pencari rente (Rent-Seeker).

Tabel 1

Peraturan Bermasalah Berdasarkan Jenis Pungutan

Keterangan Propinsi Kabupaten Kota Total

Pajak 20 109 55 184

Retribusi 98 712 206 1.016

Non-pungutan 62 68 26 156

Sumbangan Pihak Ketiga 4 16 3 23

Total 184 905 290 1.379

% terhadap total

peraturan

13,34 65,63 21,03 100,00

Sumber: Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 2005

Page 22: Format baru otonomi daerah

Di luar itu, optimism terhadap pilihan otonomi daerah sejatinya dipicu oleh harapan

bahwa strategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan

kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Sentralisasi

manajemen pembangunan yang diterapkan sebelum ini terbukti menimbulkan banyak

penyimpangan akibat panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati, di samping realitas

bahwa sentralisasi selalu berhadapan dengan keterbatasan informasi yang akurat. Tentu saja,

dengan otonomi daerah, anggaran daerah (APBD) menjadi pintu yang paling mungkin bagi

setiap wilayah untuk mendinamisasi kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran

yang tepat. Dengan asumsi kepala daerah tahu persis tentang kondisi wilayahnya, maka detail

pengeluaran anggaran daerah dipastikan akan mengalir menuju kepada sektor atau

masyarakat yang memang sangat membutuhkannya. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata

harapan tersebut tidak mesti sejajar dengan kenyataan di lapangan.

Faktanya, hampir terdapat penyeragaman pola pengeluaran anggaran daerah di setiap

wilayah (propinsi/kabupaten/kota) di Indonesia, di mana konfigurasi pengeluaran anggaran

daerah sebagian besar justru dialokasikan untuk kepentikan Pemda (seperti belanja pegawai

atau fasilitas pejabat), sementara porsi untuk pengeluaran publik sangat rendah. Di Jawa

Timur, misalnya, terdapat sebuah kabupaten yang anggarannya tersita untuk membangun

kantor bupati yang megah, sementara pada saat yang bersamaan sebagian wilayahnya

berkutat dengan masalah kelangkaan air bersih. Contoh lainnya yang memprihatinkan, kepala

daerah di sebuah kabupaten melakukan ikhtiar habis-habisan untuk mengganti mobil

dinasnya dengan alas an agar citra (prestige) kabupaten tersebut dapat terangkat. Dua kasus

tersebut secara telanjang menunjukkan bahwa anggaran daerah Cuma dijadikan instrument

untuk menggemukkan para penyelenggaranya dan bukan sebagai laporan neraca komitmen

pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Akhirnya, tidak heran

apabila dalam banyak kasus negara dirugikan triliunan rupiah akibat praktik tata kelola yang

buruk dari penyelenggara pemerintahan (baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan

BUMN).

Dalam sisi pandang ekonomi, mestinya alokasi anggaran daerah tersebut menjadi

pantulan dari pantulan dari persoalan yang mengemuka di wilayah yang bersangkutan. Jika di

sebuah daerah masalah yang muncul adalah kekeringan hebat dan kelangkaan bahan pangan,

maka wajah anggaran daerah seharusnya berisi neraca pos-pos pengeluaran untuk mengatasi

persoalan tersebut. Tentu saja pos pengeluaran anggaran untuk renovasi kantor kepala daerah,

penggantian mobil dinas, atau studi banding ke luar negeri bukan saja tidak relevan dengan

persoalan riil tersebut, tetapi sekaligus menggambarkan sikap tidak etis pemangku negara.

Page 23: Format baru otonomi daerah

Para penyelenggara pemerintahan seharusnya sadar bahwa anggaran daerah merupakan satu-

satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk memungut uang dari rakyat (dalam

bentuk pajak, retribusi, maupun yang lainnya). Jika anggaran daerah tersebut tidak

dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar, tentu saja kewajiban rakyat untuk

membayar “upeti” (pajak/retrubusi) kepada pemerintah (daerah) menjadi batal. Hal yang

sama juga berlaku untuk bidang perizinan usaha, misalnya, yang mestinya tidak dibebani

dengan biaya yang sangat tinggi di mana ongkos perizinan di Indonesia mencapai lebih dari

130% dari pendapatan/kapita. Tabel 2 menunjukkan indeks korupsi untuk perizinan masih

cukup tinggi, meskipun masih lebih baik daripada partai politik, legislatif, polisi, bea cukai,

peradilan dan pajak.

Tabel 2

Global Corruption Barrometer Indonesia

2005

Instansi/Departemen Indeks/Nilai*

Partai Politik 4,2

Parlemen/Legislatif 4,0

Polisi 4,0

Bea Cukai 4,0

Peradilan 3,8

Pajak 3,8

Registrasi dan Perizinan 3,5

Sektor Bisnis 3,5

Lembaga Pendidikan 3,0

Peralatan 3,0

Militer 2,9

Pelayanan Kesehatan 2,7

Media 2,4

LSM 2,4

Lembaga Keagamaan 2,1

Sumber: Tranparency Interntional Indonesia, 2005

Keterangan: *) Kisaran 1-5 (semakin tinggi nilai semakin korup)

Page 24: Format baru otonomi daerah

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa isu sentral utama dalam pelaksanaan otonomi

daerah adalah misalokasi anggaran, kultur birokrasi yang masih koruptif dan orientasi

pemerintah daerah untuk memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan segala cara.

Salah satu implikasinya adalah banyak Perda yang bertentangan dengan semangat otonomi

daerah.

Di sini yang dibutuhkan adalah aturan-aturan yang member batasan tentang pembuatan

sebuha Perda sehingga tidak mengganggu kepentingan yang lebih luas. Sedangkan untuk

kasus misalokasi anggaran, harus segera disusun sebuah kriteria bagaimana sebuah anggaran

daerah itu mesti dibuat. Misalnya aturan yang member batasan maksimal persentase anggaran

daerah yang boleh digunakan untuk belanja pegawai atau fasilitas pejabat daerah. Atau

sebaliknya, member batas minimal persentase anggaran daerah yang harus dibelanjakan

untuk kepentingan publik. Dengan cara inilah wajah otonomi daerah yang terlanjur kusam

bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih bermartabat.

Page 25: Format baru otonomi daerah

Daftar Pustaka

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Reformasi,

Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Desentralisasi Ekonomi, Pengembangan Kapasitas, dan

Misalokasi Anggaran. Penerbit Bayumedia. Malang

Rahmawati, Farida. 2008. Desentralisasi Fiskal: Konsep, Hambatan dan Prospek.

Penerbit Bayumedia. Malang

Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

www.google.com

Undang-Undang RI No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. www.google.com

Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

www.google.com

Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentantg Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. www.google.com

Page 26: Format baru otonomi daerah

TUGAS PERENCANAAN DAN

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Format Baru Otonomi Daerah:

Menuju Daerah Membangun?

Oleh

Agung Jatmiko

Magister Ekonomika Pembangunan

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Gadjah Mada

2010