formalisme dan strukturalisme

8
Formalisme dan Strukturalisme Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Hubungan karta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme yang telah berhasil memasuki hamper seluruh bidang manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara histories, perkembangangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu; formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandungciri-ciri khas dari tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini tentang karakteristik formalisme, analisis formalisme, prinsip strukturalisme dan kelebihan serta kelemahan dari strukturalisme. Karakteristik Formalisme Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut, a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi. b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi dan psikologi. Dapat dikatakan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjukkan beberapa disiplin ilmu yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat melalui Emmanuel Kant (1724—1808), mulai mempetimbangkann melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu

Upload: panji-aryo

Post on 22-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

formalisme

TRANSCRIPT

Page 1: Formalisme Dan Strukturalisme

Formalisme dan Strukturalisme

Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini

dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian

memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana

dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses

pelaksanaannya. 

Hubungan karta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat

masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap

perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme yang telah berhasil memasuki hamper

seluruh bidang manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia

pada pemahaman secara maksimal. Secara histories, perkembangangan strukturalisme terjadi

melalui dua tahap, yaitu; formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam

perkembangan tersebut juga terkandungciri-ciri khas dari tradisi intelektual yang secara langsung

merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini tentang

karakteristik formalisme, analisis formalisme, prinsip strukturalisme dan kelebihan serta kelemahan

dari strukturalisme.

Karakteristik Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling

sedikit tiga faktor, sebagai berikut,

a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang

memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi

biografi.

b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma

diakronis ke sinkronis

c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan

karya sastra dengan sejarah, sosiologi dan psikologi.

Dapat dikatakan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjukkan

beberapa disiplin ilmu yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat

melalui Emmanuel Kant (1724—1808), mulai mempetimbangkann melalui aliran kritisisme, Kant

memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas

objetivitas dan keniscayaan pengertian, di pihak lain juga menerima pengertian bertolak dari gejala-

Page 2: Formalisme Dan Strukturalisme

gejala. 

Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikianjuga menolak karya

sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan

isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahamidalam kaitannya

dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk

memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai system komunikasi berbeda dengan bahasa

sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme

menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologi formalisme berasal dari

Forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-

kata formal, bukan isioleh karena itulah cara kerjanya disebut metode formal.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut

“kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi

perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan

yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern . Victor Shklovsky,

Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di

dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra

kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an. 

Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana sastra dipelajari, melainkan

lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra

itu sendiri. Metode formal yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi

strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak

teks juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan caramemaksimalkan konsep fungsi,

sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang teorganisirkan. 

Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu

karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya.

Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin

berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung¬―pada hubungan dan karespondensi

yang tidak terbatas―yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan

perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal

biografi dan psikologi (pengarang)―yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks.

Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan,

sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka,

fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai

Page 3: Formalisme Dan Strukturalisme

fenomena sosial yang terbentuk sendiri 

Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya:

kesastraan bentuk dan isi, fabula dan sjuzet , otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan

merupakan cirri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada

perbedaan secara intrinsic antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara

mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka

bahasa sastra akan berbeda dengan bahsa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa

sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraan yang membuat karya tertentu sebagai

karya sastra.

Prinsip Strukturalisme

Secara etimologis struktur berasal dari kaa structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau

bangunan. Asal mula kata strukturalisme, seperti yang dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam

Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedy, lebih khusus lagu dalam pembicaraannya

mengenai plot. Konsep plot harus memiliki cirri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan,

dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 12—134). Perubahan pardigma yang mendasar baru terjadi dua puluh

lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan perioritas terhadap karya sastra itu sendiri.

Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915—1930), strukturalisme Prahara (1940-

an), dan sekitar 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis,

strukturalisme Inggris, gerakan otonomi Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di

Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an)

Strukturalisme sebagaimana yang mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama

metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak lain

metode berarti prosedur ilmiyah yang relative baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas

dengan mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu, Robert Scholes (1977) menjelaskan

keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berpikir,

sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam

perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalismedisempuranakan kembali

dalam strukturalisme genetic, resepsi, interteks dan akhirnya pasca strukturalisme, khususnya dalam

dekonstruksi.

Dalam menjelaskan bahasa, Saussure mengemukakan bahwa bahasa bukanlah tumpukan kata yang

berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri

atas penanda dan petanda dan tanda-tanda lampu lalulintas. Meskipun demikian, dalam

Page 4: Formalisme Dan Strukturalisme

kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha,

dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya di asosiasikan dengan pemikiran

Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar di hubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian

juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucalut, Gerar Genette. Sebagian besar mereka memasuki

era baru dalam teori postrukturalis.

Secara definitive strukturalisme adalah paham menegnai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri,

dengan mekanisme antar hubungannya, di suatu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan yang

lainnya, di pihak yang lainhubungan antara unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak

semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif,

seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan denga system. Dengan demikian

struktur menunjukkan pada kata benda, sedangkan system menunjuk pada kata kerja. Pengertian-

pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjukkan unsur-insur yang membentuk totalitas

pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan system. Artinya, cara kerja sebagaimana

ditunjukkan mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat

lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur hanyalah agregasi.

Perkembangan ilmu pengetatahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi dalam sebab

akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang

mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang

memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek,

dengan konsekuensi menolak, bahkan mematikan konsep pencipta. Oleh karena itulah,

strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari

sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Analisis Formalisme

Analisis formalis, lebih menekankan pada hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Fokus

analisis adalah pada efek-efek estetika yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana

kesastraan dibedakan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis

dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia ke dalam bentuk khusus. Misalnya pada contoh

dibawah ini:

Narasi Dua Puisi Air, si “Tukang Air”.

Dua puisi Eka Budianta yang berjudul Hanya Untuk Sungai dan Hidup Seribu Sungai, dalam

kumpulan puisinya yang berjudul “Masih Bersama Langit”, merupakan dua puisi yang saling

berkaitan. Dan apabila puisi itu dijadikan satu maka akan membentuk satu naratif yang menceritakan

Page 5: Formalisme Dan Strukturalisme

perjalanan air dari sungai sampai kemudian mereka menjadi satu di laut.

Simak puisi pertama si ‘tukang air’ ini, yang berjudul Hanya Untuk Sungai;

Tiba-tiba sungai itu teringat laut// sungai mana tak boleh pergi ke laut// sungai mana dilarang

mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah// alam pun pucat

menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//

Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi

kota/ ketika lampu-lampu terjaga// dan penyair menyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila

sungai tak mencapai lautnya//

Sebelum masuk dalam ranah lebih luas lagi, karena ini merupakan analisis formalis, maka kami akan

mencari satu hal yang mendominasi puisi ini. Dia adalah sungai dan kemudian saya persepsikan

sungai sebagai air, menggingat sungai masih sangat luas.

Dalam penelitian Formalisme, penekanan penelitiannya hanya dalam cerita (fabula), alur (sjuzet), dan

motif (Fokkem & Kunne-Ibsch via Endraswara, 2004: 48). Jika diteliti menurut kacamata seorang

formalis, puisi diatas juga mengandung unsur-unsur yang dikatakan oleh Fokkem dan Kunne-Ibsch.

Perjalanan ‘Air’ berawal ketika dirinya teringat tentang laut, saat dia masih di sungai. Seperti satu

kalimat pembuka dalam puisinya itu, “Tiba-tiba sungai itu teringat laut”. Namun, perjalanan air itu

harus mengalami beberapa kendala, dalam hal ini si Tukang Air maksud saya penyair,

menggambarkan kendala-kendala yang harus dihadapi air untuk sampai laut. Dan hambatan ini,

karena ulah manusia. Dalam kodratnya, air dimuka bumi ini harusnya mengalami sebuah siklus

hidrologi, dimana mereka akan menjadi uap, awan, kemudian hujan yang turun kebumi dan

ditampung tanah serta sungai, lalu kemudian mengalir ke lautan bebas untuk kembali menjadi uap.

Dalam puisi itu, air tidak bisa mengalir ke laut karena manusia telah membikin waduk-waduk,

membuat pabrik dengan mengeringkan sungai, mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di

sungai, sehingga sungai-sungai tidak bisa menjadi ‘jalan’ air ke lautan lepas. Hal ini kemudian

mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam, sebagai akibat terganggunya siklus mereka.

Hal itu seperti dalam kalimat; sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/

membanjiri rumah-rumah mewah//. Mungkin karena siklus dari Tuhan ini diputus dan dirusak

manusia, maka kemudian Tuhan marah, seperti yang tersirat dalam kalimat ini, alam pun pucat

menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//. Akibatnya Tuhan mengirimkan bencana bagi umat

manusia secara bertubi-tubi.

Sebagai tukang air, penyair sepertinya merasa berdosa atas kerusakan yang dia dan manusia

timbulkan terhadap keberadaan air di sungai. Si penyair kemudian menulis, Hanya untuk sungai

kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-

Page 6: Formalisme Dan Strukturalisme

lampu terjaga. Dan si tukang air ini merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan semuanya

seperti sedia kala, karena dia juga seorang penyair, maka ia akan menulis puisi yang bisa menyentuh

moral pembaca. Dan penyair menbyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai

lautnya//

Puisi kedua berjudul Hidup Seribu Sungai, yang berada di lain halaman ternyata memiliki kesamaan

alur, sehingga dapat dipastikan puisi itu merupakan lanjutan dari puisi si ‘tukang air’ yang pertama.

Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau

jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—

Mungkin sudah digariskan/ aku mesti menyusuri hidup sendiri/ meskipun mungkin/ hanya mungkin

kita akan berkumpul di laut//

Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ kamu tak akan mengenaliku/ begitu banyak rahasia/

begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu//

Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk

sungai-sungai lain yang kucintai//

Dalam puisinya yang kedua ini, penyair kembali menceritakan perjalanan air dari sungai ke laut,

namun dari sudut pandang berbeda. Jika di puisi pertamanya si tukang air menceritakan duka air

yang terjebak di sungai tidak bisa kembali ke laut, untuk meneruskan ceritanya. Lantas, dalam

puisinya yang kedua ini, penyair ingin menggambarkan penyesalan dan penyesalan semua orang

yang telah melupakan keberadaan air di sungai.

Sayangnya penyesalan penyair datang terlambat, air yang dijumpainya dulu sangat jernih dan selalu

bergemericik di sela-sela bebatuan gunung. Kini penyair hanya menjumpai air yang semakin keruh,

bercampur limbah-limbah pabrik, dan hampir dia tak mengenalinya, seperti yang ditulis penyair,

Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat

keruh dan—aku tak mengenalimu—

Telah banyak perubahan dan kesedihan yang dialami air, ketika harus melakukan siklus perjalanan

dari sungai ke laut. Dan ironisnya, perubahan itu disebabkan oleh kita selaku manusia, lebih ironis

lagi, perbuatan-perbuatan kita terhadap alam khususnya air seringkali tidak bersifat konservatif

melainkan eksploitatif. Begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam

mimpimu.

Sebagai penyair, manusia, dan tukang air—Eka Budianta—tak ingin lepas tanggung jawab mengenai

masalah ini. Lewat Yayasan Sahabat Aqua, Eka Budianta ingin memobilisasi kesadaran publik agar

secara kolektik melakukan kegiatan positif untuk air. Dan inilah tantangan seorang penyair

bagaimana menemukan kata-kata untuk menggerakkan kesadaran manusia, dengan cara berfikir

Page 7: Formalisme Dan Strukturalisme

jernih dan lancar seperti air. Seperti bait penutup dalam puisi keduanya; Mungkin aku tidak akan

pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang

kucintai.

Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana

yang dianggap sebagai perkembangan formalisme. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai

penyempurna strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsic,

yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula

dikemukakan oleh Mukarovsky dan felik Vodicka (Fokkema, 1977:31). Menurutnya karya sastra

adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur dan nilai-nilai. Karya seni

adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah karya seni

harus dikembalikan pada kompetensi menulis.

Strukturalisme memberikan perhatian terhadapa analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra,

baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsure yang berbeda.

Disamping sebagai abibat cirri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsure juga terjadi sebagai akibat

perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki

cirri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Meskipun deikianperlu dikemukakan

unsure-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: tema, peristiwa atau kejadian,

latar, penokohan atau perwatakan, plot, sudut pandang.

Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak

mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikmeukakan oleh para penemunya. Teoripun

dapat ditafsirkan sesuai dengan kemempuan peneliti. Teori memiliki funsi statis sekaligus dinamis.

Aspek pastinya adalah dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang

lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan,

dan totalilasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sudah dikaitkan

dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berkembang secara terus menerus, sehingga penelitian

yang stu berbeda dengan penelitian yang lain.

Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori atau metode, cirri-ciri yang cukup menonjol

adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka

strukturalisme, di mana perlu adanya suatu keteraturan,suatu pusat yang pada gilirannya akan

melahirkan saluran komunikasi, kerangka dan model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus

sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya dalam

Page 8: Formalisme Dan Strukturalisme

kerangka analisis sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak

diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus

dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.