formalisme dan strukturalisme
DESCRIPTION
formalismeTRANSCRIPT
Formalisme dan Strukturalisme
Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini
dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian
memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana
dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses
pelaksanaannya.
Hubungan karta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat
masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap
perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme yang telah berhasil memasuki hamper
seluruh bidang manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia
pada pemahaman secara maksimal. Secara histories, perkembangangan strukturalisme terjadi
melalui dua tahap, yaitu; formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam
perkembangan tersebut juga terkandungciri-ciri khas dari tradisi intelektual yang secara langsung
merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini tentang
karakteristik formalisme, analisis formalisme, prinsip strukturalisme dan kelebihan serta kelemahan
dari strukturalisme.
Karakteristik Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling
sedikit tiga faktor, sebagai berikut,
a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang
memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi
biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma
diakronis ke sinkronis
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan
karya sastra dengan sejarah, sosiologi dan psikologi.
Dapat dikatakan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjukkan
beberapa disiplin ilmu yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat
melalui Emmanuel Kant (1724—1808), mulai mempetimbangkann melalui aliran kritisisme, Kant
memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas
objetivitas dan keniscayaan pengertian, di pihak lain juga menerima pengertian bertolak dari gejala-
gejala.
Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikianjuga menolak karya
sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan
isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahamidalam kaitannya
dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk
memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai system komunikasi berbeda dengan bahasa
sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme
menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologi formalisme berasal dari
Forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-
kata formal, bukan isioleh karena itulah cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut
“kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi
perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan
yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern . Victor Shklovsky,
Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di
dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra
kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana sastra dipelajari, melainkan
lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra
itu sendiri. Metode formal yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi
strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak
teks juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan caramemaksimalkan konsep fungsi,
sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang teorganisirkan.
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu
karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya.
Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin
berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung¬―pada hubungan dan karespondensi
yang tidak terbatas―yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan
perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal
biografi dan psikologi (pengarang)―yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks.
Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan,
sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka,
fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai
fenomena sosial yang terbentuk sendiri
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya:
kesastraan bentuk dan isi, fabula dan sjuzet , otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan
merupakan cirri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada
perbedaan secara intrinsic antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara
mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka
bahasa sastra akan berbeda dengan bahsa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa
sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraan yang membuat karya tertentu sebagai
karya sastra.
Prinsip Strukturalisme
Secara etimologis struktur berasal dari kaa structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau
bangunan. Asal mula kata strukturalisme, seperti yang dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam
Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedy, lebih khusus lagu dalam pembicaraannya
mengenai plot. Konsep plot harus memiliki cirri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan,
dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 12—134). Perubahan pardigma yang mendasar baru terjadi dua puluh
lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan perioritas terhadap karya sastra itu sendiri.
Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915—1930), strukturalisme Prahara (1940-
an), dan sekitar 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis,
strukturalisme Inggris, gerakan otonomi Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di
Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an)
Strukturalisme sebagaimana yang mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama
metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak lain
metode berarti prosedur ilmiyah yang relative baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas
dengan mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu, Robert Scholes (1977) menjelaskan
keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berpikir,
sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalismedisempuranakan kembali
dalam strukturalisme genetic, resepsi, interteks dan akhirnya pasca strukturalisme, khususnya dalam
dekonstruksi.
Dalam menjelaskan bahasa, Saussure mengemukakan bahwa bahasa bukanlah tumpukan kata yang
berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri
atas penanda dan petanda dan tanda-tanda lampu lalulintas. Meskipun demikian, dalam
kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha,
dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya di asosiasikan dengan pemikiran
Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar di hubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian
juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucalut, Gerar Genette. Sebagian besar mereka memasuki
era baru dalam teori postrukturalis.
Secara definitive strukturalisme adalah paham menegnai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri,
dengan mekanisme antar hubungannya, di suatu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan yang
lainnya, di pihak yang lainhubungan antara unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak
semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif,
seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan denga system. Dengan demikian
struktur menunjukkan pada kata benda, sedangkan system menunjuk pada kata kerja. Pengertian-
pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjukkan unsur-insur yang membentuk totalitas
pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan system. Artinya, cara kerja sebagaimana
ditunjukkan mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat
lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur hanyalah agregasi.
Perkembangan ilmu pengetatahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi dalam sebab
akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang
memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek,
dengan konsekuensi menolak, bahkan mematikan konsep pencipta. Oleh karena itulah,
strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari
sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.
Analisis Formalisme
Analisis formalis, lebih menekankan pada hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Fokus
analisis adalah pada efek-efek estetika yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana
kesastraan dibedakan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis
dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia ke dalam bentuk khusus. Misalnya pada contoh
dibawah ini:
Narasi Dua Puisi Air, si “Tukang Air”.
Dua puisi Eka Budianta yang berjudul Hanya Untuk Sungai dan Hidup Seribu Sungai, dalam
kumpulan puisinya yang berjudul “Masih Bersama Langit”, merupakan dua puisi yang saling
berkaitan. Dan apabila puisi itu dijadikan satu maka akan membentuk satu naratif yang menceritakan
perjalanan air dari sungai sampai kemudian mereka menjadi satu di laut.
Simak puisi pertama si ‘tukang air’ ini, yang berjudul Hanya Untuk Sungai;
Tiba-tiba sungai itu teringat laut// sungai mana tak boleh pergi ke laut// sungai mana dilarang
mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah// alam pun pucat
menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//
Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi
kota/ ketika lampu-lampu terjaga// dan penyair menyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila
sungai tak mencapai lautnya//
Sebelum masuk dalam ranah lebih luas lagi, karena ini merupakan analisis formalis, maka kami akan
mencari satu hal yang mendominasi puisi ini. Dia adalah sungai dan kemudian saya persepsikan
sungai sebagai air, menggingat sungai masih sangat luas.
Dalam penelitian Formalisme, penekanan penelitiannya hanya dalam cerita (fabula), alur (sjuzet), dan
motif (Fokkem & Kunne-Ibsch via Endraswara, 2004: 48). Jika diteliti menurut kacamata seorang
formalis, puisi diatas juga mengandung unsur-unsur yang dikatakan oleh Fokkem dan Kunne-Ibsch.
Perjalanan ‘Air’ berawal ketika dirinya teringat tentang laut, saat dia masih di sungai. Seperti satu
kalimat pembuka dalam puisinya itu, “Tiba-tiba sungai itu teringat laut”. Namun, perjalanan air itu
harus mengalami beberapa kendala, dalam hal ini si Tukang Air maksud saya penyair,
menggambarkan kendala-kendala yang harus dihadapi air untuk sampai laut. Dan hambatan ini,
karena ulah manusia. Dalam kodratnya, air dimuka bumi ini harusnya mengalami sebuah siklus
hidrologi, dimana mereka akan menjadi uap, awan, kemudian hujan yang turun kebumi dan
ditampung tanah serta sungai, lalu kemudian mengalir ke lautan bebas untuk kembali menjadi uap.
Dalam puisi itu, air tidak bisa mengalir ke laut karena manusia telah membikin waduk-waduk,
membuat pabrik dengan mengeringkan sungai, mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di
sungai, sehingga sungai-sungai tidak bisa menjadi ‘jalan’ air ke lautan lepas. Hal ini kemudian
mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam, sebagai akibat terganggunya siklus mereka.
Hal itu seperti dalam kalimat; sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/
membanjiri rumah-rumah mewah//. Mungkin karena siklus dari Tuhan ini diputus dan dirusak
manusia, maka kemudian Tuhan marah, seperti yang tersirat dalam kalimat ini, alam pun pucat
menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//. Akibatnya Tuhan mengirimkan bencana bagi umat
manusia secara bertubi-tubi.
Sebagai tukang air, penyair sepertinya merasa berdosa atas kerusakan yang dia dan manusia
timbulkan terhadap keberadaan air di sungai. Si penyair kemudian menulis, Hanya untuk sungai
kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-
lampu terjaga. Dan si tukang air ini merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan semuanya
seperti sedia kala, karena dia juga seorang penyair, maka ia akan menulis puisi yang bisa menyentuh
moral pembaca. Dan penyair menbyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai
lautnya//
Puisi kedua berjudul Hidup Seribu Sungai, yang berada di lain halaman ternyata memiliki kesamaan
alur, sehingga dapat dipastikan puisi itu merupakan lanjutan dari puisi si ‘tukang air’ yang pertama.
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau
jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Mungkin sudah digariskan/ aku mesti menyusuri hidup sendiri/ meskipun mungkin/ hanya mungkin
kita akan berkumpul di laut//
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ kamu tak akan mengenaliku/ begitu banyak rahasia/
begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu//
Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk
sungai-sungai lain yang kucintai//
Dalam puisinya yang kedua ini, penyair kembali menceritakan perjalanan air dari sungai ke laut,
namun dari sudut pandang berbeda. Jika di puisi pertamanya si tukang air menceritakan duka air
yang terjebak di sungai tidak bisa kembali ke laut, untuk meneruskan ceritanya. Lantas, dalam
puisinya yang kedua ini, penyair ingin menggambarkan penyesalan dan penyesalan semua orang
yang telah melupakan keberadaan air di sungai.
Sayangnya penyesalan penyair datang terlambat, air yang dijumpainya dulu sangat jernih dan selalu
bergemericik di sela-sela bebatuan gunung. Kini penyair hanya menjumpai air yang semakin keruh,
bercampur limbah-limbah pabrik, dan hampir dia tak mengenalinya, seperti yang ditulis penyair,
Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat
keruh dan—aku tak mengenalimu—
Telah banyak perubahan dan kesedihan yang dialami air, ketika harus melakukan siklus perjalanan
dari sungai ke laut. Dan ironisnya, perubahan itu disebabkan oleh kita selaku manusia, lebih ironis
lagi, perbuatan-perbuatan kita terhadap alam khususnya air seringkali tidak bersifat konservatif
melainkan eksploitatif. Begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam
mimpimu.
Sebagai penyair, manusia, dan tukang air—Eka Budianta—tak ingin lepas tanggung jawab mengenai
masalah ini. Lewat Yayasan Sahabat Aqua, Eka Budianta ingin memobilisasi kesadaran publik agar
secara kolektik melakukan kegiatan positif untuk air. Dan inilah tantangan seorang penyair
bagaimana menemukan kata-kata untuk menggerakkan kesadaran manusia, dengan cara berfikir
jernih dan lancar seperti air. Seperti bait penutup dalam puisi keduanya; Mungkin aku tidak akan
pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang
kucintai.
Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana
yang dianggap sebagai perkembangan formalisme. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai
penyempurna strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsic,
yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula
dikemukakan oleh Mukarovsky dan felik Vodicka (Fokkema, 1977:31). Menurutnya karya sastra
adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur dan nilai-nilai. Karya seni
adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah karya seni
harus dikembalikan pada kompetensi menulis.
Strukturalisme memberikan perhatian terhadapa analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra,
baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsure yang berbeda.
Disamping sebagai abibat cirri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsure juga terjadi sebagai akibat
perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki
cirri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Meskipun deikianperlu dikemukakan
unsure-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: tema, peristiwa atau kejadian,
latar, penokohan atau perwatakan, plot, sudut pandang.
Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak
mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikmeukakan oleh para penemunya. Teoripun
dapat ditafsirkan sesuai dengan kemempuan peneliti. Teori memiliki funsi statis sekaligus dinamis.
Aspek pastinya adalah dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang
lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan,
dan totalilasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sudah dikaitkan
dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berkembang secara terus menerus, sehingga penelitian
yang stu berbeda dengan penelitian yang lain.
Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori atau metode, cirri-ciri yang cukup menonjol
adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka
strukturalisme, di mana perlu adanya suatu keteraturan,suatu pusat yang pada gilirannya akan
melahirkan saluran komunikasi, kerangka dan model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus
sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya dalam
kerangka analisis sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak
diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus
dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.