food addiction sebagai salah satu faktor …
TRANSCRIPT
DIVISI ADIKSI
FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA OBESITAS
DAN PENATALAKSANAANYA
PENULIS:
Dr. LUH NYOMAN ALIT ARYANI, SpKJ(K)
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Batasan Pembahasan ..................................................................................... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ...................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Definisi Food Addiction ................................................................................ 4
2.2 Epidemiologi Food Addiction (FA) .............................................................. 5
2.3 Kriteria Diagnosis Food addiction ................................................................ 7
2.4 Patofisiologi Food addiction ....................................................................... 11
2.5 Jenis-Jenis Food Addiction .......................................................................... 17
2.6 Skrining Food Addiction ............................................................................. 19
2.7 Penatalakanaan Food Addiction .................................................................. 21
BAB III RINGKASAN ......................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sistem Homeostasis Asupan Makanan di Otak . ................................. 12
Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi
lainnya . ................................................................................................................. 15
Gambar 3 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar. ............................................ 23
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar ............................................... 22
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adiksi makanan atau food addiction (FA) dalam kurun waktu 10 tahun
belakangan ini semakin banyak kasusnya, namun sedikit literatur yang ditemukan
untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya food addiction ini dapat terjadi dan apa
saja dampak buruknya.
Satu dekade belakangan ini food addiction menjadi topik yang banyak
dibahas oleh pakar ilmiah, dimana telah dihipotesiskan bahwa seseorang dapat
saja mengalami adiksi terhadap makanan tertentu. Pada studi binatang
diperlihatkan bahwa mengkonsumsi makanan yang tinggi gula, tinggi lemak
(seperti kue keju), diasosiasikan dengan perubahan neurobiologi dari sistem
reward di otak, seperti menurunnya regulasi reseptor dopamin dan merupakan
indikator dari adiksi yang mengakibatkan peningkatan motivasi, withdrawl, dan
toleransi (Schulte et al, 2016).
Obesitas adalah salah satu efek buruk yang diakibatkan oleh food
addiction ini. Meningkatnya kasus food addiction ini, meningkat pula kasus
obesitas di masyarakat. Jika seseorang mengalami obesitas, mereka akan berisiko
tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular seperti mengalami penyakit
jantung, hipertensi dan diabetes militus. Selain itu dengan obesitas fungsi aktifitas
sehari-hari juga akan terganggu (seperti tidak dapat berlari dan berjalan selincah
2
orang yang non obesitas) dan kurang percaya diri karena memiliki badan yang
tidak proposional.
Angka prevalensi obesitas di Amerika terus meningkat jumlahnya, dimana
lebih dari 85% orang dewasa diramalkan akan memiliki berat badan berlebih
(overweight) dan obesitas pada tahun 2030. Biaya kesehatan yang dianggarkan
juga diprediksi akan meningkat dari 10% menjadi 15% untuk 15 tahun kedepan
dalam mengatasi masalah obesitas ini. Sangat jarang yang dapat sukses mengatasi
masalah penambahan berat badan ini. Salah satu faktor yang berperan penting
untuk mengatasi masalah ini adalah bagaimana mengetahui makanan tertentu
dapat menstimulasi adiksi pada seseorang yang menyebabkan overeating (Schulte
et al, 2015).
Food addiction akan dibahas dalam referat ini untuk mengenali bagaimana
dapat terjadi sehingga efek buruk seperti obesitas ini dapat dicegah. Banyak orang
akhirnya membeli obat pelangsing, namun setelah berhenti minum obat kembali
lagi mengalami perilaku makan yang banyak dan akhirnya terjadi lagi
peningkatan berat badan.
Penyakit adiksi ini adalah penyakit modern yang secara langsung ataupun
tidak langsung mempengaruhi semua fase dari siklus kehidupan seseorang. Sama
halnya dengan adiksi alkohol dan rokok yang merupakan bentuk tertua dari
penyalahgunaan zat yang menjadi masalah besar pada orang muda. Food
addiction adalah adiksi yang sulit untuk ditegakkan dan diperlukan banyak studi
untuk menghadapi masalah ini (Dimitrijevic et al, 2014).
3
Sangat diperlukan bagaimana mengenali secara awal orang yang
mengalami food addiction sehingga obesitas yang akan terjadi dapat dicegah
sedini mungkin. Referat ini akan membahas tentang food addiction sebagai faktor
risiko obesitas dan akan mengulas sedikit tentang bagaimana cara mengatasinya.
1.2 Batasan Pembahasan
Tinjauan pustaka ini akan membahas bagaimana food addiction sebagai
faktor risiko terjadinya obesitas, makanan apa saja yang menyebabkan terjadinya
food addiction dan bagaimana penanganannya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas proses terjadinya food
addiction dan bagaimana dapat menyebabkan terjadinya obesitas. Akan diuraikan
juga tentang pengukuran food addiction dengan kuisioner serta cara-cara
mengatasi terjadinya food addiction. Dengan mengetahui proses terjadinya food
addiction diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi pasien yang mengalami
food addiction yang ditemukan pada saat praktik dilapangan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Food Addiction
Sekitar tahun 1956 yang lalu, Randolph adalah orang yang pertama kali
memperkenalkan istilah food addiction (food addiction) sebagai adaptasi yang
spesifik kepada satu atau lebih mengkonsumsi makanan dengan gejala yang sama
pada proses adiksi zat lainnya. Adapun food addiction pada waktu itu yang
banyak ditemukan adalah berupa adiksi mengkonsumsi jagung, susu, telur dan
kentang (Hebebrand et al, 2014).
Belakangan ini banyak studi kualitatif yang dilakukan oleh Pretlow (2011)
mengindikasikan ada 3 gejala food addiction pada anak :
Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang besar selama periode
waktu yang panjang
Ketidak berhasilan dalam mencoba untuk berhenti atau mengurangi
jumlah makanan yang dikonsumsi
Terus mengkonsumsi makanan walaupun mengetahui efek negatif dari
makanan tersebut.
Dalam studi yang sama, 77% dari anak makan dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan sebelumnya dan saat mereka ditanya kenapa?, 15% dari
mereka menjawah lebih puas jika makan dengan porsi saat ini.
5
Penelitian Gearthardt et al (2011) dengan memakai (Yale Food Addiction
Scale) YFAS menunjukkan gejala yang paling sering ada pada orang dewasa yang
mengalami food addiction adalah :
Keinginan yang menetap atau gagal untuk mengurangi jumlah
makanan yang dikonsumsi.
Terus mengkonsumsi makanan walaupun mengetahui efek negatifnya
Memerlukan banyak waktu untuk mencoba mengurangi jumlah
makanan yang dikonsumsi.
Penelitian terakhir, gejala ini tampak pada orang yang obesitas yang
memiliki kebiasaan makan berlebih (Dimitrijevic, 2014).
Obesitas adalah salah satu efek samping karena food addiction.
Didapatkan 40% orang yang mengalami food addiction menunjukkan obesitas dan
ini mengindikasikan adanya hubungan yang sanga erat antara kebiasaan makan
dan penambahan berat badan (Lerma et al, 2016). Dengan mengetahui food
addiction ini bisa mencegah terjadinya ketergantungan yang dapat digunakan
sebagai strategi pencegahan obesitas (Lerma et al, 2016 & Hebebrand et al, 2014).
2.2 Epidemiologi Food Addiction (FA)
Epidemiologi food addiction ini secara pasti belum ada data yang
menunjang karena masih sedikit penelitian tentang food addiction ini. Dari 23
studi tentang food addiction didapatkan angka prevalensi pada masyarakat umum
antara 5,4%-56,8% yang mengalami food addiction sedangkan pada orang yang
obesitas didapatkan sebesar 24,9% yang mengalami food addiction (Pursey et al,
6
2014). Data ini menunjukkan bahwa food addiction meningkat pada orang
obesitas.
Prevalensi obesitas berdasarkan perhitungan WHO didapatkan 600 juta
jiwa diseluruh dunia dan ini diperkirakan akan meningkat terus jumlahnya jika
tidak segera ditangani (Lerma et al, 2016). Di Amerika terdapat 1 dari 3 orang
dewasa mengalami obesitas dan 1 dari 5 dari anak anak mengami obesitas
(Ziauddeen et al, 2015). Dari seluruh penderita obesitas didapatkan sekitar 36,9%
pria dan 38% wanita. Data ini secara signifikan meningkatkan risiko kondisi
kronis yang berhubungan dengan obesitas seperti penyakit kardiovaskular dan
diabetes militus tipe 2 yang akan berdampak pada penurunan kualitas hidup
(Pursey et al, 2014).
Banyak studi menyebutkan bahwa food addiction berperan terhadap
munculnya obesitas (Lerma et al, 2014 & Schulte et al, 2016). Salah satu
contohnya terjadi pada orang dewasa di Australia dan Amerika 86% dilaporkan
adiksi terhadap makanan tertentu, terutama yang terdiri dari makanan dengan
kadar gula yang tinggi dan 80% mereka percaya bahwa makanan tersebut menjadi
adiksi sama seperti zat alkohol, rokok dan kokain. Sebanyak 72% dari mereka
menyetujui bahwa adiksi makanan ini adalah sebagai penyebab obesitas (Schulte
et al, 2016).
Obesitas tidak diakibatkan hanya oleh faktor genetik saja, tetapi banyak
diperkirakan adanya peranan faktor lingkungan seperti kebiasaan makan makanan
lezat (palatable food) yang berisiko menyebabkan food addiction (seperti
makanan tinggi gula, lemak dan garam). Prevalensi obesitas yang tinggi ini
7
menjadikan banyak perhatian para peneliti diakhir dekade belakangan ini untuk
mencari faktor yang menyebabkan terjadinya food addiction ini dan efek
psikologis pada peningkatan berat badan (Hebebrand et al, 2014).
2.3 Kriteria Diagnosis Food addiction
Kriteria diagnosis gangguan berkaitan dengan zat dan gangguan adiksi
berdasarkan DSM 5 dan APA 2013 dibagi menjadi dua, yaitu gangguan yang
berkaitan dengan zat itu sendiri dan gangguan yang berkaitan dengan non-zat
seperti gangguan berjudi, adiksi game internet, adiksi sex atau adiksi belanja.
Untuk food addiction itu sendiri merupakan kelompok yang termasuk dalam
gangguan adiksi yang berkaitan dengan zat (Hebebrand et al, 2014).
Adapun kriteria adiksi penyalahgunaan zat secara umum berdasarkan pada
DSM 5 adalah sebagai berikut (APA, 2013) :
Kelompok pertama (kriteria nomor 1-4) adiksi zat ini menunjukkan
adanya gangguan kontrol perilaku terhadap zat itu sendiri yang berupa :
1. Seseorang yang mengkonsumsi zat tertentu dalam jumlah besar atau dalam
periode yang lama yang intens.
2. Keinginan yang menetap untuk menghentikan penggunaan zat tersebut tetapi
sering gagal.
3. Memerlukan waktu dan kesempatan yang tepat untuk mendapatkan,
mengkonsumsi zat dan pulih kembali dari efek zat tersebut.
4. Craving adalah manifestasi sebagai keinginan untuk menggunakan zat
tersebut yang dapat terjadi kapan saja.
8
Kelompok kedua (Kriteria nomor 5-7) menandakan adanya gangguan
kehidupan sosial pada individu yang menggunakan zat tersebut yang berupa :
5. Penggunaan zat menyebabkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas sekolah,
pekerjaan, atau rumah.
6. Adanya masalah sosial atau interpersonal yang menetap akibat dari pemakaian
zat tersebut
7. Berkurangnya aktifitas rekreasi, pekerjaan akibat penggunaan zat tersebut.
Kelompok ketiga (nomor 8-9) disertai adanya kriteria risiko penggunaan
terhadap zat tersebut yang berupa :
8. Akan mengalami bahaya jika digunakan secara terus menerus
9. Individu terus menerus mengkonsumsi zat tersebut walaupun zat tersebut
menimbulkan masalah fisik dan mental.
Kriteria kelompok terakhir menunjukkan adanya efek farmakologi zat itu
sendiri dalam tubuh (kriteria nomor 10 dan 11) yang berupa :
10. Adanya gejala toleransi yang ditandai dengan peningkatan jumlah dari
kebutuhan zat tersebut untuk menimbulkan efek yang sama dan berkurangnya
efek yang ditimbulkan jika menggunakan dosis yang sama.
11. Adanya gejala putus zat (withdrawl)
Adiksi zat adalah kelompok dari gejala kognitif, perilaku dan psikologis
yang diasosiasikan dengan penggunaan berkelanjutan terhadap zat tersebut
walaupun zat tersebut mengakibatkan masalah yang berat. Untuk mendiagnosis
gangguan akibat penggunaan zat pada food addiction, diperlukan minimal 3 gejala
berikut :
9
1. Toleransi
Penelitian dilaboratrium dengan menggunakan tikus menunjukkan
adanya toleransi terhadap makanan, akan tetapi studi dari manusia masih
sedikit, mungkin karena kesukaran metodelogi. Braun et al menyatakan
dalam penelitiannya bahwa food addiction menunjukkan meningkatnya
jumlah dan frekuensi makanan. Mereka mengeluarkan banyak waktu
untuk makan dan tidak bisa mengontrol perilaku untuk makan.
2. Gejala putus zat (withdrawl)
Studi pada binatang menunjukkan bahwa gejala putus zat dapat terjadi
jika ia tidak mendapatkan input makanan sesuai dengan keinginannya.
Saat binatang yang sebelumnya di diberikan makanan yang sangat lezat
(hyper-palatable) seperti sugar sampai ia makan banyak maka pada suatu
saat makanan tersebut dibatasi, kemudian mereka tampak menunjukkan
gejala yang sama seperti putus zat karena obat (seperti tremor, panas, dan
agresif). Tikus tersebut juga mengalami craving dengan gejala sama
dengan putus zat karena amphetamin. Namun pada manusia memerlukan
investigasi yang lebih detail lagi mengenai kriteria ini.
3. Kegagalan untuk berhenti mengkonsumsi (uncontrol)
Gejala ini sering terjadi pada kasus-kasus food addiction. Sebanyak 37%
anak-anak berkeinginan untuk menurunkan konsumsi makan yang duduk
di bangku sekolah dasar dan sebesar 83% terjadi kegagalan untuk bisa
mencegah keinginan ini.
4. Memerlukan waktu yang banyak untuk menahan diri dari makan
10
Makanan hyper-palatable adalah makanan yang mengandung kalori
tinggi, tetapi memiliki nutrisi yang rendah karena harganya murah dan
porsi besar. Namun data empiris seberapa banyak orang yang
memerlukan waktu khusus menahan diri untuk makan belum tersedia
5. Mengurangi pekerjaan penting lainnya selain makan
Sebagian besar orang memilih untuk makan yang tidak sehat
dibandingkan yang sehat. Seseorang yang food addiction lebih memilih
mengurangi aktifitas lain mereka dan lebih memilih untuk makan.
6. Terus melakukan walaupun mengalami masalah fisik atau psikis
Studi pada binatang yang terpapar makanan hyper-palatable yang
mengandung banyak gula menunjukkan bahwa walaupun mereka
diberikan aliran shock listrik, mereka terus berlanjut untuk
mengkonsumsi makanan tersebut.
Studi ini dihubungkan dengan manusia yang memberikan hasil
yang serupa. Orang yang diberikan makanan yang adiktif, walaupun
mengetahui efek negatifnya mereka akan tetap memakan makanan
tersebut. Pada penelitian penyakit kardiovaskular, pasien yang di
instruksikan tidak makan cokelat pada penelitian itu, jika mereka
melanggar maka mereka akan dikeluarkan pada penelitian tersebut.
Terdapat 139 orang dari 1200 sampel yang dikeluarkan karena
melanggar ketentuan, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang
mengalami food addiction ini akan terus melakukan makan yang dia
inginkan tanpa menghiraukan kesehatannya.
11
Diagnosis food addiction dapat ditegakkan disertai dengan minimal
mengalami 3 atau lebih disertai dengan adanya hendaya atau distress, walaupun
peneliti tidak mengukur derajat dari distress atau ketidaknyamanan ini. Studi-studi
sebelumnya menunjukkan bahwa gejala food addiction ini berupa makan dalam
jumlah besar dan dalam waktu yang lama, gagal untuk mengurangi jumlah makan
makan dan tidak menghiraukan konsekuensinya. Gejala yang jarang bisa terjadi
seperti toleransi dan menghabiskan waktu untuk membeli dan mengkonsumsi
makan, gejala putus zat dan berkurangnya interaksi sosial dan aktifitas yang
berupa rekreasional (Pursey et al, 2014 & Dimitrijevic et al, 2014).
2.4 Patofisiologi Food addiction
12
Gambar 1 Sistem Homeostasis Asupan Makanan di Otak (Moron et al, 2014).
Keinginan untuk makan dan makan yang terjadi pada manusia berdasarakan
sistem reward pada otak yang homeostatis, artinya saling menyeimbangkan.
Sistem homeostatis ini merupakan respon regulasi pusat energi pada signal
hipotalamus yang berintegrasi dengan signal hormon yang mengorganisasi
pancreas, usus halus, liver, jaringan adiposa, dan batang otak (Ziaudeen et al,
2015).
CNS mengatur input dari penyimpanan energi jangka panjang (seperti
leptin) dan signal makan jangka pendek (makanan dan signal rasa kenyang yang
terdapat pada usus) untuk meregulasi asupan makanan dan energy yang
dikeluarkan dengan cara menjaga keseimbangan penyimpanan lemak tubuh yang
stabil sepanjang waktu. Energi positif balance akan menginduksi penghambatan
makan berlebih dan meningkatkan rasa kenyang, maka akan timbul penurunan
rasa nafsu makan. Jika terjadi penurunan energi balance maka CNS merespon
dengan peningkatan asupan makan dan menurunkan signal rasa kenyang yang
akan berdampak meningkatnya rasa ingin makan. Kejadian ini akan terjadi saling
timbal balik mengikuti sistem homeostasis dalam tubuh (Morton et al, 2014).
Pada orang yang mengalami food addiction ditemukan adanya disregulasi pada
sistem reward di otak (Zaudeen et al, 2015).
Meningkatnya penelitian yang saat ini dilakukan tentang food addiction
telah menunjukkan bahwa ada hubungan antara obat serta makanan dengan
kelainan neurobiologi dan perilaku yang terjadi. Makanan terutama yang lezat
(palatable food) banyak ditemukan memberikan proses yang sama pada adiksi zat
13
dimana sama-sama terjadinya peningkatan dopaminergik dan sistem opioid dalam
otak. Karena kesamaan proses inilah yang digunakan sebagai dasar membuat
adanya food addiction.
Food addiction merupakan bagian dari proses impulsif dan kompulsif
yang terjadi pada seseorang yang mengalami food addiction. Impulsif disini berati
ketidakmampuan dalam menghentikan pikiran untuk melakukan sesuatu yang
diatur pada sirkuit otak ventral striatum yang berhubungan ke talamus dan menuju
ventromedial prefrontal cortex (VMPFC) dan anterior cingulate cortex (ACC).
Kompulsif berarti ketidakmampuan untuk menghentikan tindakan yang diatur
oleh sirkuit otak bagian dorsal striatum yang berhubungan dengan talamus dan
orbitofrontal cortex (OFC). Tindakan impulsif seperti pikiran untuk makan pada
food addiction dapat menjadi kompulsif dalam melakukan tindakan makan karena
rangsangan terus menerus di ventral striatum berpindah ke bagian dorsal striatum
(Stahl, 2013).
Neurotransmiter yang berperan dalah food addiction ini adalah dopamin.
Sistem dopamin melibatkan sejumlah besar hal yang berkaitan dengan perilaku
termasuk proses reward dan motivasi. Dopamin yang meningkat pada
penggunaan zat dan makanan palatable di daerah mesolimbik dan Nukleus
accumbens (NAc).
Studi neuroimaging juga menunjukkan adanya aktifasi sel didaerah NAc
pada pusat otak jika terpapar oleh zat dan makanan pada orang yang adiksi dan
obesitas. Orang yang adiksi dan obesitas menunjukkan lebih sedikit jumlah
reseptor Dopamin D2 pada otaknya, yang diperkirakan mereka akan kurang
14
sensitif pada stimulus reward dan makanan atau obat yang dikonsumsi.
Berkurangnya reseptor D2 pada striatum ini menyebabkan berkurangnya
metabolisme di cerebri (prefrontal dan orbitofrontal kortek) yang menghambat
kontrol untuk mengkonsumsi. Mekanisme ini menjelaskan bahwa orang yang
obesitas memerlukan aktivasi reward dan perhatian yang lebih besar dibandingkan
orang normal dalam merespon makanan palatable (Lerma et al, 2016).
15
Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi
lainnya (Sthal, 2013).
16
Adanya hubungan penggunaan zat dengan fungsi ego yang terganggu
(seperti ketidakmampuan dalam menghadapi kenyataan) (Sadock & Sadock,
2015). Makan berlebih ini dilakkan untuk mengatasi stress dalam mengatasi rasa
cemas atau depresi dalam menghadapi suatu masalah (Dimitrijevic et al, 2014).
Food addiction ini merupakan suatu keadaan learning dan conditioning,
dimana jika terdapat stimulus berupa makanan palatable, akan terjadi peningkatan
dopamine di sistem limbic, yang meliputi amigdala dan cingulate anterior.
Setelah otak mengenal makanan ini, maka akan terjadi proses mekanisme learning
dan terjadi perubahan perilaku adiksi untuk mencari makanan palatable tersebut.
Adanya gejala craving terjadi jika adanya ketersediaan zat atau makanan
palatable, seperti ada seseorang teman yang mengkonsumsi makanan palatable.
Kondisi learning dan conditioning ini adalah sebagai psikopatologi dari food
addiction ini (Sadock & Sadock, 2015).
Karena proses psikopatologis yang sama dengan penggunaan zat, maka
food addiction ini juga dipengaruhi oleh adanya faktor keturunan.
Ditinjau dari faktor neurokimia pada food addiction, neurotransmitter yang
berperan paling besar adalah opioid, catecholamine (biasanya dopamin) dan
sistem GABA. Neuron dopamin pada VTA sangat penting dalan terjadinya food
addiction ini, karena neuron ini tujuannya ke korteks dan system limbic, terutama
pada nuklues accumbens. Jalur ini meliatkan sensasi sistem reward dan mediator
utama dari efek terjadinya adiksi. Locus ceroleus sebagai pusat neuron
andrenergik yang besar juga terlibat dalam system reward ini.
17
2.5 Jenis-Jenis Food Addiction
Model percobaan pada tikus menunjukkan adanya 3 gejala yang penting dalam
adiksi zat yaitu berupa adanya toleransi, dependence (ketergantungan), dan
withdrawl (gejala putus zat). Toleransi disini berati adanya perubahan perilaku
dari sub selular seperti desensitasi reseptor dan down-regulasi pada otak yang
ditandai dengan peningkatan jumlah zat yang diperlukan untuk dapat
menghasilkan efek neurobiologi yang sama. Pada model percobaan tikus ini
tentang food addiction juga mengalami hal yang sama, yang ditandai dengan
peningkatan jumlah makan.
Menurut kriteria DSM 5 Saat ini tidak ada satu makanan yang
menimbulkan gangguan penggunaan zat pada manusia karena kurangnya
penelitian klinis untuk mendeteksi makanan spesifik yang menyebabkan food
addiction ini. Secara teori masih kurang jika dibandingkan dengan gangguan
penggunaan zat lainnya dari luar seperti alkohol, ganja, nikotin dan opiat.
Studi pada binatang dengan menggunakan makanan lezat (palatable food)
sebagai stimulus dan beberapa dari makanan tersebut menjadikan adiksi dengan
memperlihatkan perilaku makan berlebih. Gejala putus zat juga dilaporkan saat
akses makanan dihentikan dan adanya craving pada saat tidak diberikan makanan.
Penemuan ini memperkirakan bahwa tikus sering menjadi sangat termotivasi
untuk makan makanan tertentu seperti makanan dengan kandungan lemak dan
gula tinggi walaupun tidak selalu. Ada beberapa jenis food addiction yang
diketahui, yaitu
1. Adiksi Gula (sugar addiction)
18
Semua sel yang aerob memerlukan gula untuk proses glikolisis yang
menghasilkan piruvat, dimana piruvat ini adalah bahan yang penting
untuk menghasilkan energi. Manusia menerima gula melalui rasa manis
pada makanan dan akan termotivasi untuk mengkonsumsi makanan yang
manis. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa sinyal opioid
endogen akan aktif saat mengkonsumsi gula (bukan lemak) yang sama
pada mekanisme penyalahgunaan zat yang terjadi pada otak manusia.
Perangsangan ini akan mengubah perilaku menjadi adiktif terhadap gula.
Pada manusia perilaku adiktif ini sering disertai dengan stres psikologis
seperti rasa bersalah, kebiasaan, cemas dan depresi.
2. Adiksi Garam (salt addiction)
Garam meningkatkan persepsi cita rasa bagi orang yang
mengkonsumsinya dan sering ditambahkan dalam jumlah yang banyak
dalam makanan. Garam tidak mengandung kalori, jika dikonsumsi
berlebih akan dibuang melalui urin ke luar tubuh. Dalam individu yang
sehat, konsumsi garam ini disertai dengan mengkonsumsi air dan
bersama sama dikeluarkan oleh ginjal melalui urine dengan mekanisme
deuretiknya. Oleh karena konsumsi garam sering disertai dengan
mengkonsumsi air, maka yang menjadi masalah kesehatan adalah
mengkonsumsi minuman yang mengandung kalori tinggi yang buruk bagi
kesehatan.
19
Pada studi tikus menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi
antara asupan gula dan sistem reward pada otak tidak selalu terjadi
sedangkan pada manusia belum ada penelitiannya.
3. Adiksi lemak (fat addiction)
Mejaga fungsi normal dari badan memerlukan asupan lemak yang
adekuat dan secara umum disarankan untuk mengkonsumsi 20-35%
lemak. Lemak merupakan salah satu makanan yang gurih yang diterima
oleh sel saraf sensorik yang ada di mulut, sel olfaktorius pada hidung, sel
di saluran cerna hormon pada tubuh dan CNS. Persepsi gurih pada lemak
ini yang menyebabkan timbulnya adiksi pada lemak. Percobaan pada
tikus menunjukkan bahwa tikus yang diberikan makanan yang
mengandung lemak tinggi mengalami penurunan sensitifitas stres dan
terjadi gejala putus zat yang akut saat dilakukan penurunan jumlah lemak
yang diberikan. Secara neurokimia dalam otak, terjadi proses yang sama
seperti mengkonsumsi gula, dimana terjadinya pengeluaran dopamin pada
nukleus akumben yang memberikan rasa senang. Secara untuk, adiksi
lemak ini berbeda dengan adiksi gula, dimana konsumsi lemat yang
tinggi memicu untuk terjadinya peningkatan berat badan dan peningkatan
jumlah sel adiposit dalam tubuh.
2.6 Skrining Food Addiction
Studi empiris dari food addiction ini adalah relatif baru, karena sedikit
instrumen psikometri yang valid yang bisa digunakan untuk menegakkan food
20
addiction ini. Skala pengukuran food addiction yang paling sering digunakan saat
ini adalah Yale Food Addiction Scale (YFAS). Alat ukur ini dikembangkan pada
tahun 2009 dengan model kriteria dari DSM IV-TR (APA, 2000) mirip dengan
gangguan ketergantugan zat yang memiliki gejala yang sama dengan food
addiction. Validasi dari YFAS ini memiliki = 0,86.
Adapun gejala yang diukur pada YFAS ini adalah sebagai berikut :
1. Jumlah makanan yang dikonsumsi semakin bertambah banyak dan dalam
waktu yang lama.
2. Keinginan yang persisten dan berulang disertai tidak mampu untuk
memberhentikannya.
3. Perlu banyak waktu untuk makan.
4. Berkurangnya aktivitas sosial, pekerjaan, rekreasi yang biasa dilakukan.
5. Adanya kebiasaan makan yang menetap walaupun mengetahui efek
buruknya.
6. Adanya toleransi yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah
yang dikonsumsi dan efek yang dirasakannya semakin menurun.
7. Adanya gejala putus zat jika tidak mengkonsumsi makanan tersebut.
8. Mengakibatkan gangguan secara klinis yang bermakna atau distress.
Kuisioner YFAS terdiri dari 25 item self report yang mengukur gejala
food addiction seperti adanya toleransi, putus zat dan ketidak bisa dalam kontrol
diri terhadap makanan. Didalamnya dua tambahan item yang mengukur gangguan
klinis atau distress dari kebiasaan makan ini. Partisipan yang memiliki 3 gejala
atau lebih dan mengalami gangguan fungsi secara klinis atau distress sesuai
21
dengan ketergantungan zat pada kriteria DSM IV-TR maka ditegakkan sebagai
diagnosis food addiction (MIDSS, 2016).
2.7 Penatalakanaan Food Addiction
Konsekuensi yang paling berat food addiction ini adalah obesitas yang
akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit krdiovaskular dan diabete militus
tipe 2. Efek penyakit yang ditimbulkan ini akan berdampak psikologis, sosial dan
ekonomi bagi keluarga. Banyak uang diinvestasikan untuk mengadakan
penelitian-penelitian baru mencari penanganan food addiction ini. Penanganan
food addiction ini difokuskan dalam hal masalah peningkatan berat badan, dimana
para ahli telah merumuskan beberapa acuan seperti :
1. Tetap makan untuk kebutuhan hidup
Penanganan pertama untuk mengatasi food addiction adalah dengan
pendekatan tetap makan, dimana hal yang sangat berbeda dengan
penanganan adiksi pada alkohol atau obat yang memerlukan abstinensia
terhadap zat tersebut. Para peneliti memperkirakan craving dan
ketidakmampuan mengontrol diri terhadap makanan akan muncul jika
makanan yang inginkan itu tersedia di hadapannya. Sebaiknya hindari
makanan yang menjadi trigger food addiction ini dan mengganti dengan
makanan lainnya.
2. Makan jika merasa lapar
Ada suatu ukuran yang sering digunakan oleh ahli gizi untuk menentukan
derajat rasa lapar. Ukuran itu disebut dengan skala hunger yang terdiri
22
dari 10 derajat rasa lapar. Kesepuluh derajat tersebut akan dijelaskan
dalam table dibawah ini :
Tabel 1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center
for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016).
Skala Keterangan
1 Melampaui lapar, gejala sakit kepala, tidak dapat
berkonsentrasi dan sempoyongan, masalah dalam koordinasi.
2 Tidak dapat mentoleransi apapun, sangat iritabel dan lapar
dengan energi yang sedikit, mual, merasa sangat lapar
3 Keinginan kuat untuk makan, merasa perut kosong,
koordinasi mulai melemah
4 Mulai berpikir untuk makan, badan memberikan sinyal untuk
makan, sedikit merasa lapar
5 Merasa belum cukup kenyang dan memikirkan untuk makan
yang lainnya.
6 Merasa cukup kenyang
7 Merasa lebih dari kenyang, masih dapat masuk makanan lagi
sedikit namun badan sudah kenyang, tetapi dalam pikiran
masih bisa makan
8 Merasa sangat kenyang, mulai terasa sakit pada perut, namun
aroma yang tercium masih ingin makan
9 Merasa tidak nyaman karena terlalu kenyang, tetap fokus ke
makanan dan lebih nyaman beristirahat, mengurangi aktifitas
sosial
10 Melampaui kenyang, tidak mampu bergerak dari tempak
duduk dan merasa tidak ingin mencari makanan lagi
Tujuan pengobatan food addiction ini adalah makan jika merasa
lapar, dengan skala antara 2-3 dan berhenti makan jika sudah mencapai
skala 5-6. Berikut adalah gambar skala hunger yang digunakan untuk
mengukur derajat kelaparan seseorang.
23
Gambar 3 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center
for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016).
3. Menghindari stress dan mengontrol emosi
Orang stress mengkonsumsi makanan lebih banyak dibandingkan orang
normal, karena makanan ini dapat mengurangi rasa cemas dan depresi.
Para ahli menyarankan untuk mengatasi food addiction ini, agar
mengindari stress emosional untuk mencegah peningkatan nafsu makan
ini dan diperlukan strategi yang lebih sehat untuk mengatasi perasaan
sedih, cemas, marah dan sebagainya.
4. Latihan fisik yang rutin
Rasa senang tidak hanya diperoleh dari mengkonsumsi cokelat, pizza,
burger, tetapi juga dapat diperoleh dengan berolah raga. Pada studi
binatang diketahui bahwa olah raga dapat meningkatkan reseptor
dopamin di otak.
5. Psikoterapi
Secara umum psikoterapi singkat (brief intervention) digunakan untuk
orang yang mengalami adiksi berat dengan pengobatan minimal 3 bulan.
CBT juga dapat digunakan untuk menatasi pikiran yang salah dengan
kebiasaan makan. Family therapy juga dapat dilakukan untuk mendapat
dukungan dan peringatan dari keluarga jika pasien mengkonsumsi
banyak makan. Psikoterapi grup juga da[at dilakukan dengan dipimpin
24
oleh pelatih yang sudah ditraining dalam sekelompok grup yang
mengalami food addiction (Sadock & sadock, 2015).
6. Farmakoterapi
Para peneliti mulai mengembangkan obat-obatan baru untuk mengatasi
food addiction ini. Obat baru yang diperkirakan dapat membantu adalah
rimonabant, tetapi masih dilakukan penelitian hanya baru sampai ditahap
hewan. (Dimitrijevic et al, 2014). Obat rimonabant ini memiliki nama
dagang acomplia, zimulti yang bekerja sebagai anorectic antiobesity
drug karena antagonis reseptor u-opioid. Efek utama dari obat ini adalah
berkurangnya rasa lapar, namun karena efek samping pada manusia yang
serius maka ditarik dari peredaran khususnya di Amerika, tetapi obat ini
masih disetujui untuk di Eropa (wikepedia, 2016).
25
BAB III
RINGKASAN
Food addiction (FA) sebagai adaptasi yang spesifik kepada satu atau lebih
mengkonsumsi makanan dengan gejala yang sama pada proses adiksi zat lainnya
yaitu adanya toleransi, withdrawl, dan ketidakmampuan untuk mengontrol diri
dari makanan palatable.
Food addiction sangat banyak ditemukan pada orang obesitas, dimana saat
ini obesitas adalah masalah besar bagi WHO yang berisiko tinggi akan menjadi
penyakit kardiovaskular dan diabetes militus tipe-2 yang berdampak buruk
penurunan kualitas kehidupan manusia.
Yale Food addiction Scale (YFAS) saat ini sebagai kuisioner yang valid
untuk mengetahui adanya food addiction yang dikembangkan sejak tahun 2009 di
Amerika oleh Gearhardt et al yang digunakan diberbagai negara di seluruh dunia.
Dekade belakangan ini terus dilakukan penelitian untuk mengetahui peran
food addiction dengan kejadian obesitas dan bagaimana penangannya.
Penanganan food addiction yang dapat dilakukan adalah tetap makan untuk
kebutuhan kehidupan, mengkonsumsi makanan jika merasa lapar, menghindari
stress dan mengontrol emosi, berolahraga rutin serta psikoterapi dan
farmakoterapi menggunakan obat antiobesitas seperti rimonabant.
26
DAFTAR PUSTAKA
Dimitrijevic, I., Popovic, N., Sabljak, N., Trifunovic, V., Dimitrijep, N. 2014.
Food addiction-diagnosis and treatment. Psychiatria Danubina Journal Vol
27, No 1. Pp 101-106.
Hunger Scale. Available at www.http://medical.mit.edu/sites/default/files/
hunger_scales.pdf. (diakses pada tanggal 7 Juli 2016).
Lerma-Carebra, J.M., Carvajal, F., Lopez-Legarrea, P. 2016. Food Addiction as a
new pice of obesity framework. Nutrician Journal. DOI 10.1186/s12937-
016-0124-6
MIDSS. 2016. Yale Food Addiction Scale (YFAS). Available at
www.midss.org/content/yale-food-addiction-scale-yfas. (diakses pada
tanggal 7 Juli 2016).
Morton G., Meek T., Schwartz M. 2014. Neurobiology of Food Intake in health
and disesase. Nat Rev Neurosci. 2014 June : 15(6): 367-
378.doi:10.1038.doi:10.1038/nrn3745.
Rimonabant. Available at www.http://en.m.wikipedia.org/wiki/rimonabant.
(diakses pada tanggal 7 Juli 2016).
Sadock B.J. & Sadock V.A. 2015. Synopsis of Psychiatry. Edisi 11. Wolters
Kluwer. Philadephia, USA. Hal 832.
Schulte, E.M., Avena, N.M., Gearhardt, A.N. 2015. Which Food May Be
Addicttive? The Roles of Processing, Fat content, and Glycemic Load.
Research article Plos One 10(2): e0117959.doi:10.1371/jounal.
Schulte, E.M., Tuttle, H.M., Gearhardt, A.N. 2016. Belief in food addiction and
obesity-related policy support. Plos One 11(1): e0147557.doi:10.1371/
journal.pone.0147557.
Stahl, S. M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis
and Practical Application fourth edition. Obsessive and compulsive
disorder. New York. Cambrige Medicine Press.
27
Ziaudeen H., Alonso M., Hill J., Kelley M., Khan N. 2015. Obesity anda the
Neurocognitive Basis 0f Food and the Control of Intake. American Society
for nutrision. Adv Nutr 2015;6;474-84;doi:10.3945/an.115.008268.
28