fixists vs mobilists
TRANSCRIPT
Francis Bacon pada tahun 1620 membuat peta dunia yang menekankan adanya kemiripan garis tepi dari benua-
benya yang dipisahkan oleh Samudra Atlantik. Kemiripan dari garis tepi tersebut diduga akibat Benua Amerika yang
ada di sebelah barat Atlantik dan Benua Afrika yang ada di sebelah timur Samudra Atlantik saling memisahkan diri.
Tetapi pada tahun 1668, Father Francois Placet menyangah hal tersebut dengan mengatakan bahwa Samudra
Atlantik terbentuk semata-mata karena banjir Nuh. Sejak tahun 1800-an, kebanyakan dari para ahli geologi
memegang aliran “Fixist” yang menyatakan bahwa sejak bumi terbentuk, cekungan samudra dan benua-benua tidak
mengalami perpindahan sama sekali. Proses pendinginan bumi dalam fase pembentukan dari kondisi cair menjadi
padat yang memakan waktu yang berbeda-beda di permukaan bumi menyebabkan benua dan samudra terbentuk.
Prat dan Airy (1855) mengunakan konsep Isostasi untuk menerangkan pembentukan pegunungan dan cekungan,
sedangkan Eduard Suess (1904-1924) menerangkan pembentukan cekungan samudra sebagai hasil dari
peruntuhan kubah yang menyebabkan terbentuknya beberapa sistem blok sesar turun. Eduard berpendapat bahwa
keserupaan flora dan fauna di Benua Amerika dan Afrika yang sekarang dipisahkan oleh Samudra Atlantik
disebabkan karena keberadaan daratan penghubung antara keduanya yang kemudian runtuh.
Taylor pada 1910, berpendapat bahwa kerak-kerak yang ada berada pada posisi saat ini disebabkan oleh adanya
gaya deformasi yang dihasilkan dari kekuatan pasang surut. Kemudian pada tahun 1915, Alferd Wegener
mempublikasikan idenya tentang kemungkinan benua-benua yang ada saat ini dulunya bersatu tetapi kemudian
pecah melalui konsep pengapungan benua (continental drift) melalui buku “The Origin of the Continents and
Oceans”. Benua-benua yang bermasa jenis rendah dianggap mengapung di atas lantai samudra yang lebih berat.
Wegener menentang adanya keberadaan daratan penghubung yang kemudian runtuh menjadi kerak samudra dan
konsep isostasi. Pembentukan rangkaian pegunungan yang terjadi akibat kontraksi tidak akan dapat menyebabkan
gerakan horizontal sehingga menyebabkan terjadinya pegunungngan. Wegener dalam bukunya yang keempat masih
mengalami kesulitan untuk menerangkan gaya yang menyebabkan benua-benua yang mengapung tersebut
bergerak.Wegener menyatakan bahwa gaya penyebab gerakan benua adalah gaya yang sama dengan gaya yang
menyebabkan rangkaian pengunngan lipatan.
Bukti pendukung gerakan benua-benua
Wegener mempublikasikan bukunya sebanyak empat kali, dan mencantumkan banyak agrumen pendukung bahwa
benua-benua yang ada saat ini pada awalnya satu.
Keserupaan garis pantai benua-benua yang dipisahkan Samudra Atlantik
Keserupaan garis pantai benua-benua yang dipisahkan Samudra Atlantik menjadi pemikiran awal konsep
pengapungan benua. Data-data struktur tektonik Paleozoikum yang di Amerika Utara dan Eropa, Afrika bagian
selatan dan Amerika Selatan dikumpulkan untuk menunjukan kecocokan struktur antar benua-benua tersebut.
Bukti Paleoiklim
Wegener menyertakan bukti-bukti paleoklimatologi pada bukunya yang keempat. Suatu lapisan batuan yang
diendapkan dapat menunjukan iklim lokasi pada saat batuan terebut diendapkan. Keberadaan glacier, keberadaan
lapisan batubara yang mengindikasikan iklim tropis basah, serta keberadaan lapisan garam dan gipsum yang
mengindikasikan iklim padang dari berbagai benua sepanjang Karbon dan Perm lalu dipetakan (Gambar 2).
Bukti Paleontologi
Sebelum Wegener, para ahli paleontologi pernah mengumpulkan data yang memperlihatkan keserupaan flora dan
fauna dari Benua Amerika Selatan dan Benua Afrika. Data-data tersebut memberikan bukri bahwa memang ada
gabungan benua sehingga adanya keserupaan flora dan fauna di kedua benua tersebut (Gambar 3).
Lempeng Tektonik
Lempeng Tektonik adalah bagian teluar dari bumi yang bersifat masif, berbentuk iregular, dan padat, serta terdiri dari
litosfer benua dan samudra. Litosfer adalah bagian bumi yang terdiri dari kerak dan mantel atas bagian atas (Gambar
4) Ukuran dari lempeng tektonik dapat beraneka ragam dengan ketebalan yang berkisar antara 15km pada litosfer
samudra muda sampai sekitar 200km pada litosfer benua tua.
Teori Tektonik Lempeng
Teori tekonik lempeng merupakan pengembangan dari teori pengapungan benua Wegener. Teori ini mengambarkan
lempeng-lempeng yang berupa litosefer samudra dan benua yang berada di atas astenosfer, yang merupakan
lapisan lunak mantel bagan atas yang memiliki temperatur tinggi dan dapat mengalir (plastis). Lempeng-lempeng
tersebut bergerak di atas astenosfer melaluri “shearing motion” (Gambar 5).
Arus Konveksi sebagai Tenaga Pengerak Lempeng
Hubungan arus konveksi dan gerakan benua
Hipotesa pengapungan benua Wegener diteliti lebih lanjut oleh Arthur Holmes dan Alexander du Toit. Keduanya
menggunakan dinamika arus konveksi untuk menjelaskan mekanisme penyebab gerakan benua. Du Toit
menerangkan arus konveksi sebagai mekanisme penyebab peregangan kerak benua yang mengasilkan sistemrift,
sistem kompresi, dan pelipatan yang menghasilkan pegunungan lipatan (Gambar 6). Sedangkan Holmes
menyatakan bahwa kerak samudra yang semakin tua semakin berat akan menyusup ke bagian bawah kerak benua
sehingga menyebabkan terbentuknya palung (Gambar 7). Mekanisme ini akan mempercepat arus konveksi sehingga
terbentuknya pengunungan di sekitar batas benua terhadap kerak samudra.
Tenaga penggerak arus konveksi
Pada masa Wegener, kebanyakan ahli geologi percaya bahwa bumi kita bersifat padat dan terdiri dari bagian-bagian
yang tidak dapat bergerak. Tetapi beberapa dekade kemudian, J. Tuzo Wilson (1968) menyatakan “bumi adalah
benda yang hidup dan bergerak”, baik pada permukaan maupun bagian dalamnya dan sejak saat itu berbagai model
dari arus konveksi telah dibuat. Arus konveksi bergerak ke mantel atas melalui bagian tengah dari kerak benua dan
lama kelamaan membentuk zona pemekaran antarbenua (Gambar 7, Gambar 9: ridge). Mekanisme dari arus
konveksi diperkirakan mirip dengan mekanisme konveksi ketika pemanasan air pada panci dilakukan (Gambar 8).
Konveksi pada interior bumi hanya dapat berlangsung jika terdapat sumber panas yang cukup. Panas di dalam bumi
mungkin dapat berasal dari dua sumber utama, yaitu dari peluruhan radioaktif dan panas residual. Peluruhan
radioaktif merupakan proses spontan yang terjadi ketika suatu isotop mengalami kehilangan partikel-partikel dari
nukleusnya lalu membentuk isotop dari unsur yang lainnya. Peluruhan radioaktif secara alamiah terjadi pada unsur-
unsur kimia seperti uranium, thorium, dan sebagainya dan akan meglepaskan energi panas yang secara lambat
bermigrasi ke permukaan bumi. Panas residual merupakan energi gravitasi yang tersisa sejak masa pembentukan
bumi melalui proses kompresi debu kosmis, tetapi mekanisme yang memungkinkan bahwa panas ini dapat
terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu lalu menciptakan arus konveksi masih belum dapat dijelaskan dengan
baik.
Basal Drag
Basal Drag merupakan istilah gerakan lempeng yang disebabkan oleh arus konveksi. Dalam hal ini, arus konveksi
terjadi berskala besar di mantel atas disalurkan melalui astenosfer (Gambar 6), sehingga pergerakan didorong oleh
gesekan (shearing) antara astenosfer dan litosfer (Gambar 5).
Slab suction
Arus konveksi lokal memberikan tarikan ke bawah pada lempeng di daerah penunjaman di palung (trench) (Gambar
9). Slab suction ini bisa terjadi dalam kondisi geodinamik dimana basal drag terus bekerja pada lempeng lempeng
tersebut memasuki mantel, meskipun sebetulnya tarikan lebih banyak bekerja pada kedua sisi lempengan. Slab
suction mempercepat gerakan lempeng yang awalnya disebabkan oleh basal drag.
Slab pull sebagai Mekanisme Pengerak Lempeng
Holmes (1944) menyatakan bahwa lempeng samudra yang semakin tua akan mengalami pertambahan berat berat.
Sehingga gerakan lempeng juga mungkin disebabkan oleh berat lempeng yang mendingin dan memadat yang turun
ke mantel di palung samudera (Gambar 9). Slab pull sendiri sangat mungkin menjadi salah satu gaya terbesar yang
bekerja pada lempeng. Gerakan lempeng-lempeng dapat terjadi karena gabungan dari basal drag,slab suction,
dan slab pull. Ketiganya juga dapat berperan untuk membentuk zona regangan di tengah lempeng yang
memungkinkan terbentuknya terjadinya pemekaran.
Mekanisme Penyebab Gerakan Lainnya
Dalam studi yang dipublikasikan pada edisi Januari-Februari 2006 dari buletin Geological Society of America ,
sebuah tim ilmuwan dari Italia dan Amerika Serikat berpendapat bahwa komponen lempeng yang mengarah ke barat
berasal dari rotasi Bumi dan gesekan pasang bulan yang mengikutinya.. Diduga Venus dan Mars tidak memiliki
lempeng tektonik disebabkan karena ketidakadaan bulan di Venus dan kecilnya ukuran bulan Mars untuk memberi
efek seperti pasang seperti di Bumi.
Tiga jenis batas lempeng
Berbagai mekanisme yang ada dapat menyebabkan lempeng-lempeng yang ada saling berpisah, bergabung, dan
bergeser. Ada tiga penggolongan utama batas lempeng dari cara interaksi lempeng-lempeng tersebut bergerak relatif
terhadap satu sama lain (Gambar 10).
Batas transform
Batas ini terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang
sesar transform (transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral atau dekstral. Contoh dari batas
lempeng ini adalah Sesar San Andreas di California (Gambar 11).
Batas divergen
Batas ini terjadi ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid oceanic ridge dan zona rifting yang aktif
adalah contoh batas divergen.
Batas konvergen
Batas konvergen terjadi jika dua lempeng saling bergerak mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona
subduksi jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain atau kolisi jika kedua lempeng mengandung kerak
benua (Gambar 13). Aktivitas vulkanik dan palung laut dapat muncul pada zona subduksi sebagai hasil interaksi
konvergensi dari kedua lempeng. Contoh batas konvergen dapat dilihat di busur api dunia (ring of fire) (Gambar 14).
Lempeng Tektonik Dunia
Berikut ini merupakan
lempeng-lempeng tektonik utama di dunia:
Lempeng Afrika, meliputi Afrika.
Lempeng Antarktika, meliputi Antarktika.
Lempeng Australia, meliputi Australia (merupakan satu kesatuan dengan India dan Antartika pada Jura Akhir).
Lempeng Eurasia, meliputi Asia dan Eropa.
Lempeng Amerika Utara, meliputi Amerika Utara dan Siberia timur laut.
Lempeng Amerika Selatan, meliputi Amerika Selatan.
Lempeng Pasifik, meliputi Samudera Pasifik.
Lempeng-lempeng penting lain yang lebih kecil mencakup Lempeng India, Lempeng Arabia, Lempeng
Karibia,Lempeng Juan de Fuca, Lempeng Cocos, Lempeng Nazca, Lempeng Filipina, dan Lempeng Scotia.
Siklus Wilson
Siklus Wilson (Gambar 16) merupakan suatu siklus yang menggambarkan interaksi antar lempeng mulai dari
pemekaran suatu lempeng sampai pada tahap kolisi yang menyebabkan lempeng yang terpisah karena pemekaran
tersebut bergabung lagi. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan dalam siklus Wilson.
Tahap 1: continental rifting dimulai, membentuk rift valley yang merupakan embrio samudra.
Tahap 2: Tahap awal; terbentuk teluk sempit.
Tahap 3: Tahap akhir, samudra luas dengan passive continental margin di kedua sisi.
Tahap 4a: Penutupan samudra dimulai dengan pembentukan batas subduksi baru pada lempeng samudra.
Tahap 4b: terbentuk busur kepulauan gunungapi di dekat batas subduksi.
Tahap 5: Konvergensi busur kepulauan. Batas subduksi baru di dekat batas benua mengakibatkan busur
kepulauan gunungapi bertumbukan dengan benua.
Tahap 6: Konvergensi benua-benua menghasilkan pegunungan
Geologi lahir sebagai ilmu yang bersistematika baru dua ratus tahun yang lalu, sangat
muda bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu fisik lainnya (astronomi, biologi, fisika, kimia)
yang telah muncul sejak ratusan tahun sebelum Masehi. Mungkin karena masih muda
itulah, maka sejak lahirnya geologi telah membawa kontroversi-kontroversi.
Great Geological Controversies (Hallam, 1989)
Anthony Hallam, penulis beberapa buku geologi terkenal (a.l. “A Revolution in the Earth
Sciences : from Continental Drift to Plate Tectonics” – Oxford University Press, 1973)
menyebutkan ada empat geokontroversi terbesar : (1) neptunists vs. plutonists, (2)
catasthrophists vs. uniformists, (3) young Earth vs. old Earth, dan (4) fixists vs mobilists.
Hallam menjelaskan keempat kontroversi tersebut dalam bukunya “Great Geological
Controversies” – Oxford University Press, 1989.
Atas empat geokontroversi tersebut, boleh saya tambahkan geonontroversi ke-5, yaitu (5)
expanding Earth. Bila ada kontroversi lain yang sifatnya global dan signifikan pengaruhnya
kepada ilmu geologi, silakan kawan-kawan tambahkan. Berikut ini adalah ringkasan kelima
geokontroversi tersebut, sekadar mengingatkan kembali. Beberapa kontroversi tersebut
telah dianggap selesai, meskipun sebenarnya belum tentu selesai bila pada masa yang akan
datang ditemukan bukti-bukti baru yang bertentangan lagi, maka boleh saja babak baru
geokontroversi tersebut digelar lagi.
Neptunists vs. Plutonists
Seorang pionir geologi Jerman, Abraham Gottlob Werner, pada abad akhir ke-18
mengeluarkan teori bernama neptunisme saat ia menafsirkan sebuah urutan batuan yang
ditemukannya yang disusun dari bawah ke atas oleh batuan beku, batuan metamorf dan
batuan sedimen. Menurutnya, Bumi dulu pernah ditutupi oleh lautan asal (primeval ocean)
yang mengatasi seluruh permukaannya bahkan pegunungan-pegunungan tertinggi.
Teorinya ini disebut neptunisme, mengambil nama dewa lautan bangsa Latin : Neptunus.
Batuan-batuan beku dan metamorf juga ditafsirkannya sebagai hasil pengendapan dari air
laut. Teorinya ini diterima secara luas saat itu, tetapi kesulitan pun segera muncul ketika
harus menjelaskan asal lava basal dan gunungapi. Akhirnya, Werner mengatakan bahwa
aktivitas volkanik dan lava basal itu sebagai akibat pembakaran lapisan batubara di
tambang-tambang bawah tanah. Tetapi jawaban Werner ini tak memuaskan ketika
dilakukan penelitian di banyak tempat di Eropa. Maka, pandangan berlawanan pun segera
diajukan James Hutton yang mengatakan bahwa tak semua granit itu primordial sebab ia
menemukan banyak intrusi granit di Skotlandia yang menerobos batuan sedimen yang
menutupinya. Artinya, intrusi granit ini lebih muda daripada batuan sekelilingnya. Teori
Hutton ini disebut plutonisme. Neptunisme Werner kehilangan penganut, memasuki abad
ke-19 plutonisme banyak dianut orang. Demikian, tulis Hallam (1989, 2000).
Kini, kita tahu neptunisme hanya benar untuk sedimen karbonat in-situ; sisanya semua
batuan adalah plutonisme dan modifikasinya melalui proses-proses daur batuan. Meskipun
demikian, masih ada masalah tentang granitisasi batuan sedimen yaitu bahwa granit tak
semuanya dihasilkan oleh plutonisme, ada proses migmatisasi dan magmatisasi batuan
sedimen yang akan mengubahnya menjadi granit, lahirlah I-type dan S-type granite.
Catastrophists vs. uniformists
Istilah-istilah katasrofisme dan uniformitarianisme diciptakan oleh William Whewell pada
tahun 1832. Tokoh utama katastrofisme pada awal abad ke-19 adalah para ilmuwan Prancis
: Georges Cuvier dan Leonce Elie de Beaumont. Teori katastrofisme mereka didasarkan
atas pekerjaan stratigrafi Tersier di Cekungan Paris. Cuvier melihat urutan stratigrafi
tersebut sebagai akibat peristiwa-peristiwa bencana besar atau malapetaka (katastrofi)
yang tak hanya mengganggu urutan lapisan dan menyebabkan perubahan muka laut yang
dramatik tetapi juga menyebabkan kepunahan massa fauna. Elie de Beaumont mengikuti
Cuvier bahwa lapisan-lapisan yang miring dan terlipat yang diamatinya mengartikan suatu
gangguan yang mendadak, bukan akibat proses yang lambat dan berangsur (gradual). Di
pihak lain, berdiri Charles Lyell, seorang pengikut James Hutton, yang membela perubahan
lambat dan gradual dalam proses-proses geologi yang disebut prinsip uniformitarianisme.
Perdebatan sengit pun terjadi di Inggris selama tahun 1820-an dan 1830-an. Di pihak
katastrofisme ada William Buckland dan Adam Sedgwick yang mengajukan teori katastrofik
bernama teori diluvial, yaitu bahwa banyak fenonema geologi terjadi sebagai akibat banjir
zaman Nuh. Meskipun teori diluvial tak bertahan lama, para pembela katastrofik
mengatakan bahwa sejarah Bumi itu punya arah, “direction” tertentu, semakin maju; bukan
keadaan yang tetap sama di semua zaman, “steady state” seperti yang dibela Charles Lyell.
Begitulah ringkasan perdebatan tersebut, seperti ditulis Hallam (1989, 2000).
James Hutton (foto dari website: http://scottishgeology.com/)
Kini, kita melihat bahwa proses-proses dalam sejarah Bumi terjadi baik melalui
uniformitarianisme maupun katastrofisme. Gejala sedimentasi yang kini terjadi di muara
sungai atau pantai membentuk struktur-struktur sedimen yang persis sama yang kita amati
terdapat di batuan-batuan berumur Kapur atau Miosen misalnya. Proses modern ternyata
sama dengan proses puluhan juta tahun yang lalu –uniform atau seragam. Kita juga melihat
proses kompaksi dan litifikasi sedimen menjadi batuan yang lama, berangsur atau gradual.
Tetapi, kita melihat juga bahwa terdapat “directionalism” dalam perkembangan makhluk
hidup dari masa yang lebih lama ke masa yang lebih baru berdasarkan peninggalan-
peninggalan fosil. Alam tak tinggal tetap, tidak steady state. Bencana-bencana besar yang
memunahkan massa fauna dan flora pun rutin terjadi, yang terbesar misalnya pada akhir
Perem dan akhir Kapur. Kombinasi konsep-konsep uniformists dan catasthropists-lah yang
terjadi.
Young Earth vs. Old Earth
Menjelang pertengahan abad ke-19 terdapat dua pengutuban pendapat tentang berapa
umur Bumi. Para fundamentalis Kristen dan Katolik berdasarkan penafsiran mereka atas
Alkitab menganggap Bumi ini umurnya hanya 6000 tahun. Para ahli geologi, mengikuti
Charles Lyell mengatakan bahwa umur Bumi jauh lebih tua dari itu, tetapi mereka tak
dapat mengatakan lebih detail seberapa tua yang dikatakan tua itu. Mendapatkan
tantangan itu, lalu dimulailah berbagai usaha mengukur umur Bumi. Usaha serius pertama
dilakukan John Phillips yang mengukur kumulasi lapisan-lapisan batuan dan dengan
mengacu kepada kecepatan sedimentasi per tahun, akhirnya ia mendapatkan angka 96 juta
tahun untuk umur pembentukan kerak Bumi. Beberapa tahun kemudian, seorang ahli fisika
Skotlandia William Thompson (kemudian lebih terkenal dengan nama Lord Kelvin)
mengukur umur Bumi menggunakan metode berbeda. Lord Kelvin menggunakan asumsi
yang saat itu telah diyakini banyak orang bahwa Bumi pada mulanya merupakan bola lebur
yang panas yang mendingin secara perlahan. Dari perhitungan-perhitungan yang
dilakukannya, keluarlah angka 98 juta tahun sebagai umur Bumi. Umur Bumi hasil
perhitungan Phillips dan Kelvin mirip, sehingga semula diyakini para ahli geologi. Tetapi
umur tersebut terlalu muda bagi keseluruhan evolusi, begitu menurut Charles Darwin dan
para pengikutnya. Perdebatan pun dimulai, metode Kelvin dipertanyakan, dan perdebatan
semakin sengit karena gaya Lord Kelvin yang dogmatik, bahkan lalu ia merevisi
hitungannya lagi pada tahun 1897 menjadi hanya 24 juta tahun. Thomas Chamberlain, ahli
geologi Amerika berspekulasi bahwa mungkin ada sumber energi yang terkunci di dalam
atom yang oleh para ahli fisika abad ke-19 belum disadari. Sumber energi ini barangkali
bisa digunakan untuk menghitung umut Bumi. Penemuan radioaktivitas pada 1896 oleh
Henry Bacquerel membetulkan pendapat Chamberlain ini dan pengukuran umur
menggunakan radioaktivitas pun segera dimulai dan segera meruntuhkan semua pendapat
Lord Kelvin. Pada awal abad ke-20 telah umum disepakati bahwa umur Bumi harus
beberapa ribu juta tahun, jauh lebih tua dari hitungan siapa pun. Begitu, ringkasan dari
Hallam (1989, 2000).
Umur Bumi yang sebenarnya harus diukur di intinya yang paling dalam sebab itulah bagian
tertua Bumi. Tentu saja tak ada materi daripadanya yang bisa diambil untuk diukur
umurnya. Tetapi para ilmuwan mengetahui bahwa inti Bumi tersusun dari nikel dan besi,
suatu susunan yang mirip dengan meteorit besi. Dari astronomi, kita pun tahu bahwa Bumi
semula terbentuk dari puing-puing di Alam Semesta semacam meteorit tersebut yang
saling berbenturan lalu berakumulasi menjadi materi debu dan gas yang panas lalu
memadat lagi. Berdasarkan hal itu, maka umur meteorit yang jatuh di Bumi adalah umur
Bumi juga sebab sumber meteor dan materi pembentuk Bumi dilahirkan bersamaan. Ahli
fisika Amerika pertama yang mengukur umur Bumi dengan cara mengukur umur meteorit
adalah Claire Patterson pada tahun 1956 dan menemukan bahwa umur Bumi adalah 4550
juta tahun atau 4,55 milyar tahun (Luhr et al., 2003; menurut Gradstein et al. 2004 : 4560
juta tahun). Umur Bumi setua itu mungkin benar bila kita mempercayai metode
perhitungan umur menggunakan radioaktivitas sebab sampel batuan paling tua saat ini
adalah ortogenes Acasta yang ditemukan di Inti Benua Slave di Canada yang umurnya
4031 juta tahun (Bowring dan Williams, 1999). Mineral tertua yang terukur adalah detrital
zircon dari metakonglomerat di Australia Barat yang umurnya 4408 juta tahun (Wilde et al,
2001). Pembentukan Bumi sendiri harus lebih tua dari batuan dan mineral tertua itu.
Berapa persisnya umur Bumi itu kita tak akan tahu sebab sampel di inti Bumi tak akan
pernah didapatkan, tetapi umur 4560 juta tahun diterima banyak pihak. Meskipun
demikian, para kreasionis, yaitu golongan yang menolak evolusi, sampai saat ini masih
meyakini bahwa Bumi hanyalah beberapa ribu tahun umurnya, bukan beberapa ribu juta
tahun; dan menurut mereka metode perhitungan menggunakan radioaktivitas adalah salah.
Fixists vs. Mobilists
Pada akhir abad ke-19, para ahli geologi umumnya telah bersepakat bahwa Bumi itu secara
perlahan mendingin dan berkontraksi dengan berjalanya waktu, dan banyak yang
berpendapat bahwa jalur-jalur pegunungan adalah sebagai akibat kontraksi ini (sering
dibandingkan dengan kisut kulit jeruk yang sudah mengering). Para ahli geologi di Eropa
dan Amerika saat itu percaya bahwa jalur-jalur pegunungan ini seluruhnya disebabkan
gaya-gaya geologi vertikal di bawah pegunungan ini. Tak ada yang memikirkan
kemungkinan bahwa pegunungan-pegunungan ini disebabkan gaya lateral sebab model ini
akan sangat bertentangan dengan model Bumi yang stabil. Tetapi ternyata ada juga yang
berani menantang para stabilists ini, yang mengatakan bahwa pegunungan-pegunungan
tersebut disebabkan gaya lateral melalui pergerakan benua yang hanyut (continental drift),
dialah Alfred Wegener, seorang ahli meteorologi dan geofisika Jerman. Wegener memang
bukan orang pertama yang mengemukakan bahwa benua-benua kemungkinan bergerak,
sebelumnya ada Snyder di Prancis dan Taylor di Amerika, tetapi Wegener-lah yang
mengemukakannya secara sistematik dan dengan bukti-bukti yang kuat. Wegener
menantang teori pembentukan pegunungan melalui pendinginan dan kontraksi
Bumi. Misalnya, mengapa kerutan pegunungan itu tidak tersebar seragam di mana-mana di
permukaan Bumi, tetapi hanya di jalur-jalur tertentu yang sempit memanjang. Teori Bumi
mendingin karena panasnya hilang terpancar ke angkasa luar juga bertentangan dengan
penemuan baru saat itu bahwa produksi panas justru terus terjadi melalui radioaktivitas di
batuan-batuan penyusun Bumi. Wegener bahkan berteori bahwa dulu pada masa
Mesozoikum ada superbenua besar yang disebutnya Pangaea, yang kemudian retak dan
pecah lalu fragmen-fragmennya bergerak menjauh membuka Samudera Atlantik dan
Hindia. Gerak fragmen-fragmen benua ini akhirnya bertubrukan satu sama lain dan
membentuk jalur-jalur pegunungan.
hanyutan benua sejak dari Pangea
Pegunungan Alpina dan Himalaya terbentuk karena konvergensi Afrika dan India dengan
Eurasia. Wegener mengajukan bukti-bukti bahwa benua-benua yang sekarang terpisah itu
dulu pernah bersatu, misalnya bukti kesamaan fosil, jalur pegunungan yang terputus,
kesamaan lapisan es di benua-benua belahan Bumi bagian selatan, dsb. Tetapi Wegener tak
menemukan mekanisme penyebab hanyutan benua itu. Rotasi Bumi pernah
dikemukakannya sebagai penyebabnya, tetapi tidak diterima.
Perlawanan atas teori hanyutan benua Wegener semula tidak sengit, tetapi menjadi sengit
pada waktu jeda di antara dua Perang Dunia. Perlawanan utama berasal dari para ahli
geofisika yang mengatakan bahwa Bumi memiliki kekuatan terlalu besar untuk
membiarkan benua-benua bermigrasi hanyut ke sana ke mari di atas permukaannya.
Meskipun demikian, Wegener mendapat dukungan dari beberapa tokoh geologi seperti
Emile Argand, Alexander du Toit dan Arthur Holmes. Dan Arthur Holmes-lah yang
menemukan mekanisme yang memuaskan untuk terjadinya hanyutan benua tersebut, yaitu
gerak konveksi di mantel Bumi bagian atas. Meskipun demikian, yang percaya teori
hanyutan benua dianggap sebagai orang-orang aneh, maka menjelang tahun 1950 teori
hanyutan benua Alfred Wegener dilupakan orang dan ditolak banyak ahli ilmu kebumian.
Namun selepas Perang Dunia II yang terjadi justru sebaliknya ketika banyak riset geomarin
dilakukan atas dasar lautan terutama pada magnetisme batuan dan topografi dasar lautan.
Banyak sekali para ahli geologi dan geofisika yang terlibat dalam penelitian-penelitian
selama akhir tahun 1950-an dan sepanjang tahun 1960-an yang lalu akhirnya dengan yakin
membenarkan teori hanyutan benua Wegener dan menghasilkan teori elegan tektonik
global yang baru atau yang lebih dikenal sebagai teori tektonik lempeng. Benua-benua
sungguh bergerak. Inilah kemenangan para mobilists atas para fixists yang mengatakan
bahwa benua-benua terikat ke akarnya tak mungkin bergerak. Demikian, ringkasan dari
Hallam (1973, 1989, 2000 yang juga ikut membidani kelahiran teori tektonik lempeng).
Kini, empat puluh tahun setelah kelahiran teori tektonik lempeng, teori ini dan hanyutan
benua telah menjadi fakta. Pengukuran-pengukuran dengan GPS menunjukkan bahwa
benua-benua ini memang bergerak. Paleomagnetik menunjukkan bahwa benua-benua ini
punya riwayat yang panjang di berbagai posisi di atas permukaan Bumi. Sebagai contoh,
posisi Kalimantan, Papua, Banggai, Jawa, dll. pada beberapa puluh juta tahun yang lalu
tidak di posisinya sekarang. Mantle tomography menunjukkan bahwa konveksi sebagai
penyebab benua-benua ini bergerak adalah benar. Teori tektonik lempeng pun semakin
berkembang, antara lain dengan terrane concept yang mengatakan bahwa benua pun
tersusun atas fragmen-fragmen (terranes) yang lebih kecil yang masing-masing bisa
berbeda geologinya dan asalnya yang lalu saling bergerak beradu membentuk benua.
Meskipun faktanya gamblang, beberapa ilmuwan masih mempunyai keberatan atas teori
tektonik lempeng. Dalam beberapa hal, memang ada beberapa fenomena geologi yang bila
diterangkan dengan gerak lateral lempeng tidak memuaskan, dengan mekanisme isostasi
vertikal lebih memuaskan; tetapi mekanisme tersebut hanyalah a companion terhadap
tektonik lempeng, jauh dari menolaknya.
Expanding Earth (Bumi Mengembang)
Teori expanding Earth muncul sebelum Perang Dunia I sezaman dengan Wegener
mengemukakan teorinya tentang hanyutan benua. Teori ini muncul sebagai perlawanan
atas sebuah teori bahwa Bumi menciut melalui kontraksi. Pada awalnya, teori ini
mengatakan bahwa Bumi mengembang akibat perubahan struktur molekul dan atom di
dalam inti Bumi dan mantel bagian bawah. Sekalipun mengembang, massanya tetap sebab
terjadi perubahan densitas. Teori ini pun mendapatkan inspirasinya dari teori expanding
Universe (Hubble, 1920). Siapa tokoh utamanya tidaklah jelas, tetapi saat teori ini
berkembang kembali mulai tahun 1950-an terdapat beberapa tokoh utamanya yaitu Carey,
Wesson dan Steiner. Pada perkembangan selanjutnya, expanding Earth ini dihubungkan
dengan pemekaran dasar samudera dan perpindahan benua atau teori tektonik lempeng.
Di antara para tokohnya, terdapat perbedaan pendapat tentang laju pengembangan Bumi,
yang terbagi ke dalam (1) slow expansion –radius Bumi bertambah lebar kurang daripada 1
mm/tahun), (2) rapid expansion (dengan laju pertambahan sekitar 4-10 mm/tahun), (3)
expansion-contraction bergantian terjadi dengan laju bervariasi.
Slow expansion Earth mendapatkan dukungan dari beberapa ilmuwan seperti Arthur
Holmes (1965) yang menghitung bahwa laju ekspansi tersebut sebesar 0,24-0,6 mm/tahun
berdasarkan perpanjangan lama hari sebesar 2 milidetik per abad. Rapid expansion Earth
terutama didukung oleh penelitian-penelitian Carey pada tahun 1950-an yang
merekonstruksi Pangaea dan Samudera Pasifik dan menemukan bahwa agar rekonstruksi
itu sesuai/benar diperlukan laju ekspansi radius Bumi sebesar 4,5 mm/tahun. Owen (1976)
juga berdasarkan rekonstruksi benua dan pemekaran dasar samudera menghitung laju
sebesae 6,7 mm/tahun dalam 180-200 juta tahun terakhir. Berdasarkan laju pemekaran
dasar samudera dan subduksi serta peta anomali magnetik di dasar samudera, Steiner
(1978) menemukan laju 5,2-7,8 mm/tahun. Alternating expansion and contraction
didasarkan pada fakta bahwa sepanjang sejarah Bumi terjadi transgresi dan regresi global
(Phanerozoic cycles of global sea level).
Teori expanding Earth mendapatkan perlawanan dari beberapa ahli ilmu kebumian yang
mengatakan bahwa mekanisme pemekaran dasar-samudera tidak berkonotasi dengan
pemekaran radius Bumi sebab materi samudera yang dikembangkan itu akan kembali ke
dalam mantel Bumi melalui subduksi sebagai bagian siklus yang dikenal sebagai siklus
Wilson. Para pembela expanding Earth mengatakan bahwa diameter Bumi masa lalu tak
mungkin sama dengan diameternya masa kini sebab awal Bumi terjadi melalui collision
berbagai puing kosmik yang lalu bersatu membentuk inti Bumi lalu berdiferensiasi
membentuk mantel lalu akhirnya kerak Bumi dengan diameter yang makin melebar.
Matahari kelak akan membesar menjadi raksasa merah (red giant star) oleh
pengembangannya, maka tak mengherankan Bumi pun memekarkan diameternya
sepanjang evolusinya. Dengan fast expanding Earth, maka diameter Bumi sekarang 18 %
lebih lebar daripada saat Pangaea ada. Namun pengukuran terbaru yang akurat
menggunakan paleomagnetik atas radius Bumi 400 juta tahun yang lalu menemukan bahwa
radius Bumi tersebut 102 % daripada yang sekarang (McElhinney et al, 1978).
Penghitungan momen inersia untuk Bumi dalam 620 juta tahun terakhir pun
mengindikasikan bahwa radius Bumi tak berubah (Williams, 2000). Mekanisme yang tak
memuaskan dan pengukuran yang menunjukkan tidak adanya perubahan dalam diameter
Bumi untuk beberapa ratus juta tahun terakhir telah menyebabkan teori expanding Earth
ditolak banyak komunitas sains.
Demikianlah beberapa kontroversi dalam geologi yang berjalan melalui perdebatan-
perdebatan di antara para pendukungnya.