filsafat

35
I MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat ilmu yang dibina oleh Bapak Dona sandy Yudasmoro Di Susun Oleh Muhammad Faisal Ammar UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Upload: azieer-keira-hhelohs

Post on 23-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

filsafat

TRANSCRIPT

Page 1: filsafat

I

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Filsafat ilmu

yang dibina oleh Bapak Dona sandy Yudasmoro

Di Susun Oleh

Muhammad Faisal Ammar

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

JURUSAN PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA

November 2014

Page 2: filsafat

KATA PENGANTAR

Page 3: filsafat

DAFTAR ISI

Page 4: filsafat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu saya dengan senang hati

membuat makalah tentang olahraga, untuk memeberikan wawasan mengenai olahraga

dengan kajian secara filosofis besrta tinjauan olahraga dari sisi dimensi ilmu, struktur

ilmu dan penggolonggan pengetahuan ilmiahnya dan menemukan sub disiplin dalam

bidang ilmu olahraga Olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang

dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan.

Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta

dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti

berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat)

UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa

permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri

sendiri”.

Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas

dan dilaksanakan dalam waktu luang”.

Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for All”

dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragaka

masyarakat” (Rusli dan Sumardianto,2000: 6).

Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala

kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-

potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat

dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam

pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.

Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus

bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai

karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d.

Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai

Page 5: filsafat

karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi,

kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang dilembagakan.

B. Rumusan masalah

1. Kajian filosofis tentang olahraga

2. Tinjauan olahraga dari sisi dimensi ilmu, struktur ilmu dan penggolonggan

pengetahuan ilmiahnya

3. Sub disiplin ilmu dalam olahraga

C. Tujuan

1. Mengetahui kajian filosofis tentang olahraga

2. Mengetahui Tinjauan olahraga dari sisi dimensi ilmu, struktur ilmu dan

penggolonggan pengetahuan ilmiahnya

3. Sub disiplin ilmu dalam olahraga

Page 6: filsafat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian filosofis mengenai olahraga

Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai muncul

pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui deklarasi ilmu

olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam memang masih pesimis

terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat

kajian dan wacana akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun

sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring

kompleksitas permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai

bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan. Filsafat, dalam hal

ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian

ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga

dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan

ilmu lain. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain

merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan

dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek itu yang

berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu,

asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan ilmu. Ontologi merupakan sarana

ilmiah untuk menemukan jalan penanganan masalah secara ilmiah (Van Peursen, 1985:

32). Dalam hal ini ontologi berperan dalam proses konsistensi ekstensif dan intensif

dalam pengembangan ilmu.

Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam

usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan dengan metode keilmuan

dan sistematika isi ilmu. Metode keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup

berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh

pengetahuan baru atau mengem bangkan yang telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu

dalam hal ini berkaitan dengan batang tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan

ilmu pokok dan ilmu cabang dibahas di sini.

Page 7: filsafat

Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari

pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu

mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan

ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagi sehingga secara inheren

mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika, estetika, religius (sisi dalam)

dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi

luar aksiologi). Keduanya merupakan aspek dari permasalahan transfer pengetahuan.

Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasi lintas, inter

dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab persoalan dan tantangan

yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan kata lain, proses timbal balik yang

sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah praksis muncul, dan menjadi

tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi, memetakan dan memadukan hal tersebut.

Filsafat ilmu olahraga, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini ontologi,

epistemologi, aksiologi mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam.

Ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi

dan perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.

1. Akar Eksistensi Olahraga

Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti halnya

sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya tentang latihan

demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau menghabiskan waktu luang,

atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang

memiliki akar eksistensi ontologis sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam

kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih. Olahraga juga adalah

permainan, senada dengan eksistensi manusiawi sebagai makhluk bermain (homo ludens-

nya Huizinga). Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak

jaman Yunani Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di

masa modern, di mana dalam sejarahnya, selalu mengawal peristiwa keolahragaan itu.

Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri. Mitos dan

agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu perkembangan

kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga

merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan

Page 8: filsafat

transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif

tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka

dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi,

kecantikan visual dan campuran dari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan

(Hatab, 1998: 98).

Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisi-puisi

Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya persaingan.

Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya persaingan ini: atletik,

keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual, nyanyian, tarian, drama dan retorika

(Crowell, 1998: 7).

Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang ideal

kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial adalah

mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia. dapat mencapai

kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan kemasyhuran melalui pengambilan

resiko dan pengkonfrontasian, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain

dan kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubung

dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir dalam Iliad itu bahwa tanpa

kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-

apa (Hatab, 1998: 98). Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan

atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani

Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung

diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi

keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes

atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan

mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian,

keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis (Hatab, 1998: 99).

Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang

tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam

ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai

analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama baik tentang nasib dan

kepahlawanan dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural agon. Sekarang,

Page 9: filsafat

signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemen-

statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara

bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan

terhadap transendensi spiritual dan tertib alam menggeser pengaruh mitos-mitos dan

religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting

latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang

meremehkan nilai penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat

olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab,

1998: 99).

2. Ekspresi Filosofis Kultur OlahragaFriederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: “Tuhan telah mati”) termasuk

filsuf yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia Yunani Kuno yang

menghargai atletik sejajar dengan intelek. Nietzsche adalah seorang filsuf kontroversial

yang paling banyak dirujuk sebagai penyumbang tak langsung debat akademis tentang

kaitan pemikiran filsafat dan ilmu keolahragaan. Bahkan beberapa penulis, seperti

Richard Schacht, menyebut “filsafat olahraga Nietzscheian” sebagai istilah penting dalam

bahasan ilmiahnya, Nietzsche and Sport, meskipun istilah ini masih perlu dicurigai

sebagai terlalu maju dan ahistoris, oleh karena pemikir lain seperti Lawrence J. Hatab

(1998: 78) menyatakan bahwa Nietzsche sedikit sekali atau bahkan tak pernah bicara

tentang aktivitas atletik dan olahraga secara langsung. Hatab mengeksplorasi Nietzsche

hanya dalam kaitan pemikirannya yang dapat diasosiasikan dan mengarah pada tema

keolahragaan. Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power,

sublimation, embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletik dan

event-event olahraga (Hatab, 1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwa arah pemikiran

yang berhubungan secara historis pada dunia keolahragaan termasuk dalam ekspresi

pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, ilmu keolahragaan memiliki akar filosofisnya.

Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang

menyukai permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa hal-hal

tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan atletik

adalah penampilan dan proses produksi makna kultural penting. Ini dapat dilihat dari efek

kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu, pertunjukan olahraga juga dapat

Page 10: filsafat

dipahami sebagai tontonan publik yang mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup,

prestasi teatrikal dari keadaan umat manusia, pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses

dan gagal. Dari sudut pandang pengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa

olahraga dapat menanamkan kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin,

kerja tim, keberanian dan intelegensi praktis (Hatab, 1998: 103).

Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup “serius” untuk

diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998: 106), sehingga

filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri yang menekankan

jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa olahraga memiliki

kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia. Begitulah, di dunia Yunani

Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi

menempati penghargaan kultural terhormat. Namun demikian, Steven Galt Crowell

(1998: 113) dengan mengeksplorasi secara mendalam feneomena olahraga sebagai

tontonan dan permainan, mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas, agresifitas, dan

“merusak kesehatan”.

Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat alamiah untuk “war on

drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para praktisi terkemuka

menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup atlit olahraga.

Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan

keahlian yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai

keksatriaan dimunculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya,

sehingga yang menampak adalah demonstrasi ketiadaartian kecakapan. Tontonan

menawarkan individu-individu yang mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya,ke

dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa yang oleh Nietzsche

disebut “inverse cripples” (ketimpangan terbalik), di mana keberadaan manusia “kurang

segala sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka terlalu banyak memilikinya

keberadaan manusia yang adalah tak lain daripada mata besar, mulut besar, perut besar,

segalanya serba besar” (Crowell, 1998: 115).

Atlit sekarang bukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya

menjadi manusia, tetapi sekedar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari

penonton yang pujian-pujiannya menjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri (teralienasi

Page 11: filsafat

- dalam bahasa patologi sosialnya Erich Fromm). Dari tontonan kompetitif seperti ini, tak

ada artinya “aturan urutan juara”: kemenangan di beli dan dibayarkan, olahraga sebagai

tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara tentang hidup yang tak dialami sendiri.

3. Deklarasi Ilmu Olahraga

Beberapa pendapat di atas bagaimanapun mencerminkan suatu perhatian filosofis

yang diakronik terhadap olahraga sebagai fenomena yang monumental di jaman ini

(setidaknya dengan mengukur antusiasme masyarakat awam terhadap tontonan olahraga

baik langsung di stadion maupun di televisi, atau dengan larisnya majalah atau kolom

keolahragaan, berikut fenomena “megasponsor” dan perjudian di dalamnya). Lalu,

bagaimana tuntutan perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di Indonesia khususnya

dan masyarakat akademis dunia pada umumnya? Terdorong oleh rasa ingin mencari

jawaban tepat terhadap pertanyaan: apakah olahraga merupakan ilmu yang berdiri

sendiri, dan sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, maka diselenggarakanlah

pada tahun 1998 di Surabaya suatu Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan.

Seminar ini mampu melahirkan kesepakatan tentang pendefinisian pengertian olahraga

yang dikenal dengan nama Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan, sebagai

jawaban bahwa olahraga merupakan ilmu yang mandiri. Sebagai ilmu yang mandiri,

olahraga harus dapat memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan pengorganisasian yang

khas, dan ini dicakup dalam paparan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi

(Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, 2000: 1-2, 6). Dari sini, filsafat ilmu muncul

sebagai suatu kebutuhan.

Earle F. Zeigler (1977) mengaitkan pendidikan keolahragaan dengan filsafat

olahraga dengan mencoba mengurai berbagai aspek yang dianggap terkait dengan

berbagai dimensi yang muncul dari fenomena keolahragaan, terutama dalam hal dimensi

edukatifnya. Tampaknya banyak penelitian serupa yang menggagas filsafat ilmu

keolahragaan dalam tinjauan yang kurang lebih diasalkan pada pendidikan jasmani. C.A.

Bucher dengan bukunya Foundation of Physical Education and Sport (1995), William H.

dalam buku Physical Education and Sport a Changing Society (1987), adalah beberapa

karya yang bernuansa filsafat ilmu keolahragaan, namun pembahasan yang diambil lebih

merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk membangun dasar-dasar

Page 12: filsafat

ilmu keolahragaan, sedangkan hakikat dimensi ontologi, epistemonogi dan aksiologi

belum sepenuhnya digarap mendalam dan mengakar.

Aspek pertama, ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi ilmu

keolahragaan yang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO

mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan

perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan

Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan

dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia

“Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan

mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6). “Aktivitas”, sebagai

kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal ini gerak

manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar dan bertujuan. Oleh karena

itu, menurut KDI keolahragaan, obyek material ilmu keolahragaan adalah gerak insani

dan obyek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan.

Dalam hal ini, raga/tubuh adalah sasaran yang terpenting dan paling mendasar. Penelitian

filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai kaitan tak

terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan fenomena maraknya arah mode atau

tekanan kecintaan masyarakat luas terhadap bentuk tubuh ideal.

Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: “oran dum es ut sit

‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwa menyehatkan

jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu jalan untuk mencegah timbulnya

pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang kepada perbuatan-perbuatan yang

tidak baik (Noerbai, 2000: 35). Ilmu keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah

fenomena keolahragaan berarti pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang

fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh

dari medan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).

Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yang

mempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu. Ilmu

keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatan multidisipliner,

lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisipliner ditandai oleh orientasi

vertikal karena merupakan penggabungan beberapa disiplin ilmu. Interdisipliner ditandai

Page 13: filsafat

oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau

ide. Sedangkan pendekatan lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena

melumatnya batas-batas ilmu yang sudah mapan.

Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan membentuik batang

tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu. Inti kajian

ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori Bermain dan

Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga, Ergofisiologi,

Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi Olahraga, Sejarah

Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari

Humaniora terwujud dalam antropokinetika; Ilmu Pengetahuan Alam – terwujud dalam

Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial – terwujud dalam Sosiokinetika (KDI

Keolahragaan, 2000: 33-34).

Aksiologi - aspek ketiga - berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu

kajian. Secara aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi,

sosial, budaya dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan,

2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak, dibandingkan sisi

dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya.

Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara akademis

menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk

dieksplorasi. Ini termasuk dari sisi estetisnya, di mana Randolph Feezell mengulasnya

secara fenomenologis, selain dimensi naratifnya (Feezell, 1989: 204-220). Kemungkinan

nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79-92) membahasnya secara ekstensif dan

komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110-118) membahas kaitan olahraga dengan arah

spiritualitasnya. Nancy Shinabargar (1989: 44-53) secara sosiologis membahas dimensi

feminis dalam olahraga. Yang tersebut di atas adalah beberapa contoh cakupan dimensi

ilmu keolahragaan dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas

menantang.

Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi

ontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa apa yang Paul Weiss tulis

dalam bukunya Sport: A Philosophy Inquiry (1969: 12) bahwa semakin banyak renungan

filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan keterpesonaan terhadap

Page 14: filsafat

olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya. Ini perlu dimaknai secara

operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21 ini, fenomena signifikansi dan kejelasan

transkultural dari olahraga menempati salah satu koridor akademis ilmiah yang

membutuhkan lebih banyak penggagas dan kreator ide (Hyland, 1990: 33).

Kecenderungan minat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif ini membawa

implikasi logis bagi filsafat untuk mengasah mata pisau “keibuannya”, mengingat dari

sejarahnya, filsafat dianggap mater scientarum: “ibunya ilmu”, dalam memberi tempat

bagi pertanyaan dan jawaban mendasar atau inti isi ilmu keolahragaan sekaligus

mengasuh cabang-cabang ranting ilmu keolahragaan ini.

B. Disiplin ilmu dalam olahraga

Ilmu Keolahragaan sebagai suatu disiplin ilmu, diakui dan dibina secara formal

di Indonesia masih relatif belum lama yaitu sejak tahun 1999 ketika Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional membentuk Komisi

Disiplin Ilmu Keolahragaan sebagai Komisi Disiplin Ilmu ke 13, di samping 12

Komisi Disiplin Ilmu lain yang sudah sejak lama dibina melalui Konsorsium Ilmu.

Sebelum dibentuk Komisi Disiplin Ilmu keolahragaan, secara formal keberadaannya

dimasukkan di dalam lingkup ilmu Pendidikan yang dibina melalui Konsorsium Ilmu

Pendidikan. dengan masih mudanya Ilmu Keolahragaan sebagai Disiplin Ilmu di

indonesia, maka masih diperlukan usaha keras para ilmuwan keolahragaan untuk

mempertajam kajian ilmiahnya dan mempertegas wilayah kajiannya agar memperoleh

pengakuan secara luas dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu lain yang sudah lebih

dulu berkembangan. Pendalaman mengenai dimensi kajian dan struktur ilmu

keolahragaan perlu dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di lembaga pendidikan

tinggi keolahragaan yang pada dasarnya merupakan ujung tombak pengembangan ilmu

keolahragaan. belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih dahulu mengakui

eksistensi ilmu keolahragaan sebagai disiplin ilmu dengan terminology penamaannya

masing-masing yang beragam, dapat ditemukan yang sudah sedemikian

komprehensif dan mendalam. Fenomena manusia yang melakukan aktivitas fisik

dalam rangka pembentukan dan pendidikan yang sekarang dikenal di Indonesia

sebagai olahraga telah lama dikaji secara ilmiah di berbagai negara di seluruh dunia.

Perkembangan kajian di berbagai negara cukup bervariasi, baik ditinjau dari segi fokus

Page 15: filsafat

dan tema kajian maupun tingkat kepesatan kemajuannya. Melalui ilmuwan keolahragaan

yang dimiliki, ada negara-negara yang sudah mampu melakukan kajian secara intensif

dan mendalam , tetapi banyak juga yang masih terbelakang. Kajian ilmiah secara intensif

terhadap fenomena keolahragaan umumnya lebih mampu dilakukan oleh negara-negara

yang telah memiliki budaya ilmiah yang baik asil kajian tentang keolahragaan telah

disusun dalam struktur keilmuan sebagai suatu disiplin akademik atau disiplin ilmu.

Dengan obyek material dan formal yang sama, ternyata struktur keilmuan yang dibuat

dan terminology disiplin ilmunya cenderung beragam di setiap negara. Hal ini

dipengaruhi oleh dasar pengelompokan disiplin ilmu yang digunakan, dan tentu juga

dipengaruhi oleh faktor kebahasaan khususnya kosa kata dalam bahasa yang dipakai oleh

setiap negara.

Perkembangan Terminologi Ilmu Keolahragaan

Secara internasional, kajian mengenai fenomena keolahragaan memiliki sejarah

panjang, melalui berbagai tahapan perkembangan mulai dari kajian yang relatif masih

sederhana sampai sekarang yang sudah menjadi sangat kompleks. Terminologi yang

digunakan untuk penamaan kajian fenomena keolahragaanpun juga mengalami

perubahan dari masa kemasa.

Pada zaman Mesir Kuno, di kota Sparta dan Athena sudah dikenal aktivitas

jasmani yang sistematik dengan maksud dan tujuan untuk membentuk tubuh yang

baik, kuat, tahan, lincah, dan pemberani, yang disebut Gymnastics. Gymnastics

berarti athletics atau bentuk latihan yang dilakukan di gymnasium. Dikemudian hari

beberapa negara antara lain Jerman, Swedia, Denmark, dan Amerika menggunakan

istilah gymnastics dengan pengertian yang lebih spesifik yaitu suatu latihan formal,

calisthenics, dan aktivitas yang menggunakan alat. Pada abad 18 muncul istilah Physical

Culture yang digunakan untuk menamai kajian tentang ilmu dan seni latihan tubuh,

atau pemeliharaan dan pengembangan fisik yang sistematik. Buku berjudul Physical

Culture telah ditulis oleh Charles Wesley Emerson yang edisi ke 9 nya diterbitkan di

Boston pada tahun 1904. Pada abad 19 muncul istilah Physical Training yang digunakan

di Amerika dalam latihan militer, untuk menamai program latihan dan aktivitas fisik

yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan dan kondisi fisik, serta

keterampilan gerak. Selanjutnya masih pada abad 19 muncul istilah Physical Education

Page 16: filsafat

yang digunakan diperguruan tinggi di Amerika Serikat. Istilah ini kemudian semakin

popular dan digunakan sampai saat ini disamping istilah-istilah lain yang muncul. Dalam

perkembangannya, muncul pemikiran bahwa istilah Physical Education sebagai

nama suatu disiplin akademik tidak logis dan perlu dicari nama lain yang lebih

tepat. Hal ini diungkapkan oleh Rosalind Cassidy dan Thomas D. Wood pada

tahun 1927 dalam bukunya yang berjudul The New Physical Education, dan

diungkapkan kembali pada tahun 1938 dalam bukunya yang berjudul New

Directions in Physical Education.Pada tahun 1935 S.C. Staley menulis buku

berjudul The Curriculum in Sport, dan pada tahun 1939 menulis buku lagi berjudul

Sport Education. Buku-buku tersebut menandai adanya istilah baru yaitu Sport. Pada

tahun 1971 dalam Convensi Detroit dibuat pernyataan bahwa agar memperoleh status

yang lebih baik di dalam kurikulum sekolah, nama Physical Education harus

diganti. Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif secara luas karena memang

dirasakan bahwa nama Physical Education tidak sesuai lagi dengan keluasan

spektrum bidang studi dan keragaman layanan profesional yang dapat dilakukan.

Pada tahun 1973 American Academy of Physical Education melakukan kajian

mendalam untuk mencari nama baru, dan memunculkan beberapa alternatif nama

yaitu: 1) Kinesiology; 2) Kinetics; 3) Physical Education and Sport; 4) Physical

Education and Dance; dan 5) Movement Art and Sciences. Dari 5 alternatif

tersebut, nama Movement Art and Sciences dinilai paling tepat untuk dipilih.

Pemikiran lain yang menonjol adalah oleh Prof. Dr. Herbert Haag,M.S. dari

Jerman yang mengembangkan konsep Sport Sciences, dan oleh Prof. Dr. K.

Rijsdorp dari Belanda yang mengembangkan konsep Gymnologie, serta oleh Claude

Bouchard, PhD. dari Kanada yangmengembangkan konsep Physical Activity

Sciences. Kajian atas konsepkonsep keilmuan yang dihasilkan para ahli tersebut

menunjukkan adanya keberagaman struktur dan sistematika yang dibuatnya. Namun

karena pada hakekatnya obyek kajiannya adalah sama, maka kesemuanya dapat ditarik

benang merah dengan alur yang sejalan, tidak saling bertentangan, dan justru dapat saling

melengkapi. Sementara itu, kajian mengenai fenomena keolahragaan di Indonesia

cenderung mengikuti perkembangan yang terjadi secara internasional. Hasil kajian

yang ditulis para ahli dari negara-negara maju diadopsi dan digunakan sebagai

Page 17: filsafat

referensi pengembangan kajian. Dalam hal terminology untuk menamai bidang studi

keolahragaan yang digunakan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Mula-

mula digunakan nama Gerak Badan, kemudian berturut-turut berubah menjadi

Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani dan Olahraga.

Sedangkan istilah yang digunakan untuk menamai disiplin akademik atau disiplin

ilmunya adalah Ilmu Keolahragaan. Untuk sampai pada tahap diakuinya Ilmu

Keolahragaan sebagai disiplin ilmu telah melalui perjuangan dan jalan panjang,

yang berujung pada diselenggarakannya Seminar dan Lokakarya Nasional Ilmu

Keolahragaan di Surabaya pada tahun 1998. Dalam forum yang dihadiri oleh para

ilmuwan keolahragaan dan juga para ilmuwan disiplin ilmu lain yang relevan, telah

dicanangkan deklarasi yang mengukuhkan eksistensi Ilmu Keolahragaan. Berdasarkan

hasil Seminar dan Lokakarya tersebut yang ditindaklanjuti dengan pembentukan

dan berfungsinya Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, maka dapat dihasilkan

dokumen dalam bentuk buku yang berjudul Ilmu Keolahragaan dan Rencana

Pengembangannya. Dokumen ini dapat digunakan sebagai acuan pengembangan

selanjutnya.

Hakikat Ilmu Keolahragaan

Ilmu keolahraga pada dasarnya mempunyai akar pada pengetahuan yang

melingkupi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat multidimensi. Hidup dan

kehidupan manusia selalu berada dalam dimensi kelahiran, pertumbuhan-

perkembangan, dan kematian; dimensi fisikal, mental, dan emosional; dimensi

biologis, personal, dan behavioral dimensi individual dan sosial; dimensi ruang dan

waktu; dimensi natural, humanitis, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji fenomena

keolahragaan, dan yang berolahraga adalah manusia, karena itu ilmu keolahragaan

memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya

keberadaan manusia. Ilmu Keolahragaan berkembang dari ilmu-ilmu pendahuluan

yang mengkaji tentang manusia dalam berbagai dimensinya, melalui pemfokusan

kajian pada manusia yang melakukan aktivitas olahraga, olahraga yang dilakukan,

dan segala seluk-beluk yang menyertainya. Ilmu Keolahragaan dapat diartikan

sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi tentang fenomena

keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah. Sebagai disiplin ilmu

Page 18: filsafat

yang berdiri sendiri pada hakekatnya Ilmu Keolahragaan dapat didukung dengan

kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jelas dan dapat

dipertanggungjawabkan. Kajian ontologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan

tentang apa sebenarnya yang menjadi obyek studiilmu keolahragaan yang dianggap

unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu lain. Kajian epistemologis dilakukan untuk

menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara dan sistem kajian yang dipergunakan

untuk mengembangkan ilmu keolahragaan. Sedangkan kajian aksiologis dilakukan

untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya nilai-nilai yang diberikan oleh

ilmu keolahragaan bagi kemaslahatan hidup umat manusia.

Kajian ontologis dapat menunjukkan bahwa studi ilmu keolahragaan memiliki

obyek material yaitu gerak manusia (human movement) dan obyek material yaitu

gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dengan obyek studi

tersebut kajian ilmu keolahragaan menjadi sangat kompleks karena di dalam obyek

studi itu terkandung dimensi biologis, psikologis, budaya, dan antropologis.

Sementara itu, gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan telah

menjelma dalam spektrum aktivitas jasmani yang luas, yang meliputi: play, games,

physical education and health, sport, dance, recreation and leisure. Kajian ilmu

keolahragaan menjadi semakin kompleks ketika berbagai aktivitas jasmani tersebut

berkorelasi dan berinteraksi dengan aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, ideologi,

politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa. Kajian epistemologis dapat

menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dapat dikembangkan melalui beberapa

pendekatan kajian dan metode penelitian. Ada 4 pendekatan kajian yang dapat

digunakan yaitu pendekatan: 1) multi-disiplin; 2) inter-disiplin; 3) lintas-disiplin;

dan 4) trans-disiplin. Pendekatan multi-disiplin merupakan pendekatan dimana

berbagai disiplin ilmu dengan perspektifnya masing-masing tanpa kesatuan konsep

mengkaji fenomena keolahragaan. Pendekatan interdisiplin merupakan pendekatan

dimana dua atau lebih disiplin ilmu berinteraksi dalam bentuk komunikasi ide atau

konsep yang kemudian dipadukan untuk mengkaji fenomena keolahragaan.

Pendekatan lintasdisiplin merupakan pendekatan dimana aspek-aspek yang ada

dalam fenomena keolahragaan menjadi pusat orientasi penyusunan konsep secara

terpadu dengan menggunakan teori-teori beberapa disiplin ilmu yang relevan. Dengan

Page 19: filsafat

pendekatan lintas disiplin, batas-batas disiplin ilmu sumbernya menjadi tersamar atau

tidak tampak.. Pendekatan transdisiplin merupakan pendekatan yang relatif baru

dalam pengembangan ilmu, yaitu pendekatan dimana suatu disiplin ilmu dikembangkan

dengan menggunakan metode, teknik, atau cara-cara yang telah lazim digunakan oleh

disiplin ilmu lain.

Dari aspek metodologis dalam penelitian keolahragaan dapat digunakan 3

pendekatan yaitu pendekatan: 1) positivistik-empirik; 2) fenomenologis; dan 3)

hermeneutik. Pendekatan positivistik-empirik menekankan pada data empirik hasil

observasi dengan menggunakan instrumen tertentu, dan dalam posisi terpisah antara

peneliti dengan obyek yang diteliti. Pendekatan fenomenologis menekankan pada

pengungkapan fenomena empirik melalui pengamatan langsung yang kemudian

ditafsirkan dan diberi makna. Pendekatan hermeneutic menekankan pada pemaparan

pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas obyek kajian dengan

menggunakan teori yang sudah ada.

Kajian aksiologis dapat menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dan aplikasinya

dalam bentuk aktivitas keolahragaan ternyata memiliki nilainilai positif berkenaan

dengan realitas kehidupan individu maupun masyarakat luas secara universal.

Disamping nilai-nilai pembentukan dan pendidikan sebagai nilai-nilai utama, nilai

survival bagi kehidupan umat manusia merupakan nilai yang lebih esensial. Nilai-nilai

lain sebagai nilai ikutannya adalah berpotensi untuk memberikan sumbangan dalam

membentuk kehidupan masyarakat dan umat manusia dalam kebersamaan tanpa

mamandang perbedaan suku, ras, bangsa, agama, dan budaya. Dalam skala yang

lebih bersifat sektoral, memiliki nilai-nilai dapat menyumbang terbentuknya

dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan

ketahanan bangsa.

C. Dimensi ilmu dalam olahraga

Kajian mengenai tubuh pengetahuan (body of knowledge) ilmu keolahragaan,

dengan meminjam konsep Herbert Haag, dapat diidentifikasi adanya 3 dimensi

tubuh pengetahuan, yaitu: 1) dimensi bidang teori; 2) dimensi kajian; dan 3) dimensi

disiplin olahraga.

Page 20: filsafat

Dimensi Bidang Teori (Theory Field)

Dimensi bidang teori dalam ilmu keolahragaan meliputi:

1. Filsafat Olahraga

2. Sejarah Olahraga

3. Pedagogi Olahraga

4. Psikologi Olahraga

5. Sosiologi Olahraga

6. Biomekanika Olahraga

7. Kedokteran Olahraga

Selain ke 7 bidang teori yang sudah mapan tersebut, berkembangbidang

teori lain yang bersifat spesifik yaitu:

1. Belajar Gerak (Motor Learning)

2. Perkembangan Gerak (Motor Development)

3. Teori Bermain (Play Theory)

4. Teori Gerak (Movement Theory)

5. Teori Latihan (Training and Coaching Theory)

Termasuk dalam bidang teori yang saat ini mengalami perkembangan adalah:

1. Manajemen Olahraga

2. Infrastruktur Olahraga

3. Industri Olahraga

4. Komunikasi dan Media Massa Olahraga

5. Ekonomi Olahraga (Sport Economy)

6. Hukum Olahraga (Sport Law)

7. Politik Olahraga (Sport Politics)

Dimensi Kajian (Research)

Dimensi kajian meliputi berbagai aspek teoritis dan aspek empiris yang ada

dalam fenomena keolahragaan, yang merupakan permasalahan yang perlu dikaji

Page 21: filsafat

sebagai upaya pendalaman dan pengembangan tubuh pengetahuan ilmu

keolahragaan. Tema-tema umum yang dikaji meliputi antara lain:

1. Olahraga bagi anak-anak dan pemuda

2. Olahraga dan prestasi

3. Olahraga, rekreasi, dan pengisian waktu luang

4. Olahraga dan aktivitas di alam terbuka

5. Olahraga, musik dan tari

6. Olahraga dan kesegaran jasmani

7. Olahraga bagi usia lanjut

8. Olahraga dan gender

9. Olahraga bagi penyandang tuna

10. Olahraga dan terapi kesehatan

11. Olahraga, etika, dan estetika

12. Olahraga dan produktivitas kerja

Tema-tema lain dapat berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan

masyarakat akan layanan profesional yang dilandaskan pada penerapan ilmu

keolahragaan.

Dimensi Disiplin Olahraga (Sport Discipline)

Dimensi disiplin olahraga meliputi jenis atau cabang-cabang olahraga yang sudah ada

yaitu:

1. Atletik

2. Senam

3. Beladiri

4. Renang dan loncat indah

5. Sepakbola

6. Bolabasket

7. Bolavoli

8. Bolatangan

9. Bulutangkis

Page 22: filsafat

10. Tenismeja

11. Tenis

12. dan sebagainya yang berjumlah setidaknya 49 cabang olahraga prestasi dan

banyak macam olahraga kesehatan, olahraga penyandang tuna, olahraga

penjelajahan alam, dan olahraga tradisional.

Page 23: filsafat

DAFTAR RUJUKAN

Bouchard, Claude; McPherson, Barry D.; and Taylor, Albert W. (Eds). 1992. Physical

Activity Sciences. Champaign: Human KineticsBooks,Brooks, George A.

(Ed). 1981. Perspectives on The Academic Discipline of Physacal Education.

Illinois: Human Kinetics Publishers.

Bucher, Charles A. 1972. Foundatins of Physical Education. Saint Louis: The C.V. Mosby

Company. Chu, Donald. 1982. Dimensions of Sport Studies. New york: John

Wiley & Sons, Inc.Coakley, Jay and Dunning, Eric. (Eds). 2006. Handbook

of Sport Studies. London: Sage Publications.

http://www.academia.edu/1224192/DASAR-DASAR_FILOSOFIS_ILMU_OLAHRAGA