figur menginap di pesantren - ftp.unpad.ac.id · soal agama,” katanya saat ditemui seusai...

1
FIGUR Iwan Fals JUMAT, 27 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS 26 | Ramadan J ARUM jam hampir menun- jukkan pukul 21.00. Asjone Martin dan sepuluh rekan- nya duduk mengelilingi tiga me ja bundar yang disusun sejajar. Lelah terpancar dari wajah mereka pada hari ke-10 bulan Ramadan itu. Maklum, berbeda dengan umat Islam di Indonesia yang berpuasa selama 13 jam, umat Islam di Belanda berpuasa 4 jam lebih lama mengingat matahari ter- benam sekitar pukul 21.00. “Bagi sebagian besar orang, berpuasa merupakan hal sulit. Apalagi jika Anda harus be- kerja,”ujar Asjone di sebuah res toran Asia dekat Stasiun Blaak, Rotterdam. Kesulitan berpuasa juga dirasakan Fatih Anfasa. Menurut mahasiswa kedokteran itu, tantangan ter- berat adalah menyesuaikan kebiasaan berpuasa di Indo- nesia dengan ‘Negeri Kincir Angin’. Setelah berbuka pada pukul 21.00 dan salat Isya, me- reka beristirahat pada tengah malam. Mereka lalu bangun sekitar pukul 03.30 untuk sa- hur. Kemudian, pada pukul 05.00 mereka kembali beristira- hat dan bangun pada pukul 07.00 guna bersiap mengikuti kuliah. Meski demikian, tidak se- mua warga muslim Indonesia menganggap perbedaan waktu merupakan masalah. Respati van de Bunt adalah istri se- orang warga Belanda. Baginya, tidak ada perbedaan signikan antara berpuasa di Indonesia atau di Belanda. “Tentu saja du- rasi puasa lebih panjang karena saat ini adalah musim panas. Namun, itu bukan kesulitan berarti,” ujarnya. Menurut dia, tantangan terse- but justru akan mendatangkan pahala. ”Di Indonesia, rekan, teman, dan kolega berpuasa. Namun di Belanda, jika Anda ingin makan, tidak ada yang peduli sehingga tekanan sosial sangat berkurang.” Apabila durasi berpuasa bisa diatasi, tantangan berikut- nya adalah kultur. Lia Savitrie Yulianto mengaku sangat ke- hilangan suara azan. “Kadang kala kami bingung dengan perbedaan waktu. Kami rindu dengan suara azan yang diku- mandangkan dari masjid. Kami pun menyiasatinya dengan memasang rekaman azan di komputer,”ujar mahasiswi psikologi tersebut. Tidak cukup dengan itu, para mahasiswa beberapa kali menyambangi masjid. Uniknya, lantaran Rot- terdam adalah kota metropo- litan, hampir semua masjid berkaitan dengan latar bela- kang etnik tertentu. Sebut saja, Masjid Turki, Masjid Maroko, Masjid Pakistan, Masjid Suri- name, dan Masjid Indonesia. Di masjid-masjid tersebut, aca ra berbuka puasa kerap digelar. Beberapa di antaranya terbuka hanya bagi umat Is- lam dan pria, lainnya terbuka untuk semua kalangan. Salah satu yang unik adalah yang diselenggarakan Ramadan Festival Foundation. Yayasan tersebut menyalurkan orang yang hendak berbuka puasa ke keluarga-keluarga muslim. “Ramadan adalah kesem- patan baik untuk bertemu sesama,” kata Aicha Lagha selaku ketua yayasan. “Kami berharap dapat mendekatkan kelompok-kelompok etnik di Belanda,”pungkasnya. Kampung halaman Lepas dari tantangan perbe- daan waktu dan kultur, bagi sebagian mahasiswa Indonesia tantangan terberat adalah rindu Tanah Air. Guna mengatasinya, mereka kerap mengadakan acara berbuka bersama. Menu- rut Lika Apriani, selama bulan Ramadan para mahasiswa lebih sering berbuka bersama daripada bulan-bulan lainnya. “Setiap warga Indonesia sudah seperti keluarga di sini. Karena itu, kami sering memasak ber- sama untuk berbuka. Apalagi bahan-bahan makanan Indo- nesia sangat mudah dijumpai,” papar mahasiswi kedokteran itu. Seperti di Rotterdam, sua- sana Ramadan di utara Belanda tidak berbeda jauh. Para maha- siswa muslim Indonesia di Kota Groningen yang tergabung dalam komunitas de Gromi- est beberapa kali menggelar tadarusan dan berbuka selama bulan Ramadan. Abdul Muizz selaku Ketua de Gromiest me- ngaku kegiatan semacam itu giat dilakukan demi menjalin kebersamaan dan kekeluarga- an. “Di saat kami jauh dari keluarga kandung di Indonesia, kami memiliki teman-teman seiman yang bisa mendukung layaknya keluarga,” katanya. Salah satunya, saat mengikuti acara berbuka de Gromiest, dua hari lalu. Acara tersebut diadakan di flat salah seorang mahasiswa Universitas Gron- ingen. Setelah beberapa saat ayat-ayat Quran dibacakan, waktu berbuka pun tiba. Sejumlah gelas berisi es bu- ah diedarkan. Beberapa orang semringah lantaran berhasil menjalankan ibadah puasa pada hari itu. (Thessa Lagemann/S-1) Ramadan di Belanda Eratkan Tali Silaturahim Sekitar 400 ribu warga Indonesia bermukim di Belanda dan sebagian besar adalah umat Islam. Berpuasa selama 16 jam merupakan tantangan bagi mereka. BUKA PUASA: Mahasiswa Indonesia berbuka bersama de Gromiest di flat salah seorang mahasiswa Universitas Gronigen, Belanda, dua hari lalu. DOK THESSA LAGEMANN MENINGKATKAN keimanan dan ketakwaan serta memperluas pengetahuan tentang Islam. Itulah target Iwan Fals pada Ramadan kali ini. Karena itulah, jika sedang tidak ada acara, penyanyi bernama asli Virgiawan Listianto itu mengisi waktu dengan membaca buku-buku agama dan berdikusi. “Belajar tidak mengenal kata berhenti, apalagi soal agama,” katanya saat ditemui seusai men- jalani konser Keseimbangan--yang juga menjadi judul album terbarunya--di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia, beberapa waktu lalu. Iwan mengaku seusai umrah yang dilaku- kannya beberapa bulan silam ia memang lebih berupaya meningkatkan nilai-nilai spiritual da- lam kehidupannya. Misalnya, awal Ramadan ini ia tur konser ke beberapa pesantren di Jawa. Bahkan, di beberapa pesantren dia memilih menginap dan berbaur bersama santri. Dari ke- giatan itu, Iwan mengaku banyak mendapatkan hal berkesan. Image pesantren selama ini ha- nya sebagai sarang teroris. Padahal, pesantren kaya akan seni budaya. Rasa musikalitas mereka luar biasa. Mereka memainkan berba- gai musik setiap hari. Saya saja kalah, latihan hanya sekali seminggu,” ujar Iwan. Menurut- nya, pilihan untuk menggelar tur di pesantren adalah panggilan dari suara hati. Sebuah per- jalanan dalam mencari cinta Sang Pencipta. Tur konser di beberapa pesantren itu mem- buktikan puasa tidak menjadi halangan bagi Iwan untuk tetap produktif. Di saat sebagian orang menganggap beraktivitas saat puasa lebih berat daripada hari biasa, Iwan justru tidak demikian. Selain menjalani tur konser di pesantren, kon- ser Keseimbangan ia jalani di beberapa kampus di Jakarta. Konser itu diadakan Tiga Rambu Management ( event organizer yang dikelola anaknya, Cikal Rambu Basae) dan League. Tidak capek konser di saat puasa? “Justru di saat puasa pun kita harus bekerja. Karena bekerja adalah ibadah,’’ katanya. Lagi pula, lanjut Iwan, ketika diri sibuk ber- aktivitas, perjalanan waktu menjadi berlalu tanpa terasa. Tahu-tahu, azan magrib sudah berkumandang, saat berbuka pun tiba. Lalu apa kiatnya agar tetap fit? “Yang penting menjaga stamina dengan pola makan sehat, memperbanyak buah dan sayur, dan olahraga rutin. Jadi, tidak ada masalah jika harus mang- gung di bulan puasa ini, bahkan Rasulullah pun pernah ber- perang di bulan puasa,” pungkas Iwan yang pehobi karate ini. (Eri/S-3) Menginap di Pesantren ANTARA/ GENADI ADHA

Upload: dangdieu

Post on 27-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FIGUR Menginap di Pesantren - ftp.unpad.ac.id · soal agama,” katanya saat ditemui seusai men-jalani konser Keseimbangan--yang juga menjadi judul album terbarunya--di Kampus Universitas

FIGURIwan Fals

JUMAT, 27 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS26 | Ramadan

JARUM jam hampir menun-jukkan pukul 21.00. Asjone Martin dan sepuluh rekan-

nya duduk mengelilingi tiga me ja bundar yang disusun se jajar. Lelah terpancar dari wa jah mereka pada hari ke-10 bulan Ramadan itu. Maklum, ber beda dengan umat Islam di Indonesia yang berpuasa se lama 13 jam, umat Islam di Be landa berpuasa 4 jam lebih lama mengingat matahari ter-benam sekitar pukul 21.00.

“Bagi sebagian besar orang, ber puasa merupakan hal sulit. Apalagi jika Anda harus be-ker ja,”ujar Asjone di sebuah res toran Asia dekat Stasiun Blaak, Rotterdam. Kesulitan ber puasa juga dirasakan Fatih Anfasa. Menurut mahasiswa ke dokteran itu, tantangan ter-berat adalah menyesuaikan kebiasaan berpuasa di Indo-nesia dengan ‘Negeri Kincir Angin’. Setelah berbuka pada pukul 21.00 dan salat Isya, me-reka beristirahat pada tengah malam. Mereka lalu bangun sekitar pukul 03.30 untuk sa-hur. Kemudian, pada pukul 05.00 mereka kembali beristira-hat dan bangun pada pukul 07.00 guna bersiap mengikuti kuliah.

Meski demikian, tidak se-mua warga muslim Indonesia

menganggap perbedaan waktu merupakan masalah. Respati van de Bunt adalah istri se-orang warga Belanda. Baginya, tidak ada perbedaan signifi kan antara berpuasa di Indonesia atau di Belanda. “Tentu saja du-rasi puasa lebih panjang karena saat ini adalah musim panas. Namun, itu bukan kesulitan berarti,” ujarnya.

Menurut dia, tantangan terse-but justru akan mendatangkan pahala. ”Di Indonesia, rekan, teman, dan kolega berpuasa. Namun di Belanda, jika Anda ingin makan, tidak ada yang peduli sehingga tekanan sosial sangat berkurang.”

Apabila durasi berpuasa bi sa diatasi, tantangan berikut-nya adalah kultur. Lia Savitrie Yulianto mengaku sangat ke-hilangan suara azan. “Kadang kala kami bingung dengan per bedaan waktu. Kami rindu dengan suara azan yang diku-mandangkan dari masjid. Kami pun menyiasatinya dengan me masang rekaman azan di komputer,”ujar mahasiswi psikologi tersebut. Tidak cukup dengan itu, para mahasiswa be berapa kali menyambangi masjid. Uniknya, lantaran Rot-terdam adalah kota metropo-litan, hampir semua masjid ber kaitan dengan latar bela-

kang etnik tertentu. Sebut saja, Masjid Turki, Masjid Maroko, Masjid Pakistan, Masjid Suri-name, dan Masjid Indonesia. Di masjid-masjid tersebut, aca ra berbuka puasa kerap digelar. Beberapa di antaranya terbuka hanya bagi umat Is-lam dan pria, lainnya terbuka untuk semua kalangan. Salah satu yang unik adalah yang diselenggarakan Ramadan Festival Foundation. Yayasan tersebut menyalurkan orang yang hendak berbuka puasa ke keluarga-keluarga muslim.

“Ramadan adalah kesem-patan baik untuk bertemu sesama,” kata Aicha Lagha selaku ketua yayasan. “Kami berharap dapat mendekatkan kelompok-kelompok etnik di Belanda,”pungkasnya.

Kampung halaman

Lepas dari tantangan perbe-daan waktu dan kultur, bagi sebagian mahasiswa Indonesia tantangan terberat adalah rindu Tanah Air. Guna mengatasinya, mereka kerap mengadakan acara berbuka bersama. Menu-rut Lika Apriani, selama bulan Ramadan para mahasiswa lebih sering berbuka bersama daripada bulan-bulan lainnya. “Setiap warga Indonesia su dah seperti keluarga di sini. Karena

itu, kami sering memasak ber-sama untuk berbuka. Apalagi bahan-bahan makanan Indo-nesia sangat mudah dijumpai,” papar mahasiswi kedokteran itu.

Seperti di Rotterdam, sua-sana Ramadan di utara Belanda tidak berbeda jauh. Para maha-siswa muslim Indonesia di Kota Groningen yang tergabung da lam komunitas de Gromi-est beberapa kali menggelar tadarusan dan berbuka selama bulan Ramadan. Abdul Muizz selaku Ketua de Gromiest me-ngaku kegiatan semacam itu giat dilakukan demi menjalin kebersamaan dan kekeluarga-an. “Di saat kami jauh dari keluarga kandung di Indonesia, kami memiliki teman-teman seiman yang bisa mendukung layaknya keluarga,” katanya.

Salah satunya, saat meng ikuti acara berbuka de Gromiest, dua hari lalu. Acara tersebut diadakan di fl at salah seorang mahasiswa Universitas Gron-ingen. Setelah beberapa saat ayat-ayat Quran dibacakan, waktu berbuka pun tiba.

Sejumlah gelas berisi es bu-ah diedarkan. Beberapa orang semringah lantaran ber hasil menjalankan ibadah puasa pada hari itu. (Thessa Lagemann/S-1)

Ramadan di BelandaEratkan Tali SilaturahimSekitar 400 ribu warga Indonesia bermukim di Belanda dan sebagian besar adalah umat Islam. Berpuasa selama 16 jam merupakan tantangan bagi mereka.

BUKA PUASA: Mahasiswa Indonesia berbuka bersama de Gromiest di flat salah seorang mahasiswa Universitas Gronigen, Belanda, dua hari lalu. DOK THESSA LAGEMANN

MENINGKATKAN keimanan dan ketakwaan serta memperluas pengetahuan tentang Islam. Itulah target Iwan Fals pada Ramadan kali ini.

Karena itulah, jika sedang tidak ada acara, penyanyi bernama asli Virgiawan Listianto itu mengisi waktu dengan membaca buku-buku agama dan berdikusi.

“Belajar tidak mengenal kata berhenti, apalagi soal agama,” katanya saat ditemui seusai men-jalani konser Keseimbangan--yang juga menjadi judul album terbarunya--di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia, beberapa waktu lalu.

Iwan mengaku seusai umrah yang dilaku-kannya beberapa bulan silam ia memang lebih berupaya meningkatkan nilai-nilai spiritual da-lam kehidupannya. Misalnya, awal Ramadan ini ia tur konser ke beberapa pesantren di Jawa. Bahkan, di beberapa pesantren dia memilih menginap dan berbaur bersama santri. Dari ke-giatan itu, Iwan mengaku banyak mendapatkan hal berkesan.

“Image pesantren selama ini ha-nya sebagai sarang teroris. Pa dahal, pesantren kaya akan seni budaya. Rasa musikalitas mereka luar biasa. Mereka memainkan berba-gai musik setiap hari. Saya saja kalah, latihan hanya sekali seminggu,” ujar Iwan.

Menurut-

nya, pilihan untuk menggelar tur di pesantren adalah panggilan dari suara hati. Sebuah per-jalanan dalam mencari cinta Sang Pencipta.

Tur konser di beberapa pesantren itu mem-buktikan puasa tidak menjadi halangan bagi Iwan untuk tetap produktif. Di saat sebagian orang menganggap beraktivitas saat puasa lebih berat daripada hari biasa, Iwan justru tidak demikian.

Selain menjalani tur konser di pesantren, kon-ser Keseimbangan ia jalani di beberapa kampus di Jakarta. Konser itu diadakan Tiga Rambu Management (event organizer yang dikelola anaknya, Cikal Rambu Basae) dan League.

Tidak capek konser di saat puasa? “Justru di saat puasa pun kita harus bekerja. Karena bekerja adalah ibadah,’’ katanya.

Lagi pula, lanjut Iwan, ketika diri sibuk ber-aktivitas, perjalanan waktu menjadi berlalu tanpa terasa. Tahu-tahu, azan magrib sudah berkumandang, saat berbuka pun tiba.

Lalu apa kiatnya agar tetap fi t? “Yang penting menjaga stamina dengan pola makan sehat, memperbanyak buah dan sayur, dan olahraga rutin. Jadi, tidak ada masalah jika harus mang-

gung di bulan puasa ini, bahkan Rasulullah

pun pernah ber-perang di bulan puasa,” pungkas Iwan yang pehobi karate ini. (Eri/S-3)

Menginap di Pesantren

ANTARA/ GENADI ADHA