fh.unram.ac.id · web viewbagaimana pandangan hukum kesehatan dan hukum islam terhadap bedah mayat...
TRANSCRIPT
i
PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal
tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan
sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode
membedah dan meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut.1 Akan tetapi bedah
mayat tersebut banyak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat karena
kegiatan bedah mayat yang dilakukan untuk pembelajaran mahasiswa ketokteran
dianggap bertentangan dengan norma/kaedah keagamaan, kesusilaan, dan sopan
santun serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan tidak ada manfaatnya
bagi masyarakat umum. Dalam hukum Islam, melukai atau melakukan tindakan
tidak hormat pada mayat seorang muslim diharamkan karna perlakuan tersebut
tidaklah selayaknya diperlakukan pada jasad manusia.
Berdasarkan uraian latarbelakang di atas, maka penulis merumuskan
beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut: (1). Bagaimana pengaturan hukum
tentang bedah mayat sebagai obyek praktek pendidikan kedokteran?, (2).
Bagaimana pandangan hukum kesehatan dan hukum Islam terhadap bedah mayat
untuk kepentingan pendidikan kedokteran?
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini Untuk mengetahui pengaturan
hukum tentang bedah mayat sebagai obyek praktek pendidikan kedokteran dan
Untuk mengetahui pandangan hukum kesehatan dan hukum Islam terhadap bedah
mayat untuk kepentingan pendidikan kedokteran.
1 Dyah Hastuti, Perspektif Hukum Islam Terhadap Otopsi, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negaeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm . 3
ii
Manfaat penelitian ini yaitu : (1). Manfaat Teoritis: Diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang ilmu hukum perdata. (2). Manfaat peraktik: Diharapkan dapat
memberikan manfaat dan pengetahuan bagi para praktisi maupun akademisi
untuk dijadikan pedoman atau pengetahuan bagi para pihak yang berkecimpung
dalam dunia hukum khususnya hukum perdata sehingga dapat menambah
khasanah pengetahuan praktisi di bidang hukum.
Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada aspek hukum bedah mayat
untuk kepentingan pendidikan (otopsi anatomi) menurut hukum kesehatan dan
hukum Islam. Jenis penelitian ini adalah normatif, bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersir. Pengumpulan bahan hukum
menggunakan tekhnik studi dokumen.
iii
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Hukum Bedah Mayat Untuk Kepentingan Pendidikan
(Anatomi).
Regulasi Otopsi Anatomi Untuk Kepentingan Dunia Pendidikan
Pelaksanaan otopsi anatomi untuk kepentingan pembelajaran bagi
calon dokter di Indonesia, secara hukum berpijak pada landasan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 di dalam
beberapa pasal, yaitu: Pasal 120 ayat (1), (2), (3), dan (4). Pasal 121 ayat
(1) dan (2). Pasal 124. Untuk melaksanakan amanat dari Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, untuk saat ini masih
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat
Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transpalansi Alat dan atau
Jaringan Tubuh Manusia, dalam: Pasal 1 hurf (b). Menurut PP No. 18
Tahun 1981 Bedah mayat anatomis (kadaver) hanya boleh dilakukan
dalam keadaan sebagai berikut2: Pasal 2 huruf (a) dan (c), Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, dan Pasal 8.
Pelegalan Mayat Untuk Praktik Bedah Mayat Anatomi
Banyak korban kecelakaan atau orang meninggal dibawa ke rumah
sakit dimasukkan ke Divisi Pemulasaran Jenazah untuk mendapat
2 Cendy T.P , Fadhly A, Ima E, Yiti J, Sugeng. Aspek Medikolegal Otopsi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, 2011, hlm. 5
iv
perawatan atau pengawetan sementara menunggu keluarga korban
menjemput.3 Pihak rumah sakit akan mengumumkan melalui media
massa dengan mencantumkan identitas korban, sedangkan bagi yang
tidak ada identitas akan dirinci ciri-ciri korban.4
Bagi mayat yang masih utuh, pihak rumah sakit akan
memanfaatkan untuk praktik bedah anatomi, dengan syarat jika dalam
jangka waktu dua hari (2x 24 jam) tidak ada keluarga yang mengakui,
maka pihak rumah sakit akan meminta surat keterangan dari pihak
kepolisian bahwa mayat tersebut adalah gelandangan, kemudian akan
diawetkan di labolatorium anatomi lalu disimpan sekurang-kurangnya
satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi bagi mahasiswa
kedokteran. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 PP No. 18 Tahun 1981.
Menurut hukum hal ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang
tidak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun
menurut KUH perdata pasal 1129. Adakalanya seseorang mewariskan
mayatnya setelah dia meninggal kepada fakultas kedokteran, hal ini
haruslah sesuai dengan KUH perdata pasal 935 yaitu dengan surat di
bawah tangan dan ditandatangani orang yang bersangkutan. Sedangkan
dalam ketentuan hukum Islam, apabila seseorang meninggal dunia tidak
meninggalkan orang yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan
3 Http://Trihanifa.Blogspot.Co.Id/2013/07/Hukum-Bedah-Mayat-Part-1.Html?M=0, di akses 13 Desember 20164 Cendy T.P , Fadhly A, Ima E, Yiti J, Sugeng, Op. Cit, hlm. 6
v
kepada Baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan
bagi kemaslahatan umat Islam.5
Analisis Hukum Kesehatan Dan Hukum Islam Tentang Pemanfaatan Tubuh
Manusia Untuk Praktik Bedah Mayat Anatomi
Pemanfaatan Tubuh Manusia Menurut Hukum Kesehatan
Bedah mayat anatomi yang dikenal dengan istilah cadaver (mayat
yang telah diawetkan)6, merupakan syarat yang sangat penting bagi
seorang calon dokter dalam memanfaatkan ilmunya kelak agar bisa
mendeteksi organ tubuh yang normal dan terserang penyakit untuk bisa
mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya, seperti untuk
mengetahui penyebab kematian manusia yang dirasa tidak wajar seiring
maraknya dunia criminal saat ini, dengan cara membedah mayat
manusia.7 Sekiranya mayat tersebut diperlukan sebagai sarana penelitian
untuk mengembangkan ilmu kedokteran,8 yang membawa kepada fungsi
kesejahteraan umum sesuai cita-cita bangsa indonesia, maka untuk alasan
tersebut menurut hukum hal ini diperbolehkan. Sebagaimana diatur dalam
pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tentang Kesehatan.
Namun demikian, kebolehan melakukan bedah mayat untuk
kepentingan pendidikan tersebut tidak terlepas dari beberapa syarat yang
5 H. Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 776 Dyah Hastuti, Op. Cit, hlm. 37 Abdul Mun’im Idries, Agung Legewo Tjiptomarnoto, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan, CV. Sagung Seto, Jakarta, 2 011. hlm. 68 Harmien Hadiati Koeswadji, , Hukum Untuk Perumah Sakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,. 2000., hlm. 5
vi
harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981, yaitu: (a).
Dengan persetujuan tertulis orang bersangkutan dan atau kelurganya yang
terdekat setelah orang yang bersangkutan telah meninggal dunia, apabila
sebab kemtiannya belum dapat ditentukan dengan pasti, (b). Tanpa
persetujuan orang yang bersangkutan atau keluarganya yang terdekat,
apabila dalam jangka waktu 2 x 24 jam (dua hari) tidak ada keluarga
terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit, (c). Bedah
mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan
serjana kedokteran di bawah pimpinan dan tanggungjawab langsung
seorang ahli urai, (d). Perawatan mayat sebelum, selama dan sesudah
bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama
dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diatur oleh menteri
kesehatan. Dan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, kesusilaan
serta memperhatikan kode etik profesi dalam dunia kedokteran
sebagaimana diatur dalam pasal 124 Undang-undang 36 Tahun 2009.
Pemanfaatan Tubuh Manusia Menurut Hukum Islam
Dalam praktik bedah mayat anatomi ini, berkaitan dengan
pembedahan tubuh mayat tersebut, hal ini menimbulkan beberapa
kontroversi di kalangan ulama. Diantara ulama yang menolak, yaitu
dengan alasan: Kesucian hidup/ tubuh manusia, Tubuh manusia adalah
amanah, Bahwa praktik tersebut bisa disamakan dengan memperlakukan
tubuh manusia sebagai benda material. 9 Agama Islam memerintahkan 9 Ibid,. hlm. 82-85
vii
dengan perintah wajib, agar orang menghormati mayat dan melarang
untuk menodainya, baik jasmani maupun rohani, sebagaimana
diisyaratkan dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 70: “Sesungguhnya
kami muliakan anak cucu Adam (manusia)…” (QS: Al-Isra’: 70)
Dua prinsip penghormatan mayat dalam Islam yaitu: kewajiban
merawat mayat dan larangan melukai mayat. Wujud penghormatan
terhadap mayat bagi manusia yang masih hidup adalah larangan melukai
mayat, baik secara fisik maupun non fisik dikarenakan beberapa alasan
sebagai berikut: mayat merasakan sakit dengan hal yang dilakukan orang
yang masih hidup, perintah untuk memuliakan anak Adam dalam keadaan
hidup dan matinya, kewajiban menjaga tulang-belulangnya orang yang
telah mati yang ada dalam penguburan, pada saat mengaduknya dan
sebaliknya bagi penggali kubur untuk menutupinya dan jangan
memecahkannya. 10 Sedangkan ulama yang membolehkan (pembedahan
dan pengambilan organ tubuh mayat) di antaranya dikemukakan oleh
‘Abd al-Rahman al-Bassam dan Muhammad Rasyid Ridha Qabbani
dalam Majallat al-Majma al-Fiqhi. Mereka mendasarkan pada alasan;
Kesejahteraan umum, altruism/ al-itsar (berbuat baik kepada manusia).11
Dalam permasalahan bedah mayat anatomi, Majelis Ulama Besar
di Saudi Arabia telah melakukan pembahasan mengenai hal tersebut pada
tahun 1396 H / 1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan di antaranya 10 Hasan Sulaiman al-Nawawi, Alwi Abbas al-Maliki, Ibanat al-Ahkam, Syarah al-Sarli, Juz II, Kairo, 1989, hlm. 24911 Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah,Tranpalansi Organ, dan Eksperimen pada Hewan, Serambi, Jakarta, 2004, hlm. 88-91
viii
dalam ketentuan hukum nomor 2 mengenai bedah mayat untuk belajar
bagi calon dokter (bedah mayat anatomi) dengan mempertimbangkan
beberapa hal, maka majelis memputuskan tidak boleh membedah mayat
orang muslim ataupun mayat orang kafir ma’shum. Yang digunakan
cukuplah mayat orang kafir yang tidak ma’shum, seperti kafir harbi atau
orang murtad. Senada dengan pendapat majelis ini, Syaikh Abdul-Aziz
bin Baz, juga berfatwa yang sama mengenai hukum bedah mayat untuk
keperluan pembelajaran ilmu kedokteran beliau hanya membolehkan
pembedahan mayat kafir harbi dan mayat orang murtad saja. 12 Akan
tetapi yang sangat penting untuk diperhatikan, adalah landasan
dibolehkannya bedah mayat karena faktor yang mendesak kebutuhan.
Oleh karena itu apabila suatu saat kebutuhan itu terpenuhi, maka kembali
kepada hukum asal bahwa seluruh mayat manusia tidak boleh dipotong-
potong.13
Di Indonesia, MUI (Majelis Ulama Indonesia) menetapkan fatwa
nomor 6 tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, untuk dijadikan pedoman.
Fatwa MUI tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan bedah mayat dapat
dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang
bersangkutan (lewat wasiat) dan izin keluarga atau ahli waris,14 adanya
kemaslahatan yang lebih besar dibalik kegiatan pembedahan mayat
12 http://www.google.co.id/search?hl=id&q= Edih K. Wargasasmita, Hukum islam mengenai peraktik bedah mayat dalam studi anatomi,.diakses 15 oktober 2016.13 Ustadz Muhammad Yasir , “Bedah Mayat Dalam Tinjauan Hukum Islam”, Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (03-04)/Thn XVII/Sya’ban-Ramadhan 1434H/Juli-Agustus 2013M, hlm. 61-6214 Dyah Hastuti, Op. Cit, hlm. 63
ix
tersebut, dan mayat yang menjadi obyek pembedahan harus segera
dipenuhi hak-haknya. Dilihat dari syarat dan alasan beberapa pendapat
yang membolehkan praktik bedah mayat anatomi, bedah mayat memang
tidak diatur dalam hukum Islam secara mendatail, dan merupakan
wilayah kerja kearifan manusia.
Dari dua pendapat yang bertolak belakang, untuk mengetahui
boleh tidaknya pembedahan mayat untuk kepentingan pendidikan
kedokteran harus diperbandingkan antara mudharatnya melukai mayat
dan maslahah untuk pendidikan dokter dan pengembangan ilmu
kedokteran.
Mengobati penyakit adalah sunnah Nabi Muhammad SAW, yang
tidak diragukan lagi dan bahkan al-Qur’an sendiri memberikan
kesempatan kepada orang berpuasa untuk meninggalkan puasanya guna
mengobati atau mencegah semakin parahnya penyakit yang dideritanya.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk berobat dari segala penyakit,
berarti secara tersirat diperintahkan melakukan penelitian untuk menemukan
jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya. Bedah mayat anatomi maupun
klinis merupakan salah satu media penelitian untuk mengembangkan keahlian
dalam bidang pengobatan.15 Karena Hadist diatas juga menganjurkan untuk
mengembangkan ilmu kesehatan.
Dengan mempelajari ilmu kedokteran secara menyeluruh termasuk
juga ilmu bedah (urai), maka seorang dokter akan dapat menolong
15 Ibid, hlm. 67
x
menyelamatkan jiwa manusia dari beraneka macam penyakit, sehinggan
dapat membantu kelestarian hidup sampai pada ajal yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT. Sebagai pertimbangan atau pijakan, hukum Islam
datang untuk menjadi rahmat bagi kehidupan manusia, bahkan bagi
segenap alam. Maka rahmat itu tidak akan terwujud kecuali apabila
hukum Islam itu benar-benar mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia,16 sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an surah al-Anbiya’:
107. Kaitannya dengan syari’at Islam, Hasby ash-Shiddieqy
berpendapat; “bahwa kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan
untuk para hamba di dunia dan di akhirat”.17 Bila dikembalikan kepada
kaidah umum, maka diturunkannya syari’at Islam berpijak pada dua
sasaran; yang pertama adalah memperhatikan kemaslahatan, dan yang
kedua adalah menolak kerusakan.18
Disamping itu, kemaslahatan juga berpegang pada kaidah ushul
fiqh berikut: “keterpaksaan membolehkan yang dilarang”19,
“Keterpaksaan” yang dimaksud adalah terpaksa harus merusak kondisi
tubuh mayat, karena selama ini belum ada hewan yang dapat
menggantikan tubuh manusia,20 maka untuk sementara mengabaikan hal
yang terlarang yaitu melukai mayat. “Kemaslahatan umum didahulukan
16 Hasby ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 17617 Hasby ash-Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 18018 Ibid.,19 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 17320 Http://Trihanifa.Blogspot.Co.Id/2013/07/Hukum-Bedah-Mayat-Part-2.Html, di akses, 12 Desember 2016
xi
daripada kemaslahatan khusus”21, Pelaksanaan bedah mayat anatomi
menghasilkan manfaat yang lebih besar untuk kepentingan umum,
daripada keutuhan mayat. Karena dari praktik ini akan menghasilkan
dokter yang bisa mengobati manusia dari berbagai penyakit. Larangan
melukai mayat yang dikemukakan dalam hadits di atas, masih bisa
menerima kemungkinan adanya pengecualian, yaitu melukainya untuk
kemaslahatan yang lebih besar.
Dengan demikian maka praktik bedah mayat anatomis yang pada
akhirnya untuk menolong jiwa umat manusia dan untuk pengembangan
ilmu kedokteran demi sampurnanya proses pengobatan, “sedangkan
pengobatan adalah sunnah Nabi Muhammad SAW” harus didahulukan
daripada larangan melukai mayat.22 Dengan kata lain, praktik bedah
mayat anatomis diperbolehkan dalam hukum Islam demi kemaslahatan
yang lebih besar dari pada melukai mayat itu sendiri.
PENUTUP
Kesimpulan dari hasil penelitian ini: (1). Pengaturan hukum bedah
mayat untuk kepentingan pendidikan di Indonesia, oleh hukum Kesehatan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
21 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004., hlm. 14822 Dyah Hastuti, Loc. Cit
xii
dan dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981
Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transpalansi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Sedangkang
pengaturan menurut hukum Islam diatur dalam fatwa MUI Nomor 6 Tahun
2009 Tentang Otopsi Jenazah, yang didasarkan pada dalil-dalil yang
terdapat dalam Al-Qur’an, dan beberapa hadits Nabi Muhammad SAW
serta Qaidah Fiqhiyyah. (2). Menurut hukum Kesehatan otopsi yang
dilaksanakan guna pendidikan khususnya di bidang ilmu kedokteran
diperbolehkan, selama hal itu benar-benar diperlukan guna keamanan dan
keselamatan masyarakat yang membawa kepada fungsi kesejahteraan
umum yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan menurut
hukum Islam, hukum asal bedah mayat adalah haram, namun apabila
bedah mayat tersebut dilandasi oleh suatu maksud demi kemaslahatan
umat, seperti penelitian dan pendidikan ilmu kedokteran. Hal tersebut
dibolehkan dalam hukum Islam bahkan bisa dihukumkan wajib apabila
keperluan tersebut menempati level darurat untuk menyelamatkan umat
manusia dan lingkungannya sebagai makhluk hidup.
Saran: (1). Hendaknya para pihak kedokteran tidak ragu-ragu
dalam melaksanakan otopsi jika hal itu benar-benar diperlukan guna
penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran serta penegakan hukum
untuk kemaslahatan manusia. (2). Dalam pelaksanaan otopsi hendaknya
para pihak kedokteran tetap memperhatikan kode etik kedokteran serta
tetap menghormati mayat yang akan diotopsi dan bertanggungjawab
xiii
terhadap mayat sebelum, selama, dan sesudah diotopsi, yaitu;
bertanggungjawab memandikan, mensholatkan, dan mengembalikan
mayat seperti sebelum diotopsi (menyatukan kembali organ-organ yang
telah dipisahkan dengan cara menjahitnya sebelum mayat tersebut dikafani
dan dikuburkan).
DAFTAAR PUSTAKA
Dyah Hastuti, Perspektif Hukum Islam Terhadap Otopsi, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negaeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
Abdul Mun’im Idries, Agung Legewo Tjiptomarnoto, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan, CV. Sagung Seto, Jakarta, 2 011.
xiv
Ustadz Muhammad Yasir, “Bedah Mayat Dalam Tinjauan Hukum Islam”, Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (03-04)/Thn XVII/Sya’ban-Ramadhan 1434H/Juli-Agustus 2013M. hlm. 59
Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumah Sakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,. 2000. Hlm. 5
Soejono Soekamto. Pengantar Hukum Kesehatan. CV Remadja Karya: Bandung. 1987.
R. Abdul Djamali, Hukum Islam berdasarkan kurikulum konsorsium ilmu hukum. Mandar Maju. Bandung. 2002.
Cendy T.P , Fadhly A, Ima E, Yiti J, Sugeng. Aspek Medikolegal Otopsi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
H. Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Ustadz Muhammad Yasir, “Bedah Mayat Dalam Tinjauan Hukum Islam”, Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (03-04),/Thn XVII/Sya’ban-Ramadhan 1434H/Juli-Agustus 2013M.
Dalmi Iskandar, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm. 1
Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah,Tranpalansi Organ, dan Eksperimen pada Hewan, Serambi, Jakarta, 2004.
Hasan Sulaiman al-Nawawi, Alwi Abbas al-Maliki, Ibanat al-Ahkam, Syarah al- Sarli, Juz II, Kairo, 1989.
Hasby ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedaha Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transpalansi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
http://www.google.co.id/search?hl=id&q= Edih K. Wargasasmita, SH.,MM. Hukum islam mengenai peraktik bedah mayat dalam studi anatomi,.diakses
xv
15 oktober 2016.
Http://Trihanifa.Blogspot.Co.Id/2013/07/Hukum-Bedah-Mayat-Part-,1.Html ,di akses 13 Desember 2016