26.gerimis logam mayat oleander nirwan dewanto

39
1 Kalam 26 / 2014 M embaca puisi Goenawan Mohamad adalah berperkara dengan pembacaan. Itulah puisi yang pada pembacaan pertama dan kedua terlihat mustahil: ketika ia menuju bentuknya yang terbaik, ada yang tetap tak terucapkan olehnya, ada yang dihindarkannya dari kesempurnaan. Mencerap puisi demikian adalah menghadapi “separuh ilusi”: setiap kali saya berharap bahwa puisi yang cemerlang adalah yang merasuk ke dalam diri saya dalam segenap keutuhannya, keseluruhannya, maka justru hal ini tidak terjadi—atau tidak segera terjadi jika saja saya masih memberikan diri kepadanya. Puisi adalah lukisan, tetapi lukisan yang urung: jika lukisan rupa sejati membentangkan diri sekaligus, tanpa awal dan akhir, maka puisi memberikan dirinya kepada kita tahap demi tahap, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, bait demi bait. Namun begitu saya selesai membacanya, saya pun segera sadar bahwa ia pun urung Gerimis Logam, Mayat Oleander Nirwan Dewanto Nirwan Dewanto adalah penyair, kurator, kritikus sastra. Ia juga menulis lirik lagu. Buku puisinya Buli-Buli Lima Kaki (2010) dan Jantung Lebah Ratu (2008). Keduanya memenangi Khatulistiwa Literary Award. Buku esainya Senjakala Kebudayaan (1996). Esai ini pernah disampaikan dalam cara Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad, Teater Salihara, 03 Agustus 2011.

Upload: arahman-ali

Post on 10-Apr-2016

49 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Gerimis Logam Mayat

TRANSCRIPT

1 PB

Kalam 26 / 2014

Membaca puisi Goenawan Mohamad adalah berperkara

dengan pembacaan. Itulah puisi yang pada pembacaan

pertama dan kedua terlihat mustahil: ketika ia menuju

bentuknya yang terbaik, ada yang tetap tak terucapkan olehnya, ada

yang dihindarkannya dari kesempurnaan. Mencerap puisi demikian

adalah menghadapi “separuh ilusi”: setiap kali saya berharap bahwa

puisi yang cemerlang adalah yang merasuk ke dalam diri saya dalam

segenap keutuhannya, keseluruhannya, maka justru hal ini tidak

terjadi—atau tidak segera terjadi jika saja saya masih memberikan

diri kepadanya. Puisi adalah lukisan, tetapi lukisan yang urung: jika

lukisan rupa sejati membentangkan diri sekaligus, tanpa awal dan

akhir, maka puisi memberikan dirinya kepada kita tahap demi tahap,

frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, bait demi bait. Namun begitu

saya selesai membacanya, saya pun segera sadar bahwa ia pun urung

Gerimis Logam, Mayat Oleander

Nirwan Dewanto

Nirwan Dewanto adalah penyair, kurator, kritikus sastra. Ia juga menulis lirik lagu. Buku puisinya Buli-Buli Lima Kaki (2010) dan Jantung Lebah Ratu (2008). Keduanya memenangi Khatulistiwa Literary Award. Buku esainya Senjakala

Kebudayaan (1996). Esai ini pernah disampaikan dalam cara Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad,

Teater Salihara, 03 Agustus 2011.

2 PB

Kalam 26 / 2014

juga menjadikan dirinya sebagai urutan frasa, kalimat atau bait: ia

adalah kejadian yang tampil dalam keserentakannya. Sia-sia belaka

usaha saya untuk membacanya sebagai malihan cerita atau tamsil.

Atau, setiap kali kita mengira bahwa puisi yang baik

adalah yang unsur-unsurnya kait-mengait, saling memperkuat,

untuk membentuk semacam tata yang membuatnya kokoh, kita

mendapatkan yang sebaliknya. Bagi pemburu pesan, puisi akan jadi

fluida yang selalu luput dari genggaman. Demikianlah pokok kita

dengan puisi Goenawan Mohamad. Jika sebuah prosa mengantarkan

kita sampai ke tujuan sesuai janjinya, sekalipun jalan-jalan yang

harus kita lalui tidak lurus lempang, maka sebuah sajak tak pernah

melunasi janjinya, atau ia seakan menyeret kita ke dalam labirin

tanpa memberikan peta apa pun. Ia tidak membiarkan kita menjejak,

namun membuat kita mengambang; di akhir puisi, kita tak mencapai

apa pun, dan kita membacanya lagi dari awal, dan begitulah

seterusnya. Dengan semacam rasa teracuni atau terbius, kita mengais

ke balik unsur-unsurnya, mencoba mendapatkan intinya. Mengais

terus-menerus, tampaknya kita tak akan menemukan inti apa pun.

Di titik ini barangkali saya mengharapkan pembaca berpengalaman,

yakni pembaca yang merasa menguasai—atau dikuasai—tradisi

perpuisian tertentu, katakanlah puisi modern Indonesia. Semestinya

pengalaman ini memudahkannya dalam mencerap; namun ternyata

sejumlah puisi, saya kira termasuk puisi Goenawan Mohamad,

malah memperdayakannya dengan tradisi yang ditanggungnya itu.

Pengetahuan tentang khazanah termaksud, tapi yang hanya bekerja

dari luar, tidak berdaya menembus dalaman puisi yang justru

mencerminkan khazanah tersebut.

3 PB

Kalam 26 / 2014

Saya berbicara tentang paradoks dalam membaca puisi—

atau paradoks dalam puisi itu sendiri. Jika anda mengira bahwa

saya menanggung derita dalam menghadapi puisi, sesungguhnya

saya merasa girang (meskipun, saya kira, tulisan ini mencoba selalu

menghindari kata sifat). Melalui puisi, bahasa meragukan dirinya

sebagai alat komunikasi, terutama ketika komunikasi hanya jadi

topeng bagi penghambaan si penerima ujaran kepada si pengujar.

Membaca puisi adalah mencurigai pembacaan itu sendiri, jika saja

pembacaan adalah jalan menuju pengertian dan konsensus. Puisi

berdusta, dan secara diam-diam menyatakan dirinya berdusta,

supaya kita tidak mengharapkan kebenaran apa pun darinya. Tetapi

kita tetap saja berharap, karena kita percaya bahwa bahasa telanjur

mengangkut sebagian pengalaman kita; sedangkan puisi, masih saja

mencoba mengambil apa-apa yang tak terangkut. Demikianlah, dalam

sebuah sajak, misalnya, saya mendengar orang berkata bahwa “di kota

itu gerimis telah jadi logam”, dan si penutur dalam sajak pun percaya

bahwa “kita akan sampai ke sana.” Maka kita berharap bahwa sajak itu

akan memberitahu bagaimana si kita, pengujar itu, menempuh jalan

ke sana, ke kota itu, sebagaimana kita berupaya mencapai isi sajak.

Tapi agaknya kita tersesat.

DI KOTA ITU, KATA ORANG, GERIMIS TELAH JADI LOGAM

Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.

Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan, membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita?

4 PB

Kalam 26 / 2014

Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar, di atas cakrawala aspal.

Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu. Tapi tutupkan matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.

Setiap kalimat dalam puisi di atas seakan terkunci dalam

dirinya sendiri. Tidak ada hubungan, katakanlah hubungan sebab-

akibat, dari kalimat satu ke kalimat lainnya. Atau celah antarkalimat

terlalu lebar (sedangkan dalam prosa celah demikian begitu sempitnya,

bahkan sering tak ada). Barangkali juga kita harus membayangkan

setiap bait sebagai sebuah paragraf yang sebagian besar kalimatnya

sudah terhapus. Jika pun kita berupaya merekonstruksi paragraf-

paragraf itu menjadi semacam satuan-satuan rekaan, maka tidak

tersedia cukup peluang untuk itu. Puisi itu seperti melompat cepat

menuju akhirnya sendiri. Bahkan si penyair sendiri seperti tak punya

waktu untuk menyempurnakan ciptaannya: dua kalimat terakhir

(pada bait terakhir) adalah kalimat-kalimat yang menggantung dan

menunggu diselesaikan, di mana “tapi” jelas bukan jawaban terhadap

“jika”. Membaca lagi dan lagi sajak yang ditulis pada 1971 itu kita akan

mudah berpendapat bahwa itulah sajak yang tak koheren. Namun

terlalu banyak isyarat di dalamnya yang tak bisa kita biarkan; salah

satu yang terpenting buat saya adalah bahwa pengujar dalam puisi, si

kita, adalah sepasang pecinta. Dan mereka terjebak di antara konon

(“gerimis telah jadi logam”) dan pengalaman sendiri (“kita bercinta”),

antara hasrat (“akan sampai ke sana”, ke kota itu) dan kenyataan

(“pagi lerai”). Seperti sepasang kekasih itu, kita pun terombang-

ambing menangkap alam yang tak lagi di bawah kendali hukum

5 PB

Kalam 26 / 2014

alam, menangkapnya dengan nalar kebahasaan kita. Perlahan-lahan

kita menyesuaikan diri dengan tatapan si penutur. Sebab, setidaknya

kita tahu bahwa mereka baru saja melewatkan malam (“sisa bulan

tertinggal di luar”) dan sedang menunggu siang (“jika samsu pun

berdebu”).

“Gerimis logam” hanya cara untuk membuat kita berjaga-

jaga untuk—bukan percaya akan—jukstaposisi yang berikutnya.

Membiarkan segala sesuatu tak terjelaskan bukan cara yang baik untuk

menangkap makna, namun “bercinta tanpa batuk yang tersimpan”

memang tak terjelaskan, kecuali “batuk” adalah pengganti “muntah”,

sehingga kita boleh mengatakan bahwa sepasang pecinta itu baru

memuntahkan sesuatu, katakanlah memuntahkan nafsu berahi. Dan

“gumpal darah di gelas itu” bisa saja anggur (kita ingat, dalam kosakata

Kristiani, anggur adalah simbol darah), yang dalam situasi muntah-

berahi terlihat hijau. Jika cinta itu buta, maka setidaknya ia buta-

warna—membutakan diri terhadap warna—agar ia bisa mencerap

aneka wujud lain dalam jukstaposisi juga, risiko dari “gerimis logam”

(yang sekadar konon itu). Maka “cadar” dalam “hari pun bercadar”

adalah cadar gerimis (logam); “serbuk” dalam “udara berserbuk” boleh

jadi serbuk gerimis yang sama; (dan saya membenarkan diri sendiri:

saya temukan juga “serbuk-serbuk hujan” dalam sajak “Pertemuan”

Sapardi Djoko Damono). Demikianlah, saya baru saja menarik sumbu

imaji antara tiga frasa yang sepintas lalu tak saling berhubungan.

Sumbu imaji ini bisa saja berlanjut ke bait terakhir. “Debu”

dalam “samsu pun berdebu” mungkin juga debu gerimis logam.

Usaha pembacaan saya adalah membuat puisi masuk akal menurut

tujuannya sendiri: “gerimis logam” yang sekadar konon itu, buat saya,

menghantui berbagai aneka citraan yang datang setelahnya. Pengujar

6 PB

Kalam 26 / 2014

utama dalam puisi ternyata lebih si aku daripada si kita, yang bisa

melihat lebih jernih ketimbang si kau (yang pelupuknya berdebu,

debu gerimis yang sama pula, meski masih “jika”). Jika latar sungguh-

sungguh terlumuri oleh fantasi tentang gerimis logam, tak ada yang

lebih baik daripada menutup mata, meski “menutup mata” dalam

kosa-idiom kita juga berarti kematian. Mungkin si kau akan sampai

juga ke “kota itu”, mungkin juga tidak. Si aku meminta si kau menutup

mata—apakah akan memberinya kematian atau membebaskannya

dari maut, sungguh kita tidak tahu. Percintaan hanya sarana

penjemputan—dan si aku hanya malaikat maut yang mencintai bakal

korbannya? Ataukah percintaan itu hanya terjadi dalam jika belaka,

sebab si aku masih harus menjemput si kau—artinya di sepanjang

puisi keduanya masih terpisah?

Usaha saya untuk membuat puisi itu bermakna ternyata

jauh lebih panjang dan berliku ketimbang panjang puisi dan

keserentakannya sendiri. Sesungguhnya saya hendak mengatakan

bahwa si penyair, mungkin sekali tanpa sengaja, menjadi mahir dalam

laku elipsis: dalam usahanya menyelesaikan puisi, ia hanya menjaring

imaji-imaji cemerlang-ganjil yang tanpa disadarinya berhubungan

satu sama lain, dan dengan demikian secara tak langsung ia menghapus

sebagian wacana. Atau, dalam usahanya menjelmakan diri sebagai

pengujar dalam sajak, si penyair memampatkan waktu (yakni “waktu

yang akan memperdayakan kita”) agar benda-benda, imaji-imaji—

sebagian kecil benda dan imaji belaka, sementara sebagian besar

lenyap ke dalam samudra ketiadaan—dapat meloloskan diri dari

peristiwa, dari cerita. Dalam sajak-prosa yang barusan kita bicarakan,

tindak elipsis itu bahkan begitu radikal, lebih daripada apa yang bisa

terjadi pada sajak yang bersandar pada tertib bentuk seperti kuatrin.

7 PB

Kalam 26 / 2014

DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI

Di beranda ini angin tak kedengaran lagiLangit terlepas. Ruang menunggu malam hariKau berkata: pergilah sebelum malam tibaKudengar musim mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat

Di luar detik dan kereta telah berangkatSebelum bait pertama. Sebelum selesai kataSebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semulabersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kataPohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendelamengekalkan yang esok mungkin tak ada

Baris pertama sajak bertitimangsa 1966 itu tak menyiapkan

kita berjaga-jaga. Seakan semuanya sudah jelas dan wajar: kita

menghadapi lanskap senjakala. Si penutur dalam sajak tak mendengar

angin di beranda; mungkin juga angin tak pernah sampai kepadanya.

Tapi kewajaran yang sebentar demikian urung oleh “langit terlepas”,

mungkin terlepas dari pandangan, seakan-akan ini (i)syarat bahwa si

aku atau kita tak lagi menguasai keadaan sepenuhnya; bahwa ruanglah,

dan bukan si penutur, yang menunggu malam hari. Tak jelas siapa yang

bermain di piano, tetapi jelaslah kita mendengar Rubayyat darinya,

dan saya segera tersadar bahwa rubai adalah kuatrin, sebagaimana

puisi yang sedang kita baca. Pernah kita mendengar si kau berkata

“pergilah sebelum malam tiba”, tapi ternyata di luar yang berangkat

adalah kereta dan detik; entahlah si aku tetap tinggal bersama si kau

atau tidak. Seakan-akan pengujar hanya lewat belaka dalam puisi, dan

8 PB

Kalam 26 / 2014

menyilakan musim dan citraan apa pun mendesaknya keluar, keluar

dari puisi.

Saya pernah mengatakan bahwa kuatrin adalah penjara empat

seuntai; dengan kuatrin, penyair menyuling sejauh-jauhnya: ia hanya

bisa mengikutkan lima-enam kata setiap baris, dan ia meski mengikat

baris-barisnya dengan rima luar. Namun selalu ada yang lepas,

berangkat, sebelum bait jadi sempurna, sebelum kata menemukan

pasangannya yang benar. Dan inilah tampaknya watak puisi modern:

keteraturan bentuknya tak mampu mengatasi lompatan pelbagai

imajinya, rimanya tak mampu meredam deraunya. Demikianlah

lanskap senjakala menjadi sesuatu yang lain, yang tak tercerap. Kata-

kata berhenti sebagai penunjuk kenyataan. Penyair memadatkan,

bukan mengatur gerak, imaji-imaji yang berlesatan. Tapi ia harus

bergegas, menuju titik akhir, menyelesaikan lukisannya, sebelum

gelap malam turun, sebelum ia kehilangan daya indranya: bukankah

ia sudah merancukan “kapan” dengan “ke mana” pada “sebelum hari

tahu ke mana lagi akan tiba”? Si aku tidak menguasai waktu dan ruang,

dan ia seperti lenyap ke dalam lanskap di hadapannya, lanskap yang

bergerak menuju abstraksi. (Dengan “abstraksi”, saya maksudkan

adalah proses hilangnya kontur dan perspektif dalam lukisan. Jadi,

jika pun semula kita mengenali semacam latar dalam sajak, maka latar

itu menghilang ketika kita menuntaskan pembacaan.)

Barangkali saja puisi modern mesti kita tangkap dalam

keseluruhannya. Kerja kita mencari hubungan antarkalimat sia-sia

belaka. Dalam ketidaksempurnaan arti setiap kalimat, puisi tidak

menceritakan apa pun, tetapi menghadirkan sebentuk kalibut kecil.

Atau jika kita berusaha merekonstruksi sebentang lanskap atau

suasana, si penutur segera mendesakkan “sepi kita semula.” Sebelum

9 PB

Kalam 26 / 2014

“selesai kata”—sebelum kita merangkai kata-kata yang tersedia

menjadi bahasa, yakni wahana komunikasi—kita, bersama si penyair,

sudah “bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata”. Mungkin juga

kita tak jadi kecewa, karena peran si penutur sudah diambil pohon-

pohon, yang bukan hanya “berbagi dingin di luar jendela”, tapi juga

ber-ide, yakni dengan “mengekalkan yang esok mungkin tak ada.”

Namun barangkali yang kekal bukan yang esok, tapi yang kemarin,

yakni lanskap senjakala yang lain, yang memudahkan sebuah puisi

terpahamkan, bermakna, di tengah sejarah sastra Indonesia.

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauhterasa hari jadi akan malamada beberapa dahan di tingkap merapuhdipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahansudah berapa waktu bukan kanak lagitapi dulu memang ada suatu bahanyang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahantambah terasing dari cinta sekolah rendahdan tahu, ada yang tetap tidak diucapkansebelum pada akhirnya kita menyerah

Penutur dalam “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”

dan “Derai-Derai Cemara” (1949) itu tahu; atau saya cenderung

mengatakan bahwa Goenawan Mohamad tak bisa menghindar

dari kata tahu yang sudah digunakan Chairil Anwar. Namun

10 PB

Kalam 26 / 2014

“menghindar” dalam kalimat barusan tampaknya bukan kata yang

tepat; sesungguhnya penyair yang datang kemudian menggunakan

sejumlah kata dan imaji yang ditinggalkan pendahulunya. Angin

yang terpendam menjadi angin yang tak kedengaran lagi; cemara

yang menderai sampai jauh menjelma pohon-pohon yang berbagi

dingin di luar jendela. Dan seperti penutur dalam kedua puisi itu,

kita pun tahu bahwa “ada yang tetap tak terucapkan” adalah situasi

“tanpa kata-kata”, yakni sunyi yang menghantu dalam puisi. Puisi

memberi kita paradoks: ia hendak mencapai sunyi dengan kata-kata;

penyair tahu bahwa bahasa tidak bisa mengatakan segala-segalanya,

maka ia pun menjadikan apa yang tak terkatakan itu sebagai sunyi

sepi, “sepi kita semula”. Si aku yang “sudah berapa waktu bukan kanak

lagi” kemudian jadilah si aku yang lebih dewasa, lebih sadar bentuk,

tahu membandingkan kuatrin dengan rubai, tahu bahwa bentuk yang

teratur seperti kuatrin bisa mengandung selisih dan derau, sesuatu

yang menghalanginya untuk jadi indah.

Puisi modern berusaha mengosongkan isinya sendiri untuk

mencapai sepi, “sepi kita semula” (atau “sepi yang purba” dalam sajak

Sapardi Djoko Damono “Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka”), tetapi

penyair masih juga menyelundupkan semacam filsafat bahwa isi-

moral memang percuma. Ini sebuah paradoks lagi, bukan? “Hidup

hanya menunda kekalahan” jelaslah semacam pernyataan falsafi

yang diucapkan oleh ia yang baru saja menjauh dari “cinta sekolah

rendah” (dan juga dari kisaran Pujangga Baru) namun ia yang lebih

dewasa, yang lebih sadar bentuk, meminjam “mulut” pohon-pohon

untuk berfilsafat—atau melawan filsafat—yakni untuk “mengekalkan

yang esok mungkin tak ada”. Adapun “sebelum pada akhirnya kita

menyerah” mendapatkan padanannya pada “bersiap kecewa”: suara

11 PB

Kalam 26 / 2014

penyair belum hilang; ia belum mencapai sepi, ia masih percaya

kepada kata sifat. “Bersedih” dan “kecewa” adalah dua pasangan

kata yang justru menghalangi kita untuk mendengar sepi, sunyi,

nyanyi sunyi. Puisi Indonesia adalah nyanyi sunyi. Kalaupun penyair

mencoba menyanyikan sesuatu yang lain, maka sepi—kita kutip dari

sajak “Hampa” Chairil Anwar—“terus ke dada, dan menanti, menanti”.

Nyanyi sunyi—seturut judul buku puisi Amir Hamzah,

1937—adalah tradisi puisi lirik Indonesia. Penyair bernyanyi untuk

mencapai sunyi, atau penyair berdekat-dekat dengan sunyi agar ia

cemerlang bernyanyi. Sejak Amir Hamzah, unsur paling mendasar

dari puisi adalah kata, dan serentak dengan itu pula penyair hendak

membebaskan kata dari beban pengertian. Kata mesti menjadi

organisme tersendiri, bukan sekadar alat komunikasi, dan ini hanya

terjadi jika ia berada dalam kalimat yang “gagal” jadi lengkap, kalimat

yang “terpaksa” jadi frasa sumbang-menggantung, frasa yang yang tak

lancar berpindah ke frasa berikutnya. Celah antarfrasa itu menjadi

celah bisu, sunyi, kosong yang seakan-akan jadi matriks puisi,

sementara kata terus berkelit dari semantik. Tetapi sering kali penyair

tak sabar untuk mencapai sunyi, maka ia terpaksa menggunakan kata

“sunyi” atau “sepi”, juga dengan berlebih-lebihan: “sunyi itu duka,

sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu lampus” (Amir Hamzah);

“sepi menekan-mendesak”, “mampus kau dikoyak-koyak sepi” (Chairil

Anwar); “berperang bumi dan sepi”, “bunga di atas batu, dibakar

sepi” (Sitor Situmorang); “meriap sepi yang purba”, “sepi terbata-

bata menghardik berulang kali” (Sapardi Djoko Damono); “sepi

kita semula”, “senyap merayap antara sendi dan sprei” (Goenawan

Mohamad); “sebelas duri sepi”, “sepisau sepi sepisau nyanyi” (Sutardji

Calzoum Bachri). Atau puisi mesti mencoret, menghapuskan,

12 PB

Kalam 26 / 2014

meninggalkan aneka bagiannya sendiri untuk mencapai yang sunyi,

yang kosong. Tapi sunyi dan kosong yang mutlak sungguh tak ada,

tak pernah ada, sehingga penyair pun terdorong juga membubuhkan

frasa “tak ada”.

PIKNIK

Untuk pikniknya yang terakhir Tiar menyiapkan telur dadardan sejumput mrica. Ia bangun pagi sekali. Di tempat mandidipandangnya sumur: sebuah liang hijau, seperti lorong hutanyang memanggil. Ia tahu ia tak hendak pergi.

“Tapi aku mesti pergi,” bisiknya sambil menerjunkan timba.Air terkoyak. Lorong itu mengembalikan bunyi.

35 tahun yang lalu untuk pikniknya yang pertama ia ingatia memilih topi katun putih. Si upik mengenakan gaun ros,dan mengikuti anak-anak yang menari di tepi danaudengan lagu angan-angan. Ibunya menyiapkan tikar,menggumamkan sesuatu. Ia seperti dengar suara saluang.

Setelah itu mungkin 20 tahun menyela mereka, memisahkan,sampai mereka bersua di kereta ke Solo. Mereka tak saling menyapa.Ia pura-pura melihat ke luar gerbong: deretan pokok dadap,kembang merah yang ranum, sisa tanggul yang runtuh.

“Kau masih sendiri?” ia bayangkan ia bertanya.

Tapi si upik yang tak ditatapnya akan selalu memandang ke depan,dan dari ruang masinis seperti ia dengar seseorang berkata,“Tak ada lagi.”

Pada pikniknya yang terakhir Tiar tahu apa artinya “tak ada lagi”.

13 PB

Kalam 26 / 2014

Siapakah Tiar dalam “cerita” di atas, siapa pula si upik dan

ibunya? Sajak yang bertahun 2006 ini memang membatalkan semua

kisah yang mungkin (dan dengan “kisah” yang saya maksud adalah

hubungan antartokoh dan bagaimana hubungan demikian berubah

dalam waktu). Dua orang yang berada bersama Tiar dalam piknik

35 tahun yang lalu itu mungkin keluarganya, mungkin juga tidak.

Dan pertemuan kembali Tiar dengan si upik di dalam kereta menuju

Solo, 20 tahun setelah piknik yang “bahagia” itu, justru mengaburkan

hubungan antara keduanya: kenapa pula keduanya tak saling

menyapa, kenapa keduanya jadi orang asing yang memandang ke

arah yang berbeda-beda. Mungkin juga kita ingin mengubah frasa

“Kau masih sendiri?” dengan “Kau masih sendiri, anakku?”—namun

rekonstruksi cerita Tiar sudah pasti berlebih-lebihan, dan akan

merusak jukstaposisi puisi yang menonjolkan motif tentang “pergi”

dan “tak ada”. Adapun piknik yang akan dialami Tiar hanya penanda

akan sesuatu yang lain: piknik Tiar hari ini tak akan pernah kita

lihat—hanya pengujar di luar puisi yang menyatakan itulah piknik

Tiar yang terakhir. Kita tak tahu ke mana Tiar pergi: kita hanya tahu

ia tak hendak pergi namun ia harus pergi.

Bentuk prosa ialah untuk mewadahi frasa-frasa yang

memanjang dan bergerak sendiri, juga bercecabang tanpa kita tahu

arahnya—seperti juga Tiar yang kita tak tahu ke mana akan pergi.

Sesekali kita, seperti Tiar, menikmati rerinci yang muncul begitu

saja untuk menunda gambaran tentang piknik: apa pentingnya

adegan Tiar menimba air, dan siapa seseorang yang di ruang masinis

mengatakan “tak ada lagi.” Dan juga untuk apa sebenarnya kita harus

tahu bunyi saluang pada piknik yang pertama, deretan pokok dadap

dan sisa tanggul yang runtuh pada perjalanan dengan kereta ke Solo;

14 PB

Kalam 26 / 2014

ya, rerinci ini hanya menunda kita menyimpulkan sesuatu. Menunda:

proses pembacaan memang menghapus kesan apa yang sudah terbaca;

membaca puisi ialah tertarik kepada segala arah dan kemungkinan;

sedangkan membaca prosa ialah tertawan pada satu tujuan belaka.

Pada dua bait-paragraf terakhir segera kita tergoda oleh frasa yang

berulang dua kali—“tak ada lagi”: jadi, si Tiar baru mengerti “tak

ada lagi”, setelah seseorang di kereta yang melaju ke Solo 15 tahun

sebelumnya mengatakan kalimat yang sama. Boleh jadi seseorang itu

adalah penyair sendiri, yang masuk ke dalam puisi, untuk membisiki

pembaca, kita, bahwa puisinya memang bicara tentang sesuatu yang

tak ada, sesuatu yang tak ada lagi; bahwa piknik itu mungkin sekali

hanya sarana untuk menuju ketiadaan dan kekosongan, bahkan

mungkin juga kematian? Setidaknya kita mengerti bahwa “pergi”

adalah sarana menuju “tak ada lagi”. Seperti juga yang dikatakan oleh

sajak Sapardi Djoko Damono di bawah ini:

KISAH

Kau pergi sehabis menutup pintu pagar sambil sekilasmenoleh ke namamu sendiri yang tercetak di plataluminium itu. Hari itu musim hujan yang panjangdan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumutsehingga tak terbaca lagi.Hari ini seseorang yang mirip denganmu tampak berhenti didepan pintu pagar rumahmu, seperti mencarisesuatu. Ia bersihkan lumut dari plat nama itu, laludibacanya namamu nyaring-nyaring.Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.

15 PB

Kalam 26 / 2014

Seperti “Piknik”, “Kisah” juga mengatakan “pergi” sebagai

sesuatu yang “tak ada”: kita tak tahu ke mana dan mengapa si kau pergi

dari rumahnya. Seperti “Piknik”, rentang waktu yang dinyatakan oleh

“Kisah” juga sangat jelas—lewatnya satu musim penghujan, antara

“hari itu” dan “hari ini”. Puisi adalah sesuatu yang tidak berisi, atau

cenderung mengosongkan isi: ia adalah paradoks: ia hendak mencapai

kekosongan dengan kata, dengan kata-kata, yang telanjur terikat

kepada arti. Kita tak pernah mengenal seperti apa pengembaraan si

kau, meskipun si ia berkisah kepada si aku tentang itu; pun kita tak

pernah tahu apakah si ia sama dengan si kau. Baiklah, semua yang

tak pernah kita kenal ini kita sebut saja misteri. Namun, jika “Kisah”

cukup lurus dan terang menyampaikan misteri itu, tidak demikian

halnya dengan “Piknik”: yang pertama, bertahan dalam dua-tiga imaji

pokok, seakan mempertahankan sebuah inti; sedangkan pada yang

kedua, imaji-imaji berlesatan ke sana ke mari, saling berbentur dan

mungkin juga saling menindih, dan hanya berhenti oleh semacam

pernyataan semu-falsafi “tak ada lagi”. Juga, pada “Kisah”, setiap

bait-paragraf cukup berdisiplin mengikatkan diri pada satuan waktu

peristiwa; sedangkan pada “Piknik”, pembaca harus berhati-hati

untuk tidak tersesat pada alur.

Sesungguhnya saya berbicara tentang dua jenis pembacaan.

Yang pertama, adalah pembacaan yang bisa mulai begitu saja: katakan

saja, saya adalah pembaca yang tak memerlukan bekal: puisi masih

memiliki sisa-sisa karakter prosa—frasa-frasanya masih lurus-teratur,

membimbing ke satu arah tertentu, dan saya hanya terkejut ketika,

pada akhir puisi, saya beroleh penutup yang tak saya harapkan.

(Dalam pembacaan kedua dan seterusnya, penutup demikian itu

terasa semakin masuk akal juga.) Pembacaan yang kedua, seperti

16 PB

Kalam 26 / 2014

perjalanan yang menyesatkan (dan hanya bekal termaksud yang bisa

membuat perjalanan itu mengasyikkan): inilah jika puisi menarik

saya ke banyak arah, frasa-frasa sama sekali tidak mirip prosa—

membelok dan melesat tiba-tiba—dan puisi “terlalu cepat” berakhir

sebelum kita berhasil mengendalikannya. Tetapi saya kira tak ada

pembaca polos: setiap pembaca puisi sesungguhnya seperti anggota

serikat rahasia yang mencerna tradisi tertentu. Apabila sang penyair

dihantui para pendahulunya, maka pembaca puisi juga menanggung

beban yang saya maksud di depan, yaitu pengetahuan akan sejumlah

puisi tertentu (dan pengetahuan, sebagaimana kita tahu, bisa juga

bekerja di lingkup bawah sadar kita). Demikianlah frasa “tidak ada

lagi” dalam “Piknik” menghubungkan saya dengan frasa serupa yang

pernah ada jauh sebelumnya:

SENJA DI PELABUHAN KECIL1

1 Tentang “Senja di Pelabuhan Kecil”, saya pernah menulis: “Kita tidak lagi mencari isi puisi, karena kita sudah dipuaskan oleh baris pertama, ‘Ini kali tidak ada yang mencari cinta’ (sehingga kita tak akan sampai hati menyimpulkan bahwa puisi itu bercerita tentang si jantan yang patah hati, misalnya). Frasa ‘pada cerita’ dari baris kedua di bait pertama, menyela begitu saja urutan gudang, rumah tua, tiang dan temali. Selaan ini hanya pembuka saja, pengantar pada dua gambar berturutan yang tak saling berhubungan, kecuali bahwa keduanya dihubungkan oleh pengulangan bunyi di ujung baris ketiga dan keempat, yakni ‘berlaut’ dan ‘berpaut’. Atau boleh saja kedua baris ini berhubungan, jika kapal dan perahu ternyata menghembus(kan) diri; dan jika demikian halnya, maka ‘menghembus’ adalah sebentuk pemiuhan fungsi kata kerja. Lagipula, bagaimana kita mendudukkan ‘mempercaya mau berpaut’: bukan hanya bahwa ‘mempercaya’ itu sebuah bentukan yang ganjil, namun juga bahwa ‘mau berpaut’ itu sesungguhnya menuntut obyek sasaran—pada apa, pada siapa. Frasa mengambang juga membuat kita bebas mempertautkannya dengan frasa sebelum atau sesudahnya; atau, ia lebih berfungsi visual, yakni untuk menggenapkan montase yang kita hadapi. Frasa ‘tidak bergerak’ pada baris ketiga bait kedua bisa melekat pada ‘pangkal akanan’ atau ‘tanah dan air’; sementara itu frasa ‘tiada lagi’ pada awal bait ketiga mungkin tidak berhubungan dengan apa pun, kecuali mengosongkan apa-apa yang sudah kita tatap pada dua bait sebelumnya. Sekali si aku, yakni dia yang mencari cinta, muncul, kita tahu semuanya kian kabur saja: kenapa harus ada ‘pantai keempat’ (dan kita tak tahu pantai-pantai yang sebelumnya, atau sesudahnya). Tak berjawab, masih juga kita bersua dengan keganjilan semantik yang lain di pengujung, yaitu bahwa ‘sedu penghabisan bisa terdekap’—siapa bisa mendekap sedu sedan, ataukah justru dalam jukstaposisi ekstrem

17 PB

Kalam 26 / 2014

SENJA DI PELABUHAN KECIL1

Ini kali tidak ada yang mencari cintadi antara gudang, rumah tua, pada ceritatiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlautmenghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elangmenyinggung muram, desir hari lari berenangmenemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerakdan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalanmenyisir semenanjung, masih pengap harapsekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalandari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

kita boleh menanggalkan pengertian?” —Baca esai saya “Titik Tengah”, yang pernah saya ceramahkan di Teater Salihara, 26 Maret 2010, dan kemudian dimuat dalam Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (penyunting), Membaca Sapardi (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia dan HISKI, 2010). Esai ini membicarakan puisi Sapardi Djoko Damono, juga kaitannya dengan Chairil Anwar dan avantgardisme Indonesia.

Dalam kesempatan lain, saya juga menulis: “Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga. ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain ‘Derai-derai Cemara’: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak ‘Yang Terampas dan Yang Putus’: tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri.” —Baca esai saya “Situasi Chairil Anwar”, kata pembuka dalam kumpulan sajak lengkap Chairil Anwar edisi terbaru, Aku Ini

Binatang Jalang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).

18 PB

Kalam 26 / 2014

“Tiada lagi” pada bait ketiga sajak Chairil Anwar bertahun

1946 itu dapat dipandang sebagai frasa yang berdiri sendiri,

bisa juga tidak—ia mengulangi, atau menegaskan, “tak ada” pada

bait pertama. Demikian pula frasa-frasa yang lain: semuanya

mengambang dalam tubuh puisi, masing-masing bisa menyambung

atau memisah dengan yang sebelum atau sesudahnya. Puisi adalah

montase, dan hanya masuk akal dalam keseluruhannya, sementara

unsur-unsurnya sendiri terlihat sumbang. Saya pernah mengatakan

bahwa puisi di atas memelihara tegangan antara yang spasial dan

temporal: kita melihat lukisan, lanskap yang begitu saja tersaji di

hadapan kita, dan kita menyerap keseluruhannya; namun pada saat

yang sama kita harus membacanya dari awal dan akhir—frasa demi

frasa, urutan peristiwa, betapa pun urutan itu lebih tepat dikatakan

sebagai lompatan. Sementara itu, apa-apa yang sumbang—frasa-

frasa yang menggantung tak selesai, sejumlah kata kerja yang terpiuh

(atau bentukan baru yang tetap terasa ganjil hingga hari ini, seperti

“mempercaya”), persambungan yang tak pasti antarkalimat atau

antarfrasa, arti kalimat yang tak terjangkau seperti “sedu penghabisan

bisa terdekap”)—justru membesarkan tenaga kata, membuat setiap

kata hidup sebagai dirinya sendiri, bukan sekadar pembangun kalimat.

Paradoksnya: yang sumbang itu seketika pula menggenapkan—atau

digenapkan—oleh rima, yang bukan sekadar pola bunyi di ujung baris

dalam bait, namun cetusan spontan dari tenaga kata itu sendiri.

“Tiada lagi” barangkali hadir untuk membatalkan apa yang

sudah kita dapat pada dua bait sebelumnya: lanskap yang sudah

kita lihat, bunyi yang sudah kita dengar—semua yang dalam kaidah

pantun disebut sampiran, pendahuluan, yang tak (selalu) relevan

dengan isi. Dalam dua bait pertama kita seakan mendapatkan

19 PB

Kalam 26 / 2014

pengujar yang berdiri di luar puisi, semacam pengamat obyektif,

namun ternyatalah di bait ketiga kita mendapatkan si aku, tampaknya

ia yang tak lagi mencari cinta, dan agaknya bait terakhir ini adalah

isi. Namun “tiada lagi” bisa juga tersambung dengan “aku sendiri”,

untuk menggambarkan ketidakmampuan si aku mencerap alam

yang mengitarinya; dengan demikian gambaran tumpang tindih dari

pelabuhan saat gerimis itu adalah cerminan dari ketidakmampuan

ini. Kita tak tahu kenapa si aku menyatakan “pantai keempat” (kita

bertanya di mana pantai pertama, kedua, ketiga), “sedu penghabisan

bisa terdekap” (kita bertanya bagaimana tangis bisa terdekap, atau

mungkinkah ada satu-dua kata yang tercoret dari frasa itu). Maka,

“tiada lagi”, di samping membatalkan isi, juga pernyataan sadar diri

dari puisi itu sendiri: penanda untuk selisih atau rumpang yang

besar di dalam frasa dan antarfrasa: kekosongan atau sunyi untuk

mempersambungkan pelbagai anasir dalam tubuh puisi.

“Tak ada” atau “tiada lagi” bergema lagi jauh ke depan, dan

kini saya ingin mengutip (dan memiuhkan) dua baris dari “Kuatrin

tentang Sebuah Poci” Goenawan Mohamad (1973): “Mataku belum

tolol ternyata, untuk sesuatu yang tak ada.” Seperti sebuah poci

dari tanah liat, bahasa adalah “sesuatu yang kelak retak”, dan kita,

bersama penyair, mencoba “membikinnya abadi”, yakni dengan

menyelamatkannya dari kamus dan denotasi. Mata dan telinga kita

tak hendak menjadi tolol untuk menyelamatkan bahasa ke sesuatu

yang mengandung sunyi dan kekosongan, ke dalam puisi. Puisi

adalah “separuh ilusi”, seperti poci tanah liat itu, dan separuhnya

lagi adalah upaya kita membuatnya bermakna, membuatnya nyata

(atau “nyata”)—dengan jalan menghubungkannya dengan khazanah

persajakan yang mengitarinya. Puisi masuk ke dalam diri kita

20 PB

Kalam 26 / 2014

dalam keseluruhannya: tapi tidak, tidaklah sesederhana itu, sebab

sesungguhnya ia menampilkan diri sebagai paradoks: dengan segala

selisih dan rumpang yang dikandungnya, justru ia menunjukkan

keutuhannya, kesatuan “rancang bangun”-nya—dan inilah warisan

Chairil Anwar kepada para penyair sesudahnya. Dan puisi yang

demikian itu—puisi yang baik, puisi yang tak kunjung layu—adalah

puisi hari ini kapan saja kita membacanya. Dan si penyair harus

tahu kapan sajaknya harus berhenti—selesai ditulis—supaya ia tak

menguasainya, meringkusnya. Supaya sajak itu tetap berada di hari

ini untuk—saya kutip sefrasa dari sajak “Di Beranda Ini Angin Tak

Kedengaran Lagi”—“mengekalkan yang esok mungkin tak ada”.

Z

Di bawah bulan Marlydan pohon musim panasAda seribu kereta-apimenjemputmu pada batas

Mengapa mustahil mimpimengapa waktu memintasSeketika berakhir berahibegitu bergegas

Lalu jatuh daun murbeidan air mata panasLalu jatuh daun murbeidan engkau terlepas

Yang sampai pertama-tama kepada kita adalah musik, dan

musik dalam bentuknya yang paling murni tak hendak memberi

21 PB

Kalam 26 / 2014

arti. Namun musik yang terbentuk dari kata-kata seperti puisi selalu

seperti hendak menyurung kita ke dalam arti sekaligus menarik kita

menuju nirarti. Puisi merenggut kata-kata dari arti kamusnya dan

melemparkannya ke dalam alkimia yang reaksinya harus diselesaikan

sendiri oleh pembaca. Namun jelas, pembaca yang berpengalaman

akan segera mempersandingkan kuatrin di atas dengan (mungkin

tanpa sadar) kuatrin-kuatrin yang pernah ada dalam khazanah bahasa

kita, misalnya pantun-pantun lama atau sajak-sajak Amir Hamzah

dan Chairil Anwar, dan tahu bahwa “Z” (1971) meradikalkan elipsis

dalam persajakan Indonesia. Tapi ini bukan berarti bahwa pembaca

bisa menutup pelbagai rumpang dalam sajak dan merekonstruksi

fragmen-fragmennya menjadi sejenis cerita. Penyair menyerahkan

dirinya ke dalam tradisi perpuisian yang melingkupinya, menjadi

pengujar-dalam-sajak yang, seraya terus menghindarkan diri

dari tatapan pembaca, memunguti imaji-imaji secara acak seperti

anak-anak dan merangkainya menjadi dunia serbamungkin.

Dengan menuruti bunyi kata, penyair menghilangkan dirinya—

mengosongkan puisi dari riwayat dirinya—supaya puisinya menjadi

“obyektif”. Dengan begitu pula sajak seperti “Z” menjadi lawan dari

komunikasi, yakni tatkala tiba-tiba kita menyadari bahwa komunikasi

bersifat “subyektif”—yaitu bahwa subyek yang satu meleburkan diri

ke dalam maksud Subyek yang lain berdasarkan seperangkat klise.

Sedangkan puisi bersifat “obyektif” karena kita tak bisa bertanya apa

maksud si penyair, dan perhubungan kita dengan puisi adalah—saya

pinjam kata-kata Amir Hamzah—“bertukar tangkap dengan lepas”.

Judul sajak, “Z”, menyarankan sebuah akhir, kita belum tahu

akhir apa. Bait pertama mendorong kita “menggambar” dengan

membebaskan diri dari perspektif dan gaya tarik bumi; dengan kata

22 PB

Kalam 26 / 2014

lain, menggambar seperti anak-anak: di bawah bulan, di bawah

pohon (ya, satu, bukan banyak pohon) di sebuah musim panas, ada

seribu kereta api (alangkah banyaknya dan alangkah kecilnya, maka

bukankah ini hanya terjadi dalam mimpi!), menjemput si kau yang

kita tak tahu siapa. Namun sifat kekanak-kanakan ini juga pada saat

yang sama terlepas, karena sejak awal kita sudah berbenturan dengan

acuan yang tak terpegang: apa itu Marly, dan jika pun kita tahu itu

nama sebuah tempat di Prancis atau Jerman misalnya, lukisan kita

tak akan pernah jadi realisme. Dan “batas” pada baris keempat bait

pertama memiliki konotasi yang terlalu lebar, atau sesuatu yang dekat

kepada abstraksi, batas mimpi misalnya, terutama bila kita perkaitkan

dengan baris apa yang dikatakan berikutnya. (Tetapi kita bisa juga

mengancang pembacaan yang lebih “nonsens”: yaitu bahwa dua

baris pertama adalah sampiran, seperti sampiran pada pantun, yang

tidak berisi. Atau pembacaan yang lebih “dewasa”: di bawah langit

malam yang berbulan, di antara pohon-pohon musim panas, ada

berbaris kereta api menjemput si kau. Sayang sekali pembacaan yang

lebih “nonsens” maupun yang lebih “dewasa” ini harus urung karena

munculnya frasa “pada batas”.) Pada bait kedua, sajak menunjukkan

sifat “sadar diri”-nya, paradoksnya: bahwa lukisan mimpi memang

tak mustahil (karena puisi bukan tawanan cerita), bahwa lukisan

hanya jadi masuk akal secara spasial, bukan temporal (artinya, sajak

menjadi lukisan dengan menghapus alur waktu). Seperti berahi (dan

persetubuhan), sajak harus segera berakhir: sebelum menampilkan diri

(sebelum sempat mengatakan “aku”), artinya sebelum menceritakan

pengalamannya, si pengujar dalam sajak harus kembali menjadi

penyair (yakni ia yang berdiri di luar puisi) untuk melancarkan

elipsis. Barangkali tak ada cara yang lebih baik dalam mengakhiri

23 PB

Kalam 26 / 2014

sajak dengan mengosongkannya: baik lukisan naif atau abstraksi pada

akhirnya terselewengkan—terbatalkan, atau terhapuskan—dengan

semacam close-up: jatuhnya daun murbei dan air mata—air mata yang

jadi panas, atau air mata musim panas (dan perhatikanlah “panas”

yang bisa jadi sumbu antara akhir dan awal puisi). Seperti si engkau,

pengertian selalu terlepas, dan sajak selalu kembali lagi sebagai musik,

untuk menggarisbawahi yang kosong, yang “tak ada”. Namun sesekali

puisi harus juga kembali menggunakan “tak ada” secara harfiah.

DI PEKARANGAN

Di pekarangan itu ia siapkan pemakaman. Ia tak sampai hati melihatoleander putus.

Ia tunggu hujan pada terik 31° Celsius, ketika ia seakan mendengar tetespertama pada daun damar, kemudian tetes kedua, kemudian tak ada.

Di daun itu, seperti di putik-putik, memang tersirat yang tak ada.

Sebab itu pada cangkulan pertama ada gema dari humus yang menghitam,seperti tawa, seperti tanda, dan ia pun berhenti menggali. Oleander ituputus, perdu itu kehilangan merah, aku ingin melupakannya!

Tapi tak ada hujan yang akan menghapus sisa akar, dan ketika ia cobapanggil angin, angin tak menyahut.

Mungkin dengan tudung yang pucat ia bisa membujuk siang jadi ramah.

Atau lebih baik pergi. Tapi di luar sana sawah telah dituai, petak sepertikulit tua yang memaparkan pori-pori yang lelah, dan pada warna yanghilang dari jerami, hanya hinggap tiga punai.

24 PB

Kalam 26 / 2014

Ia tak sampai hati melihat jerami rebah dan punai pergi.Maka ia bayangkan ia melayang di angin pasif, seperti asap sampah yangsabar.

Ia percaya yang khayal akan kekal, seperti langit, dan yang hilang akanhilang seperti percakapan, dan yang kangen akan kangen kepada ada, yangkata orang mungkin tak di sana.

Pekarangan yang hampir mustahil: pekarangan dengan batang-

batang oleander dan damar, dan sawah di depannya. Dengan itu sajak

di atas hendak bicara tentang “yang khayal”, “yang kangen kepada

ada”. Batang oleander itu bukan patah atau rubuh, tapi putus. Dan si

ia hendak memakamkannya. Kita lihat: “putus” dan “memakamkan”

mendapat artinya yang baru, yang mustahil (sesungguhnya kita tak

yakin, apakah si ia hendak memakamkan oleander atau sesuatu yang

lain). Manakala mungkin, di setiap tahap, sajak itu berbelok ke arah

yang lain: adegan selalu tertunda, dan pemandangan lain muncul

ganti-berganti: pemakaman si oleander putus tak pernah terjadi, dan

si ia tertarik-tarik ke arah yang lain. Tapi kita tak yakin kalau si ia

melihat dan mendengar: ia hanya seakan mendengar dan melihat,

misalnya “seakan mendengar tetes pertama pada daun damar”; dan

terhadap kenyataan apa pun yang ditatapnya, si ia “tak sampai hati”

atau “hendak melupakannya”. Sementara rumpang antarkalimat

begitu lebar, nyaris tak terjembatani (lihat itu, misalnya, di antara

dua kalimat pertama pada bait-paragraf pertama), sejumlah kalimat

memanjang dan mengabur; kalimat “Mungkin dengan tudung yang

pucat ia bisa membujuk siang jadi ramah” barangkali bisa kita tulis

ulang jadi “Dengan bertopi ia melindungi dirinya dari terik ganas

siang”—tapi mungkin juga tidak, jika “tudung”, “pucat” dan “ramah”

25 PB

Kalam 26 / 2014

hendak menggelincir dari komunikasi.

Sejak mula, “Di Pekarangan” (2006) menyelimuti dirinya

dengan—saya pinjam istilah dari khazanah teater modern—semacam

“efek pengasingan”: lukisan yang disajikan bukan representasi alam,

justru mempersoalkan representasi tersebut. “Oleander” bukan nama

yang seharusnya hadir dalam latar yang (akan) dihadirkan dalam

sajak, dan mestinya bukan juga yang dikenal oleh si ia, kecuali bila

penyair mengidentifikasi diri dengannya; dan “putus” seharusnya tak

terpakai, keculi bila kita boleh mengatakan “seutas”, bukan “sebatang”,

oleander; dan “putus” bisa juga berarti “putus nyawa”, meski ini

terpaksa berlaku untuk tumbuhan. Penyair masuk sebentar-sebentar

ke dalam sajak dengan menyisipkan “tak ada”, untuk menunda kerja

indrawi si ia dan mencegah pembaca melebur ke dalam sajak. (Dalam

pembacaan yang biasa, yang tanpa efek pengasingan, pembaca-

pemirsa melebur ke dalam karya seni, menyamakan representasi

dengan kenyataan.) Penyair “membujuk” si ia bahwa yang dilihatnya

atau didengarnya (dan dikerjakannya) hanya khayal; atau penyair

membentangkan tabir pengasingan di hadapan si ia. Adapun bagi

kita, yang tak ada itu tersirat di permulaan, dan secara perlahan

jadi tersurat menuju akhir sajak, akhir pembacaan kita. Atau, suara

penyair membuat pekarangan itu ranah “separuh ilusi”, tempat

si ia “kangen kepada ada”, dan di luarnya adalah sawah yang dituai

(bukankah “sawah” mengantar kepada sesuatu yang kita miliki?),

kenyataan yang dialami pembaca (dan untuk melihat kenyataan itu

pun, si ia juga “tak sampai hati”), kenyataan yang membuat kita masih

percaya kepada komunikasi, percaya (bukan hanya kangen) kepada

ada, kepada wujud. Tetapi penyair sendiri tak yakin jika ada itu berada

di sana: ia membubuhkan “kata orang”—yang dicurinya dari sajaknya

26 PB

Kalam 26 / 2014

yang lain “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”—dan

“mungkin”. Barangkali penyair ingin suaranya tak terdengar, ada-nya

sendiri tak terlihat, supaya sajaknya “obyektif”. Jika saja pembacaan

kita malih jadi proses intelektual (karena sajak terlihat berupaya

mengadopsi ontologi), maka itu dibatalkan oleh disonansinya sendiri,

paradoksnya sendiri: untuk mempersoalkan “yang tak ada”, ia justru

tumbuh menjalar ke mana-mana, tergelincir dalam rerincinya sendiri,

menutup intinya sendiri.

Membaca puisi adalah “bersandar pada mungkin”. Pembacaan

yang barusan kita amalkan untuk sejumlah sajak di atas tidak lain

ketimbang upaya mengudar anasir puisi dan merangkai mereka

kembali seturut isyarat yang diberikan puisi itu sendiri. Namun

tampaknya tak terlalu mudah bagi kita menangkap isyarat itu bila kita

tak dihantui oleh tradisi sastra yang mestinya juga menghantui penyair.

Adapun kita yang saya sebut barusan adalah seakan anggota-anggota

perkumpulan rahasia lirisisme Indonesia, tetapi ini pun masih lebih

berjumlah daripada apa yang pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono

bahwa pembaca puisi Goenawan Mohamad adalah diri si penyair

sendiri. Mungkin saya telah berlebih-lebihan. Barangkali ada juga

jenis pembaca lain, misalnya pembaca polos-telanjang yang sanggup

meloloskan diri dari perangkap konsensus dan komunikasi, membuka

dirinya terhadap kemungkinan berpisahnya antara rupa kata, bunyi

kata dan arti kata (atau antara penanda, tinanda, dan dunia, jika saya

boleh memakai konsep linguistik Saussurean); ketika membaca ulasan

A. Teeuw di penutup buku Goenawan Mohamad Asmaradana—Pilihan

Sajak 1961-1991 (terbit 1992), saya mungkin girang bahwa pembaca

jenis ini berpotensi ada. Jenis pembaca yang lain lagi barangkali adalah

penggandrung filsafat: dan saya bertanya-tanya bisakah mereka

27 PB

Kalam 26 / 2014

mencerap sajak-sajak yang menggarap motif “tak ada” juga sekiranya

mereka sudah mahir mencerna kritik terhadap apa yang disebut dalam

dekonstruksionisme disebut “metafisika kehadiran”?

Filsuf berkilah dengan jargon, “datang ke mari untuk

menggugat”, yakni menggugat sistem, sedangkan penyair menari,

“mengekalkan teka-teki dan mengelak dari ujung setiap argumentasi”,

meraih apa yang tak termaktub oleh sistem. Nyanyi sunyi Indonesia

mulai dengan munculnya si aku yang sumbang dalam nada-nada merdu

yang “terdaduhkan di selendang dendang”, berlanjut dengan si aku

yang lebih sumbang lagi dalam nada-nada disonan yang mengandung

“apa yang tak terucapkan”, dan berlanjut lagi dengan lenyapnya si aku

dalam disonansi yang lebih “tak kedengaran lagi”; dengan kata lain,

nyanyi sunyi memuncak dengan hilangnya tonalitas, hilangnya pusat

nada. “Romantisisme” Amir Hamzah berlanjut ke “ekspresionisme”

Chairil Anwar2 berlanjut terus ke apa yang dalam modernisme 2 Bahkan “ekspresionisme” Chairil Anwar tak dapat dianggap begitu saja sebagai cetusan

diri-biografisnya. Tapi arus umum kritik sastra kita, juga pandangan di kalangan pembaca, menganggap bahwa puisi adalah pantulan hidup si penyair; menurut penyair cum kritikus Subagio Sastrowardoyo, misalnya, sajak adalah persaksian pengalaman si penyair, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu pribadinya. Untuk menipiskan pandangan semacam ini, saya menulis:

“Chairil Anwar bukanlah sebuah monumen, melainkan situasi, yakni situasi yang membuat kita, untuk menggunakan kata-katanya sendiri, ‘menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang’—dan ini tentu berlaku bilamana kita membaca puisi Chairil sendiri. Yakni bahwa tidak seluruh sajaknya berhasil atau hangat dibaca di zaman kita, tapi dari kompleks kekaryaannyalah para penyair dan pengupas—juga kita, pembaca—selalu bisa memilih model mana untuk diperihalkan, ditandingi, bahkan ditolak: melalui Chairil kita tahu apa-apa yang belum dikerjakan sastra Indonesia. Saya sendiri ingin berkata bahwa sejumlah sajaknya masih terasa sulit hingga hari ini—dan inilah kesulitan yang justru menggarisbawahi bahwa puisi memang hendak mengatakan apa-apa yang mustahil dikatakan oleh bahasa. Chairil Anwar menularkan kesulitan itu kepada kita semua: yakni bahwa penyair harus memiliki, untuk mengutip ungkapan W.B. Yeats, fascination with the difficult, untuk mencapai tenaga bahasa yang belum terbayangkan sebelumnya. Seorang penyair yang unggul menempuh kesulitan tersebut bukan hanya untuk menguji keterampilan dan kegandrungannya akan bahasa, tapi juga untuk memperkaya cara pandang kita terhadap dunia.

28 PB

Kalam 26 / 2014

dunia disebut an escape from personality, jika saya boleh meminjam

ungkapan T.S. Eliot. Dalam membuat disonansi termaksud, penyair

memotong tata bunyi dengan, antara lain, menyeruakkan, bermain-

main dengan, sepotong ide. Kita ingat, misalnya, frasa-frasa Chairil

Anwar seperti “hidup hanya menunda kekalahan”, “pembatasan cuma

tambah menyatukan kenang”; atau sejumlah kata benda abstrak

seperti “kecemasan derita, kecemasan mimpi”. Chairil diikuti Sitor

Situmorang dan Goenawan Mohamad: demikianlah, penyair bukan

menghindari filsafat, tapi bermain-main dengannya, untuk membuat

“pesan negatif”, antipoda terhadap pesan positif yang dijajakan sastra

terlibat. Goenawan bermain dengan pesan negatif itu lebih jauh:

dengan “sunyi” dan “tak ada” berulang kali, misalnya, puisi seakan-

akan memang tidak mengandung kehadiran atau kebenaran apa

pun di balik kata-kata yang membentuknya. Atau, puisi bisa juga

menyajikan “atonalitas” sekaligus “kontrafilsafat” dengan rima dalam

dan rima luar yang tetap terjaga sekalipun.

“Situasi Chairil Anwar juga memungkinkan kita bersikap tajam terhadap arus umum yang menyatakan bahwa puisi adalah pantulan riwayat penyairnya. Bagi saya kini, Chairil adalah kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus; pada suatu ketika kita harus ‘membunuh’ si penyair, karena riwayat penyair hanya memiskinkan tindak pemaknaan kita. Memelihara mitos tentang si binatang jalang hanya menjerumuskan sastra kita ke dalam nostalgia dan kelisanan. Melalui Chairil, puisi kita kini telah bercabang ke sejumlah arah, di mana si aku atau si ia dalam puisi bukan lagi sosok penyair; atau, melalui puisi, penyair hendak membunuh dirinya yang sehari-hari, supaya bahasa leluasa menampilkan keajaibannya. Seperti Chairil, setiap penyair mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi sastra yang ada sebelum ia: ia tak menghamburkan keseorangannya, tapi menjalinkan diri dengan para pendahulu yang diciptakannya dari tanah airnya sendiri maupun aneka belahan bumi. Dengan tradisi yang dikembangkannya, puisi Chairil Anwar adalah puisi hari ini kapan saja kita membacanya.” —Baca esai saya “Situasi Chairil Anwar”, dalam Aku Ini Binatang Jalang.

29 PB

Kalam 26 / 2014

BARANGKALI TELAH KAUSEKA NAMAKU

Barangkali telah kuseka namamudengan sol sepatuSeperti dalam perang yang lalukauseka namaku

Barangkali kau telah menyeka bukan namakuBarangkali aku telah menyeka bukan namamuBarangkali kita malah tak pernah di siniHanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi

Dalam sajak di atas, semua kemungkinan semantik yang

pernah ada pun gugur. “Menghapus nama” mempunyai arti yang jelas,

tapi tidak demikian halnya dengan “menyeka nama”. (Pemain alkimia

kata kerja seperti ini yang sebelumnya tentu saja Chairil Anwar;

kita ingat frasa-frasanya seperti “desir hari lari berenang”, “menemu

bujuk pangkal akanan”). Dengan susunan demikian, kata-kata telah

kehilangan isinya yang selama ini dipelihara kamus dan komunikasi.

Tapi baiklah, kita tuangkan muatan baru ke dalam penanda-penanda

kosong mengambang itu: “menyeka” boleh jadi “upaya menghapus

yang sia-sia”: nama kita tetap tertera, tetap terbaca meski terlindas

oleh sesuatu yang sepele (“sol sepatu”) atau sesuatu yang besar

(“perang yang lalu”); mengikuti kaum dekonstruksionis, kita letakkan

setiap penanda di bawah coretan, sambil membayangkan tinanda yang

belum termaktub olehnya. Tetapi puisi itu sendiri tak menghendaki

stabilitas: pada saat kita mulai memahaminya (atau hanya berupaya

memahaminya, karena kita masih percaya kepada “barangkali”), ia

menampik kita lagi: yang terseka barangkali bukan nama kita, atau

bukan nama siapa pun juga. Lebih daripada itu, untuk membatalkan

30 PB

Kalam 26 / 2014

semua rekonstruksi arti yang mungkin, si pengujar sendiri mengingkari

suara dan kehadirannya: “barangkali kita malah tak pernah di sini.”

(Alkimia Chairil Anwar sering kali mudah kita ikuti, karena kita masih

bisa menangkap latar yang disajikannya; adapun kini kita tengah

membicarakan sajak yang sama sekali tak bersifat representasional,

sajak yang terlucut total dari latar mana pun.) Penyair menjalankan an

escape from personality dengan cara yang bertakik-takik (bandingkan,

misalnya, dengan cara yang lurus lempang Sapardi Djoko Damono:

“dan cermin menangkapmu sia-sia”, misalnya). Di pengujung, bahkan

sajak membeberkan sifat sadar dirinya: bahwa kata menipu mata dan

telinga sekaligus; bahwa hutan adalah juga “hutan” dan hujan “hutan”;

bahwa hutan dan hujan juga penanda kosong yang bisa malih rupa dan

malih suara (dan malih arti) dengan hanya bertukar sebuah konsonan.

Saya kutipkan sebuah sajak Sapardi Djoko Damono (dari 1969) yang,

seperti “Barangkali Telah Kuseka Namamu”, juga berbicara tentang

dirinya sendiri, tentang tidak mungkinnya isi dalam sajak, tapi dengan

cara yang lebih “merdu” dan lurus-langsung.

KETIKA BERHENTI DI SINI

ketika berhenti di sini ia mengertiada yang telah musnah. Beberapa patah katayang segera dijemput anginbegitu diucapkan, dan tak sampai kepada siapa pun

Bagi saya, Sapardi telah memilih sisi “merdu” dan tertib

dari Chairil Anwar, sementara Goenawan mengambil sisi disonan

dan rumpangnya. Baik Goenawan maupun Sapardi menggunakan

kuatrin-kuatrin Chairil sebagai model, dengan aspirasi masing-

31 PB

Kalam 26 / 2014

masing. Boleh dikatakan bahwa Sapardi menolak segi avantgardis

Chairil dan memilih sisinya yang konvensional: “Keunggulan seorang

penyair, dan seniman pada umumnya, tidak terletak pada usahanya

untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi, tetapi pada

keberhasilannya dalam menciptakan ruang gerak untuk melaksanakan

kebebasan dalam kungkungan konvensi.” Dengan ini pula Sapardi

menolak puisi bebas Chairil, dan mencairkan—menghalau derau

dan menutup rumpang yang ada dalam—bentuk kuatrin (dan sonet)

Chairil. Adapun Goenawan menyerap segi avantgardis Chairil:

mengambil puisi bebasnya, juga mempertinggi unsur-unsur disonan

dari kuatrin-kuatrin Chairil. Ada baiknya kalau kita lakukan kilas

balik di sini. Amir Hamzah memperbesar tenaga kata dengan

rumpang antarbaris sajak; Chairil melanjutkannya dengan rumpang

di dalam baris. Seperti saya sudah katakan, rumpang ini menyarankan

sunyi dan kekosongan, tetapi sekaligus menjadi sejenis matriks yang

mempertautkan fragmen-fragmen sajak. Disonansi yang ditimbulkan

oleh rumpang ini diperbesar oleh Chairil Anwar dengan kalimat-

kalimat yang “keliru” dan ganjil susunannya. Dalam puisi Goenawan,

rumpang dan disonansi ini justru membesar dengan kalimat-kalimat

yang bersih dan sempurna. Sementara itu, boleh dikatakan baik puisi

Sapardi Djoko Damono maupun Goenawan Mohamad sudah bebas

dari “ekspresionisme”: si pengujar dalam puisi bukan lagi—atau tak

perlu lagi—sosok penyair.3

3 Baru-baru ini saya menulis, “Penyair, lebih daripada seseorang, adalah tempat di mana puisi bermula. Puisi berpisah dari kepribadian si pembuat, untuk menjadi milik bahasa dan tradisi sastra.” Seseorang (yang punya biografi) memilih pendahulu yang bisa mengalasi lelakunya menulis puisi, dan ia memperkokoh alas ini dengan menulis kredo puisi dalam prosa, untuk mengubah dirinya jadi penyair (dan pada tahap ini ia masih percaya kepada komunikasi). Ketika menulis puisi, ia, yang sudah jadi penyair (yang tak lagi punya biografi) pun berbantahan dengan komunikasi, yakni bahwa baginya “bahasa

32 PB

Kalam 26 / 2014

Tentu saja, kita bisa membaca secara lebih indrawi. Membaca,

sebagaimana melihat, adalah mengenali sesuatu di dalam konteks

tertentu. Kita mengenali seekor kuda, misalnya, di tengah lanskap

luas; sesungguhnya yang terjadi adalah, mata kita memerangkap

obyek-obyek di dalam skema dan menyusun mereka ke dalam

hierarki: kuda itu berada di puncak hierarki pencerapan kita. Tapi

jika tiba-tiba sebuah kamera mengambil hak pandang kita, lalu

melakukan zoom in secara ekstrem, dan menyajikan gambar close-

up kulit kuda itu, akankah kita mengenalinya? Seperti kamera itu,

puisi menghancurkan konteks dan hierarki termaksud, mengambil

sebagian saja citra obyek-obyek itu dan membuat montase darinya.

Tetapi montase tidak berhenti dengan hanya menyejajarkan obyek-

obyek, ia sendiri sering “terjerumus” ke “kedalaman” obyek tertentu,

sehingga mata kita tersesat. Dan “tersesat” ini adalah terhentinya

proses rekonstruksi, proses membaca dengan “bersandar pada

mungkin”, bersandar pada penanda yang tampak paling dominan yang

kita kenali acuannya, misalnya saja “Kunthi” atau “Aung San Suu Kyi”.

Tetapi rekonstruksi itu terhenti mungkin untuk sejenak belaka: “kata

yang terpesona pada luas lumut” lupa bahwa ia harus membangun

pemandangan danau; “kulit langit kembali jadi biru” mungkin untuk

membuat kita lupa akan kulit dua pesetubuh yang harus berpisah

lekas; seekor gagak “berangkat di gagang gurun” boleh jadi untuk

yang bersifat publik itu menindas dengan cara tersendiri”. Dan terjadilah transformasi berikutnya: penyair menjelma jadi pengujar dalam puisinya. Demikianlah, “menulis puisi adalah gabungan yang ganjil antara kemahiran berbahasa dan penyerahan diri kepada tradisi sastra. Inilah gabungan kimiawi yang membuat si pengujar dalam puisi bukan lagi ia yang hidup sehari-hari dan bukan juga ia yang berkomunikasi dengan prosa.” —Baca tulisan saya, “Penyair”, dalam Hamid Basyaib (penyunting), Goenawan Mohamad Enak

Dibaca dan Perlu (Jakarta: R&W Publishing, 2011).

33 PB

Kalam 26 / 2014

membuat kita sebagai orang asing yang melihat tema Oedipus sebagai

retas belaka; dan sehelai “tandan di pohon saputangan” mengosongkan

penanda tentang sang pejuang kebebasan di Myanmar.

Kulit langit, gagang gurun, pohon saputangan (dan, tentu

saja, frasa-frasa yang mengandung pasangan kata itu)—semua adalah

montase permulaan. Juga “bulan adalah gelandangan”—dan A.

Teeuw pernah menulis bahwa hanya pembaca yang bersedia menjadi

sesama gelandangan yang bisa mengarak bulan itu. Tetapi jangan

lupa, dalam puisi bulan adalah “bulan” atau bulan dan gelandangan

adalah “gelandangan” atau gelandangan: dalam puisi kata bermain

tangkap dan lari dengan arti dan dunia. Menjadi gelandangan adalah

terus “bersandar pada mungkin”: tidak berumah (dan rumah adalah

sumber arti), pun tidak ada kepastian bahwa kita akan menemukan

rumah, rumah-ada. Di sepanjang jalan tempat kata-kata dan benda-

benda bertukar tempat, maka “lupa akan membebaskan kita”.

Komunikasi ternyata menjadi topeng bagi penghambaan subyek

yang satu kepada Subyek yang lain: komunikasi ialah pengertian

yang sedang “menghapuskan kita”. Dalam proses hendak terhapus

itulah kita menghadapi montase yang dibuat si penyair, montase

yang sepintas lalu mengasingkan kita dari komunikasi. Gerimis yang

jadi logam di kota sana, sebatang oleander yang putus nyawa, seribu

kereta api di bawah bulan Marly—inilah montase tingkat berikutnya

yang memaksa kita berpisah dari konsensus, dan menatap dunia

yang kekartun-kartunan dan surreal sekaligus. Menjadi gelandangan

adalah melakukan “hijrah dari bahasa publik”4, dan mencoba melihat—4 Saya kutip frasa ini sambil agak melepaskannya dari konteks yang dipasang si penulis

esai, Goenawan Mohamad, “. . .tak menulis adalah sebuah kemustahilan. Tak menulis sama artinya dengan yakin, bahwa diam memadai, bahwa diam adalah sebuah hijrah

dari bahasa publik (cetak miring dari ND). Tapi itulah yang terjadi. Apa yang saya tulis

34 PB

Kalam 26 / 2014

saya malihkan kata-kata Walter Benjamin—puing-puing dari bahasa

publik yang sering kali bersifat represif itu bahkan sebelum ia runtuh.

Tetapi bahasa tidak pernah runtuh, dan arti tidak pernah

menyingkir dari kata, sehingga si gelandangan-pembaca, seperti

halnya penyair, tidak pernah menemukan bahasa yang bersifat privat

sama sekali. Puisi selalu menjadi jalan ketiga, mungkin jalan tengah, di

antara bahasa publik (jalan pertama) dan bahasa privat (jalan kedua).

Jika bahasa publik bisa melakukan represi atas nama komunikasi

dan bahasa privat hanya berlaku bagi mereka yang mencintai

kegelapan, maka puisi menyejajarkan apa yang tak bisa disejajarkan

dan mengatakan apa yang tak bisa dikomunikasikan. Maka kita pun

menghadapi montase tingkat lanjut: di luar ruang detik dan kereta

telah berangkat; gerimis yang seperti jejarum jatuh di atas seng dan

subuh; sebuah metropol terkunci dalam gelas pagi. Maka gelandangan

yang bosan menatap fragmen-fragmen yang mengambang dan

“menumpuk” itu mencoba menggirangkan diri untuk menangkap

penjajaran asimetris antara citraan ruang dan citraan waktu: ia menjadi

semacam pejalan kota yang sambil tersenyum kecut memandang

kemajuan dan modernitas, menciptakan jukstaposisi antara yang lama

dan yang baru, yang lampau dan yang akan datang, yang retak-mati

dan yang abadi, yang temporal dan yang spasial. Ia tahu bahwa lanskap

urban melucuti dirinya, menekan ia dengan tata, maka ia mencoba

menata ulang, merebut berbagai subversi—sub-versi, versi bawah-

permukaan—yang belum diringkus oleh semantik dan komunikasi.

akhirnya hanyalah sebuah kompromi dengan keniscayaan yang tak bisa dielakkan oleh bahasa, hasil laku pragmatis, dan bersifat sementara. Dengan kata lain, fragmen. Tapi diam pun satu bentuk fragmen lain. Diam juga sebuah karya.”—Baca esai-pidato Goenawan Mohamad, “Fragmen: Peristiwa”, untuk penerimaan Penghargaan Achmad Bakrie 2004 untuk Kesusastraan, Agustus 2004. (Penghargaan ini dikembalikannya pada Juli 2010.)

35 PB

Kalam 26 / 2014

Namun laku si gelandangan pejalan kota menghanyutkan

diri ke dalam leisure dan hedonisme yang tanpa tujuan—betapa pun

subversifnya—itu selalu tak cukup, karena puisi memaksanya “kangen

kepada ada”. Atau puisi menjanjikan “ada”, meskipun ini adalah “ada”

yang lain, yang akan menipu para pemburu pesan. Meski “ada” itu

berada dalam montase juga—waktu adalah mesin hitung; yang

berguna adalah gangsa; bulan adalah gelandangan; cinta kami adalah

dua nomor telepon yang hilang; kematian adalah kerat waktu. Si

gelandangan pejalan kota terpaksa mendekat kepada filsafat, meski

dengan setengah hati: ia mencari kehadiran di sebalik puisi, mungkin

kebenaran sementara yang menjadi alternatif dari Kebenaran di luar

sana. Atau setidaknya ia berharap bahwa puisi bicara tentang sesuatu,

bukan sekadar nyanyi sunyi. Namun puisi Goenawan Mohamad

ternyata hanya memecah perhatian kita ke pinggir-pinggir; padahal

mengenali sesuatu adalah menetapkan pusat dari seluruh penanda

yang bekerja dalam puisi. Walhasil, si pembaca pengejar filsafat

mengambang belaka, tidak berdiri berjejak. Atau jika pun ia berhasil

sejenak menggenggam sejumput kebenaran, maka puisi segera

membubuhkan “tak ada”: seseorang akan bebas dan surga jadi tak ada;

tiap fonem adalah liang di mana harap tak jadi ada; pohon-pohon

mengekalkan yang esok mungkin tak ada; cicak itu berbicara tentang

kita, yaitu nonsens; di daun itu memang tersirat yang tak ada.

Sesungguhnya, dengan melukis pembaca-gelandangan,

saya hendak berbicara tentang apa yang untuk sementara ini saya

sebut “etika pembacaan”. Bagi saya, “etika” semacam ini, sambil

menuntaskan kenikmatan membaca, juga menyangkal bahwa

kenikmatan itu datang serta-merta dengan keseluruhan puisi yang

masuk ke dalam diri saya pada momen yang tepat; bahwa yang

36 PB

Kalam 26 / 2014

indah justru tidak datang ketika kita mengharapkannya. Membaca

sebagai gelandangan adalah membiarkan puisi dalam sifat fluidanya—

mengalir, mungkin membanjir, mengelak dari setiap tangkapan.

Inilah puisi dalam bentuknya yang paling sensual, puisi yang

menumbuhkan sulur-sulur di dalam dirinya, rerinci yang menggeser

pusatnya sendiri, supaya ia tampak selalu lebih ketimbang yang

nyata. Si gelandangan tampaknya mengikuti jalan si penyair yang

mengamalkan an escape from personality—si penyair sebagai Malin

Kundang, penari topeng, atau muhajir dari ranah bahasa publik.5

Tetapi, dengan membubuhkan “ada” dan “tak ada” ke dalam dirinya,

puisi hendak menghentikan apa-apa yang hampir surreal tersebut,

memangkas sensualitasnya sendiri: ia hendak menetapkan sifatnya

sebagai sesuatu yang terbatas, membatasi diri, dan masih berutang

5 —Penyair sebagai Malin Kundang adalah ia yang menulis bukan bahasa-ibunya, tapi dalam bahasa Indonesia, ia yang merasa bahwa “ia telah menjadi penyair tanpa suatu tradisi. Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya. Jika pun kesusastraan Chairil Anwar bisa dianggap sebagai perbendaharaan semacam itu, maka mungkin hanya itu tradisinya, meskipun jarak antara dirinya dengan penyair tahun 40-an itu tidak sampai separuh abad. [...] Ia telah telanjur berpangkal pada puisi modern, puisi yang tidak berbicara atas nama institusi apa pun, tapi atas nama seorang yang bersendiri kepada pembaca yang bersendiri. . .ia begitu saja berpegang pada prinsip ‘keseorangan yang betul-betul utuh.” Baca Goenawan Mohamad, “Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang” (1971), yang dimuat kembali dalam kumpulan esainya Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

—“. . .seorang penyair memang ibarat seorang penari topeng. Puisi itu—umumnya tertulis, dan pembaca biasanya tak mengenal sang penggubah—adalah topengnya. Di atas pentas, kita tak sepenuhnya bisa tahu apakah sang penyair. . .sedang mengekspresikan dirinya sendiri ataukah mengekspresikan karakter pada topeng itu. Pada akhirnya kita mafhum bahwa yang kita hadapi bukanlah sebuah diri, bukan pula sebuah kesimpulan, yang selesai, melainkan sebuah tarian: sebuah sosok atau sebuah pernyataan dalam proses. Ada di sana senantiasa yang tidak atau belum final, dan yang selalu dipertanyakan berkali-kali. Itulah pasemon: ia menampik pingitan ‘pengetahuan’.” Baca Goenawan Mohamad, “Kesusastraan, ‘Pasemon’”, esai-pidato untuk penerimaan Hadiah A. Teeuw, Mei 1992, yang dimuat kembali dalam Kesusastraan dan Kekuasaan.

—Tentang penyair sebagai muhajir dari ranah bahasa publik, lihat catatan kaki sebelumnya.

37 PB

Kalam 26 / 2014

kepada kebenaran. Sambil bertegangan dengan filsafat, puisi hendak

mengambil cara apa yang belum diambil filsafat.

Puisi juga mencoba mendekati filsafat untuk menghindarkan

ekspresi—untuk menjadi impersonal. Atau penyair masih memerlukan

filsafat untuk menandai proses menghilangnya subyek(tivitas) itu.

Surutnya ekspresi dan subyektivitas ini perlu dinyatakan, diverbalkan,

bukan dilukiskan. Kalau puisi bisa meraih puing-puing modernitas,

maka ia pun bisa mengambil reruntuhan filsafat juga (tapi mengapa

bukan reruntuhan ilmu?). Ia melawan ekspresi, karena ekspresi

cenderung kepada estetisasi, luapan perasaan yang sering dipentaskan

oleh si subyek, yang di zaman komunikasi ini sering kali bernama

subyek kolektif. Kekerasan dan tindasan terhadap subyek kolektif yang

lain adalah puncak ekspresi semacam ini. Itulah sebabnya mengapa puisi

hijrah dari bahasa publik—dan hijrah ini, buat saya, bukan untuk menjadi

bahasa privat, tapi untuk menciptakan bahasa ketiga, yakni bahasa yang

bisa menolak potensi kekerasan dan fundamentalisme. Persis di titik

inilah pembaca-gelandangan berhenti sebagai gelandangan.

Seorang pembaca-gelandangan juga tidak bisa terus-menerus

jadi gelandangan sebab ia tak punya privilese yang dimiliki si penyair—

privilese bahwa ia bisa melenyapkan dirinya, menjelmakan diri jadi

pengujar dalam puisi. Ia yang membaca puisi sesungguhnya bukan ia

yang berbeda dari pribadinya sehari-hari, ia hanya memperbesar daya

negatifnya. Lebih tepat lagi: seorang pembaca puisi memperantarai

komunikasi (nun di luar sana) dengan anarkisme (di dalam puisi).

Demikianlah si pembaca menjadi sejenis—untuk sementara ini

saya sebut—konstruktor. Sementara konsensus menggerogoti

subyektivitasnya, ia melalui puisi mencoba menyelamatkan sisa

subyektivitasnya. Pembaca-konstruktor juga bisa terharu, tapi ia segera

38 PB

Kalam 26 / 2014

mencurigai keharuannya sendiri. Ia tahu bahwa puisi adalah bentuk,

dan bentuk selalu menjadi tegangan antara yang konservatif dan yang

tak terduga, yang fluida dan yang terstruktur, yang ajaib dan yang

terbahasakan—tegangan yang memperluas tradisi sastra. Pembaca-

konstruktor berselisih jalan dengan si penyair: jika penyair menekankan

segi fluida, maka konstruktor, sesuai sebutan yang disandangnya,

lebih hendak menemukan tata, “rancang bangun”. Bagi pembaca-

konstruktor, puisi hanya bermakna dan lebih bermakna lagi jika ia

berhasil menghubungkan—menjalin, merancang pola yang masuk akal

dari—fragmen-fragmen puisi yang sepintas lalu saling mengambang

dan saling beradu itu; ia menghadapi semua tingkat montase sekaligus,

dan menganggap bahwa yang ajaib selalu memiliki nalar tersendiri.

Bagi pembaca-konstruktor, transformasi penyair menjadi

pengujar dalam puisi tidak pernah mulus. Di sebuah tanah air tanpa

filsuf, inilah yang terjadi: di ranah nyanyi sunyi, penyair juga tergoda

menjadi semacam filsuf (sementara di ranah sastra terlibat, sastrawan

hendak jadi guru dan pahlawan). Seperti sudah saya katakan di

depan, puisi dengan ringan hati memungut reruntuhan filsafat:

sekalipun berusaha mengosongkan pesan, puisi masih memberat

juga dengan pernyataan semu-falsafi. Pelarian dari kepribadian tidak

menghasilkan puisi yang sepenuhnya impersonal. Aku-penyair masih

juga berusaha masuk ke dalam puisi, meski dengan berbagai samaran,

dan seperti tak sabar—tak sadar—untuk membubuhkan “tak ada”.

Tetapi bagi saya, yang merasa sebagai pembaca-konstruktor di titik

ini, puisi demikian hanya menarik kolase falsafi ke dalam dirinya,

untuk menciptakan disonansi. Ia tidak pernah menjadi parodi filsafat.

Juga, dengan “pesan negatif” demikian, puisi yang mencoba bebas dari

ekspresionisme tetaplah lukisan manusia, bukan lukisan alam benda.

39 PB

Kalam 26 / 2014

Pada saat-saat lain, montase dengan jejak filsafat itu juga seperti

menciptakan cedera ganda: puisi hanya menjadi setengah fluida pun

setengah tata. Maka posisi pembaca-konstruktor bukanlah yang final.

Membaca puisi Goenawan Mohamad adalah bermain di antara kutub

gelandangan dan kutub konstruktor.

Goenawan Mohamad adalah penyair penutup nyanyi sunyi—

dan dengan “penyair” saya maksudkan ia yang selalu mampu melahirkan

dirinya kembali, memilih berbagai topeng untuk berbagai tariannya

yang lain. Jika ia memuncaki nyanyi sunyi dengan melankoli filsafat,

sesungguhnya ia juga mengancang kepolosan faal benda-benda, paling

tidak ia sudah menunjukkan potensinya. Bagi pembaca yang writerly,

puisinya bukan lagi separuh ilusi, tetapi raga sepenuhnya—tulisan

yang menyadari diri sebagai tulisan, tulisan yang membedakan diri

dari dunia, supaya pembaca tak jera menggambarkan dunia secara

baru. Si raga, puisi itu, akan menggirangkan pembaca yang berlaku

seperti sungai yang “mengalir ke muara yang mustahil” dan akan

membunuh mereka yang mengharapkan pahlawan atau guru dari

puisi. Tidak ada penyair yang mampu menutup nyanyi sunyi di tanah

air yang menggandrungi kelisanan ini, kecuali jika ia bisa bernyanyi

dengan berbagai cara; dan tidak ada puisi yang jadi raga sepenuhnya,

kecuali jika si penyair tahu bahwa filsafat (yang dipertuan oleh sang

jiwa) sudah jadi reruntuhan. Demikianlah paradoks yang nikmat dari

puisi Goenawan Mohamad. Penyair yang mampu mengubah konsepsi

kita—saya pinjam kata-kata Jorge Luis Borges—tentang masa lalu dan

masa depan sastra dan bahasa adalah ia yang tahu bahwa “sajak-sajak

tetap terbuang dan laki-laki itu tetap menuliskannya.”

Jakarta, 25 Juli 2011