fermentasi substrat padat fermentasi kecap _ hana melinda _ 12.70.0114_e2

20
Acara II FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama: Hana Melinda NIM: 12.70.0114 Kelompok E2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

Upload: james-gomez

Post on 16-Dec-2015

63 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Kecap merupakan jenis makanan tradisional yang dihasilkan melalui proses fermenasi kedelai hitam atau kacang-kacangan lainnya hingga menghasilkan cairan coklat sampai hitam yang kental. Terdapat 2 tahapan utama dalam pembuatan kecap, yaitu fermentasi koji (dengan kapang) dan fermentasi moromi (dengan larutan garam)

TRANSCRIPT

  • Acara II

    FERMENTASI SUBSTRAT PADAT

    FERMENTASI KECAP

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI FERMENTASI

    Disusun oleh:

    Nama: Hana Melinda

    NIM: 12.70.0114

    Kelompok E2

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan yang didapatkan dari praktikum kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Sensoris Kecap

    Kel Perlakuan Aroma Rasa Warna Kekentalan

    E1 Kedelai hitam + 0,5%

    inokulum + cengkeh + ++ ++ +

    E2 Kedelai kuning + 0,75%

    inokulum + cengkeh +++ ++ ++ ++

    E3 Kedelai hitam + 0,75%

    inokulum + daun serai + +++ + ++

    E4 Kedelai kuning + 1%

    inokulum + daun serai +++ + + +++

    E5 Kedelai hitam + 1%

    inokulum + pala ++ +++ ++ +

    Keterangan:

    Aroma: Rasa: Kekentalan: Warna:

    + : kurang kuat + : kurang kuat + : kurang kental + : kuranghitam

    ++ : kuat ++ : kuat ++ : kental ++ : hitam

    +++ : sangat kuat +++ : sangat kuat +++ : sangat kental +++ : sangat hitam

    Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat dilihat bahwa dari hasil analisa sensoris kecap yang

    dihasilkan masing-masing kelompok berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa pada

    kelompok E1 dengan perlakuan 0,5% inokulum dan penambahan cengkeh dihasilkan

    kecap dengan aroma kurang kuat, rasa kuat, warna hitam, dan kurang kental. Pada

    kelompok E2 dengan 0,75% inokulum dan penambahan cengkeh dihasilkan kecap yang

    mempunyai aroma sangat kuat, rasa yang kuat, warna hitam, dan kental. Pada kelompok

    E3 dengan inokulum 0,75% dan penambahan daun serai dihasilkan kecap yang

    aromanya kurang kuat, rasa yang sangat kuat, kurang hitam, dan kental. Pada kelompok

    E4 dengan inokulum 1% dan penambahan daun serai dihasilkan kecap dengan aroma

    yang sangat kuat, rasa yang kurang kuat, kurang hitam, dan sangat kental. Sedangkan

    pada kelompok E5dengan inokulum 1% dan penambahan biji pala dihasilkan kecap

    yang beraroma kuat, rasa yang sangat kuat, hitam, dan kurang kental.

  • 2

    2. PEMBAHASAN

    Kecap merupkan jenis pangan cair dari hasil fermentasi dengan substrat kedelai.

    Meskipun pada umumnya bahan baku pembuatan kecap adalah kedelai hitam, namun

    kecap juga dapat dibuat dari hasil fermentasi kedelai kuning (Purwoko & Noor). Pada

    praktikum kali ini, fermentasi kecap yang dilakukan menggunakan substrat padat

    berupa kedelai hitam (Gambar 1) untuk kelompok E1, E3 dan E5 serta kedelai kuning

    (Gambar 2) untuk kelompok E2 dan E4. Penggunaan bahan dasar kedelai hitam maupun

    kedelai kuning sesuai dengan teori yang diutarakan oleh Kasmidjo (1990) bahwa bahan

    dasar pembuatan kecap dapat berupa kedelai kuning ataupun hitam baik dalam bentuk

    utuh maupun hancur yang sudah hilang lemaknya.

    Gambar 1. Kedelai hitam Gambar 2. Kedelai Kuning

    Menurut Santosa (1994), kedelai yang digunakan dalam fermentasi kecap sebaiknya

    memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    Bebas dari sisa tanaman (kulit polong, potongan batang atau ranting), batu,

    kerikil, tanah atau biji-bijian tanaman lainnya

    Biji kedelai tidak luka atau bebas serangan hama dan penyakit

    Biji kedelai tidak memar atau rusak.

    Menurut Santoso (1994), tahapan-tahapan dalam pembuatan kecap mengguanakan

    kedelai adalah sebagai berikut:

  • 3

    a. Pencucian kedelai

    tahap ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang masih melekat maupun

    tercampur pada biji kedelai. Pada tahapan ini, juga dapat dilakukan sortasi kedelai

    yang sudah tidak dalam keadaan baik (mengambang).

    b. Perebusan kedelai

    pada tahap ini bertujuan untuk melunakan kedelai dan mudahkan terkelupasnya kulit

    kedelai.

    c. Penirisan

    Penirisan bertujuan untuk memisahkan kedelai dari air rebusan hingga kedelai

    benar-benar kering

    d. Penjamuran (mold fermentation)

    Penjamuran dilakukan dengan cara mencampurkan bibit/jamur dengan kedelai

    hingga merata, kemudian dianginanginkan dan disimpan sekitar 4-5 hari. Pada

    akhir proses penjamuran, tampak biji kedelai yang pecah dan sudah penuh

    ditumbuhi jamur putih menyerupai tempe.

    e. Penggaraman

    Biji kedelai yang sudah berjamur direndam dalam larutan garam 20% dan dilakukan

    penjemuran di panas matahari sambil diaduk-aduk.

    f. Penyaringan filtrat

    Setelah proses fermentasi dengan garam selesai, maka dilakukan penyaringan

    hingga didapatkan filtrat (cairan). Filtrat inilah yang akan diproses lebih lanjut

    menjadi kecap.

    g. Pemasakan

    Pada tahap ini, air ditambahkan ke dalam filtrat lalu direbus hingga mendidih.

    Setelah itu ditambahkan larutan gula dan bumbu-bumbu. Perebusan dapat

    dihentikan apabila filtrate sudah mengental dan tidak terbentuk buih-buih lagi.

    h. Penyaringan kecap

    Penyaringan ini bertujuan untuk mendapatkan kecap yang bersih/jernih.

    2.1. Fermentasi Koji

    Koji atau sering disebut tempe merupakan hasil fermentasi padat yang menggunakan

    kapang sebagai fermentation agent. Kapang yang biasa digunakan adalah Aspergillus

  • 4

    sp. maupun Rhizopus sp. koji akan berbentuk seperti tempe (ditumbuhi hifa-hifa putih),

    sehingga sering juga disebut seperti tempe (Purwoko & Noor, 2007).

    Pada praktikum kecap kali ini, tahap fermentasi koji dilakukan dengan cara

    mempersiapkan kedelai terlebih dahulu. Tahapan persiapan kedelai yang dilakukan

    adalah pertama-tama 500 gram kedelai direndam dalam air selama 12 jam. Tortora et

    al.(1995) berpendapat bahwa proses perendaman kedelai bertujuan untuk hidrasi air ke

    dalam biji kedelai sehingga kedelai menjadi mengembang dan lebih lunak sehingga

    dapat mempersingkat waktu perebusan. Selain itu perendaman juga berfungsi untuk

    menghilangkan kulit ari kedelai karena akan lebih mudah terkelupas, serta perendaman

    akan mensortasi kedelai sehingga kedelai yang dipakai merupakan kedelai dalam

    keadaan baik.

    Setelah dilakukan perendaman, kedelai ditiriskan kemudian dilakukan proses perebusan

    (Gambar 3). Proses perebusan ini bertujuan untuk lebih melunakkan biji kedelai,

    merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat antinutrisi, menghilangkan bau langu

    serta membunuh mikroorganisme yang berpotensi mengkontaminasi proses pembuatan

    kecap (Tortora et al., 1995). Perebusan dilakukan selama kurang lebih 10-15 menit atau

    sampai kedelai menjadi setengah matang (tidak keras namun tidak lembek).

    Gambar 3. Perebusan Kedelai

    Setelah tahap perebusan, kedelai kemudian disaring dan ditiriskan hingga benar-benar

    keing (tidak berair ataupun lembab). Proses penirisan atau penghilangan air ini penting,

    karena apabila saat fermentasi koji kadar air terlalu tinggi maka akan menyebabkan

  • 5

    kontaminasi oleh bakteri pembusuk (Bacillus subtilis). Kontaminasi yang terjadi

    ditandai dengan timbulnya lendir di permukaan biji (Tortora et al., 1995). Air yang

    masih ada dalam kedelai dapat dihilangkan dengan menekan-nekan kedelai dengan

    tissue ataupun kain supaya air terserap. Kedelai yang sudah kering kemudian dimasukan

    ke dalam besek yang telah dilapisi daun pisang (Gambar 4). Sebelumnya daun pisang

    sudah dibersihkan dengan alcohol agar steril. Pembersihan daun pisang dengan alkohol

    dilakukan dengan tujuan mencegah adanya kontaminasi silang pada produk fermentasi

    koji. (Santoso, 1994). Kemudian, kedelai yang sudah berada dalam besek siap untuk

    dikulturkan dan difermentasi.

    Gambar 4. Kedelai dalam besek (siap diberi ragi)

    Setelah siap, kemudian kedelai ditambahkan inokulum berupa ragi instan. Penambahan

    ragi dilakukan pada setiap kelompok namun dengan berat yang berbeda-beda. Pada

    kelompok E1 diberi ragi sebanyak 0,5% dari berat awal kedelai yaitu sebanyak 2,5 g;

    pada kelompok E2 dan E3 diberi ragi sebanyak 0,75% atau 3,75 g dan pada kelompok

    E4 dan E5 diberi ragi sebanyak 1% atau k 5 g. Kemudian besek ditutup dan

    difermentasi selama 3 hari. Santoso (1994) menyatakan bahwa Rhizopus sp. atau

    inokulum yang telah tercampur pada kedelai dapat ditutup dengan tampah dan

    diinkubasi selama kurang lebih 3 hari pada suhu ruang agar kapang dapat tumbuh. Hal

    tersebut juga sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1991) yang menyatakan

    bahwa inkubasi koji dilakukan pada suhu ruang selama 3-5 hari.

  • 6

    Proses inkubasi pada suhu ruang selama 3 hari akan menyebabkan kapang tumbuh dan

    membentuk padatan putih menyerupai tempe (Gambar 5) dengan baik dan dapat

    dilanjutkan dengan tahap fermentasi moromi. Berdasarkan pendapat Rahayu et al.

    (1993), selama proses fermentasi koji terjadi beberapa perubahan penting dalam kedelai

    yaitu adanya degradasi karbohidrat dan protein oleh enzim yang dihasilkan oleh kapang

    selama fermentasi. Teori tersebut didukung oleh pendapat Chancharoonpong et al.

    (2012) bahwa selama fermnetasi koji, Aspergillus oryzae menghasilkan enzim amilase

    dan enzim protease untuk memecah karbohidrat dan protein yang terkandung dalam

    kedelai. Senyawa-senyawa sederhana yang dihasilkan karena proses fermentasi ini akan

    memudahkan penggunaan nutrisi oleh yeast dan bakteri pada prosesfermentasi moromi

    selanjutnya (Wu et al., 2010).

    Gambar 5. Koji hasil fermentasi dengan kapang

    2.2. Fermentasi Moromi

    Elbashiti et al. (2010) menjelaskan bahwa fermentasi moromi dimulai dengan

    menggabungkan fermentasi kedelai dengan air garam. Menurut Purwoko & Noor

    (2007), selanjutnya koji dikeringkan, kemudian direndam dalam air garam 20% hingga

    30%. Proses perendaman koji dalam air garam disebut fermentasi moromi. Mikroba

    yang berperan dalam fermentasi moromi, adalah mikroba yang tahan garam seperti

    Hansenula sp., Zygosaccharomeces sp., dan Lactobacillus sp. Fermentasi moromi

    memerlukan waktu cukup lama (lebih lama dari fermentasi koji), yaitu selama kurang

    lebih 14-28 hari. Cairan hasil fermentasi moromi disebut moromi.

    Koji yang telah terbentuk kemudian dipotong-potong hingga berukuran kecil (Gambar

    6) dan diratakan diatas tray . Pengecilan ukuran koji bertujuan supaya proses

    pengeringan yang akan dilakukan selanjutnya dapat merata serta memudahkan

  • 7

    pelepasan filamen kapang dari kedelai (Astawan & Astawan, 1991). Setelah itu, tray

    berisi koji dikeringkan dengan dehumidifier (Gambar 7) selama 3 jam. Proses

    pengeringan koji bertujuan untuk penghilangan kapang yang melekat pada permukaan

    substrat atau kedelai (Rahayu et al., 2005). Setelah kering, kedelai dimasukkan ke

    dalam toples plastik dan ditambahkan larutan garam 20% (100 g garam dilarutkan

    dengan air hingga 500 ml). perendaman dilakukan selama 1 minggu. Tujuan

    penambahan larutan garam 20% menurut Astawan & Astawan (1991) adalah untuk

    mengekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis pada tahap fermentasi koji.

    Pada saat perendaman, bakteri halofilik akan tumbuh secara spontan dan akan

    membantu terbentuknya flavor yang khas. Selain itu, perendaman dalam larutan garam

    berkontribusi dalam rasa asin dan menjadi medium selektif untuk mencegah

    pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan.

    Gambar 6. Pemotongan koji Gambar 7. Pengeringan Koji

    Selama proses fermentasi moromi, dilakukan penjemuran setiap harinya selama 1 jam

    (Gambar 8). Selama penjemuran, juga dilakukan pengadukan kurang lebih 15 menit

    sekali. Menurut Tortora et al. (1995), penjemuran dan pengadukan pada proses moromi

    bertujuan agar larutan garam dapat kontak dengan permukaan substrat secara merata

    dan memberikan udara (aerasi) untuk merangsang pertumbuhan khamir dan bakteri.

    Setelah fermentasi dilakukan selama 1 minggu atau 7 hari, maka akan dihasilkan latutan

    air garam yang berwarna coklat keruh. Setelah itu dilakukan penyaringan sehingga

    diperolah filtrat atau cairan (Gambar 9). Filtrat ini yang nantinya akan diproses lebih

    lanjut untuk dijadikan kecap (Santoso, 1994). Filtrat diambil sebanyak 250 ml (25% dari

    larutan kecap total, yaitu 1000 ml).

  • 8

    Gambar 8. Penjemuran dan pengadukan Gambar 9. Penyaringan

    Filtrat sebanyak 250 ml ditambahlan dengan 750 ml air minum kemudian dilakukan

    pemasakan kecap. Proses pemasakan (Gambar 10) ini diawali dengan melelehkan 1 kg

    gula jawa terlebih dahulu dengan menggunakan cairan moromi. Menurut Kasmidjo

    (1990) gula jawa ditambahkan pada pemasakan kecap dengan tujuan untuk

    pembentukan rasa manis dan peningkatan viskositas kecap. Gula jawa juga berperan

    pada warna coklat pada kecap karena adanya reaksi antar asam-asam amino dengan gula

    pereduksi. Teori tersebut didukung oleh Judoamidjojo (1987) yang menyatakan bahwa

    gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi yang terjadi selama proses

    pemasakan kecap.

    Gambar 10. Proses pemasakan

    Setelah gula jawa larut sempurna, semua bumbu dapat ditambahkan, seperti 20 gram

    kayu manis, 3 gram ketumbar bubuk, 1 jentik laos, dan 1 buah bunga pekak. Selain itu,

    ditambahkan lagi 1 gram cengkeh (E1 dan E2) (Gambar 11), 1 batang sereh yang sudah

  • 9

    dimemarkan (E3 dan E4), serta 1 biji pala yang telah diparut (E5). Fachruddin (1997)

    menjelaskan bahwa penambahan bumbu-bumbu dalam proses pemasakan kecap

    memiliki tujuan dalam pemberian aroma dan citarasa bagi kecap yang dihasilkan.

    Bumbu-bumbu yang biasanya ditambahkan selama proses pemasakan kecap adalah

    lengkuas, daun salam, kayu manis, daun jeruk, ketumbar, laos, jinten, bunga pekak, dan

    kemiri. Penggunaan bumbu-bumbu tersebut dikarenakan kandungan minyak atsiri

    didalamnya yang dapat mempengaruhi pembentukan aroma dan citarasa yang khas dari

    kecap. Namun, menurut Astawan & Astawan (1991) ketumbar yang ditambahkan harus

    dihaluskan terlebih dahulu. Tujuannya untuk memudahkan proses pencampuran dan

    senyawa dalam bahan yang dapat memberikan aroma dan flavor yang khas.

    Gambar 11. Penambahan cengkeh

    Selama pemasakan, dilakukan pengadukan sesekali. Pengadukan bertujuan untuk

    mencegah terjadinya overcooked atau kegosongan di dasar wajan dan meratakan flavor.

    Pengadukan juga berfungsi untuk mencegah meluapnya kecap (buih-buih) agar tidak

    tumpah (Astawan & Astawan, 1991) Pemasakan dihentikan ketika kecap telah cukup

    kental (kurang lebih 30 menit). Selanjutnya dilakukan penyaringan kecap untuk

    memisahkan larutan kecap dengan bumbu yang tersisa, sehingga didapatkan kecap yang

    bersih untuk diuji secara sensori.

    2.3. Uji Sensori Kecap

    Kecap yang telah jadi (Gambar 11) kemudian dilakukan uji sensori oleh salah satu

    praktikan. Uji sensori dilakukan dengan membandingkan kecap yang dihasilkan

    masing-masing kelompok. Pada uji sensori kecap ini, parameter yang diuji adalah

    aroma, warna, rasa dan kekentalan kecap. Dari hasil uji sensori pada Tabel 1 di atas,

  • 10

    dapat dilihat bahwa dari hasil analisa sensoris kecap yang dihasilkan masing-masing

    kelompok berbeda-beda. Berikut merupakan ulasan pembahasan tiap parameter.

    Gambar 11. Hasil kecap tiap kelompok

    2.3.1. Aroma

    Su et al. (2005) menyatakan bahwa senyawa utama yang berperan penting dalam

    memberikan flavor pada kecap adalah asam amino dan peptida rantai pendek. Senyawa

    tersebut berasal dari pemecahan protein yang terjadi selama tahap fermentasi koji

    (penambahan kapang). Oleh karena itu akivitas proteolitik yang terjadi selama tahap

    fermentasi koji sangat penting dalam proses pembuatan kecap. Muangthai et al. (2007)

    juga menyatakan bahwa asam amino yang paling berperan adalah asam amino glutamat

    yang memberikan aroma spesifik kecap.

    Berdasarkan hasil pengamatan, Dapat dilihat bahwa pada kedelai hitam dengan

    perlakuan 0,5% inokulum dan penambahan cengkeh (E1) serta kedelai hitam dengan

    perlakuan 0,75% inokulum dan penambahan daun serai (E3) dihasilkan kecap dengan

    aroma kurang kuat. Namun, pada kelompok E2 dengan kedelai kuning 0,75% inokulum

    dan penambahan cengkeh serta E4 dengan kedelai kuning 1% inokulum dan

    penambahan daun serai dihasilkan kecap yang mempunyai aroma sangat kuat.

    Sedangkan pada kelompok E5 dengan kedelai hitam yang ditambahkan 1% inokulum

    dan biji pala, aroma yang dihasilkan kuat.

    Hasil analisa sensori dari parameter aroma tersebut kurang sesuai dengan teori yang

    diungkapkan oleh Astawan & Astawan (1991), yaitu bahwa jumlah inokulum yang

    ditambahkan pada kedelai dapat mempengaruhi kecepatan penguraian protein dan

    karbohidrat yang terkandung pada kedelai. Sehingga semakin banyak jumlah inokulum

  • 11

    yang ditambahkan, maka proses degradasi protein dan karbohidrat akan berlangsung

    semakin cepat. Ketika proses penguraiannya berlebihan justru akan menghasilkan flavor

    yang kurang baik. Oleh karena itu, seharusnya semakin banyak penambahan inokulum,

    maka seharusnya aroma yang dihasilkan semakin tidak kuat atau lemah.

    Ketidaksesuaian hasil sensori ini dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu

    adanya penambahan bumbu yang berbeda pada masing-masing kelompok. Hal ini

    diperkuat dengan teori Kasmidjo (1990) bahwa flavor khas yang dihasilkan oleh kecap

    dapat pula dipengaruhi karena adanya penambahan berbagai bumbu selama pemasakan.

    Selain itu, aroma kecap juga dipengaruhi oleh beberapa senyawa-senyawa organik yang

    terkandung dalam kecap. Hal ini disampaikan oleh Feng et al. (2013) bahwa kecap

    kedelai mengandung beberapa komponen flavor organik yaitu alkohol, ester, fenol,

    asam, dan heterocyclics yang berperan penting dalam pembentukan aroma dan kualitas

    dari kecap yang dihasilkan.

    2.3.2. Rasa

    Berdasarkan hasil uji sensori kecap dari segi rasa, kedelai hitam dengan inokulum

    0,75% dan daun serai serta 1% dengan pala memiliki rasa yang sangat kuat. Sedangkan

    kedelai hitam dengan inokulum 0,5% dan penambahan cengkeh memiliki rasa yang

    sama dengan kedelai kuning dengan penambahahan inokulum 0,75% dan penambahan

    cengkeh yaitu rasa yang kuat. Sedangkan kedelai kuning dengan penambahan inokulum

    1% dam daun serai memiliki rasa yang kurang kuat. Dari hasil tersebut, tidak dapat

    dikelompokan rasa dari penambahan bumbu, inokulum maupun jenis kedelai yang sama

    (karena berbeda-beda). Faktor-faktor penyebab perbedaan rasa yang dihasilkan, adalah:

    Perbedaan bumbu yang ditambahkan pada proses pemasakan, sehingga

    terbentuk flavor yang berbeda (Kasmidjo, 1990).

    Perbedaan waktu pemasakan juga penting dalam mempengaruhi atribut rasa

    pada kecap yang dihasilkan. menurut Amalia (2008), proses pemasakan kecap

    yang terlalu lama justru akan membuat citarasa dari kecap berkurang (timbul

    rasa pahit).

    Aktivitas mikroba juga akan mempengaruhi pembentukan rasa kecap. Menurut

    Rahayu et al. (2005), pembentukan rasa kecap akan dipengaruhi oleh aktivitas

  • 12

    bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus delbrueckii akan

    tumbuh selama proses fermentasi moromi berlangsung. Lactobacillus

    delbrueckii akan menghasilkan asam-asam organik yang akan menurunkan pH

    kecap. Perubahan pH itulah yang akan berperan dalam pembentukan rasa kecap.

    2.3.3. Warna

    Selama proses pemasakan kecap, akan terjadi reaksi browning pada gula jawa yang

    ditambahkan. Reaksi pencoklatan tersebut akan menyebabkan dihasilkannya warna

    hitam kecoklatan pada kecap yang dihasilkan. Astawan & Astawan (1991) juga

    menambahkan bahwa selama fermentasi dalam larutan garam (fermentasi moromi),

    warna larutan kecap akan berubah. Hal tersebut disebabkan oleh karena warna yang

    terbentuk merupakan sebagai hasil reaksi pencoklatan antara gula pereduksi dengan

    gugus amino dari protein. Warna coklat ini juga didapat dari proses karamelisasi dan

    reaksi antar asam-asam amino dengan gula reduksi yang tejadi saat pemasakan kecap.

    Gula reduksi sendiri dihasilkan oleh interaksi mikroorganisme selama proses fermentasi

    berlangsung. Amalia (2008) memperkuat teori tersebut dengan menjelaskan bahwa gula

    jawa berperan penting dalam pembentukan warna pada kecap karena akan terjadi reaksi

    maillard selama proses pemasakan kecap.

    Berdasarkan hasil uji sensori kecap dari segi warna yang dihasilkan, kedelai hitam

    dengan inokulum 0,5% serta penambahan cengkeh dan 1% inokulum dengan

    penambahan pala, juga kedelai kuning dengan 0,75% inokulum dan penambahan

    cengkeh memiliki warna hitam dibandingkan kedelai hitam 0,75% inokulum dengan

    cegkeh dan kedelai kuning 1% inokulum dengan daun serai yang menghasilkan warna

    kurang hitam. Warna kecap semakin kuat / semakin gelap seiring dengan adanya

    penambahan gula jawa dalam konsentrasi yang juga semakin banyak. Namun, pada

    praktikum ini digunakan gula jawa dengan jumlah yang sama pada tiap kelompok.

    Dapat dilihat kecap yang dihasilkan memiliki warna berbeda-beda satu dengan yang

    lainnya. Perbedaan warna ini dapat terjadi dikarenakan adanya penggunaan suhu

    kompor dan waktu pemasakan yang berbeda (tidak ada standar suhu dan waktu).

    Karena, menurut Kasmidjo (1990), semakin tinggi suhu pemasakan dan semakin lama

    kecap dimasak, maka warna kecap yang dihasilkan akan semakin hitam.

  • 13

    2.3.4. Kekentalan

    Sedangkan, pada kekentalan yang dihasilkan kedelai kuning inokulum 1% adalah paling

    kental dibandingkan perlakuan lainnya, dan kedelai hitam 1% memiliki kekentalan yang

    kurang kental. Peppler & Perlman (1979) menyatakan bahwa tingkat kekentalan kecap

    selain disebabkan karena adanya penambahan gula jawa selama proses pemasakan

    kecap berlangsung, jumlah inokulum yang ditambahkan juga dapat mempengaruhi

    kekentalan kecap yang dihasilkan. Lim et al. (2010) menjelaskan, jika semakin banyak

    konsentrasi inokulum yang digunakan maka akan menyebabkan semakin banyaknya

    komponen-komponen yang keluar dari kedelai. Dengan demikian, semakin banyak

    inokulum akan meningkatkan kekentalan kecap yang dihasilkan. Oleh karena itu,

    seharusnya kelompok E4 dan E5 menghasilkan kecap paling kental karena

    menggunakan inokulum dengan jumlah paling banyak dibandingkan dengan kelompok

    lainnya. Adanya ketidaksesuaian hasil uji sensori dengan teori yang ada dapat terjadi

    karena suhu kompor dan waktu pemasakan yang berbeda pada masing-masing

    kelompok. Menurut Kasmidjo (1990), penggunaan suhu yang tinggi dengan waktu yang

    lama pada proses pemasakan akan meningkatkan viskositas kecap. Hal tersebut karena

    semakin tinggi suhu dan semakin alam waktu pemasakan, maka akan semakin banyak

    kadar air yang teruapkan.

    Jika dilihat dari hasil pengamatan yang dilakukan secara menyeluruh, dapat

    disimpulkan bahwa penambahan inokulum dengan berbagai konsentrasi tidak

    berpengaruh signifikan terhadap karakteristik sensori kecap. Karakteristik sensori kecap

    justru lebih dipengaruhi dengan adanya penambahan bumbu-bumbu pada proses

    pemasakan. Selain itu, menurut Astawan & Astawan (1991), pada dasarnya mutu kecap

    dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:

    Varietas kedelai yang digunakan

    waktu fermentasi dalam larutan garam

    Kemurnian biakan kapang yang digunakan

    Jika diamati, maka ada beberapa hal yang kurang sesuai seperti penggunaan varietas

    kedelai yang merupakan kedelai kuning dan hitam juga tidak mempengaruhi

  • 14

    karakteristik sensori. Meskipun secara kimiawi kandungan kedelai kuning dengan

    kedelai hitam tidak berbanding jauh, namun seharusnya akan menghasilkan kecap yang

    memiliki karakteristik berbeda. Selain itu fermentasi dalam larutan garam yang

    dilakukan pada praktikum ini hanya 1 minggu saja, sedangkan menurut teori fermentasi

    moromi dilakukan lebih dari 4 minggu (Purwoko & Noor, 2007). Hal terakhir yang

    diduga mempengaruhi mutu kecap adalah biakan yang murni. Kontaminasi dari

    lingkungan sekitar akan mengganggu proses pemecahan selama fermentasi sehingga

    menjadi kurang sempurna dan berpengaruh pada produk kecap akhir yang dihasilkan.

    Selain itu, ketidaksesuaian hasil pengamatan karakteristik sensori dari pengamatan tiap

    kelompok serta dari teori yang ada juga dapat disebabkan karena uji sensori bersifat

    subjektif. Evaluasi sensori yaitu dimana evaluasi sensori atau sering disebut

    organoleptik adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan indera manusia untuk

    mengukur tekstur, penampakan, aroma dan flavor produk pangan. Evaluasi sensori

    biasanya dilakukan oleh penguji yang sering disebut sebagai panelis dimana pada

    dasarnya penilaian yang dilakukan tiap panelis akan berbeda-beda atau bersifat subjektif

    (Ebook pangan, 2006).

  • 15

    3. KESIMPULAN

    Kecap adalah produk fermentasi dari bahan kacang-kacangan yang berupa cairan

    berwarna coklat hingga hitam.

    Dua proses fermentasi utama yang terjadi dalam pembuatan kecap adalah fermentasi

    koji dan moromi.

    Kapang yang berperan dalam proses fermentasi koji adalah Aspergillus sp. dan

    Rhizopus sp.

    Tahap perendaman kedelai dengan larutan garam disebut dengan fermentasi

    garam/moromi untuk mengekstrak senyawa hasil hidrolisis pada tahapan fermentasi

    koji.

    Penjemuran kedelai dan larutan garam bertujuan untuk menyediakan udara dan suhu

    yang tepat pada khamir serta bakteri untuk tumbuh, sedangkan pengadukan

    bertujuan untuk menghomogenkan larutan.

    Penambahan bumbu dan bahan-bahan pada tahap pemasakan bertujuan untuk

    meningkatkan flavor dan cita rasa dari kecap yang dihasilkan.

    Penambahan gula jawa bertujuan dalam pembentukan rasa manis pada kecap,

    memberikan warna coklat hingga kehitaman, dan meningkatkan viskositas.

    Semakin tinggi jumlah inokulum yang ditambahkan, maka aroma kecap yang

    dihasilkan akan semakin lemah.

    Senyawa utama yang memberikan flavor pada kecap adalah asam amino dan peptida

    rantai pendek yang berasal dari pemecahan protein melalui tahap fermentasi koji.

    Faktor yang mempengaruhi warna kecap adalah jumlah gula jawa yang

    ditambahkan, aplikasi suhu, dan waktu pemasakan.

    Rasa kecap dipengaruhi oleh penambahan bumbu, aktivitas bakteri, dan waktu

    pemasakan.

    Kekentalan kecap dipengaruhi oleh jumlah penambahan gula jawa, jumlah

    inokulum, suhu, dan waktu pemasakan .

    Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kecap adalah penggunaan jenis kedelai,

    lama waktu fermentasi, tingkat kemurnian inokulum, dan kondisi selama proses

    fermentasi.

  • 16

    Semarang, 07 Juli 2015 Asisten Dosen,

    - Abigail Sharon

    - Frisca Melia

    Hana Melinda

    12.70.0114

  • 17

    4. DAFTAR PUSTAKA

    Amalia, Tika. (2008). Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan

    Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi

    Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

    http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13813/2/F08tam.pdf.

    Astawan, M. & Astawan W. M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat

    Guna. Akademika Pressindo.

    Chancharoonpong, C.; P. C. Hsieh & S. C. Sheu. (2012). Production of Enzyme and

    Growth of Aspergillus oryzae S. on Soybean Koji. International Journal of

    Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics Vol. 2 (4) : 228-231.

    Ebook pangan. (2006). Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori) dalam

    IndustriPangan. Ebook pangan.com http://tekpan.unimus.ac.id/wp-

    content/uploads/2013/07/Pengujian-Organoleptik-dalam-Industri-Pangan.pdf.

    Diakses pada 29 Juni 2015.

    Elbashiti, T.; A. Fayyad & A. Elkichaoui. (2010). Isolation and Identification of

    Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma. Pakistan

    Journal of Nutrition Vol 9 (12): 1171-1175.

    Fachruddin. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

    Judoamidjojo, R. M. (1987). The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of

    Indonesia. Thesis Doctor pada University of Agriculture. Japan.

    Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta

    Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

    Lim, J. Y.; J. J. Kim; D. S. Lee; G. H. Kim; J. Y. Shim; I. Lee & J. Y. Imm. (2010).

    Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from

    Monascus Fermented Soybeans. Food Chemistry, Elsevier Vol. 120 (1) : 255-

    260.

    Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. (2007). Study of Protease Enzyme and

    Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean.

    KMITL Sci. Tech. Journal Vol. 7 (S2)

  • 18

    Peppler, H. J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, Fermentation Technology.

    Academic Press. San Fransisco.

    Purwoko T. dan Noor S. H. (2007). Kandungan protein kecap manis tanpa fermentasi

    moromi hasil fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. Jurnal

    Biodiversitas Vol 8(2): 223-227

    Rahayu A., Sunarto, dan Tjahjadi P. (2005). Analisis karbohidrat, protein, dan lemak

    pada pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi

    Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi Vol 2(1): 14-20.

    Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993).

    Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

    Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

    Su, N. W.; M. L. Wang; K. F. Kwok & M. H. Lee. (2005). Effects of Temperature and

    Sodium Chloride Concentration on the Activities of Proteases and Amylases in

    Soy Sauce Koji. Journal of Agricultural and Food Chem. Vol. 53 (5) : 1521-

    1525.

    Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin/Cummings

    Publishing Company, Inc. USA.

    Wu, Ta Yeong, Mun Seng Kan, Lee Fong Siowand Lithnes Kalaivani Palniandy.(2010).

    Effect of temperature on moromi fermentation of soysauce with intermittent

    aeration. African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), . 702-706.

  • 19

    5. LAMPIRAN

    5.1. Laporan Sementara