fenomenologi eksistensial sebagai instrumen pereduksi radikalisme beragama

Upload: wahyu-budi-nugroho

Post on 04-Apr-2018

233 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    1/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    1

    Working Paper

    FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

    SEBAGAI INSTRUMEN PEREDUKSI RADIKALISME BERAGAMA

    PENDEKATAN INDIVIDUAL-FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL

    SEBAGAI ALTERNATIF PEREDAM TINDAK TERORISME

    BERWAJAH AGAMIS DI ERA KONTEMPORER

    Wahyu Budi Nugroho

    [email protected]

    Iman baru ada setelah akal mulai berhenti

    (Soren A. Kierkegaard)

    PendahuluanLayaknya metafora Giddens (2009: 183-184) akan laju dunia dewasa ini sebagai

    juggernaut , sebuah panzer besar yang berlari kencang tanpa arah dan sewaktu-waktu dapat

    terguling berikut pecah berkeping-keping. Kiranya, sulit untuk dielakkan bahwa saat ini juga kita

    hidup dalam dunia- juggernaut sebagaimana ungkap Giddens. Secara denotatif, konotasi tersebut

    menunjuk pada dunia dengan beragam muatan kepentingan yang berbeda-beda tanpa ditemui

    titik temu di dalamnya. Masing-masing pihak saling berupaya memaksakan kehendaknya tanpa

    menghiraukan keberadaan pihak lain, berbagai bentuk batasan koridor yang ada pun diterjang

    begitu saja tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin hadir kemudian. Giddens

    memastikan bahwa dunia yang demikian cepat atau lambat bakal menemui kehancurannya.

    Dalam ranah kontemporer, bentuk-bentuk persinggungan keras di atas salah satunya

    dapat dimisalkan melalui vis--vis antara demokratisasi dengan teokratisasi yang kian intens

    terjadi pasca berakhirnya Perang Dingin, atau apabila hendak dikatakan secara lebih gamblang,

    pertentangan antara kubu (golongan) sekular dengan pro-Agamis. Hal tersebut, seakan

    mengamini tesis Arnold Toynbee, antropolog kenamaan Amerika Serikat, yang menyatakan

    bahwa pasca perang melawan komunisme usai, Barat akan menghadapi perang yang jauh lebihbesar lagi, yakni perang melawan Islam , terkait kembalinya sentimen Perang Salib. Senada

    dengan Toynbee, Guru Besar Ilmu Politik Hardvard, Samuel P. Huntington (2006: 381-382)

    menegaskan bahwa pasca-Perang Dingin masyarakat Barat syarat menerima kenyataan bahwa

    mereka akan hidup dalam konstelasi benturan antarperadaban , yakni sebuah tata dunia yang

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]
  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    2/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    2

    dijejali dengan tarik-ulur kepentingan perebutan hagemoni antara Barat kapitalisme dengan

    Islam.

    Satu hal yang kiranya menjadi persoalan urgen dan tengah panas dibicarakan akhir-

    akhir ini terkait konstelasi dunia dalam era benturan antarperadaban adalah meningkat

    signifikannya tindak terorisme di berbagai belahan negeri muslim dunia. Bahkan, implikasi yang

    ditimbulkannya telah dirasakan langsung oleh negara-negara Barat, peristiwa September Kelabu

    (9/11) misalnya, yang sontak memicu ditabuhnya genderang perang melawan terorisme global.

    Terkait hal tersebut, Grant Wardlaw (dalam Abimanyu, 2005: 15) berkomentar, Terrorism is

    now an export industry [Saat ini terorisme telah menjadi komoditas ekspor]. Kiranya,

    persoalan takkan menjadi sepelik ini bilamana status hukum suatu negara memang berada dalam

    kondisi perang bukannya damai sehingga aksi-aksi terorisme yang dilancarkan pada lawan

    dapat dimaklumi, dan memang, jika suatu negara berada dalam kondisi demikian, maka aksiperlawanan yang dilakukan tak dapat disebut sebagai tindak terorisme. Oleh karenanya,

    persoalan akan menjadi jauh berbeda jika status hukum suatu negara berada dalam kondisi

    damai, aksi-aksi terorisme akan menemui bentuknya sebagai perihal yang absurd mengingat

    ketiadaan sasaran yang jelas berikut jatuhnya korban sipil tak berdosa yang tak sedikit. Tragedi

    Bom Bali I dan II di tanah air kiranya dapat dijadikan misal konkret akan hal tersebut.

    Sejauh ini, pendekatan yang dilakukan guna mencegah bersemai dan tumbuh-

    kembangnya bibit terorisme cenderung bias ekonomi, pun lebih berfokus pada unit sosial berupa

    kelompok, komunitas, organisasi ataupun masyarakat. Kajian Esping Anderson, seorang sosiolog

    asal Denmark mengenai terorisme misalnya, menitikberatkan pada aspek kesejahteraan guna

    menanggulangi permasalahan terkait. Menilik hal tersebut, kiranya diperlukan pendekatan yang

    lebih komprehensif guna menangani problem terorisme yang kadung menjadi persoalan dunia

    internasional ini, yakni sebentuk pendekatan yang tak sekedar berfokus pada unit kolektif, tetapi

    juga menyentuh unit individu ( person entity ), dan kebutuhan tersebut kiranya dapat dijawab

    melalui konsep fenomenologi -eksistensial cetusan Soren Aebey Kierkegaard, seorang filsuf

    eksistensialis asal Denmark. Secara ringkas, konsep terkait tak hanya menyentuh dimensi

    kedirian individu unit individu, tetapi juga menitikberatkan pada level pengalaman eksistensial

    individu, yang dengan demikian jauh dari simplifikasi penghitungan matematis-ekonomi yang

    diyakini besar mempengaruhi tindakan aktor. Hal ini dirasa penting mengingat pengalaman

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    3/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    3

    beragama merupakan pengalaman yang bersifat eksistensial, dan oleh karenanya diperlukan

    pendekatan yang bersifat eksistensial pula guna memahaminya.

    Eksistensialisme Theistik dan Fenomenologi Eksistensial-Soren Kierkegaard

    Sekilas mengenai Eksistensialisme Theistik

    Eksistensialisme merupakan salah satu arus besar filsafat Eropa yang agaknya mulai

    terlupakan dewasa ini. Adalah Jean Paul Sartre (1905-1980), selaku tokoh sentral filsafat terkait

    mengingat dalam eksemplarnya, Being and Nothingness serta Existentialism is Humanism , ia

    secara eksplisit mencetuskan istilah eksistensialisme dengan segenap batasan -batasannya,

    berikut menguraikan dengan cukup mendetail perihal bagaimana seharusnya menjalani hidup

    sebagai seorang eksistensialis. Tema-tema yang diulas dalam filsafat eksistensialisme berkutat

    pada seputar permasalahan keterasingan (kesendirian) manusia, otentitas manusia, pemaknaanindividu, absurditas berikut kebebasan individu (Martin, 2003: 1-2; Lathief, 2010: 5).

    Perkembangan terakhir dari filsafat terkait dapat kita lacak melalui keberadaan aliran

    psikoanalisis eksistensial usungan Victor Frankl serta psikologi eksistensial besutan Carl Rogers

    berikut Abraham Maslow, ditilik melalui karya-karya yang telah dihasilkan oleh kedua

    percabangan eksistensialisme di atas, kiranya psikologi eksistensial merupakan percabangan

    konsep eksistensialisme yang paling jauh meninggalkan induknya (Lathief, 2010: 7).

    Akar dari filsafat eksistensialisme dapat dilacak kembali melalui pemikiran filsuf

    melankolis asal Denmark, Soren Kierkegaard, serta filsuf anti-Fondasionalisme Jerman,

    Nietzsche. Pada gilirannya, Kierkegaard melahirkan pemikiran eksistensialisme bercorak theistik

    (agamis) dengan pengikut setia layaknya Karl Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel

    Marcel, Nicolai Berdyaef serta Martin Buber. Sebaliknya, Nietzsche kemudian melahirkan

    filsafat eksistensialisme bercorak atheistik dengan para pengikutnya seperti Martin Heidegger,

    Fyodor Dostoyevsky, Maurice Ponty, Albert Camus dan terutama Jean Paul Sartre. Perbedaan

    mendasar antar keduanya adalah, apabila eksistensialisme theistik meyakini keterasingan

    manusia disebabkan oleh dosa asali , dan karenanya Tuhan meninggalkan manusia dalam

    kesendirian di dunia, maka eksistensialisme atheistik beranggapan bahwa keterasingan atau

    absurditas kehidupan manusia disebabkan oleh ketiadaan tujuan manusia mengada di dunia

    manusia ada begitu saja di dunia, ia terhempas, terbuang, tanpa sebab dan tanpa tujuan (Palmer,

    2007: 19-20 & 27-28).

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    4/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    4

    Lebih jauh, satu proyek besar yang berupaya digarap oleh eksistensialisme theistik-Soren

    Kierkegaard adalah menjawab pertanyaan: Bagaimana menjadi seorang kristiani di dalam

    umat Kristen? . Kierkegaard menganggap, dewasa ini nama Tuhan sedemikian mudah

    diucapkan, setiap orang menyebut nama Tuhan dengan gampangnya. Tegas dan jelasnya,

    Kierkegaard menganggap bahwa nama Tuhan telah menjadi sedemikian sepele, murah dan tanpa

    kesakralan sama sekali kiranya tak jauh berbeda dengan kondisi yang kita hadapi saat ini. 1 Ia

    kemudian menganggap bahwa upaya guna men-sakral-kan kembali nama Tuhan hanya dapat

    ditempuh dengan memahami-Nya kembali secara subyektif, bukannya secara kolektif; larut

    dalam keanggotaan suatu jamaah, organisasi keagamaan, sekte dan lain sejenisnya. Guna

    mewujudkannya, diperlukan sebentuk metode yang sekiranya mampu memikul beban di atas,

    yakni sebentuk metode yang mampu mencapai pemahaman subyektif akan berbagai bentuk

    gejala yang ditimbulkan-Nya, dan satu-satunya metode tersebut bagi Kierkegaard adalahfenomenologi eksistensial (Martin, 2003: 3-6).

    Sekilas mengenai Fenomenologi Eksistensial

    Layaknya fenomenologi cetusan sang mahaguru, Edmund Husserl, fenomenologi

    eksistensial besutan Kierkegaard tak kehilangan kekhasan karakteristik dari fenomenologi-

    Husserl, yakni penggunaan epoche atau tanda kurung [()] dalam memandang atau

    menafsirkan setiap fenomena. Epoche tersebut pada gilirannya berfungsi sebagai bentuk

    penangguhan sementara agar subyek tak seketika melakukan justifikasi atau penilaian-

    penilaian terhadap gejala yang menampakkan diri di hadapannya. Dengan kata lain, epoche

    dalam fenomenologi berfungsi sebagai pengosong pikiran agar gejala tersebut menampakkan

    diri sebagaimana adanya, tak tercemar oleh asumsi atau pemikiran subyek sebelumnya. Hanya

    saja, apabila Husserl menekankan tiga tahapan fenomenologi guna mencapai pemahaman

    subyektif berupa; reduksi fenomenologis, reduksi eiditis serta reduksi transendental, Kierkegaard

    menggantinya dengan tahapan-tahapan lompatan iman berupa; tahapan estetis, tahapan etis,

    serta tahapan religius (Hadiwijono, 1995: 143; Palmer, 2005: 76-77; Vardy, 2005: 46).

    Menurut Kierkegaard, tahapan estetis ditandai dengan kehidupan seseorang yang penuh

    dengan penipuan diri, yakni ditunjukkan melalui aktivitas seseorang yang sekedar mengejar

    kesenangan duniawi. Seorang pemabuk misalkan, ia memahami benar bahwa setelah

    kesadarannya kembali, maka hilanglah sudah kenikmatannya, untuk kembali mendapatkan

    1 Termasuk bentuk-bentuk perkataan/pernyataan yang mengatasnamakan Tuhan.

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    5/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    5

    kesenangannya, ia pun syarat menenggak minumannya kembali, dan demikian seterusnya.

    Apabila sang pemabuk di atas menyadari bahwa yang dikejarnya sekedar ke-fana-an dan

    menginsyafinya, maka ia pun segera melompat pada tahapan etis. Tahapan etis, menurut

    Kierkegaard, ditandai dengan pola pikir dan perilaku seseorang yang selaras dengan masyarakat.

    Tegas dan jelasnya, keadaan di mana seseorang menyesuaikan diri dengan nilai dan norma

    masyarakatnya. Lebih jauh, apabila kemudian ia merasakan kehampaan dalam tahapan tersebut,

    dalam arti, menem ui serangkaian ketidakberesan dalam masyarakat, semisal kejenuhan dalam

    bekerja dikarenakan pola kerja yang terlampau mekanistis, ketidakbermaknaan dalam

    bersosialisasi, budaya hipokrit dan lain sejenisnya, maka dengan segera individu tersebut pun

    bakal mengalami lompatan terpenting dalam hidupnya, yakni lompatan iman menuju pada

    tahapan religius. Dalam tahapan religius, individu mulai menyadari keunikan dan ke-spesifik-kan

    dirinya di hadapan Tuhan, ia pun menginsyafi bahwa dirinya tak dapat demikian saja dileburkanke dalam masyarakat disamakan begitu saja. Bagi Kierkegaard, pada tahapan ini entitas

    individu sekedar tunduk pada perintah dan larangan Tuhan, bukannya masyarakat, termasuk di

    dalamnya lembaga, organisasi, jamaah, sekte atau lain sejenisnya (Palmer, 2005: 79-108; Vardy,

    2005: 46-76).

    Hal di atas dimisalkan Kierkegaard dengan peristiwa agung Abraham bapak segala

    umat yang dengan rela hati lagi ikhlas menyembelih putera kesayangannya, Ishak, 2

    dikarenakan perintah Tuhan melalui mimpi. Bagi pandangan masyarakat kebanyakan, tentu

    tindakan yang dilakukan Abraham merupakan sebentuk kegilaan , bagaimana mungkin seorang

    ayah menyembelih putera kesayangannya sendiri, hal tersebut tentunya di luar akal sehat.

    Namun, tanpa menghiraukan nilai dan norma sosialnya, Abraham tetap bersikukuh untuk

    menyembelih puteranya. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa Abraham telah melakukan

    lompatan iman, di mana perihal yang diperbuatnya semata-mata dikarenakan oleh perintah

    Tuhan. Namun demikian, Kierkegaard menyayangkan, sesungguhnya dalam peristiwa di atas

    Abraham masih berkesempatan untuk melakukan penangguhan fenomenologis , yakni dengan

    mendayagunakan epoche (tanda kurung), ia dapat mempertanyakannya terlebih dahulu, apakah

    perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan ataukah iblis. Namun, meskipun pada akhirnya

    Abraham tetap bersikukuh menyembelih Ishak, Kierkegaard tetap menganggapnya telah berada

    pada tataran religius mengingat ia Abraham menganggap perintah tersebut berasal dari

    2 Dalam agama Islam, anak Abraham yang dikorbankan adalah Ismail.

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    6/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    6

    Tuhan, dan siapa jua yang mengetahui jika sebelumnya ia telah melakukan penangguhan

    fenomenologis (Palmer, 2005: 109-114). Inilah esensi utama dari konsep fenomenologi

    eksistensial-Kierkegaard, bahwa untuk berkomunikasi dan memahami kehendak Tuhan, maka

    individu syarat berada pada tahapan religius, terlepas dari ikatan sosial manapun serta menyadari

    sepenuhnya keunikan berikut ke-spesifik-kan dirinya di hadapan Tuhan.

    Radikalisme, Fundamentalisme dan Terorisme di Era Kontemporer 3

    Terminus radikal yang membentuk istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin,

    radix yang berarti akar. Dengan demikian, berpikir secara radikal sama artinya dengan

    berpikir hingga ke akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal

    menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21). Lebih jauh, radikalisme kerap

    dikaitkan dengan istilah fundamentalisme. Fundamentalisme sendiri dapat diterjemahkansebagai asas, dasar, fondasi atau hakikat. Adapun istilah fundamentalis dapat dimaknai sebagai

    penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner berikut selalu berupaya

    mengembalikan ajaran agama layaknya yang termaktub dalam kitab suci (Azhar, 2001: 119).

    Dalam Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism , Roxanne L.

    Euben (1999: 16-17) menjelaskan bahwa pada mulanya istilah fundamentalisme digunakan

    untuk menandai gerakan Kristen Protestan-Amerika Serikat pada awal abad ke-20 yang berupaya

    menyuarakan kembali penafsiran bibel secara harafiah ( literally ). Dalam Islam sendiri

    pungkasnya lebih jauh, istilah fundamentalisme tak ditemui di dalamnya, istilah terdekat guna

    me-representasi-kan perihal terkait dalam Islam adalah usuli yang kurang- lebih berarti akar

    atau dasar. Tak pelak, dewasa ini istilah tersebut kerap diasosiasikan dengan gerakan Islam -

    ideologis atau Islam-politik. John L. Eposito misalnya, menyamakan istilah Islam-politik dengan

    fundamentalisme Islam, begitu pula dengan Oliver Roy yang menafsirkan Islam-politik sebagai

    kelompok yang meyakini Islam baik sebagai agama maupun ideologi politik, lebih jauh, ia

    menyebutnya secar a spesifik sebagai neofundamentalisme (Huntington, 2006: 179; Turmudi &

    Sinbudi, 2005: v). Kiranya, peran media tak dapat dikesampingkan pula dalam andil

    mempopulerkan istilah di atas.

    3 Sebagian diambil dari paper penulis dengan berbagai penyesuaian, Gelombang Radikalisme-Islam di Era Globalisasi: Menilik Sisi Paradoks Globalisasi sebagai Ajang Pertarungan antara Gelombang Radikalisme Islam vis--vis Demokratisasi (2012).

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    7/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    7

    Jalaluddin Rakhmat (dalam Azhar, 2001: 122) menguraikan adanya empat pengertian

    mengenai fundamentalisme Islam. Pertama , fundamentalisme sebagai gerakan pembaharuan

    yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah. Kedua , menunjuk pada gerakan penolakan keras terhadap

    modernisme Islam yang dibawa kelompok Wahabiyah dan Salafiyah disebut pula sebagai

    fundamentalisme klasik. Ketiga , sebagai gerakan yang menentang weternisasi dalam Islam

    akibat arus globalisasi. Keempat , sebuah keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi

    alternatif.

    Terkait dengan fundamentalisme dalam pengertian terakhir, yakni sebagai bentuk

    keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi alternatif, ditemui dua kubu Islam yang

    mengamininya namun memiliki metode (cara) yang berbeda untuk mewujudkannya. Kubu

    pertama adalah mereka yang berupaya mewujudkan hal di atas dengan menghalalkan segala

    cara, bahkan dengan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, kubu kedua lebih bersikap hati-hati,mereka menegaskan bahwa cara-cara kekerasan sekedar dapat dilakukan bilamana syarat dan

    rukunnya terpenuhi, yang utama dan esensial adalah apabila suatu negara (wilayah) berada pada

    status hukum perang, sedang negara-negara layaknya Indonesia, Malaysia atau Filipina, tidaklah

    berada dalam status demikian dalam status damai oleh karenanya, cara-cara yang seyogyanya

    digunakan untuk menegakkan ideologi Islam ialah melalui jalur dakwah nir-Kekerasan. Kiranya,

    pertentangan argumen di atas dapat dimisalkan dengan terpecahnya suara Jamaah Islamiyah (JI)

    kala merespon fatwa Osama bin Laden untuk memerangi simbol-simbol Amerika Serikat

    dimanapun mereka berada. Kelompok Hambali yang terdiri dari Ali Ghufron alias Muchlas,

    Abdul Aziz alias Imam Samudera serta Amrozi, mengamini fatwa tersebut, sedang Thoriqudin

    dan Ahmad Roihan menolaknya (Solahudin, 2011: 228).

    Lebih jauh, formulasi antara fundamentalisme dengan peng-halal-an segala cara guna

    merealisasikan orientasi tersebutlah yang nantinya melahirkan tindak terorisme. Istilah terorisme

    sendiri menurut Perpu RI No.1 Tahun 2003, ialah: Tindakan dari seseorang yang dengan

    sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror

    atau rasa takut terhadap publik secara luas . Di sisi lain, menurut Ayatollah Shaykh Muhammad

    Al-Taskhiri, Presiden World Moslem Cleric Organization , terorisme adalah an act carried

    out to achieve on in human and corrupt objective and involving threat to security of mankind,

    and violation of rights acknowledge by religion and mankind (Abimanyu, 2005: 130-131).

    Dalam pembahasan terkait, tindak terorisme sebagaimana yang dimaksudkan adalah aksi bom

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    8/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    8

    bunuh diri maupun non-Bunuh diri dengan target sasaran yang tak jelas sehingga memakan

    banyak korban yang tak berdosa wilayah dengan status hukum nonperang.

    Kiranya, persoalan terorisme berwajah agamis Islam dewasa ini syarat ditempatkan

    sebagai sebuah jejaring besar, ia merupakan pintalan jejaring yang tak hanya sebatas pada ranah

    nasional, tetapi juga dunia internasional. Fakta mengenai banyaknya pelaku tindak terorisme di

    tanah air yang juga sekaligus merupakan veteran jihad Afghanistan agaknya kian mempertegas

    pernyataan tersebut. Ditambah lagi, penggunaan berbagai instrumen canggih dari para pelaku

    aksi terorisme kiranya menunjukkan bahwa aksi tersebut nyaris tak mungkin dilakukan secara

    perseorangan atau oleh kelompok kecil yang tak memiliki akses (hubungan) terhadap kelompok

    lebih besar dan tak memiliki kapasitas finansial yang mumpuni. Hal tersebut pun terbukti melalui

    serangkaian persidangan tindak terorisme yang digelar akhir-akhir ini dengan terungkapnya

    sejumlah aliran dana guna menyokong dibentuknya kamp-kamp pelatihan terorisme berikut aksiterorisme itu sendiri. Aksi terorisme Bom Bali I pada tahun 2002 misalnya, faktual sebagian

    besar pendanaannya berasal dari Osama bin Laden (Wahono, 2012).

    Fenomenologi Eksistensial sebagai Peredam Tindak Terorisme Berwajah Agamis

    Peranan fenomenologi eksistensial-Kierkegaard guna meredam tindak terorisme

    berwajah agamis termanifestasikan dalam dua bentuk : bagi calon pelaku tindak terorisme itu

    sendiri, 4 serta upayanya guna menarik persoalan agamis (ketuhanan) sedari ranah publik pada

    ranah privat. Sebagaimana penelaahan Kierkegaard atas kisah bapak segala umat, Abraham,

    yang rela mengorbankan puteranya, Ishak, faktual tersedia ruang guna melakukan penangguhan

    fenonemologis ( epoche ) di dalamnya, meskipun memang, tak diketahui dengan pasti apakah

    Abraham telah menggunakannya atau tidak. Begitu pula, dalam kasus calon pelaku tindak

    terorisme misalnya, selalu tersedia ruang baginya guna melakukan penangguhan fenomenologis:

    Apakah ini melakukan pemboman/bom bunuh diri benar-benar merupakan perihal yang

    diinginkan Tuhan? . Kenyataannya, banyak dari pelaku pemboman/bom bunuh diri merupakan

    buah dari indoktrinasi individu-individu yang berada pada tingkat atas organisasi penggerak

    sentral atau para pemimpin organisasi. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa mantan pelaku

    tindak terorisme dan organisasi terkait secara vulgar, umumnya mereka yang direkrut untuk

    melakukan aksi terorisme adalah para pemuda yang sebelumnya telah diamati tindak-tanduk dan

    4 Calon pelaku tindak terorisme kerap pula disebut dengan julukan calon pengantin di dalam organisasi.

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    9/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    9

    kepribadiannya, atau dengan kata lain, mereka yang terseleksi adalah individu-individu dengan

    jaminan kepribadian Islami. Dengan demikian asumsinya, apabila nantinya mereka mati kala

    melaksanakan tugas suci , maka insyaAllah bakal syahid (Kusaeni, 2009).

    Hal di atas kiranya menunjukkan secara eksplisit betapa ide atau inspirasi akan aksi

    terorisme besar dipengaruhi oleh kolektif di luar individu itu sendiri, pada saat yang demikianlah

    fenomenologi eksistensial berperan untuk mengambil jarak dari kepungan pemahaman

    kolektif. Dalam hal ini, fenomenologi eksistensial berkualifikasi guna merubah struktur dunia

    obyektif pada subyektif, atau dengan kata lain, merubah sedari apa yang mereka/ kita rasakan

    menjadi apa yang aku rasakan. Melalui kondisi yang demikian, individu secara otonom dapat

    menimbang berulang kali apakah aksi peledakan bom merupakan perihal yang benar-benar

    diinginkan Tuhan ataukah tidak. Secara tak langsung, hal tersebut menyiratkan pencerabutan ide

    dan pemikiran individu dari kelompok atau organisasi yang menaunginya, dan memang, apabilaindividu tersebut sekedar menuruti arahan berikut perkataan orang-orang di sekitarnya, maka ia

    telah kehilangan keunikan atau otentitas dirinya di hadapan Tuhan, dan itu sama halnya dengan

    melecehkan Tuhan. Hal tersebut mengingat, lewat kebesaran-Nya, Tuhan menciptakan setiap

    manusia dengan keunikan dan otentitasnya masing-masing.

    Secara tak langsung, pemahaman subyektif atas Tuhan di atas menghantarkan pada

    transformasi kehidupan agamis sedari ranah publik pada ranah privat. Sebagaimana telah

    diutarakan sebelumnya, dewasa ini nama Tuhan diucapkan dengan demikian gampangnya,

    nama-Nya dilegitimasi bagi berbagai kepentingan, Ia menjadi sedemikian murah, sepele, atau

    lebih tepatnya, mengalami desakralisasi. Dan, dalam pandangan eksistensialisme theistik-

    Kierkegaard, bentuk-bentuk kelompok, organisasi, jamaah berikut sekte keagamaan secara jelas

    me-representasi-kan hal terkait. Guna menghindarinya, individu syarat melampaui tahapan

    estetis dan etis melalui lompatan iman sehingga mencapai tahapan religius. Terkait dengan

    bentuk-bentuk perkumpulan keagamaan, kiranya hal tersebut terklasifikasi dalam tahapan etis

    sebagaimana ungkap Kierkegaard, mengingat terafiliasinya individu pada suatu bentuk ikatan

    sosial berikut upayanya untuk menyamakan pola pikir dan tindakannya dengan orang-orang di

    sekitarnya. Dalam kondisi yang demikian, ia berpikir dan berperilaku layaknya anggota

    organisasi atau sekte, dan bukannya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.

    Melalui eksistensialisme theistik-Kierkegaard serta gaya berpikir fenomenologi yang

    dibawanya, jangankan aksi terorisme, jaringan terorisme pun takkan pernah terbentuk. Sekali

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    10/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    10

    lagi, hal tersebut disebabkan oleh diterapkannya pemahaman subyektif atas Tuhan. Gaya berpikir

    tersebut akan menghubungkan individu secara langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara

    individu lain, alih-alih organisasi atau sekte keagamaan, dan sebagaimana dapat kita pastikan,

    pemahaman keagamaan yang bertumpu pada suatu otoritas pihak lain besar kemungkinan

    melahirkan distorsi, penyimpangan atau penafsiran-penafsiran tunggal yang syarat kepentingan.

    Hal di atas faktual turut menunjukkan betapa fenomenologi eksistensial-Kierkegaard sejalan

    dengan ide penarikan kehidupan agamis pada ranah privat, dan apabila hal tersebut benar-benar

    dapat diwujudkan, maka aksi-aksi terorisme pun tak akan terjadi. Mengapa? Apabila kita amati,

    berbagai instrumen yang digunakan dalam perakitan sebuah bom tak hanya bersifat spesifik,

    tetapi juga berbiaya tinggi, dan hal tersebut kiranya takkan dapat terwujud tanpa adanya jaringan

    yang luas serta dukungan finansial yang mumpuni. Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya,

    serangkaian aksi terorisme terbukti melibatkan jaringan yang tak hanya mencakup ranahnasional, tetapi juga internasional (dunia).

    Bisa jadi, pertanyaan yang hadir kemudian adalah, mungkinkah fenomenologi

    eksistensial dapat benar-benar menjadi salah satu alternatif guna meredam tindak terorisme

    berwajah agamis Islam di era kontemporer? Apakah konsep eksistensialisme, khususnya

    fenomenologi eksistensial turut ditemui dalam Islam? Dan, bilamana tidak, bagaimanakah upaya

    yang dapat ditempuh guna mengintegrasikannya dalam Islam tanpa menerjang berbagai koridor

    yang ada?

    Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam

    Disadari atau tidak, faktual dimensi eksistensialisme dapat kita temui dalam Islam.

    Beberapa dari karakteristik filsafat eksistensialisme sebagaimana diungkapkan Vincent Martin

    seperti subyektivitas, otentitas, kesendirian dan keterasingan, dapat pula ditemui dalam Quran,

    Sunnah serta kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Terkait dengan subyektivitas, terdapat

    firman-Nya dalam Hadist Qudsi yang menyatakan, Aku (Allah) sebagaimana yang disangkakan

    hamba- Ku . Sedang, dimensi otentitas dalam Islam dapat kita temui dalam Q.S Al-Mukmin: 60,

    Berdoalah kepada -Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu . Secara tak langsung, dimensi ke-

    otentik-an individu dalam ayat tersebut ditunjukkan melalui kebutuhan berikut permasalahan

    seorang hamba yang tentunya demikian berbeda (spesifik) dengan hamba lainnya, dan Allah

    memahaminya dengan meminta hamba-hamba-Nya untuk mengadu (baca: berdoa) kepada-Nya.

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    11/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    11

    Ihwal kesendirian yang juga sedikit banyak berkaitan erat dengan dimensi ke-otentik-an

    individu adalah berulang kalinya ditegaskan dalam Quran dan Hadist bahwa tanggung jawab atas

    segala tindakan berikut amalan individu selama di dunia menjadi tanggungannya seorang di

    akhirat kelak. Dalam hal ini, Islam tak mengenal pertanggungjawaban dosa secara kolektif atau

    turun-temurun, segala tindakan yang dilakukan individu murni dipikulnya seorang diri nanti.

    Begitu pula dengan beberapa Hadist yang ajeg mengingatkan kesendirian manusia kala dirinya

    berada di alam kubur, tanpa sanak saudara, sahabat, alih-alih masyarakat. Serangkaian hal

    tersebut kiranya menunjukkan dimensi eksistensial berupa kesendirian dalam Islam. Lebih jauh,

    dimensi keterasingan dalam Islam ditunjukkan melalui perkataan berikut sejarah perjalanan

    hidup Nabi Muhammad. Beliau pernah berkata bahwa Islam pada mulanya lahir dari

    keterasingan dan pada akhirnya akan kembali lagi pada keterasingan. Kiranya, saat inilah era

    sebagaimana yang dimaksudkan nabi tiba, yakni era di mana setiap pihak mengatasnamakanAllah namun saling berselisih satu sama lain. Tentunya hal tersebut bakal menimbulkan

    kebingungan berikut sebentuk pengalaman eksistensial tersendiri bagi individu yang benar-benar

    berupaya menemukan Tuhannya, dan kebingungan tersebut barulah dapat dipecahkan ketika ia

    melakukan pemahaman subyektif terhadap Tuhan.

    Selanjutnya, upaya guna mengintegrasikan filsafat eksistensialisme dengan Islam secara

    utuh dapat dilakukan dengan mengoperasikan konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana

    digagas oleh Ismail Raj i Al-Faruqi (dalam Kuntowijoyo 2006: 7-8, 53-54). Konsep Islamisasi

    pengetahuan, berbeda halnya dengan pengilmuan Islam, apabila pengilmuan Islam beranjak

    sedari teks pada konteks, maka Islamisasi pengetahuan beranjak sedari konteks menuju teks. Ini

    berarti, berbagai konsep di luar Islam layaknya filsafat Barat, faktual dapat di-Islam-kan sejauh

    melalui serangkaian tahapan penyaringan sehingga tak lagi mengancam akidah, dan perihal

    urgen yang terdapat dalam proses tersebut adalah melakukan pemaknaan kembali ide -ide di

    luar Islam agar sesuai dengan ajaran Islam sehingga perbenturan antar keduanya pun tak ditemui

    kemudian.

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    12/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    12

    Kesimpulan dan Penutup

    Melalui serangkaian penjabaran dan uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditilik bahwa

    fenomenologi eksistensial memiliki potensi guna menjadi salah satu alternatif peredam berikut

    pencegah tindak terorisme berwajah agamis Islam di era kontemporer. Di samping itu,

    konsep terkait dapat pula ditempatkan sebagai metode pelengkap dalam penanggulangan

    radikalisme dan terorisme yang sebelumnya begitu bias dengan pendekatan ekonomi berikut

    kolektif. Lebih jauh, penggunaan konsep fenomenologi eksistensial dalam Islam kiranya menjadi

    mungkin mengingat ditemuinya pula dimensi eksistensialisme dalam Islam, dan upaya guna

    mengintegrasikannya secara utuh untuk menghindarkan terjadinya oposisi biner di dalamnya

    dapat ditempuh dengan menggunakan konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana ditawarkan

    oleh Ismail Raji Al -Faruqi.

    *****

    Referensi:

    Buku;Abimayu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia . Bandung: Grafindo.Azhar, Muhammad. 2001. Fiqh Peradaban . Yogyakarta: Ittaqa Press.Euben, Roxanne L. 1999. Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism: A

    Work of Comparative Political Theory . USA: Princeton University Press.Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas . Yogyakarta: Kreasi Wacana.Hadiwijono, Harun. 1995. Sari Sejarah Filsafat Barat 2 . Yogyakarta: Kanisius.Huntington, Samuel. 2006. Benturan Antarperadaban . Yogyakarta: Qalam.Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu . Yogyakarta: Tiara Wacana.Lathief, Supaat I. 2010. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme . Lamongan: Pustaka Pujangga.Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Palmer, Donald D. 2005. Kierkegaard untuk Pemula . Yogyakarta: Kanisius.

    ______________. 2007. Sartre untuk Pemula . Yogyakarta: Kanisius.Solahudin. 2011. NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia . Depok: Komunitas Bambu.Taher, Tarmizi [dkk.]. 2004. Meredam Gelombang Radikalisme . Jakarta: Center for Moderate

    Moslem & CV Karya Rezeki.Vardy, Peter. 2005. Kierkegaard . Yogyakarta: Kanisius.

  • 7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama

    13/13

    Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012

    13

    Internet;Kusaeni, Akhmad, 2009, Ditawari Jadi Pelaku Bom Bunuh Diri ,

    http://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-diri (13/06/2012).

    Wahono, Tri, 2012, Dana Osama bin Laden Dipakai untuk Bom Bali I ,http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.I (13/06/2012).

    http://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-dirihttp://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-dirihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-diri