fenomenologi eksistensial sebagai instrumen pereduksi radikalisme beragama
TRANSCRIPT
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
1/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
1
Working Paper
FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI INSTRUMEN PEREDUKSI RADIKALISME BERAGAMA
PENDEKATAN INDIVIDUAL-FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI ALTERNATIF PEREDAM TINDAK TERORISME
BERWAJAH AGAMIS DI ERA KONTEMPORER
Wahyu Budi Nugroho
Iman baru ada setelah akal mulai berhenti
(Soren A. Kierkegaard)
PendahuluanLayaknya metafora Giddens (2009: 183-184) akan laju dunia dewasa ini sebagai
juggernaut , sebuah panzer besar yang berlari kencang tanpa arah dan sewaktu-waktu dapat
terguling berikut pecah berkeping-keping. Kiranya, sulit untuk dielakkan bahwa saat ini juga kita
hidup dalam dunia- juggernaut sebagaimana ungkap Giddens. Secara denotatif, konotasi tersebut
menunjuk pada dunia dengan beragam muatan kepentingan yang berbeda-beda tanpa ditemui
titik temu di dalamnya. Masing-masing pihak saling berupaya memaksakan kehendaknya tanpa
menghiraukan keberadaan pihak lain, berbagai bentuk batasan koridor yang ada pun diterjang
begitu saja tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin hadir kemudian. Giddens
memastikan bahwa dunia yang demikian cepat atau lambat bakal menemui kehancurannya.
Dalam ranah kontemporer, bentuk-bentuk persinggungan keras di atas salah satunya
dapat dimisalkan melalui vis--vis antara demokratisasi dengan teokratisasi yang kian intens
terjadi pasca berakhirnya Perang Dingin, atau apabila hendak dikatakan secara lebih gamblang,
pertentangan antara kubu (golongan) sekular dengan pro-Agamis. Hal tersebut, seakan
mengamini tesis Arnold Toynbee, antropolog kenamaan Amerika Serikat, yang menyatakan
bahwa pasca perang melawan komunisme usai, Barat akan menghadapi perang yang jauh lebihbesar lagi, yakni perang melawan Islam , terkait kembalinya sentimen Perang Salib. Senada
dengan Toynbee, Guru Besar Ilmu Politik Hardvard, Samuel P. Huntington (2006: 381-382)
menegaskan bahwa pasca-Perang Dingin masyarakat Barat syarat menerima kenyataan bahwa
mereka akan hidup dalam konstelasi benturan antarperadaban , yakni sebuah tata dunia yang
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected] -
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
2/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
2
dijejali dengan tarik-ulur kepentingan perebutan hagemoni antara Barat kapitalisme dengan
Islam.
Satu hal yang kiranya menjadi persoalan urgen dan tengah panas dibicarakan akhir-
akhir ini terkait konstelasi dunia dalam era benturan antarperadaban adalah meningkat
signifikannya tindak terorisme di berbagai belahan negeri muslim dunia. Bahkan, implikasi yang
ditimbulkannya telah dirasakan langsung oleh negara-negara Barat, peristiwa September Kelabu
(9/11) misalnya, yang sontak memicu ditabuhnya genderang perang melawan terorisme global.
Terkait hal tersebut, Grant Wardlaw (dalam Abimanyu, 2005: 15) berkomentar, Terrorism is
now an export industry [Saat ini terorisme telah menjadi komoditas ekspor]. Kiranya,
persoalan takkan menjadi sepelik ini bilamana status hukum suatu negara memang berada dalam
kondisi perang bukannya damai sehingga aksi-aksi terorisme yang dilancarkan pada lawan
dapat dimaklumi, dan memang, jika suatu negara berada dalam kondisi demikian, maka aksiperlawanan yang dilakukan tak dapat disebut sebagai tindak terorisme. Oleh karenanya,
persoalan akan menjadi jauh berbeda jika status hukum suatu negara berada dalam kondisi
damai, aksi-aksi terorisme akan menemui bentuknya sebagai perihal yang absurd mengingat
ketiadaan sasaran yang jelas berikut jatuhnya korban sipil tak berdosa yang tak sedikit. Tragedi
Bom Bali I dan II di tanah air kiranya dapat dijadikan misal konkret akan hal tersebut.
Sejauh ini, pendekatan yang dilakukan guna mencegah bersemai dan tumbuh-
kembangnya bibit terorisme cenderung bias ekonomi, pun lebih berfokus pada unit sosial berupa
kelompok, komunitas, organisasi ataupun masyarakat. Kajian Esping Anderson, seorang sosiolog
asal Denmark mengenai terorisme misalnya, menitikberatkan pada aspek kesejahteraan guna
menanggulangi permasalahan terkait. Menilik hal tersebut, kiranya diperlukan pendekatan yang
lebih komprehensif guna menangani problem terorisme yang kadung menjadi persoalan dunia
internasional ini, yakni sebentuk pendekatan yang tak sekedar berfokus pada unit kolektif, tetapi
juga menyentuh unit individu ( person entity ), dan kebutuhan tersebut kiranya dapat dijawab
melalui konsep fenomenologi -eksistensial cetusan Soren Aebey Kierkegaard, seorang filsuf
eksistensialis asal Denmark. Secara ringkas, konsep terkait tak hanya menyentuh dimensi
kedirian individu unit individu, tetapi juga menitikberatkan pada level pengalaman eksistensial
individu, yang dengan demikian jauh dari simplifikasi penghitungan matematis-ekonomi yang
diyakini besar mempengaruhi tindakan aktor. Hal ini dirasa penting mengingat pengalaman
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
3/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
3
beragama merupakan pengalaman yang bersifat eksistensial, dan oleh karenanya diperlukan
pendekatan yang bersifat eksistensial pula guna memahaminya.
Eksistensialisme Theistik dan Fenomenologi Eksistensial-Soren Kierkegaard
Sekilas mengenai Eksistensialisme Theistik
Eksistensialisme merupakan salah satu arus besar filsafat Eropa yang agaknya mulai
terlupakan dewasa ini. Adalah Jean Paul Sartre (1905-1980), selaku tokoh sentral filsafat terkait
mengingat dalam eksemplarnya, Being and Nothingness serta Existentialism is Humanism , ia
secara eksplisit mencetuskan istilah eksistensialisme dengan segenap batasan -batasannya,
berikut menguraikan dengan cukup mendetail perihal bagaimana seharusnya menjalani hidup
sebagai seorang eksistensialis. Tema-tema yang diulas dalam filsafat eksistensialisme berkutat
pada seputar permasalahan keterasingan (kesendirian) manusia, otentitas manusia, pemaknaanindividu, absurditas berikut kebebasan individu (Martin, 2003: 1-2; Lathief, 2010: 5).
Perkembangan terakhir dari filsafat terkait dapat kita lacak melalui keberadaan aliran
psikoanalisis eksistensial usungan Victor Frankl serta psikologi eksistensial besutan Carl Rogers
berikut Abraham Maslow, ditilik melalui karya-karya yang telah dihasilkan oleh kedua
percabangan eksistensialisme di atas, kiranya psikologi eksistensial merupakan percabangan
konsep eksistensialisme yang paling jauh meninggalkan induknya (Lathief, 2010: 7).
Akar dari filsafat eksistensialisme dapat dilacak kembali melalui pemikiran filsuf
melankolis asal Denmark, Soren Kierkegaard, serta filsuf anti-Fondasionalisme Jerman,
Nietzsche. Pada gilirannya, Kierkegaard melahirkan pemikiran eksistensialisme bercorak theistik
(agamis) dengan pengikut setia layaknya Karl Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel
Marcel, Nicolai Berdyaef serta Martin Buber. Sebaliknya, Nietzsche kemudian melahirkan
filsafat eksistensialisme bercorak atheistik dengan para pengikutnya seperti Martin Heidegger,
Fyodor Dostoyevsky, Maurice Ponty, Albert Camus dan terutama Jean Paul Sartre. Perbedaan
mendasar antar keduanya adalah, apabila eksistensialisme theistik meyakini keterasingan
manusia disebabkan oleh dosa asali , dan karenanya Tuhan meninggalkan manusia dalam
kesendirian di dunia, maka eksistensialisme atheistik beranggapan bahwa keterasingan atau
absurditas kehidupan manusia disebabkan oleh ketiadaan tujuan manusia mengada di dunia
manusia ada begitu saja di dunia, ia terhempas, terbuang, tanpa sebab dan tanpa tujuan (Palmer,
2007: 19-20 & 27-28).
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
4/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
4
Lebih jauh, satu proyek besar yang berupaya digarap oleh eksistensialisme theistik-Soren
Kierkegaard adalah menjawab pertanyaan: Bagaimana menjadi seorang kristiani di dalam
umat Kristen? . Kierkegaard menganggap, dewasa ini nama Tuhan sedemikian mudah
diucapkan, setiap orang menyebut nama Tuhan dengan gampangnya. Tegas dan jelasnya,
Kierkegaard menganggap bahwa nama Tuhan telah menjadi sedemikian sepele, murah dan tanpa
kesakralan sama sekali kiranya tak jauh berbeda dengan kondisi yang kita hadapi saat ini. 1 Ia
kemudian menganggap bahwa upaya guna men-sakral-kan kembali nama Tuhan hanya dapat
ditempuh dengan memahami-Nya kembali secara subyektif, bukannya secara kolektif; larut
dalam keanggotaan suatu jamaah, organisasi keagamaan, sekte dan lain sejenisnya. Guna
mewujudkannya, diperlukan sebentuk metode yang sekiranya mampu memikul beban di atas,
yakni sebentuk metode yang mampu mencapai pemahaman subyektif akan berbagai bentuk
gejala yang ditimbulkan-Nya, dan satu-satunya metode tersebut bagi Kierkegaard adalahfenomenologi eksistensial (Martin, 2003: 3-6).
Sekilas mengenai Fenomenologi Eksistensial
Layaknya fenomenologi cetusan sang mahaguru, Edmund Husserl, fenomenologi
eksistensial besutan Kierkegaard tak kehilangan kekhasan karakteristik dari fenomenologi-
Husserl, yakni penggunaan epoche atau tanda kurung [()] dalam memandang atau
menafsirkan setiap fenomena. Epoche tersebut pada gilirannya berfungsi sebagai bentuk
penangguhan sementara agar subyek tak seketika melakukan justifikasi atau penilaian-
penilaian terhadap gejala yang menampakkan diri di hadapannya. Dengan kata lain, epoche
dalam fenomenologi berfungsi sebagai pengosong pikiran agar gejala tersebut menampakkan
diri sebagaimana adanya, tak tercemar oleh asumsi atau pemikiran subyek sebelumnya. Hanya
saja, apabila Husserl menekankan tiga tahapan fenomenologi guna mencapai pemahaman
subyektif berupa; reduksi fenomenologis, reduksi eiditis serta reduksi transendental, Kierkegaard
menggantinya dengan tahapan-tahapan lompatan iman berupa; tahapan estetis, tahapan etis,
serta tahapan religius (Hadiwijono, 1995: 143; Palmer, 2005: 76-77; Vardy, 2005: 46).
Menurut Kierkegaard, tahapan estetis ditandai dengan kehidupan seseorang yang penuh
dengan penipuan diri, yakni ditunjukkan melalui aktivitas seseorang yang sekedar mengejar
kesenangan duniawi. Seorang pemabuk misalkan, ia memahami benar bahwa setelah
kesadarannya kembali, maka hilanglah sudah kenikmatannya, untuk kembali mendapatkan
1 Termasuk bentuk-bentuk perkataan/pernyataan yang mengatasnamakan Tuhan.
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
5/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
5
kesenangannya, ia pun syarat menenggak minumannya kembali, dan demikian seterusnya.
Apabila sang pemabuk di atas menyadari bahwa yang dikejarnya sekedar ke-fana-an dan
menginsyafinya, maka ia pun segera melompat pada tahapan etis. Tahapan etis, menurut
Kierkegaard, ditandai dengan pola pikir dan perilaku seseorang yang selaras dengan masyarakat.
Tegas dan jelasnya, keadaan di mana seseorang menyesuaikan diri dengan nilai dan norma
masyarakatnya. Lebih jauh, apabila kemudian ia merasakan kehampaan dalam tahapan tersebut,
dalam arti, menem ui serangkaian ketidakberesan dalam masyarakat, semisal kejenuhan dalam
bekerja dikarenakan pola kerja yang terlampau mekanistis, ketidakbermaknaan dalam
bersosialisasi, budaya hipokrit dan lain sejenisnya, maka dengan segera individu tersebut pun
bakal mengalami lompatan terpenting dalam hidupnya, yakni lompatan iman menuju pada
tahapan religius. Dalam tahapan religius, individu mulai menyadari keunikan dan ke-spesifik-kan
dirinya di hadapan Tuhan, ia pun menginsyafi bahwa dirinya tak dapat demikian saja dileburkanke dalam masyarakat disamakan begitu saja. Bagi Kierkegaard, pada tahapan ini entitas
individu sekedar tunduk pada perintah dan larangan Tuhan, bukannya masyarakat, termasuk di
dalamnya lembaga, organisasi, jamaah, sekte atau lain sejenisnya (Palmer, 2005: 79-108; Vardy,
2005: 46-76).
Hal di atas dimisalkan Kierkegaard dengan peristiwa agung Abraham bapak segala
umat yang dengan rela hati lagi ikhlas menyembelih putera kesayangannya, Ishak, 2
dikarenakan perintah Tuhan melalui mimpi. Bagi pandangan masyarakat kebanyakan, tentu
tindakan yang dilakukan Abraham merupakan sebentuk kegilaan , bagaimana mungkin seorang
ayah menyembelih putera kesayangannya sendiri, hal tersebut tentunya di luar akal sehat.
Namun, tanpa menghiraukan nilai dan norma sosialnya, Abraham tetap bersikukuh untuk
menyembelih puteranya. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa Abraham telah melakukan
lompatan iman, di mana perihal yang diperbuatnya semata-mata dikarenakan oleh perintah
Tuhan. Namun demikian, Kierkegaard menyayangkan, sesungguhnya dalam peristiwa di atas
Abraham masih berkesempatan untuk melakukan penangguhan fenomenologis , yakni dengan
mendayagunakan epoche (tanda kurung), ia dapat mempertanyakannya terlebih dahulu, apakah
perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan ataukah iblis. Namun, meskipun pada akhirnya
Abraham tetap bersikukuh menyembelih Ishak, Kierkegaard tetap menganggapnya telah berada
pada tataran religius mengingat ia Abraham menganggap perintah tersebut berasal dari
2 Dalam agama Islam, anak Abraham yang dikorbankan adalah Ismail.
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
6/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
6
Tuhan, dan siapa jua yang mengetahui jika sebelumnya ia telah melakukan penangguhan
fenomenologis (Palmer, 2005: 109-114). Inilah esensi utama dari konsep fenomenologi
eksistensial-Kierkegaard, bahwa untuk berkomunikasi dan memahami kehendak Tuhan, maka
individu syarat berada pada tahapan religius, terlepas dari ikatan sosial manapun serta menyadari
sepenuhnya keunikan berikut ke-spesifik-kan dirinya di hadapan Tuhan.
Radikalisme, Fundamentalisme dan Terorisme di Era Kontemporer 3
Terminus radikal yang membentuk istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin,
radix yang berarti akar. Dengan demikian, berpikir secara radikal sama artinya dengan
berpikir hingga ke akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal
menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21). Lebih jauh, radikalisme kerap
dikaitkan dengan istilah fundamentalisme. Fundamentalisme sendiri dapat diterjemahkansebagai asas, dasar, fondasi atau hakikat. Adapun istilah fundamentalis dapat dimaknai sebagai
penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner berikut selalu berupaya
mengembalikan ajaran agama layaknya yang termaktub dalam kitab suci (Azhar, 2001: 119).
Dalam Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism , Roxanne L.
Euben (1999: 16-17) menjelaskan bahwa pada mulanya istilah fundamentalisme digunakan
untuk menandai gerakan Kristen Protestan-Amerika Serikat pada awal abad ke-20 yang berupaya
menyuarakan kembali penafsiran bibel secara harafiah ( literally ). Dalam Islam sendiri
pungkasnya lebih jauh, istilah fundamentalisme tak ditemui di dalamnya, istilah terdekat guna
me-representasi-kan perihal terkait dalam Islam adalah usuli yang kurang- lebih berarti akar
atau dasar. Tak pelak, dewasa ini istilah tersebut kerap diasosiasikan dengan gerakan Islam -
ideologis atau Islam-politik. John L. Eposito misalnya, menyamakan istilah Islam-politik dengan
fundamentalisme Islam, begitu pula dengan Oliver Roy yang menafsirkan Islam-politik sebagai
kelompok yang meyakini Islam baik sebagai agama maupun ideologi politik, lebih jauh, ia
menyebutnya secar a spesifik sebagai neofundamentalisme (Huntington, 2006: 179; Turmudi &
Sinbudi, 2005: v). Kiranya, peran media tak dapat dikesampingkan pula dalam andil
mempopulerkan istilah di atas.
3 Sebagian diambil dari paper penulis dengan berbagai penyesuaian, Gelombang Radikalisme-Islam di Era Globalisasi: Menilik Sisi Paradoks Globalisasi sebagai Ajang Pertarungan antara Gelombang Radikalisme Islam vis--vis Demokratisasi (2012).
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
7/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
7
Jalaluddin Rakhmat (dalam Azhar, 2001: 122) menguraikan adanya empat pengertian
mengenai fundamentalisme Islam. Pertama , fundamentalisme sebagai gerakan pembaharuan
yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah. Kedua , menunjuk pada gerakan penolakan keras terhadap
modernisme Islam yang dibawa kelompok Wahabiyah dan Salafiyah disebut pula sebagai
fundamentalisme klasik. Ketiga , sebagai gerakan yang menentang weternisasi dalam Islam
akibat arus globalisasi. Keempat , sebuah keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi
alternatif.
Terkait dengan fundamentalisme dalam pengertian terakhir, yakni sebagai bentuk
keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi alternatif, ditemui dua kubu Islam yang
mengamininya namun memiliki metode (cara) yang berbeda untuk mewujudkannya. Kubu
pertama adalah mereka yang berupaya mewujudkan hal di atas dengan menghalalkan segala
cara, bahkan dengan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, kubu kedua lebih bersikap hati-hati,mereka menegaskan bahwa cara-cara kekerasan sekedar dapat dilakukan bilamana syarat dan
rukunnya terpenuhi, yang utama dan esensial adalah apabila suatu negara (wilayah) berada pada
status hukum perang, sedang negara-negara layaknya Indonesia, Malaysia atau Filipina, tidaklah
berada dalam status demikian dalam status damai oleh karenanya, cara-cara yang seyogyanya
digunakan untuk menegakkan ideologi Islam ialah melalui jalur dakwah nir-Kekerasan. Kiranya,
pertentangan argumen di atas dapat dimisalkan dengan terpecahnya suara Jamaah Islamiyah (JI)
kala merespon fatwa Osama bin Laden untuk memerangi simbol-simbol Amerika Serikat
dimanapun mereka berada. Kelompok Hambali yang terdiri dari Ali Ghufron alias Muchlas,
Abdul Aziz alias Imam Samudera serta Amrozi, mengamini fatwa tersebut, sedang Thoriqudin
dan Ahmad Roihan menolaknya (Solahudin, 2011: 228).
Lebih jauh, formulasi antara fundamentalisme dengan peng-halal-an segala cara guna
merealisasikan orientasi tersebutlah yang nantinya melahirkan tindak terorisme. Istilah terorisme
sendiri menurut Perpu RI No.1 Tahun 2003, ialah: Tindakan dari seseorang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap publik secara luas . Di sisi lain, menurut Ayatollah Shaykh Muhammad
Al-Taskhiri, Presiden World Moslem Cleric Organization , terorisme adalah an act carried
out to achieve on in human and corrupt objective and involving threat to security of mankind,
and violation of rights acknowledge by religion and mankind (Abimanyu, 2005: 130-131).
Dalam pembahasan terkait, tindak terorisme sebagaimana yang dimaksudkan adalah aksi bom
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
8/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
8
bunuh diri maupun non-Bunuh diri dengan target sasaran yang tak jelas sehingga memakan
banyak korban yang tak berdosa wilayah dengan status hukum nonperang.
Kiranya, persoalan terorisme berwajah agamis Islam dewasa ini syarat ditempatkan
sebagai sebuah jejaring besar, ia merupakan pintalan jejaring yang tak hanya sebatas pada ranah
nasional, tetapi juga dunia internasional. Fakta mengenai banyaknya pelaku tindak terorisme di
tanah air yang juga sekaligus merupakan veteran jihad Afghanistan agaknya kian mempertegas
pernyataan tersebut. Ditambah lagi, penggunaan berbagai instrumen canggih dari para pelaku
aksi terorisme kiranya menunjukkan bahwa aksi tersebut nyaris tak mungkin dilakukan secara
perseorangan atau oleh kelompok kecil yang tak memiliki akses (hubungan) terhadap kelompok
lebih besar dan tak memiliki kapasitas finansial yang mumpuni. Hal tersebut pun terbukti melalui
serangkaian persidangan tindak terorisme yang digelar akhir-akhir ini dengan terungkapnya
sejumlah aliran dana guna menyokong dibentuknya kamp-kamp pelatihan terorisme berikut aksiterorisme itu sendiri. Aksi terorisme Bom Bali I pada tahun 2002 misalnya, faktual sebagian
besar pendanaannya berasal dari Osama bin Laden (Wahono, 2012).
Fenomenologi Eksistensial sebagai Peredam Tindak Terorisme Berwajah Agamis
Peranan fenomenologi eksistensial-Kierkegaard guna meredam tindak terorisme
berwajah agamis termanifestasikan dalam dua bentuk : bagi calon pelaku tindak terorisme itu
sendiri, 4 serta upayanya guna menarik persoalan agamis (ketuhanan) sedari ranah publik pada
ranah privat. Sebagaimana penelaahan Kierkegaard atas kisah bapak segala umat, Abraham,
yang rela mengorbankan puteranya, Ishak, faktual tersedia ruang guna melakukan penangguhan
fenonemologis ( epoche ) di dalamnya, meskipun memang, tak diketahui dengan pasti apakah
Abraham telah menggunakannya atau tidak. Begitu pula, dalam kasus calon pelaku tindak
terorisme misalnya, selalu tersedia ruang baginya guna melakukan penangguhan fenomenologis:
Apakah ini melakukan pemboman/bom bunuh diri benar-benar merupakan perihal yang
diinginkan Tuhan? . Kenyataannya, banyak dari pelaku pemboman/bom bunuh diri merupakan
buah dari indoktrinasi individu-individu yang berada pada tingkat atas organisasi penggerak
sentral atau para pemimpin organisasi. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa mantan pelaku
tindak terorisme dan organisasi terkait secara vulgar, umumnya mereka yang direkrut untuk
melakukan aksi terorisme adalah para pemuda yang sebelumnya telah diamati tindak-tanduk dan
4 Calon pelaku tindak terorisme kerap pula disebut dengan julukan calon pengantin di dalam organisasi.
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
9/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
9
kepribadiannya, atau dengan kata lain, mereka yang terseleksi adalah individu-individu dengan
jaminan kepribadian Islami. Dengan demikian asumsinya, apabila nantinya mereka mati kala
melaksanakan tugas suci , maka insyaAllah bakal syahid (Kusaeni, 2009).
Hal di atas kiranya menunjukkan secara eksplisit betapa ide atau inspirasi akan aksi
terorisme besar dipengaruhi oleh kolektif di luar individu itu sendiri, pada saat yang demikianlah
fenomenologi eksistensial berperan untuk mengambil jarak dari kepungan pemahaman
kolektif. Dalam hal ini, fenomenologi eksistensial berkualifikasi guna merubah struktur dunia
obyektif pada subyektif, atau dengan kata lain, merubah sedari apa yang mereka/ kita rasakan
menjadi apa yang aku rasakan. Melalui kondisi yang demikian, individu secara otonom dapat
menimbang berulang kali apakah aksi peledakan bom merupakan perihal yang benar-benar
diinginkan Tuhan ataukah tidak. Secara tak langsung, hal tersebut menyiratkan pencerabutan ide
dan pemikiran individu dari kelompok atau organisasi yang menaunginya, dan memang, apabilaindividu tersebut sekedar menuruti arahan berikut perkataan orang-orang di sekitarnya, maka ia
telah kehilangan keunikan atau otentitas dirinya di hadapan Tuhan, dan itu sama halnya dengan
melecehkan Tuhan. Hal tersebut mengingat, lewat kebesaran-Nya, Tuhan menciptakan setiap
manusia dengan keunikan dan otentitasnya masing-masing.
Secara tak langsung, pemahaman subyektif atas Tuhan di atas menghantarkan pada
transformasi kehidupan agamis sedari ranah publik pada ranah privat. Sebagaimana telah
diutarakan sebelumnya, dewasa ini nama Tuhan diucapkan dengan demikian gampangnya,
nama-Nya dilegitimasi bagi berbagai kepentingan, Ia menjadi sedemikian murah, sepele, atau
lebih tepatnya, mengalami desakralisasi. Dan, dalam pandangan eksistensialisme theistik-
Kierkegaard, bentuk-bentuk kelompok, organisasi, jamaah berikut sekte keagamaan secara jelas
me-representasi-kan hal terkait. Guna menghindarinya, individu syarat melampaui tahapan
estetis dan etis melalui lompatan iman sehingga mencapai tahapan religius. Terkait dengan
bentuk-bentuk perkumpulan keagamaan, kiranya hal tersebut terklasifikasi dalam tahapan etis
sebagaimana ungkap Kierkegaard, mengingat terafiliasinya individu pada suatu bentuk ikatan
sosial berikut upayanya untuk menyamakan pola pikir dan tindakannya dengan orang-orang di
sekitarnya. Dalam kondisi yang demikian, ia berpikir dan berperilaku layaknya anggota
organisasi atau sekte, dan bukannya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.
Melalui eksistensialisme theistik-Kierkegaard serta gaya berpikir fenomenologi yang
dibawanya, jangankan aksi terorisme, jaringan terorisme pun takkan pernah terbentuk. Sekali
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
10/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
10
lagi, hal tersebut disebabkan oleh diterapkannya pemahaman subyektif atas Tuhan. Gaya berpikir
tersebut akan menghubungkan individu secara langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara
individu lain, alih-alih organisasi atau sekte keagamaan, dan sebagaimana dapat kita pastikan,
pemahaman keagamaan yang bertumpu pada suatu otoritas pihak lain besar kemungkinan
melahirkan distorsi, penyimpangan atau penafsiran-penafsiran tunggal yang syarat kepentingan.
Hal di atas faktual turut menunjukkan betapa fenomenologi eksistensial-Kierkegaard sejalan
dengan ide penarikan kehidupan agamis pada ranah privat, dan apabila hal tersebut benar-benar
dapat diwujudkan, maka aksi-aksi terorisme pun tak akan terjadi. Mengapa? Apabila kita amati,
berbagai instrumen yang digunakan dalam perakitan sebuah bom tak hanya bersifat spesifik,
tetapi juga berbiaya tinggi, dan hal tersebut kiranya takkan dapat terwujud tanpa adanya jaringan
yang luas serta dukungan finansial yang mumpuni. Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya,
serangkaian aksi terorisme terbukti melibatkan jaringan yang tak hanya mencakup ranahnasional, tetapi juga internasional (dunia).
Bisa jadi, pertanyaan yang hadir kemudian adalah, mungkinkah fenomenologi
eksistensial dapat benar-benar menjadi salah satu alternatif guna meredam tindak terorisme
berwajah agamis Islam di era kontemporer? Apakah konsep eksistensialisme, khususnya
fenomenologi eksistensial turut ditemui dalam Islam? Dan, bilamana tidak, bagaimanakah upaya
yang dapat ditempuh guna mengintegrasikannya dalam Islam tanpa menerjang berbagai koridor
yang ada?
Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam
Disadari atau tidak, faktual dimensi eksistensialisme dapat kita temui dalam Islam.
Beberapa dari karakteristik filsafat eksistensialisme sebagaimana diungkapkan Vincent Martin
seperti subyektivitas, otentitas, kesendirian dan keterasingan, dapat pula ditemui dalam Quran,
Sunnah serta kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Terkait dengan subyektivitas, terdapat
firman-Nya dalam Hadist Qudsi yang menyatakan, Aku (Allah) sebagaimana yang disangkakan
hamba- Ku . Sedang, dimensi otentitas dalam Islam dapat kita temui dalam Q.S Al-Mukmin: 60,
Berdoalah kepada -Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu . Secara tak langsung, dimensi ke-
otentik-an individu dalam ayat tersebut ditunjukkan melalui kebutuhan berikut permasalahan
seorang hamba yang tentunya demikian berbeda (spesifik) dengan hamba lainnya, dan Allah
memahaminya dengan meminta hamba-hamba-Nya untuk mengadu (baca: berdoa) kepada-Nya.
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
11/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
11
Ihwal kesendirian yang juga sedikit banyak berkaitan erat dengan dimensi ke-otentik-an
individu adalah berulang kalinya ditegaskan dalam Quran dan Hadist bahwa tanggung jawab atas
segala tindakan berikut amalan individu selama di dunia menjadi tanggungannya seorang di
akhirat kelak. Dalam hal ini, Islam tak mengenal pertanggungjawaban dosa secara kolektif atau
turun-temurun, segala tindakan yang dilakukan individu murni dipikulnya seorang diri nanti.
Begitu pula dengan beberapa Hadist yang ajeg mengingatkan kesendirian manusia kala dirinya
berada di alam kubur, tanpa sanak saudara, sahabat, alih-alih masyarakat. Serangkaian hal
tersebut kiranya menunjukkan dimensi eksistensial berupa kesendirian dalam Islam. Lebih jauh,
dimensi keterasingan dalam Islam ditunjukkan melalui perkataan berikut sejarah perjalanan
hidup Nabi Muhammad. Beliau pernah berkata bahwa Islam pada mulanya lahir dari
keterasingan dan pada akhirnya akan kembali lagi pada keterasingan. Kiranya, saat inilah era
sebagaimana yang dimaksudkan nabi tiba, yakni era di mana setiap pihak mengatasnamakanAllah namun saling berselisih satu sama lain. Tentunya hal tersebut bakal menimbulkan
kebingungan berikut sebentuk pengalaman eksistensial tersendiri bagi individu yang benar-benar
berupaya menemukan Tuhannya, dan kebingungan tersebut barulah dapat dipecahkan ketika ia
melakukan pemahaman subyektif terhadap Tuhan.
Selanjutnya, upaya guna mengintegrasikan filsafat eksistensialisme dengan Islam secara
utuh dapat dilakukan dengan mengoperasikan konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana
digagas oleh Ismail Raj i Al-Faruqi (dalam Kuntowijoyo 2006: 7-8, 53-54). Konsep Islamisasi
pengetahuan, berbeda halnya dengan pengilmuan Islam, apabila pengilmuan Islam beranjak
sedari teks pada konteks, maka Islamisasi pengetahuan beranjak sedari konteks menuju teks. Ini
berarti, berbagai konsep di luar Islam layaknya filsafat Barat, faktual dapat di-Islam-kan sejauh
melalui serangkaian tahapan penyaringan sehingga tak lagi mengancam akidah, dan perihal
urgen yang terdapat dalam proses tersebut adalah melakukan pemaknaan kembali ide -ide di
luar Islam agar sesuai dengan ajaran Islam sehingga perbenturan antar keduanya pun tak ditemui
kemudian.
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
12/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
12
Kesimpulan dan Penutup
Melalui serangkaian penjabaran dan uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditilik bahwa
fenomenologi eksistensial memiliki potensi guna menjadi salah satu alternatif peredam berikut
pencegah tindak terorisme berwajah agamis Islam di era kontemporer. Di samping itu,
konsep terkait dapat pula ditempatkan sebagai metode pelengkap dalam penanggulangan
radikalisme dan terorisme yang sebelumnya begitu bias dengan pendekatan ekonomi berikut
kolektif. Lebih jauh, penggunaan konsep fenomenologi eksistensial dalam Islam kiranya menjadi
mungkin mengingat ditemuinya pula dimensi eksistensialisme dalam Islam, dan upaya guna
mengintegrasikannya secara utuh untuk menghindarkan terjadinya oposisi biner di dalamnya
dapat ditempuh dengan menggunakan konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana ditawarkan
oleh Ismail Raji Al -Faruqi.
*****
Referensi:
Buku;Abimayu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia . Bandung: Grafindo.Azhar, Muhammad. 2001. Fiqh Peradaban . Yogyakarta: Ittaqa Press.Euben, Roxanne L. 1999. Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism: A
Work of Comparative Political Theory . USA: Princeton University Press.Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas . Yogyakarta: Kreasi Wacana.Hadiwijono, Harun. 1995. Sari Sejarah Filsafat Barat 2 . Yogyakarta: Kanisius.Huntington, Samuel. 2006. Benturan Antarperadaban . Yogyakarta: Qalam.Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu . Yogyakarta: Tiara Wacana.Lathief, Supaat I. 2010. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme . Lamongan: Pustaka Pujangga.Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Palmer, Donald D. 2005. Kierkegaard untuk Pemula . Yogyakarta: Kanisius.
______________. 2007. Sartre untuk Pemula . Yogyakarta: Kanisius.Solahudin. 2011. NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia . Depok: Komunitas Bambu.Taher, Tarmizi [dkk.]. 2004. Meredam Gelombang Radikalisme . Jakarta: Center for Moderate
Moslem & CV Karya Rezeki.Vardy, Peter. 2005. Kierkegaard . Yogyakarta: Kanisius.
-
7/30/2019 Fenomenologi Eksistensial Sebagai Instrumen Pereduksi Radikalisme Beragama
13/13
Peer review | Jurnal POROS : Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
13
Internet;Kusaeni, Akhmad, 2009, Ditawari Jadi Pelaku Bom Bunuh Diri ,
http://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-diri (13/06/2012).
Wahono, Tri, 2012, Dana Osama bin Laden Dipakai untuk Bom Bali I ,http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.I (13/06/2012).
http://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-dirihttp://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-dirihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.Ihttp://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-diri