fascio la

Upload: fitri-febrianti

Post on 06-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh vetebrata. Hepar pada vetebrata terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligament. 1Hati merupakan organ homeostasis yang memainkan peranan penting dalam proses metabolisme dalam manusia dan hewan. Hati mempunyai berbagai fungsi termasuk menyimpan glikogen, mensintesis protein plasma, dan menetralisir racun. Ia menghasilkan empedu yang penting bagi metabolisme. Ia melaksana dan mengawal berbagai fungsi biokimia jumlah besar yang memerlukan tisu khas. Istilah perubatan yang berkaitan dengan hati sering kali bermula dari perkataan Greek bagi hati iaitu hepar, menjadi hepato- atau hepatic. Hati berwarna perang kemerahan dan terletak di bawah diafragma iaitu di dalam rongga abdomen. Hati menerima makanan terlarut dalam darah apabila makanan ini tercerna dan diserap di usus. Namun, kerusakan hati dapat berpengaruh terhadap sintesis makanan dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.1Fascioliasis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit cacing trematoda Fasciola gigantica maupun F.hepatica, termasuk kelas Trematoda, filum Platyhelmintes dan genus Fasciola. Cacing tersebut bermigrasi dalam parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing Fasciola yang ada di Indonesia adalah Fasciola gigantica, dan siput yang bertindak sebagai inang antara adalah Lymnaea rubiginosa. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa siput Lrubiginosa merupakan siput yang resisten terhadap infeksi mirasidium F.hepatica. 2Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah rasa sakit di daerah hati, sakit perut, diare, demam dan anemia. Pada sapi dan domba, proses terpenting adalah terjadinya fibrosis hepatis dan peradangan kronis pada saluran empedu. Selanjutnya terjadi gangguan pertumbuhan, penurunan produksi susu dan berat badan. Gejala klinis yang menonjol adalah adanya edema di rahang bawah (submandibularis) pada hewan ruminansia yang menderita fascioliasis kronis. 3Berdasarkan hasil penelitian, dari berbagai hewan ruminansia yang ada di Indonesia, telah dilaporkan bahwa domba ekor tipis merupakan domba yang resisten terhadap infeksi fascioliasis dan daya resistensi tersebut dapat diturunkan secara genetik.

Di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6 milyar/ tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan, hilangnya karkas/hati yang rusak, hilangnya tenaga kerja, penurunan produksi susu 10-20 % dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Hepar

Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah. Ada beberapa fung hati yaitu: 11. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidratPembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan 1 samalain.Hatimengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).

2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemakHati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen : a. Senyawa 4 karbon KETON BODIES b. Senyawa 2 karbon ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol) c. Pembentukan cholesterol d.Pembentukan dan pemecahan fosfolipidHati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol. Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid3. Fungsi hati sebagai metabolisme proteinHati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan globulin dan organ utama bagi produksiurea.Ureamerupakan produk akhir metabolisme protein. globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang globulin hanya dibentuk di dalam hati.albumin mengandung 584 asam amino dengan BM 66.000.

4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darahHati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah yang beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung yang beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitaminSemua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K6. Fungsi hati sebagai detoksikasiHati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.

7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitasSel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi globulin sebagai imun livers mechanism. 1FungsihemodinamikHati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500 cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu tidak mendukung, terik matahari, shock. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah. 1B. Definisi

Fascioliasis adalah penyakit cacing penting yang disebabkan oleh dua trematoda Fasciola hepatica dan gigantica Fasciola.. Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang bersifat zoonosis. F. hepatica adalah ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk manusia Siklus hidup termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara parasit. Baru-baru ini, kerugian di seluruh dunia pada produktivitas ternak karena fascioliasis yang konservatif diperkirakan lebih dari US $ 3,2 miliar per tahun. Selain itu, fascioliasis sekarang dikenal sebagai penyakit manusia muncul: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 2,4 juta orang terinfeksi dengan Fasciola, dan 180 juta orang berada pada risiko infeksi. 5C. Etiologi

Fascioliasis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus fasciola. Berdasarkan taxonominya cacing ini mempunyai klsifikasi sebagai berikut:Phylum: Platyhelminthes

Sub Phylum: -

Kelas: Trematoda

Ordo: Digenea

Family: Fasciolidae

Genus:Fasciola

Species: Fasciola hepatica, Fasciola gigantika

Nama Daerah: Tidak diketahui.

Sedang secara anatomi fasciola berbentuk pipih dorsoventral. Ukuran dan bentukfasciola bervariasiF. gigantikaberukuran 25-75 X 5-12 mm, berwarna terang dan pundaknya tidak begitu nyata, telurnya berukuran 156-197 X 90-104 mikron.F. hepatikaberukuran 25-30 X 8-15 mm, berwarna coklat keabuan dan pundaknya lebar, telurnya berukuran 130-160 X 63-90 mikron. 9Penyakit ini terdapat di daerah yang lembab dan basah. F. gigantica tersebar di daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Asia, sedangkan F. hepatica tersebar di daerah dingin dan dataran tinggi di Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara dan Selatan. Penyakit ini sangat penting baik di negara yang beriklim tropis maupun subtropis, dan sebagai sumber perkembangbiakan adalah air.5Telur Fasciola sp. dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam keadaan yang lembab (dalam feses) dan cepat mengalami kerusakan apabila berada dalam keadaan yang kering. Larva cacing Fasciola sp. (sporosista, redia dan serkaria) dapat bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metaserkaria yang menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan apabila berada di tempat yang teduh dengan lingkungan yang lembab. Selanjutnya metaserkaria tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada di tempat yang panas dan kering. Cacing dewasa yang terdapat di dalam hati hewan dapat hidup selama 1-3 tahun. Sumber infeksi yang utama berasal dari kontamianan air dan daging atau produk lain asal hewan yang terinfeksi stadium infektif dari cacing fasciola. 10D. Morfologi dan Siklus HidupDi dalam tubuh inang utama yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan tubuhnya (mirasidium). Larva mirasidium kemudian berenang mencari siput Lymnea. 9Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Mirasidium setelah berada di dalam tubuh siput selama 2 minggu berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara asexual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehinga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya larva sporosis. 6

Melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian larva redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria. 5Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan segera keluar dari siput berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia, maka kista tersebut dapat menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa dalam beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali. 3

Spesies rentan adalah sapi, kambing, domba, babi, kelinci, gajah, kuda, anjing, kucing, keledai, kijang, jerapah, zebra, kangguru dan manusia. Pada inang yang tidak biasa, seperti manusia dan kuda, cacing Fasciola dapat ditemukan dalam paru-paru, di bawah kulit atau pada organ lain. 10Hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan hewan dewasa. Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing bersifat akut. Selama cacing muda bermigrasi di dalam parenkim hati, dapat menyebabkan kematian karena adanya kegagalan fungsi hati dan terjadinya perdarahan. Dampak infeksi F.gigantica diketahui lebih berat dan lebih infektif pada kambing dibandingkan pada domba. 9Infeksi cacing trematoda pada ruminansia biasanya berhubungan erat dengan tanaman semiakuatik karena siklus hidupnya mutlak memerlukan inang antara berupa siput air tawar.4

Lingkungan yang basah merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan Fasciola sp. karena perlu induk semang antara siput air tawar jenis Lymnea. Telur cacing Fasaciola sp. yang masih bercampur dengan feses tidak akan berkembang menjadi embrio. Suhu udara optimal untuk perkembangan embrio berkisar antara 22-30 C. 10Mirasidium yang keluar dari telur sangat aktif berenang mencari inang antara yang cocok, yaitu siput L.rubiginosa, dan daya tahan hidup mirasidium tidak lebih dari 40 jam. Setelah mirasidium masuk dalam tubuh siput akan berkembang menjadi sporosista dan redia. Selanjutnya redia memproduksi serkaria yang akan keluar dari tubuh siput mulai hari ke 40 sampai hari ke 55. 4Setelah serkaria keluar dari tubuh siput, maka akan kehilangan ekornya dan mulai terbentuk substansia kental yang menutupi seluruh permukaan tubuh (kista). Kista F.gigantica lebih banyakditemukan menempel pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya sekitar 2 cm di bawah permukaan air. Selain itu diketahui bahwa serkaria lebih menyukai tumbuhan air yang berwarna hijau. 4Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi pada hewan ruminansia besar dapat mencapai 60% dan pada domba 20%. 4Hewan bertulang belakang terinfestasi secara tidak sengaja menelan metasarkaria yang menempel pada tumbuhan air/rumput atau air minum yang mengandung metaserkaria. Di dalam usus manusia, parasit keluar dari kista (ekskistasi) dan bermigrasi dengan menembus dinding usus dan rongga perut menuju ke hati. Selanjutnya menuju dan tinggal di dalam suran empedu. Proses pendewasaan di dalam hati atau kantung empedu memerlukan waktu 2 (dua) bulan. Telur melewati saluran empedu menuju usus dan keluar ke tanah atau air bersama dengan feses. Seluruh siklus hidup memerlukan waktu 5 (lima) bulan. 5E. Patogenesis Fascioliasis pada ruminansia dapat berlangsung akut maupun kronis. Kasus yang akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta terjadinya perdarahan ke dalam peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari. Fascioliasis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati.Fascioliasis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa mengisap darah serta hilangnya persediaan zat besi (Subronto, 2007). Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. tergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal, anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degenarasi lemak dan sirosis hati. Pada invasi yang hebat terjadi perubahan jaringan hati menjadi jaringan ikat.18,20F.Gejala Klinis

Penularan fascioliasis oleh Fasciola hepatica pada manusia diakibat kebiasaan sebagian masyarakat mengkonsumsi hati mentah. Gejala klinis fascioliasis pada manusia tergantung dari intensitas infeksinya. Biasanya timbul beberapa hari setelah tertelan metaserkaria, yaitu ketika larva sampai di alat pencernaan dan cacing muda bermigrasi ke organ hati.4,5 Masa inkubasi fascioliasis pada manusia bervariasi, dapat berlangsung dalam beberapa hari, dalam 6 minggu, atau 2-3 bulan, bahkan bisa lebih lama. Gejala klinis yang paling menonjol adalah gejala anemia. Selain itu dapat timbul berupa demam dengan suhu badan 40-42C, anemia, nyeri perut dan gangguan pencernaan lainnya. Bila penyakit berlanjut dapat terjadi pembengkakan hati (hepatomegali), kekuningan (jaundice), ascites di rongga perut dan sesak. Pada kasus fascioliasis kronis dapat mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati.10G. Diagnosa Diagnosa fascioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis, namun sulit dilakukan maka sebagai penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Sedangkan diagnosa laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western blotting.17Penentuan diagnosa dapat dibuktikan dengan pemeriksaan tinja dan pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing. Telur Fasciola memiliki karakteristik yakni ukuran Telur Fasciola berbentuk ovoid dan memiliki operkulum di salah satu kutubnya. Telur cacing ini memiliki dinding telur yang tipis hingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium atau metilen biru. Di dalam telur dapat ditemukan blastomer yang memenuhi rongga telur. Telur fasciola serupa dengan telur paramphistomum. Telur fasciola berwarna kekuningan, sedangkan telur paramphistomum berwarna keabu-abuan. Pendekatan alternatif untuk diagnosis fascioliasis adalah dengan uji serologi dan coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya peningkatan antibodidalam serum menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan sensitivitas 91 % dan spesifisitas 88 %. Coproantigen dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam feses menggunakan Sandwich-ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke 9 setelah infeksi dengan sensitivitas 95 % dan spesifisitas 91 %. Pada infeksi parasiter umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik dan seringkali diikuti dengan peningkatan isotipe antibodi imunoglobulin E di dalam serum darah. Tingkat isotipe antibodi IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing dalam tinja, usia penderita, gejala klinis, dan jumlah eosinofil.17Uji ELISA umum dikembangkan untuk diagnosis fascioliasis menggunakan antigen dari ekstrak cacing dewasa, atau ekskretori/sekretori (ES) atau rekombinan. Uji ELISA-antibodi sering diikuti dengan uji imunobloting, dimana uji imunobloting pada serum manusia, kelinci, sapi dan domba yang terinfeksi F. hepatica mempunyai 2 pita protein yang sama, yaitu protein dengan berat molekul 17 kDa dan 63 kDa. Uji ELISA untuk deteksi antigen pada serum darah manusia yang terinfeksi F. hepatica telah dikembangkan dengan menggunakan anti-AES mouse monoclonal antibody (IgG2a). dapat juga digunakan protein yang spesifik, yaitu mono-spesifik protein ES anti-49,5 kDa dengan sensitifitas 91,4% dan spesifisitas 92,3%, serta tingkat akurasi 91,8% . Selain untuk menguji serum, uji ELISA-antigen dapat pula digunakan untuk deteksi sirkulasi antigen yang terdapat pada tinja penderita fascioliasis, dan perangkat uji ELISA-antigen ini telah diperdagangkan secara komersial di Kuba.17,21,22,23,24H. Penatalaksanaan1. Medikamentosaa. Nitazoxanide10,25,26Nitazoxanide merupakan obat alternatif setelah triclabendazole, terutama pada fase kronik infeksi.

Nitazoxanide diberikan sebanyak 2x500 mg selama 7 hari pada anak usia 12 tahun ke atas dan orang dewasa. Dosis diturunkan menjadi 2x100 mg pada anak usia 1-3 tahun dan sebanyak 2x200 mg pada anak usia 4-11 tahun. b. Praziquantel25,26Walaupun secara umum aman dan efektif untuk infeksi trematoda lain, praziquantel sedikit menunjukkan efek terhadap F. Hepatica. Merupakan obat setelah bithionol maupun triclabendazole. Praziquantel bekerja dengan meningkatkan permeabilitas kulit trematoda terhadap kalsium, sehingga menyebabkan kontraksi pada otot dari parasit. Namun demikian, pada beberapa studi menyebutkan bahwa praziquantel tidak efektif sehingga tidak direkomendasikan dalam pengobatan infeksi F.Hepatica.

Dosis untuk anak sama dengan dewasa, yaitu 25 mg/kgBB/8 jam per oral setelah makan selama 1-2 hari.

Interkasi obat: hydantoin mengurangi kadar praziquantel dalam serum, sehingga memungkinkan ketidakefektifan pengobatan.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, cysticerosis pada mata

Perhatian: Pada hewan percobaan, menunjukkan risiko kelainan pada janinc. Bithionol25,26,27Bithionol merupakan obat pilihan yang digunakan pada pengobatan infeksi F. Hepatica. Bithionol bekerja dengan mengahmbat fosforilasi oksidatif parasit, mendorong ke arah blokade sintesis ATP. Di amerika, golongan fenol terhalogenasi ini bukan lagi menjadi obat pilihan utama pada terapi fascioliasis.

Dosis anak sama dengan dosis dewasa, yaitu 30-50 mg/kgBB per oral selama 15 hari.

Interaksi obat: tidak dilaporkan

Kontraindikasi: hipersentitivitas

Perhatian: Risiko pada janin diteliti pada hewan percobaan, tapi tidak pada manusia. Dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah, diare, sakit perut, hipotensi, pusing, sakit kepala, fotosensitivitas, atau pruritus. d. Triclabendazole28Triclabendazole merupakan obat golongan benzimidazole yang dipakai sebagai obat pilihan utama dalam fascioliasis. Penelitian terbaru megemukakan bahwa obat dokter hewan ini efektif pada anak-anak dan dewasa. Triclabendazole efektif dan aman, baik pada fase akut maupun kronik, dan dapat melawan parasit dewasa maupun imatur dengan tingkat kesembuhan tinggi, namun efek samping ringan.

Dosis untuk anak sama dengan dewasa, yaitu 10 mg/kgBB single dose. Pada pasien dengan infeksi yang berat atau pada pasien yang tidak berespon pada pengobatan single dose, dapat diberikan double dose, yaitu 20 mg/kgBB dalam 12-24 jam.

Interaksi obat: Tidakdilaporkan.

Efek samping: nausea, vomitus, dan nyeri abdomen

Perhatian: pada hewan percobaan, terdapat risiko kelainan pada janin. Pda manusia, dapat menyebabkan sakit kepala dan pusing temporer.e. Obat lain29,30Obat lain, seperti emetine, dihidroemetine, metronidazol, albendazol, niclofolan, chloroquin, hexachloro-oara-xyol, artesunat, dan artemeter mengakibatkan toksisitas sehingga tidak lagi direkomendasikan.

Fascioliasis dengan komplikasi kolangitis ascenden perlu diberikan pengobatan antibiotik

2. Non medikamentosa25a. Bed restb. DietDiet tinggi protein dan pemberian zat besi serta vitamin

c. PembedahanPengeluaran parasit pada endoskopi retrograd kolangiopakreatografi efektif pada tahap biliar. Fascioliasis dengan kolangitis ascenden memerlukan terapi pembedahan.

I. Komplikasi25a. Berhubungan dengan anemia, terutama pada anak-anakb. Pankreatitisc. Fibrosis biliarisd. Pada keadaan yang jarang, dapat menyebabkan kolangiokarsinoma.

J. Prognosis25Fascioliasis jarang mengakibatkan kemaitan pada manusia. Prognosis penyakit baik dengan pengobatan yang adekuat. K. Pelaporan, Pencegahan, dan Pemberantasan

1. Pelaporan25a. Melakukan pemeriksaan ternak di rumah potong hewanb. Menyampaikan laporan kepada Dinas setempat2. Pencegahan25a. Mencuci sayuran dengan kalium permanganat atau vinegar 6% selama 5-10 menit sehingga membunuh metaserkaria.b. Memasak sayuran sebelum dikonsumsi.c. Mencegah kontaminasi air kotor

d. Menjaga kebersihan dan kehigenitasan lingkungan

e. memperbaiki tata cara pemberian pakan pada ternak, yaitu dihindarkan pengambilan jerami yang berasal dari sawah dekat kandang. Jika terpaksa, jerami harus diambil dengan pemotongan minimal 30 cm dari permukaan tanah. Jerami yang berasal dari sekitar pemukiman atau dekat kandang perlu dikeringkan dengan cara dijemur, minimal 3 hari di bawah sinar matahari.f. Mengobati hewan yang dicurigai terkena fascioliasis dengan menggunakan triclabendazol maupun bithionol.

g. Pengembangan vaksinasi untuk mencegah fascioliasis

3. Pengendalian dan Pemberantasan25Terdapat 5 golongan zat kimia yang dapat digunakan dalam memberantas F. Hepatica:

a. Golongan fenol halogenasi Bithionol Hexachlorophene Nitroxynilb. Golongan salicylanilides : Closantel Rafoxanidec. Golongan benzimidazoles : Triclabendazole Albendazole Mebendazol

Luxabendazoled. Golongan sulfonamides : Clorsulone. Golongan phenoxyalkanes DiamphenetidePemberantasan inang sementara, yaitu siput air tawar L. rubiginosa dengan menggunakan molukisida, seperti copper sulfat.

Pemberantasan siput secara biologik yang dilakukan dengan melepaskan bebek/itik. Namun, sebagai perbaikan tatalaksana dalam beternak, sebaiknya dihindarkan penggembalaan bebek/itik pada daerah yang tergenang air.BAB IIIPENUTUP

Simpulan

1. Fasciola hepatica, parasit cacing pipih dari kelas Trematoda, filum Platyhelminthes menginfeksi hati dari berbagai mamalia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metaserkaria, dan dapat juga menyerang manusia.2. Penyakit infeksi Fasciola hepatica disebut fascioliasis, yang jarang menyebabkan kematian, namun efek ekonomi hewan yang terinfeksi sangat merugikan.3. Penatalaksanaan fascioliasis meliputi penatalaksanaan medikamentosa dengan obat pilihan utama saat ini adalah triclabendazol serta penatalaksanaan non medikamentosa berupa bed rest, diet, dan pembedahan.4. langkah preventif terhadap fascioliasis meliputi pelaporan, pencegahan, dan pemberantasan Fasciola hepatica. Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan dan kehigenitasan lingkungan serta makanan yang diasup, serta vaksin yang hingga saat ini masih dalam penelitian.Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengobatan Fasciola hepatica mengingat masih kurangnya bukti-bukti klinis mengenai keberhasilan dan efek samping pengobatan Fasciola hepatica2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai vaksin untuk fascioliasisDAFTAR PUSTAKA

1. Ezzat et al. Journal of Medical Case Reports. 2010. Endoscopic management of biliary fascioliasis:a case report 4:83 http://www.jmedicalcasereports.com/content/4/1/832. Agnamey et al. 2012. Research ArticleCross-Sectional Serological Survey of Human Fascioliasis in Haiti. Journal of Parasitology Research Volume 2012, Article ID 751951, 3 pages doi:10.1155/2012/751951

3. Nyindo et al. 2015. Review Article Fascioliasis: An Ongoing Zoonotic Trematode Infection. Volume 2015, Article ID 786195, 8 page 8 http://dx.doi.org/10.1155/2015/786195

4. Tezer et al. 2013. Evaluation of Cases with Fasciola hepatica iInfection: Experience in 6 Children. Asian Pacific Journal of Tropical Disease. Asian Pac J Trop Dis 2013; 3(3): 211-2165. Mas-Corna et al. 2010. Epidemiology of Human Fascioliasis: a Review and Proposed New Classification. World Health Organiation.

6. Orti et al. 2000. Human Fascioliasis: Prevalence and Tratment in a Rural Area of Peru. Vol 2 No 1

7. Dar Y et al. 2012. Molecular Identification of Fasciola spp in Egypt. www.parasite-journal.org8. zafer et al. 2009. Hepatobilliary Fascioliasis: Imaging Characteristics with a New Finding. Turkish Society of Radiology.

9. Adnan K et al. 2003. Pediatric Fascioliasis: Report of Three Cases. The Tourkish Journal of Pediatrics 45; 51-54

10. Jose Lino et al. 2013. Fascioliasis and Intestinal Parasitoses Affecting Schoolchildren in Atlixco, Puebla State, Mexico: Epidemiology and Treatment with Nitazoxanide. 11. Shrifi Y et al. 2014. Triclabendazole Effect on Protease Enzym Activity in the Excretory-Secretory Products of Fasciola hepatica in Vitro. Iranian J Parasitol; 9 (1):107-113.12. Karsen H et al. 2011. Evaluation of oxidative status in patients with fasciola hepatica infection. African Health Science 2011; (S1): S14-S19.

13. Bennema SC et al. 2014. Fasciola hepatica in Bovines in Braxil: data avaibility and spatial distribution. Rev Inst Med Trop. Sao Paulo; 56(1): 35-41.

14. Naomi JF et al. 2011. Predicting Impact of Climate change on Fasciola hepatica risk. Plos One; 6 (1): 1-9.

15. Hawramy TAH et al. 2012. Sporadic incidence of Fascioliasis detected during Hepatobiliary procedures: a study of 18 patients from Sulaimaniyah governorate. BMC Researsch Note 2012; 5 (691): 1-6.

16. Ashrafi K et al. 2015. The endemicity of human Fascioliasis in Guilan Province Northern Iran: the baseline for implementation of control strategies. Iran J Public health; 44 (4): 501-511.

17. Morales A et al. 2012. Evaluation and characterization of Fasciola hepatica Tegument Protein Extract for Serodiagnosis of Human Fascioliasis. Clinical and Vaccine Imunology; 19 (11): 1870-1878.

18. Caron et al. 2014. New insight in lymnaeid snails (mollusca, gastropoda) as intermediate hosts of Fasciola hepatica (Trematoda, Digenea) in Belgium and Luxembourg. Parasites and Vectors; 7 (66): 3-8.

19. Brockwell et al. 2014. Confirmation of Fasciola hepatica resistant to Triclabendazole in naturally infected Australian beef and dairy cattle. International Journal dan Parasitology : Drugs and Drugs Resistance; 4(2014): 48-54.

20. Abdi J et al. 2013. New features of fasciolisasis in human and animal infection in Ilam provence, Western Iran. Gastroenterology and Hepatology from bed to bench; 6 (3): 152-155.21. Fica A, et al. Acute fascioliasisclinical and epidemiological features of four patients in Chile, European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases 2011; 18: 9196

22. Hernndez KC, et al. Development of Two Antibody Detection Enzyme-Linked Immunosorbent Assays for Serodiagnosis of Human Chronic Fascioliasis, Journal of Clinical Microbiology 2014; 52(3): 766772

23. Santana BG, et al. The Diagnosis of Human Fascioliasis by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Using Recombinant Cathepsin L Protease, Neglected and tropical disease 2013; 7(9): 1-724. Valero MA, et al. Assessing the validity of an ELISA test for the serological diagnosis of human fascioliasis in different epidemiological situations, Tropical Medicine and International Health 2012; 17(5): 63063625. Tolan RW. Fascioliasis Due to Fasciola hepatica and Fasciola gigantica Infection: An Update on This Neglected Neglected Tropical Disease, CE Update 2010; 42 (2): 107-11626. Sierra RM, et al. Fascioliasis in Argentina: retrospective overview, critical analysis and baseline for future research, Parasites and Vectors 2011; 4:3-18

27. Cabada MM, et al. New developments in epidemiology, diagnosis, and treatment of fascioliasis, Current Opinion in Infectious Diseases 2012; 25(5): 518-52228. Keiser J, et al. Efficacy and Safety of Artemether in the Treatment of Chronic Fascioliasis in Egypt: Exploratory Phase-2 Trials, Neglected and tropical disease 2011; 5(9): 1-9

29. Villegas F, et al. Administration of Triclabendazole Is Safe and Effective in Controlling Fascioliasis in an Endemic Community of the Bolivian Altiplano, Neglected and tropical disease 2012; 6(8): 1-7

30. Kaya M, et al. Clinical presentation and management of Fasciola hepatica infection: Single-center experience, World J Gastroenterol. 2011; 17(44): 4899-4904

20