faktor risiko kejadian stunted pada anak usia 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/naskah...

15
FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 BULAN DI DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP, KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : RESTIKA INDAH LESTARI J 310 141 046 PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016

Upload: leminh

Post on 06-Jul-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 BULAN DI DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP,

KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Disusun oleh :

RESTIKA INDAH LESTARI J 310 141 046

PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016

Page 2: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

HALAMAN PER

Page 3: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from
Page 4: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil pekerjaan

saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga

pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun

yang belum/tidak diterbitkan sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar

pustaka.

Surakarta, 22 Maret 2016

Restika Indah Lestari

Page 5: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 BULAN DI DESA HARGOREJO, KECAMATAN KOKAP, KABUPATEN KULONPROGO,

YOGYAKARTA

Restika Indah Lestari J310141046 Pembimbing : 1. Dwi Sarbini, SST., M.Kes

2. Luluk Ria Rakhma, S.Gz., M.Gizi

Program Studi Ilmu Gizi Jenjang S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta 57162 Email : [email protected]

ABSTRAK

Pemerintah mengupayakan adanya perbaikan gizi penduduk Indonesia melalui Program Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu program gizi yang dimulai sejak janin berada di kandungan sampai anak berusia 2 tahun. Salah satu target dari program ini adalah menurunkan prevalesi stunted menjadi 32% untuk anak usia di bawah lima tahun pada tahun 2015. Stunted dan severe stunted adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Stunted terjadi karena kekurangan gizi dalam jangka panjang yang mengakibatkan perkembangan kemampuan kognitif tidak maksimal, mudah sakit serta berdaya saing rendah. Mengetahui hubungan riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat diare, asupan protein, asupan seng dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Rancangan penelitian cross sectional. Jumlah subyek penelitian sebanyak 46 balita usia 7-24 bulan. Data riwayat berat badan, riwayat ISPA, riwayat diare diperoleh dari wawancara, data asupan protein dan seng diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaire-Semi Qualitative (FFQ-SQ) dan data tinggi badan balita diperoleh dari pengukuran menggunakan lenghtboard atau micotoise. Data dianalisis dengan korelasi Rank Spearman dan Pearson Product Moment. Prevalensi kejadian stunted sebesar 45,7%, prevalensi riwayat BBLR sebesar 19,6%, prevalensi riwayat ISPA sebesar 76,1%, prevalensi riwayat diare sebesar 39,1%, anak yang memiliki tingkat kecukupan asupan protein kategori cukup sebesar 60,9%, anak yang memiliki tingkat kecukupan asupan protein kategori cukup sebesar 37%. Ada hubungan riwayat berat lahir (p: 0,038), riwayat ISPA (p: 0,005), asupan protein (p: 0,003), asupan seng (p: 0,005) dengan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan. Tidak terdapat hubungan riwayat diare (p: 0,851) dengan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan. Kata kunci: stunted, BBLR, ISPA, Diare, Protein, Seng

Page 6: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

2

ABSTRACT

Government strives for their nutritional improvement of Indonesians through First Day of Life 1000 program (FDL), a nutrition program that is started since the fetus is in the womb until the child is 2 years old. One of the targets of this program is to decrease the prevalence of stunted to 32 % in under five children in 2015. Stunted and severe stunted are nutritional status based on indexs of the Length for Age (PB/U) or Height for Age (TB/U). Stunted occurs because of malnutrition in the long term that to impairment development of cognitive abilities, easily to get sicks and low competitiveness. To assess the correlations between histories of low birth weight, upper respiratory infections and diarrhea, intakes of protein and zinc and stunted in children aged 7-24 months in Hargorejo, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta. This was a cross sectional study. Number of subjects was 46 children aged 7-24 months. Histories of low birth weight, upper respiratory infections, and diarrhea, data were obtained from interviews, the intakes of protein and zinc data were obtained through the method of the Semi Qualitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from measurements used length board or microtoise. Data were analyzed using Spearman Rank correlation and Pearson Product Moment test. Prevalence of stunted was 45,7%, prevalence of history of low birth weight was 19,6%, prevalence of history of respiratory infections was 76,1%, prevalence history of diarrhea was 39,1%. The numbers of subjects who had sufficient intakes of protein and zinc were 60,9% and 37%, respectively. There were correlations between history of low birth weight (p: 0,038), history of upper respiratory infections (p: 0,005), intake of protein (p: 0,003), intake of zinc (p: 0,005) and stunted in children aged 7-24 months. There was not correlation between diarrhea history (p: 0,851) and stunted in children aged 7-24 months.

Keyword: stunted, low birth weight, upper respiratory infections, diarrhea, protein, zinc

PENDAHULUAN

Pemerintah mengupayakan adanya perbaikan gizi penduduk Indonesia melalui Program Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu program gizi yang dimulai sejak janin berada di kandungan sampai anak berusia 2 tahun. Salah satu target dari program ini adalah menurunkan prevalesi stunted menjadi 32% untuk anak usia di bawah lima tahun pada tahun 2015 (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013). Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 dan tahun 2013, prevalensi stunted mengalami kenaikan sebesar 1,6% yaitu dari

35,6% menjadi 37,2% (Balitbangkes 2010; Balitbangkes 2013).

Stunted merupakan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama. Anak yang stunted memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat berkembang dan pulih kembali (Gibney et al, 2009; Kemenkes, 2011). Anak yang gagal tumbuh dapat mengalami defisit perkembangan, gangguan kognitif, prestasi yang rendah saat usia sekolah dan saat dewasa menjadi tidak produktif yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu bangsa (Allen & Gillespie, 2001; Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013).

Page 7: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

3

United Nations Children’s Fund/UNICEF (1998) mempublikasikan secara umum status gizi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor langsung, meliputi asupan dan infeksi; faktor tidak langsung meliputi, ketersediaan pangan rumah tangga, pola asuh, serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan.. Faktor lain seperti Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) diasumsikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunted.

Anak yang BBLR mengalami gangguan pencernaan karena belum berfungsi baik, seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein yang berdampak pada kurangnya cadangan zat gizi dalam tubuh. Akibatnya pertumbuhan bayi BBLR akan terganggu dan dapat menyebabkan anak stunted (Nasution, 2014).

Anak yang dilahirkan dengan BBLR jika nutrisinya tidak terpenuhi dalam jangka panjang akan mengalami kegagalan pertumbuhan, anak menjadi stunted (Mionoki, dkk, 2015). Hasil penelitian melaporkan anak yang terlahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram berisiko 1,97 kali menjadi stunted pada anak usia 0-36 bulan di Cina (Jiang, et al, 2014)

Seorang anak yang mengalami defisien gizi mudah terkena infeksi. Penyakit infeksi yang menjadi pembunuh utama bayi dan balita adalah diare dan infeksi saluran napas, utamanya pneumonia (Notoatmodjo, 2007).

Kekurangan gizi pada anak dihubungkan dengan defisiensi makronutrien maupun mikronutrien. Anak yang mengalami defisiensi asupan protein pada masa seribu hari pertama kehidupan dan berlangsung lama meskipun asupan energinya tercukupi akan mengalami

pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Almatsier, 2011). Seng berfungsi dalam sintesis protein serta sebagai komponen dari beberapa enzim sehingga defisiensi seng merupakan faktor penyebab stunted (Proverawati dan Wati, 2011).

Berdasarkan laporan tahun 2014 Puskesmas Hargorejo Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta didapatkan prevalensi stunted anak usia 7-24 bulan sebesar 41,12%. Oleh karena itu peneliti tertarik mengetahui hubungan riwayat BBLR, riwayat penyakit ISPA, riwayat diare, asupan protein, asupan seng dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita usia 7-24 bulan.

Teknik pengambilan sampel menggunakan systematic random sampling dengan kriteria inklusi balita diasuh oleh ibu balita, tidak memiliki cacat fisik/kelainan tulang, tidak memiliki penyakit bawaan lahir. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 46 balita.

Data tinggi badan balita diperoleh dengan pengukuran langsung menggunakan microtoise atau lenghtboard. Data riwayat berat badan lahir, riwayat ISPA selama dua bulan, riwayat diare selama dua bulan diperoleh dengan wawancara ibu balita sedangkan asupan protein dan seng diperoleh menggunakan metode food frequency questionnaire-semi qualitative (FFQ-SQ).

Page 8: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

4

Pengolahan dan analisis data menggunakan uji pearson product moment dan rank spearman untuk mengetahui hubungan riwayat berat badan lahir, riwayat diare, riwayat ISPA, asupan protein dan seng dengan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Hargorejo merupakan satu dari tiga desa yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kokap I. Dua desa yang lain adalah Hargomulyo dan Kalirejo. Puskesmas Kokap I terletak di Desa Hargorejo, tepatnya di Dusun Ngaseman. Puskesmas Kokap I memiliki kasus balita stunted yang cukup tinggi pada tahun 2014, yaitu sebesar 26,03%. Sementara target

puskesmas terhadap kasus stunted adalah kurang dari 20%, sehingga kasus ini masuk dalam perencanaan program gizi tahunan Puskesmas Kokap I di tahun 2015.

1. Analisis Univariat

a. Karakteristik subyek Distribusi jumlah subyek

yang hampir sama antara usia 7-11 bulan (47,8%) dan usia 1-2 tahun (52,2%). Distribusi jumlah subyek berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar berjenis kelamin perempuan (56,5%) dan laki-laki (43,5%). Data ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Karakteristik subyek Jumlah

n %

1. Usia a. 7–11 (bulan) b. 1–2 (tahun)

22 24

47,8 52,2

2. Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan

20 26

43,5 56,5

b. Distribusi kejadian stunted, riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat diare, asupan protein, asupan seng

Distribusi kejadian stunted, riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat diare, tingkat kecukupan asupan protein, tingkat kecukupan asupan seng dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Kejadian Stunted riwayat BBLR, riwayat ISPA, riwayat diare, tingkat

kecukupan asupan protein, tingkat kecukupan asupan seng

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Kejadian stunted Stunted Normal

21 25

45,7 54,3

Riwayat BBLR Berat lahir rendah Normal

9

37

19,6 80,4

Riwayat ISPA Pernah Tidak pernah

35 11

76,1 23,9

Page 9: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

5

Riwayat Diare Pernah Tidak pernah

18 28

39,1 60,9

Tingkat kecukupan protein Kurang Cukup

18 28

39,1 60,9

Tingkat kecukupan seng Kurang Cukup

29 17

63 37

Tabel 2 menunjukkan adanya

kejadian stunted sebesar 45,7%; anak yang memiliki riwayat BBLR sebesar 19,6%; sebagian besar anak pernah menderita ISPA (76,1%) selama dua bulan (Oktober-November 2015); anak yang

mengalami diare selama dua bulan (Oktober- November 2015) sebesar 39,1%; anak yang memiliki asupan protein kurang sebesar 39,1% dan anak yang memiliki asupan seng kurang sebesar 63%.

2. Analisis Bivariat

Distibusi riwayat berat lahir, riwayat ISPA, riwayat Diare, tingkat

kecukupan asupan protein dan tingkat kecukupan asupan seng dengan kejadian stunted dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3.

Distribusi Riwayat BBLR, Riwayat ISPA, Riwayat Diare, Tingkat Kecukupan Asupan Protein dan Tingkat Kecukupan Asupan Seng dengan Kejadian Stunted

Berat badan lahir

Kejadian stunted Jumlah

p Stunted Normal

n % n % n %

Riwayat BBLR BBLR Normal

8 13

88,9 35,1

1

24

11,1 64,9

9

37

100 100

0,038*

Riwayat ISPA Pernah Tidak pernah

20 1

57,1 9,1

15 10

42,9 90,9

35 11

100 100

0,005*

Riwayat Diare Pernah Tidak pernah

9 12

50

42,9

9

16

50

57,1

18 28

100 100

0,851**

Tingkat Kecukupan Asupan Protein Kurang Cukup

14 7

77,8 25

4

21

22,2 75

18 28

100 100

0,003*

Tingkat Kecukupan Asupan Seng Kurang Cukup

18 3

62,1 17,6

11 14

37,9 82,4

29 17

100 100

0,005*

*uji pearson product moment ** uji rank spearman

Page 10: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

6

Proporsi kejadian stunted pada balita lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki riwayat BBLR (88,9%) dibandingkan balita yang terlahir dengan berat badan normal (35,1%). Ibu hamil dengan gizi kurang yang terjadi pada trisemester awal sampai akhir kehamilan akan berdampak pada kelahiran anak dengan berat lahir rendah yang nantinya akan menjadi stunted (Kusharisupeni,1997).

Nasution (2014) menyatakan bayi BBLR mengalami gangguan saluran pencernaan karena belum berfungsi secara baik, seperti kurang dapat meyerap lemak dan mencerna protein mengakibatkan kurangnya cadangan zat gizi dalam tubuh. Akibatnya pertumbuhan bayi BBLR akan terganggu, bila keadaan ini berlanjut dengan pemberian makan yang tidak cukup, sering mengalami infeksi dan perawatan kesehatan yang tidak baik dapat menyebabkan anak stunted.

Teori lain menyatakan tumbuh kembang anak yang terlahir dengan BBLR tidak seoptimal bayi yang terlahir dengan berat normal, terutama pada usia 5 tahun pertama. Tubuh anak akan lebih pendek dan kurus sehingga terlihat lebih kecil dari anak seusianya yang bergizi baik (Moehyi, 2008).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasution (2014) di Kota Yogyakarta menemukan pada anak usia 6-24 bulan yang terlahir dengan BBLR memiliki 5,6 kali lebih besar untuk menjadi stunted dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan normal. Gagal tumbuh pada usia dini (2 bulan) pada periode selanjutnya memiliki risiko mengalami gagal tumbuh. Penelitian serupa yang dilakukan di Aceh pada anak usia 6-24 bulan oleh Lestari, dkk (2014) melaporkan anak yang terlahir dengan BBLR memiliki risiko

menjadi anak stunted sebesar 3,26 kali dibandingkan dengan anak yang terlahir berat normal.

Proporsi kejadian stunted pada balita lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki riwayat ISPA (57,1%) dibandingkan balita tanpa riwayat ISPA (9,1%). Anak yang mempunyai riwayat ISPA memiliki risiko menjadi stunted dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat ISPA.

ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh anak. Penyakit infeksi memberikan dampak negatif terhadap status gizi anak dalam hal mengurangi nafsu makan dan penyerapan zat gizi dalam usus, terjadi peningkatan katabolisme sehingga cadangan zat gizi yang tersedia tidak cukup untuk pembentukan jaringan tubuh dan pertumbuhan (ACF International, 2007 dalam Lestari, 2014). ISPA yang diderita anak menyebabkan kenaikan suhu sehingga terjadi peningkatan kebutuhan asupan gizi. Namun kondisi yang seperti ini yang tidak diimbangi peningkatan asupan zat gizi dapat menyebabkan malnutrisi dan gagal tumbuh (Abuya, et al, 2012 dalam Lestari, 2014).

Penelitian yang dilakukan pada balita usia 12-24 bulan di Semarang oleh Al-Anshori (2013) menyatakan anak yang memiliki riwayat penyakit ISPA berisiko 4 kali lebih besar terjadi stunting dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit ISPA. Penelitian lain yang dilakukan di Aceh pada anak usia 6-24 bulan melaporkan anak yang menderita ISPA memiliki risiko 5,71 kali untuk menjadi stunted dibanding dengan anak yang tidak pernah menderita ISPA dalam 2 bulan terakhir (Lestari, dkk., 2014).

Page 11: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

7

Proporsi kejadian stunted pada balita yang memiliki riwayat diare (50%) dan balita tanpa riwayat diare (42,9%) tidak berbeda jauh. Tidak terdapat hubungan antara kejadian stunted dan riwayat diare.

Dampak langsung dari diare adalah penurunan berat badan dibandingkan dampak pada terhambatnya tinggi badan. Anak yang menderita diare akan mengalami anoreksia dan dehidrasi yang akan berdampak pada penurunan berat badan (Supariasa, 2012).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian stunted adalah pola asuh yang salah satunya adalah praktek pemberian makan. Hasil wawancara langsung, responden mengakui apabila anak-anak mereka lebih menyukai makan jajanan kemasan dibandingkan dengan makanan yang yang telah disediakan oleh responden. Tidak hanya itu, responden akan berhenti menyuapi makanan ke anak apabila anak sudah tidak ingin makan meskipun makanan belum habis. Hal ini dibuktikan dari penelitian Astuti (2016) yang dilakukan pada subyek, tempat dan variabel terikat yang sama yaitu skor kuesioner terendah pada pernyataan “Menghentikan menyuapi si anak saat anak merasa kenyang, meskipun makanan belum habis”.

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2016) melaporkan terdapat hubungan antara pola asuh dan kejadian stunted (p: 0,031). Pola asuh yang meliputi praktek pemberian makan mempengaruhi kejadian stunted apabila pemberian makan tidak memperhatikan kuantitas dan kualitas gizi. Praktek pemberian makan yang buruk mengakibatkan anak tidak mendapatkan asupan energi dan zat gizi lain dengan seimbang dan

selanjutnya berdampak terhadap terjadinya gangguan pertumbuhan (Astari, 2005). Porsi makan yang telah diatur atau diberikan oleh anak tentu sesuai dengan standar sehingga saat anak sudah merasa kenyang namun makanan belum habis diusahakan dan dibujuk untuk menghabiskan persentase pola asuh gizi yang dilakukan ibu dalam kategori baik yaitu ≥ 50% (Azwar, 2012).

Hasil penilitian ini tidak sejalan yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2014) di Aceh melaporkan bahwa anak yang mendeita diare berisiko 5,04 kali menjadi stunted pada anak usia 6-24 bulan. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Efendi (2015) di Puskesmas Gilingan Surakarta yang menyatakan tidak ada hubungan kejadian stunted dan riwayat diare (p: 0,548).

Proporsi kejadian stunted pada balita lebih banyak ditemukan pada balita yang asupan proteinnya kurang (77,8%) dibandingkan pada balita yang asupan proteinnya cukup (25%). Anak yang memiliki asupan protein kurang berisiko menjadi stunted dibandingkan dengan anak yang memiliki asupan protein cukup.

Protein berfungsi sebagai pembentuk jaringan baru di masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara, memperbaiki serta mengganti jaringan yang rusak (Achmadi, 2013). Anak yang mengalami defisiensi asupan protein pada masa seribu hari pertama kehidupan dan berlangsung lama meskipun asupan energinya tercukupi akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Almatsier, 2004). Hasil uji regresi logistik menunjukan anak yang mengalami defisiensi asupan protein berisiko menjadi stunting 1.926 kali lebih besar dari anak yang

Page 12: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

8

asupan proteinnya tercukupi (Picauly & Toy, 2013).

Pertumbuhan yang terjadi pada anak membutuhkan peningkatan jumlah total protein dalam tubuh sehingga membutuhkan asupan protein yang lebih besar dibanding orang dewasa yang telah terhenti masa pertumbuhannya. Anak–anak di Negara Barat mengkonsumsi lebih banyak protein dari kebutuhan dibanding dengan di negara berkembang. Seorang anak yang kekurangan asupan proteinnya akan tumbuh lebih lambat dibanding anak yang asupan proteinnya cukup (Bender, 2002)

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian pada anak usia 12-59 bulan di Sumatera oleh Fitri (2012) yang menyatakan bahwa proporsi kejadian stunting yang dialami balita dengan asupan protein kurang lebih banyak dibandingkan balita dengan asupan protein cukup. Balita yang memiliki asupan protein kurang, berisiko menjadi stunting sebesar 1,2 kali dibanding dengan balita yang memiliki asupan protein cukup.

Proporsi kejadian stunted pada balita lebih banyak ditemukan pada balita yang asupan sengnya kurang (62,1%) dibandingkan pada balita yang asupan sengnya cukup (17,6%). Anak yang memiliki asupan seng kurang berisiko menjadi stunted dibandingkan dengan anak yang memiliki asupan seng cukup.

Seng berperan dalam fungsi kekebalan, yaitu dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan antiodi oleh sel B. Seng berperan pula dalam detoksifikasi alkohol dan metabolisme vitamin A. Dengan terkaitnya seng dengan metabolisme vitamin A, berarti seng terkait dengan berbagai fungsi vitamin A. Karena kekurangan seng

mengganggu metabolisme vitamin A. Kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T sehingga seseorang yang kekurangan vitamin A mudah terkena infeksi (Almatsier, 2004). Anak yang malnutrisi lebih mudah terkena infeksi menyebabkan anak tidak ingin makan dan mereka dengan cepat memakai protein dan energi dalam tubuhnya sehingga menyebabkan pertumbuhan melambat sebagai tanda malnutrisi (Biddulph and Stace, 1999).

Kekurangan seng berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan, seperti rendahnya Insuline-like Growth Factor I (IGF-1), Growth Hormone (GH), reseptor dan GH binding protein RNA. Rendahnya konsentrasi hormon-hormon tersebut dapat menghambat pertumbuhan linier hingga terhentinya pertambahan berat badan. Cepatnya masa pertumbuhan (growth spurt) pada masa balita menyebabkan cepatnya sintesis jaringan yang berdampak pada rendahnya serum dan plasma seng. Seng berperan dalam pembentukan dan mineralisasi tulang, sehingga pada kasus defisiensi seng metabolik GH terhambat yang mengakibatkan sintesis dan sekresi IGF-1 berkurang (Adriani & Wirjatmadi, 2014). Penelitian yang dilakukan Wessells dan Brown (2012) menyatakan prevalensi stunted pada balita berhubungan positif dengan penilaian asupan seng inadekuat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Anindita (2012) di Semarang yang menyatakan ada hubungan antara tingkat kecukupan seng dengan stunted (pendek) pada balita. Hasil penelitian tersebut melaporkan sebesar 63,6% balita memiliki tingkat kecukupan seng yang kurang dan sisanya 36,4%

Page 13: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

9

memiliki tingkat kecukupan yang baik

KESIMPULAN 1. Prevalensi kejadian stunted pada

anak usia 7-24 bulan di Desa Hargorejo sebesar 45,7%.

2. Prevalensi riwayat BBLR pada anak usia 7-24 bulan sebesar 19,6%.

3. Prevalensi riwayat ISPA pada anak usia 7-24 bulan sebesar 76,1%.

4. Prevalensi riwayat diare pada anak usia 7-24 bulan sebesar 39,1%.

5. Anak usia 7-24 bulan yang memiliki tingkat kecukupan asupan protein kategori cukup sebesar 60,9%

6. Anak usia 7-24 bulan yang memiliki tingkat kecukupan asupan seng kategori cukup sebesar 37%.

7. Ada hubungan riwayat berat lahir dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan (p: 0,038).

8. Ada hubungan riwayat ISPA dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan (p: 0,005).

9. Tidak ada hubungan riwayat diare dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan (p: 0,851).

10. Ada hubungan asupan protein dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan (p: 0,003).

11. Ada hubungan asupan seng dan kejadian stunted pada anak usia 7-24 bulan (p: 0,005).

SARAN Perlu dilakukan penelitian

tentang riwayat berat lahir dengan memperhatikan usia gestasi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi yang dilahirkan. Bagi Puskemas Kokap I perlu diadakan penyuluhan terhadap ibu balita dan ibu hamil tentang pentingnya masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) terkait

gizi anak. Bagi ibu untuk lebih memperhatikan asupan anak dengan memberikan makanan yang cukup jumlah dan kualitasnya serta menghindari jajanan kemasan untuk diberikan kepada anak.

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U. F. 2013. Kesehatan

Masyarakat Teori dan Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo

Adriani, M. & Wirjatmadi, B. 2014. Gizi dan Kesehatan Balita Peranan Mikro Zinc pada Pertumbuhan Balita. Jakarta: Kencana.

Al-Anshori, H. 2013. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-24 Bulan (Studi di Kecamatan Semarang Timur). Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Allen, L. H. & Gillespie, S. R. 2001. What works? A review of the efficacy and effectiveness of nutrition interventions. Philippines. United Nations ACC/SCN and Asian Development Bank.

Almatsier, S. 2004. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Almatsier, S., Soetardjo, Susirah &

Soekatri, M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia.

Astari L D, Nasoetion A, Dwiriani C. M. 2005. Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuhan Dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan. Media gizi & keluarga 29(2): 40-46.

Page 14: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

10

Astuti, D. K. 2016. Hubungan Pola Asuh Dan Karakteristik Ibu Dengan Kejadian Stunted Pada Balita Usia 7-24 Bulan Di Desa Hargorejo, Kulon Progo, Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2010.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013

Bender, D. 2002. Introduction To Nutrition And Metabolism Third Edition. Taylor & Francis e-Library: London.

Biddulph, J. and Stace, J. 1999. Kesehatan Anak untuk Perawat, Petugas Penyuluhan Kesehatan dan Bidan di Desa. Yogyakarta: UGM press.

Effendi, A. 2015. Hubungan Kejadian Stunting Dengan Frekuensi Penyakit ISPA Dan Diare Pada Balita Usia 12-48 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gilingan Surakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (12-59 Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010). Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat UI. Depok.

Gibney, M. J., Margetts, B. M., Kearney, J. M. & Arab, L.

2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Jiang, Y., Su, X., Wang, C., Zhang, L., Zhang, X., Wang, L., & Cui, Y. 2014. Prevalence and Risk Faktors for Stunting and Severe Stunting Among Children Under Three Years Old in Mid-Western Rural Areas of China. Child: care, health and development, 41 (1): 45-51.

Kemenkes. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Buletin 1 1000 Hari Pertama Kehidupan. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Kusharisupeni. 1997. Peran Status Kelahiran Terhadap Stunting Pada Bayi. J Kedokteran Trisakti, 2313: 73-80.

Lestari, W., Margawati, A. & Rahfiludin, M. Z. 2014. Faktor Risiko Stunting Pada Anak Umur 6-24 Bulan di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia, Vol 3 No 1: 126-134.

Mianoki, dkk. 2015. Edisi II, Tahun I-Majalah Kesehatan Muslim: Kemanakah Anda Berobat. Yogyakarta: Pustaka Muslim.

Moehyi, S. 2008. Bayi Sehat dan Cerdas Melalui Gizi dan Makanan Pilihan. Jakarta: Pustaka Mina

Nasution, D. 2014. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Dengan Kejadian

Page 15: FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTED PADA ANAK USIA 7-24 …eprints.ums.ac.id/42642/30/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) and length/height were obtained from

11

Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kota Yogyakarta. Tesis. Program Ilmu Kesehatan Gizi Masyarakat UGM. Yogyakarta.

Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta.

Picauly, I. & Toy S. M. 2013. Analisis Determinan Dan Pengaruh Stunting Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah Di Kupang Dan Sumba Timur, NTT. Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1): 55-62.

Proverawati dan Wati. 2011. Ilmu Gizi Untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Supariasa, I. D. N., Bakri, B. & Fajar, I. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. UNICEF. 1998. The state of the world’s children. New York. UNICEF. Wessells, K. R. & Brown, K. H. 2012.

Estimating the Global Prevalence of Zinc Deficiency: Results Based on Zinc Availability in National Food Supplies and the Prevalence of Stunting. Plos one Vol 7: 1-11.