faktor penyebab belum dijadikannya · pdf filedari pemaparan singkat di atas, maka dalam...
TRANSCRIPT
FAKTOR PENYEBAB BELUM DIJADIKANNYA PSIKOLOGI ISLAM SEBAGAI SEBUAH DISIPLIN ILMU PENGETAHUAN Oleh: SURIANI Mahasiswa STAIDA Semester V
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi
kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan
oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan
kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan
pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian.
Pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato
(427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang
berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental,
seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori
oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme,
seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya.
Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa.
Psikolog di sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan
atas pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat
psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek
utama kajian psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan
antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi
seakan-akan masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas
hakekat jiwa.
Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi,
sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi,
intelegensi, kemauan, dan ingatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga antara
3
disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam
wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini
mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat.
Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-
gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk
hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui,
sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi
psikolog tertentu, khususnya dari kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan
membicarakan hakekat jiwa. Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia
dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau
stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.1
Barat dalam memberi gambaran tentang gejala kejiwaan cenderung melakukan penelitian
terhadap manusia dan juga binatang, karena dalam pandangan Barat, manusia tak jauh berbeda
dengan manusia yang sama-sama memiliki kebutuhan (baik kebutuhan jasmani maupun naluri)
serta keinginan untuk memenuhinya. Hal ini kemudian dibantah oleh salah seorang pakar
psikologi Islam Dr. Abdul Mujib dalam bukunya Kepribadian Dalam Psikologi Islam yang
mengungkapkan bahwa, perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori
kepribadian Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat
realita. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang
dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku
yang ma‟ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).2
Hal di ataslah yang kemudian melahirkan sebuah pemikiran yang cemerlang bahwa
dalam mempelajari gejala kejiwaan yang dialami oleh manusia khususnya umat Islam maka tak
cukup hanya dengan semata mengambil pandangan dari tokoh psikologi Barat, karena dasar dari
pemikiran yang melahirkan sebuah pemahaman dan keilmuan antara Barat dengan kaum
muslimin adalah berbeda. Jika Barat hanya sekedar mengkaji gejala kejiwaan manusia pada
aspek-aspek yang nampak dari tingkah laku manusia saja, maka Islam tak terbatas pada itu saja,
karena dalam pandangan Islam manusia hidup di dunia ini tak semata perbuatannya itu lahir apa
yang diinginkan oleh manusia itu sendiri melainkan ada kejadian-kejadian yang dialami manusia
1 Cecilia G. Samekto, Kamus Istilah Kunci Psikologi, Kanisius: Yogyakarta, 1989, hal. 236-237 2 http://www.ilmupsokologi.com/Jakarta, 17-12-2010/13.35
4
di mana manusia tidak punya kuasa untuk menolak (baik itu mau menerima ataupun menolak).
Hal ini disebut oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dengan istilah Lingkaran Yang Menguasai
Manusia.3 Dalam konteks ini beliau menjelaskan bahwa perbuatan manusia ada yang terjadi
karena sudah menjadi ketetapan Sang Pencipta (Allah SWT) di mana manusia harus menerima
itu sebagai sebuah Sunnatullah.4
Pada dasarnya, konsep pengamatan tentang kejiwaan bukanlah sesuatu yang baru dalam
Islam, karena telah banyak ilmuan-ilmuan Islam yang memberikan pandangannya tentang
konsep kejiwaan, seperti Imam al-Ghazali yang berbicara tentang An-Nafs, Taqiyuddin yang
membahas tentang Af‟al Al-Insan dan lain sebagainya. Sehingga sejatinya kaum muslimin sudah
selayaknya berbicara tentang psikologi dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran dari kalangan
ilmuan Islam, bukan terfokus pada pemikiran psikologi Barat.
Namun nampaknya, berbicara tentang hal ini tak sesederhana di atas, karena faktor yang
menjadikan psikologi Islam belum diakui oleh dunia Internasional sebagai sebuah disiplin ilmu
pengetahuan tak hanya karena ilmuan kaum muslimin yang tak menjadikan Islam sebagai acuan
keilmuannya, melainkan ada faktor eksternal yang memicu hal itu terjadi. Dan faktor tersebut
adalah karena tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi, bahkan kini Ideologi yang
menaungi dunia termasuk dunia Islam adalah Ideologi Kapitalisme yang bersumber dari Barat.
Hal inilah yang menjadikan Barat sebagai kiblat bagi seluruh dunia dalam segala lini kehidupan.
Salah satunya adalah di bidang pendidikan dan keilmuan. Faktor inilah yang menyebabkan Islam
kini tidak lagi dipandang sebagai sebuah Agama yang juga memiliki konsep keilmuan yang bisa
digunakan dalam kanca pendidikan dan keilmuan. Sehingga, untuk menjadikan Islam sebagai
bagian dari keilmuan yang diakui maka faktor ekternal ini pun harus dirubah agar tidak
melahirkan hegemoni yang mendiskreditkan Islam.
3 Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 23 4 Ibid, hal. 24
5
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan singkat di atas, maka dalam penulisan makalah ini akan dibahas
beberapa hal yang dijadikan sebagai rumusan masalah, di antaranya sebagai berikut:
1. Apakah Islam telah membahas masalah Kepribadian?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang Kepribadian?
3. Bagaimana pula pandangan Islam tentang Tingkah Laku Manusia?
4. Layakkah Psikologi Kepribadian Islam dijadikan sebagai bagian dari cabang ilmu
psikologi?
5. Faktor-faktor yang meyebabkan Psikologi Kepribadian Islam belum dijadikan sebagai
sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang diakui oleh dunia Internasional?
6
BAB II
PEMBAHASAN
FAKTOR PENYEBAB BELUM DIJADIKANNYA PSIKOLOGI KEPRIBADIAN ISLAM
SEBAGAI SEBUAH DISIPLIN ILMU PENGETAHUAN
A. ISLAM TELAH MEMBAHAS KONSEP KEPRIBADIAN
Konsep atau teori kepribadian Islam harus segera tampil untuk menjadi acuan normatif
bagi umat Islam. Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian
Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realita.
Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh
agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma‟ruf),
tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).
Para psikolog dalam melakukan interpretasi test-test psikologi terhadap klien terkadang
memerankan diri sebagai Tuhan (play God), melalui alat yang disebut dengan instrumen atau alat
test tertentu, padahal ia hanya tahu kulit luarnya saja. Ironisnya, hal itu menjadi acuan untuk
diterima-tidaknya seseorang menjadi pegawai atau jabatan tertentu. Bagi calon pegawai yang
mengerti tentang kiat-kiat sukses dalam test kepribadian, ia akan belajar terlebih dahulu
bagaimana caranya agar ia mendapat nilai baik, karena alat testnya diulang-ulang (itu-itu saja).
Test kepribadian dalam konteks ini tidak akan mampu menunjukkan kepribadian yang
sesungguhnya.
Untuk diakui sebagai disiplin ilmu, membangun teori kepribadian berbasis Psikologi
Islam akan menghadapi problem metodologis yang rumit. Hal itu terjadi sebab Psikologi
Kepribadian Islam berada di dua persimpangan jalan yang harus dilalui. Persimpangan pertama
harus melalui prinsip-prinsip ilmiah psikologi modern, sementara persimpangan kedua harus
melalui nilai-nilai doktriner dalam Islam. Pada aspek tertentu kedua persimpangan itu mudah
dilalui secara simultan, namun pada aspek yang lain justru bertabrakan yang salah satunya tidak
mau dikalahkan.
7
Betapapun sulit dan bahkan akan mengalami proses pendangkalan dan klaim tergesah-
gesah, upaya membangun Psikologi Kepribadian Islam tidak dapat ditundah-tunda lagi.
Fenomena perilaku yang menimpah umat Islam akhir-akhir ini tidak mungkin dapat dianalisis
dengan teori-teori Psikologi Kepribadian Barat. Perilaku radikalisme beragama, bom bunuh diri
yang populer dengan sebutan bom syahid, maraknya jamaah zikir dan muhasabah, senyumnya
Amrozi saat divonis mati adalah sederetan perilaku yang unik dan membutuhkan analisis khusus
dari teori-teori Psikologi Kepribadian Islam. Boleh jadi dalam teori Psikologi Kepribadian Barat
perilaku tersebut merupakan patologis, sementara dalam Psikologi Kepribadian Islam diyakini
sebagai perilaku yang mencerminkan aktualisasi diri atau realisasi diri.
Menghadirkan disiplin kepribadian Islam tidaklah mudah, sebab hal itu mengundang
banyak pertanyaan. Klaim ketidakilmiahan dan kerancuan metodologis menjadi senjata
penyerangan bagi mereka yang antipati terhadap kehadiran disiplin yang berbasis agama.
Bukankah psikologi kepribadian selama ini hanyalah hasil adopsi dari teori-teori Barat? Apakah
hal itu tidak menjadikan bias budaya? Mungkinkah teori yang dihasilkan dari penelitian atau
eksperimen budaya Barat, bahkan ‟budaya‟ binatang (karena eksperimennya menggunakan
binatang), dijadikan pisau analisis dalam melihat perilaku umat Islam?
Uichol Kim, seorang psikolog asal Korea, mengkritisi psikologi Barat yang
menyamaratakan pandangan psikologinya sebagai human universal dengan menawarkan konsep
psikologi pribumi (the indigenous psychology). Menurut Kim, yang dikutip Achmad Mubarok,
manusia tidak cukup dipahami dengan teori psikologi Barat, karena psikologi Barat hanya tepat
untuk mengkaji manusia Barat sesuai dengan kultur sekulernya yang melatarbelakangi lahirnya
ilmu itu. Untuk memahami manusia di belahan bumi lain harus digunakan pula basis kultur
dimana manusia itu hidup.
Ketika psikologi Islam menghadirkan konsep kepribadian, masalah pertama yang perlu
dipahami terlebih dahulu adalah terminologi apakah menggunakan istilah kepribadian Islam (al-
syakhshiyyah al-Islamiyyah) atau kepribadian muslim (syakhshiyyat al-muslim):
Pertama, Kepribadian Islam memiliki arti serangkaian perilaku manusia, baik sebagai
mahluk individu maupun mahluk sosial, yang normanya diturunkan dari ajaran Islam, yang
bersumber dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dari kedua sumber tersebut, para pakar berusaha
berijtihad untuk mengungkap bentuk-bentuk kepribadian menurut ajaran Islam, agar bentuk-
bentuk itu diterapkan oleh pemeluknya. Rumusan kepribadian Islam di sini bersifat deduktif-
8
normatif yang menjadi acuan bagi umat Islam untuk berperilaku. Oleh karena sifatnya yang
deduktif-normatif maka kepribadian Islam di sini diyakini sebagai konsep atau teori kepribadian
yang ideal, yang ‟seharusnya‟ dilakukan oleh pemeluk agama Islam.
Kedua, Kepribadian muslim memiliki arti serangkaian perilaku orang/umat Islam yang
rumusannya digali dari penelitian perilaku kesehariannya. Rumusan kepribadian muslim di sini
bersifat induktif-praktis, karena sumbernya dari hasil penelitian terhadap perilaku keseharian
orang/umat Islam. Boleh jadi dalam penelitian itu ditemukan (1) pola kepribadian yang ideal,
karena kepribadian itu sebagai implementasi dari ajaran agama; (2) pola yang menyimpang
(anomali), karena perilaku yang ditampilkan bertentangan dengan ajaran agamanya, sekalipun
dirinya berpredikat muslim. Dalam konteks ini, keburukan atau kejahatan perilaku orang/umat
Islam tidak dapat digeneralisir bahwa ajaran Islam itu buruk dan jahat. Artinya, kepribadian
muslim belum tentu mencerminkan kepribadian Islam.
Buku ini menggunakan pola kepribadian Islam bukan kepribadian muslim. Artinya, uraian-
uraian yang ditampilkan berdasarkan ajaran normatif Islam yang harus dilakukan oleh muslim.
Karena normatif sifatnya maka buku ini menampilkan kepribadian yang ‟seharusnya‟, bukan
”apa adanya‟ dari perilaku umat Islam.
B. PANDANGAN ISLAM TENTANG KEPRIBADIAN
Secara terperinci, konsep kepribadian manusia dalam pandangan Islam telah di bahas
oleh beberapa ilmuan Islam. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, kepribadian (syakhshiyah) pada
setiap manusia terbentuk oleh pola pikir („aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah)-nya. Bentuk utbuh,
wajah, keserasian (fisik) dan sebagainya bukan unsur pembentuk syakhshiyah. Sebab semua itu
hanyalah kulit (penampakan lahiriyah) semata. Sangat dangkal jika ada yang beranggapan
bahwa semua itu merupakan salah satu faktor yang membentuk dan mempengaruhi
syakhshiyah.5
„Aqliyah (pola pikir) adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu; yakni cara
mengeluarkan keputusan hukum tentang sesuatu, berdasarkan kaidah tertentu yang diimani dan
diyakini seseorang. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pola piker merupakan hasil
pemikiran yang dimiliki oleh seseorang setelah melakukan proses pendalaman ilmu tentang
5 Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, HTI Press: Jakarta, 2004, hal. 9
9
sesuatu yang kemudian melahirkan sebuah pemahaman yang akan mempengaruhi segala
pendapat-pendapat yang dianggapnya sesuai dengan pola pikirnya. Sehingga apabila seseorang
mengeluarkan pendapat yang didasarkan pada Akidah Islam maka pola pikirnya bisa disebut
sebagai „Aqliyah Islamiyah (pola pikir yang Islami). Jika pendapatnya itu didasarkan pada selain
dari Aqidah Islam maka pola pikirnya disebut „Aqliyah ghaira Islamiyah (pola pikir selain
Islam).
Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi
tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-„adhawiyah (kebutuhan jasmani); yakni upaya untuk
memenuhi tuntutan berdasarkan kaidah yang diimani dan diyakininya. Atau dengan kata lain,
nafsiyah yaitu bentuk tingkah laku seseorang yang dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya berdasarkan apada apa yang diyakininya atau yang dipahaminya. Jika pemenuhan
terhadap kebutuhannya itu berdasarkan Akidah Islam, maka pola sikapnya dinamakan nafsiyah
Islamiyah (pola sikap Islami), sebaliknya jika pola sikapnya tidak didasarkan pada Islam maka
pola sikapnya disebut pola sikap yang tidak Islami (nafsiyah ghaira Islamiyah).
Dalam konteks ini, disebut apa jenis kepribadian seseorang tergantung pada pembentukan
„aqliyah dan nafsiyah yang dimilikinya. Pembentukan kepribadian seseorang sangat bergantung
pada mafahim (pemahaman) yang dimilikinya akan sesuatu.6 Atau dengan kata lain, dapat
disebutkan bahwa pembentukan pola pikir serta pola sikap seseorang sangat tergantung pada
pemahaman yang dimilikinya sehingga akan melahirkan sebuah persepsi terhadap sesuatu yang
akan mempengaruhi gejolak kejiwaannya. Seseorang akan memenuhi kebutuhan jasmaninya
dengan melakukan aktifitas atau perbuatan seperti makan, dan dia akan makan berdasarkan
makanan apa yang ia pahami dan ia pikirkan dalam pemikirannya. Manakala ia memahami
bahwa Islam mengharuskan memakan makanan yang halal, maka ia akan mencari makanan yang
halal untuk dimakannya, sebaliknya, manakala pemahamannya hanya sebatas pemenuhan
kebutuhan jasmani semata, maka ia akan makan apa saja yang ia kehendaki berdasarkan
dorongan instiknya tanpa bersandar pada sebuah pemahaman yang membuatnya terikat pada
suatu aturan yang jelas dan baku.
Seseorang bisa dikatakan berkepribadian Islam jika menjadikan Aqidah Islam sebagai
asas dalam membentuk „aqliyah dan nafsiyah-nya.7 Artinya bahwa, seseorang haruslah
6 Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, PTI: Bogor, 2003, hal. 1 7 Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, HTI Press: Jakarta, 2004, hal. 10
10
menyesuaikan pola pikir dan pola sikapnya pada apa yang diimani dan menjalankannya sesuai
dengan ketentuan yang diimani tersebut. Dan Islam sebagai asas dalam aqidah Islam harus
dijadikan dasar dalam membentuk pola pikir yang mempengaruhi pola sikapnya agar bisa
disebut memiliki kepribadian Islam.
Sebuah kepribadian dapat dikatakan sempurna apabila antara pola pikir dan pola sikap
berjalan seiringan, yakni pemikiran seseorang haruslah sesuai dengan perbuatannya, demikian
pula sebaliknya, perbuatan atau tingkah laku seseorang haruslah sejalan dengan apa yang
dipahami oleh pemikirannya. Seperti, jika seseorang memahami bahwa Allah adalah Tuhan
Yang Esa, maka ia tidak boleh melakukan perbuatan yang membuatnya menyekutukan Allah
sebagai satu-satunya Tuhan yang ia yakini. Apabila pola pikir tidak sejalan dengan pola sikap,
atau berbeda antara yang dipahami dengan yang dilakukan maka orang tersebut dipandang tidak
memiliki kepribadian yang Islami. Hal inilah yang menjadikan konsep kepribadian Islam unik
sehingga berbeda dengan kepribadian yang selama ini dipahami dan dikembangkan oleh dunia
Barat.
Hal ini telah menjadi bukti bahwa Islam telah memiliki konsep psikologi dalam hal
kepribadian sehingga kepribadian Islam pun layak dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu dalam
dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan karena konsep pemikirannya telah sesuai dengan
pembentukan tingkah laku seseorang yang dikaitkan dengan agama yang diyakininya, khususnya
bagi kalangan kaum muslimin. Perbedaan antara pola keribadian Islam yang terikat dengan
aturan Islam inilah yang menjadikan kepribadian Islam berbeda dengan psikologi Barat yang
hanya mengarah pada aspek kebutuhan manusia serta pemenuhannya yang didasarkan pada
dorongan instink, id, ego dan superego semata. Hal ini pula yang menjadikan kepribadian Islam
memiliki konsep akan perbuatan manusia, bahwa tidak semua yang terjadi pada manusia itu
muncul karena sifat naluriah atau naturalisasi, melainkan ada kejadian-kejadian di mana bukan
manusia yang menghendaki itu terjadi bahkan manusia tak kuasa untuk menolaknya, seperti
kelahiran, fitrah wanita yang berbeda dengan pria, kematian, musibah dan lain sebagainya yang
akan dibahas pada poin berikutnya.
11
C. PANDANGAN ISLAM TENTANG TINGKAH LAKU MANUSIA
Tingkah laku manusia dalam pandangan psikologi Barat merupakan respon dari stimulus
yang ia dapatkan di luar dari dirinya. Misalnya, seseorang akan meraih suatu benda dengan
respon mengulurkan tangannya jika ada stimulus yang membuatnya berbuat itu, dan stimulus itu
adalah adanya orang lain yang mengarahkan benda tersebut kepada dirinya.
Lebih jauh, menurut pandangan ini, manusia akan memenuhi kebutuhannya berdasarkan
dorongan instinknya semata, sehingga manakala seseorang mengalami kematian karena
kelaparan maka itu naturalisme dari ketidakpatuhannya akan dorongan instink. Barat dalam
mengemukakan pendapatnya serta dalam memperkenalkan pendapatnya selalu didasari pada
pembuktian secara empiris bahwa pendapatnya itu telah terbukti kebenarannya. Namun
disayangkan, Barat dalam mempelajari tentang tingkah laku hanya mengamati apa yang nampak
dari luar manusia itu semata, bahkan menyamakan hasil psikologinya antara kejiwaan manusia
dengan binatang.
Meski diakui bahwa manusia memang memiliki kesamaan dengan hewan dalam hal
sama-sama memiliki naluri dan kebutuhan jasmani serta adanya upaya untuk memenuhinya,
namun yang membedakan dari keduanya adalah dalam aspek upaya pemenuhannya tersebut. Jika
hewan memenuhi kebutuhannya sebatas dorongan instink semata, maka berbeda dengan
manusia, manusia dalam memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya tidak semata karena
adanya dorongan instink yang melahirkan perbuatan sesuai dengan instinknya, melainkan
manusia dalam memenuhi kebutuhannya haruslah terikat dengan aturan-aturan agama yang
mengatur perbuatannya. Hal ini disebabkan karena manusia diberi keunggulan dengan anugerah
akal yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh hewan. Lebih lanjut aspek ini akan dibahas pada
pembahasan berikutnya.
Dalam Islam, ada beberapa hal yang akan dikemukakan saat membahas tentang
perbuatan manusia dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang lahir dari
manusia akan menunjukkan keluhuran manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna sekaligus
mematahkan pendapat ilmuan Barat yang menyatakan bahwa manusia itu sama bahkan berasal
dari hewan (baca, teori Darwin).
12
Dalam Al-Quran, Allah SWT brfirman:
Artinya: Katakanlah; “Tidak ada bahaya yang akan menimpa kami kecuali apa yang telah
ditetapkan Allah atas kami…” (QS. At-Taubah [9]: 51)
Di ayat lain, Allah pun berfirman:
Artinya: Tidak tersembunyi sebesar zarrah (atom) pun yang ada di ruang angkasa dan bumi.
Tidak ada yang lebih kecil dari itu dan tidak pula yang lebih besar melainkan semuanya sudah
ada dalam Kitab yang jelas (pada ilmu Allah). (QS. Saba‟ [34]: 3)
Ayat-ayat di atas, juga ayat-ayat yang semisalnya sering dipakai oleh kebanyakan orang
(ahli kalam) pada saat membahas perbuatan manusia untuk dijadikan dalil seolah-olah manusia
“dipaksa” untuk melakukan perbuatannya. Dan bahwasanya semua perbuatan itu dilakukan
karena “dipaksa” oleh adanya Iradah (kehendak). Dikesankan pula bahwa Allah telah
menciptakan manusia sekaligus perbuatannya. Mereka berusaha menguatkan pendapat mereka
dengan dalil:
Artinya: Padahal Allah yang menciptakanmu termasuk apa yang kamu kerjakan. (QS. Ash-
Shaffaat [37]: 96)
13
Terdapat beberapa kalangan ilmu Kalam yang membahas tentang perbuatan manusia, di
antaranya: dari kalangan Ahli Sunnah memiliki pendapat bahwa manusia itu memiliki apa yang
disebut kasb ikhtiari di dalam perbuatan-perbuatannya (tatkala manusia hendak berbuat sesuatu
maka Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut), sehingga manusia akan dihisab
(dimintai pertanggungjawaban) atas perbuatannya tersebut. Kalangan Mu‟tazilah berpendapat
bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya dan manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut karena ia sendirilah yang
menciptakan/menghendaki perbuatannya itu. Sedangkan kalangan Jabariyah berpendapat bahwa
Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia “dipaksa” melakukan perbuatannya dan tidak
bebas memilih, ibarat bulu yang terbang sesuai dengan arah angin menerbangkannya.8
Ketika mengamati tentang hakekat perbuatan manusia maka akan kita jumpai bahwa
manusia itu hidup di dalam dua area, yakni area yang dikuasai oleh manusia dan area yang
menguasai manusia. Arean pertama, yakni area yang dikuasai oleh manusia merupakan area
yang berada di bawah kekuasaan manusia di mana semua perbuatan yang terjadi pada dirinya
ditentukan berdasarkan pilihannya sendiri. Dalam area ini manusia bebas untuk memilih apakah
akan melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti keinginan manusia untuk
memenuhi kebutuhan jasmaninya (makan) apakah memakan makanan yang halal (sesuai dengan
perintah Allah) ataukah yang haram (yang bertentangan dengan perintah Allah) ini berada pada
kekuasaan dan kebebasan manusia untuk memilih. Dalam inilah maka dikatakan bahwa manusia
akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di hari kiamat kelak karena dialah yang
menentukan perbuatannya sendiri dan tidak berkaitan dengan Sunnatullah.
Adapun area yang kedua, yakni area yang menguasai manusia merupakan area di mana
kejadian yang terjadi terhadap diri manusia adalah di luar dari pilihan manusia itu sendiri, tanpa
memiliki andil sedikitpun untuk memilih atau meninggalkannya, baik itu kejadian yang berasal
dari dirinya sendiri ataukah yang menimpa dirinya.
Kejadian-kejadian pada area ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejadian yang
ditentukan oleh nidzamul wujud (Sunnatullah).9 Dalam hal ini, manusia dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai ketentuan Sunnatullah, sebab ada kejadian di mana
manusia harus menjalaninya sesuai dengan mekanisme tententu yang tidak kuasa untuk
8 Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 22 9 Ibid, hal. 24
14
dilanggarnya. Misalnya, manusia datang (lahir) dan meninggalkan (mati) dunia ini tanpa sesuai
dengan kemauannya. Ia tidak dapat terbang ke udara, berjalan di atas air, tidak dapat
menciptakan sendiri warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya, dan lain sebagainya. Akan
tetapi Allah SWT lah yang menciptakan semua itu tanpa ada pengaruh atau tanpa ada
hubungannya sedikitpun dengan hamba (makhluk)-Nya. Inilah ketetapan yang tak kuasa manusia
untuk melanggarnya, menolaknya bahkan mengubahnya. Sehingga atas kejadian-kejadian yang
telah ditetapkan oleh Sunnatullah ini manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban, karena
di luar dari kekuasaannya.
Kedua, yakni kejadian yang tidak ditentukan oleh Sunnatullah namun berada di luar
kekuasaan manusia, yaitu perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya yang
sama sekali tidak mampu untuk ditolaknya.10
Misalnya, seseorang yang terjatuh dari atas tembok
lalu menimpa orang lain hingga mati, atau orang yang menembak burung tetapi tidak sengaja
mengenai orang lain hingga mati. Menembak burung kemudian tembakan itu menimpa orang
lain hingga mati bukanlah sebuah Sunnatullah. Artinya, saat menembak buruk tidak akan selalu
tertimpa kepada orang lain kemudian menyebabkan orang tersebut meninggal. Ini adalah
kejadian yang tidak disangka oleh manusia, sehingga manusia juga tidak kuasa untuk menolak
kejadian ini karena terjadi di luar kekuasaannya meski tidak terikat dengan Sunnatullah. Dalam
kejadian ini maka manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban karena kejadian yang
menimpa dirinya bukanlah sesuai dengan kehendaknya, dan ia tidak kuasa untuk menolaknya.
Dalam perbuatannya manusia melakukannya dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya sebagai fitrah atasnya, yakni gharizah (naluri) dan hajatul „adhawiyah (kebutuhan
jasmani). Dalam gharizah nau‟ (naluri melestarikan keturunan) telah diciptakan khasiat
dorongan seksual, sedang pada hajatul „adhawiyah diciptakan khasiat seperti rasa lapar, haus dan
sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan oleh Allah bersifat baku sesuai dengan Sunnatul Wujud
(peraturan alam yang ditetapkan Allah).11
Khasiat-khasiat yang telah ditetapkan atas manusia di atas memiliki qabiliyah (potensi)
yang dapat digunakan oleh manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah
Allah dan akan menjadi amal kejahatan apabila melanggar perintah Allah. Khasiat-khasiat yang
dimiliki oleh naluri dan kebutuhan jasmani dalam diri manusia ditakdirkan oleh Allah dan
10 Ibid, hal. 25 11 Ibid, hal. 26
15
dijadikannya bersifat baku, mempunyai pengaruh/efek yang menghasilkan suatu perbuatan.
Akan tetapi, bukanlah khasiat-khasiat tersebut yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah
yang melakukan perbuatan saat ia menggunakan khasiat-khasiat tersebut. Sebagai contoh,
dorongan seksual yang ada pada gharizah nau‟ memang memiliki potensi kebaikan atau
keburukan. Namun perbuatan itu bukanlah dihasilkan oleh naluri tersebut, melainkan dihasilkan
oleh manusia itu sendiri. Sebab Allah telah menciptakan akal bagi manusia. Dan di dalam tabiat
akal diciptakan kemampuan memahami serta mempertimbangkan. Akal inilah yang akan
digunakan oleh manusia dalam menciptakan perbuatannya untuk memenuhi kebutuhannya.
Apakah ia akan memenuhi dorongan seksualnya sesuai dengan perintah Allah hingga
menghasilkan kebaikan ataukah memenuhinya dengan melanggar aturan Allah sehingga
menghasilkan keburukan dan kejahatan.12
Allah SWT berfirman:
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal. (QS. Al-Imran:
190)
Akal inilah yang akan menjadi keunggulan bagi manusia yang tidak dimiliki oleh hewan,
sehingga manusia dalam melakukan perbuatannya berdasarkan pada kemampuan akalnya. Akal
ini pulalah yang akan menghantarkan manusia untuk memilih perbuatannya sehingga akan
dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dipilihnya tersebut.
Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membantah anggapan beberapa kalangan psikologi
Barat yang maengatakan bahwa manusia berjalan berdasarkan dorongan instinknya semata.
Pendapat ini wajar muncul di dunia Barat karena penelitian tentang perilaku dilakukan terhadap
manusia dan hewan kemudian disimpulkan sama antara perilaku yang muncul baik dari manusia
maupun oleh hewan.
Inilah keunikan Islam dalam mengungkapkan keilmuannya, yang berbeda dengan sudut
pandang Barat. Islam mengkaji ilmu secara mendalam kemudian dikaitkan dengan Agama yang
12 Ibid, hal. 28
16
memang memiliki peranan dalam terciptanya perbuatan atas manusia. Hal ini menjadikan Islam
layak dijadikan sebagai rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan yang sejatinya memiliki konsep
yang terperinci.
D. FAKTOR PENYEBAB BELUM DIJADIKANNYA PSIKOLOGI KEPRIBADIAN
ISLAM SEBAGAI SEBUAH DISIPLIN ILMU
Meskipun telah diungkapkan bahwa psikologi kepribadian Islam layak dijadika sebagai
sebuah disiplin ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu psikologi lainnya, namun
kenyataannya amat sulit untuk mewujudkannya. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang
menjadi penghambat tercapainya hal tersebut. Ada dua faktor yang bisa dikemukakan untuk
membahas permasalahan ini, yakni:
1. Faktor internal, kemampuan para ilmuan Islam
Pada faktor pertama ini, akan dikemukakan bahwa belum dijadikannya kepribadian Islam
sebagai sebuah disiplin ilmu disebabkan karena kemampuan dari kalangan ilmuan Islam. Hal ini
bukan berarti dikatakan bahwa tidak ada dari kalangan umat Islam yang mampu membahas
masalah kepribadian Islam, justru banyak namun mereka dalam memberi pandangan tentang
psikologi lebih cenderung mengadopsi pendapat dari kalangan Barat sehingga yang terjadi hanya
penjelasan kembali terhadap pendapat ilmuan Barat. Hal ini kemudian memicu ketidakmandirian
dari kaum muslimin untuk mau menggali sendiri dengan kemampaunnya dan merujuk pada
sumber-sumber yang berasal dari Islam sendiri. Kalaupun ada yang memberi kata “Islam” pada
topik pembahasan psikologinya maka ini hanyalah upaya memberi pandangan menurut Islam
tentang ilmu psikologi Barat.
Hal ini tak semestinya terjadi, karena pada faktanya, kaum muslimin pun sebenarnya
mampu untuk menggali dan mengembangkan keilmuan Islamnya dengan sumber yang juga telah
ada, tanpa harus merujuk pada Barat yang sejatinya kebenaran terhadap pendapat mereka pun
masih harus dipertanyakan. Bahkan dunia Barat pun dalam mengembangkan ilmu
pengetahuannya sering menjadikan Alquran sebagai rujukan, karena dipandang Alquran
memiliki sumber keilmuan yang dibutuhkan oleh dunia ilmu pengetahuan. Hanya saja, tentu
hasil pengkajian mereka terhadap isi Alquran akan berbeda dengan yang dipahami oleh kaum
muslimin karena mereka sendiri tidak mengimani Alquran juga tidak mengimani Allah sebagai
pencipta dari kitab tersebut. Sehingga apabila kaum muslimin mengadopsi pemikiran Barat
17
dalam memahami Alquran maka bisa dipastikan kaum muslimin akan mengalami kesalahan
dalam menafsirkan juga dalam merealisasikannya.
Badri (1981), seorang psikolog berkebangsaan Sudan, mengingatkan agar umat Islam
berhati-hati dalam menyerap psikologi Barat. Menurut Badri, pengulangan yang tanpa dipikir
lagi atas teori-teori dan praktek-praktek Barat dalam disiplin psikologi merupakan sebuah
ancaman yang serius terhadap status ideologi Islam, terutama diantara kaum pemikir dan kaum
awam Islam. Secara khusus Badri (sebagaimana yang dikutip oleh Bastaman, 1997) mengecam
keras aliran Psikoanalisis dan Behaviorism yang cukup dominan dewasa ini. Badri mengecam
corak reduksionistis oleh penganut Behaviorism yang menganggap tingkah laku manusia
(termasuk penghayatan etis religius) semata-mata bersumber dari pengalaman menerima faktor-
faktor penguat berupa reward and punishment.
Lebih keras Badri mengecam Psikoanalisis, antara lain terhadap konsep Id, Ego, dan
Superego, serta Oedipus Complex yang menurut Badri tidak lebih sekedar mitos belaka, bukan
hasil penelitian ilmiah. Begitu pula pandangan Sigmund Freud bahwa agama hanyalah sebuah
ilusi, penyakit jiwa yang dapat menghambat perkembangan kecerdasan, dan banyak lagi
pandangan lainnya. Teori-teori demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam,
namun karena dilapisi dengan “gula”, kemudian dibungkus dan diberi label “ilmu pengetahuan”,
maka banyak umat Islam yang tergoda dan tentu sangat berbahaya bila diserap begitu saja .13
Sejatinya kaum muslimin harus lebih berhati-hati dalam upayanya mengembangkan
illmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan akan mempengaruhi tingkah laku sebagaimana
yang telah dibahas sebelumnya. Kaum muslimin pun harusnya beruapaya untuk
mengembangkan keilmuan Islam dengan kemandirian tanpa merujuk pada dunia Barat.
Meskipun dalam Islam pun dibolehkan untuk mengadopsi pemikiran Barat selama tidak
bertentangan dengan Aqidah Islam, namun selama kaum muslimin bisa melakukannya sendiri
maka itu tentu jauh lebih baik.
Tokoh-tokoh ilmuan Islam haruslah menyumbangkan kemampuan yang dimilikinya
sehingga dapat menjadi acuan/referensi bagi generasi-generasi berikutnya sehingga tidak ada
kekeliruan di dalam memahami ilmu pengetahuan. Saat mengambil pendapat Barat pun
hendaknya dilakukan pengkajian terlebih dahulu sebelum disajikan sebagai sebuah ilmu
ppengetahuan yang dibahas dalam kontek ilmu pengetahuan Islam.
13 http://www.ilmupsikologi.com/15-12-2010/14.05
18
2. Faktor eksternal, tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi
Pada faktor yang pertama, tak dapat dipungkiri bahwa kaum muslimin mengalami
kemunduran dalam ilmu pengetahuan dan upaya mengembangkannya. Keadaan kaum muslimin
kini jauh berbeda dengan masa di masa Islam mengalami kemajuan dalam peradaban, termasuk
pada aspek pendidikan dan ilmu pengetahuannya. Namun, ketika diamati, kemunduran ini tidak
hanya disebabkan oleh faktor internal atau berasal dalam diri kaum muslimin itu sendiri,
melainkan ada faktor eksternal yang juga turut andil dalam menciptakan kemunduran tersebut.
Adapun faktor tersebut yakni karena tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi
(pandangan hidup). Dunia kini telah mengemban ideologi kapitalisme sebagai sebuah pandangan
hidup juga sebagai ideologi dalam membangun Negara. Termasuk ideologi ini pulalah yang
menjadi asas bagi tegaknya kebijakan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Ideologi merupakan pandangan hidup yang melahirkan aturan-aturan di atasnya. Adapun
ideologi kapitalisme adalah ideologi yang berasal dari Barat, dalam hal ini adalah Amerika yang
memiliki asas berfikir, fash al-diin an al-hayat (memisahkan agama dari kehidupan).14
Di
Indonesia sendiri, ideologi yang diemban pun adalah ideologi kapitalisme. Ideology ini pula
memiliki asas, fash al-diin an ad-daulah (memisahkan agama dari Negara). Sehingga dalam
pandangan ideologi ini agama tidak boleh mengambil peranan dalam urusan dunia dan Negara.
Agama hanya boleh ada dalam aspek ibadah mahdha (prinsip dasar agama) saja, sedang untuk
urusan kehidupan maka manusialah yang berhak untuk membuat aturan atau ketetapan.
Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, dunia tidak lagi dipimpin oleh
ideologi Islam, melainkan ideologi yang bersumber dari Barat yang tegak atas asas aqidah kufur.
Keruntuhan Khilafah ini kemudian diikuti keruntuhan peradaban Islam, termasuk dalam dunia
ilmu pengetahuan. Hegemoni yang ditancapkan oleh kaum Barat dengan kekuatan ideologinya
ini menjadikan dunia berkiblat pada Barat, termasuk bagi kaum muslimin.
Kemunduran yang dialami oleh kaum muslimin dalam dunia pendidikan adalah upayya
yang sengaja diciptakan oleh Barat agar kaum muslimin jauh dari khasanah keilmuan Islamnya
kemudian menjadikan Barat sebagai pijakan kaum muslimi dalam melahirkan pemahaman dan
perbuatan. Hal ini tentu menyebabkan kaum muslimin akhirnya menjadi pemikir-pemikir Islam
14 Syamsuddin Ramadhan, Kritik Total Sosialisme-Komunisme, Al-Azhar Press: Bogor, 2001, hal. 155
19
namun dengan bentukan pemahaman yang dikehendaki oleh Barat. Inilah salah satu upaya Barat
untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Hal ini pun telah terjadi sejak Khilafah masih ada namun telah mengalami keguncangan.
Negara Imperialis yang saat itu adalah Inggris mengirim ilmuan-ilmuannya ke dunia Islam
dengan mengemban misi merusak aqidah umat Islam dengan menyebarkan pemahaman filsafat
yang menyesatkan. Kaum muslimin dengan dorongan semangat menuntut ilmu menerima
dengan terbuka kedatangan misionaris tersebut dan mengadopsi pemahaman mereka. Akhirnya,
karena pengaruh filsafat tersebut kaum muslimin mengalami kemunduran dalam berfikirnya
disebabkan karena mereka berusaha memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan kemauan akal
mereka dan asas manfaat hingga akhirnya mengalami keguncangan Aqidah. Hingga pada
akhirnya banyak kaum muslimin yang merasa ragu akan kebenaran firman Allah di dalam
Alquran.
Hal itu hingga kini pun masih dikembangkan oleh Barat dengan upaya agar kaum
muslimi semakin mengalami kelemahan Aqidah hingga akhirnya mengalami keruntuhan dan
ketidakberdayaan. Dalam konteks psikologi kepribadian Islam, meski secara teori dan fakta telah
layak dijadikan sebagai sebuah bagian dari disiplin ilmu, namun terhalang oleh hegemoni
ideologi kapitalisme tersebut. Sehingga meski layak namun jika bagi Barat itu tidak sesuai
dengan keinginannya maka akan ditolak dengan alasan standart Internasional. Hal ini pulalah
yang menyebabkan kaum muslimin sulit untuk menemukan buku-buku atau sumber-sumber ilmu
yang sesuai dengan Islam, sehingga kebanyakan dari mereka akhirnya mengadopsi pendapat-
pendapat dari ilmuan Barat.
Faktor inilah yang memiliki dominasi yang besar terhadap perkembangan dunia ilmu
pengetahuan, karena untuk mengatasi faktor pertama pun harus didukung oleh faktor kedua
tersebut. Sehingga jalan untuk bisa menjadikan kepribadian Islam serta ilmu-ilmu Islam lainnya
sebagai sebuah disiplin ilmu yang diakui oleh dunia Internasional maka harus merubah hegemoni
serta standart Internasional yang dipakai. Hal ini hanya bisa terwujud manakala Islam yang
dijadikan sebagai sebuah Ideologi yang melahirkan hegemoni mendasar dan menyeluruh serta
menjadi standart keilmuan dunia Internasional.
Manakala Islam dijadikan Ideologi maka hal ini tidaklah akan menjadi ancaman bagi
keilmuan dan pemikir-pemikir Barat. Islam membolehkan mengadopsi pemikiran-pemikiran
mereka selama tidak bertentangan dengan Islam dan tidak mengamcam kegoncangan Aqidah
20
kaum muslimin.15
Islam pun membolehkan kaum muslimin mengambil ilmu Barat dalam bidang
teknologi jika dianggap itu dibutuhkan dan tidak berkaitan dengan prinsip sebuah Aqidah
tertentu. Hal ini semata dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan keilmuan bagi kaum
muslimin hingga mengalami kemajuandalam peradabannya.
Hegemoni ini memiliki peranan yang besar, termasuk di dalam menetapkan kebijakan
Negara dalam segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga apabila hegemoni
tersebut didasarkan pada ideologi yang keliru maka akan menghasilkan kebijakan yang juga
keliru, sedangkana akan menghasilkan kebijakan yang benar apabila didasarkan pada ideologi
yang juga benar. Dan dalam pandangan Islam, kebenaran itu hanyalah jika bersumber dari Allah
SWT. Dan karena Islam adalah agama yang sempurna maka Islam pun mengatur masalah
kebijakan dan hegemoni yang ditanamkan atas dunia. Islam pun merupakan sebuah ideologi
yang di atasnya terpancar aturan-aturan yang akan mengatur segala perbuatan manusia dalam
kehidupannya dan manusia wajib terikat dengan aturan tersebut agar mampu berjalan sesuai
dengan fitrahnya sebagai hamba Allah SWT.
15 Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 94
21
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan dalam bab pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Islam memiliki konsep dalam membahas psikologi kepribadian Islam sehingga layak dijadikan
sebagai sebuah disiplin ilmu dan dipergunakan dalam bidang keilmuan. Islam telah membahas
tentang masalah kepribadian manusia dan juga perbuatan/tingkah laku manusia beserta faktor-
faktor yang mempengaruhi terciptanya perbuatan itu. Islam pula telah memberikan gambaran
terhadap keunikan manusia yang tidaklah lama dengan hewan sebagaimana yang dipahami oleh
psikologi Barat.
Dalam kendalanya yang hingga kini belum diakui sebagai sebuah disiplin ilmu
pengetahuan, maka ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yakni faktor yang berasal dari
kalangan kaum muslimiin sendiri serta faktor yang bersumber dari ideologi yang mempengaruhi
lahirnya sebuah hegemoni dalam dunia pendidikan. Kedua faktor ini bisa terselesaikan manakala
Islam dijadikan sebagai sebuah ideologi yang menjadikan Islam sebagai asas dalam menentukan
dan menetapkan kebijakan ilmu pengetahuan.
Ideologi kapitalisme yang diemban oleh dunia kinilah yang menjadi penyebab belum
diakuinya beberapa cabang keilmuan Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu. Lebih tepatnya
dapat dikatakan bahwa Barat berupaya dengan hegemoninya menutup kelayakan Islam menjadi
bagian dari ilmu pengetahuan agar kaum muslimin semakin jauh dari Islam. Mengupayakan agar
kaum muslimin tidak memahami agamanya secara benar, namun tersamar sehingga melahirkan
pemahaman yang samar bahkan bertentangan dengan Islam.
Inilah realita yang harus dipahami oleh kaum muslimin, bahwa perang pemikiran telah
dilakukan oleh Barat atas diri dan Agama mereka. Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah
kembali kepada keilmuan Islam dan menjadikan Islam serta tokoh-tokohnya sebagai sumber
rujukan dan menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap dunia Barat yang hanya akan
menyebabkannya semakin jauh dari Islam.