faktor-faktor yang memengaruhi reaktivasi infeksi
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
REAKTIVASI INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN
dr. Putu Gita Indraswari, S.Ked
199309282019032024
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II. ISI ....................................................................................................... 2
2.1 Definisi ............................................................................................ 3
2.2 Prevalensi TB Laten ........................................................................ 2
2.3 Etiopatogenesis ................................................................................ 4
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Reaktivasi TB Laten ......................... 13
2.4.1 Faktor Risiko Tinggi .............................................................. 13
2.4.2 Faktor Risiko Sedang ............................................................. 16
2.4.3 Faktor Risiko Rendah ............................................................. 17
2.5 Diagnosis ........................................................................................ 19
2.6 Penatalaksanaan ............................................................................... 22
BAB III. PENUTUP......................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Tuberkulosis Laten (ITBL) adalah seseorang yang terinfeksi bakteri M.
Tuberkulosis tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto
toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon Gamma
Release Assay (IGRA) positif. Tidak ada gejala dan tanda klinis TB aktif di paru
maupun ekstraparu.1
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2015, sebanyak 58% kasus TB baru terjadi di
Asia Tenggara dan wilayah Western Pacific pada tahun 2014. India, Indonesia dan
Tiongkok menjadi negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia, masing-masing
23%, 10% dan 10% dari total kejadian di seluruh dunia. Indonesia menempati peringkat
kedua bersama Tiongkok. Satu juta kasus baru pertahun diperkirakan terjadi di
Indonesia
Menurut data dari World Health Organisation 2018 (WHO) terdapat sekitar 10 juta
kasus TB baru yang tercatat di seluruh dunia pada tahun 2017. Di seluruh dunia, sekitar
2-3 miliar orang memiliki infeksi TB laten. Sekitar 5% -10% pasien dengan infeksi TB
Laten akan mengembangkan TB aktif di masa mendatang.2
Pencegahan terhadap reaktivasi TB saat ini dianggap sebagai salah satu strategi penting
pencegahan TB dan merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan End TB
Strategy yang ditargetkan untuk dicapai WHO pada tahun 2035. End TB Strategy
bertujuan untuk mengurangi kematian akibat TB hingga 95% dan menurunkan insiden
kasus TB baru sebesar 90% antara 2015 dan 2035.3
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
infeksi Tuberkulosis Laten. Dua metode yang sering digunakan dalam praktik klinis
telah dirancang untuk mengukur respon imun adaptif yang dimediasi sel asimptomatik
host yang terkena Mycobacterium Tuberkulosis adalah Tuberculin Skin Test (TST) dan
2
Interferon-Gamma Release Assays (IGRA). Kedua test tersebut adalah alat diagnostik
standar imunologi untuk ITBL.
Mengingat bahwa reaktivasi TB laten dipengaruhi oleh banyak faktor, maka faktor-
faktor tersebut penting untuk diketahui. Dengan mengetahui hal ini, risiko reaktivasi
TB laten dapat dicegah.
3
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Infeksi Tuberkulosis Laten (ITBL) adalah seseorang yang terinfeksi bakteri M.
Tuberkulosis tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto
toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon
Gamma Release Assay (IGRA) positif. Tidak ada gejala dan tanda klinis TB aktif
di paru maupun ekstraparu.1
Untuk lebih jelasnya, berikut tabel yang membedakan antara ITBL dengan TB
Paru.
Tabel 1. Perbedaan ITBL dengan TB Paru4
4
2.2 Prevalensi TB Laten
Gambar 1. Prevalensi Global infeksi TB
Prevalensi global infeksi TB Laten pada tahun 2014 adalah sebesar 23,0% (CI
95%: 20,4%-26,4%). Gambar diatas menyajikan variasi regional dan sub-regional
prevalensi ITBL. Di Asia Tenggara, Barat Wilayah Pasifik, dan Afrika prevalensi
ITBL pada populasi umum diperkirakan di atas sekitar 20%, sedangkan di
Mediterania Timur, Wilayah Eropa, dan Amerika prevalensi ITBL populasi umum
di bawah 17%. Negara Cina dan India memiliki prevalensi ITBL tertinggi, yaitu
sekitar 350 juta infeksi, diikuti oleh Indonesia yaitu sekitar 120 juta infeksi dan
kurang dari 60 juta infeksi di semua negara lain. Amerika Serikat prevalensi ke-
20, yaitu diperkirakan sekitar 13 juta.5
2.3 Etiopatogenesis
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan tujuh spesies
lain yang sangat dekat dengan mikobakteria (M. bovis, M. africanum, M. microti, M.
5
caprae, M. pinnipedii, M. canetti and M. mungi) bersama-sama membentuk kompleks
M. tuberculosis. Tidak semua spesies tersebut menyebabkan penyakit pada manusia.
Mayoritas kasus TB di Amerika Serikat disebabkan oleh M. tuberculosis. M.
tuberculosis juga disebut sebagai tubercle bacilli. Mycobacterium bovis (M. bovis)
merupakan jenis mikobakteria lain sebagai penyebab penyakit TB pada manusia.
M.bovis paling umum ditemukan di sapi, bison, dan rusa.4
Mikobakteria bersifat non motile, berbentuk batang dan sedikit melengkung, tahan
terhadap asam dan alkohol setelah pewarnaan dengan phenicated fuchsin (Ziehl-
Neelsen). Karakteristik terpenting mikobakteri adalah Acid-fastness. Acid fast
didefinisikan sebagai kemampuan sel mikobakteri untuk tidak mengalami dekolorisasi
(perusakan warna secara buatan) pada penggunaan asam. Hal ini terjadi karena
kandungan lipid dalam kadar tinggi di dinding sel sehingga mikobakteri bersifat waxy,
hidrofobik dan sulit terwarnai4
Mycobacterium tuberculosis (MTB) adalah mikobakteri penyebab utama tuberkulosis
pada manusia. MTB terkadang disebut sebagai tubercle bacillus. Bakteri ini berbentuk
batang dan bersifat non-motil (tidak dapat bergerak sendiri) dengan panjang 1-4 μm
dan lebar 0,3-0,56 μm (gambar 2). M. tuberculosis merupakan organisme obligate
aerobe yang berarti membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Oleh karena itu, kompleks
MTB banyak ditemukan di lobus paru bagian atas yang dialiri udara dengan baik.
Selain itu, bakteri ini merupakan parasit intraseluler fakultatif, yaitu patogen yang
dapat hidup dan memperbanyak diri di dalam sel hospen maupun diluar sel hospes (sel
fagositik), khususnya makrofag dan monosit. Kemampuan MTB dalam bertahan di
makrofag hospes dikendalikan oleh proses kompleks dan terkoordinir. Sistem ini
dikontrol dengan baik ESX-1 sebagai sistem sekresi protein bakteri.
6
Gambar 2. Transmission electron microscopy (TEM) dari M. tuberculosis.
M. tuberculosis tidak diklasifikasikan sebagai Gram positif maupun Gram negative.
Hal ini disebabkan karena dinding sel bakteri ini tidak memiliki karakteristik membran
luar bakteri Gram negatif. Namun, M. tuberculosis memiliki struktur peptidoglikan-
arabinogalaktan-asam mikolat sebagai barier permeabilitas eksternal. M. tuberculosis
diklasifikasikan sebagai bakteri acid-fast. Jika pewarnaan Gram dilakukan pada M.
tuberculosis, warna gram positif yang muncul sangatlah lemah atau tidak berwarna
sama sekali. Namun ketika terwarnai, sebagai bakteri acid fast maka M. tuberculosis
akan mempertahankan pewarna saat dipanaskan dan diberi komponen asam organik.
Pada penggunaan metode Ziehl-Neelsen stain terhadap M. tuberculosis, bakteri ini
akan menunjukkan warna merah muda
7
Gambar 3. Penampakan Mycobacterium tuberculosis
menggunakan Ziehl-Nelson stain
Dinding sel M. tuberculosis berhubungan dengan sifat bakteri , yaitu:
1. Impermeabilitas terhadap stain dan dye
2. Resistensi terhadap berbagai antibiotik
3. Resistensi terhadap pembunuhan oleh campuran asam dan basa
4. Resistensi terhadap lisis osmotik melalui complement deposition
5. Resistensi terhadap oksidasi dan daya tahan di dalam makrofag
8
Gambar 4. Diagram skematik dinding sel mikobakteri
Fraksi komponen utama lipid MTB adalah asam mikolat, cord factor, dan wax-D.
Asam mikolat membentuk lapisan lipid di sekeliling organisme. Komponen ini adalah
penentu utama permeabilitas dinding sel mikobakteria karena sifat hidrofobiknya yang
kuat. Komponen ini melindungi bakteri dari serangan protein kationik, lisozim dan
radikal oksigen di dalam granul fagositik.
Cord factor (trehalose 6-6’-dimikolat, TDM) adalah suatu glikolipid yang memiliki 2
aktivitas. TDM bersifat non toksik dan berfungsi menghambat migrasi sebagai
pelindung dari makrofag. TDM menjadi antigenik dan sangat toksik terhadap sel
mamalia. Cord factor menjadi komponen paling berlimpah pada strain M. tuberculosis
yang ganas.
Wax-D merupakan suatu glikolipid dan peptidoglikolipid yang diekstraksi dari fraksi
wax M. tuberculosis. Wax D memiliki substansi yang dapat menguatkan respon imun
tubuh.
9
Gambar 4. Karakteristik unik M. tuberculosis pada sistem imun manusia
10
Droplet nuclei berisi tubercle
bacilli masuk ke dalam saluran
napas, terhirup, masuk ke dalam
paru-paru dan bergerak ke
alveolus.
Tubercle bacilli bereplikasi di
dalam alveolus
Sebagian kecil tubercle bacilli
masuk ke dalam aliran darah
kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Tubercle bacilli dapat
mencapai setiap bagian tubuh,
termasuk otak, laring, saluran
limfa, paru-paru, tulang
belakang,tulang atau ginjal.
Makrofag akan mengelilingi dan
memakan tubercle bacilli dalam
2 hingga 8 minggu. Makrofag
akan membentuk lapisan
pelindung (granuloma) sebagai
penampung dan pengendali
tubercle bacilli (ITBL).
Jika sistem imun tidak dapat
mengendalikan tubercle bacilli,
bacilli mulai memperbanyak
diri dengan cepat (terjadi
penyakit TB). Proses ini dapat
terjadi pada area yang berbeda
di tubuh seperti paru, otak, atau
tulang
Gambar 5. Patogenesis Penyakit TB dan ITBL
11
Setelah inhalasi M. tuberculosis, innate imun respon yang melibatkan makrofag
alveolar dan granulosit mulai memerangi infeksi. Pada beberapa orang, basil M.
tuberculosis berhasill dibersihkan, sedangkan pada beberapa lainnya, infeksi terjadi.
Replikasi basil pada makrofag dan kelenjar getah bening regional mengarah ke
diseminasi limfatik dan hematogen, yang pada akhirnya mungkin menimbulkan
penyakit luar paru.
Adanya basil dalam makrofag dan secara ekstraseluler dalam granuloma membatasi
replikasi dan kontrol lebih lanjut kerusakan jaringan, menghasilkan keseimbangan
dinamis antara patogen dan host
Respons imunologis yang terjadi akibat inhalasi M. tuberculosis, baik protektif dan
patogen berkorelasi dengan berbagai aktivasi bakteri. Hal ini mencakup berbagai
interaksi host-mikroba, yang ditandai oleh latensi klinis ketika respons inang
mendominasi dan oleh penyakit ketika replikasi bakteri melebihi ambang yang
dibutuhkan sehingga dapat menyebabkan gejala.6
12
Gambar 6. Perjalanan alamiah dan hasil pada individu yang imunokompeten setelah
terpapar droplet yang mengandung M. tuberculosis, ditularkan oleh TB paru
BTA-positif7
2.4 Faktor yang Memengaruhi Reaktivasi TB Laten
Sekitar 5% hingga 10% pasien yang mengalami TB Laten akan berkembang
menjadi TB aktif. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko reaktivasi TB penting
untuk diketahui.2 Faktor-faktor tersebut adalah:
13
2.4.1 Faktor Risiko Tinggi
a. HIV/AIDS
Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa infeksi HIV mungkin berhubungan
dengan peningkatan risiko reaktivasi ITBL. Infeksi HIV diperkirakan dapat
menyebabkan 10-110 kali risiko lebih tinggi untuk reaktivasi ITBL2.
Gambar 7. Mekanisme hubungan HIV dan Infeksi TB Laten
Berikut adalah mekanisme yang diperkirakan terjadi. Pada tahap pertama,
granuloma nekrotik memiliki fungsi yang normal pada seseorang dengan TB laten.
Kemudian, pada tahap kedua, HIV memasuki granuloma dan menginduksi
perubahan fungsional dalam sel T dan makrofag. Selain itu, HIV juga membunuh
sel T yang diaktifkan. Kemudian, pada tahapan ketiga, penurunan jumlah sel T dan
14
peningkatan disfungsi seluler menyebabkan gangguan fungsional granuloma. Hal
inilah yang dapat menyebabkan peningkatan penyebaran. Selanjutnya, fungsi
granuloma terganggu segera setelah infeksi HIV terjadi yang memicu diseminasi
dan reaktivasi M. TB, Terakhir, granuloma fibrotik untuk sementara waktu
membentuk kembali granuloma, dengan tujuan mencegah reaktivasi.8
b. Kontak dengan Penderita TB
Sebuah studi melaporkan bahwa laju reaktivasi TB 15 kali lebih besar bagi mereka
yang baru saja terinfeksi (<2 tahun). American Thoracic Society (ATS)
merekomendasikan agar apabila terdapat kontak dengan pasien TB di rumah,
seseorang yang memiliki tes TST positif sebaiknya mendapatkan terapi preventif.2
c. Penerima Transplantasi Organ
Risiko TB aktif pada penerima transplantasi orgat dapat disebabkan oleh adanya
infeksi baru atau keadaaan imunosupresi.9 Sebuah studi di Spanyol melaporkan
bahwa penerima transplantasi ginjal, hati dan jantung memiliki kejadian TB 0,8%,
20 kali lebih tinggi dari populasi umum, dan tidak ada perbedaan risiko TB
ditemukan di antara tiga jenis transplantasi tersebut. 2
d. Gagal Ginjal Kronis yang Memerlukan Dialisis
Pada tahun 1970-an-1980-an, beberapa penelitian melaporkan adanya peningkatan
risiko TB 10 hingga 12 kali lipat pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CKD) yang
menjalani hemodialisis bila dibandingkan dengan populasi umum.2 Pada tahun
2016, sebuah penelitian di Taiwan yang melibatkan 940 pasien dialisis mendapatkan
hasil bahwa rate TB pada pasien dengan dialysis adalah sebesar 4,5%. 2,10
15
e. TNF-alpha blocker
Tumor necrosis factor-alpha (TNF-a) memainkan peran kunci dalam respons
inflamasi tubuh, danlima TNF-a antagonis saat ini digunakan dalam bidang klinis
sebagai terapi adalah (etanercept adalimumab, infliximab, golimumab dan
certolizumab. Sebuah metaanalisis menemukan bahwa risiko TB infliximab dan
adalimumab adalah 2,78 dan 3,88 kali lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi oleh karena
obat-obatan tersebut merupakan obat bekerja dengan menetralkan TNF-a, yang
berkontribusi terhadap peradangan pada penyakit. Namun, TNF-a adalah juga
merupakan sitokin penting untuk aktivasi makrofag dan sangat penting dalam
mengontrol host dari Mycobacterium TB.11 Dengan demikian, WHO sekarang
merekomendasikan pengujian dan perawatan untuk ITBL secara keseluruhan pasien
yang berencana menerima pengobatan anti-TNF di negara-negara dengan risiko TB
rendah. 2
f. Silikosis
Hubungan antara silikosis dan TB sudah lama diketahui. Beberapa studi melaporkan
bahwa 25% -30% pasien silikosis akan mengembangkan TB. Risiko relatif untuk
TB mencapai 2,8 pada pasien dengan silikosis dibandingkan dengan populasi
umum.2
Studi eksperimental menunjukkan bahwa silica dapat merusak fungsi makrofag
alveolar, dan paparan silica yang parah dapat menyebabkan apoptosis makrofag.
Temuan ini konsisten dengan pengamatan bahwa kejadian tuberkulosis pada pekerja
yang terpapar debu lebih tinggi bahkan pada mereka yang tidak memiliki silicosis.
Unsur lain yang terlibat adalah surfaktan protein A, dan kelebihan protein ini
tampaknya terkait dengan kerentanan yang lebih tinggi terhadap tuberkulosis,
mungkin karena menghambat pembentukan spesies nitrogen reaktif oleh makrofag
yang diaktifkan dan memungkinkan mikobakteria untuk memasuki makrofag
alveolar tanpa memicu sitotoksisitas. Hal lain yang diketahui adalah bahwa basil
16
dapat tetap dienkapsulasi dalam nodul silikosis, yang akan bertanggung jawab untuk
reaktivasi tuberkulosis pada pasien tersebut.12
2.4.2 Faktor Risiko Sedang
a. Fibronodular disease pada foto rontgen dada
TB aktif ditandai oleh perubahan fibronodular yang stabil, termasuk jaringan parut
(fibrosis peribronkial, bronkiektasis, dan distorsi arsitektur) dan opasitas nodular di
zona apical dan paru-paru bagian atas. Perubahan fibronodular dikaitkan dengan
risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengembangkan reaktivasi TB.13 Pada 1970-an,
sebuah penelitian melaporkan peningkatan risiko TB 6 hingga 19 kali lipat pada
orang yang ditemukan memiliki lesi TB lama yang tidak aktif pada radiografi dada
tetapi tidak memiliki perawatan yang memadai2
b. Penduduk dari negara dengan prevalesi TB yang tinggi
Di negara dengan prevalensi TB rendah,penduduk dari negara dengan kejadian TB
tinggi yang tinggi merupakan salah satu kelompok risiko untuk TB. Oleh karena itu,
skrining dan pengobatan untuk ITBL dan TB dilakukan di banyak negara maju bagi
untuk individu yang lahir di luar negeri. Inggris melakukan skrining terhadap
individu yang datang dari negara dengan risiko TB lebih tinggi dari 40 / 100.000 per
tahun dan Jepang melakukan skrining pada individu dengan negara-negara dengan
risiko 100/ 100.000 per tahun.2
c. Tenaga Kesehatan
Petugas kesehatan berisiko lebih tinggi untuk menderita TB yang didapat secara
nosokomial dibandingkan dengan yang tidak bekerja di layanan kesehatan. Hal ini
mungkin diperngaruhi beberapa faktor seperti adanya sistem pendingin udara
17
(memungkinkan sirkulasi ulang udara yang terkontaminasi), dokter tanpa alat
perlindungan diri yang memadai pada beberapa prosedur seperti bronkoskopi, atau
peningkatan jumlah pengunjung dari negara dengan TB.2 Penelitian lain
menyebutkan, bahwa dari tiga ratus sembilan puluh lima petugas kesehatan
sebanyak 49 (12%) dinyatakan positif menggunakan ITBL.14
d. Tahanan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat infeksi TB di penjara lebih tinggi
daripada populasi nasional masing-masing negara. Peningkatan tingkat penularan
TB mungkin berkaitan dengan faktor-faktor berikut yaitu, kepadatan, pergantian
individu yang tinggi, dan jumlah yang tidak proporsional, serta adanya tahanan yang
memiliki faktor risiko lain yang terkait dengan TB, seperti misalnya HIV, dimana
pada populasi ini lebih banyak kemungkinan koinfeksi dengan HIV dan lebih sulit
diobati secara patuh.15
2.4.3 Faktor Risiko Rendah
a. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) diketahui meningkatkan risiko TB pada individu, dan
beberapa penelitian telah melaporkan bahwa risiko relatif berkisar antara 1,16
hingga 7,83.2 Kontrol glikemik yang buruk dikaitkan dengan glikasi makrofag dan
hipotesis sentinel yang rusak, di mana monosit gagal menyerap M. tuberkulosis
karena berkurangnya aktivasi makrofag alveolar. Sequence analysis glikasi CD271
dalam sel induk mesenchymal oleh Bhattacharyya et al. menemukan bahwa glikasi
domain fungsional CD271 sel mesenkim dapat terjadi dalam waktu lama, pada
individu dengan DM tidak terkendali. Fenomena ini berpotensi memodulasi rentang
hidup sel CD271, yang dapat berpengaruh pada M. tuberculosis di ITBL.
Selanjutnya, peptida antimikroba (AMP) ekspresi gen telah dikaitkan dengan ITBL,
18
TB aktif dan DM. Diferensial ekspresi AMP, seperti β-defensin-2, pada pasien
dengan DM dapat berkontribusi peningkatan risiko ITBL dan TB aktif.16
b. Merokok
Merokok dapat mengubah respons imun paru M Tb. Oleh karena itu, merokok dapat
berkontribusi pada kerentanan yang lebih tinggi untuk infeksi TB pada individu.
Risiko relatif infeksi TB pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok berkisar
2 hingga 3,4 kali lipat, dan reaktivasi dan tingkat kematian TB juga lebih tinggi pada
perokok.2 Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa merokok meningkatkan
kemungkinan infeksi TB. Adanya paparan asap mengurangi fungsi silia normal
pembersihan patogen dari paru dan jalur bronkial. Selain itu, makrofag alveolar pada
perokok kurang mampu merespons bakteri di paru. Hal ini diperberat dengan respon
kekebalan sistemik yang menurun pada perokok. Akhirnya, paparan asap
menghasilkan lebih banyak batuk yang dapat memfasilitasi aerosolisasi M. TB dari
paru perokok yang terinfeksi, yang bisa menyebabkan peningkatan transmisi.17
c. Penggunaan Kortikosteroid
Untuk pasien yang sedang dirawat dengan kortikosteroid, risiko reaktivasi TB
meningkat 2,8 hingga 7,7 kali lipat.2 Pernyataan bersama dari American Thoracic
Society dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS mengungkapkan
bahwa dosis prednisolon oral 15 mg / hari atau lebih yang diberikan selama 1 bulan
atau lebih adalah faktor risiko berkembangnya TB. Dalam penelitian Chung, et al,
penggunaan jangka panjang kortikosteroid oral bahkan pada dosis rendah 1–10 mg
/ hari, menunjukkan adanya peningkatan risiko pengembangan TB dan terdapat efek
yang bergantung terhadap dosis.18
19
2.5 Diagnosis
Seseorang yang mengalami Infeksi Tuberkulosis Laten tidak menunjukkan tanda-tanda
klinis atau gejala penyakit TB dan memiliki radiografi dada normal. Diagnosis Infeksi
Tuberkulosis Laten (ITBL) bergantung pada penanda imunologis. Dua metode yang
sering digunakan dalam praktik klinis telah dirancang untuk mengukur respon imun
adaptif yang dimediasi sel asimptomatik host yang terkena Mycobacterium
Tuberkulosis adalah Tuberculin Skin Test (TST) dan Interferon-Gamma Release
Assays (IGRA). Kedua test tersebut adalah alat diagnostik standar imunologi untuk
ITBL.
Gambar 8. Perkembangan Tuberkulosis
20
a. Tuberculin Skin Test (TST)
Sampai tahun 2001, Tuberculin Skin Test (TST) adalah satu-satunya metode untuk
mendiagnosis LTBI. Tes pertama kali dijelaskan oleh Robert Koch pada tahun 1890.
Tuberkulin adalah ekstrak gliserol dari mikobakteri, dan PPD (purified protein
derivative) endapan antigen spesifik non-spesies yang diperoleh dari mikobakteri.
Yang dilakukan pada TST adalah: mengukur indurasi kulit 48-72 jam. setelah
administrasi PPD intradermal (Mantoux prosedur). "
b. Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs)
Tes ini bertujuan untuk mengukur pelepasan sel-T IFN-γ in vitro setelah stimulasi oleh
MITC antigen spesifik. Sampel ini diambil dengan menggunakan sampel darah. Dua
IGRA telah dikembangkan: QuantiFERON-TB® Gold In-Tube (QFT) (Cellestis
Limited, Carnegie, Victoria, Australia) dan T-SPOT. TB® (Oxford Immunotec,
Oxford, UK). Kedua tes menggunakan antigenik awal yang disekresikan target 6
(ESAT-6) dan kultur filtrat protein (CFP10), yang dikodekan oleh gen yang terletak di
region of difference 1 (RD-1) segmen Genom MTC.
QFT adalah enzyme-linked immunosorbentassay (ELISA) yang dilakukan pada darah
lengkap. Tes ini mengukur tingkat IFN-γ. Hasilnya mudah diproses oleh perangkat
lunak dan dilaporkan dalam (IU / mL). Sementara T-SPOT TB adalah enzyme-linked
immunospot assay (ELISPOT). Hasilnya dilaporkan sebagai jumlah produksi IFN-γ
yang memproduksi sel T.
Baik TST maupun IGRA tidak dapat mendeteksi Infeksi TB pada tahap awal karena
yang diukur adalah respon imun adaptif terhadap MTC. Untuk itu, jangka waktu 8
minggu setelah infeksi diperlukan untuk hasil yang dapat diandalkan. Ada tiga
kelemahan penting
21
Terdapat tiga kekurangan test tersebut. Pertama adalah nilai prediktif positif
(PPV) mereka yang buruk untuk pengembangan menjadi activeTB. Beberapa
penelitian telah mencoba untuk mengkorelasikan risiko perkembangan terhadap
respons kuantitatif keduanya di Indonesia secara in vivo (pengukuran TST) dan tes in
vitro (misalnya, konsentrasi IFN-γ dalam tabung QFT), tetapi tidak ada hasil konklusif
yang ditemukan. Meta-analisis menunjukkan PPV sedikit lebih baik dengan IGRA
dibandingkan dengan TST (2,4% untuk TST dan 6,8% untuk IGRA dalam kelompok
berisiko tinggi).
Kerugian umum kedua adalah ketidakmampuan TST dan IGRA untuk membedakan
ITBL dan penyakit aktif. WHO sudah merekomendasikan terhadap penggunaan IGRA
untuk Diagnosis TB aktif, hasil negatif tidak menyingkirkan penyakit.
Yang ketiga adalah bahwa tes tidak dapat membedakan infeki yang baru atau lama..
Infeksi masa lalu dan infeksi baru tidak berbeda satu sama lain. Setiap hasil harus
diperiksa dan dirancang dengan hati-hati, sebagai kekhasan host dapat memodifikasi
sensitivitas dan kekhususan dari kedua TST dan IGRA
22
2.6 Penatalaksanaan
Tabel 1. Rekomendasi Pengobatan Infeksi Tuberkulosis Laten
Monoterapi harian Izoniazid selama 6 bulan adalah pengobatan standar untuk orang
dewasa dan anak-anak yang tinggal di negara dengan insiden TB tinggi atau rendah.
Beberapa tinjauan sistematis telah menunjukkan bahwa hal ini efektif sebagai untuk
mencegah TB menjadi aktif. Tinjauan sistematis RCT yang melibatkan Odha
menunjukkan bahwa monoterapi isoniazid mengurangi risiko keseluruhan untuk TB
sebesar 33% (RR 0,67; 95% CI 0,51; 0,87), dan pencegahan pada orang dengan TST
positif (RR 0,36; 95% CI 0,22; 0,61) mencapai 64%
Tidak ada uji klinis terkontrol yang ditemukan membandingkan monoterapi isoniazid
9 bulan dan 6 bulan. Analisis ulang oleh United States Public Health Service yang
dilakukan pada 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa manfaat isoniazid
meningkat secara progresif ketika diberikan hingga 9-10 bulan dan menstabilkan
setelahnya
Tinjauan sistematis dan meta-analisis dari tiga RCT pada orang yang hidup dengan
HIV di lingkungan dengan prevalensi TB yang tinggi menunjukkan bahwa IPT
23
berkelanjutan dapat mengurangi risiko TB aktif sebesar 38% lebih dari Isoniazid 6
bulan. Efeknya lebih besar pada orang dengan TST positif (49% untuk TB aktif dan
50% untuk mortalitas). Pada pasien dengan TST negatif, tidak ada efek yang signifikan,
meskipun estimasi titik menunjukkan pengurangan kejadian TB sebanyak 27%.
Tinjauan sistematis pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kemanjuran dan profil
keamanan rifampisin harian plus isoniazid berbulan-bulan sama dengan penggunaan
isoniazid 6 bulan. Rifampisin harian plus isoniazid dapat digunakan sebagai alternatif
untuk isoniazid pada negara dengan prevalensi TB yang rendah. Kami melakukan
tinjauan baru untuk membandingkan efektivitas pada anak-anak rifampicin dan
isoniazid setiap hari selama 3 bulan dengan isoniazid selama 6 atau 9 bulan.
Pedoman ITBL pada tahun 2015 diperbaharui pada tahun 2017, ditemukan efek positif
untuk penggunaan rifampisin harian selama 3-4 bulan dan isoniazid selama 6 bulan
(rasio odds, 0,78; 95% CI, 0,41; 1,46). Ulasan tersebut juga menunjukkan bahwa orang
yang diberikan rifampisin setiap hari selama 3-4 bulan memiliki risiko lebih rendah
untuk mengalami hepatotoksisitas dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan
monoterapi isoniazid (rasio odds, 0,03; 95% CI 0,00; 0,48).
Sebuah tinjauan sistematis dilakukan untuk membandingkan efektivitas regimen
mingguan rifapentine plus isoniazid selama 3 bulan dengan monoterapi isoniazid.
Ulasan tersebut mencakup empat RCT (52–55), yang dianalisis untuk tiga
subkelompok: orang dewasa dengan infeksi HIV, orang dewasa tanpa infeksi HIV dan
anak-anak dan remaja, yang tidak dapat dikelompokkan berdasarkan status HIV karena
studi yang relevan masih kurang.
Dua RCT dengan subjek orang dewasa penderita HIV dari Afrika Selatan, Peru dan di
sejumlah negara dengan angka kejadian TB yang rendah menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam kejadian TB aktif antara peserta yang
diberikan regimen rifapentine plus isoniazid mingguan selama 3 bulan dan monoterapi
isoniazid 6 atau 9 bulan (RR 0,73, 95% CI 0,23; 2,30).
24
Selain itu, risiko hepatotoksisitas secara signifikan lebih rendah dengan regimen
rifapentine plus isoniazid pada orang dewasa dengan HIV (RR 0,26, 95% CI 0,12; 0,55)
dan mereka yang tidak HIV (RR 0,16, 95% CI 0,10; 0,27).19
25
BAB III
PENUTUP
Infeksi Tuberkulosis Laten (ITBL) adalah seseorang yang terinfeksi bakteri M.
Tuberkulosis tetapi tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto
toraks normal dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon Gamma
Release Assay (IGRA) positif. Sekitar 5% hingga 10% pasien yang mengalami TB
Laten akan berkembang menjadi TB aktif. Faktor-faktor yang memengaruhi hal
tersebut terbagi menjadi faktor risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah. Faktor
risiko tinggi meliputi HIV/AIDS, kontak dengan penderita TB, penerima transplantasi
organ, gagal ginjal kronis yang memerlukan dialisis, TNF-alpha blocker, dan silikosis.
Faktor risiko sedang meliputi fibronodular disease pada foto rontgen dada, penduduk
dari negara dengan prevalesi TB yang tinggi, tenaga kesehatan, dan tahanan. Faktor
risiko rendah meliputi diabetes mellitus, merokok, dan penggunaan kortikosteroid.
1
DAFTAR PUSTAKA
1. Cohen A, Mathiasen VD, Schön T, Wejse C. The global prevalence of latent
tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. Eur Respir J. 2019;54(3).
doi:10.1183/13993003.00655-2019
2. Ai JW, Ruan QL, Liu QH, Zhang WH. Updates on the risk factors for latent
tuberculosis reactivation and their managements. Emerg Microbes Infect.
2016;5(September 2014):e10. doi:10.1038/emi.2016.10
3. Paton NI, Borand L, Benedicto J, et al. Diagnosis and management of latent
tuberculosis infection in Asia: Review of current status and challenges. Int J
Infect Dis. 2019;87:21-29. doi:10.1016/j.ijid.2019.07.004
4. Irianti, dkk. 2016. Anti-tuberkulosis.
5. Houben RMGJ, Dodd PJ. The Global Burden of Latent Tuberculosis Infection:
A Re-estimation Using Mathematical Modelling. PLoS Med. 2016;13(10):1-
13. doi:10.1371/journal.pmed.1002152
6. Getahun H, Matteelli A, Raviglione M. Latent Mycobacterium tuberculosis
Infection. 2015;(May). doi:10.1056/NEJMra1405427
7. Ahmad S. Pathogenesis , Immunology , and Diagnosis of Latent
Mycobacterium tuberculosis Infection. 2011;2011. doi:10.1155/2011/814943
8. Diedrich CR, Flynn JAL. HIV-1/Mycobacterium tuberculosis coinfection
immunology: How does HIV-1 exacerbate tuberculosis? Infect Immun.
2011;79(4):1407-1417. doi:10.1128/IAI.01126-10
9. Bumbacea D, Arend SM, Eyuboglu F, et al. The risk of tuberculosis in
transplant candidates and recipients: A TBNET consensus statement. Eur
Respir J. 2012;40(4):990-1013. doi:10.1183/09031936.00000712
10. Shu CC, Hsu CL, Wei YF, et al. Risk of tuberculosis among patients on
2
dialysis. Med (United States). 2016;95(22):1-8.
doi:10.1097/MD.0000000000003813
11. Esmail H, Wilkinson RJ. Minimizing tuberculosis risk in patients receiving
anti-TNF therapy. Ann Am Thorac Soc. 2017;14(5):621-623.
doi:10.1513/AnnalsATS.201701-055ED
12. Farazi A, Jabbariasl M. Silico-tuberculosis and associated risk factors in
central province of Iran. Pan Afr Med J. 2015;20:333.
doi:10.11604/pamj.2015.20.333.4993
13. Nachiappan AC, Rahbar K, Shi X, et al. Pulmonary tuberculosis: Role of
radiology in diagnosis and management. Radiographics. 2017;37(1):52-72.
doi:10.1148/rg.2017160032
14. Almufty HB, Abdulrahman IS, Merza MA. Latent tuberculosis infection
among healthcare workers in Duhok province: From screening to prophylactic
treatment. Trop Med Infect Dis. 2019;4(2):1-11.
doi:10.3390/tropicalmed4020085
15. Gray BJ, Perrett SE, Gudgeon B, Shankar AG. Investigating the prevalence of
latent Tuberculosis infection in a UK remand prison. J Public Health
(Bangkok). 2019:1-6. doi:10.1093/pubmed/fdy219
16. Woalder. 乳鼠心肌提取 HHS Public Access. Physiol Behav.
2017;176(1):139-148. doi:10.1016/j.physbeh.2017.03.040
17. Lindsay RP, Shin SS, Garfein RS, Rusch MLA, Novotny TE. The association
between active and passive smoking and latent tuberculosis infection in adults
and children in the United States: Results from NHANES. PLoS One.
2014;9(3):1-8. doi:10.1371/journal.pone.0093137
18. Chung WS, Chen YF, Hsu JC, Yang WT, Chen SC, Chiang JY. Inhaled
corticosteroids and the increased risk of pulmonary tuberculosis: A population-
based case-control study. Int J Clin Pract. 2014;68(10):1193-1199.
3
doi:10.1111/ijcp.12459
19. WHO. 2018. Latent Tuberculosis Infection.