faktor-faktor yang berhubungan dengan...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL
PARU PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI KELURAHAN CIRENDEU
TAHUN 2014
Skripsi
Oleh
NOVANDANY DWIANTORO PUTRA
109101000068
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan batrwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh getar strata l'di Fakulta! Kedokteran dan
llmu Kesehatan Universitas lslam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan llmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hariterbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli dari saya
atau merupakan plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Fakultas Kedokteran dan llmu Kesehatan Universitas lslam Negeri
(UlN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
N ovandany Dwiantoro Putra
Jakarta, Juni 2014
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA Skripsi, Juni 2014
Novandany Dwiantoro Putra, NIM: 109101000068
Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
(xvi + 102 halaman, 9 tabel, 4 grafik, 5 gambar, 4 lampiran)
ABSTRAK
Penurunan kapasitas vital paru pada pekerja las dapat terjadi karena pengelasan menghasilkan polutan yang berupa gas dan partikulat yang terhirup ke dalam paru-paru. Industri pengelasan merupakan industri informal yang dikelola oleh perorangan dengan teknologi yang sederhana. Perlindungan kesehatan terhadap tenaga kerja kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan kapasitas vital paru. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain crosss sectional, yang dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu sebanyak 58 orang, dengan sampel minimum 38 orang dan responden sebanyak 42 orang. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrumen: kuesioner, timbangan injak, microtoice, EPAM 5000, dan Spirometer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kapasitas Vital Paru (KVP) pekerja las mengalami penurunan sebanyak 61,9%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan KVP adalah variabel paparan kadar debu total (Pvalue = 0.029), umur (Pvalue = 0.000), masa kerja (Pvalue = 0.014), jumlah jam kerja per minggu (Pvalue = 0.012), dan kebiasaan merokok (Pvalue = 0.000). Sedangkan kebiasaan olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan tidak berhubungan dengan kapasitas vital paru.
Untuk menurunkan risiko penurunan KVP pada pekerja las, disarankan agar lingkungan kerja menggunakan exthaust, melarang merokok di tempat kerja serta berhenti merokok, menggunakan masker ketika bekerja, dan rajin olahraga aerobik minimal 3 kali seminggu selama 30 menit. Daftar bacaan : 42 (1973 – 2013)
Kata kunci: Pekerja bengkel las, Kapasitas vital paru, Paparan debu.
iii
JAKARTA STATE ISLAMIC UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduated Thesis, June 2014
NOVANDANY DWIANTORO PUTRA, NIM : 109101000068
FACTORS ASSOSIATED WITH THE FORCE VITAL CAPACITY OF WELDERS AT WELD WORKSHOP IN CIRENDEU VILLAGE, YEAR 2014
(xvi + 99 pages, 9 tables, 4 graphic, 5 pictures, 4 attachments)
ABSTRACT
The decrease of force vital capacity in welders may occur due to welding produces gaseous pollutants and particulates are inhaled into the lungs. Welding industry is informal industrial who is managed by individuals with simple technology. Health protection to workers received less attention. Therefore, this study was conducted to determine the factors associated force vital capacity.
This study is an analytic epidemiologic study with crosss sectional design, which was conducted in February-March 2014. Population in this study is a welding shop workers in the Village Cirendeu were 58 people, with a minimum sample of 38 people and a total of 42 respondents. Data were collected using instruments: questionnaires, scales underfoot, microtoice, EPAM 5000, and spirometer.
The results showed that the Force Vital Capacity (FVC) welders decreased by 61.9%. Based on the results of statistical tests known that the variables associated with FVC is variable levels of total dust exposure (Pvalue = 0.029), age (Pvalue = 0.000), working period (Pvalue = 0.014), total of hours worked per week (Pvalue = 0.012), and smoking habits (Pvalue = 0.000). While exercise habits, nutritional status (BMI), disease history and employment history was not associated with force vital capacity.
To lower the risk of the decrease a FVC in weldkers, it is suggested that the working environment using exthaust, prohibits smoking in the workplace and stop smoking, using a mask when working, and do aerobic exercise at least 3 times a week for 30 minutes. References : 42 (1973 – 2013)
Keyword: Welders, Force vital capacity, Dust exposure.
FAKTOR.X'AKTOR YANG BEREUBT}NGAN DENGAIT I(APASITAS VITAL
PARU PAI}A PEKERJA BENGKEL LAS}DI IOLT}RAHAN CINENDEU
TAgt N201{
Slaipsi
Ditjrdrar kc@a F*rrltas K&ktcran dan Ilmu Kesetratah untuk Mernenuhi
Pasyarcm lv{efirpeiloldr Crelar Smjuu Kcs&dan l,Ias}arakat (SKM)
Oleh:
Nwrr&w llrientoro Putra
NIM:10910100m68
Pembimbing I
RaiIam Nadra Allmtr, M.MA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATA}I
I,JNTYERSITAS ISIAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAIL{II'TA
2014
Pembimbing II
Iting Shoft.ati. ST. MKKK
PENGESAEAN PA}IITIA UJIAN
Slaipsr dengan judul Fffi YANG BERIIUBIINGAN DENGAITI
KAPASITAS VITAT PARU PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI
KELITRAHAN CIRENDEU TAIIUN 2014 telah diojik; dalam sidang ujian
slcipsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Symif
Hida,,a$llah Jalwta @ mggel 19 Mei 2014. Slripsi ini telah diterima sebagai
salah sanr syarat me,mp€ml€h gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada
Prograrr Studi Kes*atan Masyarakat
Jalcrta, Juni 2014
Anggota I
Ketue
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Novandany Dwiantoro Putra
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 09 November 1990
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum menikah
Nomor Handphone : 085769111990
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2009- sekarang S1- Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2006- 2009 SMA Negeri 86 Jakarta
2003- 2006 SMP Islam Al-Azhar 3 Bintaro
1997- 2003 SD Islam Al-Azhar 17 Bintaro
Pengalaman Pelatihan dan Seminar
2012 Pelatihan OSHAS 18001
2012 Seminar Profesi K3 UIN Jakarta
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Segalanya, syukur penulis ucapkan
karena tanpa pertolongan-Mu penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita, Nabi besar
baginda Rasulallah SAW yang membawa umatnya dari zaman kegelapan ke zaman
yang terang benderang. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan Skripsi Tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital
Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014”. Penyelesaian
skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis, melainkan banyak pihak yang
memberikan bantuan baik moril maupun materil, sekiranya patutlah bagi penyusun
untuk berterima kasih yang tak hingga kepada :
1. Ayahanda dan Ibunda penulis yang memberikan do’a dan ketulusan serta rasa
sayang yang tak terbatas terhadap diri penulis.
2. Kakak kandung penulis beserta istri “Andhika Prasetyo V.P. dan Indah
Setyowati” yang telah membantu atas kelancaran penelitian penulis.
3. Eyang terkasih, Pakde serta Bude tersayang dan semua keluarga besar tercinta
yang juga turut mendukung dan memotivasi serta memberikan nasehat kepada
penulis.
viii
4. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. MK. Tadjuddin, Sp.And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Ibu Febrianti, SP, M. Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
yang selalu berusaha dengan keikhlasannya memajukan jurusan kesmas agar
bisa berdiri di atas dari jurusan-jurusan lain
6. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku Pembimbing Skripsi I dan Ibu Raihana
Nadra Alkaff, M. MA, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan waktu,
ilmu, dan kesabarannya untuk membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Yuli Amran, MKM dan Ibu Minsarnawati T, SKM, M.Kes selaku penguji
sidang skripsi, terima kasih atas kehadirannya pada sidang skripsi penulis.
8. Bapak Ajib, Bapak Ghozali, Kak Ami, Kak Ida, dan Kak Septi. Terimakasih
untuk semangat yang diberikan kepada penulis.
9. My bestfriend forever, Selisca Luthfiana Fadhillah, sungguh besar kebaikan
dan semangat yang kamu berikan sehingga tulisan ini menjadi satu-kesatuan
yang membuat aku menjadi sarjana.
10. Teman-teman di Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya K3 2009. Semoga keberkahan selalu menyertai langkah
kita. Aamiin...
ix
Dengan memanjatkan do’a kepada Allah SWT, penyusun berharap semua
kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Aamiin. Terakhir
kiranya peneliti berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dan
pembaca umumnya.
Jakarta, Juni 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN MAHASISWA i ABSTRAK ii LEMBAR PERSETUJUAN iv LEMBAR PENGESAHAN v DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI x DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GRAFIK xiv DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xvi BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 6 1.3 Pertanyaan Peneltian 7 1.4 Tujuan Penelitian 7
1.4.1 Tujuan Umum 7 1.4.2 Tujuan Khusus 7
1.5 Manfaat Penelitian 8 1.5.1 Bagi Pengelola Bengkel Las 8 1.5.2 Bagi Peneliti 9
1.6 Ruang Lingkup 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pernapasan Manusia 10 2.2 Volume dan Kapasitas Vital Paru 12 2.3 Debu Industri 18 2.4 Dampak Inhalasi Uap Logam 21
xi
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Bengkel Las 22
2.6 Kerangka Teori 33 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep 36 3.2 Definisi Operasional 40 3.3 Hipotesis 44
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian 45 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 45 4.3 Populasi dan Sampel 45 4.4 Pengumpulan Data 48 4.5 Instrumen Penelitian 52 4.6 Pengolahan Data 53 4.7 Teknik Analisis Data 55
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Profil Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu 57 5.2 Analisis Univariat 58
5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 58
5.2.2 Gambaran Kadar Debu Total pada Lingkungan Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 59
5.2.3 Gambaran Variabel Independen Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 61
5.3 Analisis Bivariat 67 5.3.1 Hubungan Antara Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa Kerja,
dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 67
5.3.2 Hubungan Antara Paparan Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga, Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 71
xii
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian 76 6.2 Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu,
Tahun 2014 76 6.3 Hubungan antara Paparan Kadar Debu Total dengan Kapasitas Vital Paru
pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 80 6.4 Hubungan antara Umur dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 82 6.5 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 84 6.6 Hubungan antara Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital
Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 86 6.7 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 88 6.8 Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 92 6.9 Hubungan antara Status Gizi (IMT) dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 94 6.10 Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 95 6.11 Hubungan antara Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 97 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 99 7.2 Saran 101
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori IMT 29
Tabel 3.1 Definisi Operasional 40
Tabel 4.1 Perhitungan Sampel 47
Tabel 5.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014 58
Tabel 5.2 Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 60
Tabel 5.3 Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Umur, Masa Kerja, dan Jumlah Kerja Per Minggu, Tahun
2014 62
Tabel 5.4 Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga, Status Gizi,
Riwayat Penyakit dan Riwayat Pekerjaan, Tahun 2014 62
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa Kerja,
dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 68
Tabel 5.6 Analisis Hubungan antara Kebiasaan Merokok, Kebiasaan
Olahraga,Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat Pekerjaan
dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu,Tahun 2014 72
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 59
Grafik 5.2 Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 61
Grafik 5.3 Gambaran Frekuensi Masa Kerja di Kelurahan Cirendeu Berdasarkan
10 Tahun Bekerja, Tahun 2014 64
Grafik 5.4 Gambaran Frekuensi Klasifikasi Merokok Pekerja Bengkel Las di
Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014 65
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sistem Pernapasan 11
Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian 35
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 39
Gambar 4.1 Spirometer Minato Autospiro AS-505 dan EPAM 5000 53
Gambar 6.1 Welding fumes respiratory dan dust respiratory 82
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiaran 1 Pemberian Izin Penelitian dari Kelurahan
Lampiaran 2 Foto Pengambilan Data
Lampiaran 3 Output Analisis Univariat dan Bivariat
Lampiaran 4 Kuesioner Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam memasuki Era Globalisasi, upaya keselamatan dan kesehatan
kerja harus mendapatkan perhatian yang serius bagi dunia industri, hal ini
dikarenakan dengan adanya kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja,
peledakan dan kebakaran serta pencemaran lingkungan kerja, akan menurunkan
kredibilitas dari suatu perusahaan tersebut di mata pembeli atau pemakai
produknya. Mengenai upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang dimaksudkan
untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan
para pekerja atau buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan
rehabilitasi. Selanjutnya dengan perkembangan dunia industri maka dirasa perlu
melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, yang pada dasarnya ialah
bagaimana cara melaksanakan industri atau berproduksi dengan aman, nyaman,
tidak ada gangguan kecelakaan kerja termasuk peledakan, kebakaran, penyakit
akibat kerja dan pencemaran lingkungan kerja (Rahayu, 2008).
Riset yang dilakukan badan dunia ILO pada tahun 2003 menghasilkan
kesimpulan, setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan satu
2
orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan
yang berakibatkan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal dua
kali lebih banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan
pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah
menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam
pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun (Rahayu, 2008).
Industri pengelasan pada umumnya merupakan industri informal. Industri
informal biasanya dikelola oleh perorangan dengan teknologi yang masih
sederhana, tanpa banyak tersentuh oleh peraturan perundangan, sehingga segala
peraturan yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan dan keselamatan
terhadap tenaga kerja serta masyarakat sekitarnya kurang mendapat perhatian
(Yulaekah, 2007). Industri pengelasan menghasilkan polutan hasil dari kegiatan
industri yang berupa gas dan partikulat yang berisiko terhadap kesehatan
manusia. Efek terhadap kesehatan dipengaruhi oleh intensitas dan lamanya
keterpajanan. Polutan tersebut merupakan hasil dari proses pengelasan. Asap
yang terbentuk saat proses pengelasan terdiri dari berbagai campuran logam
seperti besi (Fe), mangan (Mn), kromium (Cr), dan nikel (Ni). Dalam konsentrasi
yang besar, partikulat dari asap pengelasan dapat menimbulkan paparan pada
pekerja secara intensif. Efek pernapasan pada pekerja pengelasan yang di
antaranya adalah bronkhitis, iritasi saluran napas, demam asap logam, dan
perubahan fungsi paru (Deviandhoko, 2012).
3
Partikulat dalam asap pengelasan besarnya berkisar antara 0,2 μm sampai
dengan 3 μm. Butir asap pengelasan yang besarnya 0,5 μm atau lebih bila
terhisap akan tertahan oleh bulu hidung dan bulu pipa pernapasan, sedangkan
yang lebih halus akan terbawa masuk ke paru-paru, dimana sebagian akan
dihembuskan keluar kembali dan sebagian menempel pada paru paru yang dapat
menimbulkan beberapa penyakit pernapasan (Deviandhoko, 2012).
Berbagai studi tentang partikulat dalam asap pengelasan yang
berhubungan dengan gangguan pernapasan antara lain menurut penelitian Amelia
(2010) bahwa efek pernapasan terlihat pada pekerja pengelasan yang bekerja
penuh di antaranya bronkhitis, iritasi saluran napas, demam asap logam,
perubahan fungsi paru, dan meningkatkan kemungkinan timbulnya kanker paru.
Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Muliarta (2008), menjelaskan
bahwa pada proses pengelasan menghasilkan gas, fumes dan bahan kimia toksik
seperti partikel logam yang dilepaskan ke dalam atmosfer. Baik nitrogen
dioksida, ozon, dan beberapa fumes dari logam bersifat sebagai oksidan atau
radikal bebas sehingga dihasilkan berbagai jenis Reactive Oxygen Species (ROS)
dan Reactive Nitrogen Species (RNS). ROS dan RNS dapat mempengaruhi
fungsi paru secara akut. Paparan berbagai hazard yang menghasilkan ROS/RNS
dapat mempengaruhi fungsi paru secara akut. ROS/RNS dapat secara langsung
merusak epitel alveoli atau merangsang inflamasi (Deviandhoko, 2012).
4
Dari beberapa teori diketahui bahwa, gangguan fungsi paru pada pekerja
pengelasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang dapat dikelompokan dalam
tiga kelompok yaitu karakteristik individu, pekerjaan dan lingkungan.
Karakteristk individu diantaranya adalah umur, jenis kelamin, status gizi,
kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan.
Faktor pekerjaan diantaranya adalah masa kerja, lama kerja per minggu,
penggunaan masker, dan dari faktor lingkungan adalah paparan kadar debu total.
Dengan demikian, pekerjaan pengelasan mempunyai resiko terjadinya gangguan
fungsi paru bagi pekerjanya (Budiono, 2007).
Terdapat beberapa penelitian mengenai kapasitas vital paru pada pekerja
las diantaranya dilakukan oleh Deviandhoko (2012) yang menyatakan sebanyak
24,4% dari 78 orang pekerja mengalami gangguan fungsi paru yang diukur
melalui kapasitas vital paru. Prasetyo (2010) dalam penelitiannya juga diketahui
sebanyak 37,8% dari 37 pekerja bengkel las di kelurahan Pisangan mengalami
restriksi paru.
Pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu merupakan pekerjaan yang
berisiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Pekerja bengkel las
melakukan pengelasan dengan jenis las listrik berdiameter elektroda besar (2,6
mm), pemotongan, penghalusan besi, pengepoksian, dan pengecatan. Sehingga
proses pekerjaan yang dilakukan menghasilkan partikulat yang dapat
mempengaruhi kapasitas vital paru. Berdasarkan informasi dari pengelola
5
bengkel las hingga saat ini belum pernah dilakukan suatu penelitian terhadap
pekerja bengkel las yang berhubungan dengan kapasitas vital paru. Selain itu
belum pernah dilakukannya pemeriksaan kapasitas vital paru pekerja bengkel las
dan belum pernah dilakukannya pengukuran lingkungan kerja berupa kadar debu
total di udara di bengkel las tersebut.
Peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap 15 pekerja bengkel
las di Kelurahan Cirendeu bulan Desember 2013, sebanyak 11 (73,3%) pekerja
bengkel las mengalami gangguan fungsi paru yang diukur menggunakan
spirometri. Berdasarkan data tersebut, peneliti perlu mengetahui faktor-faktor apa
sajakah yang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pekerja bengkel las.
Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan tindakan
pencegahan seperti sosialisasi pada pekerja las terkait faktor-faktor yang dapat
memicu terjadinya gangguan kapasitas vital paru ketika bekerja sehingga pekerja
dapat menggunakan peralatan serta memakai alat pelindung yang terbaik untuk
menjaga kesehatan pekerja tersebut. Dengan demikian penulis bermaksud
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan kapasitas vital
paru pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.
6
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan yang sudah diutarakan pada latar belakang diketahui dari
studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2013, sebanyak 11
(73,3%) dari 15 pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu mengalami gangguan
fungsi paru yang diukur dengan menggunakan spirometri. Hal tersebut dapat
berdampak tubuh kekurangan volume oksigen sehingga metabolisme tubuh
terganggu serta dapat terjadi kerusakan paru akibat uap logam pengelasan.
Penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru
pekerja bengkel las belum pernah dilakukan di Kelurahan Cirendeu, sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan
kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014
dengan tujuan mengetahui gambaran dan hubungan antara umur, kebiasaan
merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan,
masa kerja, lama kerja per minggu pekerja, dan paparan kadar debu total dengan
kapasitas vital paru pekerja bengkel las.
7
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pekerja bengkel las di Kelurahan
Cirendeu tahun 2014?
2. Bagaimana gambaran umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, status
gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan, masa kerja, dan lama kerja per
minggu pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014?
3. Bagaimana gambaran paparan kadar debu total bengkel las di Kelurahan
Cirendeu tahun 2014?
4. Apakah ada hubungan antara umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga,
status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan, masa kerja, lama kerja per
minggu pekerja, dan paparan kadar debu total dengan kapasitas vital paru
pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas
vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
1.4.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran kapasitas vital paru pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
8
b. Mengetahui gambaran umur, kebiasaan merokok, kebiasaan
olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan, masa
kerja, dan lama kerja per minggu pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
c. Mengetahui gambaran paparan kadar debu total bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
d. Mengetahui hubungan antara umur, kebiasaan merokok,
kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat
pekerjaan, masa kerja, lama kerja per minggu pekerja, dan
paparan kadar debu total dengan kapasitas vital paru pekerja
bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
1.5. Manfaat penelitian
1.5.1. Bagi Pengelola Bengkel Las
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah
pengetahuan pekerja dan pengelola bengkel las mengenai penurunan
kapasitas vital paru dampak dari pekerjaan dan kondisi lingkungan
kerja yang kurang baik. Dengan demikian pekerja dan pengelola
bengkel las dapat melakukan upaya pencegahan dan perlindungan dari
penyakit akibat kerja.
9
1.5.2. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
serta dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti, untuk melakukan
penelitian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan kapasitas vital paru.
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa semester X program studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di
bengkel las kelurahan Cirendeu yang dilakukan pada bulan Februari 2014 –
Maret 2014. Penelitian membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu,
dengan menggunakan desain studi cross sectional. Data penelitian diperoleh
dengan cara pengambilan data primer. Sasaran penelitian adalah pekerja bengkel
las yang berada sekitar Kelurahan Cirendeu berjumlah 58 orang dengan sampel
42 orang.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Pernapasan Manusia
1. Pengertian saluran pernafasan
Saluran pernafasan adalah saluran yang mengangkut udara
antara atmosfer dan alveolus, yaitu tempat terakhir yang merupakan
satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat
berlangsung (Rab, 1996).
2. Fungsi pernafasan
Fungsi utama pernafasan adalah untuk pertukaran gas yakni
untuk memperoleh oksigen agar dapat digunakan oleh sel-sel tubuh
dan mengeleminasi karbondioksida yang dihasilkan oleh sel (Rab,
1996).
3. Jalur pernafasan
Saluran pernafasan berawal dari saluran hidung (nasal). Dari
hidung berjalan ke faring (tenggorokan) yang berfungsi sebagai
saluran bersama bagi sistem pernafasan maupun sistem pencernaan.
Dari faring kemudian laring atau kotak suara yang dapat menghasilkan
berbagai macam bunyi. Dari laring menuju ke trakea yang terbagi
11
menjadi dua cabang utama bronkus kanan dan kiri. Dalam setiap paru
bronkus terus bercabang menjadi slauran nafas yang makin sempit.
Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus, tempat terkumpulnya
alveolus kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas
antar udara dan darah (Rab, 1996).
Gambar 2.1. Sistem Pernapasan Sumber : Ayres dalam Yulaekah (2007)
4. Pertahanan paru
Paru-paru mempunyai pertahanan yang khusus dalam
mengatasi berbagai kemungkinan tarjadi kontak dengan alergen dalam
mempertahankan tubuh, sebagaimana mekanisme tubuh pada
12
umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan
humoral. Mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru
terbagi atas (Rab, 1996):
a. Filtrasi udara pernafasan
Hembusan udara yang melalui rongga hidung
mempunyai berbagai ukuran. Partikel berdiameter 5 – 7 µm
akan bertahan di orofaring, diameter 0,5 – 5 µm akan masuk
sampai ke paru-paru dan diameter 0,5 µm dapat masuk sampai
ke alveoli tetapi dapat keluar bersama sekresi.
b. Pembersihan melalui mukosilia
c. Sekresi oleh humoral lokal
d. Fagositosis
2.2. Volume dan Kapasitas Vital Paru
Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi
ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan
kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada
tidaknya kelainan fungsi paru (Mengkidi, 2006).
Fungsi paru yang utama adalah untuk respirasi, yaitu pengambilan
oksigen dari udara luar masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam
darah. Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme dan karbon dioksida
13
yang terbentuk pada proses metabolisme tersebut dikeluarkan dari dalam darah
ke udara luar (Wahab, 2001).
Paru-paru memiliki empat volume paru utama dan empat kapasitas paru
utama yang dapat diukur dengan pemeriksaan spirometer, yang akan
dijabarkan di bawah ini (Wahab, 2001) :
1. Volume Paru
Volume paru akan berubah-ubah saat pernapasan berlangsung.
Saat inspirasi akan mengembang dan saat ekspirasi akan mengempis.
Pada keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung
tanpa disadari (Mengkidi, 2006).
Beberapa parameter volume paru dapat digambarkan sebagai
berikut:
a. Volume tidal (Tidal Volume = TV), adalah volume udara paru
yang masuk dan keluar paru pada pernapasan biasa. Besarnya
TV pada orang dewasa sekitar 500 ml.
b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume =
IRV), volume udara yang masih dapat dihirup kedalam paru
sesudah inpirasi biasa, besarnya IRV pada orang dewasa adalah
sekitar 3100 ml.
c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume =
ERV), adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari
14
paru sesudah ekspirasi biasa, besarnya ERV pada orang dewasa
sekitar 1000-1200 ml.
d. Volume Residu (Residual Volume = RV), udara yang masih
tersisa didalam paru sesudah ekspirasi maksimal sekitar
1100ml. TV, IRV, ERV dapat langsung diukur dengan
spirometer, sedangkan RV = TLC – VC
2. Kapasitas Vital Paru
Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat
dimasukkan kedalam tubuh atau paru-paru seseorang secara maksimal.
Jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke dalam paru ditentukan oleh
kemampuan kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik
kerja sistem pernapasan berarti volume oksigen yang diperoleh
semakin banyak. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru
adalah (Mengkidi, 2006) :
a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity = IC), adalah volume
udara yang masuk paru setelah inspirasi maksimal atau sama
dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal (IC =
IRV + TV).
b. Kapasitas Vital (Vital Capacity = VC), volume udara yang
dapat dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah
sebelumnya melakukan inspirasi maksimal (sekitar 4000ml).
15
Kapasitas vital besarnya sama dengan volume inspirasi
cadangan ditambah volume tidal (VC = IRV + ERV + TV).
c. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capasity = TLC), adalah
kapasitas vital ditambah volume sisa (TLC = VC + RV atau
TLC = IC + ERV + RV).
d. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capasity =
FRC ), adalah volume ekspirasi cadangan ditambah volume sisa
(FRC = ERV + RV).
3. Pengukuran Faal Paru
Pemeriksaan faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja,
yaitu menggunakan spirometer, karena pertimbangan biaya yang
murah, ringan, praktis dibawa kemana-mana, akurasinya tinggi, cukup
sensitif, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi
yang handal. Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua
volume paru kecuali volume residu, semua kapasitas paru kecuali
kapasitas paru yang mengandung kompenen volume residu. Dengan
demikian dapat diketahui gangguan fungsional ventilasi paru dengan
jenis gangguan digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu (Mengkidi,
2006):
a. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara
yang ditandai dengan penurunan VC dan FVC/FEV1.
16
b. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada
pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan pada VC,
RV dan TLC.
Dari berbagai pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah
(Mengkidi, 2006) :
a. Vital Capasity (VC)
Adalah volume udara maksimal yang dapat
dihembuskan setelah inspirasi maksimal. Ada dua macam vital
capasity berdasarkan cara pengukurannya, yaitu : pertama, Vital
Capasity (VC), subjek tidak perlu melakukan aktifitas
pernapasan dengan kekuatan penuh, kedua Forced Vital
Capasity (FVC), dimana subjek melakukan aktifitas pernapasan
dengan kekuatan maksimal. Berdasarkan fase yang diukur VC
dibedakan menjadi dua macam, yaitu : VC inspirasi, dimana VC
hanya diukur pada fase inspirasi dan VC ekspirasi, diukur hanya
pada fase ekspirasi.
Pada orang normal tidak ada perbedaan antara FVC dan
VC, sedangkan pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan
antara VC dan FVC. VC merupakan refleksi dari kemampuan
elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding
toraks. VC yang menurun merupakan kekakuan jaringan paru
17
atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan
(compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi
dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC
hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.
b. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1)
Yaitu besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam
satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama pada orang normal
berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal
dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai
VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-
fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas
besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak
didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan
FCVnya. Bila FEV1/FCV kurang dari 75% berarti abnormal.
Pada penyakit obstruktif seperti bronkitis kronik atau
emfisema terjadi pengurangan FEV1 yang lebih besar
dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal)
sehingga rasio FEV1/FEV kurang dari 75%.
c. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)
PEFR adalah aliran udara maksimal yang dihasilkan
oleh sejumlah volume tertentu. PEFR dapat menggambarkan
18
keadaan saluran pernapasan, apabila PEFR berarti ada
hambatan aliran udara pada saluran pernapasan. Pengukuran
dapat dilakukan dengan Mini Peak Flow Meter atau
Pneumotachograf.
2.3. Debu Industri
Debu adalah partikel yang dihasilkan oleh proses mekanisme seperti
penghancuran batu, pengeboran, peledakan yang dilakukan pada tambang
timah putih, tambang besi, batu bara, pengecatan mobil, dan lain-lain (Ahmadi,
1990).
1. Golongan debu terdiri atas dua yaitu:
a. Padat (solid)
1) Dust
Terdiri atas berbagai ukuran mulai dari yang sub
mikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya
adalah ukuran yang bisa terhisap ke dalam sistem
pernapasan (<100 mikron) bersifat dapat terhisap ke dalam
tubuh.
2) Fumes
Fumes atau uap logam adalah partikel padat yang terbentuk
dari proses evaporasi atau kondensasi. Pemanasan berbagai
19
logam menghasilkan uap logam yang kemudian
berkondensasi menjadi partikel-partikel metal fumes
contoh: Cadmium (Cd) dan Timbal (Pb).
3) Smoke
Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan
organik yang tidak sempurna dan berukuran 0,5 mikron.
b. Cair (Liquid)
Partikel cair biasanya disebut mist atau fog (awan) yang
dihasilkan melalui proses kondensasi atau atomizing. Contoh:
hair spray atau obat nyamuk semprot.
2. Debu industri yang terdapat di udara terbagi dua yaitu (Ahmadi, 1990) :
a. Particulate matter
Adalah partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan
segera mengendap karena daya tarik bumi.
b. Suspended particulate matter
Adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap.
20
3. Sifat-sifat debu dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan sebagai
berikut (Muchtler, 1973) :
a. Sifat pengendapan (setting rate)
Sifat debu cenderung selalu mengendap karena adanya gaya
gravitasi Bumi. Namun karena terkadang debu ini relatif tetap
berada di udara, debu yang mengendap mempunyai proporsi
partikel lebih besar daripada yang terdapat di udara.
b. Sifat permukaan basah (wetting)
Sifat permukaan debu cenderung selalu basah karena dilapisi
oleh lapisan air yang sangat tipis.
c. Sifat penggumpalan (floculation)
Permukaan debu dapat menempel satu dengan yang lain dan
dapat menggumpal. Turbulensi udara meningkatkan
pembentukan penggumpalan.
d. Sifat optis (optical properties)
Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat
memancarkan sinar yang bisa terlihat dalam kamar gelap.
e. Sifat listrik (electrical)
Sifat memiliki kutub positif dan negatif yang dapat menarik
partikel lain yang berlawanan, ini mempercepat penggumpalan
debu.
21
4. Macam-macam debu
Pembagian debu berdasarkan sifat dan efeknya secara garis besar ada
tiga macam debu, yaitu (Ferdiaz, 1992):
a. Debu organik, seperti debu kapas, debu daun-daunan tembakau
dan sebagainya.
b. Debu mineral yang mempunyai senyawa komplek seperti SiO3,
arang batu dan sebagainya
c. Debu metal, seperti timah hitam, merkuri, cadmium, arsen, dan
lain-lain.
5. Ukuran partikel debu (Kepmenkes, 2008)
a. Ukuran diameter >5µm akan mengendap di hidung, nasofaring,
trakea, dan percabangan bronkus.
b. Ukuran diameter <2µm akan berhenti di bronkiolus
respiratorius dan alveolus.
c. Ukuran diameter <0,5µm tidak mengendap pada saluran
pernapasan namun akan dikeluarkan kembali.
2.4. Dampak Inhalasi Uap Logam
Uap seng atau uap-uap logam lainya, yang terjadi pada pengelasan,
pemotongan, pelelehan dan peleburan logam dapat mengakibatkan demam uap
logam. Tanda-tanda dan gejala-gejala terpenting pada penyakit tersebut adalah
22
sakit kepala dan demam. Terjadinya secara mendadak, terasa demam,
menggigil, enek, muntah, sakit pada otot-otot dan merasa lemah. Penyebab
dari gejala tersebut adalah oksida uap logam (Suma’mur, 1996).
Partikulat logam dari pengelasan biasanya mudah terlihat karena seperti
percikan, namun uap logam akibat pengelasan tidak terlihat. Efek kesehatan
dari paparan uap logam dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan
bagian atas (hidung dan tenggorokan), sesak di dada, mengi, demam uap
logam, kerusakan paru-paru, bronkitis, pneumonia atau emfisema (BOC,
2006).
2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Pekerja
Bengkel Las
a. Umur
Umur merupakan variabel yang sangat penting terkait
terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur serta
kondisi lingkungan yang kurang baik atau kemungkinan terkena suatu
penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru
semakin besar. Seiring bertambahnya umur seseorang, kapasitas paru
akan berkurang. Kapasitas paru orang dengan umur 30 tahun ke atas
memiliki rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang
23
berumur 50 tahunan kapasitas paru kurang dari 3.000 ml (Guyton,
1994).
Semakin lanjut usia seseorang otot-otot pernafasan akan
semakin lemah, melemahnya otot-otot pernafasan mulai sekitar usia
55 tahun (Mawi, 2005).
b. Jenis Kelamin
Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa
kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan kapasitas residu
fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter (Lorriane, 1995).
Sedangkan kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang
4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter (Yulaekah, 2007).
c. Kebiasaan Merokok
Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang
memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan
negara ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia,
dengan 31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi
rokok kretek, dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada
tahun 2002, jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai
lebih 200 miliar batang (Kepmenkes, 2008).
Merokok merupakan faktor risiko timbulnya penyakit obstruksi
saluran napas kronik (PPOK). Rokok menimbulkan reaksi inflamasi
24
dengan atau tanpa pembentukan mukus dalam saluran pernapasan,
peningkatan sel polymorfonuklear dan terjadi penghambatan elastase
inhibitor yang dapat merusak jaringan elastin, akibatnya fungsi paru
menurun (Mawi, 2005).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan
dose response. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada
Index Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok perhari dikalikan
jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkhitis 10
bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus,
dia menderita bronkhitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok.
Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya kalau sehari
mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun merokok ia
bisa terkena kanker paru (Kepmenkes, 2008).
Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya
disebut asap rokok utama (main stream smoke), sedang asap yang
berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan
(side stream smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok
utama yang dihembuskan lagi oleh prokok dan asap rokok sampingan
disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco
Smoke (ETS) (Kepmenkes, 2008).
25
Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata
lebih tigggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau
terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak
dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan
mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Oleh karena itu asap rokok
lingkungan (ARL) berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar
pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia
berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari
aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane
(bahan bakar ringan), kadmium (aki kendaraan), karbon monoksida
(asap knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun),
methanol (bensin roket), naftalen (kamper), toluene (pelarut industri),
dan vinil klorida (plastik) (Kepmenkes, 2008).
Menurut Amin (2000), kebiasaan merokok dapat dibagi
menjadi 3 kategori perokok, yaitu:
1) Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6
batang/hari.
2) Perkokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12
batang/hari.
3) Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12
batang/hari.
26
d. Kebiasaan Olahraga
Berolahraga merupakan cara yang sangat baik untuk
meningkatkan vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan
yang dalam dan menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak
masuk dan disalurkan ke dalam darah, karbondioksida lebih banyak
dikeluarkan. Seorang sehat berusia 50-an yang berolahraga teratur
mempunyai volume oksigen 20-30% lebih besar dari orang muda
yang tidak berolahraga (Stull, 1980).
Bila seseorang mempunyai volume oksigen yang lebih banyak
maka peredaran darahnya lebih baik, sehingga otot-otot mendapatkan
oksigen lebih banyak dan dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa
rasa letih. Sudah diketahui banyak faktor yang dapat mengganggu
kesehatan paru. Bahaya yang ditimbulkan berupa rusaknya bulu getar
di saluran napas, sehingga fungsi pembersihan saluran napas
terganggu. Bahan kimia tersebut juga dapat merusak sel-sel tertentu di
alveola yang sangat penting dalam pertahanan paru dan mengubah
tatanan normal sel-sel di paru, sehingga dapat menjurus menjadi
kanker paru, serta menurunkan kemampuan atau fungsi paru,
sehingga menimbulkan gejala sesak napas atau napas pendek (Stull,
1980).
27
Menurut Yunus (1997), Berolahraga secara rutin dapat
meningkatkan aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan
kapiler paru mendapatkan perfusi maksimum, sehingga O2 dapat
berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume lebih besar atau
maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal seminggu tiga
kali.
e. Status Gizi
Peran dari status gizi adalah secara tidak langsung seperti pada
penyakit cystic fibrosis. Namun demikian, penelitian epidemiologis
saat ini menunjukkan peran penting gizi terhadap fungsi paru,
terutama yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang merupakan
sumber antioksidan. Peran penting antioksidan sebagai pencegah
radikal bebas yang banyak terdapat pada debu dan polusi, hasil
penelitian menunjukkan bahwa gizi kurang ternyata berhubungan
dengan penyakit paru (Sridhar, 1999 dalam Budiono, 2007).
Penelitian Benedict tahun 1919 pada orang yang dalam
keadaan starvation (lapar) ternyata mengalami perubahan fisiologis
yaitu berupa penurunan resting energy expenditure sebesar 20% dan
penurunan konsumsi O2 sebesar 18%. Efek negatif dari penurunan
status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga dikonfirmasi dalam
penelitian Minesota oleh Keys et al pada tahun 1950. Kapasitas vital
28
paru menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan
tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang
kembali pada keadaan diet normal. Penelitian yang lainnya
menunjukkan peningkatan risiko kematian pada penyakit tuberculosis
dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat berat
(Budiono, 2007).
Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan
menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil penelitian tentang
kegemukan dan angka kematian, dijelaskan bahwa kegemukan dapat
mengurangi umur seseorang. Bahkan orang gemuk yang tidak
merokok berarti hidupnya lebih sehat, memiliki risiko kematian dini
yang lebih tinggi dibanding orang yang lebih kurus (Almatsier, 2009).
Untuk memantau berat badan dapat digunakan IMT, dengan
IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal,
kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa
berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi,
anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Untuk mengetahui nilai
IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Almatsier, 2009):
IMT = Berat Badan (kg)
[Tinggi Badan (m)]2
29
Tabel 2.1 Kategori IMT
Kategori Keterangan IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5
Normal - 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan > 25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Sumber: Almatsier (2009)
f. Riwayat Penyakit
Dari hasil penelitian Sudjono dan Nugraheni dalam Budiono
(2007) diperoleh hasil bahwa pekerja yang mempunyai riwayat
penyakit paru mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian juga diperoleh hasil
bahwa seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru
berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi
paru.
Seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung
akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu
sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan
kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa
emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan
30
sianosis akan memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada
pekerja yang terpapar oleh debu organik dan anorganik (Price, 1995
dalam Budiono, 2007).
g. Riwayat Pekerjaan
Riwayat pekerjaan dapat digunakan sebagai cara menegakkan
diagnosa penyakit akibat kerja. Pekerjaan sebelumnya mempunyai
kemungkinan bahwa penyakit yang sekarang diderita merupakan
akibat dari faktor-faktor penyebab penyakit yang ada pada lingkungan
kerja sebelumnya (Suma’mur, 1996).
Pekerja yang memiliki riwayat kerja yang menghadapi debu
berbahaya atau yang dapat menyebabkan pneumokoniosis, misalnya
pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik, dan lainnya serta
makin banyaknya penimbunan debu dalam paru-paru maka memiliki
kemungkinan terjadi gangguan fungsi paru yang lebih tinggi
(Suma’mur, 1996).
h. Masa Kerja
Penelitian Heri Sumanto pada tahun 1999 dalam Budiono
(2007) menunjukkan bahwa semakin lama seseoang bekerja pada
lingkungan berdebu, maka akan semakin menurunkan kapasitas vital
paru. Dimana setiap penambahan masa kerja dalam satu tahun akan
terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907 ml.
31
i. Jumlah Jam Kerja Per Minggu
Menurut Anggoro (1999), semakin lama pekerja terpapar oleh
paparan akan semakin memperbesar risiko terjadinya gangguan fungsi
paru. Jumlah jam kerja per minggu seseorang mengakibatkan
berbedanya intensitas pajanan dan banyaknya debu yang terhirup oleh
masing-masing pekerja las, sehingga pekerja las yang cukup lama
terlibat dalam aktivitas pekerjaannya, berpotensi menghirup debu
lebih banyak jika dibandingkan dengan pekerja las yang tidak lama
terlibat dalam aktivitas pekerjaannya.
Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja
terpapar debu dapat digunakan untuk memperkirakan kumulatif
paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Timbulnya gangguan
fungsi paru pada pekerja dapat sangat tergantung pada lamanya
paparan serta dosis paparan yang diterima. Paparan dengan kadar
rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukkan
adanya gangguan fungsi paru (Budiono, 2007).
j. Penggunaan Masker
Masker merupakan salah satu bagian dari alat pelindung diri
yang penting. Untuk meminimalkan risiko paparan debu yang dapat
terinhalasi ke paru-paru, maka disarankan penggunaan masker bagi
pekerja yang terpapar debu (Carlisle, 2000). Berdasarkan hasil
32
penelitian yang dilakukan Adi (2007) dalam Prasetyo (2010)
menunjukan ada hubungan antara penggunaan APD (masker) dengan
kapasitas vital paru.
APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada
lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah
(Yulaekah, 2007):
1. Masker untuk melindungi debu atau partikel - partikel yang
lebih kasar masuk ke dalam saluran pernapasan, terbuat dari
bahan kain dengan ukuran pori - pori tertentu.
2. Respirator pemurni udara, membersihkan udara dengan cara
menyaring atau menyerap kontaminan toksinitas rendah
sebelum memasuki sistem pernapasan.
k. Paparan Kadar Debu Total
Paparan debu terhirup yang melebihi nilai ambang batas akan
meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Namun
demikian, perlu diketahui bahwa kadar debu yang rendah namun lama
keterpaparan terjadi dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan
efek kumulatif sehingga pada akhirnya pekerja dapat mengalami
gangguan fungsi paru. Temuan dari penelitian terdahulu didukung
oleh penelitian ini bahwa lama keterpaparan seorang pekerja
pengelasan berhubungan secara bermakna dengan terjadinya
33
gangguan fungsi paru (Deviandhoko, 2012). Nilai ambang batas debu
yang diperkenankan menurut Permenaker No. 13 Tahun 2011 adalah
sebesar 10 mg/m3.
Mekanisme paparan debu las terhirup terhadap terjadinya
gangguan fungsi paru tersebut perlu dicermati. Debu yang masuk
saluran nafas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan
non-spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan
fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan nafas dapat
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini
biasanya terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas
(Deviandhoko, 2012).
2.6. Kerangka Teori
Kapasitas vital paru dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah yang diungkapkan oleh Mawi (2005) yaitu umur dan kebiasaan
merokok. Yulaekah (2007) juga mengatakan jenis kelamin dan penggunaan
masker (APD) juga dapat mempengaruhi kapasitas paru. Kemudian Budiono
(2007) mendeskripsikan bahwa status gizi, riwayat penyakit, masa kerja dan
lama kerja per minggu dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang.
Faktor kebiasaan olahraga dapat mempengaruhi kapasitas vital paru
sesorang, semakin baik kebiasaan olahraga maka dapat memperkecil risiko
34
gangguan kapasitas vital paru seperti yang diungkapkan oleh Stull (1980).
Kemudian riwayat pekerjaan yang diutarakan oleh Suma’mur (1996) juga
dapat mempengaruhi penyakit yang sekarang dialami, karena faktor pajanan
pada pekerjaan sebelumnya. Dan Deviandhoko (2012) meyatakan bahwa
paparan kadar debu total menjadi faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
kapasitas vital paru pekerja karena apabila paparan debu yang terhirup
melebihi nilai ambang batas akan meningkatkan risiko meningkatkan
gangguan fungsi paru.
Teori-teori tersebut yang mendukung dari rancangan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
35
Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian Sumber :Mawi, 2005; Yulaekah, 2007; Stull, 1980; Budiono, 2007; Suma’mur, 1996; Deviandhoko, 2012.
Kebiasaan Merokok
Umur
Jenis Kelamin
Status Gizi
Riwayat Pekerjaan
Masa Kerja
Riwayat Penyakit
Kebiasaan Olahraga
Lama Kerja Per Minggu
Penggunaan Masker
Paparan Kadar Dabu Total
Kapasitas Vital Paru
36
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1.Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka teori, untuk penelitian ini dibuat kerangka konsep
penelitian yang dibatasi hanya pada beberapa faktor seperti tampak pada
gambar 3.1 di bawah. Adapun variabel yang tidak diteliti adalah jenis kelamin,
karena seluruh pekerja bengkel las adalah laki-laki, sehingga akan bersifat
homogen. Kebiasaan menggunakan APD juga tidak diteliti karena saat studi
pendahuluan pekerja tidak ada yang menggunakan APD seperti masker,
sehingga jika diteliti tidak ada variasinya.
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi umur, kebiasaan
merokok, kebiasaan olahraga, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pekerjaan,
masa kerja, lama kerja per minggu dan paparan kadar debu total. Variabel-
variabel tersebut akan dihubungkan dengan kapasitas vital paru (KVP) pekerja
bengkel las sehingga dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat mengakibatkan
gangguan kapasitas vital paru (KVP) pekerja tersebut.
Faktor risiko yang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru berdasarkan
pengelompokkan yaitu faktor individu pekerja antara lain yaitu umur, semakin
bertambah umur seseorang maka volume paru dan elatisitas paru akan semakin
37
menurun, sehingga menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan dapat
mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh berkurang.
Kebiasaan merokok, ribuan zat kimia yang terdapat pada rokok
menimbulkan reaksi inflamasi dengan atau tanpa pembentukan mukus dalam
saluran pernapasan sehingga dapat merusak jaringan elastin yang berasal dari
polutan hasil pembakaran tembakau, akibatnya fungsi paru menurun.
Kebiasaan olahraga merupakan cara yang sangat baik untuk
meningkatkan vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan yang
dalam dan menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak masuk dan
disalurkan ke dalam darah, karbondioksida lebih banyak dikeluarkan. Bila
seseorang mempunyai volume oksigen yang lebih banyak maka peredaran
darahnya lebih baik, sehingga otot-otot mendapatkan oksigen lebih banyak dan
dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa rasa letih.
Status gizi memiliki peran penting terhadap fungsi paru, terutama
berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang merupakan sumber antioksidan. Selain
itu ketika keadaan lapar kapasitas vital paru menurun rata-rata 390 ml.
Penurunan tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang
kembali pada keadaan diet normal.
Riwayat penyakit paru pada seseorang mempunyai risiko 2 kali lebih
besar untuk mengalami gangguan fungsi paru. Seseorang yang pernah
mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga
38
alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan
menurunkan kadar olsigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa
emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan
memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh
debu organik dan anorganik.
Riwayat pekerjaan sebelumnya mempunyai kemungkinan bahwa penyakit
yang sekarang diderita merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab penyakit
yang ada pada lingkungan kerja sebelumnya. Pekerja yang memiliki riwayat
kerja yang menghadapi debu berbahaya atau yang dapat menyebabkan
pneumokoniosis, misalnya pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik,
dan lainnya memungkinkan terjadinya gangguan fungsi paru yag lebih tinggi.
Semakin lama seseoang bekerja pada lingkungan berdebu, maka akan
semakin menurunkan kapasitas vital paru. Dimana setiap penambahan masa
kerja dalam satu tahun akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907
ml. Dengan demikian masa kerja sangat mempengaruhi kapasitas vital paru
seseorang.
Lama kerja per minggu yang melebihi 40 jam serta memiliki paparan
debu yang melebihi nilai ambang batas, maka dapat mempengaruhi kapasitas
paru pekerja akibat kumulatif paparan debu yang diterima. Namun, kadar
paparan yang rendah dalam waktu yang lama mungkin tidak akan segera
menunjukkan adanya gangguan fungsi paru.
39
Paparan debu terhirup yang melebihi ambang batas (NAB=10 mg/m3)
akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Namun demikian,
perlu diketahui bahwa kadar debu yang rendah namun lama keterpaparan
terjadi dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan efek kumulatif
sehingga pada akhirnya pekerja dapat mengalami gangguan fungsi paru.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kebiasaan Merokok
Umur
Kebiasaan Olahraga
Status Gizi
Riwayat Penyakit
Riawayat Pekerjaan
Masa Kerja
Paparan Kadar Debu Total
Jumlah Jam Kerja Per
Kapasitas Vital Paru
40
3.2.Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Independen
Kapasitas Vital
Paru
Hasil pengukuran ventilasi
paru yang dinilai dengan
menggunakan parameter
KVP ≥ 80% dan tidak normal
jika KVP < 80%.
Pengukuran
menggunakan
alat spirometer
Sprirometer Persen (%) Ratio
Variabel Depeden
Umur
Usia responden yang terhitung
sejak tanggal lahir sampai ulang
tahun terakhir pada saat
penelitian.
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner dan
pengecekan
KTP.
Tahun Ratio
41
Kebiasaan
Merokok
Perilaku pekerja melakukan
kegiatan menghisap rokok.
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner 0. Tidak Merokok
1. Merokok
Ordinal
Kebiasaan
Oaharaga
Latihan fisik aerobik seperti
berjalan, berlari, bersepeda,
bulu tangkis dan lainnya secara
teratur.
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner 0. ≥ 3 kali seminggu
1. < 3 kali seminggu
(Yunus, 1997)
Ordinal
Status Gizi Hasil penimbangan berat badan
dan pengukuran tinggi badan,
dimana datanya digunakan
sebagai pengukuran indeks
masa tubuh.
Pengukuran
perhitungan
IMT
IMT= Berat
badan/Tinggi
badan2
Timbangan
injak, Microtoice
dan lembar isian.
0. Berisiko
(IMT < 18,5 dan > 25)
1. Tidak Berisiko
(IMT 18,5-25)
(Almatsier, 2009)
Ordinal
42
Riwayat
Penyakit
Kondisi riwayat penyakit
pernapasan responden yang
dapat mengganggu atau
mempengaruhi hasil
pmeriksaan fungsi paru, seperti
asma, TBC, bronkitis, flu alergi
seperti akibat debu, cuaca
dingin, dan mikroorganisme.
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner 0. Tidak Pernah
1. Pernah
Ordinal
Riwayat
Pekerjaan
Responden memiliki riwayat
pekerjaan sejenis (pekerja las)
atau pekerjaan yang memiliki
pajanan debu bagi pekerja.
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner 0. Tidak Pernah
1. Pernah
Ordinal
43
Masa kerja.
Lamanya pekerja bekerja di
bengkel las dari mulai bekerja
sampai waktu wawancara
dilakukan dalam hitungan
tahun.
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner Tahun Ratio
Jumlah Jam
Kerja Per
Minggu
Jumlah jam kerja per minggu
pekerja dalam satu minggu
penuh (Senin – Minggu)
Pengisian
kuesioner oleh
peneliti dengan
wawancara
Kuesioner Jam Ratio
Paparan Kadar
Debu Total
Hasil pengukuran kadar debu
total menggunakan metode
grafimetri selama 1 jam
Haz Dust Model
EPAM 5000
Melihat hasil
dari pengukurat
alat Haz Dust
Model EPAM
5000
mg/m3 Ratio
44
3.3.Hipotesis
1. Ada hubungan antara umur terhadap kapasitas vital paru pada pekerja
bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
2. Ada hubungan antara kebiasaan merokok terhadap kapasitas vital paru pada
pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
3. Ada hubungan antara kebiasaan olahraga terhadap kapasitas vital paru pada
pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
4. Ada hubungan antara status gizi terhadap kapasitas vital paru pada pekerja
bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
5. Ada hubungan antara riwayat penyakit terhadap kapasitas vital paru pada
pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
6. Ada hubungan antara riwayat pekerjaan terhadap kapasitas vital paru pada
pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
7. Ada hubungan antara masa kerja terhadap kapasitas vital paru pada pekerja
bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
8. Ada hubungan antara lama kerja per minggu terhadap kapasitas vital paru
pada pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
9. Ada hubungan antara paparan kadar debu total terhadap kapasitas vital paru
pada pekerja bengkel las di wilayah Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
45
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi
Cross Sectional (potong lintang) karena penelitian ini melakukan pengamatan
variabel independen dan dependen pada waktu atau periode yang sama.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 – Maret 2014 di
bengkel las yang berada di Kelurahan Cirendeu, Tangerang Selatan.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja di bengkel las yang
berada di Kelurahan Cirendeu, Tangerang Selatan sebanyak 58 Orang dari 15
bengkel las. Sedangkan Sampel ditentukan berdasarkan metode probability
sampling dengan simple random sampling, yaitu pengambilan sample secara
acak bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmojo, 2010).
46
Dalam perhitungan jumlah sampel dilakukan secara uji beda dua
proporsi dengan rumus sebagai berikut :
n ={Z1−α/2�2P(1−P)+ Z1−β�P1(1−P1)+ P2 (1−P2)}2
(P1−P2)2
Keterangan :
N : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1: Proporsi kejadian gangguan kapasitas vital paru pada kelompok yang
memiliki riwayat penyakit.
P2: Proporsi kejadian gangguan kapasitas vital paru pada kelompok yang
tidak memiliki riwayat penyakit.
P : Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2))
Z1-α/2: Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5%=1,96
Z1-β: Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 80%=0,84
47
Adapun hasil proporsi variabel penelitian sebelumya adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1 Perhitungan Sampel
Variabel Diketahui Total Sampel
Lama Paparan P1 : 80% = 0.8
P2 : 12,50% = 0,125
Pv : 0.032
(Yulaekah, 2007)
8 x 2 = 16
Kebiasaan Olahraga P1: 87,5% = 0,875
P2: 38,9% = 0,389
Pv:0,001
(Prasetyo, 2010)
15 x 2 = 30
Riwayat Penyakit P1: 100% = 1
P2: 66,1% = 0,661
Pv:0,027
(Rasyid, 2013)
19 x 2 = 38
Kadar Debu Total P1: 82,5% = 0,825
P2: 56,7% = 0,567
Pv:0,036
(Rasyid, 2013)
49 x 2 = 98
Kebiasaan Merokok P1: 87,5% = 0,875
P2: 38,9% = 0,389
Pv:0,001
(Prasetyo, 2010)
15 x 2 = 30
Kebiasaan Olahraga P1: 83,3% = 0,833
P2: 31,2% = 0,312
Pv:0,000
(Prasetyo, 2010)
13 x 2 = 26
48
Berdasarkan hasil perhitungan sampel di atas, didapatkan bahwa
variabel dengan perhitungan total sampel tertinggi yaitu riwayat penyakit
sebesar 38 orang. Untuk menghindari drop out atau missing jawaban dari
responden maka sampel yang diambil sebanyak 42 orang.
4.4. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer, yang diambil oleh peneliti
sendiri dibantu oleh rekan dan laboran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Data primer diperoleh langsung dari responden, melalui :
1. Uji Fungsi Paru
Metode ini dilakukan dengan cara pengukuran paru pekerja
bengkel las menggunakan alat spirometer Autospiro Minato AS-505.
Pengukuran dilakukan oleh peneliti didampingi laboran di Laboratorium
Fisiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Adapun cara pengukuran fungsi paru pekerja bengkel las, sebagai
berikut :
a. Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum
pemeriksaan.
49
b. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi
saluran nafas bagian atas, dan berhati-hati pada penderita asma
karena dapat memicu serangan asma.
c. Masukkan data yang diperlukan, yaitu suhu, kelembaban udara dan
tekanan udara sekitar. Kemudian masukkan data responden yaitu
umur, tinggi badan, berat badan untuk mengetahui nilai prediksi.
d. Beri petunjuk dan demonstrasikan manuver pada tenaga kerja,
yaitu pernapasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan
celah bibir yang mengatup mouth piece tube.
e. Pekerja dalam posisi berdiri, lakukan pernapasan biasa, tiga kali
berturut-turut, kemudian saat membuang napas pada pernapasan
biasa yang ketiga, semua udara didorong keluar dari paru-paru
secara perlahan tanpa tekanan kemudian langsung menghisap
udara dengan cepat dan kuat sebanyak mungkin ke dalam paru-
paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya udara
dihembuskan melalui mouth piece tube.
f. Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali untuk mengetahui
FVC dan FEV1.
g. Hasil masing-masing pengambilan data dapat dilihat pada print
out.
50
2. Umur
Umur pekerja dapat diperoleh melalui wawancara kepada pekerja
dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
3. Masa Kerja
Data mengenai masa kerja diperoleh melalui wawancara kepada
pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
4. Kebiasaan Merokok
Data mengenai kebiasaan merokok diperoleh melalui wawancara
kepada pekerja dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
Selanjutnya dikategorikan menjadi perokok ringan, sedang, dan berat
sesuai dengan jumlah yang dikonsumi per harinya (Bustan, 2007).
a. Ringan : Merokok kurang dari 10 batang per hari.
b. Sedang : Merokok 10-20 batang per hari.
c. Berat : Merokok lebih dari 20 batang per hari.
5. Kebiasaan Olahraga
Data mengenai kebiasaan berolahraga diperoleh melalui
wawancara dan mengisi kuesioner kepada responden.
6. Status Gizi
Data mengenai status gizi dapat diperoleh melalui pengukuran
Indeks Massa Tubuh (IMT), yang selanjutnya dikategorikan sebagai
berikut:
51
a. Berisiko (IMT < 18,5 dan > 25)
b. Tidak beresiko (IMT 18,5-25)
Langkah pengukurannya adalah sebagai berikut:
a. Mengukur berat badan dengan timbangan berat badan.
b. Mengukur tinggi badan dengan microtoise.
c. Setelah didapatkannya data berat dan tinggi badan responden,
maka data tersebut dimasukkan ke dalam rumus IMT untuk
diketahuinya status gizi responden.
7. Riwayat Penyakit
Data mengenai riwayat penyakit diperoleh melalui kuesioner
kepada pekerja. Dari berbagai macam penyakit khususnya yang
menyerang pernapasan seperti asma, bronkitis, pneumonia, TBC, dan flu
alergi.
8. Kadar Debu Total
Melakukan pengukuran kadar debu total di lingkungan tempat
kerja pada pertengahan waktu kerja (siang hari) dengan menggunakan alat
Haz Dust Model EPAM 5000. Pengukuran dilakukan oleh peneliti
didampingi oleh laboran. Titik sampel yang diukur adalah titik terdekat di
mana responden bekerja ketika melakukan pengelasan.
52
Adapun cara pengukuran kadar debu total di lingkungan tempat
kerja, sebagai berikut :
a. Siapakan alat Haz Dust Model EPAM 5000 dengan baterai terisi
penuh.
b. Hidupkan alat dengan menggunakan tombol ON/OFF
c. Setting tanggal dan waktu jika belum tepat.
d. Memilih besar partikel pada lingkungan kerja yang diteliti ( PM
10.0 μm ).
e. Lakukan kalibrasi pada alat Haz Dust Model EPAM 5000 dengan
flow rate 4 liter per menit.
f. Menetapkan waktu pengambilan data setiap 1 menit selama 60
menit.
g. Melakukan sampling dengan menekan tombol Run.
h. Mengecek kembali data yang telah dimasukkan.
4.5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner dengan teknik wawancara. Adapun isi dalam kuesioner tersebut
untuk mendapatkan data pribadi pekerja bengkel las berupa nama, umur,
riwayat penyakit, kebiasaan olahraga, serta masa kerja. Di dalam penelitian
tersebut terdapat beberapa jenis pengukuran yang dilakukan, yaitu pengukuran
53
berat badan dengan menggunakan timbangan injak, pengukuran tinggi badan
dengan microtoise, pengukuran spirometri untuk mengetahui kapasitas vital
paru responden dengan Minato Autospiro AS-505 dan pengukuran kadar debu
total di lingkungan kerja dengan menggunakan Haz Dust Model EPAM 5000.
Hasil dari pengukuran-pengukuran tersebut dicatat pada lembar kuesioner
dengan jenis form atau isian.
Gambar 4.1 Spirometer Minato Autospiro AS-505 (kiri) dan EPAM
5000 (kanan)
4.6. Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul akan diolah melalui tahap-tahp sebagai
berikut:
1. Mengkode data (data coding)
Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban
responden, dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah
pengolahan data selanjutnya. Dimana coding dilakukan pada kuesioner,
54
jika nilai hasil pengukuran kapasitas vital paru ada gangguan (restriksi,
campuran dan obstruksi) pengkodean = 0, bila tidak ada gangguan
(normal) = 1. Semua variabel independen pun dikodekan. Yaitu :
a. Kebiasaan merokok; 0 = merokok, 1 = tidak merokok.
b. Kebiasaan olahraga; 0 = < 3 kali seminggu, 1 = ≥ 3 kali seminggu
c. Status gizi; berisiko bila IMT < 18,5 dan > 25 = 0, tidak berisiko bila
IMT 18,5-25 = 1.
d. Riwayat penyakit; 0 = pernah mengalami, 1 = tidak pernah mengalami
e. Riwayat pekerjaan; 0 = ya, 1 = tidak.
2. Menyunting data (data editing)
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data
seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian
setiap jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk
penelitian ini.
3. Memasukkan data (data entry)
Memasukkan data dari hasil kuesioner dan hasil pengukuran yang
telah diberikan kode pada masing-masing variabel, kemudian dilakukan
analisis data dengan memasukan data-data tersebut dengan program SPSS
untuk dilakukan analisis univariat (untuk mengetahui gambaran secara
umum), dan bivariat (mengetahui variabel yang berhubungan).
55
4. Membersihkan data (data cleaning)
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk
memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian
data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
4.7. Teknik Analisis Data
1. Analisa Univariat
Analisa univariat adalah analisa yang digunakan terhadap tiap
variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat menggunakan uji statistik untuk menguji
hipotesis penelitian. Analisis bivariat menggunakan uji t-test independent
dan korelasi Pearson. Untuk pengujian t-test independent dan korelasi
Pearson jika Pvalue ≤ 0,05 maka perhitungan secara statistik menunjukan
bahwa adanya hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Kemudian tabulasi silang dilakukan pada semua variabel
yang akan dianalisis. Adapun analisis uji t-test independent ini antara
variabel kapasitas vital paru dengan variabel kebiasaan merokok,
kebiasaan olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit, dan riwayat
pekerjaan, serta analisis uji korelasi Pearson antara variabel kapasitas vital
56
paru dengan variabel paparan kadar debu total, umur, masa kerja, dan
jumlah jam kerja per minggu pada pekerja bengkel las di wilayah
Kelurahan Cirendeu Tahun 2014.
57
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Profil Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Bengkel las yang berada di Kelurahan Cirendeu merupakan industri
informal di mana dikelola oleh perseorangan. Jumlah bengkel las di Kelurahan
Cirendeu berjumlah 15 bengkel dengan pekerja sekitar 58 orang. Bengkel las
di Kelurahan Cirendeu pada umumnya tidak besar, bertempat semi terbuka dan
memiliki 2 (dua) hingga 3 (tiga) unit alat las listrik.
Lingkungan kerja bengkel las kebanyakan hanya berukuran 20m2
bahkan ada yang lebih sempit. Proses pekerjaan yang terdapat di bengkel las
meliputi pemotongan besi, pengelasan, penghalusan dan pengecatan. Semua
proses kerja ini rata-rata dilakukan di dalam ruangan bengkel sehingga
semakin sempit ruangannya maka sangat mempengaruhi kadar debu total yang
dihirup oleh pekerja. Kemudian bengkel las juga terdapat di pinggir jalan,
sehingga debu jalan dan polusi kendaraan bermotor juga mempengaruhi kadar
debu total di lingkungan kerja.
58
5.2. Analisis Univariat
5.2.1. Gambaran Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Hasil Penelitian mengenai gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP)
pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan
Cirendeu, Tahun 2014
Variabel Mean SD Min-Maks
Kapasitas Vital
Paru 74,12 10,666 51-92 %
Dari tabel 5.1 di atas, diketahui gambaran kapasitas vital paru
pekerja bengkel las menjukkan rata-rata 74,12%, dengan standar deviasi
10,666. Kapasitas vital paru minimum pekerja adalah 51% dan
Kapasitas vital paru maksimum pekerja adalah 92%.
Dilihat berdasarkan kategori, kapasitas vital paru dapat dibagi
menjadi 2, yaitu normal jika KVP ≥ 80% dan tidak normal jika KVP <
80%. Frekuensi tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah:
59
Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las
di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Berdasarkan Grafik 5.1 diketahui kapasitas vital paru pekerja
bengkel lasdi Kelurahan Cirendeu yang tidak normal lebih banyak dari
pada yang normal yaitu 61,9% (26 orang).
5.2.2. Gambaran Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Hasil Penelitian mengenai gambaran Kadar Debu Total pada
Lingkungan pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
38.1%
61.9%
Kapasitas Vital Paru
Normal
Tidak Normal
60
Tabel 5.2 Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja
Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Variabel Mean SD Min-Maks
Paparan Kadar
Debu Total 6,222 3,675 0,454-11,142 mg/m3
Berdasarkan tabel 5.2, diketahui gambaran kadar debu total di
lingkungan kerja bengkel las menjukkan rata-rata 6,222 mg/m3, dengan
standar deviasi 3,675. Kadar debu minimum adalah 0,454 mg/m3 dan
kadar debu maksimum adalah 11,142 mg/m3.
Dilihat berdasarkan standar nilai ambang batas (NAB) 10 mg/m3,
paparan kadar debu total dibagi menjadi 2, yaitu tidak melebihi NAB
jika ≤ 10mg/m3 dan melebihi NAB jika > 10mg/m3. Frekuensi tersebut
dapat dilihat pada grafik di bawah:
61
Grafik 5.2 Gambaran Frekuensi Kadar Debu Total pada Lingkungan Kerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Berdasarkan grafik 5.2, diketahui gambaran paparan kadar debu
total pada lingkungan bengkel las di Kelurahan Cirendeu yang tidak
melebihi NAB lebih banyak dari pada yang melebihi NAB yaitu 73,8%.
5.2.3. Gambaran Variabel Independen Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Karakteristik pekerja dalam penelitian ini meliputi umur, masa
kerja, jumlah jam kerja per minggu, kebiasaan merokok, kebiasaan
olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit, dan riwayat pekerjaan.
Distribusi karkteristik pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu dapat
terlihat pada tabel di bawah ini:
26.2%
73.8%
Paparan Kadar Debu Total (10mg/m³)
Melebihi NAB
Tidak Melebihi NAB
62
Tabel 5.3 Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Umur, Masa Kerja, dan Jumlah Kerja Per Minggu, Tahun 2014
No Variabel Mean SD Min-Maks
1 Umur 40 9,194 22-63 tahun
2 Masa Kerja 6 3,490 1-14 tahun
3 Jumlah Jam Kerja per Minggu
42 2,586 40-48 jam
Tabel 5.4 Gambaran Frekuensi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga, Status Gizi, Riwayat Penyakit dan Riwayat Pekerjaan,
Tahun 2014
No Variabel Kategori Jumlah Persentase (%)
1 Kebiasaan Merokok Tidak merokok 5 11,9
Merokok 37 88,1
2 Kebiasaan Olahraga ≥ 3 kali seminggu 16 38,1
<3 kali semiggu 26 61,9
3 Status Gizi (IMT) Tidak berisiko 36 85,7
Berisiko 6 14,3
4 Riwayat Penyakit Tidak pernah 39 92,9
Pernah 3 7,1
5 Riwayat Pekerjaan Tidak pernah 35 83,3
Pernah 7 16,7
63
a. Gambaran Umur Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui gambaran umur pekerja
bengkel las menunjukkan rata-rata 40 tahun, dengan standar
deviasi 9,194. Umur pekerja termuda adalah 22 tahun dan tertua
adalah 63 tahun.
b. Gambaran Masa Kerja Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui gambaran masa kerja
pekerja bengkel las menunjukkan rata-rata 6 tahun, dengan standar
deviasi 3,490. Masa kerja minimum adalah 1 tahun dan masa kerja
maksimum adalah 14 tahun.
Dilihat berdasarkan risiko, masa kerjanya dibagi menjadi 2,
yaitu < 10 tahun dan ≥ 10 tahun. Frekuensi tersebut dapat dilihat
pada grafik di bawah:
64
Grafik 5.3 Gambaran Frekuensi Masa Kerja di Kelurahan Cirendeu
Berdasarkan 10 Tahun Bekerja, Tahun 2014
Pada Grafik 5.3 terlihat pekerja dengan masa kerja kurang
dari 10 tahun memiliki jumlah lebih banyak dari pada pekerja yang
bekerja lebih dari sama dengan 10 tahun yaitu sebesar 85,7%.
c. Gambaran Jumlah Jam Kerja Per Minggu Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui gambaran jumlah jam
kerja pekerja bengkel las menunjukkan rata-rata 42 jam, dengan
standar deviasi 2,586. Jumlah kerja per minggu minimum adalah
40 jam dan jumlah kerja per minggu maksimum adalah 48 jam.
85.7%
14.3%
Masa Kerja
< 10 Tahun
≥ 10 Tahun
65
d. Gambaran Kebiasaan Merokok Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel
las yang merokok lebih banyak dari pada pekerja bengkel las yang
tidak merokok yaitu 37 dari 42 pekerja bengkel las (88,1%).
Dilihat berdasarkan klasifikasi merokok, kebiasaan
merokok dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu tidak merokok,
perokok ringan, perokok sedang, dan perokok berat. Frekuensi
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Grafik 5.4 Gambaran Frekuensi Klasifikasi Merokok Pekerja Bengkel
Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Pada Grafik 5.4 dari 42 pekerja sebanyak 5 pekerja
(11,9%) tidak merokok, 3 pekerja (7,1%) perokok ringan, 21
11.9% 7.1%
50.0%
31.0%
Klasifikasi Merokok
Tidak merokok
Perokok Ringan
Perokok Sedang
Perokok Berat
66
pekerja (50%) adalah perokok sedang, dan 13 pekerja (31%)
perokok berat.
e. Gambaran Kebiasaan Olahraga Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel
las yang kebiasaan olahraga < 3 kali seminggu lebih banyak dari
pada pekerja bengkel las yang kebiasaan olahraga ≥ 3 kali
seminggu yaitu 61,9%.
f. Gambaran Status Gizi Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel
las yang memiliki status gizi (IMT) tidak berisiko lebih banyak
dari pada pekerja bengkel las yang memiliki status gizi (IMT)
berisiko yaitu 85,7%.
g. Gambaran Riwayat Penyakit Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel
las yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit lebih banyak dari
pada pekerja bengkel las yang pernah memiliki riwayat penyakit
yaitu 92,9%.
67
h. Gambaran Riwayat Pekerjaan Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014
Dari tabel 5.4 di atas, diketahui gambaran pekerja bengkel
las yang tidak pernah memiliki riwayat pekerjaan lebih banyak
dari pada pekerja bengkel las yang pernah memiliki riwayat
pekerjaan yaitu 83,3%.
5.3. Analisis Bivariat
5.3.1. Hubungan Antara Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa Kerja, dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Untuk data numerik seperti paparan kadar debu total, umur, masa
kerja, dan jumlah jam kerja per minggu dianalisis dengan menggunakan
korelasi bivariat dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel di bawah:
68
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Paparan Kadar Debu Total, Umur, Masa
Kerja, dan Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las
di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
No. Variabel Independen R R2 Persamaan Garis Pvalue
1 Paparan Kadar
Debu Total - 0,337 0,113 KVP = 80,19-0,98*Paparan
Kadar Debu Total 0,029
2 Umur - 0,672 0,451 KVP = 105,37-0,780*Umur 0,000
3 Masa Kerja - 0,377 0,142 KVP = 81,45-1,15*Masa Kerja
0,014
4
Jumlah Jam
Kerja Per
Minggu
0,383 0,147 KVP = 6,89+1,58*Jumlah Jam Kerja Per Minggu
0,012
a. Hubungan Antara Paparan Kadar Debu Total dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.5 di atas hubungan paparan kadar debu
total dengan kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola
negatif artinya semakin tinggi paparan kadar debu total maka
semakin menurun kapasitas vital paru pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu. Nilai koefisien determinannya adalah 0,113
artinya persamaan garis yang diperoleh dapat menerangkan 11,3%
variasi kapasitas vital paru pekerja bengkel las di Kelurahan
Cirendeu.
69
Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)
sebesar 0,029 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada
hubungan antara paparan kadar debu total dengan kapasitas vital
paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
b. Hubungan Antara Umur dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.5 di atas hubungan umur dengan
kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola negatif artinya
semakin tua umur pekerja bengkel las maka semakin menurun
kapasitas vital paru pekerja bengkel las. Nilai koefisien
determinannya adalah 0,451 artinya persamaan garis yang
diperoleh dapat menerangkan 45,1% variasi kapasitas vital paru
pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.
Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)
sebesar 0,000 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada
hubungan antara umur dengan kapasitas vital paru pada pekerja
bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
70
c. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.5 di atas hubungan Masa Kerja dengan
kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola negatif artinya
semakin lama masa kerja pekerja bengkel las maka semakin
menurun kapasitas vital paru pekerja bengkel las. Nilai koefisien
determinannya adalah 0,142 artinya persamaan garis yang
diperoleh dapat menerangkan 14,2% variasi kapasitas vital paru
pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.
Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)
sebesar 0,014 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada
hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pada
pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
d. Hubungan Antara Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.5 di atas hubungan Masa Kerja dengan
kapasitas vital paru menunjukan hubungan berpola positif artinya
semakin sedikit jumlah jam kerja per minggu pekerja bengkel las
maka semakin meningkat kapasitas vital paru pekerja bengkel las.
Nilai koefisien determinannya adalah 0,147 artinya persamaan
garis yang diperoleh dapat menerangkan 14,7% variasi kapasitas
vital paru pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu.
71
Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas (Pvalue)
sebesar 0,012 artinya pada α 5% dapat disimpukan bahwa ada
hubungan antara jumlah jam kerja per minggu dengan kapasitas
vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun
2014
5.3.2. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok, Kebiasaan Olahraga, Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Untuk data kategorik seperti kebiasaan merkok, kebiaaan
olahraga, status gizi (IMT), riwayat penyakit, dan riwayat pekerjaan
dianalisis dengan menggunakan T-Test Independent dengan hasil yang
dapat dilihat pada tabel di bawah:
72
Tabel 5.6 Analisis Hubungan antara Kebiasaan Merokok, Kebiasaan
Olahraga,Status Gizi (IMT), Riwayat Penyakit, dan Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru
pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu,Tahun 2014
No. Variabel Independen Kategori N P value Mean SD
1 Kebiasaan
Merokok
Tidak Merokok 5 0,000
88 2,345
Merokok 37 72,24 (72) 9,929
2 Kebiasaan
Olahraga
≥ 3 kali seminggu 16 0,130
77,31 (77) 12,048
< 3 kali seminggu 26 72,15 (72) 9,431
3 Status Gizi
(IMT)
Tidak Berisiko 36 0,456
73,61 (74) 10,549
Berisiko 6 77,17 (77) 11,873
4 Riwayat
Penyakit
Tidak Pernah 39 0,157
74,77 (75) 10,441
Pernah 3 65,67 (66) 12,055
5 Riwayat
Pekerjaan
Tidak Pernah 35 0,493
74,83 (75) 9,727
Pernah 7 70,57 (71) 14,954
a. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru
rata-rata pada kelompok tidak merokok adalah 88% dengan
73
standar deviasi 2,345, sedangkan kapasitas vital paru rata-rata pada
kelompok merokok adalah 72% dengan standar deviasi 9,929.
Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara
kebiasaan merokok dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai
probabilitas atau Pvalue sebesar 0,000, artinya pada α 5% dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok
dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
b. Hubungan Antara Kebiasaan Olahraga dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru
rata-rata pada kelompok kebiasaan olahraga ≥ 3 kali seminggu
adalah 77% dengan standar deviasi 12,048, sedangkan kapasitas
vital paru rata-rata pada kelompok kebiasaan olahraga < 3 kali
seminggu adalah 72% dengan standar deviasi 9,431.
Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara
kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai
probabilitas atau Pvalue sebesar 0,130, artinya pada α 5% dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga
dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
74
c. Hubungan Antara Status Gizi (IMT) dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru
rata-rata pada kelompok status gizi (IMT) tidak berisiko adalah
74% dengan standar deviasi 10,549, sedangkan kapasitas vital paru
rata-rata pada kelompok status gizi (IMT) berisiko adalah 77%
dengan standar deviasi 11,873.
Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara
kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai
probabilitas atau Pvalue sebesar 0,456, artinya pada α 5% dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi (IMT)
dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
d. Hubungan Antara Riwayat Penyakit dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru
rata-rata pada kelompok tidak pernah memiliki riwayat penyakit
adalah 75% dengan standar deviasi 10,441, sedangkan kapasitas
vital paru rata-rata pada kelompok pernah memiliki riwayat
penyakit adalah 66% dengan standar deviasi 12,055.
75
Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara
kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai
probabilitas atau Pvalue sebesar 0,157, artinya pada α 5% dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat penyakit
dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
e. Hubungan Antara Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Data pada tabel 5.6 di atas menunjukan kapasitas vital paru
rata-rata pada kelompok tidak pernah memiliki riwayat pekerjaan
adalah 75% dengan standar deviasi 9,727, sedangkan kapasitas
vital paru rata-rata pada kelompok pernah memiliki riwayat
pekerjaan adalah 71% dengan standar deviasi 14,954.
Berdasarkan hasil uji statistik t-test independen antara
kebiasaan olahraga dengan kapasitas vital paru didapatkan nilai
probabilitas atau Pvalue sebesar 0,493 artinya pada α 5% dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat pekerjaan
dengan penurunan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
76
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian yang terdapat pada penelitian ini adalah
variabel riwayat penyakit. Riwayat penyakit yang diukur dengan kuesioner
dapat menimbulkan bias informasi karena banyak dari pekerja tidak memeriksa
kesehatan paru-paru ke dokter, serta ada beberapa pekerja yang berdasarkan
mengingat-ingat mengenai diagnosis dokter yang pernah diterima.
6.2. Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Menurut Mengkidi (2006), kapasitas vital paru volume udara yang
dapat dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah sebelumnya melakukan
inspirasi maksimal. Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan
gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan, dengan mengetahui besarnya
volume dan kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi
maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.
Pekerja bengkel las memiliki risiko tinggi terpapar debu las yang
mengandung uap logam atau yang biasa disebut fumes. Fumes tersebut tidak
terlihat secara kasat mata namun dapat terhirup masuk ke dalam saluran
77
pernapasan. BOC (2006) menyebutkan bahwa efek kesehatan jika menghirup
uap logam tersebut dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan
bagian atas, sesak di dada, mengi, demam uap logam, kerusakan paru-paru,
bronkitis, dan pneumonia atau emfisema. Suma’mur (1996) juga menjelaskan
gejala-gejala yang terjadi jika menghirup uap logam adalah sakit kepala dan
demam. Gejala-gejala tersebut terjadi secara mendadak, terasa demam,
menggigil, enek, muntah, sakit pada otot-otot dan merasa lemah. Efek jangka
panjang dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital paru.
Hasil penelitian mengenai gambaran kapasitas vital paru pekerja
bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 menunjukkan bahwa pekerja
yang mengalami kapasitas vital paru tidak normal lebih banyak daripada yang
berkapasitas vital paru normal, dengan persentase 61,9%. Hasil rata-rata
kapasitas vital paru pekerja sebesar 74% dengan standar deviasi 10,66%. Hasil
pengukuran tersebut tidak dapat mendiagnosis apakah pekerja mengalami
penyakit paru atau tidak. Tetapi dengan hasil tersebut maka dapat
menganjurkan pekerja yang mengalami ketidaknormalan pada kapasitas vital
paru segera diberikan penanganan atau pengobatan oleh dokter. Kemudian
pekerja yang tidak mengalami gangguan kapasitas vital paru dapat
mempertahankan kapasitas vital parunya dengan mengurangi atau mencegah
faktor-faktor yang dapat menganggu kapasitas vital paru.
78
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Deviandhoko (2012) di Kota
Pontianak yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kapasitas vital paru
pada pekerja las sebanyak 24,4%. Hal ini dapat ditarik kesimpulan asap debu
yang mengandung logam akan menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan
dan dapat mengakibatkan obstruksi dan fibrosis pada paru.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2011) yaitu kapasitas
vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Pisangan, didapatkan pekerja
yang mengalami penurunan kapasitas vital paru sebanyak 37,8% dari 37
pekerja. Karakteristik pekerja bengkel las tersebut diantaranya adalah rata-rata
berumur 30 tahun, rata-rata masa kerja 6 tahun, perokok ringan sebanyak
48,6%, perokok sedang 21,6%, tidak merokok 29,7% serta tidak ada yang
perokok berat, dan kebiasaan olahraganya tidak rutin 86,5%. Perbedaan
proporsi pekerja yang mengalami penurunan kapasitas vital paru pada
penelitian Prasetyo (2011) dengan penelitian yang peneliti lakukan tidak jauh
berbeda, terlihat jumlah pekerja yang tidak mengalami penurunan kapasitas
vital paru (normal) lebih banyak dibandingan dengan pekerja yang mengalami
penurunan kapasitas vital paru.
Perbedaan karakteristik pekerja pada penelitian Prasetyo (2011) dengan
penelitian yang peneliti lakukan yaitu pemakaian APD (masker), riwayat
penyakit, dan kebiasaan merokok. Variabel yang sangat berpengaruh pada
penurunan kapasitas vital paru pada penelitian Prasetyo (2011) adalah variabel
79
kebiasaan merokok (Pvalue 0,001) namun tidak ada pekerja yang perokok
berat, berbeda pada penelitian yang peneliti lakukan di mana terdapat pekerja
yang perokok berat sebanyak 31% dari 42 pekerja.
Untuk pekerja yang merokok, diharapkan dapat mengurangi dan
menghentikan kebiasaan merokok karena menurut Mawi (2005) dapat
menyebabkan menurunnya fungsi paru karena terjadinya obstruksi paru.
Kemudian meningkatkan kebiasaan olahraga, karena menurut Talini (1998)
kebiasaan olahraga dapat meningkatkan kapasitas vital paru sebesar 30%
hingga 40%, dengan demikian diharapkan dapat menaikkan kapasitas vital
paru pada pekerja yang mengalami penurunan kapasitas vital paru dan pada
pekerja yang kapasitas vital paru normal dapat menjaga fungsi parunya
tersebut.
Dalam penelitian ini, kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah kadar
debu total, umur, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, riwayat penyakit,
riwayat pekerjaan, masa kerja, dan jumlah jam kerja per minggu.
80
6.3. Hubungan antara Paparan Kadar Debu Total dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Proses pengelasan menghasilkan polutan yang berupa fumes, yaitu uap
logam yang bercampur dengan udara bebas. Menurut Budiono (2007), asap
debu yang mengandung logam akan menyebabkan iritasi pada saluran
pernapasan dan dapat mengakibatkan obstruksi dan fibrosis pada paru. Hal ini
akan menimbulkan penurunan daya kembang paru dan penurunan volume paru
termasuk kapasitas vital paru (Yeung, 1995).
Paparan kadar debu total bengkel las di Kelurahan Cirendeu memiliki
rata-rata 6,222 mg/m3 dengan standar deviasi 3,675. Berdasarkan
Permenakertrans nomor 13 tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika
dan faktor kimia di tempat kerja, standar nilai ambang batas (NAB) 10 mg/m3,
lingkungan kerja yang memiliki kadar debu melebihi nilai ambang batas
sebanyak 26,2% dan lingkungan kerja yang tidak melebihi nilai ambang batas
sebanyak 73,8%. Deviandhoko (2012) berpendapat paparan debu terhirup yang
melebihi ambang batas akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi
paru. Namun, kadar debu yang rendah tetapi lama keterpaparan terjadi dalam
waktu yang lama akan dapat menimbulkan efek kumulatif sehingga pada
akhirnya pekerja dapat mengalami gangguan fungsi paru.
Dalam penelitian ini, terlihat bahwa semakin tinggi pekerja terpapar
debu maka semakin menurun kapasitas vital parunya, ini ditunjukkan dengan
81
nilai koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan berpola negatif
(R = -0,337). Uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini menghasilkan
nilai Pvalue sebesar 0,029 yang artinya ada hubungan antara paparan kadar
debu total dengan kapasitas vital paru. Hasil ini selaras dengan penelitian
Deviandhoko (2012) dimana ada hubungan antara debu yang terhirup dengan
gangguan fungsi paru yang diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan
Pvalue sebesar 0,001.
Kontribusi paparan kadar debu total terhadap penurunan kapasitas
vital paru sebesar 11,3% dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain.
Menurut persamaan garis yang diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan
tetap menurun tanpa adanya paparan debu sebesar 80,19 kali karena faktor
lain, tetapi apabila paparan debu naik 1 mg/m3 saja, maka risiko menurunnya
kapasitas vital paru akan bertambah sebesar 0,98 kali.
Untuk meminimalisir terhirupnya debu hasil pengelasan oleh pekerja,
pengelola bengkel las dapat menggunakan exhaust yang dapat mengalirkan
udara tercemar keluar sehingga debu hasil pengelasan lebih cepat mengalami
pengenceran oleh udara bebas dan lebih cepat keluar dari lingkungan kerja.
Blower exhaust menurut American Welding Society (2009) dibutuhkan
minimal memiliki kecepatan 1,6667 ft/s atau 0,508 m/s. Kemudian untuk
mencegah terjadinya penurunan kapasitas vital paru, pekerja dapat
menggunakan masker pengelasan (welding fumes respiratory) untuk proteksi
82
menghirup debu yang mengandung uap logam atau minimal menggunakan
masker debu (dust respiratory) seperti gambar di bawah ini:
Gambar 6.1 Welding fumes respiratory (kanan) dan dust respiratory (kiri) Sumber: solution.3m.com
6.4. Hubungan antara Umur dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Menurut Guyton (1994), umur merupakan variabel yang sangat penting
terkait terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur serta
kondisi lingkungan yang kurang baik atau kemungkinan terkena suatu
penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru semakin besar.
Seiring bertambahnya umur seseorang, kapasitas paru akan berkurang.
Kapasitas paru orang dengan umur 30 tahun ke atas memiliki rata-rata 3.000
ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang berumur 50 tahunan kapasitas paru
kurang dari 3.000 ml.
Pada penelitian ini, umur pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu
memiliki rata-rata 34 tahun dengan standar deviasi 9,043. Pekerja yang
memiliki umur sekitar 40 hingga 49 tahun dan mengalami penurunan kapasitas
83
vital paru sebanyak 10 pekerja dibandingkan dengan kelompok umur yang
lain. Pada penelitian ini umur pekerja yang memiliki risiko penurunan
kapasitas vital paru diperoleh rata-rata 43 tahun, karena sudah mendekati umur
50 tahun yang risiko penurunan kapasitas vital paru tinggi. Jika dibandingkan
dengan penelitian Prasetyo (2011) dengan metode pengambilan data yang
sama, terdapat perbedaan rata-rata umur pekerja di mana rata-rata umur yang
berisiko yaitu pekerja yang berumur 34 tahun. Namun, hal tersebut sesuai
dengan teori yang diutarakan oleh Guyton (1994).
Pada penelitian ini, terlihat bahwa semakin tua umur pekerja maka
semakin menurun kapasitas vital parunya, ini ditunjukkan dengan nilai
koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan berpola negatif
(R = -0,672). Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Guyton (1994).
Kemudian hasil uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini menghasilkan
nilai Pvalue sebesar 0,000 yang artinya ada hubungan antara umur dengan
kapasitas vital paru. Hasil ini selaras dengan penelitian Yulaekah (2007)
dengan Pvalue sebesar 0,006 dan Mengkidi (2006) dengan Pvalue sebesar
0,015 dimana ada hubungan antara umur dengan gangguan fungsi paru yang
diukur dengan nilai kapasitas vital paru. Ini juga sejalan dengan yang
diutarakan oleh Guyton (1994) bahwa semakin bertambah umur seseorang,
maka kapasitas paru-paru akan berkurang.
84
Kontribusi umur terhadap penurunan kapasitas vital paru sebesar 45,1%
dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain. Menurut persamaan garis yang
diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan tetap menurun tanpa tanpa
faktor umur sebesar 105,37 kali karena faktor lain, tetapi apabila umur
bertambah 1 tahun saja, maka risiko menurunnya kapasitas vital paru akan
bertambah sebesar 0,780 kali.
Dengan demikian pengelola bengkel las dapat meminimalisasi paparan
debu dengan menggunakan exhaust agar debu hasil pengelasan lebih cepat
keluar dari lingkungan kerja. Pengelola bengkel dapat mengelompokan umur
yang berusia lebih dari 43 tahun untuk dilakukan rotasi kerja menjadi di bagian
pemotongan, sehingga lebih sedikit terpapar risiko namun apabila tidak dapat
dirotasi pengelola dapat memproporsikan waktu kerja agar tidak lebih dari 8
jam kerja per hari atau 40 jam kerja seminggu atau jika hal tersebut tidak
memunginkan karena akan mengurangi pendapatan, maka semua pekerja
diwajibkan menggunakan masker untuk meminimalisir menghirup debu hasil
pekerjaan tersebut.
6.5. Hubungan antara Masa Kerja dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Kurniawidjaja (2004) menjelaskan semakin lama seseorang terpajan
debu semakin besar pula risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Pada
penelitian ini, rata-rata masa kerja pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu
85
adalah 6 tahun dengan standar deviasi 3,490. Menurut Faridawati (2003),
waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk terjadinya
gangguan fungsi paru kurang lebih selama 10 tahun. Hasil data tersebut
dianalisis kembali dengan membagi 2 kelompok masa kerja < 10 tahun dan ≥
10 tahun dengan hasil masing-masing 85,7% (36 pekerja) dan 14,3% (6
pekerja). Berdasarkan data primer yang diambil, masa kerja yang paling
banyak mengalami penurunan kapasitas vital paru dengan masa kerja 4 tahun.
Penurunan kapasitas vital paru dapat berkaitan dengan banyaknya paparan
kadar debu total di lingkungan kerja. Rata-rata dari pekerja dengan masa kerja
4 tahun memiliki paparan kadar debu total melebihi NAB 10 mg/m3.
Dalam penelitian ini, terlihat bahwa semakin lama masa kerja pekerja
maka semakin menurun kapasitas vital parunya, ini ditunjukkan dengan nilai
koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan berpola negatif
(R = -0,377). Kemudian hasil uji hiotesis dalam penelitian ini menghasilkan
nilai Pvalue sebesar 0,014 yang artinya ada hubungan antara masa kerja
dengan kapasitas vital paru. Hasil ini sejalan dengan penelitian Budiono (2007)
di mana ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan fungsi paru yang
diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan Pvalue sebesar 0,0005.
Kontribusi masa kerja terhadap penurunan kapasitas vital paru sebesar
14,2% dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain. Menurut persamaan
garis yang diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan tetap menurun
86
tanpa adanya masa kerja sebesar 81,45 kali karena faktor lain, tetapi apabila
masa kerja bertambah 1 tahun saja, maka risiko menurunnya kapasitas vital
paru akan bertambah sebesar 1,15 kali.
Dalam pekerjaan non formal seperti industri pengelasan, tidak jarang
ditemui pekerja yang telah bekerja di bidang tersebut melebihi 10 tahun.
Dalam 10 tahun bekerja, faktor-faktor terutama faktor debu hasil pengelasan
dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pekerja oleh sebab itu, pengelola
dapat menyediakan exhaust agar debu hasil pengelasan lebih cepat keluar dari
lingkungan kerja sehingga dosis debu yang diterima pekerja menjadi lebih
sedikit. Karena dosis yang sedikit walaupun dalam jangka waktu yang panjang
dapat pempengaruhi fungsi paru dan lebih buruk lagi jika pekerja mendapatkan
dosis debu pengelasan yang tinggi dalam jangka waktu panjang maupun
pendek dapat lebih cepat mempengaruhi fungsi paru. Kemudian dapat
menggunakan masker debu untuk semakin meminimalisasi dosis yang terima
pekerja.
6.6. Hubungan antara Jumlah Jam Kerja Per Minggu dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Menurut Anggoro (1999), semakin lama pekerja terpapar oleh paparan
akan semakin memperbesar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Jumlah
jam kerja per minggu seseorang mengakibatkan berbedanya intensitas pajanan
dan banyaknya debu yang terhirup oleh masing-masing pekerja las, sehingga
87
pekerja las yang cukup lama terlibat dalam aktivitas pekerjaannya, berpotensi
menghirup debu lebih banyak jika dibandingkan dengan pekerja las yang tidak
lama terlibat dalam aktivitas pekerjaannya.
Pada penelitian ini, rata-rata jumlah jam kerja pekerja bengkel las
menunjukkan rata-rata 42 jam, dengan standar deviasi 2,586. Berarti jumlah
jam kerja per minggu ini melebihi jumlah jam kerja per minggu normal yaitu
40 jam.
Dalam penelitian ini, terlihat bahwa semakin banyak jumlah jam kerja
per minggu pekerja maka semakin menurun kapasitas vital parunya, ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasinya yang berkekuatan sedang dan
berpola positif (R = 0,389). Kemudian hasil uji hipotesis yang dilakukan dalam
penelitian ini menghasilkan nilai Pvalue sebesar 0,012 yang artinya ada
hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Deviandhoko
(2012) di mana tidak ada hubungan antara lama kerja dengan gangguan fungsi
paru yang diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan Pvalue sebesar
0,609.
Kontribusi jumlah jam kerja per minggu terhadap penurunan kapasitas
vital paru sebesar 14,7% dan sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain.
Menurut persamaan garis yang diperoleh, kapasitas vital paru lambat-laun akan
tetap menurun tanpa adanya jumlah jam kerja per minggu sebesar 6,89 kali
88
karena faktor lain, tetapi apabila masa kerja bertambah 1 jam per minggu saja,
maka risiko menurunnya kapasitas vital paru akan bertambah sebesar 1,58 kali.
Jumlah jam kerja per minggu dapat berhubungan dengan kapasitas vital
paru dikarenakan kebanyakan pekerja bekerja lebih dari 40 jam per minggu
sebanyak 16 pekerja dan mendapatkan dosis debu yang tinggi hasil dari
pengelasan serta gaya hidup yang buruk seperti kebiasaan merokok. Untuk
waktu bekerja yang lebih dari 40 jam seminggu kecil kemungkinan dapat
dikurangi maka jalan yang dapat ditempuh yaitu mengurangi paparan kadar
debu total di lingkungan kerja dengan cara penggunaan exhaust agar debu hasil
pengelasan lebih cepat keluar dari lingkungan kerja serta mewajibkan
menggunakan masker debu ketika bekerja untuk mengurangi paparan debu.
Melakukan larangan merokok ditempat kerja, karena asap rokok mengandung
zat kimia yang dapat menimbulkan penyakit obstruksi saluran napas kronik
(Mawi, 2005).
6.7. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Menurut Mannopo dalam Yulaekah (2007), merokok dapat
menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.
Pada saluran napas bear, sel mukosa membesar (hipermetrofi) dan kelenjar
mukus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi
radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan
89
lendir. Pada jaringan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan
kerusakan alveoli.
Di dalam batang rokok terdapat 4800 macam bahan kimia beserta
tuunannya yang berbahaya, beberapa diantaranya adalah nikotin, fenol,
benzena, tar, karbon monoksida, karbon dioksida, toluena, amonia, metanol,
dan lainnya (Tirrosastro dan Murdiyati, 2009). Menurut Sitepoe (2000) zat
kimia yang memberikan efek yang mengganggu paru-paru antara lain adalah
tar, gas karbon monoksida dan berbagai logam berat. Tar mempunyai bahan
kimia yang beracun yang bisa menyebabkan kerusakan pada sel paru-paru dan
menyebabkan kanker.
Berdasarkan analisis univariat yang telah dilakukan, diketahui 37 dari
42 pekerja bengkel las merokok (88,1%). Kemudian diklasifikasikan menjadi 4
kategori merokok, diantaranya adalah tidak merokok sebanyak 5 pekerja
(11,9%), perokok ringan sebanyak 3 pekerja (7,1%), perokok sedang sebanyak
21 orang (50%), dan perokok berat sebanyak 13 orang (31%). Pekerja yang
merokok, rata-rata mulai merokok ketika masih bersekolah dengan umur 12
tahun sehingga jika diurutkan dari usia pekerja termuda yaitu 22 tahun maka
sudah 10 tahun merokok dan jika pekerja denga umur tertua yaitu 63 tahun
maka sudah 51 tahun merokok.
Berdasarkan data penelitian, terdapat 11 orang (26,19%) yang merokok
tetapi mereka tidak mengalami penurunan kapasitas vital paru. Hal tersebut
90
dikarenakan pekerja tersebut rajin melakukan olahraga berjenis aerobik
sekurangnya 3 kali seminggu dan termasuk golongan perokok ringan dan
sedang. Pekerja tersebut memiliki masa kerja di bengkel las kurang dari 4
tahun atau rata-rata baru bekerja selama 1 tahun serta tidak memiliki riwayat
pekerjaan dengan pajanan debu.
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan menujukkan nilai
Pvalue sebesar 0,000 yang artinya bahwa ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan
Cirendeu. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Yulaekah sendiri
menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara gangguan fungsi paru
dengan kelompok perokok dengan nilai Pvalue sebesar 0,039. Hasil penelitian
Hisyam dalam Yulaekah (2007), ditemukan orang yang perokok memiliki 2,6
kali lebih berisiko menderita penyakit obstruksi kronik dibandingkan yang
bukan perokok. Menurut Situmeang (2002) risiko perokok mengalami kanker
paru meningkat 3,62 kali lipat dengan peningkatan usia perokok setelah 10
tahun merokok.
Teori Depkes RI (2002) menyatakan bahwa pengaruh asap rokok tiga
kali lebih besar mengakibatkan gangguan paru dibandingkan pengaruh debu.
Dengan demikian, kemungkinan besar pekerja yang mengalami penurunan
kapasitas vital paru dikarenakan kebiasaan merokok. Oleh sebab itu, kesadaran
pekerja akan dampak buruk rokok harus diperkuat, sehingga diharapkan
91
pekerja yang merokok dapat mengurangi konsumsi rokok dan meninggalkan
kebiasaan merokok serta pengelola bengkel las menerapkan larangan merokok
ketika bekerja.
WHO dalam Aditama (1997) pernah mengeluarkan petunjuk yang
dapat digunakan untuk mengurangi bahaya merokok namun tidak
menghilangkan bahaya merokok, yaitu dengan cara:
a. Mengurangi jumlah isapan pada setiap batang rokok. Makin jarang
rokok diisap maka akan semakin baik.
b. Mengurangi dalamnya dan lamanya isapan. Semakin dangkal isapan
dan makin singkat waktu lamanya mengisap maka makin sedikit bahan
berbahaya yang masuk ke dalam paru-paru.
c. Matikan dan buang puntung rokok setelah diisap setengah atau paling
banyak dua per tiganya. Karena kadar bahan berbahaya akan semakin
tinggi jika puntung rokok lebih pendek.
d. Jangan letakkan rokok dimulut atau bibir diantara dua isapan. Artinya,
jika sedang tidak diisap maka rokok itu sebaiknya dipegang di tangan
saja.
Aditama (1997) pun memberikan saran praktis untuk membantu
seseorang berhenti merokok. Saran tersebut adalah
a. Buang semua bungkus rokok, korek api dan sembunyikan asbak agar
tidak mengganggu konsentrasi sewaktu berhenti merokok.
92
b. Buat daftar mengenai kerugian akibat merokok yang telah dialami serta
catat berbagai keuntungan yang didapat setelah berhenti merokok
seperti hilangnya bau di rambut, hilangnya warna kecoklatan pada jari,
gigi yang lebih bersih, dan lainnya.
c. Berkumpul bersama teman-teman yang tidak merokok atau yang ingin
berhenti merokok atau dapat membentuk “kelompok mantan perokok”
sehingga para anggotanya dapat bertukar pikiran tentang masalah-
masalah yang dihadapi dalam upaya berhenti merokok. Kalau
diperlukan dapat mengundang tenaga ahli tertentu guna mendapat
masukan.
6.8. Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Berolahraga merupakan cara yang sangat baik untuk meningkatkan
vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan yang dalam dan
menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak masuk dan disalurkan ke
dalam darah, karbondioksida lebih banyak dikeluarkan. Seorang sehat berusia
50-an yang berolahraga teratur mempunyai volume oksigen 20-30% lebih
besar dari orang muda yang tidak berolahraga (Stull, 1980).
Menurut Yunus (1997), Berolahraga secara rutin dapat meningkatkan
aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan kapiler paru mendapatkan
perfusi maksimum, sehingga O2 dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan
93
volume lebih besar atau maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal
seminggu tiga kali.
Hasil dari analisis bivariat dalam penelitian ini nilai Pvalue sebesar
0,130 yang artinya tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan
kapasitas vital paru. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Khumaidah
(2009) dimana ada hubungan antara olahraga dengan fungsi paru yang diukur
dengan nilai kapasitas vital paru dengan Pvalue sebesar 0,045.
Menurut Talini (1998), pekerja yang tidak melakukan olahraga
mempunyai risiko terjadinya gangguan fungsi paru sebesar 0,188 kali dari pekerja
yang melakukan olahraga, dan olahraga dapat meningkatkan kemampuan dan
kapasitas paru-paru. Dengan demikian walaupun kebiasaan olahraga dalam
penelitian ini tidak memiliki hubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja
bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014, diharapkan pekerja rutin
melakukan olahraga terutama jenis olahraga aerobik seperti berlari, bersepeda dan
lainnya untuk meningkatkan kapasitas vital paru bagi yang mengalami penurunan
kapasitas vital paru dan pencegahan bagi yang belum mengalami penurunan
kapasitas vital paru yang minimal dilakukan 3 kali seminggu dengan durasi selama
30 menit (AHM OSHC, 2002).
Olahraga aerobik merupakan olahraga yang melibatkan banyak otot dan
sendi sehingga banyak membutuhkan oksigen dibandingkan dengan olahraga
anaerobik. Pada penderita gangguan paru seperti mengalami penyakit bronkitis,
94
asma, TBC dan lainnya, paru-paru mengalami penurunan fungsi pertukaran udara
(Sjarifuddin, 1985).
Penderita gangguan paru dianjurkan melakukan olahraga aerobik karena
olahraga ini merangsang kerja jantung, pembuluh darah dan paru. Jantung akan
menjadi lebih kuat memompa darah dan lebih banyak dengan denyut yang makin
berkurang. Akibatnya, persediaan darah yang disalurkan ke seluruh jaringan tubuh
bertambah dan volume darah secara keseluruhan meningkat. Pada saat yang sama,
paru akan memproses udara lebih banyak dengan usaha yang lebih kecil sehingga
volume paru-paru akan meningkat (Karim, 2002).
6.9. Hubungan antara Status Gizi (IMT) dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Menurut Sridhar dalam Budiono (2007), peran penting gizi terhadap
fungsi paru, terutama yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang
merupakan sumber antioksidan. Peran penting antioksidan sebagai pencegah
radikal bebas yang banyak terdapat pada debu dan polusi, hasil penelitian
menunjukkan bahwa gizi kurang ternyata berhubungan dengan penyakit paru.
Sridhar juga menyatkan kapasitas vital paru menurun rata-rata 390ml pada
keadaan kelaparan, namun akan kembali normal dalam 12 minggu setelah
kembali pada keadaan diet normal.
Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui gambaran status gizi
(IMT) pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu yaitu lebih banyak yang
95
status gizi (IMT) tidak berisiko sebesar 85,7%. Kemudian hasil analisis
bivariat dalam penelitian ini nilai Pvalue sebesar 0,456 yang artinya tidak ada
hubungan antara status gizi (IMT) dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel
las di Kelurahan Cirendeu. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian Budiono (2007) dimana ada hubungan antara status gizi dengan
gangguan fungsi paru yang diukur dengan nilai kapasitas vital paru dengan
Pvalue sebesar 0,0001.
Hal ini diperkirakan karena distribusi status gizi di bengkel las cukup
baik di mana prevalensi yang tidak berisiko lebih besar dibandingkan dengan
yang berisiko dengan besar 85,7%. Jika dilihat dari hasil analisis bivariat pada
semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pekerja
bengkel las, hasil yang memiliki tingkat signifikansi tertinggi yaitu faktor umur
(Pvalue = 0,000) dan faktor kebiasaan merokok (Pvalue = 0,000).
6.10. Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Menurut Price dalam Budiono (2007), Seseorang yang pernah
mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga
alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan
menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa
emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan sianosis akan
memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh
96
debu organik dan anorganik. Penelitian Soedjono dan Nugraheni dalam
Budiono (2007) diperoleh hasil bahwa pekerja yang mempunyai riwayat
penyakit paru mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami gangguan
fungsi paru.
Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui gambaran riwayat
penyakit pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu yaitu lebih banyak yang
tidak memiliki riwayat penyakit paru sebesar 92,9%. Kemudian hasil analisis
bivariat diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,157 yang artinya tidak ada hubungan
antara riwayat penyakit dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel las di
Kelurahan Cirendeu. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
Soedjono, Nugraheni dan Budiono di mana ada hubungan antara riwayat
penyakit paru dengan ganguan fungsi paru dengan nilai Pvalue sebesar 0,015.
Hal ini diperkirakan karena prevalensi pekerja yang tidak pernah
memiliki riwayat penyakit lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang
pernah memiliki riwayat penyakit dengan besar 92,9%. Jika dilihat dari hasil
analisis bivariat pada semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi
kapasitas vital paru pekerja bengkel las, hasil yang memiliki tingkat
signifikansi tertinggi yaitu faktor umur (Pvalue = 0,000) dan faktor kebiasaan
merokok (Pvalue = 0,000).
97
6.11. Hubungan antara Riwayat Pekerjaan dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014
Riwayat pekerjaan dapat digunakan sebagai cara menegakkan diagnosa
penyakit akibat kerja. Pekerjaan sebelumnya mempunyai kemungkinan bahwa
penyakit yang sekarang diderita merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab
penyakit yang ada pada lingkungan kerja sebelumnya (Suma’mur, 1996).
Suma’mur (1996) juga menjelaskan bahwa pekerja yang memiliki
riwayat kerja yang menghadapi debu berbahaya atau yang dapat menyebabkan
pneumokoniosis, misalnya pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik,
dan lainnya serta makin banyaknya penimbunan debu dalam paru-paru maka
memiliki kemungkinan terjadi gangguan fungsi paru yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui gambaran pekerja
bengkel las di Kelurahan Cirendeu yaitu lebih banyak yang tidak memiliki
riwayat pekerjaan dengan paparan debu sebesar 83,3%. Kemudian hasil
analisis bivariat diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,493 yang artinya tidak ada
hubungan antara riwayat pekerjaan dengan kapasitas vital paru pekerja bengkel
las di Kelurahan Cirendeu.
Hal ini diperkirakan karena distribusi pekerja yang tidak pernah
memiliki riwayat pekerjaan lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang
pernah memiliki riwayat pekerjaan dengan besar 83,3%. Jika dilihat dari hasil
analisis bivariat pada semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi
kapasitas vital paru pekerja bengkel las, hasil yang memiliki tingkat
98
signifikansi tertinggi yaitu faktor umur (Pvalue = 0,000) dan faktor kebiasaan
merokok (Pvalue = 0,000).
99
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB sebelumnya,
maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Gambaran kapasitas vital paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan
Cirendeu tahun 2014 menunjukkan rata-rata KVP 74,12%, dengan standar
deviasi 10,666. Kapasitas vital paru minimum adalah 51% dan kapasitas
vital paru maksimum 92%.
2. Gambaran paparan kadar debu total pada bengkel las di lingkungan kerja
bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 menjukkan rata-rata 6,222
mg/m3, dengan standar deviasi 3,675. Kadar debu minimum adalah 0,454
mg/m3 dan kadar debu maksimum adalah 11,142 mg/m3 dengan nilai
ambang batas (NAB) 10 mg/m3.
3. Gambaran umur pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014
menunjukkan rata-rata 40 tahun, dengan standar deviasi 9,194. Umur pekerja
termuda adalah 22 tahun dan tertua adalah 63 tahun.
100
4. Gambaran masa kerja pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014
menunjukkan rata-rata 6 tahun, dengan standar deviasi 3,490. Masa kerja
minimum adalah 1 tahun dan masa kerja maksimum adalah 14 tahun.
5. Gambaran jumlah jam kerja pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu
menunjukkan rata-rata 42 jam, dengan standar deviasi 2,586. Jumlah kerja
per minggu minimum adalah 40 jam dan jumlah kerja per minggu
maksimum adalah 48 jam.
6. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang
merokok sebesar 88,1%.
7. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang
kebiasaan olahraga < 3 kali seminggu sebesar 61,9%.
8. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang
memiliki status gizi (IMT) tidak berisiko sebesar 85,7%.
9. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang tidak
pernah memiliki riwayat penyakit sebesar 92,9%.
10. Gambaran pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014 yang tidak
pernah memiliki riwayat pekerjaan sebesar 83,3%.
11. Ada hubungan antara paparan kadar debu total (Pvalue 0,029), umur (Pvalue
0,000), masa kerja (Pvalue 0,014), jumlah jam kerja per minggu (Pvalue
0,012), dan kebiasaan merokok (Pvalue 0,000) dengan kapasitas vital paru
pada pekerja bengkel las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
101
12. Tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga (Pvalue 0,130), status gizi
(IMT) (Pvalue 0,456), riwayat penyakit (Pvalue 0,157), dan riwayat
pekerjaan (Pvalue 0,493) dengan kapasitas vital paru pada pekerja bengkel
las di Kelurahan Cirendeu tahun 2014.
7.2. Saran
1. Bagi Pengelola Bengkel Las
a. Menggunakan exhaust dengan blower yang memiliki kecepatan
minimal 0,508 m/s.
b. Melarang pekerja untuk merokok ketika sedang bekerja atau sedang
berada di lingkungan kerja.
c. Melengkapi alat pelindung diri dengan masker untuk para pekerja
minimal masker debu dan mewajibkan seluruh pekerja menggunakan
masker.
2. Bagi Pekerja
a. Mengurangi dan menghentikan kebiasaan merokok.
b. Rajin berolahraga minimal 3 kali seminggu selama 30 menit dengan
jenis olahraga aerobik.
c. Menggunakan masker ketika sedang bekerja.
102
3. Bagi Penelitian Lanjutan
a. Diharapkan dapat menghilangkan keterbatasan penelitian ini, yaitu
faktor riwayat penyakit. Riwayat penyakit sebaiknya dilakukan dengan
diagnosis dokter.
b. Desain studi untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan desain
studi cohort untuk dapat melihat hubungan sebab akibat dari faktor-
faktor tersebut dengan kapasitas vital paru.
c. Diharapkan bisa melanjutkan penelitian ini dengan mengukur
efektivitas jenis alat pelindung pernapasan terhadap kapasitas vital
paru pada pekerja bengkel las.
DAFTAR PUSTAKA
Aditma, Tjandra Yoga. 1997. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press
AHM OSHC. 2002. Kebiasaan yang Sehat. Matraville: Mediabank Private Limited
Ahmadi, UF. 1990. Kesehatan Lingkungan Kerja Lingkungan Fisik dalam Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal. Jakarta: Direktorat Bina Peran Serta masyarakat. Depkes RI
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
American Welding Society. 2009. Ventilation for Welding and Cutting. US: Safety and Health Fact Sheet No.36
Amin, M. 2000. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya
Anggoro, Wisnu Chandra Dewi K.1999. Keselamatan Kerja Pada Proses Pengelasan Di Laboratorium Proses Produksi FTI-Universitas Atma Jaya. Jakarta: Jurnal Teknologi Industri
Badan Standar Nasional. 2005. Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara Tempat Kerja (SNI 19-0232-2005). Jakarta: Badan Standar Nasional
BOC. 2006. Welding Hazard and Risk Management. Ontario: BOC Canada Limited
Budiono, Irwan. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pengecatan Mobil (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penykit Tidak Menular Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta
Carlisle, D.L. et al. 2000. Apoptosis and P53 Induction In Human Lung Fibroblasts Exposed to Chromium(VI) : Effect of Ascorbate and Tocopherol. Washington DC: Toxicological Sciences
Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI dan Keputusan Dirjen PPM&PLP tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja. Jakarta: Depkes RI
Deviandhoko, Nur Endah W, Nurjazuli. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengelasan di Kota Pontianak. Pontianak: Jurnal Kesehatan Lingkungan
Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi air dan udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Faridawati, Ria. 2003. Penyakit paru obstruktif kronik dan asma akibat kerja. Jakarta: Journal of the Indonesia Association of Pulmonologist
Guyton, Arthur C. 1994. Fisiologi Kedokteran. Alih bahasa Ken Ariata Tengadi. Edisi 7. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Ikhsan, Mukhtar. Penatalaksanaan Penyakit Paru Akibat Kerja, Kumpulan Makalah Seminar K3 RS Persahabatan Tahun 2001 dan 2002. Jakarta. Universitas Indoneia
Karin, Faizati. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Kepmenkes. 2008. Pedoman Pengendalian PPOK
Kurniawidjaja, I.M. 2004. Peranan Variasi Genetik pada Gen TNF-α Posisi -308, Sitokin TNF-α, dan Sitonkin 11 & 10 Terhadap Silikosis Pekerja Pabrik Semen di Indonesia (Disertasi). Depok: Universitas Indonesia
Lorriane, M.W, Sylvia A.P. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Mawi, Martiem. 2005. Nilai Rujukan Spirometri untuk Lanjut Usia Sehat. Jakarta: Universa Medicina
Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya pada Karyawan PT Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro
Muchtler, J. 1973. The industrial environment its evaluation and control. Public Health Centre for Diseases Control national Institute for Occupational Safety and Health.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans). 2011. Nomor PER. 13/MEN/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Jakarta
Prasetyo, Dian Rawar. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Pisangan, Ciputat Tahun 2010 (Skripsi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rab, H Tabrani.1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hiperkes
Rahayu, Suparni Setyowati dkk. 2008. Kimia Industri Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Rasyid, Ahmad Hasyim. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Di Industri Percetakan Mega Mall Ciputat Tahun 2013 (Skripsi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sitepoe, M. 2000. Kekhususan Rokok Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Situmeang, SBT, Jusuf A, Arief N, dkk. 2002. Hubungan Merokok Kretek dengan Kanker Paru. Jurnal Respirologi Indonesia. Official Journal of Indonesian Association of Pulmunologist Vol. 22, No. 3
Sjarifuddin, Aip. 1985. Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: CV Baru
Stull, Alan. 1980. Encyclopedia of Physical Education, Fitness, and Sport, Utah: Brighton Publishing Company
Suma’mur, P.K. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Talini, D. Monteverdi, A. Benvenuti, A. Petrozzino, M et all.1998. Asthma Like Symptom Atopy and Bronchial Responsiveness in Furniture Worker. Columbia: Occupational Environmen Medicine
Talini, D. Monteverdi, A. Benvenuti, A. Petrozzino, M et all.1998. Asthma-Like Symptom Atopy and Bronchial Responsiveness in Furniture Worker. Columbia: Occupational Environmen Medicine
Tirtosastro, Samsuri dan A.S. Murdiyati. 2009. Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok. Malang: Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri, April 2010
Wahab, Zulfachmi. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Timbulnya Gangguan Fungsi Paru dan Kejadian Bisinosis pada Karyawan Pabrik Tekstil “X” di Semarang (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro
Yeung, M. Chan, dkk. 1995. Pulmonary Function Measurement In The Industrial Setting. Chest
Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro
Yunus, F. 1997. Faal Paru dan Olah Raga. Medan: J. Respir
Lampiran 1
Lampiran 2
Foto Kegiatan Pengambilan Data
Pengaturan dan Penempatan alat EPAM 5000 di Lokasi Kerja
Pengambilan Data Sampel Debu di Lingkungan Kerja
Pekerja Melakukan Pengelasan Tanpa Masker dan Terlihat Debu Hasil Pengelasan (Fumes)
Pengambilan Data Tinggi Badan dan Berat Badan Responden
Pengambilan Data Kapasitas Vital Paru dengan Alat Spirometri Minato AZ-505
Hasil Dapat Dicetak
Lampiran 3
OUTPUT SPSS
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
KVP_Numerik Kadar_Debu Umur Merokok Olahraga IMT
Riwayat_
Penyakit
Riwayat_
Pekerjaan Masa_Kerja
Jml_Jam_Kerja
_Seminggu
N 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42
Normal Parametersa Mean 74.12 6.22236 40.10 .88 .62 .14 .07 .17 6.36 42.57
Std.
Deviation 10.666 3.675945 9.194 .328 .492 .354 .261 .377 3.491 2.586
Most Extreme
Differences
Absolute .127 .193 .084 .523 .400 .514 .537 .504 .131 .276
Positive .073 .128 .084 .358 .277 .514 .537 .504 .131 .276
Negative -.127 -.193 -.067 -.523 -.400 -.343 -.392 -.329 -.121 -.160
Kolmogorov-Smirnov Z .824 1.251 .546 3.388 2.592 3.330 3.477 3.267 .850 1.788
Asymp. Sig. (2-tailed) .506 .087 .927 .000 .000 .000 .000 .000 .465 .003
a. Test distribution is Normal.
Analisis Univariat
Statistics
KVP_Numerik Kadar_Debu Umur Merokok Olahraga IMT Riwayat_Penyakit
Riwayat_
Pekerjaan Masa_Kerja
Jml_Jam_Kerja_
Seminggu
N Valid 42 42 42 42 42 42 42 42 42 42
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean 74.12 6.22236 40.10 .88 .62 .14 .07 .17 6.36 42.57
Median 74.50 5.39400 39.00 1.00 1.00 .00 .00 .00 7.00 41.00
Mode 85 2.846a 48 1 1 0 0 0 9 41
Std. Deviation 10.666 3.675945 9.194 .328 .492 .354 .261 .377 3.491 2.586
Minimum 51 .454 22 0 0 0 0 0 1 40
Maximum 92 11.142 63 1 1 1 1 1 14 48
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Merokok 5 11.9 11.9 11.9
Merokok 37 88.1 88.1 100.0
Total 42 100.0 100.0
Olahraga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Olahraga >= 3 kali
seminggu 16 38.1 38.1 38.1
Tidak Olahraga <3 kali
seminggu 26 61.9 61.9 100.0
Total 42 100.0 100.0
IMT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Berisiko 36 85.7 85.7 85.7
Berisiko 6 14.3 14.3 100.0
Total 42 100.0 100.0
Riwayat_Penyakit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Pernah 39 92.9 92.9 92.9
Pernah 3 7.1 7.1 100.0
Total 42 100.0 100.0
Riwayat_Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Pernah 35 83.3 83.3 83.3
Pernah 7 16.7 16.7 100.0
Total 42 100.0 100.0
Analisis Bivariat
a. Korelasi Pearson
KVP – Paparan Kadar Debu Total
Correlations
KVP_Numerik Kadar_Debu
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 -.337*
Sig. (2-tailed) .029
N 42 42
Kadar_Debu Pearson Correlation -.337* 1
Sig. (2-tailed) .029
N 42 42
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .337a .113 .091 10.169
a. Predictors: (Constant), Kadar_Debu
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 528.280 1 528.280 5.109 .029a
Residual 4136.124 40 103.403
Total 4664.405 41
a. Predictors: (Constant), Kadar_Debu
b. Dependent Variable: KVP_Numerik
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 80.195 3.113 25.765 .000
Kadar_Debu -.976 .432 -.337 -2.260 .029
a. Dependent Variable: KVP_Numerik
KVP – Umur
Correlations
KVP_Numerik Umur
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 -.672**
Sig. (2-tailed) .000
N 42 42
Umur Pearson Correlation -.672** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 42 42
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .672a .451 .438 7.998
a. Predictors: (Constant), Umur
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 2105.821 1 2105.821 32.922 .000a
Residual 2558.584 40 63.965
Total 4664.405 41
a. Predictors: (Constant), Umur
b. Dependent Variable: KVP_Numerik
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 105.374 5.585 18.866 .000
Umur -.780 .136 -.672 -5.738 .000
a. Dependent Variable: KVP_Numerik
KVP – Masa Kerja
Correlations
KVP_Numerik Masa_Kerja
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 -.377*
Sig. (2-tailed) .014
N 42 42
Masa_Kerja Pearson Correlation -.377* 1
Sig. (2-tailed) .014
N 42 42
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .377a .142 .121 10.001
a. Predictors: (Constant), Masa_Kerja
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 663.532 1 663.532 6.634 .014a
Residual 4000.872 40 100.022
Total 4664.405 41
a. Predictors: (Constant), Masa_Kerja
b. Dependent Variable: KVP_Numerik
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 81.445 3.236 25.168 .000
Masa_Kerja -1.152 .447 -.377 -2.576 .014
a. Dependent Variable: KVP_Numerik
KVP – Jumlah Jam Kerja Per Minggu
Correlations
KVP_Numerik
Jml_Jam_Kerja_
Seminggu
KVP_Numerik Pearson Correlation 1 .383*
Sig. (2-tailed) .012
N 42 42
Jml_Jam_Kerja_Seminggu Pearson Correlation .383* 1
Sig. (2-tailed) .012
N 42 42
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .383a .147 .125 9.975
a. Predictors: (Constant), Jml_Jam_Kerja_Seminggu
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 684.005 1 684.005 6.874 .012a
Residual 3980.400 40 99.510
Total 4664.405 41
a. Predictors: (Constant), Jml_Jam_Kerja_Seminggu
b. Dependent Variable: KVP_Numerik
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 6.892 25.688 .268 .790
Jml_Jam_Kerja_Seminggu 1.579 .602 .383 2.622 .012
a. Dependent Variable: KVP_Numerik
b. T-Test Independent
KVP – Kebiasaan Merokok
Group Statistics
Merokok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
KVP_Numerik Tidak Merokok 5 88.00 2.345 1.049
Merokok 37 72.24 9.929 1.632
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
KVP_Numerik Equal variances assumed 6.447 .015 3.500 40 .001 15.757 4.502 6.658 24.855
Equal variances not
assumed
8.121 28.358 .000 15.757 1.940 11.785 19.729
KVP – Kebiasaan Olahraga
Group Statistics
Olahraga N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
KVP_Numerik Olahraga >= 3 kali seminggu 16 77.31 12.048 3.012
Tidak Olahraga <3 kali
seminggu 26 72.15 9.431 1.849
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
KVP_Numerik Equal variances assumed 1.770 .191 1.548 40 .130 5.159 3.333 -1.577 11.895
Equal variances not assumed 1.459 26.208 .156 5.159 3.535 -2.104 12.421
KVP – Status Gizi (IMT)
Group Statistics
IMT N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
KVP_Numerik Tidak Berisiko 36 73.61 10.549 1.758
Berisiko 6 77.17 11.873 4.847
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
KVP_Numerik Equal variances assumed .236 .630 -.752 40 .456 -3.556 4.728 -13.112 6.001
Equal variances not
assumed
-.690 6.386 .515 -3.556 5.156 -15.989 8.878
KVP – Riwayat Penyakit
Group Statistics
Riwayat_Penyakit N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
KVP_Numerik Tidak Pernah 39 74.77 10.441 1.672
Pernah 3 65.67 12.055 6.960
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
KVP_Numerik Equal variances assumed .006 .940 1.443 40 .157 9.103 6.308 -3.646 21.851
Equal variances not
assumed
1.272 2.237 .320 9.103 7.158 -18.771 36.976
KVP – Riwayat Pekerjaan
Group Statistics
Riwayat_Pekerjaa
n N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
KVP_Numerik Tidak Pernah 35 74.83 9.727 1.644
Pernah 7 70.57 14.954 5.652
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
KVP_Numerik Equal variances assumed 5.383 .026 .963 40 .341 4.257 4.420 -4.676 13.190
Equal variances not
assumed
.723 7.050 .493 4.257 5.886 -9.642 18.156
Lampiran 4
Kuesioner Penelitian
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014”
Kepada Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i..... Assalamualaikum Wr. Wb Dengan hormat, Sehubungan dengan tugas akhir yang saya tempuh, maka bersama ini saya: Nama : Novandany Dwiantoro Putra NIM : 109101000068 Peminatan : Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Jurusan : Kesehatan Masyarakat Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bermaksud meyampaikan kuesioner penelitian yang berkaitan dengan topik yang saya teliti, yaitu “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014”. Sehubungan dengan hal tersebut, saya minta kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk mengisi kuesioner tersebut dengan objektif. Semua informasi yang diberikan hanya digunakan untuk kepentingan akademik dan dijamin kerahasiannya. Atas bantuan Bapak/Ibu/Saudara/I, saya ucapkan terimakasih.
Responden
KUESIONER PENELITIAN
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu Tahun 2014”
Identitas Responden
Nama
Tanggal Lahir
Status Gizi Tinggi Badan :
Berat Badan :
IMT :
Pertanyaan Penelitian
No. Pertanyaan
A Masa Kerja dan Riwayat Pekerjaan
1 Sejak kapan anda bekerja di industri pengelasan ini?
...................................
2 Berapa jam Anda bekerja dalam satu hari?
.............jam/hari
3 Berapa hari Anda bekerja dalam satu minggu?
............hari/minggu
No. Responden:
Petunjuk Pengisian Kuesioner:
1. Isilah pertanyaan pada kolom yang tersedia. 2. Isilah pertanyaan yang memiliki pilihan jawaban dengan melingkari salah satu
jawaban. 3. Isilah pertanyaan sesuai dengan yang sebenarnya.
4 Sebelum bekerja di sini, apakah Anda sebelumnya pernah bekerja di tempat
lain yang terdapat paparan debu seperti pekerja bangunan, mabel, las atau
lainnya? (Jika tidak, lanjut ke pertanyaan C-1)
a. Ya
b. Tidak
Sebutkan.................................
5 Berapa lama Anda bekerja pada pekerjaan sebelumnya tersebut?
.............. Tahun
C Perilaku Merokok
1 Apakah Anda perokok? (Jika tidak, lanjut ke pertanyaan C-4)
a. Ya
b. Tidak
2 Sejak kapan Anda merokok?
Tahun.............
3 Berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu hari?
................... Batang/hari
4 Apakah sebelumnya Anda pernah menjadi perokok aktif? (Lanjut ke
pertanyaan C-7)
a. Ya
b. Tidak
5 Sejak kapan Anda pernah menjadi perokok aktif?
Tahun..............
6 Kapan Anda berhenti merokok?
Tahun.................
7 Jenis rokok apa yang Anda konsumsi?
a. Kretek
b. Filter
D Kebiasaan Olahraga
1 Apakah Anda selalu berolahraga secara rutin? (Jika tidak, lanjut ke pertanyaan
E-1)
a. Ya
b. Tidak
2 Jenis olahraga apa yang sering Anda lakukan?
a. Lari
b. Bersepeda
c. Bulu tangkis
d. Lainnya.........................................................
3 Seberapa sering Anda melakukan olahraga tersebut dalam satu minggu?
......................Kali/minggu
4 Berapa lama waktu Anda melakukan olahraga tersebut?
......................Menit
E Status Kesehatan dan Riwayat Penyakit
1 Apakah Anda merasakan keluhan gangguan kesehatan khususnya pada paru-
paru?
a. Ya
b. Tidak
Sebutkan................
2 Apakah Anda memiliki riwayat penyakit seperti asma, TBC, bronkitis, flu
alergi seperti akibat debu, cuaca dingin, atau mikroorganisme?
a. Ya
b. Tidak
3 Apakah Anda pernah menjalani pengobatan khusus pada penyakit tersebut?
a. Ya
b. Tidak
Sebutkan.................
F Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru (Diisi oleh peneliti)
1 FEV1/FVC :
1.
2.
3.
Rata-rata :
E Pemeriksaan Kadar Debu Total (Diisi oleh peneliti)
1 Kadar debu:
Max :
Min :
Rata-rata :