fair use dalam sistem perlindungan hak cipta: …

20
1 FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA DENGAN COPYRIGHT LAW AMERIKA SERIKAT Kristian Takasdo & Agus Sardjono 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1 Kristian Takasdo mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan sidang dewan penguji. Agus Sardjono adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Kristian dalam menulis skripsinya yang berjudul "Fair Use dalam Sistem Perlindungan Hak Cipta: Suatu Studi Perbandingan Antara Undang-Undang Hak Cipta dengan Copyright Law Amerika Serikat". Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud. ABSTRAK UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, namun ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya mutlak karena adanya konsep atau doktrin fair use yang memperkenankan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang lain tanpa meminta persetujuan dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Namun, ternyata pengaturan serta praktik doktrin fair use berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia sendiri belum ada praktik pengadilan mengenai doktrin fair use ini, hanya ada pengaturannya saja di Pasal 15 UU Hak Cipta sehingga perlu penafsiran perbandingan untk menafsirkan penerapannya. Dalam Pasal 15 UU Hak Cipta diatur tujuh butir penggunaan yang diperbolehkan terhadap suatu Ciptaan, namun belum jelas apakah doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta berlaku untuk semua ciptaan atau tidak. Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan doktrin fair use yang ada di Indonesia dengan pengaturan fair use di Amerika Serikat dan menasfirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta melalui perkara-perkara yang ada di Amerika Serikat untuk melihat kemungkinan penerapan Pasal 15 menggunakan pendekatan case law. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa doktrin fair use hanya berlaku kepada ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta dan penerapan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dimungkinkan menggunakan pendekatan case law seperti di Amerika Serikat sehingga memerlukan penafsiran hakim untuk menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar. Kata kunci : Fair Use, Hak Cipta, Penggunaan yang Wajar, Copyright, Pencipta, Pemegang Hak Cipta ABSTRACT Indonesian Copyright Law provides an Exclusive Rights to Authors or Copyright Owners to announce and reproduce the works, however the exclusive rights are not absolute because there is a concept or a doctrine of Fair Use which allow certain uses made by others without consent from the Authors or Copyright Owners. In fact, regulation and practices of the fair use are vary in every nation. In Indonesia, there are no judicial practices involving fair use doctrine, but there is regulation that provide fair use doctrine in Article 15 Copyright Law. Thus, to interpret Article 15 Copyright Law, a comparative study is required. In Article 15 Copyright Law, it is not clear whether fair use doctrine apply to all works or only to certain works. This thesis discusses the comparison between use. Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

1

FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA

INDONESIA DENGAN COPYRIGHT LAW AMERIKA SERIKAT Kristian Takasdo & Agus Sardjono1

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

1 Kristian Takasdo mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya

di hadapan sidang dewan penguji. Agus Sardjono adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Kristian dalam menulis skripsinya yang berjudul "Fair Use dalam Sistem Perlindungan Hak Cipta: Suatu Studi Perbandingan Antara Undang-Undang Hak Cipta dengan Copyright Law Amerika Serikat". Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud.

ABSTRAK

UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, namun ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya mutlak karena adanya konsep atau doktrin fair use yang memperkenankan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang lain tanpa meminta persetujuan dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Namun, ternyata pengaturan serta praktik doktrin fair use berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia sendiri belum ada praktik pengadilan mengenai doktrin fair use ini, hanya ada pengaturannya saja di Pasal 15 UU Hak Cipta sehingga perlu penafsiran perbandingan untk menafsirkan penerapannya. Dalam Pasal 15 UU Hak Cipta diatur tujuh butir penggunaan yang diperbolehkan terhadap suatu Ciptaan, namun belum jelas apakah doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta berlaku untuk semua ciptaan atau tidak. Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan doktrin fair use yang ada di Indonesia dengan pengaturan fair use di Amerika Serikat dan menasfirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta melalui perkara-perkara yang ada di Amerika Serikat untuk melihat kemungkinan penerapan Pasal 15 menggunakan pendekatan case law. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa doktrin fair use hanya berlaku kepada ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta dan penerapan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dimungkinkan menggunakan pendekatan case law seperti di Amerika Serikat sehingga memerlukan penafsiran hakim untuk menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar. Kata kunci : Fair Use, Hak Cipta, Penggunaan yang Wajar, Copyright, Pencipta, Pemegang Hak Cipta

ABSTRACT

Indonesian Copyright Law provides an Exclusive Rights to Authors or Copyright Owners to announce and reproduce the works, however the exclusive rights are not absolute because there is a concept or a doctrine of Fair Use which allow certain uses made by others without consent from the Authors or Copyright Owners. In fact, regulation and practices of the fair use are vary in every nation. In Indonesia, there are no judicial practices involving fair use doctrine, but there is regulation that provide fair use doctrine in Article 15 Copyright Law. Thus, to interpret Article 15 Copyright Law, a comparative study is required. In Article 15 Copyright Law, it is not clear whether fair use doctrine apply to all works or only to certain works. This thesis discusses the comparison between use. Key words: Fair Use Doctrine, Copyright, Author, Copyright Owner, Copyright Law

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 2: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

2

A. PENDAHULUAN

UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak eksklusif tersebut timbul secara

otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.2 Namun, ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya

mutlak karena adanya konsep atau doktrin Fair dealing atau fair use yang memperbolehkan

tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang oleh hukum hak cipta diperkenankan untuk

dilakukan oleh siapapun juga tanpa perlu adanya persetujuan pencipta atau pemegang hak

cipta sehingga tidak melanggar hukum hak cipta.3 Namun, ternyata pengaturan dan praktik-

praktik dari konsep fair use/fair dealing ini berbeda-beda di setiap negara, khususnya dalam

menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penggunaan yang

wajar atau fair use/fair dealing.4 Batasan-batasan perbuatan tersebut terlihat dari berbagai

putusan yang ada di setiap negara tersebut. Dalam hal ini, contoh negara yang diambil oleh

peneliti adalah Indonesia dan Amerika Serikat.

Putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat mencoba mengategorikan perbuatan-

perbuatan apa saja yang dapat disebut sebagai penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing)

dalam hukum hak cipta. Selain melalui putusan pengadilan, Amerika Serikat sendiri juga

memiliki perundang-undangan yang mengatur mengenai Hak Cipta, yaitu Copyright Law

yang diatur oleh Copyright Act 1976.5 Doktrin fair use di Amerika Serikat sendiri diatur

dalam Section 107 Copyright Act 1976. Dalam praktik peradilan Indonesia, belum pernah ada

perkara mengenai doktrin fair use/fair dealing, hanya ada dasar-dasar pengaturannya saja

2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia

tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220, Pasal 2 ayat (1) 3 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Edisi Kedua, Cetakan ke-3, (Alumni, Bandung: 2005), hal. 114 4 Ibid., hal. 115 5 Martine Courant Rife, “The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing

teachers,” Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, https://www.msu.edu/~mcgrat71/Writing/Fair_Use_Rife.pdf, hal 164 diakses tanggal 6 Februari 2012

fair use regulation in Indonesian Copyright Law and fair use regulation in USA Copyright Law and interpretation of Article 15 Indonesian Copyright Law implementation by using case law in USA. At the end of this thesis, the author concludes that fair use doctrine only apply to copyrighted works and it is possible to use case law approach and, thus, judges interpretation is required to decide a fair use. Key words: Fair Use Doctrine, Copyright, Author, Copyright Owner, Copyright Law

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 3: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

3

pada UU Hak Cipta.6 Dalam UU Hak Cipta, penggunaan suatu ciptaan tanpa persetujuan dari

pencipta tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak cipta dengan syarat sumbernya harus

disebutkan atau dicantumkan.7 Namun, UU Hak Cipta sendiri tidak memberikan pembatasan

atau perincian mengenai ciptaan apa saja yang dapat dilingkupi oleh doktrin fair use. Merujuk

kepada Pasal 15 UU Hak Cipta, beberapa perbuatan yang diatur terhadap bentuk ciptaan

adalah penggunaan ciptaan pihak lain. Apabila melihat pada Pasal 15 ini, ciptaan yang

dimaksud mengacu kepada definisi ciptaan pada Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, yaitu hasil

setiap karya Pencipta yang mrnunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,

dan sastra.8

Hal yang menarik adalah apakah doktrin fair use, yang berasal dari tradisi common law

dan diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia yang merupakan civil law, berlaku untuk

seluruh ciptaan (works) sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 12 UU Hak Cipta? Hal ini

dapat dijelaskan dengan melihat praktik pengadilan yang ada, namun, sayangnya, sampai saat

sekarang belum ada perkara yang menggunakan doktrin fair use ini.

a. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua rumusan masalah yang akan dijawab

dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah doktrin fair use di Indonesia berlaku untuk semua ciptaan ataukah hanya

untuk ciptaan tertentu saja?

2. Mungkinkah menerapkan doktrin fair use di Indonesia dengan menggunakan

pendekatan case law di Amerika Serikat?

b. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan pokok permasalahan, penelitian ini

mempunyai tujuan, yaitu:

1. Untuk mengemukakan hasil penelitian tentang apakah doktrin fair use di

Indonesia diberlakukan untuk semua ciptaan atau hanya untuk ciptaan tertentu

saja.

2. Untuk mengemukakan hasil penelitian mengenai kemungkinan menerapkan

doktrin fair use di Indonesia dengan menggunakan pendekatan case law di

Amerika Serikat.

6 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, hal. 121-122 7   Indonesia, Pasal 15 8 Ibid., Pasal 1 angka 3

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 4: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

4

B. Tinjauan Teoritis

a. Pengertian Ciptaan di Indonesia dan di Amerika Serikat

Ciptaan di Indonesia memiliki definisi pada Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, namun

untuk dapat melihat unsur-unsur dari suatu ciptaan haruslah merujuk pada Pasal 1 angka 2

dan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ciptaan yang

mendapat perlindungan hak cipta adalah ciptaan yang hasil intelektual, memiliki bentuk yang

spesifik, orisinal dan memiliki sifat pribadi, dan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan

sastra.9 Di Amerika Serikat, tidak diatur mengenai definisi ciptaan dalam Copyright Act

1976, namun secrion 102 Copyright Act memberi penjelasan mengenai perlindungan secara

umum. dari section 102 Copyright Act tersebut dapat diambil unsur-unsur ciptaan yang

mendapat perlindungan hak cipta, yaitu:

1. Ciptaan haruslah orisinal, dalam pengertian bahwa ciptaan tersebut bukanlah

salinan dari sumber atau ciptaan lain

2. harus merupakan suatu ekspresi, bukan hanya sebuah "ide"

3. harus difiksasi ke dalam media ekspresi yang nyata.10

b. Pengertian Doktrin Fair Use

Doktrin fair use tidak memiliki definisi yang seragam. Menurut Prof. Eddy Damian,

dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing), hukum hak

cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga) menggunakan atau mengeksploitasi suatu

ciptaan tanpa perlu izin dari Pencipta, asalkan masih dalam batas-batas yang

diperkenankan.11 Menurut Paul Goldstein, fair use secara umum sering didefinisikan sebagai:

"a privilege in others than the owner of a copyright to use the copyrighted

material in a reasonable manner without his consent, notwithstanding the

monopoly granted to the owner by the copyright."12

c. Doktrin Fair Use di Amerika Serikat dan di Indonesia

Di Amerika Serikat, diatur oleh Section 107 Copyright Act 1976:

9 Carl-Bernd Kaehlig, Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration

Requirements, (Tatanusa, Jakarta: 2011), hal 7 10 Paul Goldstein, Copyright, Volume I, (Little, Brown , & Company, Canada: 1989), hal 61 11 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, 115 12 Paul Goldstein, Copyright, Volume II, (Little, Brown , & Company, Canada: 1989), hal 187

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 5: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

5

"Tanpa mengesampingkan ketentuan dalam bagian 106 dan 106A, penggunaan

yang wajar dari suatu ciptaan, termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam

salinan atau media rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian

tersebut, untuk tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, pengajaran

(termasuk beberapa salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan, atau

penelitian, bukanlah suatu pelanggaran dari hak cipta

1. Tujuan dan karakter dari suatu penggunaan, termasuk apakah

penggunaan tersebut bersifat komersial atau untuk tujuan pendidikan yang

nirlaba

2. Sifat dari suatu ciptaan

3. Jumlah dan kekukuhan dari bagian yang digunakan dalam kaitannya

dengan ciptaan secara keseluruhan

4. Efek dari penggunaan terhadap pasar potensial bagi suatu ciptaan atau

nilai dari suatu ciptaan"13

Dalam menentukan suatu penggunaan yang wajar, hakim pengadilan Amerika Serikat

akan mengelaborasi fakta dengan empat faktor di atas. Faktor-faktor tersebut harus

dipertimbangkan secara keseluruhan dalam suatu perkara. Berdasarkan praktik pengadilan

Amerika Serikat, faktor keempat adalah faktor terpenting.14

Di Indonesia, doktrin fair use diatur dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, yaitu:

"Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap

sebagai pelanggaran hak cipta:

a. penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar 13 Diterjemahkan secara bebas oleh peneliti dengan teks asli "Notwithstanding the provisions of sections 106

and 106A, the fair use of a copyrighted work, including such use by reproduction in copies or phonorecords or by any other means specified by that section, for purposes such as criticism, comment, news reporting, teaching (including multiple copies for classroom use), scholarship, or research, is not an infringement of copyright: 1) the purpose and character of the use, including whether such use is of a commercial nature or is for nonprofit educational purposes; (2) the nature of the copyrighted work; (3) the amount and substantiality of the portion used in relation to the copyrighted work as a whole; and (4) the effect of the use upon the potential market for or value of the copyrighted work." (USA, Copyright Act of 1976, Section 107)

14 Roger E. Schechter and John R. Thomas, Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents, and Trademarks, (West Group, St. Paul: 2003), hal 227

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 6: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

6

dari Pencipta;

b. pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna

keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;

c. pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna

keperluan:

i. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu

pengetahuan; atau

ii. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran

dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari

Pencipta.

d. Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra

dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika

Perbanyakan itu bersifat komersial;

e. Perbanyakan suatu ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas

dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh

perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan

pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan

aktivitasnya;

f. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis

atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;

g. Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik

Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan

sendiri."

Berdasarkan pengaturan di atas, UU Hak Cipta menyatakan bahwa tujuh (7) kegiatan

tersebut tidaklah melanggar hak cipta seseorang apabila dilakukan sesuai pengaturan tersebut.

Menurut Peneliti, tujuh (7) kegiatan di atas adalah bentuk-bentuk dari suatu penggunaan yang

wajar (fair use) yang dianut oleh UU Hak Cipta.

C. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 7: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

7

normatif atau yang sering disebut dengan metode penelitian hukum doktrinal.15 Berdasarkan

bentuk penelitian, penelitian ini tergolong dalam penelitian preskriptif. Penelitian preskriptif

adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus

dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.16 Dengan metode penelitian preskriptif

ini, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan saran-saran untuk mengatasi masalah apakah

doktrin fair use di Indonesia dapat diberlakukan untuk semua bentuk ciptaan dan memaparkan

mengenai kemungkinan menerapkan doktrin fair use di Indonesia melalui pendekatan case

law di Amerika Serikat. Pengambilan fakta-fakta yang terdapat dalam kasus di Amerika

Serikat dilakukan karena belum ada praktik pengadilan Indonesia yang memutus mengenai

doktrin fair use.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan mendapatkan data dari studi dokumen.

Data dari bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta,

Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works tahun 1886 (terakhir kali

diamandemen tahun 1979), TRIPs, USA Copyright Act 1976 serta putusan-putusan pengadilan

yang ada di Amerika Serikat.17 Selain menggunakan bahan hukum primer tersebut, peneliti

juga menggunakan data dari hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, jurnal, artikel, yang

sesuai dengan penelitian ini yang kesemuanya itu merupakan bahan hukum sekunder.18 Selain

itu, untuk mendukung penelitian ini, peneliti juga menggunakan data dari kamus hukum dan

ensiklopedia yang relevan yang merupakan bahan hukum tersier.19

Pendekatan masalah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan

komparatif atau pendekatan perbandingan dengan mengkaji Undang-Undang No. 19 tahun

2002 dan Copyright Law Amerika Serikat, khususnya mengenai doktrin fair use yang dianut

oleh kedua negara tersebut untuk melihat bagaimana keberlakuan doktrin fair use dalam Pasal

15 terhadap bentuk-bentuk ciptaan, serta pelbagai kasus yang terjadi dalam praktik pengadilan

Amerika Serikat untuk menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta.

15 Amirudin Asikin dan H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:

2000), hal 118 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia, Jakarta: 1984), hal 10 17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007), hal 113. Bahan

hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari jaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

18 Ibid., hal 114. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.

19 Ibid. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 8: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

8

D. PEMBAHASAN

a. Keberlakuan Doktrin Fair Use Terhadap Ciptaan dalam Copyright Law Amerika Serikat

Apabila kita melihat pada pengertian doktrin fair use, yaitu doktrin yang

memperbolehkan penggunaan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta tanpa izin dari pencipta

atau pemegang hak cipta maka terlihat bahwa doktrin fair use berlaku hanya ketika suatu

ciptaan yang digunakan secara wajar tersebut dilindungi oleh hak cipta. Artinya, menurut

peneliti, doktrin fair use di Amerika Serikat, tidak berlaku bagi ciptaan atau karya yang tidak

mendapat perlindungan hak cipta berdasarkan Copyright Act 1976.

Sejalan dengan pendapat peneliti, Martine Courant Rife menyatakan bahwa doktrin fair

use menjadi irrelevant ketika hak cipta tidak melindungi suatu ciptaan. Selanjutnya, menurut

Martine Courant Rife, ada beberapa hal yang dapat membuat doktrin fair use menjadi tidak

berlaku pada suatu ciptaan, yaitu:

1. ciptaan tersebut sudah berada dalam domain publik, artinya masa perlindungan hak

cipta sudah habis.

2. ciptaan yang diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat, seperti, antara lain, putusan

pengadilan, statuta, dan peraturan-peraturan

3. ciptaan yang tidak orisinal

4. penggunaan ciptaan yang de minimis, artinya penggunaan ciptaan tersebut tidak cukup

melibatkan kuantitas dari ciptaan yang disalin untuk membuat adanya kesamaan

substansial.

5. penggunaan ciptaan dengan seizin dari Penciptanya.20

Selain lima ciptaan di atas, terdapat juga ciptaan yang tidak mendapat perlindungan hak

cipta, yaitu ciptaan yang melanggar hukum. Menurut Paul Goldstein, terhadap ciptaan yang

melanggar hukum ini, Copyright Act tidak mengatur, hanya saja dapat dilihat dalam praktik

peradilan Amerika Serikat, seperti Stone & McCarrikck, Inc. v. Dugan Piano Co., (1915)

mengenai iklan yang menipu, Bullard v. Esper (1947) mengenai kandungan bersifat cabul,

Broder v. Zeno Mauvais Music Co. (1898) mengenai frasa dalam lagu Hottest Thing You Ever

Seen yang memiliki makna tidak bermoral, dan lain-lain. Terhadap ciptaan-ciptaan yang

mengandung muatan melanggar hukum ini, Paul Goldstein menyatakan bahwa pertimbangan 20 Martine Courant Rife, “The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing

teachers,” Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, https://www.msu.edu/~mcgrat71/Writing/Fair_Use_Rife.pdf, hal 161

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 9: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

9

untuk menentukan suatu muatan yang melanggar hukum ini, pada intinya, terdapat pada

hukum negara bagian dan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat.21

b. Keberlakuan Doktrin Fair Use Terhadap Ciptaan dalam UU Hak Cipta Indonesia

Sama seperti di Amerika Serikat, menurut peneliti, doktrin fair use di Indonesia juga

hanya berlaku pada ciptaan-ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta karena doktrin fair

use adalah doktrin yang memperbolehkan penggunaan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta

tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Artinya, pemberlakuan doktrin fair use

haruslah terhadap ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta saja.

Dengan demikian, ada beberapa ciptaan dalam dalam hukum hak cipta Indonesia yang

tidak dapat memberlakukan doktrin fair use, yaitu:

1. Ciptaan berdasarkan Pasal 13 UU Hak Cipta, yaitu: hasil rapat terbuka lembaga-

lembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato

pejabat pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, keputusan bada

arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya

2. Ciptaan yang telah habis masa perlindungannya. Ketika suatu ciptaan telah habis

masa perlindungan hak ciptanya maka segala hak ekonomi yang dimiliki oleh

pencipta, ahli waris pencipta dan pemegang hak cipta tidak memiliki

perlindungan lagi, hak moral berkenaan dengan larangan untuk mengubah suatu

ciptaan juga tidak berlaku.22 Hanya hak moral pencipta untuk tetap dicantumkan

namanya dalam ciptaannya saja yang tidak mengenal batas waktu berdasarkan

Pasal 33 butir a UU Hak Cipta.

3. Ciptaan yang tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1

angka 3 UU Hak Cipta. Ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta adalah

ciptaan yang memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3

UU Hak Cipta. Apabila suatu ciptaan tidak memenuhi unsur tersebut maka

ciptaan tersebut tidaklah mendapat perlindungan hak cipta.

Apabila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam hukum hak cipta Amerika

Serikat, UU Hak Cipta tidak mengatur mengenai tidak adanya perlindungan hak cipta

terhadap ciptaan yang mengandung muatan yang melanggar hukum. Sebagaimana dijelaskan

21 Paul Goldstein, Copyright, Volume I, hal 85-87 22 Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, (Alumni, Bandung:

2005), hal 123

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 10: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

10

peneliti pada sub-bab 2.4., Amerika Serikat memiliki pengaturan terhadap ciptaan yang

mengandung muatan melanggar hukum melalui praktik pengadilan dan berdasarkan praktik

pengadilan itu dapat terlihat bahwa ciptaan yang mengandung muatan melanggar hukum

contohnya adalah ciptaan sebagai iklan yang menipu, ciptaan yang mengandung muatan

cabul, dan lirik lagu yang memiliki frasa yang tidak bermoral. Terhadap semua ciptaan

tersebut, tidak terdapat perlindungan hak cipta. Sama dengan US Copyright Act 1976, UU

Hak Cipta tidak mengatur mengenai bentuk ciptaan ini.

c. Analisis Perbandingan Pengaturan Doktrin Fair Use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dengan

Copyright Law Amerika Serikat

Pengaturan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta mengutamakan pencantuman

sumber dalam setiap penggunaan. Hal ini berhubungan dengan hak moral dari pencipta, yaitu

hak agar namanya dicantumkan dalam setiap pengambilan ciptaan. Hal ini sejalan dengan

fokus utama perlindungan hak cipta di Indonesia, yaitu perlindungan kepada Pencipta.

Sedangkan di Amerika Serikat, pencantuman sumber tidak menjadi syarat utama karena fokus

perlindungan hak cipta Amerika Serikat adalah kepada pemegang hak cipta.

Apabila dibandingkan, pengaturan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta tidak

memiliki faktor-faktor yang secara tegas diberikan oleh pembuat undang-undang untuk

menentukan apakah terdapat suatu penggunaan yang wajar atau tidak. Pembuat UU Hak Cipta

mengatur bentuk-bentuk tindakan penggunaan yang dapat dianggap sebagai penggunaan yang

wajar, seperti pengutipan, pengambilan bagian ciptaan, pengubahan bentuk, perbanyakan

ciptaan, dan pembuatan salinan untuk program komputer. Pengaturan bentuk-bentuk

penggunaan tersebut disertai dengan tujuan atau kepentingan masing-masing. Kriteria atau

ukuran yang dipakai oleh Pasal 15 UU Hak Cipta dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 15 butir

a UU hak Cipta.

Sehubungan dengan perbedaan pengaturan tersebut, menurut peneliti, akan lebih mudah

bagi hakim untuk menentukan suatu penggunaan yang wajar apabila diberikan faktor-faktor

pertimbangan seperti Copyright Act. Dengan memberikan faktor-faktor pertimbangan, hakim

dapat mengelaborasikan faktor-faktor tesebut dengan fakta yang terjadi untuk menentukan

suatu penggunaan yang wajar (fair use). Namun, menurut peneliti, konsekuensi dari

pemberian faktor-faktor pertimbangan adalah tidak akan atau mungkin jarang sekali terjadi

persamaan pandangan terhadap adanya suatu penggunaan yang wajar karena semua

bergantung pada penafsiran hakim. Dengan demikian, pendekatan kasus per kasus sangat

diperlukan dalam menentukan suatu penggunaan yang wajar.

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 11: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

11

d. Tafsiran Penerapan Doktrin Fair Use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta Melalui Putusan

Pengadilan Amerika Serikat

Sebagaimana telah dijelaskan oleh peneliti, bahwa belum ada kasus mengenai

penggunaan yang wajar (fair use) di Indonesia. Ketiadaan kasus tersebut yang membuat

peneliti harus menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta dengan menggunakan putusan

yang ada di Amerika Serikat. Fakta-fakta yang ada di dalam putusan pengadilan Amerika

Serikat tersebut akan peneliti gunakan untuk menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta.

d.1 Penafsiran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Harper & Row

Publishers, Inc. v. Nation Enterprises

Posisi Kasus: "Pada bulan Februari 1977, mantan presiden Amerika Serikat Gerald R. Ford membuat kontrak dengan Harper & Row dan Reader's Digest untuk menerbitkan memoar (riwayat hidup) dirinya yang belum ditulis. Memoar tersebut berisi mengenai materi-materi mengenai krisis Watergate, pernyataan pemberian maaf dari Ford kepada mantan presiden Nixon, dan refleksi pandangan Ford terhadap periode krisis tersebut dalam sejarah, termasuk moralitas dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam krisis itu. Memoar itu berjudul "A Time to Heal: The Autobiography of Gerald R. Ford". Sebagai tambahan dari hak untuk menerbitkan memoar Ford ke dalam bentuk buku, kontrak tersebut memberikan Harper & Row dan Reader's Digest hak eksklusif untuk melisensikan kutipan pra-publikasi (sebelum penerbitan dalam bentuk buku). Dua tahun kemudian, selagi memoar tersebut hampir selesai, Harper & Row dan Reader's Digest menegosiasikan perjanjian lisensi pra-publikasi dengan Time. majalah berita mingguan. Time setuju untuk membayar $25.000, yaitu $12.500 di awal dan sisanya setelah penerbitan, dengan syarat Time mendapat hak untuk mengutip 7.500 kata dari pernyataan pemberian maaf Ford kepada Nixon. Terbitan yang berisi kutipan Ford tersebut diatur untuk terbit sekitar satu minggu sebelum pengiriman versi lengkapnya dalam buku ke toko-toko buku. Sebelum artikel Time dijawalkan untuk terbit, seseorang yang tak dikenal secara diam-diam membawa salinan manuskrip Ford kepada Victor Navasky, editor The Nation, sebuah majalah seputar politik. Navasky kemudian tergesa-gesa mengumpulkan apa yang ia percayai sebagai "berita yang sangat panas" yang terdiri dari kutipan, parafrase, dan fakta-fakta yang diambil secara eksklusif dari manuskrip tersebut. Navasky kemudian menerbitkan artikel sebanyak 2.250 kata tanggal 3 April 1979 bernama "The Ford Memoirs-Behind The Nixon Pardon". Sebagai akibat dari penerbitan tersebut, Time membatalkan penerbitan artikelnya dan menolak membayar sisa $12.500 kepada Harper & Row Inc." Analisis menggunakan Pasal 15 UU Hak Cipta:

Apabila perkara ini dihadapkan pada norma pengaturan Pasal 15 UU Hak Cipta maka,

menurut peneliti, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh hakim pengadilan Indonesia

dalam menilai apakah suatu penggunaan adalah penggunaan yang wajar atau tidak, yaitu:

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 12: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

12

1. Apakah Ciptaan yang menjadi objek perkara adalah ciptaan yang mendapat

perlindungan hak cipta?

2. Apakah penggunaan yang dilakukan oleh The Nation telah menyebutkan sumber?

3. Apakah tujuan penggunaan yang dilakukan oleh The Nation adalah tujuan yang

komersial atau tidak?

4. Apakah bagian yang digunakan oleh The Nation adalah bagian yang substansial atau

tidak?

5. Apakah penggunaan yang dilakukan oleh The Nation telah merugikan kepentingan

yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta?

Agar mendapat perlindungan hak cipta, ciptaan Ford haruslah memenuhi syarat-syarat

ciptaan terlebih dahulu. Memoar tersebut merupakan sebuah karya tulis yang memiliki bentuk

spesifik, yaitu sebagai buku. Buku memoar tersebut juga merupakan ciptaan yang orisinal

karena memoar tersebut berasal dari Ford sendiri, bahkan memoar itu juga memuat biografi

dirinya dan memoar itu belum ada yang pernah menulis sehingga Ford tidak menjplak atau

meniru karya orang lain. Buku memoar Ford juga membicarakan mengenai sejarah krisis

Watergate di Amerika Serikat sehingga merupakan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah.

Lebih lanjut, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, bahwa ciptaan buku mendapatkan

perlindungan hak cipta yang diatur dalam Pasal 12 butir a UU Hak Cipta dan memoar tersebut

adalah karya tulis berbentuk buku. Dengan demikian, memoar Ford telah memenuhi syarat

perlindungan hak cipta dan mendapatkan perlindungan hak cipta.

Perlu diketahui, bahwa buku memoar Ford tersebut belum selesai ditulis sehingga

merupakan ciptaan yang belum diumumkan karena pengumuman pertama dari memoar Ford

ini memang dijadwalkan agar diumumkan pertama kali oleh Time sesuai perjanjian antara

Time dengan Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Manuskrip tersebut dilindungi oleh

UU Hak Cipta karena menurut Penjelasan Pasal 12 ayat (3), manuskrip termasuk ke dalam

ciptaan yang belum diumumkan yang sudah merupakan suatu kesatuan yang lengkap. Dengan

demikian, doktrin fair use dapat diberlakukan dalam perkara ini.

Dalam perkara ini, tidak terdapat fakta bahwa The Nation menyebutkan sumber dari

mana The Nation mendapatkan manuskrip tersebut. The Nation hanya menyatakan, melalui

kesaksian Navasky, bahwa The Nation mengutip manuskrip Ford tersebut secara verbatim

kata demi kata sama persis agar pembaca mengetahui atau sadar bahwa kata-kata yang ditulis

berasal dari mantan presiden Ford sendiri. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai pencantuman

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 13: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

13

sumber karena The Nation tidak menyatakan sumber secara lengkap. Sesuai dengan

Penjelasan Pasal 15 butir a UU Hak Cipta bahwa yang dimaksud dengan pencantuman

sumber secara lengkap adalah mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau

nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Dalam hal ini, penerbit dari manuskrip memoar

Ford adalah Time karena Time yang akan menerbitkan manuskrip tersebut sesuai perjanjian

dengan Harper & Row. Dengan demikian, The Nation tidak menyebutkan sumber pengutipan

ciptaan.

Apakah penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation bertujuan komersial? Untuk

menjawab ini, harus dilihat apakah The Nation mencari keuntungan atau mendapat

keuntungan dengan menggunakan atau mengeksploitasi mansukrip tersebut. Dengan kedua

hak tersebut, seorang pencipta berhak untuk mengeksploitasi karyanya untuk emndapatkna

keuntungan bagi dirinya sendiri. Dalam perkara ini, The Nation sebagai perusahaan majalah

seputar politik menggunakan salinan manuskrip Ford tersebut untuk ditulis dalam majalahnya

karena menurut Navasky, manuskrip Ford itu adalah berita yang panas. Menurut peneliti,

sebagai majalah seputar politik, The Nation pastilah mendapat untung dari adanya manuskrip

tersebut, apalagi mansukrip tersebut memiliki muatan politik juga mengenai krisis Watergate

dan pernyataan pemberian maaf antar mantan presiden. Selain itu, The Nation tidak punya

alas hak untuk menggunakan manuskrip itu karena tidak ada perjanjian apa pun antara The

Nation dengan Ford. Dengan demikian, The Nation telah melakukan penggunaan yang

bertujuan komersial dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 butir a UU Hak Cipta.

Apakah bagian yang digunakan oleh The Nation adalah bagian yang substansial atau

tidak? Dari keseluruhan manuskrip "A Time to Heal", Navasky, selaku editor dari Time telah

menyeleksi bagian-bagian mana yang akan diambil dan kemudian dituangkan ke dalam artikel

"The Ford Memoirs-Behind The Nixon Pardon." yang berisikan pernyataan pemberian maaf

mantan presiden Ford kepada mantan presiden Nixon. Menurut peneliti, apa yang diambil

oleh The Nation adalah bagian yang substansial dari keseluruhan manuskrip "A Time to

Heal." Seorang editor dari Time, telah mengakui sendiri bahwa bagian yang diambil oleh The

Nation adalah bagian substansial dengan mendekripsikan bahwa bab-bab dalam pernyataan

pemberian maaf sebagai "bagian yang paling menarik dan menggugah dari keseluruhan

manuskrip." Dengan demikian, The Nation telah mengambil bagian yang substansial dari

keseluruhan manuskrip "A Time to Heal."

Apakah penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation telah merugikan kepentingan

yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta? Dalam perkara ini, penggunaan ciptaan

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 14: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

14

Ford yang dilakukan oleh The Nation mengakibatkan Time, pihak yang telah mengadakan

perjanjian lisensi dengan Harper & Row, membatalkan keinginannya untuk membuat suatu

serial dari karya tulis Ford tersebut dan menolak membayar uang sebesar $12.500. Tindakan

wanprestasi dari Time tersebut merupakan reaksi dari terbitnya artikel "The Ford Memoirs-

Behind The Nixon Pardon" yang diterbitkan oleh The Nation. Time telah mensyaratkan

bahwa tidak boleh ada pihak yang menerbitkan manuskrip Ford itu selain Time, kalau tidak,

Time akan merenegosiasikan seluruh perjanjiannya dengan Harper & Row. Akibatny, Harper

& Row terkena dampak kerugian secara langsung, yaitu kehilangan uang sebesar $12.500

yang sewajarnya diterima Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Dengan demikian,

penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation telah merugikan kepentingan yang wajar dari

Harper & Row selaku pemegang hak cipta.

Untuk menafsirkan lebih jauh mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta atau

pemegang hak cipta, hakim Indonesia dapat meminjam pertimbangan hakim Amerika Serikat

bahwa kepentingan ekonomi dari pencipta dan pemegang hak cipta dapat dirugikan juga

apabila pasar suatu ciptaan menjadi terancam oleh suatu penggunaan ciptaan. Bahkan, bukan

hanya terhadap pasar yang ada sekarang, namun juga terhadap pasar potensial dari ciptaan

tersebut. Melihat pada pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan ciptaan

manuskrip "A Time to Heal" oleh The Nation bukanlah suatu penggunaan yang wajar

berdasarkan Pasal 15 UU Hak Cipta karena penggunaan ciptaan yang dilakukan The Nation

tidak menyebutkan sumber secara lengkap, bertujuan komersial, menggunakan bagian yang

substansial, dan telah merugikan kepentingan yang wajar dari Harper & Row selaku pemegan

Hak Cipta.

d.2. Penafisran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Sony Corp. v.

Universal City Studios, Inc.

Posisi Kasus:

"Pada tahun 1970, Sony (Tergugat) mengembangkan format perekaman kaset video (Video

Tape Recording) yang bernama Betamax. Universal (Penggugat) adalah pemilik hak cipta

beberapa program acara yang disiarkan televisi. Universal menggugat Sony atas dasar

pelanggaran hak cipta yang dilakukan Sony dengan menjual perekam kaset video kepada para

pemirsa di rumah. Sony membawa teori bahwa penjualan perekam kaset video yang

dilakukan oleh Sony dengan mengetahui bahwa pemirsa di rumah. menggunakan mesin-

mesin tersebut untuk membuat salinan dari ciptaan film yang melanggar hak cipta dari

Universal. Untuk dapat menyatakan Sony bersalah berdasarkan teori yang dibawa Universal,

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 15: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

15

harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa kegiatan penonton di rumah yang melakukan

perekaman di rumah adalah perbuatan yang melanggar hak cipta. Sony berargumen bahwa

perekaman yang dilakukan di rumah (home taping) tidaklah melanggar hak cipta karena

dilindungi oleh doktrin fair use. Perkara ini dimenangkan oleh Sony di Pengadilan Distrik,

kemudian Pengadilan Banding mengeyampingkan putusan Pengadilan Distrik dan

memenangkan Universal. Mahkamah Agung kemudian menganulir putusan Pengadilan

Banding dan menyatakn bahwa kegiatan perekaman di rumah adalah fair use dan

memenangkan Sony."

Analisis Kasus menggunakan Pasal 15 UU Hak Cipta:

Menurut peneliti, dalam perkara Sony melawan Universal ini, ada beberapa masalah

hukum yang relevan untuk dielaborasi oleh hakim untuk menentukan adanya suatu

penggunaan yang wajar, yaitu:

1. Pencantuman sumber

2. tujuan dari kegiatan time-shifting

3. sifat dari ciptaan yang dilindungi, dalam hal ini film sebagai karya dalam

sinematografi

4. akibat dari time-shifting, apakah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau

pemegang hak cipta?

Dari tiga permasalahan hukum di atas, menurut peneliti, Pasal 15 UU hak Cipta tidak

dapat mengakomodasi permasalahan hukum yang pertama. Alasannya adalah, Pasal 15 tidak

mengatur tujuan penggunaan seperti yang terjadi dalam perkara. Dalam perkara ini, kegiatan

yang dilakukan adalah time-shifting, yaitu perekaman suatu program acara televisi melalui

kaset video agar dapat ditonton di jam yang berbeda dari jam tayangnya di rumah sendiri.

Namun, apabila menyimak perkara ini, tujuan dari penggunaan seperti yang terjadi dalam

perkara adalah bertujuan nonkomersial. Artinya, penonton yang melakukan perekaman

tidaklah bermaksud untuk menjual kembali siaran atau film yang telah direkam, melainkan

untuk konsumsi pribadi.

Dalam Pasal 15 UU hak Cipta. tidak terdapat jenis kegiatan (perekaman) yang

memiliki tujuan untuk konnsumsi pribadi. Sebagaimana telah disebutkan oleh peneliti dalam

Bab II bahwa kepentingan atau tujuan yang diatur per butir dalam Pasal 15 UU Hak Cipta

bersifat terbatas karena kalimat undang-undang yang ada tidak membuka kesempatan untuk

tujuan lain selain yang tertera di Pasal 15 UU Hak Cipta.

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 16: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

16

Satu-satunya jenis kegiatan penggunaan ciptaan yang bertujuan untuk kegunaan

sendiri adalah Pasal 15 butir g. Namun, norma pengaturan butir g tidaklah sesuai dengan

bentuk penggunaan yang dilakukan dalam perkara ini. Butir g mengatur mengenai pembuatan

salinan cadangan suatu program komputer oleh pemiliki program komputer yang dilakukan

semata-mata untuk digunakan sendiri, sedangkan perkara ini mengenai perekaman ciptaan

dengan kaset video.

Dari penjabaran di atas, peneliti simpulkan bahwa Pasal 15 UU Hak Cipta tidak dapat

mengakomodasi atau tidak dapat menjadi dasar hukum untuk menyelesaikan suatu perkara

seperti perkara Sony Corp. v. Universal City Studios, Inc. karena Pasal 15 UU Hak Cipta

tidak mengatur sama sekali mengenai perekaman siaran televisi yang dilakukan di rumah

guna keperluan pribadi. Dengan demikian, kegiatan time-shifting yang terjadi dalam perkara

ini bukanlah fair use atau suatu penggunaan yang wajar menurut UU Hak Cipta Indonesia.

d.3 Penafisran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Campbell v. Acuff- Rose

Music Inc.

Posisi Kasus:

"Pada tahun 1964, Roy Orbison dan William Dees menulis sebuah rock ballad berjudul "Oh,

Pretty Woman" dan menetapkan hak mereka atas lagu tersebut kepada Acuff-Rose Music Inc.

(untuk selanjutnya Acuff-Rose). Luther R. Campbell, Christopher Wongwon, Mark Ross, dan

David Hobbs adalah group rap yang dikenal dengan nama 2 Live Crew. Pada tahun 1989,

Campbell menulis sebuah lagu yang berjudul "Pretty Woman" yang nantinya di persidangan

dideskripsikan olehnya sebagai "sindiran kepada karya asli melalui lirik-lirik yang lucu."

Padal tanggal 5 Juli 1989, manajer dari 2 Live Crew menginformasikan Acuff-Rose bahwa 2

Live Crew telah menulis sebuah parodi dari "Oh, Pretty Woman" dan Acuff-Rose, Dees, dan

Orbson akan mendapat segala penghargaan yang berhubungan dengan kepemilikan dan hak

cipta pada lagu orisinal. 2 Live Crew juga rela membayar biaya untuk memakai lagu tersebut.

Namun, agen dari Acuff-Rose menolak permitaan izin tersebut dengan menyatakan bahwa

"Saya mengetahui kesuksesan dari 'The 2 Live Crews' tetapi saya harus memberitahu Anda

bahwa kami tidak dapat mengizinkan penggunaan parodi dari 'Oh, Pretty Woman'." Walau

demikian, pada bulan Juni atau Juli 1989, 2 Live Crew mengeluarkan rekaman, kaset, dan

Compact Disc (CD) dari "Pretty Woman" dalam sebuah koleksi lagu-lagu yang berjudul "As

Clean As They Wanna Be." Baik album serta CD tersebut mengidentifikasi pencipta dari

"Pretty Woman" sebagai Orbison dan Dees dan Pemegang Hak Cipta Acuff-Rose."

Analisis Kasus dengan Pasal 15 UU Hak Cipta:

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 17: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

17

Untuk menyelesaikan perkara seperti perkara Campbell v. Acuff-Rose Music Inc., para

hakim Indonesia dapat menggunakan norma pengaturan yang terdapat dalam Pasal 15 butir a

UU Hak Cipta dan harus dapat menjawab permasalahan hukum sebagai berikut:

1. Apakah doktrin fair use dapat diberlakukan terhadap ciptaan "Oh, Pretty Woman"?

2. Apakah 2 Live Crew telah menyebutkan atau mencantumkan sumber dengan lengkap?

3. Apakah tujuan dari penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew?

4. Apakah perbuatan 2 Live Crew yang membuat lagu "Pretty Woman" merugikan

kepeningan yang wajar dari Acuff-Rose, Dees, dan Orbison untuk menikmati manfaat

ekonomi dari lagu "Oh, Pretty Woman"?

Menurut peneliti, lagu "Oh, Pretty Woman" adalah ciptaan yang dilindungi oleh hak

cipta. Apabila melihat pada pengaturan Pasal 12 butir d UU Hak Cipta, maka lagu "Oh, Pretty

Woman" masuk dalam kategori lagu atau musik. Selain itu, lagu "Oh, Pretty Woman" juga

sudah merupakan suatu kesatuan yang utuh sebagaimana dinyatakan Penjelasan Pasal 12 butir

d UU Hak Cipta. Satu kesatuan yang utuh itu terlihat dari adanya melodi dan syair atau lirik

dalam lagu "Oh, Pretty Woman."

Menyimak pada fakta yang terjadi dalam perkara Campbell v. Acuff-Rose Music Inc.,

2 Live Crew mencantumkan nama Orbison dan Dees sebagai pencipta "Pretty Woman" dan

Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta rekaman dalam album dan CD album mereka, yaitu

"As Clean As They Wanna Be." Perbuatan pencantuman sumber yang dilakukan oleh 2 Live

Crew menurut peneliti sudah cukup memadai sesuai dengan Pasal 15 UU Hak Cipta.

Alasannya, berdasarkan posisi kasus, 2 Live Crew sudah memberi tahu kepada pihak Acuff-

Rose sebelumnya bahwa dia akan mencantumkan sumber tersebut agar orang-orang

mengetahui bahwa lagu "Pretty Woman" memang dibuat berdasarkan lagu "Oh, Pretty

Woman" yang diciptakan oleh Orbison dan Dees dan hak ciptanya dipegang oleh Acuff-Rose

sebagai perusahaan rekaman.

Berdasarkan posisi kasus, diketahui bahwa Campbell, penulis lagu "Pretty Woman,"

menjelaskan bahwa dia bermaksud untuk menyindir lagu "Oh, Pretty Woman" dengan lirik

yang lucu. Pendapat hakim pada Mahkamah Agung Amerika Serikat mengatakan bahwa

sebenarnya maksud dari lagu "Pretty Woman" ciptaan Campbell bukanlah bertujuan

menyindir, melainkan mengomentari lagu "Oh, Pretty Woman" betapa lagu "Oh, Pretty

Woman" adalah lagu yang hambar dan dangkal. Menurut peneliti, pendapat Mahkamah

Agung adalah benar karena sebagaimana dapat dilihat pada lirik lagu "Oh, Pretty Woman"

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 18: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

18

bahwa Orbison dan Dees memakai kata pretty woman hampir di setiap awal kalimat. Namun,

lagu "Pretty Woman" mengganti kata pretty woman tersebut di beberapa awal kalimat dengan

kata-kata lain yang jenaka seperti big hairy woman (wanita yang berambut lebat), bald

headed woman (wanita yang berkepala botak), two timin' woman (wanita yang tidak setia)

yang menunjukkan bahwa Campbell merasa bahwa lagu "Oh, Pretty Woman" membosankan

karena repetitif, yaitu mengulang-ulang kata yang sama.

Menurut peneliti, kegiatan menyindir dan mengomentari yang dilakukan oleh 2 Live

Crew cakupannya termasuk ke dalam penulisan kritik sebagaimana disebutkan oleh Pasal 15

huruf a UU Hak Cipta. Berdasarkan kesaksian Campbell, ia menulis lagu "Pretty Woman"

untuk menyindir lagu "Oh, Pretty Woman. Peneliti juga setuju bahwa Campbell menyindir

lagu "Oh, Pretty Woman" adalah lagu yang membosankan. Sindiran yang diberikan oleh

Campbell tersebut dapat dianggap sebagai kritik karena menyindir memiliki makna sebagai

mengkritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.23 Dengan demikian, penggunaan yang

dilakukan oleh 2 Live Crew adalah bertujuan untuk menulis kritik terhadap lagu "Oh, Pretty

Woman" dengan menyindir lagu tersebut melalui parodi lagu yang berjudul "Pretty Woman"

Selanjutnya, mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Apakah perbuatan 2 Live Crew yang membuat lagu "Pretty Woman" merugikan kepentingan

yang wajar dari Orbison dan Dees sebagai pencipta dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak

cipta? Menurut peneliti, penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew dengan menciptakan

lagu "Pretty Woman" sebagai sindiran terhadap "Oh, Pretty Woman" tidaklah merugikan

kepentingan yang wajar dari Orbison, Dees, dan Acuff-Rose.

Akibat dari Campbell yang menciptakan ciptaan yang berbeda dari ciptaan Orbison

dan Dees adalah pasar yang dimiliki oleh kedua ciptaan tersebut menjadi berbeda. baik pasar

potensial dan pasar yang saat itu ada berbeda satu sama lain. Dengan berbedanya pasar kedua

ciptaan, maka kepentingan yang wajar dari Orbison dan Dees serta Acuff-Rose tidaklah

terganggu atau dirugikan.

Dengan demikian, menurut peneliti, penggunaan yang telah dilakukan oleh 2 Live

Crew adalah suatu penggunaan yang wajar karena menyebutkan sumber secara lengkap,

bertujuan untuk mengkritik lagu "Oh, Pretty Woman," dan tidak merugikan kpentingan yang

wajar dari Orbison, Dees sebagai pencipta dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta.

23 Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, http://kbbi.web.id/sindir diakses pada tanggal 15 Juni 2013

pukul 16.00 WIB

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 19: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

19

E. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Doktrin fair use atau dokrin penggunaan yang wajar adalah doktrin yang

memperbolehkan penggunaan ciptaan pihak lain tanpa harus meminta persetujuan dari

pencipta aau pemegang hak cipta. Doktrin fair use di Indonesia diatur dalam Pasal 15

UU Hak Cipta dengan mengatur kegiatan-kegiatan penggunaan ciptaan yang

diperbolehkan tanpa meminta persetujuan dari Pencipta. Doktrin fair use dalam Pasal

15 UU Hak Cipta hanya berlaku atau relevan terhadap ciptaan yang memiliki

perlindungan hak cipta, yaitu ciptaan yang telah memenuhi syarat-syarat ciptaan dan

masih dalam jangka waktu perlindungan hak cipta.

2. Untuk menerapkan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, dimungkinkan

pendekatan kasus per kasus dengan menggunakan kriteria atau tolok ukur yang

terdapat dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, yaitu melihat apakah sudah terdapat

pencantuman sumber, apa tujuan penggunaan ciptaan, bagaimana sifat penggunaan

ciptaan tersebut, dan apakah penggunaan ciptaan tersebut telah merugikan kepentingan

yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Selain itu, hakim juga dapat

menggunakan penafsiran doktrin fair use yang ada di Amerika Serikat sebagai

pedoman untuk menafsirkan Pasal 15 UU Hak Cipta. Alasan perlunya pendekatan

kasus per kasus adalah karena penafsiran atas penggunaan yang wajar dari suatu

ciptaan dapat berbeda-beda sehingga diperlukan penafsiran hakim untuk memutus

suatu perkara dan menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar.

F. SARAN

Saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan penelitian ini adalah:

1. Kepada pihak pembuat undang-undang atau kepada pihak legislatif:

a. Rumusan Pasal 15 UU Hak Cipta sebaiknya segera diperbaiki, khususnya terhadap

butir f dan butir g agar tidak disatukan dengan rumusan Pasal 15 UU Hak Cipta

karena terhadap butir f dan butir g, menurut peneliti, tidak relevan untuk diberikan

syarat pencantuman sumber dalam melakukan kegiatan penggunaan yang wajar.

b. Terhadap penentuan kegiatan-kegiatan apa saja yang dianggap sebagai

penggunaan yang wajar dalam butir a hingga butir g, menurut peneliti, sebaiknya

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013

Page 20: FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: …

20

tidak perlu dirinci jenis-jenis kegiatannya. Dalam hal ini, pembuat undang-undang

dapat melihat pengaturan doktrin fair use dalam Copyright Act 1976 yang dimiliki

oleh Amerika Serikat. Pengaturan Copyright Act 1976 lebih memudahkan para

hakim untuk menentukan ada atau tidaknya suatu penggunaan yang wajar dalam

suatu perkara karena para hakim diberikan poin-poin atau faktor-faktor

pertimbangan untuk memutus. Dengan demikian, para hakim di Indonesia,

nantinya, akan lebih mudah mengelaborasi norma hukum dengan fakta yang ada.

2. Untuk mempermudah dalam menentukan ada atau tidaknya suatu penggunaan yang

wajar, peneliti menyarankan kepada para hakim Indonesia agar melihat kepada kriteria

atau syarat-syarat yang diberikan oleh Pasal 15 UU Hak Cipta kemudian

mengelaborasi antara syarat tersebut dengan fakta yang ada. Rasio-rasio pertimbangan

yang ada dalam putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat juga dapat dipakai untuk

menemukan ada atau tidak suatu penggunaan yang wajar atau fair use.

G. DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Amirudin dan H. Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Copyright Act of 1976. Public Law 94-553. U.S. Statutes at Large 90: 2541. Damian, Eddy. Hukum Hak Cipta. Edisi Kedua. Cetakan ke-3. Bandung: Alumni, 2005. Goldstein, Paul. Copyright. Volume I. Canada: Little, Brown , & Company, 1989. ____________. Copyright. Volume II. Canada: Little, Brown, & Company, 1989. Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 tahun 2002. Lembaran Negara

Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 85. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220. Kaehlig, Carl-Bernd. Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration

Requirements. Jakarta: Tatanusa, 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. http://kbbi.web.id/ Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2006. Purba, Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Edisi Pertama. Cetakan Ke-1.

Bandung: Alumni, 2005. Rife, Martine Courant. "The fair use doctrine: History, application, and implications for (new

media) writing teachers," Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, https://www.msu.edu/~mcgrat71/Writing/Fair_Use_Rife.pdf (diakses pada tanggal 6 Februari 2012 pukul 17.00 WIB).

Shechter, Roger E. dan John R. Thomas. Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents, and Trademarks. St. Paul: West Group, 2003.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 1984. Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013