fair use dalam sistem perlindungan hak cipta: …
TRANSCRIPT
1
FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA
INDONESIA DENGAN COPYRIGHT LAW AMERIKA SERIKAT Kristian Takasdo & Agus Sardjono1
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
1 Kristian Takasdo mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya
di hadapan sidang dewan penguji. Agus Sardjono adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Kristian dalam menulis skripsinya yang berjudul "Fair Use dalam Sistem Perlindungan Hak Cipta: Suatu Studi Perbandingan Antara Undang-Undang Hak Cipta dengan Copyright Law Amerika Serikat". Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud.
ABSTRAK
UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, namun ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya mutlak karena adanya konsep atau doktrin fair use yang memperkenankan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang lain tanpa meminta persetujuan dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Namun, ternyata pengaturan serta praktik doktrin fair use berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia sendiri belum ada praktik pengadilan mengenai doktrin fair use ini, hanya ada pengaturannya saja di Pasal 15 UU Hak Cipta sehingga perlu penafsiran perbandingan untk menafsirkan penerapannya. Dalam Pasal 15 UU Hak Cipta diatur tujuh butir penggunaan yang diperbolehkan terhadap suatu Ciptaan, namun belum jelas apakah doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta berlaku untuk semua ciptaan atau tidak. Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan doktrin fair use yang ada di Indonesia dengan pengaturan fair use di Amerika Serikat dan menasfirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta melalui perkara-perkara yang ada di Amerika Serikat untuk melihat kemungkinan penerapan Pasal 15 menggunakan pendekatan case law. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa doktrin fair use hanya berlaku kepada ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta dan penerapan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dimungkinkan menggunakan pendekatan case law seperti di Amerika Serikat sehingga memerlukan penafsiran hakim untuk menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar. Kata kunci : Fair Use, Hak Cipta, Penggunaan yang Wajar, Copyright, Pencipta, Pemegang Hak Cipta
ABSTRACT
Indonesian Copyright Law provides an Exclusive Rights to Authors or Copyright Owners to announce and reproduce the works, however the exclusive rights are not absolute because there is a concept or a doctrine of Fair Use which allow certain uses made by others without consent from the Authors or Copyright Owners. In fact, regulation and practices of the fair use are vary in every nation. In Indonesia, there are no judicial practices involving fair use doctrine, but there is regulation that provide fair use doctrine in Article 15 Copyright Law. Thus, to interpret Article 15 Copyright Law, a comparative study is required. In Article 15 Copyright Law, it is not clear whether fair use doctrine apply to all works or only to certain works. This thesis discusses the comparison between use. Key words: Fair Use Doctrine, Copyright, Author, Copyright Owner, Copyright Law
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
2
A. PENDAHULUAN
UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak eksklusif tersebut timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.2 Namun, ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya
mutlak karena adanya konsep atau doktrin Fair dealing atau fair use yang memperbolehkan
tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang oleh hukum hak cipta diperkenankan untuk
dilakukan oleh siapapun juga tanpa perlu adanya persetujuan pencipta atau pemegang hak
cipta sehingga tidak melanggar hukum hak cipta.3 Namun, ternyata pengaturan dan praktik-
praktik dari konsep fair use/fair dealing ini berbeda-beda di setiap negara, khususnya dalam
menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penggunaan yang
wajar atau fair use/fair dealing.4 Batasan-batasan perbuatan tersebut terlihat dari berbagai
putusan yang ada di setiap negara tersebut. Dalam hal ini, contoh negara yang diambil oleh
peneliti adalah Indonesia dan Amerika Serikat.
Putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat mencoba mengategorikan perbuatan-
perbuatan apa saja yang dapat disebut sebagai penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing)
dalam hukum hak cipta. Selain melalui putusan pengadilan, Amerika Serikat sendiri juga
memiliki perundang-undangan yang mengatur mengenai Hak Cipta, yaitu Copyright Law
yang diatur oleh Copyright Act 1976.5 Doktrin fair use di Amerika Serikat sendiri diatur
dalam Section 107 Copyright Act 1976. Dalam praktik peradilan Indonesia, belum pernah ada
perkara mengenai doktrin fair use/fair dealing, hanya ada dasar-dasar pengaturannya saja
2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220, Pasal 2 ayat (1) 3 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Edisi Kedua, Cetakan ke-3, (Alumni, Bandung: 2005), hal. 114 4 Ibid., hal. 115 5 Martine Courant Rife, “The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing
teachers,” Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, https://www.msu.edu/~mcgrat71/Writing/Fair_Use_Rife.pdf, hal 164 diakses tanggal 6 Februari 2012
fair use regulation in Indonesian Copyright Law and fair use regulation in USA Copyright Law and interpretation of Article 15 Indonesian Copyright Law implementation by using case law in USA. At the end of this thesis, the author concludes that fair use doctrine only apply to copyrighted works and it is possible to use case law approach and, thus, judges interpretation is required to decide a fair use. Key words: Fair Use Doctrine, Copyright, Author, Copyright Owner, Copyright Law
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
3
pada UU Hak Cipta.6 Dalam UU Hak Cipta, penggunaan suatu ciptaan tanpa persetujuan dari
pencipta tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak cipta dengan syarat sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan.7 Namun, UU Hak Cipta sendiri tidak memberikan pembatasan
atau perincian mengenai ciptaan apa saja yang dapat dilingkupi oleh doktrin fair use. Merujuk
kepada Pasal 15 UU Hak Cipta, beberapa perbuatan yang diatur terhadap bentuk ciptaan
adalah penggunaan ciptaan pihak lain. Apabila melihat pada Pasal 15 ini, ciptaan yang
dimaksud mengacu kepada definisi ciptaan pada Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, yaitu hasil
setiap karya Pencipta yang mrnunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra.8
Hal yang menarik adalah apakah doktrin fair use, yang berasal dari tradisi common law
dan diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia yang merupakan civil law, berlaku untuk
seluruh ciptaan (works) sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 12 UU Hak Cipta? Hal ini
dapat dijelaskan dengan melihat praktik pengadilan yang ada, namun, sayangnya, sampai saat
sekarang belum ada perkara yang menggunakan doktrin fair use ini.
a. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua rumusan masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apakah doktrin fair use di Indonesia berlaku untuk semua ciptaan ataukah hanya
untuk ciptaan tertentu saja?
2. Mungkinkah menerapkan doktrin fair use di Indonesia dengan menggunakan
pendekatan case law di Amerika Serikat?
b. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan pokok permasalahan, penelitian ini
mempunyai tujuan, yaitu:
1. Untuk mengemukakan hasil penelitian tentang apakah doktrin fair use di
Indonesia diberlakukan untuk semua ciptaan atau hanya untuk ciptaan tertentu
saja.
2. Untuk mengemukakan hasil penelitian mengenai kemungkinan menerapkan
doktrin fair use di Indonesia dengan menggunakan pendekatan case law di
Amerika Serikat.
6 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, hal. 121-122 7 Indonesia, Pasal 15 8 Ibid., Pasal 1 angka 3
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
4
B. Tinjauan Teoritis
a. Pengertian Ciptaan di Indonesia dan di Amerika Serikat
Ciptaan di Indonesia memiliki definisi pada Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, namun
untuk dapat melihat unsur-unsur dari suatu ciptaan haruslah merujuk pada Pasal 1 angka 2
dan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ciptaan yang
mendapat perlindungan hak cipta adalah ciptaan yang hasil intelektual, memiliki bentuk yang
spesifik, orisinal dan memiliki sifat pribadi, dan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra.9 Di Amerika Serikat, tidak diatur mengenai definisi ciptaan dalam Copyright Act
1976, namun secrion 102 Copyright Act memberi penjelasan mengenai perlindungan secara
umum. dari section 102 Copyright Act tersebut dapat diambil unsur-unsur ciptaan yang
mendapat perlindungan hak cipta, yaitu:
1. Ciptaan haruslah orisinal, dalam pengertian bahwa ciptaan tersebut bukanlah
salinan dari sumber atau ciptaan lain
2. harus merupakan suatu ekspresi, bukan hanya sebuah "ide"
3. harus difiksasi ke dalam media ekspresi yang nyata.10
b. Pengertian Doktrin Fair Use
Doktrin fair use tidak memiliki definisi yang seragam. Menurut Prof. Eddy Damian,
dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing), hukum hak
cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga) menggunakan atau mengeksploitasi suatu
ciptaan tanpa perlu izin dari Pencipta, asalkan masih dalam batas-batas yang
diperkenankan.11 Menurut Paul Goldstein, fair use secara umum sering didefinisikan sebagai:
"a privilege in others than the owner of a copyright to use the copyrighted
material in a reasonable manner without his consent, notwithstanding the
monopoly granted to the owner by the copyright."12
c. Doktrin Fair Use di Amerika Serikat dan di Indonesia
Di Amerika Serikat, diatur oleh Section 107 Copyright Act 1976:
9 Carl-Bernd Kaehlig, Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration
Requirements, (Tatanusa, Jakarta: 2011), hal 7 10 Paul Goldstein, Copyright, Volume I, (Little, Brown , & Company, Canada: 1989), hal 61 11 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, 115 12 Paul Goldstein, Copyright, Volume II, (Little, Brown , & Company, Canada: 1989), hal 187
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
5
"Tanpa mengesampingkan ketentuan dalam bagian 106 dan 106A, penggunaan
yang wajar dari suatu ciptaan, termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam
salinan atau media rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian
tersebut, untuk tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, pengajaran
(termasuk beberapa salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan, atau
penelitian, bukanlah suatu pelanggaran dari hak cipta
1. Tujuan dan karakter dari suatu penggunaan, termasuk apakah
penggunaan tersebut bersifat komersial atau untuk tujuan pendidikan yang
nirlaba
2. Sifat dari suatu ciptaan
3. Jumlah dan kekukuhan dari bagian yang digunakan dalam kaitannya
dengan ciptaan secara keseluruhan
4. Efek dari penggunaan terhadap pasar potensial bagi suatu ciptaan atau
nilai dari suatu ciptaan"13
Dalam menentukan suatu penggunaan yang wajar, hakim pengadilan Amerika Serikat
akan mengelaborasi fakta dengan empat faktor di atas. Faktor-faktor tersebut harus
dipertimbangkan secara keseluruhan dalam suatu perkara. Berdasarkan praktik pengadilan
Amerika Serikat, faktor keempat adalah faktor terpenting.14
Di Indonesia, doktrin fair use diatur dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, yaitu:
"Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta:
a. penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar 13 Diterjemahkan secara bebas oleh peneliti dengan teks asli "Notwithstanding the provisions of sections 106
and 106A, the fair use of a copyrighted work, including such use by reproduction in copies or phonorecords or by any other means specified by that section, for purposes such as criticism, comment, news reporting, teaching (including multiple copies for classroom use), scholarship, or research, is not an infringement of copyright: 1) the purpose and character of the use, including whether such use is of a commercial nature or is for nonprofit educational purposes; (2) the nature of the copyrighted work; (3) the amount and substantiality of the portion used in relation to the copyrighted work as a whole; and (4) the effect of the use upon the potential market for or value of the copyrighted work." (USA, Copyright Act of 1976, Section 107)
14 Roger E. Schechter and John R. Thomas, Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents, and Trademarks, (West Group, St. Paul: 2003), hal 227
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
6
dari Pencipta;
b. pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan:
i. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau
ii. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran
dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pencipta.
d. Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika
Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh
perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan
pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan
aktivitasnya;
f. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis
atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;
g. Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik
Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan
sendiri."
Berdasarkan pengaturan di atas, UU Hak Cipta menyatakan bahwa tujuh (7) kegiatan
tersebut tidaklah melanggar hak cipta seseorang apabila dilakukan sesuai pengaturan tersebut.
Menurut Peneliti, tujuh (7) kegiatan di atas adalah bentuk-bentuk dari suatu penggunaan yang
wajar (fair use) yang dianut oleh UU Hak Cipta.
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
7
normatif atau yang sering disebut dengan metode penelitian hukum doktrinal.15 Berdasarkan
bentuk penelitian, penelitian ini tergolong dalam penelitian preskriptif. Penelitian preskriptif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.16 Dengan metode penelitian preskriptif
ini, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan saran-saran untuk mengatasi masalah apakah
doktrin fair use di Indonesia dapat diberlakukan untuk semua bentuk ciptaan dan memaparkan
mengenai kemungkinan menerapkan doktrin fair use di Indonesia melalui pendekatan case
law di Amerika Serikat. Pengambilan fakta-fakta yang terdapat dalam kasus di Amerika
Serikat dilakukan karena belum ada praktik pengadilan Indonesia yang memutus mengenai
doktrin fair use.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan mendapatkan data dari studi dokumen.
Data dari bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta,
Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works tahun 1886 (terakhir kali
diamandemen tahun 1979), TRIPs, USA Copyright Act 1976 serta putusan-putusan pengadilan
yang ada di Amerika Serikat.17 Selain menggunakan bahan hukum primer tersebut, peneliti
juga menggunakan data dari hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, jurnal, artikel, yang
sesuai dengan penelitian ini yang kesemuanya itu merupakan bahan hukum sekunder.18 Selain
itu, untuk mendukung penelitian ini, peneliti juga menggunakan data dari kamus hukum dan
ensiklopedia yang relevan yang merupakan bahan hukum tersier.19
Pendekatan masalah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan
komparatif atau pendekatan perbandingan dengan mengkaji Undang-Undang No. 19 tahun
2002 dan Copyright Law Amerika Serikat, khususnya mengenai doktrin fair use yang dianut
oleh kedua negara tersebut untuk melihat bagaimana keberlakuan doktrin fair use dalam Pasal
15 terhadap bentuk-bentuk ciptaan, serta pelbagai kasus yang terjadi dalam praktik pengadilan
Amerika Serikat untuk menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta.
15 Amirudin Asikin dan H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:
2000), hal 118 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia, Jakarta: 1984), hal 10 17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007), hal 113. Bahan
hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari jaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
18 Ibid., hal 114. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.
19 Ibid. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
8
D. PEMBAHASAN
a. Keberlakuan Doktrin Fair Use Terhadap Ciptaan dalam Copyright Law Amerika Serikat
Apabila kita melihat pada pengertian doktrin fair use, yaitu doktrin yang
memperbolehkan penggunaan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta tanpa izin dari pencipta
atau pemegang hak cipta maka terlihat bahwa doktrin fair use berlaku hanya ketika suatu
ciptaan yang digunakan secara wajar tersebut dilindungi oleh hak cipta. Artinya, menurut
peneliti, doktrin fair use di Amerika Serikat, tidak berlaku bagi ciptaan atau karya yang tidak
mendapat perlindungan hak cipta berdasarkan Copyright Act 1976.
Sejalan dengan pendapat peneliti, Martine Courant Rife menyatakan bahwa doktrin fair
use menjadi irrelevant ketika hak cipta tidak melindungi suatu ciptaan. Selanjutnya, menurut
Martine Courant Rife, ada beberapa hal yang dapat membuat doktrin fair use menjadi tidak
berlaku pada suatu ciptaan, yaitu:
1. ciptaan tersebut sudah berada dalam domain publik, artinya masa perlindungan hak
cipta sudah habis.
2. ciptaan yang diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat, seperti, antara lain, putusan
pengadilan, statuta, dan peraturan-peraturan
3. ciptaan yang tidak orisinal
4. penggunaan ciptaan yang de minimis, artinya penggunaan ciptaan tersebut tidak cukup
melibatkan kuantitas dari ciptaan yang disalin untuk membuat adanya kesamaan
substansial.
5. penggunaan ciptaan dengan seizin dari Penciptanya.20
Selain lima ciptaan di atas, terdapat juga ciptaan yang tidak mendapat perlindungan hak
cipta, yaitu ciptaan yang melanggar hukum. Menurut Paul Goldstein, terhadap ciptaan yang
melanggar hukum ini, Copyright Act tidak mengatur, hanya saja dapat dilihat dalam praktik
peradilan Amerika Serikat, seperti Stone & McCarrikck, Inc. v. Dugan Piano Co., (1915)
mengenai iklan yang menipu, Bullard v. Esper (1947) mengenai kandungan bersifat cabul,
Broder v. Zeno Mauvais Music Co. (1898) mengenai frasa dalam lagu Hottest Thing You Ever
Seen yang memiliki makna tidak bermoral, dan lain-lain. Terhadap ciptaan-ciptaan yang
mengandung muatan melanggar hukum ini, Paul Goldstein menyatakan bahwa pertimbangan 20 Martine Courant Rife, “The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing
teachers,” Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, https://www.msu.edu/~mcgrat71/Writing/Fair_Use_Rife.pdf, hal 161
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
9
untuk menentukan suatu muatan yang melanggar hukum ini, pada intinya, terdapat pada
hukum negara bagian dan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat.21
b. Keberlakuan Doktrin Fair Use Terhadap Ciptaan dalam UU Hak Cipta Indonesia
Sama seperti di Amerika Serikat, menurut peneliti, doktrin fair use di Indonesia juga
hanya berlaku pada ciptaan-ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta karena doktrin fair
use adalah doktrin yang memperbolehkan penggunaan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta
tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Artinya, pemberlakuan doktrin fair use
haruslah terhadap ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta saja.
Dengan demikian, ada beberapa ciptaan dalam dalam hukum hak cipta Indonesia yang
tidak dapat memberlakukan doktrin fair use, yaitu:
1. Ciptaan berdasarkan Pasal 13 UU Hak Cipta, yaitu: hasil rapat terbuka lembaga-
lembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato
pejabat pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, keputusan bada
arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya
2. Ciptaan yang telah habis masa perlindungannya. Ketika suatu ciptaan telah habis
masa perlindungan hak ciptanya maka segala hak ekonomi yang dimiliki oleh
pencipta, ahli waris pencipta dan pemegang hak cipta tidak memiliki
perlindungan lagi, hak moral berkenaan dengan larangan untuk mengubah suatu
ciptaan juga tidak berlaku.22 Hanya hak moral pencipta untuk tetap dicantumkan
namanya dalam ciptaannya saja yang tidak mengenal batas waktu berdasarkan
Pasal 33 butir a UU Hak Cipta.
3. Ciptaan yang tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1
angka 3 UU Hak Cipta. Ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta adalah
ciptaan yang memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3
UU Hak Cipta. Apabila suatu ciptaan tidak memenuhi unsur tersebut maka
ciptaan tersebut tidaklah mendapat perlindungan hak cipta.
Apabila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam hukum hak cipta Amerika
Serikat, UU Hak Cipta tidak mengatur mengenai tidak adanya perlindungan hak cipta
terhadap ciptaan yang mengandung muatan yang melanggar hukum. Sebagaimana dijelaskan
21 Paul Goldstein, Copyright, Volume I, hal 85-87 22 Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, (Alumni, Bandung:
2005), hal 123
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
10
peneliti pada sub-bab 2.4., Amerika Serikat memiliki pengaturan terhadap ciptaan yang
mengandung muatan melanggar hukum melalui praktik pengadilan dan berdasarkan praktik
pengadilan itu dapat terlihat bahwa ciptaan yang mengandung muatan melanggar hukum
contohnya adalah ciptaan sebagai iklan yang menipu, ciptaan yang mengandung muatan
cabul, dan lirik lagu yang memiliki frasa yang tidak bermoral. Terhadap semua ciptaan
tersebut, tidak terdapat perlindungan hak cipta. Sama dengan US Copyright Act 1976, UU
Hak Cipta tidak mengatur mengenai bentuk ciptaan ini.
c. Analisis Perbandingan Pengaturan Doktrin Fair Use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dengan
Copyright Law Amerika Serikat
Pengaturan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta mengutamakan pencantuman
sumber dalam setiap penggunaan. Hal ini berhubungan dengan hak moral dari pencipta, yaitu
hak agar namanya dicantumkan dalam setiap pengambilan ciptaan. Hal ini sejalan dengan
fokus utama perlindungan hak cipta di Indonesia, yaitu perlindungan kepada Pencipta.
Sedangkan di Amerika Serikat, pencantuman sumber tidak menjadi syarat utama karena fokus
perlindungan hak cipta Amerika Serikat adalah kepada pemegang hak cipta.
Apabila dibandingkan, pengaturan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta tidak
memiliki faktor-faktor yang secara tegas diberikan oleh pembuat undang-undang untuk
menentukan apakah terdapat suatu penggunaan yang wajar atau tidak. Pembuat UU Hak Cipta
mengatur bentuk-bentuk tindakan penggunaan yang dapat dianggap sebagai penggunaan yang
wajar, seperti pengutipan, pengambilan bagian ciptaan, pengubahan bentuk, perbanyakan
ciptaan, dan pembuatan salinan untuk program komputer. Pengaturan bentuk-bentuk
penggunaan tersebut disertai dengan tujuan atau kepentingan masing-masing. Kriteria atau
ukuran yang dipakai oleh Pasal 15 UU Hak Cipta dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 15 butir
a UU hak Cipta.
Sehubungan dengan perbedaan pengaturan tersebut, menurut peneliti, akan lebih mudah
bagi hakim untuk menentukan suatu penggunaan yang wajar apabila diberikan faktor-faktor
pertimbangan seperti Copyright Act. Dengan memberikan faktor-faktor pertimbangan, hakim
dapat mengelaborasikan faktor-faktor tesebut dengan fakta yang terjadi untuk menentukan
suatu penggunaan yang wajar (fair use). Namun, menurut peneliti, konsekuensi dari
pemberian faktor-faktor pertimbangan adalah tidak akan atau mungkin jarang sekali terjadi
persamaan pandangan terhadap adanya suatu penggunaan yang wajar karena semua
bergantung pada penafsiran hakim. Dengan demikian, pendekatan kasus per kasus sangat
diperlukan dalam menentukan suatu penggunaan yang wajar.
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
11
d. Tafsiran Penerapan Doktrin Fair Use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta Melalui Putusan
Pengadilan Amerika Serikat
Sebagaimana telah dijelaskan oleh peneliti, bahwa belum ada kasus mengenai
penggunaan yang wajar (fair use) di Indonesia. Ketiadaan kasus tersebut yang membuat
peneliti harus menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta dengan menggunakan putusan
yang ada di Amerika Serikat. Fakta-fakta yang ada di dalam putusan pengadilan Amerika
Serikat tersebut akan peneliti gunakan untuk menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta.
d.1 Penafsiran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Harper & Row
Publishers, Inc. v. Nation Enterprises
Posisi Kasus: "Pada bulan Februari 1977, mantan presiden Amerika Serikat Gerald R. Ford membuat kontrak dengan Harper & Row dan Reader's Digest untuk menerbitkan memoar (riwayat hidup) dirinya yang belum ditulis. Memoar tersebut berisi mengenai materi-materi mengenai krisis Watergate, pernyataan pemberian maaf dari Ford kepada mantan presiden Nixon, dan refleksi pandangan Ford terhadap periode krisis tersebut dalam sejarah, termasuk moralitas dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam krisis itu. Memoar itu berjudul "A Time to Heal: The Autobiography of Gerald R. Ford". Sebagai tambahan dari hak untuk menerbitkan memoar Ford ke dalam bentuk buku, kontrak tersebut memberikan Harper & Row dan Reader's Digest hak eksklusif untuk melisensikan kutipan pra-publikasi (sebelum penerbitan dalam bentuk buku). Dua tahun kemudian, selagi memoar tersebut hampir selesai, Harper & Row dan Reader's Digest menegosiasikan perjanjian lisensi pra-publikasi dengan Time. majalah berita mingguan. Time setuju untuk membayar $25.000, yaitu $12.500 di awal dan sisanya setelah penerbitan, dengan syarat Time mendapat hak untuk mengutip 7.500 kata dari pernyataan pemberian maaf Ford kepada Nixon. Terbitan yang berisi kutipan Ford tersebut diatur untuk terbit sekitar satu minggu sebelum pengiriman versi lengkapnya dalam buku ke toko-toko buku. Sebelum artikel Time dijawalkan untuk terbit, seseorang yang tak dikenal secara diam-diam membawa salinan manuskrip Ford kepada Victor Navasky, editor The Nation, sebuah majalah seputar politik. Navasky kemudian tergesa-gesa mengumpulkan apa yang ia percayai sebagai "berita yang sangat panas" yang terdiri dari kutipan, parafrase, dan fakta-fakta yang diambil secara eksklusif dari manuskrip tersebut. Navasky kemudian menerbitkan artikel sebanyak 2.250 kata tanggal 3 April 1979 bernama "The Ford Memoirs-Behind The Nixon Pardon". Sebagai akibat dari penerbitan tersebut, Time membatalkan penerbitan artikelnya dan menolak membayar sisa $12.500 kepada Harper & Row Inc." Analisis menggunakan Pasal 15 UU Hak Cipta:
Apabila perkara ini dihadapkan pada norma pengaturan Pasal 15 UU Hak Cipta maka,
menurut peneliti, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh hakim pengadilan Indonesia
dalam menilai apakah suatu penggunaan adalah penggunaan yang wajar atau tidak, yaitu:
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
12
1. Apakah Ciptaan yang menjadi objek perkara adalah ciptaan yang mendapat
perlindungan hak cipta?
2. Apakah penggunaan yang dilakukan oleh The Nation telah menyebutkan sumber?
3. Apakah tujuan penggunaan yang dilakukan oleh The Nation adalah tujuan yang
komersial atau tidak?
4. Apakah bagian yang digunakan oleh The Nation adalah bagian yang substansial atau
tidak?
5. Apakah penggunaan yang dilakukan oleh The Nation telah merugikan kepentingan
yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta?
Agar mendapat perlindungan hak cipta, ciptaan Ford haruslah memenuhi syarat-syarat
ciptaan terlebih dahulu. Memoar tersebut merupakan sebuah karya tulis yang memiliki bentuk
spesifik, yaitu sebagai buku. Buku memoar tersebut juga merupakan ciptaan yang orisinal
karena memoar tersebut berasal dari Ford sendiri, bahkan memoar itu juga memuat biografi
dirinya dan memoar itu belum ada yang pernah menulis sehingga Ford tidak menjplak atau
meniru karya orang lain. Buku memoar Ford juga membicarakan mengenai sejarah krisis
Watergate di Amerika Serikat sehingga merupakan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah.
Lebih lanjut, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, bahwa ciptaan buku mendapatkan
perlindungan hak cipta yang diatur dalam Pasal 12 butir a UU Hak Cipta dan memoar tersebut
adalah karya tulis berbentuk buku. Dengan demikian, memoar Ford telah memenuhi syarat
perlindungan hak cipta dan mendapatkan perlindungan hak cipta.
Perlu diketahui, bahwa buku memoar Ford tersebut belum selesai ditulis sehingga
merupakan ciptaan yang belum diumumkan karena pengumuman pertama dari memoar Ford
ini memang dijadwalkan agar diumumkan pertama kali oleh Time sesuai perjanjian antara
Time dengan Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Manuskrip tersebut dilindungi oleh
UU Hak Cipta karena menurut Penjelasan Pasal 12 ayat (3), manuskrip termasuk ke dalam
ciptaan yang belum diumumkan yang sudah merupakan suatu kesatuan yang lengkap. Dengan
demikian, doktrin fair use dapat diberlakukan dalam perkara ini.
Dalam perkara ini, tidak terdapat fakta bahwa The Nation menyebutkan sumber dari
mana The Nation mendapatkan manuskrip tersebut. The Nation hanya menyatakan, melalui
kesaksian Navasky, bahwa The Nation mengutip manuskrip Ford tersebut secara verbatim
kata demi kata sama persis agar pembaca mengetahui atau sadar bahwa kata-kata yang ditulis
berasal dari mantan presiden Ford sendiri. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai pencantuman
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
13
sumber karena The Nation tidak menyatakan sumber secara lengkap. Sesuai dengan
Penjelasan Pasal 15 butir a UU Hak Cipta bahwa yang dimaksud dengan pencantuman
sumber secara lengkap adalah mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau
nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Dalam hal ini, penerbit dari manuskrip memoar
Ford adalah Time karena Time yang akan menerbitkan manuskrip tersebut sesuai perjanjian
dengan Harper & Row. Dengan demikian, The Nation tidak menyebutkan sumber pengutipan
ciptaan.
Apakah penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation bertujuan komersial? Untuk
menjawab ini, harus dilihat apakah The Nation mencari keuntungan atau mendapat
keuntungan dengan menggunakan atau mengeksploitasi mansukrip tersebut. Dengan kedua
hak tersebut, seorang pencipta berhak untuk mengeksploitasi karyanya untuk emndapatkna
keuntungan bagi dirinya sendiri. Dalam perkara ini, The Nation sebagai perusahaan majalah
seputar politik menggunakan salinan manuskrip Ford tersebut untuk ditulis dalam majalahnya
karena menurut Navasky, manuskrip Ford itu adalah berita yang panas. Menurut peneliti,
sebagai majalah seputar politik, The Nation pastilah mendapat untung dari adanya manuskrip
tersebut, apalagi mansukrip tersebut memiliki muatan politik juga mengenai krisis Watergate
dan pernyataan pemberian maaf antar mantan presiden. Selain itu, The Nation tidak punya
alas hak untuk menggunakan manuskrip itu karena tidak ada perjanjian apa pun antara The
Nation dengan Ford. Dengan demikian, The Nation telah melakukan penggunaan yang
bertujuan komersial dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 butir a UU Hak Cipta.
Apakah bagian yang digunakan oleh The Nation adalah bagian yang substansial atau
tidak? Dari keseluruhan manuskrip "A Time to Heal", Navasky, selaku editor dari Time telah
menyeleksi bagian-bagian mana yang akan diambil dan kemudian dituangkan ke dalam artikel
"The Ford Memoirs-Behind The Nixon Pardon." yang berisikan pernyataan pemberian maaf
mantan presiden Ford kepada mantan presiden Nixon. Menurut peneliti, apa yang diambil
oleh The Nation adalah bagian yang substansial dari keseluruhan manuskrip "A Time to
Heal." Seorang editor dari Time, telah mengakui sendiri bahwa bagian yang diambil oleh The
Nation adalah bagian substansial dengan mendekripsikan bahwa bab-bab dalam pernyataan
pemberian maaf sebagai "bagian yang paling menarik dan menggugah dari keseluruhan
manuskrip." Dengan demikian, The Nation telah mengambil bagian yang substansial dari
keseluruhan manuskrip "A Time to Heal."
Apakah penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation telah merugikan kepentingan
yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta? Dalam perkara ini, penggunaan ciptaan
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
14
Ford yang dilakukan oleh The Nation mengakibatkan Time, pihak yang telah mengadakan
perjanjian lisensi dengan Harper & Row, membatalkan keinginannya untuk membuat suatu
serial dari karya tulis Ford tersebut dan menolak membayar uang sebesar $12.500. Tindakan
wanprestasi dari Time tersebut merupakan reaksi dari terbitnya artikel "The Ford Memoirs-
Behind The Nixon Pardon" yang diterbitkan oleh The Nation. Time telah mensyaratkan
bahwa tidak boleh ada pihak yang menerbitkan manuskrip Ford itu selain Time, kalau tidak,
Time akan merenegosiasikan seluruh perjanjiannya dengan Harper & Row. Akibatny, Harper
& Row terkena dampak kerugian secara langsung, yaitu kehilangan uang sebesar $12.500
yang sewajarnya diterima Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Dengan demikian,
penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation telah merugikan kepentingan yang wajar dari
Harper & Row selaku pemegang hak cipta.
Untuk menafsirkan lebih jauh mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta atau
pemegang hak cipta, hakim Indonesia dapat meminjam pertimbangan hakim Amerika Serikat
bahwa kepentingan ekonomi dari pencipta dan pemegang hak cipta dapat dirugikan juga
apabila pasar suatu ciptaan menjadi terancam oleh suatu penggunaan ciptaan. Bahkan, bukan
hanya terhadap pasar yang ada sekarang, namun juga terhadap pasar potensial dari ciptaan
tersebut. Melihat pada pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan ciptaan
manuskrip "A Time to Heal" oleh The Nation bukanlah suatu penggunaan yang wajar
berdasarkan Pasal 15 UU Hak Cipta karena penggunaan ciptaan yang dilakukan The Nation
tidak menyebutkan sumber secara lengkap, bertujuan komersial, menggunakan bagian yang
substansial, dan telah merugikan kepentingan yang wajar dari Harper & Row selaku pemegan
Hak Cipta.
d.2. Penafisran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Sony Corp. v.
Universal City Studios, Inc.
Posisi Kasus:
"Pada tahun 1970, Sony (Tergugat) mengembangkan format perekaman kaset video (Video
Tape Recording) yang bernama Betamax. Universal (Penggugat) adalah pemilik hak cipta
beberapa program acara yang disiarkan televisi. Universal menggugat Sony atas dasar
pelanggaran hak cipta yang dilakukan Sony dengan menjual perekam kaset video kepada para
pemirsa di rumah. Sony membawa teori bahwa penjualan perekam kaset video yang
dilakukan oleh Sony dengan mengetahui bahwa pemirsa di rumah. menggunakan mesin-
mesin tersebut untuk membuat salinan dari ciptaan film yang melanggar hak cipta dari
Universal. Untuk dapat menyatakan Sony bersalah berdasarkan teori yang dibawa Universal,
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
15
harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa kegiatan penonton di rumah yang melakukan
perekaman di rumah adalah perbuatan yang melanggar hak cipta. Sony berargumen bahwa
perekaman yang dilakukan di rumah (home taping) tidaklah melanggar hak cipta karena
dilindungi oleh doktrin fair use. Perkara ini dimenangkan oleh Sony di Pengadilan Distrik,
kemudian Pengadilan Banding mengeyampingkan putusan Pengadilan Distrik dan
memenangkan Universal. Mahkamah Agung kemudian menganulir putusan Pengadilan
Banding dan menyatakn bahwa kegiatan perekaman di rumah adalah fair use dan
memenangkan Sony."
Analisis Kasus menggunakan Pasal 15 UU Hak Cipta:
Menurut peneliti, dalam perkara Sony melawan Universal ini, ada beberapa masalah
hukum yang relevan untuk dielaborasi oleh hakim untuk menentukan adanya suatu
penggunaan yang wajar, yaitu:
1. Pencantuman sumber
2. tujuan dari kegiatan time-shifting
3. sifat dari ciptaan yang dilindungi, dalam hal ini film sebagai karya dalam
sinematografi
4. akibat dari time-shifting, apakah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau
pemegang hak cipta?
Dari tiga permasalahan hukum di atas, menurut peneliti, Pasal 15 UU hak Cipta tidak
dapat mengakomodasi permasalahan hukum yang pertama. Alasannya adalah, Pasal 15 tidak
mengatur tujuan penggunaan seperti yang terjadi dalam perkara. Dalam perkara ini, kegiatan
yang dilakukan adalah time-shifting, yaitu perekaman suatu program acara televisi melalui
kaset video agar dapat ditonton di jam yang berbeda dari jam tayangnya di rumah sendiri.
Namun, apabila menyimak perkara ini, tujuan dari penggunaan seperti yang terjadi dalam
perkara adalah bertujuan nonkomersial. Artinya, penonton yang melakukan perekaman
tidaklah bermaksud untuk menjual kembali siaran atau film yang telah direkam, melainkan
untuk konsumsi pribadi.
Dalam Pasal 15 UU hak Cipta. tidak terdapat jenis kegiatan (perekaman) yang
memiliki tujuan untuk konnsumsi pribadi. Sebagaimana telah disebutkan oleh peneliti dalam
Bab II bahwa kepentingan atau tujuan yang diatur per butir dalam Pasal 15 UU Hak Cipta
bersifat terbatas karena kalimat undang-undang yang ada tidak membuka kesempatan untuk
tujuan lain selain yang tertera di Pasal 15 UU Hak Cipta.
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
16
Satu-satunya jenis kegiatan penggunaan ciptaan yang bertujuan untuk kegunaan
sendiri adalah Pasal 15 butir g. Namun, norma pengaturan butir g tidaklah sesuai dengan
bentuk penggunaan yang dilakukan dalam perkara ini. Butir g mengatur mengenai pembuatan
salinan cadangan suatu program komputer oleh pemiliki program komputer yang dilakukan
semata-mata untuk digunakan sendiri, sedangkan perkara ini mengenai perekaman ciptaan
dengan kaset video.
Dari penjabaran di atas, peneliti simpulkan bahwa Pasal 15 UU Hak Cipta tidak dapat
mengakomodasi atau tidak dapat menjadi dasar hukum untuk menyelesaikan suatu perkara
seperti perkara Sony Corp. v. Universal City Studios, Inc. karena Pasal 15 UU Hak Cipta
tidak mengatur sama sekali mengenai perekaman siaran televisi yang dilakukan di rumah
guna keperluan pribadi. Dengan demikian, kegiatan time-shifting yang terjadi dalam perkara
ini bukanlah fair use atau suatu penggunaan yang wajar menurut UU Hak Cipta Indonesia.
d.3 Penafisran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Campbell v. Acuff- Rose
Music Inc.
Posisi Kasus:
"Pada tahun 1964, Roy Orbison dan William Dees menulis sebuah rock ballad berjudul "Oh,
Pretty Woman" dan menetapkan hak mereka atas lagu tersebut kepada Acuff-Rose Music Inc.
(untuk selanjutnya Acuff-Rose). Luther R. Campbell, Christopher Wongwon, Mark Ross, dan
David Hobbs adalah group rap yang dikenal dengan nama 2 Live Crew. Pada tahun 1989,
Campbell menulis sebuah lagu yang berjudul "Pretty Woman" yang nantinya di persidangan
dideskripsikan olehnya sebagai "sindiran kepada karya asli melalui lirik-lirik yang lucu."
Padal tanggal 5 Juli 1989, manajer dari 2 Live Crew menginformasikan Acuff-Rose bahwa 2
Live Crew telah menulis sebuah parodi dari "Oh, Pretty Woman" dan Acuff-Rose, Dees, dan
Orbson akan mendapat segala penghargaan yang berhubungan dengan kepemilikan dan hak
cipta pada lagu orisinal. 2 Live Crew juga rela membayar biaya untuk memakai lagu tersebut.
Namun, agen dari Acuff-Rose menolak permitaan izin tersebut dengan menyatakan bahwa
"Saya mengetahui kesuksesan dari 'The 2 Live Crews' tetapi saya harus memberitahu Anda
bahwa kami tidak dapat mengizinkan penggunaan parodi dari 'Oh, Pretty Woman'." Walau
demikian, pada bulan Juni atau Juli 1989, 2 Live Crew mengeluarkan rekaman, kaset, dan
Compact Disc (CD) dari "Pretty Woman" dalam sebuah koleksi lagu-lagu yang berjudul "As
Clean As They Wanna Be." Baik album serta CD tersebut mengidentifikasi pencipta dari
"Pretty Woman" sebagai Orbison dan Dees dan Pemegang Hak Cipta Acuff-Rose."
Analisis Kasus dengan Pasal 15 UU Hak Cipta:
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
17
Untuk menyelesaikan perkara seperti perkara Campbell v. Acuff-Rose Music Inc., para
hakim Indonesia dapat menggunakan norma pengaturan yang terdapat dalam Pasal 15 butir a
UU Hak Cipta dan harus dapat menjawab permasalahan hukum sebagai berikut:
1. Apakah doktrin fair use dapat diberlakukan terhadap ciptaan "Oh, Pretty Woman"?
2. Apakah 2 Live Crew telah menyebutkan atau mencantumkan sumber dengan lengkap?
3. Apakah tujuan dari penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew?
4. Apakah perbuatan 2 Live Crew yang membuat lagu "Pretty Woman" merugikan
kepeningan yang wajar dari Acuff-Rose, Dees, dan Orbison untuk menikmati manfaat
ekonomi dari lagu "Oh, Pretty Woman"?
Menurut peneliti, lagu "Oh, Pretty Woman" adalah ciptaan yang dilindungi oleh hak
cipta. Apabila melihat pada pengaturan Pasal 12 butir d UU Hak Cipta, maka lagu "Oh, Pretty
Woman" masuk dalam kategori lagu atau musik. Selain itu, lagu "Oh, Pretty Woman" juga
sudah merupakan suatu kesatuan yang utuh sebagaimana dinyatakan Penjelasan Pasal 12 butir
d UU Hak Cipta. Satu kesatuan yang utuh itu terlihat dari adanya melodi dan syair atau lirik
dalam lagu "Oh, Pretty Woman."
Menyimak pada fakta yang terjadi dalam perkara Campbell v. Acuff-Rose Music Inc.,
2 Live Crew mencantumkan nama Orbison dan Dees sebagai pencipta "Pretty Woman" dan
Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta rekaman dalam album dan CD album mereka, yaitu
"As Clean As They Wanna Be." Perbuatan pencantuman sumber yang dilakukan oleh 2 Live
Crew menurut peneliti sudah cukup memadai sesuai dengan Pasal 15 UU Hak Cipta.
Alasannya, berdasarkan posisi kasus, 2 Live Crew sudah memberi tahu kepada pihak Acuff-
Rose sebelumnya bahwa dia akan mencantumkan sumber tersebut agar orang-orang
mengetahui bahwa lagu "Pretty Woman" memang dibuat berdasarkan lagu "Oh, Pretty
Woman" yang diciptakan oleh Orbison dan Dees dan hak ciptanya dipegang oleh Acuff-Rose
sebagai perusahaan rekaman.
Berdasarkan posisi kasus, diketahui bahwa Campbell, penulis lagu "Pretty Woman,"
menjelaskan bahwa dia bermaksud untuk menyindir lagu "Oh, Pretty Woman" dengan lirik
yang lucu. Pendapat hakim pada Mahkamah Agung Amerika Serikat mengatakan bahwa
sebenarnya maksud dari lagu "Pretty Woman" ciptaan Campbell bukanlah bertujuan
menyindir, melainkan mengomentari lagu "Oh, Pretty Woman" betapa lagu "Oh, Pretty
Woman" adalah lagu yang hambar dan dangkal. Menurut peneliti, pendapat Mahkamah
Agung adalah benar karena sebagaimana dapat dilihat pada lirik lagu "Oh, Pretty Woman"
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
18
bahwa Orbison dan Dees memakai kata pretty woman hampir di setiap awal kalimat. Namun,
lagu "Pretty Woman" mengganti kata pretty woman tersebut di beberapa awal kalimat dengan
kata-kata lain yang jenaka seperti big hairy woman (wanita yang berambut lebat), bald
headed woman (wanita yang berkepala botak), two timin' woman (wanita yang tidak setia)
yang menunjukkan bahwa Campbell merasa bahwa lagu "Oh, Pretty Woman" membosankan
karena repetitif, yaitu mengulang-ulang kata yang sama.
Menurut peneliti, kegiatan menyindir dan mengomentari yang dilakukan oleh 2 Live
Crew cakupannya termasuk ke dalam penulisan kritik sebagaimana disebutkan oleh Pasal 15
huruf a UU Hak Cipta. Berdasarkan kesaksian Campbell, ia menulis lagu "Pretty Woman"
untuk menyindir lagu "Oh, Pretty Woman. Peneliti juga setuju bahwa Campbell menyindir
lagu "Oh, Pretty Woman" adalah lagu yang membosankan. Sindiran yang diberikan oleh
Campbell tersebut dapat dianggap sebagai kritik karena menyindir memiliki makna sebagai
mengkritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.23 Dengan demikian, penggunaan yang
dilakukan oleh 2 Live Crew adalah bertujuan untuk menulis kritik terhadap lagu "Oh, Pretty
Woman" dengan menyindir lagu tersebut melalui parodi lagu yang berjudul "Pretty Woman"
Selanjutnya, mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Apakah perbuatan 2 Live Crew yang membuat lagu "Pretty Woman" merugikan kepentingan
yang wajar dari Orbison dan Dees sebagai pencipta dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak
cipta? Menurut peneliti, penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew dengan menciptakan
lagu "Pretty Woman" sebagai sindiran terhadap "Oh, Pretty Woman" tidaklah merugikan
kepentingan yang wajar dari Orbison, Dees, dan Acuff-Rose.
Akibat dari Campbell yang menciptakan ciptaan yang berbeda dari ciptaan Orbison
dan Dees adalah pasar yang dimiliki oleh kedua ciptaan tersebut menjadi berbeda. baik pasar
potensial dan pasar yang saat itu ada berbeda satu sama lain. Dengan berbedanya pasar kedua
ciptaan, maka kepentingan yang wajar dari Orbison dan Dees serta Acuff-Rose tidaklah
terganggu atau dirugikan.
Dengan demikian, menurut peneliti, penggunaan yang telah dilakukan oleh 2 Live
Crew adalah suatu penggunaan yang wajar karena menyebutkan sumber secara lengkap,
bertujuan untuk mengkritik lagu "Oh, Pretty Woman," dan tidak merugikan kpentingan yang
wajar dari Orbison, Dees sebagai pencipta dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta.
23 Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, http://kbbi.web.id/sindir diakses pada tanggal 15 Juni 2013
pukul 16.00 WIB
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
19
E. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Doktrin fair use atau dokrin penggunaan yang wajar adalah doktrin yang
memperbolehkan penggunaan ciptaan pihak lain tanpa harus meminta persetujuan dari
pencipta aau pemegang hak cipta. Doktrin fair use di Indonesia diatur dalam Pasal 15
UU Hak Cipta dengan mengatur kegiatan-kegiatan penggunaan ciptaan yang
diperbolehkan tanpa meminta persetujuan dari Pencipta. Doktrin fair use dalam Pasal
15 UU Hak Cipta hanya berlaku atau relevan terhadap ciptaan yang memiliki
perlindungan hak cipta, yaitu ciptaan yang telah memenuhi syarat-syarat ciptaan dan
masih dalam jangka waktu perlindungan hak cipta.
2. Untuk menerapkan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, dimungkinkan
pendekatan kasus per kasus dengan menggunakan kriteria atau tolok ukur yang
terdapat dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, yaitu melihat apakah sudah terdapat
pencantuman sumber, apa tujuan penggunaan ciptaan, bagaimana sifat penggunaan
ciptaan tersebut, dan apakah penggunaan ciptaan tersebut telah merugikan kepentingan
yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Selain itu, hakim juga dapat
menggunakan penafsiran doktrin fair use yang ada di Amerika Serikat sebagai
pedoman untuk menafsirkan Pasal 15 UU Hak Cipta. Alasan perlunya pendekatan
kasus per kasus adalah karena penafsiran atas penggunaan yang wajar dari suatu
ciptaan dapat berbeda-beda sehingga diperlukan penafsiran hakim untuk memutus
suatu perkara dan menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar.
F. SARAN
Saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan penelitian ini adalah:
1. Kepada pihak pembuat undang-undang atau kepada pihak legislatif:
a. Rumusan Pasal 15 UU Hak Cipta sebaiknya segera diperbaiki, khususnya terhadap
butir f dan butir g agar tidak disatukan dengan rumusan Pasal 15 UU Hak Cipta
karena terhadap butir f dan butir g, menurut peneliti, tidak relevan untuk diberikan
syarat pencantuman sumber dalam melakukan kegiatan penggunaan yang wajar.
b. Terhadap penentuan kegiatan-kegiatan apa saja yang dianggap sebagai
penggunaan yang wajar dalam butir a hingga butir g, menurut peneliti, sebaiknya
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013
20
tidak perlu dirinci jenis-jenis kegiatannya. Dalam hal ini, pembuat undang-undang
dapat melihat pengaturan doktrin fair use dalam Copyright Act 1976 yang dimiliki
oleh Amerika Serikat. Pengaturan Copyright Act 1976 lebih memudahkan para
hakim untuk menentukan ada atau tidaknya suatu penggunaan yang wajar dalam
suatu perkara karena para hakim diberikan poin-poin atau faktor-faktor
pertimbangan untuk memutus. Dengan demikian, para hakim di Indonesia,
nantinya, akan lebih mudah mengelaborasi norma hukum dengan fakta yang ada.
2. Untuk mempermudah dalam menentukan ada atau tidaknya suatu penggunaan yang
wajar, peneliti menyarankan kepada para hakim Indonesia agar melihat kepada kriteria
atau syarat-syarat yang diberikan oleh Pasal 15 UU Hak Cipta kemudian
mengelaborasi antara syarat tersebut dengan fakta yang ada. Rasio-rasio pertimbangan
yang ada dalam putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat juga dapat dipakai untuk
menemukan ada atau tidak suatu penggunaan yang wajar atau fair use.
G. DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Amirudin dan H. Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Copyright Act of 1976. Public Law 94-553. U.S. Statutes at Large 90: 2541. Damian, Eddy. Hukum Hak Cipta. Edisi Kedua. Cetakan ke-3. Bandung: Alumni, 2005. Goldstein, Paul. Copyright. Volume I. Canada: Little, Brown , & Company, 1989. ____________. Copyright. Volume II. Canada: Little, Brown, & Company, 1989. Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 tahun 2002. Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 85. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220. Kaehlig, Carl-Bernd. Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration
Requirements. Jakarta: Tatanusa, 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. http://kbbi.web.id/ Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2006. Purba, Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Edisi Pertama. Cetakan Ke-1.
Bandung: Alumni, 2005. Rife, Martine Courant. "The fair use doctrine: History, application, and implications for (new
media) writing teachers," Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, https://www.msu.edu/~mcgrat71/Writing/Fair_Use_Rife.pdf (diakses pada tanggal 6 Februari 2012 pukul 17.00 WIB).
Shechter, Roger E. dan John R. Thomas. Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents, and Trademarks. St. Paul: West Group, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 1984. Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Fair use dalam..., Kristian Takasdo, FH UI, 2013