f11esu_bab ii tinjauan pustaka

14
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. ANTIOKSIDAN Menurut Halliwell dan Gutteridge (1991), antioksidan adalah zat yang dalam konsentrasi kecil dapat mencegah atau memperlambat oksidasi radikal bebas. Dalam konsentrasi yang lebih rendah dari zat yang mudah teroksidasi, antioksidan mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat tersebut (Halliwell et al. 1995). Sebaliknya, antioksidan dalam konsentrasi tinggi dapat bersifat sebagai prooksidan atau meningkatkan oksidasi (Schuler 1990). Menurut Gordon (1990), antioksidan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan primer yang dapat bereaksi dengan radikal bebas membentuk produk yang lebih stabil, dan antioksidan sekunder atau antioksidan pelindung yang berperan dalam mereduksi kecepatan rantai inisiasi melalui berbagai macam mekanisme dan berperan dalam memperlambat laju autooksidasi lemak dengan cara mengikat ion logam, memecah hidroperoksida menjadi spesies non radikal, menyerap radiasi ultraviolet, dan menginaktifkan oksigen singlet. Berdasarkan interaksinya terdapat dua jenis antioksidan, yaitu antioksidan enzim dan non enzim. Contoh antioksidan enzim adalah enzim superoksida dismutase (SOD) yang berperan dalam mengkatalisis pemusnahan radikal bebas dalam sel dengan cara dekomposisi anion superoksida menjadi hydrogen peroksida dan oksigen, enzim katalase, selenium glutation peroksidase (Se-GSH-Px), dan fosfolipid hidroperoksida glutation peroksidase (PLOOH-GSH- Px). Menurut Block dan Langseth (1994), contoh antioksidan non enzim adalah α-tokoferol (vitamin E), β-karoten (vitamin A), dan asam askorbat (vitamin C). Selain itu, yang termasuk antioksidan non gizi adalah protein pengikat logam, protein yang mengandung heme atau yang mengikat heme, asam urat, bilirubin, dan co-enzim Q (Krinsky 1992). Nabet (1996) mengklasifikasikan sistem pertahanan fisiologis terhadap senyawa radikal bebas ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistem pertahanan preventif dan sistem pertahanan melalui pemutusan rantai reaksi radikal. 1. Sistem Pertahanan Preventif dalam Cairan Ekstraseluler Protein plasma bersifat dapat mengkelat logam seperti Cu 2+ atau Fe 3+ sekaligus menghambat reaksi Fenton dan pembentukan radikal yang sangat toksik seperti * OH, LOO * , dan LO * (Nabet 1996). Selanjutnya jenis senyawa yang berperan dalam penangkalan radikal bebas pada cairan ekstraseluler dapat dilihat pada Tabel 1. 2. Sistem Pertahanan Preventif dalam Cairan Intraseluler Menurut Harris (1990), sel darah merah mempunyai pertahanan antioksidan, penangkap radikal bebas, dan sistem enzimatis yang baik untuk mempertahankan sel pada kondisi normal. Enzim yang berperan dalam sel darah merah adalah glutation peroksidase yang mengandung selenium, superoksida dismutase, katalase, dan sitokrom oksidase (Gutteridge 1995). 3. Sistem Pertahanan melalui Pemutusan Reaksi Radikal Senyawa yang berperan dalam sistem ini adalah vitamin E, vitamin C, karotenoid, riboflavin, dan asam lipoat (Nabet 1996). Dalam membran seluler, vitamin E mereduksi radikal bebas lipida. Akan tetapi, vitamin E kemudian menjadi bersifat radikal yang kurang reaktif. Setelah itu, vitamin E radikal (tokoferil) akan mengalami regenerasi dengan adanya

Upload: yuliet-susanto

Post on 10-Aug-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ANTIOKSIDAN

Menurut Halliwell dan Gutteridge (1991), antioksidan adalah zat yang dalam konsentrasi

kecil dapat mencegah atau memperlambat oksidasi radikal bebas. Dalam konsentrasi yang lebih

rendah dari zat yang mudah teroksidasi, antioksidan mampu memperlambat atau menghambat

oksidasi zat tersebut (Halliwell et al. 1995). Sebaliknya, antioksidan dalam konsentrasi tinggi

dapat bersifat sebagai prooksidan atau meningkatkan oksidasi (Schuler 1990).

Menurut Gordon (1990), antioksidan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan

primer yang dapat bereaksi dengan radikal bebas membentuk produk yang lebih stabil, dan

antioksidan sekunder atau antioksidan pelindung yang berperan dalam mereduksi kecepatan

rantai inisiasi melalui berbagai macam mekanisme dan berperan dalam memperlambat laju

autooksidasi lemak dengan cara mengikat ion logam, memecah hidroperoksida menjadi spesies

non radikal, menyerap radiasi ultraviolet, dan menginaktifkan oksigen singlet.

Berdasarkan interaksinya terdapat dua jenis antioksidan, yaitu antioksidan enzim dan non

enzim. Contoh antioksidan enzim adalah enzim superoksida dismutase (SOD) yang berperan

dalam mengkatalisis pemusnahan radikal bebas dalam sel dengan cara dekomposisi anion

superoksida menjadi hydrogen peroksida dan oksigen, enzim katalase, selenium glutation

peroksidase (Se-GSH-Px), dan fosfolipid hidroperoksida glutation peroksidase (PLOOH-GSH-

Px). Menurut Block dan Langseth (1994), contoh antioksidan non enzim adalah α-tokoferol

(vitamin E), β-karoten (vitamin A), dan asam askorbat (vitamin C). Selain itu, yang termasuk

antioksidan non gizi adalah protein pengikat logam, protein yang mengandung heme atau yang

mengikat heme, asam urat, bilirubin, dan co-enzim Q (Krinsky 1992).

Nabet (1996) mengklasifikasikan sistem pertahanan fisiologis terhadap senyawa radikal

bebas ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistem pertahanan preventif dan sistem pertahanan

melalui pemutusan rantai reaksi radikal.

1. Sistem Pertahanan Preventif dalam Cairan Ekstraseluler

Protein plasma bersifat dapat mengkelat logam seperti Cu2+ atau Fe3+ sekaligus

menghambat reaksi Fenton dan pembentukan radikal yang sangat toksik seperti *OH, LOO*,

dan LO* (Nabet 1996). Selanjutnya jenis senyawa yang berperan dalam penangkalan radikal

bebas pada cairan ekstraseluler dapat dilihat pada Tabel 1.

2. Sistem Pertahanan Preventif dalam Cairan Intraseluler

Menurut Harris (1990), sel darah merah mempunyai pertahanan antioksidan,

penangkap radikal bebas, dan sistem enzimatis yang baik untuk mempertahankan sel pada

kondisi normal. Enzim yang berperan dalam sel darah merah adalah glutation peroksidase

yang mengandung selenium, superoksida dismutase, katalase, dan sitokrom oksidase

(Gutteridge 1995).

3. Sistem Pertahanan melalui Pemutusan Reaksi Radikal

Senyawa yang berperan dalam sistem ini adalah vitamin E, vitamin C, karotenoid,

riboflavin, dan asam lipoat (Nabet 1996). Dalam membran seluler, vitamin E mereduksi

radikal bebas lipida. Akan tetapi, vitamin E kemudian menjadi bersifat radikal yang kurang

reaktif. Setelah itu, vitamin E radikal (tokoferil) akan mengalami regenerasi dengan adanya

Page 2: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

4

glutation atau vitamin C (Sies et al. 1994). Vitamin C juga berperan sebagai pertahanan

pertama terhadap radikal oksigen dalam plasma dan sel karena menangkap secara efektif O2*

dan 1O2 dan berperan dalam perlindungan DNA (Nabet 1996).

Tabel 1. Senyawa yang berperan dalam penangkalan radikal bebas secara ekstraseluler

Jenis Senyawa Mekanisme Penangkalan

Albumin

Seruloplasmin

Transferin

Asam urat

Melatonin

Bilirubin

Sistein

Mengkelat Cu dan Fe

- mendegradasi O2*

- mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+

Mengikat Fe3+

- membentuk kompleks tidak aktif bersama Fe dan Cu

- menangkap *OH secara langsung

Penangkal senyawa-senyawa radikal endogen

- menangkap senyawa-senyawa radikal oksigen

- melindungi lipoprotein plasma

Menyelamatkan glutation

Sumber : Gutteridge (1995)

Menurut Langseth (1995), di dalam cairan intraseluler terdapat enzim yang berpartisipasi

dalam pendegradasian senyawa-senyawa ROS intraseluler. Enzim-enzim itu adalah superoksida

dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Fungsi enzim-enzim tersebut dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem pertahanan antioksidan secara enzimatik (Langseth 1995)

Menurut Ghiselli et al. (1995), antioksidan plasma dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan

primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer meliputi seruloplasmin dan transferin yang

berfungsi mereduksi kecepatan inisiasi peroksidasi lipid dengan mengikat ion Fe2+. Antioksidan

sekunder meliputi α-tokoferol, β-karoten, dan asam askorbat. α-tokoferol berfungsi dalam

mereduksi rantai propagasi, β-karoten berfungsi menetralkan singlet oksigen, dan asam askorbat

berfungsi dalam menetralkan radikal oksigen dan meregenerasi antioksidan teroksidasi seperti α-

tokoferol. Menurut Kochhar dan Rossell (1990), sebagian besar antioksidan yang ditemukan

pada vitamin E, vitamin C, dan karotenoid adalah komponen fenolik dan polifenolik.

Sebagaimana umumnya senyawa fenolik dapat menangkap radikal bebas. Senyawa fenol dapat

berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas

pada oksidasi lipid.

Page 3: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

5

B. ANTIOKSIDAN ALAMI

Antioksidan alami belum dapat didefinisikan secara spesifik. Terdapat banyak jenis

produk yang dapat membentuk antioksidan alami, seperti komponen yang ditemukan di dalam

makanan yang berasal dari kedelai yang difermentasikan seperti tempe (Lolinger 1991). Menurut

Pratt dan Hudson (1990), antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa

endogenous dari satu atau lebih komponen makanan, (b) substansi yang terbentuk dari hasil

reaksi selama pengolahan, dan (c) bahan tambahan makanan yang diisolasi dari sumber alami.

Sebagian besar antioksidan alami berasal dari tanaman. Beberapa sumber umum antioksidan

alami berasal dari tanaman. Beberapa sumber umum antioksidan alami dari tanaman adalah alga,

serealia, produk kokoa, sitrus, tanaman bumbu dan rempah, legume, biji-bijian berminyak,

ekstrak tanaman, protein hidrolisat, resin, lada, bawang merah dan bawang putih, dan zaitun.

Pada saat ini, sebagian besar penelitian tentang antioksidan alami terfokus pada tiga antioksidan

utama, yaitu α-tokoferol (vitamin E), vitamin C, dan karotenoid sebagai sumber antioksidan

alami.

Menurut Andarwulan dan Sutrisno (1992), vitamin E merupakan istilah umum untuk

sejumlah senyawa tokol dan trienol, dimana senyawa yang paling aktif adalah α-tokoferol.

Vitamin E kadang-kadang juga disebut sebagai vitamin antioksidan, anti enchephalomalasia,

faktor anti sterilitas, vitamin reproduksi, sterilamin, vitamin kesuburan, dan faktor X.

Menurut Dugan (1980) yang dikutip oleh Andarwulan et al. (1995), komponen

antioksidan di alam mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda, umumnya sebagai asam

amino, asam askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavonoid, melanoidin, asam organik tertentu,

zat pereduksi, peptide, fosfatida, polifenol, tannin, dan tokoferol. Senyawa antioksidan alami

digolongkan sebagai komponen fenolis, protein, komponen nitrogen, karotenoid, dan komponen

lain seperti vitamin C, keton, dan glikosida (Larson 1988). Asam askorbat, asam isoaskorbat, dan

ester derivatnya seperti askorbit palmitat digunakan dalam beberapa makanan sebagai

antioksidan. Peptida yang terdapat secara alami juga memiliki sifat antioksidan. Demikian juga

dengan produk hasil reaksi Maillard dapat berfungsi sebagai antioksidan alami (Lolinger 1991).

Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara seperti (a) sebagai

senyawa pereduksi, (b) sebagai penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam prooksidan, dan

(d) quencher dari bentuk singlet oksigen. Senyawa-senyawa ini umumnya dari kelompok fenolik

atau polifenolik dari sumber tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid

(flavonol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavonol), derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol,

dan asam organic polifungsional (Pratt, Hudson 1990).

Menurut Winarno (1997), antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida,

sesamol, gosipol, dan asam askorbat. Antioksidan alami yang paling banyak ditemukan dalam

minyak nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam bentuk

α, β, γ, dan δ tokoferol. Tokoferol ini mempunyai banyak ikatan rangkap yang mudah dioksidasi

sehingga akan melindungi lemak dari oksidasi.

Menurut Finch dan Kunert (1985), asam askorbat dan tokoferol secara bersama-sama

memberi sifat antioksidan yang sangat baik (sinergis). Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan

primer yang bereaksi dengan radikal lemak membentuk senyawa lipida non radikal dan radikal

tokoferol (tokoferil). Asam askorbat akan mereduksi radikal tokoferol sehingga terbentuk

tokoferol kembali, dan asam askorbat sendiri akan teroksidasi menjadi dehidro asam askorbat

yang dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat dengan cepat.

Page 4: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

6

C. REMPAH-REMPAH SEBAGAI SUMBER ANTIOKSIDAN ALAMI

Kata rempah-rempah (spices) diturunkan dari bahasa latin yaitu species aromatacea yang

berarti buah-buahan bumi. Kata ini kemudian disingkat menjadi species yang berarti komoditi

dengan nilai special. Menurut penulis-penulis klasik, rempah-rempah diklasifikasikan menjadi

empat kategori (Farrel 1990), yaitu :

1. Spesies aromata, rempah-rempah yang digunakan sebagai parfum seperti kapulaga, kayu

manis, dan sweet marjoram.

2. Spesies thumiamata, rempah-rempah yang digunakan untuk dupa/kemenyan seperti thyme,

kayu manis, dan rosemary.

3. Spesies condimenta, rempah-rempah yang digunakan untuk pengawetan, seperti kayu manis,

jinten, adas, cengkeh, dan sweet marjoram.

4. Spesies theriaca, rempah-rempah yang digunakan untuk menetralkan racun seperti adas,

ketumbar, bawang putih, dan oregano.

Menurut Somaatmadja (1985), rempah-rempah adalah bahan asal tumbuhan yang biasa

dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk member aroma/flavor dan membangkitkan

selera makan. Beberapa rempah selain memberikan aroma yang khas pada makanan, juga

memberikan manfaat kepada pemakainya (berpengaruh positif terhadap kesehatan) dan memberi

sifat-sifat pengawetan. Tidak kurang dari 30 jenis rempah-rempah dan tumbuh-tumbuhan bumbu

menunjukkan aktivitas antioksidan, terutama senyawa fenolik dari berbagai rempah-rempah

telah diidentifikasikan (Kochhar dan Rossell 1990). Senyawa aktif pada beberapa rempah-

rempah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Senyawa aktif di dalam beberapa rempah-rempah

Rempah-rempah Senyawa aktif Referensi

Adas

Bawang merah

Bawang putih

Cabe merah

Cengkeh

Kunyit

Jahe

Jinten

Aneton, fensin, α-pinen, champen, d-α-

filandren, dipenten, metal kalvikol, p-

hidroksil fenil aseton

Allin, allisin

Dialilsulfida, dialil trisulfida, alil propil

sulfida, sejumlah kecil dietil sulfida, dialil

polisulfida, allinin, allisin

Asam askorbat, bioflavonoid, karotenoid,

kapsantin

Eugenol

Kurkumin, zingiberen, bisabolen,

turmeron, seskuifilandren, germakron

Gingerol, shogaol, diarilheptanoid,

terpenoid (zingiberen, kurkumin,

bisabolen), gingerdiol

Kulminaldehid, mentadienal

Farrel (1990)

Farrel (1990)

Farrel (1990)

Farrel (1990)

Farrel (1990)

Kikuzaki (2000)

Kikuzaki (2000)

Andarwulan et al.

(1995)

Page 5: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

7

Beberapa rempah-rempah yang termasuk famili labiates (oregano, sage, rosemary, dan

thyme) diketahui mengandung komponen aktif antioksidan, dan berdasarkan hasil uji unsurnya

yaitu diterpen, karnosol, rosmanol pada rosemary dan sage menunjukkan adanya aktivitas

antioksidan. Menurut Nakatani dan Inatani (1981), aktivitas antioksidan dari rosmanol lebih

efektif daripada karnosol, tokoferol (antioksidan alami), dan antioksidan sintetik (BHA dan

BHT). Asam rosmarinat, karnosol, dan karnosil termasuk antioksidan tipe fenolik dengan sifat

antioksidan yang sangat bagus (Lolinger 1991).

Tanaman rempah dan bumbu yang memiliki kemampuan pencegahan kanker telah

diidentifikasikan antara lain family labiates (oregano, sage, rosemary, thyme), Allium sp.

(bawang putih, bawang merah, lokio), Zingiberaceae (kunyit dan jahe), Umbellifereae (adas,

jinten, seledri, ketumbar), dan akar licorice (Caragay 1992).

D. KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

Kunyit merupakan tanaman daerah tropis dan banyak terdapat di India, RRC (Republik

Rakyat Cina), Indonesia, Kepulauan Solomon (Lautan Teduh), Haiti, dan Jamaica (Rismunandar

1988). Kunyit adalah umbi pohon yang termasuk ke dalam famili Zingiberaceae yang berwarna

kuning oranye dan sangat beraroma. Menurut Purseglove et al. (1981), saat pemanenan rimpang

kunyit yang paling baik adalah saat tanaman kunyit sudah berumur 9 bulan, ketika batang dan

daunnya sudah mulai mengering. Rimpang kunyit yang tua dan disimpan lebih lama warnanya

lebih baik dibandingkan dengan rimpang muda, daya tahannya juga lebih lama dan kuat (Darwis

et al. 1991). Warna kunyit sangat dipengaruhi oleh pH. Warna kuning yang cerah diperoleh pada

pH asam. Gambar 2 menunjukkan bentuk kunyit segar, kunyit yang telah dikupas, dan bubuk

kunyit.

Gambar 2. Kunyit segar, kunyit yang telah dikupas, dan bubuk kunyit

Page 6: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

8

Rimpang kunyit rasanya agak pahit dan getir dengan bau yang khas. Rimpang kunyit yang

tua mengandung beberapa komponen kimia, diantaranya minyak atsiri, pati, zat pahit, resin,

protein, selulosa, dan beberapa mineral lain (Rukmana 1994). Komponen utama kunyit adalah

pati yang berkisar antara 40 – 50% berat kering. Kandungan kimia pada rimpang kunyit berbeda-

beda tergantung daerah pertumbuhan serta kondisi pra panen dan pasca panen (Purseglove et al.

1981). Kunyit mengandung 5% minyak esensial yang terdiri dari turmeron, borneol, sineol,

phellandrene, kurkumin, dan zingeron (Farrel 1990).

Menurut Farrel (1990), komposisi kimiawi rimpang kunyit sebagian besar berupa

karbohidrat dan dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan kandungan minyak atsiri kunyit sekitar 3

– 5 % yang terdiri dari α-pelandren (1%), d-sabinen (0.6%), cineol (1%), borneol (0.5%),

zingiberen (25%), tumeron (58%), seskuiterpen alkohol (5.8%) , dan α- serta γ-atlanton.

(Krishnamurthy et al. 1976).

Menurut Purseglove et al. (1981), ekstrak pigmen kunyit terdiri atas campuran analog-

analog dimana kurkumin (Gambar 3) merupakan pigmen terbanyak. Dua pigmen yang menyertai

kurkumin adalah diesmetoksikurkumin dan bis-desmetoksikurkumin. Ketiga komponen tersebut

ditemukan dalam bentuk trans-trans ketoenol. Struktur pigmen kurkumin dapat dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3. Struktur pigmen kurkumin (Purseglove et al. 1981)

Kunyit sejak dahulu digunakan sebagai perwarna tekstil, tetapi sekarang banyak

digunakan sebagai pewarna makanan karena warnanya yang kuning oranye. Warna ini

disebabkan oleh senyawa kurkumin, juga monodesmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin

dimana rimpang segar kunyit mengandung ketiga senyawa ini sebesar 0.8% (Srinivasan 1953).

Berdasarkan penelitian Jusuf (1980), diperoleh gambaran bahwa kandungan kurkumin kunyit

dari Jawa adalah 0.63-0.76%(b/b). Selain memberikan warna kuning oranye, kurkumin juga

memberikan rasa pedas yang lembut pada rempah (Purseglove et al. 1981).

Semua rempah dan ekstraknya harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, disimpan

di tempat yang gelap dan pada suhu 20˚C atau kurang dengan kelembaban relatif (RH) sebesar

50%. Selain itu, pigmen pada kunyit (kurkumin) sangat sensitif terhadap cahaya sehingga mudah

berubah warna (Farrell 1990).

Kunyit memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi dan senyawa kurkumin

merupakan komponen utama yang menyebabkan aktivitas antioksidan tersebut. kurkumin juga

merupakan antioksidan biologis untuk hemolisis dan peroksidasi lemak pada eritrosit tikus yang

diinduksi dengan hidrogen peroksida (Toda et al. 1988).

Page 7: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

9

Tabel 3. Komposisi kimia rimpang kunyit per 100 gram (BB) bahan yang dapat dimakan

Komponen Komposisi

Energi (kal) 1480.0

Air (g) 11.4

Karbohidrat (g) 64.9

Protein (g) 7.8

Lemak (g) 9.9

Serat (g) 6.7

Abu (g) 6.0

Kalsium (mg) 182.0

Fosfor (mg) 268.0

Besi (mg) 41.0

Vitamin B (mg) 5.0

Vitamin C (mg) 26.0

Minyak atsiri (%) 3.0

Kurkumin (%) 3.0

Sumber: Farrel (1990)

Menurut Rukmana (1995), manfaat kunyit adalah (a) bumbu dalam berbagai masakan, (b)

bahan pembuat ramuan untuk mengobati berbagai jenis penyakit pada manusia (sakit perut,

masuk angin, malaria, dan lain-lain) dan pada hewan percobaan (anti diare, anti hepatotoksik,

anti oedema, menurunkan kadar kolesterol, dan lain-lain), serta (c) bahan baku industri jamu dan

kosmetika. Sedangkan menurut Sastroamidjojo (1997), kunyit berkhasiat sebagai penghilang

gatal, antipasmodikum, astringetia, analgetika, serta obat gingivitis (radang gusi), radang selaput

mata, sesak napas, dan sakit perut.

E. ASAM JAWA (Tamarindus indica Linn.)

Tanaman asam jawa termasuk ke dalam family Leguminose dimana buahnya berbentuk

polong. Gambar 4 menunjukkan buah asam jawa segar. Karakteristik yang paling menonjol dari

buah asam jawa adalah kandungan asamnya yang paling tinggi di antara buah lainnya. Total

keasamannya antara 12.3 – 23.8% yang dinyatakan sebagai asam tartarat. Hampir setengah dari

asam tartarat berada dalam bentuk terikat terutama sebagai kalium bitartarat dan sebagian kecil

lainnya sebagai bitartarat. Asam lain yang terdapat dalam buah asam jawa adalah asam malat dan

asam askorbat (Nagy, Shaw 1980). Menurut Soetisna dan Hidayat (1977), daging buah asam

jawa mengandung rata-rata 5.27% kalium bitartarat, 6.63% asam tartarat, dan 2.20% asam sitrat.

Gambar 4. Buah asam jawa segar

Page 8: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

10

Daging buah asam jawa mengandung 30 – 40% gula (Anonim 1979). Buah asam jawa

juga mengandung fosfor dan kalsium yang paling tinggi di antara buah-buah lain. Selain itu,

asam jawa juga merupakan sumber zat besi, riboflavin, thiamin, dan niasin yang baik.

Sebaliknya, kandungan vitamin A dan vitamin C asam jawa sangat rendah. Ada 61 komponen

volatil yang berhasil diidentifikasi dari buah asam jawa dan yang paling berperan dalam aroma

asam jawa adalah 2-asetil furan, furfural, dan 5-metil furfural (Nagy, Shaw 1980).

Kandungan air buah asam jawa paling rendah, tetapi kandungan protein, karohidrat, dan

mineralnya paling tinggi di antara buah-buah lainnya dan dapat dilihat pada Tabel 4. Kandungan

TPT (Total Padatan Terlarut) daging buah asam jawa adalah 54.0 – 69.9˚Brix (Nagy, Shaw

1980). Dengan cara analisa kromatografi kertas, Kalyankar et al. (1952) di dalam Nagy, Shaw

(1980) menyatakan bahwa asam-asam organik yang terkandung dalam buah asam jawa adalah

asam malat dan asam tartarat dengan konsentrasi masing-masing adalah 1.37 mg/ml dan 10.63

mg/ml. Jenis asam organik lainnya dalam buah asam jawa adalah asam oksalat.

Tabel 4. Komposisi kimia asam jawa per 100 gram (bb) bahan yang dapat dimakan

Komponen Komposisi

Energi (kal) 239.00

Air (g) 31.34

Karbohidrat (g) 62.50

Protein (g) 2.80

Lemak (g) 0.60

Serat (g) 3.00

Abu (g) 2.10

Kalsium (mg) 74.00

Fosfor (mg) 113.00

Besi (mg) 0.60

Vitamin A (SI) 30.00

Vitamin B (mg) 0.34

Vitamin C (mg) 2.00

Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1976)

Daging buah asam jawa mudah rusak, sehingga untuk meningkatkan daya simpannya,

buah asam jawa secara tradisional sering diolah menjadi asam kawak, yaitu dengan cara

memisahkan kulit dan serat-serat dari daging buah asam jawa kemudian daging buah tersebut

dipadatkan dan dikemas. Asam kawak ini dapat digunakan sama seperti buah asam segar. Asam

jawa juga digunakan dalam obat-obatan tradisional. Daging buah asam jawa dinyatakan

mempunyai daya sebagai obat pencuci perut (Nagy, Shaw 1980). Asam jawa juga dapat

digunakan sebagai obat disentri, demam, lepra, radang mata, infeksi oral, penyakit pernapasan,

dan luka-luka (Lewis, Elvin 1977). Minuman obat yang terbuat dari asam jawa terbukti

mempunyai efek yang baik terhadap penyakit demam di India. Asam jawa juga kaya akan Zinc

dan L-tartaric acid yang mengurangi resiko terbentuknya batu kristal dalam saluran kemih

(Winarno 1997).

Page 9: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

11

F. JAHE (Zingiber officinale)

Tanaman jahe terdiri dari akar, batang, daun, dan bunga. Bagian jahe yang banyak

digunakan manusia adalah rimpangnya. Rimpang jahe merupakan batang yang tumbuh di dalam

tanah dan dipanen setelah berumur 9-11 bulan. Rimpang jahe bercabang-cabang, berwarna

kuning tua pada bagian luar dan kuning muda pada bagian dalam, berserat, serta berbau harum.

Bentuknya tidak beraturan dan kulitnya mudah dikelupas (Koswara 1995).

Waktu pemanenan jahe tergantung pada tujuan penggunaannya. Jahe yang digunakan

sebagai bahan baku permen, manisan, dan selai dipanen pada saat berumur 3-4 bulan agar tidak

terlalu keras (Farrel 1985). Jahe yang akan digunakan sebagai bumbu atau untuk diekstrak

minyak atsiri dan oleoresinnya dipanen setelah tua karena kandungan minyak atsiri dan

oleoresinnya lebih tinggi, yaitu setelah berumur 8-10 bulan (Purseglove et al. 1981).

Berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpang dikenal tiga jenis jahe, yaitu jahe putih

besar, jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih besar biasanya disebut jahe gajah atau badak.

Jenis jahe ini memiliki rimpang yang besar dan gemuk, potongan melintangnya berwarna putih-

kekuningan, kandungan serat rendah, aroma kurang tajam, dan rasa kurang pedas. Jahe gajah

biasanya dikonsumsi saat berumur muda maupun tua sebagai jahe segar atau jahe olahan.

Jahe putih kecil memiliki potongan melintang berwarna putih-kekuningan, aroma agak

tajam dan rasanya pedas. Jahe merah memiliki ukuran kecil, warna rimpangnya jingga muda

hingga mera, aromanya sangat tajam dan rasanya sangat pedas. Jenis jahe putih kecil dan jahe

merah mempunyai kandungan serat yang lebih tinggi dibandingkan jahe gajah. Kedua jenis jahe

ini cocok untuk ramuan obat-obatan atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya

(Santosa 1994).

Gambar 5. Jahe putih kecil

Rimpang jahe mengandung air, pati, minyak atsiri, oleoresin, serat kasar, dan abu. Jumlah

masing-masing komponen tersebut berbeda-beda tergantung tempat tumbuhnya, kondisi

lingkungan, dan umur panen. Hal ini juga dipengaruhi oleh iklim, curah hujan, varietas jahe,

keadaan tanah, dan faktor-faktor lain (Koswara 1995). Komposisi rimpang jahe selanjutnya

dapat mengalami perubahan selama penanganan pasca panen dan selama penyimpanan

(Purseglove et al. 1981).

Rimpang jahe berbau harum dan berasa pedas. Komposisi rimpang jahe menentukan

tinggi rendahnya nilai aroma dan rasa pedas jahe. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi

kimia rimpang jahe, di antaranya adalah jenis jahe, tanah tempat tumbuhnya, umur panen,

penanganan dan pemeliharaan tanaman, perlakuan pra panen, pemanenan, dan penanganan pasca

panen. Komposisi kimia jahe segar dan kering disajikan pada Tabel 5.

Komponen terbesar penyusun jahe segar adalah air, sedangkan pada jahe kering

komponen terbesarnya adalah karbohidrat, terutama pati (Purseglove et al. 1981). Dua

komponen utama yang terdapat pada jahe adalah minyak atsiri dan oleoresin. Minyak atsiri jahe

Page 10: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

12

merupakan komponen pemberi aroma yang khas, sedangkan oleoresin merupakan komponen

pemberi rasa pedas dan pahit. Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 0.25 – 3.3% yang terdiri

dari zingiberene, curcumene, dan philandren. Selain itu, rimpang jahe mengandung oleoresin 4.3

– 6.0% yang terdiri dari gingerols serta shogaols yang menimbulkan rasa pedas (Rismunandar

1988).

Tabel 5. Komposisi kimia jahe segar per 100 gram (bb) dan jahe kering per 100 gram (bk)

Komponen Jumlah

Jahe Segar Jahe Kering

Energi (kJ) 184.00 1424.00

Protein (g) 1.50 9.10

Lemak (g) 1.00 6.00

Karbohidrat (g) 10.10 70.80

Kalsium (mg) 21.00 116.00

Fosfor (g) 39.00 148.00

Besi (mg) 4.30 12.00

Vitamin A (SI) 30.00 147.00

Thiamin (mg) 0.02 *

Niasin (mg) 0.80 5.00

Vitamin C (mg) 4.00 *

Serat kasar (g) 7.53 5.90

Total abu (g) 3.70 4.80

Magnesium (g) * 184.00

Natrium (mg) 6.00 32.00

Kalium (mg) 57.00 1342.00

Seng (mg) * 5.00

Sumber: Koswara (1995)

* data tidak tersedia

Menurut Grosch dan Belizt (1999) seperti yang dikutip oleh Slamet (2005), jahe memiliki

kandungan senyawa aktif yang mampu berfungsi sebagai pemberi rasa pedas dan antioksidan.

Kandungan senyawa aktif yang terkandung di dalam jahe sebagian besar adalah gingerol

(Gambar 6) yang selama penyimpanan dapat terdehidrasi menjadi shogaol (Gambar 7) yang

memiliki rasa pedas lebih rendah dari gingerol. Shogaol dapat mengalami reaksi pemecahan

retroaldol dan terbentuk senyawa zingerone dan heksanal. Pada konsentrasi tertentu, heksanal

dapat mengurangi aroma jahe.

Komponen bioaktif oleoresin yang merupakan komponen non volatil rimpang jahe yaitu

gingerol, shogaol, dan zingerone memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Semua senyawa

gingerol memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari α-tokoferol. Semakin panjang

rantai samping, semakin tinggi aktivitas antioksidan senyawa tersebut. Demikian pula halnya

dengan shogaol. Penambahan senyawa gingerol konsentrasi rendah (50 µM) sudah cukup untuk

memperlambat oksidasi asam linoleat. Aktivitas antioksidan senyawa gingerol dimulai pada

konsentrasi 50 – 200 µM. Pada konsentrasi 50 µM, aktivitas antioksidan (6)-gingerol lebih kecil

dari (6)-shogaol dan (6)-gingerdiol (Kikuzaki, Nakatani 1993).

Page 11: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

13

Gambar 6. Struktur kimia gingerol (Purseglove et al. 1981)

Gambar 7. Struktur kimia shogaol (Purseglove et al. 1981)

Gambar 8. Reaksi shogaol menjadi zingerone (Purseglove et al. 1981)

Ekstrak jahe mempunyai daya antioksidan yang dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan

minyak dan lemak. Menurut Lee et al. (1992), ekstrak jahe dapat menghambat waktu terjadinya

oksidasi lipida dari 20 detik menjadi 10 menit. Komponen tersebut cukup stabil terhadap

pemanasan. Aktivitas antioksidan pada jahe masih dua pertiganya setelah pemanasan pada suhu

100˚C. Efektivitas antioksidan pada jahe meningkat terus hingga pH 7 dalam konsentrasi rendah.

Pada pH basa, faktor protektifnya turun atau meningkat tergantung jumlah ekstrak yang

ditambahkan. Distribusi komponen antioksidan pada rimpang jahe merata.

Page 12: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

14

Komponen yang terkandung dalam rimpang jahe sangat banyak kegunaannya, terutama

sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan dan minuman, serta digunakan

dalam industri farmasi, parfum, kosmetika, dan sebagainya (Paimin, Murhananto 1991). Enzim

protease pada rimpang jahe menyebabkan jahe ini dapat dimanfaatkan untuk melunakkan daging

sebelum dimasak (Muchtadi, Sugiyono 1992).

Di Indonesia, jahe banyak digunakan sebagai bahan pembuat jamu. Jahe muda dimakan

sebagai lalap, acar, dan manisan (basah dan kering). Dalam bentuk tepung dan oleoresinnya, jahe

digunakan untuk memberikan aroma (flavoring agent) dalam industri makanan seperti dalam

pembuatan permen, biskuit, kue, dan lain-lain (Koswara 1995).

Manfaat jahe dalam bidang pengobatan tradisional antara lain sebagai penguat lambung,

penghangat badan, serta obat pencahar (laxative), masuk angin, batuk, bronchitis, asma, dan

penyakit jantung (Darwis et al. 1991). Selain itu, jahe juga dipercaya dapat menambah nafsu

makan, memperbaiki pencernaan, mengobati luka, serta mengatasi influenza, diare, rheumatik,

kembung, dan cacingan (Paimin, Murhananto 1991).

G. MINUMAN FUNGSIONAL TRADISIONAL

Menurut Winarno (1997), makanan atau minuman yang pekat dengan tradisi setempat di

mana kita dilahirkan dan dibesarkan disebut makanan atau minuman tradisional. Konsep

mengenai makanan atau minuman yang berhubungan dengan kesehatan dan pencegahan

penyakit bukan merupakan hal yang baru. Konsep pangan fungsional menurut Goldberg (1994)

adalah :

a. Merupakan pangan (bukan kapsul, tablet, ataupun serbuk)

b. Dapat dikonsumsi sebagai bagian dari makanan sehari-hari

c. Mempunyai fungsi tertentu ketika dikonsumsi, memperlancar dan membantu metabolism

tubuh seperti meningkatkan imunitas, kesegaran tubuh, dan lain-lain.

Makanan fungsional atau food for specified health use menurut Broek (1993) adalah

makanan atau minuman yang berdasarkan pengetahuan tentang hubungan antara makanan dan

minuman atau komponen makanan dan minuman dengan kesehatan diharapkan mempunyai

khasiat tertentu. Karena dalam bentuk minuman, minuman fungsional harus mempunyai

karakteristik sebagai minuman yang memberikan kekhasan sensori, baik dari segi warna dan cita

rasa, mengandung gizi, dan mempunyai fungsi fisiologis tertentu dalam tubuh. Fungsi-fungsi

fisiologis yang dimiliki oleh minuman fungsional antara lain adalah menjaga daya tahan tubuh,

mempertahankan kondisi fisik, mencegah proses penuaan, dan mencegah penyakit yang

berkaitan dengan pengaruh minuman. Hal ini berimplikasi pada bentuk minuman fungsional

tersebut. Walaupun mengandung senyawa yang berkhasiat bagi kesehatan, minuman fungsional

tidak berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami, tetapi berbentuk

cairan/minuman sehingga bisa dikonsumsi sebagai minuman sehari-hari.

Di Indonesia, salah satu minuman fungsional yang terdapat di Indonesia adalah dalam

bentuk minuman tradisional (jamu). Menurut SNI (1996), minuman tradisional merupakan

minuman ringan yang terbuat dari bahan dasar tradisional seperti rempah-rempah. Beberapa

minuman tradisional yang dikenal di Indonesia adalah minuman beras kencur, minuman

temulawak, minuman kunyit, minuman asam jawa, dan minuman jahe (Fardiaz 1997).

Page 13: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

15

H. MIXTURE EXPERIMENT

Proses optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan

penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi,

permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan batasan

yang diberikan. Optimasi bertujuan meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya

operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang diperlukan atau hasil

yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari sebuah keputusan, maka optimasi dapat

didefinisikan sebagai proses pencapaian kondisi maksimum atau minimum dari fungsi tersebut.

Optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk.

Hasil evaluasi sensori sering digunakan dalam menentukan apakah produk yang optimum telah

dikembangkan dengan benar (Ma’arif et al. 1989).

Metode mixture experiment seringkali diterapkan dalam mengoptimasi formula suatu

produk. Mixture experiment merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang

berguna untuk permodelan dan analisa masalah suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa

variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut. Respon yang digunakan dalam

Mixture experiment adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau bahan dalam suatu

formula (Cornell 1990).

Rancangan mixture experiment terdapat di dalam peranti lunak (software) program Design

Expert 7.0® dan dinamakan dengan mixture design. Design Expert 7.0® merupakan peranti lunak

yang menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi

rancangan produk dan proses (Anonim 2006). Menurut Anonim (2006), program komputer ini

memberikan beberapa rancangan statistik yang digunakan di dalam proses optimasi seperti :

a. Factorial designs, digunakan untuk mengidentifikasi faktor vital yang mempengaruhi proses

dan pembuatan produk di dalam percobaan sehingga dapat memberikan peningkatan.

b. Response surface methods, digunakan untuk menentukan proses yang paling optimal

sehingga diperoleh hasil yang paling optimum.

c. Mixture design techniques, digunakan untuk menentukan formula yang optimal di dalam

formulasi produk.

d. Combined designs (combine process variables, mixture components, and categorical factors),

digunakan untuk penentuan optimasi proses dan formulasi di dalam pembuatan produk.

Rancangan mixture design ini berfungsi menentukan formula optimum yang diinginkan

formulator. Untuk mencapai kondisi tersebut harus ditentukan respon atau parameter produk

yang menjadi ciri penting sehingga dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih ini

menjadi input data yang selanjutnya diproses oleh rancangan mixture design melalui optimasi

dari setiap respon sehingga diperoleh gambaran dan kondisi proses yang optimal (Wulandhari

2007).

Menurut Cornell (1990), mixture experiment terdiri dari enam tahap, yaitu menentukan

tujuan percobaan, memilih komponen-komponen dari campuran, mengidentifikasi variabel

respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan

memilih desain percobaan yang sesuai. Mixture experiment digunakan untuk menentukan dan

secara simultan menyelesaikan persamaan multivariasi. Persamaan tersebut dapat ditampilkan

secara grafik sebagai respon yang dapat digunakan dalam menggambarkan bagaimana variabel

uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana

kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon.

Menurut Cornell (1990), persamaan polinomial mixture experiment memiliki berbagai

macam orde, antara lain mean, linear, quadratic, dan cubic. Model persamaan polinomial yang

Page 14: F11esu_BAB II Tinjauan Pustaka

16

sering digunakan adalah model polinomial orde linear dan quadratic. Model orde linear dengan

dua variabel uji digambarkan pada persamaan (1), sedangkan model orde quadratic digambarkan

dengan persamaan (2).

Y = b0 + b1X1 + b2X2 (1)

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X2

2 + b12X1X2 (2)

Persamaan tersebut dapat ditampilkan dalam sebuah contour plot berupa grafik dua

dimensi (2-D) dan tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji

mempengaruhi respon. Persamaan model polinomial dengan orde linear seringkali memberikan

deskripsi bentuk geometri (3-D) yang kurang memadai. Oleh karena itu, penggunaan model

polinomial dengan orde quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell 1990).

Dalam penentuan model, modifikasi terhadap model dapat memberikan hasil yang lebih

baik. Modifikasi model dilakukan dengan cara menghilangkan menghilangkan komponen atau

hubungan antar komponen yang tidak diinginkan (reduksi model). Komponen yang dihilangkan

adalah komponen yang dianggap tidak signifikan secara statistik terhadap respon. Untuk

menentukan signifikansi model, ditentukan nilai αout yang menjadi pembatas. Jika komponen

dianggap tidak signifikan berdasarkan nilai αout yang telah ditentukan, maka komponen tersebut

akan dihilangkan dari model.

Reduksi model dapat dilakukan dengan bebagai cara. Tiga tipe reduksi model yang paling

mendasar yaitu:

a. Step-wise regression: kombinasi dari forward dan backward regressions. Komponen

ditambahkan, dihilangkan, atau diganti dalam setiap langkah reduksi model.

b. Backward elimination: komponen dihilangkan dalam setiap langkah reduksi model.

c. Forward selection: komponen ditambahkan dalam setiap langkah reduksi model.

Metode backward elimination dianggap sebagai pilihan yang terbaik dalam melakukan reduksi

model algoritma karena semua komponen dalam model akan diberikan kesempatan untuk

diikutkan di dalam model. Metode step-wise dan forward selection dilakukan dengan

menggunakan model inti minimal sehingga beberapa komponen tidak pernah diikutkan dalam

model.

Penggabungan beberapa ingridien atau bahan baku untuk menghasilkan suatu produk

pangan yang dapat dinikmati, dimana hasil akhir dari produk tersebut dipengaruhi oleh

presentasi atau proporsi relatif masing-masing ingridien yang ada di dalam formulasi.

Penggabungan beberapa ingridien di dalam mixture experiment bertujuan untuk melihat apakah

pencampuran dua komponen atau lebih tersebut dapat menghasilkan produk akhir dengan sifat

yang lebih diinginkan dibandingkan dengan penggunaan ingridien tunggalnya dalam

menghasilkan produk yang sama (Cornell 1990).

Terdapat relasi fungsional antar komponen penyusun dengan perubahan proporsi relatif

ingridien tersebut sehingga dapat menghasilkan produk dengan respon yang berbeda. Kombinasi

ingridien yang dipilih adalah kombinasi yang menghasilkan produk dengan respon yang

maksimal sesuai dengan yang diharapkan oleh perancang. Penggunaan mixture experiment

dalam merancang percobaan untuk memperoleh kombinasi yang optimal ini mampu menjawab

permasalahan jika dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error) dan biaya (Cornell

1990).