f rest · dan pasukan pramuka dari smk muhamadiyah sangasanga, tidak ketinggalan pula pada program...

102
SATU RIMBA BANYAK CERITA PERJALANAN MENEMUKAN GOA RIMPALA PARFUM DUPA DANAU TOBA Teknik Baru Memadamkan Kebakaran Gambut F rest D gest 13 oktober-desember 2019 forestdigest.com Rp 45.000,- Kisah-kisah praktik perhutanan sosial dari pelbagai daerah. Petani terbukti lebih lestari menjaga rimba.

Upload: others

Post on 07-Jan-2020

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SATU RIMBABANYAK CERITA

PERJALANAN MENEMUKAN GOA RIMPALA

PARFUM DUPA DANAU TOBA

Teknik Baru Memadamkan

Kebakaran Gambut

F rest D gest

13oktober-desember 2019

forestdigest.com

Rp 45.000,-

Kisah-kisah praktik perhutanan sosial dari pelbagai daerah. Petani terbukti lebih lestari menjaga rimba.

di kanal youtubeyang akan Anda sayangi

Nantikan

FDTV

s a l a m k et ua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4su r at . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6k u t i pa n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7a ng ka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7ka ba r r i m bawa n . . . . . . . . . . . . . . . 8pig u r a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0ka ba r ba ru . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 2r ag a m . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 5pe n e l i t ia n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 6kol om . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 8 , 7 8pe r ja l a na n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 4bu k u . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 0f oto g r a f i. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 8oase . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 8

bi n ta ng . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 6

daftaR isi

l a p or a n u ta m a — Hlm. 18

Perhutanan Sosial Sampai di ManaPerhutanan sosial sudah dipraktikkan masyarakat Indonesia bahkan sejak sebelum

merdeka. Tapi baru tahun 1980-an praktik-praktiknya tercatat setelah slogan “forest for people” jadi tema Kongres Kehutanan Sedunia pada 1978. Setelah itu, perhutanan sosial terpinggirkan karena akses mengelola hutan diberikan kepada korporasi. Sejarah baru perhutanan sosial menggeliat pada 2014, dengan alat baru di era digital. Sudah jadi solusikah mengurangi kemiskinan?

t e k nol o g i .......................................90

Teknik Baru Memadamkan Api Gambut

Kebakaran gambut seolah tak punya solusi selain hujan lebat. Seorang mahasiswa IPB berhasil membuktikan api gambut bisa dipadamkan dengan teknologi gel, dari jagung.

r e p ortase ........................................70

Perempuan Penjaga Burung Mbeliling

Para ibu berperan besar dalam menjaga kelestarian bentang alam Mbeliling di Nusa Tenggara Timur. Kawasan konservasi itu terjaga keragaman hayatinya.

prof i l ..................................................82

Leony AuroraBerkampanye tentang pentingnya

menjaga rimba bagi anak-anak muda di perkotaan.

Tasya Kamila

F rest D gest4 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

salam ketua

DUNIA tercengang oleh Greta Thunberg. Gadis 16 tahun asal Swedia ini hanya dalam waktu setahun bisa memprovokasi orang seluruh dunia, remaja seusianya, hingga orang-orang tua di kantor pusat PBB, untuk lebih peduli pada isu

pemanasan global. Media-media besar dan prestisius mengikuti anjurannya, setidaknya dalam pemakaian kosa kata.

Mengapa Greta lebih memukau dibanding, katakanlah, Leonardo di Caprio—seorang bintang Hollywood yang sudah lama konsen dengan isu lingkungan? Leo juga menjadi inspirasi banyak orang dengan kepeduliannya itu, tai tak mendorong begitu banyak orang mengikuti titahnya dengan turun dari ranjang, keluar dari kantor dan rumah, untuk ikut berdemonstrasi menuntut para kepala negara lebih peduli pada planet ini.

Dua edisi terakhir majalah ini membahasa Greta Thunberg. Pada edisi ini, Anda bisa membaca artikel yang meresensi bukunya yang baru terbit: No One is too Small to Make a Difference. Resensi itu membahas mengapa Greta menjadi bocah paling berpengaruh di dunia hari ini. Ada banyak alasan yang dikemukakan di sana.

Dari Greta memang kita bisa belajar banyak hal, juga mengingatkan akan banyak hal. Ide dan gagasan yang menggugah tidak datang karena usia. Kita tak boleh menolak ide berdasarkan kategori umur. Sebuah pepatah mengatakan bahwa andai pun mutiara itu keluar dari dubur ayam, ia tetaplah mutiara. Greta adalah mutiara isu perubahan iklim hari ini. Sebagai orang tua bahkan saya malu mendengar setiap pidatonya yang menggugah. Ia begitu visioner melihat masalah dengan memakai kacamata yang komprehensif.

Pelajaran lain adalah aksi-aksi Greta yang memobilisasi massa dalam jumlah yang banyak patut kita contoh hari-hari ini. Demonstrasi yang berhasil adalah demo yang membuat orang lain paham apa yang kita tuntut, tanpa kekerasan, bahkan demo menjadi semacam hiburan yang penuh kegembiraan.

Greta menginginkan perubahan paradigma. Ia berhasil karena membuat penduduk dunia melihat planet ini dengan cara berbeda. Suaranya didengar,

gagasannya menembus benteng birokrasi dan sekat-sekat negara. Apa yang disuarakannya sudah menjadi isu umum, tapi aksi-aksinya kian menyadarkan seluruh umat manusia untuk lebih serius menyelesaikan problem pemanasan global karena kita berpacu dengan waktu akan nasib kita, nasib planet ini.

Greta Thunberg adalah sebuah inspirasi.

Salam lestari.bambang supriyanto

Belajar dari Greta Thunberg

Greta Thunberg di New York @GretaThunberg

Forest stewardship CounCil (FsC) indonesia, tropiCal Forest Foundation (tFF), dan the nature ConservanCy (tnC) beri dukungan penuh kepada korindo group

JAKARTA – Guna menjalankan komitmennya untuk terus mengembangkan usaha di bidang sumber daya alam dengan prinsip keberlanjutan, Korindo menyelenggarakan kick-off meeting bertajuk “Korindo Group Menuju Sertifikasi FSC 2022”. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Pusat Korindo di Jakarta pada Kamis (25/7). Sejumlah organisasi pun turut hadir dan memberikan dukungan penuhnya, diantaranya Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia, Tropical Forest Foundation (TFF), dan The Nature Conservacy (TNC).

Kick-off meeting ini menjadi tonggak pembuka jalan untuk meningkatkan mutu pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman industri yang lestari di Indonesia. Pertemuan ini diresmikan oleh Mr. Kim Young Cheol, Direktur Eksekutif Korindo Group. Dalam sambutannya, Mr. Kim Young Cheol menyoroti keberadaan perusahaan lingkup Korindo selama 50 tahun di Indonesia dan harapannya di masa depan. “Untuk itu, kita harus mengu-bah mindset pengelolaan hutan.

Hutan harus dikelola dengan baik dan optimal dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Lestari secara produksi, secara sosial dan secara ekologi,” ujar Mr. Kim.

Pertemuan tersebut membahas pentingnya pengelolaan hutan sebagai sumber daya alam dengan tepat. Hartono Prabowo, Country Manager FSC Indonesia menekankan bahwa komoditas kayu menjadi bahan baku pilihan yang ramah lingkungan dibanding bahan baku lain seperti beton atau besi yang menghasilkan emisi. Oleh karena itu, tantangan terbesar saat ini adalah strategi pengelolaan hutan yang tepat

Wisma Korindo Jl. M.T. Haryono Kav.62 Jakarta 12780, Indonesia

agar tidak perlu menebang secara berlebihan namun tetap mampu memenuhi kebutuhan pasar.

“Kuncinya adalah bagaimana meningkatkan value hutan dan hasil hutan sehingga memberikan manfaat yang nyata bagi semua pihak. Sertifikasi menjadi salah satu alat untuk membantu meningkatkan kinerja itu,” papar Hartono di hadapan petinggi-petinggi Korindo Group.

Tentu saja, meraih sertifikasi bukan hal yang mudah. Timber Plantation Manager, Margono menyampaikan bahwa pemahaman PCI-FSC, pemenuhan dokumen hingga implementasi pengelolaan yang konsisten dan tepat serta komitmen perusahaan secara berkesinambungan dalam mendukung 4M (manpower, money, material, and method) untuk merealisasikan program Sertifikasi FSC 2022 menjadi tantangan tersendiri. Terlebih lagi harus berpacu dengan tenggat waktu yang ditentukan, yaitu selama 3 tahun untuk memenuhi target. Namun ia menyatakan keyakinan bahwa Korindo mampu melakukannya, selama ada kesatuan visi, kerja keras dan saling mendukung dalam pelaksanaannya di lapangan.

Korindo sendiri menargetkan

memperoleh sertifikasi FSC untuk enam unit manajemen pengelolaan, yaitu empat hutan alam dan dua hutan tanaman industri pada tahun 2022. Di kesempatan yang sama, Public Relation Manager Korindo Group Yulian Mohammad Riza menyampaikan bahwa Korindo adalah perusahaan yang senantiasa mematuhi peraturan pemerintah dalam menjalankan usahanya. Namun sebagai perusahaan di tingkat global, tentu sertifikasi internasional harus dipenuhi. “Sehingga kami sudah sepakat bekerja sama dengan FSC, demi memperbaiki sistem pengelolaan di Korindo,” ucap Yulian.

Kick-off meeting ini sekaligus menjadi wujud nyata dari pernyataan yang dikeluarkan Korindo Group belum lama ini yang menyatakan bahwa Korindo Korindo Group ingin membina hubungan yang konstruktif dan kolaboratif tidak hanya dengan pihak FSC, namun juga dengan para pemangku kepentingan dalam mewujudkan pengelolaan alam berkelanjutan. Salah satu bentuk yang dilakukan adalah dengan pemenuhan sertifikasi FSC. Ini menjadi bentuk keseriusan perusahaan untuk mengelola unit bisnisnya dengan mengikuti standar internasional. [pr]

KicK-Off Meeting SertifiKaSi fSc 2022:

Bukti Komitmen Korindo Mengelola Hutan yang Lestari

INFORIaL

F rest D gest6 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

penanggung jawabBambang Supriyanto

Ketua Umum Himpunan AlumniFakultas Kehutanan IPB

pemimpin umumGagan Gandara (non aktif)

pemimpin redaksiBagja Hidayat

sekretariat redaksi Drajad kurniadi

Dewan redaksiR. Eko Tjahjono

Librianna ArshantiSatrio Cahyo Nugroho

Kaka E. PrakasaFitri AndrianiMustofa FatoRobi Waldi

Fairuz GhaisaniWike Andiani

Mawardah Nur HRazi Aulia Rahman

Zahra FirdausiFirli Dikdayatama

Asep AyatRifki Fauzan

Asep Sugih SuntanaDewi Rahayu Purwa Ningrum

Hubungan usaha dan eksternalAtik Ratih Susanti

Aryani

DesainerDhandi Ega Ramadhan

Rahma Dany

DistribusiUnit Kesekretariatan DPP HA-E IPB

alamatSekretariat HA-E IPB,

Kampus Fakultas Kehutanan IPB,Jalan Lingkar Akademik Darmaga Bogor 16680

kontak (email)[email protected]

Forest Digest adalah majalah triwulanan yang diterbitkan Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Redaksi mengundang Anda menulis artikel dengan

panjang 4.000-8.000 karakter dengan spasi dan format Microsoft Word disertai foto penunjang.

sampul: Memilih kopi yang telah masak untuk menghasilkan kualitas kopi terbaik, Pangalengan,

Jawa Barat (Fotografer: Eko Tjahjono)

Tema Edisi 14 (Januari-Maret 2020): perlukah sertifikasi sektor kehutanan?

Kirim tulisan Anda seputar tema tersebut paling lambat pekan kedua Desember 2019.

Terima kasih, Forest DigestSaya mengucapkan terima kasih atas

hadiah atau sumbangan bahan pustaka untuk Perpustakaan Universitas Negeri Malang (UM) dan selanjutnya akan kami proses untuk disajikan kepada pengunjung perpustakaan UM. Bahan pustaka tersebut sangat bermanfaat bagi penambahan koleksi dan referensi di perpustakaan kami.

—Prof. Dr. Djoko Saryono, M.PdKepala UPT Perpustakaan Universitas

Negeri Malang

Saya Menyampaikan ucapan terima kasih atas kontribusi Majalah Forest Digest Edisi 12 dengan tema “Restorasi Ekosistem” sebanyak 3 (tiga) eksemplar dan majalah telah diterima dalam keadaan baik.

—Mardilan, S.PdUPT Perpustakaan Universitas Negeri

Yogyakarta

Terima kasih atas inspirasinya bagi kami dalam pengelolaan hutan.

[email protected]

Salam Lestari!Saya menyampaikan permohonan untuk

dapat berlangganan majalah Forest Digest. Maksud dan tujuan saya mengajukan permohonan ini yaitu saya berkeinginan untuk turut terlibat aktif menyediakan bahan bacaan yang kritis dan informatif terkait isu dunia kehutanan saat ini, baik itu secara umum atau khusus kepada para pembaca. Adapun sasaran pembaca yang saya tujukan yaitu para tamu dari komunitas, NGO, mahasiswa, dan pelajar yang berkunjung di kantor kami.

Demikian permohonan ini kami ajukan dan sebagai bahan pertimbangan oleh pihak majalah atau redaksi. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

—Farabby Asslam ParekeKantor Wildlife Protection Unit, Bogor

Majalah beberapa edisi telah dikirimkan ke Kantor Wildlife Protection Unit. Terima kasih

F rest D gest

surat

Tanam PohonPada hari Minggu, 25 Agustus 2019, 110 Warga Sangasanga, relawan LidungiHutan.com

dan pasukan pramuka dari SMK Muhamadiyah Sangasanga, tidak ketinggalan pula pada program penanaman Hutan Merdeka ini dihadiri oleh Camat Sangasanga, Lurah Sarijaya, kepolisian dan pejabat Koramil setempat turut melakukan gerakan penanaman 1.000 pohon ini demi memulihkan alamnya yang telah porak poranda akibat pertambangan batu bara yang berada di kawasan mereka, khususnya di wilayah Sarijaya.

Sebuah upaya yang dilakukan masyarakat Kelurahan Sarijaya berkolaborasi dengan yayasan Lindungihutan.com untuk memulihkan kembali lahan mangkrak bekas pertambangan. Sebuah kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan pertambangan ataupun pemerintah untuk mereklamasi lahan pasca kegiatan pertambangan sesuai jaminan reklamasi dan izin lingkungannya, namun sudah hampir 10 tahun lahan ini dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Kawasan ini juga menjadi zona merah atau wilayah kerja migas yang mana saat ini dipegang oleh Pertamina. Namun pihak-pihak terkait belum juga melakukan reklamasi, sudah 2 tahun ini reklamasi malah dilakukan oleh masyarakat setempat untuk mengantisipasi bencana alam yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan ini. Di wilayah bekas tambang batu bara garapan milik Primkoveri ini terhampar tanah bekas pertambangan yang kritis serta lubang galian yang sangat luas, sekitar 100 hektare total dari lahan konsesi pertambangan milik Primkoveri ini, yang masuk zona Merah sektor MiGas.

Masyarakat telah sadar betapa bahayanya kawasan ini jika dibiarkan begitu saja. Pada tahun 2016 lalu kawasan Sarijaya telah diterjang banjir besar yang disebabkan oleh jebolnya danau bekas galian tambang tersebut, hingga menyebabkan rumah-rumah terendam banjir dan jalan antara kelurahan tidak dapat dilalui.

Semoga apa yang dilakukan oleh masyarakat Sangasanga sejauh ini mendapat perhatian dari pihak luas Khususnya pemerintah untuk turut serta dalam perjuangan masyarakat Sangasanga memulihkan alam dan perekonomian kerakyatannya.

—Nugraha PradanaSanga-sanga, Kalimantan Timur

kutipan

angka

“Saya tak butuh Anda berharap. Saya ingin Anda panik karena rumah kita sedang terbakar.”

—Greta Thunberg, aktivis gerakan

mencegah pemanasan global asal Swedia

berusia 16.

“Ini semacam ironi luar biasa bahwa kekuatan utama mencegah bumi menuju bencana adalah masyarakat adat.”

—Noam Chomsky, 90 tahun, filsuf Amerika

Serikat.

F rest D gest 7o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest8 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

kabar rimbawan

SEBAGIAN besar kerusakan alam diakibatkan oleh ulah manusia. Hanya 25 persen akibat alam, seperti erupsi gunung atau gempa. Bencana lain selalu terkait dengan aktivitas manusia bertahan hidup hingga keserakahan menggali

sumber daya alam. Akibatnya, lingkungan jadi membahayakan bagi penghuni planet ini karena jadi tercemar.

Tumpahan minyak yang mencemari laut, pembuangan limbah sisa produksi pabrik dan rumah tangga ke sungai, atau sisa-sisa produksi teknologi modern yang mencemari lingkungan adalah serentet bencana akibat ulah manusia. Sejak Revolusi Industri dua abad lalu, suhu bumi naik 0,80 Celsius karena pemakaian energi tak terbarukan dan sampah yang mencemari lingkungan.

Para peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi coba mencari cara untuk mengatasinya. Lahirlah buku ini, Telaah Mendalam tentang

Bioremediasi, Teori dan Aplikasinya dalam upaya Konservasi Tanah dan Air. Pada 30 Agustus 2019 di Kampus Badan Litbang dan Inovasi (BLI) ada pembahasannya yang menghadirkan dua penulis dan penelaah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bioremediasi, menurut penulis buku ini, Asep Hidayat, memakai peran mikroba untuk mengurai limbah senyawa organik. “Bioremediasi adalah metode yang ramah lingkungan, murah, sederhana,” kata Asep. Biaya remediasi pada tumpahan minyak mentah hanya US$ 95 per meter kubik atau sepersepuluh lebih kecil dibanding metode pencucian. Meski sederhana, bioremediasi, kata Asep, menuntut ilmu multidisplin yang mencakup mikrobiologi, ilmu lingkungan, ilmu tanah, kimia analisis, geologis, dan arsitektur.

Dede Heri Yuli Yanto, peneliti Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, menilai buku ini berbeda dengan buku bioremediasi yang sudah ada. “Pembahasan yang cukup lengkap dengan menguraikan perspektif teori bioremediasi hingga aplikasinya di Indonesia,” kata dia. Hal yang perlu ditambahkan dalam buku ini atau menjadi buku lanjuta, kata dia, pengembangan

teknologinya. Profesor (Ris) Chairil Anwar Siregar,

penulis lain, mengatakan bahwa bioremediasi sangat aplikatif diterapkan. Tapi, sebelum itu, kata dia yang memberi pengantar dalam buku ini, manusia perlu sadar bahwa tindakannya bisa melukai lingkungan yang pemulihannya membutuhkan waktu, tenaga, biaya, ilmu, komitmen, yang tak sedikit.

Dede Heri menambahkan dengan satu cerita di Pekalongan, Jawa Tengah. Industri batik rumahan di sana membuang limbah ke selokan. Bagi penduduk di sana, sungai yang menghitam menunjukkan ekonomi sedang membaik karena pesanan batik melimpah. Tapi ketika mereka diminta memulihkannya, atau tak membuangnya ke sungai, ajakan itu ditolak. “Berbeda, misalnya, jika mereka diminta sumbangan untuk masjid,” kata dia.

Chairil menganjurkan para ustad dan penceramah agama memakai himbauan lingkungan dalam ceramah-ceramah mereka agar masyarakat lebih peduli terhadap aktivitas mereka yang berimbas pada derita lingkungan. Kesadaran tiap orang terhadap lingkungan mereka, kata dia, jauh lebih penting ketimbang memperbaikinya setelah rusak. —

Bioremediasi Solusi Menangani Pencemaran

SYAWALAN.Alumni Fakultas Kehutanan IPB menggelar syawalan dengan diskusi “Masa Depan Kehutanan Indonesia” di IPB International Convention Center, 6 Juli 2019

Sampah.Dua tentara sedang membersihkan sampah di anak sungai Citarum, Jawa Barat, 2018 Dok. Kodam Siliwangi

F rest D gest 9o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Pameran Industri Kreatif Hasil Hutan

Pelatihan Sertifikasi Hasil Hutan

cukup besar untuk dikembangkan oleh berbagai kalangan, baik skala kecil maupun besar. Harapannya, dengan acara ini masyarakat lebih bisa untuk mengoptimalkan pemanfaatan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu.

Pada hari pertama Fortex 10th diisi oleh presentasi produk kreatif hasil hutan dari empat perguruan tinggi, M. Yusuf Ersandy (IPB), Jovanka Fauzia (Univ. Trisakti), M. Fuadakbar Rahmatullah (Itenas), dan Aulia Murid Sasongko (IKJ). Wakil empat

SELAMA dua hari, 14-15 September 2019, berlangsung Forest Product Exhibition 10th (FORTEX 10th) di Mal Botani Square lantai dua dengan tema “Let’s Make a Masterpiece” oleh Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor. Acara ini berkolaborasi dengan jurusan terkait dari tiga perguruan tinggi di antaranya Desain Produk Universitas Trisakti, Desain Produk Institut Teknologi Nasional, dan Kriya Seni Institut Kesenian Jakarta, serta dengan komunitas penggiat hasil hutan Hobikayu dan Alur Bamboo.

Rektor IPB Arif Satria yang membuka pameran menerangkan selain memamerkan produk-produk inovatif dari hasil hutan, juga menunjukkan perspektif lain dari hasil hutan. Ia mengenalkan inovatif gitar laminasi bambu yang dibuat oleh mahasiswa Departemen Hasil Hutan IPB. Wakil Ketua Himasiltan Kevin Arian Sanjaya menjelaskan produk hasil hutan adalah produk yang memiliki potensi

perguruan tinggi itu menjelaskan produk unggulannya yang berpeluang besar untuk dikomersialisasikan.

Pada hari kedua berupa ada unjuk-bincang interaktif yang diisi oelh Edo Borne (aktor danKketua Hobikayu Jabodetabek), Khris Hartono (Ketua Hobikayu Bogor Raya), dan Rio Ardiansyah M. (alumni IPB dan Founder Let It Wood). Unjuk-bincang ini dimoderatori Ketua Himasiltan Pandu Andhika. — prilia nastiti

Pentingnya pelatihan bidang kehutanan saat ini didasari adanya kondisi sertifikat pengelolaan hutan lestari sudah menjadi persyaratan dari pemerintah, para pihak dan pasar. Jika perusahaan kayu ingin memperoleh kontrak atau order mesti

memiliki PHPL, VLK, SFM, CoC FSC, K3 dan SML. Pelatihan bidang kehutanan ini diselenggarakan atas kerja sama Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Bidang Usaha Kehutanan dengan,

Fakultas Kehutanan IPB, serta Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).

Pengelolaan hutan produksi lestari memerlukan peningkatan kemampuan sumber daya manusia baik lingkup pemerintah maupun perusahaan untuk mendukung pelaksanaan tugas sehari-hari dan memenuhi kebutuhan perusahaan. Beberapa instruktur/narasumber, antara lain: Thomas Hidayat Kurniawan, pelatih dan konsultan Sistem Manajemen ISO 17025, ISO 14001, SMK3, ISO 14001, OHSAS 18001, RSPO, ISPO, ISCC, SCCS. ISO 17025, ISO 22000), Ketum DPP HA-E IPB, Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, APHI,

APKINDO, FSC Indonesia, TFF, Lembaga Sertifikasi PHPL (PT Ayamaru), Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (PT BRIK), serta beberapa Pensiunan dan Dosen Fakultas Kehutanan IPB yang ahli di bidang RIL, SILIN, dan IHMB.

Pelatihan bidang kehutanan ini diselenggarakan selama lima hari pada tanggal 7-11 Oktober 2019 di Kampus Fakultas Kehutanan IPB. Selesai pelatihan diharapkan memahami cara menerapkan PHPL, VLK, SFM, CoC FSC, K3 dan SML, RIL, SILIN dan IHMB, sehingga berdampak terhadap perbaikan pengelolaan kawasan hutan.

—Drajad kurniadi

Fortex.Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB di pameran produk hasil hutan di Botani Square Bogor.

F rest D gest10 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

pigura

F rest D gest10 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

F rest D gest

pencari rotan.Masyarakat Batih Sembilan yang

berada di Hutan Harapan Jambi sedang mencari rotan dan dikumpulkan untuk

dijual ke pengepul di Jambi, 2014. Foto: asep ayat

F rest D gest 11j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

12 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9F rest D gest

kabar baru

SALAH satu yang mencuat dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang tengah digodok DPR adalah keberpihakan negara kepada korporasi besar dalam hal izin memanfaatkan lahan negara. “Hak guna usaha masih diprioritaskan

bagi elite pemilik modal besar,” demikian salah satu bunyi rekomendasi para guru besar Fakultas Kehutanan IPB dari hasil diskusi pada akhir Agustus 2019.

Menurut Didik Suharjito, guru besar IPB yang memimpin diskusi RUU Pertanahan itu, rekomendasi ini dibuat sebagai tindak lanjut diskusi para guru besar lintas universitas di Yogyakarta. Dalam diskusi itu para guru besar meminta pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU ini karena ada banyak hal yang tak sesuai dengan prinsip keadilan penggunaan lahan. “Rekomendasi

praktik spekulan tanah.Rancangan ini juga bertabrakan dengan

undang-undang dan aturan lain. Misalnya, soal “hak penguasaan tanah, oleh negara” yang diatur Pasal 3. Di sini diatur bahwa penguasaan tanah, ruang, dan kawasan merupakan kewenangan presiden yang bisa didelegasikan kepada menteri. Soalnya ada Ketetapan MPR IX/2001 yang mengatur pemisahan ketiga unsur itu. Penggabungan akan menabrak ketetapan ini karena aspek teknisnya tidak bisa didelegasikan kepada seorang menteri.

Hal lain soal pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan khususnya hak guna usaha kawasan hutan untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan dari segi ekonomi. Pasal 30 ayat (3) menyebutkan dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di kawasan hutan, pemberian Hak Guna Usaha dilakukan setelah pelepasan kawasan hutan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.

Sementara dalam Undang-Undang 41/1999 berdasarkan peruntukan saat pengajuan permohonan pelepasan kawasan hutan. Pada ayat(4):Tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan penggunaan dan pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri yang berimplikasi pada:

(1) Pelepasan kawasan hutan tidak mungkin dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tanpa dilakukan analisis peruntukan dan penggunaannya dan tanpa permohonan peruntukan, sehingga terjadi kerancuan dalam mekanisme pelepasan untuk HGU.

Sebaliknya, (2) apabila penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan diatur oleh Kementerian Agraria maka bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Lingkungan, hingga merusak sistem dan prosedur pemerintahan.

Hal penting lainnya adalah Rancangan ini bisa menimbulkan konflik sosial karena dalam perkebunan ada aturan soal penyediaan plasma yang direstui oleh korporasi. Negara tak hadir sebagai penengah sehingga konflik antar petani yang rebutan memasok plasma kepada perkebunan inti yang dibangun pengusaha akan sangat tinggi. —

RUU Pertanahan: Agenda Siapa? ini sudah kami kirim ke DPR,” kata Didik.

Salah satu wujud keberpihakan negara kepada korporasi dalam pengelolaan lahan berupa rencana pembentukan Bank Tanah, jika Rancangan ini disahkan DPR. Masalahnya adalah pembentukan Bank Tanah ini terkesan sekadar menjawab keluhan korporasi dan pemilik modal ketika mereka terhambat dalam membebaskan tanah untuk usaha mereka atau ketika hendak membangun infrastruktur.

Lebih rancu lagi adalah sumber pembiayaan Bank Tanah. Tidak saja berasal dari anggaran negara melalui APBN, sumber uang bank ini diizinkan dari penyertaan modal pemerintah, kerja sama pihak ketiga, pinjaman dan sumber lainnya. Artinya, korporasi bisa masuk menjadi pemodal bank tanah yang ironisnya bisa mencaplok simpanan tanah yang dimiliki bank ini. Sementara status tanah yang dikuasai Bank Tanah adalah milik negara.

Para guru besar IPB cemas bahwa pembentukan Bank Tanah akan memperparah ketimpangan akses masyarakat terhadap lahan, meruncingkan konflik sosial, dan melempangkan cara-

Tanah Timbul.Sawah tadah hujan di atas tanah timbul.Foto: M. Asyief Khasan Budiman

F rest D gest 13o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

PRESIDEN Joko Widodo kembali mengulang rencana memindahkan Ibu Kota ke luar Jakarta. Kali ini lebih serius karena sudah resmi dinyatakan dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2019 di hadapan anggota DPR dan MPR. Presiden

meminta restu lembaga perwakilan memindahkan pusat pemerintahan ke luar pulau Jawa.

Dari semua pilihan lokasi baru Ibu Kota yang dikaji Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jokowi agaknya lebih sreg memilih pulau Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Penajam dan Kutai Kartangera di Kalimantan Timur. Menteri Negara Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengatakan lokasi ibu kota baru itu berada di lahan-lahan milik negara untuk mencegah spekulan tanah mendapatkan untung dari kenaikan harga tanah akibat rencana pemindahan ini.

Masalahnya, urusan pemindahan Ibu Kota tak semata soal spekulan. Sebab spekulan tetap akan bekerja karena ada banyak lahan untuk permukiman nonpemerintah yang akan dibangun bukan melalui anggaran negara dan di luar kawasan lahan negara. Seperti dilaporkan para kontributor di dua kabupaten itu, para spekulan dari Jakarta kini sudah datang ke sana membawa peta, menjajakan lahan-lahan di dua kabupaten itu untuk dijual.

Menteri Sofyan menjamin pembukaan kota baru tak akan membuka hutan dalam jumlah yang banyak. “Luas Ibu Kota itu paling-paling 300.000 hektare, sementara hutan di Kalimantan sangat luas,” katanya. “Bisa saja konsepnya di tengah-tengah natural park yang didesain oleh konsultan berkualifikasi internasional.”

Jika luas yang disebut Menteri Sofyan itu benar, maka luas Ibu Kota baru hampir lima kali lipat Jakarta. Kota Jakarta yang terbagi dalam lima wilayah ini seluas 66.150 hektare dengan jumlah

Menimbang Ibu Kota di Kalimantan

penduduk hampir 10 juta jiwa pada 2018.Kalimantan adalah pulau seluas 74 juta

hektare dengan 52 persen kawasannya berhutan atau sekitar 40,8 juta hektare. Dari jumlah itu sebanyak 5,7 juta hektare (28% dari total keseluruhan di Indonesia) adalah kawasan gambut—hutan biomassa yang terbentuk berabad-abad di sebuah cekungan berair. Kalimantan Timur luasnya 12,7 juta hektare dengan kawasan berhutan 8,2 juta hektare dan luas lahan gambut 700 ribu hektare.

Menurut Bambang Setiadi, mantan Ketua Himpunan Gambut Indonesia, tak ada referensi di dunia sebuah kota besar—apalagi ibu kota negara—berada di atas lahan gambut. Referensi sebuah kota berada di atas lahan gambut adalah Wegeningen di Belanda atau Finlandia. Tapi gambut di Wegeningen atau Finlandia merupakan gambut empat musim berupa lumut, bukan serasah dan berkayu seperti gambut tropis yang ada di Kalimantan. Karena serasah itu, gambut di Indonesia menyimpan panas karena itu mudah terbakar.

Gambut tak boleh kering karena meletikkan api jika musim kemarau. Ia harus senantiasa basah untuk mengimbangi suhu kering di atasnya. Kegagalan sawah 1 juta hektare Orde Baru adalah membuat kanal yang tujuan awalnya mengalirkan air dari dua sungai besar agar gambut untuk padi itu tetap basah, namun yang terjadi adalah kanal lebih dari 100 kilometer itu menjadi jalan keluar air dari dalam kawasan gambut. Akibatnya lahan gambut menjadi kering dan pada 1997-1998, ketika El Nino, kawasan ini terbakar hebat menghasilkan

gas rumah kaca tak sedikit.Dengan kondisi lahan gambut seperti

itu, pemerintah agaknya perlu hati-hati membangun sebuah kota besar yang baru yang bisa menyedot permukiman baru dalam jumlah masif. Pemindahan tak bisa ditebus dengan kerusakan alam yang dahsyat mengingat Indonesia satu-satunya kawasan tropis yang bertahan, setelah Brasil dan Bolivia yang membiarkan degradasi hutannya kian luas.

Tak hanya soal hitung-hitungan ekonomi dan sosial sebagai efek ganda pemindahan ibu kota, melainkan—ini faktor paling penting—dampak ekologis dari rencana itu. Dalam kajian Bappenas maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tak terlihat kajian komprehensif yang menyangkut soal lingkungan, mengenai daya dukung maupun untung-rugi kerusakan ekosistem jika ibu kota benar-benar telah pindah dan operasional pemerintahan telah berjalan.

Ibu kota baru mesti dirancang dengan memperhatikan drainase dan menghitung secara cermat dampak terhadap kawasan hutan terutama gambut. Banjir besar di Kalimantan Timur dan Tengah yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan pengaruh degradasi hutan gambut memicu bencana alam di daratan.

Sebagai wilayah di khatulistiwa, curah hujan di Kalimantan pada Oktober -April sangat tinggi. Tapi curah hujan itu kini memicu banjir karena air tak lagi diserap oleh hutan gambut yang rusak akibat kebakaran atau pembukaan lahan, di luar alih fungsi kawasan hutan di hulu oleh industri ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan. —

F rest D gest14 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

kabar baru

ANAK-anak muda yang tergabung dalam “Hutan itu Indonesia” membagikan 30.000 masker secara gratis di tujuh stasiun transportasi publik selama tiga hari sejak 26 Agustus 2019. Masker itu bertuliskan “Hutanku Napasku”.

“Tujuan kampanye ini untuk mengajak anak muda menyadari pentingnya hutan yang menyediakan udara bersih untuk Indonesia,” kata Riry Silalahi, Koordinator Kampanye Hutan itu Indonesia pada 25 Agustus 2019.

Ada puluhan sukarelawan yang membagikan masker “Hutanku Napasku” di stasiun kereta komuter Depok, Bekasi, Palmerah, Sudimara, dan Manggarai, plus

dengan mengunggah foto atau video kreatif mereka dengan memakai masker tersebut di Instagram atau Twitter. Dengan mencantumkan tanda pagar #HutankuNapasku, #HutanituIndonesia #JagaHutan, mengikuti, menandai akun @HutanituID, dan mengajak tiga teman lain. Mereka yang mengikuti tata cara ini secara otomatis berhak mengikuti kompetisi media sosial.

“Enam orang dengan foto atau video dan keterangan yang paling keren akan kami ajak jalan-jalan gratis ke hutan di bulan September,” kata Riry.

“Anak muda perlu bersuara dan menunjukkan kepedulian kita akan hutan Indonesia,” ujar Astrid, penyanyi yang sejak 2016 mendukung gerakan Hutan itu Indonesia, termasuk berpartisipasi dalam video Hutanku Napasku. “Hutanlah yang membuat rumah kita bersama ini segar dan nyaman. Tanpa hutan, kita tidak bisa menghirup udara bersih.”

Riry menambahkan kendati tidak mendapatkan masker khusus gratis dari Hutan itu Indonesia, semua orang tetap bisa turut berpartisipasi dalam kampanye ini dengan membuat masker Hutanku Napasku sendiri. Foto atau video kreatif dengan masker buatan sendiri juga bisa diikutsertakan dalam kompetisi media sosial Hutanku Napasku.

Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terluas di dunia, yang merupakan rumah beragam flora dan fauna yang menjadikan negeri kita salah satu yang terkaya keanekaragaman hayatinya di dunia. Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2019 menandatangani peraturan yang melarang dikeluarkannya izin baru untuk membuka lahan di hutan primer dan lahan gambut sebagai bentuk perlindungan hutan.

“Kami mengusulkan hari ditandatanganinya peraturan ini diresmikan sebagai Hari Hutan Indonesia, supaya kita punya satu hari khusus setiap tahun untuk merayakan kekayaan milik kita bersama ini,” kata Andre Christian, Ketua Hutan itu Indonesia.

Hingga kini, lebih dari 1,4 juta orang telah menandatangani petisi mendukung ditetapkannya Hari Hutan Indonesia. —

Masker untuk Mengingat dan Menjaga Hutan

stasiun moda raya terpadu (MRT) Jakarta Lebak Bulus dan stasiun kereta ringan Velodrome. Menurut Riry, pembagian akan dilaksanakan pada jam 06.00-09.00 WIB dan 16.00-19.00 WIB.

Para sukarelawan membagikan masker itu kepada para penumpang transportasi publik. Dari pantauan di stasiun Palmerah, mereka yang meminta masker kain ini umumnya meminta lebih dari satu.

Menurut Riry, pembagian masker juga bekerja sama dengan dua universitas terkemuka di Indonesia. Pada 17 Agustus 2019, Hutan itu Indonesia telah mem-bagikan 2.000 masker kepada mahasiswa baru di Univeritas Katolik Atma Jaya dan tanggal 23 Agustus 2019 membagikan masker untuk 8.000 mahasiswa baru di kampus Universitas Indonesia, Depok.

Para pemakai masker juga bisa mengikuti kompetisi media sosial

Masker.Pembagian masker di stasiun LRT Velodrome, Jakarta.

F rest D gest 15o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

ragam

SUDAH lama para ahli menelisik hubungan alam yang lestari dengan tingkat kejahatan. Jika sinrin-yoku atau secara natural alam memberikan ketenangan dan mereduksi stres, seharusnya ia berpengaruh pada tingkat kejahatan—jika

kejahatan dianggap selalu berhubungan dengan cara manusia bertahan hidup yang menyebabkan kegelisahan dan tekanan mental.

Studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal PNAS menyebutkan ada korelasi positif antara kota yang hijau dengan tingkat kejahatan. Kota yang hijau dengan banyak taman telah menurunkan tingkat kejahatan sebanyak 10 persen, menurunkan kekerasan dengan senjata api hingga 17 persen, dan sebanyak 75 persen masyarakatnya merasa aman bepergian ke luar rumah.

Semakin banyak taman di sebuah kota, tingkat kejahatan menurun dibanding kota yang lebih sedikit memiliki taman. Masyarakat juga cenderung lebih berbahagia karena lebih sering berada di udara terbuka, terutama taman-taman yang rindang dan teduh.

Masyarakat yang tinggal di kota-kota dengan jumlah taman publik yang luas dan banyak, juga punya tingkat stres yang sedikit. Hijau daun, udara yang bersih, berpengaruh secara langsung pada tingkat stres dan kegelisahan. Dengan begitu, tingkat kejahatan akibat persaingan dan gerak gegas perkotaan menjadi berkurang.

Studi ini memang meneliti kota-kota di Amerika terhadap jumlah kejahatan antara tahun 1990-2007. Tapi, agaknya, bisa berlaku di kota mana pun. Kota yang gersang cenderung meningkatkan stres dan mendorong penduduknya berbuat jahat: merampok, membegal, menodong, memeras, hingga penculikan.

Taman Kota Mengurangi Kejahatan

Udara Jakarta akhir-akhir ini mencatat rekor terburuk dengan kategori sangat tidak sehat. Dengan membandingkan grafik kualitas udara Jakarta dan tingkat kejahatan pada semester pertama 2019 ternyata berbanding lurus. Semakin buruk udara Jakarta, kejahatan perkotaan juga meningkat. Menurut polisi, di Jakarta kejahatan terjadi tiap 16 menit 27 detik dan ada 9 kejadian pencurian setiap hari.

Pada 2019, kejahatan naik cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, di Jakarta Barat, para pelaku lebih banyak anak-anak dan memakai narkotika. Belum ada penelitian untuk menelisik korelasi antara keberingasan anak-anak dengan polusi udara yang mereka hirup sehari-hari.

Jumlah itu pun, Jakarta bukan provinsi dengan jumlah kejahatan terbanyak. Ia hanya menempati urutan kedua. Nomor satu adalah Sumatera Utara. Menurut Badan Pusat Statistik (2018), jumlah kejahatan di provinsi ini hampir 40.000 per tahun atau 109 kejahatan tiap hari. Meski pun tidak ada pembanding antara tingkat kejahatan dan jumlah taman kota secara spesifik, agaknya taman turut berpengaruh terhadap tingkat keamanan.

Sebab taman kota berperan menyerap polusi udara. Tingkat polusi yang tinggi di Jakarta akibat tak kunjung bertambahnya taman-taman kota. Ruang terbuka hijau di Ibu Kota masih 14,9 persen sejak beberapa tahun terakhir—atau separuh syarat ruang terbuka hijau dibanding luas Jakarta yang menapai 66 ribu hektare. Itu pun hampir separuh disumbang oleh swasta.

Kurangnya ruang terbuka hijau, sementara pembangunan digenjot membuat udara Jakarta berada dalam kategori sangat tidak sehat bagi penduduknya.

Data dari Kepolisian Metro Jakarta, jumlah pencurian dengan pemberatan pada periode 1-15 Mei 2019 sebanyak 226 kejadian, naik 26 kasus dibanding periode bulan sebelumnya. Pencurian dengan kekerasan pada periode Mei sebanyak 44 kasus, naik tujuh kasus dibanding periode bulan sebelumnya.

Adapun indeks kualitas udara Jakarta turun setiap hari. Secara tahunan kualitas udara Jakarta memburuk dibanding 2018. Pada 2019, konsentrasi partikel PM 2,5 atau lebih kecil dari 2,5 mikrometer sebesar 57,88 mikrogram per meter kubik, lebih tinggi pada 2018 sebesar 42,42 mikrogram. Saking halus, partikel ini sanggup menembus masker dan sulit disaring oleh bulu hidung, sehingga besar kemungkinan menyusup sampai paru-paru dalam jumlah besar.

Udara Jakarta bahkan memburuk saat Lebaran 2019. Padahal “Jakarta sunyi sekali di malam hari” saat Hari Raya Idul Fitri karena kendaraan sebagai salah satu sumber polusi berkurang akibat mudik. Buruknya udara ketika tak ada kendaraan dan aktivitas manusia, menunjukkan konsentrat dan partikel bebas yang dibuang selama sebelum Lebaran turun ke permukaan tanah ketika udara bersih. —

sejuk.Taman kota Palembang, Sumatera Selatan.foto: Bagja hidayat

F rest D gest16 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9F rest D gest

ragam

PARA peneliti sudah lama menyimpulkan semakin tinggi penghasilan seseorang, karena itu semakin besar pula pengeluarannya, produksi emisinya juga akan mengikuti. Emisi adalah gas buangan dari aktivitas benda hidup berupa gas-gas yang menimbulkan

efek gas rumah kaca jika terakumulasi dalam jumlah yang banyak.

Bernapas, duduk, berolahraga, perjalanan ke kantor, adalah aktivitas-aktivitas yang membakar energi dan menghasilkan emisi. Seorang mahasiswa IPB meneliti produksi emisi tiap orang berdasarkan profesinya pada 2017. Alat ukurnya pemakaian listrik, gas, kebutuhan energi untuk kendaraan, sampah yang diproduksi tiap orang, dan jumlah napas.

Kesimpulannya, pengusaha paling banyak memproduksi emisi, yakni sebanyak 6,6 ton setara CO2/tahun. Pegawai negeri sipil menempati urutan kedua sebanyak 4,45 ton setara CO2 per

Pengusaha Paling Banyak Memproduksi Emisi

orang per tahun, mengalahkan para profesional yang hanya memproduksi emisi 4 ton CO2/orang/tahun.

Produksi emisi terbesar para pengusaha untuk gas sebanyak 3,6 ton/kapita/tahun. Sementara PNS lebih banyak menghasil-kan emisi dari kendaraan sebanyak 2,4 ton CO2/kapita/tahun, mengalahkan mobilitas para pengusaha dan profesional yang hanya 1,8-1,9 ton/kapita/tahun.

Kesimpulan ini juga sejalan dengan kesimpulan lain bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin banyak pula emisi yang diproduksinya. Pada kelompok masyarakat yang penghasilannya di atas Rp 5 juta sebulan, emisi yang diproduksinya 5,3 ton CO2/kapita/tahun atau dua kali lipat dari masyarakat berpenghasilan Rp 2,5 juta sebulan.

Emisi yang diproduksi tiap penduduk Jakarta kian bertambah seiring kenaikan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesa-daran penduduk pada pemanasan global. Jika emisi di Jakarta antara 2005-2010 naik 1,1 ton CO2/kapita/tahun, pada periode yang sama emisi yang dihasilkan pen-

duduk London justru turun 0,7 ton/kapita/tahun menjadi 5,43 ton/kapita/tahun.

Pada kurun waktu itu, pemerintah Kota London memang punya kegiatan kolaboratif antara pemerintah dan dunia usaha dalam menurunkan produksi emisi. Selama lima tahun tercatat penurunan emisi sebanyak 34 persen dengan cara peralihan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dari energi fosil ke listrik, gas, angin, dan matahari.

Jumlah produksi emisi ini terbalik jika membandingkannya dengan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita Jakarta pada 2010 hanya US$ 9.984 sementara London US$ 55.947. Kendati pendapatan per kapita berbeda hampir 5 kali lipat ini produksi emisi kedua negara hampir sama.

Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca itu, perlu penyerap yang efektif di sekujur Ibu Kota. Pemerintah Jakarta perlu menambah terus ruang terbuka hijau atau melakukan penanaman pohon penyerap emisi agar lebih banyak menyerap polusi, selain mengubah energi fosil untuk kendaraan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Menurut catatan Air Visual, indeks udara Jakarta sudah sangat tidak sehat. Baru-baru ini pemerintah Jakarta hendak membagikan tanaman lidah mertua yang diklaim bisa menyerap hingga lebih dari 100 polutan.

Berapa investasi untuk menyerap emisi memakai dua pohon ini? Jika 1 ton CO2/kapita/tahun dibutuhkan lahan seluas 300.000 hektare, maka biaya yang diperlukan untuk agroforestri karet dan trembesi sebanyak Rp 30,2 triliun selama 25 tahun atau Rp 4,8 triliun/tahun. Jika dibagi dengan sekitar 9 juta penduduk Jakarta, tiap orang mesti berinvestasi sekitar Rp 400 ribu hingga Rp 577 ribu setahun untuk menetralkan emisi yang mereka produksi. —

Profesi Jumlah emisi (ton CO

2e/orang/

tahunPengusaha 6,6Pegawai negeri sipil 4,4Profesional 4,0Karyawan/Buruh 3,5Mahasiswa 2,9Ibu rumah tangga 2,2

Sumber: Fakultas Kehutanan IPB (2017)

F rest D gest 17o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Hutan untuk Pemulihan Kesehatan

SELAIN sumber memenuhi kebutuhan hidup, hutan juga bermanfaat bagi kesehatan manusia. Hutan menyimpan berbagai tanaman yang dapat digunakan sebagai obat-obatan untuk penyembuhan dari segala penyakit. Hutan

sesungguhnya hampir seperti rumah sakit. Hutan dapat menjadi tempat untuk proses penyembuhan atau pemulihan kesehatan manusia menjadi lebih baik. Dengan hanya mengunjungi hutan, kita memperoleh manfaat kesehatan.

Di Jepang ada istilah shinrin-yoku, yang diterjemahkan menjadi “mandi hutan” atau healing forest. Heal merupakan kon-sep yang tidak hanya menyembuhkan luka atau penyakit, melainkan juga sembuh secara raga, pikiran, dan jiwa. Dengan hanya berjalan kaki maupun duduk tenang, yoga, meditasi, berkemah, piknik, meminum teh atau kopi bersama, dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan untuk upaya pemulihan kesehatan di dalam hutan. apa negara di Eropa.

Kriteria healing forest masih belum banyak dikaji oleh akademisi maupun praktisi. Menurut Dr. Qing Li, seorang pakar ahli dalam forest bathing, mandi di hutan ini adalah kita memasuki kawasan hutan kemudian membiarkan hutan terhubung dengan semua indra kita seperti indra penciuman, pengecap, penglihatan, pendengaran, perabaan, dan gerakan.

Berdasarkan indera-indera tersebut, menurut Li, kriteria healing forest antara lain kondisi mikroklimat yang nyaman, tingkat kebisingan yang rendah, kelerengan yang datar, pemandangan indah, kerapatan pohon, dan jenis vegetasi. Karena itu penting menjaga hutan karena ia akan menyembuhkan jiwa dan raga kita. — Megatrikania Kendali

F rest D gest18 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

F rest D gest18 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest 19o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Perhutanan Sosial

Perhutanan sosial memasuki fase ketiga: menjadi solusi konflik

dan tercapai kelestarian ekologi. Prinsip dasarnya adalah mengubah orientasi pemberian akses terhadap hutan, dari paradigma bisnis

perhutanan sosial masih tertatih-tatih sebagai andalan mengentaskan kemiskinan dan menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil:

hanya mengejar target realisasi pemberian izin, prinsip pelibatan masyarakat yang belum ajek, hingga lambatnya mesin birokrasi

yang belum simultan mendorong tercapainya tiga tujuan itu.

rimba secara berkelanjutan. Dengan targetnya seluas 13,8 juta hektare,

kepada korporasi selama 1970-2000, menjadi orientasi kepada masyarakat yang secara empiris terbukti lebih mampu menjaga

tenurial, meningkatkan taraf hidup petani di sekitar hutan,

petani kopi hutan.Kopi menjadi penopang kehidupan masyarakat Selangit - Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.

Pola kelola hutan bersama masyarakat di wilayah KPH Lakitan, menjadi harapan bagi masa depan perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

foto: Eko Tjahjono

F rest D gest 19o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest20 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

SEBAGAI mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, saya mendengar istilah perhutanan sosial sejak memasuki semester III, ketika penjurusan setelah setahun menempuh mata kuliah umum di tingkat satu. Istilah itu diambil dan diterjemahkan dari “social forestry”

yang jamak dipakai para peneliti untuk menyebut praktik masyarakat sekitar hutan mengelola rimba sebagai sumber hidup mereka.

Kehutanan Masyarakat bahkan menjadi mata kuliah yang mengulas praktik-praktik perhutanan sosial oleh penduduk sekitar hutan. Slogan “forest for people” kami akrabi sebagai ide dasar Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta pada 1978. “People” dalam istilah itu kami pahami sebagai “masyarakat”, orang banyak yang hidup di dalam dan sekitar hutan, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri—bukan perusahaan atau korporasi besar.

Masalahnya, pada 1990-an, masih sedikit praktik perhutanan sosial, meski mungkin secara konsep banyak yang menerapkannya seperti yang kita kenal sekarang. Salah satunya repong (kebun) damar di Krui, Lampung Barat. Di kaki Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, masyarakat sejak sebelum merdeka secara turun temurun membudidayakan damar mata kucing (Shorea javanica) sebagai pohon hutan untuk diambil getahnya, seraya menanam pelbagai tanaman di bawahnya—cabai, lada, hingga buah-buahan.

Penduduk memanen getah setiap dua hari, sekitar 4-5 kilogram per pohon. Sebelum krisis ekonomi 1998, harga 1 kilogram damar setara beras, sekitar Rp 3.000 rupiah. Ketika krisis ekonomi, yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat jatuh, harga damar ikut terkerek menjadi Rp 12.000 per kilogram. Sewaktu saya ke sana pada 1998, penduduk seperti mendapatkan bonanza akibat kenaikan harga damar itu.

“Berkah” rupiah anjlok itu karena damar adalah komoditas ekspor untuk bahan baku cat, vernis, terpentin, kosmetik. Waktu itu negara-negara ke Eropa dan Amerika menjadi konsumen terbesar damar mata kucing. Disebut “mata kucing”

karena getah damar jenis ini mengkilap ketika tersorot cahaya. Shorea javanica adalah damar endemik Bukit Barisan Selatan yang memanjang di sekujur Sumatera hingga berakhir di dekat Selat Sunda.

Ketika saya datang ke sana, ada anekdot di masyarakat bahwa mereka lebih senang Indonesia dalam keadaan krisis. Sewaktu saya datang untuk penelitian, begitu mengetahui kami mahasiswa IPB, pertanyaan mereka seragam: “Kok tidak demo lagi?” Pertanyaan itu merujuk pada demonstrasi mahasiswa di Jakarta yang membuat ekonomi goyah sehingga rupiah kian tertekan. Anekdot itu sekadar canda di tengah wawancara.

Bonanza itu terlihat dari perabotan luks

di tiap rumah. Dari Ngaras di Pesisir Barat hingga Malaya di Pesisir Selatan dekat Bengkulu, rumah-rumah kayu umumnya punya parabola. Waktu itu siaran televisi nasional tak terlalu bagus tertangkap di Krui. Siaran televisi di sini adalah televisi Australia yang tertangkap antena parabola. Di beberapa kampung yang belum teraliri listrik, penduduk bahkan membeli kulkas yang difungsikan sebagai lemari pakaian.

Dengan melonjaknya harga damar itu, komoditas ini sangat berpengaruh pada ekonomi wilayah Lampung Barat—kini tiap-tiap kecamatan itu sudah memekarkan diri. Dibandingkan komoditas lain yang menjadi andalan penghasilan rumah tangga, indeks koefesien lokasi damar sangat jauh

laporan utama

F rest D gest 21o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

melampaui pesaing terdekatnya, yakni kopi dan lada. Damar mata kucing telah menyelamatkan hidup orang Krui dari deraan krisis ekonomi 1998. Dalam pelbagai jurnal dan prosiding, damar mata kucing disebut sebagai contoh terbaik sistem agroforestri.

Masalahnya, penduduk bertarung sendiri membudidayakan damar. Para pendamping yang datang ke sana umumnya dari organisasi penelitian, LSM, kampus, dan lembaga donor. Mereka mengajari penduduk ilmu agroforestri agar tanamannya berkelanjutan. Akibatnya, dukungan terhadap komoditasnya lemah. Petani tak bisa menghindari tengkulak yang memberikan harga lebih rendah dibanding harga di Pelabuhan Panjang,

tempat pengiriman damar ke luar negeri.Pemerintah daerah maupun pusat belum

jauh terlibat menjadi pendamping petani untuk mengajari mereka berorganisasi, mengelola damar dan tanaman lain agar punya nilai tambah, hingga mengawal rantai distribusinya yang panjang. Bahkan data-data produksi dan volume damar serta komoditas lain dalam repong terlalu minim kecuali dimampatkan menjadi komoditas tunggal hasil perkebunan.

Era sebelum 2000 adalah zaman ketika paradigma mengelola hutan masih

bertumpu pada kayu. Hutan dianggap semata kayu yang bisa menumbuhkan ekonomi. Pembangunanisme menganggap hutan bisa dieksploitasi dengan sebanyak mungkin mengambil kayunya yang didelegasikan kepada industri kehutanan untuk mendapatkan efek ganda ekonomi setelahnya: tenaga kerja, pajak, infrastruktur. Setidaknya 34 juta hektare hutan menjadi HPH dan HTI.

Sejarah membuktikan degradasi dan deforestasi malah naik. Manajemen hutan tak diterapkan secara berkelanjutan sehingga hutan meranggas setelah izin konsesi habis. Konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar hutan, antara negara dan masyarakat, atau antar masyarakat sendiri, meletup tak kunjung bisa dihentikan. Hasilnya adalah tragedi ekonomi dan kemanusiaan.

Survei Ekonomi Nasional pada 2002 menunjukkan persentase orang miskin di sekitar hutan jauh lebih banyak ketimbang rasio orang miskin di perkotaan. Efek pengganda ekonomi berbasis kayu untuk menghidupkan ekonomi melalui industrialisasi tak berdampak pada masyarakat di sekitarnya. Pada 2004, menurut Center for International Forestry Research, 48,8 juta orang tinggal di hutan negara, sekitar seperempatnya adalah penduduk miskin. Sebanyak 20 juta orang tinggal di dekat hutan dengan 30% di antaranya mengandalkan hidup dari kawasan hutan.

Data Badan Pusat Statistik lebih mencengangkan lagi. Setelah hutan ditetapkan seluas 126 juta hektare di sekujur Indonesia, ada 25.856 desa di sekitar hutan yang 36,7% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Pendeknya, hutan hujan tropis Indonesia yang menyimpan kekayaan setelah Amazon tak berdampak bagi hidup masyarakat kecil.

Reformasi 1998 mengubah banyak hal meski pelan dan lambat. Paradigma mengelola hutan berubah dari berorientasi kayu menjadi bertumpu pada ekosistem. Hutan tak lagi dipandang semata kayu tapi sebuah ekosistem yang tiap unsur-unsurnya memiliki nilai ekologi dan ekonomi. Namun, lagi-lagi, paradigma ekosistem itu belum memasukkan unsur manusia sebagai aktor utama pelestari ekologi.

Baru pada 2007, soal ini disinggung

Rotasi tebang.Rotasi tebangan pada tata kelola hutan rakyat di Boyolali, Jawa Tengah.Foto: R. Eko Tjahjono

F rest D gest22 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

dengan munculnya aturan hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat—sesuatu yang sudah lama dipraktikkan orang Krui di Lampung Barat dengan kearifan menjaga rimba yang turun-temurun. Masyarakat diizinkan menanam kayu di lahan-lahan hutan, seperti dulu negara memberikan izin kepada perusahaan lewat HTI. “Tapi waktu itu belum fokus pada pengembangan ekonomi produktif masyarakat sekitar hutan,” kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto.

Dengan kata lain, penduduk sekitar hutan belum mendapatkan porsi cukup mengakses kawasan hutan untuk jadi sumber hidup mereka. Dengan dalih otonomi daerah yang mulai berjalan pada 2001, pemerintah pusat mendelegasikan pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan dalam mengelola kawasan kepada pemerintah daerah. Akibatnya, legalisasi pengelolaan hutan kepada masyarakat berjalan sangat pelan karena ketiadaan

paradigma oleh pejabat-pejabatnya.Dalam periode 2007-2014, realisasi

pemberian izin kepada masyarakat mengelola hutan hanya 400.000 hektare, tanpa pencadangan kawasan hutan, tanpa strategi secara nasional. Pendeknya, paradigma yang berubah terhadap hutan belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Masyarakat masih disebut “perambah” karena masuk ke kawasan hutan negara sangat terlarang. “Dukungan politik masih setengah hati,” kata Direktur Penyiapan Kawasan Areal Perhutanan Sosial Erna Rosdiana, yang sejak tahun 1990-an mengurusi tema ini.

Erna menyebut fase 2007-2014 sebagai fase ketiga perhutanan sosial. Fase kedua terjadi pada 1998-2007 itu, berupa konsep bahwa perhutanan sosial cara tepat mengelola hutan lestari, meskipun praktiknya centang perenang, tanpa dukungan aturan yang kuat. Pelibatan masyarakat hanya sebatas pada rehabilitasi lahan, belum menyentuh aspek pemberdayaan secara menyeluruh.

Sejarah meletik pada 2012, ketika

Mahkamah Konstitusi menetapkan hutan adat bukan hutan negara. Perubahan ini amat penting mengingat, dalam paradigma industrialisasi, masyarakat adat acap menjadi korban pertama dalam pembangunan kehutanan. Setelah putusan itu, hutan adat menjadi terpisah dari hutan negara dan hutan hak.

Agaknya, perkembangan-perkembangan baru dalam pengelolaan hutan mendorong aktor politik menempatkan masyarakat vis-à-vis sektor kehutanan lebih sentral. Dengan mengusung Nawacita, Joko Widodo menempatkan perhutanan sosial sebagai strateginya mengentaskan kemiskinan setelah terpilih menjadi presiden pada 2014. Ia mengubah nomenklatur Departemen Kehutanan dengan menggabungkannya dengan lingkungan hidup.

Sejak itu, perhutanan sosial punya

laporan utama

Damar mata kucingPara petani di Desa Rawas, Krui, Lampung, sedang memanen getah damar mata kucing. Foto: Indra Pradya/duniaindra.com

F rest D gest 23o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

direktorat jenderal sendiri. Bambang Supriyanto adalah direktur jenderal kedua yang mengurusi soal ini, setelah Hadi Daryanto.

Targetnya pun tak main-main. Pemerintah mencadangkan 12,7 juta hektare hutan negara untuk perhutanan sosial dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019. Alokasi ini 10% dari kawasan hutan atau hanya sepertiga dari luas yang diberikan kepada korporasi.

Menurut Bambang Surpriyanto, semangat perhutanan sosial adalah memberikan keadilan akses bagi masyarakat, dengan pengertian “masyarakat” dalam slogan Kongres Kehutanan Sedunia itu. “Tidak hanya industri dan korporasi,” katanya. Karena hutan sosial telah lama dipraktikkan masyarakat, pemerintah mewujudkan kebijakan itu melalui lima skema: hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan kemitraan kehutanan.

Toh, mesti niat-politik sudah ada, perhutanan sosial punya direktorat sendiri, realisasi izinnya tetap tersendat. Sampai 2016, legalisasi hanya 500.000 hektare. Menurut Erna Rosdiana, terengah-engahnya realisasi itu akibat mesin KLHK baru jalan setelah perubahan nomenklatur dan minimnya sumber daya manusia untuk mendukungnya, terutama verifikator lapangan.

Ada syarat ketat pengeluaran izin hutan sosial. Masyarakat harus aktif mengajukan

izin kawasan hutan yang mereka garap kepada pemerintah, membentuk kelompok, melampirkan identitas sebagai administrasi, hingga melampirkan peta. Tanpa pendampingan oleh mereka yang paham administrasi modern, perizinan menjadi terkatung-katung. Kendati izin mesti terbit 20 hari sejak pengajuan, faktanya surat keputusan baru terbit setelah enam bulan.

Bambang Supriyanto lalu membuat gebrakan dengan inovasi jemput bola. Ia menjalin kerja sama dengan 28 gubernur untuk membentuk kelompok kerja percepatan perhutanan sosial sehingga petani mendapat pendampingan. Ia ajak organisasi masyarakat turun membantunya. Verifikasi dibuat mudah melalui sistem online. Hasilnya, pada 2018, realisasi izin perhutanan sosial 1,3 juta hektare dalam setahun.

Hingga Agustus 2019, realisasi enam bulan mencapai 800 ribu hektare. Total, per September 2019, realisasi pemberian izin untuk hutan sosial mencapai 3,3 juta hektare. Akhir Agustus lalu, inovasi baru diterapkan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Selain menggandeng pemerintah provinsi, KLHK mengajak pemerintah kabupaten mengawal hutan sosial. Di Bulukumba, percobaan sistem online

membuat proses izin bisa dikebut hanya 13 hari.

Pertanyaannya, bagaimana hutan sosial setelah mendapat izin? Sebab perhutan-an sosial tak semata legalisasi. Tujuan utamanya adalah pemerataan ekonomi, mengurangi konflik sosial seraya men-jaga kelestarian hutan. Menurut Bam-bang Supriyanto, dari 6.000 lokasi hutan sosial, baru 4% yang tergolong maju dan mandiri—dalam arti produk yang mereka hasilkan sudah menembus pasar tanpa pendampingan lagi. “Paling banyak pemu-la karena baru empat tahun,” kata dia.

Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia, menambahkan empat tahun perhutanan sosial baru sebatas legalisasi. Menurut dia, program ini belum bisa disebut berhasil mencapai tiga tujuan pokoknya itu. Sebab umumnya masyarakat sudah ada di sana dan mempraktikkan hutan sosial secara mandiri sebelum kebijakan ini muncul. “Yang relatif berhasil adalah meredam konflik tenurial antara masyarakat dengan negara,” kata dia.

Sebaliknya, kata Boy, konsep perhutanan sosial belum bisa menjadi jalan keluar konflik masyarakat dengan pemegang konsesi sektor kehutanan. Soalnya, program ini cenderung menawarkan skema kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan yang acap ditolak oleh petani karena mereka sudah ada di lahan itu sebelum perusahaan datang. “Ada juga yang berhasil karena pemerintah mencabut izin perusahaan yang selanjutnya diubah menjadi izin tujuh hutan desa,” kata Boy.

Selain jangkauan pasar setelah mendapatkan izin, problem utama perhutanan sosial adalah rigidnya birokrasi di daerah karena menjadi pintu pertama dalam pengajuan izin. Boy bersaran Presiden mempertegas perhutanan sosial sebagai proyek strategis nasional dengan menaikkan aturannya lebih tinggi ketimbang sekadar peraturan Menteri LHK agar bisa menggerakkan kementerian lain hingga pemerintah daerah. “Untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan akibat otonomi, presiden bisa menugaskan menteri membuat diskresi,” kata Boy.

—Librianna Arshanti, Siti Sadida Hafsah, Rifky Fauzan, Dewi Rahayu PN,

Fitri Andriani

Repong Damar.Kebun damar mata kucing (Shorea javanica) di Pesisir Krui, Lampung, yang berbatasan dengan areal persawahan.Foto: Delfy Lensari

F rest D gest24 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

DI tengah kawasan hutan Register 10 di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, penduduk hidup rukun dengan menyadap karet. Pertikaian antar tetangga, atau berhadapan dengan polisi hutan dan diuber

petugas PT Inhutani III, sudah menjadi masa lalu. “Dulu ada yang sampai mati karena rumahnya dibakar,” kata Gunawan, 37 tahun, penduduk Desa Lubuk Seberuk pada Sabtu, 29 Juni 2019.

Ada lima desa di sekitar hutan produksi Register 10 yang konsesinya dipegang PT Inhutani III. Penduduk yang menghuni kawasan ini datang dari pelbagai provinsi di sekitar Sumatera Selatan pada 1997, seperti Lampung. Umumnya mereka adalah para transmigran dari Jawa dan Bali yang mencari penghidupan baru karena daerah lama kurang menjanjikan. “Saya diajak tetangga bahwa di sini ada bukaan baru,” kata Suryanto.

Bersama Suryanto ada puluhan hingga ratusan orang lain yang datang ke hutan itu hendak membuka lahan di hutan negara. Suryanto, laki-laki bertubuh kecil berusia 44 ini, mematok enam hektare. Ia menanaminya dengan padi. Di Lampung, wilayah transmigrasi tempat asal Suryanto, lahannya gersang sehingga tak terlalu banyak menghasilkan tanaman pertanian.

Di Lubuk Seberuk pun lahan hutan tak cocok ditanami padi. Suryanto dan penduduk lain lalu beralih menanam sawit, mengikuti Inhutani yang menanam komoditas ini di lahan 1.000 hektare. Kedatangan mereka menginspirasi penduduk daerah sekitar Palembang datang membuka lahan yang belum digarap Inhutani. Konflik pun tak terhindarkan, terutama saling klaim lahan garapan.

Cerita seorang penduduk yang mati

dipanggang di rumahnya adalah bagian dari konflik sosial itu. Inhutani pelan-pelan undur diri karena produksi sawit memburuk dan harganya menurun. Mereka tak bisa lagi mendatangkan polisi berjaga di hutan mereka. “Kami juga tak bisa masuk karena dihadang penduduk, meski sudah membawa polisi dan tentara,” kata Susilo Hartono, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) V Lempuing-Mesuji.

Akses ke Desa Lubuk Seberuk hanya jalan setapak yang membelah kebun karet. Debu menyembur ketika mobil atau sepeda motor lewat. Jika hujan tanahnya berlumpur. Jarak dari jalan trans Sumatera yang menghubungkan Palembang-Lampung sekitar 5 kilometer. Menurut Susilo, keadaan genting tak bertuan itu terjadi antara 1998-2008. Mulai 2009, pemerintah coba mendekati penduduk di dalam kawasan hutan memakai program perhutanan sosial.

Waktu itu surat keputusan hutan sosial diterbitkan bupati, bukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seperti sekarang. Toh, Susilo dan para penyuluh belum bisa masuk secara mulus ke desa-desa di kawasan hutan. “Mereka curiga, pemerintah akan kembali mengambil tanah mereka,” katanya. Realisasi perhutanan sosial pun mandek karena penduduk tak antusias dengan tawaran ini.

Sampai akhirnya Presiden Joko Widodo

menjadikan perhutanan sosial sebagai program nasional pada 2014. Dalam perubahan nomenklatur Kementerian Kehutanan ia bahkan menjadikan urusan perhutanan sosial di bawah satu direktorat jenderal. Sejak 2015, penduduk yang tinggal dan menetap di dalam kawasan hutan didorong menjadikan lahan mereka sebagai perhutanan sosial dengan lima skema: hutan tanaman rakyat, hutan adat, hutan desa, kemitraan kehutanan, dan hutan kemasyarakatan.

Saat berpidato, Jokowi meminta masyarakat tak menanam sawit dan menggantinya ke komoditas lain. Soalnya, dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 83/2016, sawit terlarang sebagai komoditas perhutanan sosial. Penduduk Lubuk Siberuk dan desa-desa di sekitarnya pun beramai-ramai menyiramkan solar ke pucuk sawit di areal seluas tiga hektare.

Sawit-sawit berusia 10-12 tahun itu pun meranggas dan mati. Penduduk lalu menggantinya dengan karet. Masyarakat lima desa di sana kini fokus menyadap getah karet yang sudah mereka tanam sejak 2000-an. Alasan lain mereka mengganti sawit, yang ditanam mulai 1997, dengan karet karena harga

Konflik Padam Setelah Izin DatangMasyarakat lima desa di Mesuji, Sumatera Selatan, tak lagi bersitegang setelah mendapat izin menggarap karet di kawasan hutan Inhutani III. Tak lagi curiga kepada pemerintah.

sawit.Hamparan sawit yang berada di Banyuasin, Sumatera Selatan; 2007.

laporan utama

F rest D gest 25o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

komoditas ini lebih stabil.Di tengkulak harganya Rp 8.000 per

kilogram. Mereka memanen getahnya 50 kilogram per hektare per pekan. Artinya, satu keluarga bisa memanen 100 kilogram per pekan. Dalam sebulan tiap kepala keluarga mendapatkan penghasilan Rp 3,2 juta. Itu dari karetnya saja, belum dari gaharu atau dari tanaman tumpang sari lain. Jika satu keluarga rata-rata 4-5 anggota, keluarga di Lubuk Seberuk sudah tergolong bebas dari kemiskinan.

Surat Keputusan Hutan Tanaman Rakyat Lubuk Seberuk terbit pada Desember 2018, meski secara riil dimulai pada 2015. Mereka fokus menggarap karet dan menyelinginya dengan kayu gaharu. “Kami sedang membuat persemaian dengan 40.000 bibit pohon dan buah-buahan,” kata Susilo.

Menurut Susilo, ia dan para penyuluh kini malah diberi oleh-oleh tiap pulang dari desa-desa di Register 10. Penduduk menerima mereka setelah dijelaskan bahwa perhutanan sosial tak mengambil alih lahan, bahkan membantu mereka membangun usaha.

Penyuluh mengajari penduduk menyusun Rencana Karya Usaha perhutanan sosial di masing-masing kelompok, sebagai syarat mendapatkan SK Perhutanan Sosial. Ada 24 kelompok

petani di lima desa yang menggarap 6.850 hektare dan menghimpun 1.200 kepala keluarga yang diberi nama Kelompok Tani Karya Sialang Makmur.

Sesuai aturan, tiap keluarga mendapat 2 hektare. Maka Suryanto mengundang dua kakaknya yang masih tinggal di Lampung datang ke Mesuji dan memecah enam hektare yang ia patok dulu. Setiap pekan tiap keluarga memanen 80-100 kilogram karet yang harganya Rp 8.000 per kilogram di tengkulak. Artinya, dalam sebulan mereka mendapat uang Rp 3,2 juta. Selain untuk keperluan sehari-hari, mereka menyisihkannya untuk mencicil modal Rp 25 juta dari BRI dan BNI.

Dua bank ini memberikan modal dengan skema cicilan 12-36 bulan dengan bunga 0,3 persen per bulan. “Jika tiap keluarga isinya 4-5 lima orang,” kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Bambang Supriyanto yang berkunjung ke sana 29 Juni 2019, “Mereka sudah lewat dari garis kemiskinan dengan batas Rp 401 ribu karena pendapatan mereka Rp 700 ribu per kapita.”

Masyarakat Desa Lubuk Seberuk mendapat pendampingan dari Kesatuan Pemangku Hutan V Lempuing-Mesuji dan World Resources Institute Indonesia untuk menyiapkan syarat-syarat mendapatkan pengakuan hutan sosial. Soalnya, hal

yang penting dalam RKU adalah tata ruang areal kawasan hutan yang harus dilindungi. “Tujuan utama perhutanan sosial adalah melindungi hutan seraya meningkatkan ekonomi dan meredam konflik sosial,” kata Bambang.

Karena itu pendampingan menjadi aspek penting dalam realisasi perhutanan sosial. Menurut Bambang, dari target realisasi 4 juta hektare selama 2015-2019, verifikasi dan pendampingan lumayan pelik untuk mencapai target itu. Ia berharap pemerintah daerah hingga tingkat kabupaten turun membantu mendampingi para petani hutan meningkatkan produktivitas lahan mereka hingga memasarkan produknya.

Seperti di Lubuk Seberuk. Ketika KPH turun tangan, lembaga swadaya turut membantunya, masyarakat mendapatkan manfaat dengan mengelola kawasan hutan, yang tecermin dari kerukunan antar tetangga, rumah yang kini bertembok, bahkan beberapa orang telah naik haji. Dengan kepastian izin mereka juga menjaga hutan kawasan itu dari perambahan dan kebakaran. —

Karet.Pohon karet di hutan register 10 Desa Lubuk Seberuk, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

F rest D gest26 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Perdagangan karbon merupakan elemen yang menyempurnakan siklus penting pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan perdagangan karbon semua manfaat bernilai ekonomi maupun non-ekonomi dari hutan yang dikelola masyarakat

tercapai sudah.Di kawasan Asia, dengan skema Plan

Vivo, beberapa komunitas telah bergabung dengan skema ini, seperti Khasi Hills Community REDD+ Project di India, Hiniduma Bio-Link project di Sri Langka, Pastures Conservation, Climate Action di Mongolia, Bujang Raba, Durian Rambun, Nanga Lauk, dan Punan Long Adiu di Indonesia.

Dalam Konferensi Perubahan Iklim

ke-22 di Maroko, November 2016, Bambang Supriyanto—kini Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan—mengatakan betapa penting dan signifikannya peran komunitas dalam mengelola hutan serta mengurangi emisi gas rumah kaca.

Pasar karbon terbentuk ketika pi-hak-pihak yang memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tidak bisa melakukannya sendiri, sehingga “menyuruh” pihak lain untuk melakukan tugas tersebut atas namanya. Dengan adanya pihak yang membutuhkan penurunan emisi dan pihak yang bisa menyuplai penurunan emisi yang dibutuh-kan tersebut, terbentuklah pasar karbon.

Jumlah negara yang akan menggunakan mekanisme pasar karbon diperkirakan bertambah di tahun-tahun mendatang mengingat mekanisme pasar terbukti paling murah dibandingkan jenis pembiayaan mitigasi konvensional.

laporan utama

Dari Pohon Turun ke KarbonBeberapa skema perhutanan sosial terbukti mengurangi emisi karena hutannya mampu menyerap emisi gas rumah kaca secara signifikan. Belum masif dikembangkan dalam perdagangan karbon.

F rest D gest 27o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Meskipun ada kritik pasar tidak memenuhi asas keadilan. Negara atau perusahaan boleh mengeluarkan emisi semaunya asal bisa membeli karbon di tempat lain.

Menurut buku Partnership for Market Readiness Indonesia (2018), dalam pasar karbon yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 ekuivalen). Hak di sini berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca. Jenis gas rumah kaca yang diperdagangkan dalam pasar karbon mengacu Protokol Kyoto, meliputi karbon dioksida (CO2 ), metana (CH4), nitrat

Mereka yang bergabung • The Bujang Raba Community PES Project berlokasi di Kabupaten Bungo, Jambi,

merupakan proyek yang melibatkan sekitar 934 kepala keluarga atau 3.652 penduduk yang mengelola sekitar 5.339 hektare hutan. Jumlah emisi karbon yang dihemat sebesar 151.640 ton setara CO2 pada 2016-2017. Proyek yang didampingi KKI WARSI ini mampu mengurangi emisi karbon sebanyak 37.910 ton per tahun dari rerata yang dikumpulkan selama 10 tahun. Sampai sejauh ini The Bujang Raba Community PES project telah memperoleh manfaat ekonomi dari perdagangan karbon ini. Menurut Rudi Syaf, Direktur Eksekutif WARSI, sejumlah enam ribu ton telah dibeli perusahaan dari Swedia untuk carbon stock pada tahun 2015.

• Community Forests for Climate, People, Wildlife di hutan desa Durian Rambun, Jambi. Proyek yang didampingi Fauna and Flora International ini mengajukan permohonan bagi Hutan Desa Riao Kemunyang seluas 2.516 hutan konservasi dan 1.100 hektare hutan rehabilitasi selama 30 tahun yang diharapkan menghasilkan 770.911 ton pengurangan emisi setara CO2 atau setara dengan 25.697 ton per tahun. Kawasan hutan ini dikelola oleh 78 kepala keluarga dengan 274 penduduk.

• Sustainable Forest and Biodiversity Management I Nanga Lauk Villlage, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Program ini dikawal PRCF Indonesia. Kawasan hutan yang dikelola seluas 1.430 hektare dan dikelola oleh 195 keluarga. Sertifikat telah diperoleh untuk 1.308 ton emisi setara CO2.

• Sustainable Forest and Biodiversity Management Dayak Punan Long Adiu Customary Territory, di Malinau, Kalimantan Utara. Program dikawal Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Dayak Punan Malinau (LP3M). Total kawasan hutan 17.415 hektare yang dikelola oleh 32 keluarga. —

Pengukuran Karbon.Pengukuran pohon untuk menduga jumlah di pohon pada hutan jati masyarakat di bentang alam Mbeliling, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 2018

Karet Rakyat.Petani seusai memanen karet di kawasan hutan.

F rest D gest28 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).

Persetujuan Paris, yang merupakan persetujuan dalam mengawal reduksi emisi karbon dioksida dan akan efektif berlaku di tahun 2020, menyatakan bahwa setiap negara wajib menurunkan emisi di dunia dengan kontribusi sukarela tapi mengikat. Sukarela adalah angka komitmennya, sedangkan mengikat karena setiap proposal komitmen dianggap sebagai dokumen resmi negara yang kemudian harus dilakukan secara konsisten, transparan, dan terukur.

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris tersebut melalui Undang-Undang Nomor 16/2016 dan menyampaikan proposalnya dalam bentuk Nationally Determined Contribution pada saat perundingan perubahan iklim di Marocco pada tahun 2016. Target Indonesia mengurangi emisi di tahun 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% apabila ada bantuan asing. Komitmen Indonesia tersebut terbilang ambisius karena negara masih membutuhkan banyak pengembangan energi, industri, dan infrastruktur. Pembangunan ketiga hal tersebut akan mengeluarkan emisi karbon yang tidak sedikit.

Lalu bagaimana menarik manfaat dari komitmen ini bagi pelaku PHBM? Sebuah organisasi nonprofit di Edinburgh, Skotlandia, telah mengembangkan sebuah sistem dan membuat persyaratan untuk para petani kecil dan masyarakat yang

ingin mengelola lahan mereka lebih berkelanjutan dan memperoleh manfaat dari berbagai komitmen di atas.

Organisasi ini telah mengembangkan Standar Plan Vivo yang merupakan kerangka kerja untuk imbal jasa ekosistem (Payment for Ecosystem Services/PES) untuk petani hutan dan perdesaan, yang menggantung hidupnya pada hutan. Menurut skema ini, intervensi proyek perlu memberikan manfaat langsung bagi para petani pemilik lahan kecil dan kelompok masyarakat.

Proyek perlu menciptakan jasa iklim melalui intervensi yang memberikan manfaat kepada mata pencarian dan ekosistem lokal, serta melibatkan pemangku kepentingan. Para petani pemilik lahan kecil dan kelompok masyarakat perlu berpartisipasi penuh dalam perancangan proyek dan terlibat di dalam mengembangkan rencana kelola yang mendukung kebutuhan mata pencariannya.

Selain itu, perlu disiapkan dengan baik kualifikasi dan monitoring yang kredibel dan bersifat konservasi terhadap jasa iklim. Pengelolaan risiko di dalam proyek perlu efektif melalui perancangan dan pelaksanaan proyek. Terakhir, insentif perlu dibangun dengan berbasis kinerja dan alih bagi manfaat secara merata melalui mekanisme imbal jasa lingkungan yang transparan, serta perancangan terpadu terhadap kegiatan-kegiatan proyek untuk memastikan manfaat-manfaat bagi mata pencaharian dan ekosistem

hutannya.Setelah melalui proses penilaian,

sertifikat akan diterbitkan setelah program dipersiapkan, kemudian menjalani siklus percontohan, dan divalidasi oleh penelaah independen. Sertifikat terbit setelah laporan tahunan, di mana program-programnya menunjukkan alokasi dana kepada masyarakat dengan Plan Vivo yang terdaftar, dan ada pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatannya.

Kegiatan yang memenuhi syarat adalah kegiatan agroforestri, reboisasi, pemulihan hutan, dan penghindaran penggundulan hutan yang dilakukan dengan berbagai kegiatan berbasis masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan oleh petani pemilik lahan kecil dan kelompok masyarakat di lahan mereka sendiri, atau lahan di mana mereka memiliki hak dan tanggung jawab pakai jangka panjang.

Kegiatan-kegiatan tambahan, seperti pengembangan kompor hemat bahan bakar, produksi arang berkelanjutan, dan pengembangan badan usaha mikro dapat dimasukkan dalam rencana-rencana pengelolaan masyarakat tempatan. Dalam skema ini, pembayaran untuk jasa ekosistem bisa membantu mempertahankan tindakan yang telah dilakukan oleh masyarakat.

—Asep Suntana

Karet.Karet sebagai salah satu pohon di kawasan hutan yang menyumbang penyerapan emisi.

F rest D gest 29o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Agroforestri Sawit: Mungkinkah?Sebuah tawaran solusi menyelesaikan konflik lahan di kawasan hutan, terutama areal hutan yang ditanami sawit.

SENGKETA lahan di kawasan hutan menjadi momok serius dalam pengelolaan lingkungan yang lestari, terutama penyerobotan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan. Dari 16,6 juta hektare kebun sawit yang ada sekarang, 3,4 juta hektare berada di

kawasan hutan. Perambahan terjadi akibat pelbagai kebijakan yang tak sinkron dalam memberikan izin sejak mula, hingga penyerobotan oleh masyarakat akibat euforia reformasi 1998.

Sawit pun menjadi tertuduh utama dalam deforestasi dan degradasi lahan. Uni Eropa sangat keras menentang dan melarang sawit Indonesia. Meski anggota-anggotanya punya alasan berbeda menolak sawit—sehingga memunculkan dugaan unsur perang dagang—umumnya mereka berargumen soal aspek lingkungan karena sawit Indonesia menyerobot kawasan hutan negara.

Buku ini, Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan yang baru saja diterbitkan Yayasan Kehati (2019), menawarkan satu solusi menangani konflik lahan itu dengan berpijak pada sawit adalah komoditas yang, bagaimana pun, menyumbang penghidupan ekonomi penduduk Indonesia.

Mematikan sawit, kata para penulis buku ini, tak akan menyelesaikan problem tata ruang dan konflik lahan. Apalagi, sawit tak hanya dibudidayakan

perusahaan, melainkan juga oleh masyarakat. Mereka bahkan telah menanam sawit jauh sebelum perusahaan diberi izin mengembangbiakannya.

Solusi menyelesaikan konflik lahan sawit milik perusahaan di kawasan hutan yang ditawarkan buku ini adalah menata kembali perizinannya yang morat-marit akibat compang-campingnya aturan dan praktik kacau tata ruang. Moratorium izin baru sejak 2018 bisa menjadi kesempatan melakukan itu.

Pemerintah didorong memakai waktu tiga tahun selama penundaan izin baru untuk mendata izin-izin perkebunan sawit yang terserak di seluruh Indonesia. Tumpang tindih izin akibat pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah perlu dibenahi agar kita punya satu data untuk menganalisisnya.

Penegakan hukum adalah jalan terakhir dari solusi yang mesti dilakukan, terutama bagi kebun sawit yang menyerobot kawasan hutan. Sementara lahan sawit yang telantar dan ditinggalkan pemiliknya, buku ini menganjurkan agar pemerintah memakai redistribusi lahan dalam skema reforma agraria dengan memberi kepercayaan kepada desa dalam mengelolanya.

Solusi yang menarik dan agak panjang dibahas adalah menyelesaikan konflik lahan di kawasan hutan antara negara dengan masyarakat. Berbeda dengan perusahaan yang mencari untung besar,

masyarakat masuk kawasan hutan untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Euforia Reformasi 1998 membuat masyarakat menyerbu kawasan hutan lalu menanaminya dengan, umumnya, tanaman sawit. Permintaan yang tinggi dan harga yang melonjak membuat sawit menjadi bonanza ekonomi Indonesia. Konflik pun tak terhindarkan, hingga pemerintah membuat solusi melalui skema perhutanan sosial.

Mereka yang merambah kawasan hutan, tinggal di sana membentuk desa-desa baru, diizinkan mengusulkan tanah mereka menjadi skema satu dari lima perhutanan sosial: hutan desa, kemitraan kehutanan, hutan adat, hutan kemasyarakatan, atau hutan tanaman rakyat. Jika disetujui mereka akan mendapatkan izin mengelola lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga, dengan izin diberikan kepada kelompok petani, selama 35 tahun.

Perhutanan sosial pun menjadi solusi yang menguntungkan kedua belah pihak: masyarakat bisa meneruskan mengelola lahannya dengan kewajiban menjaga tutupan hutan, menjaga mata air, mencegah kebakaran; negara tetap memiliki aset kawasannya. Sebab, tujuan perhutanan sosial ada tiga: meningkatkan ekonomi masyarakat, menghentikan konflik sosial, dan menjaga ekologi kawasan hutan.

Masalahnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

F rest D gest30 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

83/2016 yang mengatur perhutanan sosial melarang masyarakat menanam sawit. Padahal, menurut perhitungan Universitas Gadjah Mada (2018) setidaknya ada 1,3 juta hektare kebun sawit masyarakat di kawasan hutan. Menggusur kebun sawit mereka hanya memperpanjang konflik, memutihkannya bukan solusi yang arif.

P.83/2016 mengatur bahwa jika penduduk telanjur menanam sawit ketika mengajukan izin hutan sosial, mereka harus menggantinya dengan agroforestri jika sawitnya berusia di bawah tiga tahun. Jika lebih tiga tahun mereka diizinkan memelihara sawit hingga setengah daur atau 12 tahun. Setelah itu wajib mengganti dengan sistem tumpang sari: menanam pohon hutan dan memberdayakan ruang di bawahnya dengan komoditas lain.

Menurut para penulis buku ini, skema hutan sosial itu kurang adil bagi penduduk yang telanjur menanam sawit di lahannya. Sebab, sawit di atas 12 tahun sedang matang dan harganya sedang tinggi. Ada aspek ekonomi masyarakat yang tereduksi akibat larangan dalam P.83/2016 itu, terutama pasal 56 ayat 5.

Seperti dinyatakan petani di Tebo, Jambi, yang mendapatkan izin perhutanan sosial skema Hutan Rakyat yang mustahil membongkar sawit mereka yang berusia 15 tahun. “Agroforestri sawit yang sudah

diberikan izin ada di Pulang Pisau di Kalimantan Tengah,” kata Direktur Persiapan Areal Perhuhatan Sosial KLHK Erna Rosdiana. “Luasnya 1.885 hektare oleh 183 keluarga.”

Jika ada kelompok tani yang mengajukan skema perhutanan sosial agroforestri sawit, kata Erna, pemerintah akan memverifikasinya ke lapangan terutama memastikan penanam sawit tersebut: apakah betul masyarakat atau perusahaan. “Jika benar masyarakat kemudian akan dinilai sebelum diberikan izinnya,” kata dia. Meski begitu, setelah sawit berusia 12 tahun, sesuai aturan P.83, masyarakat diminta menggantinya menjadi komoditas lain.

Buku ini menawarkan satu solusi untuk kasus seperti di Tebo, yakni agroforestri sawit yang mereka sebut dengan “Strategi Jangka Benah”, yang merupakan tawaran dari serial diskusi sejumlah lembaga nonpemerintah berdasarkan penelitian Fakultas Kehutanan Gadjah Mada Yogyakarta pada 2018. SJB adalah strategi menjadikan hutan kembali dengan tindakan silvikultur dengan menggabungkan tanaman sekunder dan primer.

Dasar empirisnya adalah praktik SJB di sejumlah desa di Sumatera dan Kalimantan. Para petani sudah lama

menggabungkan sawit dengan pohon-pohon hutan semacam jelutung, bahkan dengan karet. Mengutip penelitian-penelitian sebelumnya, buku ini menganjurkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merevisi pasal 65 huruf h dengan mengizinkan sawit rakyat tetap hidup seraya mewajibkan mereka menanam 100 pohon berkayu per hektare.

Meski menganjurkan sistem ini, para penulis buku mewanti-wanti agar kebijakan ini didukung oleh seperangkat aturan untuk memastikan hutan campur sawit tak justru merusak hutan yang menjadi tujuan utama perhutanan sosial. Menurut Erna, melegalkan agroforestri sawit memang perlu aturan cukup kendati secara empiris sawit cocok dengan pohon hutan semacam jelutung atau gaharu.

Erna mengakui agroforestri sawit bisa jadi solusi alternatif bagi masyarakat dan layak dicoba. “Meskipun tetap harus berdasarkan studi dan kesesuaian di lapangan,” kata dia.

—Dewi Rahayu Purwa Ningrum

Sawit.Penduduk Desa Lubuk Seberuk di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, di kebun sawit yang dibunuh setelah mendapatkan izin perhutanan sosial dengan menggantinya menjadi karet.

laporan utama

F rest D gest 31o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Agroforestri Paling Cocok

DALAM perhutanan sosial, agroforestri menjadi model paling tepat karena punya banyak manfaat dan keuntungan. Dukungan aturannya pun ajek. Skema ini muncul sebagai salah satu pilihan penggunaan lahan yang menjanjikan untuk mengatasi permasalahan tekanan penduduk.

Agroforestri didefinisikan sebagai sistem pengelolaan suatu unit/bentang lahan secara optimum, layak ekologi, ekonomi maupun sosial, dan diupayakan melalui pemanfaatan

kombinasi pohon, tanaman semusim dan atau ternak yang ditanam secara serempak sehingga meningkatkan produktivitas tanaman dan hewan secara berkesinambungan. Agroforestri juga telah dipraktikkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak dan kayu bakar mereka.

Dilihat dari sisi sosial dan ekonomi, agroforestri baik pada lahan milik maupun kawasan hutan—selain dapat menjamin produksi pangan—juga menyediakan sumber alternatif pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat. Selain itu, diversifikasi produksi merupakan salah satu bentuk petani untuk menghindari risiko.

Dengan agroforestri petani bisa mendapatkan pendapatan jangka pendek dari tanaman pertanian, jangka menengah dari tanaman multipurpose tree and shrub, buah-buahan, maupun jangka panjang dari tanaman kayu/pohon. Mayrowani dan Ashari (2011) menyatakan bahwa agroforestri juga bisa menjadi salah satu sarana yang efektif untuk pemerataan dan tahapan untuk mengatasi kemiskinan di lingkungan masyarakat desa hutan, yang bisa meningkatkan pendapatan dan produksi pangan. Di sisi lain, agroforestri juga mampu memulihkan fungsi hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Secara ringkas, banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan menjadikan agroforestri sebagai salah satu pola dalam per-hutanan sosial yakni berproduksi sambil melakukan konserva-si. Khusus untuk agroforestri pada kawasan hutan, juga bisa dimanfaatkan untuk merehabilitasi lahan kritis, pemanfaatan ruang pada lantai hutan, keseimbangan dan kesinambungan lingkungan dalam kawasan hutan, dan juga dapat berfungsi sebagai resolusi konflik dalam pengelolaan hutan.

Keberhasilan penerapan pola agroforestri di kawasan hutan sudah banyak dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan seperti pada skema pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di Perhutani, pengelolaan hutan kemasyarakatan kopi di

Lampung. Beberapa peneliti sudah merumuskan kontribusi agroforestri

terhadap total pendapatan petani, seperti Sanudin (2017), Puspasari et al (2017), Aji et al. (2014) yang menyebutkan bahwa agroforestri pada HKm di Provinsi Lampung dengan jenis tanaman seperti kopi, lada, MPTs (nangka, alpukat), cempaka, memberikan kontribusi sebesar 44,24-74,38%, sementara pada kawasan Perhutani memberikan kontribusi sebesar 33,33% (Febryantini (2010).

Selain itu, agroforestri dalam perhutanan sosial memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja sebesar 2,8% di Provinsi Lampung (Sanudin, 2017) dan sebesar 33,33% di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Febryantini, 2010).

Meski terbukti paling cocok, ada beberapa masalah dalam menerapkan agroforestri: 1) keengganan petani menanam atau memelihara pohon dengan alasan mengganggu tanaman yang diusahakannya, 2) pemilihan jenis yang tidak disarankan karena dapat mengganggu pohon/kayu yang sudah ada sebelumnya seperti penanaman singkong, gembili di Perhutani, dan sebagainya.

Secara umum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi praktik: 1) faktor teknis seperti pemilihan jenis tanaman, pengaturan ruang tumbuh dan pemeliharaan, dan 2) faktor non teknis seperti skala usaha, pemasaran, model kelembagaan, dan pembiayaan dan dukungan kebijakan.

Karena itu untuk mengurangi masalah itu sosialisasi hak dan kewajiban petani dan penerapan aturan sanksi melalui kelompok dan penguatan kelembagaan kelompok tani. Juga paket kebijakan yang tepat untuk mempopulerkan agroforestri yang meliputi aspek pemanenan, pengolahan, dan pemanfaatan pertanian tumbuh bawah, serta menjamin kredit dan perluasan layanan kepada petani.

—Eva Fauziyah, peneliti madya pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestri Ciamis

Wanatani.Kebun wanatani karet di Banyuasin, Sumatera Selatan, 2012.

F rest D gest32 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

BAGI Iwan, menjadi petani tak lagi gengsi. Ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya di sebuah percetakan di Bandung, dua jam dari kampungnya di Kadungora, Garut, pada 2016 dan mantap kembali ke kebun di kaki gunung

Mandalawangi. Laki-laki 29 tahun itu meneruskan jejak ayahnya yang bertanam kopi sejak 2009.

Dari tabungannya bekerja di percetakan selama tujuh tahun, ia membuka lahan 250 tumbak atau sekitar 3.500 meter persegi dengan menanam kopi. Waktu itu, ayahnya

sudah tergabung dalam Paguyuban Tani Sunda Hejo yang fokus menggarap kopi di lahan-lahan Perhutani di bukit-bukit dan gunung sekitar kampungnya. “Semua saya kerjakan sendiri, dari babat, buat lubang, sampai menanam,” kata ayah satu anak yang masih 4 tahun ini.

Keinginan pulang kampung datang begitu saja, terutama ketika ia acap sakit pernapasan. Bekerja di percetakan, kendati mendapat gaji rutin Rp 2,5 juta sebulan—diberikan tiap pekan—Iwan merasa hidupnya jadi rutin. Pendapatan yang pasti itu tak membuatnya hidup genah, terutama setelah menikah dan punya bayi.

Ketika suatu kali pulang ia lihat ayah dan tetangganya yang tekun merawat kopi, Iwan mantap tak kembali ke Bandung.

Ia mantap menanam kopi, mendaftar menjadi anggota paguyuban yang telah mendapat Surat Keputusan Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia buka lahan dengan alat-alat pertanian bergantian dengan ayahnya. Ayahnya pula yang meminta Iwan menggarap lahan tambahan 200 tombak.

Kini Iwan mengolah kopi 650 tombak. Sudah dua kali panen untuk lahan pertama karena kopi baru bisa dipanen pada usia 1,5 sampai 3 tahun. Panen pertama ia mendapat 1,2 ton yang dijual ke Koperasi Klasik Beans milik Paguyuban sebesar Rp 9.000 per kilogram cherry merah. Panen kedua naik jadi 2 ton. “Tiap panen rasanya mendapat bonus,” kata dia.

Panen kopi terjadi sepanjang April-Juli tiap tahun. Di luar waktu panen, Iwan mengurus kebunnya dengan menyiangi atau memberi pupuk. Jika musim panen sayur ia nyambi jadi ojek pengantar sayur dari kebun ke pasar. “Penghasilan memang tak menentu, tapi rasanya lebih tenang,” kata lulusan SD ini. Ia buru-buru

Jadi Petani Asyik LagiAnak muda Garut kembali ke kampung menjadi petani. Lebih menjanjikan dibanding merantau.

laporan utama

F rest D gest 33o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

menambahkan, “Kalau ditanya lebih senang mana bekerja di percetakan atau petani, lebih senang sekarang.”

Di Kadungora, anak-anak muda seperti Iwan lumayan banyak. Ada Soni Wahyudin yang juga bertani kopi. Laki-laki 31 tahun ini menggarap dua hektare lahan di dekat pucuk gunung setinggi 1.600 meter dari permukaan laut. Ia jadi petani sejak lulus SMA. Setelah ke sana-kemari mencari pekerjaan, ia pulang kampung menggarap lahan ayahnya.

Sebelum bertanam kopi, Soni mengolah lahan Perhutani itu dengan tembakau dan sayuran. Tapi sejak longsor karena gunung jadi monokultur dan menewaskan sedikitnya 23 orang, Soni dan pendukung kampung beralih ke kopi—terutama setelah dikompori Hamzah Ali Fauzi, aktivis lingkungan yang cemas lahan Mandalawangi terus tergerus akibat tak

ada lagi pohon sebagai penyangganya.Soni bercerita, menggarap lahan

Perhutani dulu harus kucing-kucingan dengan petugas patroli. Mereka tergolong perambah yang ilegal masuk kawasan hutan lindung ini. Tembakau dan sayuran adalah pilihan masyarakat di sekitar Mandalawangi karena ada beberapa orang kota Jakarta atau Bandung datang ke sana membeli lahan petani untuk dijadikan sayuran. Penduduk lokal mengikuti tren itu.

Masalahnya, sayur petani selalu anjlok karena harga di tengkulak selalu berpihak pada pekebun besar. Belum lagi ancaman ekologi karena gunung jadi gersang. Longsor-longsor kecil setelah longsor besar pada 2013 masih terjadi dan membuat cemas masyarakat di sana. Akhirnya, mereka setuju dengan tawaran Hamzah.

Syahdan, Hamzah ini gigih menganjurkan petani beralih dari sayur ke kopi sejak 1997. Kopi yang belum tren ketika itu membuat petani mencurigainya sebagai “utusan investor” yang hendak merebut mata pencarian mereka. Hamzah bercerita ia pernah dikalungi parang karena terus menerus menganjurkan petani beralih ke kopi.

Alasan menganjurkan kopi sederhana saja. Bagi Hamzah, laki-laki 42 tahun jebolan Teknik Industri Universitas Winayamukti ini, kopi itu ramah terhadap lingkungan karena tumbuh memerlukan naungan. Maka jika petani beralih menanam kopi mereka juga harus menanam pohon berkayu sebagai peneduh kopi agar bisa berbuah. Toh, segala teori itu tak membuat petani tertarik mengikuti anjurannya.

Pemikiran itu berubah ketika penduduk kesulitan mendapatkan mata air. Air menghilang karena tak ada lagi pohon di Mandalawangi. Para petani setuju menanam kopi. Hamzah mengajarinya cara menanam dan mendapatkan bibit. Masalahnya, ketika para petani panen, mereka bingung menjualnya. Mereka mendatangi Hamzah menuntut pertanggung jawaban.

Terdesak oleh tuntutan itu, Hamzah memutar otak. Dari banyak kolega pecinta alamnya, Hamzah terhubung ke pembeli kopi di Amerika, seorang pemilik kafe. Setelah mendapatkan sampel kopi arabika Mandalawangi, pemilik kafe itu setuju

membeli kopi Hamzah. “Jadi penjualan kopi pertama Sunda Hejo itu melalui ekspor tahun 2011,” katanya. Ia mengirim 600 kilogram green beans.

Rupanya, kopi Mandalawangi disukai penghidu kopi Amerika. Panen berikutnya, ekspor naik jadi 1,8 ton. Pasarnya pun meluas. Hamzah sudah mengirim kopi ke Italia dan Prancis. Kini ia mengekspor arabika 78 ton dan robusta 25 ton. “Sekarang makin dikurangi karena permintaan lokal terus naik,” katanya.

Ada sekitar 4.000 petani yang berhimpun dalam Paguyuban Sunda Hejo. Petani seperti Soni Wahyudin menghasilkan kopi 3,5 ton dari dua hektare lahan. Jika harga kopi di Koperasi Klasik Beans Rp 9.000, penghasilan Soni Rp 31,5 juta setahun. Ia harus menyisihkan 20 persen untuk Perhutani. Bersih penghasilannya kira-kira Rp 25 juta. Jika dibagi 12 bulan maka tiap bulan ia mendapat Rp 2 juta hanya dari kopi. Dengan satu istri dan satu anak, pendapatan per kapita Soni sebesar Rp 690 ribu—lewat dari garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik sebesar Rp 40 ribu per kapita.

Seperti Iwan, waktu di luar panen kopi, Soni mengurus kopi dengan menyiangi dan memupuknya. Kadang ia membantu tetangganya menyiangi. Di Sunda Hejo para petani bergotong royong mengerjakan lahan untuk menekan ongkos buruh. Mereka saling membantu mengangkut pupuk dari sisa penggilingan kopi di Koperasi atau membantu memetik cherry.

Para petani kini sedang mengembangkan tanaman sela lain di antara kopi, seperti vanili dan buah-buahan. Jika musim berbuah, seperti alpukat, Soni menjualnya ke pasar sebagai ganjal kebutuhan sehari-hari keluarganya. Hasil panen kopi dan buah-buahan itu ia tabung di koperasi dan bank yang sewaktu-waktu diperlukan jika ada kebutuhan mendesak.

Dengan cerita Iwan dan Soni seperti itu, menjadi petani jadi asyik lagi. Hamzah kini sedang mengembangkan sekolah kopi agar anak-anak para petani bisa memberikan nilai tambah pada produk orang tua mereka. Di kafenya di Kadungora, tiap sore sepulang sekolah anak-anak muda dilatih menghidu kopi dan meraciknya. —

Petani kopi.Soni Wahyudin sedang memetik kopi di kebunnya di Gunung Mandalawangi, Garut, Jawa Barat, Juli 2019

F rest D gest34 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

PERHUTANAN Sosial telah mencapai tonggak-tonggak (milestone) kebijakan sejak pertama kali disampaikan Jack Westoby, seorang ekonom kehutanan Organisasi Pangan Sedunia (FAO) pada taun 1968 dan dibahas dalam Kongres Kehutanan Dunia tahun

1978 di Jakarta. Tonggak pertama adalah kebijakan yang

menempatkan masyarakat sebagai subyek pengelola hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/1998 junto SK Menteri Kehutanan 865/1999 tentang Hutan Kemasyarakatan. Tonggak penting kedua adalah Peraturan Pemerintah 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan yang menjadi landasan hukum hak/izin definitif 35 tahun perhutanan sosial.

Sampai 2014, capaian luas perhutanan sosial masih sangat rendah, hanya 67.737 hektare hutan desa, 94.372 hektare hutan kemasyarakatan, dan 146,324 hektare hutan tanaman rakyat (Data diolah dari Laporan Satgas IX, KLHK dalam publikasi FKKM & RRI, 2015).

Tonggak penting berikutnya adalah kebijakan pemerintahan Jokowi-JK dengan menetapkan target 12,7 juta hektare perhutanan sosial dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan membentuk Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), pejabat Eselon I di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang menjadi penanggung jawab perhutanan sosial dan pencapaian target tersebut.

Untuk mencapai target tersebut Kementerian LHK membuat terobosan

Dari Problem ke Terobosan Sejumlah problem perhutanan sosial sehingga realisasi pemberian akses kepada masyarakat mengelola hutan di sekitar tempat tinggalnya menjadi tersendat. Perlu beberapa terobosan yang lebih masif.

kebijakan dengan menerbitkan P.32/2015 jo P.21/12019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial dan P.39/2017 tentang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial dan P.84/2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan.

Selain itu dalam rangka mengamankan ruang hidup masyarakat dan memastikan tersedianya kawasan hutan negara bagi rakyat, Menteri LHK menerbitkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial yang diperbaharui setiap enam bulan. Memben-tuk Pokja PPS provinsi untuk membantu UPT Balai Perhutanan Sosial dan Kemi-traan (BPSKL) yang hanya ada 5 (lima) di Medan, Banjarbaru, Bali, Makassar, dan Ambon dalam melayani masyarakat sekitar hutan di seluruh Indonesia.

Seperangkat terobosan kebijakan tersebut beserta aturan operasionalnya belum cukup mengejar capaian target perhutanan sosial. Sampai akhir 2017 perhutanan sosial baru seluas 534.519,90 hektare. Cara kerja fasilitasi legalitas perhutanan sosial kemudian diubah dengan menggunakan strategi “Kerja Bareng Jemput Bola” (Jareng Jebol) dan memberikan dana operasional untuk Pokja PPS Provinsi serta membentuk Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS) di tingkat nasional.

Dengan strategi baru tersebut berhasil mempercepat capaian perhutanan sosial menjadi 240% seluas 1.261.613,65 hektare, 1.147 unit, yang melibatkan 267.613 keluarga pada akhir tahun 2018 (Ditjen. PSKL, 2018). Masalahnya, percepatan capaian luas perhutanan sosial tidak diikuti dengan percepatan fasilitasi pasca izin pengembangan usaha dan pemasaran.

Capaian luas perhutanan sosial sampai 13 Agustus 2019 seluas 3.249.281,48 hektare, 5.801 unit izin, sekitar 710.216 keluarga. Sementara capaian fasilitasi

pengembangan usaha 143 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) (Gold) dan 33 KUPS (Platinum) (Ditjen. PSKL, 2019). Capaian fasilitasi legalitas perhutanan sosial dengan indikator luasan merupakan output, sementara capain fasilitasi pengembangan usaha merupakan outcome dan impact.

Peningkatan pendapatan masyarakat, keberhasilan usaha dan kemandirian masyarakat merupakan resultante dari output yang dihasilkan pemerintah, masyarakat dan para pihak. Sehingga tidak bisa dihasilkan sendiri oleh Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat/Ditjen. PSKL/Kementerian LHK tapi perlu dukungan dari kementerian/lembaga yang lain, hingga pemerintah daerah.

Meskipun demikian terdapat juga cerita sukses perhutanan sosial seperti HKm Kalibiru, Yogyakarta; HKm Aik Berik, NTB; HKm Sumber Jaya, Lampung; HKm Lubuk Kertang, Sumatera Utara; Hutan Desa Bentang Pesisir, Kalimantan Barat; Hutan Desa Jorong Simancuan, Sumatera Barat; Hutan Adat Segumon, Kalimantan Barat, Hutan Adat Marena, Sulawesi Selatan; dan Kemitraan Kehutanan Lembaga Desa Wono Lestari, Jawa Timur (Koran Tempo, 28 Desember 2018). Paguyuban Tani Sunda Hejo di Kaki Mandalawangi, Garut (Koran Tempo, 7 September, 2019).

Bukti-bukti cerita sukses perhutanan sosial tersebut menunjukkan pentingnya peranan champion dan keberhasilannya

laporan utama

F rest D gest 35o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

bukan prestasi satu pihak saja, namun merupakan hasil sinergi berbagai pihak.

Proses fasilitasi praizin perhutanan sosial yang dilakukan selama ini sudah melibatkan masyarakat sipil. Namun secara umum proses fasilitasi pra dan pasca izin perhutanan sosial masih terpusat dan hanya menjadi target Direktorat Jenderal PSKL. Di samping itu masih ada persepsi yang berbeda mengenai konflik di dalam fasilitasi pra dan pasca izin perhutanan sosial.

Penandaan batas izin perhutanan sosial menjadi tanggung jawab pemegang izin, namun tidak bisa dilaksanakan oleh masyarakat dan masih terjadi perbedaan pendapat siapa yang bertanggung jawab memfasilitasinya. Tata batas yang tidak jelas di lapangan sering membuat terjadinya konflik dan masyarakat ditangkap. Terdapat kasus proses verifikasi yang tidak pruden membuat izin perhutanan sosial yang diberikan tidak tepat sasaran dan terjadi juga kasus gugatan terhadap SK perhutanan sosial yang sudah diterbitkan.

Direktorat Jenderal PSKL melakukan uji coba cara baru fasilitasi perhutanan sosial di Kabupatan Bulukumba dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Cara baru ini diberikan label “Perhutanan Sosial 4.0” yang disebut Jarengjebol Hutsos 4.0 untuk memastikan proses fasilitasi perhutanan sosial sampai terbitnya izin selama 22 hari. Fasilitasi perhutanan sosial dimulai dengan diskusi bersama Ditjen PSKL

dengan Kementerian/Lembaga lain untuk menyamakan persepsi.

Selanjutnya pendekatan dan komunikasi persuasif dilakukan dengan gubernur dan Organisasi Perangkat Daerah provinsi, KPH, bupati, dan OPD kabupaten. Komunikasi persuasif ini bertujuan menawarkan perhutanan sosial sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, mengentaskan kemiskinan, serta mencapai visi dan kemajuan daerah. Tergeraknya pemerintah daerah kabupaten, bupati, OPD kabupaten, KPH, dan generasi muda milenial membentuk simpul layanan perhutanan sosial, memfasilitasi usulan perhutanan sosial, memberikan layanan dasar bagi masyarakat dan memfasilitasi kegiatan ekonomi dalam rangka meningkat kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan fasilitasi Jarengjebol Hutsos 4.0 dengan tahapan: audiensi dengan gubernur; pertemuan Pokja PPS provinsi; audiensi dengan bupati/walikota; pertemuan dengan OPD kabupaten; Coaching Clinic; Fasilitasi permohonan lapangan; Membangun Kokreasi Perhutanan Sosial 4.0; Launching Rumah

Kokreasi Perhutanan Sosial 4.0 (Perdirjen PSKL No.P.7/2019 tentang Pedoman Tata Cara Fasilitasi Percepatan Perhutanan Sosial).

Perhutanan Sosial 4,0 ini mensyaratkan agar para pejabat pemegang otoritas, birokrasi dan para pihak mulai dari tingkat pusat kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, KPH dan pemerintah daerah kabupaten serta kelompok milenial mempunyai hati dan pikiran yang integrasi (Darusman,2019), tidak hanya mengejar output dan target sendiri tapi bagaimana bersinergi agar serangkaian ouput para pihak tersebut bisa menghasilkan outcome dan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.

Cita-cita mulia perhutanan sosial adalah memberikan kontibusi terhadap perekonomian daerah dan jika 48 juta masyarakat miskin sekitar hutan terfasilitasinya legalitas perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan terfasilitasinya pengembangan usaha dan pemasarannya sehingga secara agregat bisa berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

Untuk percepatan mencapai cita-cita tersebut saya merekomendasikan kebijakan dan langkah-langkah sebagai berikut:

Membentuk badan yang langsung bertanggung jawab terhadap presiden dan bertugas memfasilitasi penyelesaian konflik serta Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Badan ini yang bertanggung jawab mendorong dan memfasilitasi implementasi cara kerja Perhutanan Sosial 4.0;

Membentuk dan atau mengkonsolidasikan BUMN yang memfasilitasi pengembangan usaha dan perekonomian petani-petani RAPS;

Menginisiasi asosiasi usaha perhutanan sosial yang menghimpun para petani perhutanan sosial di tingkat provinsi/region/komoditi. Terbentuknya asosiasi usaha perhutanan sosial akan mengurangi biaya fasilitasi perhutanan sosial.

Sementara integrasi program kementerian/embaga dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah dan para pihak akan membuat fasilitasi perhutanan sosial menjadi lebih efektif.

—Muayat Ali Muhshi, anggota Pokja Perhutanan Sosial Nasional dan anggota

Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS)

Tengkawang.Seorang perempuan Mentawai sedang memilah biji Tengkawang di Desa Mawang Mentawai di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.Foto: Joel Matondong

F rest D gest36 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

DI beberapa tempat perhutanan sosial menjadi solusi konflik lahan di kawasan hutan dan menurunkan angka kemiskinan. Namun, meskipun pencadangannya naik dari 12,7 juta hektare menjadi 13,8 juta hektare dalam

Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial, realisasinya baru mencapai 3,3 juta hektare per September 2019.

Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto peta indikatif itu serupa pencadangan. Artinya, pemerintah telah menyediakan luas lahan untuk dijadikan perhutanan sosial melalui lima skema: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Untuk mendapat surat keputusan perhutanan sosial, masyarakat diminta mengusulkan melalui kelompok tani lahan hutan negara yang mereka garap untuk mendapatkan pengakuan perhutanan sosial.

Pemerintah memakai program perhutanan sosial sebagai akses bagi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan untuk mengelola lahan mereka maksimal 2 hektare per kepala keluarga selama 35 tahun. Izin tersebut tak boleh diwariskan dan terlarang menanam sawit karena tujuan akhir perhutanan sosial adalah menjaga ekologi kawasan hutan, setelah tercapai tujuan ekonomi dan

sebagai resolusi konflik tenurial.Dalam diskusi Strategi Implementasi

Pasca Izin Perhutanan Sosial di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Palembang, 28 Juni 2019, Bambang meminta Kesatuan Pengeleloa Hutan yang berada di bawah provinsi dan kelompok kerja lebih aktif mendampingi kelompok tani sekitar hutan mengajukan izin perhutanan sosial untuk mempercepat

realisasi pemberian akses tersebu. “Saya sudah menjalin kerja sama dengan 28 gubernur untuk membentuk kelompok kerja,” kata Bambang.

Di Palembang, Bambang menemui Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya dan mengulangi serta menegaskan permintaannya. Bambang meminta KPH dan kelompok kerja perhutanan sosial lebih aktif menjadi

Gairah Baru dari BulukumbaPemerintah membuat cara baru meluaskan realisasi perhutanan sosial. Menggandeng kabupaten dan generasi milenial melakukan pendampingan petani hutan.

F rest D gest 37o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

verifikator dan pendamping masyarakat. “Saya berharap KPH menjadi desainer pendampingan sampai membantu petani menemukan pasar produk mereka,” kata dia.

Realisasi perhutanan sosial di Sumatera Selatan baru 105.367 hektare lewat 146 surat keputusan untuk 22.651 kepala keluarga dari alokasi total 361.897 hektare. Menurut Bambang, lima balai

KLHK di lima lokasi tak cukup personel memverifikasi dari banyaknya izin perhutanan sosial yang masuk ke KLHK. Jumlah pendamping saat ini sebanyak 1.215, hanya seperlima izin yang sudah terbit. Bambang meminta 309 unit KPH di 28 provinsi menjadi tulang punggung pendamping masyarakat.

Dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi, yang menjadi pembicara

dalam diskusi itu, punya saran lain yang lebih jitu: memberdayakan mahasiswa Fakultas Kehutanan. Menurut dia, kini ada 68 perguruan tinggi yang memiliki jurusan kehutanan yang berpotensi

Gula semut.Anggota kelompok tani Buhung Lali diDesa Bukit Harapan, Bulukumba,Sulawesi Selatan, sedang mengolah nira.

F rest D gest38 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

menjadi pendamping dalam program ini. “Apalagi kami sedang memperbarui kurikulum pengajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.

Generasi milenial, kata Rinekso, tak lagi cocok dengan gaya kurikulum pedagogik berupa pengajaran di kelas. IPB, kata dia, sedang merancang kurikulum yang akan memperbanyak jumlah waktu praktik di lapangan. Mereka bisa diberdayakan menjadi pendamping perhutanan sosial. “Kami bisa mengisikan 1-2 SKS tentang khusus materi perhutanan sosial,” kata dia.

Permintaan Bambang dan usulan Rinekso direalisasikan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sepanjang Agustus 2019, para pejabat Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan berada kabupaten ini untuk uji coba mempercepat pemberian izin perhutanan sosial menjadi 22 hari sejak diajukan hingga surat keputusannya ditandatangani menteri. “Rata-rata hanya 13 hari,” kata Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Erna Rosdiana pada Ahad, 25 Agustus 2019.

Cara baru ini merupakan uji coba tugas akhir Erna yang sedang menempuh sekolah kepemimpinan di Lembaga Administrasi Negara. Menurut Erna kuncinya ada pada peran pemerintah daerah. Selama ini, target pemberian izin 22 hari yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Siap jual.Produk gula semut anggota kelompok tani Buhung Lali, Desa Bukit Harapan, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Kehutanan 83/2016 tak pernah tercapai karena terganjal di bupati. Rata-rata izin hutan sosial baru terbit dalam dua bahkan hingga enam bulan.

Kementerian Lingkungan Hidup hanya menggandeng gubernur dan Kesatuan Pengelola Hutan yang berada di tingkat provinsi untuk menggenjot realisasi perhutanan sosial kepada masyarakat. “Ternyata gubernur terlalu jauh jangkauannya ke lapangan atau tapak,” kata Erna. Lalu KLHK mencoba mendekati bupati untuk mempercepatnya.

Baru Bupati Bulukumba Andi Sukri Sappewali dan Luwu Utara Indah Putri Indriani yang bersedia bekerja sama, mengadvokasi, hingga kelak mendampingi para petani di daerahnya setelah izin perhutanan sosial terbit. Pada 25 Agustus 2019 itu Kementerian meluncurkan empat izin yang diproses di Bulukumba selama kurang dari sebulan itu.

Menurut Erna, perhutanan sosial acap tak terpantau setelah izin terbit karena tak ada pendampingan kepada petani dari pemerintah. “Ada penelitian Universitas Hasanuddin bahwa di Sulawesi Selatan sebanyak 62 persen perhutanan sosial tak

jalan setelah izin diberikan,” kata Erna.Dengan melibatkan bupati, izin maupun

pengawalannya kelak menjadi lebih terbit. Soalnya, dalam Peraturan 83/2016 itu verifikasi dan izin hutan sosial diberikan setelah ada izin dari pemerintah setempat secara berjenjang. Kendati sudah ada nota kesepakatan dengan 29 gubernur, operasional di lapangan tidak jalan karena bupati dan wakil bupati dipilih langsung—bukan berada di bawah perintah gubernur. Sehingga para bupati yang belum memahami perhutanan sosial cenderung tak mendukung ketika ada petaninya yang mengajukan izin.

Perhutanan sosial merupakan program besar pemerintahan Joko Widodo sejak 2014. Melanjutkan program ini sejak 2004, Jokowi menggenjot realisasinya dengan target yang bombastis: 12,7 juta hektare selama lima tahun. Hingga Agustus 2019, realisasi baru 3,2 juta hektare untuk lima skema: hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemitraan, dan hutan adat.

Dalam skema ini, petani yang telanjur mengelola kawasan hutan diberikan izin terus menggarap lahannya dengan luas lahan garapan maksimal 2 hektare selama 35 tahun tapi tak bisa diwariskan. Setelah verifikasi, mereka harus mengorganisasikan diri dalam kelompok tani agar programnya, seperti bantuan alat produksi dan pendampingan hingga pemasaran produknya, berjalan simultan.

Bulukumba menjadi proyek percontohan percepatan ini karena bupatinya antusias mendorong perhutanan sosial di daerahnya. “Setelah izinnya keluar pemerintah daerah akan bantu pemasaran produknya,” kata Andi Sukri. Menurut dia, perhutanan sosial adalah skema legal yang bisa membantu masyarakatnya lepas dari garis kemiskinan. “Semua lembaga harus terlibat agar Bulukumba bukan lagi kabupaten tertinggal.”

Bambang Supriyanto menambahkan proyek percontohan ini akan dilihat selama enam bulan. Jika pemerintahan Bulukumba dan Luwu Utara sukses mendampingi petaninya, polanya akan ditiru untuk daerah lain. “Kami lihat dan evaluasi,” kata dia.

Meski begitu, penerapan di Bulukumba dan konsep “Jareng Jebol” Erna Rosdiana masuk dalam lima program terbaik di LAN. —Robi Deslia Waldi

F rest D gest 39o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Milenial dalam Perhutanan Sosial

PERHUTANAN sosial selama ini identik dengan orang tua. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa mereka yang terlibat dalam program ini adalah para petani sekitar hutan yang rata-rata usianya 57 tahun. Istilah-istilah dalam perhutanan sosial juga rigid dan birokratis.

Sadar dengan masalah itu, KLHK menggandeng milenial untuk memahami perhutanan sosial—program pemerintah yang

memberikan akses kepada petani yang menggarap lahan di kawasan hutan. Kementerian menggandeng anak-anak muda untuk membantu mendesain produk hingga memasarkan produk petani hutan. “Sehingga nanti ada keberlanjutan karena bisnis hutan ini adalah bisnis jangka panjang,” kata Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial KLHK Erna Rosdiana pada 25 Agustus 2019.

Erna berbicara setelah meluncurkan “Rumah Koordinasi Kreasi Perhutanan Sosial 4.0” di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Menurut Erna, Bulukumba dipilih sebagai proyek percontohan pelibatan milenial karena kabupaten ini relatif memiliki program perhutanan sosial yang bagus. “Selain itu pemerintah daerah kabupatennya sangat mendukung,” kata Erna.

Peluncuran di Hotel Agri itu dihadiri Bupati Andi Sukri Sappewali dan wakilnya, Tomy Satria Yulianto. Pelawak Deddy Gumelar alias Miing Bagito yang membawakan acara bahkan mengatakan baru kali itu ia melihat bupati dan wakilnya duduk berdampingan dalam sebuah acara. “Artinya, keduanya menilai perhutanan sosial sebagai program penting dalam pembangunan Bulukumba,” katanya.

Erna menambahkan dukungan Bupati dan Wakilnya itu tecermin dari cepatnya proses perizinan empat hutan sosial Bulukumba yang mendapatkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup. “Hanya 13 hari syarat-syarat sudah cukup dan SK diberikan,” kata Erna.

Selama ini izin perhutanan sosial tak pernah lebih cepat dari dua bulan. Padahal dalam aturannya, izin harus keluar setelah berkas lengkap selama 22 hari. Menurut Erna, ganjalan utama mandeknya pemberian izin adalah minimnya dukungan dari pemerintah daerah lokasi perhutanan sosial yang diajukan kelompok petani.

Strategi menggandeng gubernur rupanya kurang bertaji di lapangan. KLHK sudah menjalin nota kesepahaman dengan 28 gubernur dengan membentuk kelompok kerja untuk mempercepat realisasi pemberian izin hutan sosial ini. Namun, tangan gubernur terlalu jauh ke tingkat tapak sehingga kesepahaman itu kurang efektif. Apalagi, bupati dipilih secara langsung yang otonom dari pemerintah provinsi.

Pemerintah Bulukumba melangkah lebih jauh. Mereka menggandeng milenial setempat mendampingi para petani yang sudah mendapat izin meningkatkan nilai tambah produk yang mereka hasilkan. Karena itu, dalam dua hari rangkaian peluncuran, KLHK mendatangkan para guru dan pelatih untuk mengajari anak-anak muda itu dalam hal pemasaran, strategi bisnis, kehumasan, desain produk, hingga cara membuat konten media sosial yang efektif. “Ini strategi bagus,” kata Tita Kamila, Putri Pariwisata Sulawesi Selatan 2017, yang jadi peserta. “Sudah saatnya milenial terlibat langsung dalam pengelolaan hutan.”

Pemerintah menargetkan realisasi perhutanan sosial 12,7 juta hektare atau 10 persen dari luas kawasan hutan Indonesia. Hingga Agustus realisasinya baru 3,2 juta hektare. Perhutanan sosial menjadi program andalan pemerintahan Joko Widodo untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Perhutanan sosial digenjot karena selama ini praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat jauh lebih lestari ketimbang hutan diberikan kepada korporasi seperti era Orde Baru.

Ada lima skema perhutanan sosial: hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Tujuan program ini adalah memberikan pemberdayaan ekonomi kepada masyarakat, meredam konflik sosial antar negara dan masyarakat, hingga tercapainya keseimbangan ekologi hutan di tiap kawasan hutan sosial.

—Robi Deslia Waldi

Milenial.Anggota Komunitas Sabtu Keren berkunjung ke hutan adat Ammatoa di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

F rest D gest40 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

TAHUN 1990 seorang India bernama Dr. Narayan G. Hegde menuliskan cerita perjalanannya ke Tiongkok dalam sebuah buku, Rural development and social forestry Lessons from China. Pada 1988, Presiden BAIF Development Research

Foundation itu telah menjelajahi daratan Cina bagian barat sejauh 3.500 kilometer. Kota penting yang ia lalui adalah Beijing, menyusur Yanzhou, Yangzhou, Yixing, dan berakhir di Hangzhou. “Secara geografi, China dekat dengan India tapi mayoritas penduduk di dua negara tersebut tidak terlalu saling kenal,” kata Hegde.

Baginya negara berpopulasi besar dan terluas ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Kanada ini sangat unik. Di sana Hegde mempelajari pembangunan perdesaan dan perhutanan sosial. “Cina sudah memperlihatkan jalan, jalan yang layak diikuti negara berkembang,” katanya.

Dibanding India, kata Hedge, Cina lebih hebat dalam produksi pertanian dan pertumbuhan ekonomi. Kuncinya adalah tingginya hasil pertanian dan bagusnya pengelolaan sumber daya alam. Bahkan kata Hegde, pendapatan per kapita penduduk desa lebih baik dari warga kota karena ada pembatasan urbanisasi.

Semuanya bermula dari revolusi dan reformasi 1949 oleh Mao Tse Tung yang mendorong sejajarnya pria-wanita dalam komunitas pertanian. Juga program turba yang mewajibkan pegawai pemerintah tinggal di desa untuk membantu memecahkan persoalan desa dengan pendekatan yang tepat dan teknologi yang cocok.

Reformasi kebijakan pertanian tahun 1979 juga mendorong kebijakan terbuka dalam pengelolaan sumber daya oleh individu. Dengan kebijakan ini, rakyat bekerja lebih keras. Sejak pertanian

menjadi tulang punggung pendapatan dan pekerjaan, pemerintah juga mengenalkan industri kecil untuk rakyat. Di desa, 10% tanahnya untuk pengembangan industri.

Partai komunis menunjuk seorang pengelola di desa yang mengurus administrasi desa dan menghubungkan rakyat dengan partai. Beberapa jenis industri yang populer antara lain pengolahan makanan, peternakan, produksi pakan ternak, pengolahan kayu.

Pelajaran penting yang dilihat Hegde adalah fenomena turunnya para ilmuwan pertanian ke desa. Mereka bekerja beberapa saat di desa untuk menemukan solusi yang cocok dalam mengatasi persoalan-persoalan perdesaan. Cina yakin ilmuwan pertanian dan kehutanan dapat membantu persoalan pengelolaan sumber daya alam. Di Indonesia, sabbatical leave pernah ditiru dengan mendorong para dosen turun ke perdesaan oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.

Hal menonjol lainnya adalah

melibatkan anak sekolah. Pemerintah Cina meliburkan kelas selama satu dua minggu saat musim tanam. Inilah cara melibatkan siswa untuk menanam pohon sejak dini, untuk program penghijauan. Di tahun 2000-an Indonesia pernah memperkenalkan program kecil menanam dewasa memanen (KMDM) tapi tidak sampai mengeluarkan kebijakan libur sekolah untuk aksi tanam pohon.

Cina menerapkan “ecological farming” untuk maksud dua hal: mendaur ulang sampah pertanian dan meningkatkan produktivitas pertanian. Sementara multipurpose water management system diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian dan mengontrol banjir.

Dalam hal perhutanan sosial, ada tiga istilah yang disebut Hedge dalam bukunya: penghijauan, agroforestrik dan penanaman kakija. Semuanya diawali dengan riset. ”Penelitian dan pengembangan kehutanan menjadi prioritas utama di China,” kata Hegde.

laporan utama

Rona Kuning di Jalan NanjingCina menerapkan perhutanan sejak revolusi 1949. Perencanaannya detail.

pohon wutong.Tumbuh di dalam kampus Nanjing Normal University, Nanjing, Tiongkok

pohon ginkgo biloba.Di jalan sekitar distric Gulou Nanjing, November 2017.

F rest D gest 41o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Polanya tiga tingkat: nasional, provinsi dan kabupaten. Pada 1958 berdiri Chinese Academy of Forestry (CAF) sebagai koordinator kegiatan penelitian. Diikuti dengan pendirian lembaga sejenis di level bawahnya. Pada tingkat nasional, program riset dasar dan terapan dilakukan universitas dan organisasi penelitian kehutanan. Sementara provinsi hanya mengembangkannya dan kabupaten hanya untuk penyuluhannya.

Tutupan lahan Cina pada 1949 hanya 8,6% dan pengenalan serangkaian kebija-kan sejak 1978 telah menggerakkan sekitar 800 juta petani untuk membangun hutan dan telah menaikkan tutupannya menjadi 12% di 1981. Banyak tujuan sosial dari penghijauan yang mereka kembangkan, dua di antaranya adalah pengembangan ekonomi di daerah pegunungan dan pemenuhan kebutuhan kayu tahunan sebanyak 50 juta meter kubik.

Partisipasi masyarakat dalam penghijauan sukses karena bertumpu pada tiga hal. Pertama, perubahan kebijakan. Setelah reformasi tahun 1979, petani menikmati pendapatan dari penanaman pohon. Kedua, pelatihan dan demonstrasi.

Dua yang disebut terakhir dilakukan secara intensif meliputi model dan teknik yang variatif yang dilaksanakan oleh CAF bekerja sama dengan biro kehutanan di perdesaan. Bibit dari induk yang baik dari berbagai spesies pohon banyak diperkenalkan dan distribusikan ke petani. Ketiga pengaturan pemasaran. Jaringan pasar yang bagus dibuat sebagian besar melalui koperasi untuk mendapatkan produk dari petani dengan harga yang menguntungkan.

Pada 1950 “shelterbelts” mulai gencar dibangun pemerintah China. Polanya dengan agroforestri dan itu menyebar ke semua wilayah. Akibatnya, Hegde melaporkan, pola agroforestri dapat menutupi 40% lahan pertanian. Keberhasilannya tidak lepas dari penanaman spesies terpilih yang direkomendasikan CAF. Tak lupa, dengan pelatihan petugas teknis tingkat desa untuk efektivitas program.

Cerita sukses Cina dalam penanaman kakija bukan isapan jempol. Sejak medio 2015 hingga kini saya menyaksikannya di Kota Nanjing. Ginkgo biloba, tanaman pinggiran jalan, dengan warna daunnya

yang menguning di musim gugur, jadi ciri khas jalan di sana. Memperindah suasana Distrik Gulou di bula November hingga awal Desember. Sebelum akhirnya ia gugurkan daun indahnya di lantai jalan.

Hutan kemasyarakatan telah berhasil mengangkat derita desa Kabupaten Huoshan Provinsi Anhui dengan kontur pegunungan dari jurang kemiskinan. Seperti diceritakan Hegde, kesuksesan itu karena Cina menerapkan perhutanan sosial secara inklusif. Hedge melaporkan bahwa perhutanan sosial berproses sejak bibit hingga panen. Mulai tahap penelitian hingga penerapan teknologi yang paling cocok dengan menimbang areal geografi yang beragam, bahkan jalanan kota dan desa.

Peran masyarakat, menurut Hedge, menjadi faktor pendorong yang penting dalam cerita sukses perhutanan sosial di Cina.

— Nanjing, Agustus 2019.Nanang Zulkarnaen

pohon wutong.Di Zhongshan South Road, Tiongkok, Juni 2019.

F rest D gest42 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

Atas Nama Keadilan Akses

PERHUTANAN sosial menjadi program unggulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada periode pertama 2014-2019. Pemerintah hendak memberikan akses mengelola hutan kepada masyarakat di sekitarnya seluas 12,7 juta hektare—belakangan direvisi menjadi 13,8 juta hektare. Luas ini hanya 10

persen dari luas hutan Indonesia atau sepertiga dari luas hutan yang diberikan kepada korporasi besar. Meski begitu realisasinya baru 3,3 juta hektare hingga September 2019. Belum lagi problem besar setelah izin akses diberikan. Jumlah pendamping yang kurang, hanya 1 pendamping untuk 5 hutan, membuat produk hutan sosial belum bisa mengakses pasar yang luas.

Aceh459.018

SumateraUtara

550.007

SumateraBarat

776.713

Jambi368.253

Bengkulu107.254

KepulauanRiau

129.729

SumateraSelatan492.263

BangkaBelitung123.470

Lampung176.108

Banten1.276

Yogyakarta1.605

JawaTengah1.514

KalimantanBarat

1.518.801

JawaBarat

23.664

Riau1.420.225

Realisasi hutan sosialper Agustus 2019 (hektare)

Hutan produksi4.328.612

Definitif perhutanan sosial

994.245,3

Hutan produksi terbatas

4.445.521

Hutan adat8.746,49

Hutan lindung2.531.958

Hutan produksi konservasi 1.577.986

Jenis hutan dalam perhutanan sosial (hektare)

Yogyakarta1.605

JawaTengah1.514

JawaTimur2.055

Bali9.435

NusaTenggara

Barat477.721

NusaTenggara

Timur667.653

KalimantanTengah

1.564.064

KalimantanTimur

660.782

KalimantanSelatan327.251 Sulawesi

Selatan285.870

SulawesiTenggara230.040

SulawesiBarat

55.817Maluku201.911

SulawesiTengah346.785

Gorontalo46.992

SulawesiUtara50.410

MalukuUtara60.472

PapuaBarat

254.581Papua

1.336.607

KalimantanUtara

185.268

Skema Hutan SosialSyarat mendapatkan hutan sosial adalah penduduk di sekitar hutan negara. Akses diberikan per kelompok minimal 15 kelompok tani dengan luas 2 hektare per keluarga di Jawa dan 5 hektare di luar Jawa selama 35 tahun. Khusus Jawa diatur khusus karena hutan sosial lebih banyak di areal Perhutani. Lima skema perhutanan sosial: hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

Realisasi hutan sosialper Agustus 2019 (hektare)

Sumber KLHK

F rest D gest 43o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest44 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

KETIKA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan penghargaan kepada Kelompok Tani Hutan Wana Lestari Sejahtera Lampung Barat pada Februari 2019, ingatan saya melayang ke masa 2015. Pada tahun itu saya meneliti KTH ini

untuk studi doktoral. Tak heran Wana Lestari mendapat penghargaan satu dari sembilan kelompok tani perhutanan sosial.

Masyarakat di sana telah lama berinteraksi dengan kawasan hutan lindung 45 B Bukit Rigis dengan memanfaatkan hutan lindung untuk menanam kopi robusta dan hasil hutan lainnya secara ilegal. Dinas Kehutanan setempat lalu mensosialisasi izin pengelolaan hutan dengan skema hutan kemasyarakatan.

Kelompok tani ini mendapat izin mengelola hutan lindung Bukit Rigis pada 2007 seluas 267,76 hektare yang terdiri dari blok perlindungan seluas 87,12 hektare dan blok budidaya 173,64 hektare. Blok areal perlindungan meliputi hutan primer, hutan sekunder, dan daerah kritis/puncak pematang dan sumber mata air, sementara areal budidaya berupa areal garapan hutan kemasyarakatan (HKm) dan belukar. Areal garapan HKm terletak pada ketinggian 700-830 meter dari permukaan laut, dengan kelembaban udara 80-90%, suhu 18-27°C dan curah hujan 2.500-3.000 milimeter per tahun dengan lama musim penghujan sembilan bulan dan musim kering tiga bulan.

Hutan primer yang ada di blok perlindungan areal garapan petani Wana Lestari seluas ± 87,12 hektare atau 35% dari luas total areal garapan. Beberapa jenis pohon yang ditemukan di blok tersebut adalah medang, surian, pasang, cemara, mengkudu, rotan, bambu betung,

aren, anggrek, serta buah-buahan hutan lainnya. Sementara beberapa jenis binatang yang ada di sana, antara lain, seperti beruang madu, harimau, kukang, kijang, babi, landak, biawak, musang, lutung, kucing hutan, berbagai jenis ular dan burung.

Kelompok Tani Mitra Wana Lestari pada 2014 hanya beranggotakan 76 orang, setelah 13 tahun terbentuk. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan pada bulan April 2001 dengan bantuan teknis dari Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat dan LSM WATALA, luas areal HKm yang sudah digarap seluas 152,54 hektare.

KTH ini juga telah membuat beberapa kesepakatan bersama pada September 2001 terkait hak dan kewajiban dalam pengelolaan HKm seperti kewajiban untuk menanam jumlah pohon sebanyak 400 batang per hektare, tidak memindahtangankan areal garapannya kepada siapa pun, memberikan sumbangan sukarela kepada kelompok dan sebagainya.

Pola tanam yang dikembangkan di sini adalah multistrata tajuk di mana tanaman tajuk pendek didominasi oleh kopi (robusta), sementara tajuk sedang dan tajuk tinggi dengan jenis MPTs seperti alpukat, nangka, dadap, dan petai. KTH juga secara bersama-bersama membuat pembibitan tanaman yang memudahkan anggotanya mendapatkan bibit secara gratis untuk menanam atau menyulam areal garapannya agar kewajiban menanam minimal 400 batang per hektare pohon dapat terpenuhi. Beberapa jenis tanaman/pohon yang ada di pembibitan seperti cabai, kopi, sengon, cempaka, suren, alpukat, nangka, lamtoro, dan dadap.

Praktik pemindahtanganan lahan garapan HKm meskipun sudah dilarang, namun masih sering terjadi. Beberapa alasan yang mendasari terjadinya pemindahtanganan lahan garapan

antara lain adanya desakan kebutuhan ekonomi (anak sekolah, hajatan), uangnya digunakan untuk memindahtangankan lahan garapan yang lebih dekat dengan tempat tinggal petani, membeli lahan marga (lahan milik), dan untuk keperluan lainnya.

Pelan-pelan, setelah kelompok tani pertama berhasil mengembangkan kopi tanpa dikejar polisi hutan, petani lain terdorong bergabung. Terlihat ada tiga tahap dalam kemajuan perhutanan sosial Wana Lestari: penyadaran, pemberian kapasitas, dan pemberdayaan.

Pada tahap penyadaran, masyarakat diberi pemahaman bahwa hutan lindung harus dijaga kelestariannya. Masyarakat setuju karena keberadaan hutan juga menguntungkan mereka yang membutuhkan naungan untuk

Tiga Tahap Wana LestariHutan sosial bisa sukses jika setiap komponen bekerja bersama. Juga kesadaran masyarakat akan fungsi hutan bagi hidup mereka.

laporan utama

F rest D gest 45o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

kebun kopi. Mereka berpatroli mencegah pembalakan liar dan pembakaran lahan. Para petani juga mengonservasi tanah dan air dengan membuat terasering dan penanaman rumput. Tahap penyadaran melalui sosialisasi, penyuluhan, dan pendampingan dari Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi, ICRAF, Universitas Brawijaya, dan WATALA.

Pada tahap pemberian kapasitas, universitas dan lembaga swadaya mendampingi mereka mengelola organisasi, menyusun aturan main kelompok, membangun kebersamaan. Wana Lestari dan Bina Wana Lestari di Kecamatan Sumberjaya Lampung Barat termasuk dua lokasi yang acap dijadikan areal penelitian dari beberapa lembaga penelitian seperti ICRAF, CIFOR dan perguruan tinggi seperti dengan topik

yang beragam mulai dari aspek sosial ekonomi lingkungan, jasa lingkungan, dan daerah aliran sungai. Mereka meneliti sekaligus menjadi pendamping.

Petani Mitra Wana Lestari secara langsung maupun tidak langsung mendapat manfaat dari keberadaan lembaga-lembaga tersebut selama berinteraksi maupun dalam memanfaatkan hasil penelitiannya. Dari hasil interaksi tersebut, lembaga-lembaga tersebut tergerak untuk melakukan pendampingan

dan memfasilitasi kelompok petani mulai dari sosialisasi sampai mendapatkan izin hutan kemasyarakatan, sehingga secara perlahan terjadi peningkatan kapasitas baik secara perorangan/ kelompok karena ada transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi.

Para petani juga sering terlibat dalam Forum DAS Way Besai dan Way Seputih, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Lampung, Wadah Rembug Tani Hutan (Waremtahu) Kecamatan Sumberjaya dan Way Tenong, Kader Pengaman Hutan Register 45 B Bukit Rigis. Mereka juga terlibat dan mengikuti beberapa pelatihan seperti pembibitan tanaman kayu-kayuan dan tanaman buah, pemetaan partisipatif, pelatihan manajemen kelompok, dan sebagainya baik yang diadakan oleh LSM WATALA, ICRAF, Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, dan lembaga lainnya. Beberapa orang petani sering dipercaya oleh instansi terkait sebagai fasilitator dan narasumber dalam berbagai pelatihan/pendidikan terkait pengelolaan hutan kemasyarakatan.

Dampak dari berbagai proses pemberian kapasitas tersebut terlihat pada kemampuan petani dalam implementasi pengelolaan hutan kemasyarakatan di lapangan sesuai dengan peraturan. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi terlihat mudah karena para petani acap mengikuti pelatihan/pendidikan yang diteruskan kepada anggota lain dalam pertemuan bulanan.

Dalam tahap pemberdayaan, para pendamping melibatkan para petani sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pemasaran produk kopi dari hutan sosial mereka.

Dari pengalaman kelompok tani Mitra Wana Lestari, bisa disimpulkan bahwa sebuah hutan sosial akan berhasil jika semua komponen terlibat: petani yang sadar, pemerintah pusat dan daerah yang tekun memberikan sosialisasi, hingga perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi petani dalam meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat melalui pendampingan dan transfer ilmu pengetahuan.

—Sanudin, peneliti madya pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Agroforestri Ciamis, Jawa Barat

Panen.Perempuan penduduk Desa Rawas di Krui, Lampung, sedang memanen getah damar mata kucing Foto: Indra Pradya/duniaindra.com

F rest D gest46 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

GAMBUT adalah areal hutan yang tak produktif. Gambut itu tak berpenghuni. Hutan gambut telah rusak dan tak cocok untuk sumber penghidupan. Gambut sumber kebakaran. Gambut sumber bencana ekologis di Indonesia.

Itulah stigma negatif terhadap gambut yang disimpulkan Eko Cahyono, peneliti

gambut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, yang memaparkannya dalam diskusi “Perhutanan Sosial di Lahan Gambut: Mau Dibawa Kemana?” di Hotel Holiday Inn Express Jakarta pada 23 Juli 2019. Akibat stigma itu, kata Eko, kebijakan terhadap pengelolaannya menjadi tak komprehensif dan gambut telah dipandang sebelah mata.

Padahal, seperti ekosistem hutan lain, ada jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada gambut—kawasan biomassa maha luas yang terbentuk oleh

serasah selama berabad-abad. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Kementerian Pertanian, luas hutan gambut setidaknya 26,5 juta hektare, tersebar di semua kepulauan Indonesia terutama Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Akibat pengelolaan hutan yang tak lestari, disusul perubahan orientasi bisnis dari hutan ke perkebunan, membuat gambut rusak seluas 3,7 juta hektare. Kerusakan ini agaknya yang membuat stigma negatif terhadap gambut. Akibatnya, pemerintah sangat berhati-hati menelurkan kebijakan perhutanan sosial di gambut.

Selain ada moratorium izin baru pembukaan lahan gambut, yang hendak dipermanenkan setelah habis masa perpanjangannya Juli tahun ini, gambut dianggap rawan kebakaran karena ia

Gambut yang Belum BersambutBelum banyak perhutanan sosial di kawasan gambut. Pemerintah baru menerbitkan aturannya.

F rest D gest 47o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

berfungsi menyimpan panas.Walhi mencatat ada 237.472 hektare

pengajuan izin perhutanan sosial yang belum disetujui pemerintah. Dari 3,09 juta hektare izin perhutanan sosial hingga Juni 2019 yang sudah diterbitkan pemerintah, mayoritas diberikan untuk hutan non gambut.

Dari catatan Walhi baru ada tujuh desa di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, yang mendapat izin mengelola kawasan dengan skema hutan desa seluas 10.390 hektare yang surat keputusannya terbit pada 2017 . Lalu di Desa Buntoi, Kalimantan Tengah, berupa hutan tanaman rakyat seluas 1.912 hektare.

Kesulitan mendapatkan izin akses masyarakat sekitar gambut mengelola hutan melalui perhutanan sosial setidaknya terbaca dari pengalaman Akiat, penduduk Desa Kapau Baru, Kepulauan Meranti, Riau. Akiat menceritakan usahanya mendapat legalitas mengelola hutan di kawasan gambut. “Setelah lima tahun belum berhasil sampai mendapat izin hutan kemasyarakatan sampai sekarang,” kata Akiat dalam diskusi yang dihela oleh Wahana Lingkungan Hidup dan Kemitraan ini.

Penduduk Desa Kepau Baru—150 kilometer dari Pekan Baru ke arah selat Malaka—umumnya mengandalkan hidup dan kebun sagu sejak awal mereka menghuni kampung. Desa dengan tiga dusun itu dihuni sekitar 2.000 jiwa yang sebagian besar merupakan Suku Akit. Sejak 1970 mereka mengandalkan hidup pada kebun sagu atau menjadi nelayan.

Menurut Akiat, ia dan tetangganya mengajukan skema hutan kemasyarakatan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena sebagian besar wilayah desa berada dalam konsesi hutan tanaman industri PT Nasional Sago Prima. “Sebagian dari kami adalah korban sistem ijon karena mengolah kebun di atas lahan yang izinnya di pegang perusahaan,” kata dia.

Bagi suku Akit, gambut menjadi ekosistem penting karena menjadi penjaga ketersediaan air bersih. Karena itu, dengan memelihara kebun sagu secara otomatis mereka menjaga air dalam kawasan gambut itu. Kayu, sementara itu, hanya mereka pakai untuk membangun rumah atau membuat perahu. “Kami memelihara sagu dengan kearifan lokal,” kata Akit.

Wujud kearifan lokal itu berupa mengombinasikan kayu dan sagu sebagai agroforestri, tak memakai kanal sebagai jalur distribusi maupun akses dari rumah ke kebun, tak membakar lahan untuk mengolah pertanian, dan tak memakai pupuk kimia untuk meningkatkan produksi sagu. “Kalau sudah ada izin, kami tak lagi menumpang kebun sagu di lahan tauke,” kata Akiat.

Kesulitan memberikan izin perhutanan sosial di areal gambut juga diakui para pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Menurut Direktur Kemitraan Lingkungan Jo Kumala banyak pertimbangan dari pemerintah sebelum memberikan izin perhutanan sosial di gambut. “Ada regulasi yang belum harmonis,” katanya. “Dan risikonya lumayan tinggi di gambut.”

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto menambahkan bahwa peraturan Menteri Lingkungan soal perhutanan sosial di gambut belum terbit. “Saya sudah paraf,” katanya. Menurut dia, sudah ada sekitar 230.000 hektare usulan perhutanan sosial gambut di tujuh provinsi prioritas: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.Prinsip utama perhutanan sosial di

lahan gambut, kata Bambang , adalah mengedepankan pelestarian Kesatuan Hidrologis Gambut. Peraturan tersebut akan mengatur pengembangan ekonomi di lahan ini. Pada gambut dengan fungsi lindung yang ketebalannya lebih dari 3 meter, pemanfaatan gambut tidak bisa dilakukan melalui budi daya, melainkan jasa lingkungan semacam ekowisata. Budidaya baru bisa dilakukan untuk gambut dengan ketebalan 1-3 meter berupa penanaman pohon.

Selama ini perhutanan sosial untuk lima skema mengacu pada Peraturan Nomor 83/2016 tentang perhutanan sosial. Di sana gambut hanya disinggung jika pemanfaatan hutannya untuk tujuan restorasi. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah 71/2014 yang mengatur fungsi lindung gambut untuk penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan jasa lingkungan.

Karena itu Boy Jerry Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi, mengajukan usul agar Menteri Lingkungan membuat peraturan khusus perhutanan sosial di gambut melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Tanpa revisi aturan, kata dia, masyarakat sekitar gambut akan terus kesulitan mendapatkan akses kelola.

Menurut Boy, pengelolaan hutan sosial oleh masyarakat di gambut terbukti ramah lingkungan. Di Desa Sungai Tohor, tetangga Kepau Baru, masyarakat menghasilkan 300-500 ton sagu per bulan yang diproduksi secara konsisten. Masyarakat tak merusak ekosistem gambut. “Kearifan lokal ini mampu menjadi nadi perekonomian, menyelamatkan hutan dan ekosistem gambut, sehingga menyelamatkan mereka dari ancaman bencana ekologi,” kata dia.

Kekhawatiran akan risiko kebakaran di lahan gambut, menurut Boy, juga terbantahkan oleh data bahwa pada kebakaran 2018 titik api lebih banyak berada di konsesi perusahaan dibanding di areal gambut yang dikelola masyarakat. “Saya belum tahu apakah muatan peraturan itu mengakomodasi secara utuh kearifan lokal masyarakat yang melakukan aktivitas di ekosistem gambut,” kata Boy.

—Drajad Kurniadi, Dewi Rahayu PN

gambut.Kawasan gambut di Kalimantan Tengah. Dok. RMU

F rest D gest48 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

PEMBERIAN akses terhadap hutan negara kepada masyarakat setempat melalui program perhutanan sosial selama 2015-2019 bisa dikatakan luar biasa. Kini luas hutan negara yang dikelola oleh masyarakat berdasarkan izin legal mencapai 3,32 juta hektare yang dikelola

oleh 7,4 ribu keluarga, berdasarkan data tanggal 3 September 2019. Suatu lompatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan capaian selama lebih dari 20 tahun sebelum 2015.

Pencapaian itu merupakan hasil dari proses kerja dari organisasi atau lembaga yang menjalankan peran, tugas dan fungsi, serta koordinasi dan kolaborasi antara organisasi/lembaga (pemerintah, masyarakat sipil, akademisi-peneliti) dari tingkat nasional sampai tapak dengan dukungan kebijakan, regulasi dan finansial, termasuk dari lembaga donor internasional.

Secara internal organisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengurus perhutanan sosial naik derajat menjadi eselon I, dengan dipimpin seorang direktur jenderal. Dengan kewenangan dan kekuatannya itu pemerintah membuat jangkauan perhutanan sosial lebih luas dan lebih kuat menarik para pihak untuk bersama-sama mendorong proses realisasinya. Cara kerjanya juga kini lebih inklusif merangkul para pihak, proaktif (apa yang disebut sebagai “jemput bola”) melayani masyarakat, dan lebih sistematis membuat realisasi hutan sosial lebih cepat.

Penyediaan peta indikatif (PIAPS), pendampingan lapangan, pelaksanaan verifikasi teknis, rapat koordinasi, serta gelar Festival Perhutanan Sosial Nusantara adalah kerja-kerja produktif dan “provokatif ”. Capaiannya bukan hanya luas hutan yang telah diberikan izin pengelolaannya, tetapi juga pengembangan kelembagaan dan aktivitas bisnis setelah

Hutan Sosial yang IdealEnam syarat mencapai perhutanan sosial yang ideal. Setelah urusan legalitas selesai.

izin diberikan. Tolok ukur keberhasilan sebuah hutan sosial memakai ukuran modern yaitu silver, gold dan platinum.

Apakah cara-cara kerja dan capaian itu sudah memuaskan? Belum. Masih sedikit hutan sosial yang mencapai platinum, sebagian besar masih pada tahap baru mendapat legalitas. Bisnis hutan sosial masih konvensional on-farm, belum banyak bergerak di off-farm; jangkauan pasar produknya juga belum luas, meskipun di era digital industri 4.0 ini.

Perhutanan Sosial masih terbatas urusan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di KLHK dengan sedikit dukungan dari eselon 1 lainnya. Perhutanan sosial terlihat belum “mendarah daging”, belum embedded dan inherent pada direktorat lain di KLHK. Bahkan perhutanan sosial belum “mendarah daging” pada kebijakan dan program kerja kementerian/lembaga lainnya dan pemerintah daerah. Pertanyaannya, seperti apa dan bagaimana perhutanan sosial yang ideal?

Pertama, perhutanan sosial mestinya merupakan “darah”, embedded dan inherent di dalam seluruh birokrasi KLHK, pada birokrasi lembaga lainnya dan pemerintah daerah yang hidup dan menghidupkan pembangunan kehutanan dan pembangunan masyarakat pedesaan Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memegang peranan penting dalam memastikan sinergitas internal KLHK maupun antar lembaga di pusat dan daerah melalui perencanaan dan pengawasan penggunaan anggaran dan program/kegiatan hutan sosial.

Demikian pula Badan Perencana Daerah yang bisa berperan dalam memastikan sinergitas internal dinas bidang kehutanan

Hutan Tanaman Rakyat.Perhutanan sosial di Desa Lubuk Seberuk, Sumatera Selatan.

F rest D gest 49o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest50 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

maupun antar dinas/badan di daerah untuk pembangunan hutan sosial. Semuanya harus mengusung perhutanan sosial untuk mewujudkan peningkatan secara terus menerus kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial, dengan tetap menjaga kelestarian ekologis.

Sebab, perhutanan sosial bisa berperan dalam mencapai tujuan pembangunan SDGs, khususnya goals (1) Without Poverty; (6) Water Supply and Sanitation Eligible; (7) Clean and Affordable Energy; (9) Industry, Innovation and Infrastructure; (12) Consumption and Sustainable Production; (13) Handling Climate Change; and (15) Teresterial Ecosystems. Melalui kolaborasi dan sinergi program antara lembaga birokrasi, pengelolaan bisnis bisa berjalan berkelanjutan mewujudkan kemandirian, kemakmuran, kelestarian.

Kedua, penguatan dan pengembangan perhutanan sosial dalam kerangka desentralisasi dan devolusi pengelolaan hutan. Devolusi pengelolaan hutan merupakan pelimpahan kekuasaan, seperangkat hak, dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada masyarakat desa hutan untuk merencanakan tujuan dan mengambil keputusan secara independen.

Devolusi pengelolaan hutan memberikan hak kelola atas hutan kepada masyarakat. Hak kelola sedikit lebih lemah dari hak milik, atau sebaliknya hak penguasaan oleh negara atas hutan masih lebih kuat pada hak kelola dari pada hak milik yang penuh. Hak kelola mencakup hak untuk mengambil, memanfaatkan, menggunakan, membudidayakan, dan memindahtangankan (khususnya mewariskan lahan hutan, menjual hasil hutan).

Sampai sejauh ini tidak ada batasan teknis jenis tanaman dan pola tanam dari pemerintah ataupun pilihan skema perhutanan sosial, serta struktur dan komposisi tanaman tetap membentuk hutan. Selama ini pilihan skema perhutanan sosial lebih ditentukan oleh pemerintah: Hutan Desa (HD) yang dikelola oleh lembaga desa menjadi pilihan dan terluas di antara skema PS lainnya. Ke depan, masyarakat harus diberi kesempatan memilih satu dari lima skema yang tersedia sesuai konteks sosial budayanya. Namun demikian pemerintah tetap mengendalikannya untuk menjaga keadilan sosial dan kelestarian ekologis di

tingkat masyarakat.Desentralisasi pengelolaan hutan juga

penting sebagai penguatan kewenangan, tugas dan tanggung jawab Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). KPH bersama masyarakat bisa secara paritisipatif melakukan pendekatan sosial, penetapan areal hutan dan kelompok masyarakat sebagai obyek dan subyek hutan sosial, pendampingan masyarakat, dan pengembangan bisnis.

Sejauh ini peran KPH masih lemah. Hanya KPH yang berani berinisiatif dan berani melakukan diskresi yang dapat membangun perhutanan sosial. Agar KPH mampu menjalankan perannya, lembaga ini perlu dikuatkan ketersediaan sumber daya manusianya, anggaran, dan kewenangannya. Penguatan peran KPH ini tidak akan melemahkan peran pusat (KLHK), karena paradigmanya memakai pendekatan berbagi dan menyelaraskan peran.

KPH dan Dinas Kehutanan bisa menjalankan peran yang lebih teknis dan operasional sementara peran kebijakan, strategi, dan penetapan standar mutu dijalankan oleh KLHK. Kualitas komunikasi KLHK-Dinas Kehutanan & KPH perlu terus ditingkatkan agar terjalin hubungan kerja sama yang harmonis dan saling menguatkan. Hal ini memang membutuhkan penyelarasan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, penguatan kelembagaan masyarakat. Masyarakat membutuhkan leadership (kepemimpinan) yang mengombinasikan orientasi bisnis dan sosial budaya. Kepemimpinan kelompok/koperasi perhutanan sosial menghadapi ragam tipologi petani: petani investor yang aman, petani pemaksimal keuntungan, atau petani yang subsisten dan enggan pada risiko.

Pemimpin kelompok/koperasi perhutanan sosial harus mampu memotivasi, melayani, melindungi yang lemah, memastikan ketepatan subyek hutan sosial, dan menegakkan keadilan. Pemimpin tidak menjadi bagian dari elite kelompok yang mengutamakan kepentingan sendiri di atas kepentingan bersama. Aturan main yang dapat bekerja (working rules) baik bersumber dari adat istiadat maupun kesepakatan-kesepakatan baru oleh para anggota kelompok/ koperasi ditegakkan dan

disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan baru. Penguatan kelembagaan ini perlu difasilitasi atau didampingi oleh penyuluh kehutanan atau LSM atau akademisi yang berperan sebagai pendamping masyarakat pengelola PS.

Keempat, pengembangan bisnis perhutanan sosial untuk memperkuat kapasitas pengelola PS dalam mengembangkan bisnis on-farm dan off-farm, dan pemasaran produknya. Kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat tidak bisa diwujudkan tanpa pengembangan bisnis. Bisnis on-farm (pengelolaan dan pemanfaatan hutan dengan hasil non kayu) dan off-farm (pengolahan/industri kayu dan non katu, dan jasa lingkungan) membutuhkan kapasitas petani untuk menggali

laporan utama

F rest D gest 51o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

potensi sumber daya hutan, berinovasi menciptakan dan menemukan peluang pasar. Bisnis memerlukan perubahan. Memang, mengubah tradisi dari on-farm ke off farm pada petani generasi tua lebih sulit. Tapi ini bisa menjadi tantangan bagi generasi muda untuk mengembangkan off-farm berbasis hutan di desanya.

Kelima, penguatan jalinan kerja sama/kolaborasi antar pihak. Dalam menjalankan kewenangan, tugas dan tanggung jawabnya, KPH dan masyarakat dapat membangun jalinan kolaborasi dengan para pihak melalui pola-pola jalinan, misalnya pola triple helix (pemerintah = KPH, Dinas Kehutanan, KLHK; masyarakat pengelola PS; akademisi; dan industri atau perusahaan swasta) atau penta helix (pemerintah,

masyarakat pengelola hutan sosial, masyarakat sipil = LSM, akademisi, industri, dan media masa) sesuai kebutuhan.

Dengan jalinan tiga atau lima komponen tersebut yang menyatukan kekuatan kebijakan, kekuatan sosial, kekuatan ekonomi-finansial, dan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kekuatan dan peluang dapat dikembangkan dan segala hambatan dan kelemahan dapat diatasi dalam perubahan sosial yang dinamis. Kerja sama antar kelompok masyarakat pengelola hutan sosial dalam suatu

kawasan perdesaan dapat dikembangkan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari pada suatu kawasan pedesaan atau daerah aliran sungai (DAS) dan skala bisnis yang lebih besar.

Di era industri 4.0 masa yang sangat mendukung bisnis dan pemasaran produk-produk hutan sosial, KPH dalam suatu wilayah (region) atau antar wilayah dapat bekerja sama dalam pemasaran produk-produk hutan sosial.

Keenam, alokasi kawasan hutan untuk hutan sosial. Dalam kerangka devolusi pengelolaan hutan tadi, hutan negara yang berada di dalam wilayah administratif desa bisa dialokasikan untuk program ini. Ada 22,5 juta hektare (25,3 %) wilayah administratif desa yang berada di dalam kawasan hutan negara. Seluas 22,5 juta hektare kawasan hutan negara itu yang didevolusikan. Sehingga selama lima tahun ke depan bisa ditargetkan 19,15 juta hektare hutan negara menjadi areal hutan sosial.

Namun demikian pencapaian target tersebut tidak perlu dipaksakan dari atas. Belajar dari empat tahun terakhir, pencadangan areal hutan sosial melalui peta indikatif sebagai hal positif. Informasi ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat yang berminat, tidak perlu dipaksakan untuk mengajukan hutan sosial. KPH dapat memberikan informasi dan meningkatkan kapasitas masyarakat, namun keputusan tetap di tangan masyarakat. Sebaliknya, jika luas hutan negara yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjadi PS melampaui target, maka dapat ditambahkan pencadangan arealnya.

Perluasan areal hutan yang dikelola oleh masyarakat setempat seharusnya tidak mengancam peran industri atau perusahaan swasta. Peran industri atau perusahaan swasta justru sangat penting dalam kerja sama dengan masyarakat pengelola hutan sosial baik sebagai pendukung finansial, penampung produk atau saluran pemasaran, maupun berbagi teknologi.

Keenam butir di atas merupakan kondisi yang bisa membentuk perhutanan sosial yang ideal. Realisasinya tergantung proses politik kepentingan-kepentingan yang melatarinya, aktor-aktor kepemimpinan, dan masyarakat sipil yang kritis.

—Didik Suharjito, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Gaharu dan Karet.Kombinasi dua tanaman di hutan sosial Lubuk Seberuk, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

F rest D gest52 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

LAMA berkarier di bidang konservasi, Bambang Supriyanto lolos seleksi menjadi eselon I dan ditempatkan menjadi Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2016. Masuk

ke direktorat baru hasil nomenklatur baru pada 2014, Bambang mendapati realisasi perhutanan sosial baru 400 ribu hektare dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019 seluas 12,7 juta hektare.

Aturan perhutanan sosial belum ajek. Bahkan filosofinya belum dirumuskan. Padahal, program ini unggulan Nawacita Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Baru ada dua skema perhutanan sosial ketika itu: hutan tanaman rakyat dan hutan kemasyarakatan—dua skema yang sebetulnya sudah dipraktikkan masyarakat sekitar hutan sejak pertengahan 1980. Setelah menganalisis problem peliknya, peraih postdoktoral dari Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat ini mengajukan aturan khusus program ini.

Lahirlah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/2016. Ada lima skema perhutanan sosial dengan aturan teknis implementasinya. Prinsipnya memberi akses kepada masyarakat mengelola hutan negara dengan tiga tujuan: tercapai tutupan hutan (ekologi), meningkatkan ekonomi petani, dan meredam konflik antar penduduk dan penduduk dengan negara.

Dua tahun berjalan, realisasi mencelat tapi problem pelik masih menghadang: hutan sosial yang sudah berizin tak jalan sesuai harapan, boro-boro produknya bisa

mengakses pasar yang lebih luas. Bam-bang pun membuat terobosan baru: kerja bareng jemput bola dengan menggandeng pemerintah kabupaten untuk pendampin-gan. “Baru uji coba, nanti kami lihat enam bulan ke depan,” katanya kepada Rifky Fauzan dan Asep Sugih Suntana dari Forest Digest pada 10 September 2019 di Manggala Wana Bakti Jakarta.

bagaimana ceritanya perhutanan sosial menjadi direktorat jenderal sendiri di klHk?

Kita harus menengok ke belakang. Sejarah perhutanan sosial itu terbagi dua bagian, sebelum 2014 dan setelah 2014. Perhutanan sosial dimulai dari Kongres Kehutanan Sedunia tahun 1978 di Manggala Wana Bakti Jakarta. Kongres ini mengangkat tema “forest for people”. Pada hakikatnya perhutanan sosial ingin memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, sehingga pemberian akses itu bisa memberikan pemanfaatan untuk menopang hidup mereka. Namun, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan belum bisa diimplementasikan dengan baik. Setelah muncul Departemen Kehutanan pada tahun 1983, terbit Undang-Undang Penanaman Modal yang memiliki orientasi lebih kepada kayu, timber based.

kapan berubah?Pada 1990-an Undang-Undang

Nomor 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Hayati terbit, sehingga dari pendekatan timber based menjadi ecosystem based. Sebuah ekosistem bukan hanya pohon tetapi habitat di dalamnya, termasuk hewan liar. Pendekatan ini kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, keduanya

BAMBANG SUPRIYANTO, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KHLK

Perhutanan Sosial Harus Dikeroyok

F rest D gest 53o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

foto-foto: Rifky Fauzan

F rest D gest54 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

belum menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem. Maka jauh setelah itu, pada 2007 muncul peraturan soal hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Tapi konsepnya hanya sekadar pemberdayaan masyarakat, belum memberikan kontribusi sekala pengembangan ekonomi produktif.

sejak itu perhutanan sosial dilembagakan?

Ya. Pencadangannya diberikan oleh Kementerian Kehutanan tapi izinnya oleh Bupati karena otonomi daerah. Selama 2017-2014 itu realisasi dua skema itu hanya 400 ribu hektare. Setelah itu baru masuk fase 2014. Pemerintah melihat bahwa perhutanan sosial layak jadi program untuk pengurangan kemiskinan melalui akses masyarakat mengelola hutan.

setelah itu perhutanan sosial jadi direktorat sendiri?

Benar. Tapi aturannya baru muncul 2016 karena ada perubahan nomenklatur. Kemudian terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 83/2016 tentang perhutanan sosial dan 39/2016 khusus perhutanan sosial di Perhutani. Saat itu sudah dikenalkan lima skema hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat—ini HTI yang dikelola masyarakat—kemitraan kehutanan dan kemitraan konservasi, serta pengakuan dan pencantuman hutan adat.

apa prinsip dasarnya?Ada tiga: diberikan kepada kelompok

minimal 15 orang per kelompok, pembentukan kelompok diketahui desa sebagai rekognisi, luasannya 1-2 hektare per keluarga di Jawa, 4-5 hektare per keluarga di luar Jawa, selama 35 tahun dan bisa diperpanjang dan diwariskan hak pengelolaannya. Tujuannya meningkatkan fungsi ekologi dengan naiknya tutupan lahan, kemudian turunnya konflik sosial karena skemanya berkelompok, dan ekonomi petani naik sehingga memberikan kontribusi kepada pendapatan.

jadi, selain realisasi, apa pembeda prinsip sebelum dan setelah 2014?

Setelah 2014 menjadi bagian dari program pemerataan ekonomi. Karena ada akses modal dan akses pasar. Setelah mendapat izin sebagai akses legal, petani hutan bisa mendapatkan akses keuangan mikro yang free dalam bentuk charity dari pemerintah seperti Bank Pesona, alat

ekonomi produktif, pembantuan bibit dari pertanian, dan subsidi pupuk. Setelah petani mengembangkan komunitas yang bagus mereka bisa mendapatkan kredit usaha rakyat atau BLU. Kemudian, ketika komoditas sudah dalam bentuk klaster bisa dihubungkan dengan pasar. Dulu kopi yang ilegal dari kawasan hutan menjadi legal sehingga mendapat kepastian di pasar.

apa syarat yang harus dipenuhi petani untuk mendapatkan pengakuan hutan sosial?

Ada tiga: pertama, membuat proposal perencanaan memanfaatkan kawasan hutan. Ini tergantung kategori hutannya. Hutan lindung dan hutan konservasi untuk jasa lingkungan, ekowisata, dan hasil hutan non kayu sebagai yang utama. Jika kategori hutan produksi bisa ditambahkan pemanfaatan kayu. Kedua, melampirkan nama kelompok dan nama-nama anggota kelompoknya secara by name by address agar mereka benar tinggal di sekitar hutan. Ketiga, melampirkan peta hutannya. Ketika itu sudah lengkap, permohonan bisa disampaikan kepada kami untuk dicek administrasinya.

langsung mendapat izin?Belum. Ada pengecekan ke lapangan.

Verifikasi teknis ke daerah dengan memanggil petani untuk melakukan ceklis kebenaran datanya. Pengecekan lain apakah betul kawasan hutan, apakah masih berhutan atau tidak. Ketika berhutan dilihat kategorinya apakah hutan lindung, konservasi, atau produksi. Kami cek juga apakah ada konflik atau tidak di atasnya. Misalnya, apakah ada saling klaim lahan, apakah tanaman hutan atau malah tanaman pertanian dan perkebunan. Jika karet berarti model bisnisnya hutan karet, sedangkan jika sawit berarti model bisnisnya agroforestri dengan kombinasi tanaman hutan.

berapa targetnya?Seluas 12,7 juta hektare atau 10% dari

luas kawasan hutan Indonesia. Ini jumlah sangat kecil jika dibandingkan akses hutan produksi 34 juta hektare, dari 64 juta hektare, diberikan kepada perusahaan HPH dan HTI. Berdasarkan data BPS, kita punya 25.856 desa di sekitar hutan yang 36,7% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan.

tapi menurut menteri lHk luasnya 13,8 juta hektare. bertambah?

Itu PIAPS, peta indikatif areal perhutanan sosial. Artinya, setelah ditetapkan masuk ke sana izin-izin yang lain tidak boleh terbit. PIAPS ini didapatkan dari HPH dan HTI yang tidak diperpanjang atau hutan produksi yang belum ada haknya.

sudah berapa realisasinya?Sampai Agustus ini 3,325 juta hektare.mengapa lambat?Sebenarnya, PIAPS sudah disosialisasi

kepada gubernur dan bupati. Problemnya adalah sinergi antar gubernur, bupati, dan KLHK. Pada dasarnya mereka sudah tahu tetapi masyarakatnya harus memohon proposal dan persyaratan-persyaratan seperti by name by address dan petanya. Peta itu paling susah bagi petani. Yang sudah realisasi itu umumnya mendapatkan pendampingan LSM. Sisa 9,6 juta hektare itu di tempat yang jauh sehingga memerlukan upaya yang lebih keras. Kalau dibagi lima tahun ke depan kita harus realisasi 250 ribu hektare per bulan.

apa upaya mempercepat realisasinya?Sebetulnya di tahun pertama baru 200

ribu, tahun 2016 realisasinya 300.000 hektare, pada 2017 seluas 555.000 hektare, dan 2018 naik signifikan 1,266 juta hektare. Tahun 2019 sampai Agustus sudah 800 ribu hektare. Hal ini tercapai dengan adanya inovasi kebijakan baru

laporan utama

F rest D gest 55o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

dengan “kerja bareng jemput bola”. Jadi saya minta gubernur membuat Pokja Perhutanan Sosial karena kaki tangan tingkat tapak kita tidak cukup. Kami hanya mempunyai lima balai. Jawa dan bali hanya ada satu balai di Bali, Sumatra hanya satu balai, Kalimantan satu balai, Sulawesi satu balai, Maluku dan Papua satu balai. Semua gubernur diminta tolong membuat pokja, kecuali Jawa Tengah.

kenapa jawa tengah?Sebetulnya kami ingin mendelegasikan

sebagian kegiatan ke provinsi. Provinsi itu punya kaki tangan di kabupaten yaitu KPH dan bupati. Pokja Perhutanan Sosial bertugas mempercepat kerja bareng jemput bola itu, dalam arti PIAPS yang sudah dioverlay tingkat provinsi itu kita overlay lagi sampai kabupaten, yang layer yang kedua kita overlay an dengan Peta Perhutanan Sosial. Hasilnya adalah PIAPS yang tidak berizin. Yang tidak berizin akan kami overlay dengan lokasi desa. Dari situ muncul target di provinsi sekian kabupaten, sekian kecamatan dan desa yang butuh pendampingan. Dengan informasi itu, tim pusat perhutanan sosial membicarakannya dengan provinsi. Biasanya setahun tiga kali.

apa bentuk percepatannya?Coaching clinic selama 20 hari

pendamping membantu petani membuat

perencanaan, proposal, pengumpulan KTP, membuat peta. Proses permohonannya secara digital sehingga ketika izin terbit pendampingnya masih di lokasi. Jadi menghemat biaya dan waktu.

apakah 20 hari itu cukup?Belum, karena yang menjadi kendala

adalah kapasitas tim kerja bareng jemput bola yang belum sama. Pendamping yang berusia muda lebih paham teknologi daripada yang tua.

kembali ke realisasi 3,3 juta. apakah di sana tiga tujuan perhutanan sosial sudah tercapai?

Tadi kita bicara sebelum izin. Nah, sekarang pasca izin. Problemnya di pendamping. Dari 6.000 lokasi, kami sudah merekrut 1.015 pendamping. Berarti satu pendamping untuk lima lokasi. Ini masih kurang. Idealnya satu pendamping satu lokasi. Tugas mereka tiga: pertama, menciptakan kapasitas kelompok melalui kelembagaan dengan koperasi dan Badan Usaha Milik Desa. Kedua, membantu kelompok memiliki rencana detail lewat Rencana Kerja Usaha agar ada jaminan hutannya terlindungi. Ketiga, tata kelola usaha sesuai dengan jenis hutannya. Pendamping harus menyampaikan laporan melalui aplikasi digital Sistem Navigasi Perhutanan Sosial.

apa kriteria keberhasilan sebuah

hutan sosial?Ada kelas pemula, menengah, maju,

dan sudah mandiri. Kelas pemula itu baru mengidentifikasi komunitasnya. Kelas menengah sudah mempunyai kelembagaan yang kokoh, ada RKU, dan punya akses modal. Kategori maju jika sudah memiliki akses modal. Dan kelas mandiri jika sudah bisa menjalankan semuanya. Dari keempat klaster ini yang paling banyak adalah kelas pemula karena baru empat tahun. Proporsi maju dan mandiri baru 4% dan yang menengah 25%.

apakah perhutanan sosial masih menjadi program unggulan menurunkan kemiskinan?

Tentu. Tapi perhutanan sosial tidak bisa dikerjakan KLHK sendiri. untuk produk-tivitas tanaman hutan bisa diurus KLHK, namun agroforestri kita perlu Kemente-rian Pertanian, ketika jenisnya silvofish-ery butuh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk membangun koperasi perlu pendampingan dari Kementerian Koperasi dan membangun industri kecil di tingkat desa oleh Kementerian Industri kecil menengah. Sebab perhutanan sosial tidak hanya untuk keadilan akses ke hutan negara tapi pemberdayaan masyarakat yang nilai tambahnya kelak dinikmati mereka. Pada akhirnya kita ingin mening-katkan produk unggulan di desa sehingga membuka lapangan kerja baru. Bukan tidak mungkin ketika share marginnya tinggi akan membawa anak-anak muda terlibat, apalagi ditambah dengan teknolo-gi digital, sehingga Badan Ekonomi Kreatif bisa masuk.

apakah integrasi itu berjalan mulus?Kami punya kerja sama dengan

Kementerian Desa untuk 76 desa, dengan Himpunan Bank Negara untuk akses modal, Kementerian Sosial untuk kawasan terpencil. Ini memang tantangannya. Melalui Bappenas dan Kementerian Keuangan program ini bisa dikeroyok bareng-bareng.

ada tudingan bahwa perhutanan sosial ini pemutihan lahan bagi perambah hutan...

Logika tuduhan itu terbalik karena filosofi perhutanan sosial itu keadilan akses. Masyarakat disebut perambah karena dulu masuk kawasan hutan tindakan ilegal karena aksesnya belum diberikan. Dulu aksesnya diberikan kepada perusahaan. —

F rest D gest56 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

MASYARAKAT adat terhitung istimewa di mata pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Setidaknya menurut Nawacita. Enam janji politik terkait masyarakat adat tercantum dalam Bagian “Berdaulat dalam Bidang Politik”. Bagaimana implementasinya?

Janji akan menyesuaikan seluruh peraturan perundangan-perundangan sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR RI Nomor IX/

MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam MK 35/2012, tidak jelas pelaksanaannya.

RUU Masyarakat Adat, meski sudah sampai pada tahap penyusunan daftar isian masalah, mangkrak di tangan eksekutif. Menjelang pemilihan presiden April 2019, ada surat edaran Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang meminta kementerian yang terlibat menunda pembahasannya hingga akhir pemilihan presiden. Sampai hari ini, belum ada tanda-tadan pembahasan dari pihak eksekutif ini bergulir kembali.

Janji membuat aturan pengelolaan tanah dan sumber daya alam, seperti Rancangan Undang-Undang Pertanahan, yang akan berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Mahkamah Konstitusi 35/2012, jauh panggang dari api.

Berakhir tragisYang tragis adalah janji menerapkan Undang-Undang Desa

6/2014 cq. penetapan Desa Adat. Meski masuk dalam program quick win, di mana telah ditetapkan target penetapan 100 Desa Adat, sampai hari ini upaya itu tak kunjung terlaksana. Peraturan Menteri Dalam Negeri yang menjadi pedoman pokok, baru muncul di awal tahun ketiga pemerintahan Jokowi-JK pada 2017. Walhasil, dana APBN untuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Transmigrasi dan Transmigrasi, tidak termanfaatkan secara optimal.

Beberapa inisiatif di tingkat kabupaten dan provinsi juga jadi terbengkalai. Perda Nagari di Sumatera Barat baru lahir tahun 2018, dan belum jelas tindak-lanjutnya di tingkat Kabupaten. Propinsi Bali menempuh jalan yang berbeda dari UU Desa, menabrak tekad yang pernah dikumandangkan gubernurnya yang mantan anggota Panitia Khusus UU Desa di parlemen.

Bahkan, dalam 2-3 tahun terakhir, tidak sekalipun Menteri

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Transmigrasi dan Transmigrasi bicara tentang Desa Adat. Isu penetapan Desa Adat hanya bergulir di tingkat direktorat, sementara peran Kementerian Dalam Negeri setelah penetapan Permendagri tentang Penataan Desa pun seperti selesai begitu saja. Tidak terdengar koordinasi yang bermuara pada upaya percepatan mewujudkan program quick win itu.

Penetapan hutan AdatDalam situasi seperti itu penetapan hutan adat menjadi

terlihat istimewa. Tak terkecuali di mata Jokowi. Setidaknya,

Segunung Utang Janji Jokowi

F rest D gest 57o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

sudah tiga kali ia secara langsung menyerahkan Surat Penetapan Hutan Adat. Dua kali di Istana Negara (30 Desember 2017 dan 25 Oktober 2017), dan baru-baru ini (5 September 2019) di Kalimantan Barat.

Sampai bulan ini, hutan adat yang telah ditetapkan sebanyak 49 unit, dengan luas tak lebih dari 23.000 hektare. Padahal, akhir Mei lalu, pemerintah telah mengeluarkan Peta Wilayah

Indikatif Hutan Adat seluas 472.981 hektare. Sebulan kemudian pemerintah menetapkan kembali tambahan hutan adat seluas 101.138 hektere. Dengan demikian total hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase II mencakup areal 574.119 hektare. Jumlah luasan hutan adat yang dicadangkan ini hanya sekitar 10% dari potensi yang tercatat di Badan Registrasi Wilayah Adat per April 2019.

Saat diluncurkan, pemerintah menyatakan bahwa ada 33.000 hektare yang siap masuk tahap verifikasi teknis. Sisanya masih memerlukan berbagai syarat adminstratif yang tidak mudah untuk dipenuhi. Butuh waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Jika dibandingkan dengan pelaksanaan program perhutanan sosial secara keseluruhan capaian program penetapan hutan adat sekitar 1% saja.

Dalam tulisannya di Kompas edisi 26 Agustus 2019 sebagai jawaban atas seruan AMAN saat memperingati 20 tahun Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Direktur Jenderal Pehutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui capaian itu sangat kecil. Sebabnya adalah penetapan hutan adat hanya dapat dilakukan jika clear and clean.

Clear merujuk pada ada-tidaknya peraturan daerah yang disyarakat untuk pengakuan hutan adat itu. Syarat clean terpenuhi jika kawasan hutan adat yang dimohonkan penetapannya itu tidak terdapat perizinan dan/atau hak-hak lain di atasnya. Kedua syarat teknis ini mengandung sesat pikir yang akut.

Syarat pertama menunjukkan ketidakpahaman penyusunan kebijakan tentang subyek dan obyek hak adat, sedangkan syarat kedua menunjukkan betapa penyelenggara negara belum menerima politik pengakuan hak masyarakat adat, sebagaimana yang diamanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012, sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa agraria yang tak kunjung selesai.

Kaya kebijakan, miskin perubahanBerpedoman pada Putusan MK 35/2012, KLHK

memberlakukan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak, yang kemudian ditidaklanjuti Peraturan Direktur Jenderal sebagai pedoman pelaksanaannya. Belakangan, Permen LHK 32/2015 ini diganti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.

Di tingkat daerah, saat ini tidak kurang 200 produk hukum daerah yang telah dihasilkan menyangkut hutan adat.

R. Yando ZakariaAntropolog, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi

Komunitas Adat

hutan adat.Pintu masuk hutan adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan

F rest D gest58 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

Memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat adat memang tidak mudah. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengakuan hak masyarakat adat itu bersyarat (dimulai oelh Undang-Undang Pokok-pokok Agraria 5/1960) dan bertahap (diperkenalkan oleh Undang-Undang Kehutanan 41/1999, lalu dikukuhkan oleh Putusan MK 35/2012).

Ironisnya, meski sudah ada peraturan daerah dan/atau surat keputusan kepala daerah, toh kelembagaan pusat masih merasa perlu untuk melakukan verifikasi ulang. Akibatnya jelas. Yakni terhambatnya laju pengakuan hak masyarakat adat dan terjadinya pemborosan.

Lima hambatanKendala yang dihadapi banyak masyarakat adat untuk

memenuhi syarat pengakuan dalam 5 tahun terakhir hendaknya jadi pelajaran bagi reformulasi kebijakan ke depan. Setidaknya ada 5 masalah yang menghambat laju pengakuan hak masyarakat adat itu.

Pertama, secara kuantitas sumber hukum yang perlu ditetapkan sebagai subyek hukum tidaklah terhingga jumlahnya. Ambil contoh pengakuan tanah ulayat di Sumatera Barat. Dalam konteks budaya Minangkabau misalnya, saat ini setidaknya terdapat 800 nagari, 3200 suku, dan 32000 kaum. Masing-masing adalah subyek hak atas tanah ulayatnya masing-masing.

Kedua soal kualitas. Berbeda dengan nagari yang telah mewujudkan diri sebagai organisasi sosial yang memiliki kecakapan-kecakapan politik dan hukum dalam menjalankan perannya sebagai sistem pemerintahan dan/atau pengurusan hidup bersama, kaum dan suku tidak lebih sebagai kelompok kekerabatan setingkat klan (clan), dengan jumlah anggota dan kecakapan hukum yang relatif terbatas. Dengan demikian, kemampuan masing-masing subyek hak itu untuk mengakses dan mengelola proses-proses politik untuk menghasilkan berbagai produk hukum daerah yang disyaratkan sangat berbeda satu sama lainya.

Ketiga masalah kapasitas, dalam arti akumulasi pengetahuan para pihak tentang susunan masyarakat adat dan obyek haknya yang relatif terbatas. Karena itu pula dapat dimaklumi jika, meski saat ini telah terdapat sekitar 200 peraturan daerah yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, pada umumnya produk hukum daerah itu belum dapat dilaksanakan di tingkat lapangan. Hal itu terjadi karena produk hukum daerah itu masih sekedar memuat defenisi-defenisi yang bersifat jenerik, dan belum mampu mengidentifikasi sebutan lokal tentang susunan masyarakat adat di daerah itu. Begitu pula, belum banyak yang memuat sebutan lokal tentang obyek-obyek hak masyarakat adat yang bersangkutan.

Keempat soal integritas, dalam arti keberpihakan pemerintah

daerah dan pusat pada nasib masyarakat adat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umumnya apartur daerah enggan memenuhi syarat yang dibutuhkan karena akan kehilangan kontrol atas sumberdaya yang akan diserahkan pada masyarakat adat itu. Keengganan pemerintah mengurus pengakuan hutan adat pada wilayah yang tidak clean di atas adalah bagian dari masalah integritas ini.

Kelima soal soliditas di tengah masyarakat adat sendiri. Ketidakpastian hak yang telah berlangsung puluhan tahun terakhir telah memaksa masyarakat mencari jalan keselamatannya sendiri. Keteraturan yang lama terganggu dan sulit untuk dikembalikan lagi dalam waktu yang singkat.

Perlu PerpuLemahnya daya ubah kebijakan yang mengatur pengakuan

dan perlindungan hak masyarakat adat pada dasarnya terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris di lapangan tentang subyek dan obyek hak masyarakat adat itu itu sendiri. Termasuk bentuk hubungan hukum di antara keduanya.

Pengakuan hak-hak masyarakat adat itu harus dilakukan semudah mungkin. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah meniadakan proses penetapan subyek hak melalui sebuah peraturan daerah ataupun surat keputusan kepala daerah itu. Benar-tidaknya suatu masyarakat berikut klaim tanah (hutan) adatnya bisa dilakukan langsung pada tahap verifikasi teknis. Untuk keperluan ini pemerintah harus berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang merevisi bahkan mencabut Pasal 67 ayat (2).

Jika tidak segera diatasi, konflik tenurial seputar hutan adat (tanah/wilayah/ulayat masyarakat adat pada umumnya) akan terus berlanjut dan terus meruyak. Maka kehadiran peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang perlu hadir sesegera mungkin.

Tidak sulit menilai klaim suatu komunitas adat. Susunan masyarakat adat itu suatu yang riil dalam kehidupan sejari-hari. Tak satu pun entitas sosial yang dapat mengada-ada keberadaannya. Toh, dalam banyak masyarakat adat saat ini penguasaan tanah (termasuk hutan adat) berpusat kepada sistem kekerabatan, seperti marga raja bersama marga boru-nya dalam etnik Batak Toba; kaum dan suku dalam etnik Minangkabau; atau soa dalam etnik Maluku.

Mengingat janji politik Jokowi pada periode keduanya kian mengendur, masyarakat beratanya-tanya: akankah penyerahan Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat yang baru-baru ini diserahakan Jokowi di Kalimantan Barat itu akan menjadi kado terakhir Jokowi? Mari kita tunggu dengan harap-harap cemas.

F rest D gest 59o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Otokritik Kemitraan Konservasi

KEMITRAAN konservasi menjadi isu populer beberapa tahun belakangan. Isu ini kian mencuat ketika muncul Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor 6 Tahun 2018. Aturan ini diterbitkan untuk

mengatur tata cara kemitraan konservasi, terutama memberikan kemudahan bagi pengelola Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) dalam memberikan akses kepada masyarakat.

Ada 74 unit pengelola KPA dan KSA, yang terdiri atas 48 unit dikelola oleh badan Taman Nasional dan 26 unit oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Dari 74 unit, baru 25 unit yang sedang mengajukan skema kemitraan. Mengapa baru 25 yang mengajukan skema ini? Data zonasi 2018 menunjukkan luasan zona atau blok tradisional kawasan kon-servasi 2,3 juta hektare, tapi baru 102.000 hektare yang dimanfaatkan masyarakat.

Agaknya, isu ini viral karena ada batasan atau aturan yang membuat pengelola kawasan konservasi kebingungan. Peraturan Dirjen KSDAE Pasal 4 (1) menyebutkan bahwa bentuk kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat, bisa berupa pemberian akses. Pada Pasal 4 (2) dijelaskan pemberian akses dapat berupa (a) pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK), (b) budidaya tradisional, (c) perburuan tradisional untuk jenis tidak dilindungi, (d) pemanfaatan tradisional sumber daya perairan terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi, dan (e) wisata alam terbatas. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu batasan-batasan yang jelas antara lain mengenai subyek mitra konservasi.

Pasal 12 menyatakan mitra konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat

setempat adalah perseorangan, kelompok masyarakat, dan atau pemerintah desa. Pasal berikutnya menjelaskan persyaratan sebagai calon mitra konservasi. Kedua pasal ini tidak bisa mencegah orang yang menggunakan masyarakat sebagai tameng dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu atau pemanfaatannya. Kalau ini terjadi, kemitraan konservasi akan berkonotasi dengan bagi-bagi lahan.

Kurang jelasnya aturan mengenai mitra konservasi juga bisa menjadi pemicu konflik. Padahal, kemitraan konservasi menjadi salah satu cara menyelesaikan konflik masyarakat di kawasan hutan.

Soal definisi pemungutan hasil hutan bukan kayu juga sama tidak jelasnya. Sebelum ada Peraturan Dirjen KSDAE Nomor 6 itu, sebenarnya masyarakat sudah memanfaatkan hasil hutan bukan kayu yang berada di zona tradisional. Dasarnya Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2011 jo 108 Tahun 2015 dan P.76 tahun 2015, di mana zona tradisional memang diperuntukkan bagi masyarakat yang secara turun temurun telah memungut non-kayu di dalamnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 76 Tahun 2015 tentang zonasi, ada penjelasan kriteria serta kegiatan yang bisa dilakukan di dalam zona tradisional. Jelas tertera di sana bahwa zona tradisional untuk kelangsungan hidup masyarakat di sekitar kawasan dan sejak lama memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk kebutuhan sehari-hari.

Kini masyarakat juga menjualnya untuk meningkatkan ekonomi keluarga yang mengakibatkan kawasan konservasi seiring waktu. Keadaan ini menuntut aturan yang jelas dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dari dalam kawasan konservasi, mulai dari pemungutan sampai tahap pemasaran. Faktanya, beberapa kelompok masyarakat sudah mampu memanfaatkannya untuk dijual, seperti

kelompok masyarakat petani madu hutan di Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum serta Taman Nasional Ujung Kulon Banten.

Pengambilan hasil hutan nonkayu untuk tujuan komersial wajib memiliki izin kumpul dari Kepala Unit Pengelola dan Dokumen Surat Angkut Tumbuhan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN). Basisnya, Peraturan Menteri Kehutanan 91 Tahun 2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara. Sedangkan aturan tentang SATS-DN mengacu pada Permenhut No. 37/2014 tentang Tata Cara Pemungutan PNBP Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Masalahnya, Peraturan Menteri Nomor 91 tersebut tidak merujuk Peraturan Menteri Nomor 37 Tahun 2014, sehingga isinya tidak mencakup kawasan konservasi, dan hanya mencakup hutan produksi dan hutan tanaman. Apabila hal ini dibiarkan, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, yang berpotensi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, akan menjadi terhambat.

Beberapa persoalan ini menunjukkan bahwa implementasi kemitraan konservasi masih membutuhkan proses dan waktu yang panjang dalam memahami konteks kemitraan konservasi agar tidak salah sasaran dalam penggunaannya. Kegiatan-kegiatan yang diatur serta apa saja yang diperbolehkan harus sesuai dengan ranah peraturan yang ada serta melihat dan disesuaikan dengan implementasi di lapangan, agar kemitraan konservasi tidak keliru mengimplementasikannya.

— Aldila ParamitaPenyuluh kehutanan Direktorat Kawasan

Konservasi KLHK

zona tradisional.Nelayan di Taman Nasional Takabonarate.

F rest D gest60 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

PERKEBUNAN sawit, baik korporasi maupun pekebun rakyat, di dalam kawasan hutan menjadi topik hangat praktisi dan aktivis kehutanan dalam beberapa bulan terakhir. Perbincangan terentang sejak urusan sawit sebagai komoditas halal dan haram, menjalar pada munculnya kelompok-kelompok akademisi dan aktivis yang pro dan kontra.

Data Auriga (2018) menyebutkan bahwa luas kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan mencapai 3,4 juta hektare atau sekitar

20 persen dari keseluruhan tutupan sawit di Indonesia yang mencapai 16,8 juta hektare. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 1,9 juta hektare kebun sawit rakyat berada di dalam kawasan hutan (Laporan KEHATI 2018).

Pada 2018, pemerintah memperjelas komitmennya melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Dengan kata lain tidak ada penambahan izin baru dan membereskan yang ada sekarang.

Marwah moratorium adalah juga perbaikan redistribusi lahan. Banyak izin lahan sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan tapi tidak didistribusikan kepada masyarakat dalam bentuk program kemitraan inti-plasma oleh perusahaan. Dalam setiap pelepasan kawasan hutan, perusahaan wajib menyerahkan 20 persen lahan kepada masyarakat. Moratorium sawit menyasar hal itu.

Perusahaan yang belum menyerahkan lahan plasma akan dipaksa untuk menyerahkannya kepada masyarakat. Selain itu, redistribusi lahan kepada masyarakat bisa dilakukan terhadap hak guna usaha (HGU) sawit yang lahannya ditelantarkan serta izin-izin sawit yang dikeluarkan tanpa sesuai dengan prosedur. Lahan-lahan itu bisa menjadi tanah obyek reforma agraria.

Sementara kenyataan di lapangan, pelepasan atau penataan batas ulang kawasan hutan yang tidak dilakukan pada areal kompak telah menimbulkan fragmentasi wilayah hutan, sehingga secara ekonomis, berakibat pada inefisiensi biaya pengamanan, perlindungan dan pengelolaan. Bahkan, secara ekologis, fragmentasi wilayah hutan semacam itu juga dipandang menurunkan fungsi daya dukung lingkungannya, baik karena menurunkan fungsi daerah aliran sungai, terputusnya koridor satwa, maupun karena terputusnya aliran keanekaragaman hayati tanaman.

Tipologi Sawit Rakyat dalam Kawasan hutanTidak ajeknya tata laksana perizinan lahan sawit juga menjadi

pemicu konflik lahan dan beragamnya tipologi penguasaan. Tak hanya menerabas kawasan hutan, lahan-lahan itu juga tumpang-

tindih dengan izin lainnya, seperti izin hutan tanaman industri dan pertambangan. Banyak juga izin yang berkonflik dengan masyarakat karena proses pengalihan haknya tak sesuai aturan.

Di lapangan, ada beragam tipologi dari pengelolaan sawit di kawasan hutan, terutama pada kebun sawit yang tidak memiliki semua bentuk izin, namun sudah beroperasi di lapangan. Sebagian besar praktik ini adalah sawit yang diduga sebagai sawit rakyat.

Melihat 11 tipologi sawit rakyat dalam kawasan hutan ini maka penyelesaian konfliknya pun akan beragam. Setidaknya pada penanganan dan pengelolaan keterlanjuran. Bukan pada perdebatan terkait sawit sebagai komoditas hutan atau bukan.

Perhutanan Sosial dan SawitDari identifikasi kebun sawit di kawasan hutan dan Peta

Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) 2019, terdapat setidaknya 805.550,06 hektare area yang disediakan untuk perhutanan sosial sudah dipenuhi oleh tanaman sawit (KEHATI, 2019). Kondisi ini tidak baik jika tidak diselesaikan secara adil.

Momentum Inpres Moratorium Sawit, perhutanan sosial dan reforma agraria sangat layak dimanfaatkan sebagai upaya penyelesaian penguasaan lahan oleh perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan. Moratorium sawit sebagai upaya mendorong peningkatan produktivitas perkebunan ‎sawit rakyat dan memperjelas status kepemilikan lahan sehingga dapat memudahkan masyarakat mendapat akses modal. Sedangkan Reforma Agraria dan Perhutanan sosial sebagai proses alokasi kepemilikan lahan dan akses izin pengelolaan lahan sawit rakyat di dalam kawasan hutan.

Masalahnya, skema Perhutanan Sosial masih menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap tanaman sawit. Hal itu terbukti, pada Permen LHK No. 83 Tahun 2016 yang mengatur tentang Perhutanan Sosial, pada Pasal 56(5) menyebutkan bahwa pemegang izin Perhutanan Sosial baik dalam skema HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat, dilarang menanam sawit di areal hak atau izinnya.

Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 65(h) bahwa apabila pada lahan dengan izin Perhutanan Sosial atau dalam usulan Perhutanan Sosial telah ada tanaman sawit, sejak peraturan ini diberlakukan, maka diperbolehkan selama 12 (dua belas) tahun sejak masa tanam dan diantara tanaman sawit ditanam pohon berkayu paling sedikit 100 (seratus) pohon per hektare.

Jelas, klausul ini mengabaikan fakta di lapangan (Sumardjono et al., 2018). Seperti yang dijumpai di Kabupaten Tebo, Jambi, terdapat 5 Kelompok Tani Hutan (KTH) penerima izin pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan tutupan lahan sawit monokultur yang berusia sekitar 15 tahun.

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap kelompok tani

Solusi Konflik Sawit Rakyat di Kawasan Hutan

F rest D gest 61o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

itu, mereka menyampaikan bahwa “mereka bersyukur bisa mendapatkan izin Perhutanan Sosial terhadap lahan yang sudah mereka kelola sejak tahun 1990-an. Namun demikian, mereka menyampaikan bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk membongkar tanaman sawit yang mereka miliki, karena sawit berusia 15 tahun tergolong sawit pada saat puncak produksi”. Bagi mereka, klausul Pasal 56(5) pada Permen LHK No. 83/2016 dianggap mustahil untuk dilakukan.

Agroforestri dalam Perhutanan SosialSejauh ini, inisiatif pengembangan agroforestri sawit

sebagai bentuk resolusi agraria bagi kebun-kebun sawit di dalam kawasan hutan disambut positif oleh para pemangku kepentingan, baik di daerah maupun pusat, tidak terkecuali kalangan akademisi di Perguruan Tinggi, terutama para ahli agroforestri. Dalam pandangan para ahli, selama ini agroforestri cenderung terfokus pada komoditas-komoditas konvensional yang tidak intensif. Karena itulah pengembangan agroforestri sawit adalah sebuah tantangan, sekaligus terobosan tersendiri.

Di tataran praktis, terobosan semacam itu juga memberikan jalan tengah terhadap pilihan-pilihan sulit, yang selama ini dihadapi para pihak dalam melakukan penataan sawit di dalam kawasan hutan, yakni antara pelepasan kawasan, jika bukan pemutihan, dan penggusuran kebun dari kawasan hutan, untuk

tidak mengatakan penutupan.Menjadi pilihan sulit karena keduanya memerlukan biaya

besar, baik biaya sosial, ekonomi maupun politik. Pelepasan kawasan hutan untuk memutihkan “keterlanjuran” semacam itu cenderung memerlukan biaya politik mahal, terutama yang terkait dengan politik ekologi internasional.

Agroforestri bisa menjadi bagian dari skema perhutanan sosial secara berkelanjutan, sebagaimana yang terjadi pada agroforestri karet, kopi, dan lain sebagainya.

Atas dasar itu, untuk mendorong sawit menjadi bagian dari ekosistem hutan secara berkelanjutan, diperlukan informasi dari kebun sejenis menjadi kebun campur atau agroforestri (tanpa harus terlebih dahulu melakukan penetapan sawit sebagai jenis tanaman hutan, sebagaimana yang selama ini diinisiasi oleh beberapa kalangan ahli kehutanan).

Setidaknya penyelesaiannya tidak lagi dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit, yaitu pelepasan atau penggusuran, tetapi juga pengembangan skema-skema perhutanan sosial, seperti kemitraan, hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Kebijakan baru itu akan melahirkan model perhutanan sosial baru, yang didasarkan atas tanaman-tanaman intensif dengan produktivitas tinggi seperti sawit. Sehingga, menyelesaikan konflik kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan akan menemui titik terang lewat skema perhutanan sosial. —

Diah Y. SuradiredjaPenasihat Senior SPOS Indonesia

Dari hasil telusuran KEHATI selama dua tahun, ada temuan terdapat 11 tipologi sawit rakyat:

Jenis kawasan hutan Luas (hektare) Pengelola

1 Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi < 25 Penduduk setempat

2 Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi > 25 Bukan penduduk setempat

3 Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi Variatif Bukan penduduk setempat

4 Kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung < 25 Penduduk setempat

5 Kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung > 25 Penduduk setempat

6 Kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung < 5 Penduduk setempat

7 Kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung > 5 Penduduk setempat

8 Kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung Variatif Bukan penduduk setempat

9 Kawasan hutan konservasi Variatif Penduduk setempat sebelum ditetapkan

10 Kawasan hutan konservasi Variatif Penduduk setempat setelah ditetapkan

11 Kawasan hutan konservasi Variatif Bukan penduduk setempat

F rest D gest62 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

PEMERINTAHAN Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019) melakukan “aksi korektif ” untuk mengatasi ketimpangan pemanfaatan hutan melalui kebijakan yang bertajuk perhutanan sosial.

Dengan target 12,7 juta hektare hutan untuk program ini, dengan pembentukan satu direktorat jenderal yang khusus menangani di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, capaiannya masih minim.

Baru 26% dari target itu per September 2019. Meskipun begitu, capaian ini meningkat secara signifikan dibandingkan dengan capaian pada masa pemerintahan sebelum-sebelumnya. Salah satu faktor yang menjadi penentu rendahnya capaian tersebut adalah terbatasnya alokasi anggaran. Sebuah kajian menyatakan bahwa dengan asumsi anggaran ideal Rp 327 ribu per hektare, dibutuhkan alokasi anggaran sebanyak Rp 4,5 triliun untuk lima tahun anggaran atau Rp 830,5 miliar per tahun. Faktanya, dalam periode 2015-2017 alokasi anggaran rata-rata untuk penyiapan areal perhutanan sosial hanya Rp 38,76 miliar per tahun (Salam. et.al, 2018).

Salah satu skema perhutanan sosial yang pada saat ini masih kental nuansa pro dan kontra adalah kemitraan kehutanan di kawasan konservasi atau kemitraan konservasi. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/2016 tentang Perhutanan Sosial telah mengamanatkan pada pasal 49 ayat (2), bahwa ketentuan teknis kemitraan kehutanan di kawasan konservasi diatur oleh Direktur Jenderal yang

membidangi Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Petunjuk teknis tentang kemitraan konservasi telah diterbitkan, yaitu Peraturan Dirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018 juncto Nomor 2 Tahun 2019.

Dalam sebuah pidatonya, Direktur Jenderal KSDAE Wiratno pernah mengutip pernyataan seorang rimbawan senior Profesor Djoko Marsono bahwa “Kawasan konservasi sering hanya dimaksudkan sebagai benteng terhadap pengawetan dan pemanfaatan flora fauna, mengabaikan aspek ekosistem, sehingga mengingkari peran kawasan tersebut sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan seperti penahan banjir, sumber air bagi kehidupan dan lain-lain.”

Pernyataan tersebut semakin meneguhkan suatu pandangan bahwa ke depan, dalam pengurusan hutan Indonesia, sudah seharusnya didasarkan pada seluruh aspek “ekosistem” atau perannya sebagai “penyangga kehidupan”, dan tentu saja termasuk nasib kehidupan manusia di dalamnya. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai deep ecology dan berbeda dengan konsep shallow ecology yang melahirkan sikap mental antroposentrisme (Wiratno, 2017).

Fakta-fakta terbaru tentang kondisi kawasan konservasi di Indonesia perlu diungkapkan setelah 37 tahun sejak dimulainya

Kemitraan Konservasi dalam Kontroversi

persemaian.Penduduk sedang menyemai pengadaan bibit tanaman kehutanan untuk konservasi.

F rest D gest 63o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

penunjukan lima taman nasional pertama pada tahun 1980. Dalam jangka waktu hampir empat dasawarsa tersebut, tentu telah terjadi perubahan geopolitik, sosial, ekonomi dan dinamika pembangunan yang luar biasa.

Indonesia memiliki kawasan konservasi yang tersebar di seluruh wilayah provinsi, sebanyak 556 unit dengan luas mencapai 27,14 juta hektare, di mana seluas 5,32 juta hektare merupakan kawasan konservasi perairan. Berdasarkan kajian dari Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi telah diidentifikasi sebanyak 6.381 desa berada di sekitar kawasan konservasi, terdapat areal terbuka (open area) seluas lebih kurang 2,2 juta hektare atau 9,95% dari total 22.108.630 hektare luas kawasan konservasi daratan. Areal terbuka yang terambah, biasanya berupa perkebunan sawit, kopi, coklat, karet atau untuk pertanian lahan kering, akibat pembalakan liar, kebakaran dan penambangan liar (Wiratno, 2018).

Saat ini juga ada usulan wilayah adat yang berada di kawasan konservasi, seperti di Taman Nasional Betung Karihun dan Danau Sentarum, kawasan Taman Nasional Sebagau dan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Baru-baru ini saya juga menemukan fakta-fakta di lapangan, seperti tuntutan penyelesaian melalui reforma agraria atau pelepasan dari kawasan konservasi di Tahura Bontobahari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dan di Taman Nasional Baluran kabupaten Situbondo, Jawa Timur.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Dirjen KSDAE menegaskan bahwa tidak ada formula tunggal dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi pengelola kawasan konservasi, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Penyelesaian persoalan perambahan akibat kemiskinan tidak bisa ditempuh melalui penegakan hukum dan harus dicari cara lain yang lebih tepat dan dapat diterima oleh masyarakat. Penegakan hukum disarankan hanya ditujukan pada aktor intelektual yang selalu memanfaatkan masyarakat miskin yang terpaksa atau dipaksa menggarap lahan di dalam kawasan konservasi.

Lemahnya penegakan hukum terhadap para aktor pelanggar kerusakan hutan, termasuk sering terindikasi adanya keterlibatan oknum-oknum aparat telah memicu munculnya bandit-bandit sosial (social banditary) di tengah masyarakat (Awang, 2003).

Gambaran situasi dan fakta-fakta tersebut memberikan catatan penting, bahwa ada tantangan besar dalam implementasi kemitraan konservasi dengan perlu terus dilakukan sosialisasi dan dialog bersama berbagai pihak pemangku kepentingan di sekitar kawasan konservasi.

Tantangan besar terkait dengan tuntutan reforma agraria di kawasan konservasi adalah ketentuan tentang pola penyelesaian permasalahan penguasaan lahan di kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi melalui

resletement. Contoh temuan permasalahan penguasaan lahan yang ditemui penulis di kawasan Tahura Bontobahari Kabupaten Bulukumba dan di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo akan menemui jalan buntu bila pola penyelesaiannya melalui resletement atau pemindahan penduduk.

Situasi ini juga telah berimplikasi dalam proses penyiapan pelaksanaan kemitraan konservasi. Salah satu pilihan penyelesaian yang memungkinkan pada saat ini adalah melakukan perubahan penataan zonasi atau blok kawasan konservasi. Tentu saja pilihan penyelesaian ini tetap masih perlu menghormati langkah-langkah penyelesaiannya lainnya yang sesuai dengan koridor peraturan perundangan yang berlaku atau ada kemungkinan adanya penyelesaian melalui “diskresi.”

Selain itu, dari beberapa pengalaman saya penulis terhadap implementasi kemitraan konservasi di tingkat tapak termasuk di dalamnya proses penyusunan kebijakan operasional atau pedoman teknis, ada beberapa catatan penting sebagai saran perbaikan ke depan.

Pertama, perlu harmonisasi persepsi antar eselon di KLHK, terutama Ditjen PSKL dan KSDAE terkait format perhutanan sosial melalui kemitraan konservasi. Masih ada perbedaan persepsi tentang persetujuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK), termasuk di dalamnya mengenai perbedaan periode/waktu kerja sama.

Kedua, ada dialog bersama para pihak pemangku kepentingan di tingkat tapak atau di daerah secara simultan dan berkesinambungan, hingga terwujud kesepakatan dari proses dialog yang murni (genuine) dan bebas dari unsur pemaksaan.

Ketiga, ada peran-peran para pihak terkait pembinaan, pengendalian dan pendampingan masyarakat pasca penandatanganan perjanjian kerja sama atau penerbitan Surat Keputusan Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan agar kemitraan konservasi terhindarkan dari praktik-praktik yang menyimpang. —

ReferensiAwang, S.A. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Center for

Critical Social Studies (CCSS) & Kreasi Wacana YogyakartaSalam, R. et. al. 2018. Revitalisasi Kebijakan Anggaran untuk

Percepatan Realisasi Perhutanan Sosial di Indonesia. Indonesia Budget Center.

Wiratno, 2017. Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke 54. Ditjen KSDAE.

Wiratno, 2018. Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar.” Ditjen KSDAE.

SuwitoPartnership for Governance Reform, Focal Point Nasional

Pokja Perhutanan Sosial dan anggota Gugus Tugas Multipihak Ditjen KSDAE.

F rest D gest64 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

PERHUTANAN sosial di Ranah Minang dimulai pada awal 2010, lalu berkembang dengan sangat cepat dan meluas. Dimulai dari pengajuan Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo di Kabupaten Solok Selatan dan Nagari Simanau di Kabupaten Solok mendapat pengakuan resmi hutan sosial. Pemerintah daerah amat antusias dengan aktif mengajukan skema dibantu oleh pelbagai pihak yang saling mendukung.

Setelah SK pertama turun pada 2012, Dinas Kehutanan Sumatera Barat dan Dinas

Kehutanan di kabupaten membuat strategi percepatan dan perluasan “pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat nagari (PHBMN)”—istilah saat itu untuk perhutanan sosial dengan membentuk Pusat Layanan PHBMN yang menjadi cikal bakal Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumatera Barat. Anggotanya pejabat pemerintah daerah, LSM, akademisi, komunitas nagari, lembaga adat, dan dunia usaha. Pokja ini mendorong hutan kemasyarakatan di Kenagarian Indudur, Hutan Nagari Sirukan, Sungai Buluh menjadi hutan sosial berikutnya.

Setahun kemudian, pemerintah daerah membuat peta jalan perhutanan sosial sebagai panduan dan arahan pengembangan PHBMN disusul menyusun rencana indikatif spasial pengembangan PHBMN yang kemudian berubah menjadi Peta Indikatif Areal Perhutaan Sosial (PIAPS). Gubernur Sumatera Barat menargetkan 500.000 hektare kawasan hutan negara, 30% dari luas hutan lindung dan hutan produksi di Sumatera Barat, harus dikelola masyarakat nagari. Selain itu juga pada saat yang bersamaan disusun strategi program dan kegiatan pendukung untuk memastikan target itu tercapai, di antaranya dengan mendorong lahirnya pusat layanan, salah satunya, di Kabupaten Pasaman.

Semangat pemerintah makin bergairah dan inovatif. Pada 2014, pemerintah provinsi dan pemerintah 13 mengimplementasikan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan lewat hutan sosial. PT Semen Padang terlibat dalam skema ini, juga lembaga donor, universitas, dan KLHK. Kesepahaman terus dibangun melalui sosialisasi dan koordinasi hingga akhirnya hutan sosial masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sumatera Barat sebagai basis lokasi pembangunan. Saat ini Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi dengan jumlah izin dan luasan perhutanan sosial terbanyak di Indonesia.

Kunci sukses Sumatera Barat adalah menempatkan penyuluhan kehutanan sebagai primadona proses pembangunan kehutanan terutama dalam penguatan kelembagaan

dan pengembangan hutan nagari atau hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat. Sebab para penyuluh yang sehari-hari berada di tapak serta berkomunikasi langsung dengan masyarakat, sehingga pemahaman terhadap skema perhutanan sosial akan menjadi akselerator pembangunan sektor kehutanan.

Selain Sumatera Barat, provinsi yang menempuh cara serupa dengan memasukkan hutan sosial dalam RPJMD adalah Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat. Peran pemerintah daerah sangat penting untuk mempertemukan kepentingan pemerintah pusat mengimplementasikan inisiatif Kerja Bareng Jemput Bola (Jareng Jebol).

Sebagai anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial yang acap menjadi pendamping masyarakat dalam mengajukan dan mengelola hutan sosial, acap timbul pertanyaan bagaimana mengembangkan pengelolaan perhutanan sosial secara optimal sehingga bisa bermanfaat bukan hanya secara ekologi, tapi juga secara ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat?

Potensi sumber daya alam di wilayah perhutanan sosial

Alam Terkembang di Ranah Minang

F rest D gest 65o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Sumatera Barat sangat beragam, mulai hasil hutan bukan kayu, potensi air untuk sumber energi, air minum, irigasi serta perikanan, potensi ekowisata, peternakan. Selain potensi sumber daya alam, terdapat juga modal sosial yang sudah terbangun dan bisa dikembangkan di masyarakat seperti aturan adat, kelembagaan pengelola, kelembagaan keuangan mikro serta pengalaman mengelola hasil hutan bukan kayu.

Dukungan yang sangat serius dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten melalui kebijakan dan anggaran, masih perlu dukungan para pihak, karena saat ini sudah lebih dari 200 izin yang diberikan pada wilayah seluas sekitar 250.000 hektare yang tersebar di semua Kabupaten/Kota dan terus berproses menuju 500.000 hektare.

Kolaborasi antara kementerian dan lembaga menjadi salah satu kunci memaksimalkan manfaat perhutanan sosial secara

hakiki, karena saat ini beberapa Kementerian juga punya program yang bisa sinergi dengan Perhutanan Sosial, seperti Kementerian Koordinator Perekonomian, Kantor Staf Presiden, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif.

Dari pengalaman terlibat membangun hutan sosial di Sumatera Barat, ada beberapa hal yang saya catat:

Pengembangan perhutanan sosial memerlukan dukungan kemauan politik kuat dari para pihak, baik dari Kementerian LHK maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati dan masyarakat lokal),

Dukungan kemauan politik mesti disertai mekanisme kontrol dan monitoring evaluasi yang kuat, dengan menyertakan sistem insentif dan disinsentif,

Untuk meningkatkan efektivitas pengembangan hutan sosial diperlukan peta jalan, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal. Peta jalan inilah yang akan menjadi pedoman pengembangan secara berkelanjutan,

Pengembangan hutan sosial menghadapi persoalan yang kompleks: di satu sisi modal sosial yang ada sangat terbatas, di sisi lain kawasan hutan yang tersedia cenderung terbuka akses,

Pengembangan hutan sosial memerlukan sistem layanan yang kreatif, cermat dan terpadu, tetapi mudah dan sederhana, baik terkait dengan perizinan, perencanaan, pengembangan usaha maupun tata niaga hasil hutan,

Kepastian fasilitasi dan pendampingan yang terstruktur, terorganisir menjadi kebutuhan penting dalam pengembangan hutan sosial,

Internalisasi perhutanan sosial ke dalam sistem Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terkait zona dan areal kerja,

Sinkronisasi kebijakan di sektor kehutanan maupun dengan berbagai sektor non kehutanan, dan

Fasilitasi dan pendampingan pengembangan usaha pasca izin menjadi tahap penting yang perlu perhatian serius mengingat keberlanjutan dan kesinambungan dalam pengelolaan kawasan hutan.

Sumatera Barat bisa menjadi salah satu rujukan untuk pengembangan perhutanan di provinsi lainnya dengan mengadopsi karakter di masing-masing wilayah. Yang pasti, saat pemerintah gaerah merasakan manfaat langsung dari perhutanan sosial maka dengan kesadaran penuh mereka akan menyiapkan berbagai infrastruktur (kebijakan, anggaran, pembinaan, akses modal dan pasar) untuk tercapainya masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang sejahtera dan sumber daya hutan tetap terpelihara. —

Rakhmat Hidayat Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial.

hutan nagari.Salah satu bentuk dukungan pemda Bungu terhadap pelaksanaan Hutan Desa di Lubuk beringin Muarao Bungo, Jambi, 2009 Foto: Emmy Than

F rest D gest66 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

DALAM rapat kabinet terbatas pada 26 Februari 2019, Presiden Joko Widodo membuat dua pernyataan penting terkait perhutanan sosial: Pertama, “kebijakan pemanfaatan tanah di kawasan hutan sangat penting dalam rangka memberikan perlindungan hukum, terutama kepada rakyat yang memanfaatkan tanah yang ada di kawasan hutan...”.

Karena itu Presiden memberikan arahan penting kepada para menteri agar “berhati-hati dalam menangani masalah desa atau

perkampungan yang ada di kawasan hutan atau kawasan lainnya, mengingat kemiskinan di wilayah tersebut paling parah. Hal tersebut dikarenakan program-program pemerintah tidak bisa masuk ke wilayah tersebut, seperti program dana desa ataupun program-program lainnya, karena status hukum yang tidak jelas. Kondisi semacam ini masih banyak terjadi. Oleh karena itu, permasalahan tersebut agar diselesaikan mengingat kasus semacam tersebut jumlahnya ribuan, bukan hanya ratusan. Harus ada keputusan untuk memaksa perusahaan, misalnya, dengan penerbitan Peraturan Presiden agar perusahaan swasta maupun BUMN dapat melepaskan sebagian lahannya untuk kepentingan rakyat di wilayah tersebut”.

Dari dua pernyataan itu terlihat jelas komitmen pemerintah terhadap perhutanan sosial sekarang dan akan datang. Pemerintah meyakini perhutanan sosial adalah cara tepat mengelola hutan dengan melibatkan masyarakat untuk mencapai tujuan meningkatkan ekonomi, meredam konflik sosial, dan mencapai kelestarian ekologi.

Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Empat tahun sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan berlaku, ada satu terobosan kebijakan yang mengubah paradigma pengelolaan hutan di Indonesia: dari pengelolaan hutan oleh negara ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat. Terlepas dari keterbatasan akomodasi skema pemberdayaan bagi masyarakat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Kehutanan Masyarakat oleh Menteri Kehutanan Djamaloedin Soeryohadikoesoemo merupakan embrio program unggulan kehutanan saat ini yang kita kenal dengan nama perhutanan sosial.

Langkah dan keputusan itu menjadi salah satu milestone penting dalam pengelolaan hutan sejak dibentuknya Kementerian Kehutanan di era Kabinet Dwikora pada 1964. Artinya pengelolaan hutan memasuki fase pengelolaan setelah berproses kurang lebih 31 tahun. Perubahan terus berlangsung sampai pada tonggak berikutnya yakni Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.

P.83 tidak lepas dari berbagai temuan, kritik, dan desakan atas terjadinya ketimpangan penguasaan dan pengelolaan hutan di Indonesia sehingga mendorong pemerintah meningkatkan pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat dari 1% menjadi 10% rasio luas kawasan hutan. Target hutan yang akan dikelola masyarakat hingga 2019 seluas 12,7 juta hektare sekaligus untuk menurunkan kemiskinan.

Kemiskinan sering menimpa masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang punya ketergantungan hidup pada hutan. Umumnya, masyarakat yang bergantung pada hutan cenderung lemah secara politik. Masyarakat yang menjadi bagian kelompok miskin di sekitar hutan yang memperoleh penghidupan dari hutan bekerja secara langsung di hutan maupun melalui penjualan produk hasil hutan. Ketiadaan kepastian hukum atas penguasaan dan pengelolaan masyarakat atas hutan telah melahirkan berbagai konflik dan kemiskinan serta berlangsungnya praktik ekonomi ilegal.

Secara ilmu lingkungan, kebijakan perhutanan sosial memenuhi konsep Ilmu lingkungan. Konsepl tersebut memiliki 5 prinsip dasar yakni: interaksi (interaction), kebergantungan (interdependency), keanekaragaman (diversity), harmoni (harmony), dan keberlanjutan (sustainability).

Masa Depan Perhutanan Sosial

F rest D gest 67o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Prinsip dasar yang paling kuat dalam perhutanan sosial adalah keberlanjutan. Pendekatan teori ilmu lingkungan dalam pembangunan mewujudkan konsep pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup manusia melalui teori keberlanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial dalam pembangunan yang berkelanjutan (Lombard, 2002). Keberlanjutan, menurut Cunningham dan Cunningham (2012), berarti manusia tidak boleh menggunakan sumber daya alam lebih cepat dari kemampuan alam memperbaiki diri. Sementara Jemeeks et al (2011) menyatakan konsep keberlanjutan adalah suatu upaya menjembatani ilmu alam dan ilmu sosial dalam rangka menemukan solusi untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Tumbuh Kembang Saat IniVisi misi Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019 menjanjikan

hak dan akses rakyat atas sumber-sumber agraria. Visi tersebut dituangkan dalam sebuah dokumen politik bernama Nawacita 2014. Visi misi tersebut diterjemahkan dalam dokumen pembangunan yang menetapkan 9 juta hektare Reforma Agraria dan 12,7 juta hektare perhutanan sosial. Peluang memanfaatkan momentum political will ini berkonsekuensi pada proses menciptakan ekosistem kebijakan perhutanan sosial oleh birokrasi.

Sejak awal 2015, Kantor Staf Presiden memantau dan memastikan pelaksanaan Janji dan Program Prioritas Presiden itu. Upaya yang dilakukan salah satunya melalui kerja teknokratik untuk memastikan reformasi agraria dan perhutanan sosial masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Nasional (RPJMN) 2015-2019 termasuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun dan beserta penganggarannya.

Sampai 2019, terealisasi lebih dari 5.800 unit surat keputusan perhutanan sosial seluas 3.290.984 hektare. Capaian ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, meskipun masih ada pekerjaan 9,5juta hektare untuk direalisasikan.:

Jebakan dan Tantangan Untuk mendapatkan izin perhutanan, dibutuhkan proses

yang panjang mulai dari pengajuan sampai dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penyiapan dokumen administrasi, penyusunan proposal, dan rencana pengelolaan hutan desa membutuhkan sumber daya dan kapasitas organisasi pemohon yang cukup baik.

Karena itu peran pendamping sangat penting. Lembaga pendamping ini biasanya berupa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Beberapa kali, KSP menerima laporan pengaduan dari masyarakat soal tidak ada kejelasan tindaklanjut proses usulan

masyarakat untuk mendapatkan perhutanan sosial. Rupanya, usulan masyarakat tersebut berkaitan dengan keberadaan izin usaha kehutanan atau berada di kawasan gambut. Ini menjadi pertanyaan: bisakah perhutanan sosial menjadi solusi masalah ekonomi dan sosial di kawasan hutan jika syaratnya clear and clean?

Bentuk-bentuk lain jebakan dan tantangan dalam implementasi perhutanan sosial antara lain: keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia di pemerintah yang dinilai belum sesuai untuk mencapai target 12,7 juta hektare, ketidaksesuaian Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dengan peta usulan masyarakat, kesulitan masyarakat dikarenakan usulan perhutanan sosial berada di lokasi hutan konservasi dan penetapan hutan adat yang perlu produk Peraturan Daerah.

Langkah ke depan Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan periode

2014-2019 dalam perhutanan sosial pasti tidak memuaskan semua pihak namun tetap patut mendapat apresiasi. Bila disederhanakan, kerja besar dalam perhutanan sosial maka terdapat tiga kerja utama yaitu, legalisasi dalam bentuk SK, pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik agraria di sektor kehutanan. Secara urutan besaran capaian dalam periode ini atas 3 kerja besar tersebut adalah legalisasi diikuti dengan pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik.

Memasuki periode 2020-2024, perhutanan sosial sudah mesti menaruh porsi pada kualitas dan outcome yakni pemberdayaan serta menjadi mekanisme penyelesaian konflik yang efektif. Ekspansi implementasi perhutanan sosial yang telah menjadi preseden baik untuk pemberdayaan dan penyelesaian konflik harus dijadikan acuan untuk percepatan seperti pelaksanaan perhutanan sosial. Preseden baik itu, misalnya, perhutanan sosial di Sungai Tohor, Provinsi Riau. Satu perhutanan sosial yang masih berlangsung di kawasan gambut dan memiliki sejarah konflik agraria serta ancaman kerusakan hutan.

Secara kewilayahan, dapat dilakukan percepatan perhutanan sosial di daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi. Berdasarkan BPS pada bulan Juli 2019 masih menempatkan Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo, Aceh, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan sebagai 10 besar provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi. Sepuluh provinsi tersebut bisa menjadi prioritas perhutanan sosial lima tahun ke depan karena wilayah ini juga memiliki alokasi perhutanan sosial yang cukup luas. Karena perhutanan sosial sudah sepantasnya menjadi pintu kesejahteraan dan keberlanjutan hutan Indonesia.

Abetnego TariganTenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden

F rest D gest68 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

penelitian

POHON mimba (Azadirachtaindica A. Juss), merupakan salah satu famili Meliacea yang termasuk tanaman tropis dan sub tropis cepat tumbuh. Tanaman ini bisa tumbuh pada lokasi dengan curah hujan tahunan 400-800 milimeter dan musim

kemarau yang panjang, bahkan pada tanah marginal. Tanaman ini menyebar dari India, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, Malaysia hingga ke Indonesia.

Di Indonesia, mimba bisa kita temukan di Lampung, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Puluhan juta pohon mimba telah ditanam masal di banyak negara untuk penghijauan dan pemanfaatan bagian tanamannya. Manfaatnya yang luas pada bidang kesehatan dan pertanian membuat para ahli menyebutnya “tanaman multiguna”

Mimba sangat cocok untuk reboisasi hutan yang gundul, karena tahan kekeringan yang panjang sehingga minim pemeliharaan. Penanaman skala besar dapat membantu mengurangi penggundulan hutan, erosi tanah, dan mencegah pemanasan global karena mimba memiliki tingkat fotosintesis yang tinggi sehingga lebih banyak oksigen yang diproduksi daripada pohon lain. Mimba memiliki kemampuan tumbuh kembali setelah ditebang yang bisa mencapai

ketinggian 25 meterBuah dan daunnya merupakan

bagian terpenting mimba. Buah-buahan dihasilkan pada bagian malai pada satu atau dua kali dalam setahun. Bunga mulai muncul pada bulan September dan buah masak pada bulan Januari. Bentuk buahnya oval dengan panjang sekitar 1,5 sentimeter, bagian luar berwarna hijau kekuningan yang ketika masak akan terkelupas dan menyisakan cangkang coklat pucat yang berisi inti biji berwarna coklat tua (Gambar 1).

Satu pohon bisa menghasilkan biji antara 10-50 kilogram, tergantung pada umur dan faktor lingkungan. Daunnya berukuran sedang, menyirip tidak berpasangan, pinggir daun bergerigi dan runcing. Sementara batangnya

berwarna coklat muda sampai coklat tua dan dekorasi kayu yang cukup baik menyebabkan kayu ini banyak digunakan masyarakat untuk kusen dan daun pintu.

Mimba memiliki 35 senyawa bioaktif antara lain azadirachtin, isomeldenin, salanin, nimocinol, 2-3 dehydrosalanol gedunin, nimbin, nimbidin, nimolicinol, odoratone, azadironolide, isoazadironolide, naheedin, dan mahmoodin. Senyawa aktif ini bersifat sedikit hidrofilik, tetapi banyak yang bersifat lipofilik dan sangat larut dalam pelarut organik. Pada aplikasi pengendalian serangga hama, mimba tidak langsung mematikannya, tetapi mengganggu pertumbuhan dan reproduksi serangga.

Minyak mimba mengandung bahan aktif utama yang dikenal dengan nama

Pembunuh Hama Berdarah DinginPohon mimba bisa dikembangkan sebagai bahan baku produk pengusir hama hingga reboisasi. Semua komponennya berguna.

F rest D gest 69o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

azadirachtin. Namun bioaktif ini tidak bekerja sendiri, tetapi bersinergi dengan bahan aktif lain seperti nimbin, salanin, dan fenol. Azadirachtin ditemukan di semua bagian pohon tetapi lebih banyak terkonsentrasi pada biji. Kandungan Azadirachtin berbeda pada tiap pohon karena perbedaan tempat tumbuh dan umur pohon. Kandungan azadirachtin dalam biji menurun jika terjadi kerusakan atau pembusukan biji.

Mimba mudah disiapkan dan digunakan, dan aman bagi lingkungan, tidak berbahaya bagi manusia dan hewan. Rasa pahit dalam minyak biji mimba diakibatkan oleh senyawa meliacin sedangkan bau khasnya salah satunya karena kandungan asam tignat.

Azadirachtin merupakan golongan terpenoid yang bisa diisolasi dari biji pohon mimba, sebagai bioaktif pertahanan alami tanaman melalui mekanisme penghilangan rangsangan makan (phagostimulant) dan melalui pengurangan dalam asupan makanan karena efek toksik jika dikonsumsi.

Mimba menjadi salah satu sumber senyawa bioaktif yang telah diteliti berbagai ilmuan di seluruh dunia. Azadirachtin juga memiliki efek

mengganggu pertumbuhan pada larva seperti gangguan moulting, penghambatan pertumbuhan, malformasi, yang berakhir pada kematian. Hal ini disebabkan oleh gangguan endokrin sebagai regulasi turunnya kadar hormon ecdysteroid. Aktivitas azadirachtin dalam mengganggu pertumbuhan larva akan meningkat dengan naiknya suhu, sehingga hal ini akan menguntungkan bila diaplikasikan pada daerah tropis.

Mahmoodin, yang juga berasal dari isolasi minyak biji mimba terbukti bersifat antibakteri bakteri patogen. Tanin terkondensasi dari kulit kayu mimba dapat menghambat peradangan. Pada aplikasi di bidang pertanian dan kehutanan produk berbasis mimba digunakan untuk mengendalikan serangga hama. Mimba memiliki spektrum pengendalian yang luas untuk lebih dari 200 jenis serangga yang tergolong dalam Lepidoptera, Diptera, Heteroptera, Homoptera, Orthoptera, Hymenoptera, Thysanoptera, dan Coleoptera.

Karena itu mimba memiliki potensi besar sebagai pengendali hama gudang, dengan memanfaatkan efek repellentnya sehingga mencegah masuknya hama ke dalam penyimpanan produk. Efek repellent ini juga berhubungan dengan

No. Nama zenyawa sumber Aktivitas biologi1 Nimbidin biji Anti-inflammatory

AntiarthritisAntipyretic Hypoglycaemic Spermicidal Antifungal Antibacterial Diuretic

2 Sodium nimbidate Anti-inflammatory3 Azadirachtin biji Antimalerial4 Nimbin biji Spermicidal5 Nimbolide biji Antimalerial

Antibacterial6 Gedunin biji Antimalerial

Antifungal7 Mahmoodin biji Antibacterial8 Gallic acid, (-) epicatechin dan

catechinkulit Anti-inflammatory Immunomodulatory

9 Margolone, margolonone dan isomargolonone

kulit Antibacterial

10 Cyclic trisulphide dancyclic tetrasulphide

daun Antifungal

11 Polysaccharides Anti-inflammatory12 Polysaccharides G1A, G1B daun Antitumour13 Polysaccharides G2A, G3A daun Anti-inflammatory14 NB-2 Peptidoglucan daun Immunomodulatory

efek mencegah peletakan telur serangga terhadap produk yang dilindungi.

Aktivitas farmakologi tanaman mimba telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian di antaranya sebagai antifertilitis, antiplasmodial, antiinflamasi, antiteramatik, antipiretik, penurunan gula darah, antitukak lambung, hepatoprotektor, imunopotensiasi, antifertilitas, antibakteri, antijamur, anti kanker, antitripanosoma dan antivirus.

Salah satu temuan, misalnya, senyawa nimbidin, dari ekstrak minyak mimba. Nimbidin memiliki aktivitas antiinflamasi setelah diujikan pada tikus. Pemberian nimbidin secara oral menunjukkan efek hipoglikemik dan menekan asam lambung yang signifikan. Nimbidin juga dilaporkan memiliki aktivitas spermicidal sehingga dapat dipakai sebagai alat kontrasepsi alami. Nimbidin terbukti dapat menghambat pertumbuhan jamur Tinea rubrum dan mycobacterium tuberculosis. Nimbolide dan gedunin menunjukkan aktivitas antimalaria dan antmikroba.

Dengan segala manfaat itu, terlihat bahwa mimba memang layak disebut tanaman multiguna.

—Arief Heru Prianto, peneliti pada Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia.

F rest D gest70 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Kolom

PEMERINTAH DKI Jakarta hendak mengurangi polusi udara Jakarta yang dilaporkan semakin tidak sehat akibat asap kendaraan bermotor, pabrik, dan aktivitas manusia. Salah satu dari delapan cara mengatasinya adalah melalui penanaman pohon. Pemerintah hendak membagikan tanaman hias lidah mertua. Efektifkah cara ini?

Untuk jangka panjang sebaiknya menimbang trembesi yang punya nama Latin Albizia saman atau sinonim dengan Samanea saman.

Trembesi disebut juga pohon hujan atau Ki Hujan. Orang Inggris menyebutnya rain tree karena daunnya meneteskan air ketika hujan. Trembesi merupakan pohon besar dengan ketinggian bisa mencapai 20 meter bahkan 30 meter dengan percabangan tajuk yang sangat lebar. Ki Hujan mempunyai jaringan akar yang luas, sehingga kurang cocok ditanam di pekarangan karena bisa merusak bangunan.

Ketika pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, dalam rangka gerakan one man one tree, ia menggalakan penanaman pohon trembesi di seluruh wilayah Indonesia karena satu batang trembesi dewasa, dengan percabangan lebih dari 15 meter, mampu menyerap 28,5 ton gas setara karbon dioksida (CO2) per tahun. Di lingkungan Istana Negara terdapat dua batang pohon trembesi yang ditanam oleh presiden pertama Ir. Soekarno yang masih terpelihara dengan baik hingga kini.

Di beberapa daerah di Indonesia, pohon ini sering disebut Kayu Ambon (Melayu), Trembesi, Munggur, Punggur, Meh (Jawa), Ki Hujan (Sunda). Dalam bahasa Inggris pohon ini

mempunyai beberapa nama seperti, East Indian Walnut, Rain Tree, Saman Tree, Acacia Preta, dan False Powder Puff. Di beberapa negara Pohon Trembesi disebut Pukul Lima (Malaysia), Jamjuree (Thailand), Cay Mura (Vietnam),Vilaiti Siris (India), Bhagaya Mara (Kanada), Algarrobo (Kuba), Campano (Kolombia), Regenbaum (Jerman), Chorona (Portugis).

Tumbuhan ini diperkirakan berasal dari Meksiko, Peru, dan Brasil. Sekarang telah tersebar ke seluruh daerah beriklim tropis termasuk Indonesia. Trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di sabana yang minim air. Kemampuan tumbuh di sabana menunjukkan pohon ini tidak memiliki evaporasi yang tinggi. Jadi sangat salah kalau ada orang yang mengatakan pohon ini sebagai penguras air tanah yang kuat.

Saya pernah diundang Presiden Yudhoyono memberikan pembekalan penanaman trembesi pada 13 Januari 2010 di Istana Negara. Saya menganjurkan agar jenis pohon utama untuk memerangi global warming adalah trembesi karena berdasarkan penelitian, dibandingkan 43 jenis tanaman pada 2008, trembesi yang memiliki daya serap polusi paling tinggi, bahkan jika perbandingannya ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar.

Trembesi termasuk jenis yang “die hard”. Di tanah kering kurang hujan (sabana) dia mampu hidup, namun di daerah banyak air, dasar sungai yang becek, dia juga bisa hidup. Trembesi juga memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara, sehingga pertumbuhannya dapat subur walaupun kurang mendapatkan pupuk nitrogen. Dengan demikian trembesi bisa hidup di lahan-lahan marginal dan kritis, seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah

Trembesi untuk Mencegah Pemanasan Global

F rest D gest 71o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

yang tinggi. Pohon ini bisa mencapai usia 300-500 tahun.Dengan “daya teduh” yang bagus dan kemampuan penyerapan

karbon dioksida yang sangat besar—terlepas dari segala kekurangannya—maka trembesi cocok dijadikan pilihan pohon andalan untuk mengisi ruang terbuka hijau yang semakin lama semakin berkurang di lingkungan sekitar kita, tergantikan oleh “hutan beton”. Tidak mengherankan bila sejak tahun 2006 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai bahwa kualitas udara Jakarta terburuk ketiga setelah Kota Meksiko dan Bangkok.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Salah satu unsurnya adalah bahwa dalam kawasan perkotaan harus tersedia RTH sebesar 10% RTH privat dan 20% RTH publik. RTH privat adalah RTH yang berada dalam ruang terbangun seperti lingkungan perumahan, sementara RTH publik adalah RTH yang berada dalam ruang terbuka (publik) di kawasan perkotaan. Diperlukan

sekali hadirnya 30% RTH di kawasan kota-kota di Indonesia. Keberadaan RTH sebesar 30 persen nantinya akan mengurangi kadar konsentrasi sulfur dioksida (SO2) sebesar 70 persen, dan nitrogen (NO2) sebesar 67 persen.

Lalu bagaimana dengan gas CO (karbon monoksida)? Gas ini sangat beracun. Afinitas gas CO jika bergabung Hb menjadi Hb-CO sebanyak 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan Hb-O2. Oleh sebab itu, walaupun konsentrasinya hanya 10-20 ppm di dalam mobil bisa meracuni penumpang. Pengendara bisa menderita pusing, kelelahan bahkan kematian. Pernah terjadi seorang ibu yang membawa anaknya berbelanja meninggalkan anaknya di mobil karena tertidur. Mesin mobil tetap menyala sepanjang ia berbelanja. Ketika kembali si anak sudah meninggal.

Tidak seperti gas polutan, gas CO kurang bisa diserap oleh cairan plasma daun. Jadi sebaiknya ketika mengendarai mobil kecil dengan penumpang banyak, pengendaranya harus sering membuka jendela agar gas CO yang ada dalam mobil ke luar berganti dengan udara relatif bersih.

Allah sayang dengan sifat “rahman dan rahim”, kasih sayang pada manusia menciptakan mekanisme penyerap gas CO melalui mikroorganisme yang ada pada humus dan serasah pada tanah. Dalam dunia penelitian, pernah diuji dua sungkup kaca tertutup rapat yang berisi tanah. Satu sungkup diberi desinfektan dan lainnya tidak. Ternyata tanah yang diberi desinfektan konsentrasi gas karbon monoksidanya tetap, sedangkan yang tidak diberi desinfektan konsentrasi CO menjadi 0 ppm.

Jadi daun yang jatuh jangan dibakar. Serasah yang berasal dari dedaunan yang jatuh serta humusnya harus dibiarkan sebagai penyerap gas CO yang kemudian bisa kita jadikan humus, pupuk penyubur tanaman.

PT Djarum pernah melakukan banyak penanaman trembesi di Jawa, Bali dan Lombok. Baik di kiri kanan jalan maupun di berbagai kawasan perkotaan, agar nanti sekitar 10-15 tahun setelah penanaman, pepohonan tersebut dapat menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis yang tentunya berperan dalam mengurangi dampak buruk global warming.

Lalu bagaimana dengan lidah mertua (Sansevieria)? Tumbuhan ini tinggi maksimalnya sekitar 75 sentimeter dan lebar daunnya sekitar 3 sentimeter. Jadi jika dibandingkan dengan trembesi, luasan daunnya sangat kalah. Sehingga kemampuan serapan gas polutannya juga rendah. Trembesi bisa menjadi tumbuhan peneduh juga untuk habitat satwa liar.

Marilah kita menanam pohon yang banyak, termasuk trembesi, di area terbuka. Selain untuk kesejukan dan keteduhan, juga menjadi “paru-paru” untuk kita wariskan kepada anak, cucu, dan generasi penerus kita. —

Endes N. Dahlan Dosen Hutan Kota dan Jasa Lingkungan Fakultas

Kehutanan IPB

F rest D gest72 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

reportase

BABAK baru Labuan Bajo dimulai ketika Presiden Joko Widodo meresmikan Bandara Komodo pada 2015. Ini nama baru bandar udara di Nusa Tenggara Timur setelah meninggalkan nama lama Bandara Mutiara II. Bandara ini terkoneksi langsung ke lain negara sebagai bandar internasional. “Sehingga secara langsung turis-turis akan datang kesini,” kata Jokowi.

Namanya pun unik “Bandara Komodo” yang merupakan satu-satunya bandara di Indonesia

dengan ikon satwa purba. Tidak hanya nama, tampilan bangunan bandara dirombak menyerupai sosok komodo, hewan endemik Pulau Komodo.

Sudah lama saya ingin ke sana. Maka ketika menginjakkan kaki di bandar baru itu saya bungah. Di Bandara Komodo, Programme Manager Burung Indonesia untuk Flores Tiburtius Hani memberi salam, “Selamat datang di tanah Flores, Om Bos.” Sapaan “Om Bos” merupakan sebuah penghormatan kepada setiap tamu yang datang pulau indah ini.

Tanpa canggung, Tibur bercerita tentang Labuan Bajo dengan segala karakteristiknya sambil mengarahkan pengemudi menuju suatu desa di sekitar Mbeliling. Tibur juga memaparkan kini Labuan Bajo tidak sepi dari wisatawan. Serangkaian tawaran paket destinasi wisata tersedia di Pulau yang indah ini. Menurut dia, selain melihat atraksi satwa purba komodo di Taman Nasional Komodo, pengunjung dapat menikmati budaya bahkan keunikan bentang alam.

Selama ini turis mancanegara maupun domestik cenderung menyukai wisata laut dan jarang menyentuh wisata darat seperti

Perempuan Penjaga Burung MbelilingBurung-burung Mbeliling kembali setelah masyarakat menjaga bentang alam ini. Mereka bahkan mahir mengidentifikasi burung liar.

Mbeliling.Kawasan Bentang Alam Mbeliling; dari Desa Golo Damu, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 2019foto-foto: asep hayat

F rest D gest 73o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest74 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

hutan, gunung, danau, atau obyek wisata pegunungan lainnya. Padahal obyek wisata darat di Manggarai Barat dan Flores pada umumnya tidak kalah dalam menawarkan keindahan serta keunikan.

Sesungguhnya, hiruk-pikuk Labuan Bajo bergantung pada keberadaan Bentang Alam Mbeliling. Sebanyak 28 sungai utama mengalir melalui bentang alam ini dan menopang kehidupan bagi sekitar 34.000 jiwa (7.000 keluarga) di 27 desa di sekitar Bentang Alam Mbeliling termasuk kota Labuan Bajo. Tak heran, air menjadi barang yang mahal dan sangat berharga.

Mbeliling terbentang seluas 94.000 hektare. Nama Mbeliling diambil dari nama gunung tertinggi di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yang menjulang 1.300 meter dari permukaan laut. Bentang alam tersebut terdiri atas Gunung Mbeliling, hutan Mbeliling, padang semak, dan beberapa desa di sekitarnya. Sebanyak 73% masih berupa hamparan hutan (hutan semi awet hujan, hutan luruh daun dan hutan campuran) dan 27% meliputi areal bukan hutan yang termasuk di dalamnya persawahan, sabana, dan perdesaan di sekitar bentang alam.

Selama perjalanan, Tibur menuturkan bagaimana Mbeliling sangat penting bagi kekayaan flora dan fauna endemik di Flores. Hamparan hutan ini menjadi kawasan prioritas tertinggi untuk konservasi keanekaragaman hayati karena kawasan ini Daerah Penting bagi Burung dan Keanekaragaman Hayati (Key Biodiversity Area/KBA) termasuk di dalamnya fauna dan flora endemik di Flores. Dari 356 KBA di kawasan Wallace, 5 di antaranya berada di Bentang Alam Mbeliling.

Burung Indonesia mencatat sekitar 272 jenis burung di Flores dan 171 (63%) jenis di antaranya hidup di kawasan Mbeliling. Dari temuan tersebut, lima di antaranya termasuk jenis endemik dan terancam punah di kawasan ini, yakni serindit flores (Loriculus flosculus), kehicap flores (Monarcha sacerdotum), gagak flores (Corvus florensis), celepuk Flores (Otus alfredi) dan elang flores (Spizaetus floris). Selain itu rumah bagi kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulphurea) yang saat ini masuk kategori kritis (critically endangered).

Hasil rekam kamera jebak (camera trap) dari tim survei Burung Indonesia mencatat Komodo (Varanus komodoensis) hidup di kawasan hutan Mbeliling. Temuan ini menyimpulkan bahwa komodo hidup di

daratan Flores Bgian Barat selain Taman Nasional Komodo yaitu Golo Mori dan Tanjung Kerita Mese. Kedua lokasi tersebut merupakan bagian dari bentang alam Mbeliling, yang meliputi kawasan di sekitar hutan Mbeliling dan Sesok, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Hutan Mbeliling juga rumah badi ular buta (Typlops schmutzli) dan pohon narep (Sympetalandra schmutzli) yang kian terancam punah.

Saking asyik Tibur bercerita, tak terasa mobil yang membawa kami sudah sampai di kampung yang berada di wilayah hutan Mbeliling. Cukup tiga jam perjalanan menuju Golo Damu yang penduduknya menjaga kelestarian hutan Mbeliling sampai saat ini.

Kami disambut dengan salam penghormatan oleh Erimina Skolastika, ketua kelompok masyarakat. Sesuai adat Manggarai Barat, kami disodorkan segelas sofi, minuman penghormatan sebagai welcome drink. Minuman ini berasal dari pohon Nira telah diproses higienis melalui penyulingan dan fermentasi. Terasa manis menyegarkan serta menghilangkan rasa dahaga selama perjalanan.

Kemudian kami disuguhkan “tarian caci” yang memainkan peranan penting sebagai lambang seni dan budaya Manggarai, NTT, sebagai ritual mendalam bagi masyarakat, juga menjadi atraksi pertunjukan dan menarik.

Eriminia lalu bercerita bagaimana

penduduk desa menjaga Mbeliling. Menurut dia, tidak mudah membangun pemahaman masyarakat agar peduli terhadap hutan dan sekelilingnya. Dulu masyarakat kesulitan mendapatkan air. Sejak fasilitasi Burung Indonesia pada 2007, masyarakat diberikan pemahaman peduli terhadap hutan, cara bercocok tanam, beternak dan tidak berburu satwa terutama burung.

Setahun kemudian, Eriminia berserta beberapa anggota berhasil membentuk kelompok pengembangan konservasi di tingkat desa dengan nama Kelompok Kembang Mekar. Kelompok ini bertujuan melakukan pengawasan kawasan hutan dari praktik-praktik yang tidak berkelanjutan seperti penebangan liar, perburuan dan kegiatan ilegal lainnya. Selanjutnya kegiatan ini dinamakan “laat puar” yang berarti

reportase

kemiri.Salah satu komoditasmasyarakat di sekitar BentangAlam Mbeliling.

Kakatua-kecil jambul kuning

F rest D gest 75o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

pemantauan layanan alam. Pemantauan ini dilaksanakan setahun dua kali dengan swadaya.

Menurut Erminia, nama Kembang Mekar diambil karena 80% anggota adalah ibu rumah tangga. Di luar urusan domestik, ketika para suami bekerja di ladang, perempuan-perempuan di desa ini secara rutin menembus hutan desa untuk memantau kondisi mata air yang menyokong penghidupan masyarakat di desa, serta memantau kondisi hutan dan habitat satwa.

Kesadaran masyarakat mengenai kelestarian alamnya terbilang tinggi. Bahkan sejumlah kelompok masyarakat secara swadaya rutin melakukan aktivitas pemantauan layanan alam. Secara berkala mereka memantau, mencatat, dan mendokumentasikan perubahan yang terjadi di sekitar kawasan hutan adat, sumber air, juga pertanian untuk mencegah kerusakan.

Perlahan tapi pasti, anggota Kembar Mekar saat ini sudah mahir melaksanakan Pemantauan Layanan Alam, termasuk mampu mengidentifikasi jenis burung termasuk jenis endemik dan dilindungi. Bahkan bila ada turis yang datang, mereka tak lagi canggung memandu pengamatan burung. Kegiatan ini selanjutnya menjadi paket birdwatching yang dikelola kelompok masyarakat.

Hal terpenting bagi mereka adalah

menyadari pentingnya peran burung bagi alam sekitar. Burung berperan dalam membantu penyebaran biji sehingga pepohonan bisa tumbuh secara alami. Pada akhirnya membantu regenerasi hutan menuju keseimbangan hayati.

Berawal dari kesadaran masyarakat, saat ini Erminia dan masyarakat Golo Damu tidak kesulitan sumber air dan mendapatkan banyak manfaat dari menjaga hutan Mbeliling. Secara ekologis Mbeliling merupakan hulu bagi sungai-sungai yang mengalir ke arah barat dan selatan di Manggarai Barat. Tidak hanya sekitar Mbeliling, masyarakat di Labuan Bajo bergantung kebutuhan air minum mereka dari kawasan ini. Dengan demikian, ekosistem Mbeliling tidak hanya penting bagi aksi konservasi keragaman hayati, tetapi juga menjadi kawasan yang penting sebagai daerah tangkapan air.

Tibur menambahkan, saat ini telah ada 16 desa yang melakukan Pemantauan Layanan Alam ini secara swadaya. Masyarakat desa juga didorong merumuskan kesepakatan tentang pengurusan dan pengaturan sumber daya penghidupan mereka melalui Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD). KPAD ini merupakan cikal bakal rencana pengelolaan bentang alam pada tingkat desa yang salah satu di dalamnya adalah pemantauan layanan alam.

Ke depan kegiatan ini akan disinergikan dalam rencana pembangunan desa agar pemerintah desa dapat mengalokasikan anggaran rutin untuk mendukung kegiatan Pemantauan Layanan Alam. Alokasi dana tersebut dapat berasal dari APBD II atau dana desa yang bersumber dari APBN—merujuk pada Peraturan Menteri Desa No.19 tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.

Selain sisi konservasi, masyarakat pun dilatih bercocok tanam melalui sistem wana tani, persawahan dan peternakan. Melalui kegiatan ini masyarakat mendapatkan diversifikasi pendapatan. Petani di Mbeliling memproduksi beberapa komoditas pertanian unggulan seperti kemiri, kopi, cengkeh, kakao, mete dan komoditas kayu seperti jati dan mahoni.

Guna menabah pendapatan, masyarakat pun difasilitasi mendapat kredit mikro melalui koperasi. Modal koperasi semakin berkembang guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

—Asep Ayat, Forest Programme Coordinator di Burung Indonesia.

pemantauan.Para ibu sedang melakukan pemantauan hutan di bentang alam Mbeliling.

F rest D gest76 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

perjalanan

EKPEDISI ini dipimpin seorang perempuan, Dewi Ayu Wulandari, dengan anggota empat laki-laki dan tiga perempuan. Mereka anggota Rimbawan Pencinta Alam Fakultas Kehutanan IPB. Nama ekspedisinya “Ekspedisi Tanah Seribu Pulau” karena lokasinya

di Maluku. Indonesia memiliki sekitar 17.000 pulau,

seribu di antaranya berada di Provinsi Maluku. Para rimbawan itu datang ke sana untuk inventarisasi dan pemetaan gua di Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL), Maluku Utara. Taman Nasional yang ditetapkan pada tahun 2004 memiliki luas sekitar 167.000 hektare.

Ekspedisi itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, kurang lebih tiga pekan pada Juni-Juli 2015. Pemandangan Gunung Gamalama yang pertama menyambut kami di tanah Ternate sebelum pilot mendaratkan roda pesawat di Bandara Sultan Babullah. Perjalanan dilanjutkan dari Ternate menyeberang Sofifi di Pulau Halmahera, kota yang memiliki banyak dramaga. Tim membelah ombak lautan selama 2 jam di atas kapal feri.

Sesampainya di Sofifi, Ibu Kota Maluku Utara, kami menuju kantor balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Kami perlu mengkonfirmasi izin ke kantor balai. Kepala Balai Taman Nasinonal Aketajawe, Sadtata Noor, menyambut kami dan langsung rapat koordinasi. Kami menginap dua hari semalam di Balai untuk berkoordinasi, mengecek ulang alat ekspedisi, perencanaan lokasi penelusuran gua, dan persiapan perbekalan lapangan.

Ekspedisi dimulai dari resor Akejira untuk mencapai desa terakhir sebelum memasuki kawasan hutan di Desa Kobe.

Di taman nasional hidup suku-suku lokal, salah satunya suku Tobelo. Suku ini terbagi menjadi dua, Tobelo Luar dan Tobelo Dalam atau yang biasa dikenal dengan suku Togutil.

Pulau Halmahera dikelilingi oleh lautan, sehingga masyarakat Tobelo memiliki keahlian dalam pemahatan kayu menjadi kapal dan berburu ikan menggunakan tombak. Perempuan suku Tobelo juga pandai membuat kerajinan tangan semperti anyaman bambu. Hal ini menjadi potensi wisata budaya yang menarik untuk disinergikan dengan ekowisata alam taman nasional.

Selama ekspedisi kami didampingi staf taman nasional dibantu beberapa orang lokal. Perjalanan menuju beragam gua sungguh terjal. Setiap orang memikul beban perbekalan dan alat ekspedisi yang beratnya bisa hampir 20 kilogram. Tetapi langkah kami terhibur oleh keramahan masyarakat dan hutan Halmahera yang memikat. Menjadi obat lelah setiap orang kala itu.

Gua pertama yang kami temukan adalah gua Mamara. Terletak di lembah dengan mulut gua berada di bawah bukit yang di sekitarnya ditumbuhi pohon dan pancang. Mulut gua cukup besar dengan lebar 4,5 meter dan tinggi 5 meter. Panjang gua ini 76,69 meter dan tergolong gua kering, dalam arti tidak ada aliran air.

Tanpa air dan ornamen-ornamen yang tidak berbentuk lagi, gua Mamara bisa dikategorikan sebagai gua fosil. ini. Gua ini menjadi sarang ratusan kelalawar dan burung walet.

Gua kedua adalah sua Simon di zona inti taman nasional. Gua Simon memiliki mulut gua yang cukup besar dengan lebar 7 meter dan tinggi atap 7 meter. Gua ini merupakan gua berair disepanjang lorong dengan debit 0,004 m³/detik, bahkan terdapat samp, genangan air yang menutupi lorong gua. Ada beberapa biota

Gua Rimpala di HalmaheraPerjalanan menemukan gua baru di Maluku. Nama organisasi para pecinta alam ini pun menjadi nama gua baru itu.

F rest D gest 77o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

gua RimpalaMemasuki gua tak bernama

di Halmahera. Tim ekspedisi Rimpala kemudian menamainya "gua Rimpala"

(Dok. Rimpala)

F rest D gest78 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

khas gua seperti laba-laba dan serangga air. Ornamen gua Simon masih sangat alami, dengan keindihan stalaktit dan stalakmit yang mengandung lapisan kristal. Kilauan cahaya keemasan dan perak dari stalaktit dan stalakmit itu terbentuk oleh bakteri dan fosfor.

Di hari kedua kami menemukan gua Pikoy, gua ini dengan lorong yang besar namun pendek. Sayang sekali kami tak sempat memetakan gua ini karena sudah sore dan kami harus melanjutkan perjalanan. Keterbatasan waktu membuat tim hanya bisa mendokumentasikan gua dan menandai kordinatnya.

Tidak jauh dari gua Simon kami menemukan dua gua yang letaknya berdekatan, gua Maruku dan gua Yamul. Menurut bahasa lokal di Maluku Utara, marukur berarti “merunduk”. Nama ini sesuai dengan kondisi lorong gua yang pendek dan sempit. Lebar gua Maruku hanya 3,2 meter dan tinggi atap 2 meter. Masuk sedikit ke dalamnya akan ada dua lorong, satu menuju ke atas dan satu lorong utama. Dengan dua lorong ini membuat lorong dalam gua seperti bertingkat.

Gua maruku tidak memiliki aliran air. Namun, agaknya jika hujan air menggenang dan membanjiri lorong-lorongnya karena terlihat banyak serasah yang menempel di dinding dan atapnya.

Sementara nama Yamul diambil dari nama sebe, laki-laki yang mengantar kami

dalam kawasan hutan ini. Yamul singkatan dari “Yakub-Maluku”. Gua Yamul memiliki dua mulut tembusan dengan lebar 6,5 meter dan tinggi atap 4,8 meter. Mulut gua tembusan pertama letaknya berhadapan langsung dengan mulut gua utama yaitu sejauh 14,65 meter. Mulut tembusan kedua terletak di ujung lorong utama gua yang panjangnya 24,95 meter dan tembus ke arah sungai.

Gua Wabulen adalah gua keenam kami temukan. Terletak di sebuah lembah di bawah tebing batu. Mulut gua langsung terhubung dengan chamber atau ruang gua, dan menjadi chamber terluas dengan ukuran diagonal 24,8 meter dan tinggi atap 15 meter. Setelah chamber ada lorong kecil vertikal sedalam 2,9 meter yang tersambung ke lorong berlumpur setinggi lutut.

Gua ketujuh yang kami datangi adalah gua Pece. Pece berarti lumpur karena hampir seluruh lorong hingga dinding gua dipenuhi lumpur. Keunikan gua ini terdapat pada mulut gua yang berbentuk segitiga dengan lebar 6,5 meter dan tinggi atap 11 meter. Panjang gua Pece 109,17 meter.

Petualangan tim ekspedisi dari Rimpala tidak hanya berhenti di resor Akejira. Kami melanjutkan perjalanan pada hari

keempat menuju resor Binagara. Kami mendapatkan informasi ada sebuah gua yang belum terpetakan dan tereksplorasi. Kami tertarik mendatanginya karena penasaran mengapa dari sekian banyak gua di sana ia belum punya nama?

Gua itu berada di pos terakhir di Desa Binagara, Halmahera Timur. Lokasinya berada dalam zona rimba kawasan taman nasional. Begitu memasukinya kami langsung disambut oleh suara khas penghuni gua: kelelawar, walet. Lorong gua ini vertikal pada mulut gua dengan kedalaman 9,5 meter dan total panjang gua 647,40 meter. Karena berdiri, air masuk ke dalamnya dengan debit 0,29 m³/detik. Kedalaman air di mulut gua mencapai lebih dari tiga meter. Kami harus memakai pelampung untuk memasukinya sebelum menyelam memasuki lorong-lorongnya.

Benar saja, gua itu belum punya nama dan tak ada dalam peta gua di taman nasional ini. Yakub dan staf taman nasional mengatakan tak ada nama

perjalanan

EkspedisiTim ekspedisi Rimpala berpose di depan gua Mamara (Dok. Rimpala)

F rest D gest 79o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

untuk gua ini karena jarang ditemukan. Mereka menyilakan kami memberinya nama. Setelah berembuk, kami sepakat menamainya “gua Rimpala”—nama organisasi kami. Mereka setuju.

Secara filosofis, nama Rimpala juga sama dengan karakter gua ini: panjang, lorongnya berliku, vertikal. Rimpala adalah organisasi pencinta alam di Fahutan yang anggotanya kini tersebar di seluruh Indonesia dengan sejarah panjang ekspedisi sejak 1992. Karakter anggotanya juga beragam-ragam, para rimbawan dan pecinta alam yang gigih.

Dari gua Rimpala ini kami kembali. Rasa penasaran telah terobati dengan kegembiraan yang membuncah. Akhirnya kami bisa membuat jejak dalam dunia petualangan lewat penamaan sebuah gua cantik di Halmahera. Kami pulang kembali ke kantor taman nasional dengan perasaan yang sulit dilukiskan: bangga, gembira, kagum menjadi satu.

Di Halmahera kami juga sempat

mengunjungi benteng Belanda zaman VOC, Benteng Fort Oranje. Benteng gagah yang masih berdiri tegak di Kota Ternate. Masjid Tarnate yang dibangun di tengah laut juga membius kagum mata kami, selain keindahan alam Danau Tolire yang berada di bawah kaki Gunung Gamalama dengan airnya yang hijau. Konon, apabila ada orang yang melempar sesuatu ke danau, bagaimanapun kuat lemparannya benda tersebut tidak akan menyentuh permukaan air danau.

Kotanya semakin cantik karena masih banyak dijumpai rumah-rumah khas Ternate. Banyak orang lalu lalang dengan membawa jala, juga ikan hasil tangkapan, yang meramaikan jual beli di pasar-pasar yang hangat dengan keramahan orang Ternate.

Ternate dan Sofifi adalah kota indah yang dikelilingi lautan. Penduduknya sebagian besar menjadi nelayan atau pembuat kapal memancing. Masyarakat di sana sangat pandai memancing ikan dan

berburu, bahkan menangkap kelalawar pun cukup memakai tangan kosong tanpa jerat. Maka ikan dan kelelawar adalah menu makanan yang disajikan penduduk di sana.

Masyarakat di sini paham bagaimana berhubungan dengan alam. Mereka menentang segala bentuk perusakan terhadap lingkungan. Kedatangan Rimpala untuk melakukan ekspedisi disambut dengan baik oleh masyarakat. Mereka menyambut kami karena membantu pengetahuan tentang gua-gua di sana. “Saya bersyukur adik-adik dari Bogor datang ke sini untuk melindungi gua-gua yang ada di Halmahera,” kata Yakub.

—Seperti dituturkan tim Rimpala kepada Razi Aulia Rahman dari Forest Digest

Gua MamaraGua pertama yang ditemukan tim Rimpala. (Dok. Rimpala)

F rest D gest80 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Kolom

SALAH satu isu pokok dalam etika bisnis ialah sejauh mana aktivitas komersial perlu memperhatikan kepentingan lingkungan. Dalam ekspresi yang sedikit berbeda, sejauh mana etika bisnis koheren dengan etika lingkungan? Dengan komposisi yang lebih spesifik: apakah masuk akal bagi perusahaan untuk mengurangi keuntungan demi menurunkan polusi? Masuk akal atau tidak bergantung pada regulasi yang berlaku di wilayah operasional perusahaan.

Para ekonom dan pelaku usaha kerap kali menghaluskan (eufemisme) istilah polusi sebagai eksternalitas yang merupakan akibat dari aktivitas komersial atau industrial yang mempengaruhi pihak lain tapi hal ini tidak dihitung sebagai harga pasar dari sebuah produk atau jasa. Padahal, polusi adalah kehadiran substansi berbahaya atau beracun dalam lingkungan. Tepat di sini, perusahaan penyumbang polusi Jakarta umpamanya dapat berdalih untuk membebankan biaya polusi dari aktivitas bisnis mereka pada para konsumen laiknya maskapai penerbangan membebankan pajak karbon pada penumpang.

Satu hal yang luput dari wacana polusi lingkungan ialah peran strategis tanah. Menurut Sandler, tanah mengandung air, udara, dan lahan. Mereka bersifat krusial untuk fungsi sistem ekologis dan kesehatan berbagai organisme. Oleh karena itu, etika pertanahan membatasi emisi industrial, dan mengurangi risiko yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan industrial (2018, p. 254).

Tidak terjebak pada pembagian polusi berdasarkan wujud polutan, Booth dan Charlesworth mendefinisikan polusi urban sebagai „kehadiran atau introduksi material pengikut (padat, cair, gas) atau energi (panas, suara, cahaya, radiasi) ke dalam lingkungan buatan, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sumber-sumber dan/atau aktivitas-aktivitas antropogenik, yang cenderung memiliki efek-efek beracun atau berbahaya pada manusia, bangunan, dan/atau lingkungan“ (Booth dan Charlesworth, 2019, p. 1).

Bahkan, polusi udara rumah tangga menyebabkan sekitar 4,3 juta kematian secara global. Polusi luar ruang (khususnya polusi udara) mengakibatkan sekitar tiga juta kematian sepanjang 2012 (Booth & Charlesworth, 2019, p. 2). Kalaupun kualitas udara meningkat secara kasat mata, jenis-jenis polutan juga berubah sehingga tetap mengancam kualitas lingkungan global dan kesehatan manusia. Dengan kata lain, kodrat dari polusi udara telah berganti seiring dengan berjalannya waktu (Power & Worsley, 2019, p. 20).

Korelasi tidak serta-merta mengimplikasikan kausalitas dalam ilmu lingkungan, etika dan kebijakan seperti klaim bahwa seiring

dengan berjalannya waktu maka keberlimpahan mengarah pada peningkatan kualitas air dan udara (Sandler, 2018, p. 111). Meski belum tentu memiliki hubungan kausal, Gardiner mendiskusikan bahwa peningkatan polusi dan penurunan lapisan ozon terjadi secara berbarengan dengan lonjakan penderita Alzheimer di Taiwan. Di Mexico City, otak anak anjing mengalami penurunan neuron, tumpukan plak serta pertukaran serat protein sebagai akibat dari kualitas udara yang buruk.

Tiga hal ini juga merupakan penanda Alzheimer pada manusia. Soal ini juga mengarah pada peningkatan risiko demensia pada usia muda. Fakta paling mengkhawatirkan adalah semakin banyak ilmuwan mempelajari udara kotor, semakin jelas bahwa tidak ada jenjang kualitas udara yang aman. Sebuah studi tim Harvard mengenai kualitas udara di Steubenville, Ohio, menunjukkan bahwa polusi merenggut nyawa orang dua hingga tiga tahun lebih singkat meski wilayah tersebut sudah memenuhi panduan federal mengenai kualitas udara (Gardiner, 2019, pp. 21-22).

Komitmen paling unik terhadap lingkungan ialah Te Urewera Act yang berlaku di New Zealand sejak tahun 2014. Secara ringkas, undang-undang ini memberikan „all the rights, powers, duties, and liabilities of a legal person“ pada hutan Te Urewera. Dengan kata lain, konsep libertarian berupa self-ownership juga melekat pada hutan Te Urewera. Secara sederhana, self-ownership

Polusi Korporasi di Udara Jakarta

F rest D gest 81o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

ialah konsep libertarian bahwa individu (baik manusia, hewan maupun tumbuhan) memiliki dirinya sendiri. Apakah Anda bisa membayangkan seandainya DKI Jakarta (yang memiliki Dinas Kehutanan) membuat regulasi serupa untuk ruang terbuka hijau?

Pesimisme bahwa Jakarta akan mereduksi berbagai polusi secara signifikan dalam lima tahun kepemimpinan Anies Baswedan berpijak pada tiga hal. Pertama, Anies belum menunjukkan terobosan istimewa di bidang lingkungan sejak 2017 hingga 2019 kecuali Instruksi Gubernur (Ingub) No 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang berlaku sejak 1 Agustus 2019. Instruksi ini pun bermasalah karena memperluas area ganjil dan genap (poin dua) yang salah satu akibatnya memaksa kelas menengah dan atas untuk menambah kepemilikan jumlah kendaraan bermotor: satu bernomor ganjil, dan satu lagi berangka genap. Padahal, polusi Jakarta tidak terbatas pada udara.

Kedua, rekam jejaknya sebagai socio-preneur dan mantan komisaris sebuah perusahaan tambang nasional mengindikasikan bahwa Anies memiliki keberpihakan lebih kuat pada kepentingan bisnis ketimbang lingkungan. Buktinya, poin tiga dalam Instruksi tersebut melarang kendaraan pribadi (termasuk motor) berusia di atas sepuluh tahun untuk beroperasi di Jakarta terhitung sejak 2025 (poin tiga).

Hal ini mendorong masyarakat Jakarta dan sekitarnya untuk

membeli kendaraan baru. Jelas perusahaan mobil dan motor yang akan mendapatkan berkahnya. Padahal, kendaraan dengan usia di bawah sepuluh tahun masih memiliki kemungkinan tidak lolos uji emisi, dan sebaliknya kendaraan tua berpotensi lolos uji emisi kendaraan. Di Melbourne, Australia, misalnya masih banyak mobil keluaran 1990-an yang lolos uji emisi melintas di jalan raya. Barangkali Anies tidak menemukan hal serupa di Maryland maupun Northern Illinois, Amerika Serikat. Sebagai tambahan, poin tiga Instruksi itu merupakan „jebakan Batman“ untuk gubernur periode berikutnya mengingat komunitas sepeda motor akan bereaksi menjelang 2025.

Ketiga, penghentian parsial proyek reklamasi tidak berdampak pada peningkatan kualitas ekosistem di Teluk Jakarta. Menurut BPLDH-DKI, di samping berperan sebagai sumber makanan yang kaya, ekosistem Teluk Jakarta juga merupakan reseptor polutan raksasa untuk area laut dan darat. Teluk Jakarta juga menampung polutan dan sampah primer dari rumah tangga dan industri yang berada di area daratan (BPLHD-DKI dalam Shidqi et al., 2017, p. 3).

Menurut Polonia, Cleary, Duine, Dijk, dan Voogd, semakin jauh jaraknya dari Jakarta, semakin tinggi biomassa ikan. Sebaliknya, sangat rendah biomassa ikan di karang daratan (inshore reefs) Jakarta. Hal ini mengindikasikan efek dari urbanisasi (dalam pengertian pengotaan termasuk reklamasi) (2018, p. 11). Sebagai politikus yang gemar mengutip „mencerdaskan kehidupan bangsa,“ Anies seharusnya sadar dampak ikan dengan kualitas buruk dari Teluk Jakarta bagi kecerdasan anak sekolah.

Ketimbang repot dengan ganjil-genap maupun uji emisi yang bersifat khusus, kenapa Gubernur tidak menginisiasi kebijakan yang bersifat lebih umum seperti pajak karbon? Swedia memiliki pajak karbon US$100 per ton setara CO2 yang barangkali tertinggi di dunia. India memajaki karbon hanya untuk batu bara tidak lebih dari US$ 0,5 per ton setara CO2. Gubernur melalui Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta bisa membebankan biaya serupa pada perusahaan untuk polusi mereka.

Jakarta barangkali satu-satunya ibukota negara yang gedung tingginya bebas melintang dari utara ke selatan, dan membujur dari timur ke barat tanpa jeda berupa ruang terbuka hijau yang signifikan mengurangi polusi. Gedung tinggi merupakan sarang korporasi. Semakin banyak industrialis di Jakarta yang berpikir bahwa etika bisnis tidak lebih dari pemenuhan hukum-hukum bisnis; semakin besar tanggung jawab moral gubernur untuk memaksa korporasi menurunkan keuntungan masing-masing perusahaan demi menurunkan polusi. Sebab, bisnis bergantung pada lingkungan dalam pengertian luas. Jika kita mufakat bahwa moralitas (bukan hukum) yang menjadi rujukannya, etika bisnis dan etika lingkungan bersifat koheren. —

Qusthan FirdausPeneliti di Asosiasi Sarjana

Filsafat Indonesia.

F rest D gest82 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Tanah Itu Seperti ManusiaTanah bisa bernapas dan sakit. Ia tak bisa diharapkan bekerja keras memulihkan sampah yang kita buang.

JIKA Swedia punya Greta Thunberg, di Cina ada Zhang Ningyang. Usianya 13 tahun, siswa sekolah tingkat pertama di Nanjing. Jika Greta besar di keluarga seniman, Zhang tumbuh dalam keluarga peneliti. Cita-citanya menjadi ilmuwan tanah.

Zhang punya perangkat ke arah sana. Ia selalu penasaran

dan ingin tahu dengan fenomena alam yang ia lihat di sekelilingnya. Misalnya, seperti terbaca di bukunya yang terbit Maret lalu, Shénqí de tǔrǔng (Keajaiban Tanah), ia mengajukan banyak pertanyaan sederhana yang butuh jawaban yang kompleks. Ia selalu penasaran dengan begitu banyak hewan kecil yang hidup di tanah. “Apa yang mereka lakukan?”, “Mengapa mereka memilih tanah sebagai tempat tinggal?”, “Bagaimana mereka bergaul dengan “dunia luar”?”

Pertanyaan-pertanyaan Zhiang yang menuntut jawaban rumit itu mendorong Cai Zucong, profesor ilmu tanah di Nanjing Normal University, mengajaknya bekerja sama mengelaborasi pertanyaan itu dalam buku tersebut. Selain gemar menulis, Zhang juga suka melukis sejak usia 10. Maka ia menggabungkan dua hal itu dalam buku ini. “Mungkin suatu hari, saya akan melakukan percobaan yang lebih eksperimental dan menemukan keajaiban lain dari tanah,” katanya.

Buku “Keajaiban Tanah” pada dasarnya buku sains dasar. Ia menjadi populer karena Zhang menambahkannya dengan ilustrasi. Buku yang diterbitkan China Science Publishing and Media Ltd itu

dikemas dengan apik. Tebalnya 34 halaman. Memuat 16 bab topik penting dan dilengkapi dengan 16 lukisan Zhang.

Setelah membaca buku ini kita akan mengerti atribut dasar dan fungsi tanah, muncul kesadaran menjaganya, dan paham tanah sebagai sumber kehidupan. Itu pula kenapa tanah disebut ibu pertiwi. Tanah juga disebut-sebut sebagai asal kita, manusia, dan segala jenis mahluk hidup di planet ini. “Buku ini membuka tabir ajaib tentang tanah dalam bentuk lukisan unik, semoga anak-anak menyukainya,” tulis Profesor Cai dalam kata pengantar.

Menurut Cai dan Zhang, butuh lebih seratus tahun untuk membentuk tanah setebal 1 sentimeter. Tanah yang kita pijak setiap waktu itu hanya tampak di permukaan, Cai dan Zhang mengungkap apa yang tak terlihat di dalamnya yang sangat ramai oleh pelbagai jenis hewan. Setiap gram tanah adalah rumah bagi ratusan juta atau bahkan miliaran mikroba. Ada juga sejumlah besar kecoak, serangga, dan tikus, yang merupakan biota bawah tanah yang sangat besar.

Mikroorganisme dan hewan di tanah menggunakan bahan organik tanah, sekresi akar tanaman, dan sisa akar sebagai makanan, untuk hidup bebas sana yang membuat tanah penuh vitalitas. Tanah dan hewan di dalamnya saling membutuhkan.

Seperti halnya manusia, menurut Cai

dan Zhang, tanah juga bernapas. Tanah menguras bahan organik, yaitu energi dari makanan, juga oksigen lalu menghembuskan karbon dioksida. Tanah adalah material yang hidup seperti kita. Dalam biota tanah ada juga beberapa spesies yang tidak membutuhkan oksigen untuk bernapas. Ketika tanah tergenang, dan oksigen tidak tersedia, mereka menguras bahan organik dan menghembuskan karbon dioksida dan CH4 yang dihembuskan ke udara dari tanah yang terendam sehingga meningkatkan suhu atmosfer.

Maka untuk mengurangi efek gas rumah kaca, menurut Cai dan Zhang, kita perlu menemukan cara untuk mengurangi metana yang dibuang dengan cara ini. Sebab dari proses ini emisi gas rumah kaca dimulai.

Sekitar setengah dari ruang di tanah adalah pori-pori yang menyimpan kelembaban. Lapisan tanah sedalam satu meter, jika terisi penuh, bisa menyimpan 200-500 milimeter air. Karena itu, tanah juga merupakan tempat penyimpanan air yang sangat besar. Ketika tanah tertutupi oleh bangunan dan jalan raya, air tidak akan masuk ke dalamnya dan tanah tidak akan lagi memiliki penyimpanan air.

Dalam ilustrasi di halaman 33, Zhang menuliskan empat karakter Mandarin:

(dibaca Baohù turang yang berarti lindungi tanah). Ada empat hal jika kita ingin melestarikan planet ini dengan cara melindungi tanah: tidak membangun gedung dan jalan terlalu banyak, tidak memisahkan tanah dari tanaman, tidak menanam terlalu banyak dan tak memakai pupuk kimia, tidak mengandalkan tanah untuk mengurai sampah.

Dengan ditulis seperti ini, ilmu dasar tanah menjadi asyik. Zhang dan Cai memang membuatnya agar bisa dicerna anak-anak sehingga tumbuh kesadaran melindunginya sejak dini. Sebab, tanah juga seperti manusia. “Tanah bisa kelelahan, menderita sakit, kehilangan nyawanya, sehingga ia harus dirawat,” kata Profesor Cai.

—Susi Safitri, mahasiswa pasca sarjana Nanjing University of Information Science

and Technology

buku

F rest D gest 83o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Greta Thunberg di New YorkIa menjadi juru bicara yang efektif karena memadukan pelbagai anasir yang menopang sebagai juru bicara. Bintang baru gerakan mencegah krisis iklim.

GRETA Thunberg tiba di New York, 28 Agustus 2019, setelah 15 hari berlayar dengan kapal mesin bertenaga angin dan matahari. Seperti umumnya selebirtas, ia disambut. Anak-anak dan orang tua tumplek menyambutnya dengan membentangkan

spanduk bertuliskan tiga kata yang selalu ia bawa tiap kali duduk di depan parlemen Swedia sejak tahun lalu: skolstrejk för klimatet, mogok untuk perubahan iklim.

Ia bintang baru gerakan mencegah pemanasan global. Gadis 16 tahun asal Swedia ini diundang Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadiri konferensi perubahan iklim bulan ini. Ketika ia pelan-pelan terkenal karena acap berbicara di pelbagai forum dunia, ada banyak pertanyaan mengapa ia begitu berpengaruh. Karena itu para “peragu iklim” menuduh Greta hanya boneka aktivis lingkungan saja.

Kecurigaan itu patah jika kita mendengar langsung pidato-pidatonya. Greta seorang yang anak pintar yang tulen. Pikiran-pikirannya melampaui anak seusianya, bahkan orang-orang seumuran ayahnya, yang masih saja tak percaya bumi sedang memanas, kendati ilmu pengetahuan telah membuktikannya secara empiris. Lewat buku ini, dengan judul seperti menjawab para peragu itu, No One is Too Small to Make a Difference, Greta menunjukkan ia memang layak didengar.

Retorikanya mengentak. Dengan wajah dinginnya yang polos, Greta mengimbau seluruh dunia, terutama para politikus dan pemimpin tiap negara, bertindak bersama mencegah bumi kian panas. “Saya ingin Anda panik,” katanya, saat berbicara di depan para kepala negara kaya dan pengusaha top dunia dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada

Januari 2019. “Saya ingin Anda merasakan seperti yang saya rasakan: rumah kita sedang terbakar. Bertindaklah seakan tak ada yang bisa kita lakukan selain menyelamatkannya.”

Seruannya agar anak-anak seusianya mogok sekolah dan turun ke jalan menyerukan para pemimpin bertindak menyelamatkan planet ini bergema hingga ke 105 negara pada 15 Maret 2019. Greta menjadi penyeru paling efektif dan didengar di seluruh dunia kini. Ia kian sering berbicara di forum-forum bergengsi, bersama para selebritas, mengingatkan tentang krisis iklim.

“Kami mogok sekolah karena kami sudah menyelesaikan pekerjaan rumah kami,” katanya di depan parlemen Inggris. “Sekarang tinggal Anda sekalian yang belum menyelesaikan pekerjaan rumah Anda terhadap planet ini. Apakah kalian mendengarkan saya? Apakah mikrofon ini berfungsi? Apakah bahasa Inggris saya cukup jelas untuk Anda cerna?” Greta kian menggelegak.

Ia memadukan banyak hal dengan sempurna dalam sosok seorang juru bicara: masih remaja, pintar beretorika,

kukuh dalam sikap, membius orang lain dengan gaya bercerita yang efektif—lewat metafora-metafora yang renyah dan gampang dicerna. Media Inggris yang prestisius, The Guardian, kini mengikuti kosa kata Greta dalam memberitakan pemanasan global. Mereka tak lagi memakai kata “climate change” tapi “climate crisis” atau “climate emergency”. Koran ini tak lagi memakai “global warming” tapi “global heating”. Greta telah menyadarkan semua orang bahwa sebuah tindakan bisa lebih efektif jika setiap orang memakai kata yang sama, tanpa eufimisme.

Syahdan, Greta menjadi peduli terhadap planet ini sejak usia 8. Ketika gurunya memutar video beruang kutub di Utara yang kehilangan rumah akibat es yang menghilang karena suhu memanas, Greta menangis tak henti-henti. “Bayangan tentang nasib beruang itu menancap di kepala saya,” katanya, kepada Guardian.

Dari orang tuanya, Greta tahu soal pemanasan global serta penyebabnya. Energi fosil sebagai sumber bahan bakar menyemburkan emisi karbon ke atmosfer dan terperangkap di sana. Panas matahari yang memancar tak lagi terserap oleh ozon sehingga memantul kembali ke bumi. Para ilmuwan memprediksi jika gaya hidup manusia tak berubah dalam 100 tahun ke depan, bumi bertambah panas 2 derajat Celsius, yang bisa menaikkan air laut hingga 3 meter.

Greta bergidik membaca semua informasi itu. Sebagai penderita Asperger, sindrom autis yang membuatnya selalu gelisah pada sesuatu yang buruk, ia ingin melakukan sesuatu. Sampai akhirnya ia bertemu Bo Thorén, aktivis lingkungan Swedia, yang membaca tulisan Greta tentang lingkungan di koran Svenska Dagbladet pada Mei 2018. Thorén menyarankan Greta mogok sekolah dan berdemo menentang perubahan iklim seperti anak-anak sekolah Amerika menentang aturan senjata api di Parkland.

Tapi tak ada teman yang mau bergabung. Pada 20 Agustus 2018, Greta akhirnya mengayuh sepeda sendiri ke gedung parlemen Swedia. Ia duduk di sana seorang diri hingga sore setiap Jumat sambil membentangkan tulisan di kertas karton: skolstrejk för klimatet. Sejak itu gerakan mencegah pemanasan global punya wajah baru yang segar. —

F rest D gest84 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

profil

PENGALAMANNYA menjadi wartawan energi dan kuliah di jurusan lingkungan dan pembangunan membuat Leony Aurora paham planet ini tak sedang baik-baik saja. Ia menjadi reporter The Jakarta Post pada 2003-2006 lalu Bloomberg News

kemudian melanjutkan kuliah master di University of Cambridge jurusan Environment Society and Development pada 2008.

Keinginannya meneruskan belajar soal lingkungan itu terutama setelah ia meliput The 13th Session of the Conference of the Parties (COP) to the UNFCCC di

Karena Rimba Terlalu BerhargaTurut mendirikan perkumpulan Hutan Itu Indonesia, ia ingin memberi pemahaman kepada orang kota tentang pentingnya hutan. Pemahaman masih rendah.

Bali pada 2007. Di sana ia melihat satu isu lingkungan yang membutuhkan sinergi banyak pihak: perubahan iklim. “Semua negara harus bekerja sama untuk menuntaskan isu ini, baik negara maju maupun negara berkembang,” kata perempuan 41 tahun ini pada September 2019.

Ada satu momen di konferensi itu yang terus diingatnya, yakni ketika utusan Amerika Serikat disoraki oleh banyak negara termasuk negara berkembang karena kebijakan negara ini mengabaikan isu perubahan iklim. Di acara itu pula Leony mengenal apa itu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+). Menurut dia, konsep negara maju membayar emisi kepada negara berkembang sudah tepat. “Karena negara

berkembang yang menjaga hutan sudah berkontribusi untuk dunia,” katanya.

Dari situ ia tertarik ingin mempelajari lebih jauh soal lingkungan dan pembangunan. Setahun di Cambridge membuat Leony kian tertarik pada isu perubahan iklim, yang di Indonesia erat kaitannya dengan hutan karena sumber emisinya adalah perubahan tata guna lahan. Ia ingin menyambungkan isu lingkungan, terutama pemanasan global dengan pengalamannya menjadi wartawan, dalam tugas akhir. “Sejauh mana isu deforestasi dibicarakan di media,” kata dia.

Pulang dari Inggris, Leony tak kembali ke dunia media. Ia diterima di Center for International Forestry Research di Bogor sebagai Communication Specialist

F rest D gest 85o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

for Asia. Satu-setengah tahun di CIFOR, ia kian paham bagaimana menulis isu kehutanan berbasis data. Pengalamannya di Bloomberg kian matang karena CIFOR memadukan isu lingkungan yang berat dengan gaya populer agar mudah dipahami orang awam.

Dari CIFOR ia bergabung dengan Daemeter Consulting. Di sini perspektifnya kian luas karena sering berinteraksi dengan perusahaan. “Praktik tata guna lahan yang baik ternyata tidak segampang yang kita pikir, sangat kompleks,” katanya. Di Daemeter juga ia pernah membuat survei tentang persepsi orang Indonesia terhadap minyak sawit pada 2015 untuk Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Survei itu membuat ia masygul. Hanya 4% masyarakat yang menganggap kelapa sawit berdampak buruk bagi lingkungan, 22% menganggap ada dampak positif dan negatif, dan sekitar 30% menganggap dampak positif sedangkan lainnya menjawab tidak tahu. Audiensnya konsumen perempuan dewasa karena, menurut Leony, mereka yang memegang keputusan belanja rumah tangga. Dari situ ia baru sadar ternyata banyak orang tidak paham soal hutan. Sekitar 5% responden mengatakan dampak negatif kelapa sawit adalah hilangnya hutan, tapi 5% responden pula yang bilang dampak positif kelapa sawit adalah penghijauan. “Kelihatannya orang underestimate pentingnya hutan dan overestimate kontribusi sawit terhadap lahan,” kata dia.

Ia jadi makin tertarik pada urusan komunikasi dan persepsi. Beberapa bulan setelah keluar dari Daemeter, pada 2016 ia membuat proyek Youth Camp, berupa mengajak anak muda berkeliling di berbagai tempat untuk bercerita soal hutan. Tetapi klien dia yang sebelumnya mau membiayai terpaksa membatalkan diri. Leony harus putar otak mencari sponsor baru karena tim sudah terbentuk. “Padahal acara ini cukup menarik dan banyak orang mau bantu,” katanya.

Bersama 13 orang lain, acara itu jalan terus dan berubah menjadi perkumpulan. Bertepatan dengan Hari Bumi pada 22 April 2016, Leony bersama teman-temannya itu mendirikan Hutan Itu Indonesia. “Mereka yang bergabung bukan hanya dari orang lingkungan atau kehutanan saja. Ada desainer grafis,

musisi, videografer, dan lainnya,” tutur Leony. Menurut Leony, orang-orang dapat tergerak untuk terlibat membantu walaupun tidak terlalu mengerti isu lingkungan dan kehutanan.

Menurut Leony, hutan Indonesia yang luasnya nomor 3 di dunia acap dilupakan orang. Masyarakat akan ingat Brasil jika membicarakan Amazon. Sementara hutan Indonesia tak punya ikon yang melekat dan diingat sebagai persepsi terhadap hutan hujan tropis Indonesia. Padahal hutan Indonesia menyangga hidup orang Indonesia. Hutan hilang, katanya, bencana akan datang bahkan budaya Indonesia akan hilang juga.

Dengan kekuatan media sosial, Hutan Itu Indonesia segera punya pengikut yang banyak. Selain acap menggelar ajang masuk hutan bagi pengikutnya, Hutan Itu Indonesia juga membuat kegiatan-kegiatan off line sebagai gerakan. Pada 17 dan 23 Agustus 2019 lalu, misalnya, para relawan Hutan Itu Indonesia membagikan 10.000 masker kain gratis di kampus Universitas Katolik Atmajaya dan Universitas Indonesia.

Kegiatan ini berlanjut pada 25-28 Agustus. Puluhan relawan membagikan masker di stasiun kereta dan moda raya terpadu di Jakarta. Total masker bertuliskan “Hutanku Napasku” itu terbagi sebanyak 30.000 unit. “Tujuan kampanye ini untuk mengajak anak muda menyadari pentingnya hutan yang menyediakan udara bersih untuk Indonesia,” kata Riry Silalahi, Koordinator Kampanye Hutanku Napasku. Riry adalah mantan gitaris band

SHE, kakak kandung Leony.Fokus kampanye Hutan Itu Indonesia,

kata Leony, memang menyasar anak muda perkotaan. Target itu bukan tanpa data. Dari studi yang ia lakukan, orang yang tinggal di perkotaan lebih rendah persepsinya tentang pentingnya hutan bagi hidup mereka. Hutan sudah tidak pada radar orang kota, bahkan di kota yang berdekatan dengan hutan seperti Pontianak, Manokwari, dan Banyuwangi.

Menurut Leony, jika masyarakat kota tidak mendukung lingkungan hidup di luar kota, semua kampanye akan sia-sia. Soalnya, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia. “Pembuat keputusan di lembaga pemerintah dan perusahaan pasti pernah sekolah atau berkembang di kota,” katanya.

Selain itu, orang kota jauh lebih berisik dari pada orang di luar kota sehingga akan lebih mudah mengamplifikasi sebuah isu. Alasan lain: “Masyarakat kota adalah masyarakat yang paling saya kenal,” kata perempuan yang lahir dan bersekolah di Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung ini.

Survei itu juga menghasilkan hal lain yakni orang kota lebih mudah terpapar oleh isu korupsi, kemacetan, sampah, bahkan politik. “Sementara isu kehutanan hanya dibahas oleh sedikit orang saja,” ujarnya. Dengan persepsi seperti itu, Leony cemas pembangunan tak memperhatikan lingkungan.

Bagi Leony, pembangunan tidak harus selalu bertentangan dengan lingkungan hidup. Pengalaman atas kejadian-kejadian lingkungan harusnya dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang baik untuk melakukan pembangunan. Kini ada narasi salah kaprah di masyarakat seperti “pro hutan berarti antisawit”, atau narasi yang jarang diperbincangkan semacam “hutan penting bagi kita semua”.

Karena itu misi utama Hutan Itu Indonesia adalah narasi kebanggaan akan hutan Indonesia. Anak muda perkotaan akan lebih bangga terhadap hutan Indonesia sebagai salah satu hutan terluas di dunia. Narasi semacam itu, kata Leony, akan mendorong kebanggaan yang menggugah masyarakat untuk lebih peduli kepada hutan dibandingkan narasi semacam isu pemanasan global.

—Mustofa Fato

F rest D gest86 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

profil

Panjang Umur Kapal PinisiKeluarga di Bulukumba ini bertahan menjadi pembuat kapal pinisi, kapal khas Sulawesi Selatan. Pembelinya dari seluruh dunia.

USIANYA baru 24 tahun, tapi Alfian Alnies sudah membuat ratusan kapal pinisi yang dipesan para pengusaha kapal atau perusahaan pariwisata dari seluruh dunia. Ketika saya menemuinya akhir Agustus 2019, mahasiswa Universitas Muhammadiyah

Makassar itu sedang mengerjakan dua kapal 500 ton yang dipesan perusahaan Korea dan Australia.

Alfian adalah generasi ke-10 keluarga pembuat pinisi di Kelurahan Tanahberu, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia anak ketiga Syafruddin yang belajar membuat kapal pinisi sejak SMP. “Sehabis sekolah saya bantu-bantu membuat kapal,” kata Alfian. Ia mengamati ayah dan para pekerja merancang, memikirkan, hingga memasang bilah-bilah kayu hingga membentuk kapal pinisi yang megah.

Kini Alfian telah menjadi kapten bagi 20 pekerja membuat kapal. Ayahnya sudah mempercayai dia menyelesaikan kapal pelbagai ukuran. Kapal terbesar yang pernah ia buat berbobot 1.000 ton yang dipesan sebuah perusahaan Prancis. Untuk kapal sebesar itu, Alfian menghabiskan waktu 2 tahun. Harganya Rp 25 miliar.

Bakal baku utama kapal pinisi adalah kayu biti (Vitex cofassus), ulin, jati, dan kesambi. Pohon biti adalah kayu endemik Bulukumba yang ditanam masyarakat di hutan tanaman rakyat. Pohon ini menjadi rangka utama karena kayunya sudah melengkung. “Dia juga makin kuat jika terendam air laut,” kata Syafruddin, 57 tahun.

Sementara ulin, kayu besi asal Kalimantan, merupakan bahan baku dinding, jati untuk dek, dan kesambi untuk ornamen kapal. Syafruddin mengajarkan Alfian membuat pinisi memakai jengkal, bukan memakai satuan meter. Menurut dia, dengan jengkal, ia tak harus memotong

Membuat Pinisi.Pekerja sedang beristirahat.

Mendempul bagian bawah kapal (kiri atas).

F rest D gest 87o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

F rest D gest88 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

profil

pohon biti yang sudah melengkung. “Saya ikuti arahnya saja, tidak memotong sesuai kebutuhan,” kata dia.

Dengan cara seperti itu, kata Syafruddin, kapal menjadi punya rangka yang kuat karena mengikuti postur kayu yang bengkok karena alam. Sejauh ini ia tak punya kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Syafruddin memakai teknik tebang pilih untuk kayu yang ia tanam di lahan hutannya. Kayu yang ia potong hanya pohon yang berdiameter 1 meter ke atas. Ia pindah ke blok berikutnya jika butuh kayu tambahan. Sehingga setelah 30 tahun, kayu biti di blok pertama sudah siap panen lagi.

Dengan kearifan lokal memperlakukan pohon seperti itu, Syafruddin dan Alfian selalu punya stok bahan baku membuat kapal. Kayu ulin memang ia pasok dari Kalimantan. Namun, seiring larangan menebang

pohon ini karena masuk spesies dilindungi karena langka, ia menggantinya dengan jati atau kesambi.

Syafruddin mendapatkan ilmu membuat kapal pinisi dari ayahnya. Ia menurunkan ilmu itu kepada Alfian dan lima anaknya. Adik Alfian yang masih SMP kini juga sudah terlibat membuat pinisi. Ilmu itu diturunkan secara lisan. “Tak ada yang ditulis,” kata Alfian.

Toh, sebagai mahasiswa, Alfian mulai memakai teknologi untuk membuat kapal,

meski Syafruddin melarangnya. Bagi Syafruddin, teknologi

modern acap tak cocok dengan ilmu nenek moyang. Sementara Alfian yakin teknologi metrik dan fisika membantunya merancang kapal lebih cepat karena

ukuran bisa dihitung memakai rumus.

Alfian sadar pilihannya menjadi pembuat pinisi tak populer

di generasinya. Ia sudah bulat akan

menggeluti bisnis ini selepas lulus kuliah. Kini ia hanya tiga hari di Bulukumba karena harus membagi waktu dengan kuliah di Makassar—empat jam jalan darat. Karena bolak-balik itulah skripsinya tak kunjung rampung.

Di luar soal bisnis, Alfian mengatakan bahwa menjadi pembuat pinisi sekaligus mengabadikan budaya leluhurnya. “Ini bukan hanya semata-mata karena ekonomi namun ada nilai budaya yang kami jaga,” kata dia.

Berkat pinisi pula, Alfian bisa berlayar ke pelbagai negara. Tiap kali ia selesai membuat satu kapal, ia akan melayarkannya hingga ke tempat pemesannya sekaligus mengetes kestabilan dan kekuatan kapal yang ia buat itu. Berkat manajemen modern juga, Alfian

Ekspor.Penampakan kapal pinisi untuk pemesanan dari Sydney Australia.

Alfian Alnies (kiri bawah)

F rest D gest 89o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

sudah melengkapi transaksinya dengan layanan purna jual. “Setahun ada jaminan perbaikan jika ada kerusakan,” kata dia.

Perbaikan dan layanan servis biasanya tergantung musim. Kadang-kadang ia dipanggil pemilik kapal berlayar ke negaranya. Ada juga yang singgah ke Bulukumba terutama jika mereka sedang berlayar di laut Pasifik dan melintas perairan Indonesia.

Alfian berkompromi dengan adat leluhurnya yang memakai ritual sebelum membuat pinisi. Ritual pertama adalah memotong dasar kapal yang biasa disebut dengan “lunas”. Lunas merupakan balok panjang yang menjadi bagian paling bawah pada kapal. Kemudian, menyediakan sesajen berupa makanan yang manis-manis dan memotong seekor ayam putih.

Makanan yang manis merupakan simbol harapan agar perahu yang hendak dibuat akan mendatangkan hoki bagi pemiliknya, sementara darah yang ditempelkan pada “lunas” merupakan simbol agar tidak terjadi kecelakaan saat membuat perahu.

Pada akhir Agustus itu, Alfian tengah menyelesaikan satu kapal kecil yang dipesan Museum Bahari Australia. Kapal berukuran 17 x 3 meter itu harus selesai sebelum Desember karena akan dipamerkan dalam Festival Kapal di Sydney. “Saya senang mengerjakannya karena kelak kapal ini akan ada di museum di Australia,” kata Alfian.

Kapal kecil 21 meter persegi itu dikerjakannya selama lima bulan. Harga untuk kapal ini Rp 1 miliar di luar dekorasi. Sementara jika kapal dilengkapi dengan furniture, harganya bisa naik lima kali lipat.

Adapun kapal pesiar pesanan Korea itu akan ia buat tiga tingkat: dek, ruang kendali, dan lambung kapal. Di dek akan ia bangun restoran. Perusahaan Korea ini ingin mendapatkan kapal secara utuh dan bersih sehingga Alfian mengerjakan furniture dalam kapalnya sekaligus.

Syafruddin menerapkan kerja profesional bagi para pekerja, tak terkecuali anggota keluarganya. Ia bahkan membayar upah bagi istrinya karena menyediakan

makanan untuk ia dan para pekerjanya. Bahkan anak bungsunya yang masih SMP. Dalam sebulan, upah untuk keluarganya saja bisa terhitung Rp 30 juta.

Syafruddin tak cemas dengan bahan baku. Menurut dia, selama

penduduk arif menanam biti dan kayu lain yang ia butuhkan pasokan kayu tak akan seret. Masyarakat Bulukumba, kata dia, paham benar bagaimana berhubungan dengan alam.

Ada satu filosofi yang ia pegang dari nenek moyangnya.

“Barang siapa yang menyayangi ciptaan Allah, barang siapa yang

melindungi ciptaan-Nya, maka Allah juga

akan menyayangi dan melindungi kita,” kata dia. “Itu ajaran nenek kami.”

Dengan melestarikan bahan baku, dengan mewariskan keahlian membuat pinisi kepada generasi yang lebih muda, dengan kesediaan generasi berikutnya meneruskan budaya lokal ini, kapal legendaris dari Sulawesi Selatan ini akan berumur panjang. Menurut Alfian, setelah rampung membuat satu kapal, biasanya pesanan berikutnya sudah menunggu.

—Teks dan foto: Robi D. Waldi

BAHAN baku utama.Kayu biti (Vitex cofassus), ulin, jati, dan kesambi.

Syafruddin (kiri bawah)

F rest D gest90 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

fotografi

Penajam: Rimba Penyangga Kalimantan

SEHARI setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi lokasi Ibu Kota baru adalah Kota Penajam dan Kutai Kartanegara pada 26 Agustus 2019, dua kota ini langsung hidup. Di hotel-hotel, di kafe-kafe, pengunjung terlihat lebih banyak. Mereka menggunjingkan satu tema yang sama: Ibu Kota baru. Beberapa orang bahkan mengaku dari Jakarta, sebagai investor atau utusan investor yang berminat membeli lahan-lahan di dua kota itu. Kendati lokasi Ibu Kota baru

konon akan memakai lahan-lahan negara, atau lahan hak guna usaha yang akan habis izinnya tahun depan, para pemodal antusias datang ke sini karena diperkirakan akan ada lonjakan penghuni jika benar Ibu Kota Indonesia resmi beroperasi 2024. Saya merekam geliat dua kota itu, juga jalur transportasi, dan hutan-hutannya yang segera tinggal cerita.

—Naskah dan foto: R. Eko Tjahjono

KAPAL KAYUModa transportasi air yang masih menjadi andalan bagi sebagian masyarakat Kalimantan untuk menyeberang dan membawa barang.

TIPS FOTO PERJALANAN :• Memahami

karakteristik unik dari tempat tujuan dan memotret dengan santai.

• Lensa sudut lebar akan memberikan keleluasaan merekam momen dan suasana perjalanan.

• Memahami teknis fotografi agar obyek fotografi memancarkan segala suasana.

• Memahami norma-norma yang berlaku di masyarakat sebagai bentuk penghormatan.

F rest D gest 91o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

FERI TUABeberapa kapal feri renta sebagai moda transportasi perjalanan menuju pelabuhan yang menjadi pintu gerbang utama Kota Penajam.

TELUK BALIKPAPANButuh satu-setengah jam menunggang kapal feri atau 15 menit dengan kapal cepat untuk menyeberang ke Penajam dari Balikpapan. Ini jalur alternatif tercepat yang banyak dipilih penumpang ketimbang melintasi belantara dengan jalur melingkar.

MINI MARKET SEGALA ADAWarung terapung yang tersebar di sekitar pesisir dan pelabuhan menjadi satu alternatif bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan harian.

SABUK MANGROVEDi sebagian besar pesisir penajam, keberadaan sabuk mangrove masih terjaga dan menjalankan fungsinya dengan baik sebagai penyangga daratan dan tempat hidup burung-burung air.

MENEMBUS BELANTARA TERSISAKawasan konservasi Bukit Bangkirai yang menjadi monumen hutan tropika basah Kalimantan Timur, terletak di lintasan jalur darat menuju Kota Penajam dari Balikpapan sejauh empat jam perjalanan.

F rest D gest92 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

teknologi

KEMENYAN merupakan getah atau resin yang dihasilkan oleh pohon Kemenyan melalui proses penyadapan. Di dunia terdapat tujuh jenis kemenyan yang menghasilkan getah, namun hanya tiga jenis yang dibudidayakan di Indonesia dan bernilai

ekonomis: kemenyan durame (Styrax benzoin Dryand), kemenyan bulu (S. benzoin var. hiliferum), dan kemenyan toba (S. sumatrana J.J.Sm sinonim S. paralleloneurum). Jenis terakhir lebih disukai petani karena memiliki kualitas getah yang lebih padat serta harga jual yang relatif lebih tinggi.

Kemenyan telah digunakan berbagai bangsa sejak 5.000 tahun lalu, baik untuk ritual keagamaan maupun kesehatan. Bahkan resin ini digunakan untuk bahan pengawet mumi raja di Romawi dan fir’aun di Mesir Kuno. Pada masa itu hingga beberapa abad kemudian, kemenyan tergolong barang mahal yang nilainya sebanding dengan emas. Sejak abad pertengahan kemenyan telah digunakan sebagai bahan baku industri, penambah aroma rokok, obat-obatan, bahan kosmetika, farmasi, dan pengawet makanan dan minuman. Senyawa-senyawa yang terkandung antara lain asam sinamat, asam benzoat, styrol, vanillin, styracin, coniferil benzoate, coniferil sinamate, resin benzoeresinol dan suma resinotannol. Penelitian terkini mengidentifikasi senyawa minor yang terdapat di dalam kemenyan diantaranya incensol yang memiliki efek menenangkan pikiran (antidepressant).

Di Kawasan Tapanuli, Sumatera Utara, budidaya kemenyan yang telah berlangsung sejak abad ke-17 dan memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi rumah tangga petani, yaitu sebesar 70%-75%. Namun

pengelolaan hajat hidup masyarakat Tapanuli ini belum optimal, ditandai teknik budidaya yang masih tradisional, turun-temurun dan cenderung tidak mengalami peningkatan sosial ekonomi yang berarti, bahkan mengalami degradasi. Saat ini banyak petani menelantarkan kebun kemenyannya atau menggantinya dengan komoditas lain. Hal ini mengakibatkan penurunan luas tegakan dari 24.077 hektare tahun 2007 menjadi 22.005 hektare pada 2012. Produksi getah kemenyan mencapai 6.060 ton pada tahun 2008, menurun hingga 4.620 ton pada tahun 2012 (BPS Sumut, 2013).

Sebagai salah satu komoditas unggulan, pengelolaan sumber daya kemenyan menghadapi berbagai persoalan, tidak hanya teknologi peningkatan produktivitasnya, namun juga terkait persoalan kelembagaan, kebijakan ,dan ekonomi. Tataniaga yang cenderung monopolistik, informasi pasar yang tertutup, fluktuasi harga, grading yang tidak transparan, ketidakseimbangan distribusi margin keuntungan pada sistem tata niaga, ketiadaan regulasi harga dari pemerintah, dan relatif tidak adanya peningkatan nilai tambah produk dari petani sampai dengan eksportir merupakan beberapa kesenjangan yang harus diatasi.

Ribuan ton resin mentah itu juga diekspor dengan harga murah. Ironisnya, produk jadi kemenyan kembali ke Indonesia dengan nilai impor yang wah. Karena itu kita perlu membuat inovasi agar kemenyan bisa diolah menjadi produk jadi dan diekspor dalam bentuk produk siap pakai sehingga nilai tambahnya besar. Salah satunya bisa diolah menjadi parfum.

Tidak banyak yang mengetahui jika kemenyan sejatinya memiliki aroma yang wangi dan lembut. Berabad masa, wangi kemenyan terasosiasi dengan aroma pembakaran dupa. Formula wangi kemenyan ini tidak tergali sehingga resin pohon tersebut dihargai sangat murah.

Inovasi parfum kemenyan merupakan produk inovasi yang diarahkan untuk mengisi celah riset serta menjawab permasalahan yang dihadapi komoditas multidimensi manfaat baik sebagai sumber penghidupan maupun perkembangan sosial budaya dan peradaban. Peningkatan nilai tambah salah satunya ditempuh dengan mengolah resin menjadi produk parfum bernilai ekonomi tinggi.

Parfum ini merupakan inovasi pertama di Indonesia. Proses pengolahan dimulai dari ekstraksi resin kemenyan padat menjadi minyak kemenyan murni. Dipadukan dengan berbagai minyak atsiri dari flora hutan tropis Indonesia, minyak kemenyan menjadi pengikat (fix agent) yang diformulasikan dengan mempertimbangkan gradasi aroma yang sesuai dengan lepasnya partikel masing-

Parfum Kemenyan Danau TobaKemenyan telah diolah menjadi parfum yang mendapat penghargaan di Jerman. Inovasi pertama di Indonesia.

F rest D gest 93o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

masing minyak atsiri penyusun. Sehingga parfum jadi wangi, tahan lama dengan sensasi aroma yang berbeda sepanjang waktu.

Berbeda dibandingkan pewangi yang banyak beredar di pasar, parfum kemenyan Tobarium tidak mengandung alkohol, memiliki konsentrasi tinggi sehingga aromanya mampu bertahan lama hingga 16-24 jam. Selain wangi dan menyegarkan, parfum juga dapat menenangkan pikiran sebagai aroma terapi dan antidepressant, efek yang tidak dimiliki parfum lainnya. Saat ini parfum Tobarium (dari kata ‘Toba” yang merujuk lokasi asal kemenyan dan “rium” yang berarti ilmu pengetahuan) telah tersedia dalam tujuh varian aroma yakni Rizla (floral fresh), Riedh@ (floral fruit), Jeumpa (cempaka), Azwa (woody), Aphis (green oceanic), Tiara (oriental) dan

Sylva (forest) yang juga merepresentasikan personality masing-masing penyuka parfum ini.

Prospek pasar lumayan besar karena ceruk kebutuhan produk parfum yang mencapai US$ 401 juta pada tahun 2008 yang selama ini diisi parfum impor. Produk ini menggali formulasi wangi komoditas yang juga dikenal sebagai dupa yang digunakan oleh hampir semua agama dan kepercayaan di dunia. Dampak kegiatan pengembangan produk antara lain peningkatan nilai tambah produk sehingga ekonomi masyarakat meningkat.

Pembangunan industri pengolahan di dalam negeri dan di sekitar lokasi suplai bahan baku amat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga daya saing produk nasional semakin tinggi. Produk yang dihasilkan

akan membangun kebanggaan bangsa atas produk hasil inovasi putra nasional.

Apresiasi terhadap inovasi ini salah satunya adalah lolos seleksi Hilirisasi Produk Unggulan PUI 2019 yang diselenggarakan Direktorat Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kemenristekdikti dan diikutkan pada Indonesia Innovation Day (IID) di Jerman pada akhir Juni 2019.

—Aswandi dan Cut Rizlani KholibrinaPeneliti pada Balai Penelitian

Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli

Kemenyan.Penduduk hendak memanen kemenyan di hutan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.

F rest D gest94 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

teroka

PERSAHABATAN sejak mahasiswa di Fakultas Kehutanan IPB membuat Tina Maretina dan Ega Ayudini sejak 2006 kian erat ketika keduanya mengembangkan Inang, usaha rintisan budidaya torbangun (Coleous amboinicus L.) untuk mendorong air susu ibu.

Mereka mengolah daun tanaman semak itu menjadi suplemen sehingga mudah diseduh dan diminum.

Syahdan, ide membuat bisnis itu muncul pada 2006, setelah Ega dan Tina melahirkan anak pertama. Ega waktu itu bekerja di sebuah lembaga konsultan internasional sementara Tina di perusahaan negara. Keduanya

acap bepergian ke luar kota. Keduanya acap saling bercerita tentang problem menyediakan air susu untuk anak mereka. Tiap kali dinas luar kota kedua harus menyediakan stok ASI di rumah

Suatu kali Ega mendapat informasi dari teman kerjanya yang berasal dari Sumatera Utara bahwa ada tanaman yang bisa mendorong ASI sehingga jumlahnya bisa banyak. “Informasinya kurang jelas, nama tanamannya terdengar seperti ‘bangun-bangun’,” kata perempuan kelahiran Jakarta 31 tahun lalu ini. Setelah berselancar di Internet, Ega tahu nama tanaman itu torbangun.

Rupanya, tanaman itu tak ada di pasar Tangerang, tempat tinggal Tina, atau Bogor yang jadi rumah Ega. Mereka baru menemukan torbangun di Pasar Senen Jakarta. Keduanya meracik dan

Sekental Air Susu InangDua ibu ini mengembangkan tanaman torbangun untuk merangsang air susu. Lebih kental dan mudah diminum. meminumnya secara rutin. “Hasilnya ASI

kami naik 65 persen,” kata Ega. “ASI juga lebih kental.”

Pengalaman itu mereka ceritakan kepada teman dan kolega. Para ibu yang punya problem serupa acap meminta daun torbanun kepada keduanya. Pemesannya tak hanya dari sekitar Jakarta. Informasi khasiat torbangun sampai juga di Kalimantan. Masalahnya, ketika daun itu sampai di pulau itu, kondisinya sudah rusak. “Tanaman ini juga tak bisa disimpan terlalu lama,” kata Tina.

Dari situ mereka terpikir untuk mengolahnya dalam bentuk kemasan sehingga mudah dikirim. Mereka mulai bereksperimen untuk meningkatkan daya tahan daun tanpa mengurangi manfaatnya. Dengan mengolahnya secara alami dalam kemasan, torbangun rupanya bisa tahan enam bulan. Sebelum disebar ke teman-temannya, Ega dan Tina yang mencobanya. Khasiatnya tetap sama. “Kami yakin aman karena organik,” kata

Kebun.Tanaman torbangun milik petani mitra di Cianjur.Dok. Tina

F rest D gest 95o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Ega.Untuk memudahkan pengiriman,

mereka lalu mendirikan Inang, lini bisnis racikan daun torbangun. Menurut Ega, dalam bahasa Batak—asal tanaman ini—Inang artinya ibu. Mereka membuat web inangboosterasi.com agar para pemesannya bisa mendapatkan referensi dari web itu dan mudah memesannya, selain melalui akun di Instagram. Inang kini sudah dalam bentuk saset, teh tubruk, kue, dan kemasan botol siap minum. Menurut Ega, saset paling banyak dipesan.

Awal Inang berjalan, keduanya menanam torbangun di pekarangan rumah mereka dan mempekerjakan delapan orang untuk memeliharanya. Menurut Tina, torbangun yang mirip bayam ini mudah ditanam di lahan sempit. Karena pesanan kian banyak, Ega dan Tina bekerja sama dengan petani untuk pembibitan dan penanaman. Sejak 2017 mereka bermitra dengan petani di Cianjur, Sukabumi, dan Garut.

Untuk menjaga kualitas, mereka memprioritaskan calon mitra dengan lahan yang sebelumnya atau saat ini memang digunakan untuk sistem tanam organik. Sampai sekarang sudah ada 10 petani yang bermitra dengan Inang. “Tidak terlalu sulit mendapatkan akses

mitra petani organik, mitra kami sebagian besar petani kami adalah pemasok sayuran organik di supermarket,” kata Tina.

Luas kebun milik petani rata-rata 100 meter persegi dengan sistem tumpang sari, seperti kombinasi dengan sereh singkong, sengon, pepaya, ada juga yang ditanam di pematang jalan di kebun. Inang telah mendapat sertifikat organik dari Inofice, sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia dan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan.

Menurut Tina, mengurus semua itu tidak sulit. Mereka mengikuti pelatihan sistem jaminan halal dan penyuluhan keamanan pangan. Bagi mereka sertifikasi semacam ini sangat penting karena terkait dengan kepercayaan konsumen. Mereka

sangat berharap ada pelatihan sertifikasi-sertifikasi lainnya supaya produk mereka lebih mudah dipasarkan baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Kesulitan kami saat ini ke akses permodalan,” kata Ega.

Pemesan Inang kini tak hanya dari dalam negeri, melainkan dari Malaysia, Singapura, India, bahkan Amerika Serikat. Para pemesan umumnya menghubungi keduanya melalui Instagram. Ketika wawancara sedang berlangsung, Tina sedang melayani pembeli dari Hawai. Para pembeli juga acap mencurahkan hati mereka soal kesulitan menyediakan ASI, terutama bagi ibu pekerja.

Ada juga yang mengeluh ongkos kirim yang mahal sehingga Ega dan Tina terpaksa tak jadi mengirimkannya. “Kami jadi ikut sedih karena tak bisa mengirim Inang yang dibutuhkan konsumen,” kata Ega. Sejauh ini modal mengembangkan Inang dari tabungan keduanya.

Jika Inang sudah stabil, Ega dan Tina bermimpi mendirikan semacam Pusat Studi Ibu dan Anak, yang tak hanya memberi pengetahuan soal ASI, tapi juga segala hal yang dibutuhkan ibu dan bayi, seperti pijat laktasi, spa bayi, hingga kuliner sehat untuk memperlancar ASI.

—Kaka Prakasa

pendiri inang.Ega Ayudini dan Tina Maretina.

Dok. Tina

TEH.Daun torbangun yang telah diolah menjadi teh dalam kemasan Dok. Inang

F rest D gest96 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

teknologi

KEBAKARAN lahan gambut terus terjadi tiap musim kemarau karena keringnya sebagian vegetasi dan permukaan lahan gambut. Cara membersihkan lahan dengan membakar merupakan cara yang paling efektif baik

dari segi waktu maupun biaya, sehingga sebagian masyarakat akan terus melakukan pembakaran jika musim kemarau tiaba. Namun cara tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak ramah lingkungan dan cendrung menimbulkan efek kerugian yang nilainya sangat besar.

Pembakaran dengan tidak terkontrol dan dengan skala luas menyebakan api cepat menjalar yang sangat sulit dipadamkan. Keberadaan asap yang disebabkan akibat pembakaran baik di lahan mineral maupun lahan gambut menyebabkan terganggunya aktivitas mahluk hidup bahkan dalam kondisi tertentu menyebabkan kematian.

Usaha pemadaman ketika terjadi pembakaran yang tidak terkontrol membuat Indonesia sibuk. Namun usaha-usaha tersebut belum optimal karena setiap tahun sebagian wilayah Indonesia selalu terjadi bencana asap. Maka perlu inovasi teknologi untuk mengefektifkan usaha memadamkan api.

Salah satu hasil pengembangan teknologi adalah memanfaatkan gel dari pati jagung sebagai media pemadam kebakaran. Penerapan gel ini biasa dipakai dalam pemadaman kebakaran akibat api batu bara. Dari banyak percobaan, gel mampu menutupi permukaan dan menurunkan temperatur areal yang terbakar hingga padam.

Selain memadamkan, gel tersebut juga memiliki kemampuan untuk menahan nyala api kembali (Cheng et al. 2017). Sementara peneliti lain Imtinan (2019) mengaplikasikan gel pada pemadaman kebakaran pada beberapa vegetasi, hasil penelitiannya menunjukan bahwa gel mampu memadamkan kebakaran pada semua sampel uji.

Dalam kajian ini gel yang digunakan terbuat dari pati jagung (Gambar 1) yang dicampur dengan air, dengan komposis 2% pati jagung dan sisanya adalah air (Cheng et al. 2017). Aplikasikan pemadaman kebakaran gambut skala laboratorium dilakukan pada reaktor pembakar, setelah gambut terbakar kemudian gel diaplikasikan ke atas permukaan areal yang terbakar dengan ketebalan lapisan gel 0,75-1,5 sentimeter. Reaktor yang digunakan sisi-sisinya tertutup kecuali bagian atas.

Gambar 2 merupakan ilustrasi aplikasi gel sebagai media pemadam kebakaran gambut skala laboratorium.

Hasil percobaan menunjukan bahwa penggunaan gel sebagai pemadam kebakaran gambut bisa mempercepat waktu padam dibandingkan penggunaan air, untuk gel dibutuhkan waktu selama 12,5 menit sedangkan air selama 45,9 menit (Gambar 3).

Perbedaan tersebut disebabkan di antaranya karena penggunaan gel satu kali pemadaman, sedangkan air 2 kali pemadaman. Untuk penggunaan air, pemadaman pertama selang waktu tertentu temperatur bergerak naik sehingga di lakukan pemadaman kembali, setelah dilakukan pemadaman ke dua temperatur terus bergerak turun sebagai indikasi bahwa kebakaran gambut telah padam.

Gel Jagung untuk Memadamkan Api di GambutSolusi baru memadamkan kebakaran lahan gambut yang menjadi momok Indonesia tiap musim kemarau: gel jagung. Lebih efektif dibanding air.

pati jagung(Gambar 1)

Ilustrasi aplikasi gel pada pemadaman kebakaran gambut skala laboratorium. (Gambar 2)

GEL

lahan gambut

F rest D gest 97o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

Selain waktu padam lebih cepat, gel juga lebih hemat. Gel yang digunakan dalam percobaan ini sebanyak 65,65 gram, sedangkan air 125,70 gram (Gambar 4). Penggunaan gel pada aplikasi pemadaman kebakaran mampu menutupi pori-pori gambut pada waktu gel mulai di tuangkan ke dalam permukaan areal yang terbakar, sehingga sirkulasi udara yang akan masuk kedalam gambut berhenti.

Selain itu lapisan gel juga memutus sirkulasi gas panas yang akan keluar dari areal pembakaran,. Dengan berhentinya sirkulasi pembakaran api yang ada pada bagian bawah permukaan secara bertahap akan padam. Sedangkan air yang disemprotkan ke permukaan yang terbakar tidak semua bisa masuk ke dalam pori-pori gambut karena tekanan udara panas dari bawah, sehingga pada penyemprotan pertama sebagian besar air menguap.

Selain disebabkan udara panas, sulitnya air meresap ke dalam gambut terbakar

juga karena sifat gambut terhadap air: dari suka air pada waktu menjadi tidak suka air ketika terbakar atau kering. Sehingga butuh air banyak untuk bisa memadamkan api.

Alternatif pemakaian gel ini perlu dipertimbangkan untuk aplikasi skala yang lebih luas sebagai usaha mempercepat pemadaman kebakaran gambut. Kemampuan gel sebagai pemadam kebakaran gambut telah terbukti lebih baik dibandingkan memakai air, namun demikian percobaan ini sangat sederhana sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kemampuan pemadaman yang lebih baik lagi.

purwo subekti, mahasiswa program doktoral IPB.

Daftar PustakaAkbar A. 2016. Pemahaman dan Solusi

Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia.Bogor (ID) : Forda Press.

World Bank. 2016. Kerugian dari Kebakaran Hutan, Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran tahun 2015. Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia

Cheng W, Hu X, Xie J, Zhao Y. 2017. An Intelligent Gel Designed to Control the Spontaneous Combustion of Coal: Fire Prevention and Extinguishing Properties. Fuel 321 (2017): 826-835.

Perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran gambut skala laboratorium (Gambar 3).

Jumlah media pemdam yang dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran gambut skala laboratorium. (Gambar 4)

F rest D gest98 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

bintang

TASYA KAMILAAncaman Sampah

SEJAK didaulat menjadi Duta Lingkungan Hidup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2006, Tasya Kamila selalu mengampanyekan siapa pun ramah terhadap lingkungan. Maka ketika Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga

Mahasiswa IPB mengundangnya untuk berbagi tips dan pengalaman seputar beasiswa, penyanyi lulusan program Magister School of International and Public Affairs, Columbia University,

ini tetap bercerita soal hidup-hijaunya. “Reduce, reuse, and recycle harus kita maksimalkan demi keselamatan lingkungan kita,” kata peraih beasiswa Layanan Beasiswa dan Pendanaan Riset Indonesia itu.

Pelantun lagu anak-anak Libur Tlah Tiba ini juga mendirikan Yayasan Green Movement Indonesia pada 2017. Tasya acap melakukan kunjungan ke daerah untuk membuat program ramah lingkungan dan energi terutama ke desa-desa.

Dalam acara International Talk Program untuk mahasiswa baru IPB itu, Tasya bercerita bagaimana ia mendapatkan

beasiswa dan sekolah master di universitas bergengsi di Amerika Serikat itu. Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia lulusan 2010 ini bercerita seputar aktivitasnya di bidang lingkungan. Dia berharap melalui yayasannya bisa membantu pemerintah mengatasi permasalahan lingkungan.

Cita-citanya memang menjadi Menteri Lingkungan Hidup. “Saya lama bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk sosialisasi pengelolaan sampah,” katanya. Ia sadar efek buruk sampah terhadap lingkungan yang merusak. Ia menyinggung laut Bali dan Wakatobi yang ikannya keracunan plastik. “Coba bayangkan, laut bagus saja, pencemarannya separah itu, bagaimana lagi dengan lautan yang memang sudah benar-benar tercemar? Apa jadinya biota-biota di laut?” katanya seperti dikutip WomanTalk.com.

Instagram Tasya Kamila

F rest D gest 99o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

JEFF SMITHBelajar dari Hutan

BAGI Jeffrey Mark Smith hutan tak hanya menjadi penyedia air, penghasil oksigen, dan berbagai manfaat lain yang sangat dibutuhkan manusia dan mahluk lain penghuni bumi. Bagi aktor kelahiran Jakarta 20 tahun lalu ini, hutan juga menjadi tempat

pembelajaran untuk bekal hidup. “Hutan itu tempat pembelajaran manusia untuk survive,” kata pemeran dalam sinetron Romeo dan Juminten ini.

Di hutan, kata Jeff, manusia bisa teruji menjadi penyintas (survival) karena alam mendorongnya demikian. Ia menyimpulkan nilai-nilai ini setelah acap bertualang ke beberapa hutan. Menurut dia di hutan manusia dapat belajar bagaimana hidup yang jauh dari peradaban dan hanya memanfaatkan

sekitar. “Di hutan kita dituntut menurunkan ego, harus bisa bekerja sama, dan saling tolong menolong,” katanya.

Sifat asli setiap orang, kata Jeff, akan keluar saat di hutan, dalam kondisi susah sehingga mereka bisa keluar dari zona nyaman. Mereka yang manja, malas, gampang emosional, akan muncul saat berada di rimba. Di hutan, manusia juga tak bisa menjaga imej karena semua dituntut natural. Mereka yang egois akan mendapatkan pelajaran berharga ketika

berada di hutan karena saat itu mereka akan membutuhkan orang lain.

Jeff mengaku dengan sering mengunjungi hutan, ia bisa menarik pelajaran hingga mendorongnya mencapai posisi seperti sekarang: ketenaran, kekayaan. Namun, hutan juga membuatnya tetap rendah hati karena segala pencapaian tak akan bisa tanpa dorong orang lain. Sebagai orang yang hidup di Jakarta, Jeff merasa hidupnya seimbang setelah melawat ke banyak rimba. “So, apa jadinya bumi tanpa hutan?” tanyanya.

Karena itu, Jeff agak menyesali hidupnya yang sibuk dengan merasa belum bisa berbuat banyak dan lebih menjaga kelestarian hutan. Karena itu ia berusaha sebisanya tak melakukan perbuatan yang bisa merusak bumi. “Kalau elo enggak bisa menyiram tanaman setidaknya jangan rusak mereka,” kata dia.

Ia menganjurkan anak-anak muda mengunjungi hutan agar tahu manfaat dan lebih banyak bersyukur. Soalnya, ia cemas hutan terus tergerus akibat generasi sekarang kurang pengetahuan tentang manfaat pohon dan hutan. “Karena bumi kita itu dulunya hutan, bukan gedung,” kata Jeff kepada kontributor Forest Digest, Fakhri Muhammad Saragih, bulan lalu. —

F rest D gest100 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 9

ANAK-anak muda muncul ketika para orang tua tak bisa menyelesaikan hal ihwal. Dalam novel Fathers and Sons, Ivan Turgenev menghadirkan sosok Yevgeny Vasilevich Bazarov yang mencemaskan para orang tua karena jalan pikirannya. Anak muda ini tipikal seorang yang pulang dengan marah setelah bertahun-tahun menyerap ilmu di universitas.

Bazarov merasa tak ada gunanya belajar jauh-jauh sementara Rusia, negerinya di abad 19, tetap saja tertinggal. Masyarakat hidup

bodoh, sementara orang kaya foya-foya dengan pesta. Tsar duduk angkuh di istana, para padri tak henti-henti berkhotbah seraya tutup mata pada kebatilan di sekeliling. Bagi Bazarov, segala kekusutan itu bersumber pada nilai-nilai lama yang nyaman dianut generasi tua.

“Wahai paman, bisakah paham yang kalian anut ini membuat kita menjadi berarti?” kata Bazarov kepada Pak Kirsanov, ayah temannya.

Setelah lulus, Bazarov tak langsung pulang ke kampungnya. Ia mampir ke rumah temannya, Arkady Kirsanov, lalu tertarik mempraktikkan ilmu dokternya. Di sinilah ia menyaksikan kekolotan dan paham kuno para orang tua yang ia tolak.

Orang-orang tua, yang tak mengerti dunia sudah berubah di luar sana, hanya berpikir bagaimana membuat tanah pertanian subur dan panen berlimpah untuk hidup sehari-hari. Pak Kirsanov hanya perlu ke kebun mencari rumput untuk meredam demam seorang adiknya. Sedangkan Bazarov ingin penyakit itu dideteksi dan si bibi minum obat. Mereka pun kerap bertengkar untuk hal-hal sepele. Pak Kirsanov bahkan berpikir Bazarov adalah “orang berbahaya yang bisa meracuni pikiran anakku karena mengajarkan hal-hal yang dilarang tradisi”.

Bazarov makin frustrasi ketika tahu keterbelakangan itu hinggap di seluruh negeri. “Kita harus berubah,” katanya. Tapi dengan cara apa? Bazarov mewakili kaum intelektual Rusia beberapa puluh tahun sebelum Revolusi Oktober 1917: mereka yang tak berdaya menghadapi carut marut keadaan. Bazarov kian meradang ketika tahu Pak Kirsanov berselingkuh dengan pelayannya, sebuah simbol nilai-nilai lama di mana laki-laki mengendalikan seks. Sementara di mata orang tua, Bazarov adalah orang yang tak tahu adat. Dua-duanya memakai mata yang berbeda dalam memandang situasi. Maka kedua generasi pun berbenturan.

Fathers and Sons adalah novel Turgenev yang paling indah. Bazarov seperti personifikasinya, yang bertahun-tahun hidup dan belajar di luar negeri, lalu menjadi pelopor sastra realis Rusia.

Tapi, setelah novel ini terbit, Turgenev berhenti menulis selama satu dekade karena kritik yang bertubi-tubi kepada novelnya ini. Satu kritik, misalnya, menganggap Bazarov terlalu lembek sebagai seorang nihilis.

Tapi, kritik itu kian menegaskan bahwa Turgenev seorang penulis besar. Fyodor Dostoyevsky sampai menulis Kejahatan dan Hukuman sebagai tanggapan sekaligus mengeksplorasi gagasan novel ini. Ketika Turgenev meninggal di usia 63 pada musim gugur 1883, seluruh Rusia menyambut jenazahnya dari Paris. Tentara siaga di jalan-jalan St. Petersburg karena khawatir iring-iringan berakhir menjadi rusuh politik.

Toh, kerusuhan itu tetap terjadi, pada Oktober 1917, ketika Bazarov-Bazarov yang menolak menjadi nihilis seperti Lenin dan Stalin menumpahkan segala kritik dan marahnya dengan menyerbu Istana dan menumbangkan Tsar. Rusia pun memasuki abad baru di bawah panji-panji komunisme.

Anak-anak muda memang sering mengejutkan ketika keadaan genting. Di Jakarta atau di mana pun anak-anak muda tampil merebut panggung ketika orang-orang tua tak bisa menyelesaikan soal-soal, berselingkuh dengan oligarki untuk sepotong kekuasaan yang melenakan. Tahun 1998 tak ada yang tahu dan yakin bisakah Suharto yang menguasai bisnis dan tentara selama 32 tahun bisa ditumbangkan, sampai muncul anak-anak muda naik panggung menyerukan saatnya berhenti dari impitan otoritarianisme.

“Anak muda tahu aturan, orang tua ingin pengecualian,” kata Oliver Wendell Holmes, seorang hakim yang terkenal dalam sejarah Amerika. Dengan kata lain anak muda dan orang tua selalu berbeda dalam memandang banyak hal. Generasi berganti karena itu cara pandang terhadap pakem dan nilai-nilainya pun berubah.

Maka orang-orang tua yang bijak, kata sebuah petuah, adalah jika ia bersedia lebih banyak mendengar. Kearifan tak lahir dari pikiran sendiri melainkan dari pengalaman dan pergulatan dengan pikiran yang berbeda. Perdebatan dan pertempuran ide selalu mendewasakan karena menampung segala kemungkinan. Kesediaan mendengar suara yang berbeda itulah mata air kebajikan.

Itulah yang tecermin dari suara mahasiswa bergerak hari-hari ini. Kita menyaksikan gelora protes karena orang-orang tua, di lembaga eksekutif dan legislatif, sudah tak lagi mendengar suara lain dalam banyak hal. Demokrasi mencemaskan ketika mereka yang terpilih secara demokratis melupakan cara mendengar suara mereka yang memilihnya.

Bazarov-Bazarov baru akan muncul di tiap zaman karena ia segera jadi Kirsanov di kemudian hari.

—bagja Hidayat

Anak Muda

oase

F rest D gest com

lebih interaktifklik

F rest D gest com

lebih interaktifklik