ex-cc-aaji-06-001 harian kontan – 14/07/2016, hal. 24 ... berita...bersama dengan asosiasi...

10
EX-CC-AAJI-06-001 Harian Kontan – 14/07/2016, hal. 24 Chubb Life Fokus Digital

Upload: phamcong

Post on 16-May-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EX-CC-AAJI-06-001

Harian Kontan – 14/07/2016, hal. 24 Chubb Life Fokus Digital

Investor Daily – 14/07/2016, hal 24 (Berita Photo) Panin Dai-Ichi Academy

Bisnis Indonesia – 14/07/2016, hal. 19 (Berita Photo) Tuntaskan Transaksi Ambil Alih Saham

Harian Kontan – 14/07/2016, hal. 24 (Berita Photo) Pendapatan Premi Asuransi

Oktaviano DB Hana Kamis, 14/07/2016 06:24 WIB Pelaku Asuransi: Peraturan BPJS Kesehatan Tentang COB Belum Sesuai Harapan http://finansial.bisnis.com/read/20160714/215/565647/pelaku-asuransi-peraturan-bpjs-kesehatan- tentang-cob-belum-sesuai-harapan

Bisnis.com, JAKARTA – Terbitnya Peraturan BPJS Kesehatan No. 4/2016 yang mengatur penyelenggaraan koordinasi manfaat atau atau coordination of benefit (COB) ternyata belum memenuhi harapan para penyedia layanan asuransi komersial. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor mengungkapkan pihanya bersama dengan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sebelumnya sudah menerima draf rancangan Peraturan BPJS tersebut. Detil aturan itu pun sudah dibicarakan bersama. Hasilnya, ujar dia, mereka bersepakat bahwa ketentuan tersebut tidak seusai harapan pelaku asuransi. “Kami sudah membicarakan secara internal dan membuat sikap bersama terhadap draf awal. Kami melihat, kemungkinan besar tidak semua yang kita inginkan disetujui. Kita sudah sampaikan masukan, beberapa hal tidak diterima,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/7/2016). Kendati begitu, Julian masih enggan mengungkapkan sejumlah substansi yang tidak disetujui dan masukan yang diajukan forum tersebut kepada pihak BPJS Kesehatan. Menurut dia, nantinya pihak BPJS Kesehatan tetap perlu membuat nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan pelaku asuransi untuk memantapkan implementasi COB. “Nanti wujudnya akan ada MoU antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi. Meskipun, dasar MoU tentu tidak juga bisa beralih dari Peraturan BPJS Kesehatan itu. Kami akan bicarakan lagi,” kata Julian. Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch, pun menilai hadirnya Peraturan BPJS Kesehatan tersebut belum memberikan dampak signifikan kepada impelementasi COB. Menurut dia, selama ini penyelenggaraan koordinasi manfaat belum maksimal karena minimnya pelaku asuransi swasta yang turut serta. Padahal, sebutnya, COB menjadi program penting bagi peningkatan program JKN. “COB ini sebenarnya jembatan bagi peserta dan pemberi kerja untuk mendapat faskes yang diinginkannya dengan kewajiban untuk mengikuti program JKN. Tidak heran program ini berjalan ala kadarnya,” kata dia. Peningkatan program COB, kata Timboel, otomatis mendorong secara signifikan peningkatan jumlah kepesertaan terutama dari badan usaha. Hal itu pun, ujarnya, akan berdampak besar pada penerimaan iuran dan neraca keuangan BPJS Kesehatan. Implementasi COB dengan tepat juga diyakini akan meningkatkan kualitas hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja, serta juga mendorong perkembangan industri asuransi. Di sisi lain, Timboel menuturkan pelaksanaan program itu dengan baik akan meningkatkan infrastruktur layanan dengan semakin banyaknya faskes kelas menengah ke atas yang terlibat dalam pelaksanaan JKN.

“Kegagalan membentuk COB juga berpotensi merusak produktifitas pekerja, hubungan industrial juga akan terganggu.” Seperti diketahui, sejumlah ketentuan baru bagi pelaksanaan COB antara penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nasional dengan pelaku asuransi swasta tertuang dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 4/2016 yang mulai berlaku 1 Juli 2016. Peraturan BPJS Kesehatan tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Koordinasi Manfaat dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional itu antara lain memuat ketentuan anyar tentang pemanfaatan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tetapi sudah menjalin kemitraan dengan asuransi kesehatan tambahan. Selain itu, asuransi kesehatan tambahan juga akan menjadi pembayar pertama dalam pelayanan rawat inap tingkat lanjutan (RITL). Artinya, asuransi kesehatan tambahan akan membayarkan terlebih dahulu seluruh tagihan dari fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) kemudian diajukan kepada BPJS Kesehatan untuk memeroleh penggantian klaim. BPJS Kesehatan akan memberikan penggantian klaim maksimal sesuai tarif Indonesia Case Based Groups (Ina-CBGs) rumah sakit kelas C di regionalnya. Jika tagihannya lebih rendah dari tarif Ina-CBGs, maka badan penyelenggara JKN itu hanya membayar paling banyak sesuai nilai klaim. “Kalau dulu BPJS Kesehatan yang bayar duluan. Kalau ada on top benefit, baru dibayarkan asuransi kesehatan tambahan,” ujar Irfan Humaidi, Juru Bicara BPJS Kesehatan, kepada Bisnis. Di samping itu, Irfan menuturkan peraturan ini mendorong percepatan akses layanan JKN dengan sejumlah koordinasi lain antara asuransi kesehatan tambahan dan BPJS Kesehatan. Misalnya, sebut dia, terkait kepesertaan. Nantinya, dia mengatakan pendaftaran peserta bisa langsung melalui perusahaan suransi komersial yang menjalankan COB. Setelah itu, perusahaan asuransi lah yang mendaftarkan peserta kepada BPJS Kesehatan. Koordinasi itu pun berlaku untuk pembayaran iuran BPJS. Menurut dia, peserta atau badan usaha pemberi kerja bisa membayarkan iuran melalui perusahaan asuransi kesehatan tambahan. Kerja sama ini, sebutnya, mengandaikan hadirnya sebuah produk khusus asuransi kesehatan yang menyediakan celah bagi penyelenggaraan COB. “Ini mempermudah. Jika memungkinkan pun pembayaran premi produk bersama itu bisa lebih ringan, karena tidak double cost.” Editor : Mia Chitra Dinisari

Investor Daily – 14/07/2016, hal. 23 OJK Minta PSP Asuransi Siapkan Strategi Penyelesaian

Investor Daily - 14/07/2016, hal. 14 OJK Revisi Peraturan KIK Reksa Dana

Bisnis Indonesia – 14/04/2016, hal. 7 OJK Teliti Rencana Kerja Asuransi

By Rezkiana Nisaputra on July 13, 2016 OJK Masih Kaji Insentif SUN Bagi Industri Asuransi http://infobanknews.com/ojk-masih-kaji-insentif-sun-bagi-industri-asuransi/

Jakarta– Industri asuransi terus berupaya memenuhi kewajiban kepemilikan Surat Utang Negara (SUN). Para pelaku industri optimis bisa memiliki obligasi pemerintah sesuai dengan aturan main yang berlaku. Sebagian perusahaan asuransi pun menyatakan, bahwa kewajiban kepemilikan SUN minimal sebesar 20% di 2016 ini bisa terpenuhi jika pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung pelaku industri asuransi. Menyikapi hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Firdaus Djaelani mengaku, bahwa pihaknya sejauh ini masih melakukan kajian dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait dengan insentif SUN itu. Kajian yang dibahas pun, kata dia, berkaitan dengan seberapa besar permintaan di pasar. Maka dari itu, penting bagi OJK untung melakukan kajian yang mendalam apakah industri asuransi bisa memenuhi kewajiban kepemilikan SUN. “Iya itu sedang dikaji. Kita lagi mau bicarakan dengan Pak Robert Pakpahan (Dirjen Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu). Karenakan permintaannya itu seberapa besar, apa bisa dipenuhi sekaligus apa bertahap,” ujar Firdaus kepada Infobank belum lama ini, di Jakarta. Sementara berdasarkan data OJK, porsi kepemilikan SUN IKNB memang terus naik. Berdasarkan datanya juga menunjukkan, bahwa asuransi umum paling banyak berburu SUN, yang juga disusul oleh asuransi sosial. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, hingga semester pertama tahun ini kepemilikan asuransi terhadap SUN dan surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk negara terus meningkat. Total porsi SUN dan SBSN perusahaan asuransi per Juni 2016 mencapai Rp214,47 triliun atau setara 13% dari total porsi kepemilikan obligasi pemerintah senilai Rp1.646,85 triliun. Jika dibandingkan secara yoy atau Juni 2015, porsi SUN dan SBSN perusahaan asuransi naik 32% dari Rp162,27 triliun. Sedangkan dalam draft rancangan peraturan OJK (RPOJK) yang mengatur investasi minimum IKNB dalam SUN menyebutkan, bahwa porsi kepemilikan obligasi BUMN infrastruktur boleh hingga 50% dari total kewajiban minimal investasi di surat utang pemerintah. (*)

Editor: Paulus Yoga