evaluasi penerapan teknik pemotongan ayam ditinjau dari ... · karena tidak adanya perbedaan dalam...
TRANSCRIPT
EVALUASI PENERAPAN TEKNIK PEMOTONGAN AYAM
DITINJAU DARI KEAMANAN PANGAN DAN KEHALALAN
DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT
KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR
FERA SIBARANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Teknik
Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat
Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas
akhir ini.
Bogor, 19 Agustus 2011
Fera Uli Basa Sibarani
D151090031
ABSTRACT
Evaluation the Application of Slaughter Chicken Techniques that
Observated from Food Safety and Halal Food in Slaughter Houses
at Four Subdistricts of Bogor
Fera Sibarani, Henny Nuraini, Rarah Ratih Adjie Maheswari
Many of slaughter houses in Bogor still not appropiate to regulation of
Indonesian National of Standarditation (SNI 01-6160-1999) that can causes
contamination to carcass that produce in those slaugter houses. The equipments, the
techniques of slaughter and the handling practices still not comply to request of
sanitation and hygiene. The objective of this study was to evaluate the application
of slaughter chicken technique that observated from food safety and halal food in
slaughter houses in four subdictricts of Bogor. The experiment was used t-test to
compare two types of slaughtering houses (coached and not coached) in building
expedience, bacteria contamination and halal slaugtering. The results showed that
the building expedience was significantly different (P>0,05) between those two
tyes of slaughtering houses. The halal slaugtering practice was not significantly
different for those two types of slaughtering houses. TPC contamination for all
slaughtering houses was underneath from standard BMCM of SNI, except for not
coached slaughtering houses of Dramaga was over than 1x106cfu/g. The coliform
contamination for all slaughtering houses was over than 1x102cfu/g, but the
numeric for TPC and coliform of coached slaughtering houses more better than not
coached slaughtering houses. This evaluation of slaughtering houses showed that
all slaughtering houses did not yet implemented the good slaughtering practice and
good sanitation and hygiene practice totally.
Key words : Slaugtering houses, TPC, Coliform, halal slaughtering
RINGKASAN
FERA ULI BASA SIBARANI. D151090031. 2011. Evaluasi Penerapan Teknik
Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat
Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor. Dibimbing
oleh HENNY NURAINI dan RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI.
Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh
masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging
ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran
penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk
pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai
ketentuan yang berlaku. Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya
pada pihak produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri.
Di Indonesia, tempat pemotongan ayam, kelengkapan peralatan, teknik
pemotongan dan cara penanganannya masih banyak yang belum memenuhi aspek
kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam masih
menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam.
Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Dari 40 kecamatan
tersebut empat TPA di empat kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas
Peternakan dan Perikanan. Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah
pengarahan dan pelatihan dalam sanitasi dan higiene pada saat proses produksi,
sanitasi dan higiene di sekitar lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti
scalder, plucker, bak pencuci karkas, meja eviserasi dan freezer.
Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di
Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan
daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Permintaan akan daging
ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan tumbuhnya tempat pemotongan unggas
skala kecil (rumahan) dan dipasar. Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil
belum menerapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika
melaksanakan proses produksi, sehingga produk yang dihasilkan dapat
terkontaminasi bakteri sangat tinggi.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah
bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Selain itu,
sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka proses pemotongan
harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat hukum Islam
sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin kehalalannya.
Dari pengamatan diperoleh hasil bahwa semua TPA dibina berada
pada kriteria kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria
tidak layak dan kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai
Permentan (2005) yang belum dipenuhi oleh semua TPA. Untuk hasil untuk
penilaian tata cara pemotongan ayam yang halal pada TPA penelitian adalah telah
sesuai (100%) dengan tata cara pemotongan ayam yang halal yang dikeluarkan
oleh LPPOM MUI (2011). Tidak ada perbedaan pada semua TPA penelitian,
karena tidak adanya perbedaan dalam tata cara penyembelihan ayam yang
dilakukan di semua TPA penelitian.
Jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.62 log cfu/g lebih
rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk TPC pada
karkas ayam menunjukkan kesesuaian dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu ≤1x106
cfu/g untuk semua TPA,
kecuali untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dengan angka cemaran
TPC sebesar 6.11 log cfu/g. Tingginya angka cemaran ini disebabkan sanitasi yang
tidak baik pada saat proses produksi.
Jumlah TPC pada air cucian karkas ayam dari TPA dibina adalah
0.71 log cfu/ml lebih rendah dari TPA belum dibina. Jumlah TPC air cucian karkas
ayam pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari TPA
lainnya (6.72 log cfu/ml). Tingginya angka cemaran ini karena air cucian dicemari
oleh karkas ayam dengan jumlah TPC yang tinggi.
Jumlah coliform pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.41 log cfu/g
lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk coliform
pada karkas ayam belum sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu >102cfu/g untuk semua TPA.
Untuk meminimalkan kontaminasi bakteri terhadap produk akhir, sanitasi
pada proses penanganan daging di tempat pemotongan ayam harus dilakukan
secara benar. Karkas ayam dan jeroan dari tempat pemotongan ayam dijual dipasar-
pasar tradisional yang sebagian besar konsumen belum mengetahui tentang
keamanan pangan khususnya kontaminasi bakteri. Kurangnya disiplin sumber daya
manusia pada saat melakukan proses produksi dan proses produksi dilakukan
dalam satu ruangan, dapat mengakibatkan kontaminasi pada hasil akhir.
Kata-kata kunci : tempat pemotongan ayam, TPC, coliform, pemotongan halal
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi
Institut Pertanian Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EVALUASI PENERAPAN TEKNIK PEMOTONGAN AYAM
DITINJAU DARI KEAMANAN PANGAN DAN KEHALALAN
DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT
KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR
FERA ULI BASA SIBARANI
D151090031
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rukmiasih, MS
Judul Tesis : Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari
Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam
(TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor
Nama : Fera Uli Basa Sibarani
NRP : D151090031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2011 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan
Panganan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat
Kecamatan, Kabupaten Bogor. Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Peternakan,
Sekolah Pascasarjana IPB.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan Dr.
Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada Penulis
dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. Ir.
Rukmiasih, MS selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan
masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas
dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi Penulis sendiri,
akademisi serta pihak lain. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak
kekurangan, karena itu Penulis meminta maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kisaran 4 April 1976, Sumatera Utara. Penulis adalah
anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak W. Sibarani dan Ibu A.N.
Hutapea.
Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis tempuh di Medan. Pendidikan
sarjana ditempuh di Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian USU. Pada tahun
2009 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi
Peternakan.
Dalam rangka penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian yang
berjudul “Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan
Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan,
Kabupaten Bogor” dibawah bimbingan Dr. Ir. Henny Nuraini, Msi dan
Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI …………………...………………………………………… i
DAFTAR TABEL ……………………………………………....... …....... iii
DAFTAR GAMBAR …………………..………………………………..... iv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… v
PENDAHULUAN ………………………………………………………..... 1
Latar Belakang …………………………………………………...... 1
Tujuan Penelitian ...……………….………………………………... 3
Manfaat Penelitian ..……………………………………………….. 3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………… 5
Keamanan Pangan Asal Hewan ………………………………...…. 5
Kontaminasi pada Daging Ayam …………………………………. 7
1. Cemaran Biologi ……………………………………………… 7
a. Total Plate Count (TPC) ..………………………………… .. 8
b. Coliform …….………..…………………………………..... 9
2. Cemaran Kimia ……………………………………………….. 10
3. Cemaran Fisik ………………………………………………... 10
Teknik Pemotongan Ayam ………….…………………………....... 10
1. Tata cara penyembelihan …………………………………….. 10
2. Tahapan proses pemotongan …………………………………. 11
Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam ……………..……………. 14
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) .……..……….... 15
MATERI DAN METODE ……...………………………………………….. 17
Waktu dan Tempat Penelitian…………………...………………….. 17
Materi Penelitian ……………………………………………….. 17
Prosedur Penelitian ………….……………………………………… 18
Peubah yang Diamati …………………..………………………….. 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ….………………………………………… 23
Evaluasi Kelayakan Bangunan TPA ………………………………. 24
Proses Pemotongan Ayam yang Halal …………………………….. 43
Kontaminasi Bakteri pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas …. 46
1. Total Plate Count (TPC) pada Karkas Ayam dan Air Cucian
Karkas Ayam ………………………………………………….. 49
2. Coliform pada Karkas Ayam ………………………………….. 55
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………. 59
Kesimpulan ………………………………………………………... 59
Saran ……………………………………………………………….. 59
DAFTAR PUSTAKA ………………………………...…………………….. 61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA dibina dan Kondisi Seharusnya yang
mengacu pada Permentan 2005 ………………………………………….. 67
2 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA belum dibina dan Kondisi Seharusnya
yang mengacu pada Permentan 2005 …………………………………….. 75
3 Aplikasi Kehalalan di TPA dibina dan belum dibina dan Kondisi
Seharusnya yang mengacu pada LPPOM MUI 2011 ……………… 83
4 Penetapan Titik Kritis pada Proses Produksi di TPA penelitian ………… 89
5 Kuisioner Unit Usaha Rumah Potong Unggas (Mengacu pada
Permentan 2005) …………………………………………………………. 91
6 Pemotongan Ternak Secara Halal di PRU (Mengacu pada LPOM MUI 2011) … 101
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tahapan Proses Pemotongan Ayam ………………………………… 10
2 Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor; (a) meja eviserasi, (b) plucker,(c) bak
pencuci, (d) scalder, (e) freezer…………………………………………… 24
3 (a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga,
(c) TPA belum dibina A Parung ……………………………………. 37
4 Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di
KecamatanCibungbulang, (b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga … 37
5 (a) fasilitas cuci tangan, (b) toilet …………………………………... 42
6 Tahapan proses produksi pada TPA penelitian ………………….. 46
7 Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA dibina .…………. 51
8 Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA belum dibina ....... 52
9 Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA dibina ... 53
10 Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum
dibina ……………………………………………………………….. 54
11 Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA dibina …. 56
12 Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA belum
Dibina ………………………………………………………………. 57
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan
pangan asal ternak ……………………………………………………… 6
2 Batas maksimum mikroba pada karkas ayam ………………...………... 8
3 Penilaian Kelayakan Unit Usaha TPA Penelitian ...…............................. 24
4 Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu
pada Permentan (2005) …………………………………………………. 25
5 Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal di TPA penelitian
mengacu pada LPPOM MUI (2011) …………………………………… 43
6 Hasil evaluasi terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang
Halal pada TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) ……… 45
7 Rataan jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA penelitian …………… 50
8 Rataan jumlah TPC air cucian karkas ayam pada 12 TPA penelitian ..... 53
9 Rataan kandungan coliform pada karkas ayam pada 12 TPA penelitian .. 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh
masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging
ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran
penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk
pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai
ketentuan yang berlaku.
Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya pada pihak
produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri. Pada umumnya konsumen di
Indonesia belum memahami masalah keamanan pangan secara utuh, sehingga tidak
peduli dengan kebersihan daging ayam yang dipasarkan. Dilain pihak kesulitan
ekonomi pada masyarakat tertentu juga mempengaruhi konsumen, sehingga daging
ayam dengan harga murah dan terjangkau tetapi tidak terjamin kebersihannya akan
tetap diterima dalam pemasaran. Hal ini berdampak pada produsen untuk tidak
begitu memperhatikan kebersihan produk yang dihasilkan.
Tempat pemotongan ayam yang masih bersifat tradisional, masih banyak
kelengkapan peralatan, teknik pemotongan dan cara penanganannya yang belum
memenuhi aspek kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam
masih menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam.
Tempat pemotongan ayam yang layak berperan penting dalam menghasilkan
karkas ayam yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga sangat menarik
untuk dikaji lebih lanjut guna menjamin perlindungan terhadap konsumen untuk
mendapatkan daging yang aman dan halal.
Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Pada masing-masing
Kecamatan terdapat beberapa tempat pemotongan ayam (TPA) yang mempunyai
total 170 buah TPA. Dari 40 kecamatan yang ada, sebanyak empat TPA di empat
kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan.
Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah pengarahan dan pelatihan dalam
sanitasi dan higiene pada saat proses produksi, sanitasi dan higiene di sekitar
2
lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti scalder, plucker, bak pencuci
karkas, meja eviserasi dan freezer. Kecamatan lainnya yaitu sebanyak 36
kecamatan dengan jumlah TPA 150 buah belum mendapat pembinaan dan
menerapkan sistem keamanan pangan, sehingga beresiko besar belum sepenuhnya
tidak memberikan jaminan kesehatan dan kehalalan kepada konsumen terhadap
produk yang dikonsumsinya.
Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di
Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan
daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Daging ayam yang
dihasilkan dari tempat pemotongan ayam yang berada di Kabupaten Bogor tidak
hanya dipasarkan di wilayah Bogor, tetapi dipasarkan sampai juga ke daerah-
daerah sekitar Bogor, seperti Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, bahkan hingga
keluar pulau Jawa, sebagai contoh ke Propinsi Papua.
Permintaan akan daging ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan
tumbuhnya tempat pemotongan ayam skala kecil baik secara rumahan dan di pasar.
Bila dilihat dari segi bangunan dan prosedur produksi, tempat pemotongan unggas
skala kecil ini belum sesuai dengan persyaratan SNI Rumah Pemotongan Unggas.
Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil belum sepennuhnya menerapkan
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika melaksanakan proses
produksi, sehingga resiko produk yang dihasilkan terkontaminasi bakteri adalah
sangat tinggi. Penggunaan obat-obatan untuk pencegahan penyakit dan obat-obatan
yang merangsang pertumbuhan untuk mengoptimalkan produksi juga dapat
menimbulkan residu pada karkas ayam dan bahkan beberapa diantaranya bersifat
karsinogen, sehingga mempunyai kemungkinan produk tidak memenuhi keamanan
pangan.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah
bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Proses
pemotongan ayam, penyimpanan dan pemasaran harus memenuhi syarat kesehatan,
terutama jika produk ini akan dijual dalam bentuk segar karena sebagian besar
kebutuhan daging ayam dan hasil sampingannya (jeroan, kepala, kaki) di pasarkan
dalam bentuk segar. Selain itu, kehalalan produk juga harus mendapatkan perhatian
khususu mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Proses
pemotongan harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat
3
hukum Islam sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin
kehalalannya.
Berdasarkan keadaan ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang evaluasi sanitasi dan higiene pada tempat pemotongan ayam skala kecil,
yang hasilnya nanti dapat dipergunakan untuk perbaikan kualitas tempat
pemotongan ayam di Kabupaten Bogor. Aspek mutu dan keamanan merupakan
bagian penting dalam bidang pangan dan perlu mendapat perhatian khusus.
Pendekatan preventif seperti halnya penerapan SSOP dianggap paling baik untuk
menangani masalah keamanan pangan. Peningkatan kualitas produk daging unggas
yang ASUH juga diharapkan akan meningkatkan nilai jual produk tersebut,
sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar dan jaminan konsumen terhadap
produk yang sehat, aman, utuh dan halal.
Tujuan Penelitian
Melakukan kajian terhadap penerapan SSOP untuk menjamin keamanan
pangan serta mempelajari teknik pemotongan (yang sesuai dengan syariat Islam)
untuk menghasilkan produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di tempat
pemotongan unggas yang berlokasi di beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi kepada konsumen tempat pemotongan ayam (TPA) yang
telah melaksanakan SSOP dan menghasilkan produk yang aman untuk
dikonsumsi.
2. Memberikan kesadaran kepada konsumen akan pentingnya proses pemotongan
yang baik, higienis dan halal.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan Asal Hewan
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia,
sehingga perlu diperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian pemerintah
terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan
pangan, agar masyarakat memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman,
bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
2004). Bahan pangan asal ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan
dan kehidupan manusia, namun menjadi tidak berguna dan membahayakan
kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi (Bahri 2008).
Daging dengan kadar air yang tinggi (68.75%) merupakan bahan pangan
yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba, karena kaya nitrogen dan mineral,
dan mengandung mikroorganisme yang menguntungkan bagi mikroba lain. Jumlah
mikroba dalam daging juga dipengaruhi perlakuan ternak sebelum pemotongan
(Betty & Yendri 2007). Murdiati (2006) mengatakan mikroba dapat mencemari
ternak saat masih hidup, dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan.
Menurut Syukur (2006), mikroba dapat tumbuh dengan baik dan dapat merusak
bahan pangan asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia.
Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan berlendir, berjamur,
daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan
gangguan kesehatan bila dikonsumsi manusia (Djaafar & Rahayu 2007).
Menurut Budinuryanto et al. (2000) jumlah dan jenis mikroba yang
berbahaya pada daging ayam yang dipotong dan dijual di pasar tradisional cukup
mengkhawatirkan. Mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah
Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004).
Beberapa contoh mikroba yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah
Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp.,
Salmonella sp., Camphylobacter sp., dan Listeria sp (Syukur 2006). Foodborne
disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencemaran dan
penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia, mikroba
6
masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian
diserap oleh tubuh, sehingga menyebabkan gejala penyakit (Gustiani 2009).
Tabel 1. Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada
bahan pangan asal ternak
Agens Media Gejala
Coliform
Escherichia coli
Salmonella
Campylobacter
Listeria
Makanan yang tercemar feses
Makanan/minuman yang tercemar
oleh feses
Air pencuci terkontaminasi
Kontak dengan permukaan karkas
unggas yang terinfeksi, atau
mengonsumsi daging ayam yang
masih mentah
Makanan mentah, susu yang
dipasteurisasi, keju lunak
Mual, nyeri perut, diare,
muntah, berak darah,
demam, kejang,
kekurangan cairan/
dehidrasi Diare berdarah dan
kesakitan karena kram
perut yang disertai demam
Demam, diare, kram perut
Diare, demam, kram perut
Infeksi di selaput otak,
infeksi meluas ke dalam
saluran darah Sumber : Andriani (2005)
Menurut Gustiani (2009) penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi
keamanan pangan yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan
melalui pengendalian residu dan cemaran mikroba. Jaminan keamanan pangan
diperoleh melalui penerapan sistem keamanan pangan dalam setiap proses
produksi, yaitu: 1) Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practice
yang meliputi sanitasi dan lingkungan sekitar kandang, dan pemberian pakan
ternak yang bebas dari jamur atau toksin; 2) Good Manufacture Practices (GMP)
perhatian pada peralatan/mesin saat pascapanen; 3) Good Handling Practices
(GHP) agar produk yang dihasilkan aman dan sehat konsumsi oleh manusia.
Selain produsen, distributor, penjual produk dan bahan pangan juga tidak
kalah pentingnya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar di pasaran.
Distributor pangan di Indonesia masih banyak yang belum memahami dan
menerapkan Good Distribution Practice (GDP). Hasil pemeriksaan dalam tahun
1995/1996 terhadap sarana distribusi dan penjualan produk pangan menunjukkan,
bahwa lebih dari 40% sarana tidak memenuhi syarat sebagai distributor pangan
7
karena faktor sanitasi, bangunan dan fasilitas yang tidak memenuhi syarat, dan
menjual produk-produk yang tidak memenuhi syarat (Ditjen POM 1996).
Pengawasan pangan merupakan salah satu faktor penting untuk
meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Beberapa hambatan dalam program
pengawasan pangan di Indonesia seperti: (a) belum mantapnya kelembagaan dan
koordinasi pengawasan pangan, (b) peraturan dan pedoman yang belum lengkap,
(c) jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (d) sumber dana yang
terbatas, dan (e) kemampuan laboratorium analisis pangan yang terbatas.
Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan
mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapatkan
pengawasan (Ditjen PPM PLP 1994).
Kontaminasi pada Daging Ayam
Cemaran atau masuknya zat asing yang tidak diinginkan dalam makanan
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : cemaran biologi, kimia dan fisik.
1. Cemaran Biologi
Mikroba yang biasanya terdapat pada karkas ayam adalah Campylobacter,
Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus, E. coli dan Yersinia
(Cox et al. 2005). Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas
mikroba patogen. Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan
setelah hewan dipotong. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah : 1) hewan
(kulit, bulu, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui
pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau,
alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air,
tanah), dan 6) kemasan. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke
seluruh anggota tubuh hewan, sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat
menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat
dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis (Gustiani 2009). Jumlah
bakteri pada kulit ayam sebelum pemotongan ayam adalah
6.0x102-68.1x10
2 cfu/cm
2, dan setelah pemotongan dan pengeluaran jeroan menjadi
1.1x104-9.3x10
4 cfu/cm
2 (Mountney 1983).
Banyak kasus penyakit yang diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen
(foodborne diseases) pada daging ayam maupun produk olahannya. Daging ayam
8
cocok sebagai medi perkembangan mikroba, karena ayam dalam kehidupannya
selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah paling
sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat
menginfeksi manusia (Raharjo 1999). Menurut Poloengan et al. (2005) 20-100%
daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Tangerang tercemar
bakteri Campylobacter.
Tabel 2. Batas maksimum cemaran mikroba pada karkas ayam
No Jenis Satuan Persyaratan
1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106
2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102
3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102
4. Escherichia coli cfu/g maksimum 1 x 101
5. Salmonella sp per 25 g negatif
6. Campylobacter sp per 25 g negatif SNI 01-7388 (BSN 2009)
a. Total Plate Count (TPC)
Jumlah cemaran dalam suatu pangan dapat ditentukan melalui metode Total
Plate Count (TPC) atau disebut juga Angka Lempeng Total (ALT). Jumlah
mikroorganisme pada contoh pangan yang diperoleh pada metode ini merupakan
gambaran populasi mikroorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Jumlah
mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) yang berasal dari
mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis
media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain
yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Metode
hitung cawan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: pour plate methode (metode
tuang) dan surface or spread plate method (metode permukaan atau metode sebar).
Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per
gram atau per ml luasan tertentu dari contoh (per cm2). Ketepatan metode ini
dipengaruhi beberapa faktor, antar lain : a) media dan kondisi inkubasi
(ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), b) kondisi sel mikroorganisme
(cedera atau injured cell), c) adanya zat penghambat pada peralatan atau media
yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, d) kemampuan
pemeriksa untuk mengenal koloni, e) peralatan, pelarut dan media yang kurang
steril, ruang kerja yang tercemar, f) pengocokan pada saat pengenceran yang
9
kurang sempurna, g) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, h)
kesalahan menghitung koloni dan perhitungan yang kurang tepat terhadap koloni
yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman dan Purnawarman 2009).
b. Coliform
Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator
adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air dan
makanan, yang menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat
toksogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri coliform terbagi dua yaitu:
coliform faecal (contohnya Escherichia coli) yang berasal dari kotoran hewan
maupun manusia, dan coliform non faecal (contohnya Enterobacter aerogenes)
yang ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz 1989).
Coliform adalah bakteri berbentuk batang, gram negatif dan tidak berspora,
dan dapat tumbuh pada suhu 2-50°C dan pada kisaran pH 4.4-9.0 (Jay 2000).
Kelompok bakteri coliform terdiri atas jenis Escherichia, Enterobacter dan
Klebsiella. Keberadaannya di dalam bahan pangan sering digunakan sebagai
indikator kontaminasi asal kotoran (McGraw 1999). Coliform terdapat dimana-
mana dan ditemukan pada bermacam-macam produk bahan pangan terutama yang
berasal dari hewan. Pada ayam hidup coliform biasanya terdapat pada bulu, kulit
dan kuku, sehingga pada saat proses pemotongan ayam coliform dapat mencemari
karkas. Kontaminasi coliform pada karkas ayam juga berasal dari isi saluran
pencernaan pada saat dilakukan eviserasi (Banwart 1989). Kontak langsung antara
peralatan dan tangan pekerja dengan karkas serta air yang digunakan dalam
pencucian karkas selama proses produksi memungkinkan terjadinya kontaminasi
sejumlah coliform pada permukaan karkas ayam broiler
(Cunningham & Cox 1987).
2. Cemaran Kimia
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu
keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur
cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar
(Bahri et al. 2000). Menurut Murdiati dan Widiastuti (2003) daging dan hati ayam
banyak juga yang tercemar residu antibiotika, terutama golongan penisilin dan
10
tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging. Pada
tahap produksi, cemaran kimia dapat terjadi karena penggunaan pewarna pada
karkas ayam. Pada tahap pascaproduksi, deterjen yang digunakan untuk
membersihkan peralatan dan ruang pengolahan yang tidak dibersihkan secara
tuntas dapat mencemari karkas.
3. Cemaran Fisik
Cemaran fisik yang tidak boleh/hanya sedikit sekali dalam makanan dan
tidak boleh menimbulkan luka bahkan patah gigi, yang umumnya disebabkan
beberapa faktor sebagai berikut: cemaran dari bahan baku (batu/kerikil, potongan
tulang, ranting, duri rumput, kotoran dan serangga), cemaran dari manusia (rambut,
potongan kuku dan perhiasan), cemaran pada saat proses pengolahan (pecahan
kaca/gelas, logam, pengemas dan plastik) (Thaheer 2005). Pengujian fisik
dilakukan secara visual (inspeksi), perabaan (palpasi) dan penyayatan (insisi)
(BSN 2009).
Teknik Pemotongan Ayam
1. Tata Cara Penyembelihan
Daging yang berasal dari hewan dapat menjadi tidak halal jika disembelih
tanpa mengikuti aturan syariat Islam. Hal-hal yang menjadi titik kritis proses
penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : penyembelih (harus seorang muslim
yang taat dan melaksanakan syariat Islam sehari-hari), pemingsanan (tidak
menyebabkan hewan mati sebelum disembelih), peralatan/pisau (harus tajam), dan
proses pasca penyembelihan (hewan harus benar-benar mati sebelum proses
selanjutnya dan darah harus keluar secara tuntas) (LPPOM MUI 2008).
Penyembelihan harus memutuskan trachea, kerongkongan dan pembuluh darah
arteri utama dan daerah leher (CAC 1997).
2. Tahapan Proses Pemotongan Ayam
Berikut ini adalah diagram tahapan pemotongan ayam pada tempat
pemotongan ayam (USDA 1999) :
11
Gambar 1. Tahapan Proses Pemotongan Ayam
a. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan
biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik. Ayam diistirahatkan
selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan.
b. Menggantung. Sebelum proses penyembelihan, ayam digantung pada bagian
sendi kaki dengan posisi kepala di bawah. Ini untuk memudahkan proses
penyembelihan.
c. Stunning. Pencegahan ayam agar tidak stres dan tidak memberontak pada saat
proses penyembelihan, maka ayam dipingsankan (stunning) dengan melewatkan
Penerimaan/penyimpanan ayam hidup Penerimaan
bahan-bahan
yang
dikemas Menggantung/stunning/menyembelih/pengeluaran darah
Scalding/pemotongan kepala/mencuci/
hock cutter/menggantung
Membuang kelenjar minyak/memotong
leher/venting/opening
Eviceration
Pengeluaran paru-paru/tembolok/pemanenen hati
Inspeksi
Pencucian akhir
Chilling-
Karkas/leher/jeroan
Pengemasan/pelabelan
Penyimpanan produk akhir
Processing Penyimpanan
Pemanenan hati,
gizzard
Penyimpanan
bahan-bahan
yang dikemas
Pengiriman
12
kepala ayam ke dalam bak air yang diberi Automatic Stunner dengan tegangan
60-70 volt pada bak air selama 3 detik hingga tubuh dan jaringan otot ayam
melemas, sehingga ayam tidak banyak bergerak saat disembelih.
d. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan dengan pemotongan ketiga urat
yang terletak di leher, yaitu saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan
(trachea), dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri
carotis) sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis.
e. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan, dengan cara menggantung
ayam dengan posisi kepala di bagian bawah selama 3-5 menit. Pengeluaran
darah harus tuntas sehingga tidak menurunkan mutu karkas ayam, juga akan
mempengaruhi warna kulit ayam dan berpotensi sebagai media pertumbuhan
mikroba, sehingga daging cepat busuk.
f. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan, kemudian ayam dimasukkan ke dalam
bak atau panci berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama 45 detik. Proses ini
bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu.
g. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mencabut bulu (mesin
pencabut bulu/plucker) atau dapat juga dilakukan dengan tangan. Pembersihan
bulu-bulu kecil dilakukan dengan tangan. Saat proses berlangsung, air dingin
disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit ayam tidak rusak, juga untuk
membersihkan bulu-bulu pada tubuh ayam.
h. Pemotongan kepala. Proses ini sebaiknya dilakukan di atas meja yang dilapisi
keramik atau porselen, atau baja tahan karat yang dilengkapi dengan keran air.
i. Pencucian. Pencucian dilakukan pada karkas ayam untuk membersihkan ayam
dari kotoran dan darah yang masih menempel pada karkas ayam.
j. Penggantungan kembali. Karkas yang telah dicuci kemudian digantung
kembali, untuk meniriskan air yang terdapat pada karkas, sehingga pada saat
pengemasan bobot karkas tidak bertambah.
k. Membuka rongga abdomen dan dada. Rongga perut dibuka dengan cara
mengiris kulit perut melintang dari anus hingga ke ujung tulang dada dengan
menggunakan pisau yang tajam. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar
daging dada dan usus tidak ikut terpotong.
13
l. Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan kesesuaian proses
pemotongan sudah sesuai, dan tidak sampai membelah perut dan dada terlalu
lebar yang nantinya akan mengurangi nilai jual karkas.
m. Pemanenan hati, jantung. Karkas dipegang dengan tangan kiri, dada karkas
menghadap ke atas. Menggunakan jari-jari tangan kanan, pertautan antara
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan pembuluh darah ayam dilonggarkan.
Ampela dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu ditarik.
n. Pemotongan saluran pencernaan. Pemotongan usus buntu dari usus halus
kemudian dilakukan. Pada beberapa tempat pemotongan unggas, usus
dibersihkan, dengan menyobek usus membujur searah panjang usus, dan isi usus
dikeluarkan dengan menyemprotkan air ke usus yang telah terbelah tersebut.
Kemudian usus dicuci bersih, selanjutnya direbus setengah matang, didinginkan,
dan dikemas.
o. Pemanenan ampela. Ampela dipisahkan dari hati dan jantung serta usus secara
hati-hati hingga tidak rusak dan empedu tidak pecah. Ampela dipisahkan dari
tembolok dan dicuci bersih, lalu dikemas.
p. Pengambilan paru-paru. Menggunakan jari tangan kanan paru-paru kemudian
dilepaskan dari karkas ayam.
q. Pemotongan leher. Leher kemudian dipisahkan dari kepala dan karkas, dicuci
dan dikemas.
r. Pemotongan kaki (ceker). Pemotongan dilakukan pada sendi di bawah lutut
sehingga hasil pemotongan membentuk seperti angka 8.
s. Pemotongan retail. Pemotongan retail dilakukan sesuai dengan permintaan.
Karkas dipotong menjadi delapan potong yang terdiri atas dua paha bawah, dua
paha atas, dua sayap, dua bagian dada.
t. Pencucian akhir. Setelah isi rongga perut dikeluarkan dan karkas dipotong-
potong, lalu karkas dicuci bersih.
u. Penyortiran. Klasifikasi kualitas karkas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
kualitas A (untuk pasar swalayan, rumah makan siap hidang, dan hotel-hotel),
kualitas B (untuk rumah makan padang atau pasar tradisional), dan kualitas C
(untuk karkas potongan dan karkas tanpa tulang/boneless).
v. Packing. Setelah proses pemotongan dan penyortiran, kemudian karkas
dikemas. Kemasan dapat berupa kantung plastik, styrofoam atau coolbox.
14
Ukuran kemasan disesuaikan dengan karkas atau produk sampingan yang akan
dibungkus.
w. Penyimpanan karkas dingin. Karkas yang telah dibungkus lalu diatur rapi
dalam keranjang karkas. Pada bagian atas dan samping keranjang ditutup
dengan hancuran es setebal kurang lebih 5-10 cm, lalu diatas lapisan es ini
diletakkan lagi bungkusan karkas. Demikian selanjutnya hingga keranjang
penuh. Selanjutnya semua produksi yang telah dikemas dan akan dikirim
dimasukkan ke dalam boks kendaraan pengangkut yang dilengkapi dengan
pendingin dengan suhu 0-15°C (TAS 2006).
Proses penyembelihan harus memenuhi persyaratan teknis dan
kesejahteraan ternak, ayam yang akan disembelih, penyembelih dan proses
pemotongan. Sebelum pemotongan, ayam-ayam tidak boleh makan, tetapi harus
diberi air minum, minimal 8-12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengosongkan
tembolok ayam sebelum menyembelih, untuk mencegah kemungkinan ekskresi isi
usus, kemudian dilakukan pemeriksaan ante-mortem yaitu pemeriksaan kesehatan
ayam sebelum menyembelih. Kesejahteraan ternak juga harus diperhatikan, yaitu:
bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit,
cedera dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, bebas dari rasa
takut dan stres (Deptan 2006).
Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam
Rumah pemotongan unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, serta
digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum.
Menurut SNI 01-6160 (BSN 1999), Rumah Pemotongan Unggas harus memiliki
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Tidak bertentangan dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) setempat dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota
(RBWK).
2. Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya, dan letaknya lebih
rendah dari rumah penduduk.
15
3. Memiliki sarana jalan yang baik untuk kendaraan pengangkutan daging
unggas.
4. Memiliki sumber air dan listrik yang cukup.
5. Memiliki tempat penurunan unggas hidup (unloading).
6. Memiliki kamar mandi dan wc.
7. Memiliki sarana penanganan limbah.
8. Memiliki daerah kotor (penurunan, pemeriksaan antemortem dan
penggantungan unggas hidup, pemingsanan, penyembelihan, scalding,
pencabutan bulu, pencucian karkas, pengeluaran jeroan dan pemeriksaan
postmortem, penanganan jeroan).
9. Memiliki daerah bersih (pencucian karkas, pendinginan karkas, seleksi,
penimbangan karkas, pemotongan karkas, pemisahan daging dan tulang,
pengemasan, penyimpanan segar).
10. Sistem saluran pembuangan limbah cair.
11. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di rumah pemotongan unggas
harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan
didensinfeksi serta mudah dirawat.
12. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan
yang tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didensinfeksi
serta mudah dirawat.
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Sanitasi diperlukan untuk menghilangkan kontaminan dan mencegah
terjadinya kontaminasi kembali pada karkas. Sumber kontaminasi dapat berasal
dari karkas itu sendiri, peralatan, air atau ruangan tempat penyembelihan. Prosedur
standar dalam proses sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure – SSOP)
meliputi delapan aspek, yaitu :
1. Keamanan air, yang didalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan
untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu.
2. Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan karkas, yang berisi standar
prosedur pembersihan dan sanitasi alat, frekuensi pembersihan dan petugas yang
bertanggung jawab.
16
3. Pencegahan kontaminasi silang, yang bertujuan untuk menghindari kontaminasi
silang dari pekerja dan karkas.
4. Kebersihan pekerja, meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan.
5. Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, untuk mencegah tercampurnya
bahan-bahan nonpangan seperti senyawa pembersih, sanitizer, serta cemaran
kimia dan fisik dengan karkas.
6. Penyimpanan karkas yang tepat sebelum dibeli konsumen.
7. Pengendalian kesehatan karyawan, agar karyawan yang menderita sakit tidak
menjadi sumber kontaminasi bagi karkas.
8. Pemberantasan hama yang tidak dikehendaki keberadaannya, seperti: tikus,
burung, nyamuk, kecoa, semut, lalat dan lebah (Winarno & Surono 2004).
Penyusunan SSOP harus memenuhi kelayakan antara lain:
pendokumentasian program sanitasi, pemantauan program kelayakan, penerapan
kelayakan dasar, melakukan tindakan koreksi jika kelayakan dasar tidak memenuhi
syarat, dan perekam program yang dilaksanakan (Wiryanti 2002). Juga perlu
dipertimbangkan tata letak bangunan, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi,
jendela dan pintu yang tidak mudah memunculkan penyebaran serangga. Bangunan
dapat terbuat dari bahan besi, kayu, stainless steel, logam monel, karet dan bahan
enamel. Sanitasi pada peralatan, ruang, pekerja, penanganan dan pengolahan
limbah juga perlu diperhatikan (Ditjen Keswan 1987).
17
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, mulai bulan Oktober 2010 -
April 2011. Pengambilan sampel pada titik kritis dilakukan pada 2 jenis tempat
pemotongan unggas yang berbeda (dibina dan belum dibina) pada empat
kecamatan di Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini, lokasi yang dipilih
berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Bentuk
pembinaan yang telah diberikan oleh Dinas Peternakan setempat adalah
pengarahan dan pelatihan terhadap sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga
bantuan berupa beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti
scalder, plucker, bak pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Kecamatan
yang diamati adalah Kecamatan Parung, Cibinong, Dramaga dan Cibungbulang.
Pada Kecamatan Parung, TPA binaan dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA
binaan berlokasi di sekitar pemukiman penduduk, sedangkan TPA belum dibina
berlokasi di pasar Parung. Pada Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina
berada pada satu desa, yaitu Desa Pakan Sari dan berlokasi di daerah pemukiman
penduduk. Pada Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari
yang dekat dengan pemukiman penduduk, TPA belum dibina berada di Desa Kidul
yang juga dekat dengan pemukiman penduduk. Kecamatan Cibungbulang TPA
dibina dan belum dibina berada pada satu desa yaitu Desa Dukuh dan berada di
daerah pemukiman penduduk.
Materi Penelitian
Bahan. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: sampel dari
pengamatan terhadap titik kritis di TPA; PCA; larutan Buffered Pepton Water
(BPW) 0.1 %; Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate
Tryptose Broth (LSTB).
Alat. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: termometer untuk
mengukur suhu air scalding; tabung Durham; cawan petri; pipet ukuran 1ml, 2ml,
5ml, 10ml; pipet volumetrik; botol media; penghitung koloni; gunting, pinset; ose
(jarum inokulasi); stomacher; pembakar bunsen; pH meter; timbangan; magnetic
18
stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator; penangas air; autoklaf; lemari steril;
lemari pendingin; freezer.
Prosedur Penelitian
Diagram Alir Penelitian. Penelitian dimulai dengan menentukan jumlah TPA
yang akan diamati dan dijadikan tempat pengambilan sampel. Kabupaten Bogor
terdiri atas 40 kecamatan, dan pada masing-masing kecamatan terdapat 5-20 buah
tempat pemotongan ayam (TPA). Dari 40 kecamatan tersebut, telah empat
kecamatan yang mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor dalam sanitasi dan hygiene, juga pemberian bantuan peralatan
berupa mesin plucker, scalder, meja eviserasi, bak pencuci karkas, dan freezer.
Pada empat kecamatan tersebut terdapat 20 buah TPA, dengan 4 buah TPA yang
telah dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA
yang akan diamati dan dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel, maka
digunakan rumus Levy dan Lameshow (1999), dan didapatkan hasil sebanyak 12
buah TPA yang akan diamati dan dijadikan tempat sebagai pengambilan sampel,
dengan 1 buah TPA dibina dan 2 buah TPA yang belum dibina pada masing-
masing kecamatan. Penentuan TPA yang diamati sesuai dengan rekomendasi yang
diberikan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Pengamatan di
lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang menilai kelayakan unit usaha TPA
yang mengacu pada Permentan (2005) dan kuisioner yang menilai tata cara
pemotongan ayam yang halal yang mengacu pada LPPOM MUI (2011). Pemberian
nilai pada masing-masing persyaratan dalam kuisioner dilakukan dengan
mempertimbangkan persyaratan yang terutama dan yang terpenting dari kuisioner
yang dapat menjamin keamanan dan kehalalan dari produk akhir yang dihasilkan.
Dari kuisioner tersebut didapat bobot penilaian untuk masing-masing TPA, apakah
TPA tersebut sudah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Permentan (2005)
dan LLPOM MUI (2011).
Sampel. Setelah dilakukan pengamatan dan penilaian pada masing-masing TPA
kemudian dilakukan penentuan titik kritis pada masing-masing TPA. Dari titik
kritis yang telah ditentukan kemudian dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang
diambil berupa karkas ayam bagian dada dan air cucian karkas ayam. Sampel yang
diteliti diambil sebanyak tiga ulangan, yaitu pada awal, tengah dan akhir produksi.
19
Masing-masing sampel kemudian ditempatkan di dalam plastik yang telah
disterilkan. Sampel-sampel lalu ditempatkan ke dalam cool box dan diberi batu es
selama dalam perjalanan, untuk mencegah tumbuhnya mikroba pada sampel.
Sampel-sampel yang diambil pada malam hari atau subuh langsung dibawa ke
Laboratorium Kesmavet J. Bambu Apus II Jaktim pada pagi harinya, lalu dianalisa
untuk mengetahui tingkat cemaran TPC pada karkas ayam dan air cucian karkas
ayam dan coliform pada karkas ayam.
Jumlah TPA pada empat kecamatan tersebut adalah 20 buah TPA dengan 4
buah TPA dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah
TPA yang akan dijadikan sebagai tempat pengamatan dan pengambilan sampel
yang diperlukan, menurut Levy dan Lemeshow (1999) dihitung dengan rumus:
z2 N Py (1-Py)
(N-1) ε2 Py
2 + z
2 Py (1-Py)
Keterangan :
N = jumlah populasi tempat pemotongan ayam
n = jumlah sampel yang diperlukan
ε = nilai error sebesar 30%
z = 1.96 dengan α = 0.05
Py = ppeluang jawaban 50% karena ada 2 pilihan jawaban, yaitu ya (1)
dan tidak (0)
Melalui rumus diatas didapat hasil 12 TPA sebagai tempat pengamatan.
Pada masing-masing kecamatan terdapat satu buah TPA dibina dan dua buah TPA
belum dibina.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kelayakan bangunan, proses
pemotongan ayam yang halal dan penghitungan jumlah mikroba.
1. Evaluasi Kelayakan Unit Usaha TPA
Pengamatan yang dilakukan di lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang
berisi pengamatan tentang kelayakan unit usaha TPA yang mengacu pada
Permentan (2005) yang meliputi: a) bangunan, b) fasilitas, c) sanitasi dan higiene,
d) higiene personal, serta e) bahan baku, penanganan dan pengolahan (yang
disesuaikan dengan jenis usaha). Dari bobot penilaian kelayakan unit usaha pada
n ≥
20
masing-masing TPA lalu dapat dibandingkan kelayakan unit usaha antara TPA
dibina dan TPA belum dibina.
2. Proses Pemotongan Ayam yang Halal
Pengamatan yang dilakukan dilapangan dilengkapi dengan kuisioner yang
mengacu pada LPPOM MUI (2011) yang berisi: a) sumber daya manusia, b)
prasarana, c) penyembelihan unggas, d) penanganan dan penyimpanan, e)
pengemasan dan pelabelan, f) transportasi. Dari bobot penilaian pemotongan ayam
yang halal pada masing-masing TPA lalu dapat dibandingkan pemotongan ayam
yang halal antara TPA dibina dan TPA belum dibina.
3. Penghitungan Jumlah Mikroba
Sampel yang diambil dari masing-masing TPA adalah karkas ayam bagian
dada dan air cucian karkas. Pengambilan sampel dilakukan pada akhir pengamatan.
Sampel yang diambil pada hari itu langsung dibawa ke Laboratorium Kesmavet Jl.
Bambu Apus II-Jaktim untuk langsung dianalisa jumlah TPC pada karkas ayam
dan air cucian karkas ayam, dan jumlah coliform pada karkas ayam. Prosedur
analisa penghitungan Total Plate Count (TPC) dan coliform yang di lakukan di
laboratorium adalah sebagai berikut :
a. Total Plate Count (TPC)
Total Plate Count dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang
terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang
ditumbuhkan pada media agar.
Media dan reagen yang digunakan: PCA dan BPW 0.1%.
Peralatan yang digunakan: cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, botol
media, penghitung koloni, gunting, pinset, ose (jarum inokulasi), stomacher,
pembakar bunsen, pH meter, timbangan, magnetic stirer, pengocok tabung
(vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril, lemari pendingin,
freezer.
Metode pengujian:
a. Contoh padat dan semi padat ditimbang sebanyak 25g lalu masukkan ke dalam
wadah steril.
21
b. 225 ml larutan BPW 0.1% steril ditambahkan ke dalam kantong steril yang
berisi contoh, dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit. Ini
merupakan larutan dengan pengenceran 10-1
.
c. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1
tersebut dipindahkan dengan pipet
steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2
.
d. Pengenceran 10-3
, 10-4
, 10-5
dibuat dan seterusnya dengan cara yang sama
seperti pada butir c), sesuai kebutuhan.
e. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke
dalam cawan petri secara duplo.
f. Sebanyak 15-20 ml PCA yang telah didinginkan hingga temperatur 45°C ± 1ºC
ditambahkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi. Agar
larutan contoh dan media PCA tercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran
cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan
sampai menjadi padat.
g. Diinkubasi pada temperatur 34ºC-36ºC selama 24-48 jam dengan meletakkan
cawan pada posisi terbalik.
b. Coliform
Metode Most Probable Number (MPN) terdiri atas uji presumtif (penduga)
dan uji konfirmasi (peneguhan), dengan menggunakan media cair di dalam tabung
reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif. Pengamatan tabung positif
dapat dilihat dengan timbulnya gas di dalam tabung Durham.
Media dan Reagen yang digunakan: larutan Buffered Pepton Water (BPW) 0.1
%, Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate Tryptose Broth
(LSTB).
Peralatan: tabung Durham; tabung reaksi; pipet ukuran 1ml, 2ml, 5ml, 10ml;
botol media; gunting; pinset; jarum inokulasi (ose); stomacher; pembakar bunsen;
ph meter; timbangan; magnetic stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator;
penangas air; autoclaf; lemari steril; lemari pendingin; freezer.
Metode pengujian:
a. Contoh padat dan semi padat ditimbang sebanyak 25 g lalu masukkan ke dalam
wadah steril.
22
b. Sebanyak 225 ml larutan BPW 0.1% steril ditambahkan ke dalam kantong steril
yang berisi contoh, homogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit. Ini
merupakan larutan dengan pengenceran 10-1
.
Uji Pendugaan:
a. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1
tersebut dipindahkan dengan pipet
steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2
. Dengan
cara yang sama seperti di atas dibuat pengenceran 10-3
.
b. Masing-masing 1 ml dari setiap pengenceran dipipet ke dalam 3 seri tabung
LSTB yang berisi tabung Durham.
c. Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 24-48 jam. Diperhatikan adanya gas
yang terbentuk di dalamm tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif apabila
terbentuk gas.
Uji Peneguhan (Konfirmasi):
a. Pengujian selalu disertai dengan kontrol positif.
b. Biakan positif dari Butir c) Uji Pendugaan dipindahkan dengan menggunakan
jarum inokulasi dari setiap tabung LSTB ke dalam tabung BGLBB yang berisi
tabung Durham.
c. Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 48 jam.
d. Diperhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji
dinyatakan positif bila terbentuk gas. Selanjutnya digunakan tabel (Most
Probable Number (MPN) untuk menentukan nilai MPN berdasarkan jumlah
tabung BGLBB yang positif sebagai jumlah koliform per milimeter atau per
gram (BSN 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kelayakan bangunan, proses
pemotongan yang halal serta penghitungan jumlah mikroba yang terdapat pada
karkas ayam dan air cucian karkas ayam. Penentuan lokasi pengamatan diambil
berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor terhadap TPA
binaan dan TPA belum dibina pada empat kecamatan di Kabupaten Bogor. Empat
kecamatan yang telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan Kabupaten
Bogor adalah Kecamatan Cibinong, Kecamatan Parung, Kecamatan Dramaga dan
Kecamatan Cibungbulang, dan pada masing-masing kecamatan terdapat satu buah
TPA yang telah dibina. Jumlah TPA pada kecamatan tersebut adalah 20 buah TPA
dengan 4 buah TPA dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk
menentukan jumlah TPA yang akan dijadikan sebagai tempat pengamatan dan
pengambilan sampel, maka digunakan rumus Levy & Lameshow (1999), sehingga
didapat hasil 12 TPA sebagai tempat pengamatan, dengan satu TPA dibina dan dua
TPA belum dibina untuk masing-masing kecamatan. Bentuk pembinaan yang telah
diberikan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Bogor adalah pengarahan dan
pelatihan untuk sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga pemberian beberapa
peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti scalder, plucker, bak
pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Di Kecamatan Parung, TPA
dibina dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA dibina berlokasi disekitar
pemukiman penduduk sedangkan TPA belum dibina berlokasi di pasar Parung. Di
Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu
Desa Pakan Sari. Di Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari,
TPA belum dibina berada di Desa Kidul. Kecamatan Cibungbulang TPA dibina
dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Dukuh.
(a) (b) (c)
24
(d) (e)
Gambar 2. Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor; (a) meja
eviserasi, (b) plucker, (c)bak pencuci, (d) scalder, (e) freezer
Evaluasi Kelayakan Unit Usaha TPA
Evaluasi kelayakan unit usaha TPA ini menggunakan kuisioner berdasarkan
Permentan (2005) yang berisi tentang bangunan, fasilitas, sanitasi dan higiene unit
usaha rumah pemotongan unggas yang terdiri atas: a) penanggung jawab kesehatan
hewan dan kesmavet; b) bangunan, fasilitas, sanitasi dan higiene; c) higiene
personal serta d) bahan baku, penanganan dan pengolahan (yang disesuaikan
dengan jenis usaha). Berdasarkan data kuisioner tersebut terhadap 12 TPA
penelitian maka didapatkan hasil seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Penilaian kelayakan unit usaha TPA penelitian
Kecamatan
Status Binaan
TPA dibina (%) TPA belum dibina (%)
A B
Cibinong
Dramaga
Cibubulang
Parung
54
55
64
55
34
35
38
22
39
29
39
32
Bobot penilaian: 75-100% = layak
50-75% = kurang layak
25-50% = tidak layak
0-25% = sangat tidak layak
Kriteria kelayakan pada bobot penilaian unit usaha TPA pada tabel diatas
diberikan sesuai dengan tingkatan persentase. Untuk penilaian tertinggi (75-100%)
diberikan kriteria layak, dan yang terendah (0-25%) diberikan kriteria sangat tidak
layak. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa semua TPA dibina berada pada kriteria
kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria tidak layak dan
kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai Permentan (2005)
yang belum dipenuhi oleh semua TPA.
Beberapa TPA belum dibina belum memiliki perijinan unit usaha yang
dikeluarkan oleh Dinas Peternakan setempat karena merupakan anak usaha dari TPA
dibina, dan bangunan belum bersifat permanen. Beberapa TPA dibina dan TPA belum
dibina belum melakukan pemisahan fisik antara ruangan kotor dan bersih sehingga
seluruh proses produksi dilakukan dalam satu ruangan yang tidak dapat mencegah
terjadinya kontaminasi pada karkas ayam selama proses produksi. TPA di Kecamatan
Parung baik binaan maupun belum dibina memiliki bobot penilaian kelayakan bangunan
terkecil dibandingkan dengan TPA pada kecamatan lainnya karena bangunan merupakan
bangunan terbuka dan bukan bangunan permanen, dan tidak ada pemisahan fisik antara
ruangan bersih dan kotor dan seluruh proses produksi dilakukan pada satu ruangan.
25
26
Tabel 4 Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005)
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
I. Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet
1. Tersedia dokter hewan
penanggung jawab kesehatan
hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner
1.0 0* 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
II. Lokasi dan Lingkungan
2. Lokasi unit usaha sesuai
dengan alamat yang
tercantum dalam perijinan
1.0 1** 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
3. Ada pemisahan fisik antara
PRB dan RPH/RPU
1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4. Penyimpanan dan penanganan
sampah, limbah dan peralatan
baik
1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1
5. Tidak terdapat debu yang
berlebihan di jalanan dan
tempat parkir
1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
6. Sistem pembuangan limbah
cair/saluran baik
1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1
III. Konstruksi Bangunan Utama
7. Dilakukan pemisahan secara
fisik antara ruangan bersih
dan kotor
2.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
* 0 = tidak
** 1 = ya
26
No
Aspek yang dinilsi
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
8. Ruang pengolahan tidak
berhubungan langsung dengan
toilet/kamar mandi, tempat
ganti pakaian, tempat tinggal,
garasi dan bengkel
1.0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0
9. Ada langit-langit (plafon) 1.0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0
10. Langit-langit bebas dari
kemungkinan catnya
rontok/jatuh atau dalam
keadaan kotor dan tidak
terawat
1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0
11. Langit-langit rata, tidak retak
atau berlubang
1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0
12. Dinding setinggi 2 meter
terbuat dari bahan yang kedap
air, mudah dibersihkan dan
didisinfeksi
1.0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0
13. Permukaan rata, tidak retak
atau berlubang
1.0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0
14. Dinding di ruang pengolahan
tidak berwarna gelap
1.0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0
15. Pertemuan antara lantai dan
dinding lengkung
1.0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16. Bahan lantai kedap air, tidak
licin, mudah dibersihkan dan
didisinfeksi
1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
27
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
17. Tidak ada bagian dinding
yang memungkinkan untuk
meletakkan/menyimpan
barang/peralatan
1.0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1
18. Tidak banyak genangan
cairan, tumpukan kotoran/air
tidak mengalir ke saluran
pembuangan
1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
IV. Bangunan utama RPU
19. Daerah Kotor:
Tempat penurunan unggas
hidup, pemeriksaan
antemortem dan
penggantungan unggas hidup
1.0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
20. Pemingsanan (stunning) 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21. Penyembelihan (killing) 1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
22. Pencelupan ke air panas
(scalding tank)
2.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
23.
24.
25.
Pencabutan bulu
Pencucian karkas
Pengeluaran jeroan
2.0
2.0
2.0
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
26. Pemeriksaan postmortem 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27. Penanganan jeroan 2.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
28. Daerah Bersih:
Tempat pencucian karkas
2.0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
29. Tempat pendinginan karkas 1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
28
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
30. Seleksi (grading) 1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
31. Penimbangan karkas 1.0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0
32. Pemotongan karkas (cutting) 2.0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0
33. Pemisahan daging dari tulang 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34. Pengemasan 2.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
35. Penyimpanan segar (chilling
room)
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
V. Penerangan
36. Lampu di ruang pengolahan,
pengemasan dan
penyimpanan bahan baku
perpelindung
1.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37. Penerangan pada tempat
pemeriksaan (inspeksi) cukup
(<540 luks)
1.0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1
VI. Ventilasi
38. Sirkulasi udara di ruang
proses produksi baik (tidak
pengap)
1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
39. Terjadi akumulasi kondensasi
di atas proses pengolahan dan
penyimpanan produk
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
VII. Saluran Pembuangan
40. Kapasitas saluran
pembuangan lancar
1.0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1
41. Saluran pembuangan tertutup
dan dilengkapi bak kontrol
2.0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 29
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
VIII. Pasokan Air
42. Jarak terdekat sumber air
dengan tempat pembuangan
limbah cair/septic tank lebih
dari 8m
1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0
43. Tersedia pasokan air bersih
dalam jumlah cukup
2.0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1
44. Dilakukan pemeriksaan
kualitas air bersih di
laboratorium minimal sekali
dalam setahun
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
IX. Es (Persyaratan Khusus TPA)
45. Terbuat dari air yang
memenuhi persyaratan air
bersih
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
46. Ditangani secara higienis 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X. Penanganan Limbah dan Kotoran
47. Limbah ditangani dengan baik 1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1
48. Fasilitas pembuangan
sampah/kotoran dalam ruang
proses tertutup
1.0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1
XI. Toilet
49. Terpelihara dengan baik 1.0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
50. Fasilitas untuk pencucian
tangan, seperti sabun, cukup
atau tersedia
1.0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
30
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibungb
ulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
XII. Ruang Ganti Pakaian
51. Ada, terawat dan tidak kotor 1.0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
XIII. Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep
52. Memiliki fasilitas untuk
membesihkan sepatu boot
1.0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
53. Fasilitas cuci tangan berfungsi 1.0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
54. Fasilitas cuci tangan
dioperasikan dengan tangan
dan dilengkapi dengan
petunjuk mencuci tangan
1.0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
55. Setiap pintu masuk ruang
pengolahan memiliki fasilitas
cuci tangan dan foot deep
1.0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
XIV. Peralatan dan Wadah
56. Terbuat dari bahan yang
kedap air, mudah korosif,
toksik, mudah dibersihkan
dan didisinfeksi
1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
57. Terawat dengan baik atau
disimpan ditempat yang
seharusnya
1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
XV. Kemasan
58. Terbuat dari bahan yang tidak
toksik, tidak bereaksi dengan
produk, dan mampu
mencegah terjadinya
kontaminasi terhadap produk
2.0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
31
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
59. Disimpan pada ruang khusus 1.0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
XVI. Program Pengendalian Serangga dan Rodensia
60. Program pengendalian
serangga, tikus/rodensia dan
binatang pengganggu lainnya
di lingkungan unit usaha
efektif
1.0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
61. Memiliki program tertulis
dalam pengendalian serangga
dan rodensia
1.0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
62. Lubang angin dilengkapi
dengan kasa untuk mencegah
masuknya serangga
1.0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
63. Tirai udara (air curtain), tirai
plastik dan alat pencegah
serangga lainnya ada dan
efektif
1.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
XVII. Pembersihan dan Desinfeksi
64. Memiliki program
pembersihan dan disinfeksi
1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
65. Metode pembersihan dan
disinfeksi efektif
1.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
66. Peralatan dan wadah dicuci
dengan air bersih dan
disanitasi setelah digunakan
1.0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1
32
No
Apek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
XVIII. Bahan-bahan Kimia
67. Bahan kimia, sanitizer dan
bahan tambahan pangan
diberi label dan disimpan
dengan baik
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
68. Penggunaan bahan kimia dan
bahan tambahan pangan yang
diizinkan
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
XIX. Higiene Personal
69. Karyawan yang berhubungan
langsung dengan produk
dalam kondisi sehat
1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
70. Kebersihan karyawan yang
berhubungan langsung dengan
produk terjaga dengan baik
1.0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1
71. Tidak ada kontaminasi silang
(makan, meludah, merokok)
1.0
1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0
72. Pelatihan pekerja dalam hal
sanitasi dan higienis cukup
1.0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
XX. Penerimaan Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan
73. Pemeriksaan ante mortem
pada ternak yang akan
dipotong dilakukan oleh
dokter hewan/para medik
veteriner
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
74. Pemeriksaan ante mortem
dilakukan secara teratur
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 33
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung
Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
75. Dilakukan pencatatan
terhadap hasil pemeriksaan
antemortem
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
76. Penanganan hewan hidup
memenuhi aspek kesrawan
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
77. Pemeriksaan post mortem
dilakukan secara teratur
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
78. Pemeriksaan post mortem
pada setiap hewan dilakukan
oleh dokter hewan /para
medik veteriner
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
79. Dilakukan pencatatan
terhadap hasil pemeriksaan
post mortem
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
XXI. Pembekuan
80. Memiliki fasilitas blast
freezer
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
81. Dilengkapi dengan display
themometer pada ruangan
blast freezer dan cold storage
1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
XXII. Pelabelan
82. Produk yang sudah dalam
bentuk beku mempunyai label
dan tanda atau etiket
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
XXIII. Penyimpanan
83. Memiliki chill room untuk
penyimpanan produk segar
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34
No
Aspek yang dinilai
Bobot
Nilai
(%)
Status Binaan
TPA dibina TPA belum dibina
Cibinong Dramaga Cibung-
bulang
Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
A B A B A B A B
84. Memiliki cold storage untuk
penyimpanan produk beku
1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
85. Produk akhir yang disimpan
dalam gudang beku terpisah
dengan bahan lain
1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
XXIV. Pengujian Laboratorium
86. Ada program pengujian
laboratorium terhadap produk
akhir
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
87. Ada program monitoring
efektivitas program sanitasi
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
88. Dilakukan dokumentasi
terhadap hasil pengujian
laboratorium
1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 100 54 55 64 54 34 39 35 29 38 39 22 32
Bobot penilaian: 75-100% = layak
50-75% = kurang layak
25-50% = tidak layak
0-25% = sangat tidak layak
35
Dari tabel 4 dapat dilihat pada semua TPA penelitian tidak tersedia dokter hewan
yang bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Pada semua TPA penelitian tidak dilakukan pemeriksaan ante mortem secara visual pada
ternak yang akan disembelih, seperti bersin-bersin, mata kemerahan, mata sayu, feses
kehijauan, lesu, pucat, pial berdiri, jengger berwarna kebiruan, perut kembung, dari
mulut keluar lendir, bulu berdiri/kusam, dubur agak panjang. Ayam-ayam yang datang
dari peternakan hanya ditempatkan di dalam keranjang yang disusun bertumpuk ke atas,
dan hanya beberapa TPA yang menyediakan kandang sebagai tempat istirahat ayam
sebelum disembelih. Tidak tersedianya dokter hewan pada semua TPA penelitian karena
merupakan TPA skala kecil/rumahan, dengan total produksi ±100-1500 ekor/hr.
Pemasaran produk hanya pada pasar tradisional yang tidak dapat menjamin kebersihan
produk, dan sebagian besar konsumennya berasal dari kalangan menengah kebawah yang
tidak peduli dengan jaminan keamanan produk yang dibeli.
Perijinan lokasi unit usaha untuk kedua TPA belum dibina di Kecamatan
Cibungbulang belum ada, karena kedua TPA tersebut masih merupakan anak usaha dari
TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang. Semua bangunan TPA penelitian merupakan
bangunan yang berdiri sendiri dan tidak terdapat rumah potong babi (RPB) disekitar
lokasi TPA penelitian. Sistem penanganan sampah dan limbah cair untuk semua TPA
penelitian telah sesuai dengan persyaratan Permentan (2005), kecuali untuk kedua TPA
belum dibina di Kecamatan Dramaga dan TPA A di Kecamatan Parung. Pada TPA
belum dibina A di Kecamatan Dramaga, limbah dari proses produksi dibuang ke kolam
ikan lele yang terdapat di sebelah ruang produksi, dan limbah dari proses prduksi dari
TPA belum dibina B di Kecamatan Dramaga disalurkan ke kali yang berada di depan
bangunan TPA. Jarak antara kali dengan sumur yang berada di dalam bangunan TPA
kurang dari 8 m, sehingga tidak sesuai dengan persyaratan Permentan (2005), yaitu jarak
antara sumur dan tempat pembuangan limbah tidak boleh kurang dari 8 m. TPA belum
dibina A di Kecamatan Parung berlokasi disekitar Pasar Parung yang kotor dan becek,
dan sistem pembuangan limbah dan sampah pada TPA tersebut tidak tertutup dan tidak
lancar, dan bangunan TPA berada di sebelah tempat pembuangan sampah yang sudah
menggunung, sehingga tidak menjamin kebersihan produk akhir yang dihasilkan.
36
37
(a) (b) (c)
Gambar 3. (a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga, (c) TPA belum dibina A
Parung
Konstruksi bangunan utama pada TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang
telah sesuai dengan Permentan (2005), yaitu telah ada pemisahan fisik antara ruang
bersih dan kotor, ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan
toilet/kamar mandi; langit-langit rata, tidak retak/berlubang; permukaan dinding
rata dan tidak retak/berluang, berwarna terang dan terbuat dari bahan yang kedap
air, mudah untuk dibersihkan dan didesinfetsi; lantai terbuat dari bahan yang tidak
licin, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, dan tidak banyak genangan
cairan/tumpukan kotoran pada permukaan lantai.
(a) (b)
Gambar 4. Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di KecamatanCibungbulang,
(b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga.
Banguna TPA penelitian selebihnya belum sesuai dengan kelayakan
bangunan yang mengacu pada Permentan (2005), terutama untuk semua bangunan
TPA belum dibina yang belum melakukan pemisahan fisik antara ruang bersih dan
38
kotor. Bangunan TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga berukuran 10x6 m,
bukan merupakan bangunan permanen yang terbuat dari bambu, dan pada lantai
masih banyak terdapat genangan air dan kotoran pada saat proses produksi. Ruang
produksi bersebelahan dengan kandang unloading, dan di bawah kandang terdapat
kolam ikan lele, dan keadaan ini tidak sesuai dengan Permentan (2005). Bangunan
TPA belum dibina A di Kecamatan Parung berukuran 4x4 m, bukan bangunan
permanen dan merupakan bangunan terbuka.
Kandang unloading adalah kandang tempat penerimaan ayam, pemeriksaan
ante mortem, penghitungan jumlah ayam dan pengistirahatan ayam sebelum
disembelih. Hanya empat dari 12 TPA penelitian yang memiliki kandang
unloading yaitu TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang, TPA dibina di
Kecamatan Parung, TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga dan TPA belum
dibina B di Kecamatan Parung. TPA selebihnya tidak memiliki kandang unloading
karena keterbatasan lahan sehingga tidak dapat disediakan kandang unloading.
Ayam-ayam yang akan disembelih ditempatkan di dalam keranjang plastik dan
ditumpuk bersusun ke atas, sehingga kotoran ayam yang berada di dalam keranjang
teratas jatuh dan mengotori ayam-ayam yang berada di bawah. Kontaminasi pada
ayam di TPA dimulai pada saat unloading. Kotoran fekal merupakan sumber
kontaminasi bakteri coliform, E.coli dan Campylobacter pada karkas ayam (Smith
et al. 2007). Kontaminasi pada ayam dapat terjadi sewaktu ayam masih berada di
peternakan. Campylobacter, Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus,
Escherichia coli dan Yersinia merupakan bakteri patogen utama yang
menkontaminasi ayam di peternakan (Cox et al. 2005). Ayam yang mati pada saat
diperjalanan atau pada saat istirahat dipisahkan dari ayam hdup.
Stunning (pemingsanan) tidak dilakukan pada semua TPA penelitian, tetapi
hanya dilakukan pada RPA skala industri. Fungsi stunning adalah untuk
pemingsanan ayam dalam waktu sementara, dengan mencelupkan kepala ayam ke
dalam bak berisi air yang dialiri listrik bertegangan 60-70 volt selama tiga detik.
Proses penyembelihan ayam di TPA penelitian dilakukan di atas keranjang
tempat ayam, sehingga darah ayam dan kotoran ayam yang dikeluarkan ayam pada
saat penyembelihan jatuh dan mengotori ayam-ayam yang berada di dalam
keranjang di bawahnya. Kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas dapat
terjadi pada saat proses penyembelihan (Mead 2004). Campylobacter terdapat pada
39
sistem sirkulasi darah ayam (Richardson et al. 2011). Penyembelihan dilakukan
dengan memotong saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea),
dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri carotis)
sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis (CAC 1997).
Penyembelihan dilakukan oleh seorang muslim yang berumur lebih dari 18 tahun,
menghadap kiblat dan mengucapkan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”
(LPPOM MUI 2011). Setelah disembelih, ayam-ayam kemudian diletakkan
bertumpuk di dalam tong plastik untuk proses pengeluaran darah, sehingga darah
ayam tidak keluar dengan sempurna, dan darah ayam dan kotoran ayam mengotori
bulu-bulu dan kulit ayam,. Pengeluaran darah harus dilakukan sampai tuntas,
karena darah yang tersisa akan menyebabkan penurunan mutu karkas ayam dan
mempengaruhi warna kulit, juga berpotensi sebagai media pertumbuhan
mikroorganisme, sehingga pada proses penyimpanan karkas akan cepat rusak.
Ayam yang telah disembelih dan dikeluarkan darahnya kemudian direbus di
dalam scalder, dengan suhu air 55-60ºC selama 45 menit. Scalding bertujuan untuk
mempermudah proses pembuluan pada saat proses pencabutan bulu. Scalder yang
digunakan pada beberapa TPA penelitian terbuat dari tong besi yang sudah hitam
dan kotor, kecuali TPA dibina Cibinong dan TPA dibina Cibungbulang
menggunakan scalder yang terbuat dari stainless steel. Kotoran dari bulu dan kulit
ayam mencemari air di dalam scalder yang tidak pernah diganti dari awal hingga
akhir proses. Air di dalam scalder hanya ditambah jika air telah berkurang.
Kontaminasi Salmonella, colyform dan e.coli pada karkas ayam dapat terjadi pada
saat porses scalding (Liljebjelke et al. 2009). Kontaminasi silang mikroba antara
karkas dapat terjadi saat proses scalding (Cason dan Hinton 2006). Api yang
digunakan pada proses scalding pada semua TPA dibina dan beberapa TPA belum
dibina berasal dari gas elpiji, sehingga tidak menimbulkan asap, tetapi pada
beberapa TPA belum dibina masih menggunakan kayu bakar, sehingga asap yang
ditimbulkan dari kayu bakar berbahaya bagi kesehatan para pekerja yang
menghirupnya dalam jangka waktu panjang. Asap kayu bakar memiliki ukuran
partikel yang cukup kecil sehingga bila terhirup hingga ke bagian terdalam dari
paru-paru dapat menyebabkan peradangan.
Ayam yang telah direbus kemudian dimasukkan ke dalam plucker untuk
mencabut bulu. Pada saat proses plucking, air dingin disiramkan ke dalam mesin
40
plucker agar kulit ayam tidak rusak dan untuk membersihkan bulu-bulu yang
tercabut dari tubuh ayam. Bulu-bulu yang telah dicabut dengan plucker kemudian
dikumpulkan di dalam karung plastik. Karkas ayam kemudian ditumpuk di lantai
bangunan tanpa dialasi, sehingga karkas kembali terkotori oleh darah dan kotoran
ayam.
Eviserasi adalah proses pengeluaran jeroan dari dalam tubuh ayam dengan
cara membuat irisan yang cukup besar pada bagian kloaka dan seuruh isi perut
ditarik keluar. Proses eviserasi pada TPA penelitian dilakukan di lantai, sehingga
karkas ayam bercampur dengan darah dan kotoran ayam. Jeroan ayam kemudian
dipisah antara jantung, ampela, empedu dan usus. Jeroan ayam mengandung
Campylobacter, colyform dan E.coli (Windham 2005). Isi usus dikeluarkan di
lantai, sehingga mengotori karkas ayam yang masih tersisa di lantai tanpa alas, lalu
usus dicuci dan direbus di dalam tong yang tadi dipergunakan untuk proses
scalding. Usus kemudian dikemas di dalam kantung plastik yang terpisah dengan
jeroan lainnya.
Proses pencucian karkas ayam dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan
setelah proses eviserasi. Pada TPA belum dibina B di Kecamatan Dramaga dan
TPA belum dibina A di Kecamatan Parung proses pencucian dilakukan sebelum
proses eviserasi, karena kedua TPA tersebut tidak melakukan proses plucking
(pembuluan), melainkan langsung melakukan pengulitan pada ayam. Ayam yang
telah dikuliti kemudian langsung dikeluarkan jeroannya dan tidak dicuci kembali
setelah proses eviserasi. Hal ini sesuai dengan permintaan konsumen, yang
bertujuan agar darah ayam tetap menempel pada karkas ayam, sehingga dapat
meningkatkan kegurihan pada saat proses pemasakan ayam. Pada TPA penelitian
lainnya proses pencucian karkas ayam dilakukan setelah proses eviserasi. Karkas
ayam direndam di dalam tong yang berisi air yang tidak pernah diganti dari awal
hingga akhir proses, sehingga air dapat mencemari karkas yang direndam
berikutnya.
Pendinginan karkas ayam hanya dilakukan pada keempat TPA dibina,
karena hanya TPA dibina yang mendapat fasilitas freezer dari Dinas Peternakan
Kabupaten Bogor, sedangkan TPA belum dibina tidak memiliki freezer karena
karkas ayam langsung dibawa ke pasar, dan dijual dalam bentuk segar. Proses
seleksi hanya dilakukan oleh TPA dibina Kecamatan Parung, karena pemasaran
41
telah telah memasuki supermarket dan pemasaran hingga sampai keluar propinsi.
Proses penimbangan karkas tidak dilakukan oleh semua TPA penelitian, karena
setelah proses pencucian, karkas ayam langsung dikemas ke dalam karung plastik
atau kantung plastik. Pemotongan karkas ayam menjadi beberapa bagian hanya
dilakukan oleh TPA dibina di Kecamatan Dramaga, Kecamatan Cibungbulang dan
Kecamatan Parung, juga pada kedua TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga
dan TPA belum dibina A di Kecamatan Parung. Proses deboning tidak dilakukan
oleh semua TPA penelitian karena deboning hanya dilakukan pada RPA skala
besar/industri.
Fungsi kemasan adalah menjaga kebersihan produk, melindungi produk dari
kerusakan fisik, perubahan kimiawi ataupun kontaminasi mikroorganisme,
menambah umur simpan produk, melindungi produk dari perubahan kadar air dan
penyinaran, mempermudah pengangkutan produk dari produsen hingga sampai ke
konsumen dan agar dapat menampilkan produk dengan cara yang menarik.
Pengemasan biasanya menggunakan bahan yang baik, tidak merusak produk dan
tidak membahayakan kesehatan manusia. Pengemasan karkas pada TPA penelitian
masih menggunakan karung plastik bekas yang dicuci di dalam tong yang juga
dipergunakan untuk mencuci karkas ayam, kantung plastik dan keranjang plastik.
TPA dibina Parung menggunakan kemasan wadah styrofoam untuk produk-produk
jeroan dan karkas ayam yang telah dipotong partial, seperti dada, paha, sayap, kaki
bawah dan bagian lainnya yang sesuai dengan pesanan konsumen. Chilling room
merupaka tempat penyimpanan sementara produk, dan tidak tersedia fasilitas
chilling room untuk semua TPA penelitian.
Bangunan TPA dibina dan belum dibina A di Kecamatan Parung
merupakan bangunan terbuka, sehingga tidak terdapat ventilasi pada bangunan.
Proses produksi dilakukan pada pagi hari, sehingga kedua TPA tersebut tidak
menggunakan penerangan pada saat melakukan proses produksi walaupun fasilitas
penerangan tersedia pada kedua TPA tersebut.
Sumber air yang digunakan pada semua TPA penelitian berasal dari sumur
yang jaraknya dengan ruang proses produksi tidak kurang dari 8 m, kecuali untuk
kedua TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dan TPA beum dibina A di
Kecamatan Parung. Jarak antara sumur dan ruang proses produksi pada ketiga TPA
tersebut kurang dari 8 m, sehingga hal ini tidak sesuai dengan Permentan (2005).
42
Pemberian es pada kemasan produk hanya dilakukan oleh TPA dibina di
Kecamatan Parung. Karkas yang telah dikemas di dalam cool box kemudian
ditambahi dengan batu es, agar pertumbuhan mikroba pada karkas dapa dicegah.
Fasilitas toilet dan ruang ganti pakaian hanya tersedia pada TPA dibina di
Kecamatan Cibinong, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Cibungbulang dan pada
TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga. FAsilitas cuci tangan hanya tersedia
pada TPA dibina di Kecamatan Dramaga dan Kecamtan Cibungbulang.
(a) (b)
Gambar 5. (a) fasilitas cuci tangan, (b) toilet
Setelah seluruh proses selesai, peralatan, lantai dan keranjang-keranjang
hanya disiram dengan air dan disikat tanpa didesinfeksi, sehingga kotoran masih
menempel pada peralatan, lantai dan terutama keranjang. Fungsi desinfektan dalam
proses sanitasi adalah untuk membunuh mikroorganisme yang terdapat pada
karkas. Desinfektan yang biasanya digunakan pada RPA adalah Chlorine Dioxide
dan Quartenary Ammonium Chloride (QAC) yang dapat mereduksi
mikroorganisme stabil terhadap reaksi dengan bahan organic, tahan terhadap korosi
logam, stabil terhadap panas, tidak menyebabkan iritasi terhadap kulit, dan efektif
pada pH tinggi. Keranjang-keranjang kemudian ditumpuk kembali di sudut
ruangan. Keranjang nanti akan dipergunakan untuk memuat ayam-ayam.
Campylobacter adalah bakteri patogen yang dapat berasal dari feses, jika tertinggal
pada keranjang ayam dapat menyebabkan kontaminasi silang pada ayam yang akan
menempati keranjang selanjutnya (Berrang et al. 2004).
Pekerja yang bekerja pada TPA penelitian seringkali tidak menjaga
kebersihan pada saat melakukan proses produksi. Pekerja tidak menggunakan
43
sarana pengaman pada saat melakukan proses produksi seperti masker, sepatu boot,
dan harnet rambut. Pada saat melakukan proses produksi tak jarang para pekerja
melakukannya sambil merokok, meludah dan bahkan makan/minum, sehingga
dapat menyebabkan kontaminasi silang antara pekerja dan produk yang dihasilkan.
Abu rokok, rambut, dan sisa makanan/minuman yang berasal dari para pekerja
dapat mengotori produk akhir, sehingga dapat mempengaruhi kualitas produk yang
dihasilkan.
Pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas
ayam setelah disembelih akibat penyakit yang belum teramati pada pemeriksaan
antemortem yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang (BSN 1999).
Pemeriksaan post mortem tidak dilakukan pada semua TPA penelitian.
Penyimpanan produk beku hanya dilakukan oleh TPA dibina di Kecamatan Parung.
Karkas ayam disimpan di dalam empat buah consolite dengan suhu yang mencapai
-10ºC, karena karkas akan dipasarkan hingga ke luar propinsi, bahkan hingga ke
propinsi Papua. Pengujian laboratorium terhadap produk akhir dan kualitas air
tidak pernah dilakukan oleh semua TPA penelitian, sehingga tidak tersedia
dokumentasi dan informasi tentang jaminan keamanan dari produk akhir yang
dihasilkan kepada konsumen.
Proses Pemotongan Ayam yang Halal
Untuk melakukan proses pemotongan ayam yang halal diperlukan sumber
daya manusia (SDM), prasarana, penyembelihan ayam, penanganan dan
penyimpanan, pengemasan dan pelabelan serta transportasi. Berdasarkan kuisioner
tata cara pemotongan ayam yang halal ditempat pemotongan ayam pada TPA
penelitian, maka didapat data sebagai berikut.
Tabel 5. Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal di TPA penelitian
mengacu pada LPPOM MUI (2011)
Kecamatan Status Binaan
TPA dibina (%) TPA belum dibina (%)
Cibinong
Dramaga
Cibubulang
Parung
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Bobot penilaian: 75-100% = sesuai
50-75% = kurang sesuai
25-50% = tidak sesuai
0-25% = sangat tidak sesuai
44
Pada tabel diatas didapat hasil untuk penilaian tata cara pemotongan ayam
yang halal pada TPA penelitian adalah telah sesuai (100%) dengan tata cara
pemotongan ayam yang halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI (2011). Tidak
ada perbedaan pada semua TPA penelitian, karena tidak adanya perbedaan dalam
tata cara penyembelihan ayam yang dilakukan di semua TPA penelitian.
Tidak adanya perbedaan pada tata cara pemotongan halal karena seluruh
proses pemotongan ayam halal pada 12 TPA penelitian adalah sama. Sebelum
disembelih, ayam-ayam diistirahatkan, agar ayam tidak stress, sehingga pada
proses pengeluaran darah, darah yang keluar menjadi lancar. Petugas penyembelih
adalah seorang muslim yang berusia lebih dari 18 tahun. Petugas penyembelih
dalam keadaan sehat dan tidak merangkap sebagai pekerja di rumah potong babi
(RPB). Penyembelihan menghadap kiblat dan mengucapkan
“Bismillahirrahmanirrahim”. Penyembelihan dilakukan dengan memotong
oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis, melakukan satu kali sembelih
(tidak mengangkat pisau ketika menyembelih), dan penyembelihan dilakukan dari
leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher. Sebelum memasuki proses
berikutnya unggas harus benar-benar mati (2 menit). Karkas dan jeroan yang tidak
halal dimusnahkan.
Pada prinsipnya bangunan fisik yang digunakan dalam proses produksi
pangan halal dapat dirancang sedemikian rupa sehingga produk yang dihasilkan
terhindar dari kontaminasi dan masuknya barang-barang najis atau haram ke dalam
produk yang dihasilkan. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam
bangunan fisik ini antara lain adalah: bangunan harus terletak di lokasi yang cukup
jauh dari peternakan babi atau hewan yang tidak halal yang dapat mengkontaminasi
proses produksi halal, memiliki sistem sanitasi dan fasilitas pembuangan yang
dapat menjamin kebersihan produk dari barang haram atau najis, memiliki sistem
pengamanan dari masuknya binatang haram dan najis di lingkungan pabrik,
memiliki sumber air yang sehat dan tidak tercemar oleh barang-barang najis dan
kotor (Apriyantono et al. 2007).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kesesuaian pemotongan
ayam yang halal untuk mengetahui sejauh mana tingkat kehalalan ayam-ayam yang
disembelih di 12 TPA di Empat Kecamatan di Kabupaten Bogor. Hasil evaluasi
45
terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang halal pada TPA binaan dan
belum dibina yang mengacu pada LPPOM MUI (2011) tersaji pada Tabel 9.
Tabel 6. Hasil evaluasi terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang halal
pada TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011)
No.
Proses pemotongan
TPA*
Dibina Belum
dibina
1 Petugas penyembelih dikontrol dan disuprevisi LPPOM
MUI
0/4 0/8
2 Penyembelih beragama Islam, berumur >18 tahun dan
sehat jiwa dan jasmani
4/4 8/8
3 Penyembelih lulus pelatihan halal oleh lembaga
Islam/instnasi terkait
0/4 0/8
4 Penyembelih memahami tata cara penyembelihan sesuai
Syariat Islam
4/4 8/8
5 Penyembelih memiliki kartu identitas dari Lembaga
Sertifikasi Halal oleh MUI/lembaga yang berwenag
0/4 0/8
6 TPA hanya untuk daging halal 4/4 8/8
7 Lokasi TPA terpisah dari RPH/peternakan babi 4/4 8/8
8 Fasilitas TPA tidak terkontaminasi dengan produk non
halal
4/4 8/8
9 Alat penyembelih harus tajam, bukan kuku, gigi/taring,
tulang
4/4 8/8
10 Sebelum disembelih ayam diistirahatkan 4/4 8/8
11 Pengendalian ayam seminimal mungkin sehingga tidak
stress dan kesakitan
4/4 8/8
12 Penyembelihan menghadap kiblat dan mengucapkan
“Bisillahirrahmanirrahim”
4/4 8/8
13 Memotong oesophagus, trachea, vena jugularis dan
arteri carotis
4/4 8/8
14 Penyembelihan hanya sekali dari leher depan dan tidak
memutus tulang leher
4/4 8/8
15 Karkas dan jeroan tidak halal harus dimusnahkan 4/4 8/8
16 Ruang penyimpanan bebas dari produk babi 4/4 8/8
17 Kemasan memiliki identitas/label halal 0/4 0/8
18 Alat transportasi tidak digunakan untuk produk non
halal, bebas dari najis dan cemaran lain
4/4
8/8 *) jumlah TPA yang telah sesuai per jumlah yang diamati untuk masing-masing jenis TPA
Ada beberapa dari kesesuaian hasil pemotongan ayam yang halal yang
mengacu pada LPPOM MUI (2011) yang belum dipenuhi oleh TPA penelitian,
seperti seluruh petugas penyembelih pada 12 TPA penelitian mendapatkan
pelatihan tata cara pemotongan halal dari Mesjid setempat dan bukan dari LPPOM
MUI atau dari instansi terkait, sehingga belum memiliki kartu identitas, petugas
46
belum dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang
diakui LPPOM MUI dan belum ada label halal pada kemasan produk. Jika semua
kesesuaian telah dipenuhi, maka tinggal selangkah lagi bagi semua TPA penelitian
untuk mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi yang
diakui LPPOM MUI.
Kontaminasi Bakteri pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas
Proses produksi pada TPA penelitian terdiri dari 10 tahapan. Pada masing-
masing tahapan dapat terjadi titik kritis. Pada penelitian ini ditentukan titik yang
paling kritis, lalu dilakukan pengambilan sampel pada titik yang paling kritis
tersebut.
Gambar 6. Tahapan proses produksi pada TPA penelitian
1. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan
biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik kecuali untuk TPA dibina
Penerimaan ayam hidup 1
Penyembelihan 2
Pengeluaran darah 3
Scalding 4
Plucking
Eviserasi
5
Eviserasi 6
Pencucian karkas 7
Penanganan jeroan
Pengemasan karkas dan jeroan
8
9
7
Pembersihan peralatan dan bangunan
10
7
47
Cibungbulang, TPA belum dibina B Kecamatan Parung dan TPA belum dibina
B Kecamatan Dramaga, ayam ditempatkan di dalam kandang unloading. Ayam
diistirahatkan selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan. Tidak
dilakukan pemeriksaan antemortem secara visual (bersin-bersin, menunduk,
mata kemerahan, mata sayu, perut kembung, jengger berwarna kebiruan, keluar
lendir dari mulut, muka bengkak, dubur agak panjang, feses kehijauan, bulu
berdiri/kusam, ngorok, pial berdiri, lesu dan pucat) dan secara fisik ( kapalan
pada dada dan kaki, keropeng, memar dada, sayap patah, paha patah, leher
patah). Ayam yang mati dipisahkan dari yang hidup.
2. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan di atas keranjang tempat
ayam, sehingga darah mengotori ayam yang berada di dalam keranjang.
Penyembelihan dilakukan secara Islami dengan memotong oesophagus,
trachea, vena jugularis dan arteri carotis sampai putus, sehingga darah dapat
mengucur keluar sampai habis, disertai dengan menyebut
“Bismillahirrahmanirrahim” dan menghadap kiblat. Pisau yang digunakan
untuk menyembelih ayam juga digunakan pada proses eviserasi, sehingga
mikroba yang tertinggal pada pisau kembali mencemari karkas ayam.
3. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan dari tubuh ayam. Pada
proses ini ayam tidak digantung dengan posisi kepala di bagian bawah. Ayam-
ayam yang telah disembelih ditumpuk di dalam tong plastik atau keranjang
plastik agar ayam tidak melompat keluar, dan ditunggu selama 3-5 menit
hingga ayam tidak bergerak lagi. Proses pengeluaran darah seperti ini tidak
sempurna, karena ayam tidak digantung, sehingga darah tidak tuntas keluar dan
dapat menurunkan mutu ayam seperti mempengaruhi warna kulit ayam dan
berpotensi sebagai media pertumbuhan mikroorganisme sehingga daging akan
cepat busuk. Darah dan kotoran ayam yang keluar pada saat penyembelihan
mengotori bulu-bulu dan kulit ayam.
4. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan kemudian ayam dimasukkan ke dalam
bak stainless steel atau tong besi berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama
45 detik. Proses ini bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu.
Api yang digunakan untuk mendidihkan air adalh menggunakan kayu bakar,
sehingga menimbulkan asap di dalam ruangan. Asap dari kayu bakar
48
mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) yang dapat menyebabkan
radang pada manusia/pekerja yang menghirupnya.
5. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mesin pencabut bulu
(plucker). Sesekali air dingin disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit
ayam tidak rusak dan agar tubuh ayam bersih dari bulu-bulu. Pembersihan
bulu-bulu halus dilakukan dengan tangan. Tapi untuk TPA belum dibina A
Kecamatan Parung dan TPA belum dibina A Kecamatan Dramaga tidak
dilakukan pencabutan bulu, namun ayam langsung dikuliti, hal ini sesuai
dengan permintaan konsumen.
6. Eviserasi. Proses eviserasi dilakukan dengan menyayat bagian kloaka, seluruh
isi perut dikeluarkan (hati, jamtung, empedu, ampela, usus dan tembolok).
Empedu langsung dipisahkan dari jeroan lainnya untuk mencegah kemungkinan
pecah dan mengotori jeroan lainnya dan karkas ayam.
7. Pencucian karkas. Pencucian karkas pada TPA penelitian dilakukan di dalam
tong plastik dengan air yang tidak pernah diganti dari awal hingga akhir proses
produksi, sehingga jumlah bakteri (TPC) pada air pencuci bertambah dari awal
hingga akhir proses. TPA dibina Kecamatan Parung pencucian karkas
dilakukan di dalam bak marmer dan diberi es batu yang bertujuan mencegah
pertumbuhan bakteri. TPA dibina Kecamatan Dramaga pencucian karkas
dilakukan pada bak pencuci, tetapi air tidak pernah diganti dari awal hingga
akhir proses produksi dan ditempat yang sama juga dicuci keranjang tempat
mengemas karkas ayam, sehingga semakin menambah jumlah bakteri (TPC)
pada air pencuci karkas ayam.
8. Penanganan jeroan. Penanganan usus dilakukan yaitu dengan mengeluarkan
isi usus, mencuci usus lalu merebus usus. Pengemasan hati, ampela dan jantung
terpisah dengan usus. Karkas ayam yang diletakkan di lantai berdekatan dengan
jeroan kembali terkotori oleh isi usus ayam.
9. Pengemasan. Karkas dan jeroan pada TPA dibina Kecamatan Parung dikemas
dengan menggunakan styrofoam dan pada bagian atasnya ditutup dengan
plastik transparan, sehingga memudahkan pembeli untuk menilai mutu karkas,
lalu dikemas lagi ke dalam coolbox dan diberi es batu untuk mencegah
kebusukan pada karkas dan mengurangi pertumbuhan mikroba. TPA penelitian
lainnya menggunakan kantung plastik dan karung plastik bekas sebagai bahan
49
pengemas dan tidak diberi batu es ke dalam plastik kemasan, sehingga
kontaminasi masih terus berlanjut pada saat perjalanan.
10. Pembersihan peralatan dan bangunan. Pembersihan peralatan dan bangunan
hanya dilakukan dengan sikat dan siraman air. Tidak dilakukan program
desinfeksi. Desinfekktan yang digunakan biasanya adalah Chlorine Dioxide dan
Quartenary Ammonium Chloride yang sangat aktif terhadap bakteri Gram
positif, non-iritasi kulit, tahan terhadap korosi logam, dapat mereduksi
mikroorganisme, stabil terhadap panas, stabil pada reaksi dengan bahan organik
dan efektif pada pH tinggi.
Kontaminasi pada daging dapat terjadi pada proses penyembelihan dan
pada saat scalding karena masuknya kontaminan dari air scalding ke sistem
peredaran darah dan pernafasan. Pada saat eviserasi kontaminasi bakteri dari usus
dan feses dapat berpindah dari karkas ke karkas melalui peralatan dan tangan
pekerja. Kontaminasi terjadi melalui permukaan daging selama proses pemotongan
karkas, pendinginan, pembekuan, pembuatan produk daging olahan, pengawetan,
pengepakan, penyimpanan dan pemasarannya (Soeparno 1998).
Menurut SNI 01-6366 (BSN 2000) Batas Maksimum Cemaran Mikroba
(BMCM) adalah jumlah jasad renik/mikroba maksimum (cfu/gr) yang diizinkan
atau direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal hewan. Batas
maksimum cemaran mikroba pada daging untuk Total Plate Count (TPC) adalah
1x106cfu/g dan untuk coliform adalah 1x10
2cfu/g SNI 01-7388 (BSN 2009).
1. Total Plate Count (TPC) pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas
Ayam
Total Plate Count (TPC) merupakan suatu metode pengujian untuk
menghitung jumlah mikroba dalam cawan petri yang berisi media agar. Metode ini
mempunyai manfaat untuk mengetahui tingkat higienitas dari suatu pengolahan
daging dengan indicator bahwa telah terjadi pencemaran pada daging. Hasil uji
mikrobiologi yang dilakukan di laboratorium terhadap sampel karkas ayam
pedaging yang diambil secara acak dari TPA penelitian, didapatkan data seperti
pada tabel 7.
50
Tabel 7. Rataan jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA penelitian
Kecamatan Status Binaan
TPA dibina (log cfu/g) TPA belum dibina (log cfu/g)
Cibinong
Dramaga
Cibubulang
Parung
(5.11±0.29)
(4.72±0.79)
(4.42±0.82)
(4.11±0.09)
(4.88±0.83)
(6.11±0.91)
(4.42±0.49)
(5.44±0.44)
Rataan (4.59±0.49) (5.21±0.67)
Jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.62 log cfu/g lebih
rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk TPC pada
karkas ayam menunjukkan kesesuaian dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu ≤1x106
cfu/g untuk semua TPA,
kecuali untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dengan angka cemaran
TPC sebesar 6.11 log cfu/g. Tingginya angka cemaran ini disebabkan sanitasi yang
tidak baik pada saat proses produksi.
Setelah ayam-ayam disembelih, ayam-ayam hanya diletakkan di lantai
tanpa alas. Darah ayam dan kotoran ayam kemudian menempel pada bulu-bulu
ayam-ayam tersebut. Scalding merupakan proses berikutnya untuk melepaskan
bulu-bulu dari karkas ayam. Ayam-ayam yang telah dibului langsung dikuliti dan
dicuci seadanya, sehingga darah masih menempel pada daging ayam yang telah
dikuliti, dan karkas-karkas tersebut kemudian kembali diletakkan dilantai
berdekatan dengan bulu-bulu ayam. Keadaan ini disengaja sesuai dengan
permintaan konsumen, karena darah ayam yang menempel pada daging ayam
tersebut diyakini dapat meningkatkan kegurihan pada daging ayam setelah proses
pemasakan.
Ayam kemudian masuk ke dalam proses eviserasi dan pemotongan kaki dan
kepala. Penanganan jeroan juga dilakukan di lantai bangunan yang berdekatan
dengan karkas ayam, sehingga karkas-karkas tersebut kembali terkotori oleh
kotoran yang berasal dari jeroan ayam. Karkas ayam kemudian dibagi menjadi dua
bagian yaitu dada dan paha. Kemudian langsung dikemas kedalam kantung plastik
tanpa dicuci terlebih dahulu. Menurut Nugroho (2004), tahap-tahap yang
berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di
RPA dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan,
scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pendinginan, grading serta
51
pemotongan. Jumlah awal mikroba pada karkas ayam di awal pemotongan dapat
mempengaruhi jumlah mikroba pada karkas berikutnya, setelah pencucian,
sehingga akan meningkatkan jumlah cemaran pada karkas
(Setiowati dan Mardiastuti 2009).
Histogram-histogram dibawah ini memperlihatkan angka cemaran TPC
karkas untuk 12 TPA penelitian. Dari histogram-histogram berikut dapat dilihat
bahwa angka cemaran TPC untuk TPA dibina pada Kecamatan Cibinong lebih
tinggi dibangdingkan dengan TPA dibina lainnya (5.11 log cfu/g). Angka cemaran
untuk ketiga ulangan pada pengambilan sampel karkas menunjukkan peningkatan
cemaran mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba pada karkas
meningkat dari awal hingga akhir proses produksi. Tingginya angka cemaran ini
dapat disebabkan karena tata letak bangunan yang belum layak.
Bangunan merupakan bangunan permanen tetapi belum ada pemisahan fisik
antara ruang bersih dan kotor. Karkas yang telah terkotori oleh darah dan kotoran
selama proses bleeding kemudian masuk ke scalder, sehingga kotoran yang
menempel pada bulu-bulu dan kulit ayam mencemari air scalding. Air pada proses
scalding tidak pernah diganti dari awal hingga akhir produksi. Karkas yang
diletakkan di atas lantai setelah proses plucking kemudian terkotori oleh kotoran
dan darah ayam. Karkas ayam semakin tercemar oleh kotoran yang berasal dari
jeroan ayam yang di letakkan berdekatan dengan karkas-karkas tersebut. Keadaan
inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah TPC pada karkas ayam
yang berasal dari TPA dibina pada Kecamatan Cibinong.
Gambar 7. Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA dibina
4.90
3.81 3.64 4
4.995.11
4.34 4.14
5.44 5.235.27
4.17
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4
Ju
mla
h T
PC
(lo
g c
fu/g
)
TPA
Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
52
Pada histogram dibawah ini dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC pada
TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga lebih tinggi dibandingkan TPA belum
dibina lainnya (6.11 log cfu/g). Setiap ulangan pada pengambilan sampel karkas
ayam dapat dilihat peningkatan angka cemaran mikroba. Penggunaan air yang tidak
bersih dikhawatirkan menjadi penyebab tingginya angka cemaran tersebut. Air
yang digunakan untuk seluruh proses produksi berasal dari sumur yang jaraknya
kurang dari 8 m dari kali yang berada tepat di depan bangunan TPA. Setelah selesai
digunakan, keranjang tempat menampung ayam direndam di dalam kali tersebut,
sehingga mikroba yang melekat pada keranjang semakin bertambah dan menempel
pada bulu-bulu dan kulit ayam selanjutnya yang ditempatkan pada keranjang
tersebut.
Gambar 8. Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA belum dibina
Penelitian ini mengambil sampel air cucian karkas ayam dari setiap TPA
penelitian. Hasil uji mikrobiolgi untuk jumlah TPC pada air cucian karkas ayam
pada TPA penelitian tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 8. Rataan jumlah TPC pada air cucian karkas ayam pada TPA penelitian
Kecamatan Status Binaan
TPA dibina (log cfu/ml) TPA belum dibina (log cfu/ml)
Cibinong
Dramaga
Cibubulang
Parung
(4.52±1.02)
(5.57±0.03)
(5.30±0.18)
(3.78±1.12)
(5.12±0.70)
(6.72±1.07)
(5.26±0.27)
(4.90±1.19)
Rataan (4.79±0.59) (5.50±0.81)
3.34
5.545.14
3.04
5.07
5.565.25
3.23
5.145.61
5.495.07
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4
Ju
mla
h T
PC
(lo
g c
fu/g
)
TPA
Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
53
Jumlah TPC pada air cucian karkas ayam dari TPA dibina adalah
0.71 log cfu/ml lebih rendah dari TPA belum dibina. Jumlah TPC air cucian karkas
ayam pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari TPA
lainnya (6.72 log cfu/ml). Tingginya angka cemaran ini karena air cucian dicemari
oleh karkas ayam dengan jumlah TPC yang tinggi. Air yang dipergunakan selama
proses produksi bukan merupakan air yang terjamin kebersihannya. Air berasal dari
sumur yang jaraknya kurang dari 8 m dengan kali kotor yang berada tepat di depan
bangunan TPA sehingga kemungkinan tercemar sangat tinggi. Proses produksi
masih dilakukan dilantai, sehingga karkas yang sudah terkotori oleh darah ayam
dan kotoran yang berasal dari jeroan semakin mencemari air cucian karkas ayam.
Pada histogram dibawah ini dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC untuk TPA
dibina di Kecamatan Dramaga lebih tinggi dibandingkan TPA dibina lainnya.
Gambar 9. Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA dibina
Terjadi peningkatan jumlah TPC pada air cucian karkas ayam untuk setiap
ulangan pada pengambilan sampel air cucian karkas ayam. Hal ini terjadi karena
karkas yang dicuci pada bak pencuci memang telah terkotori oleh darah dan
kotoran ayam. Air yang dipergunakan untuk mencuci juga tidak diganti mulai dari
awal hingga akhir proses produksi. Kemasan yang dipergunakan untuk memuat
karkas ayam juga dicuci pada bak pencuci, sehingga kotoran-kotoran yang
menempel pada kemasan juga mencemari air cucian. Semakin tinggi jumlah TPC
pada karkas ayam maka jumlah TPC pada air karkas ayam juga semakin tinggi.
5.11
6.51
4.19
5.565.33
6.60
4.51
5.61
5.35
6.81
4.975.63
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 2 3 4
Ju
mla
h T
PC
(lo
g c
fu/m
l)
TPA
Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
54
Pada histogram dibawah ini dapat dilihat bahwa angka cemaran TPC untuk
TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga lebih tinggi dibandingkan TPA belum
dibina lainnya. Terjadi peningkatan jumlah TPC untuk setiap ulangan pada
pengambilan sampel air cucian karkas ayam. Hal ini disebabkan seluruh proses
produksi yang tidak higienis yang dilakukan di lantai bangunan. Kotoran dari ayam
dan darah ayam mengotori karkas ayam. Kemudian karkas ayam hanya dicuci
seadanya dengan menggunakan air yang juga tidak terjamin kebersihannya. Air
yang diperguanakn berasal dari sumur yang berjarak kurang dari 8 m dengan kali
yang berada di depan TPA, sehingga air tercemar oleh kali. Karkas yang telah
tercemar yang kemudian dicuci dengan air yang tidak bersih menyebabkan
tingginya angka jumlah TPC pada air cucian karkas ayam.
Gambar 10. Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina
2. Coliform pada Karkas Ayam
Umumnya kontaminasi coliform dapat berasal dari kontaminasi fekal
lingkungan TPA yang berkaiatan dengan pengulitan dan pengeluaran isi usus serta
pencemaran dari TPA itu sendiri. Kontaminasi bakteri coliform juga dapat terjadi
karena penggunaan air yang telah terkontaminasi, dan jumlah cemaran coliform
yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada pencernaan. Hasil uji mikrobiologi
untuk kandungan coliform pada sampel daging ayam yang diambil secara acak dari
TPA penelitian tertera pada Tabel 9.
4.44
7.10
5.145.505.33
7.44
5.255.615.79
7.61
5.475.67
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 2 3 4
Ju
mla
h T
PC
(lo
g c
fu/m
l)
TPA
Cibinong
55
Tabel 9. Rataan kandungan coliform pada karkas ayam pada TPA penelitian
Kecamatan Status Binaan
TPA dibina (log cfu/g) TPA belum dibina (log cfu/g)
Cibinong
Dramaga
Cibubulang
Parung
(3.27±0.19)
(2.91±0.22)
(1.88±0.69)
(1.86±0.86)
(2.91±0.73)
(3.03±0.55)
(2.58±0.42)
(3.04±0)
Rataan (2.48±0.49) (2.89±0.42)
Jumlah coliform pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.41 log cfu/g
lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk coliform
pada karkas ayam belum sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu >102cfu/g untuk semua TPA.
Pada saat ayam diistirahatkan, ayam tidak ditempatkan di dalam kandang, tetapi
ayam hanya ditempatkan pada keranjang yang disusun bertumpuk keatas, sehingga
kotoran ayam berjatuhan dan mengotori ayam lain yang berada dibawahnya.
Kotoran ayam atau feses inilah yang menyebabkan kontaminasi coliform pada
karkas ayam. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa angka cemaran coliform pada
TPA dibina di Kecamatan Cibinong lebih tinggi dibandingkan dengan TPA dibina
lainnya (3.27 log cfu/g). Tingginya angka cemaran ini disebabkan seluruh proses
produksi yang dilakukan di dalam satu ruangan. Karkas-karkas ayam yang telah
melewati proses plucking hanya diletakan di lantai bangunan tanpa alas, sehingga
karkas-karkas tersebut terkotori oleh darah dan kotoran ayam. Proses eviserasi
dilakukan berdekatan dengan tumpukan karkas, sehingga karkas kembali tercemari
oleh kotoran yang berasal dari jeroan ayam. Menurut Lu et al. (2003) pengeluaran
jeroan yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan kontaminasi coliform yang
ditemukan pada caecum dan ileum pada karkas ayam. Tembolok dan ampela ayam
mengandung coliform dan merupakan sumber kontaminasi selama pengolahan
karkas ayam (Windham et al. 2005).
Histogram dibawah ini menunjukkan tingginya angka cemaran bakteri
coliform pada TPA dibina di Kecamatan Cibinong dibandingkan dengan TPA
dibina lainnya (3.27 log cfu/g). Terjadi peningkatan jumlah bakteri coliform untuk
setiap ulangan pada pengambilan sampel karkas ayam.
56
Gambar 11. Histogram kandungan coliform pada karkas ayam pada TPA dibina
Setelah disembelih ayam-ayam dimasukkan ke dalam tong plastik untuk
proses bleeding sehingga ayam bercampur dengan darah dan kotoran ayam. Ayam
kemudian masuk proses scalding sehingga air scalding tercemar oleh kotoran yang
melekat pada bulu dan kulit ayam. Air yang digunakan untuk scalding tidak pernah
diganti sehingga kontaminasi pada ayam terus berlanjut yang dapat menyebabkan
tingginya jumlah coliform. Menurut Buhr et al. (2003) bulu dan permukaan kulit
karkas ayam broiler yang tercemar oleh feses dan tanah memiliki jumlah coliform
lebih tinggi dibandingkan dengan karkas dengan bulu yang bersih, sebelum
dilakukan scalding dan plucking.
Setelah proses scalding dan plucking karkas-karkas ayam diletakkan
dilantai tanpa alas. Kotoran yang berasal dari ayam dan darah yang terdapat pada
lantai bangunan tidak pernah dibersihkan atau disiram dengan air dari awal
hingga akhir proses produksi. Karkas-karkas ayam yang ditumpuk di lantai
bangunan terkotori oleh kotoran tersebut, sehingga terjadi peningkatan angka
cemaran bakteri coliform pada karkas ayam dari awal hingga akhir proses produksi.
Angka cemaran bakteri coliform pada karkas ayam semakin meningkat karena
proses eviserasi dilakukan di dekat tumpukan karkas sehingga semakin mencemari
karkas-karkas tersebut. Umumnya jumlah bakteri coliform tinggi pada saat
eviserasi yaitu mencapai 1.1x105cfu/cm
2 (Bara et al. 2002).
Histogram dibawah ini tingkat cemaran bakteri coliform pada TPA belum
dibina pada TPA penelitian. Terjadi peningkatan jumlah bakteri coliform untuk
setiap ulangan pada pengambilan sampel karkas ayam.
3.042.66
1.360.95
3.383.04
1.631.96
3.38
3.042.66 2.66
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
1 2 3 4
Ju
mla
h c
oli
form
(lo
g c
fu/g
)
TPA
Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
57
Gambar 12. Histogram kandungan coliform pada karkas ayam pada TPA belum dibina
Ulangan ketiga pada sampel karkas ayam yang diambil dari TPA belum
dibina di Kecamartan Cibinong menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ulangan pertama dan kedua, namun rataan cemaran bakteri
coliform pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga adalah yang tertinggi
dibandingkan TPA belum dibina lainnya (3.03 log cfu/g). Tingginya angka
cemaran bakteri coliform ini disebabkan sanitasi yang tidak baik pada seluruh
proses produksi. Seluruh proses produksi dilakukan di dalam satu ruangan.
Setelah disembelih ayam-ayam hanya ditumpuk di atas lantai sehingga
bulu-bulu dan kulit ayam terkotori oleh darah dan kotoran ayam, kemudian ayam-
ayam di masukkan ke dalam scalder yang airnya tidak pernah diganti dari awal
hingga akhir peoses, sehingga jumlah bakteri yang terdapat pada air scalder
semakin bertambah dari waktu ke waktu, dan bakteri tersebut yang menempel pada
karkas ayam. Menurut Cason (2004) kontaminasi pada karkas dapat berasal dari
folikel yang terbuka pada saat scalding karena bulu itu sendiri membawa sejumlah
populasi bakteri. Pencabutan bulu dapat mengurangi kontaminasi bakteri terhadap
karkas dan kontaminasi silang. Setelah proses pencabutan bulu ayam dicuci
seadanya dengan air yang tidak terjamin kebersihannya. Proses eviserasi dilakukan
dilantai sehingga kotoran yang berasal dari jeroan ayam menempel pada karkas
ayam.
Setelah proses eviserasi selesai, karkas dikemas dengan menggunakan
plastik atau karung. Karung yang digunakan adalah karung bekas pakai yang dicuci
dan dicelupkan ke dalam tong untuk mencuci karkas, sehingga terjadi kontaminasi
3.09 3.09
2.22
3.043.09 3.24
2.54
3.043.383.24 3.04 3.04
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
1 2 3 4
Ju
mla
h c
oli
form
(lo
g c
fu/g
)
TPA
Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung
58
ulang pada karkas ayam, karena kotoran yang terdapat pada karung mencemari
karkas ayam yang masih terdapat di dalam tong pencuci karkas.
Untuk meminimalkan kontaminasi bakteri terhadap produk akhir, sanitasi
pada proses penanganan daging di tempat pemotongan ayam harus dilakukan
secara benar. Karkas ayam dan jeroan dari tempat pemotongan ayam dijual dipasar-
pasar tradisional yang sebagian besar konsumen belum mengetahui tentang
keamanan pangan khususnya kontaminasi bakteri. Kurangnya disiplin sumber daya
manusia pada saat melakukan proses produksi dan proses produksi dilakukan
dalam satu ruangan, dapat mengakibatkan kontaminasi pada hasil akhir.
59
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal pada semua TPA
telah sesuai dengan persyaratan yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI (2011).
Ayam-ayam yang disembelih dan dijual dipasar-pasar tradisional Bogor adalah
ayam-ayam yang halal. Proses penyembelihan ayam yang sesuai dengan SNI 01-
6160 (BSN 1999) belum dapat dipenuhi oleh semua TPA binaan atau belum dibina.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka cemaran TPC dan coliform dari uji
mikrobiologi yang dilakukan terhadap karkas ayam.
Saran
1. Perlunya pembinaan dari Dinas Peternakan setempat terhadap sumber daya
manusia agar melakukan proses produksi yang aman dan higienis, sehingga
produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi masyarakat.
2. Masih perlu dilakukan perbaikan di lingkungan TPA dibina dan belum dibina,
sehingga kekurangan-kekurangan yang terdapat pada kedua jenis TPA tersebut
dapat diminimalkan atau dihilangkan sama sekali.
60
61
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto A., Hermanianto J., Wahid N. 2007. Pedoman Produksi Pangan Halal.
Jakarta: Khairul Bryan Press.
Andriani. 2005. Escherichia coli 0157:H7 sebagai penyebab penyakit zoonosis.
Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. PPPP. Bogor.
Bahri S., Kusumaningsih A., Murdiati T.B., Nurhadi A., Masbulan E. 2000.
Analisis kebijakan keamanan pangan asal ternak (terutama ayam ras petelur
dan broiler). Laporan Penelitian. PPPP. Bogor.
Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. PIP
1(3): 225-242.
Banwart G.J. 1989. Basic Food Microbiology. 2nd
Edition. New York: Chapman
and Hall.
Bara V., Lasto C., dan Bodog M. 2002. The level of bacteria load on technological
flow in abattoirs and their influences on hygenic quality of bird food. Intl J
Poult Sci 1(4): 94-97.
Berrang M.E., Buhr R.J., Cason Jr J.A., Dickens J.A. 2001. Microbiological
consequences of skin removal prior to evisceration of broiler carcasses.
Poult Sci 81:134-138.
Berrang M.E., Northcutt J.K., Cason Jr J.A. 2004. Recovery of campylobacter from
broiler feces during extended storage of transport cages. Poult Sci
83(7):1213-1217.
Betty dan Yendri. 2007. Cemaran mikroba terhadap telur dan daging ayam. Dinas
Peternakan Provinsi Sumatera Barat. Padang.
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-6160-1999.
Rumah Pemotongan Unggas. Jakarta.
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-6366-2000.
Batas maksimum cemaran mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam
Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta.
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 2897:2008.
Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta
hasil olahannya. Jakarta.
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-7388-2009.
Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Jakarta.
62
(BSN) Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 3924-2009. Mutu
karkas dan daging ayam. Jakarta.
Budinuryanto D.C., Hadiana M.H., Balia R.L., Abubakar, Widosari E. 2000. Profil
keamanan daging ayam lokal yang dipotong di pasar tradisional dalam
kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP). Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penalitian Universitas
Padjajaran dan ARMP II Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Buhr R.J., Berrang M.E., Cason J.A. 2003. Bacterial recovery from breast skin of
genetically feathered and featherlesss broiler carcasses immediately
following scalding and picking. Intl J Poult Sci 2(6): 81-86.
Cason J.A. 2004. Impact of feathers and feather follicles on broiler carcass bacteria.
Intl J Poult Sci 1(5): 110-119.
Cason Jr J.A., Hinton Jr A. 2006. Coliforms, e. coli, camplobacter, and salmonellai,
in a counterflow broiler scalder with a dip tank. Intl J Poult Sci 5:846-849.
Codex Alimentarius Commission. GL 24-1997. General guidelines for use of the
term “Halal”.
Cox Jr N.A., Richardson L.J., Bailey J.S., Cosby D.E., Cason Jr J.A., Musgrove
M.T., Mead G.C. 2005. Bacterial contamination of poultry as a risk to
human health. Book Chapter. In: Food Safety Control in the Poultry
Industry. (Ed. G. C. Mead). Ch 2. p. 21-43.
Cunningham F.E., Cox N.A. 1987. The Microbiology of Poultry Meat Products.
Academic Press, Inc. San Diego. California.
(Permentan) Peraturan Pemerintah. 2005. Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner
Unit Usaha Pangan Asal Hewan. Sub Dinas Kesehatan Hewan dan
Masyarakat Veteriner. Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan.
(Deptan) Departemen Pertanian. 2006. Petunjuk penyembelihan ayam dan
penanganan daging ayam pada rumah potong ayam skala kecil. Badan
Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan.
(Disnakprov Jabar) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2004. Laporan Tahunan.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Bandung.
(Dirjenkeswan) Direktorat Jendral Kesehatan Hewan. 1987. Peraturan Perundang-
Undangan Kesehatan Hewan Edisi III. Dirjen Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta.
(Ditjen POM) Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan. 1996. Bahan-
Bahan Mengenai Pengawasan Makanan Minuman Tahun 1994/1995.
Ditwas Makanan dan Minuman, Ditjen POM, Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
63
(Ditjen PPM PLP) Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1994. Pembinaan keamanan makanan
pada tempat pengelolaan makanan. Makalah pada Lokakarya Koordinasi
Pengamanan Makanan, Mega Mendung, 17-20 Oktober 1994.
Djaafar T.F., Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit
yang ditimbulkan dan pencegahannya. JPPP 26 (2): 67-75.
Fardiaz S. 1989. Analisis mikrobiologi pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gustiani E. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba pada Bahan Pangan Asal Ternak
(Daging dan Susu) Mulai dari Peternakan sampai Dihidangkan. JPPP 28(3):
96-100).
Jay J.M. 2000. Modern Food Microbiology, 6th
Edition. Aspen Publisher, Inc.
Gathersburg. Maryland.
Levy P.S., Lemeshow S. 1999. Sampling of Population. Third Edition. John Wiley
and Sons. Inc. Kanada.
Liljebjelke K.A., Ingram K.D., Hinton Jr, A., Cason Jr J.A. 2009. Scald tank water
and foam as sources of carcass contamination during early poultry
processing [abstract]. Meeting Abstract. January 26-27, 2009. p. 28.
(LPPOM MUI) Lembaga Pengkajian Paangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM-
MUI. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia.
(LPPOM MUI) Lembaga Pengkajian Paangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia. 2011. Pedoman Pengelolaan Rumah Potong Unggas
(RPU) Halal. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika.
Majelis Ulama Indonesia.
Lu J.U., Idris B., Harmon C., Hofacre J.J., Maurer, Lee M.D. 2003. Diversity and
succession of the intestinal bacterial community of the maturing broiler
chicken. Appl Environ Microbiol. 64(11): 6816-6824.
Lukman D.W., Purnawaman T. 2009. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal
Ternak. Bogor : Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.
McGraw L. 1999. Battling Food-poissoning Bacteria. Agricultural Research.
February 1999.
Mead G. C. 2004. Current trends in the microbiologicalsafety of meat poultry.
World’s Poult Sci J 60:112-118.
64
Mountney G.J., 1983. Poultry Product Tecnology 3rd
Ed. The AVI Publishing
Company Inc., Westport. Connecticut.
Murdiati T.B., Widiastuti R. 2003. Teknik deteksi residu antibiotika dalam produk
ternak. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Murdiati T.B. 2006. Jaminan keamanan pangan asal ternak: dari kandang hingga
piring. JPPP 25(1): 22-30.
Nugroho W.S. 2004. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus,
Bakteri Jahat yang Sering Disepelekan. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Poloengan M., Noor S.M., Komala I., Andriani. 2005. Patogenosis Campylobacter
terhadap hewan dan manusia. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan
Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. PPPP. Bogor. hlm.
82-90.
Pusat Standarisasi dan Akreditasi. 2004. Info Mutu. Berita Standarisasi Mutu dan
Keamanan Pangan. Sekretariat Jendral Departemen Pertanian. Edisi April
2004. hlm. 4-7.
Raharjo S. 1999. Teknik dekontaminasi cemaran bakteri pada karkas dan daging.
Agritech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 19(2): 8.
Richardson L., Cox N., Buhr R., Harrison M. 2011. Isolation of Campylobacter
from circulating blood of commercial broilers. Poult Sci 46 : 959-964.
Setiowati W.E., Mardiastuti E.S. 2009. Tinjauan Bahan Pangan Asal Hewan yang
Asuh Berdasarkan Aspek Mikrobiologi di DKI Jakarta. Prosiding PPI
Standardisasi. Laboratorium Kesmavet Jakarta.
Smith D. P., Northcutt J. K., Cason J. A., Hinton Jr. A., Buhr R. J., Ingram K. D.
2007. Effect of External or Internal Fecal Contamination on Numbers of
Bacteria on Prechilled Broiler Carcasses. Poult Sci 86:1241–1244.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Syukur D.A. 2006. Biosecurity terhadap Cemaran Mikroba dalam Menjaga
Keamanan Pangan Asal Hewan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Lampung. Bandar Lampung.
Thai Agricultural Standard. 2006. Good Manufacturing Practices for Poultry
Abbattoir. National Bureau of Agricutural Commodity and Food Standarda
Ministry of Agriculture and Cooperatives.
Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP: Hazard analysis critical control
points. Jakarta: Bumi Aksara.
65
(USDA) United State Department of Agriculture. 1999. Generic HACCP Model for
Poultry Slaughter. Food Safety and Inspection Service. United States
Department of Agriculture.
Walpole R.E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno F.G., Surono. 2004. GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik. Bogor: M-
brio Press.
Windham W.R., Heitschmidt G.W., Smith D.P., Berrang M.E. 2005. Detection of
Ingesta on Pre-Chilled Broiler Carcasses by Hyperspectral Imaging. Intl J
Poult Sci 4 (12): 959-964.
Wiryanti J. 2002. Makalah tentang penyusunan Good Manufacturing Practices
(GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP). Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampirran 1 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada Permentan 2005
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Penanggung Jawab
Kesehatan Hewan
dan Kesmavet
(1%) *
Penanggung Jawab Kesehatan Hewan
dan Kesmavet
Tidak ada dokter hewan penanggung
jawab kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner
Penanggung Jawab Kesehatan Hewan
dan Kesmavet
Dokter hewan penanggung jawab
kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner
Aplikasi SSOP terhadap aspek
Penanggung Jawab Kesehatan
Hewan dan Kesmavet belum
terpenuhi sepenuhnya
Lokasi dan
Lingkungan
(5%)
Lokasi dan Lingkungan
Perijinan Unit Usaha diberikan oleh
Dinas Peternakan Kabupaten Bogor
Disekitar TPA tidak terdapat RPB
Penanganan dan sistem pembuangan
sampah, limbah cair dan peralatan
cukup baik hanya pada TPA
Cibungbulang dan Cibinong
Tidak terdapat debu yang berlebihan
dijalanan dan tempat parkir
Lokasi dan Lingkungan
Lokasi unit usaha sesuai dengan alamat
yang tercantum dalam perijinan
Ada pemisahan fisik antara RPB dan
RPH/RPU
Penyimpanan dan penanganan sampah,
limbah dan peralatan baik
Debu yang tidak berlebihan di jalanan dan
tempat parkir
Sistem pembuangan limbah cair/saluran
baik
4%*
Aplikasi SSOP terhadap Lokasi dan
Lingkungan hanya terpenuhi
sebagian
Konstruksi
Bangunan Utama
(13%)
Konstruksi Bangunan Utama
Hanya TPA dibina Cibungbulang yang
melakukan pemisahan fisik antara
ruangan bersih dan kotor
Hanya pada TPA dibina Cibungbulang
ruang pengolahan tidak berhubungan
langsung dengan toilet/kamar mandi,
tempat ganti
pakaian, tempat tinggal, garasi dan
bengkel
TPA dibina Parung tidak memiliki
langit-langit, dinding (bangunan
terbuka), TPA lainnya merupakan
bangunan permanen
Konstruksi Bangunan Utama
Dilakukan pemisahan secara fisik antara
ruangan bersih dan kotor
Ruang pengolahan tidak berhubungan
langsung dengan toilet/kamar mandi,
tempat ganti pakaian, tempat tinggal,
garasi dan bengkel
Ada langit-langit (plafon); Langit-
langit bebas dari kemungkinan catnya
rontok/jatuh atau dalam keadaan tidak
kotor dan terawat; Rata, tidak
retak/berlubang
Dinding setinggi kurang dari 2 meter
terbuat dari bahan yang kedap air, mudah
5.5%
Aplikasi SSOP terhadap Konstruksi
Bangunan Utama hanya terpenuhi
sebagian
67
Lampiran 1 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Ada lengkungan pada pertemuan lantai
dan dinding pada TPA dibina Dramaga
Lantai pada semua TPA licin, tidak
kedap air, ada genangan cairan
dibersihkan dan didisinfeksi; Permukaan
rata, tidak retak atau berlubang; Tidak ada
bagian dinding yang memungkinkan untuk
meletakkan/menyimpan barang/peralatan;
Dinding di ruang pengolahan berwarna
terang
Bahan lantai kedap air, tidak licin, mudah
dibersihkan dan didisinfeksi; Pertemuan
antara lantai dan dinding lengkung; Tidak
ada genangan cairan, tumpukan kotoran
dan air mengalir ke saluran pembuangan
Bangunan Utama
TPA
(25%)
Bangunan Utama TPA
Pada TPA dibina Parung dan
Cibungbulang tersedia tempat
penurunan unggas hidup berupa
kandang
Tidak ada pemeriksaan antemortem
dan postmortem untuk semua TPA
dibina
Tidak dilakukan stunning untuk semua
TPA dibina
Pada TPA dibina Parung dilakukan
seleksi, pemotongan karkas,
penyimpanan segar
Hanya TPA dibina Cibinong yang
tidak melakukan penimbangan karkas
Seluruh TPA dibina tidak melakukan
deboning
Pengemasan TPA dibina Parung
menggunakan styrofoam dan coolbox
Bangunan Utama TPA
Daerah Kotor:
Tempat penurunan unggas hidup,
pemeriksaan antemortem dan
penggantungan unggas hidup
Pemingsanan (stunning)
Penyembelihan (killing)
Pencelupan ke air panas (scalding
tank)
Pencabutan bulu (defeathering)
Pencucian karkas
Pengeluaran jeroan/evisceration
Pemeriksaan postmortem
Penanganan jeroan
Daerah Bersih:
Tempat pencucian karkas.
Tempat pendinginan karkas.
Seleksi (grading)
Penimbangan kark
17.75%
Aplikasi SSOP terhadap Bangunan
Utama TPA hanya terpenuhi
sebagian
68
Lampiran 1 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
dan pemasaran telah sampai ke luar
provinsi
Pemotongan karkas (cutting)
Pemisahan daging dari tulang
Pengemasan
Penyimpanan segar (chilling room)
Penerangan
(2%)
Penerangan
Lampu TPA dibina Cibungbulang telah
berpelindung
Proses produksi pada TPA dibina
Parung dilakukan pada pagi hari
sehingga tidak dibutuhkan penerangan
Penerangan
Lampu di ruang pengolahan, pengemasan
dan penyimpanan bahan baku
perpelindung
Penerangan pada tempat pemeriksaan
(inspeksi) cukup (kurang dari 540 luks)
1%
Aplikasi SSOP terhadap
Penerangan hanya terpenuhi
sebagian
Ventilasi
(2%)
Saluran
Pembuangan
(3%)
Pasokan Air
(4%)
Ventilasi
Sistem ventilasi pada seluruh TPA
dibina baik, sehingga tidak terjadi
akumulasi kondensasi di atas proses
pengolahan dan penyimpanan produk
Saluran Pembuangan
Saluran pembuangan pada TPA dibina
Parung tidak tertutup
Tidak ada bak kontrol pada sistem
saluran pada semua TPA dibina
Pasokan Air
Air yang digunakan untuk seluruh
proses produksi pada semua TPA
dibina berasal dari sumur dengan
kedalaman lebih dari 8 m dan jaraknya
dengan tempat penampungan limbah
cair dan sampah lebih dari 8 m
Tidak pernah dilakukan pemeriksaan
kualitas air di laboratorium
Ventilasi
Sirkulasi udara di ruang proses produksi
baik (tidak pengap)
Tidak terjadi akumulasi kondensasi di
atas proses pengolahan dan penyimpanan
produk
Saluran Pembuangan
Kapasitas saluran pembuangan lancar
Saluran pembuangan tertutup (grill) dan
dilengkapi bak kontrol
Pasokan Air
Tersedia pasokan air bersih dalam jumlah
cukup
Jarak terdekat sumber air dengan tempat
pembuangan limbah cair/septic tank 8m
Dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih di
laboratorium minimal sekali dalam setahun
2%
Aplikasi SSOP terhadap Ventilasi
hanya terpenuhi sebagian
2.5%
Aplikasi SSOP terhadap Saluran
Pembuangan hanya terpenuhi
sebagian
3%
Aplikasi SSOP terhadap Pasokan
Air hanya terpenuhi sebagian
69
Lampiran 1 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Es (Persyaratan
Khusus RPU)
(2%)
Es (Persyaratan Khusus RPU)
Hanya TPA dibina Parung yang
menggunakan es yang berasal dari es
balok dari pabrik setempat
Es (Persyaratan Khusus RPU)
Terbuat dari air yang memenuhi
persyaratan air bersih
Ditangani secara higienis
0.5%
Aplikasi SSOP terhadap Es hanya
terpenuhi sebagian
Penanganan
Limbah dan
Kotoran
(2%)
Toilet
(2%)
Ruang Ganti
Pakaian
(1%)
Fasilitas Cuci
Tangan dan Foot
Deep
(4%)
Peralatan dan
Wadah
(2%)
Penanganan Limbah dan Kotoran
Penampungan limbah pada TPA dibina
Parung berjarak kurang dari 8 m
dengan ruang produksi
Toilet
Toilet pada TPA dibina Cibungbulang
terpelihara dengan baik, dan tidak pada
TPA dibina lainnya
Ruang Ganti Pakaian
Ruang Ganti pada TPA dibina
Cibungbulang terpelihara dengan baik,
dan tidak pada TPA dibina lainnya
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep
Pada TPA dibina Dramga tersedia
fasilitas cuci tangan dan foot deep tapi
tidak berfungsi
Pada TPA dibina Cibungbulang tersedia
fasilitas cuci tangan
Peralatan dan Wadah
Peralatan pada semua TPA dibina terbuat
dari bahan yang kedap air, tidak
Penanganan Limbah dan Kotoran
Limbah ditangani dengan baik
Fasilitas pembuangan sampah/kotoran
dalam ruang proses tertutup
Toilet
Terpelihara dengan baik
Fasilitas untuk pencucian tangan, seperti
sabun, cukup atau tersedia
Ruang Ganti Pakaian
Ada, terawat dan tidak kotor
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep
Setiap pintu masuk ruang pengolahan
memiliki fasilitas cuci tangan dan foot
deep
Fasilitas cuci tangan berfungsi
Fasilitas cuci tangan dioperasikan dengan
tangan dan dilengkapi dengan petunjuk
mencuci tangan
Memiliki fasilitas untuk membesihkan
sepatu boot
Peralatan dan Wadah
Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak
mudah korosif, tidak toksik, mudah
1.75%
Aplikasi SSOP terhadap
Penanganan Limbah dan Kotoran
hanya terpenuhi sebagian
1.25%
Aplikasi SSOP terhadap Toilet
hanya terpenuhi sebagian
0.75%
Aplikasi SSOP terhadap Ruang
Ganti Pakaian hanya terpenuhi
sebagian
2%
Aplikasi SSOP terhadap Fasilitas
Cuci Tangan dan Foot Deep hanya
terpenuhi sebagian
1.5%
Aplikasi SSOP terhadap Peralatan
dan Wadah hanya terpenuhi
70
Lampiran 1 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Kemasan
(3%)
Program
Pengendalian
Serangga dan
Rodensia
(4%)
Pembersihan dan
Desinfeksi
(3%)
mudah korosif, tidak toksik, mudah
dibersihkan dan didisinfeksi dan
disimpan ditempat yang seharusnya
Kemasan
TPA dibina Parung menggunakan
kemasan dari styrofoam dan cool box,
sehingga kebersihan produk lebih
terjaga dibandingkan dengan kemasan
pada TPA dibina lainnya yang
menggunakan kantung plastik dan
karung plastik bekas
Program Pengendalian Serangga dan
Rodensia
Tidak ada program pengendalian
serangga dan rodensia pada TPA Parung,
karena bangunan merupakan bangunan
terbuka
Pembersihan dan Desinfeksi
Pemberishan pada semua TPA dibina
hanya menggunakan sikat dan air,
belum melakukan desinfeksi
dibersihkan dan didisinfeksi
Terawat dengan baik atau disimpan
ditempat yang seharusnya
Kemasan
Terbuat dari bahan yang tidak toksik,
bereaksi dengan produk, dan mampu
mencegah terjadinya kontaminasi terhadap
produk
Disimpan pad ruang khusus
Program Pengendalian Serangga dan
Rodensia
Memiliki program tertulis dalam
pengendalian serangga dan rodensia
Program pengendalian serangga,
tikus/rodensia dan binatang pengganggu
lainnya di lingkungan unit usaha efektif
Lubang angin dilengkapi dengan kasa
untuk mencegah masuknya serangga
Ada tirai udara (air curtain), tirai plastik
dan alat pencegah serangga lainnya dan
efektif
Pembersihan dan Desinfeksi
Memiliki program pembersihan dan
desinfeksi
Metode pembersihan dan disinfeksi efektif
Peralatan dan wadah dicuci dengan air
bersih dan disanitasi setelah digunakan
sebagian
1.25%
Aplikasi SSOP terhadap Kemasan
hanya terpenuhi sebagian
1.25%
Aplikasi SSOP terhadap Program
Pengendalian Serangga dan
Rodensia hanya terpenuhi sebagian
2.75%
Aplikasi SSOP terhadap
Pembersihan dan Desinfeksi hanya
terpenuhi sebagian
71
Lampiran 1 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Bahan-bahan Kimia
(2%)
Bahan-bahan Kimia
Tidak dipergunakan bahan-bahan kimia
pada produk olahan
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia, sanitizer dan bahan
tambahan pangan diberi label dan
disimpan dengan baik
Penggunaan bahan kimia dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan
Aplikasi SSOP terhadap Bahan-
bahan Kimia belum terpenuhi oleh
semua TPA
Higiene Personal
(4%)
Higiene Personal
Kesehatan pekerja terjaga dengan baik
Masih terjadi kontaminasi silang antara
Pekerja dan Produk
Ada pelatihan sanitasi dari Dinas
Peternakan
Higiene Personal
Karyawan yang berhubungan langsung
dengan produk dalam kondisi sehat
Kebersihan karyawan yang berhubungan
langsung dengan produk terjaga dengan
baik
Tidak terjadi kontaminasi silang (makan,
meludah, merokok di ruang proses)
Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan
higienis cukup
2.25%
Aplikasi SSOP terhadap Higiene
Personal hanya terpenuhi sebagian
Bahan Baku,
Penanganan dan
Pengolahan
(8%)
Bahan Baku, Penanganan dan
Pengolahan
Tidak ada pemeriksaan ante mortem
dan post mortem pada bahan baku
pada semua TPA dibina
Bahan Baku, Penanganan dan
Pengolahan
Pemeriksaan ante mortem pada ternak
yang akan dipotong dilakukan oleh dokter
hewan atau para medik veteriner
Pemeriksaan ante mortem dilakukan secara
teratur
Dilakukan pencatatan terhadap hasil
pemeriksaan ante mortem
Penanganan hewan hidup memenuhi aspek
kesrawan
Pemeriksaan post mortem pada setiap
hewan dilakukan oleh dokter hewan atau
para medik veteriner
Aplikasi SSOP terhadap Bahan
Baku, Penanganan dan Pengolahan
hanya terpenuhi sebagian
72
*) persentase kondisi seharusnya
**) persentase kondisi seharusnya yang telah terpenuhi pada 8 TPA dibina
Lampiran 1 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Pembekuan
(2%)
Pembekuan
Seluruh TPA dibina tidak memiliki
fasilitas blast freezer
Pemeriksaan post mortem dilakukan secara
teratur
Dilakukan pencatatan terhadap hasil
pemeriksaan post mortem
Pembekuan
Memiliki fasilitas blast freezer
Dilengkapi dengan display themometer
pada ruangan blast freezer dan cold storage
Aplikasi SSOP terhadap
Pembekuan belum terpenuhi
Pelabelan
(1%)
Pelabelan
Tidak ada pemberian label pada produk
beku
Pelabelan
Produk yang sudah dalam bentuk beku
mempunyai label dan tanda/etiket
Aplikasi SSOP terhadap Pelabelan
belum terpenuhi
Penyimpanan
(3%)
Penyimpanan
Hanya TPA dibina Parung yang
memiliki fasilitas cold storage untuk
produk beku
Penyimpanan
Memiliki chill room untuk penyimpanan
produk segar
Memiliki cold storage untuk penyimpanan
produk beku
Produk akhir yang disimpan dalam gudang
beku terpisah dengan bahan lain
0.75%
Aplikasi SSOP terhadap
Penyimpanan hanya terpenuhi
sebagian
Pengujian
Laboratorium
(3%)
Pengujian Laboratorium
Tidak pernah dilakukan pengujian
laboratorium untuk produk akhir,
program sanitasi dan tidak
dokumentasi terhadap hasil pengujian
laboratorium
Pengujian Laboratorium
Ada program pengujian laboratorium
terhadap produk akhir
Ada program monitoring efektivitas
program sanitasi
Dilakukan dokumentasi terhadap hasil
pengujian laboratorium
Aplikasi SSOP terhadap Pengujian
Laboratorium belum terpenuhi
73
Lampiran 2 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA belum dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada Permentan 2005
Aspek SSOP Kondisi TPA belum dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Penanggung Jawab
Kesehatan Hewan
dan Kesmavet
(1%) *
Penanggung Jawab Kesehatan Hewan
dan Kesmavet
Tidak ada dokter hewan penanggung
jawab kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner
Penanggung Jawab Kesehatan Hewan
dan Kesmavet
Dokter hewan penanggung jawab
kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner
Aplikasi SSOP terhadap aspek
Penanggung Jawab Kesehatan
Hewan dan Kesmavet belum
terpenuhi sepenuhnya
Lokasi dan
Lingkungan
(5%)
Lokasi dan Lingkungan
Perijinan hanya dimiliki oleh sebagian
TPA
Disekitar TPA tidak terdapat rumah
potong babi (RPB)
Penanganan dan sistem pembuangan
sampah, limbah cair dan peralatan
cukup baik hanya pada semua TPA
belum baik
Terdapat debu yang berlebihan
dijalanan dan tempat parkir
Lokasi dan Lingkungan
Lokasi unit usaha sesuai dengan alamat
yang tercantum dalam perijinan
Ada pemisahan fisik antara RPB dan
RPH/RPU
Penyimpanan dan penanganan sampah,
limbah dan peralatan baik
Debu yang tidak berlebihan di jalanan dan
tempat parkir
Sistem pembuangan limbah cair/saluran
baik
3% *
Aplikasi SSOP terhadap Lokasi dan
Lingkungan hanya terpenuhi
sebagian
Konstruksi
Bangunan Utama
(13%)
Konstruksi Bangunan Utama
Belum ada pemisahan fisik antara
ruangan bersih dan kotor pada semua
TPA belum dibina
TPA belum dibina Parung tidak
memiliki langit-langit
Lantai untuk semua TPA belum dibina
licin, ada genangan air dan tidak kedap
air
Dinding pada semua TPA selum dibina
berwarna gelap, retak/berlubang
Konstruksi Bangunan Utama
Dilakukan pemisahan secara fisik antara
ruangan bersih dan kotor
Ruang pengolahan tidak berhubungan
langsung dengan toilet/kamar mandi,
tempat ganti pakaian, tempat tinggal,
garasi dan bengkel
Ada langit-langit (plafon); Langit- langit
bebas dari kemungkinan catnya
rontok/jatuh atau dalam keadaan tidak
kotor dan terawat; Rata, tidak
retak/berlubang
Dinding setinggi kurang dari 2 meter
terbuat dari bahan yang kedap air, mudah
1.5%
Aplikasi SSOP terhadap Konstruksi
Bangunan Utama hanya terpenuhi
sebagian
75
Lampiran 2 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
dibersihkan dan didisinfeksi; Permukaan
rata, tidak retak atau berlubang; Tidak ada
bagian dinding yang memungkinkan untuk
meletakkan/menyimpan barang/peralatan;
Dinding di ruang pengolahan berwarna
terang
Bahan lantai kedap air, tidak licin, mudah
dibersihkan dan didisinfeksi; Pertemuan
antara lantai dan dinding lengkung; Tidak
ada genangan cairan, tumpukan kotoran
dan air mengalir ke saluran pembuangan
Bangunan Utama
TPA
(25%)
Bangunan Utama TPA
Tempat penurunan unggas hidup
terdapat pada TPA belum dibina
Dramaga dan Parung
Tidak ada pemeriksaan antemortem
dan postmortem untuk semua TPA
belum dibina
Tidak dilakukan stunning untuk semua
TPA belum dibina
Tidak ada daerah bersih pada semua
TPA belum dibina, pengemasan
dilakukan pada ruang produksi
Bangunan Utama TPA
Daerah Kotor:
Tempat penurunan unggas hidup,
pemeriksaan antemortem dan
penggantungan unggas hidup
Pemingsanan (stunning)
Penyembelihan (killing)
Pencelupan ke air panas (scalding)
Pencabutan bulu (defeathering)
Pencucian karkas
Pengeluaran jeroan/evisceration
Pemeriksaan postmortem
Penanganan jeroan
Daerah Bersih:
Tempat pencucian karkas.
Tempat pendinginan karkas.
Seleksi (grading)
Penimbangan karkas
Pemotongan karkas (cutting)
14.125%
Aplikasi SSOP terhadap Bangunan
Utama TPA hanya terpenuhi
sebagian
76
Lampiran 2 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Pemisahan daging dari tulang
Pengemasan
Penyimpanan segar (chilling room)
Penerangan
(2%)
Penerangan
Lampu pada semua TPA belum dibina
tidak berpelindung
Proses produksi pada TPA belum
dibina Parung dan Dramaga dilakukan
pada pagi hari sehingga tidak
digunakan penerangan
Penerangan
Lampu di ruang pengolahan, pengemasan
dan penyimpanan bahan baku
perpelindung
Penerangan pada tempat pemeriksaan
(inspeksi) cukup (kurang dari 540 luks)
0.25%
Aplikasi SSOP terhadap
Penerangan hanya terpenuhi
sebagian
Ventilasi
(2%)
Saluran
Pembuangan
(3%)
Pasokan Air
(4%)
Ventilasi
Sistem ventilasi pada seluruh TPA
belum dibina baik, sehingga tidak
terjadi akumulasi kondensasi di atas
proses pengolahan dan penyimpanan
produk
Saluran Pembuangan
Saluran pembuangan pada seluruh
TPA belum dibina belum tidak tertutup
Tidak ada bak kontrol pada sistem
saluran pada semua TPA belum dibina
Pasokan Air
Air yang digunakan untuk seluruh
proses produksi pada semua TPA
belum dibina berasal dari sumur
dengan kedalaman lebih dari 8 m
Jarak sumur dengan tempat
penampungan limbah cair pada
sebagian TPA belum dibina kurang
dari 8 m
Ventilasi
Sirkulasi udara di ruang proses produksi
baik (tidak pengap)
Tidak terjadi akumulasi kondensasi di atas
proses pengolahan dan penyimpanan
produk
Saluran Pembuangan
Kapasitas saluran pembuangan lancar
Saluran pembuangan tertutup (grill) dan
dilengkapi bak kontrol
Pasokan Air
Tersedia pasokan air bersih dalam jumlah
cukup
Jarak terdekat sumber air dengan tempat
pembuangan limbah cair/septic tank 8m
Dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih
di laboratorium minimal sekali dalam
setahun
1.375%
Aplikasi SSOP terhadap Ventilasi
hanya terpenuhi sebagian
0.875%
Aplikasi SSOP terhadap Saluran
Pembuangan hanya terpenuhi
sebagian
2%
Aplikasi SSOP terhadap Pasokan
Air hanya terpenuhi sebagian
77
Lampiran 2 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Tidak pernah dilakukan pemeriksaan
kualitas air di laboratorium
Es (Persyaratan
Khusus RPU)
(2%)
Es (Persyaratan Khusus RPU)
Tidak ada penggunaan es pada seluruh
TPA belum dibina
Es (Persyaratan Khusus RPU)
Terbuat dari air yang memenuhi
persyaratan air bersih
Ditangani secara higienis
Aplikasi SSOP terhadap Es belum
terpenuhi
Penanganan
Limbah dan
Kotoran
(2%)
Toilet
(2%)
Ruang Ganti
Pakaian
(1%)
Fasilitas Cuci
Tangan dan Foot
Deep
(4%)
Penanganan Limbah dan Kotoran
Penampungan limbah pada TPA belum
dibina Dramaga dan Cibungbulang
berjarak kurang dari 8 m dengan ruang
produksi
Toilet
Tidak tersedia sarana toilet pada TPA
belum dibina Parung, Cibungbulang
dan Dramaga
Ruang Ganti Pakaian
Tidak tersedia Ruang Ganti pada TPA
belum dibina Parung
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep
Tidak tersedia fasilitas cuci tangan dan
foot deep untuk semua TPA belum
dibina
Penanganan Limbah dan Kotoran
Limbah ditangani dengan baik
Fasilitas pembuangan sampah/kotoran
dalam ruang proses tertutup
Toilet
Terpelihara dengan baik
Fasilitas untuk pencucian tangan, seperti
sabun, cukup atau tersedia
Ruang Ganti Pakaian
Ada, terawat dan tidak kotor
Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep
Setiap pintu masuk ruang pengolahan
memiliki fasilitas cuci tangan dan foot
deep
Fasilitas cuci tangan berfungsi
Fasilitas cuci tangan dioperasikan dengan
tangan dan dilengkapi dengan petunjuk
mencuci tangan
Memiliki fasilitas untuk membesihkan
sepatu boot
0.375%
Aplikasi SSOP terhadap
Penanganan Limbah dan Kotoran
hanya terpenuhi sebagian
0.25%
Aplikasi SSOP terhadap Toilet
hanya terpenuhi sebagian
0.125%
Aplikasi SSOP terhadap Ruang
Ganti Pakaian hanya terpenuhi
sebagian
Aplikasi SSOP terhadap Fasilitas
Cuci Tangan dan Foot Deep belum
terpenuhi
78
Lampiran 2 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Peralatan dan
Wadah
(2%)
Kemasan
(3%)
Program
Pengendalian
Serangga dan
Rodensia
(4%)
Pembersihan dan
Desinfeksi
(3%)
Peralatan dan Wadah
Peralatan pada semua TPA belum dibina
terbuat dari bahan yang kedap air, tidak
mudah korosif, tidak toksik, mudah
dibersihkan dan didisinfeksi dan
disimpan ditempat yang seharusnya
Kemasan
Seluruh TPA belum dibina menggunakan
kemasan dari kantung plastik dan karung
plastik yang tidak dapat mencegah
kontaminasi lanjutan
Program Pengendalian Serangga dan
Rodensia
Tidak ada program pengendalian
serangga dan rodensia pada semua TPA
belum dibina
Pembersihan dan Desinfeksi
Pemberishan pada semua TPA belum
dibina hanya menggunakan sikat dan
air, belum didesinfektan
Peralatan dan Wadah
Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak
mudah korosif, tidak toksik, mudah
dibersihkan dan didisinfeksi
Terawat dengan baik atau disimpan
ditempat yang seharusnya
Kemasan
Terbuat dari bahan yang tidak toksik,
bereaksi dengan produk, dan mampu
mencegah terjadinya kontaminasi terhadap
produk
Disimpan pad ruang khusus
Program Pengendalian Serangga dan
Rodensia
Memiliki program tertulis dalam
pengendalian serangga dan rodensia
Program pengendalian serangga,
tikus/rodensia dan binatang pengganggu
lainnya di lingkungan unit usaha efektif
Lubang angin dilengkapi dengan kasa
untuk mencegah masuknya serangga
Ada tirai udara (air curtain), tirai plastik
dan alat pencegah serangga lainnya dan
efektif
Pembersihan dan Desinfeksi
Memiliki program pembersihan dan
desinfeksi
Metode pembersihan dan disinfeksi efektif
Peralatan dan wadah dicuci dengan air
bersih dan disanitasi setelah digunakan
0.375%
Aplikasi SSOP terhadap Peralatan
dan Wadah hanya terpenuhi
sebagian
1.125%
Aplikasi SSOP terhadap Kemasan
hanya terpenuhi sebagian
Aplikasi SSOP terhadap Program
Pengendalian Serangga dan
Rodensia belum terpenuhi
0.875%
Aplikasi SSOP terhadap
Pembersihan dan Desinfeksi hanya
terpenuhi sebagian
79
Lampiran 2 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Bahan-bahan Kimia
(2%)
Bahan-bahan Kimia
Tidak dipergunakan bahan-bahan
kimia pada produk olahan
Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia, sanitizer dan bahan
tambahan pangan diberi label dan
disimpan dengan baik
Penggunaan bahan kimia dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan
Aplikasi SSOP terhadap Bahan-
bahan Kimia belum terpenuhi oleh
semua TPA
Higiene Personal
(4%)
Higiene Personal
Kesehatan pekerja terjaga dengan baik
Masih terjadi kontaminasi silang antara
Pekerja dan Produk
Ada pelatihan sanitasi dari Dinas
Peternakan
Higiene Personal
Karyawan yang berhubungan langsung
dengan produk dalam kondisi sehat
Kebersihan karyawan yang berhubungan
langsung dengan produk terjaga dengan
baik
Tidak terjadi kontaminasi silang (makan,
meludah, merokok di ruang proses)
Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan
higienis cukup
1.625%
Aplikasi SSOP terhadap Higiene
Personal hanya terpenuhi sebagian
Penerimaan Bahan
Baku, Penanganan
dan Pengolahan
(8%)
Penerimaan Bahan Baku, Penanganan
dan Pengolahan
Tidak ada pemeriksaan ante mortem
dan post mortem pada bahan baku
pada semua TPA belum dibina
Penerimaan Bahan Baku, Penanganan
dan Pengolahan
Pemeriksaan ante mortem pada ternak
yang akan dipotong dilakukan oleh dokter
hewan atau para medik veteriner
Pemeriksaan ante mortem dilakukan
secara teratur
Dilakukan pencatatan terhadap hasil
pemeriksaan ante mortem
Penanganan hewan hidup memenuhi aspek
kesrawan
Pemeriksaan post mortem pada setiap
hewan dilakukan oleh dokter hewan atau
para medik veteriner
Aplikasi SSOP terhadap Bahan
Baku, Penanganan dan Pengolahan
hanya terpenuhi sebagian
80
*) persentase kondisi seharusnya
**) persentase kondisi seharusnya yang telah terpenuhi pada 8 TPA belum dibina
Lampiran 2 Lanjutan ..
Aspek SSOP Kondisi TPA dibina Kondisi Seharusnya Keterangan
Pemeriksaan post mortem dilakukan secara
teratur
Dilakukan pencatatan terhadap hasil
pemeriksaan post mortem
Pembekuan
(2%)
Pembekuan
Seluruh TPA belum dibina tidak
memiliki fasilitas blast freezer
Pembekuan
Memiliki fasilitas blast freezer
Dilengkapi dengan display themometer
pada ruangan blast freezer dan cold
storage
Aplikasi SSOP terhadap
Pembekuan belum terpenuhi
Pelabelan
(1%)
Pelabelan
Tidak ada pemberian label pada produk
beku
Pelabelan
Produk yang sudah dalam bentuk beku
mempunyai label dan tanda/etiket
Aplikasi SSOP terhadap Pelabelan
belum terpenuhi
Penyimpanan
(3%)
Penyimpanan
Tidak tersedia fasilitas cold storage
untuk produk beku pada semua TPA
belum dibina
Penyimpanan
Memiliki chill room untuk penyimpanan
produk segar
Memiliki cold storage untuk penyimpanan
produk beku
Produk akhir yang disimpan dalam
Aplikasi SSOP terhadap
Penyimpanan belum terpenuhi
Pengujian
Laboratorium
(3%)
Pengujian Laboratorium
Tidak pernah dilakukan pengujian
laboratorium untuk produk akhir,
program sanitasi dan tidak
dokumentasi terhadap hasil pengujian
laboratorium pada semua TPA belum
dibina
gudang beku terpisah dengan bahan lain
Pengujian Laboratorium
Ada program pengujian laboratorium
terhadap produk akhir
Ada program monitoring efektivitas
program sanitasi
Dilakukan dokumentasi terhadap hasil
pengujian laboratorium
Aplikasi SSOP terhadap Pengujian
Laboratorium belum terpenuhi
81
Lampiran 3 Aplikasi Kehalalan di TPA dibina dan belum dibina dan Kondisi Seharusnya yang mengacu pada LPPOM MUI 2011
Aspek
Kehalalan
Kondisi di TPA dibina dan
belum dibina
Kondisi Seharusnya Keterangan
Sumber Daya
Manusia
(24.5%) *
Sumber Daya Manusia
Personel yang bekerja pada
semua TPA memiliki
kemampuan untuk
menyembelih ayam secara
Sumber Daya Manusia
Personel yang melaksanakan pekerjaan yang
mempengaruhi status kehalalan produk unggas yang
dihasilkan harus memiliki kompetensi yang sesuai
16.5% **
Aplikasi Kehalalan
terhadap aspek SDM
belum memenuhi
halal, tidak merangkap sebagai
pekerja pada RPB
Pekerja beragama Islam,
Personel harus mengikuti pelatihan/tindakan lain untuk
mencapai kompetensi yang diperlukan
berusia lebih dari 18 tahun,
sehat jasmani dan rohani
Pelatihan penyembelihan
Manajemen TPA harus memelihara rekaman mengenai
pelatihan, ketrampilan dan pengalaman personel
ayam halal didapat dari Mesjid
setempat
Tidak ada kontrol dan
Personel harus dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM
MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui LPPOM
MUI
supervisi dari LPPOM
MUI/Lembaga Sertifikasi Personael halal tidak boleh merangkap sebagai pekerja
/karyawan pada RPH babi
Halal yang diakui LPPOM Petugas penyembelih beragama Islam
MUI Petugas penyembelih berumur minimal 18 tahun
Pekerja belum memiliki kartu
identitas sebagai
Berbadan dan berjiwa sehat serta memiliki catatan
kesehatan yang baik
penyembelih halal dari Taat dalam menjalankan ibadah wajib
Lembaga Sertifikasi Halal
yang diakui oleh LPPOM
MUI/Lembaga yang
berwewenang dalam
sertifikasi halal
Lulus pelatihan penyembelihan halal yang dilakukan
oleh lembaga Islam/lembaga sertifikasi halal yang
bekerjasama dengan instansi teknis terkait
Memahami tata cara penyembelihan sesuai Syariat
Islam
83
Lampiran 3 Lanjutan ..
Aspek
Kehalalan
Kondisi di TPA dibina dan
belum dibina
Kondisi Seharusnya Keterangan
Memiliki kartu identitas sebagai penyembelih halal dari
Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui oleh
MUI/Lembaga yang berwewenang dalam sertifikasi
halal
Prasarana
(14.5%)
Prasarana
TPA penelitian hanya
memproduksi daging
Prasarana
Dalam satu RPU hanya dikhususkan untuk produksi
daging unggas halal
14.5%
Aplikasi Kehalalan
terhadap aspek
Prasarana
unggas
Tidak terdapat peternakan
hewan non halal disekitar
Lokasi RPU harus terpisah dari RPH/peternakan babi
(min 2km) dan tidak terjadi kontaminasi silang antara
RPU halal dan babi
memenuhi
TPA penelitian
Alat untuk menyembelih
adalah pisau yang tajam
Fasilitas RPU dirancang sedemikian rupa agar produk
yang halal tidak terkontaminasi dengan produk non
halal maupun dengan barang haram dan najis
Tidak terjadi penggunaan fasilitas, mesin, dan alat
secara bersama-sama antara RPU halal dan babi
Alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam
dan bukan berasal dari kuku, gigi/taring/tulang
Ukuran alat penyembelih harus sesuai dengan ukuran
dari leher unggas yang akan dipotong
Penyembelihan
Unggas
(36.5%)
Penyembelihan Unggas
Tidak dilakukan pemeriksaan
ante mortem pada semua TPA
penelitian
Alat penyembelih tidak dipertajam didepan unggas
yang akan disembelih
Penyembelihan Unggas
Unggas yang akan disembelih harus mempunyai waktu
istirahat yang cukup dan mengikuti kaidah kesejahteraan
unggas yang berlaku
24.5%
Aplikasi Kehalalan
terhadap aspek
Penyembelihan Unggas
belum memenuhi
84
Lampiran 3 Lanjutan ..
Aspek
Kehalalan
Kondisi di TPA dibina dan
belum dibina
Kondisi Seharusnya Keterangan
Tidak dilakukan rekaman
terhadap unggas mati yang
Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh lembaga
yang memiliki kewenangan
belum sempat disembelih
Ayam mendapat istirahat
Rekaman unggas mati sebelum sempat disembelih
harus disimpan dan dipelihara
yang cukup sebelum
disembelih, tidak stress Pengendalian unggas harus seminimal mungkin
menjadikan unggas stress dan kesakitan
Penyembelihan menghadap
kiblay dan kalimat
Segera dilakukan penyembelihan bila ungggas telah
terkendali dengan baik dan tenang
“Bisillahirrahmanirrahim”
hanya diucapkan pada awal
penyembelihan, mewakili
Kalimat “Bisillahirrahmanirrahim” harus diucapkan
oleh penyembelih sebelum melakukan penyembelihan
seluruh proses
penyembelihan
Penyembelihan memotong
Penyembelihan harus dilakukan dengan memotong
oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis
oesophagus, trachea, vena
jugularis, arteri carotis dan Hendaklah melakukan satu kali sembelih (tidak
mengangkat pisau ketika menyembelih).
hanya dilakukan satu kali
penyembelihan dan minimal Proses penyembelihan dilakukan dari leher bagian
depan dan tidak memutus tulang leher
waktu 2 menit sebelum Penyembelihan menghadap kiblat
masuk ke proses berikutnya
Pada semua TPA penelitian,
penanganan karkas dan jeroan
dilakukan di dalam satu
ruangan
Tidak dilakukan pemeriksaan
post mortem
Rekaman setiap pemotongan yang tidak sesuai dengan
persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara
Harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan
unggas mati sebelum dilakukan penanganan/proses
selanjutnya
Waktu minimal antara pemotongan dan proses
selanjutnya adalah 2 menit
85
Lampiran 3 Lanjutan ..
Aspek
Kehalalan
Kondisi di TPA dibina dan
belum dibina
Kondisi Seharusnya Keterangan
pada semua TPA penelitian Ruang/lokasi penanganan karkas dan jeroan harus
dipisah
Karkas dan jeroan yang berasal dari unggas yang
disembelih tidak memenuhi persyaratan halal maka
harus dimusnahkan
Pemeriksaan post mortem harus dilakukan oleh petugas
yang berwenang
Rekaman karkas dan jeroan yang tidak memenuhi
persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara
Penanganan
dan
Penyimpanan
(10.5%)
Penanganan dan Penyimpanan
Semua TPA penelitian hanya
memproduksi unggas, tidak
Penanganan dan Penyimpanan
Karkas/daging/jeroan halal dan non halal harus
ditangani dan disimpan pada tempat yang terpisah
8.5%
Aplikasi Kehalalan
terhadap aspek
Penanganan dan
Penyimpanan belum
memenuhi
ada produk non halal yang
dihasilkan Karkas/daging/jeroan halal harus ditangani dan
disimpan dengan baik untuk menghindari kontaminasi
silang dengan bahan najis dan cemaran lainnya
Ruang/gudang penyimpanan harus bebas dari produk
babi
Jika di RPU menghasilkaan produk halal dan non halal
maka dilakukan penandaan dan penyimpanan yang
terpisah
Rekaman karkas/daging/jeroan non halal harus
disimpan dan dipelihara
86
Lampiran 3 Lanjutan ..
Aspek
Kehalalan
Kondisi di TPA dibina dan
belum dibina
Kondisi Seharusnya Keterangan
Pengemasan
dan Pelabelan
(10%)
Pengemasan dan Pelabelan
Belum ada label/logo halal
Pengemasan dan Pelabelan
Kemasan harus memiliki identitas halal
Aplikasi Kehalalan
terhadap aspek
Pengemasan dan
pada kemasan
Pemberian identitas halal dicantumkan pada kemasan
produk sebelum memasuki ruang/gudang penyimpanan
pelabelan tidak
memenuhi
untuk semua TPA
penelitian
Label harus secara spesifik menjelaskan perbedaan
halal dan non halal
Proses pengiriman daging /jeroan harus disertai dengan
label
Label memuat logo halal, tgl penyembelihan, nama
RPU dan berat bersih
Transportasi
(4%)
Transportasi
Karena semua TPA penelitian
hanya
Transportasi
Alat pengiriman harus khusus untuk daging halal dan
tidak digunakan untuk daging non halal
4%
Aplikasi Kehalalan
terhadap aspek
memproduksi karkas ayam,
maka tidak terdapat
produk non halal pada
semua TPA penelitian
Alat pengiriman harus bebas dari najis dan cemaran lain Transportasi telah
memenuhi
*) persentase kondisi seharusnya
**) persentase kondisi seharusnya yang telah terpenuhi pada TPA penelitian
87
Lampiran 4 Penetapan Titik Kritis pada Proses Produksi di TPA penelitian
Tahapan Proses Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan
Penerimaan
Ayam Hidup Fisik: tanah, debu, pasir, kerikil
Kimia: residu antibiotika
Biologi: Coliform, Campylobacter, E.coli,
Clostridium perfringens, Streptococcus,
Staphylococcus
Kotoran dan darah pada keranjang
Bulu ayam
Lantai
Dilakukan pencucian keranjang yang
benar
Pembersihan lantai yang benar
Penerimaan ayam sehat
Penyembelihan Fisik: abu rokok, rambut, debu
Kimia: asap rokok
Biologi: Coliform, Campylobacter,
Salmonella E.coli, Staphylococcus
Kotoran, darah dan bulu ayam
Pekerja
Lantai
Pisau
Pemisahan ruang penyembelihan dan
ruang produksi, sehingga darah dan
kotoran tidak mencemari karkas ayam
Pekerja yang bersih, tidak merokok
Pengeluaran
Darah Fisik: abu rokok,rambut, debu
Kimia: asap rokok
Biologi: Coliform, E.coli, Campylobacter,
Salmonella, Staphylococcus
Darah
Kotoran ayam
Tong tempat menampung ayam
Tidak menggunakan tong sebagai tempat
mengeluarkan darah
Pemisahan ruang pengeluaran darah
dengan ruang proses produksi, sehingga
darah dan kotoran ayam tidak mengotori
ayam
Scalding
Plucking
Eviserasi
Pencucian
Karkas
Fisik: abu rokok, rambut
Kimia: asap kayu bakar, asap rokok
Biologi: Clostridium perfringens,
Staphylococcus
Fisik: abu rokok, rambut
Kimia: asap rokok
Biologi: E.coli, Staphylococcus aureus
Fisik: rambut, abu rokok, debu, kerikil
Kimia: asap rokok
Biologi: Coliform, Campylobacter,
Salmonella, E.coli, Clostridium perfringens
Fisik: abu rokok, rambut
Kimia: asap rokok
Darah dan kotoran ayam yang
menempel pada bulu-bulu dan
kulit ayam
Air scalding
Tong scalding
Darah, kotoran, bulu ayam
Air mesin plucker
Pisau, peralatan, pekerja
Isi usus, empedu
Lantai
Air tercemar oleh karkas
Pencucian kemasan, karkas dan
Tidak merokok, memakai masker dan
penutup rambut
Menggunakan gas sebagai pembakar
Tong scalding yang dicuci bersih
Pekerja memakai pengaman
Mencuci plucker secara benar
Tidak menempatkan karakas dilantai
berdekatan dengan jeroan
Pekerja menggunakan pengaman
Penggantian air cucian
Pekerja menggunakan pengaman 89
Lampiran 4 Lanjutan ..
Tahapan Proses Bahaya Sumber Bahaya Pencegahan
Biologi: coliform, Salmonella sp, S. aureus jeroan di tempat yang sama
Penanganan
Jeroan Fisik: abu rokok, rambut, debu, kerikil
Kimia: asap rokok
Biologi: Coliform, Salmonella sp, S.
aureus, Clostridium perfringens
Pekerja
Isi usus
Empedu
Isi ampela
Lantai
Dilakukan pemisahan proses penanganan
jeroan dan karkas
Pengemasan
Karkas dan
Jeroan
Fisik: debu jalanan, rambut, abu rokok
Kimia: asap rokok
Biologi: Clostridium perfringens,
Salmonella, Staphylococcus
Kantung plastik
Karung plastik
Karkas
Digunakan kemasan yang dapat mencegah
kontaminasi lanjutan pada karkas dan jeroan
seperti styrofoam dan kemasan hampa udara
90
91
Lampiran 5 Kuisioner Unit Usaha Rumah Potong Unggas (Mengacu pada
Permentan 2005)
I. DATA UMUM
1. Nama perusahaan
2. Jenis Unit Usaha
3. Alamat :
a). Kantor Pusat
b). Unit usaha
4. Perizinan Usaha :
a. Izin Prinsip
b. HO
c. Izin Usaha
d. SIUP
5 a. Tahun Unit Usaha didirikan:
b. Mulai operasi
6 Kapasitas (disesuaikan dengan jenis unit
usaha*) :
a. RPU
b. Tempat Pengolahan Daging (TPD)
c. Cold Storage
…….………... ekor/hari ; ton/bulan
………………. ekor/hari ; ton/bulan
………………. ekor/hari ; ton/bulan
7 Produksi rata-rata per hari (disesuaikan
dengan jenis usaha)
8 Jenis produk akhir (disesuaikan dengan
jenis usaha)
a.
b.
c.
9 Pemasaran Produk ke :
(disesuaikan dengan jenis usaha)
a. Luar Negeri
b. Dalam Negeri
Jenis Produk Negara %
Jenis Produk %
10 Merk Dagang (disesuaikan dengan jenis
usaha)
a.
b.
c.
11 Jumlah Karyawan Laki-laki Perempuan
Pengo-
lahan
Adm Pengo-
lahan
Adm
12 a. Penanggung Jawab
1. Unit Usaha (ada/tidak)*(nama) ….……….……………….
2. Unit Produksi (ada/tidak)*(nama) ………….……...……..….
3. Mutu (ada/tidak)*(nama) ……………........……..….
4. Sanitasi & Higiene (ada/tidak)*(nama) …….………………….….
b. Dokter Hewan
Perusahaan
(ada/tidak)*(nama) …..…………………….....
13 Asal Bahan Baku Pangan
Asal Hewan Yang
Digunakan
a. Dari Perusahaan sendiri
b. Dari anak perusahaan
1. Nama :
2. Alamat :
……………………………………………………...
………………………………………………………
………………………………………………………
92
3. Jenis Bahan Baku :
c. Dari Pemasok Suplier
1. Nama :
2. Alamat :
3. Jenis Bahan Baku :
………………………………………………………
………………………………………………………
14
.
Suplai air bersih berasal
dari
a. Air tanah : ………………………m3/hari
Sumur dangkal
Sumur dalam
Danau
Sungai
b. Air ledeng (dari Perusahaan Air Minum) dengan
kapasitas :…………….…m3/hari
15
.
Es Berasal dari a. Produksi sendiri dengan kapasitas :
..........................................................ton/hari
b. Pembelian dari : ...........................................
c. Bentuk es : (balok, curah) ............................
16
.
Kebutuhan es rata-rata per
hari (disesuaikan dengan
jenis usaha)
…………………………...…………… ton/hari
17
.
Sistem Pembekuan Produk
(disesuaikan dengan jenis
usaha)
a. Air Blast Freezer (ya/tidak)*
b. Contact Plate Freezer (ya/tidak)*
c. Brine Freezer (ya/tidak)*
d. Cryogenic Freezer (ya/tidak)*
e. Individual Quick Freezer (ya/tidak)*
Keterangan : *) Coret yang tidak perlu
II. DATA KHUSUS
No. Kriteria Keterangan
1 Apakah RPU sudah mempunyai Standar
Operasional Prosedur (SOP) Panduan
Mutu
(sudah/belum)*
2 Unit Pengolahan sudah menerapkan
Sistem Jaminan Keamanan Pangan
(Program Bintang, Sistem HACCP atau
ISO 22000)
a. Jika sudah bagian apa saja yang
terlibat?
b. Jika belum, apa alasannya?
(sudah/belum)*
3. Jenis formulir apa saja yang
didokumentasikan dalam rangka
menjamin keamanan produk
4. Kesulitan apa saja yang dihadapi dalam
penerapan praktek higienis-sanitasi?
5. Bimbingan apa saja yang diperlukan
dalam penerapan praktek higiene-
sanitasi?
6. Selama ini apakah sudah mendapatkan
pelatihan tentang praktek higiene?
(Sudah/Belum)*
a. Jika sudah, siapa penyelenggara,
tenaga pelatih, waktu dan tempat
pelaksanaan?
b. Berapa orang dan bagian apa saja yang
93
terlibat dalam pelatihan?
Keterangan : *) Coret yang tidak perlu
III. DAFTAR PENGECEKAN KELAYAKAN DASAR UNIT RPU
A. Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet :
Aspek yang dinilai Bobot
Nilai
(%)
Ya(1)/
Tidak
(0)
MN MY SR KT OK Ket.
1 Tidak ada dokter hewan
penanggung jawab
kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat
veteriner
1.0
B. Bangunan, Fasilitas, Sanitasi dan Higiene.
(Disesuaikan dengan jenis usaha)
Aspek yang dinilai Bobot
Nilai
(%)
Ya(1)/
Tidak
(0)
MN MY SR KT OK Ket.
I. Lokasi dan Lingkungan
1. Lokasi unit usaha tidak
sesuai dengan alamat
yang tercantum dalam
perijinan
1.0
2. Tidak ada pemisahan
fisik antara PRB dan
RPH/RPU
1.0
3. Penyimpanan dan
penanganan sampah,
limbah dan peralatan
tidak baik
1.0
4. Terdapat debu yang
berlebihan di jalanan dan
tempat parkir
1.0
5. Sistem pembuangan
limbah cair/saluran tidak
baik
1.0
II. Konstruksi Bangunan Utama
6. Tidak dilakukan
pemisahan secara fisik
antara ruangan bersih dan
kotor
2.0
7. Ruang pengolahan
berhubungan langsung
dengan toilet/kamar
mandi, tempat ganti
pakaian, tempat tinggal,
garasi dan bengkel
1.0
8. Tidak ada langit-langit
(plafon)
9. Langit-langit tidak bebas
1.0
1.0
94
dari kemungkinan catnya
rontok/jatuh atau dalam
keadaan kotor dan tidak
terawat
10. Tidak rata, retak atau
berlubang
1.0
11. Dinding setinggi kurang
dari 2 meter terbuat dari
bahan yang tidak kedap
air, tidak mudah
dibersihkan dan
didisinfeksi
1.0
12. Permukaan tidak rata,
retak atau berlubang
1.0
13. Ada bagian dinding yang
memungkinkan untuk
meletakkan/menyimpan
barang/peralatan
14. Dinding di ruang
pengolahan berwarna
gelap
1.0
1.0
15. Bahan lantai tidak kedap
air, licin, tidak mudah
dibersihkan dan
didisinfeksi
16. Pertemuan antara lantai
dan dinding tidak
lengkung
17. Banyak genangan cairan,
tumpukan kotoran atau
air tidak mengalir ke
saluran pembuangan
1.0
1.0
1.0
III. Bangunan utama RPU
Daerah Kotor:
18. Tempat penurunan
unggas hidup,
pemeriksaan
antemortem dan
penggantungan unggas
hidup
19. Pemingsanan (stunning)
20. Penyembelihan (killing)
21. Pencelupan ke air panas
(scalding tank)
22. Pencabutan bulu
(defeathering)
23. Pencucian karkas
24. Pengeluaran
jeroan/evisceration
25. Pemeriksaan
postmortem
26. Penanganan jeroan
1.0
1.0
1.0
2.0
2.0
2.0
2.0
1.0
2.0
2.0
1.0
1.0
1.0
2.0
1.0
2.0
1.0
95
Daerah Bersih:
27. Tempat pencucian
karkas.
28. Tempat pendinginan
karkas.
29. Seleksi (grading)
30. Penimbangan karkas
31. Pemotongan karkas
(cutting)
32. Pemisahan daging dari
tulang
33. Pengemasan
34. Penyimpanan segar
(chilling room)
IV. Penerangan
35. Lampu di ruang
pengolahan, pengemasan
dan penyimpanan bahan
baku tidak perpelindung
1.0
36. Penerangan pada tempat
pemeriksaan (inspeksi)
tidak cukup (kurang dari
540 luks)
1.0
V. Ventilasi
37. Sirkulasi udara di ruang
proses produksi tidak
baik (pengap)
1.0
38. Terjadi akumulasi
kondensasi di atas proses
pengolahan dan
penyimpanan produk
1.0
VI. Saluran Pembuangan
39. Kapasitas saluran
pembuangan tidak lancar
1.0
40. Saluran pembuangan
tidak tertutup (grill) dan
tidak dilengkapi bak
kontrol
2.0
VII. Pasokan Air
41. Tidak tersedia pasokan
air bersih dalam jumlah
cukup
2.0
42. Jarak terdekat sumber air
dengan tempat
pembuangan limbah
cair/septic tank kurang
dari 8m
1.0
43. Tidak dilakukan
pemeriksaan kualitas air
bersih di laboratorium
minimal sekali dalam
setahun
1.0
96
VIII. Es (Persyaratan Khusus RPU)
44. Tidak terbuat dari air
yang memenuhi
persyaratan air bersih
1.0
45. Tidak ditangani secara
higienis
1.0
IX. Penanganan Limbah dan Kotoran
46. Limbah tidak ditangani
dengan baik
1.0
47. Fasilitas pembuangan
sampah/kotoran dalam
ruang proses tidak
tertutup
1.0
X. Toilet
48. Tidak terpelihara dengan
baik
1.0
49. Fasilitas untuk pencucian
tangan, seperti sabun,
tidak cukup atau tidak
tersedia
1.0
XI. Ruang Ganti Pakaian
50. Tidak ada atau jika ada
tidak terawat dan kotor
1.0
XII. Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep
51. Setiap pintu masuk ruang
pengolahan tidak
memiliki fasilitas cuci
tangan dan foot deep
1.0
52. Fasilitas cuci tangan tidak
berfungsi
1.0
53. Fasilitas cuci tangan
dioperasikan dengan
tangan dan tidak
dilengkapi dengan
petunjuk mencuci tangan
1.0
54. Tidak memiliki fasilitas
untuk membesihkan
sepatu boot
1.0
XIII. Peralatan dan Wadah
55. Terbuat dari bahan yang
tidak kedap air, mudah
korosif, toksik, tidak
mudah dibersihkan dan
didisinfeksi
1.0
56. Tidak terawat dengan
baik atau disimpan
ditempat yang seharusnya
1.0
XIV. Kemasan
57. Terbuat dari bahan yang
toksik, bereaksi dengan
produk, dan tidak mampu
mencegah terjadinya
2.0
97
kontaminasi terhadap
produk
58. Tidak disimpan pad ruang
khusus
1.0
XV. Program Pengendalian Serangga dan Rodensia
59. Tidak memiliki program
tertulis dalam
pengendalian serangga
dan rodensia
1.0
60. Program pengendalian
serangga, tikus/rodensia
dan binatang pengganggu
lainnya di lingkungan
unit usaha tidak efektif
1.0
61. Lubang angin tidak
dilengkapi dengan kasa
untuk mencegah
masuknya serangga
1.0
62. Tirai udara (air curtain),
tirai plastik dan alat
pencegah serangga
lainnya tidak ada atau
jika ada tidak efektif
1.0
XVI. Pembersihan dan Desinfeksi
63. Tidak memiliki program
pembersihan dan
disinfeksi
1.0
64. Metode pembersihan dan
disinfeksi tidak efektif
1.0
65. Peralatan dan wadah
tidak dicuci dengan air
bersih dan disanitasi
setelah digunakan
1.0
XVII. Bahan-bahan Kimia
66. Bahan kimia, sanitizer
dan bahan tambahan
pangan tidak diberi label
dan tidak disimpan
dengan baik
1.0
67. Penggunaan bahan kimia
dan bahan tambahan
pangan yang tidak
diizinkan
1.0
C. Higiene Personal
Aspek yang dinilai Bobot
Nilai
(%)
Ya(1)/
Tidak
(0)
MN MY SR KT OK Keterangan
68. Karyawan yang
berhubungan
langsung dengan
produk dalam
1.0
98
kondisi tidak sehat
69. Kebersihan
karyawan yang
berhubungan
langsung dengan
produk tidak
terjaga dengan baik
1.0
70. Kontaminasi silang
(makan, meludah,
merokok di ruang
proses)
1.0
71. Pelatihan pekerja
dalam hal sanitasi
dan higienis tidak
cukup
1.0
D. Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan
(Disesuaikan dengan jenis usaha)
Aspek yang dinilai Bobot
Nilai
(%)
Ya(1)/
Tidak
(0)
MN MY SR KT OK Keterangan
I. Penerimaan
72. Pemeriksaan ante
mortem pada ternak
yang akan dipotong
tidak dilakukan
oleh dokter hewan
atau para medik
veteriner
73. Pemeriksaan ante
mortem tidak
dilakukan secara
teratur
74. Tidak dilakukan
pencatatan terhadap
hasil pemeriksaan
antemortem
75. Penanganan hewan
hidup tidak
memenuhi aspek
kesrawan
1.0
1.0
1.0
2.0
76. Pemeriksaan post
mortem pada setiap
hewan tidak
dilakukan oleh
dokter hewan atau
para medik
veteriner
77. Pemeriksaan post
mortem tidak
dilakukan secara
teratur
78. Tidak dilakukan
1.0
1.0
1.0
99
pencatatan terhadap
hasil pemeriksaan
post mortem
II. Pembekuan
79. Tidak memiliki
fasilitas blast
freezer
80. Tidak dilengkapi
dengan display
themometer pada
ruangan blast
freezer dan cold
storage
1.0
1.0
III. Pelabelan
81. Produk yang sudah
dalam bentuk beku
tidak mempunyai
label dan tanda atau
etiket
1.0
IV. Penyimpanan
82. Tidak memiliki
chill room untuk
penyimpanan
produk segar
83. Tidak memiliki
cold storage untuk
penyimpanan
produk beku
84. Produk akhir yang
disimpan dalam
gudang beku tidak
terpisah dengan
bahan lain
1.0
1.0
1.0
V. Pengujian Laboratorium
85. Tidak ada program
pengujian
laboratorium
terhadap produk
akhir
1.0
86. Tidak ada program
monitoring
efektivitas program
sanitasi
1.0
87. Tidak dilakukan
dokumentasi
terhadap hasil
pengujian
laboratorium
1.0
Total 100.0
100
Keterangan : MN = Penyimpangan Minor
SR = Penyimpangan Serius
MY = Penyimpangan Mayor
KT = Penyimpangan Kritis
OK = Tidak Ada Penyimpangan
Bobot penilaian : 100 % = kritis
75-100% = cukup kritis
50-75% = kurang kritis
25-50% = sangat kurang kritis
0-25% = tidak kritis
2 Unit Usaha Rumah Pemotongan Unggas (RPU)
1. Jumlah Penyimpangan
a. Penyimpangan Minor ......... Penyimpangan
b. Penyimpangan Mayor ......... Penyimpangan
c. Penyimpangan Serius ......... Penyimpangan
d. Penyimpangan Kritis ......... Penyimpangan
2. Level/Tingkat Unit Usaha
Level/Tingkat Jumlah Penyimpangan
MN (Minor) MY (Mayor) SR (Serius) KT (Kritis)
I 0 0 0 0
II <7 <8 <5 0
III NA <15 <10 <4
IV NA NA NA S4
3. Keterangan Level/Tingkat Usaha
1. Level I Berhak memperoleh NKV dengan kategori sangat baik (Kualifikasi
ekspor)
2. Level II Berhak memperoleh NKV dengan kategori baik (Menuju kualifikasi
ekspor)
3. Level III Berhak memperoleh NKV dengan kategori cukup
4. Level IV Masih dalam tahap pembinaan untuk memperoleh NKV
101
Lampiran 6 Pemotongan Ternak Secara Halal di PRU (Mengacu pada LPOM MUI 2011)
Nama RPA :
Alamat :
Parameter Bobot
Nilai
Ya/
Tdk
Penilaian NKV Ket.
MN MY SR KT OK
I. SDM
1. Personel yang melaksanakan
pekerjaan yang mempengaruhi
status kehalalan produk unggas
yang dihasilkan harus memiliki
kompetensi yang sesuai
2.00
2. Personel harus mengikuti
pelatihan/tindakan lain untuk
mencapai kompetensi yang
diperlukan
2.00
3. Manajemen RPU harus
memelihara rekaman mengenai
pelatihan, ketrampilan dan
pengalaman personel
2.00
4. Personel harus dikontrol dan
disupervisi oleh LPPOM
MUI/Lembaga Sertifikasi Halal
yang diakui LPPOM MUI
2.00
5. Personael halal tidak boleh
merangkap sebagai pekerja
/karyawan pada RPH babi
2.00
6. Petugas penyembelih beragama
Islam
2.50
7. Petugas penyembelih berumur
minimal 18 tahun
2.00
8. Berbadan dan berjiwa sehat serta
memiliki catatan kesehatan yang
baik
2.00
9. Taat dalam menjalankan ibadah
wajib
2.00
10. Lulus pelatihan penyembelihan
halal yang dilakukan oleh
lembaga Islam/lembaga
sertifikasi halal yang
bekerjasama dengan instansi
teknis terkait
2.00
11. Memahami tata cara
penyembelihan sesuai Syariat
Islam
2.00
12. Memiliki kartu identitas sebagai
penyembelih halal dari Lembaga
Sertifikasi Halal yang diakui
oleh MUI/Lembaga yang
berwewenang dalam sertifikasi
halal
2.00
II.Prasarana
13. Dalam satu RPU hanya
dikhususkan untuk produksi
daging unggas halal
2.50
14. Lokasi RPU harus terpisah dari
RPH/peternakan babi (min 2km)
2.00
102
dan tidak terjadi kontaminasi
silang antara RPU halal dan babi
15. Fasilitas RPU dirancang
sedemikian rupa agar produk
yang halal tidak terkontaminasi
dengan produk non halal
maupun dengan barang haram
dan najis
2.00
16. Tidak terjadi penggunaan
fasilitas, mesin, dan alat secara
bersama-sama antara RPU halal
dan babi
2.00
17. Alat yang digunakan untuk
menyembelih harus tajam dan
bukan berasal dari kuku,
gigi/taring/tulang
2.00
18. Ukuran alat penyembelih harus
sesuai dengan ukuran dari leher
unggas yang akan dipotong
2.00
19. Alat penyembelih tidak
dipertajam didepan unggas yang
akan disembelih
2.00
III. Penyembelihan Unggas
20. Unggas yang akan disembelih
harus mempunyai waktu
istirahat yang cukup dan
mengikuti kaidah kesejahteraan
unggas yang berlaku
2.00
21. Dilakukan pemeriksaan ante
mortem oleh lembaga yang
memiliki kewenangan
2.00
22. Rekaman unggas mati sebelum
sempat disembelih harus
disimpan dan dipelihara
2.00
23. Pengendalian unggas harus
seminimal mungkin menjadikan
unggas stress dan kesakitan
2.00
24. Segera dilakukan
penyembelihan bila ungggas
telah terkendali dengan baik dan
tenang
2.00
25. Kalimat
“Bisillahirrahmanirrahim” harus
diucapkan oleh penyembelih
sebelum melakukan
penyembelihan
3.00
26. Penyembelihan harus dilakukan
dengan memotong oesophagus,
trachea, vena jugularis dan arteri
carotis
2.50
27. Hendaklah melakukan satu kali
sembelih (tidak mengangkat
pisau ketika menyembelih).
2.50
28. Proses penyembelihan dilakukan
dari leher bagian depan dan
tidak memutus tulang leher
2.00
29. Penyembelihan menghadap
kiblat
2.50
103
30. Rekaman setiap pemotongan
yang tidak sesuai dengan
persyaratan halal harus disimpan
dan dipelihara
2.00
31. Harus dilakukan pemeriksaan
untuk memastikan unggas mati
sebelum dilakukan
penanganan/proses selanjutnya
2.00
32. Waktu minimal antara
pemotongan dan proses
selanjutnya adalah 2 menit
2.00
33. Ruang/lokasi penanganan karkas
dan jeroan harus dipisah
2.00
34. Karkas dan jeroan yang berasal
dari unggas yang disembelih
tidak memenuhi persyaratan
halal maka harus dimusnahkan
2.00
35. Pemeriksaan post mortem harus
dilakukan oleh petugas yang
berwenang
2.00
36. Rekaman karkas dan jeroan
yang tidak memenuhi
persyaratan halal harus disimpan
dan dipelihara
2.00
II. Penanganan dan Penyimpanan
37. Karkas/daging/jeroan halal dan
non halal harus ditangani dan
disimpan pada tempat yang
terpisah
2.50
38. Karkas/daging/jeroan halal harus
ditangani dan disimpan dengan
baik untuk menghindari
kontaminasi silang dengan
bahan najis dan cemaran lainnya
2.00
39. Ruang/gudang penyimpanan
harus bebas dari produk babi
2.00
40. Jika di RPU menghasilkaan
produk halal dan non halal maka
dilakukan penandaan dan
penyimpanan yang terpisah
2.00
41. Rekaman karkas/daging/jeroan
non halal harus disimpan dan
dipelihara
2.00
III. Pengemasan dan Pelabelan
42. Kemasan harus memiliki
identitas halal
2.00
43. Pemberian identitas halal
dicantumkan pada kemasan
produk sebelum memasuki
ruang/gudang penyimpanan
2.00
44. Label harus secara spesifik
menjelaskan perbedaan halal dan
non halal
2.00
45. Proses pengiriman daging
/jeroan harus disertai dengan
label
2.00
46. Label memuat logo halal, tgl
penyembelihan, nama RPU dan
2.00
104
berat bersih
IV. Transportasi
47. Alat pengiriman harus khusus
untuk daging halal dan tidak
digunakan untuk daging non
halal
2.00
48. Alat pengiriman harus bebas
dari najis dan cemaran lain
2.00
TOTAL 100,00