evaluasi laju desertifikasi batuan pada bentang lahan...

15
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014 1150 EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN KARST GUNUNGSEWU MELALUI PENGINDERAAN JAUH Oleh Eko Budiyanto Jurusan Pendidikan Geografi - Universitas Negeri Surabaya Email : [email protected] , HP: 08156896667 Abstrak Perkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya proses desertifikasi batuan pada bentang lahan karst. Proses desertifikasi batuan karst yang berkelanjutan di Gunungsewu dapat memberikan dampak negatif yang berupa degradasi lingkungan seperti hilangnya air sungai bawah tanah dan banjir bandang di permukaan. Oleh karena itu laju proses desertifikasi ini perlu dipantau dan dievaluasi. Laju desertifikasi yang ditandai oleh bertambahnya singkapan karst dapat terrekam dengan baik melalui data penginderaan jauh. Kajian ini memanfaatkan data Landsat 7 ETM+ perekaman tahun 2000, 2001, 2002 dan Landsat 8 OLI perekaman tahun 2014. Teknik analisis yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan dibantu analisis spektral melalui NDVI, dan interpretasi multi tingkat melalui citra google. Kajian ini menyimpulkan bahwa aplikasi data penginderaan jauh dan teknik klasifikasi beracuan berbantuan NDVI serta interpretasi multi tingkat memberikan hasil yang baik. Kajian ini juga memberikan temuan bahwa telah terjadi proses desertifikasi batuan karst di wilayah Gunungsewu dengan luasan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kata kunci : Penginderaan jauh, desertifikasi batuan karst PENDAHULUAN Karst seperti wilayah karst Gunungsewu adalah bentang lahan yang sangat rentan terhadap berbagai gangguan alami maupun manusia. Peningkatan temperatur secara global serta perubahan intensitas curah hujan memberikan pengaruh terhadap laju pelarutan ataupun tingkat erosi secara alamiah pada bentang alam tersebut. Sementara itu, pertambahan penduduk, perambahan hutan (deforestasi), dan pertambangan di lingkungan karst benar-benar telah terjadi dalam berbagai skala dan intensitas. Tekanan alam dan sosial tersebut memicu munculnya proses desertifikasi batuan karst (karst rocky desertification). Gunungsewu adalah bentang lahan karst yang banyak dihuni oleh manusia sebagai tempat tinggal. Gunungsewu adalah wilayah karst aktif yang ditandai oleh salah satunya dengan banyaknya aliran sungai bawah tanah serta telah dinyatakan sebagai wilayah cagar geologi oleh badan dunia ataupun pemerintah Indonesia sendiri. Dengan status dan mengingat pentingnya bentang lahan karst Gunungsewu

Upload: vananh

Post on 28-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1150

EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN KARST GUNUNGSEWU

MELALUI PENGINDERAAN JAUH

Oleh Eko Budiyanto

Jurusan Pendidikan Geografi - Universitas Negeri Surabaya Email : [email protected], HP: 08156896667

Abstrak

Perkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

proses desertifikasi batuan pada bentang lahan karst. Proses desertifikasi batuan karst yang berkelanjutan di Gunungsewu dapat memberikan dampak negatif yang berupa degradasi lingkungan seperti hilangnya air sungai bawah tanah dan banjir bandang di permukaan. Oleh karena itu laju proses desertifikasi ini perlu dipantau dan dievaluasi. Laju desertifikasi yang ditandai oleh bertambahnya singkapan karst dapat terrekam dengan baik melalui data penginderaan jauh. Kajian ini memanfaatkan data Landsat 7 ETM+ perekaman tahun 2000, 2001, 2002 dan Landsat 8 OLI perekaman tahun 2014. Teknik analisis yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan dibantu analisis spektral melalui NDVI, dan interpretasi multi tingkat melalui citra google. Kajian ini menyimpulkan bahwa aplikasi data penginderaan jauh dan teknik klasifikasi beracuan berbantuan NDVI serta interpretasi multi tingkat memberikan hasil yang baik. Kajian ini juga memberikan temuan bahwa telah terjadi proses desertifikasi batuan karst di wilayah Gunungsewu dengan luasan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kata kunci : Penginderaan jauh, desertifikasi batuan karst

PENDAHULUAN

Karst seperti wilayah karst Gunungsewu adalah bentang lahan yang sangat

rentan terhadap berbagai gangguan alami maupun manusia. Peningkatan temperatur

secara global serta perubahan intensitas curah hujan memberikan pengaruh terhadap

laju pelarutan ataupun tingkat erosi secara alamiah pada bentang alam tersebut.

Sementara itu, pertambahan penduduk, perambahan hutan (deforestasi), dan

pertambangan di lingkungan karst benar-benar telah terjadi dalam berbagai skala dan

intensitas. Tekanan alam dan sosial tersebut memicu munculnya proses desertifikasi

batuan karst (karst rocky desertification).

Gunungsewu adalah bentang lahan karst yang banyak dihuni oleh manusia

sebagai tempat tinggal. Gunungsewu adalah wilayah karst aktif yang ditandai oleh

salah satunya dengan banyaknya aliran sungai bawah tanah serta telah dinyatakan

sebagai wilayah cagar geologi oleh badan dunia ataupun pemerintah Indonesia

sendiri. Dengan status dan mengingat pentingnya bentang lahan karst Gunungsewu

Page 2: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1151

tersebut, maka seharusnya wilayah ini benar-benar dijaga dari berbagai hal yang

mengarah pada degradasi lingkungannya. Salah satu hal yang harus diwaspadai adalah

ternjadinya proses desertifikasi batuan karst akibat aktifitas penambangan.

Maraknya aktifitas penambangan batu gamping di Gunungsewu telah

mengubah bentang kondisi eksokarst menjadi hamparan singkapan batuan karst.

Hilangnya epikarst pada singkapan tersebut akan menurunkan kemampuan medan

karst dalam menangkap dan menyimpan air (Ford dan William, 2007). Hal ini

berpotensi mengurangi debit air sungai-sungai bawah tanah (Adjie, 2006) yang selama

ini dimanfaatkan sebagai sumber air minum bagi warga penghuni Gunungsewu itu

sendiri. Dampak lain yang dapat terjadi akibat penyingkapan batuan karst tersebut

adalah meningkatnya air larian permukaan sebagai pemicu banjir bandang. Selain itu,

singkapan karst juga sulit untuk dimanfaatkan dan diperbaiki (Coxon, 2011)

Mengingat pentingnya hal tersebut, maka laju penyingkapan batuan karst

sebagai pemicu proses desertifikasi batuan sangat perlu dipantau dan dievaluasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju penyingkapan batuan karst sebagai suatu

proses desertifikasi batuan pada bentang lahan karst Gunungsewu melalui

penginderaan jauh.

Medan karst secara umum merupakan medan yang sulit untuk dijangkau

secara terestrial. Oleh karena itu, kajian desertifikasi batuan karst ini memerlukan

metode yang mampu mengatasi hal tersebut. Salah satu metode yang sering

digunakan adalah metode penginderaan jauh. Gejala proses desertifikasi ditandai oleh

berkurangnya tutupan vegetasi, dan semakin banyaknya batuan dasar karst yang

tersingkap. Gejala dari proses desertifikasi tersebut dapat terrekam dengan baik oleh

data penginderaan jauh. Kemampuan penginderaan jauh dalam merekam kondisi

permukaan lahan yang luas dengan waktu yang cepat dan menyediakan banyak

saluran sangat sesuai untuk kajian proses desertifikasi batuan karst ini.

Penginderaan jauh memiliki kemampuan merekam permukaan bumi dengan

area yang luas dalam satu waktu perekaman. Penginderaan jauh telah berkembang

tidak hanya sebagai fenomena teknis, tetapi telah menjadi bagian penting dalam

memahami perubahan lingkungan (Adams dan Gillespie, 2006). Aplikasi penginderaan

jauh untuk kajian karst khususnya terkait desertifikasi batuan karst telah dilakukan

oleh beberapa peneliti seperti Qiwei dkk (2003), Yue dkk (2008, 2009, 2012), Yansui

dkk (2008), Xu dkk (2009), Huang dan Cai (2009), Li dkk (2009), Xiong dkk (2009), Yang

dkk (2009), Zhang dkk (2009), Newman dkk (2011). Pemanfaatan teknik dan data

penginderaan jauh dalam berbagai penelitian tersebut digunakan untuk

mengidentifikasi sebaran spasial dan tingkat desertifikasi batuan karst yang terjadi

pada daerah penelitiannya.

Page 3: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1152

Proses Desertifikasi Batuan Karst

Desertifikasi batuan karst (karst rock desertification) merupakan suatu proses

yang mengubah bentang lahan karst bertutupan vegetasi dan tanah menjadi bentang

lahan berbatuan tanpa vegetasi dan tanah sama sekali (Daoxian dan Guilin, 1997).

Desertifikasi batuan karst ini adalah satu bentuk degradasi lingkungan yang terutama

terjadi pada lahan karst. Proses desertifikasi batuan diakibatkan oleh pemanfaatan

lahan karst yang berlebihan dan adanya erosi kuat yang mengikis tanah penutup

batuan karst sehingga batuan dasarnya tersingkap ke permukaan secara luas (Shijie

dkk, 2002; Huang dan Cai, 2007; Xiuqin, 2011). Secara kasat mata akibat dari proses

desertifikasi tersebut adalah adanya penyingkapan batuan karst ke permukaan.

Desertifikasi batuan merupakan suatu proses hasil interaksi antara kondisi

geologi, geomorfologi, curah hujan, temperatur, vegetasi penutup, tanah dan aktifitas

manusia (Yansui dkk, 2009; Ji dan Xie, 2011). Karakteristik batuan karbonat pada

kawasan karst mendasari terjadinya proses desertifikasi batuan karst (Sunkar, 2008).

Batuan karbonat yang mudah terlarutkan oleh air hujan membentuk morfologi

eksokarst maupun endokarst berupa celah, rekah, dan lorong. Lapisan tanah pada

kawasan karst yang tipis dapat tererosi bersamaan dengan aliran air hujan yang

masuk ke dalam celah, rekah dan lorong tersebut.

Curah hujan memberikan pengaruh langsung terhadap kejadian erosi pada

tanah penutup lahan karst. Xiong dkk (2009) menjelaskan adanya korelasi positif

antara peningkatan curah hujan dan temperatur dengan desertifikasi batuan. Erosi

tanah akan meningkat pada curah hujan dengan intensitas yang semakin tinggi.

Kemampuan air hujan mengerosi tanah ini semakin kuat dengan semakin jarangnya

vegetasi penutup tanah tersebut. Temperatur memberikan pengaruh terhadap

kelembaban tanah, dimana kelembaban tanah akan berkurang dengan semakin

tingginya temperatur. Kenaikan temperatur juga akan meningkatkan evapotanspirasi

pada vegetasi penutup lahan karst. Penurunan kelembaban tanah dan peningkatan

evapotranspirasi akan mengarah pada kekeringan lahan karst. Peningkatan

kekeringan hingga ambang batas tertentu dapat mengakibatkan kematian vegetasi

penutup yang ada pada lahan karst. Temperatur bersama-sama dengan hujan

memberikan pengaruh terhadap kecepatan pelarutan batuan karbonat (Ford dan

Williams, 2007; Xiong, 2009). Pada temperatur rendah, variasi curah hujan tidak

banyak memberikan efek pada variasi tingkat pelarutan karst. Tingkat pelarutan

batuan karbonat oleh curah hujan meningkat pada temperatur 16 hingga 20oC.

Intensitas pelarutan pada batuan karst ini akan memperlebar celah dan rekah yang

memungkinkan pengangkutan massa tanah yang semakin cepat.

Page 4: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1153

Faktor manusia yang memberikan pengaruh pada terjadinya desertifikasi

batuan lahan karst ini adalah tekanan pertumbuhan jumlah penduduk dan berbagai

aktifitas eksploitasi terhadap lahan karst yang melebihi kemampuan dan daya dukung

karst tersebut (Sijhie dkk, 2002; Ford dan Williams, 2007; Huang dkk, 2012). Yang dkk

(2009) melaporkan bahwa faktor antropogenik seperti aktivitas manusia dan

penggunaan lahan menjadi faktor pemicu yang lebih dominan dibandingkan dengan

faktor lain dalam proses desertifikasi batuan karst.

Aktifitas manusia seperti penambangan, penebangan hutan, dan pertanian pada

lahan karst dapat percepatan proses desertifikasi lahan karst. Penambangan di

wilayah karst ini biasanya mengambil batu gamping hingga mencapai lapisan zona

vadose. Penggalian batu gamping seperti pada bukit-bukit karst akan menghilangkan

zona epikart yang sangat penting sebagai lapisan penangkap air. Hilangnya zona

epikart ini tentu saja akan mematikan imbuhan air ke dalam lorong-lorong konduit

atau sungai-sungai bawah tanah. Air tidak dapat terresapkan ke dalam jaringan sungai

bawah tanah tersebut. Air akan melimpas di permukaan dan dapat membentuk air

larian dengan volume yang besar dan banjir. Akibatnya tentu adalah matinya sungai-

sungai bawah tanah, matinya mata air di kawasan karst, peningkatan erosi pada tanah

penutup, serta potensi bencana banjir pada saat hujan. Penelitian yang dilakukan oleh

Risyanto dkk (2001) menyebutkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat

penambangan dolomit meliputi perubahan relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan

tanah, terjadinya perubahan tata air permukaan dan bawah permukaan, hilangnya

vegetasi penutup, perubahan flora dan fauna, meningkatnya kadar debu dan

kebisingan.

Penebangan hutan (deforestasi) pada wilayah karst telah terbukti menjadi

penyebab awal terjadinya desertifikasi batuan seperti dilaporkan oleh Sunkar (2008)

di karst Gunungsewu, Yansui dkk (2008) di wilayah otonomi Guangxi Zhuang, Xiong

dkk (2009) di wilayah Yongshun County dan Li dkk (2009) di area karst Zhudong.

Penebangan hutan ataupun pengubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan

lain-lain, mengubah kerapatan tutupan vegetasi pada lahan karst. Air hujan akan

dengan mudah mencapai permukaan tanah karena hilangnya vegetasi penutup.

Ketika vegetasi penutup tanah pada lahan karst telah hilang, maka proses kehilangan

tanah akan tidak terhindarkan (White, 1988). Peran penting vegetasi penutup pada

lahan karst seperti disebutkan oleh Xiong dkk (2009) yaitu: 1. sebagai penangkap air

hujan dan meresapkannya ke dalam tanah, 2. mencegah butiran air hujan langsung

mengenai permukaan tanah sehingga mengurangi erosi percik (splash erosion) yang

ditimbulkan oleh air hujan tersebut. Tingginya kemampuan sistem pengatus pada

karst meloloskan butiran tanah ketika terjadi aliran air melalui celah dan rekah yang

Page 5: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1154

ada serta kondisi solum tanah yang tipis mengakibatkan erosi kuat pada lapisan tanah

penutup batuan karst saat terjadi hujan (White, 1988; Ford dan Williams, 2007).

Pertanian yang dilaksanakan masyarakat pada lahan karst biasanya dilakukan

pada lembah-lembah karst atau pada lereng-lereng bukit karst dengan membuat

teras. Proses penggemburan tanah selama masa pertanaman akan meningkatkan

kemampuan pengangkutan butir tanah oleh air hujan melalui berbagai rekah dan

celah yang ada (Yang dkk, 2011). Massa tanah akan tererosi masuk ke dalam akuifer

karst melalui imbuhan-imbuhan autogenik, pori makro batuan karst dan jalur-jalur

masuk pada doline (Coxon, 2011). Akibat erosi tersebut ketebalan solum pada

permukaan karst terus menipis.

Proses desertifikasi batuan pada lahan karst akan memberikan dampak

hilangnya vegetasi dan tanah penutup, serta tersingkapnya batuan dasar ke

permukaan. Pada kondisi tersebut, produktifitas lahan akan menurun bahkan hilang

sama sekali (Zhang dkk, 2011). Dampak selanjutnya adalah terjadinya penurunan taraf

hidup masyarakat wilayah karst tersebut. Desertifikasi batuan pada lahan karst juga

memberikan pengaruh terhadap kondisi dan kualitas air bawah tanah. Deng dan Jiang

(2011) melaporkan bahwa dampak desertifikasi batuan mengakibatkan aliran yang

kecil dan tidak tetap pada mata air epikarst, sensitivitas yang tinggi terhadap curah

hujan pada mata air epikarst, serta kondisi air menjadi kotor. Mengingat hal tersebut,

maka proses desertifikasi batuan karst ini sangat penting diawasi menginggat lahan

yang telah terdesertifikasi akan sangat sulit untuk dipulihkan produktifitasnya serta

terjadinya penurunan kualitas air hingga hilangnya simpanan air pada sungai-sungai

bawah tanah lahan karst itu sendiri.

Data penginderaan jauh sebagai sumber data kajian penyingkapan batuan karst

Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang

suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees,

2001; Elachi, 2006). Proses tersebut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman

energi yang dipantulkan atau dipancarkan, memproses, menganalisa dan menerapkan

informasi tersebut. Nilai spektral citra mampu memberikan informasi kondisi dan

proses yang terjadi di permukaan lahan secara kuantitatif. Nilai spektral citra adalah

besaran energi dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh obyek

dipermukaan bumi dan terrekam oleh sensor satelit. Setiap obyek dimuka bumi

memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam interaksinya dengan gelombang

elektromagnetik. Perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan adanya perbedaan

perbandingan nilai energi elektromagnetik yang ditransmisikan, diserap dan

dipantulkan kembali oleh obyek tersebut. Dalam kondisi atmosferik yang seragam,

Page 6: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1155

perbedaan nilai pantulan gelombang elektromagnetik yang terrekam oleh sensor

satelit dapat digunakan sebagai dasar identifikasi obyek dan kuantifikasi proses-proses

dimuka bumi seperti desertifikasi batuan karst.

Citra Landsat ETM+ yang merupakan satu jenis citra multispektral memiliki

beberapa saluran spektral yang dapat dimanfaatkan untuk penilaian desertifikasi

batuan karst. Citra ini telah banyak dimanfaatkan dalam penelitian sejenis baik

sebagai sumber data pokok ataupun sebagai dasar pengembangan model

transformasi untuk penilaian tingkat desertifikasi batuan karst. Citra Landsat 7 ETM+

memiliki kualitas yang memadai untuk pemantauan desertifikasi batuan karst.

Kelemahan kualitas citra Landsat ETM+ akibat kerusakan Scan Line Corrector dapat

ditingkatkan dengan transformasi spectral gapfill.

Sebuah data citra dicirikan dengan rangkaian piksel berisi angka-angka yang

merupakan rekaman pantulan spektral obyek dilapangan. Rentang nilai spektral dari

masing-masing piksel direpresentasikan dalam suatu rentang skala dengan lebar yang

sangat tergantung dari resolusi radiometrik masing-masing sensornya. Penyadapan

informasi dapat dilakukan berdasarkan pada nilai spektral melalui berbagai metode

transformasi untuk menonjolkan ataupun menghilangkan atribut tertentu. Perolehan

informasi berdasar pada nilai spektral citra diturunkan melalui berbagai model

transformasi spektral. Terdapat beberapa bentuk tranformasi spektral yaitu

penisbahan saluran (band rationing), pengurangan saluran (image differencing), indek

spektral, rotasi citra dan analisis komponen utama (principal componen analysis).

Rasio multispektral (multispectral ratio) adalah salah satu bentuk transformasi

spektral yang banyak diaplikasikan. Rasio multispektral berupa perbandingan nilai

digital (DNs) pada satu saluran dengan saluran lainnya (Schowengerd, 2007). Liang

(2004) menggolongkan rasio multispektral ini sebagai algoritma metode statistik.

Indek vegetasi adalah contoh transformasi spektral yang termasuk sebagai

rasio multispektral. Indeks vegetasi telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian

tentang vegetasi skala global. Pengembangan indek vegetasi didasarkan pada

perbandingan nilai spektral saluran merah dan inframerah dekat pada sebuah ruang

data spektral atau diagram pencar (scatterplot). Persebaran piksel dalam ruang data

spektral saluran merah dan inframerah dekat merepresentrasikan nilai perbandingan

tutupan vegetasi dengan tanah terbuka dalam berbagai kondisi. Piksel dengan nilai

spektral vegetasi yang tinggi akan menempati sebaran di sepanjang sumbu saluran

inframerah dekat (garis vegetasi). Sebaliknya, piksel dengan nilai spektral tanah yang

tinggi akan berada tersebar searah garis tanah (soil line) yang terrentang dari kiri

bawah ke kanan atas ruang data spektral tersebut. Perubahan tingkat kecerahan

piksel searah vektor dari posisi garis tanah menuju garis vegetasi menunjukkan

Page 7: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1156

peningkatan kepadatan tutupan vegetasi. Sebaliknya perubahan tingkat kecerahan

piksel searah vektor dari posisi garis vegetasi menuju garis tanah menunjukkan

penurunan kepadatan tutupan vegetasi. Indeks Vegetasi dapat secara efektif

digunakan untuk pemetaan kekeringan, penggurunan (desertifikasi) dan

penggundulan hutan (Horning, 2010). Contoh indek vegetasi adalah Normalized

Difference Vegetation Index (NDVI), Simple Ratio (SR), Soil Adjusted Vegetation Index

(SAVI), Perpendicular Vegetation Index (PVI), dan Enhanced Vegetation Index (EVI).

Wang dan Yu (2010) melaporkan bahwa informasi singkapan geologis dapat

diperoleh dengan baik pada panjang gelombang 2000 – 2400 nm. Yue dkk (2009)

memanfaatkan panjang gelombang 2200 nm untuk perekaman singkapan batuan

pada batuan karbonat. Alternatif lain adalah seperti dijelaskan oleh Huang dan Cai

(2009) yang mengeplorasi pemanfaatan band 3 dan band 5 citra Landsat TM untuk

pemetaan singkapan batuan karst. Persamaan tersebut dinamakan dengan

persamaan indek NDRI. Persamaan indek NDRI adalah sebagai berikut.

NDRI = (band 5 – band 3) / (band 5 + band 3)

Perbandingan luasan tutupan vegetasi dan luasan singkapan batuan dasar

karst adalah faktor penting dalam penilaian desertifikasi batuan karst melalui

penginderaan jauh. Desertifikasi batuan karst dapat diidentifikasi melalui gejala-gejala

yang terrekam dari permukaannya yaitu berkurangnya tutupan vegetasi dan

meluasnya singkapan batuan dasar karst. Dengan demikian, fraksional tutupan

vegatasi dan singkapan batuan dasar karst dapat dijadikan sebagai penciri proses

desertifikasi batuan karst. Lahan karst dengan tutupan vegetasi padat dinyatakan

sebagai lahan karst yang tidak mengalami desertifikasi batuan. Lahan karst yang tidak

memiliki tutupan vegetasi dan batuan dasarnya tersingkap merupakan lahan karst

yang mengalami desertifikasi batuan karst kuat. Lahan karst yang memiliki tutupan

vegetasi sedang dan berasosiasi dengan singkapan batuan merupakan lahan karst

dengan tingkat desertifikasi batuan sedang.

Yansui dkk (2008), Li dkk (2009), Yang dkk (2009) memanfaatkan teknik

interpretasi visual berbantuan komputer (onscreen) untuk menentukan tingkat

desertifikasi batuan karst. Interpretasi dibantu dengan studi lapangan untuk

memperoleh gambaran tentang kondisi desertifikasi yang terjadi di lapangan. Area

yang mengalami desertifikasi batuan diidentifikasi dengan mengacu pada indikator

prosentase luas tutupan vegetasi, tanah terbuka, singkapan batuan, dan kemiringan

lereng. Tabel berikut menunjukkan klasifikasi tingkat desertifikasi batuan yang

digunakan dalam pengujian hasil interpretasi.

Page 8: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1157

Tabel 1. Kriteria desertifikasi batuan karst

Tingkat Desertifikasi Tutupan Vegetasi (%)

Singkapan Batuan (%)

Tidak Terdesertifikasi > 60 <30 Ringan 40 – 60 30 – 50 Sedang 20 - 40 50 – 70 Berat < 20 >70

Sumber : Yansui dkk (2009), Xiong dkk (2009), Li dkk (2009) dengan modifikasi.

Xiong dkk (2009) memanfaatkan teknik klasifikasi beracuan yang terlebih

dahulu dilakukan proses segmentasi untuk penentuan singkapan batuan karst dan

tutupan lainnya. Data yang digunakan adalah citra Landsat. Hasil klasifikasi diuji

lapangan dengan kriteria perbandingan luas tutupan vegetasi dengan luas singkapan

batuan karst.

Zhang dkk (2011) memanfaatkan data Landsat TM sebagai sumber data

tutupan hutan dan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis NDVI dan

klasifikasi beracuan. Informasi-informasi tersebut selanjutnya di analisis bersama

dengan data-data lain menggunakan model radial basis function network (RBFN).

Hasil analisis RBFN di daerah penelitian menunjukkan bahwa desertifikasi batuan

karst berkaitan erat dengan kepadatan penduduknya. Area karst yang terdesertifikasi

kuat tersebar pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi.

Dari beberapa kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa analisis proses

desertifikasi batuan karst dapat dilakukan melalui berbagai teknik pengolahan

spektral (Yue dkk : 2008, 2009, 2012; Huang dan Cai : 2009 ), ataupun interpretasi

manual dan klasifikasi (Yansui dkk, 2008; Li dkk,2009; Yang dkk, 2009; Xiong dkk,

2009; Zhang dkk, 2011).

METODE PENELITIAN

Wilayah Penelitian

Penelitian ini mengkaji wilayah karst Gunungsewu yang masuk pada kabupaten

Gunungkidul. Wilayah karst tersebut terbentang dari pantai parangtritis di sebelah

barat hingga pantai Sadeng di sebelah timur. Perbukitan karst Gunungsewu pada

sebelah utara dibatas oleh ledok wonosari, perbukitan panggung, dan lembah

Giritontro. Sedangkan disebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera

Hindia. Daerah penelitian dipilih pada wilayah karst yang banyak dilakukan aktifitas

penambangan yaitu di daerah Bedoyo kecamatan Ponjong.

Page 9: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1158

Gambar 1. Wilayah karst Gunungsewu

Data pokok dalam penelitian ini adalah serangkaian citra Landsat 7 ETM+ dan

citra Landsat 8 OLI yang diperoleh dari USGS. Data citra terdiri dari Citra Landsat 7

ETM+ bulan Juni tahun 2000, bulan Agustus tahun 2001, Agustus tahun 2002 dan

bulan Agustus tahun 2014 pada path 119 row 066.

Saluran yang digunakan adalah saluran biru yaitu band 1 pada Landsat 7 ETM+

atau band 2 pada Landsat 8 OLI, saluran inframerah dekat yaitu band 4 pada Landsat

7 ETM+ atau band 5 pada Landsat 8 OLI, dan saluran inframerah tengah yaitu band 7

pada Lansat 7 ETM+ dan Landsat 8. Saluran multi spektral 741 dibentuk dari citra

Landsat 7 ETM+ dan multi spektral 752 dari citra Landsat 8 OLI. Pada masing-masing

citra multispektral tersebut dilakukan proses equalization enhancement agar

diperoleh visualisasi citra dengan kondisi yang sama antar tahun citra.

Citra multi spektral ini digunakan sebagai dasar interpretasi dan pembuatan

acuan klasifikasi. Jenis klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan

metode minimum distance classification. Kelas klasifikasi yang digunakan adalah

tutupan vegetasi, tanah terbuka, karst bertutupan tanah tipis, dan singkapan karst.

Identifikasi dari masing-masing kelas klasifikasi dibantu dengan menggunakan citra

NDVI dan interpretasi visual pada citra yang diunggah oleh google melalui situs

http://wikimapia.org serta aplikasi googleearth.

Analisis spasial statistik dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi untuk

mengetahui kecenderungan perkembangan dari masing-masing jenis klasifikasi. Hasil

analisis ini diwujudkan dalam bentuk citra, tabel, grafik dan deskribsi penjelasannya.

Ledok wonosari

Karst Gunungsewu

Daerah Penelitian

Page 10: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1159

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Proses desertifikasi batuan karst secara kasat mata dapat diketahui dari adanya

proses penyingkapan batuan karst pada suatu area karst. Dengan demikian analisis

laju proses desertifikasi dapat dilakukan dengan menganalisis perkembangan tutupan

lahan dan singkapan batuan karst.

Tahun 2000 Tahun 2001

Tahun 2002 Tahun 2014

Keterangan Singkapan Karst Karst bertutupan tanah tipis Tanah terbuka Vegetasi hijau

Gambar 2. Citra multispektral daerah penelitian

Analisis terhadap citra multispektral menunjukkan bahwa terdapat

peningkatan luas singkapan karst yang terutama diakibatkan oleh aktifitas

penambangan. Penyingkapan karst oleh proses alamiah tidak banyak ditemukan.

Penyingkapan karst oleh aktifitas penambangan dapat dilihat dengan jelas sebarannya

pada citra tahun 2014. Singkapan karst ditunjukkan oleh rona putih terang dan

terhubung oleh akses jalan. Semakin banyaknya titik berrona putih terang dari tahun

ke tahun menunjukkan bahwa aktifitas penyingkapan karst tersebut semakin intensif.

Singkapan karst

Tutupan tanah relatif

tebal

Tutupan tanah tipis

Page 11: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1160

Tutupan vegetasi ditunjukkan oleh rona cerah berwarna hijau pada semua

citra tersebut. Tutupan vegetasi kecil berfluktuasi karena pengaruh musim. Hal ini

dapat dilihat pada citra bulan Juni tahun 2000, dimana masih terdapat tutupan

vegetasi pada cekungan-cekungan antar tinggian. Sementara pada citra tahun 2001,

2002, dan 2004 yang masa pengambilannya adalah bulan Agustus, tutupan vegetasi

kecil banyak berkurang.

Tutupan tanah yang tebal ditunjukkan oleh warna coklat gelap yang tersebar

pada dasar cekungan. Sedangkan tutupan tanah tipis ditunjukkan oleh rona cerah

berwarna ungu. Tutupan tanah tipis memiliki resiko besar terjadi proses

penyingkapan batuan karst secara alamiah karena proses erosi. Pada citra tersebut

ditunjukkan bahwa dari tahun ke tahun lahan dengan tutupan tanah tipis selalu tidak

tertutup oleh vegetasi, terutama oleh vegetasi berkanopi lebat. Karst bertutupan

tanah tipis tersebut tersebar pada lereng-lereng perbukitan karst di seluruh area

penelitian.

Tahun 2000 Tahun 2001

Tahun 2002 Tahun 2014

Keterangan Singkapan batuan karst Singkapan tanah tebal ataupun tipis Tutupan vegetasi

Gambar 3. Citra terklasifikasi daerah penelitian

Page 12: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1161

Perkembangan singkapan karst dapat dengan jelas dilihat pada citra

terklasifikasi. Area singkapan karst ditunjukkan oleh poligon berwarna merah.

Keberadaan poligon tersebut terus berkembang dari citra tahun 2000, 2001, 2002 dan

2014. Perkembangan jumlah lokasi poligon berada ditengah citra yang jika

dihubungkan secara administratif terletak di desa Bedoyo kecamatan Ponjong.

Perubahan kondisi tutupan lahan daerah penelitian dapat dihitung dari citra

terklasifikasi diatas, seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2. Luas tutupan lahan daerah penelitian

Jenis Tutupan Tahun (km2)

2000 2001 2002 2014

Singkapan karst 142,20 162,90 413,10 467,10

Tutupan vegetasi 11.725,20 13.090,50 8.349,30 11.741,40

Tanah terbuka 22.285,80 21.414,60 25.905,60 22.459,50

Tabel 2 tersebut menunjukkan perkembangan masing-masing kondisi lahan

yaitu singkapan karst, tutupan vegetasi, dan tanah terbuka dalam satuan kilometer

persegi. Kondisi tutupan vegetasi dan tanah tampak berfluktuatif karena pengaruh

kondisi cuaca dan musim. Perkembangan luas dari tutupan vegetasi nampak

berkorelasi negatif dengan luas tanah terbuka. Peningkatan luas tutupan vegetasi

berakibat menurunnya luas tanah terbuka, sementara penurunan luas tutupan

vegetasi berakibat meningkatnya luas tanah terbuka. Kondisi ini dapat dilihat secara

jelas pada gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perkembangan luas

singkapan karst yang ada masih sangat kecil dibandingkan dengan luas total dari

tutupan vegetasi dan tanah terbuka.

Gambar 4. Grafik perkembangan luas tanah terbuka dan tutupan vegetasi (km2)

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

2000 2001 2002 2014

Page 13: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1162

Namun demikian, perkembangan singkapan batuan karst menunjukkan

peningkatan yang terus menaik dari tahun ke tahun. Gambar 5 menunjukkan grafik

peningkatan luas singkapan batuan karst di daerah penelitian. Peningkatan terbesar

terjadi antara tahun 2001 ke tahun 2002 yaitu dari 162,9 km2 menjadi 413,1 km2.

Gambar 5. Grafik perkembangan luas singkapan batuan karst (km2)

Grafik luas singkapan batuan karst yang terus meningkat ini diakibatkan oleh

sulitnya proses reklamasi lahan singkapan karst dari sisa aktifitas penambangan untuk

dihijaukan kembali. Lahan singkapan karst sulit untuk ditumbuhi tanaman pertanian

ataupun vegetasi alamiah seperti rumput. Sementara itu, proses penambangan terus

dilakukan dilain tempat.

SIMPULAN

Dari kajian di atas dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Penginderaan jauh dapat dimanfaatkan dengan baik dalam kajian perkembangan

desertifikasi di wilayah karst Gunungsewu. Pemanfaatan data penginderaan jauh

dan teknik klasifikasi beracuan berbantuan analisis NDVI serta interpretasi multi

tingkat memberikan hasil yang baik dalam kajian tersebut.

2. Terjadi proses desertifikasi batuan karst di wilayah karst Gunungsewu yang

sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas manusia yaitu kegiatan penambangan.

3. Luas singkapan batuan karst terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun

yang dapat dibuktikan dengan citra penginderaan jauh.

142.20

162.90

413.10

467.10

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

2000 2001 2002 2014

Page 14: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1163

DAFTAR PUSTAKA

Adams J.B., Gillespie A.R., 2006, Remote Sensing of Landscape with Spectral Images – A Physical Modeling Approach, Cambridge University Press, New York.

Adji, T. N., 2006. Kondisi daerah tangkapan sungai bawah tanah karst Gunungsewu dan kemungkinan dampak lingkungannya terhadap sumberdaya air (hidrologis) karena aktivitas manusia. Seminar UGK-BP DAS SOP bertema “ Pelestarian Sumberdaya Air Tanah Kawasan Karst Gunungkidul”.

Coxon, C., 2011. Agriculture and Karst. Dalam: Van Beynen, P.E. (ed), 2011. Karst Management. DOI. 10.1007/978-94-007-1207-2_5

Daoxian, Y., 1999. Rock desertification in the subtropical karst of south China. http://www.karst.edu.cn/desert/rockdesert.htm

Deng Y., Jiang Z., 2011, Water Resource Characteristics of Epikarst Spring in Rocky Desertification Area: A Case Study in Longhe Guangxi China, IEEE, 978-I-61284-340-7/11

Elachi, C., Zyl J.V., 2006, Introduction to the Phisics and Techniques of Remote Sensing, Second Edition, New Jersey: John Wiley & Sons,.

Ford, D.C., Williams, P., 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. Chichester: John Wiley & Sons..

Horning, N., Robinson, J.A., Sterling, E.J., Turner, W., Spector, S., 2010. Remote Sensing for Ecology and Conservation. , New York: Oxford University Press.

Huang Q.H., Cai Y.L., 2007, Spatial Pattern of Karst Rock Desertification in the Middle of Guizhou Province, Southwestern China, Environ. Geol. 52: 1325-1330, DOI 10.1007/s00254-006-0572-y.

Huang Q.H., Cai Y.L., 2009, Mapping Karst Rock in SouthWest China, Mountain Research and Development, Vol. 29 No. 1. Feb.2009: 14-20.

Li Y., Shao J., Yang H., Bai X., 2009, The Relations between Land Use and Karst Rocky Desertification in Typical Karst Area China, Environ. Geol., 57:621-627, DOI 10.1007/s00254-008-1331-z

Liang, S. 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surface. New Jersey: John Willey & Sons Inc.

Newman, M.E., McLaren, K.P., Wilson, B.S., 2011. Use of Object-oriented classification and fragmentation analysis (1985-2008) to identify important areas for conservation in Cockpit County Jamaica. Environ Monit Assess 172:391-406.

Qiwei C., Anjun L., Kangning X., Sinzhen X., Jun W., Juan X., 2003, Spectral Feature-Based Model for Extracting karst Rock-Desertification from Remote Sensing Image, Journal of Guizhou Normal University (Natural Science Edition), 21(4): 82-87.

Rees, W.G., 2001. Physical Principles of Remote Sensing, Second Edition, Cambridge: Cambidge University Press.

Risyanto, Jamulya, Woro, S., Halim, Y., Sriyono. 2001. Identifikasi kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian golongan C di Kecamatan

Page 15: EVALUASI LAJU DESERTIFIKASI BATUAN PADA BENTANG LAHAN ...geo.fish.unesa.ac.id/web/images/artikel/G-Eko-Budiyanto.pdfPerkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

1164

Paciran Kabupaten Lamongan dan Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Fakultas Geografi UGM tahun 2001. Fakultas Geografi.

Schowendgerdt, 2007, Remote Sensing: Models and Methods for Image Processing, Third Edition, Amsterdam: Elsevier,

Shijie, W., Zhang, D., Ruiling, L., 2002. Mechanism of rocky desertification in karst mountain areas of Guizhou province, Southwest China. International review for Environmental Strategies. Vol. 3, No. 1. Pp. 123-135.

Sungkar. A., 2008. Deforestation and rocky desertification processes in Gunung Sewu karst landscape. Media Konservasi. Vol. 13. No. 3 Desember 2008. P. 1-7.

White, W.B., 1988. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. Oxford: Oxford University Press..

Xiong, Y.J., Qin, G.Y., Mo, D.K., Lin, H., Sun, H., Wang Q.X., Zhao, S.H., Yin, J., 2009. Rocky desertification and its cause in karst area: a case study in Yongshun County, Hunan Province, China. Environ. Geol. 57: 1481-1288. DOI. 10.1007/s00254-008-1425-7.

Xu D., Kang X., Qiu D., Zhuang D., Pan J., 2009, Quantitative Assessment of Desertification Using Landsat Data on A Regional Scale – A Case Study in the Ordos Plateau China, Sensors,9,1738-1753, DOI 10.3390/s90301738

Yang Q., Wang K., Zhang C., Yue Y., Tian R, Fan F., 2009, Spatio Temporal Evolution of Rocky Desertification and its Driving Forces in Karst Areas of Northwestern Guangxi China, Environ. Earth Sci., 64:383-393, DOI 10.1007/s12665-010-0861-3

Yue Y., Liu B., Wang K., Li R., Zhang B., Zhang C., Chen H., 2012, Using Remote Sensing to Quantify the Fractional Cover of Vegetation and Exposed Bedrock within a complex landscape: Applications for Karst Rocky Desertification Monitoring, Environ. Monit. Assess., DOI 10.1007/s10061-012-2944-y

Yue Y., Wang K., Chen Z., Yu Y., 2008, Extraction of Karst Rocky Desertification Information From EO-1 Hyperion Data, The International Archives of the Photogrammetry Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVII. Part B7, Beijing.

Yue Y., Wang K., Li J., Zhang B., Liu B., Jiao Q., Zhang X., 2009, Developing New Spectral Indices for Karst Rocky Desertification Monitoring in Southwestern China, IEEE, 978-I-4244-3395-7/09.

Zhang M., Wang K., Zhang C., Chen H., Liu H., Yue Y., Luffman I., Qi X., 2011, Using the Radial Basis Function Network Model to Assess Rocky Desertification in Nortwest Guangxi China, Environ. Earth Sci. 62:69-76, DOI 101007/s12665-010-0498-2.