etnisitas dan federalisme dalam dinamika perjalanan … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi...

12
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki) SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012 115 ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN BANGSA Oleh: Eki Baihaki Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Langlangbuana Bandung e-mail: [email protected] ABSTRAK Loyalitas etnis terhadap pemerintah tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang muncul dengan sendirinya karena setiap proses timbal balik dari interaksi sosial, loyalitas etnis adalah untuk pemerintah itu sendiri. Seperti loyalitas dari semua warga negara, loyalitas etnis tidak hanya muncul tetapi juga dipelihara oleh pemerintah dan masalah ini berpotensi akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pemerintahan. Kata kunci: loyalitas etnis, bentuk pemerintahan ABSTRACT Etnicloyality over a national goverment cannot be regarded as something that emerges by itself since any reciprocal process of social interaction, etnic loyality for goverment itself. Like the loyality of all citizen, etnic loyality is not only tobe established but preserved and deverloped as well by a national goverment and this issue will potentially give influence to the format of a govermental form. Keywords: etnicloyality, govermental form PENDAHULUAN Gejolak etnik yang kembali marak sejak tahun 1970-an, yang didorong oleh kekecewaan yang berlarut dalam negara nasionalnya masing-masing, telah memunculkan gerakan-gerakan etnik yang mengajukan beraneka ragam tuntutan politik, minimal untuk mendapat perhatian dan otonomi, dan maksimal untuk mendirikan negara etnik tersendiri. Toffler bahkan meramaikan bahwa permasalahan etnik akan berlanjut terus sampai abad ke-21. Banyaknya etnik bagaikan sebuah anomali dalam perkembangan sejarah politik modern sejak abad ke-18. Yang umumnya merupakan sejarah terbentuk- nya negara-negara nasional, dalam salah satu sisi kebangkitan etnis ini bisa di tafsirkan sebagai salah satu indikasi dari kegagalan negara nasional. Jika permasalahan ini tidak tertangani dengan

Upload: others

Post on 28-Jun-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

115

ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM

DINAMIKA PERJALANAN BANGSA

Oleh: Eki Baihaki

Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Langlangbuana Bandung

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Loyalitas etnis terhadap pemerintah tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang muncul

dengan sendirinya karena setiap proses timbal balik dari interaksi sosial, loyalitas etnis

adalah untuk pemerintah itu sendiri. Seperti loyalitas dari semua warga negara, loyalitas etnis tidak hanya muncul tetapi juga dipelihara oleh pemerintah dan masalah ini berpotensi

akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pemerintahan.

Kata kunci: loyalitas etnis, bentuk pemerintahan

ABSTRACT

Etnicloyality over a national goverment cannot be regarded as something that emerges by

itself since any reciprocal process of social interaction, etnic loyality for goverment itself. Like the loyality of all citizen, etnic loyality is not only tobe established but preserved and

deverloped as well by a national goverment and this issue will potentially give influence to

the format of a govermental form.

Keywords: etnicloyality, govermental form

PENDAHULUAN

Gejolak etnik yang kembali marak

sejak tahun 1970-an, yang didorong oleh

kekecewaan yang berlarut dalam negara

nasionalnya masing-masing, telah

memunculkan gerakan-gerakan etnik yang

mengajukan beraneka ragam tuntutan

politik, minimal untuk mendapat

perhatian dan otonomi, dan maksimal

untuk mendirikan negara etnik tersendiri.

Toffler bahkan meramaikan bahwa

permasalahan etnik akan berlanjut terus

sampai abad ke-21.

Banyaknya etnik bagaikan sebuah

anomali dalam perkembangan sejarah

politik modern sejak abad ke-18. Yang

umumnya merupakan sejarah terbentuk-

nya negara-negara nasional, dalam salah

satu sisi kebangkitan etnis ini bisa di

tafsirkan sebagai salah satu indikasi dari

kegagalan negara nasional. Jika

permasalahan ini tidak tertangani dengan

Page 2: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

116

baik, maka negara nasional dapat

mengalami disintegrasi dan kehancuran.

Loyalitas etnik terhadap negara

nasional ternyata tidak bisa dipandang

sebagai hal yang timbul dengan

sendirinya. Sesuai dengan sifat reciprokal

dari setiap proses interaksi sosial, loyalitas

etnik kepada pemerintah negara, terbukti

terkait dengan posisi, kinerja dan manfaat

negara nasional itu sendiri. Seperti juga

loyalitas seluruh warga negara, loyalitas

etnik bukan saja harus di bangun, tetapi

juga harus dipelihara, serta dikembangkan

oleh negara nasional dan masalah tersebut

secara potensial memberi pengaruh

terhadap format bentuk negara.

Wacana federalisme merupakan

bagian dari proses dialektika sejarah

bangsa, bahkan sesungguhnya

federalisme, sudah dimulai dalam masa

singkat British interregnum, yaitu era

penjajahan Inggris pada tahun 1811-1816,

serta pada pasca kemerdekaan yang

menerapkan bentuk negara federal pada

tahun 1949-1950. Setelah itu Indonesia

menganut sistem unitarian, negara

kesatuan. Di mana hasilnya kurang lebih

adanya uniformisasi segala bidang dan

sentralisasinya yang ketat. Bahkan over

centralization. Namun untuk`menerapkan

federalisme, juga diperlukan kearifan serta

pemikiran yang matang yang dilindasi

sikap kewarganegarawanan.

Permasalahan etnik serta etnisitas

akan senantiasa mempengaruhi dinamika

perjalanan bangsa, karena etnik bukan

saja ada dalam setiap negara nasional,

tetapi juga karena sebagian besar negara-

negara di dunia mempunyai penduduk

yang multi etnik. Dari 175 negara anggota

perserikatan Bangsa-Bangsa, hanya 12

negara saja yang penduduknya agak

homogen. (Koentjaraningrat, 1993).

Pengabaian masalah untuk etnik, dapat

menyebabkan terjadinya kejutan berupa

gejolak politik yang dapat membahayakan

integritas dan eksistensi negara. Sehingga

perlu penangganan yang tepat.

Secara umum, republik Indonesia

tidak terkecuali dari fenomena politik

global tersebut diatas.hingga saat ini, kita

masih menghadapi berbagai gejolak etnik,

yang sebagian jelas bermotifkan ketidak

puasan etnik, terutama etnik yang terdiam

diluar pulau jawa, seperti di Aceh, Irian

Jaya, Riau, Kalimantan, termasuk Timor

Timur yang sudah melepas diri dari

negara kesatuan Republik Indonesia,

sebagai hasil dari referendum yang telah

dilaksanakan. Gejolak etnik bangkit

dilatarbelakangi oleh adanya ketidak

adilan hubungan antara pusat dan daerah

dalam bidang politik maupun ekonomi.

Page 3: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

117

RAS, ETNIS DAN ETNISITAS

Berdasarkan karakteristik biologis-

nya, umat manusia lazim dikelompokan

dalam berbagai ras. Bila ras tersebut

dikaitkan dengan kebudayaannya, maka

terbentuklah etnik. Dari suatu ras yang

sama dapat timbul berbagai etnik. Dari

suatu ras yang sama dapat timbul berbagai

etnik. Barth merumuskan etnik sebagai

berikut: “Etnik adalah suatu populasi yang

secara biologis mampu berkembang biak

dan bertahan, mempunyai nilai-nilai

budaya, membentuk jaringan komunikasi

dan interaksi sendiri, menentukan sendiri

ciri kelompoknya, yang diterima oleh

kelompok lain dan dapat dibedakan dari

kelompok populasi lain”. (Barth, 1988)

Setiap manusia pasti menjadi warga

dari salah satu ras dan etnik. Dari latar

belakang ras dan etnik. Dari latar

belakang dan etnik itulah suatu

masyarakat membentuk tipe kepribadian

dasar serta tipe kepribadian status, yang

selanjutnya menjadi acuan bagi

pembentukan kepribadian warganya

(Linton, 1962).

Lazimnya etnik mempunyai suatu

homeland yang jelas batas-batasannya.

Adanya kebudayaan serta homeland

sendiri merupakan ciri khas etnik, yang

membedakannya dengan ras. Agama yang

kitab-kitab sucinya bersifat universal,

secara kultural akan mempunyai warna

lokal, dan menjadi bagian menyeluruh

dari budaya etnik ini.

Kebudayaan etnik mempunyai arti

penting bagi politik, karena latar belakang

konfigurasi kebudayaannya etnik itu

tumbuh kultur politik suatu bangsa. Setiap

budaya etnik mempunyai nilai khas

tentang manusia, kekuasaan,

kepemimpinan, serta pemerintahan. Yang

akan membentuk dan mempengaruhi visi,

persepsi dan reaksinya tentang pemerintah

dan negara yang terbentuk kemudian, baik

ditingkat nasional maupun ditingkat

daerah. Dimensi politik dari etnik itu yang

disebut dengan etnisitas.

Jika keanekaragaman etnik dalam

suatu negara nasional adalah suatu

keniscayaan yang tidak mungkin

dihindari, maka pertanyaan mendasar

yang memerlukan jawaban adalah:

bagaimana agar seluruh etnik tersebut

dapat hidup berdampingan secara damai

satu sama lain.

ETNIK DAN NEGARA NASIONAL

Taufik abdullah pernah menulis

bahwa nasionalisme Indonesia sesungguh-

nya merupakan gejala perantau. Sejarah

menunjukan bahwa paham nasionalisme

tumbuh dan berkembang dikalangan anak

muda yang meninggalkan kampung

halamannya untuk belajar, baik di

Indonesia maupun di luar negeri. Seperti

Page 4: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

118

Soekarno, serta Hatta yang menjadi tokoh

nasionalis di Rotterdam Balanda.

Wujud nasionalisme pada tahap

awal ini menjadi seorang nasionalis

berarti harus menanggalkan identitas

etnik. Hal ini terlihat padato tokoh-tokoh

nasionalis yang berasal dari luar jawa.

Jika soekarno lahir dan bangga mengutip

kisah-kisah pewayangan Jawa, Hatta dan

Mohammad Yamin misalnya, tidak

pernah bersedia menampilkan diri sebagai

orang Minangkabau atau memakai

pepatah penelitih Minangkabau. Yamin

bahkan memperdalam bahasa sankrit dan

jawa kuno. Ia juga aktif dalam

merumuskan Sumpah Pemuda, 28

Oktober 1928. Dimana hal tersebut

dijelaskan oleh Bung Hatta, sebagai reaksi

logis terhadap politik pecah belah

Belanda. Serta hasil analisis dari sejarah

perlawanan terhadap kolonialisme di

Indonesia, di mana kaum terpelajar ini,

menyadari bahwa mustahil untuk

memperoleh kemerdekaan selama bangsa

Indonesia belum bersatu.

Meskipun menganut faham

nasionalisme yang sama, namun terdapat

nuansa kultural etnik yang jelas dalam visi

politik kaum nasionalis ini. Soekarno

yang orang Jawa menganut nasionalisme

dengan faham kekuasaan khas Jawa, yaitu

memberikan peranan yang amat besar

kepada pemimpin serta sebagai massa

“Wong cilik” yang pasif, sedang

pemimpin yang memikul tanggung jawab

untuk memajukannya. Dengan istilah Ki

Hajar Dewantara, Soekarno lebih

menyukai democratie met leaderchap.

Hatta yang seorang Minangkabau

menganut faham nasionalisme dengan

faham kekuasaan khas Minangkabau,

yang disebutnya sebagai “daulat rakyat”

dan bukan “daulat tuanku”. Dalam

pandangan Hatta, meskipun rakyat itu

terbelakang, namun dapat dididik untuk

mengurus dirinya sendiri. Beliau juga

mempelopori gerakan koperasi, yang

mengandalkan kerjasama dari rakyat

kecil. Perbedaan konseptual mengenai

kekuasaan, yang timbul sejak usia muda,

diantara mereka, tidak pernah bisa

didekatkan sampai keduanya meninggal

dunia.

Negara nasional hanya mungkin

dibentuk dan berfungsi dengan baik

berdasarkan faham nasionalisme. Faham

nasionalisme mengajarkan bahwa suatu

bangsa yang bernegara dapat dibangun

dari masyarakat yang majemuk, jika

warga masyarakat tersebut benar-benar

kuat untuk membangun masa depan

bersama, terlepas dari perbedaan agama,

ras, etnik atau ikatan primordial lainnya.

Nasionalisme adalah suatu visi, suatu

persepsi, dan bangsa yang dibangun

Page 5: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

119

berdasarkan visi ini adalah suatu imagined

community (Anderson, 1989).

Nasionalisme adalah condition sine

qua non dari negara nasional. Untuk dapat

berfungsi dengan baik selain memerlukan

dukungan ideologi dan nasionalisme,

negara nasional memerlukan juga

dukungan demokrasi. Nasionalisme

sebagai semangatnya, sedang demokrasi

sebagai instrumen dan mekanisnya.

Dalam nasionalisme, dibangun semangat

rakyat untuk bersatu, sedang demokrasi,

menjamin jati diri dan keikutsertaannya

dalam kehidupan bernegara. Melalui

keikutsertaannya itu terjamin basis sosial

yang luas bagi eksistensi serta stabilitas

negara dan terdap dirinya sendiri, rakyat

tidak akan tergoda untuk memberontak.

Suatu negara yang masyarakatnya

terdiri dari satu etnik, maupun yang

masyarakatnya multi etnik, rakyat dan

etnik itu satu. Rakyat adalah etnik in

abstracto, sedang etnik adalah rakyat in

concreto.

GEJOLAK ETNIK DAN

PENANGANANNYA

Dalam negara nasional yang

demokratis, etnik tidak lenyap tetapi bisa

surut ke belakang atau melarut dalam

berbagai lembaga politik yang ada.

Selama pemerintah negara nasional

berfungsi, antara lain dengan secara adil

mengalokasikan sumber daya nasional

yang ada, baik antar sektor maupun antar

wilayah, etnik akan hidup terteram dalam

kerutinan kehidupan sosial budayanya.

Namun, jika negara nasional mengalami

kemorosotan, dan masing-masing

golongan yang ada dalam masyarakat

harus berjuang untuk memperoleh hak

dan memenuhi aspirasi dan kepentingan-

nya yang syah, pada saat itu etnik dan

etnisitas ini akan tampil kembali kemuka.

Gejolak etnik dalam negara

nasional dapat difahami sebagai laporan

konduite jelek dari pemerintahan suatu

negara nasional. Bangsa yang multi etnik

pada dasarnya akan selalu menghadapi

resiko pecahnya gejolak etnik.

Menghadapi potensi gejolak rakyat itu

sendiri perlu dirumuskan pola kebijakan

penanganannya yang tepat, agar supaya

pencegahan, penanggulangan serta

rehabilitasnya tetap dapat memelihara

semangat nasionalisme rakyat, yang

demikian vital peranannya bagi

kelangsungan hidup negara.

Upaya penangganan keamanan

apapun juga jangan sampai menimbulkan

dendam keturunan. Seperti dirangkum

dengan tepat oleh Hart (1962), pilihan

strategi keamanan pada taraf terakhir akan

terfokus pada pola pemikiran Clausewitz

atau pola pemikiran Sun Tzu. Clausewitz,

dengan singkat menyatakan: Der Krieg ist

Page 6: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

120

also ein Akt der Gewalt, um der Gegner

zur Erfullung unseres Willens zu zwigen,

artinya; perang, oleh karena itu,

merupakan suatu tindak kekerasan yang

bermaksud untuk membuat lawan kita

memenuhi kemauan kita (Clausewitz,

1994 dalam Griffith, 1971).

Sudah tentu strategi ini dapat amat

efektif, hanya tidak mustahil barut-barut

luka psikologis akibat pemulihan

keamanan dapat mengendap ke alam

bahwa sadar penduduk dan tinggal di sana

dalam waktu yang lama. Oleh karena

pemulihan keamanan dilakukan secara

vulgar, tanpa memperhitungkan penting-

nya kesadaran nasionalisme penduduk itu

sendiri, maka pelaksanaan kebijaksanaan

ini justru bisa bersifat bersifat kontra

produktif, oleh karena dapat meniadakan

basis sosial legitimasi dan kewibawaan

negara itu sendiri.

Apabila dikaitkan dengan

paradigma Gregoty Ellinwood, akar

masalah gejolak etnik justru terletak pada

kebijakan pemerintah, sehingga pada

dasarnya keberhasilan upaya pemulihan

keamanan dapat dilakukan dengan

mencari kebijaksanaan yang paling tepat

untuk kondisi khas yang dihadapi.

Berbeda dengan Clausewitz, Sun

Tzu mengajarkan “for to win a hundred

victories in one hundred battles is not the

acme ofskill. To subdue without fighting is

acme of skill.” (Griffith, 1971). Seperti

diulas oleh Liddle Hart, Sun Tzu tidak

menyukai thestrategi of direct approach,

seperti yang antara lain diajarkan

Clausewitz. Ia lebih menyukai the strategi

of indirect approach, yang mungkin harus

menyiapkan waktu yang lebih lama,

matang serta menghendaki kesabaran

yang luar biasa, tetapi hasil yang

diperoleh tanpa menimbulkan masalah

baru.

FEDERALISME PASCA

KEMERDEKAAN

Sesungguhnya keinginan untuk

membentuk negara federal bukan muncul

pada saat ini saja. Bibit-bibit Federalisme

di ”Bumi Nusantara” ini sudah

mengemuka pada pasca kemerdekaan

yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.

Paling tidak itu yang terlihat dari

penyelenggaraan konferensi Malino,

Gowa, Sulawesi Selatan, 17 juli 1946. Di

kota dingin itulah berkumpul sejumlah

utusan dari beberapa daerah di tanah air.

Seperti Kalimantan (Barat, Timur, dan

Selatan) Maluku (utara dan selatan),

Lombok, Bali, Bangka, Belitung, Riau,

Lalu, dari sulsel, Sulut (Minahasa,

Manado, dan Sanghie Talud), serta papua.

Akhirnya provokasi HJ. Van Mook wakil

gubernur Jenderal Hindia Belanda

berhasil memecah belah Indonesia,

Page 7: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

121

dengan memunculkan Negara Indonesia

Timur pimpinan Sukawati.

Kemudian berturut-turut

diproklamasikan sejumlah negara lagi,

sepanjang tahun 1947 sampai 1949. Disini

lahir negara Pasundan di Bandung (4 Mei

1947), Dewan Federal Kalimantan

Tenggara (9 mei 1947), Wilayah Khusus

Kalimantan Barat (12 Mei 1947).Setelah

itu berdiri negara Madura (23 januari

1948), negara Sumatera Timur di Medan

(24 Maret-1948), Negara Jawa Timur di

Bondowoso (16 November 1948) dan

Negara Islam Indonesia (NII) di

Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949.

Gerakan-gerakan seperti ini terus

bermunculan diberbagai wilayah.

Termasuk di Sulawesi, Aceh Sumbar dan

lainnya.

Pakar hukum ketatanegaraan Harun

Alrasid mengungkapkan, pemerintah

Belanda yang berusaha menegakkan

kembali kekuasaannya di Indonesia,

memang menciptakan negara-negara

bagian dan satuan-satuan kenegaraan.

Tujuannya adalah melumpuhkan status

Republik Indonesia yang dibentuk dengan

proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai

negara nasional, selain untuk memecah

belah rakyat Indonesia, atau politik devide

et impera.

Usaha ini lumayan berhasil. Di

antaranya sempat muncul negara Republik

Indonesia Serikat, 27 Desember 1949

yang terdiri dari 16 daerah bagian itu.

Diantaranya, tujuh negara bagian

Republik Indonesia (Yogya), dengan

wilayah menurut status quo yang

tercantum dalam persetujuan Renville, 17

Januari 1948. Seperti Indonesia Timur,

Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera

Timur, dan Sumatera Selatan. Lalu,

sembilan satuan kenegaraan yang berdiri

sendiri ini mencakup Jawa Tengah,

Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan

Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar,

Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan

Timur.

GAGASAN FEDERALISME

Sebenarnya, gagasan negara

federasi bukanlah baru benar. Karena para

pendiri republik ini pada awalnya sudah

cukup intensif membicarakan seperti apa

bentuk negara baru itu. Sebagai negara

bekas jajahan Belanda dan Jepang, negara

Indonesia kala itu masih sulit menentukan

pilihan. Tokoh yang satu-satunya yang

sejak dini menghendaki republik ini

sebagai negara federasi adalah bung

Hatta.

Gagasan negara federasi itu sudah

ditemukan Bung Hatta sejak ia masih

menjadi mahasiswa di Belanda. Dalam

perkumpulan perhimpunan Indonesia (PI).

Bahwa Bung Hatta adalah seorang

Page 8: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

122

federalis dikemukakan rekan seperjuangan

Bung Hatta kala itu, Sunario, Mantan

Menteri Luar Negeri pada kabinet Ali

Sastroamidjojo yang pertama ini pernah

menceritakan pengalamannya. “Ada

pertanyaan pelik yang kadang terdengar:

bukankah Bung Hatta seorang federalis?”,

begitu tulis Sunario. “Hatta itu bagi

kebanyakan di antara kita, merupakan

contoh sebagai seorang nasionalis dan

patriot muda yang hatinya kuat seperti

baja dan jernih pikirannya.”

Gagasan negara federasi itulah yang

pernah dibela Bung Hatta, menurut Prof.

Sunario, sikap Hatta ini semata-mata

dimaksudkan untuk menjaga, “jangan

sampai kepentingan daerah-daerah di luar

Jawa kurang mendapat perhatian, jika

Indonesia menjadi negara kesatuan”.

Harus diakui, gagasan Bung Hatta

ini tidak disepakati oleh rekan-rekannya

kala itu. Mereka sangat hawatir, jika

negara federasi atau negara serikat kala itu

diwujudkan, maka rasa persatuan yang

kala itu diwujudkan, maka rasa persatuan

yang kala itu, rasa persatuan itu jelas

dimaksudkan untuk melawan

kolonialisme Belanda.

Alasan Bung Hatta itu jelas. Negara

federasi, menurut Bung Hatta memberi

peluang agar daerah-daerah dapat

mengembangkan dirinya. Selain itu, agar

terjadi kompetisi yang sehat antara negara

bagian. Bung Hatta yang kukuh

pendiriannya. Akan tetapi beliau juga

selalu memiliki sikap kewarnageraan.

Karena itu, ketika berhadapan dengan

rekan-rekan seperjuangannya di dalam

rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada

tanggal 29 Mei 1945, Bung Hatta Harus

tunduk pada kesepakatan bersama.

Kesepakatan yang dipelopori oleh

Mohamad Yamin itu menyebutkan,

bahwa rakyat indonesia menolak segala

paham yang dirasakan bakal menghambat

terbentuknya negara kesatuan Republik

Indonesia.

Paham-paham yang ditolakitu

diantaranya adalah: federalisme

(persekutuan), federalisme (susunan

lama), monarki (kepala negara turun

temurun), liberalisme autokrasi dan

biokrasi. Satu hal lagi yang kala itu

ditolak adalah apa yang disebut sebagai

demokrasi barat.

Tunduknya Bung Hatta pada

kesepakatan bersama dalam BPUPKI itu,

menurut Sunario, “membuktikan secara

definitif bahwa Bung Hatta memang

menyetujui bentuk negara kesatuan untuk

Indonesia”.

PERUBAHAN KONSTITUSIONAL

Selisih pendapat antara negara

federasi dan negara kesatuan ini sudah

Page 9: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

123

terjadi sejak para pendiri negara ini masih

menjadi mahasiswa dan bahkan kemudian

menjalar sampai BPUPKI yang

mempersiapkan segala seluk beluk negara

Republik Indonesia kala itu, misalnya

terjadi perdebatan yang cukup alot, mau

memilih negara federasi atau kesatuan.

Disepakati, bahwa wadahnya tetap

republik. Hanya saja, bisa republik

federasi (serikat) seperti Amerika Serikat

atau republik kesatuan. Dan Mohamad

Yamin condong kepada republik

kesatuan. Dan yang menarik dicatat,

kesepakatan tentang negara Indonesia

yang berbentuk republik kesatuan ini

dikatakannya sudah final.

Keberadaan negara kesatuan itu

berlangsung dari 17 agustus 1945 hingga

27 Desember 1949. Setelah Belanda

kembali ke Indonesia, maka dipecah-

pecahlah Negara Indonesia ini menjadi

negara-negara bagian yang kemudian

dikenal sebagai Republik Indonesia

Serikat (RIS). Kemudian terjadilah pasang

surut. Di mana negara kesatuan RI

berubah menjadi negara serikat (federasi).

Dan, negara serikat diubah menjadi

negara kesatuan. Kala itu. Soepomo, yang

dikenal sebagai pelopor negara

integralistrik sempat pula mengemukakan

sikapnya. Dikatakannya, “perubahan

struktur negara dari bentuk federal

menjadi bentuk kesatuan itu tidak

melanggar konstitusi, bahkan adalah suatu

kejadian konstitusional,” kata Soepomo.

Sebaliknya, dalam pandangan

Soepomo, jika kemudian terjadi

perubahan dari bentuk kesatuan menjadi

bentuk serikat, hal ini juga merupakan

peristiwa konstitusional. Dan yang harus

dipertahankan sebagai wadah negara

nasional adalah tetap „Republik

Indonesia‟.

Lalu, sebenarnya apa yang

diinginkan rakyat Indonesia? Tak jelas

benar. Karena sebenarnya terdapat

perbedaan tajam yang harus dijelaskan,

bahwa semangat separatisme yang kini

marak, tidaklah seiring dengan semangat

menuju negara federasi yang pernah

dicita-citakan. Sementara, di lain pihak,

negara federal tidak perlu terlalu ditakuti

bakal membawa disintegrasi.

FEDERAL VS NEGARA KESATUAN

Dalam teori pemerintahan secara

garis besar dikenal dua model dalam

transformasi negara yaitu model negara

kesatuan dan model Negara federal.

Secara sederhana, pengertian negara

federal adalah pemerintahan yang

terbentuk dari beberapa negara bagian.

Tiap-tiap negara bagian memiliki otonomi

untuk mengatur masalah dalam negerinya.

Kekuasaan pemerintah federal hanya

mengatur bidang-bidang tertentu.

Page 10: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

124

Model negara federal, berangkat

dari suatu asumsi dasar, bahwa ia

dibentuk oleh sejumlah negara atau

wilayah yang independen, yang sejak

awal memiliki kedaulatan atau semacam

kedaulatan pada dirinya masing-masing.

Negara-negara atau wilayah-wilayah itu,

yang kemudian bersepakat membentuk

sebuah federal. Negara dan wilayah

pendiri negara federasi itu kemudian

berganti status menjadi negara bagian atau

wilayah administrasi dengan nama

tertentu dalam lingkungan federal.

Dengan kata lain, negara atau

wilayah yang menjadi anggota federasi

itulah yang pada dasarnya memiliki

semua kekuasaan, yang kemudian

diserahkan sebagian kepada pemerintah

federal (pusat). Biasanya, pemerintah

federal (pusat) diberi kekuasaan penuh

dibidang moneter, pertahanan, peradilan

dan hubungan luar negeri. Kekuasaan

lainnya cenderung dipertahankan oleh

negara bagian atau wilayah administrasi.

Kekuasaan negara bagian biasanya sangat

menonjol dalam urusan-urusan domestik,

seperti pendidikan, kesehatan,

kesejahteraan sosial, dan keamanan

masyarakat (kepolisian).

Menurut Ivan A. Handar, ketua

Institut Pendidikan Demokrasi, dengan

menggunakan kriteria longgar, terdapat

tiga bentuk federal. Pertama, sistem

federal murni, lalu federal dalam bentuk

federal arrangement, dalam kriteria ini

pemerintahan otonomi begitu kuat,

sehingga mendekati sistem federal. Ketiga

adalah associated states, yaitu negara

yang sudah jadi tetapi sulit untuk hidup

sendiri.

Dengan kriteria tersebut menurut-

nya terdapat sekitar tujuh puluh persen

negara di dunia ini, dalam satu dan lain

hal ditata secara federalisme. Meski sesuai

perwujudannya terdapat beragam definisi

tentang federalisme. Beberapa ciri dapat

ditemui pada sebagian besar negara yang

menggunakan federalisme. Di mana

definisi tersebut tergantung pada sudut

pandang yang dipilihnya sebagai acuan,

yaitu (a) Institusional-fungsionalis, (b)

sosiologis, (c) sosial filosofis dan (d)

konstitusional. Ivan menambahan dari

sudut pandang institusional-

fungsionalistis, federalisme adalah sebuah

bentuk organisasi kenegaraan, di mana

pengambilan keputusan diatur sesuai

dengan membagian tugas antara pusat dan

daerah. Ditilik dari sudut pandang

sosiologis, sebuah masyarakat terbagi

dalam teritori berdasarkan latar belakang

suku, ras dan agama, perbedaan ekonomi

dan sejarahnya, dapat di klarifikasi

sebagai federalistis. Sedangkan dari sudut

sosial filosofis, merupakan organisasi

kenegaraan yang dibangun berdasarkan

Page 11: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

125

prinsip subsider (tolong menolong).

Terakhir dari sudut pandang pembagian

kekuasaan konstitusi, di mana elemen dari

struktur dasar sebuah negara, legislatif,

eksekutif serta yudikatif, dapat ditemui

baik dalam pemerintah pusat maupun

negara bagian.

Sedangkan, format negara kesatuan,

dideklarasikan saat kemerdekaan oleh

para pendiri negara dengan mengklaim

seluruh wilayahnya sebagai bagian dari

satu negara. Tidak ada kesepakatan para

penguasa daerah, apalagi negara-negara,

yang diasumsikan bahwa seluruh wilayah

yang termasuk didalamnya bukanlah

bagian-bagian wilayah yang bersifat

independen. Dengan dasar itu, maka

negara membentuk daerah-daerah atau

wilayah-wilayah yang kemudian diberi

kekuasaan atau kewenangan dari

pemerintah pusat untuk mengurus

berbagai kepentingan masyarakatnya. Di

sini diasumsikan bahwa negaralah yang

menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan

daerah pada dasarnya adalah kekuasaan

pusat yang didesentralisasikan. Ini bisa

dilihat pada sistem Indonesia dan RRC.

Adanya wacana menimbang konsep

federalism di era reformasi merupakan

cermin dari kedinamisan berpikir. Apalagi

dalam dunia politik perubahan berfikir

dan bersikap, merupakan hal yang lumrah.

Sebab oportunisme guna mengejar

kepentingan, merupakan pengejawantahan

dari salah satu sifat manusia sebagai insan

politik (zoon politicon). Namun bukan

berarti penerapan Federalisme tanpa

masalah, menurut Yusril Ihza Mahendra,

yang juga Menteri Hukum dan

Perundang-undangan, untuk menerapkan-

nya, Negara kesatuan perlu dibubarkan

terlebih dahulu, daerah yang tidak mujur

dengan kekayaan alam dan jumlah

penduduknya yang banyak, bakal

kembang kempis, Federalisme juga akan

membuka kemungkinan munculnya

negara bagian berdasarkan suku.

Penerapan federalisme juga dapat

membuka kemungkinan lahirnya Raja-raja

kecil di daerah. Federalisme meski

mendesak tapi tidak perlu buru-buru dan

grusu-grusu. Pilihan politik atas

federalisme butuh, kearifan, kematangan

serta kenegarawanan kita semua.

Akhirnya sejarahlah yang kelak akan

membuktikan, apakah etnisitas akan

menjadi faktor yang memicu adanya

disintegrasi bangsa atau menjadi faktor

yang akan memperkarya dinamika

perjalanan bangsa, dalam negara republik

yang berdasarkan negara kesatuan atau

negara federal.

Page 12: ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM DINAMIKA PERJALANAN … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi juga harus dipelihara, ... sudah dimulai dalam masa singkat British interregnum,

Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)

SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012

126

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. B., 1989, Imagined communities, Reflections on The

Origin and Spead of

Naationalism, Verso, London.

Barth, F., 1988, Kelompok Etnik dan

Batasannya, Penerbit

Universitas Indonesia, Jakarta.

Griffith, S. B., 1971, Sun Tzu, The Art Of War, Oxford Universiti Press,

Jakarta.

Hart, B.H.L., 1962, Strategy, Frederick A, Praeger, Publisher, New York.

Koentjaradiningrat, 1993, Masalah

Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, UI Press, Jakarta.