etnisitas dan federalisme dalam dinamika perjalanan … · etnik bukan saja harus di bangun, tetapi...
TRANSCRIPT
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
115
ETNISITAS DAN FEDERALISME DALAM
DINAMIKA PERJALANAN BANGSA
Oleh: Eki Baihaki
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Langlangbuana Bandung
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Loyalitas etnis terhadap pemerintah tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang muncul
dengan sendirinya karena setiap proses timbal balik dari interaksi sosial, loyalitas etnis
adalah untuk pemerintah itu sendiri. Seperti loyalitas dari semua warga negara, loyalitas etnis tidak hanya muncul tetapi juga dipelihara oleh pemerintah dan masalah ini berpotensi
akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pemerintahan.
Kata kunci: loyalitas etnis, bentuk pemerintahan
ABSTRACT
Etnicloyality over a national goverment cannot be regarded as something that emerges by
itself since any reciprocal process of social interaction, etnic loyality for goverment itself. Like the loyality of all citizen, etnic loyality is not only tobe established but preserved and
deverloped as well by a national goverment and this issue will potentially give influence to
the format of a govermental form.
Keywords: etnicloyality, govermental form
PENDAHULUAN
Gejolak etnik yang kembali marak
sejak tahun 1970-an, yang didorong oleh
kekecewaan yang berlarut dalam negara
nasionalnya masing-masing, telah
memunculkan gerakan-gerakan etnik yang
mengajukan beraneka ragam tuntutan
politik, minimal untuk mendapat
perhatian dan otonomi, dan maksimal
untuk mendirikan negara etnik tersendiri.
Toffler bahkan meramaikan bahwa
permasalahan etnik akan berlanjut terus
sampai abad ke-21.
Banyaknya etnik bagaikan sebuah
anomali dalam perkembangan sejarah
politik modern sejak abad ke-18. Yang
umumnya merupakan sejarah terbentuk-
nya negara-negara nasional, dalam salah
satu sisi kebangkitan etnis ini bisa di
tafsirkan sebagai salah satu indikasi dari
kegagalan negara nasional. Jika
permasalahan ini tidak tertangani dengan
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
116
baik, maka negara nasional dapat
mengalami disintegrasi dan kehancuran.
Loyalitas etnik terhadap negara
nasional ternyata tidak bisa dipandang
sebagai hal yang timbul dengan
sendirinya. Sesuai dengan sifat reciprokal
dari setiap proses interaksi sosial, loyalitas
etnik kepada pemerintah negara, terbukti
terkait dengan posisi, kinerja dan manfaat
negara nasional itu sendiri. Seperti juga
loyalitas seluruh warga negara, loyalitas
etnik bukan saja harus di bangun, tetapi
juga harus dipelihara, serta dikembangkan
oleh negara nasional dan masalah tersebut
secara potensial memberi pengaruh
terhadap format bentuk negara.
Wacana federalisme merupakan
bagian dari proses dialektika sejarah
bangsa, bahkan sesungguhnya
federalisme, sudah dimulai dalam masa
singkat British interregnum, yaitu era
penjajahan Inggris pada tahun 1811-1816,
serta pada pasca kemerdekaan yang
menerapkan bentuk negara federal pada
tahun 1949-1950. Setelah itu Indonesia
menganut sistem unitarian, negara
kesatuan. Di mana hasilnya kurang lebih
adanya uniformisasi segala bidang dan
sentralisasinya yang ketat. Bahkan over
centralization. Namun untuk`menerapkan
federalisme, juga diperlukan kearifan serta
pemikiran yang matang yang dilindasi
sikap kewarganegarawanan.
Permasalahan etnik serta etnisitas
akan senantiasa mempengaruhi dinamika
perjalanan bangsa, karena etnik bukan
saja ada dalam setiap negara nasional,
tetapi juga karena sebagian besar negara-
negara di dunia mempunyai penduduk
yang multi etnik. Dari 175 negara anggota
perserikatan Bangsa-Bangsa, hanya 12
negara saja yang penduduknya agak
homogen. (Koentjaraningrat, 1993).
Pengabaian masalah untuk etnik, dapat
menyebabkan terjadinya kejutan berupa
gejolak politik yang dapat membahayakan
integritas dan eksistensi negara. Sehingga
perlu penangganan yang tepat.
Secara umum, republik Indonesia
tidak terkecuali dari fenomena politik
global tersebut diatas.hingga saat ini, kita
masih menghadapi berbagai gejolak etnik,
yang sebagian jelas bermotifkan ketidak
puasan etnik, terutama etnik yang terdiam
diluar pulau jawa, seperti di Aceh, Irian
Jaya, Riau, Kalimantan, termasuk Timor
Timur yang sudah melepas diri dari
negara kesatuan Republik Indonesia,
sebagai hasil dari referendum yang telah
dilaksanakan. Gejolak etnik bangkit
dilatarbelakangi oleh adanya ketidak
adilan hubungan antara pusat dan daerah
dalam bidang politik maupun ekonomi.
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
117
RAS, ETNIS DAN ETNISITAS
Berdasarkan karakteristik biologis-
nya, umat manusia lazim dikelompokan
dalam berbagai ras. Bila ras tersebut
dikaitkan dengan kebudayaannya, maka
terbentuklah etnik. Dari suatu ras yang
sama dapat timbul berbagai etnik. Dari
suatu ras yang sama dapat timbul berbagai
etnik. Barth merumuskan etnik sebagai
berikut: “Etnik adalah suatu populasi yang
secara biologis mampu berkembang biak
dan bertahan, mempunyai nilai-nilai
budaya, membentuk jaringan komunikasi
dan interaksi sendiri, menentukan sendiri
ciri kelompoknya, yang diterima oleh
kelompok lain dan dapat dibedakan dari
kelompok populasi lain”. (Barth, 1988)
Setiap manusia pasti menjadi warga
dari salah satu ras dan etnik. Dari latar
belakang ras dan etnik. Dari latar
belakang dan etnik itulah suatu
masyarakat membentuk tipe kepribadian
dasar serta tipe kepribadian status, yang
selanjutnya menjadi acuan bagi
pembentukan kepribadian warganya
(Linton, 1962).
Lazimnya etnik mempunyai suatu
homeland yang jelas batas-batasannya.
Adanya kebudayaan serta homeland
sendiri merupakan ciri khas etnik, yang
membedakannya dengan ras. Agama yang
kitab-kitab sucinya bersifat universal,
secara kultural akan mempunyai warna
lokal, dan menjadi bagian menyeluruh
dari budaya etnik ini.
Kebudayaan etnik mempunyai arti
penting bagi politik, karena latar belakang
konfigurasi kebudayaannya etnik itu
tumbuh kultur politik suatu bangsa. Setiap
budaya etnik mempunyai nilai khas
tentang manusia, kekuasaan,
kepemimpinan, serta pemerintahan. Yang
akan membentuk dan mempengaruhi visi,
persepsi dan reaksinya tentang pemerintah
dan negara yang terbentuk kemudian, baik
ditingkat nasional maupun ditingkat
daerah. Dimensi politik dari etnik itu yang
disebut dengan etnisitas.
Jika keanekaragaman etnik dalam
suatu negara nasional adalah suatu
keniscayaan yang tidak mungkin
dihindari, maka pertanyaan mendasar
yang memerlukan jawaban adalah:
bagaimana agar seluruh etnik tersebut
dapat hidup berdampingan secara damai
satu sama lain.
ETNIK DAN NEGARA NASIONAL
Taufik abdullah pernah menulis
bahwa nasionalisme Indonesia sesungguh-
nya merupakan gejala perantau. Sejarah
menunjukan bahwa paham nasionalisme
tumbuh dan berkembang dikalangan anak
muda yang meninggalkan kampung
halamannya untuk belajar, baik di
Indonesia maupun di luar negeri. Seperti
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
118
Soekarno, serta Hatta yang menjadi tokoh
nasionalis di Rotterdam Balanda.
Wujud nasionalisme pada tahap
awal ini menjadi seorang nasionalis
berarti harus menanggalkan identitas
etnik. Hal ini terlihat padato tokoh-tokoh
nasionalis yang berasal dari luar jawa.
Jika soekarno lahir dan bangga mengutip
kisah-kisah pewayangan Jawa, Hatta dan
Mohammad Yamin misalnya, tidak
pernah bersedia menampilkan diri sebagai
orang Minangkabau atau memakai
pepatah penelitih Minangkabau. Yamin
bahkan memperdalam bahasa sankrit dan
jawa kuno. Ia juga aktif dalam
merumuskan Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928. Dimana hal tersebut
dijelaskan oleh Bung Hatta, sebagai reaksi
logis terhadap politik pecah belah
Belanda. Serta hasil analisis dari sejarah
perlawanan terhadap kolonialisme di
Indonesia, di mana kaum terpelajar ini,
menyadari bahwa mustahil untuk
memperoleh kemerdekaan selama bangsa
Indonesia belum bersatu.
Meskipun menganut faham
nasionalisme yang sama, namun terdapat
nuansa kultural etnik yang jelas dalam visi
politik kaum nasionalis ini. Soekarno
yang orang Jawa menganut nasionalisme
dengan faham kekuasaan khas Jawa, yaitu
memberikan peranan yang amat besar
kepada pemimpin serta sebagai massa
“Wong cilik” yang pasif, sedang
pemimpin yang memikul tanggung jawab
untuk memajukannya. Dengan istilah Ki
Hajar Dewantara, Soekarno lebih
menyukai democratie met leaderchap.
Hatta yang seorang Minangkabau
menganut faham nasionalisme dengan
faham kekuasaan khas Minangkabau,
yang disebutnya sebagai “daulat rakyat”
dan bukan “daulat tuanku”. Dalam
pandangan Hatta, meskipun rakyat itu
terbelakang, namun dapat dididik untuk
mengurus dirinya sendiri. Beliau juga
mempelopori gerakan koperasi, yang
mengandalkan kerjasama dari rakyat
kecil. Perbedaan konseptual mengenai
kekuasaan, yang timbul sejak usia muda,
diantara mereka, tidak pernah bisa
didekatkan sampai keduanya meninggal
dunia.
Negara nasional hanya mungkin
dibentuk dan berfungsi dengan baik
berdasarkan faham nasionalisme. Faham
nasionalisme mengajarkan bahwa suatu
bangsa yang bernegara dapat dibangun
dari masyarakat yang majemuk, jika
warga masyarakat tersebut benar-benar
kuat untuk membangun masa depan
bersama, terlepas dari perbedaan agama,
ras, etnik atau ikatan primordial lainnya.
Nasionalisme adalah suatu visi, suatu
persepsi, dan bangsa yang dibangun
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
119
berdasarkan visi ini adalah suatu imagined
community (Anderson, 1989).
Nasionalisme adalah condition sine
qua non dari negara nasional. Untuk dapat
berfungsi dengan baik selain memerlukan
dukungan ideologi dan nasionalisme,
negara nasional memerlukan juga
dukungan demokrasi. Nasionalisme
sebagai semangatnya, sedang demokrasi
sebagai instrumen dan mekanisnya.
Dalam nasionalisme, dibangun semangat
rakyat untuk bersatu, sedang demokrasi,
menjamin jati diri dan keikutsertaannya
dalam kehidupan bernegara. Melalui
keikutsertaannya itu terjamin basis sosial
yang luas bagi eksistensi serta stabilitas
negara dan terdap dirinya sendiri, rakyat
tidak akan tergoda untuk memberontak.
Suatu negara yang masyarakatnya
terdiri dari satu etnik, maupun yang
masyarakatnya multi etnik, rakyat dan
etnik itu satu. Rakyat adalah etnik in
abstracto, sedang etnik adalah rakyat in
concreto.
GEJOLAK ETNIK DAN
PENANGANANNYA
Dalam negara nasional yang
demokratis, etnik tidak lenyap tetapi bisa
surut ke belakang atau melarut dalam
berbagai lembaga politik yang ada.
Selama pemerintah negara nasional
berfungsi, antara lain dengan secara adil
mengalokasikan sumber daya nasional
yang ada, baik antar sektor maupun antar
wilayah, etnik akan hidup terteram dalam
kerutinan kehidupan sosial budayanya.
Namun, jika negara nasional mengalami
kemorosotan, dan masing-masing
golongan yang ada dalam masyarakat
harus berjuang untuk memperoleh hak
dan memenuhi aspirasi dan kepentingan-
nya yang syah, pada saat itu etnik dan
etnisitas ini akan tampil kembali kemuka.
Gejolak etnik dalam negara
nasional dapat difahami sebagai laporan
konduite jelek dari pemerintahan suatu
negara nasional. Bangsa yang multi etnik
pada dasarnya akan selalu menghadapi
resiko pecahnya gejolak etnik.
Menghadapi potensi gejolak rakyat itu
sendiri perlu dirumuskan pola kebijakan
penanganannya yang tepat, agar supaya
pencegahan, penanggulangan serta
rehabilitasnya tetap dapat memelihara
semangat nasionalisme rakyat, yang
demikian vital peranannya bagi
kelangsungan hidup negara.
Upaya penangganan keamanan
apapun juga jangan sampai menimbulkan
dendam keturunan. Seperti dirangkum
dengan tepat oleh Hart (1962), pilihan
strategi keamanan pada taraf terakhir akan
terfokus pada pola pemikiran Clausewitz
atau pola pemikiran Sun Tzu. Clausewitz,
dengan singkat menyatakan: Der Krieg ist
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
120
also ein Akt der Gewalt, um der Gegner
zur Erfullung unseres Willens zu zwigen,
artinya; perang, oleh karena itu,
merupakan suatu tindak kekerasan yang
bermaksud untuk membuat lawan kita
memenuhi kemauan kita (Clausewitz,
1994 dalam Griffith, 1971).
Sudah tentu strategi ini dapat amat
efektif, hanya tidak mustahil barut-barut
luka psikologis akibat pemulihan
keamanan dapat mengendap ke alam
bahwa sadar penduduk dan tinggal di sana
dalam waktu yang lama. Oleh karena
pemulihan keamanan dilakukan secara
vulgar, tanpa memperhitungkan penting-
nya kesadaran nasionalisme penduduk itu
sendiri, maka pelaksanaan kebijaksanaan
ini justru bisa bersifat bersifat kontra
produktif, oleh karena dapat meniadakan
basis sosial legitimasi dan kewibawaan
negara itu sendiri.
Apabila dikaitkan dengan
paradigma Gregoty Ellinwood, akar
masalah gejolak etnik justru terletak pada
kebijakan pemerintah, sehingga pada
dasarnya keberhasilan upaya pemulihan
keamanan dapat dilakukan dengan
mencari kebijaksanaan yang paling tepat
untuk kondisi khas yang dihadapi.
Berbeda dengan Clausewitz, Sun
Tzu mengajarkan “for to win a hundred
victories in one hundred battles is not the
acme ofskill. To subdue without fighting is
acme of skill.” (Griffith, 1971). Seperti
diulas oleh Liddle Hart, Sun Tzu tidak
menyukai thestrategi of direct approach,
seperti yang antara lain diajarkan
Clausewitz. Ia lebih menyukai the strategi
of indirect approach, yang mungkin harus
menyiapkan waktu yang lebih lama,
matang serta menghendaki kesabaran
yang luar biasa, tetapi hasil yang
diperoleh tanpa menimbulkan masalah
baru.
FEDERALISME PASCA
KEMERDEKAAN
Sesungguhnya keinginan untuk
membentuk negara federal bukan muncul
pada saat ini saja. Bibit-bibit Federalisme
di ”Bumi Nusantara” ini sudah
mengemuka pada pasca kemerdekaan
yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Paling tidak itu yang terlihat dari
penyelenggaraan konferensi Malino,
Gowa, Sulawesi Selatan, 17 juli 1946. Di
kota dingin itulah berkumpul sejumlah
utusan dari beberapa daerah di tanah air.
Seperti Kalimantan (Barat, Timur, dan
Selatan) Maluku (utara dan selatan),
Lombok, Bali, Bangka, Belitung, Riau,
Lalu, dari sulsel, Sulut (Minahasa,
Manado, dan Sanghie Talud), serta papua.
Akhirnya provokasi HJ. Van Mook wakil
gubernur Jenderal Hindia Belanda
berhasil memecah belah Indonesia,
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
121
dengan memunculkan Negara Indonesia
Timur pimpinan Sukawati.
Kemudian berturut-turut
diproklamasikan sejumlah negara lagi,
sepanjang tahun 1947 sampai 1949. Disini
lahir negara Pasundan di Bandung (4 Mei
1947), Dewan Federal Kalimantan
Tenggara (9 mei 1947), Wilayah Khusus
Kalimantan Barat (12 Mei 1947).Setelah
itu berdiri negara Madura (23 januari
1948), negara Sumatera Timur di Medan
(24 Maret-1948), Negara Jawa Timur di
Bondowoso (16 November 1948) dan
Negara Islam Indonesia (NII) di
Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949.
Gerakan-gerakan seperti ini terus
bermunculan diberbagai wilayah.
Termasuk di Sulawesi, Aceh Sumbar dan
lainnya.
Pakar hukum ketatanegaraan Harun
Alrasid mengungkapkan, pemerintah
Belanda yang berusaha menegakkan
kembali kekuasaannya di Indonesia,
memang menciptakan negara-negara
bagian dan satuan-satuan kenegaraan.
Tujuannya adalah melumpuhkan status
Republik Indonesia yang dibentuk dengan
proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai
negara nasional, selain untuk memecah
belah rakyat Indonesia, atau politik devide
et impera.
Usaha ini lumayan berhasil. Di
antaranya sempat muncul negara Republik
Indonesia Serikat, 27 Desember 1949
yang terdiri dari 16 daerah bagian itu.
Diantaranya, tujuh negara bagian
Republik Indonesia (Yogya), dengan
wilayah menurut status quo yang
tercantum dalam persetujuan Renville, 17
Januari 1948. Seperti Indonesia Timur,
Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera
Timur, dan Sumatera Selatan. Lalu,
sembilan satuan kenegaraan yang berdiri
sendiri ini mencakup Jawa Tengah,
Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan
Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar,
Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan
Timur.
GAGASAN FEDERALISME
Sebenarnya, gagasan negara
federasi bukanlah baru benar. Karena para
pendiri republik ini pada awalnya sudah
cukup intensif membicarakan seperti apa
bentuk negara baru itu. Sebagai negara
bekas jajahan Belanda dan Jepang, negara
Indonesia kala itu masih sulit menentukan
pilihan. Tokoh yang satu-satunya yang
sejak dini menghendaki republik ini
sebagai negara federasi adalah bung
Hatta.
Gagasan negara federasi itu sudah
ditemukan Bung Hatta sejak ia masih
menjadi mahasiswa di Belanda. Dalam
perkumpulan perhimpunan Indonesia (PI).
Bahwa Bung Hatta adalah seorang
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
122
federalis dikemukakan rekan seperjuangan
Bung Hatta kala itu, Sunario, Mantan
Menteri Luar Negeri pada kabinet Ali
Sastroamidjojo yang pertama ini pernah
menceritakan pengalamannya. “Ada
pertanyaan pelik yang kadang terdengar:
bukankah Bung Hatta seorang federalis?”,
begitu tulis Sunario. “Hatta itu bagi
kebanyakan di antara kita, merupakan
contoh sebagai seorang nasionalis dan
patriot muda yang hatinya kuat seperti
baja dan jernih pikirannya.”
Gagasan negara federasi itulah yang
pernah dibela Bung Hatta, menurut Prof.
Sunario, sikap Hatta ini semata-mata
dimaksudkan untuk menjaga, “jangan
sampai kepentingan daerah-daerah di luar
Jawa kurang mendapat perhatian, jika
Indonesia menjadi negara kesatuan”.
Harus diakui, gagasan Bung Hatta
ini tidak disepakati oleh rekan-rekannya
kala itu. Mereka sangat hawatir, jika
negara federasi atau negara serikat kala itu
diwujudkan, maka rasa persatuan yang
kala itu diwujudkan, maka rasa persatuan
yang kala itu, rasa persatuan itu jelas
dimaksudkan untuk melawan
kolonialisme Belanda.
Alasan Bung Hatta itu jelas. Negara
federasi, menurut Bung Hatta memberi
peluang agar daerah-daerah dapat
mengembangkan dirinya. Selain itu, agar
terjadi kompetisi yang sehat antara negara
bagian. Bung Hatta yang kukuh
pendiriannya. Akan tetapi beliau juga
selalu memiliki sikap kewarnageraan.
Karena itu, ketika berhadapan dengan
rekan-rekan seperjuangannya di dalam
rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada
tanggal 29 Mei 1945, Bung Hatta Harus
tunduk pada kesepakatan bersama.
Kesepakatan yang dipelopori oleh
Mohamad Yamin itu menyebutkan,
bahwa rakyat indonesia menolak segala
paham yang dirasakan bakal menghambat
terbentuknya negara kesatuan Republik
Indonesia.
Paham-paham yang ditolakitu
diantaranya adalah: federalisme
(persekutuan), federalisme (susunan
lama), monarki (kepala negara turun
temurun), liberalisme autokrasi dan
biokrasi. Satu hal lagi yang kala itu
ditolak adalah apa yang disebut sebagai
demokrasi barat.
Tunduknya Bung Hatta pada
kesepakatan bersama dalam BPUPKI itu,
menurut Sunario, “membuktikan secara
definitif bahwa Bung Hatta memang
menyetujui bentuk negara kesatuan untuk
Indonesia”.
PERUBAHAN KONSTITUSIONAL
Selisih pendapat antara negara
federasi dan negara kesatuan ini sudah
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
123
terjadi sejak para pendiri negara ini masih
menjadi mahasiswa dan bahkan kemudian
menjalar sampai BPUPKI yang
mempersiapkan segala seluk beluk negara
Republik Indonesia kala itu, misalnya
terjadi perdebatan yang cukup alot, mau
memilih negara federasi atau kesatuan.
Disepakati, bahwa wadahnya tetap
republik. Hanya saja, bisa republik
federasi (serikat) seperti Amerika Serikat
atau republik kesatuan. Dan Mohamad
Yamin condong kepada republik
kesatuan. Dan yang menarik dicatat,
kesepakatan tentang negara Indonesia
yang berbentuk republik kesatuan ini
dikatakannya sudah final.
Keberadaan negara kesatuan itu
berlangsung dari 17 agustus 1945 hingga
27 Desember 1949. Setelah Belanda
kembali ke Indonesia, maka dipecah-
pecahlah Negara Indonesia ini menjadi
negara-negara bagian yang kemudian
dikenal sebagai Republik Indonesia
Serikat (RIS). Kemudian terjadilah pasang
surut. Di mana negara kesatuan RI
berubah menjadi negara serikat (federasi).
Dan, negara serikat diubah menjadi
negara kesatuan. Kala itu. Soepomo, yang
dikenal sebagai pelopor negara
integralistrik sempat pula mengemukakan
sikapnya. Dikatakannya, “perubahan
struktur negara dari bentuk federal
menjadi bentuk kesatuan itu tidak
melanggar konstitusi, bahkan adalah suatu
kejadian konstitusional,” kata Soepomo.
Sebaliknya, dalam pandangan
Soepomo, jika kemudian terjadi
perubahan dari bentuk kesatuan menjadi
bentuk serikat, hal ini juga merupakan
peristiwa konstitusional. Dan yang harus
dipertahankan sebagai wadah negara
nasional adalah tetap „Republik
Indonesia‟.
Lalu, sebenarnya apa yang
diinginkan rakyat Indonesia? Tak jelas
benar. Karena sebenarnya terdapat
perbedaan tajam yang harus dijelaskan,
bahwa semangat separatisme yang kini
marak, tidaklah seiring dengan semangat
menuju negara federasi yang pernah
dicita-citakan. Sementara, di lain pihak,
negara federal tidak perlu terlalu ditakuti
bakal membawa disintegrasi.
FEDERAL VS NEGARA KESATUAN
Dalam teori pemerintahan secara
garis besar dikenal dua model dalam
transformasi negara yaitu model negara
kesatuan dan model Negara federal.
Secara sederhana, pengertian negara
federal adalah pemerintahan yang
terbentuk dari beberapa negara bagian.
Tiap-tiap negara bagian memiliki otonomi
untuk mengatur masalah dalam negerinya.
Kekuasaan pemerintah federal hanya
mengatur bidang-bidang tertentu.
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
124
Model negara federal, berangkat
dari suatu asumsi dasar, bahwa ia
dibentuk oleh sejumlah negara atau
wilayah yang independen, yang sejak
awal memiliki kedaulatan atau semacam
kedaulatan pada dirinya masing-masing.
Negara-negara atau wilayah-wilayah itu,
yang kemudian bersepakat membentuk
sebuah federal. Negara dan wilayah
pendiri negara federasi itu kemudian
berganti status menjadi negara bagian atau
wilayah administrasi dengan nama
tertentu dalam lingkungan federal.
Dengan kata lain, negara atau
wilayah yang menjadi anggota federasi
itulah yang pada dasarnya memiliki
semua kekuasaan, yang kemudian
diserahkan sebagian kepada pemerintah
federal (pusat). Biasanya, pemerintah
federal (pusat) diberi kekuasaan penuh
dibidang moneter, pertahanan, peradilan
dan hubungan luar negeri. Kekuasaan
lainnya cenderung dipertahankan oleh
negara bagian atau wilayah administrasi.
Kekuasaan negara bagian biasanya sangat
menonjol dalam urusan-urusan domestik,
seperti pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan sosial, dan keamanan
masyarakat (kepolisian).
Menurut Ivan A. Handar, ketua
Institut Pendidikan Demokrasi, dengan
menggunakan kriteria longgar, terdapat
tiga bentuk federal. Pertama, sistem
federal murni, lalu federal dalam bentuk
federal arrangement, dalam kriteria ini
pemerintahan otonomi begitu kuat,
sehingga mendekati sistem federal. Ketiga
adalah associated states, yaitu negara
yang sudah jadi tetapi sulit untuk hidup
sendiri.
Dengan kriteria tersebut menurut-
nya terdapat sekitar tujuh puluh persen
negara di dunia ini, dalam satu dan lain
hal ditata secara federalisme. Meski sesuai
perwujudannya terdapat beragam definisi
tentang federalisme. Beberapa ciri dapat
ditemui pada sebagian besar negara yang
menggunakan federalisme. Di mana
definisi tersebut tergantung pada sudut
pandang yang dipilihnya sebagai acuan,
yaitu (a) Institusional-fungsionalis, (b)
sosiologis, (c) sosial filosofis dan (d)
konstitusional. Ivan menambahan dari
sudut pandang institusional-
fungsionalistis, federalisme adalah sebuah
bentuk organisasi kenegaraan, di mana
pengambilan keputusan diatur sesuai
dengan membagian tugas antara pusat dan
daerah. Ditilik dari sudut pandang
sosiologis, sebuah masyarakat terbagi
dalam teritori berdasarkan latar belakang
suku, ras dan agama, perbedaan ekonomi
dan sejarahnya, dapat di klarifikasi
sebagai federalistis. Sedangkan dari sudut
sosial filosofis, merupakan organisasi
kenegaraan yang dibangun berdasarkan
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
125
prinsip subsider (tolong menolong).
Terakhir dari sudut pandang pembagian
kekuasaan konstitusi, di mana elemen dari
struktur dasar sebuah negara, legislatif,
eksekutif serta yudikatif, dapat ditemui
baik dalam pemerintah pusat maupun
negara bagian.
Sedangkan, format negara kesatuan,
dideklarasikan saat kemerdekaan oleh
para pendiri negara dengan mengklaim
seluruh wilayahnya sebagai bagian dari
satu negara. Tidak ada kesepakatan para
penguasa daerah, apalagi negara-negara,
yang diasumsikan bahwa seluruh wilayah
yang termasuk didalamnya bukanlah
bagian-bagian wilayah yang bersifat
independen. Dengan dasar itu, maka
negara membentuk daerah-daerah atau
wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan dari
pemerintah pusat untuk mengurus
berbagai kepentingan masyarakatnya. Di
sini diasumsikan bahwa negaralah yang
menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan
daerah pada dasarnya adalah kekuasaan
pusat yang didesentralisasikan. Ini bisa
dilihat pada sistem Indonesia dan RRC.
Adanya wacana menimbang konsep
federalism di era reformasi merupakan
cermin dari kedinamisan berpikir. Apalagi
dalam dunia politik perubahan berfikir
dan bersikap, merupakan hal yang lumrah.
Sebab oportunisme guna mengejar
kepentingan, merupakan pengejawantahan
dari salah satu sifat manusia sebagai insan
politik (zoon politicon). Namun bukan
berarti penerapan Federalisme tanpa
masalah, menurut Yusril Ihza Mahendra,
yang juga Menteri Hukum dan
Perundang-undangan, untuk menerapkan-
nya, Negara kesatuan perlu dibubarkan
terlebih dahulu, daerah yang tidak mujur
dengan kekayaan alam dan jumlah
penduduknya yang banyak, bakal
kembang kempis, Federalisme juga akan
membuka kemungkinan munculnya
negara bagian berdasarkan suku.
Penerapan federalisme juga dapat
membuka kemungkinan lahirnya Raja-raja
kecil di daerah. Federalisme meski
mendesak tapi tidak perlu buru-buru dan
grusu-grusu. Pilihan politik atas
federalisme butuh, kearifan, kematangan
serta kenegarawanan kita semua.
Akhirnya sejarahlah yang kelak akan
membuktikan, apakah etnisitas akan
menjadi faktor yang memicu adanya
disintegrasi bangsa atau menjadi faktor
yang akan memperkarya dinamika
perjalanan bangsa, dalam negara republik
yang berdasarkan negara kesatuan atau
negara federal.
Etnisitas dan Federalisme dalam......... (Eki Baihaki)
SOSIOHUMANITAS, XIV (2), Agustus 2012
126
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. B., 1989, Imagined communities, Reflections on The
Origin and Spead of
Naationalism, Verso, London.
Barth, F., 1988, Kelompok Etnik dan
Batasannya, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Griffith, S. B., 1971, Sun Tzu, The Art Of War, Oxford Universiti Press,
Jakarta.
Hart, B.H.L., 1962, Strategy, Frederick A, Praeger, Publisher, New York.
Koentjaradiningrat, 1993, Masalah
Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, UI Press, Jakarta.