bab ii kerangka teori - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian...

49
37 BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih Studi berpusar di sekitar dinamik dan proses etnogenesis etnik lokal Mbaham Matta dalam perjumpaan dengan agama-agama dunia di Kabupaten Fakfak. Kerangka teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme. A. Memahami Etnisitas sebagai Basis Teoritik. Lingkup teoritik utama yang digunakan dalam studi ini adalah teori-teori etnisitas atau ethnogenesis. 1 Sejarah teorisasi etnisitas 2 mengindikasikan adanya tiga rumpun teori dasar, yakni perspektif primordial-kulturalis, konstruksionis atau instrumentalis, dan konvergensis. Dan akan pula disertakan teorisasi etnogenesis dari perspektif teori praktik atau human agency sebagai alternatif pendasar riset 1 Ethnogenesis: kompleks dinamika dan proses formasi dan perkembangan suatu kelompok atau komunitas etnik. 2 Lihat: Ronald A.Reminick, Theory of Ethnicity:An Anthropologist’s Perspective (Lanham, New York, London: University Press of America, 1983): psychologist, social organizationist, and culturalist; Philip Q. Yang, Ethnic Studies – Issues and Approaches (State University of New York, 2000), 39-60: primordialist, constructionist, instrumentalist and integrativist; Sian Jones, The Archeology of Ethnicity: Constructing identities in the past and present (London; New York: Routledge, 2002), 56-83; Andreas Wimmer, Ethnic Boundary Making – Institutions, Power, Networks (Oxford, New York: Oxford University Press, 2013), 1-15; Sinisa Malesevic, The Sociology of Ethnicity (London; Thousand Oaks; New Delhi: Sage Publications, 2004) merumpunkan teorisasi etnisitas dalam 8 paradigma: neo-marxism, functionalism, symbolic interactionism, sociobiology, rational choice theory, elite Theory, neo-weberianism and anti-foundationalism.

Upload: others

Post on 25-Oct-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

37

BAB II

KERANGKA TEORI:

Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih

Studi berpusar di sekitar dinamik dan proses

etnogenesis etnik lokal Mbaham Matta dalam perjumpaan

dengan agama-agama dunia di Kabupaten Fakfak. Kerangka

teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian

teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial,

dan multikulturalisme.

A. Memahami Etnisitas sebagai Basis Teoritik.

Lingkup teoritik utama yang digunakan dalam studi ini

adalah teori-teori etnisitas atau ethnogenesis.1 Sejarah

teorisasi etnisitas2 mengindikasikan adanya tiga rumpun teori

dasar, yakni perspektif primordial-kulturalis, konstruksionis

atau instrumentalis, dan konvergensis. Dan akan pula

disertakan teorisasi etnogenesis dari perspektif teori praktik

atau human agency sebagai alternatif pendasar riset

1Ethnogenesis: kompleks dinamika dan proses formasi dan

perkembangan suatu kelompok atau komunitas etnik. 2 Lihat: Ronald A.Reminick, Theory of Ethnicity:An Anthropologist’s Perspective (Lanham, New York, London: University Press of America, 1983): psychologist, social organizationist, and culturalist; Philip Q. Yang, Ethnic Studies – Issues and Approaches (State University of New York, 2000), 39-60: primordialist, constructionist, instrumentalist and integrativist; Sian Jones, The Archeology of Ethnicity: Constructing identities in the past and present (London; New York: Routledge, 2002), 56-83; Andreas Wimmer, Ethnic Boundary Making – Institutions, Power, Networks (Oxford, New York: Oxford University Press, 2013), 1-15; Sinisa Malesevic, The Sociology of Ethnicity (London; Thousand Oaks; New Delhi: Sage Publications, 2004) merumpunkan teorisasi etnisitas dalam 8 paradigma: neo-marxism, functionalism, symbolic interactionism, sociobiology, rational choice theory, elite Theory, neo-weberianism and anti-foundationalism.

Page 2: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

38 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

etnogenesis yang berbasis pada praktik-praktik sosial

kelompok etnik. Dengan kata lain teorisasi praktik ini

memastikan bahwa unit amataan riset etnogenesis adalah

praktik-praktik sosial kelompok etnik. Pengajuan perspektif

teori praktik ini penting pula untuk menunjukkan bahwa

etnogenesis tidak berhenti pada reproduski sosial etnik, tetapi

meluas pada proyek transformasi sosial.

Perspektif primordial-kulturalis sangat menekankan

keberakaran dan keberasalan etnisitas di dalam struktur

kebudayaan kelompok etnik. Etnisitas terikat erat dengan

originalitas, eksistensi, dan kontinuitas suatu kelompok etnik

dalam kompleks dan dinamika internal kebudayaan mereka

sendiri. Milton Yinger3 mengajukan pemahaman bahwa

kelompok etnik adalah segmen masyarakat yang memahami

diri mereka sendiri dan dipahami oleh orang lain memiliki

satu keberasalan dan kebudayaan bersama yang menjadi

pengikat, pemandu dan pengarah bagi aktifitas-aktifitas

bersama mereka. Smith secara lebih terperinci mendefinisikan

komunitas etnik sebagai “a social group whose members share

a sense of common origins, claim a common and distinctive

history and destiny, possess one or more distinctive

characteristics, and feel a sense of collective uniqueness and

solidarity.4 Dalam konteks ini menurut Smith mite keasalan

bersama dalam ruang dan waktu sangatlah mendasar bagi

pemahaman diri komunitas etnik. Karena mite keasalan

bersama ini adalah titik dasar pemahaman sejarah komunitas

maupun individu. Dari sinilah kekerabatan (kinship) menjadi

sangat penting sebagai kompleks basis etnisitas.

3 J. Milton Yinger, Ethnicity: Source of Strength or Source of Conflict (Albany: State University of New York Press, 1994), 3-4. 4Anthony D. Smith, The Ethnic Revival (Cambridge, New York: Cambridge University Press, 1981), 66

Page 3: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 39

Edward Shils,5 sebagai salah satu peletak dasar penting

pendekatan primordialis-kultural, berargumentasi bahwa di

balik ikatan-ikatan kekeluargaan atau kekerabatan terdapat ‘a

complex of siginificant relational qualities’ yang harus dipahami

sebagai primordial dan tidak hanya merupakan suatu fungsi

interaksi, tetapi memiliki keberakaran di dalam ikatan-ikatan

darah. Ikatan-ikatan darah atau kekerabatan ini, sebagai

primordial bonds atau primordial attachment, memiliki

signifikansi yang luar biasa sebagai properti kultural yang

memaksa dan mengikat para anggota (coerceive). Di sini Shils,

sepemahaman dengan Geertz,6 menyatakan bahwa ikata-

ikatan primordial itu bersifat involunter dan memiliki daya

paksa yang mentrasendensi alinasi-aliansi serta relasi-relasi

yang dipengaruhi oleh interes-interes situasional dan kondisi-

kondisi sosial.

Pemahaman etnisitas Shil dan Geertz jelas

menggaungkan kembali visi Durkheim tentang perangkat

hukum represif, yang merupakan wujud dari kesadaran dan

representasi kolektif dalam masyarakat asli dalam konteks

pembicaraanya tentang solidaritas sosial-mekanikal.7

Durkheim mengklem bahwa masyarakatlah yang mengatur

individu melalui kesadaran kolektif yang direpresentasikan

melalui perangkat hukum represif. Perangkat hukum ini

merupakan representasi kolektif berupa kode moral yang

menghadirkan coercive power dari masyarakat atau komunitas

atas individu atau anggota. Kode moral sebagai kuasa kultural

masyarakat inilah yang membentuk dan mempertahankan

solidaritas atau kohesi sosial. Sekali lagi: masyarakat atau

5Edward Shils, “Primordial, Personal, Sacred, and Civil Ties” in Center and Periphery: Essays in Macrosocioloy. Selected Papers of Edward Shils, Volume II (Chicago: Chicago University Press, 1957), 111-126. 6Clifford Geertz, “The Integrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States” inThe Interpretation of Cultures. Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 259-260. 7Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The MacMillan Press, 1994).

Page 4: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

40 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

komunitas menciptakan suatu struktur budaya yang terdiri

dari seperangkat kode moral untuk menyatukan dan menata

anggota-anggota menjalani hidup dalam solidaritas dan

memelihara kohesi sosial. Dengan itu, Malesevic8

menyimpulkan bahwa bagi Durkheim komunitas-komunitas

etnik dibangun di dalam dan atas dasar passion of group

solidarity dan diorganisir sebagai komunitas-komunitas moral

dalam konteks historis mereka.

Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat dua

komponen yang saling terkait membentuk tatanan masyakat,

yakni struktur kebudayaan dan struktur sosial.9 Struktur

kebudayaan (cultural structure) merupakan the independent

and self-contained structure – memiliki eksistensi yang relatif

otonom–yang terdiri dari kompleks ide-ide, norma-norma, dan

praktik-pratik kultural. Bagi Geertz10 struktur kultur adalah

fabrik makna dengan mana manusia menafsirkan pengalaman

mereka dan mengarahkan tindakan mereka, sementara

struktur sosial adalah bentuk yang tindakan ambil, yang

membentuk jejaring sistim sosial. Jadi struktur kebudayaan

mempertimbangkan tindakan sosial dalam kaitan dengan

maknanya bagi sang petindak tersebut, sementara struktur

sosial mempertimbangkan tindakan sosial dalam kaitan

dengan kontribusinya kepada pemfungsian sistem sosial.

Rumpun teori ke-dua dalam memahami etnisitas

adalah perspektif konstruksi sosial atau instrumentalis, yang

merupakan reaksi terhadap rumpun primordial-kultural.

Argumen utamanya didasarkan pada pandangan bahwa

etnisitas adalah bentuk respons aktif komunitas terhadap

8 Sinisia Malesevic, The Sociology of Ethnicity (London, Thousand Oak, New Delhi: Sage Publications, 2004), 18-21. 9 Pemisahan dua entitas pembentuk masyarakat ini diajukan oleh Clifford Geertz, ‘Person, Time, and Conduct in Bali’ in Clliford Geertz, The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973), 361 10Clifford Geertz, ‘Ritual and Social Change: ‘A Javanese Example’ in The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973), 145

Page 5: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 41

perubahan-perubahan sosial. Etnisitas bukanlah sebuah

produk kekal, yang telah ada sebelumnya, tetapi merupakan

bentuk yang lahir sebagai buah dari respons-respons aktif

komunitas terhadap perubahan-perubahan sosial. Proses

pembentukan etnis ini bertolak dari strategi dan melalui

mekanisme-mekanisme penataan kelompok etnik

bersangkutan yang menekankan pemeliharaan kekhasan

pembeda kultur (boundary maintenance atau ethnic

boundarying). Kaum konstruksionis menekankan tiga dasar

penjelasan tentang etnisitas,11 yakni pertama, etnisitas adalah

identitas yang terkonstruksi secara sosial – sesuatu yang

diciptakan oleh komunitas. Dengan begitu, ke-dua, batasan

etnik bersifat fleksibel, dapat berubah dan dinamis. Ke-tiga,

afiliasi atau identifikasi dan keanggoataan etnik dibatasi dan

dikonstruksi oleh masyarakat atau komunitas melalui proses-

proses perjumpaan dan interaksi yang panjang.

Joane Nagel12 secara lebih spesifik menjelaskan bahwa

etnisitas dikonstruksi dan direkonstruksi oleh pengaruh

kekuatan-kekuatan internal maupun eksternal. Kekuatan-

kekuatan internal bekerja melalui tindakan-tindakan

kelompok etnik sendiri: negosiasi, redefinisi dan rekonstruksi

ethnic boundaries. Kekuatan-kekuatan eksternal menunjuk

kepada proses-proses sosial, ekonomik, dan politik yang

berlangsung dan memengaruhi kelompok etnik. Dengan begitu

etnisitas harus dilihat sebagai “a dynamic, constantly changing

property of individual identity and group organization.”

Model konstruksionis ini erat terkait dengan

antropolog sosial Fredrik Barth yang sangat berpengaruh

11Yang, ibid. 44; Catherine Morgan, ‘Ethnic Expression on the Early and Early Archaic Greek Mainland. Where should we be looking?’ in Ethnic Constructs in Antiquity – The Role of Power and Tradition edited by Ton Derk and Nico Roymans (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009), 12. 12Joane Nagel, American Indian Ethnic Renewal: Red Power and Ressurgence of Identity and Culture (New York: Oxford University Press, 1996), 32.

Page 6: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

42 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dalam pengembangan teori dan metodologi riset atas

etnisitas.13 Riset Barth bergerak dari titik tolak yang berbeda

dengan model promordial-kulturalis terkait dengan defenisi

etnisitas (ethnicity). Etnisitas bukanlah ekspresi langsung dari

kultur, sebaliknya: adalah a form of social organization of

culture difference. Barth medekonstruksi pendekatan idealistik

primordialis-kultural dengan perspektif empirikal-

materialistik. Etnisitas merupakan bentuk tanggapan strategis

pengorganisasian perbedaan kultural yang terkondisikan oleh

perubahan-perubahan interaksional, sejarah, ekonomis dan

politis. Proses pengorganisasian ini berlangsung di dalam

interaksi sosial atau interaksi tatap muka sehari-hari.14 Proses

ini melibatkan beberapa komponen dan aktivitas utama, yaitu

peran para aktor-subyektif individual, rekruitmen/identitas

sosial, cultural stuff dan pemeliharaan wilayah perbatasan

sosial-kultural (ethnic boundary). Etnisitas diproduksi dan

direproduksi oleh manusia, yakni para aktor subyektif

individual dan pengejar tujuan.15 Dalam perjumpaan lintas

etnik, para aktor ini mengembangkan dan menjalankan

strategi sosial yang didasarkan pada intensionalitas, orientasi

tujuan, dan rasionalitas pilihan.16 Skema komponensial

13See: Fredrik Barth, “Introduction” to Ethnic Groups and Boundaries – The Social Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown and Company, 1969), 11-38; Fredrik Barth, “Enduring and Emerging Issues in the Analysis of Ethnicity” in The Anthropology of Ethnicity – Beyond Ethnic Groups and Boundaries, ed. Hans Vermeulen and Cara Govers (Amsterdam: Het Spinhuis, 1994), 11-32; Adam Kuper (ed.), Proces and form in social life – Selected essays of Fredrik Barth: Volume I (London, Boston and Henly: Routledge & Kegan Paul, 1981): Richard Gronhaug, Gunnar Haaland, Georg Henriksen (eds.), The Ecology of Choice and Symbol – Essays in Honour of Fredrik Barth (Bergen, Norway: Alma Mater Forlag AS,1991). 14 Konsep interaksi sosial tatap muka ini dikembangkan oleh Barth dari teori interaksionisme simbolik. 15 Barth menunjuk para elit dan pemimpin kelompok etnik sebagai aktor-aktor individual yang melaksanakan ‘enterpreunial role’; mereka lah yang mewkaili komunitas melakukan negosiasi-negosiasi sosial-kultural. 16Kuper, Process and form in Social Life, 14-47; R. Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations(London; Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 2008), 13. Barth menggaungkan kembali

Page 7: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 43

ethnogensis Barth ini dapat penulis tunjukkan melalui diagram

di bawah ini:

Perjumpaan lintas aktor dan kelompok etnik

melahirkan problematisasi identitas dan ethnic boundary.

Karena perjumpaan lintas aktor maupun kelompok etnik

membuka jalan bagi warga melakukan negosiasi, redefenisi

identitas, dan rekonstruksi ethnic boundaries. Proses

fenomenal ini dapat kita sebut sebagai ethnic boundarying.

Interaksi itu mendorong para aktor menggunakan

identitas etnik untuk mengategorikan diri mereka maupun

orang lain melalui askripsi dan askripsi-diri serta askripsi oleh

orang lain. Penciptaan-ulang identitas etnik ini berbasis pada

keasalan dan latar belakang kultural khusus mereka. Tapi bagi

Barth, dari sumber kultural itu para aktor hanya mengambil

dan menggunakan unsur atau aspek yang bagi mereka

signifikan dan relevan dalam konteks interaksi sosial yang

sementara berlangsung. Jadi kultur (cultural structure)

sosiologi interpretif Weber dengan teori tindakan sosialnya yang mengkelm bahwa melalui tindakan-tindakan dan ragam aktivitas sosial rasional dan bermaknapara individu dalam resiprositas lah yang melahirkan masyarakat atau komunitas.

Page 8: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

44 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

berfungsi sebagai penyedia perangkat semata. Kecederungan

pemahaman atas eksistensi dan peran cultural structure

seperti ini tampak dalam teorisasi Ann Swidler17 tentang

kebudayaan yang sangat intrumentalis. Swidler mengajukan

suatu metafora (image) kebudayaan sebagai lemari peralatan

kerja (tool-kit) yang berisi “symbols, stories, rituals and

worldviews, which people may use in varying configurations to

solve different kinds of problem.”

Bagi Barth cultural stuff hanya menyediakan sinyal-

sinyal dan tanda-tanda pembeda yang oleh para aktor

diseleksi, dipilih, dan digunakan untuk mengindetifikasi

keanggotaan etnik mereka dalam interaksi sosial. Pembeda

kultural yang diseleksi dan digunakan itu mengambil wujud

fisik (tampak) dan orientasi nilai-nila dasar. Penanda fisik

seperti pakaian, bahasa, bentuk rumah atau gaya hidup

digunakan untuk memperlihatkan identitas. Sementara

orientasi-orientasi nilai dasar adalah perangkat standar

moralitas dan kualitas hidup dengan mana penampilan

seseorang dinilai. Identifikasi sosial ini berlangsung dalam apa

yang disebut sebagai ethnic boundary. Identifikasi dan

kelangsungan kekhasan kultural etnik serta kesinambungan

eksistensi etnik bergantung pada pemeliharaan batas etnik

(maintenance of boundary) ini.

Perjumpaan lintas etnik ini menekankan pentingnya

ethnic boundary, yang adalah ruang demarkasi simbolik sosial-

17An Swidler, ’Culture in Action: Symbols and Strategies.’ American Sociological Review 51, No.2 [April 1986]: 273-286.Dalam menghadapi problem, orang akan mengonstruksi strategi tindakan menanggapi situasi. Strategi-strategi tindakan responsif itu telah dikonstruksi lebih awal oleh kebudayaan. Dengan demikian kebudayaanmemang memiliki peran penyebab independen. Namun menurut Swidler kebudayaan memengaruhi tindakan manusia, bukan melalui mekanisme perilaku dan nilai, tetapi dengan menyediakan perangkat kerja dan pernagkat strategi untuk bertindak.

Page 9: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 45

kultural etnik.18 Ruang perbatasan atau demarkasi ini tidak

bisa dilewati atau diterobosi begitu saja. Ini merupakan ruang

negosiasi lintas budaya. Dalam ruang batas ini masing-masing

kelompok etnik atau budaya memiliki perangkat sinyal

peringatan berupa penanda fisik dan orientasi nilai

sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ethnic boundary terdiri

dari ‘criteria and signals for identification’ dan ‘a structuring of

interaction which allow the persistence of cultural differences.’

Ke dalam, ethnic boundary menjadi ruang penguatan dan atau

rekonstruksi identitas keanggotaan etnik. Ke luar, ethnic

boundary merupakan ruang penstruktur dan penata interaksi

sosial dengan komunitas etnik lain. Barth menjelaskan bahwa

fungsi ke luar ini dilakukan melalui perangkat aturan

preskriptif dan proskriptif demikian

a set of prescriptions governing situations of contact, and allowing for articulation in some sectors or domains of activity, and a set of proscriptions on social situations preventing inter-ethnic interaction in other sectors, and thus insulating parts of the cultures from confrontation and modification.19

Perangkat ini berfungsi menata situasi dan arah kontak

atau interaksi. Pada satu sisi, ada izin atau pembolehan untuk

melakukan kontak dalam beberapa sektor atau wilayah

aktivitas, yang mengandaikan kemungkinan bagi proses

pertukaran dan modifikasi budaya. Dengan begitu preskripsi

memungkinkan berlangsungnya redefinisi identitas dan

rekonstruksi struktur sosial-kultural. Tetapi pada pihak lain

ada perangkat aturan yang melarang dan mencegah interaksi

lintas etnik di sektor-sektor aktifitas sosial lainnya dan dengan

begitu akan melindungi bagian-bagian kebudayaan etnik dari

18Anthony P. Cohen (Ed.), Symbolising Boundaries: Identity and Diversity in British Cultures (Manchester, UK.: Manchester University Press, 1986), 2, menegaskan bahwa “It is in the symbolic that we now look for people’s sense of difference, and in symbolism, rather than structure, that we seek the boundaries of their worlds of identity and diversity.” 19 Barth, “Introduction” to Ethnic Groups and Boundaries, 16.

Page 10: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

46 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

konfrontasi serta modifikasi. Dengan proses-proses ini

kelangsungan perbedaan-perbedaan atau kekhasan dasar

kultural dapat dijaga oleh kelompok etnik dalam interaksi

dengan kelompok etnik lain.

Guna melengkapi teorisasi Barth ini, kita perlu

memperhatikan kritik yang dikemukakan terhadap

eksplanasinya. Jenkins20 dan Malesevic21 mengajukan kritik-

elaboratif bahwa Barth mengabaikan dan gagal menjelaskan

pengaruh relasi kekuasaan (power) atau struktur politik dan

struktur sosial dalam ethnogenesis. Menurut Jenkins, Barth

terlampau fokus hanya pada proses-proses identifikasi

kelompok (group identification), yang berlangsung dalam

lingkup internal etnik dan mengabaikan pentingnya proses-

proses kategorisai sosial (social categorization) yang

berlangsung diluar lingkup sosial etnik. Proses kategorisasi

sosial berlangsung dalam suasana kompetisi lintas etnik, yang

terjalin dengan persoalan relasi kekuasaan. Jenkins

menjelaskan bahwa kategorisasi sosial

is intimately bound up with power relations and relates to the capacity of one group succesfully to impose its categories of ascription upon another set of people, and to the resources which the categorized collectivity can draw upon to resist, if need be, that imposition.”22

Malesevic menyebutkan bahwa penekanan yang

berlebihan pada peran para aktor individual menyebabkan

Barth mengorbankan aspek struktur sosial-politik dalam

konstruksi, pengorganisasian dan institusionalisasi diferensi

kultural.

Sementara pelemahan posisi dan peran penting

kebudayaan serta individualisasi ethnogenesis oleh Barth,

memunculkan kritik dari rumpun teorisasi konvergensi. Abner

20 Jenkins, Rethinking Ethnicity, 23. 21 Malesevic, The Sociology of Ethnicity, 4.

22 Jenkins, ibid., 23.

Page 11: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 47

Cohen,23 yang sebenarnya masih bisa dikategorikan sebagai

penganut perspektif konstruksionis-instrumenatlis, menekan-

kan kembali keutamaan kolektifitas dan efek normatif dari

kebudayaan beserta daya penuh pengaruhnya membatasi dan

mengarahkan tindakan-tindakan individu. Ini dijelaskan oleh

Cohen demikian

An ethnic group is not simply the sum total of its individual members, and its culture is not sum total of the strategies adopted by independent individuals. Norms and beliefs and values are effective and have their own constraining power only because they are collective representations of a group and are backed by pressure of that group.24

Pandangan Cohen ini didasarkan pada apa yang Ia sebut

sebagai definisi operasional tentang kelompok etnik. Cohen

mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektivitas orang

yang (a) memiliki pola-pola perilaku normatif bersama dan (b)

merupakan bagian dari populasi yang lebih luas, yang

berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok-kelompok

lain dalam sistem sosial mereka.25 Cohen sangat menekankan

pentingnya adat atau kultur yang tampak dalam pola-pola

perilaku normatif (paterns of normative behavior) sebagai

basis bagi konstruksi etnisitas. Hal itu dijelaskannya demikian:

By pattern of normative behaviour, I am refering here to the symbolic formations and activities found in such contexts as kinship and marriage, friendship, ritual, and other types of ceremonial. Some of anthropologists refer to these patterns as customs or symply as culture. These are not idiosyncratic habits, hallucinations, or illusions of isolated individuals but they manifest themselves in individual behaviour. They are involved in psychic

23Sian Jones, The Archeology of Ethnicity: Constructing Identities in the Past and Present (London; New York: Routledge, 1997), 74. 24Abner Cohen, “Introduction: The Lesson of Ethnicity” to Urban Ethnicity edited by A. Cohen (London:Tavistock Publications, 1974), xiii. 25 Cohen, ibid., ix.

Page 12: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

48 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

processes and thus can be subjectively experienced by the actors. They are nevertheless objective in the sense that the symbolic formations representing them, i.e. the stereotypes, mythologies, slogans,’theories’, ideologies and ceremonials are socially created and are internalized through continous socialization. Often it is objective symbolic form that generate the subjective experience of ethnicity and not the other way round.26

Penjelasan Cohen di atas menekankan beberapa hal

penting terkait kebudayaan atau adat. Pertama, kebudayaan

berpusat pada pola-pola perilaku normatif, yaitu formasi-

formasi dan aktivitas-aktivitas simbolik yang termanifestasi

secara kuat dalam perilaku individu maupun kolektif. Kedua,

pola-pola perilaku normatif ini terbangun dalam konteks

kultural tertentu seperti kekerabatan dan pernikahan,

persahabatan, ritual, dan tipe-tipe upacara lainnya. Ketiga,

pola-pola perilaku normatif ini dialami oleh para aktor baik

secara subyektif melalui proses-proses psikis maupun obyektif

melalui berbagai bentuk nyata stereotype, mitologi, slogan,

teori, ideologi dan upacara yang diciptakan dan diinternalisasi

secara sosial. Keempat, bentuk-bentuk simbolik objektif inilah

yang melahirkan dan membentuk pengalaman akan etnisitas.

Charles F. Keyes,27 sebagai sosok utama perspektif

konvergensi, mengembangkan pendekatan yang mempertim-

bangkan baik dimensi kultural maupun sosial etnogenesis.

Menurutnya, menanggapi perubahan-perubahan sosial,

kelompok etnik merujuk kembali pada cultural stuff mereka

dalam rangka membangun strategi dan mempertahankan

wilayah batas etnik mereka. Bagi Keyes perangkat identittas

primordial etnik seperti kekerabatan, garis keturunan, dan

26 Cohen, ibid., x. 27Charles F. Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic Change edited by Charles F. Keyes (Seatle; London: University of Washintong Press, 1982).

Page 13: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 49

teritori keasalan28 seumpama tuas (gyroscopes) yang berfungsi

sebagai pusat tumpu pengatur keseimbangan dan pembatas

arah pergerakan semua komponen sosial-kultural. Keyes

menjelaskan secara lengkap teori giroskopik ini demikian:

People often respond to these changes in terms of their established ethnic identities, but find that these identities, either in their cultural content or because of the assumptions about who shares the same identities, are not appropriate in the new situation. In adapting the new situation, new identities may be evolved. Yet, once evolved, these new identities are assumed to define for people who they truly are as descendants of their ancestors or forebears. Primordial identities continue to serve as gyroscopes for those buffeted by uncertainties as to the best way to pursue their interests or for those alienated by dehumanized agencies designed to organize the ordering of social ends in a rational way.29

Konfigurasi teorisasi demikian mendorong Jones

menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok etnik harus

dipertimbangkan sebagai hasil dari pengejaran interes-interes

ekonomik dan politik pada satu sisi maupun sebagai buah dari

kekuatan-kekuatan memaksa afinitas primordial“30

Problem yang masih tertinggal adalah hakikat relasi

antara human agency dan struktur budaya serta struktur

sosial. Dalam lingkup teorisasi primordial-kultural para aktor

diperlakukan sebagai agen-agen reaktif-pasif-terbatasi;

sebaliknya, dalam lingkup teorisasi konstruktif-instrumentalis,

para aktor ditempatkan dipusat dinamika ethnogenesis sebagai

agen individual-proaktif-radikal yang dalam teori Barth

disebut the enterpreneurial actors. Jones menyatakan bahwa

kita membutuhkan suatu teorisasi koheren tentang tindakan

28Judith Nagata, “In Defense of Ethnic Boundaries: The Changing Myths and Charters of Malay Identity” in Ethnic Change, 92-96. 29 Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic Change, 27-28. 30 Jones, ibid. 82.

Page 14: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

50 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

manusia yang dapat mentransendensi dikotomi perspektif

prmirodial dan instrumentalis ini.31

Kita dapat memformulasikan problematisasi di atas

demikian: bagaimana memahami dan meletakkan secara tepat

hakikat dan peran agensi manusia dalam relasi integral antara

struktur kultural dan struktur sosial. Untuk menjawab

problem ini, penulis mengajukan gugus teorisasi lain sebagai

alternatif-elaboratif, yakni perspektif teori praktik (theory of

practice). Teori praktik diajukan antara lain oleh Pierre

Bourdieu32 dan Anthoni Giddens.33 Gugus teorisasi praktik

menekankan peranan agensi para aktor, melalui praktik-

praktik sosial, dalam konteks interaksi sosial. Dalam studi ini

Penulis menggunakan teori praktik Giddens sebagai basis

pengembangan teoritik dengan Bourdieu sebagai pembanding.

Giddens, melalui teori dualitas struktur, membangun

suatu kerangka kerja, yang tersusun dari beberapa konsep

komponensial, yakni (1) agensi subyektif petindak atau aktor;

(2) Praktik sosial; (3) sistem sosial atau interaksi sosial; (4)

struktur budaya: rules dan resources; (5) sejarah: ruang dan

waktu; serta (6) identitas sosial. Konsep-konsep ini

merupakan komponen dari proses sosial reproduksi sistem

sosial dan idnetitas komunitas etnik. Proses reproduksi ini

digerakkan dan dijalankan oleh manusia -- oleh the acting

actors melalui praktik-praktik sosial dalam interaksi sosial

sehari-hari. Dalam proses ini, di satu pihak, aktivitas dan

praktik sosial para aktor dibatasi dan diarahkan oleh struktur

(budaya) dan identitas sosial asal mereka atau yang telah

31 Jones, ibid., 83. 32Lihat: Pierre Bourdieu: Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1976); Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (Cambridge: Polity Press, 1990).

33Lihat: Anthony Giddens: The Constitution of Society – Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986); Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory – Action, Structure and Contradiction in Social Analysis (Berkeley and California: University of California Press, 1979/1990).

Page 15: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 51

mereka miliki. Bersamaan dengan itu, pada pihak lain, melalui

aktivitas dan praktik-praktik sosial, para aktor mereproduksi

struktur dan identitas sosial. Oleh karena itu, Giddens

merumuskan teorinya sebagai dualitas struktur (duality of

structure). Dualitas struktur ini menunjuk kepada “the

essential recursiveness of social life, as constitued in social

practices; structures is both medium and outcome of

reproduction of practices. Structures enters simultaneously into

constitution of agent, and exist in the generating moments of

thus constiutions.”34 Semua proses ini berlangsung dalam

rentang historis waktu dan tempat: dalam sejarah dan geografi

komunitas etnik. Reproduksi atau formasi sosial di atas dapat

penulis skemakan seperti di bawah ini:

Agensi manusia yang dijalankan oleh para aktor sosial

Giddens letakkan di bawah konsep dasarnya tentang

subyektivitas: the acting-reflective subjectivity.35 Dengan ini

Giddens menegaskan bahwa para aktor manusia adalah agen-

agen aktif dan proaktif yang bertindak berdasarkan kapasitas

reflektif mereka sendiri. Jadi para aktor memiliki kapasitas

agensi dalam memonitor aktivitas mereka dalam konteks

interaksi sosial atau interaksi muka dengan muka. Kapasitas

34 Giddens, Central Problems in Social Theory, 5. 35Giddens, Central Problems in Social Theory, 117.

Page 16: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

52 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

refleksif para aktor sosial ini ditopang oleh dua level

kesadaran (consciousness), yakni kesadaran praktikal dan

kesadaran diskursif.36 Kesadaran praktikal menunjuk kepada

“what actors know (believe) about social conditions, including

especially the conditions of their action, but cannot experess

discursively.”37 Sementara itu, kesadaran diskursif

menekankan bahwa para aktor atau agen dalam interaksi

sosial memiliki “compotence to know and to explain most of

what they do, if asked.”38

Daya reflektif para agen ini merupakan sebuah

kompetensi sosial atau resiprokal yang terhubungkan dengan

kapasitas rasionalisasi atau pemberian alasan atas tindakan-

tindakan mereka. Di sini Giddens menekankan bahwa para

aktor sosial selalu berusaha mempertahankan keberlanjutan

theoritical understanding dari dasar-dasar tindakan atau

aktivitas mereka.

Dari mana pengetahuan yang dimiliki dan digunakan

para aktor dalam aktifitas sosial? Para aktor sosial telah

dibekali dengan kesadaran praktis (the stock of knowledge),39

yang disediakan oleh struktur (cultural structure).40 Kesadaran

36 Giddens, The Constitution of Society, 5-14; Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1998), 497-498. 37 Giddens, The Constitutuion of Society, 375. 38 Giddens, The Constitutuion of Society, 5. 39 Konsep “kesadaran praktis” (stock of knowledge) dari Giddens ini mirip dengan konsep habitus dari Bourdieu. 40Dalam bangunan teorinya, Giddens berusaha merevitalisasi pandangan tentang kebudayaan (culture) sebagai praksis, suatu proses kontemporer aktif, yang dilaksanakan oleh dan tersusun dari tindakan para subyek aktif. Bandingkan: Margareth S. Archer, Culture and Agency:The Place of Culture in Social Theory (Cambridge, New York: Cambridge University Press, 1988), mengritik penumpang-tindihan struktur (budaya) ke dalam praktik agensi manusia dalam sistem/struktur sosial seperti yang dikemukan oleh Giddens ini.Bagi Archer konflasi meniadakan eksistensi mandiri kebudayaan sebagai produsen keyakinan, nilai, dll. Archer memisahkan apa yang ia sebut sebagai Sistem Kebudayaan (Culture System) dari Sistim Sosio-Kultural (Sicio-cultural system), yakni kebudayaan yang

Page 17: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 53

praktis menyediakan interpretasi-interpretasi dan kerangka

kerja kontekstual. Turner menjelaskan hakikat dan fungsi

kesadaran praktis ini demikian:

the stock of knowledge that one implicitly uses to act in situations and to interpret the actions of others. This knowledgeability is constantly used, but rarely articulated, to interpret events – one’s own and those of others. Almost of indexical in that they must be interpreted by their context, and this implicit stock of knowledge provides these contextual interpretations and frameworks.41

Stuktur (cultural structure), sebagai penyedia

interpretasi dan kerangka kerja kontekstual bagi para aktor

sosial, oleh Giddens tidak menunjuk kepada bentuk-bentuk

sosial tertentu, tetapi kepada generative rules dan resources.

Rules adalah prosedur-prosedur yang telah teruji

(generalizable) dalam ragam konteks penerapannya. Para

aktor aktor mengenal dan memahami serta menggunakan

prosedur-prosedur ini dalam interaksi sosial. Giddens

mengasumsikan bahwa rule adalah metodologi atau teknik

dipraktikkan dalam interaksi sosial. Ini yang Archer sebut dualisme kebudayaan (struktur), sementara Giddens mengunakan dualitas struktur. Maksudnya selalu harus dipertahankan adanya struktur kebudayaan yang berdiri sendiri sebagai produk keyakinan, nilai, dll., yang berdiri di luar struktur sosial dan agensi manusia serta praksis sosial; Usul lain diajukan oleh Clifford Geertz,“Ritual and Social Change: A Javanese Example” dalam The Interpretation ofCulture ( New York: Basic Books, 1973), 142-169, yang memisahkan secara analitik struktur kebudayaan dan struktur sosial: “On the one level [cultural structure] there is the framework of beliefs, expressive symbols, and values in terms of which individuals define their world, express their feelings, and make their judgments; on the other level there is the ongoing process of interactive behavior, whose persisten form we call social structure. Culture is the fabric of meaning in terms of wich human beings interpret their experience and guide their action; social strucutre is the form that action take, the actually existing network of social relations... The one considers social action in respect to its meaning for those who carry it out, the other considers it in terms of its contribution to the functioning of some social system.” Kemudian Geertz kembangkan struktur ketiga, yakni struktur personalitas. 41 Turner, The Structure of Sociological Theory, 498.

Page 18: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

54 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

yang para aktor tahu, sering secara implisit, dan yang

menyediakan suatu formula relevan bagi tindakan. Roger

Sibeon memberi penjelasan tentang rules sebagai “social

conventions and knowledge of the context of their application

that relating to the constitution of meaning and sacntions

involved in social conduct and production of social practices.”42

Giddens sendiri menggarisbawahi ciri-ciri rules43: (1)

mereka sering digunakan dalam percakapan-percakapan dan

ritual-ritual interkaksi sehari-hari; (2) mereka dipegang dan

dipahami secara diam-diam (tacitly) dan merupakan bagian

dari kesadaran praktis para aktor yang berkompeten; (3)

mereka bersifat informal, tidak tertulis dan tidak terucapkan;

dan (4) mereka tidak bersangsi keras melalui teknik-teknik

atau kode-kode interpersonal.

Dalam teori dualitas struktur, para aktor dalam

mengahadapi situasi atau peristiwa dan interaksi sosial

tertentu dapat mentransformasi rules ke dalam kombinasi-

kombinasi baru.

Di samping rules, terdapat komponen struktural

lainnya, yaitu reosurces (sumber daya),44 fasilitas yang

digunakan oleh para aktor untuk melakukan sesuatu. Jadi bila

rules memberi arah kepada tindakan, maka resources

menyediakan kapasitas untuk bertindak atau berkativitas.

Resources adalah perlengkapan material dan organisasional.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa

resources ini terkait dengan kekuasaan (power). Maksudnya:

kekuasaan muncul ketika sumber daya material dan

organisasional dimobilisasi oleh para aktor. Jadi sumber daya

42Roger Sibeon, Rethinking Social Theory (London: Sage Publications Ltd., 2004), 74; Giddens, Central Problems in Social Theory – Action, Structure and Contradiction in Social Analysis, 82. 43 Turner, The Structure of Sociological Theory, 492. 44 Konsep resources ini mirip dengan konsep capital dalam teori Bourdieu.

Page 19: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 55

itu sendiri bukan kekuasaan. Tetapi di sinilah Giddens

menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya, yang

melahirkan kekuasaan, terkait dengan aspek dominasi dari

tindakan sosial. Mobilisasi sumber daya menunjukkan pula

kemampuan para aktor untuk mentransformasi sumber-

sumber daya yang tersedia.

Aspek waktu dan ruang (time-space) sangat penting

dalam konteks teori dualitas struktur Giddens terkait formasi

sosial. Ruang-Waktu terkait erat dengan kontekstualitas

kehidupan sosial dan institusi-institusi sosial. Pewaktuan dan

keruangan dari kehidupan sehari-hari adalah sentral bagi

semua aspek sistem sosial. Mereka adalah bagian integral dari

setiap obyek – mereka tidak berada di luar obyek, yang

semata-mata memengaruhi obyek.

Aspek waktu-ruang membawa kita kepada hubungan

antara integrasi sosial dan integrasi sistem dalam teori

Giddens:45 hubungan antara intera aksi dalam konteks

kelompok-kelompok kecil dan interaksi dengan pihak-pihak

lain yang secara fisik tidak hadir (atau tidak hadir secara

temporer). Intergasi sistem terkait dengan sistim sosial-

makro. Konsep integrasi sosial digunakan untuk

menggambarkan resiprositas praktik-praktik antara para

aktor dalam konteks kopresensi (co-presence). Sedangkan,

integrasi sistim menunjuk kepada resiprositas antara para

aktor atau kolektivitas lintas waktu dan ruang–di luar kondisi-

kondisi kopresensi.

Kerangka teorisasi formasi sosial Gidden ini dapat

diaplikasikan secara elaboratif dalam menggambarkan formasi

sosial rumpun etnik Mbaham Matta terkait perjumpaan

dengan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Elaborasi

kerangka teori ini dapat penulis skemakan demikian:

45 Giddens, Central Problems in Social Theory, 203.

Page 20: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

56 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Dari sisi antropologi sosial, Pierre Bourdieu

mengajukan pendekatan teoritikal sturkturalisme

konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis.46

Strukturalisme Bourdieu menegaskan bahwa didalam dunia

sosial sendiri--bukan hanya dalam sistem simbolis (bahasa,

mitos, dsb.)--terdapat struktur-struktur obyektif dari

kesadaran dan kehendak agen, yang mampu mengarahkan dan

menghambat praktik atau representasi mereka.

Konstruktivisme menunjukkan bahwa terdapat asal-usul sosial

bercabang dua, yakni di satu sisi, asal-usul berupa skema,

persepsi, pikiran dan tindakan yang membentuk habitus, dan

di sisi lain, asal-usul berupa struktur sosial, yakni arena dan

berupa kelompok atau kelas sosial.

Bourdieu menyebutkan teori konstruksi sosialnya

sebagai teori praktik (theory of practice). Ia merumuskan teori

praktik sebagai “the theory of the mode of the generation of

practices, which is the precondition for establishing an

experimental science of the dialectic of the internalization of

externality and externalization of internality, or, more simply, of

46 Pierre Bourdieu, ‘Ruang Sosial’ dalam Pierre Bourdieu, Choses Dites: Uraian dan Pemikiran (Bantul: Kreasi Wacana, 2011), 163-199.

Page 21: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 57

incorporation and objectification.”47 Secara analitik-

komponensial bangunan teori praktik Bourdieu tersusun dari

tiga konsep fundamental, yaitu habitus, kapital, dan arena.

Ketiga konsep dasar ini saling terkait dan memengaruhi

membentuk dan mengalas praktik-praktik sosial dalam proses

konstruksi sosial. Ketiga konsep ini dikelola oleh para agen

sosial dari dalam kelompok-kelompok sosial (kelas) mereka.

Untuk menjelaskan proyek ini, yang terkait dengan praktik-

prkatik sosial dalam kerangka produksi atau reproduksi

sistem atau struktur sosial, penulis skemakan seperti di bawah

ini:

Habitus adalah konsep utama dan sentral dalam teori

praktik Bourdieu. Bagi Bourdieu praktik sosial yang

membentuk dunia sosial. Terdapat dua ekstrim pandangan

atau perspektif terkait konstruksi sosial atau praktik sosial ini.

Pada satu sisi, pandangan subyketivistik menegaskan bahwa

praktik sosial dibentuk oleh keputusan dan tindakan

individual. Pada sisi lain, perspektif obyektivistik menekankan

bahwa praktik sosial dibentuk oleh struktur-struktur luar dan

yang mengatasi individu. Bourdieu mengajukan konsep

habitus sebagai konsep yang menjembatani atau

47 Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, ibid., 72.

Page 22: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

58 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mentransendensi oposisi dua pertentangan pandangan

tentang praktik sosial ini.

Untuk mentrasendensi dua pendekatan ini, Bourdieu

memperlakukan kehidupan sosial sebagai bentukan interaksi

dari struktur-struktur, disposisi-disposisi,48 dan tindakan-

tindakan. Interaksi struktur-struktur sosial dan pengetahuan

tentang struktur-struktur tersebut memproduksi orientasi-

orientasi bagi tindakan dan sebaliknya, tindakan-tindakan

agen membentuk struktur-struktur sosial. Dengan demikian,

orientasi-orientasi sekaligus adalah struktur-struktur yang

men-strukturkan (structuring structures) dan struktur-

struktur yang distrukturkan (structured structures). Orientasi-

orientasi tindakan ini membentuk dan dibentuk oleh praktik

sosial. Akan tetapi, praktik sosial tidak dihasilkan secara

langsung oleh orientasi-orientasi (disposisi-disposisi), seperti

dalam studi-studi perilaku, tetapi agaknya merupakan hasil

dari proses improvisasi, yang sebaliknya distrukturkan oleh

orientasi-orientasi kultural, trayektori-trayektori personal,

dan kemampuan untuk beraktivitas (play the game) dalam

interaksi sosial.

Kemampuan improvisasi terstruktur inilah yang

Bourdieu sebut habitus. Habitus adalah suatu sistem skema-

skema generatif umum yang bertahan lama/durable. Skema-

skema generatif ini termaktub dalam konstruksi diri secara

sosial dan dapat teralihkan/transposable dari satu arena ke

arena lainnya, bekerja dalam tataran ketidaksadaran, dan

terjadi dalam suatu ruang kemungkinan-kemungkinan yang

48 Bourdieu menjelaskan secara khusus konsep disposisi ini pada salah satu catatan kaki dalam bukunya Outline of Theory of Practice, ibid., 214: “The word disposition seems particularly suited to express what is covered by the concept of habitus (defined as system of disposistion). It express first the result of an organizing action, with a meaning close to that of words such as structure; it also designates a way of being, a habitual state (especially of the body) and, in particular, a predisposition, tendency, propensity, or inclination.”

Page 23: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 59

terstruktur. Habitus ini berupa persepsi-persepsi, pilihan-

pilihan, dan perilaku. Habitus merupakan ‘kesadaran kolektif’

bersama dari satu kelompok atau kelas atau posisi

sosial.Habitus menyediakan garis-garis pengarah kognitif dan

emosional yang memampukan para individu menghadirkan

dunia dalam cara-cara umum atau bersama dan bertindak

dalam cara tertentu. Konsep kedua Bourdieu adalah modal

(capital) terkait dengan kapasitas untuk melaksanakan kontrol

atas masa depan sesorang maupun orang-orang lain. Jadi

modal adalah suatu bentuk kekuasaan.49 Pandangan tentang

modal ini secara teoritik juga melayani sebagai mediator

antara individu dan masyarakat. Pada satu sisi, masyarakat

distrukturkan oleh perbedaan distribusi modal. Tetapi pada

pihak lain, individu berjuang untuk memaksimalkan modal

mereka.

Bourdieu membedakan beberapa jenis modal, yaitu

modal sosial, kultural, dan ekonomi.50 (1) Modal ekonomi atau

alat-alat produktif seperti uang dan obyek-obyek material

yang dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang dan

pelayanan-pelayanan. (2). Modal sosial atau posisi-posisi dan

relasi-relasi dalam kelompok-kelompok dan jejaring-jejaring

sosial. (3) Modal kultural atau keahlian-keahlian interpersonal

informal, kebiasaan-kebiasaan, cara-cara, gaya-gaya

berbahasa, kredensi-kredensi pendidikan, cita rasa, dan gaya

hidup. Modal ekonomi dapat secara mudah dan efesien

dikonversikan menjadi modal simbolik, yakni modal sosial dan

kultural, dari pada sebaliknya. Dalam implementasi sosial,

modal ekonomi ini harus dimediasikan secara simbolik.

Karena reproduksi terang-terangan modal ekonomi

49Dalam teorisasi Giddens resources pada dirinya sendiri bukanlah power. Ketika respurces digunakan oleh aktor-aktor sosial barulah melahirkan social power. 50 J.H. Turner, ibid., 512 menambahkan modal simbolik, yang Craig Calhoun dkk, ibid., 4 gunakan untuk menyebutkan modal sosial dan modal kultural.

Page 24: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

60 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mengungkap karakter kesewenang-wenangan dari distribusi

kekuasaan dan kekayaan. Dalam kondisi ini modal sosial

berfungsi sebagai penyelubung dominasi ekonomi dari kelas

dominan51 dan secara sosial melegitimasi hirarkhi dengan

pendasaran dan naturalisasi posisi sosial.

Arena (field) adalah sebuah ruang sosial di dalam mana

berlangsung pergulatan-pergulatan atau manuver-manuver

untuk memperoleh dan menguasai sumber-sumber daya

khusus dan akses ke mereka. Arena adalah sebuah sistem

yang telah terstruktur dari posisi-posisi sosial. Arena diduduki

oleh individu atau insititusi-institusi. Arena yang

mendefinisikan situasi bagi para warganya. Arena juga

merupakan sistem kekuasaan yang ada di antara posisi-posisi

tersebut. Jadi suatu arena terstruktur secara internal dalam

relasi-relasi kekuasaan. Posisi-posisi seseorang atau kelompok

terhadap orang atau kelompok lain tertata dalam relasi-relasi

dominasi, subordinasi atau setara, tergantung pada akses

mereka terhadap sumber-sumber daya (modal) yang ada di

dalam arena itu.

Arena menunjuk kepada pentingnya relasi sosial bagi

analisis sosial, yakni penjelasan tentang ruang multidimensi

dari posisi-posisi dan pengambilan posisi oleh para agen.

Sekali lagi, posisi seorang agen adalah hasil saling pengaruh

antara habitus seseorang dan tempatnya di dalam arena

posisi-posisi serta sesuai dengan distribusi bentuk

modal/kapital.

Dunia sosial dibentuk melalui praktik-praktik sosial

agen manusia (individu dan kolektif) dari posisi sosial tertentu

(dalam lingkup kelas dan arena), yang ditopang oleh habitus

dan dengan habitus memanfaatkan modal (ekonomi, sosial,

kultural) yang tersedia dalam arena sosial tertentu dalam

rangka mereproduksi sistem atau dunia sosial mereka. Dengan

51 Bourdieu meminjam konsep kelas sosial dari Marx.

Page 25: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 61

model teori ini kita dibantu untuk meniliti dan menjelaskan

peran aktif agensi manusia, melalui kemampuan improvisatif

(habitus), dalam melakukan perubahan sosial dalam suatu

masyarakat.

Sherry B. Ortner52 lebih mempertegas importansi teori

praktik sebagai alternatif dalam konstruksi masyarakat.

Sebagaimana kritik elaboratif yang telah diajukan oleh Jenkins

dan Malesevic terhadap etnogenesis Barth di atas. Penekanan

dan elaborasi Ortner dikembangkan dari usahanya

mendialogkan wawasan teori-teori praktik dengan

karakteristik teori-teori kekuasaan, pembalikan sejarah, dan

studi kultural. Pendialogan ini menghasilkan beberapa

karakteristik lanjutan yang harus diperhatikan dalam

pengembangan teori praktik. Pertama, yang paling

menentukan, penekanan pada human agency yang mengalir

melalui praktik dalam interaksi sosial sehari-hari. Dalam

konteks ini praktik sosial dipahami sebagai “organized nexus of

actions.”53 Praktik sosiallah yang memproduksi subyek-subyek

sosial dan dunia sosial kita. Praktik sosial adalah tindakan-

tindakan atau aktivitas-aktivitas sosial terpola dan reguler

serta berulang dan resiprokal yang dilakukan oleh manusia

dalam konteks interaksi sehari-hari. Aktivitas-aktivitas

tersebut mencakup aktivitas jasmani maupun mental, benda-

benda yang digunakan, perasaan dan motivasi.54

52 Sherry B. Ortner, Culture, Power, and Acting Subject (Durham and London: Duke University Press, 2006); William H. Sewell, Logics of History: Social Theory and Social Transformation (Chicago and London: University of Chicago Press, 2005). 53Theodore Schatzki, The Site of The Social: Philosophical accounts of the constitution of social life and change (Pennsylvania: The Pennsylvania State University, 2002), 77-82, merumuskan praktik sosial sebagai “organized nexus of actions.” Definisi ini Ia jelaskan selanjutnya bahwa tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan yang menyusun suatu praktik dihubungkan melalui (1) pemahaman-pemahaman praktikal, (2) aturan-aturan, (3) struktur teleo-afektif, dan (4) pemahaman-pemahaman umum. 54Andreas Reckwitz, “Toward a Theory of Social Practices: A Development in Culturalist Theorizing,” European Journal of Social Theory 5

Page 26: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

62 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Menurut Giddens, tindakan atau agensi ini “... does not

refer to a series of discrete acts combined together, bu to a

continous flow of conduct.”55 Praktik sosial adalah alir perilaku

berkesinambungan, bukan satuan-satuan tindakan atau

aktivitas lepas yang digabungkan. Konsepsi agensi manusiawi

sebagai “knowledgeable” dan “enabled” dari Giddens membawa

implikasi bahwa para agen (manusia modern) memiliki

kemampuan mengaktualisasikan kapasitas-kapasitas mereka

yang terbentuk secara struktural dalam interaksi dan

transformasi sosial secara kreatif dan inovatif.

Kedua, importansi kekuasaan (power), yakni relasi-

relasi kekuasan atau struktur politik dalam pembahasan

etnogenesis. Hal mana sudah dimunculkan oleh Jenkins

terhadap teorisasi Barth serta persaingan dan perebuataan

kekuasaan terkait dominasi harus diberi perhatian. Dalam

kaitan ini pula kita ingat pada kondisi struktur sosial yang

tidak setara dan dominatif.

Ketiga, Ortner mengatakan bahwa teori-teori praktik

yang ada lebih berkonsentrasi pada reproduksi sosial:

bagaimana masyarakat mempertahankan eksistensi atau

batas-batas sosialnya. Ortner menegaskan importansi

transformasi sosial melalui praktik-praktik sosial. Ini tentu

terkait dengan prinsip teleo-afektif atau kesadaran diskursif

dari tindakan sosial. Melalui rangkaian praktik, para aktor atau

agen sosial bertujuan sadar untuk melakukan transformasi

sosial–tidak sebatas reproduksi sosial. Oleh karena itu, Ortner

menyebut transformasi sosial sebagai proyek. Transformasi

sosial mencakup baik penataan ulang institusi-institusi sosial

atau struktur sosial maupun transformasi kebudayaan atau

[2002], 243-263 (diakses pada 25 Agustus 2015), 249 yang merumukan praktik sosial sebagai a routinized type of behaviour which consist of several elements interconnected to one another; forms of bodily activities, forms of mental activities, things and their use, a background knowledge in the form of understanding know-how, states of emotions and motivational knowledge.” 55 Giddens, Central Problem in Social Theory, 55.

Page 27: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 63

struktur kebudayaan dalam dualitas fungsinya sebagai

pembatas/pengarah (constraining) serta pemberdaya

(enabling) tindakan-tindakan sosial. Ortner menjelaskan

bahwa

Taking culture in the new-old sense, as the (politically inflected) schemas through which people see and act upon the world and the (politically inflected) subjectivities through which people feel about themselves and the world, social transformation involves the rupturing of those schemas and subjecitivities.

Bagi penulis, ketika fokus ditempatkan pada agensi

manusia dan praktik sosial, masih perlu dilakukan elaborasi

pada prinsip dasar teori praktik yang diajukan oleh Giddens

dan Bourdieu, yakni dualitas struktur dan habitus. Relasi

dikonstruksi-mengonstruksi atau dibatasi – memberdayakan

antara struktur (budaya) dan agensi/praktik sosial dalam

struktur sosial dapat diperluas mencakup semua relasi antar

struktur budaya – struktur sosial – struktur personalitas

berbasis pada agensi manusia dan praktik sosial.56

B. Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan komponen ketiga dalam

bangunan teorisasi konstruksi sosial dalam hal ini etnogenesis

dan transformasi sosial.Varien dan Potter,57 yang

mengaplikasikan teori strukturasi Giddens dalam riset

arkeologi sosial, menyatakan bahwa konstruksi identitas sosial

merupakan salah satu tujuan universal manusia yang sangat

penting. Identitas sosial bukanlah sesuatu yang dapat

56 Usaha elaboratif telah pula dikemukan oleh William H. Sewell, Jr., “A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation” in American Journal of Sociology, Vol.98, No.1 (July, 1992), pp.1-29. 57Mark D. Varien and James M. Potter (eds.), The Social Construction of Community: Agency, Structure, and Identity in the Prehispanic Southwest (Plymouth, UK: AltaMira Press, 2008).

Page 28: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

64 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dibendakan (reifikasi) dan tetap. Sebaliknya identitas sosial

adalah fenemona sosial yang relasional, dinamis dan

negosiatif.Oleh karena itu sejak awal pembahasannya Richard

Jenkins58 mengingatkan untuk kita berhati-hati terhadap

reifikasi identitas dan identitas harus ditempatkan dalam

kerangka identifikasi sosial terkait dengan penataan kesamaan

dan perbedaan kultural. Jenkins merumuskan identifikasi

sosial secara minimal sebagai:

the ways which individuals and collectivities are distinguished in their social relations with other individuals and collectivities. Identity is a matter of knowing who’s who (without which we can’t know what’s what). It is the systematic establishment and signification, between individuals, between collectivities, between individuals and collectivities, of relatioships of similarity and difference.59

Varien dan Potter sejak awal juga mengingatkan

bahwa identitas bukanlah fenomena tunggal dan berdiri

sendiri, tetapi “always multifaceted: no one has just one

identity. Identities can be hybrid or multiple, and different type

of identities can intersect and corsscut each other.”60 Anthony

Giddens pun menyatakan bahwa identitas sosial adalah salah

satu komponen aktivitas sosial yang transformable atau

changeable. Ini mengasumsikan bahwa perjumpaan lintas

kultur kelompok atau komunitas atau masyarakat

menciptakan proses-proses akulturasi yang mendorong

kemunculan dan pertumbuhan subyektivitas-subyektivitas,

tipe-tipe pengetahuan, identitas-identitas, aspirasi-aspirasi,

hibriditas-hibriditas, dan temuan-temuan yang baru.61

58 Richard Jenkis, Social Identity (New York: Routledge, 2004). 59 Jenkins, Social Identity, 5. 60 Varien and Potter, The Social Construction ..., 15. 61Leonel Prieto, tagi Sagafi-nejad and Balaji Janamanchi, “A Bourdieusian Perspective on Aculturation: Mexican Immigrants in the united States” Administrative Sciences 2013, 3, 209-305.

Page 29: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 65

Selanjutnya akan disampaikan beberapa teori untuk lebih

memahami identifikasi sosial sebagai bagian dari etnogenesis.

Dalam teori etnogenesis Barth identitas sosial terkait

langsung dengan identifikasi sosial. Identifikasi sosial

menunjuk kepada proses rekruitmen melalui askripsi-diri dan

askripsi oleh orang lain dalam konteks ethnic boundarying

atau maintenance of ethnic boundary. Dan bagi Barth

identifikasi sosial tidak lain adalah proses dinamis

pemeliharaan batas-batas etnik itu sendiri. Artinya dengan

identifikasi sosial, via askripsi diri dan askripsi oleh orang lain,

warga etnik sedang berusaha menentukan dan memelihara

batas-batas etnik mereka terhadap kelompok etnik lain.

Penekanan pada aspek proses ini menolong kita untuk

memahami ethnic social boundary bukan sebagai ruang

berdinding statik, tetapi sebagai check-points – yang menjadi

titik-titik henti dalam proses dialog lintas etnik atau kelompok.

Itu berarti pula identitas sosial bukanlah suatu fenomena

statik, walaupun dalam konteks dan waktu tertentu identitas

itu terutinisasi atau terinstitusionalisasi. Pandangan Barth ini

dijelaskan oleh Jenkins demikian:

Identification is not a simple matter of cultural stuff which associated with any specific identity, and which may appear to constitute the soild criteria of membership. Identity is about boundary process rather than boundaries. As interactional episodes, those processes are contemporary check-points rather than concrete walls. Boundary processes may be routinised or institutionalised in particular settings and occasions.62

Jenkins kemudian menyebut proses identifikasi sosial

dalam dua lokasi yang saling berinteraksi dialektik:

identitifikasi kelompok (internal) dan kategorisasi sosial

(eksternal). Dalam dua proses dialektik identifikasi inilah

62 Richard Jenkins, Social Identity (London and New York: Rotledge1996), 98-99.

Page 30: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

66 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

identitas individu dan kolektif dibentuk. Dengan begitu

identitas individual dan kolektif secara sistematik diproduksi

dan direporoduksi dalam saling pengaruh satu terhadap yang

lain. Jadi jelas bahwa identitas individu tidaklah bermakna bila

dipisahkan dari dunia sosial orang atau kelompok lain.

Identitas individu (selfhood) secara keseluruhan terkonstruksi

secara sosial melalui proses-proses sosialisasi utama dan

lanjutan, interaksi sosial di dalam mana para individu

mendefinisikan dan meredefinisikan diri mereka sendiri

maupun orang lain sepanjang hidup mereka.

Dari ragam riset tentang identitas sosial ini

menunjukkan bahwa identitas terkait dengan human agency

yang dibahas dibawa topik cultural philosophies of

personhood.63 Lieber64 mengembangkan pandangan tentang

identitas etnik melalui konsep consocial personhood. Dalam

konsep ini identitas orang atau kelompok didefinisikan dalam

kaitan dengan tempat sosial mereka. Consocial personhood

diambil dari konsep consosiates Geertz.65 Consosiates adalah

“individuals who actually meet, persons who encounter one

another somewhere in the course of daily life. They thus share...,

not only a community of time but also of space. They are

involved in one another’s biography at least minimally; they

gorw older together at leas memonetarily, interacting directly

an personally as egoes, subject, selves.” 66 Dari konsep inilah

Lieber menyatakan bahwa “The person is instead a locus of

shared biographies personal histories of people’s relationships

63 Lihat artikel-artikel dalam Jocelyn Linnekin and Lin Poyer, “Introduction” to Cultural Identity and Ethnicity in The Pacific edited by Jocelyn Linnekin and Lin Poyer (Honolulu: University of Hawaii Press, 1990). 64Lihat:Michael D. Lieber, “Lamarckian Definitions of Identity on Kapingamarangi and Pohnpei” in Linnekin and Poyer, Cultural Identity and Ethnicity in The Pacific, 71-101. 65Konsep ini Lieber pinjam dan elaborasi dari konsep consociates yang Geertz juga kembangkan dari Alred Schutz, lihat Cliffird Geertz, “Person, Time, and Conduct in Bali” dalam C. Geertz, The Intepretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 360-411. 66 Geertz, “Person, Time and conduct”, ibid., 365.

Page 31: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 67

with other people and with things.” Jadi di sini relasi sosiallah

yang mendefinsikan kedirian atau identitas seseorang. Bahkan

Geertz menyatakan bahwa dalam konteks masyarakat

sedemikian personalitas mengalami depersonalisasi.67

Linnekin dan Poyer sendiri menegaskan pemahaman

tentang identitas diri ini melalui konsep diri seabagai poros

realasi-relasi sosial (person as node of social relationships)

sebagaimana diinformasikan oleh institusi-institusi seperti

kekerabatan, adopsi, lads right, dan sistem-sistem gelar.68

Dari diskusinya tentang kekerabatan orang-orang

Melanesia, Marshal Sahlins mengajukan konsep kedirian

(personhood) sebagai mutual being.69 Orang Melanesia

memahami diri mereka sebagai poros partisipasi (a node of

participations). Seseorang itu lebih berada di luar dirinya

daripada di dalam dirinya sendiri. Di sini tampilah konsep diri

bukan sebagai individual, tetapi dividual, yakni diri yang

terbagi, dan tidak pula khas tertutup, di dalam pengertian

bahwa aspek-aspek diri secara beragam didistribusikan di

antara orang-orang lain. Jadi diri seseorang terbagikan ke

dalam diri orang-orang lain, sebegitu juga diri orang-orang

lain itu termaktub dalam diri seseorang. Alur pikir seperti ini

hendak menerangkan bahwa kemajemukan unsur-unsur

pembentuk diri seseorang menggerakkan orang itu untuk

berpartisipasi dalam realitas-realitas di luar dirinya, yakni

orang-orang lain maupun keberadaan-keberadaan yang lain

dalam kelompok atau masyarakatnya.

Selain dari sisi proses dan dinamika konstruksi dan

rekonstruksi identitas sosial, kita butuh juga teori yang terkait

67 Geertz,“Person, Time and conduct”, ibid., 390. 68Linnekin and Poyer, “Introduction” to Culture Identity and Ethnicity in the Pacific, 7. 69Marshal Sahlins, What Kinship Is – And It is Not (Chicago: The University of Chicago Press, 2013), 19; Lihat juga Alan Rumsey, “Agency, Personhood and The “I” of Discourse in the Pacific and Beyond” in The Royal Anthropological Institute Vol.6 (1), 2000: 101-115.

Page 32: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

68 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dengan pengarahan identitas sosial dengan transformasi sosial

sebagai sebuah proyek kultural. Dalam konteks ini Manuel

Castells70 menyebutkan bahwa isu kongrit adalah bagaimana,

dari apa, oleh siapa, dan untuk apa konstruksi atau

rekonstruksi identitas sosial dilangsungkan.Rekonstruksi

identitas ini menggunakan ragam bahan dari sejarah, memori

kolektif, biologi, institusi-institusi produktif dan reproduktif,

aparatus kekuasaan dan wahyu-wahyu keagamaan. Tetapi

individu-individu, kelompok-kelompok sosial dan masyarakat

memroses semua itu dan menata ulang makna-makna sesuai

dengan kondisi-kondisi sosial maupun proyek-proyek

kebudayaan yang berakar dalam struktur sosial mereka serta

dalam rentang ruang-waktu. Seperti teori praktik, Castells

melihat bahwa rekonstruksi identitas ini berlangsung dalam

konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan. Untuk itu

Castells membedakan tiga bentuk dan keberasalan bangunan

atau konstruksi identitas, yaitu legitimizing identity, resitance

identity, dan project identity.71 Pertama, legitimizing identity

diprakarsai oleh institusi-institusi dominan dalam masyarakat

untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka

berhadap-hadapan dengan para aktor sosial.

Kedua, resisntance identity diprakrasai dan dilahirkan

oleh para aktor yang hidup dalam posisi-posisi dan kondisi-

kondisi tertindas dan terstigmatisai oleh logika dominasi

kelompok berkuasa. Para aktor atau kelompok membangun

perlindungan dan pertahanan berbasiskan prinsip-prinsip

yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang

sementara menyebar dan menguasai institusi-institusi

masayarakat.

Dan ketiga project identity adalah level identitas

berproyeksi pada transformasi sosial. Identitas ini

70 Manuel Castells, The Power of Identity (West Sussex, UK: Willey-Blackwell, 2010),7. 71 Castells, The Power of Identity, 8.

Page 33: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 69

dikonstruksi oleh para aktor sosial dengan ragam material

yang cocok dengan mereka. Para aktor sosial membangun

identitas baru yang mereidentifikasi identitas dan

merumuskan posisi mereka dalam masyarakat. Dengan begitu

mereka sedang mengusahakan transformasi atas keseluruhan

sturktur sosial.

C. Kekerabatan

Dalam kerangka teori studi ini, kekerabatan (kinship)

merupakan basis strategi kultural reproduksi dan

transformasi sistem sosial dalam rangka membangun tatanan

masyarakat multikultural. Secara metodologis kekerabatan

terkait erat dengan perkawinan, keturunan, dan aliansi.72 Pada

bagian ini hanya dipaparkan hal-hal dasar terkait kekerabatan.

Riset-riset antropologis menunjukkan bahwa hampir

semua masyarakat diorganisasikan berdasarkan sistem

kekerabatan dan keberasalan bersama dari satu garis

keturunan yang dapat ditarik sampai kepada para leluruhur.

Robin Fox menyimpulkan bahwa “Dalam masyarakat primitif

maupun yang canggih, relasi-relasi dengan para leluhur dan

kerabat telah menjadi relasi kunci dalam struktur sosial.

Mereka telah menjadi titik sumbu/poros pemutar bagi hampir

semua interaksi, hak dan kewajiban, loyalitas dan sentimen

dalam sistem sosial suatu masyarakat.”73 Dalam rumusan

72Uraian rinci lihat: Roger M. Keesing, Kin Groups and Social Structures (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1975); Maurice Godeler, Thomas R. Trautmann and Franklin E. Tjon Sie Fat (Eds.), Transformations of Kinship (Washington and London: Smithsonian Institution Press); Roberth Parkin and Linda Stone (Eds.), Kinship and Family: An Anthropological Reader (Malden, MA.: Blackwell, 2004); Marilyn Gregerson and Joyce Sterner (Eds.), Kinship and Social Organization in Irian Jaya: A Glympse of Seven Sysmtems (Jayapura, Indonesia and Dallas, Texas: Cenderawasih University and Summer Institute of Linguistics, 1997). 73Robin Fox, Kinship and Marriage: An Anthropopogical Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 13; Robert Parkin, Kinship: An Introduction to the Basic Concepts (Oxford, UK: Blackwell, 1997), 136.

Page 34: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

70 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Nelson Graburn, kekerabatan adalah prinsip pengorganisasian

masyarakat.74 Hal yang sama juga ditegaskan oleh Keyes:

“ethnicity is a form of kinship reckoning, it is one in which

connections with forebears or with those with whom one

believes one shares descent are not traced along precisely

genealogical lines.”75 Sedemikian juga Eugeen Rosens, yang

meneliti etnisitas kaum migran, mengemukakan bahwa “What,

..., makes an ethnic group specific, is the genealogical dimension,

which unavoidably refers to the origin, and always involves

some form of kinship of family metaphor.”76 Dengan begitu kita

dapat mengatakan dengan pasti bahwa sistim kekerabatan

adalah matriks konstruksi sosial etnik. Etnisitas, melalui

konstruksi dan jejaring kekerabatan, merupakan penciri dasar

kultural dan identitas sosial.

Robin Fox77 membedakan dua pendekatan antropologi

dalam studi relasi-relasi kekerabatan. Pada satu sisi, fokus

pada masyarakat sebagai satu keseluruhan dan menanyakan

bagaimana masyarakat membentuk kelompok-kelompok

kekerabatan (seperti gens, curia, phratry, dll.). Pada pihak lain,

fokus diletakkan pada jejaring relasi-relasi yang mengikat

individu satu dengan yang lain dalam jejraing kekerabatan.

Fox menegaskan bahwa sistem kekerabatan adalah tanggapan-

tanggapan terhadap raga - tekanan yang dimunculkan oleh

keterabatasan-keterbatasan biologis, psikologis, ekologis dan

sosial. Jadi sistem-sistem kekerabatan ada karena mereka

menjawab kebutuhan-kebutuhan tertentu – karena sistem-

74 Nelson Graburn, Reading in Kinship and Social Structure (New York: Harper & Row, 1971), 2. 75 Charles F. Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic Change edited by F. Keyes (Seatle and London: University of Washington Press, 1982), 6. 76 Eugeen Roosens, “The Primordial nature of Origins in Migrant Ethnicity,” in The Anthropology of Ethnicity – Beyond Ethnic Groups and Boundaries, edited by Hans Vermeulen and Cora Govers (Amsterdam: Het Spinhuis, 1994), 83. 77Robin Fox, Kinship And Marriage: An Anthropological Perspective (Cambridge: Cambrifge University Press, 1983), 22, 25.

Page 35: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 71

sistem ini menjalankan tugas atau fungsi-fungsi tertentu.

Ketika kondisi dan kebutuhan berubah maka sistem-sistem

kekerabatan pun mengalami perubahan walau hanya dalam

batas-batas tertentu pula.

Hildred Geertz dan Clifford Geertz78 melakukan riset di

Bali berdasarkan pemisahan analitik antara dimensi kultural

dan dimensi sosial dari tatanan kekerabatan. Bagi mereka

By the cultural dimension we refer to those Balinese ideas, beliefs, and values are relevant to those Balinese behavior as kinsmen - ideas, beliefs, and values that are abstracted from and distinguished from the actual regularities in that behavior, from the concrete interpersonal relationships which obtain “on the ground” among particular kinsmen. The relevant ideas, beliefs, and values are those having to do with, for instance, the perceived nature of the connection between parent and child, or between deceased ancestors and living persons, or between individuals who share (or think they share) a common parentage or common ancestry. Taken together, these asumptions form a culturally unique conceptual framework that Balinese use to represent, to understand, and to organize their social relationships with their kinsmen.79

Bagi mereka berdua konsepsi-konsepsi kekerabatan

terintegrasi dengan konsepsi-konsepsi mendasar yang berakar

secara khusus dalam realisme agama, residensi dan tingakatan

sosial membentuk pola kebudayaan menyeluruh. Dengan

demikian kekerabatan bukanlah suatu sistem mandiri, tetapi

merupakan bagian integral dari pola kebudayaan yang di

78Hildred Geertz and Clifford Geertz, Kinship in Bali (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1975). They suggest their own approaches as an alternative to the three main views of kinship study: the affective, the normative, and the cognitive. 79Ibid.,2.

Page 36: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

72 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dalamnya ia menjalankan peran penting dan penentu secara

interdependen.80

A. R. Radcliffe-Brown,81 dari perspektif struktural-

fungsional, melihat sistim kekerabatan sebagai bagian dari

struktur sosial. Sistim kekerabatan dan perkawinan dilihat

sebagai suatu social arrangement yang memampukan dan

memberdayakan orang-orang untuk hidup bersama dan

bekerjasama dalam suatu tatanan kehidupan sosial. Sistim

kekerabatan dan perkawinan menghubungkan orang-orang

hidup bersama melalui konvergensi kepentingan dan

sentimen. Sistim ini mengontrol dan membatasi serta

mengarahkan konflik-konflik yang mungkin terjadi. Ini yang

disebut dengan studi analitik sinkronik atas sistem: melihat

bagaimana sustau sistem itu berfungsi menggerakkan alur

aktivitas sosial. Sementara itu, suatu sistem, termasuk

kekerabatan dan perkawinan, mengalami proses perubahan

atau pergeseran baik dalam sisttem, nilai, praktik maupun

pemaknaannya. Untuk dibutuhkan studi analitik diakornik

yang menelusuri bagaimana sistem tersebut sebelumnya

terjadi perubahan berfungsi untuk dicari penyebab dan efek-

efeknya terhadap kelangsungan sistem sosial secara

menyeluruh.

Radcliffe-Brown lebih memilih untuk menjelaskan

sistem kekerabatan dalam praktiknya, ketimbang membahas

persoalan terminologi klasifikasi kekerabatan. Dari sisi

realitasnya, sistem kekerabatan merupakan bagian dari

struktur sosial yang terdiri dari relasi-relasi sosial aktual

dalam satu marga dan komunitas. Relasi-relasi tersebut

dilangsungkan melalui interaksi dan perilaku mereka satu

terhadap yang lain. Dalam konteks inilah sistem kekerabatan

80Ibid., 3. 81 A.R. Redcliffe-Brown, “Introduction” dalam A.R. Redcliffe-Brown and Daryll Forde (eds.), African Systems of Kinship and Marriage (London, New York, Toronto: Oxford University Press, 1967),1-85.

Page 37: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 73

menghadiran kepada kita suatu kompleks norma-norma dan

pola-pola perilaku di dalam keluarga, marga, dan komunitas.

Bila terjadi penyimpangan norma akan mengganggu

keseimbangan sistem. Penyimpangan adalah perbedaan antara

perilaku ideal atau yang diharapkan dengan perilaku aktual.

Norma-norma dibedakan atas darar aspek yang dimilikinya,

yakni aspek afektif (sentimen atau perasaan), aspek etiket

(terkait dengan perilaku luar), dan aspek jural (hak dan

kewajiban adatis).82

Dalam perkembangan teori tentang kekerabatan

muncul kritik yang menyatakan bahwa kekerabatan lebih baik

dilihat sebagai murni konstruksi kultural dan simbolik yang

lepas dari akar-akar biologis. Pandangan ini muncul sebagai

tanggapan terhadap konstruksi masyarakat modern, di mana

sistim kekerabatan berbasis keuturunan biologis makin

longgar.83 Sebelumnya Keesing telah menyatakan bahwa

memang kekerabatan merupakan jejaring relasi yang

diciptakan baik melalui koneksi-koneksi genealogis maupun

ikatan-ikatan sosial. Kekerabatan yang diciptakan melalui

ikatan-ikatan sosial ini misalnya melalui sistim adopsi dan

pengasuhan tetapi masih tetap dimodelkan di bawah relasi

alamiah keorangtuaan mengikuti garis ayah (parenthood).84

Kritik ini membuka jalan bagi reinterpretasi teoritik dan

pemaknaan lanjut terhadap sistim kekerabatan, yakni melihat

kekerabatan sebagai fenomena yang dibentuk dan

dikembangkan melalui proses-proses sosial keseharian dalam

perjumpaan antar manusia. Melalui praksis-praksis sosial

keseharian orang-orang dari ragam latar belakang

82 Lihat Radcliffe-Brown, African System..., 12-13. 83Kritik mana dimotori oleh D. M. Scheneider, American Kinship: A Cultural Account(Englewood Cliffs, N.Y.: Prentice-Hall, 1968), dan diteruskan antara lain oleh Janet Carsten yang mengatakan bahwa pendekatan studi antropologi modern atas kekerabatan lebih menekankan penafsiran dan pemaknaan kekerabatan di bandingkan dengan pendekatan sebelumnya. 84Roger M. Keyes, Kin Groups and Social Structure (Fortwort: Harcourt Cllege Publishing, 1975), 13.

Page 38: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

74 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mengembangkan model kekerabatan alternatif yang tidak

bertolak dari hubungan darah atau asal-usul bersama.

Dalam rangka menafsirkan kembali kekerabatan

berdasarkan garis keturunan biologis, Marshall Sahlins

mengajukan pemaknaan kultural baru berdasar prinsip bahwa

kekerabatan adalah konstruksi sosial-budaya maupun

biologis. Sahlin mendasarkan pemaknaan ini pada

pemahamannya bahwa sistem kekerabatan sebagai “a

manifold of intersujective participations, a network of

mutualities of being.”85 Sistem kekerabatan adalah jejaring

partisipasi antar subyek. Subyek-subyek ini adalah orang-

orang yang termasuk satu pada yang lain, saling berada atau

hadir satu pada yang lain, yang hidup bersama dan saling

bergantung. Tesis dasar Sahlins dijelaskannya demikian:

The specific quality of kinship, ..., is “mutuality of being”: kinfolk are persons who participate intrinsically in each other’s experience; they are members of one another. “Mutuality of being”apllies as well to the constitution of kinship by social construction as by procreation, 86

Teorisasi atas sistim kekerabatan terkait relavansinya

dengan perubahan sosial dilanjutkan lebih jauh oleh Janet

Carsten87 dengan mengajukan konsep relatedness untuk

menjelaskan kekerabatan. Elaborasi konsep ini diawali dari

risetnya tentang proses pembentukan kekerabatan dalam

lingkungan keseharian hidup komunitas nelayan di Langkawy,

Malaysia.88 Carsten menunjukkan bahwa keberasalan

kekerabatan tidak hanya sekedar sebagai sesuatu realitas

85Marshall Sahlins, What Kinship Is – And Is Not (Chicago: The University of Chicago Press, 2013), 20-21. 86 Sahlins, What Kinship is ..., ix. 87 Lihat Janet Carsten, After Kinship (Cambridge: Cambridge University Press, 2004); Janet Carsten (ed.), Cultures of Relatedness: New Approaches to Study of Kinship (Cambridge Cambrdige University Press, 2000). 88Lihat: Janet Carsten, The Heat of the Heart: The Process of Kinship in a Malay Fishing Community (Oxford: Clarendon Press, 1997).

Page 39: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 75

berdasarkan pertalian biologis yang dipertentangkan dengan

sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Tetapi kekerabatan

dibangun dari perjumpaan dan interaksi lintas orang,

keluarga, dan kelompok serta asal-usul keturunan dalam

kehidupa hari-hari. Relatedness diciptakan pada masa kini dan

lebih berwawasan masa depan dari pada masa lampau.

Carsten menulis antara lain

For the Malays, identity and kinship are required throughout life through the process of living together in houses, sharing food, engaging in relationships of different kinds, marrying and having children and grandchildren. In this case, identity is not handed down from the past or even give at birth. Rather, it is intrisically fluid, moulded and acquired through life, and shaped by the activities in which individual engage.89

Relatedness lebih berwawasan masa depan dari pada

masa lampau, sebagaimana dinyatakan oleh Carsten sebagai

argumen sentral risetnya:

I begin with a paradox. It is central to my argument that kinship in Langkawi is focused on the future rather than the past and is encapsulated in the process of producing children and grandchildren. In such a context memory has a peculiar significance. During fieldwork, I was again and again struck by the different attitudes which villagers of Sungai cantik held to present relations compared to past one... The point about such relations is that they exist in the present and they have a future. If the kin involved live fairly close to one another, they or their children may well intermarry and thus be brought closer in the future.90

Dan bagi Carsten kekerabatan adalah wilayah

kehidupan yang di dalamnya orang-orang menginvestasikan

89Janet Carsten, “The Politics of Forgetting: Migration, Kinship and Memory on the Periphery pf the Southeast Asian State” The Journal of the Royal Anthropological Institute. Vol.1, No.2 (Jun., 1995), 317. 90 Carsten, “The Politics of Forgetting...”, ibid., 319.

Page 40: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

76 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

emosi mereka, energi kreatif mereka, dan mimpi-mimpi baru

mereka. Ide kekerabatan tidak hanya melibatkan hak-hak,

aturan-aturan, dan kewajiban-kewajiban, tetapi juga

merupakan ruang kemungkinan-kemungkinan baru yang

dapat ditemukan dalam seluruh ritual kehidupan hari-hari.

Melalui pengalaman hidup atau praktik-praktik sosial sehari-

hari dalam lingkup lokalitas khasnya, manusia membangun

dan menghidupi keterhubungan (relatedness) sekalipun

mereka tidak memiliki pertalian darah atau ikatan-ikatan

biologis. Baginya manusia selalu mampu membangun jejaring

keterhubungan (relatedness) baru dalam konteks-konteks

hidup dan praktik-praktik sosial baru.

Carsten menemukan bahwa kekerabatan di Barat

ditandai oleh pemisahan yang kuat antara tantanan

kekerabatan alamiah (bilogis) dan tatanan hukum (sosial-

kultural). Sebaliknya: kekerabatan non-Barat digambarkan

sebagai wilayah percampuran tatanan alamiah dan sosio-

kultural atau transformasi satu ke dalam yang lain. Tetapi

agaknya kecenderungan pemisahan ini makin kabur.

Reinterpretasi teoritik dan praktik kekerabatan serta

pemaknaan baru yang diusulkan oleh Carsten dan Sahlins

menolong kita untuk memperluas konstruksi masyarakat

multikultural etnik yang berbasis kekerabatan ke dalam

tatanan masyarakat modern. Khususnya Carsten,dengan

paradigma kekerabatan sebagai proses, menolong kita untuk

membuka kemungkinan bagi pengembangan teoritik dan

praktik terkait kekerabatan yang melampaui baik paradigma

jejaring keturunan biologis maupun sosial-kultural.

D. Multikulturalisme

Multikulutralisme merupakan istilah yang mengusung

sebuah paradigma baru dalam rangka memahami dan

merumuskan ulang sistem dan struktur interelasi dan

Page 41: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 77

interaksi sosial, budaya, agama, politik dan ekonomi manusia.

Sejarah teorisasi menunjukkan bahwa titik pijak dan

pendekatan terhadap multikulturalisme sangatlah beragam

dan kompleks. Dinyatakan bahwa multikutluralisme belum

secara penuh diteorisasi – tugas finalisasi penteorian ini

agaknya sukar.91 Walaupun demikian, penulis perlu

mengemukakan satu definisi dasar di sini seperti yang

dirumuskan oleh Caleb Rosado yang menagitkan dengan

sistem kepercayaan dan perilaku demikian:

multiculturalism is a system of beliefs and behaviors that recognizes and respects the presence of all divers groups in an organisation or society, acknowledges and values their social-cultural diffrences, and encourages and enables their continued contribution within and inclusive cultural context which empowers all within the organization or society.92

Dari defenisi dasar kita perlu mendalami lebih jauh

hakikat multikulturalisme secara lebih komprehensif. Penulis

merujuk pada pemikiran Bikhu Parekh yang dituangkan dalam

bukunya Rethingking Multiculturalism.93 Parekh memulai

dengan menyatakan bahwa muncul desakan kuat dari

berbagai ragam gerakan yang memperjuangkan pengakuan

akan identitas dan perbedaan, atau lebih akuratnya,

perbedaan-perbedaan yang terkait dengan identitas (identity-

related differences). Tuntutan akan pengakuan (recognition) ini

bergerak jauh melampaui desakkan sekedar untuk toleransi

(toleration). Karena toleransi hanya menyiratkan pengakuan

kebenaran tentang ketidaksetujuan masyarakat dan

91 Cynthia Willet (ed.), Theorizing Multiculturalism: A Guide the Current Debate (Massachusetts: Blacwell, 1998). 92 Caleb Rosado, Toward a Definition of multiculturalism. Diunduh pada tanggal 13 April 2015 dari http://www.rosado.net/pdf/ Def_of_Multiculturalism.pdf. diunduh pada 23 September 2015. 93 Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (New York: Palgrave, 2000); Lihat juga edisi terjemahannya,Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Kanisius, 2008).

Page 42: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

78 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mengandalkan pada pengendalian diri gerakan tersebut. Lebih

dari itu, ini terkait dengan perjuangan untuk mendapatkan

penerimaan, penghargaan dan afirmasi publik terhadap

realisme perbedaan-perbedaan yang terbawa dalam kehadiran

mereka. Ini menghendaki adanya perubahan dalam tatanan

hukum masyarakat serta sikap dan cara berpikir masyarakat.

Parekh awal sekali menegaskan bahwa multi-

kulturalisme ini merupakan konstruksi kebudayaan dalam

sejarah dan terkait dengan otoritas. Dengan begitu perbedaan-

perbedaan ini tidaklah mengalir dari pilihan-pilihan

individual. Multikulturalisme terkait dengan cultural diversity,

keanekanragaman budaya. Selengkapnya Parekh mengatakan

demikian:

Multiculturalism is not about difference and identity per se but about those that are embedded in and sustained by culture; that is, a body of beliefs and practices in terms which a group of people understand themselves and the world and organize their individual and collective lifes. Unlike differences that spring from individual choices, culturally derived differences carry a measure od authority and are patterned and stuctured by virtue of being embedded in a shared and historically inherited system of meaning and significance.94

Keanekanragaman budaya dalam masyarakat modern

muncul dalam beberapa bentuk. Tiga di antaranya yang utama.

Pertama, keanekaragaman subkultur (subculture diversity), di

mana semua anggota memiliki satu budaya umum yang luas,

beberapa di antara mereka menjalankan keyakinan dan

praktek yang berbeda terkait dengan wilayah kehidupan

tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri relatif

sangat berbeda.

Kedua, keanekaragaman perspektif (perspectival

diversity) yang menunjuk kepada ragam perspektif kritis

94 Parekh, ibid., 2-3.

Page 43: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 79

terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral

kebudayaaan yang berlaku dan berusaha untuk

menyatakannya mengikuti garis kelompok tersebut. Misalnya

kaum feminist yang mengritik dominasi dan bias patriarkhi.

Kaum relijius menyerang orientasi sekuler. Kelompok pecinta

lingkungan hidup yang menyerang bias antroposentris dan

teknokratis. Yang diserang adalah orientasi atau perspektif

umum yang dipandang menyimpang dan harus direkonstitusi.

Ketiga, keanekaragaman komunal (communal

diversity) yang terkait dengan eksistensi komunitas-komunitas

yang sadar diri dan lebih kurang terorganisasi dengan baik

Yang menikmati dan hidup dengan sistem keyakinan

dan praktek mereka yang berlainan. Mereka ini seperti kaum

imigran yang baru tiba dan juga komunitas-komunitas yang

telah mapan seperti kaum yahudi, gipsi dan amish, berbagai

komunitas keagamaan, dll.

Masyarakat multikultural membutuhkan struktur

politik yang memungkinkan masyarakat mengelola paradoks

kemajemukan kultural. Dalam satu bagian penting, Parekh

membahas secara khusus tentang struktur politik masyarakat

multikultural.95 Parekh membahas pokok ini dalam kaitan

dengan beberapa model struktur atau integrasi politik yaitu

model proseduralis, asimilasionis kewarganegaraan, dan millet.

Tapi sebelum menguraikan ketiga model ini, Parekh membuka

paparannya dengan menjelaskan model asimilasionik negara-

bangsa

Pertama, kita lihat model asimilasionis negara-bangsa.

Model umumnya dipandang sebagai tradisional dan tidak bisa

menjadi model masyarakat multikulturalis. Dalam model

asimilasionis, negara atau negara-bangsa menempati posisi

sentrum struktur politik, lebih tepatnya negara-bangsa

merupakan suprastruktur. Dalam model ini bentuk negara-

95 Parekh, ibid., 196-238.

Page 44: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

80 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

bangsa diperlakukan sebagai suatu ideal. Dan mereka percaya

bahwa tidak ada pemerintahan yang stabil serta kuat terikat

kecuali warganya memiliki satu kebudayaan nasional yang

meliputi nilai-nilai, cita-cita keunggulan, kepercayaan dan

praktek-praktek kehidupan. Sebagai pemelihara jalan hidup

masyarakat, negara berhak dan berkewajiban untuk menjamin

minoritas-kultural untuk berasimilasi dengan atau ke dalam

kebudayaan nasional yang berlaku dan melupakan

kebudayaannya sendiri. Berasimilasi merupakan syarat

kultural-legal bila kaum minoritas mau menjadi bagian dari

masyarakat dan ingin diperlakukan sama seperti warga negara

lainnya.

Model asimilasionis dibangun atas dasar pemahaman

bahwa masyarakat memiliki struktur moral dan kebudayaan

yang padu-seragam dan koheren. Proposisi ini tidak

sepenuhnya dapat dipertahankan. Meskipun struktur moral

dan kebudayaan memiliki koherensi internal, tetapi ia tidaklah

sepenuhnya homogen dan koheren. Dalam realitasnya,

struktur moral dan kebudayaan bervariasi terkait dengan

kelas, agama dan wilayah. Ia tersusun dari unsur-unsur yang

berbeda dan bahkan saling berkonflik. Ia terdiri dari nilai-nilai

dan praktek-praktek yang dapat ditafsirkan dan dihubungkan

dengan berbagai cara berbeda. Kaum asimilsasionis

mengabaikan kenyataan historis kultural ini. Mereka telah

memberikan pemahaman tentang kebudayaan nasional yang

simplisitis dan terdistorsi. Mereka cenderung menyamakan

kebudayaan nasional dengan kebudayaan kelompok dominan.

Kritik terhadap model ini diarahkan terutama pada politik

penyeragaman atau asimilasi paksa ini dengan berbagai

konsekwensinya seperti diskriminasi, bahkan kekerasan. Hal

mana akan mendorong kelompok-kelompok memilih dan

membangun kubu-kubu pertahanan kultural dan kelompok

dalam agama dan etnisitas.

Page 45: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 81

Kedua, kita telusuri model proseduralis (proceduralist

model).96 Model integrasi ini dialaskan pada pemahaman

prinsipal bahwa perbedaan-perbedaan mendasar moral dan

budaya yang ditemukan dalam masyarakat-masyarakat

multikultural tidak dapat diselesaikan secara rasional. Satu-

satunya perhatian dan keprihatinan kita adalah bagaimana

menjamin perdamaian dan stabilitas. Untuk maksud itu

dibutuhkan sebuah negara yang secara garis besar formal dan

netral yang bertugas meletakkan aturan-aturan umum

perilaku minimal dan perlu. Aturan-aturan umum perilaku ini

menjadi pegangan dan panduan bagi seluruh warga negara

dalam menjalani secara bebas kehidupan yang mereka pilih.

Jika negara mengejar kepentingannya sendiri, ia akan

melanggar otonomi moral dan mendiskriminasikan kelompok-

kelompok yang berbeda pandangan hidup. Di sini negara

formal berpean minimalis dalam mengombinasikan

semaksimal mungkin kesatuan politik dengan sebanyak

mungkin keanekaragaman (diversity). Ini penting karena pada

satu pihak masih terlihat jelas ketidaksepakatan-

ketidaksepakatan moral dan kultural warga serta negara tidak

membuat tuntutan-tuntutan kontreversial atas mereka. Pada

pihak lain karena negara memberikan batasan-batasan

minimal pada pilihan-pilihan warga.

Ketiga, model asmilasionis kewarganegaraan (civic

assimilationist).97 Model ini menduduki posisi antara model

proseduralis dan asimilasionis. Berbeda dengan proseduralis,

model ini berpendapat bahwa komunitas politik tidak hanya

96 Keasalan pandangan model proseduralis ini dapat ditelurusi kembali sampai ke Hobbes, yang kemudian dihidupkan kembali oleh beberapa ahli modern: Michael Oakeshott, Robert Nozick dan Chandran Kukathas. 97 Keasalan pandangan model asimilasi kewargaan ini dapat ditelusuri sampai kepada Locke dan The founding fathers of the American Republic; dan dihidupkan kembali dengan modifikasi oleh Rawls dan Habermas.

Page 46: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

82 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

menuntut persetujuan terkait struktur otoritas, tetapi juga

suatu kebudayaan bersama. Berbeda dengan model

asimilasionis, model ini mengaskan bahwa kebudayaan

bersama itu tidak harus komprehensif serta mencakup dan

mengarahkan semua wilayah kehidupan. Dalam model ini,

kesatuan komunitas politik terletak pada budaya politik yang

mencakupi its public or political values, ideals, practices,

institutions, mode of political discourse, and self-understanding.

Tanpa berbagai kebudayaan yang sama, warga tidak dapat

terlibat dalam dialog bermakna utk merumuskan dan

mengatasi perbedaan-perbedaan serta mencapai tujuan-

tujuan bersama. Dengan tunduk pada batasan-batasan dari

budaya politik bersama, warga dapat secara bebas menjalani

pilihan-pilihan hidup mereka dalam ruang privat. Jadi dalam

model ini, ruang publik menghadirkan uniformitas, ruang

privat, yang meliputi keluarga dan civil society menghadirkan

keragaman (diversitas). Kehidupan ruang publik menyediakan

prinsip-prinsip untuk menetapkan atau membatasi rentang

diversitas yang diizinkan, dan memberikan masyarakat

keyakinan untuk mentoleransi serta bahkan menyambut

perbedaan-perbedaan yang dihidupi dalam ruang privat.

Keempat, model millet. Dalam pandangan model ini,

manusia berada di atas segala makhluk lainnya yang ada

dalam komunitas-komunitas mereka. Segala hal yang terkait

dengan mereka – adat-istiadat, praktek-praktek, nilai-nilai,

sistem makna, perasaan identitas, kontinuitas sejarah, norma-

norma perilaku dan pola-pola kehidupan keluarga – berasal

dari kebudayaan mereka. Di sini negara sebagai institusi

hukum dan administrasi tidak memiliki status moral. Satu-satu

alasan penting bagi kehadiran negara adalah menegakkan dan

memelihara komunitas-komunitas kultural. Di sini negara

bukanlah a community of communities (karena ia tidak

memiliki basis moral dan tujuan sendiri), but a union or a loose

federation of communities, a bare framework within which

Page 47: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 83

those communities should be free to pursue their traditional

ways of life and engage ini necessary social, political and

economic interactions. Negara diharapkan tidak hanya tidak

mencampuri urusan-urusan internal, tetapi juga mengakui dan

melembagakan otonomi komunitas-komunitas kultural,

memperkuat adat-istiadat dan praktek-praktek hidup mereka,

dst. Jadi di sini individu warga meberikan loyalitas utama

mereka kepada komunitas-komunitas asal mereka, dan

selanjutanya atau kedua baru kepada negara.

Tetapi menurut Parekh, bila dinilai atau diuji

berdasarkan kemampuan untuk menyatukan tuntutan

kesatuan (unity) dan keanekaragaman (diversity), keempat

model penstrukturan politik masyarakat multikultural di atas

tidaklah memuaskan dalam tingkatan yang berbeda. Dalam

menyimpulkan penjelasannya tentang kelemahan keempat

model ini, Parekh menyatakan:

Teori asimilasi lebih kurang mengabaikan tuntutan keanekaragaman (diversity), dan teori model millet mengabaikan kesatuan (unity). Teori proseduralis dan asimilasionis kewargaan menghargai keanekaragaman dn kesatuan, namun gagal memberi perhatian kepada kondisi saling pengaruh dialektis dan menemukan keseimbangan yang tepat di antara mereka. Mereka mempertahankan pemisahan ruang publik dan ruang privat dan terlalu sederhana menggambarkan pemisahan ruang-ruang ini dengan semua kesulitan mereka ciptakan. Oleh karena memandang keanekaragaman sebagai fakta yang harus diakomodasikan dari pada tatanan nilai yang dijunjung tinggi serta membiarkannya tergantung pada belas kasihan pasar politik dan budaya, kedua pandangan ini juga merugikan kebudayaan-kebudayaan minoritas dan tidak menciptakan iklim yang kondusif bagi keanekaragaman budaya.98

98 Parekh, ibid., 206; Evaluasi kritis Parekh selengkapnya lihat, 201-

206.

Page 48: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

84 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan

dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Sesudah itu Parekh menyatakan bahwa jika kita

diharapkan untuk mengembangkan suatu struktur politik yang

koheren bagi masyarakat multikultur, maka kita patut

menghargai pentingnya kesatuan dan keanekaragaman dan

memantapkan hubungan yang memuaskan atau memadai di

antara keduanya. Pengembangan struktur politik setiap

masayarakat yang tepat (relevan dan bermakna) tentu akan

berbeda-beda mengikuti dinamika dan kekhususan sejarah

dan tradisi serta perbedaan-perbedaan jenis keanekaragaman

masing-masing. Jadi tergantung pada latar belakang dan

kondisi sejarah dan kultur serta jenis-jenis keanekaragaman

tiap masayarakat. Parekh hendak mengatakan bahwa struktur

politik yang hendak dibangun haruslah kontekstual. Oleh

karena itu Parekh sendiri tidak berprentensi untuk

mengusulkan satu model penstrukturan politik tersendiri.

Parekh hanya meggariskan prinsip-prinsip umum yang bisa

digunakan sebagai alat navigasi,99 yaitu struktur kekuasan,

keadilan, hak-hak kolektif, kebudayaan bersama, pendidikan

multikultural dan identitas nasional serta syarat-syarat

keberhasilan.

Eksplorasi teoritik di atas akan penulis tata

penggunaannya mengikuti alur studi dan perangkaan teoritik

relevan seperti yang ditunjukan melalui skema di bawah ini:

99 Lihat Parekh, ibid., 207-238.

Page 49: BAB II KERANGKA TEORI - repository.uksw.edu...teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme

Kerangka Teori 85