etika sudigdo

2
Dengan banyaknya jumlah penelitian maka terjadilah berbagai penyimpangan terhadap kode etik, sehingga terasa keharusan adanya badan yang mengawasi penelitian yang memakai manusia sebagai subyek penelitiannya. Forum internasional yang pertama diadakan untuk tujuan ini mengeluarkan Nuremberg Code, sebagai reaksi terhadap berbagai eksperimen kejam yang dilakukan olehh para dokter Nazi terhadap tahanan Perang Dunia II. Salah satu aspek penting dalam kode tersebut adalah keharusan adanya informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dari manusia yang digunakan dalam percobaan. Pada tahun 1964, World Medical Association dalam sidangnya yang ke-18 mengeluarkan satu rangkaian aturan untuk penelitian pada manusia, yang kini dikenal sebagai Deklarasi Helsinki I. Rangkaian aturan tersebut merupakan panduan untuk dokter yang melakukan penelitian klinis, baik yang bersifat terapeutik maupun non-terapeutik. Para editor jurnal kedokteran diimbau untuk tidak memuat artikel penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyek tanpa informed consent kecuali (1) apabila subyek tidak dapat memberi persetujuan misalnya bayi, anak, atau pasien yang tidak sadar; untuk ini seyogianya keluarga diminta persetujuannya; (2) bila penelitian semata-mata menggunakan rekam medis; (3) bila bahan penelitian berupa jaringan yang telah diawetkan dan tidak dapat dilacak subyeknya. Namun pada semua keadaan tersebut harus diyakini bahwa hasil penelitian akan berdampak positif bagi pasien lain atau masyarakat luas. Baik dalam Nuremberg Code maupun dalam Deklarasi Helsinki I, para peneliti hanya diimbau untuk memperhatikan serta mematuhi peraturan-peraturan. Jadi kebijaksanaan diserahkan pada peneliti sendiri, tidak ada keharusan adanya pihak lain yang mengawasi. Peneliti harus membuat keputusan sendiri apakah penelitiaannya menyimpang dari norma etika yang telah digariskan atau tidak. Karena tidak ada pengawasan dari pihak lain, maka pengertian para peneliti tentang perbedaan suatu tindakan sebagai pengobatan atau penelitian kadang menjadi tidak jelas, sehingga masih terjadi berbagai penyimpangan norma-norma etika. Oleh karena, itulah pada sidang ke-20 World hezlth Assembly di Tokyo tahun 1975 Deklarasi Helsinki I di revisi, disebut Deklarasi Helsinki II adalah

Upload: alfi-bashori

Post on 24-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

etika

TRANSCRIPT

Page 1: etika sudigdo

Dengan banyaknya jumlah penelitian maka terjadilah berbagai penyimpangan terhadap kode etik, sehingga terasa keharusan adanya badan yang mengawasi penelitian yang memakai manusia sebagai subyek penelitiannya. Forum internasional yang pertama diadakan untuk tujuan ini mengeluarkan Nuremberg Code, sebagai reaksi terhadap berbagai eksperimen kejam yang dilakukan olehh para dokter Nazi terhadap tahanan Perang Dunia II.

Salah satu aspek penting dalam kode tersebut adalah keharusan adanya informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dari manusia yang digunakan dalam percobaan. Pada tahun 1964, World Medical Association dalam sidangnya yang ke-18 mengeluarkan satu rangkaian aturan untuk penelitian pada manusia, yang kini dikenal sebagai Deklarasi Helsinki I. Rangkaian aturan tersebut merupakan panduan untuk dokter yang melakukan penelitian klinis, baik yang bersifat terapeutik maupun non-terapeutik. Para editor jurnal kedokteran diimbau untuk tidak memuat artikel penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyek tanpa informed consent kecuali (1) apabila subyek tidak dapat memberi persetujuan misalnya bayi, anak, atau pasien yang tidak sadar; untuk ini seyogianya keluarga diminta persetujuannya; (2) bila penelitian semata-mata menggunakan rekam medis; (3) bila bahan penelitian berupa jaringan yang telah diawetkan dan tidak dapat dilacak subyeknya. Namun pada semua keadaan tersebut harus diyakini bahwa hasil penelitian akan berdampak positif bagi pasien lain atau masyarakat luas.

Baik dalam Nuremberg Code maupun dalam Deklarasi Helsinki I, para peneliti hanya diimbau untuk memperhatikan serta mematuhi peraturan-peraturan. Jadi kebijaksanaan diserahkan pada peneliti sendiri, tidak ada keharusan adanya pihak lain yang mengawasi. Peneliti harus membuat keputusan sendiri apakah penelitiaannya menyimpang dari norma etika yang telah digariskan atau tidak. Karena tidak ada pengawasan dari pihak lain, maka pengertian para peneliti tentang perbedaan suatu tindakan sebagai pengobatan atau penelitian kadang menjadi tidak jelas, sehingga masih terjadi berbagai penyimpangan norma-norma etika. Oleh karena, itulah pada sidang ke-20 World hezlth Assembly di Tokyo tahun 1975 Deklarasi Helsinki I di revisi, disebut Deklarasi Helsinki II adalah terdapatnya peraturan yang mengharuskan protocol penelitian manusia ditinjau lebih dahulu oleh suatu panitia untuk ‘pertimbangan, tuntunan, dan komentar’. Juga harus dicantumkan pada protokol bahwa telah dilakukan pertimbangan etika dan hasil penelitian tidak boleh dipublikasi jikalau tidak ada ethical clearence. Dengan demikian maka mulailah dibentuk Panitian-panitia etika kedokteran di semua lembaga yang menyelenggarakan penelitian.