etika interaksi

27
ETIKA INTERAKSI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Masyarakat sejak zaman dahulu terdiri dari dua bagian, laki-laki dan perempuan. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk menunaikan kegiatan kehidupan keseharian, baik yang menyangkut ladang-ladang ibadah khusus ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan pada umumnya. Mereka bukanlah dua bagian yang saling asing dan saling terpisah, akan tetapi saling memerlukan satu dengan yang lainnya. Al Qur’an ,maupun As Sunnah mencatat peristiwa adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan sejak zaman dahulu. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa interaksi antara laki- laki dan perempuan bukanlah hal baru di zaman yang sudah banyak kerusakan saat ini. Akan tetapi di zaman Nabi-Nabi terdahulu sampai zaman Nabi terakhir Muhammad saw, dijumpai adanya interaksi kedua jenis makhluk Allah tersebut yang menandakan kebolehannya.

Upload: hendri-hermawan

Post on 27-Oct-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ETIKA INTERAKSI

ETIKA INTERAKSI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Masyarakat sejak zaman dahulu terdiri dari dua bagian, laki-laki dan perempuan.

Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk menunaikan kegiatan

kehidupan keseharian, baik yang menyangkut ladang-ladang ibadah khusus ataupun

dalam kegiatan kemasyarakatan pada umumnya. Mereka bukanlah dua bagian yang

saling asing dan saling terpisah, akan tetapi saling memerlukan satu dengan yang lainnya.

Al Qur’an ,maupun As Sunnah mencatat peristiwa adanya interaksi antara laki-

laki dan perempuan sejak zaman dahulu. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa interaksi

antara laki-laki dan perempuan bukanlah hal baru di zaman yang sudah banyak kerusakan

saat ini. Akan tetapi di zaman Nabi-Nabi terdahulu sampai zaman Nabi terakhir

Muhammad saw, dijumpai adanya interaksi kedua jenis makhluk Allah tersebut yang

menandakan kebolehannya.

Interaksi Laki-laki dan Perempuan dalam Al Qur’an

Dalam Al Qur’an kita mendapatkan kisah Musa di waktu muda berdialog dengan

dua akhwat, yaitu dua putri seorang bapak tua, Nabi Syu'aib. Musa bertanya kepada

keduanya, dan mereka pun menjawab secara wajar. Musa bahkan akhirnya membantu

mereka dengan sopan. Kisah ini dapat kita baca dalam Al Qur’an :

Page 2: ETIKA INTERAKSI

"Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana

sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang

orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambat (ternaknya). Musa

berkata, "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu) ?”

“Kedua perempuan itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternaknya),

sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami

adalah orang tua yang telah lanjut usianya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk

(menolong) mereka, kemudian dia kembali ke tempat teduh lalu berdo'a, "Ya Tuhanku

sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan

kepadaku”.

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu

berjalan dengan rasa malu, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar

ia memberi alasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala

Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai

dirinya).”

Syu'aib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang

yang zhalim itu. Salah seorang dari kedua perempuan itu berkata, "Ya bapakku ambillah

ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya ia orang yang paling

baik yang bisa kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ia juga orang yang kuat lagi dapat

dipercaya" (Al Qashash: 23-26).

Demikian pula kisah Maryam, Al Qur’an menggambarkan bahwa nabi Zakaria

masuk ke dalam mihrab yang dihuni oleh Maryam. Kemudian, Zakaria berinteraksi

dengannya:

Page 3: ETIKA INTERAKSI

"Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di

sisinya, Zakaria berkata, "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini ?

Maryam menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rizki

kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa terduga" (QS. Ali Imran: 37).

Al Qur’an juga menceritakan kisah tentang Ratu Saba', bahwa dia berusaha

mengumpulkan rakyatnya untuk dimintai pendapat mengenai Sulaiman:

"Berkata dia (Balqis), "Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam

urusanku (ini). Karena aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu

berada dalam majelis (ku)". Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki

kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang tinggi (dalam peperangan), dan

keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang kamu perintahkan".

Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya

mereka mimbanasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina dina, dan

demikian pulalah yang akan mereka perbuat" (An Naml: 32-34).

Ratu Balqis berbincang-bincang dengan nabi Sulaiman -alaihissalam- dan nabi

Sulaiman pun berdialog dengannya:

“Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya, "Serupa inikah

singgasanamu ? Dia menjawab, "Seakan-akan singgasana ini singgasanamu, kami telah

diberi pengetahuan sebelum dan kami adalah orang-orang yang berserah diri, Dan apa

yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan

keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir.”

Dikatakannya kepadanya, "Masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia melihat

lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkaplah kedua betisnya.

Page 4: ETIKA INTERAKSI

Berkatalah Sulaiman, "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.

Berkatalah Balqis, "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku

dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam" (An Naml:

42-44).

Dr Yusuf Al Qardhawi mengomentari kisah-kisah dalam Al Qur’an yang

menggambarkan adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut: “Tidak

bisa dikatakan, bahwa ini merupakan syari'at untuk umat sebelum kita, sehingga ia tidak

mengikat kita. Sebab Al Qur’an tidak mengemukakan kisah itu kepada kita, melainkan di

dalamnya mengandung petunjuk, peringatan dan pelajaran bagi orang-orang yang

berakal. Karena itu, pendapat yang benar, ialah bahwa syari'at orang sebelum kita selama

belum dihapus oleh syari'at kita juga berlaku bagi kita”.

Interaksi Laki-laki dan Permpuan dalam Hadits Nabi

Dari Abu Nadhar dikatakan bahwa Abu Murrah, budak dari Ummu Hani binti

Abu Thalib, bercerita kepadanya bahwa sesungguhnya dia mendengar Ummu hani binti

abu Thalib berkata, “Pada tahun penaklukan kota Mekah aku pergi menemui Rasulullah

saw. Aku dapati beliau sedang mandi, sementara Fatimah, putri beliau berusaha menutupi

beliau. Lalu aku mengiucapkan salam kepada beliau. Beliau bertanya: Siapa itu? Aku

menjawab: Ummu Hani binti Abu Thalib. Beliau berkata: Selamat datang ummu Hani....”

“Selesai mandi beliau berdiri melakukan shalat delapan rakaat dengan hanya

mengenakan sehelai kain. Usai shalat aku berkata: Ya Rasulallah, saudaraku Ali bin Abi

Thalib mengaku bahwa ialah pembunuh seseorang yang telah aku upah, yaitu Fulan bin

Page 5: ETIKA INTERAKSI

Hubairah. Rasulullah saw bersabda: Aku telah memberi upah orang yang kamu beri upah,

hai ummu Hani” (riwayat Bukhari dan Muslim).

Kisah di atas menunjukkan yang terjadi antara Nabi saw dengan seorang wanita

bernama ummu Hani binti Abu Thalib. Demikian pula Jabir bin Abdullah ra

menceritakan bahwa seorang wanita Anshar berkata kepada rasulullah saw, “Wahai

Rasulullah, maukah kamu aku buatkan sesuatu yang kamu bisa duduk di atasnya, sebab

aku punya tukang kayu”. Nabi saw menjawab, “Jika kamu mau” Jabir mengatakan, “lalu

wanita itu membuatkan mimbar untuk beliau. Apabila tiba hari Jumat, Nabi saw dudiuk

di atas mimbar yang dibuat untuk beliau tersebut” (riwayat Bukhari).

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Salah seorang budak perempuan warga kota

Madinah pernah membimbing tangan rasulullah saw dan mengajak beliau pergi kemana

yang beliau inginkan” (riwayat Bukhari). An Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin

Abu aufa, “Rasulullah saw tidak pernah menolak berjalan bersama para janda dan fakir

miskin untuk memenuhi hajat mereka” (riwayat An Nasa’i).

Dari Anas ra dikatakan bahwa ada seorang wanita memiliki persoalan yang

mengganjal pikirannya. Wanita itu berkata, “Ya rasulallah, sesungguhnya aku ada perlu

denganmu”. Nabi saw menjawab, “Wahai ibu Fulan, pilihlah, gang mana yang kamu

inginkan sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu”. Kemudian beliau pergi bersama

wanita itu melewati suatu gang sampai keperluannya selesai (riwayat Muslim).

Riwayat di atas dan masih banyak lagi riwayat lainnya menunjukkan betapa

interaksi antara laki-laki dan perempuan di zaman Nabi serta sahabat terjadi dengan

sangat wajar dan manusiawi. Tidak seperti yang digambarkan oleh beberapa kalangan

yang beranggapan bahwa di zaman Nabi, tidak ada interaksi antara laki-laki dan

Page 6: ETIKA INTERAKSI

perempuan. Seakan-akan ada batas yang sangat ketat antara laki-laki dan perempuan

sehingga mereka tidak bisa saling berinteraksi.

Etika Interaksi

Dengan demikian bisa dipahami bahwa syariat Islam tidaklah melarang adanya

interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai kegiatan yang makruf. Akan

tetapi syariat memberikan batasan dan rambu-rambu agar dalam berinteraksi bisa tetap

menjaga kebaikan dan tidak keluar dari koridor syariat.

Di antara etika yang ditetapkan syariat dalam kaitan dengan interaksi antara laki-

laki dan perempuan adalah sebagai berikut:

1. Menutup Aurat

Kaum laki-laki dan wanita beriman hendaknya senantiasa menutup aurat mereka

tatkala melakukan interaksi. Islam tidak menghalangi adanya interaksi antara laki-laki

dan wanita selama ada kepentingan dan kepatutan yang tidak bertentangan dengan

syariat, akan tetapi menuntunkan kepada mereka agar menjaga diri dari fitnah dengan

menutup aurat mereka masing-masing.

Allah Ta’ala telah berfirman:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak

padanya dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).

Hendaknya kaum perempuan ketika keluar rumah menunaikan tugas sosial dan

politik senantiasa menggunakan pakaian yang menutup aurat, tidak transparan, tidak

ketat, tidak menampakkan bagian-bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat laki-laki

nonmahram.

Page 7: ETIKA INTERAKSI

Aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak

tangan, sebagian ulama memasukkan pula tumit dalam pengecualian ini. Hal ini telah

dengan gamblang diuraikan pada bagian Pakaian Wanita Muslimah dan Perhiasan Islami.

2. Menjaga Pandangan

Kendatipun telah menutup aurat, Islam menuntunkan kepada laki-laki dan wanita

beriman agar mereka bisa menjaga dan menahan pandangan mereka. Allah Ta’ala

berfirman:

“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang

demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” (An Nur: 31).

Yang dimaksud dengan menahan pandangan bukanlah sama sekali tidak boleh

saling melihat, sebab hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Ibnu Daqiq al Id berpendapat

bahwa lafazh min dalam ayat tersebut menunjukkan tab’idh atau sebagian. “Tidak ada

pertikaian bahwa perempuan –ketika khawatir akan terjadi fitnah- haram baginya

melihat. Ini satu kondisi. Akan tetapi, ayat tersebut tidak mewajibkan menahan

pandangan secara mutlak, atau pada kondisi lain yang berbeda dari yang baru

disebutkan”, demikian tulis Ibnu Daqiq al Id.

Dengan demikian, pandangan yang tidak dibolehkan adalah memandang aurat,

atau memandang yang menimbulkan fitnah berupa rangsangan syahwat dan sebagainya.

Iyadh berkata, “Menahan pandangan wajib hukumnya dalam semua kondisi yang

menyangkut aurat dan yang semisalnya. Tetapi kadang-kadang wajib untuk suatu kondisi

dan tidak pada kondisi yang lain kalau tidak menyangkut aurat”.

Dalam kitab Fathul Bari, mengenai perempuan dari kabilah Khats’am, disebutkan,

“Fadhal bin Abbas –seorang anak muda yang tampan- melihat perempuan tersebut dan ia

Page 8: ETIKA INTERAKSI

mengagumi kecantikannya. Lalu Nabi menoleh kepada Fadhal, sedangkan Fadhal masih

melihat perempuan tersebut. Nabi mengulurkan tangannya untuk meraih dagu Fadhal dan

memalingkan mukanya dari melihat perempuan itu”.

Ibnu Bathal –salah seorang pensyarah kitab Shahih Bukhary- berkata, “Dalam

riwayat tersebut terdapat perintah untuk menahan pandangan karena takut terjadi fitnah.

Konsekuensinya, apabila aman dari fitnah, melihat saja tidaklah dilarang”. Sedangkan Al

Hafizh Ibnu Hajar menambahkan, “Hal ini dipertegas dengan kemungkinan bahwa Nabi

saw tidak akan memalingkan muka Fadhal seandainya dia tidak terus menerus melihat

perempuan karena kagumnya sehingga dikhawatirkan dia terjebak ke dalam fitnah”.

3. Tidak Mendayu-dayukan Suara

Teramat banyak hal yang menarik dari para wanita bagi laki-laki, di antaranya

adalah suara wanita. Al Qur’an maupun Sunnah Nabi tidak pernah melarang wanita

berbicara, termasuk kepada kaum laki-laki, akan tetapi memberikan batasan agar

berbicara dengan suara apa adanya, tidak dibuat-buat menjadi merdu atau sayu dan

mesra, sehingga menimbulkan penyakit di hati orang-orang yang tidak kuat imannya.

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang-

orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al

Ahzab: 32).

Yang dimaksud dengan “janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah sikap

membuat-buat suara menjadi tidak seperti biasanya, atau mendayu-dayukan suara, yang

akan menimbulkan persepsi atau khayalan bagi pendengarnya. Wanita yang sengaja

mendayu-dayukan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki akan bisa menimbulkan

Page 9: ETIKA INTERAKSI

semacam “harapan” kepada laki-laki tersebut, sehingga laki-laki bisa bertambah berani

dan agresif terhadap wanita tersebut.

Akan tetapi apabila suara wanita tersebut dasarnya memang lembut dan merdu,

maka juga tidak perlu dibuat-buat dengan dikasarkan atau dikeraskan supaya laki-laki

menjadi takut. Yang dikehendaki hanyalah sikap yang wajar dalam berbicara, tidak

menyengaja menimbulkan gangguan atau fitnah kepada lawan jenisnya dengan suara.

4. Keseriusan Agenda Interaksi

Islam tidak menghendaki adanya interaksi yang hanya sekedar iseng atau berada

dalam kesia-siaan, tanpa kejelasan agenda. Hendaknya ada suatu agenda yang serius

sehingga kaum laki-laki berinteraksi dan berbincang dengan kaum perempuan. Jika tidak

ada suatu agenda yang berarti, dikhawatirkan interaksi akan menjadi sebuah pintu

munculnya fitnah lawan jenis. Firman Allah Ta’ala:

“Dan ucapkanlah olehmu perkataan yang baik” (Al Ahzab: 32).

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa topik pembicaraan dalam interaksi antara

laki-laki dan perempuan haruslah dalam batas-batas kebaikan dan tidak mengandung

kemungkaran. Jika pembicaraan sudah menyangkut hal-hal yang mungkar, maka

interaksi harus dihentikan dan dihindari.

Jika pertemuan itu sendiri dimaksudkan untuk sesuatu kemungkaran, tentu saja

terlarang secara syar’i, bukan karena adanya interaksi laki-laki dan perempuan tetapi

karena maksud interaksi itu sendiri yang memang telah tertolak syar’i. Tak dibenarkan

interaksi laki-laki dan perempuan yang berkonotasi iseng, tanpa ada keseriusan agenda di

dalamnya. Tidak ada maksud lain dari larangan ini kecuali menjaga kebaikan kaum

Page 10: ETIKA INTERAKSI

muslimin dan muslimah, serta seluruh masyarakat pada umumnya agar tidak tergelincir

ke dalam fitnah.

Khuwait bin Zubair berkata, “Kami singgah bersama Rasulullah saw di Marrazh

Zhahran. Ketika keluar dari tenda aku melihat kaum perempuan sedang berbincang-

bincang. Aku tertarik kepada mereka lalu aku kembali lagi ke tenda. Sampai dalam tenda

aku membuka peti pakaian dan aku keluarkan pakaian dan perhiasan yang bagus-bagus.

Kemudian aku pergi kembali untuk ikut duduk dan ngobrol bersama kaum perempuan

tersebut”.

Rasulullah saw datang dan berkata kepadaku, “Hai Abu Abdullah!” Ketika

melihat Rasulullah saw aku terperanjat dan tidak tahu apa yang harus aku katakan.

Akhirnya aku berkata, “Wahai Rasulullah, untaku liar dan melawan. Karena itu aku ingin

mencari pengikatnya”.

Kemudian Rasulullah saw berjalan, dan aku mengikutinya. Lalu Rasulullah saw

melemparkan selendangnya padaku dan masuk ke sela-sela pohon arak. Seolah-olah aku

dapat melihat putih punggung Rasul dari balik kehijauan pohon arak tersebut. Beliau

buang hajat, berwudhu, lalu kembali lagi. Kulihat air mengalir dari jenggot ke dada

beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku, “Hai Abu Abdullah, apa kabar untamu yang

liar itu?”

Kemudian kami berangkat. Setelah itu, setiap kali bertemu, tidak ada yang beliau

ucapkan kepadaku kecuali, “Assalamu ‘alaikum, wahai Abu Abdullah, apa kabar untamu

yang liar itu?” (Riwayat Thabrani).

Page 11: ETIKA INTERAKSI

Hadits tersebut memberikan gambaran arahan Rasul saw agar kaum laki-laki tidak

terlibat dalam interaksi dengan kaum perempuan yang berkonotasi iseng, tanpa

keseriusan agenda interaksi.

5. Menghindari Jabat Tangan pada Situasi Umum

Jabat tangan antara laki-laki dan perempuan tidak pernah dilakukan atau

dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat. Beberapa nash dari sunnah Rasul saw bahkan

menunjukkan diharamkannya menyentuh kulit jika disertai dengan syahwat. Seperti

hadits dari Ma’qil bin Yassar, bahwa Rasul saw bersabda:

“Ditusuk di kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi besar lebih

baik daripada memegang-megang perempuan yang tidak halal baginya” (Riwayat

Thabrani).

Ungkapan min an yamassa imra’atan dalam hadits tersebut bermakna menyentuh

dengan tangan untuk mendapatkan kenikmatan, atau menyentuh dengan syahwat.

Sebagaimana kondisi masyarakat di zaman sekarang, dimana mereka berinteraksi tanpa

batas. Laki-laki memegang-megang tubuh perempuan, dan sebaliknya, untuk

mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dalam berhubungan tersebut. Inilah yang

diharamkan.

Sementara sebagian nash menunjukkan kebolehan menyentuh secara langsung

atau tidak langsung ketika ada kebutuhan dan aman dari fitnah. Seperti kisah Anas ra

bahwa Rasulullah saw masuk kepada Ummu Haram binti Milhan, lalu ia menjamu makan

Rasul saw. Ketika itu Ummu Haram di bawah (isteri) Ubadah bin Shamit. Rasulullah saw

masuk kepada perempuan tersebut. Perempuan itu menjamu makan Rasul saw dan

menyisir rambut beliau” (Riwayat Bukhary dan Muslim).

Page 12: ETIKA INTERAKSI

Menyisir rambut berarti menyentuh kepala dan rambut Nabi saw dengan alat sisir

yang dipegang oleh akhwat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw tidak

melarang sahabiyat wanita menyisir dan menyentuh rambut beliau dengan alat sisir,

karena diyakini aman dari fitnah.

Berjabat tangan secara umum tidak disenangi oleh Rasulullah saw sebagai

saddudz dzara’i. Beliau juga tidak pernah berjabat tangan dengan kaum perempuan

tatkala melakukan pembaitan kepada mereka. A’isiyah ra berkata:

“Tidak, demi Allah, tangan Rasul tidak pernah menyentuh tangan perempuan

sama sekali dalam berbaiat” (Riwayat Bukhary dan Muslim).

Berjabat tangan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dalam membai’at

sahabiyat, namun ada riwayat bahwa beliau saw bersentuhan kulit dengan perempuan,

yang kemudian dimaknai sebagai “peluang kebolehan” selama ada jaminan aman dari

fitnah dan ada alasan yang patut. Di antara argumen yang bisa digunakan menjelaskan

masalah ini adalah, pertama, bahwa larangan bersentuhan kulit berlaku apabila disertai

dengan syahwat dan menimbulkan fitnah.

Kedua, Anas ra menceritakan bahwa ada seorang hamba perempuan warga

Madinah yang membimbing tangan Rasulullah saw dan berangkat bersama Rasulullah

kemana yang ia kehendaki (Riwayat Bukhary).

Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan, “Dalam riwayat Ahmad melalui Ali bin

Zaid dari Anas ra bahwa budak perempuan itu adalah salah seorang budak perempuan

warga Madinah. Ia datang dan memegang tangan Rasulullah. Beliau saw tidak

melepaskan tangan budak perempuan itu sehingga budak perempuan itu pergi bersama

Rasulullah saw kemana yang ia kehendaki”.

Page 13: ETIKA INTERAKSI

Untuk itulah sikap yang utama adalah menguindari jabat tangan. Apabila terdapat

kondisi yang khusus atau sulit dihindari, maka jabat tangan dilakukan seperlunya dengan

menjaga agar tidak sampai menimbulkan kesenangan syahwat akibat sentuhan kulit

tersebut.

6. Memisahkan Laki-laki dari Perempuan dan Tidak Berdesakan

Sebagaimana dalam shalat, kaum laki-laki terpisahkan dari kaum perempuan,

maka demikian pula etika yang semestinya diterapkan dalam interaksi sosial. Kaum

perempuan ditempatkan pada suatu bagian tertentu agar tidak berdesak-desakan dengan

kaum laki-laki.

Satu riwayat menyebutkan Rasulullah saw keluar dari masjid, lalu bercampur

baur dengan perempuan di jalan. Rasul saw bersabda kepada kaum perempuan,

“Perlahanlah atau mundurlah (perempuan) sedikit. Kalian tidak berhak menguasai jalan,

kalian harus berjalan di pinggir-pinggirnya”. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya

pemilahan laki-laki dan perempuan agar tidak bercampur baur dan berdesak-desakan.

Etika ini dimaksudkan agar tidak memunculkan peluang fitnah yang terjadi dari

ikhtilath atau berdesak-desakannya laki-laki dan perempuan dalam sebuah majelis atau

suasana. Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat, “Yang penting di sini kita tegaskan, bahwa

tidak semua ikhtilat itu dilarang sebagaimana dipahami oleh para da’i ekstrem dan sempit

pemikirannya; dan tidak pula setiap ikhtilat itu diperbolehkan sebagaimana diikuti para

da’i sekular yang suka mengekor Barat… “

“Kesimpulannya, bahwa pertemuan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya

diperbolehkan dan tidak dilarang, bahkan kadang-kadang diperlukan jika tujuannya

adalah kerja sama dalam mencapai tujuan yang mulia. Seperti dalam majelis ilmu yang

Page 14: ETIKA INTERAKSI

bermanfaat, dan amal shalih, atau proyek kebajikan, atau jihad yang diharuskan, dan lain

sebagainya yang menuntut potensi prima dari dua jenis manusia, serta kerja sama antara

keduanya di dalam merencanakan, mengarahkan dan melaksanakan”.

7. Menghindari Khalwat

Yang dimaksud dengan khalwat adalah berdua-duaan antara seorang wanita

dengan seorang laki-laki di tempat yang sepi. Kegiatan khalwat seperti itu bisa

mendatangkan kemudharatan, walaupun tujuannya adalah untuk melakukan kebaikan.

Nabi saw bersabda:

“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali

disertai mahramnya” (Riwayat Bukhary).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan

berkhalwat dengan perempuan nonmahram. Pendapat tersebut diterima secara bulat oleh

para ulama’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai apakah orang yang bukan

mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam masalah ini, seperti perempuan-

perempuan yang dipercaya misalnya. Dalam hal ini boleh saja, sebab orang-orang seperti

mereka itu tipis kemungkinan akan dituduh atau dicurigai”.

Khalwat yang dimaksud di sini tidak mencakup hal-hal berikut:

Pertama, khalwat di depan orang banyak. Anas ra menceritakan bahwa ada

seorang perempuan dari kalangan Anshar datang kepada nabi saw. Lalu Nabi saw

berduaan dengannya dan berkata, “Sesungguhnya kalian (kaum Anshar) adalah orang

yang paling saya cintai” (Bukhary dan Muslim).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar, “Rasul saw tidak berkhalwat dengan

perempuan itu sehingga diri mereka tertutup dari pandangan orang lain, bahkan tidak

Page 15: ETIKA INTERAKSI

berkhalwat sehingga pembicaraan mereka tidak didengar orang lain”. Al Hafizh juga

menambahkan, “Hadits itu juga menunjukkan bahwa pembicaraan perempuan

nonmahram yang bersifat rahasia tidaklah tercela dalam agama jika aman dari fitnah”.

Kedua, dua atau tiga laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan. Abdullah

bin Amr bin Ash menceritakan bahwa Rasul saw bersabda, “Setelah hari ini, seorang

laki-laki tidak diperbolehkan masuk menemui perempuan yang suaminya tak ada, kecuali

dia bersama seorang atau dua orang laki-laki lain” (Riwayat Muslim).

Imam Nawawi berkata, “Secara zhahir hadits ini membolehkan dua atau tiga

orang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan nonmahram. Akan tetapi, pendapat

yang masyhur di kalangan sahabat kami adalah mengharamkannya. Lalu hadits itu

ditakwilkan untuk sekelompok orang yang tak mungkin melakukan perbuatan keji karena

keshalihan dan kealiman mereka atau karena lainnya. Al Qadhi telah mengisyaratkan

kepada pentakwilan seperti itu”.

Ketiga, seorang laki-laki berkhalwat dengan sejumlah perempuan. Imam Nawawi

berkata, “Seorang laki-laki mengimami seorang perempuan nonmahram di tempat yang

sepi diharamkan. Tetapi jika ia mengimami beberapa orang perempuan nonmahram di

tempat yang sepi maka ada dua pendapat. Namun jumhur ulama’ memperbolehkan”.

8. Meminta Izin Suami jika Menemui Perempuan yang Suaminya Tidak Bepergian

Jika seorang laki-laki hendak bertemu atau berbicara dengan seorang wanita,

hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya apabila suaminya tidak

bepergian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari rasa kecemburuan suami

yang mengetahui isterinya berbincang dengan laki-laki sementara ia ada di rumah dan

tidak dimintai izin terlebijh dahulu.

Page 16: ETIKA INTERAKSI

Rasul saw bersabda, “…dan dia (isteri) tidak boleh mengizinkan orang lain

masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan izin (suami)nya”. Menurut riwayat Muslim,

“Dia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumahnya sedangkan si suami ada,

kecuali dengan izin suaminya”.

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menutup pintu-pintu fitnah yang mungkin

muncul dalam berinteraksi dengan perempuan yang telah bersuami. Kewajiban meminta

izin kepada suami jika ia berada di rumah dipertegas dengan riwayat yang menyebutkan

bahwa Amr bin Ash datang ke rumah Ali bin Abi Thalib untuk suatu keperluan, tetapi Ali

tidak di rumah. Ia bolak-balik dua sampai tiga kali, namun Ali tetap tidak di rumah.

Setelah itu Ali datang dan berkata kepadanya, “Jika kamu memiliki keperluan

kepadanya (isteri Ali) apakah kamu tidak bisa masuk menemuinya?” Amr menjawab,

“Kami dilarang menemui para isteri kecuali seizin suaminya” (Riwayat Muslim). Adapun

dalil yang menegaskan tidak wajibnya meminta izin dalam kondisi suaminya tidak berada

di rumah, sedangkan ada keperluan mendesak untuk menemui isterinya adalah sabda

Rasul saw:

“Setelah hari ini, seorang laki-laki tidak diperbolehkan masuk menemui

perempuan yang suaminya tidak ada kecuali dia bersama seorang atau dua orang

lelaki” (Riwayat Muslim).

9. Menjauhi Perbuatan Dosa

Hendaklah kaum laki-laki dan perempuan beriman senantiasa menjauhi perbuatan

dosa dalam berinteraksi. Perbuatan dosa ini bisa terjadi dalam tujuan pembicaraan, materi

permbicaraan, cara dan gaya berbicara, dan lain sebagainya. Firman Allah Ta’ala:

“Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi” (Al An’am: 120).

Page 17: ETIKA INTERAKSI

Di antara dosa yang tampak adalah meninggalkan etika syar’i dalam berinteraksi

dengan lawan jenis. Sedangkan dosa yang tak tampak adalah berkembangnya perasaan

senang terhadap sesuatu yang haram dan berharap bisa mendapatkan yang lebih banyak

lagi. Hendaknya laki-laki dan perempuan beriman senantiasa menjaga diri mereka agar

dalam berinteraksi terjauhkan dari dosa-dosa yang tampak maupun tersembunyi.

Demikianlah beberapa etika syar’i berkaitan dengan keterlibatan kaum perempuan

dalam bidang sosial dan politik. Keseluruhannya bertujuan untuk menjaga akhlaq dan

kebaikan umjat beriman dan juga masyarakat vsecara keseluruhan, agar tidak terjatuh ke

dalam keburukan. Tidak didapatkan gambaran tentang larangan interaksi wanita dalam

kancah publik secara umum. Yang kita dapatkan dari sirah sahabiyah justru potret jati diri

muslimah yang utuh, lengkap dengan segala peran yang mereka lakukan di bidang

sosial, profesi maupun politik.

Sebagai penguat, kita nukilkan pernyataan Dr. Abdul Halim Muhammad Abu

Syuqah, “Perempuan bukanlah aurat yang seharusnya ditutupi dari orang lain sampai

tertutup seluruh tubuhnya, mukanya, suaranya, dan bahkan namanya. Bila perempuan

memiliki aurat yang harus ditutup dari orang lain, maka laki-laki pun demikian juga.

Perempuan memiliki jati diri yang utuh, tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian

orang”.

“Ada yang menggambarkan bahwa perempuan adalah manusia yang polos, lemah

akalnya dan mudah ditipu dengan kata-kata manis. Ada lagi yang menggambarkan bahwa

perempuan adalah makhluk yang jahat, sumber mala petaka dan tidak memiliki keahlian

selain tipu daya. Bila kadang-kadang pada diri perempuan tampak beberapa kelemahan,

maka sesungguhnya demikian pula pada diri laki-laki”.

Page 18: ETIKA INTERAKSI

Wallahu a’lam bish shawab.