etika guru dalam proses belajar mengajar...
TRANSCRIPT
ETIKA GURU
DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM
MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI
DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh :
EDI HARIYANTO
NIM. 053111324
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Edi Hariyanto
NIM : 053111324
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi ini secara kesuluruhan adalah hasil penelitian
penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 9 Juni 2011
Saya yang Menyatakan,
Edi Hariyanto NIM:053111324
iii
KEMENTERIAN AGAMA R.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan Semarang
Telp/Fax 7601295, 7615387 Semarang 50185
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan:
Judul : Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam
Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim
Wal Muta’allim.
Nama : Edi Hariyanto
NIM : 053111324
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam.
Telah diujikan dalam sidang munaqosyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana dalam ilmu pendidikan Islam.
Semarang, 23 Juni 2011
DEWAN PENGUJI
Ketua, Sekretaris,
H. Mursid, M.Ag. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag.
NIP. 19670305 200112 1 001 NIP. 19780930 200312 1 001
Penguji I, Penguji II,
H. Abdul Kholiq, M.Ag. Amin Farih, M.Ag.
NIP. 19710915 199703 1 003 NIP. 19710614 200003 1 002
Pembimbing I, Pembimbing II
Dr. H. Ruswan, M.A. Syamsul Ma’arif, M.Ag.
NIP. 19680424 199303 1 004 NIP. 19741030 200212 1 002
iv
NOTA PEMBIMBING Semarang, 8 Juni 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam
menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal
Muta’allim.
Nama : Edi Hariyanto
NIM : 053111324
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing I
Dr. H. Ruswan, M.A.
NIP. 19680424 199303 1 004
v
NOTA PEMBIMBING Semarang, 8 Juni 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
Di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam
menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal
Muta’allim.
Nama : Edi Hariyanto
NIM : 053111324
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing II
Syamsul Ma’arif, M.Ag.
NIP. 19741030 200212 1 002
vi
ABSTRAK
Judul : Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam
menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim
Wal Muta’allim.
Penulis : Edi Hariyanto
NIM : 053111324
Skripsi ini membahas etika guru dalam proses belajar mengajar agama
Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal muta’allim.
Kajianya dilatarbelakangi oleh pentingnya peran etika sebagai pondasi pokok
dalam pendidikan Islam. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab
permasalahan: Bagaimana etika guru dalam proses belajar mengajar agama
Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim?.
Penelitian ini dilakukan melaui metode library reseach (kajian pustaka)
dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis secara non statistic, dengan data primer sebagai
sumber data utama dan sumber data skunder sebagai sumber data pendukung.
Adapun metode analisis datanya menggunakan metode analisis deskriptif.
Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non
statistik.yakni analisis untuk mengungkapkan gagasan pemikiran tokoh yang
diteliti serta interpretasi data sebagai pendukung dalam menyampaikan
pendapat dan pemikiran tokoh yang diteliti.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam dalam kitab
Adabul Alim Wal Muta’allim meliputi:
1. Etika Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh
setiap pribadi guru
2. Etika Guru dalam proses belajar mengajar
3. Etika bagi Guru terhadap murid
4. Etika terhadap kitab sebagai alat pelajaran
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai etika yang harus dipedomani
oleh guru masih sangat relevan untuk diterapkan oleh guru dalam proses
belajar mengajar agama Islam pada saat ini. Hal ini juga dapat dijadikan
sebagai manivestasi kompetensi yang ia miliki untuk menggapai derajat
tertinggi baik dalam pandangan manusia maupun pandangan Tuhan.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang berkat
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya skripsi penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “ Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam
menurut pemikiran KH. Asy’ari dalam kitab Adabul AlimWal Muta’allim”
dapat disajikan, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada
Rasulullah SAW yang telah menuntun manusia ke jalan yang telah diridhai
Allah.
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu demi kelancaran dalam penulisan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Dr. Sudja’i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Dr. H. Ruswan M.A., selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi.
3. Syamsul Ma’arif, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi.
4. Nasiruddin, M. Ag., selaku Kepala jururusan program studi Pendidikan
Agama Islam.
5. H. Mursid, M.Ag., selaku sekretaris jururusan program studi Pendidikan
Agama Islam.
6. Andi Fadhlan Spd., M.Si. selaku dosen Wali studi serta Bapak, Ibu dosen
dan segenap karyawan/wati yang secara langsung ikut berpartisipasi.
7. Orang tua tercinta, yang telah membesarkan, mendidik, dan menyayangi
dengan sepenuh hati.
8. KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh pondok sekaligus pengasuh
jiwaku.
9. Untuk seluruh Guru yang telah mendidik dan mengajar jiwa dan ragaku.
viii
10. Seluruh anggota keluarga, Kakak dan Adiku yang telah memberi dukungan
yang sangat berharga.
11. Ustad-ustad dan Sahabat-sahabat dipasantren “FUTUHIYYAH” Mranggen
Demak.
12. Sedulur tunggal kecer, Mas-Mas, Mbak-Mbak dan Adik-adik keluarga
besar UKM PSHT IAIN Walisongo. Tunjukkan “SEMANGAT SANG
JUARAMU” !!!
13. Sahabat-sahabat PAI C 2005, semoga Allah mempermudah jalan hidup
kita.
14. Seseorang yang ada dihatiku “Semoga Allah menjadikan engkau sebagai
penyejuk Jiwaku”.
15. Untuk seluruh Guru yang telah dipercaya oleh masyarakat. Wahai para
Guru...Masyarakat telah berani memberikan “harta termahal, buah hati dan
belahan jiwanya” untuk engkau didik. Apa yang engkau lakukan
terhadapnya adalah amanat terbesar yang nantinya akan dipertanggung
jawabkan kelak.
Teriring doa semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan dari
semuanya dengan sebaik-baik balasan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa
penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Namun demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya.
Semarang, 8 Juni 2011
Edi Hariyanto
NIM. 053111324
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ ii
PENGESAHAN ............................................................................................ iii
NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
BAB I : Pendahuluan
A. Latar belakang masalah ............................................................ 1
B. Penegasan Istilah ...................................................................... 8
C. Rumusan masalah..................................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat penulisan ................................................. 10
E. Kajian pustaka .......................................................................... 10
F. Metodologi penulisan ............................................................... 13
G. Sistematika penulisan skripsi ................................................... 15
BAB II : Berisi tinjauan umum tentang etika guru dalam proses belajar
Mengajar Agama Islam.
A. Guru dalam perspektif Islam .................................................... 17
B. Tinjauan Umum Tentang Etika Guru ....................................... 19
1. Pengertian Etika dan guru ................................................... 19
2. kode etik guru dalam Islam ................................................ 22
C. Kedudukan etika guru dalam proses belajar mengajar Islam... 24
BAB III : Biografi dan Pemikiran Pendidikan KH. Asy’ari dalam Kitab
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim
A. Biografi KH. Hasyim Asy'ari. Pertama ................................... 28
1. Sejarah Kehidupan K.H. Hasyim Asy’ari .......................... 28
2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 31
x
3. Amal dan Kiprah Perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari .......... 34
4. Karya-karya beliau ............................................................. 36
B. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru ................. 39
C. Signifikansi Pemikiran Pendidikan KH Hasyim Asy’ari ......... 40
BAB IV : Relevansi Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Menurut
KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim
A. Analisis Tujuan Pendidikan Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal
Muta’alim ................................................................................. 52
B. Analisis Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru
Dalam Proses Belajar Mengajar Dalam kitab Adabul Alim
Wal Muta’allim ........................................................................ 57
C. Kontribusi Konsep Etika Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar Serta Relevansi Dengan Sistem Pembelajaran Saat
Ini ............................................................................................ 64
BAB V : Penutup
A. Kesimpulan .............................................................................. 67
B. Saran-saran ............................................................................... 68
C. Penutup ..................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan ke dunia ini tanpa pengetahuan apapun, tetapi dalam
kelahirannya manusia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya
untuk menguasai berbagai pengetahuan. Dengan memfungsikan fitrah itu maka
diharapkan manusia dapat belajar dari lingkungan dan masyarakatnya.1
Diantara tanda dari fitrah itu adalah Allah telah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna dengan menganugerahkan berbagai potensi,
baik potensi jasmani (fisik), potensi spiritual (Qalbu) maupun potensi akal
fikiran. Maka dari potensi yang dimiliki itu manusia diposisikan sebagai
makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk lain. Allah SWT
berfirman dalam Al Qur’an surat At Tin ayat 4;
ô‰ s)s9 $uΖ ø) n= y{ z≈ |¡Σ M} $# þ’ Îû Ç|¡ômr& 5ΟƒÈθø) s? ∩⊆∪
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”.2
Seiring dengan perjalanan kehidupan manusia di dunia, tiga potensi yang
dianugerahkan tersebut tidaklah mudah untuk dapat berkembang dengan
sendirinya tanpa adanya proses interaksi yang melibatkan orang lain, karena
pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu
mengadakan proses interaksi dengan orang lain. Interaksi yang berlangsung di
sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi interaksi yang bernilai
edukatif jika interaksi itu dilakukan dengan sadar untuk meletakkan tujuan agar
manusia itu dapat merubah tingkah lakunya, pola fikir dan perbuatannya.
Interaksi yang bernilai edukatif dalam dunia pendidikan ini disebut dengan
1 Hery Nur Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani,
2003), hlm 1. 2 Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm.
1076.
2
“interaksi edukatif”.3 Dari pola interaksi ini dapat diketahui bahwa proses
interaksi pendidikan merupakan suatu proses yang sangat urgen untuk
memobilisasi fitrah tiga potensi tersebut. Dengan kata lain pendidikan
merupakan suatu proses untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh
manusia agar menjadi optimal.
Pada mulanya kewajiban mendidik secara langsung merupakan tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan oleh Allah kepada kedua orang tua agar
keturunan yang akan ditinggalkan oleh mereka tumbuh dan berkembang tidak
berada dalam keadaan lemah. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat
An Nisa’ ayat 9 yang berbunyi :
|·÷‚u‹ ø9 uρ šÏ% ©!$# öθs9 (#θä.t� s? ôÏΒ óΟ ÎγÏ ù= yz Zπ−ƒÍh‘ èŒ $̧ ≈ yèÅÊ (#θèù%s{ öΝ ÎγøŠn= tæ (#θà) −G u‹ù= sù ©! $# (#θä9θà) u‹ ø9uρ
Zωöθs% #́‰ƒÏ‰ y™ ∩∪
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”4
Namun seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman yang semakin
maju, nampaknya tugas dan peran mendidik telah mengalami pergeseran,
pergeseran itu dapat dilihat dari beralihnya peran mendidik yang semula hanya
tuntutan peran orang tua dan pada akhirnya bergeser pada tuntutan bahwa
seorang atau tenaga pendidik haruslah sebagai seorang atau tenaga profesional.
Jika dahulu anak-anak belajar apapun cukup hanya dari orang tua, maka di era
sekarang ini nampaknya pendidikan tidak cukup hanya mengandalkan dan
dilakukan sendiri oleh orang tua di dalam keluarga, mengingat kebutuhan
setiap anak yang semakin berkembang sesuai zamannya. Maka dalam hal ini
kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua dalam rangka menjalankan
3 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm. 11. 4 Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm.
116.
3
tanggung jawabnya adalah memberikan pendidikan anak lewat pengajaran
guru. Sebagaimana ungkapan KH Bisyri Mustofa dalam sebuah kitab syair
berbahasa jawa :
Ibu Bapak wajib mulang ing putrane #
lanang wadon nganti ngerti agamane
Lamun ora kongang wajib masrahake #
marang wongkang pinter koyo mondo’ake.5
Berbicara tentang pendidikan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari
sosok keberadaan guru atau pendidik, karena guru memiliki arti orang yang
mempunyai tugas mendidik. Guru bisa juga disebut pendidik, guru atau
pendidik merupakan unsur manusiawi yang menempati posisi dan memegang
peranan penting dalam pendidikan. Begitu pula proses pendidikan yang baik
baru akan terjadi manakala ada interaksi antara pendidik (guru) dengan anak
didik (murid) dalam situasi pendidikan. Selain itu dalam undang-undang RI
nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 39 dijelaskan bahwa “Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.6
Pada pasal 40 ayat 2 juga memberikan uraian tentang tanggung jawab
pendidik atau tenaga kependidikan yang berbunyi:
“Pendidik atau tenaga kependidikan berkewajiban: Menciptakan suasana
pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis; Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan
mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga,
profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya”.7
5 Bisyri Mustofa, Mitra Sejati, (Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan, t.t.), hlm. 8. 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 32. 7 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003…, hlm. 25-26.
4
Di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang guru dan dosen
pada Bab I Pasal 1 ayat 1 juga disebutkan “guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.8
Dari uraian pengertian tersebut dapat dipahami bahwa peran, tugas dan
tanggung jawab guru tidaklah ringan dan tidak hanya sebatas pada tugas
berangkat ke sekolah, menyampaikan materi dan kembali ke rumah. Namun
tugas, peran dan tanggung jawabnya dipertegas dengan keharusan mempunyai
sikap profesional dalam praktek proses kegiatan belajar mengajar yang
melingkupi mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
serta mengevaluasi.
Kegiatan proses belajar mengajar mengandung serangkaian hubungan
timbal balik antara pendidik dan peserta didik yang berlangsung pada situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi tersebut merupakan syarat
utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar, interaksi dalam proses
belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas. Hal ini bukan hanya
menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan
nilai dari diri anak didik (murid) yang sedang belajar.9
Pendidikan tidak bisa lepas dari kegiatan proses belajar mengajar karena
di dalam pendidikan mengandung serangkaian hubungan timbal balik antara
pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang berlangsung untuk mencapai
tujuan tertentu. Proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak
hanya berarti menyampaikan pesan berupa materi pelajaran atau ketrampilan,
melainkan penanaman sikap.
Pada hakikatnya proses belajar mengajar juga disebut sebagai proses
interaksi edukatif yang mengandung norma, semua norma itulah yang harus
8 Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 3. 9 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2000), hlm 1.
5
ditransfer kepada anak didik.10 Belajar dan mengajar merupakan dua proses
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dua kegiatan tersebut menjadi
terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi guru dengan anak didik,
atau anak didik dengan anak didik pada saat pembelajaran itu berlangsung.
Inilah makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses interaksi guru dengan
peserta didik. Sebagai makna utama, proses pembelajaran memegang peranan
penting untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif.11
Di dalam proses pembelajaran agama Islam, guru merupakan salah satu
komponen pembelajaran dan juga sebagai salah satu faktor penentu
keberhasilan pendidikan. Guru tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi
juga berperan dalam usaha pembentukan watak, tabiat, maupun pengembangan
sumber daya yang dimiliki oleh anak didik. Untuk itu peran guru tidak hanya
terbatas pada peran sebagai pengajar yang hanya transfer of knowledge
(memindahkan pengetahuan) dan transfer of skill (menyalurkan ketrampilan)
saja, tetapi peran keaktifannya diharapkan mampu mengarahkan, membentuk
dan membina sikap mental anak didik atau murid ke arah yang lebih baik,
sehingga pada peran yang ketiga ini guru diharapkan untuk dapat transfer of
value (menanamkan nilai-nilai).12 Baik peran itu terjadi dalam proses
pendidikan secara langsung (di sekolah) maupun tidak secara langsung (di
lingkungan masyarakat).
Dalam paradigma Jawa, kata guru diidentikkan dengan gu berarti
“digugu” dan ru yang berarti “ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena
guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki
wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan
ditiru (diikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya
segala tindak-tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh anak
didiknya.
10 Djamarah, Guru dan Anak Didik…, hlm. 11.
11 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2009), hlm. 40.
12 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik
Anak Sukses Masa Depan Dan Bermanfaat), (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 19.
6
Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan,
persoalan itu dapat dilihat dari mulai banyaknya kenakalan anak didik seperti
tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba dan kenakalan-kenakalan
lainnya. Hal ini lebih diperparah lagi dengan hadirnya persoalan-persoalan
yang justru datang dari seorang guru sendiri. Misalnya pada tahun 1997, di
salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang
tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan
anak didiknya. Di Surabaya, seorang guru olahraga menghukum siswa yang
terlambat datang ke sekolah dengan menghukum berlari beberapa kali putaran,
tetapi karena fisiknya yang lemah, siswa yang dihukum tersebut akhirnya
meninggal. Di Yogyakarta, pada 22 April 2002, ketika diadakan peringatan
Hari Kartini di salah satu SMUN, seorang siswa, karena tidak berbusana
‘kartinian’ ditelanjangi dihadapan rekan-rekannya hingga tinggal memakai
celana dalamnya saja.13 Ada juga kasus guru yang menempeleng anak
didiknya, guru mogok mengajar dan kasus lainnya.
Demikian rapuhkah pendidikan di negeri ini hingga aksi-aksi atau kasus-
kasus semacam itu cenderung terus meningkat dan masih sering terjadi sampai
sekarang. Padahal jika saja seorang guru tahu apa yang seharusnya dia perbuat
dan kerjakan sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak perlu harus terjadi, apalagi
kejadian itu terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah yang sepatutnya cara
penyelesaiannya dengan cara yang edukatif pula.
Sebenarnya jika dilihat dan dicermati dari semua kasus yang terjadi ini
adalah karena etika dasar yang telah ditanamkan oleh guru-guru terdahulu kini
telah mulai sirna, banyak orang yang lupa bahwa mencari ilmu dan
mengajarkan ilmu adalah pekerjaan suci dan mulia. Lebih-lebih lagi apabila
yang diajarkan adalah tentang ilmu agama. Dalam Islam ilmu adalah cahaya
Ilahi sehingga harus ditempuh pula dengan jalan yang luhur pula (etika) dalam
mencapainya, baik jalan itu adalah jalan yang harus ditempuh oleh anak didik
maupun oleh guru. Andai saja kasus-kasus semacam itu terus ada, tentu ilmu
13 Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan
Konsep, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm 2.
7
manfaat yang menjadi dambaan setiap pencari ilmu maupun yang
mengajarkannya tidak mungkinlah dapat diperoleh keduanya, malah sebaliknya
menjadi ghoiru nafi’.
Kedudukan etika dalam Islam dipandang sangat penting, karena etika
merupakan pengamalan dari ilmu, etika juga dipandang sebagai media efektif
penerimaan nur Ilahi dan sarana mencapai ilmu manfaat. Syekh Al Zarnuji
dalam kitab Ta’limul Mutallimnya menyebutkan bahwa setiap maksiat yang
dilakukan menjadi salah satu penyebab sulitnya ilmu masuk dalam hati
seseorang dan dari tercapainya ilmu manfaat. Karena ilmu pada dasarnya
adalah nur yang ditancapkan Allah kedalam hati, sedang maksiat justru
memadamkan cahaya itu.14
Dalam pendidikan Islam anak didik (murid) merupakan mitra kerja
dalam kebaikan yaitu bersama mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan.
Dalam konsep Islam, anak didik dan pengajar (guru) harus memperhatikan
beberapa aturan yang bersifat akhlaki agar memperoleh ilmu dan kemanfaatan
ilmunya.
Adapun diantara beberapa karya tentang etika dalam bidang pendidikan
yang telah ada di Indonesia dan masih eksis ada sampai saat ini adalah kitab
karya KH. Hasyim Asyari yang berjudul Adabul ‘Alim Wal Muta’allim yang
juga turut memberi pengaruh dalam menanamkan nilai etika pada perilaku
anak didik (murid) maupun guru khususnya dan pendidikan Islam di Indonesia
pada umumnya.
Sehubungan dengan adanya persoalan tersebut maka dirasa perlu adanya
pembahasan tentang etika yang menyangkut keseluruhan aspek yang
menyangkut nilai perilaku atau etika anak didik maupun guru, namun jika
melihat karya-karya yang sudah ada dan kebanyakan hanya memfokuskan
pada etika murid terhadap guru. Maka dalam Skripsi ini penulis tertarik untuk
membahas tentang perilaku atau etika, dengan memfokuskan pada pembahasan
perilaku atau etika guru dalam proses belajar mengajar menurut KH. Hasyim
Asyari dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.
14 Syeikh Al Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyah, t.t.), hlm. 42.
8
Dari uraian diatas, muncul sebuah gagasan untuk menyusun sebuah karya
ilmiah dengan tema yang menyoroti perilaku atau etika seorang guru dalam
proses belajar mengajar, oleh karena itu penulis memilih skripsi dengan judul
“ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA
ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL
‘ALIM WAL MUTA’ALLIM”.
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman judul skripsi ini, maka penulis perlu
memberikan pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam judul skripsi
ini.
1. Etika Guru
Etika menurut Zainudin Ali merupakan “kata yang berasal dari bahasa
Yunani yang berarti adat kebiasaan. Hal ini berarti sebuah tatanan perilaku
berdasarkan suatu sistem nilai dalam masyarakat tertentu”.15 Dalam Kamus
besar Bahasa Indonesia etika diartikan “ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral).”16
Sedangkan pengertian tentang guru atau pendidik menurut tokoh
barat antara lain dikemukakan oleh Pollios and James D. Young ia
mengatakan bahwa :
The teacher is “learned” he should know more than his student however,
he re cognizes that he does not know everything, and he is mainly mistake,
he is human. The teacher should be objective but the teacher, student
relationship is so close that it of ten may be difficult to be objective.17
Guru adalah pengajar dia harus tahu lebih banyak dari pada
muridnya akan tetapi dia tidak mengakui bahwa dia tidak tahu sesuatu dan
disebagian besar adalah pelajar. Guru adalah contoh bagi muridnya, dia juga
15 Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm 29.
16Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 383. 17 Earl V Pullias and James D young. Teacher is many things (USA. Faw cett. 1968) Hlm.
14
9
membuat kesalahan. Dia adalah objektif, tetapi hubungan antara guru dan
murid juga dekat mungkin sulit objektif.
Adapun yang dimaksud dengan etika dalam skripsi ini adalah segala
suatu yang berkaitan dengan norma, perilaku, perbuatan, kepribadian guru,
baik dalam praktek kegiatan belajar mengajar maupun di lingkungan
masyarakat.
2. Proses Belajar Mengajar
Proses menurut Muhibbin Syah adalah “kata yang berasal dari bahasa
latin processus yang berarti berjalan kedepan. Kata ini juga mempunyai
konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran
atau tujuan”.18
Belajar menurut Muhibbin Syah berarti “tahapan perubahan seluruh
tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif”.19 Suprijanto
mengartikan bahwa “proses kegiatan belajar adalah proses yang dilakukan
oleh anak didik atau murid dan kegiatan mengajar adalah kegiatan yang
dilakukan oleh guru, pendidik atau pembimbing”.20
Jadi proses belajar mengajar dalam skripsi ini maksudnya adalah
keterpaduan proses interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid)
yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku anak didik melalui
pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru).
3. Agama Islam
Agama Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah Pendidikan
agama Islam. Menurut Marimba “pendidikan agama Islam adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
18 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 1995), hlm. 113. 19 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 92.
20 Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: dari Teori Hingga Aplikasi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), hlm. 39.
10
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.”21
Adapun jika digabungkan antara rangkaian kata etika guru dalam
proses belajar mengajar agama Islam yang dimaksud dan ditekankan dalam
pembahasan dalam skripsi ini adalah segala etika, tingkah laku atau perilaku
guru yang berkaitan dengan norma-norma yang berlangsung dalam proses
kegiatan belajar anak didik dan memberi pengajaran Agama Islam pada
anak didik. Atau etika keterpaduan guru dalam proses interaksi antara
pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang diarahkan untuk mengubah
tingkah laku anak didik melalui pengalaman belajar yang dilakukan oleh
pendidik (guru). Di dalam skripsi ini penulis mengambil dan menekankan
pembahasan yang ada dalam kitab karangan KH. Hasyim Asy’ari sebagai
acuan sumber berfikir pokok (primer).
C. Rumusan Masalah
Berangkat dari kerangka dan latar belakang masalah diatas, maka
muncul beberapa permasalahan yang menjadi acuan pembahasan sebagai yaitu
bagaimana etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut
KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui etika guru dalam proses belajar
mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim
Wal Muta’allim.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Dari penelitian skripsi ini, maka secara teoritis diharapkan akan
diperoleh pengetahuan, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru
21 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1989),
hlm. 19.
11
dalam proses belajar mengajar Agama Islam dalam kitab Adabul ‘Alim Wal
Muta’allim.
2. Manfaat Praktis
Setelah manfaat secara teoritis dari skripsi ini diperoleh, maka
manfaat praktisnya diharapkan akan dapat dijadikan tuntunan atau sumber
informasi bagi guru dan murid dalam rangka mengupayakan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang optimal, baik di dalam maupun diluar
proses belajar- mengajar.
E. Kajian Pustaka
Topik dan kajian tentang pendidikan sejak dulu sampai sekarang terus-
menerus diperhatikan, baik di kalangan pakar ilmu pendidikan, maupun
praktisi pendidikan. Perhatiannya ini tidak dapat dilepaskan dari peran
pentingnya pendidikan itu sendiri. Dasar pertimbangan utama dan bersifat
umum adalah berupa belajar dan mengajar berlangsung secara interaktif yang
melibatkan berbagai komponen yang saling konsisten satu dengan yang lainnya
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pertama Skripsi Musarmadan yang berjudul Ahklak guru dan murid
dalam perspektif pendidikan Islam (studi atas pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim). Dalam skripsi ini, penulis hanya
memfokuskan tindakan murid kepada guru yang berkaitan dengan akhlak, dari
sisi guru penulis sama sekali tidak menyinggung kecuali sedikit.22
Kedua buku Drs. Sya’roni, M. Ag “Model Relasi Ideal Guru dan Murid,
Telaah atas pemikiran Al-Zarnuji dan KH. Hasyim Asy’ari”, berisi tentang dua
hal penting yang berkaitan dengan pemikiran keduanya yaitu pola hubungan
atau relasi antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar, dimana antara
Al-Zarnuji dan KH Asy’ari sama-sama memposisikan guru begitu terhormat
sebagai ‘alim, wara’ shalih dan sekaligus sebagai uswah. Adapun letak
perbedaan pemikiran antara keduanya dalam buku ini dijelaskan yaitu terletak
22Musarmadan, Ahklak Guru dan Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam (studi atas
pemikiran K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta’alim), (Semarang: IAIN
Walisongo, 2006).
12
pada bagaimana cara keduanya memposisikan guru dan murid, dalam
pandangan al-Zarnuji guru diposisikan sebagai orang yang dipatuhi dan murid
sebagai orang yang harus mematuhi dalam bentuk apapun, sebagai manifestasi
bentuk etika penghormatan murid terhadap guru. Sedangkan KH. Hasyim
Asy’ari yang sudah memasuki dalam tataran fase dunia modern memposisikan
guru dan murid sebagai orang yang sama sehingga dalam hal ini terjadi yang
namanya relasi kesederajatan (equality). Sebagai dampaknya, maka bukan saja
murid yang dituntut untuk berakhlak atau beretika, akan tetapi guru juga harus
mematuhi etika sehingga balancing antara keduanya.23
Ketiga tulisan Drs. H. Muhammad Ali, “Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar”, berisi tentang peran dan fungsi guru dalam proses belajar-
mengajar, dengan tujuan membantu para guru atau calon guru dalam
memahami persoalan keguruan yang dihadapi sehari-hari. Dalam buku ini,
penulis juga tidak menemukan mengenai bagaimana seharusnya guru dalam
memberikan contoh untuk berperilaku yang baik sebagai landasan bagi siswa
untuk menjadi manusia yang baik.24
Keempat, buku yang berjudul “Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan
Akhlak” yang ditulis oleh Tamyiz Burhanuddin. Dalam buku ini dikupas
metode pendidikan akhlak yang telah diterapkan di pesantren. Metode tersebut
berasal dari kitab Ta’lim Al-Muta’alim karya Syekh Al Zarnuji yang diadaptasi
oleh KH. Hasyim Asy’ari kemudian melahirkan karya yang berjudul Adabul
’Alim Wal Muta’allim yang menjadi acuan dasar bagi pendidikan akhlak di
pesantren-pesantren. Selain itu, buku ini sebagai telaah terhadap kitab Adabul
’Alim Wal Muta’allim yang menekankan pada aspek pendidikan santri di
pondok pesantren secara khusus.25
Kelima buku yang berjudul menjadi Guru favorit karya Asep Umar
Fakhruddin. Dalam buku ini dijelaskan mengenai kiat-kiat agar menjadi
23 Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan
KH. Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007). 24 Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Penerbit Sinar Baru
Algesindo, 2007). 25 Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001).
13
seorang untuk dapat menjadi guru favorit bagi anak didik, yaitu sebagai guru
yang patut diteladani digugu dan ditiru, baik secara Inteligensia (IQ),
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritualnya (SQ). Diantaranya
juga menjelaskan bagaimana agar guru dapat mengemban amanah besar
sebagai pendidik baik secara teoritis (akademis) dan sekaligus praktis
(praktis).26
Untuk membedakan skripsi ini dengan skripsi yang lain, maka penulis
memfokuskan pada aspek guru, khususnya tentang etika guru dalam proses
belajar mengajar agama Islam, mengingat banyaknya skripsi-skripsi atau
penelitian lain yang telah membahas tentang kewajiban beretika hanya khusus
bagi anak didik terhadap guru dan sedikit sekali yang memperhatikan dari segi
etika guru terhadap murid. Selain itu penulis mengambil kitab Adabul ‘Alim
Wal Muta’allim sebagai rujukan dalam pembuatan skripsi ini karena penulis
tertarik dengan gagasan dan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, dimana beliau
merupakan salah satu tokoh yang mempunyai pandangan jauh tentang konsep
pendidikan dengan mementingkan nilai-nilai etika sebagai dasar pendidikan
Islam.
F. Metode Penelitian
Pada dasarnya penelitian merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan cara sistematik dan terencana untuk menyelesaikan suatu masalah,
untuk itu dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa cara dalam
mengkajinya, adapun cara itu meliputi sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis library
research atau studi pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka.27 Atau penelitian kepustakaan
murni yang terkait dengan obyek penelitian.
26 Asep Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999).
27 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
hlm. 3.
14
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi
ini, penulis menggunakan metode dokumentasi sebagai cara untuk
mengumpulkan data peninggalan tertulis, Seperti arsip-arsip, teori, buku,
surat kabar, majalah yang berhubungan dengan pokok penelitian.28 Langkah
yang ditempuh adalah mencari tahu atau mengumpulkan data-data tertulis
sesuai dengan pembahasan. Adapun sumber datanya meliputi:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut
juga dengan data tangan pertama.29 Atau data yang langsung berkaitan
dengan obyek riset. Sumber data dalam penelitian ini adalah kitab Adabul
‘Alim Wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari.
b. Sumber Data Sekunder
Adapun sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat
pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek
penelitiannya.30 Dalam hal ini data sekundernya adalah buku-buku yang
mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari kitab
maupun buku dari sumber data primer.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis data yang berhasil
dihimpun, karena kajian ini bersifat kualitatif literer murni, maka analisis
yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik. Metode deskriptif yaitu
usaha untuk mendeskripsikan apa yang ada, pendapat yang sedang tumbuh.
28 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 181.
29 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 91.
30 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian…, hlm. 91.
15
Prosedur yang ada sedang berlangsung yang telah berkembang.31
Selanjutnya dianalisis dengan metode Interpretasi yang berarti menyusun
dan merakit atau merangkai unsur-unsur data yang ada dengan cara yang
baru.32 Metode ini digunakan dalam rangka untuk memperoleh arti dan
makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang
dilakukan.33 Metode ini digunakan setelah penulis membaca karangan KH.
Hasyim Asy’ari dan menangkap gagasan beliau lewat pemikiran dalam
kitabnya Adabul ‘Alim Wal Muta’allim dan berusaha menyusun dan
menuangkan kembali ide pemikiran beliau lewat interpretasikan data yang
baru.
Dengan adanya metode analisis ini, maka langkah yang ditempuh
untuk menyajikan fakta-fakta dan data secara sistematis dapat lebih
mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Metode-metode ini juga sangat
urgen untuk mengetahui kerangka berpikirnya KH. Hasyim Asy’ari
khususnya tentang etika guru dalam proses belajar mengajar dalam kitab
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim .
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis dan konsisten serta
dapat menunjukkan gambaran yang utuh dalam skripsi ini, maka penulis
menyusun dengan sistematika penulisan yang berisi sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal
seperti, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi,
penjelasan kata kunci, telaah pustaka, metode penulisan skripsi dan sistematika
penulisan skripsi.
Bab II berisi tinjauan umum tentang etika guru dalam proses belajar
mengajar agama Islam. Dalam bab ini akan dibahas tentang : Tinjauan etika
31 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982),
hlm 119. 32 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1992), hlm.
127. 33 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), hlm. 151.
16
meliputi: Pengertian Etika dan guru, kode etik guru dalam Islam. Guru dalam
perspektif pendidikan Islam dan kedudukan etika guru dalam proses belajar
mengajar Islam.
Bab III berisi tentang biografi KH. Hasyim Asy'ari. Pertama, sesuatu
yang berkaitan dengan penulis yaitu biografi K.H. Hasyim Asy’ari, latar
belakang pendidikan, amal dan perjuangan, serta karya-karya beliau. Kedua,
tentang isi kitab Adabul Alim Wal Muta’allim, yang meliputi: latar belakang
penyusunan, sistematika pembahasan, isi kitab, etika guru terhadap murid
dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.
Bab IV membahas tentang relevansi etika guru dalam proses belajar
mengajar menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal
Muta’allim. Dalam bab ini akan dibahas poin-poin sebagai berikut: (1) Analisis
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru dalam Proses Belajar
Mengajar Dalam Pendidikan. (2) Kontribusi Konsep Etika Guru dalam Proses
Belajar Mengajar serta Relevansi dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini. (3)
Tujuan Pendidikan dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.
Bab V adalah Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang meliputi:
Kesimpulan, saran-saran dan penutup. Dalam bagian terakhir skripsi, penulis
melengkapi dengan daftar pustaka, dan daftar riwayat hidup.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ETIKA GURU
DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM
A. Guru dalam Perspektif Islam
Guru diyakini menempati posisi kunci dalam pendidikan. Guru atau
pendidik juga merupakan sosok yang akan memberi pengaruh kepada murid
atau anak didiknya. Karena itu, seorang guru atau pendidik haruslah orang
yang dapat digugu dan ditiru sebagai panutan baik dari segi pribadi, ilmu dan
tingkah lakunya. Adapun guru yang ideal seharusnya memiliki kualifikasi-
kualifikasi tertentu, baik menyangkut jasmani, etika atau akhlak maupun
keilmuannya.
Selain itu walaupun tidak memberikan pengertian secara jelas tetapi Al-
Zarnuji salah seorang tokoh pendidikan klasik menggambarkan bahwa seorang
guru atau pendidik haruslah A’lam (menguasai materi), Arwa’ (memiliki
kematangan emosional) dan Al asan (berpengetahuan). Oleh karena itu dalam
hal ini beliau menyarankan agar para pencari ilmu mencari guru atau pendidik
yang mempunyai kualifikasi tersebut.1
Kata guru atau pendidik dalam bahasa Indonesia berarti orang yang
mengajar, dalam bahasa Arab antara lain disebut Mu’allim, artinya orang yang
banyak mengetahui dan juga mengandung makna bahwa seorang guru dituntut
untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu yang diajarkannya, serta menjelaskan
dimensi teoritis dan praktisnya serta membangkitkan anak didik untuk
mengamalkannya.2 Kata mu’allim ini biasanya digunakan para ahli pendidikan
sebagai sebutan untuk guru. Selain itu juga terdapat istilah yang juga berarti
guru atau pendidik seperti, mudarris, muaddib, murabbiy, ustadz, Syaikh atau
mursyid (sebutan untuk guru tasawuf), dan juga kyai. Dalam sejarah peradaban
Islam klasik telah mencatat banyak istilah yang dipakai untuk kata guru atau
1 Syeikh Al Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t.), hlm. 13.
2 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 210.
18
pendidik. Keberagaman istilah itu, di satu sisi menunjukkan tingkatan pendidik
itu sendiri. Namun disisi lain juga dapat menggambarkan spesialisasinya.3
Dalam Al-Qur’an sebutan untuk guru atau pendidik lebih banyak lagi
disebutkan, seperti: al-’Alim atau Ulama, Ulul ’Ilmi, Ulul al-Bab, Ulul Abshar,
al-Mudzakir, al-Muzakki, dan al-Murabbi yang kesemuanya tersebar pada
ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam al-Hadits kata pendidik antara lain
disebut dengan istilah ’Alim, seperti dalam hadits yang artinya:
)رواM ا=IارKG( اCE=CHIJ اوCE5D7G اوCDE7FG وA@?< ا=>ا:9 45678
“Jadilah orang yang ’alim (guru atau pendidik), atau orang yang belajar, atau pendengar (ilmu), dan jangan menjadi orang yang keempat (orang yang tidak memilih salah satu posisi tersebut) maka kamu akan binasa”.4 Guru atau pendidik adalah figur orang yang mempunyai kedudukan
terhormat dan juga mulia. Hal ini sebagaimana ungkapan al-Ghazali, “Makhluk
yang paling mulia di kerajaan langit adalah manusia yang mengetahui,
mengamalkan dan mengajar. Ia seperti matahari yang menerangi dirinya dan
orang lain…” Dari pernyataan tersebut dapat dipahami betapa besar dan
pentingnya profesi guru atau pendidik dibandingkan dengan profesi yang lain.
Pendidik menjadi perantara antara manusia, dalam hal ini anak didik- dengan
penciptanya, yakni Allah SWT. sehingga bisa dikatakan tugas pendidik sama
seperti tugas para utusan Allah. Rasulullah, sebagai Mu’allimul Awwal fil Islam
(pendidik pertama dalam Islam) telah mengajarkan ayat-ayat Allah kepada
manusia, menyucikan jiwa dari dosa, menjelaskan yang baik dan buruk, yang
halal dan haram dan berbagai tentang ajaran bermasyarakat. Dengan demikian
secara umum tugas pendidik adalah sama dengan tugas para Rasul.5
Tugas guru atau pendidik tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada, anak
didiknya saja, tetapi dia juga bertanggung jawab memberi petunjuk kepada
anak didik dalam meniti kehidupan, membekalinya dengan budi pekerti, etika,
akhlak, dan lain-lain yang berguna bagi kehidupannya kepada manusia. Oleh
3 Misbahul Huda, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, (vol. II, No. 2 Oktober/ 1999), hlm. 106.
4 Hadis Riwayat ad Darimi, Sunan Ad Darimi, (Dar al-Fikr: Mesir, tt), hlm. 79.
5 Fuad Asy Syalhub, Guruku Muhammad, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. ix.
19
karena begitu besar dan pentingnya posisi guru atau pendidik, Moh. Athiyah
al-Abrasy berpendapat tentang sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik
dalam mengemban tugasnya, sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamakan
materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa, bersih jiwanya, tidak riya, tidak
dengki, ikhlas, pemaaf, mencintai dan memikirkan anak didik seperti mencintai
dan memikirkan anaknya, mengetahui tabiat anak didik dan menguasai materi.6
B. Tinjauan Umum tentang Etika Guru
1. Pengertian Etika dan Guru
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethichos” berarti adat kebiasaan,
disebut juga dengan moral, dari kata tunggal mos, dan bentuk jamaknya
mores yang berarti kebiasaan, susila.7 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
etika berarti “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban (moral)”.8 Dalam perkembangan selanjutnya kata etika
lebih banyak berkaitan dengan ilmu filsafat. Oleh karena itu standar baik
dan buruknya adalah akal manusia.9
Menurut Raziel Abelson dalam Suparman Syukur Etika Religi
menjelaskan bahwa ”istilah etika juga sering digunakan dalam tiga
perbedaan yang saling terkait, pertama merupakan pola umum atau jalan
hidup, kedua seperangkat aturan atau “kode moral”, dan ketiga penyelidikan
tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku”.10
Berbicara tentang etika dalam Islam tidak dapat lepas dari ilmu akhlak
sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu
etika dalam Islam dapat dikatakan identik dengan ilmu akhlak, yaitu ilmu
tentang keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya agar
6 Athiyyah Al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, hlm. 136-138. 7 Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 29.
8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. 4, hlm 383.
9 Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, hlm. 29.
10 Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1.
20
manusia berhias dengannya, dan ilmu tentang hal-hal yang hina dan
bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas darinya. Oleh karena itu
etika dalam islam juga sering disebut sebagai falsafah akhlaqiyyah.11 Selain
kata akhlak, dalam Islam etika juga sering disebut dengan kata adab yang
berarti perilaku atau sopan santun, atau juga disebut “kehalusan dan
kebaikan budi pekerti atau kesopanan dan akhlak”.12 Adab sendiri juga
berarti pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan
penilaian.13
Namun secara substantif sebenarnya apa yang disebut dengan etika,
moral, akhlak dan adab mempunyai arti dan makna yang sama, yaitu
sebagai jiwa (ruh) suatu tindakan, dengan tindakan itu perbuatan akan
dinilai, karena setiap perbuatan pasti dalam prakteknya akan diberi predikat-
predikat sesuai dengan nilai yang terkandung dalam perbuatan itu sendiri,
baik predikat right (benar) dan predikat wrong (salah). Adapun hal yang
membedakan antara etika, moral, akhlak dan adab yaitu terletak pada
sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik buruk. Jika dalam
etika penilaian baik buruk berdasarkan akal pikiran, moral berdasarkan
kebiasaan umum yang berlaku umum dimasyarakat, maka pada akhlak dan
adab ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk adalah Al Qu’an
dan Hadis.14
Adapun berikut merupakan pengertian dari istilah guru atau pendidik
dalam bidang pendidikan:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “guru adalah orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar”.15
11 Suparman Syukur, Etika Religius, hlm. 3.
12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 6.
13 Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 12.
14 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 97.
15 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 337.
21
Dalam pengertian yang sederhana, Syaiful Bahri Djamarah
menjelaskan “guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada peserta didik. Dalam pandangan masyarakat, guru adalah orang yang
melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga
formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau di mushalla, di rumah dan
sebagainya”.16
Asep Umar Fahruddin dalam bukunya menjadi guru favorit, memberi
makna “guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian
khusus”. 17 Ini berarti guru bertanggung jawab sesuai dengan profesi dan
jabatan dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaannya.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen, “guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini lajur pendidikan formal, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah”.18
Dari beberapa uraian yang menjelaskan tentang pengertian guru atau
pendidik adalah seseorang yang menyampaikan ilmu atau pengetahuan
kepada seseorang murid atau pelajar seperti yang diketahui sebagian orang,
adapun tugas seorang guru adalah menambahkan kecerdasan anak,
mengembangkan akhlak mereka. Melatih dalam kemampuan dalam bekerja,
menebar kasih sayang kepada seluruh alam, serta mengenalkan kepada
masyarakat untuk itu tugas adalah memberi penjelasan dan petunjuk bagi
para muridnya. Dan selanjutnya dari pengertian etika dan guru dapat
diketahui dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan etika guru adalah
segala suatu yang berkaitan dengan norma, perilaku, perbuatan, kepribadian
guru, baik dalam praktek kegiatan belajar mengajar maupun di lingkungan
masyarakatnya.
16Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka cipta, 2000), hlm. 31.
17 Asep umar Fahruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva Press. 2010), hlm. 73.
18 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.
22
2. Kode Etik Guru dalam Islam
Dalam sejarah pendidikan Islam, guru merupakan orang yang
mempunyai status yang terhormat dalam masyarakat, mempunyai wibawa
sangat tinggi dan dianggap sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat
itu tidak hanya sebatas pada mendidik anak didik di dalam kelas, tetapi juga
mendidik masyarakat. Namun status dan kewibawaan guru kini mulai
memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan
teknologi. Ironisnya memudarnya status dan kewibawaan guru tersebut
kurang lebihnya banyak ditimbulkan oleh pribadi guru sendiri, seperti
buruknya perilaku, etika dan kualitas kepribadian dan juga kurangnya
kemampuan guru dalam hal kompetensi yang dimilikinya.
Untuk menanggulangi agar tidak terjadi permasalahan yang kurang
baik terhadap guru dan profesi keguruan, maka untuk menjamin mutu dan
kualitas guru dalam melaksanakan profesinya harus terdapat kode etik,
karena kode etik suatu profesi merupakan norma-norma yang harus
diindahkan dan dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas
profesinya dan dalam hidupnya dimasyarakat.19 Dalam pendidikan Islam
kode etik guru atau pendidik merupakan norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan antara pendidik dan anak didik, orang tua anak
didik, koleganya serta dengan atasannya.20 Sedangkan dalam Kode Etik
Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh
guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam
melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan
warga negara.
Berkaitan dengan kode etik guru, para ulama’ juga mengemukakan
pendapatnya, diantaranya adalah Al-Ghazali, beberapa batasan kode etik
yang harus dimiliki dan dilakukan seorang guru atau pendidik menurut
beliau. Hal ini juga sebagai landasan dasar etika-moral bagi para guru atau
pendidik. Gagasan-gagasan tersebut antara lain sebagai berikut:
19 Soetjipto, et.al., Profesi keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 30.
20 Abdul Mujib, et al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97.
23
1. Seorang guru haruslah orang yang sayang kepada anak didik, serta
menganggap mereka seperti anak sendiri, jika ia ingin berhasil dalam
menjalankan tugasnya.
2. Guru haruslah orang yang meneladani perilaku Nabi. Mengingat sosok
guru merupakan orang yang mewarisi Nabi. Baik mewarisi ilmu dan juga
dalam menjalankan tugasnya, guru atau pendidik harus memposisikan
diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan
diri kepada Allah SWT.
3. Guru sebagai Pembimbing bagi anak didik hendaklah dapat memberi
nasihat mengenai apa saja demi kepentingan masa depan muridnya.
4. Guru sebagai figur sentral bagi anak didik, hendaklah tidak henti-
hentinya memberi nasihat kepada anak didik untuk tulus, serta mencegah
mereka dari etika dan akhlak yang tercela.21
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut dalam bahasa yang berbeda,
Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi menerangkan kode etik sebagai berikut:
1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang guru atau
pendidik, sehingga ia menyayangi anak didiknya seperti anaknya sendiri.
2. Adanya komunikasi yang aktif antara guru atau pendidik dan anak didik
dalam interaksi belajar mengajar.
3. Memperhatikan kemampuan dan kondisi anak didiknya, dan
kemampuan.22
Berkaitan dengan kode etik guru dalam menjalankan tugasnya, faktor
yang amat penting yang perlu dimiliki oleh pendidik adalah etika atau
akhlaknya, diantara dari etika atau akhlak itu adalah niat yang tulus karena
Allah. Muhyiddin Al-Nawawi menjelaskan “agar dalam kegiatan
pengajarannya hanya dimaksudkan Wajhillah dan tidak dimaksudkan untuk
mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, seperti memperoleh harta, kedudukan,
21 Al Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj. Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media, 2008), hlm. 16-18.
22 Athiyyah Al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Mesir: al-Halabi, 1975), hlm. 225.
24
ketenaran dan semisalnya”. Jauh sebelum al-Nawawi, Khatib al-Baghdadi
telah menekankan pentingnya etika dan akhlak dengan menganjurkan agar
seorang yang ‘Alim (guru) selalu beretika dan berakhlak karimah, misalnya
tidak banyak berbicara (yang tidak berguna) dan “jika mendapatkan ucapan-
ucapan yang tidak senonoh dalam perdebatan dengan lawannya, hendaklah
tidak membalasnya”.23
C. Kedudukan Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam
Dunia pendidikan dalam beberapa aspeknya tidak dapat lepas dari adanya
proses belajar mengajar yang tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya relasi
antara guru dan murid. Pada saat ini pendidikan pada umumnya dan pendidikan
agama pada khususnya telah mengalami krisis dan mengalami pergeseran
dalam pelaksanaannya. Pola pendidikan yang ada pada umumnya telah
mengabaikan pendidikan yang banyak bersentuhan dengan hati nurani yang
mengarah pada pembentukan etika atau karakter anak didik, sekarang ini
pendidikan cenderung diarahkan pada pencapaian keunggulan materi,
kekayaan, kedudukan dan kesenangan dunia semata, sehingga apa yang
menjadi hakikat dari tujuan pendidikan itu sendiri telah terabaikan. Padahal
menurut Hasbi Ash-Shiddiqi sekurang-kurangnya pendidikan harus dapat
mengembangkan tiga hal pokok, yaitu tarbiyah jismiyah, tarbiyah aqliyah, dan
tarbiyah adabiyah.24
Dalam pendidikan agama Islam nampaknya pokok tarbiyah adabiyah
adalah pokok yang harus mendapat perhatian lebih dari yang lainnya, karena
pokok yang ketiga ini berkaitan dengan masalah etika, akhlak atau budi pekerti
yang juga akan menjadi aplikasi nilai dari kedua pokok yang lain. Selain itu
etika, akhlak atau budi pekerti merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang
harus diutamakan dalam pendidikan untuk ditanamkan atau diajarkan kepada
23 Lihat pendapat Muhyiddin al-Nawawi dan Al-Khatib al-Baghdadi dalam Misbahul
Huda, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, (vol. II, No. 2, Oktober/ 1999), hlm. 108.
24 Abdul Majid, et.al., Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 138.
25
anak didik.25 Untuk menggapai itu semua membutuhkan adanya peran seorang
guru untuk mewujudkannya, karena pendidikan akan dapat menghasilkan
produk yang unggul dan berkualitas manakala melalui proses yang baik dan
ilmu-ilmu yang didalamnya mengutamakan kebajikan. Sebab ilmu pada
akhirnya bertujuan mewujudkan keutamaan dan kemuliaan.26 Peran guru
agama dalam hal ini tidak hanya terbatas pada saat hubungan proses belajar itu
sedang berlangsung dan berakhir. Juga tidak hanya sebatas pada kemampuan
profesional dalam mendidik atau tanggung jawabnya pada orang tua, kepala
sekolah dan sosial saja, melainkan peran pengabdiannya haruslah benar-benar
sampai kepada Allah. Karena apa yang dikerjakan dan diajarkan guru dalam
konteks pendidikan nantinya juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan
Allah di akhirat kelak.27
Guru atau pendidik dalam Islam tidak hanya diposisikan sebagai orang
yang ‘alim, wara’, shaleh dan uswah, tetapi guru juga diposisikan sebagai
orang yang mewarisi dan menggantikan para nabi dalam hal menjelaskan,
menerangkan dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran nabi (agama) dalam
kehidupan bermasyarakat. Guru yang di dalam undang-undang disebut sebagai
orang yang memangku jabatan profesional merupakan orang yang paling
bertanggung jawab dalam pembentukan etika dan karakter anak didik. Oleh
karena itu menurut Zakiah Daradjat, faktor terpenting bagi seorang guru adalah
kepribadiannya, karena kepribadian itulah yang akan menentukan apakah guru
itu akan menjadi pendidik yang baik bagi anak didiknya, atau akan menjadikan
anak didik menjadi sebaliknya.28 Untuk itu guru dituntut untuk memiliki
kepribadian, etika dan karakter yang baik, selain itu guru yang juga disebut
25 Abdul Majid, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, hlm. 138.
26Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan
kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 236.
27 Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5.
28 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 9.
26
sebagai spiritual father merupakan orang yang berjasa dalam memberikan
santapan jiwa anak didik dengan ilmu.29
Dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran,
guru memegang peran utama dan sangat penting. Oleh karenanya etika atau
perilaku guru yang merupakan bagian dari kepribadiannya dalam proses belajar
mengajar, akan memberikan pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan
perilaku dan kepribadian anak didiknya.
Merujuk pada pola kependidikan dan keguruan Rasulullah SAW. Dalam
perspektif Islam, guru menjadi posisi kunci dalam membentuk kepribadian
Muslim sejati. Keberhasilan Rasulullah SAW dalam mengajar dan mendidik
umatnya lebih banyak menyentuh pada aspek perilaku. Secara sadar atau tidak,
semua perilaku dalam proses pendidikan dan bahkan diluar konteks proses
pendidikan, perilaku guru akan ditiru oleh siswanya.
Guru dan murid merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dalam
kajian ilmu pendidikan. Dimana dalam prakteknya aspek etika atau perilaku guru
khususnya dalam proses pendidikan baik di sekolah, madrasah atau diluar sekolah
(masyarakat) selalu menjadi sorotan. Beberapa aspek etika atau perilaku guru
yang harus dipahami antara lain berkenaan dengan peran dan tanggung jawab,
kebutuhan anak didik, dan motivasi serta kepribadian guru (termasuk ciri-ciri guru
yang baik).30
Guru yang baik dalam perspektif pendidikan agama Islam adalah guru
yang bertitik tolak dari panggilan jiwa, dapat dan mampu bertanggung jawab
atas amanah keilmuan yang dimiliki, bertanggung jawab atas anak didiknya,
amanah orang tua anak didik dan atas profesi yang dia sandang, baik tanggung
jawab moral maupun sosial dan dapat menjadi uswah bagi murid atau anak
didiknya. Karena secara umum kinerja guru atau pendidik adalah seluruh
aktivitasnya dalam hal mendidik , mengajar, mengarahkan dan memandu anak
didik untuk mencapai tingkat kedewasaan dan kematangan. Untuk itu sebagai
29 Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid…, hlm. 5.
30 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integritas dan Kompetensi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 164.
27
dasar tuntutan keprofesionalan atas keilmuan diri yang didapatnya hendaklah
seorang guru atau pendidik melaksanakan tugas profesinya tidak hanya sebatas
pada tataran teoritis saja, tetapi juga dilakukan pada tataran praktis.31 Adapun
pada tataran prakteknya uraian berikut merupakan pemaparan beberapa prinsip
yang berlaku umum tentang etika guru dalam pembelajaran.
Pertama, memahami dan menghormati anak didik. Kedua menghormati
bahan pelajaran yang diberikannya, artinya guru dalam mengajar harus
menguasai sepenuhnya bahan pelajaran yang diajarkan. Ketiga menyesuaikan
metode mengajar dengan bahan pelajaran. Keempat menyesuaikan bahan
pelajaran dengan kesanggupan individu. Kelima mengaktifkan siswa dalam
konteks belajar. Keenam memberi pengertian bukan hanya kata-kata belaka.
Ketujuh menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa. Kedelapan
mempunyai tujuan tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikan. Kesembilan
jangan terikat dengan satu buku teks (teks book). Kesepuluh tidak hanya
mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada anak didik,
melainkan senantiasa mengembangkan kepribadiannya.32
Dari semua yang dipaparkan mengenai etika, sikap, perilaku atau
kepribadian seorang guru diatas, terdapat relevansi dengan apa yang
disampaikan K.H Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim Wa Al Muta’llim,
perbedaan hanya terletak pada penyampaian bahasa yang digunakan, namun
substansi yang dimaksudkan adalah sama dalam hal pembelajaran, lebih-lebih
lagi KH. Hasyim Asy’ari telah mengemukakan pendapatnya dengan
menambahkan dan memberi perhatian khususnya kepada perilaku etika guru
atau pendidik dengan menjelaskan etika yang harus dilakukan sebagai guru
atau pendidik yang mana hal ini tidak dapat dijumpai pada karangan ulama’
masa sebelumnya seperti Az-Zarnuji, Al-Jauzy dan Abu Hanifah.
31 Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galiza,
2003), hlm. 99.
32 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam…, hlm. 173-177.
28
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI
DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM
A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh dari sekian banyak
ulama’ besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, biografi tentang kehidupan
beliaupun sudah banyak ditulis oleh beberapa kalangan. Namun dari beberapa
tulisan atau karya yang telah ada ternyata terdapat satu hal yang menarik yang
mungkin dapat digambarkan dengan kata sederhana, yaitu kata “pesantren”,
bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut beliau sebagai “Master Plan
Pesantren”.1 mengingat latar belakang beliau berasal dari keluarga santri dan
hidup di pesantren sejak lahir. Beliau juga dididik dan tumbuh berkembang di
lingkungan pesantren. Selain itu juga hampir seluruh kehidupan beliau
dihabiskan di lingkungan pesantren. Bahkan sebagian besar waktu beliau
dihabiskan untuk belajar dan mengajar di pesantren. Selain itu beliau juga
banyak mengatur kegiatan yang sifatnya politik dari pesantren.
1. Sejarah Kehidupan KH. Hasim Asy’ari
Muhammad Hasyim itu adalah nama kecil pemberian orang tuanya,
lahir di desa Gedang, sebelah timur Jombang pada tanggal 24 Dzulqo’dah
1287 H. atau bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Asy’ari merupakan
nama ayahnya yang berasal dari Demak dan juga pendiri pesantren keras di
Jombang.2 sedangkan ibunya Halimah merupakan putri Kiai Usman pendiri
dan pengasuh dari Pesantren Gedang akhir abad ke-19 M. KH. Hasyim
Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi’ah, Ahmad
Sholeh, Radi’ah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan
Adnan. Beliau merupakan seorang Kyai keturunan bangsawan Majapahit
dan juga keturunan ‘elit’ Jawa. Selain itu, moyangnya, Kiai Sihah adalah
1 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,
(Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 207.
2 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 197.
29
pendiri Pesantren Tambak beras Jombang. Ia banyak menyerap ilmu agama
dari lingkungan pesantren keluarganya. Adapun Ibu KH. Hasyim Asy’ari,
merupakan anak pertama dari lima bersaudara, yaitu Muhammad, Leler,
Fadil dan Nyonya Arif.3
Adapun silsilah garis nasab KH. Hasyim Asy’ari bila diurutkan
berasal dari raja Brawijaya V1 yang juga dikenal dengan Lembu Peteng
(kakek kesembilan). Salah seorang putra Lembu Peteng bernama Jaka
Tingkir atau disebut Karebet. Hal ini dapat dilihat dari silsilah beliau, yaitu:
Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul
Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Joko
Tingkir alias Karebet bin Prabu Brawijaya V1 (Lembu Peteng).4
Garis Nasab KH. Hasyim Asy’ari5
3 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LkiS, 2000), hlm. 17.
4 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Sala: Jatayu Sala, 1985), hlm. 57.
5 Sumber diambil dari Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan
Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 16.
Brawijaya V1 Lembu Peteng
Joko Tingkir Sultan Pajang
Pangeran Benowo Hadi Wijaya
Pangeran Sambo
Ahmad Abdul Jabar
KH. Shihah
KH. Usman + Layyinah Putri –Putri yang lain KH. Said+Fatinah
KH. Hasbullah KH. Asy’ari+Halimah (Winih)
KH. Wahab Hasbullah Rais NU Ke-11
KH. Hasyim Asy’ari Rais NU ke-1
30
Pada tahun 1892 M. saat KH. Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun,
beliau dinikahkan dengan putri Kiai Ya’kub yaitu Khadijah. Setelah
beberapa bulan dari pernikahannya dengan Khadijah, beliau bersama istri
dan mertuanya berangkat menunaikan ibadah haji dan menetap di Makkah.
Belum sampai satu tahun disana istri beliau melahirkan putranya yang
pertama dan diberi nama Abdullah, dan tidak lama setelah melahirkan istri
beliau meninggal dunia, kemudian disusul putranya yang baru berusia 40
hari. Setelah itu, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air. Pada tahun 1893
dan beliau kembali ke Hijaz bersama Anis, adiknya yang tak lama kemudian
juga meninggal disana. Beliau di Mekkah sampai 7 tahun.6
Semasa hidupnya KH. Hasyim Asy’ari menikah 7 kali.7 Semua
istrinya adalah putri kiai sehingga beliau sangat dekat dengan para Kiai. Di
antara mereka adalah Khadijah, putri Kiai Ya’kub dari Pesantren Siwalan.
Nafisah, putra Kiai Romli dari Pesantren Kemuring, Kediri. Nafiqoh, yaitu
putri Kiai Ilyas dari Pesantren Sewulan Madiun. Masruroh, putra dari
saudara Kiai Ilyas, pemimpin Pesantren Kapurejo, Kediri, Nyai Priangan di
Mekkah.8
KH. Hasyim Asy’ari mempunyai 15 anak. Anak-anak perempuan
beliau adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Ummu Abdul Jabar, Ummu
Abdul Haq, Masrurah, Khadijah dan Fatimah. Sedangkan anak laki-lakinya
adalah Abdullah, meninggal di Mekkah sewaktu masih bayi, Abdul Wahid
Hasyim, Abdul Hafidz, yang lebih dikenal dengan Abdul Khalik Hasyim,
Abdul Karim, Yusuf Hasyim, Abdul Kadir dan Ya’kub.9
KH. Hasyim Asy’ari sangat dihormati oleh kawan maupun
kolegannya karena kealimannya, bahkan sebagai ilustrasi gambaran tentang
pengakuan kealiman gurunya, Kiai Kholil Bangkalan juga menunjukkan
6 Herry Muhammad, et.al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hlm. 23.
7 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 126.
8 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, hlm. 20-21.
9 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan ..., hlm. 58-59.
31
rasa hormat kepada beliau dengan mengikuti pengajian-pengajian yang
dilakukan KH. Hasyim Asy’ari.10
Beliau dianggap sebagai guru dan dijuluki “Hadratus Syekh” yang
berarti “Maha Guru”11. Kiprahnya tidak hanya di dunia pesantren, beliau
ikut berjuang dalam membela negara. Semangat kepahlawanannya tidak
pernah kendor. Bahkan menjelang hari-hari akhir hidupnya, Bung Tomo dan
panglima besar Jendral Soedirman kerap berkunjung ke Tebuireng meminta
nasehat beliau perihal perjuangan mengusir penjajah.12
KH. Hasyim Asy’ari meninggal dunia pada tanggal 7 Ramadhan
1366/25 juli 1947 karena terkena tekanan darah tinggi. Dimasa hidupnya
beliau mempunyai peran yang besar dalam dunia pendidikan, khususnya di
lingkungan pesantren, baik dari segi ilmu maupun garis keturunan.
Sedangkan dalam perjuangannya dalam rangka merebut kemerdekaan
melawan Belanda, beliau gigih dan punya semangat pantang menyerah serta
jasa-jasanya kepada bangsa dan negara sehingga beliau diakui sebagai
seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional.13
2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari
Berlatar belakang dari keluarga pesantren, Pendidikan KH. Hasyim
Asy’ari tidak berbeda jauh dengan kebanyakan muslim lainnya, dimana dari
kecil KH. Hasyim Asy’ari belajar sendiri dengan ayah dan kakeknya, kiai
Usman. Bakat dan kecerdasan beliau sudah mulai nampak sejak diasuh oleh
keduanya, Karena kecerdasan dan ketekunannya tersebut di usia 13 tahun
dibawah bimbingan ayahnya, beliau mempelajari dasar-dasar tauhid, fiqh,
10 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996)
hlm. 249-250.
11 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…, hlm. 56.
12 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…, hlm. 58.
13 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, studi tentang pandangan hidup kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 98.
32
tafsir dan hadits. Bahkan di usia yang tergolong masih sangat belia sang
ayah menyuruhnya mengajar para santri di pesantren yang dimilikinya.14
Pada umur 15 tahun, beliau mulai berkelana mencari pengetahuan
agama Islam ke beberapa pesantren, sebut saja Pesantren Wonokoyo-
Probolingga, Pesantren Langitan-Tuban, Pesantren Trenggilis-Semarang,
Pesantren Kademangan Bangkalan Madura dan Pesantren Siwalan-
Surabaya. Di Bangkalan beliau belajar tata bahasa, sastra Arab, fiqh dan
sufisme dari Kiai Khalil selama 3 bulan. Sedangkan di Siwalan, beliau lebih
memfokuskan pada bidang fiqh selama 2 tahun, dengan Kiai Ya’kub.
Diperkirakan KH. Hasyim Asy’ari pernah belajar bersama dengan Ahmad
Dahlan (Muhammadiyah), petualangan beliau dalam mencari ilmu juga
sampai di Semarang.15 Kemudian KH. Hasyim Asy’ari pergi ke Hijaz guna
melanjutkan pelajarannya disana. Semula beliau belajar dibawah bimbingan
Syekh Mahfudz dari Termas, Pacitan. Syekh Mahfudz adalah ahli hadits,
beliau orang Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Mekkah.
Dari beliau KH. Hasyim Asy’ari mendapat ijazah untuk mengajar Shahih
Bukhari. Di bawah bimbingannya, KH. Hasyim Asy’ari juga belajar Tarekat
Qadariyah dan Naqsyabandiyah. Ajaran tersebut diperoleh Syekh Mahfudz
dari Syekh Nawawi dan Syekh Sambas. Jadi, Syekh Mahfudz merupakan
orang yang menghubungkan Syekh Nawawi dari Banten dan Syekh Sambas
dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Pengaruh ini dapat ditemukan dalam
pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari.
Murid Syekh Khatib banyak yang menjadi ulama terkenal, baik dari
kalangan NU maupun dari kalangan yang lain, misalnya, KH. Hasyim
Asy’ari sendiri, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Ahmad
Dahlan (tokoh Muhammadiyah), Syekh Muh. Nur Mufti dan Syeh Hasan
Maksum dan masih banyak lagi.16
14 Badiatul Rozikin, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009) , hal. 246.
15 Badiatul Rozikin, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam, hlm. 246.
16 Badiatul Rozikin, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam, hlm. 248.
33
Nahrawi Nahrawi
Hasyim Asy’ari (Hadratus-Shaikh) 1871-1947 Ra’is Am NU 1, 1926-1947 M
Abdul Karim
Pemimpin para Ulama di Jawa Source: Dhofier, 1984:86
Wahab Hasbullah 1888-1971 Rois ‘Am NU II, 1947-1971
Para pemimpin Tarekat Qadariyah dan Naqshabandiyah
Bisri Syamsuri 1886-1980 Rois ‘Am III 1972-1980
Di bawah bimbingan Ahmad Khatib yang juga seorang ahli
astronomi, matematika dan al-Jabar, KH. Hasyim Asy’ari juga belajar fiqh
madzhab Syafi’i. Ahmad Khatib tidak setuju dengan pembaharuan
Muhammad Abduh mengenai pembentukan madzhab fiqh baru, beliau
hanya setuju pada pendapatnya mengenai tarekat. Atas izin dari beliaulah
KH. Hasyim Asy’ari mempelajari tafsir Al-Manar karya Abduh. Dalam hal
ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak menganjurkan kitab ini dibaca oleh
muridnya, karena Abduh mengejek ulama tradisionalis karena dukungan-
dukungan mereka pada praktek Islam yang dianggap tidak dapat diterima.
KH. Hasyim Asy’ari setuju dengan dorongan Abduh untuk meningkatkan
semangat muslim, tapi tidak setuju dengan pendapat Abduh untuk
membebaskan umat dari tradisi madzhab. Berbeda dengan Abduh, KH.
Hasyim Asy’ari percaya bahwa tidak mungkin memahami al-qur’an dan
hadis tanpa memahami perbedaan pendapat pemikiran hukum. Penolakan
terhadap madzhab, menurut beliau, akan memutarbalikkan ajaran Islam.17
Adapun jika runtutan silsilah intelektual beliau dapat dilihat dalam
diagram sebagai berikut:
Genealogi intelektual kiai-kiai besar di Jawa18
Abdulghani Bima Khatib Sambas (1875 M) A.H. Daghestani
Yusuf
Syeh Ahmad Mahfud Termas Khalil Bangkalan Khatib Minangkabau
Khalil dari Mubarraq Peterongan
17 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hlm.95 .
18 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama…, hlm. 34.
34
Dalam perkembangan selanjutnya, KH. Hasyim menjadi pemimpin
dari kiai-kiai besar di tanah Jawa. Menurut Zamachsari, setidaknya terdapat
empat faktor penting yang melatarbelakangi watak kepemimpinan beliau.
Pertama, ia lahir ditengah-tengah Islamic revivalism baik di Indonesia
maupun di Timur tengah, khususnya di Mekkah. Kedua, orang tua dan
kakeknya merupakan pimpinan pesantren yang punya pengaruh di Jawa
Timur. Ketiga, ia sendiri ia dilahirkan sebagai seorang yang sangat cerdas
dan memiliki kepemimpinan. Keempat, berkembangnya perasaan anti
kolonial, nasional Arab, dan pan-Islamisme di dunia Islam.19 Dari faktor-
faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari mempunyai
potensi dan keturunan untuk menjadi orang besar.
3. Amal dan Kiprah perjuangan KH. Hasyim Asy’ari
Kiprah dan perjuangan beliau sangatlah banyak dalam berbagai
bidang, seperti kemasyarakatan, sosial dan politik merupakan cerminan dari
praktek keagamaan beliau dan pendidikan. Dalam bidang-bidang inilah
beliau menunjukkan perjuangannya.
Pertama, perjuangannya dalam bidang kemasyarakatan. Dalam
bidang ini kiprah beliau diwujudkan dengan mendirikan Jami’iyah
Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 bersama sejumlah kiai.
Bahkan beliau ditunjuk sebagai Syeikhul Akbar dalam perkumpulan ulama
terbesar di Indonesia ini. Organisasi ini didirikan pada hakekatnya bertujuan
karena belum adanya suatu organisasi yang mampu mempersatukan para
ulama dan mengubah pandangan hidup mereka tentang zaman baru.
Kebanyakan mereka tidak perduli terhadap keadaan di sekitarnya.
Bangkitnya kaum ulama yang menggunakan NU sebagai wadah pergerakan,
tidak dapat dilepaskan dari peran KH. Hasyim Asy’ari. Beliau
berkeyakinan, bahwa tanpa persatuan dan kebangkitan ulama, terbuka
kesempatan bagi pihak lain untuk mengadu domba. Selain itu didirikannya
19 Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlotul Ulama,
(Yogyakarta: LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995), hlm.2.
35
NU bertujuan untuk menyatukan kekuatan Islam dengan kaum ulama
sebagai wadah untuk menjalankan tugas peran yang tidak hanya terbatas
dalam bidang kepesantrenan dan ritual keagamaan belaka, tetapi juga pada
masalah sosial, ekonomi maupun persoalan kemasyarakatan.20
Dengan Nahdhatul Ulama, beliau berjuang mempertahankan
kepentingan umat. Disatukannya potensi umat Islam menjadi kekuatan
kokoh dan kuat, tidak mudah menjadi korban oleh kepentingan politik yang
hanya mencari kedudukan dengan mengatasnamakan Islam.
Kedua, bidang ekonomi, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari juga layak
dicatat dalam bidang ekonomi. Perjuangan ini barangkali adalah cerminan
dari sikap hidup beliau, dimana meskipun zuhud, namun tidak larut untuk
melupakan dunia sama sekali. Tercatat bahwa beliau adalah juga bekerja
sebagai petani dan pedagang yang kaya. Mengingat para kyai pesantren
pada saat itu dalam mencari nafkah banyak yang melakukan aktifitas
perekonomiannya lewat tani dan dagang dan bukan dengan mengajar.21
Perjuangan beliau dalam bidang ekonomi ini diwujudkan dengan merintis
kerjasama dengan pelaku ekonomi pedesaan. Kerjasama itu disebut Syirkah
Mu’awanah, bentuknya mirip koperasi atau perusahaan tetapi dasar
operasionalnya menggunakan Syari’at Islam.
Ketiga, bidang politik. Kiprah beliau dalam bidang ini ditandai
dengan berdirinya wadah federasi umat Islam Indonesia yang diprakarsai
oleh sejumlah tokoh Indonesia yang kemudian lahirlah Majlis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang menghimpun banyak partai, organisasi dan
perkumpulan Islam dalam berbagai aliran. Lembaga ini menjadi Masyumi
yang didirikan tanggal 7 November 1945, yang kemudian menjadi partai
aspirasi seluruh umat Islam.
Sedangkan perjuangan beliau dimulai dari perlawanannya terhadap
penjajahan Belanda. Acapkali beliau mengeluarkan fatwa-fatwa yang sering
menggemparkan pemerintah Hindia Belanda. Misalnya, ia mengharamkan
20 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan…, hlm. 15.
21 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…, hlm. 252.
36
donor darah orang Islam dalam membantu peperangan Belanda dengan
Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari memimpin
MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia). Demikian pula dalam gerakan pemuda,
seperti Hizbullah, Sabilillah dan Masyumi, bahkan yang terakhir beliau
menjadi ketua, membuat beliau dikenal sebagai kyai yang dikenal oleh
banyak kalangan. 22
Keempat, dalam bidang pendidikan, perjuangan beliau diawali
dengan mendirikan pesantren di daerah Tebuireng, daerah terpencil dan
masih dipenuhi kemaksiatan. Tepatnya tanggal 12 Rabi’ al Awwal 1317 H
atau tahun 1899 M, pesantren Tebuireng berdiri dengan murid pertama
sebanyak 28 orang. Berkat kegigihan beliau pesantren Tebuireng terus
tumbuh dan berkembang serta menjadi innovator dan agent social of change
masyarakat Islam tradisional di tanah tersebut.23
Pesantren ini merupakan cikal bakal penggemblengan ulama dan
tokoh-tokoh terkemuka sekaligus merupakan monumental ilmu pengetahuan
dan perjuangan nasional.
4. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari
Kealiman dan keilmuan yang dimiliki Kiai Hasyim yang didapat
selama berkelana menimba ilmu ke berbagai tempat dan ke beberapa guru
dituangkan dalam berbagai tulisan. Sebagai seorang penulis yang produktif,
beliau banyak menuangkannya ke dalam bahasa Arab, terutama dalam
bidang tasawuf, fiqih dan hadits. Sebagian besar kitab-kitab beliau masih
dikaji diberbagai pesantren, terutama pesantren-pesantren salaf (tradisional).
22 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan
kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 82.
23 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 202.
37
Diantara karya-karya beliau yang berhasil didokumentasikan,
terutama oleh cucu beliau, yaitu KH. Ishamuddin Hadziq,24 adalah sebagai
berikut:
a. Adabul ‘Alim wal Muta’alim. Menjelaskan tentang etika seorang murid
yang menuntut ilmu dan etika guru dalam menyampaikan ilmu. Kitab ini
diadaptasi dari kitab Tadzkiratu al-Sami’ wa al-Mutakallim karya Ibnu
Jamaah al-Kinani.
b. Risalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (kitab lengkap). Membahas
tentang beragam topik seperti kematian dan hari pembalasan, arti sunnah
dan bid’ah, dan sebagainya.
c. Al-Tibyan Fi Nahyi ‘An Muqatha’ati’ Al-Arkam wa Al-‘Aqarib Wa Al-
Ikhwan. Berisi tentang pentingnya menjaga silaturrahmi dan larangan
memutuskannya. Dalam wilayah sosial politik, kitab ini merupakan
salah satu bentuk kepedulian Kiai Hasyim dalam masalah Ukhuwah
Islamiyah
d. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li jam’iyyat Nahdhatul Ulama’.
Karangan ini berisi pemikiran dasar NU, terdiri dari ayat-ayat Al-
Qur’an, hadis, dan pesan-pesan penting yang melandasi berdirinya
organisasi NU.
e. Risalah Fi Ta’kid al-Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah.
Karangan ini berisi tentang pentingnya berpedoman kepada empat
mazhab, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali.
f. Mawai’idz. Karangan berisi tentang nasihat bagaimana menyelesaikan
masalah yang muncul ditengah umat akibat hilangnya kebersamaan
dalam membangun pemberdayaan.
g. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’i Jamiyyah Nahdlatul
Ulama’. Karya ini berisi 40 Hadis tentang pesan ketakwaan dan
kebersamaan dalam hidup, yang harus menjadi fondasi kuat bagi umat
dalam mengarungi kehidupan.
24 keterangan lebih lanjut baca dalam kitab kumpulan karangan KH. Hasyim Asy’ari yang
dihimpun oleh KH. Ishomuddin Hadzik dalam kitab Irsyad al-Sari.
38
h. An-Nur Al-Mubin Fi Mahabbati Sayyid Al-Mursalin. Menjelaskan
tentang arti cinta kepada Rasul dengan mengikuti dan menghidupkan
sunnahnya. Kitab ini diterjemahkan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan
judul Cinta Rasul Utama.
i. Ziyadah Ta’liqat. Berisi tentang penjelasan atau jawaban terhadap
kritikan KH. Abdullah bin Yasin al-Fasuruwani yang mempertanyakan
pendapat Kiai Hasyim memperbolehkan, bahkan menganjurkan
perempuan mengenyam pendidikan. Pendapat Kiai Hasyim tersebut
banyak disetujui oleh ulama-ulama saat ini, kecuali KH. Abdullah bin
Yasin al-Fasuruwani yang mengkritik pendapat tersebut.
j. Al-Tanbihat Al-Wajibah Liman Yashna’ Al-Maulid bi Al-Munkarat.
Berisi tentang nasehat-nasehat penting bagi orang-orang yang
merayakan hari kelahiran Nabi dengan cara-cara yang dilarang agama.
k. Dhau’ul Misbah fi Bayani Ahkam al-Nikah. Kitab ini berisi tentang hal-
hal yang berkaitan dengan pernikahan, mulai dari aspek hukum, syarat
rukun, hingga hak-hak dalam pernikahan.
l. Risalah bi al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus. Menerangkan tentang
permasalahan hukum memukul kentongan pada waktu masuk waktu
sholat.
m. Risalah Jami’atul Maqashid. Menjelaskan tentang dasar-dasar aqidah
Islamiyyah dan Ushul ahkam bagi orang mukallaf untuk mencapai jalan
tasawuf dan derajat wusul ila Allah.
n. Al-Manasik al-shughra li qashid Ummu al-Qura. Menerangkan tentang
permasalahan Haji dan Umrah.
Selain karangan tersebut, juga terdapat karya yang masih dalam
bentuk manuskrip dan belum diterbitkan. Karya tersebut antara lain, Al
Durar Al-Munqatirah Fi Al-Masa’il Tis’a ‘Asyara, Hasyiyat ala Fath al-
Rahman bi Syarh Risalat al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariyya al al-
39
Anshari, al-Risalat al- Tauhidiyyah, al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al
Aqaid, al Risalat al-Jama’ah, Tamyuz al-Haqq min al-Bathil.25
B. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru
Kitab Adabul’Alim wal Muta’alim merupakan salah satu karya terpopuler
KH. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan, kitab ini adalah kitab yang
mengupas masalah etika belajar mengajar secara terperinci. Adabul’Alim wal
Muta’alim ini juga merupakan satu-satunya karya karangan beliau yang berisi
tentang aturan-aturan etis dalam proses belajar mengajar atau etika praktis bagi
seorang guru atau murid atau anak didik dalam proses pembelajaran. Untuk itu
pembahasan mengenai pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan
dalam proses pembelajaran akan difokuskan pada kitab tersebut, mengingat
kitab ini adalah kitab yang membahas tentang permasalahan etika dalam
pembelajaran .
Dari uraian-uraian yang terdapat dalam kitab Adabul’Alim wal Muta’alim
nampaknya apa yang menjadi karakteristik pemikiran pendidikan KH. Hasyim
Asy’ari dapat dikategorikan dalam corak pemikiran yang mengarah pada
tataran ranah praktis yang juga tetap berpegang teguh pada sandaran dalil Al-
Qur’an dan hadits. Kecenderungan lain yang dapat dipahami dari pemikiran
beliau adalah mengetengahkan nilai-nilai etika yang bernafaskan sufistik.
Kecenderungan ini dapat terbaca melalui gagasan-gagasannya, misalnya
keutamaan menuntut ilmu dan tentang keutamaan ilmu. Menurut KH. Hasyim,
ilmu dapat diraih hanya jika orang yang mencari ilmu itu suci dan bersih dari
segala sifat-sifat jahat dan aspek keduniaan.26
Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim, secara keseluruhan berisi tentang
delapan bab, meliputi:
1) Membahas tentang keutamaan ilmu dan keilmuan serta pelajaran
25 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan
kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 99. Lihat juga dalam kata sambutan KH. Ishamuddin Hadzik dalam cetakan kitab-kitab KH. Hasyim tentang Al-Ta’rif bi al-Muallif.
26 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wa al Muta’allim, (Jombang: Maktabah Turats al-Islami, 1413 H), hlm. 22-23.
40
2) Etika yang harus dimiliki murid dalam pembelajaran
3) Etika seorang murid terhadap guru
4) Etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani
bersama guru
5) Etika yang harus diperhatikan bagi guru
6) Etika guru ketika akan mengajar
7) Etika guru terhadap murid, dan
8) Etika dalam menggunakan literatur dan alat-alat yang digunakan
dalam belajar (buku atau kitab).
Kedelapan bab tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian
yang menjadi signifikansi pendidikan, yaitu tugas dan tanggung jawab seorang
murid, tugas tanggung jawab seorang guru, etika atau akhlak terhadap buku
atau kitab alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Adapun yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini yaitu empat
kriteria etika yang harus dimiliki dan dilaksanakann bagi seorang guru atau
pendidik dalam pembelajarannya meliputi:
1. Etika guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh
setiap pribadi guru.
2. Etika guru dalam proses belajar mengajar.
3. Etika guru terhadap murid atau anak didik.
4. Etika terhadap kitab sebagai alat untuk belajar.
C. Signifikansi Pemikiran Pendidikan KH Hasyim Asy’ari
Pola pemikiran pendidikan KH. Hasyim dalam kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’alim beliau mengawali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-
ayat Al-Qur'an, dan hadits, yang kemudian diulas dan dijelaskan dengan
singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu
pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan agar
ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di
41
akhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya, maka syariat mewajibkan untuk
menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar.27
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu:
pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu, jangan
berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya.
Kedua, bagi guru dalam mengerjakan ilmu hendaknya meluruskan niatnya
terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. Di samping itu, yang
diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang diperbuat.
Dalam hal ini yang dititik beratkan adalah pada pengertian bahwa belajar
merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 28 Karena belajar harus diniatkan
untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya
sekedar menghilangkan kebodohan.
Di samping itu, menurut beliau bahwa ulama dan penuntut ilmu
mempunyai derajat yang tinggi. Hal ini juga diterangkan dalam al-Qur’an surat
al Mujadalah ayat 11:
Æìsùö� tƒ ª!$# tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ# u öΝä3Ζ ÏΒ tÏ% ©!$# uρ (#θè?ρé& zΟ ù= Ïèø9 $# ;M≈y_u‘ yŠ 4 ª! $#uρ $yϑ Î/ tβθè= yϑ ÷ès? ×�� Î7yz ∩⊇⊇∪
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadalah, 11).29
Pembahasan ini menjelaskan keutamaan ulama serta keutamaan belajar
mengajar, juga keutamaan ilmu yang dimiliki oleh ulama yang mengamalkan
ilmunya. Ketegasan tentang tingginya derajat ulama itu sering diulang,
misalnya dengan argumentasi hadits, ” MNOPا RSور Vء هYZ[\]ِءان اY ” 30 (sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi). Hadits ini sesungguhnya menyatakan bahwa
derajat para ulama setingkat lebih rendah di bawah derajat nabi.
27 Samsul Nizar dan Abdul Halim (Ed), Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 156.
28 Samsul Nizar dan Abdul Halim, (Ed), Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 157.
29 Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm. 910-911.
30 HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Dar Ibnu Haitsam, tt), hlm. 85.
42
Keagungan ulama’ seperti di atas pada akhirnya mengantarkan
kedudukan ulama pada posisi paling tinggi setelah kedudukan para nabi, dan
pada keagungan inilah usaha dan kesungguhan mencari ilmu harus diarahkan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa keagungan ulama tersebut hanya bagi
mereka yang mengamalkan ilmunya dengan ikhlas kepada Allah, karena
diantara karakter ilmu dan ulama’ itu sendiri adalah Amanah yang wajib
disampaikan.31 Karena ilmu-ilmu tersebut tidak hanya akan membawa
kemaslahatan pada masa sekarang, tapi juga masa yang akan datang.
Kaitannya dengan pembelajaran guru yang memegang peranan sentral
dalam proses belajar mengajar, paling tidak guru disamping melaksanakan
konsepsi nilai-nilai yang disampaikan diatas, guru juga harus menjalankan
tugas utama sebagai pengajar meliputi tiga macam tugas, diantaranya:
merencanakan pengajaran, melaksanakan pengajaran, dan memberikan balikan.
Sehingga nantinya tercipta situasi yang memungkinkan mengantarkan siswa
mencapai tujuan yang diharapkan.32
Guru selain dianggap sebagai sosok yang patut dihormati juga sebagai
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Untuk itu etika sebagai alat
akhlak yang berlaku bagi guru bertujuan untuk menjaga perilaku mereka
sendiri karena setiap perbuatan mereka merupakan panutan dan senantiasa
mendapat sorotan dari murid-muridnya.
1. Etika Guru Terhadap Diri Sendiri Yang Harus Dipenuhi dan Dimiliki
Oleh Setiap Pribadi Guru
Etika dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya berlaku
untuk murid saja, tetapi etika lebih-lebih juga harus dimiliki guru atau
pendidik dalam proses belajar. Jika guru sebagai pendidik tidak mempunyai
31 Yusuf al-Qardhawi, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah SAW, Karakter Ilmu dan
Ulama’, (Jakarta: Firdaus, 1994), hlm. 24.
32 Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), hlm. 4-6.
43
etika, maka sis-sia menerapkan etika pada murid. Beberapa etika yang harus
dimiliki oleh seorang guru menurut KH. Hasyim adalah sebagai berikut:
a. V`a` انbاRNcاde (selalu mendekatkan diri) kepada Allah SWT dalam
berbagai kondisi dan situasi.
b. زمh` انi]Y\j klmn (senantiasa takut kepada murka siksa Allah SWT),
dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan.
c. RoMpq]زم اh` ان (Senantiasa sakinah atau tenang)
d. رعm]زم اh` ان(senantiasa berhati-hati) dalam perkataan dan perbuatan.
e. stاmu]زم اh` ان (selalu rendah hati) atau tidak menyombongkan diri.
f. i] Y\j bع اmvw]زم اh` ان (senantiasa kepada Allah SWT).
g. m\j نmp` ان bا i[x yرmeا sMZz il k[` (Senantiasa berpedoman kepada hukum
Allah) dalam setiap hal.
h. YZ[{ kZ[x |\}`P ان R`mMOa]اض اd�Pا i]ا |{mu` (tidak menjadikan ilmu yang
dimiliki sebagai sarana mencari keuntungan duniawi) seperti harta benda
kedudukan (jabatan).
i. Tidak merasa rendah di hadapan para pemuja dunia (YMOa]ءاYoا�) orang yang
punya kedudukan dan harta benda, tidak pula mengagungkan mereka
dengan sering-sering berkunjung dan berdiri menyambut kedatangan
mereka tanpa kemaslahatan apapun di dalamnya.
j. aه�]Y� �[wu` ان (Zuhud) tidak terlampau mencintai kesenangan duniawi dan
rela hidup sederhana. Jika ia membutuhkan dunia sekedar untuk
mencukupi kebutuhan diri dan keluarga.
k. �{YpZ]ا �MOد �x axYNu` ان (menjauhi pekerjaan / profesi yang dianggap
rendah/ hina) menurut pandangan adat maupun syariat.
l. V�u]ا stاme �ou}` ان(menghindari tempat-tempat yang dapat mendatangkan
fitnah, serta meninggalkan hal-hal yang menurut pandangan umum
dianggap tidak patut dilakukan meskipun tidak ada larangan atasnya
dalam syariat Islam.
m. مYp�Pا dاهmم و�h{Pا d�Y\v� مYM�]ا i[x �lY�` ان (menghidupkan syiar dan
ajaran- ajaran Islam) seperti mendirikan shalat berjama’ah di masjid,
menebarkan salam kepada orang lain, menganjurkan kebaikan dan
44
mencegah kemungkaran dengan penuh kesabaran (dalam menghadapi
resiko yang menghadang).
n. عaN]ا RjYeوإ �oq]ر اY���� مm�` ان (menegakkan sunnah Rasulullah SAW dan
memerangi bid’ah) serta memperjuangkan kemaslahatan umat Islam
dengan cara-cara yang populis (memasyarakat) dan tidak asing bagi
mereka.
o. RM[\�]وا RM]m�]ا RMxdv]ت اYو�aoZ]ا i[x �lY�` ان (menjaga hal-hal yang sangat
dianjurkan oleh syari’at, baik berupa perkataan maupun perbuatan),
seperti memperbanyak membaca Al-Qur’an, berdzikir dengan hati
maupun lisan.
p. قh�Pرم اYpZ� سYo]ا |eY\` ان (mempergauli manusia dengan akhlak-akhlak)
terpuji seperti bersikap ramah, menebarkan salam, menahan (emosional),
tidak suka menyakiti, tidak berat hati dalam memberi penghargaan
(kepada yang berhak) serta tidak terlalu menuntut untuk dihargai.
q. R�`دd]ق اh�Pا �e ydهY� VS ko�Y� d��` ان (menyucikan jiwa dan raga dari
akhlak-akhlak tercela), dan menghiasi keduanya dengan akhlak-akhlak
mulia.
r. |Z\]وا V[\]د اY`ازد i[x صd�]ا V`a` ان (selalu berusaha mempertajam ilmu
pengetahuan dan amal), yakni melalui kesungguhan hati dan ijtihad,
muthala’ah (mendaras), muzakarah (merenung), ta’liq (membuat
catatan-catatan), menghafal dan melakukan pembahasan (diskusi)
s. {ا �x �pouq`P انkZ[\` P دةY�u (tidak merasa segan mengambil faedah (ilmu
pengetahuan) dari orang lain atas apapun yang belum dimengerti), tanpa
memandang perbedaan status atau kedudukan, nasab/ garis keturunan,
dan usia.
t. Y� |�uv` اان �Mo�u] (meluangkan sebagian waktu untuk kegiatan menulis,
mengarang atau menyusun kitab).33
33KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 65-72.
45
2. Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Seorang guru hendaknya ketika akan dan saat mengajar perlu
memperhatikan beberapa etika. Dalam bab ini KH. Hasyim Asyari tidak
membagi etika guru secara terperinci namun beliau memberi keterangan
dengan menjelaskan beberapa gagasan ketika guru dalam melaksanakan
pengajaran sebagai berikut:
Seorang guru hendaknya mempunyai niat yang baik untuk taqarrub
(mendekatkan diri kepada Allah) sebelum berangkat menghadiri majelis
atau tempat belajar mengajar (sekolah), mensucikan dan membersihkan diri
dari hadas atau kotoran dan memakai pakaian yang rapi bahkan wangi. Hal
ini dimaksudkan agar niatan guru mengajar itu karena untuk ibadah karena
Allah.
Berdoa sebelum berangkat dan melanggengkan berdzikir kepada
Allah hingga sampai di majelis pembelajaran (sekolah), menjaga sikap dan
menjaga diri dari segala yang dapat mengurangi kewibawaan dan mengajar
dengan menggunakan bahasa yang santun. Hendaknya guru juga tidak
mengajar pada saat sangat haus dan lapar, juga diwaktu dingin dan panas
yang berlebihan, karena hal itu dapat mempengaruhi jiwa psikologis guru
terhadap anak didik atau murid.
Pada saat sampai di sekolah hendaklah guru memberi salam pada
murid atau anak didik dan duduk menghadap kiblat (jika memungkinkan)
atau langsung berhadapan dengan para murid atau anak didik.
Mengawali pengajaran dengan membaca ayat suci Al- Qur’an untuk
tabarrukan dan berdo’a untuk kebaikan dirinya dan kebaikan murid, anak
didiknya, kaum muslimin dan mereka yang ikut mensukseskan pendidikan,
lalu dilanjutkan dengan ta’awudz, bismillah, hamdalah dan shalawat atas
pada Nabi dan pengikutnya.
Jika di dalam kelas terdapat banyak pelajaran maka guru hendaknya
mendahulukan pelajaran yang paling penting dan mulia, misal tafsir, hadis,
ushul fiqh dan mengakhiri dengan kitab rakai’iq (kelembutan hati) dan kitab
lainnya. Mengeraskan dan merendahkan suara sesuai kebutuhan, menjaga
46
majelis (kelas) agar tidak ramai serta guru hendaknya tidak meneruskan dan
mengakhiri pelajaran pada pembahasan-pembahasan yang membingungkan
murid, dan juga harus bersungguh-sungguh dalam mencegah dan
mengingatkan murid yang menyimpang dari pembahasan tanpa harus
membuatnya malu.
Jika seorang guru ditanya oleh murid tentang sesuatu yang dia tidak
ketahui maka dijawab tidak tahu karena itu merupakan bagian dari ilmu.
Lebih banyak lagi memperhatikan orang pengembara atau anak didik yang
jauh dari orang tua, dan hendaknya di akhir pelajaran guru menutup
pelajaran dengan atau penjelasannya dengan kata “Wa Allah A’lam” sebagai
dzikir dan menyandarkan segala sesuatunya yang tahu hanya Allah.34
Tampak disini, gagasan yang ditawarkan lebih bersifat praktis.
Artinya apa yang ditawarkan sesuai dengan praktek yang selama ini
dialaminya. Kehidupan yang diabdikan untuk ilmu dan agama telah
memperkaya pengalamannya dalam mengajar.
3. Etika Guru terhadap Murid atau Anak Didik
Mengenai pembahasan adab guru dalam kitab Adabul Alim Wa Al
Mutallim kiai K.H Hasyim Asy’ari memberikan 14 point acuan yang harus
dilakukan oleh guru diantaranya :
a. bا k�zو V�ZM[\u� a��` ان( ) hendaklah seorang guru dalam menjalankan
profesi yang tugas utamanya adalah memberikan pengajaran dan
pendidikan kepada anak didik mempunyai niat dan tujuan yang luhur,
yakni demi mencari ridho Allah SWT, mengamalkan ilmu pengetahuan,
menghidupkan (melestarikan) syariat Islam, menjelaskan sesuatu yang
hak dan yang batil, menyejahterakan kehidupan (sumber daya) umat,
serta demi meraih pahala dan berkah ilmu pengetahuan.35
b. )�x souZ`P ان ZM[\j�]Y�]Y( hendaklah tidak menghalangi hak seseorang murid
untuk menuntut ilmu, karena terkadang dalam kegiatan pembelajaran
34 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 71-80.
35 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm 85.
47
sering kali ditemukan siswa (terutama siswa pemula) yang tidak serius
serta memiliki niat yang kurang tulus. Terhadap hal seperti itu, guru
hendaknya bersikap sabar dan tidak menyurutkan semangatnya dalam
memberikan pengajaran kepada mereka. Karena bagaimanapun juga
suatu niat memerlukan proses. Niat yang tulus (keikhlasan) dalam belajar
sering kali akan segera mereka dapatkan melalui unsur barakah ilmu
pengetahuan yang terus-menerus dipelajari atau diajarkan. Sebagaimana
ungkapan beliau: V[\]ا RآdN� mzde RMo]ا �q� ءنYl (maka sesunguhnya sebaik-
baik niat adalah mengharapkan ilmu yang berkah). 36
c. )kq�o] ��`Ye kN]Y�] ��` ان( mencintai para anak didik sebagaimana
mencintai dirinya sendiri), berusaha memenuhi kemaslahatan
(kesejahteraan) mereka, serta memperlakukan mereka dengan baik
sebagaimana ia memperlakukan anak-anaknya sendiri yang amat
disayangi.
d. kZM[\j �l ءY�]Pا R]m�q� k] �Zq` ان( ) mendidik dan memberi pelajaran kepada
mereka dengan penjelasan yang mudah dipahami sesuai dengan
kemampuan mereka. Selain itu, ia hendaknya tidak memberikan materi-
materi yang terlalu berat bagi mereka karena hal itu akan mengganggu
dan merusak konsentrasi mereka.37
e. )ya�z ل N� kZM��jو kZM[\j �[x صd�` ان( bersungguh-sungguh dalam
memberikan pengajaran dan pemahaman kepada anak didik. Oleh karena
itu guru hendaknya memahami metode-metode pengajaran secara baik
agar dapat memudahkan dan mempercepat pemahaman mereka.
f. تY�m��Z]دة اYxت اYcوPا ¡\� �l RN[�]ا �e �[�` ان ( ) meminta anak didik untuk
menggunakan waktu dalam mengulang kembali pembahasan yang telah
disampaikan serta jika perlu hendaknya memberikan pertanyaan-
pertanyaan kepada mereka melalui latihan, ujian, dan semacamnya demi
mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman mereka dalam menyerap
materi yang telah disampaikan.
36 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 86.
37 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 88.
48
g. Apabila di antara anak didik terdapat anak yang tempat tinggalnya
sangat jauh sehingga untuk sampai ke tempat pengajaran gurunya itu
(sekolah, madrasah dan sebagainya) dibutuhkan waktu yang cukup lama
dan juga stamina yang prima, seorang guru hendaknya memaklumi
keadaannya jika saat mengikuti pelajaran siswa itu mungkin nampak
kelelahan atau sering terlambat lantaran perjalanan yang telah
ditempuhnya.38
h. ( ¡\� �[x V�¢\� |M¢�j RN[�[] d�£`P ان) hendaklah guru tidak memberikan
perlakuan khusus kepada salah seorang anak didik dihadapan anak didik
yang lain, karena hal seperti ini akan menimbulkan kecemburuan dan
perasaan yang kurang baik diantara mereka.
i. ( VهdtY�] ددmu` ان�N�Y� dءو` آYoS �qو� dMw� V ) memberikan kasih sayang dan
perhatian kepada siswa. Salah satu bentuk perhatian dan kasih sayang
terhadap mereka adalah dengan cara berusaha sebaik mungkin mengenal
kepribadian dan latar belakang mereka serta berdoa untuk kebaikan
(keberhasilan) mereka.39
j. ) V�¢\� k� |eY\` YeY¢`ا ¤Mv]ا aهY\u` انY¢\�( membiasakan diri sekaligus
memberikan contoh kepada siswa tentang cara bergaul yang baik, seperti
mengucapkan salam, berbicara dengan sopan, saling mencintai terhadap
sesama, tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan lain
sebagainya.
k. )]ا �\q` انkM[xdqMj YZ� V�jaxYqeو V��m[c sZzو RN[�]ا �]Y�e �l V]Y\( apabila
memungkinkan (punya kemampuan), seorang guru hendaknya turut
membantu dan meringankan masalah mereka dalam hal materi, posisi
(kedudukan/ pekerjaan), dan sebagainya.40
38 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 89.
39 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 90.
40 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 91.
49
l. kox |�{ دةY\]ا �x اaزا� R�[�]ا �eزheاو RN[�]ب �\¡ اY� اذا( ) apabila di antara
beberapa anak didik terdapat seorang siswa yang tidak hadir dan hal itu
diluar kebiasaannya, hendaknya ia menanyakan kepada siswa yang lain.
m. )a§duqe |وآ �]Y�]ا se stاmu` ان( meskipun berstatus sebagai guru yang
berhak dihormati oleh murid-muridnya, hendaknya ia tetap bersikap
tawadhu’ (rendah hati) terhadap mereka.
n. )�e hآ ��Ywu` ان RN[�]ا( memperlakukan anak didik dengan baik, seperti
memanggil dengan nama dan sebutan yang baik, menjawab salam
mereka, dengan ramah menyambut kedatangan mereka, menanyakan
kabar dan kondisi mereka.41
Tidak kalah penting dari yang disebutkan diatas guru juga
mempunyai tugas mendidik, mengajar, dan melatih anak didik. Mendidik
berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup (afektif). Mengajar
berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
(kognitif), adapun melatih berarti mengembangkan ketrampilan para siswa
(psikomotorik).
Ketiga tugas tersebut harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dan
tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang
guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan ketrampilan. Mereka
mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengesampingkan
nilai-nilai penggunaan ilmu dan teknologi tersebut.
4. Etika terhadap Kitab sebagai Alat Belajar
Sering dianggap aturan ini sudah umum berlaku dan cukup diketahui
oleh masing-masing individu. Akan tetapi, beliau memandang bahwa akhlak
tersebut penting dan perlu diperhatikan. Akhlaknya antara lain:
a. Menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang
diajarkan. Apabila tidak mampu memberi, hendaknya dapat menyewa
atau meminjam kepada temannya.
41 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 93.
50
b. Merelakan, mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran,
sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang tersebut.
c. Meletakkan buku pada tempat yang terhormat, dengan memperhitungkan
keagungan kitab dan ketinggian keilmuan penyusunnya. Menurut K.H.
Hasyim Asy’ari urutan yang pertama adalah Al-Qur'an, disusul Hadits,
Tafsir Al-Qur'an, Tafsir Hadits kemudian disusul dengan kitab-kitab
yang lain.
d. Periksa dahulu bila membeli atau meminjam buku, lihat bagian awal,
tengah, dan akhir buku.
e. Bila menyalin buku pelajaran Syari'ah, hendaknya dalam keadaan suci
kemudian diawali dengan Basmalah, sedangkan menyalinnya, mulailah
dengan Hamdalah serta Shalawat Nabi.42
Diterangkan bahwa diharuskan bersuci terlebih dahulu apabila
hendak mengkaji atau belajar. Dasar epistemologi untuk menjawabnya
yakni, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mencapainya harus suci
jasmani dan rohani. Dengan demikian diharapkan ilmunya bermanfaat dan
membawa berkah dan dapat diraihnya.
Perlu diperhatikan pula tugas sebagai seorang guru, guru merupakan
model dan teladan bagi peserta didik dan semua orang yang menganggap
dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap
bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Keprihatinan,
kerendahan, kemalasan dan rasa takut, secara terpisah atau bersama-sama
bisa menyebabkan seseorang berpikir atau berkata, “Jika saya harus menjadi
teladan atau dipertimbangkan untuk menjadi model, maka pembelajaran
bukanlah pekerjaan yang tepat bagi saya. Saya tidak cukup baik untuk
diteladani”. Alasan tersebut tidak dapat dimengerti, mungkin dalam hal
tertentu dapat diterima tetapi mengabaikan atau menolak aspek fundamental
dari sifat pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau menerima,
ataupun menggunakannya secara konstruktif maka telah mengurangi
42 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 95-101.
51
keefektifan pembelajaran. Peran dan fungsi ini patut di pahami, dan tidak
perlu menjadi beban yang memberatkan sehingga dengan ketrampilan dan
kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran.
Etika yang berlaku pada keduanya antara lain: berniat mendidik dan
menyebarkan ilmu serta menghidupkan syari’at Islam, menghindari ketidak
ikhlasan dan mengejar keduniawian, selalu introspeksi diri, tepat dalam
menggunakan metode dalam mendidik murid, memotivasi murid,
memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu; selalu memperhatikan
kemampuan murid, tidak pilih kasih, mengarahkan minat murid, bersikap
terbuka dan sabar, mencari kabar apabila ada yang tidak hadir, membantu
memecahkan masalah, bersikap arif dan bijaksana dan tawadhu’.43 Peran
guru disini nampak bukan sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan
(Transfer of Knowledge), tapi juga sebagai teman atau sahabat yang siap
membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh anak didiknya.
43 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, hlm. 80-95.
52
BAB IV
RELEVANSI ETIKA GURU MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI
DALAM KITAB ADABUL ALIM WAL MUTAALLIM
DENGAN PROSES PEMBELAJARAN KONTEMPORER
A. Analisis Tujuan Pendidikan dalam kitab Adabul Alim Wa Al Muta’allim
Secara langsung tujuan pendidikan yang sistematis dalam kitab Adabul
Alim Wal Muta’allim sebenarnya tidak disebutkan, namun secara ringkas dari
apa yang menjadi uraian pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang tujuan
pendidikan dalam kitabnya dapat disebutkan bahwa derajat ulama’ merupakan
suatu keharusan dan tujuan yang harus dimiliki dan dicapai oleh pendidik
maupun anak didik.1 puncak dari ilmu adalah mengamalkan ilmu.
2 Tujuan
selanjutnya adalah, kemuliaan ilmu untuk menggapai ridha Allah yang
sepenuhnya berjuang dijalan Allah.
Dari penjelasan tersebut tampaknya apa yang telah dipikirkan KH.
Hasyim tidak lepas dari tujuan ideal dan tujuan operasional. Tujuan ideal
biasanya disesuaikan dengan tujuan hidup manusia. Pendapat ini berlandaskan
pada asumsi bahwa pendidikan merupakan bagian dan sarana untuk mencapai
tujuan hidup. Oleh karena itu, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup.
Sedangkan tujuan operasional adalah suatu kondisi yang ingin dicapai pada
setiap tahap dalam proses pendidikan yang sedang dilangsungkan.
Tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari memberikan tekanan
yang sama kuat antara etika dan intelektualitas. Tujuan pendidikan menurut
KH. Hasyim Asy’ari adalah untuk mewujudkan masyarakat yang berilmu dan
beretika. Titik tekan pada ilmu dan etika itu tampak tersebar di berbagai tempat
dalam karyanya Adabul ‘Alim wal Muta’alim. Adapun etika yang ditekankan
beliau dalam kitab tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni
etika kepada Allah dan etika kepada sesama manusia.
Pertama, adab kepada Allah, beliau menyatakan bahwa hendaknya:
1 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wa al Muta’allim, (Jombang: Maktabah Turats al-
Islami, 1413 H), hlm.13. 2 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, hlm. 13-14.
53
a. Aktifitas seorang guru dan murid dalam belajar-mengajar diniatkan
kepada Allah semata, bukan karena tujuan duniawi saja.
b. menyerahkan semua urusan kepada Allah serta memohon petunjuk-Nya,
c. Menerima apa adanya pemberian Allah (qanaah) dan sabar dengan
segala kondisi dirinya.3
Kedua, adab kepada sesama manusia, khususnya etika guru terhadap
murid. Dimana guru dipandang sebagai pribadi yang sangat dihormati, dan
menjadi publik figur bagi keteladanan muridnya baik di kala beliau masih
hidup maupun ketika beliau sudah meninggal. Selain itu adab murid terhadap
teman senasib seperjuangannya juga perlu mendapat perhatian. Karena dari sini
akan tercipta sebuah pemahaman bahwa murid mempunyai etika yang baik
kepada teman sesamanya, sikap saling menghormati dan menghargai satu sama
lain.
Apa yang menjadi pemikiran KH. Hasyim tentang tujuan pendidikan
dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim dirasa sangat relevan dengan apa
yang menjadi cita-cita tujuan pendidikan saat ini bahkan menjadi tujuan
pendidikan sepanjang masa. Dimana pada tujuan pertama yaitu mencapai
derajat ulama’ (menjadi orang yang berilmu) dan derajat insan utama (khair al-
bariyyah)4, adalah tujuan dambaan bagi pendidik maupun anak didik. hal ini
senada dengan Kongres se-Dunia ke 11 tentang pendidikan Islam tahun 1980
di Islamabad, menyatakan bahwa:
“Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan manusia (peserta didik, pendidik) secara menyeluruh dan
seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran
(intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena
itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek
fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah,
dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong
semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan.
Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
3 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, hlm.25-29.
4 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, hlm.13.
54
ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia.”5
Dengan tujuan pendidikan seperti ini, maka murid maupun guru dapat
mempersiapkan diri secara penuh yang tidak hanya ahli dalam keilmuan agama
saja. Karena beerbicara tentang tujuan berarti berbicara mengenai hasil yang
nantinya akan dicapai dalam pendidikan. Bahkan menurut syaeikh al Zarnuji
persyaratan menjadi seorang guru sangatlah lebih ketat sebagaimana ungkapan
beliau:
...وا��� وا�ورع ������را�� ان ���� وا��ا��را����ذ
“dianjurkan bagi sorang murid dalam mencari ilmu harislah a’lam
(pandai menguasai materi), aura’(memiliki kematangan emosional) dan
asan (berpengetahuan).” 6
Sedangkan pada tujuan yang kedua yaitu beramal baik sesuai dengan
ilmu yang diperoleh merupakan puncak dari segala ilmu. Amal ini juga yang
menjadi manifestasi tujuan setiap orang, karena yang dianggap sebagai buah
dari ilmu adalah amal. Tujuan semacam ini dapat memberi pengaruh yang
signifikan terhadap langkah orang yang berilmu dalam mengaplikasikan
keilmuannya. Adapun manifestasi dari pengamalan ilmu itu sendiri adalah
sikap, perilaku atau etika sang pemilik ilmu. Dalam islam ilmu bukan hanya
dipandang sebagai sesuatu yang cukup diketahui saja, tapi juga perlu
diamalkan sekaligus sebagai bekal kehidupan akhirat kelak. Secara sederhana
tujuan semacam ini sudah merupakan cerminan pandangan hidup manusia.
Pemikiran semacam ini juga searah dengan yang disampaikan oleh pakar
pendidikan seperti, Ahmad D. Marimba, mengatakan tujuan akhir pendidikan
Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.7 Sedangkan tentang
kepribadian muslim, yakni kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya, baik
tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, filsafat hidup dan
5 Dikutip dari Samsul Nizar, Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis
dan Praktis, Abdul Halim (Ed), (Ciputat Press: Jakarta, 2002), hlm. 37-38.
6 Syeikh Al Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t.), hlm. 13
7 Ahmad D. Marimba, Pengantar Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif , 1980), hlm.
47.
55
kepercayaannya menuju pengabdian kepada Tuhan dengan wujud penyerahan
diri kepada-Nya.
Sebagaimana Marimba, Hasan Langgulung menyebutkan bahwa fungsi
dan tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi muda untuk memegang
peranan-peranan tertentu dalam masyarakat, memindahkan ilmu pengetahuan
yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua ke
generasi muda, memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memelihara
keutuhan dan kesatuan masyarakat.8 Ini berarti bahwa pendidikan tidak hanya
berfungsi sebagai transfer of knowledge saja, tetapi lebih kepada pembentukan
pribadi yang mantap dan berakhlak mulia, pribadi yang cakap dan ideal untuk
dijadikan sebagai figur seorang pemimpin.
Pada tujuan yang ketiga yaitu mencapai ridha Allah, dapat dikatakan
merupakan tujuan operasioanal dalam pendidikan. Dimana dalam konsep ini
segala aktifitas yang dilakukan harus bertujuan demi tercapainya ridha Allah
dan kebaikan disisinya. Abdurrahman an-Nahlawi, mengatakan bahwa tujuan
akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam
kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat. Hal ini berarti sejalan
dengan tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi ini, yakni untuk beribadah
kepada Allah SWT (QS. adz-Dzariyat 51: 56).9
Pandangan semacam ini merupakan proses yang perlu diterapkan
kembali oleh guru-guru dalam pelaksaan praktek pendidikan pada saat ini,
dimana tujuan terpenting dalam pendidikan adalah ridha Allah sebagai
manifestaasi pengamalan ilmu, adapun yang selain dari itu semua bukan tujuan
utama.
Dari beberapa tujuan-tujuan tersebut di atas, dapat diklasifikasikan
menjadi tiga bagian, yaitu pertama, yakni tujuan individu yang berkaitan
dengan individu dan pelajaran mereka sebagai persiapan di kehidupan dunia
8 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1980), hlm. 92.
9 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Herry
Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989), hlm. 160.
56
dan akhirat. Kedua, yakni tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat untuk memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan.
Ketiga, yakni tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pengajaran
sebagai ilmu, sebagai profesi dan sebagai suatu aktivitas dalam masyarakat.10
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan proses
membimbing dan membina fitrah manusia menjadi pribadi yang shaleh.
Dengan begitu diharapkan anak didik mampu memadukan fungsi iman, ilmu
dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia
maupun akhirat. Prof. Dr. M. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri dari 5 sasaran, yaitu: pembentukan moral yang tinggi,
mempersiapkan kehidupan dunia-akhirat, persiapan mencari rizki dan cara
memanfaatkannya, menumbuhkan semangat belajar dan mempersiapkan
tenaga profesional.11 Ini berarti bahwa pendidikan Islam tidak hanya
berorientasi pada satu sisi kehidupan saja, melainkan dua sisi kehidupan yang
sama-sama punya peranan penting, yaitu dunia-akhirat. Menurut ajaran Islam
keduanya harus dituntut bersama-sama, karena hidup akhirat merupakan
kelanjutan dari kehidupan dunia.12
B. Analisis Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Etika Guru dalam Proses
Belajar Mengajar dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim
K.H Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pendidikan yang banyak
mencurahkan gagasan mengenai relasi etika guru dan murid, yang melandasi
ajarannya dengan penekanan religious ethic. Etika religius ini, didasarkan atas
keimanan sehingga proses pencarian ilmu itu merupakan bagian dari realisasi
iman dan sekaligus untuk menjaganya dalam rangka mencari ridha Allah.
Dalam kerangka praksisnya, mencari ilmu senantiasa harus mengacu pada etika
10 Omar Muhammad Al-Taomy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Bulan Bintang:
Jakarta, 1979), hlm. 399.
11 Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), hlm. 15-18.
12 Chabib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996), hlm. 303.
57
dan memperhatikan kemanfaatan (al-ilmu al-nafi). Menurut KH. Hasyim ‘ilmu
nafi’ akan didapatkan apabila aturan etika dapat dijalankan dengan baik dalam
proses belajar mengajar, etika tidak hanya berlaku pada anak didik saja tetapi
etika juga berlaku bagi guru. Terlebih lagi bagi guru Pendidikan agama Islam.
Menurut beliau kesuksesan dapat dihasilkan dan dicapai apabila antar etika
guru dan murid saling dilaksanakan secara baik sesuai dengan aturan dalam
kegiatan belajar mengajar yang berdasarkan kepada akhlak. Mengapa
demikian, karena menurut beliau adanya etika religius itu merupakan
komponen yang menjadi indikator dan prasyarat keberhasilan dalam tujuan
pendidikan. Sehingga dalam konteks kekinian dengan adanya penekanan etika
religius ini sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3. Yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.13
Dengan mencoba melihat fenomena pendidikan yang terjadi saat ini,
penulis menganalisa berbagai problematika pendidikan yang timbul, terutama
seorang guru. Selanjutnya ditengah-tengah kemerosotan posisi guru pada saat
ini, konsep pemikiran etika pendidikan KH Hasyim ‘Asyari patut
dipertimbangkan kembali. Mengingat peranan pemikirannya yang sangat
signifikan dan sangat menekankan nilai religius ethic dalam mempertahankan
eksistensi dan wibawa guru dimata anak didik dan masyarakat.
Sebagai seorang pendidik, guru juga mempunyai tanggung jawab
etika yang harus berlaku terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain.
Dibawah ini akan dibahas dan analisis etika guru satu persatu.
13 Undang-Undang Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dan Penjelasannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 8.
58
1. Analisis Etika Guru terhadap Diri Sendiri
Dalam bab etika guru terhadap murid terdapat empat pokok penting
yang perlu dianalisis yaitu:
Pertama tentang adanya penekanan jalan kesufian yang harus
dilakuakan oleh guru. Karena hal ini dianggap sebagai jalan tercepat untuk
mendekatkan diri pada Allah. Diantaranya adalah bersikap muraqabah,
khouf, wara’, tawadlu’, dan khusuk kepada Allah. Ini dimaksudkan agar
orang yang berilmu selalu berpegang teguh pada norma ilahi. Seorang pakar
pendidikan asal pakistan, Khursyid Ahmad mencatat empat kegagalan yang
diterima pendidikan barat yang lebih cenddrung bersifat liberal dan sekuler,
yakni 1) pendidikan barat gagal menanamkan dan mengembangkan cita-cita
kemasyarakatan dikalangan murid atau anak didik. 2) Pendidikan barat
gagal menanamkan nilai-nilai moral dan etika dalam hati dan jiwa murid
atau anak didik dalam memenuhi kebutuhan jiwanya. 3) Pendidikan liberal
membawa akibat perpecah belahan ilmu pengetahuan. 4) Pendidikan liberal
tidak mampu menjawab tentang permasalahan-permasalahan mendasar.14
Sudah sepantasnya guru sebagai pendidik haruslah punya bekal keilmuan
dan dekat dengan tuhan sebagai dasar dalam mendidik murid.
Kedua, tidak menjadikan ilmunya sebagai tangga mencapai
keuntungan duniawi, membiasakan melakukan kesunahan-kesunahan
syari’at, dan senantiasa bersemangat mencapai perkembangan ilmunya.15
Konsep ini menuntut adanya keikhlasan dalam setiap aktivitas guru,
menurut Al-Ghazali, mendidik adalah tanggungjawab bagi orang yang
berilmu. ini dimaksudkan agar dalam mengajar ilmu niat guru hanya karena
Allah dan sebagai perantara untuk mendekatkan diri antara anak didik, guru
kepada-Nya.16 Hal ini berarti seorang guru tidak boleh memanipulasi atau
menyalahgunakan keilmuannya demi keuntungan duniawi, sehingga lupa
14 Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001). hlm. 114.
15 KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’alim..., hlm. 55
16 Abidin ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 64.
59
pada tugasnya sebagaimana seorang pendidik yang mengindahkan norma-
norma Illahi.
Selanjutnya sebagaimana penjelasan ulama’ terdahulu tentang faktor
pentingnya niat dan tujuan yang luhur ikhlas karena Allah, mencari
kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan diri, menghidupkan agama
dan untuk melestarikan ajaran Islam. Ini dimaksudkan agar seorang guru
atau murid dalam mendidik dan mencari ilmu tidak terbersit niatan dalam
hatinya untuk mendapat penghormatan, prestise, dan untuk mendapatkan
kepentingan duniawiyah saja. Hal ini berbeda dengan pendidikan dan
pencarian ilmu yang dikedepankan saat ini, di mana aspek material oriented
sangat dominan sehingga menyebabkan dunia pendidikan kehilangan
keseimbangan antar aspek material oriented dan spiritual oriented.
Akibatnya out put yang dihasilkan tidak jarang justru melahirkan manusia
yang memandang segala sesuatunya dari sudut pandang materi. Sehingga
tidak jarang kejahatan yang besar justru banyak dilakukan orang-orang
berpendidikan.
Ketiga, kesadaran diri sebagai guru. Ini berarti guru harus dapat
menjadi teladan (uswah) dalam memberi contoh yang baik kepada murid
atau anak didik, sehingga tertanam dalam dirinya untuk dapat menjadi guru
yang benar-benar edukatif. Al- Ghazali mengibaratkan kedudukan guru dan
murid sebagai kayu dan bayangannya. Murid sebagai bayangan tidak
mungkin dapat lurus jika guru atau kayunya bengkok.17
Keempat, keharusan bagi seorang guru untuk semangat
mengembangkan keilmuan, seperti penelitian, dialog, maupun menulis baik
untuk merangkum maupun mengarang buku sebagai upaya untuk
memantapkan keilmuannya. Untuk itu, apa yang ditawarkan KH. Hasyim
Asy’ari seperti, bahwa seorang guru haruslah orang ‘Alim (kompeten) dan
selalu bermuthala’ah merupakan tawaran yang sesuai dengan konteks
17 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam pendidikan, Studi tentang Aliran
Pendidikan menurut Al-Ghazali , (Semarang: Dita Utama, 1993), hlm. 39.
60
kekinian, dimana seorang guru dituntut untuk memiliki kecakapan meliputi
kompetensi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
2. Analisis Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Pada dasarnya apa yang terkait dalam bab etika guru dalam proses
belajar mengajar adalah pembahasan tentang etika guru dalam hal
kemampuan psikologis. Kaitannya dengan dalam pembelajaran kontemporer
yang terpenting saat ini menurut Sya’roni adalah adanya keterbukaan
psikologis bagi seorang guru.18 Karena keterbukaan psikologis ini akan
berimplikasi pada dua hal, yaitu: Pertama, keterbukaan psikologng is guru
merupakan prasyarat penting yang harus dimiliki guru sebagai upaya untuk
memahami pikiran dan perasaan orang lain. Kedua, dapat menciptakan
relasi antar pribadi guru dengan murid yang harmonis, sehingga dapat
mendorong murid untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa
ganjalan.
3. Etika Guru terhadap Murid atau Anak Didik
Secara umum, guru adalah orang yang memiliki tangung jawab
untuk mendidik.19 Sedangkan secara khusus, guru dalam perspektif
pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.20Berarti guru mempunyai peranan
penting dalam pembentukan etika atau akhlak anak didik, tetapi juga tidak
mengesampingkan peranan orang tua sebagai basic pembentukan etika atau
akhlak anak tersebut.
Sebagai seseorang yang diagungkan dalam sebuah proses
pembelajaran, guru juga mempunyai etika terhadap murid sebagai anak
18 Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan
KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 76.
19 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif ,
1989), hlm. 37.
20Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm. 74-75.
61
didiknya. Diantara etika tersebut adalah kasih sayang dalam pergaulan, yaitu
sikap lemah lembut dalam bergaul.21 Artinya guru memberi contoh
pergaulan yang baik antara sesama guru di hadapan para murid, sebagai
pendidikan bagi kebaikan agama dan pergaulan mereka.
Selain itu kasih sayang dalam mengajar, guru juga tidak boleh
memaksa muridnya untuk mempelajari sesuatu yang belum dijangkaunya.
Melainkan menjelaskan lagi sesuatu yang tidak di pahami murid agar
tercipta pemahaman yang benar.22 Dari sini akan terlahir hubungan yang
harmonis antara guru dan muridnya, hubungan yang lebih dari sekedar guru
dan murid, melainkan hubungan ayah dan anak. Dengan begitu murid akan
lebih bersemangat dalam belajar sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai.
4. Analisis Etika Guru terhadap Kitab
Kaitannya dengan hal yang perlu dibahas dalam etika guru terhadap
kitab adalah adanya kecendrungan mengedepankan pengetahuan agama dan
adanya nilai-nilai religius yang menyertai kegiatan guru. Pada dasarnya,
cabang-cabang ilmu adalah saling berhubungan dan terkait sehingga
penguasaan terhadap seluruh pengetahuan merupakan suatu keharusan.
Akan tetapi, untuk mencapai tujuan penguasaan terhadap keseluruhan
pengetahuan secara sekaligus tidaklah mungkin dengan cepat dan secara
instan. Maka seorang guru harus dapat memilih dan mengkalasifikasi
manakah pelajaran yang paling penting, cocok dan berguna untuk murid.
Dalam memahami konsep ini bukan berarti trend agama dalam arti
mendahulukan pendahuluan agama yang hanya mendominasi uraian-uraian
tersebut, melainkan juga trend pragmatisme (dalam pengertian secara
umum), sehingga apapun yang menjadi penilaian tentang kedudukan ilmu
berdasar kegunaan bagi manusia juga penting, namun ilmu agama juga
penting. Keuntungan dari konsep ini adalah pemahaman keagamaan
21 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hlm. 85.
22 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hlm. 85.
62
menjadi sangat mendalam dan ilmu-ilmu lain juga penting sebagai
keharusan untuk kegunaan manusia.23
Adapun analisis dan kaitannya empat etika guru tersebut dengan
penerapan secara umum, penulis melihat fenomena ini sebagai keharusan,
karena hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat memang ada sebagian guru
sekarang ini telah menyimpang dari kode etiknya. Ditambah lagi adanya
ketidakseriusan guru dalam pembelajaran untuk menjadikan murid sebagai
generasi yang baik dan mempunyai etika, adab atau sifat yang terpuji masih
jauh dari harapan. Sementara itu, kesalahan kecil yang dilakukan guru
mendapatkan respon yang begitu besar dan hebat dari masyarakat, mengingat
kedudukan guru adalah sebagai uswah.
Hampir setiap hari kita disuguhkan berita dari televisi maupun surat
kabar tentang fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang
terjadi di dalam dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh guru terhadap
siswanya maupun kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang
lain. Hal tersebut sangat memprihatinkan karena di sekolahlah seharusnya
nilai-nilai etika dan budi pekerti itu ditanamkan.
Adanya fenomena guru yang tidak edukatif dalam pendidikan tentu
sangatlah riskan. Implikasi dari asumsi tindakan yang tidak edukatif adalah
siswa merasa tidak aman dan tidak nyaman dalam proses pembelajaran. Dari
fenomena ini banyak pakar menganalisa akibat dari pertama kekerasan dalam
pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman,
terutama fisik, jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi.
Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka
terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Kedua kekerasan dalam
pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan
yang berlaku. Muatan kurikulum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek
kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya
proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga kekerasan dalam pendidikan
23 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam pendidikan...,hlm. 46.
63
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang
memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat sikap guru yang kurang profesional dalam melaksanakan
pembelajaran sehingga berimplikasi pada pemahaman siswa terhadap materi
yang disampaikan.
Oleh karena itu penekanan terhadap aspek etika, moral atau adab
menjadi harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi, agar pendidikan Islam dapat
berjalan dengan baik sehingga mampu menghasilkan generasi yang berakhlak
mulia. Hal senada juga disampaikan Athiyah al-Abrasyi bahwasanya
pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam,
dan Islam menyimpulkan bahwa pendidikan etika, adab, budi pekerti atau
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak sempurna
merupakan tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam.24
Kaitannya dengan fenomena tersebut perlu kiranya sebagai guru untuk
kembali pada kaidah yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari tersebut,
walaupun akhirnya ada imbalan itu merupakan bagian dari jerih payah orang
melakukan aktifitas dan sebagai penunjang kesejahteraan guru meskipun tidak
menjadi prioritas. karena dalam pembelajaran sangat perlu menekankan rasa
keikhlasan dalam segala aktifitas, karena salah satu kemudahan agar dapat
menerima apa yang disampaikan guru dalam proses belajar mengajar adalah
rasa ikhlas dari gurunya, dan salah satu jalan masuknya nur ilahi adalah
dengan rasa keikhlasan, dan ini bukan berarti guru tidak boleh sepenuhnya
tanpa harus digaji dan tanpa harus dihormati.
Untuk itu apa yang diungkapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari bahwa
seorang guru harus mempunyai kompetensi yang memadai dengan menjadikan
dirinya sebagai top model. Karena bagaimanapun juga eksistensi guru sampai
kapan pun tetap tidak akan terganti oleh mesin yang canggih sekalipun.
24 Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok…, hlm. 15.
64
C. Kontribusi Konsep Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Serta
Relevansi Dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini.
Dunia pendidikan Indonesia saat ini bisa digambarkan dengan pola
hidup masyarakat Indonesia yang sudah memprihatinkan. Dalam hal ini
terdapat dua kelompok. Satu kelompok melihat nilai-nilai lama mulai runtuh
sedang nilai-nilai baru belum muncul untuk menggantikan nilai-nilai lama.
Sedangkan kelompok kedua melihat nilai-nilai lama itu masuk ke dalam nilai-
nilai baru dan membantu menegakkannya. Samsul Nizar mengungkapkan
bahwa keprihatinan bangsa yang tengah dilanda krisis dalam berbagai aspek
kehidupan membuat peran pendidikan khususnya sekolah dipertanyakan.25 Ini
berarti pendidikan belum mampu membentuk manusia ideal yang dapat
diandalkan dalam masyarakat. Melihat kondisi riil yang ada sekarang ini,
seperti maraknya tawuran pelajar, konsumsi dan pengedaran narkoba yang
merajalela, dan pergaulan bebas, membuat peran pendidikan semakin tersudut.
Seakan pendidikan sekolahlah yang bertanggung jawab penuh terhadap
berbagai permasalahan yang menyelimuti generasi bangsa dan masyarakat.
Kondisi seperti di atas sebenarnya sudah lama tergambar pada masa
lalu, hal semacam ini pula yang melatar belakangi terciptanya karangan kitab
Adabul alim wal mutaa’allim. Pendidikan dimasa sekarang ini disadari atau
tidak telah mengalami pergeseran nilai dan orientasi, pendidikan Islam yang
awalnya bertujuan membentuk karakter anak didik dan membentuk etika
religius, ternyata secara metodologis justru lebih banyak terjebak dalam pola
pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata. Kondisi seperti ini pada
akhirnya akan kembali menimbulkan krisis etika dan moral serta keagamaan.
Melihat kondisi seperti itu, maka kontribusi yang akan diberikan oleh beliau
adalah sebagai berikut:
1. Orientasi Tujuan Pendidikan yang Mempunyai Arah Duniawi untuk
Ukhrawi
25 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 32.
65
Dalam hal ini, akan terjadi keseimbangan antara jasmani dan rohani.
Keseimbangan ini akan menjadi dasar untuk mencapai kebahagiaan yang
sempurna. Dengan adanya tujuan ke arah ukhrawi maka perkembangan
pendidikan tidak hanya terfokus pada transfer of knowledge dengan
pengajaran semata.
2. Penyertaan Religius dalam setiap Unsur Proses Belajar Mengajar
Adapun yang dimaksud adalah berusaha membuat suasana
keagamaan dalam proses pendidikan. Dan ini, mempunyai peran besar
dalam menumbuhkembangkan moral dan spiritual peserta didik. Karena
suasana religius dan membiasakan akhlak dalam setiap kegiatan belajar
mengajar merupakan langkah maju menuju cita-cita keseimbangan dunia
dan akhirat.
3. Optimalisasi Etika Religius terhadap Guru dan Murid
Tentang optimalisasi etika religius terhadap guru dan murid
merupakan konsep untuk pengamalan secara maksimal terhadap ajaran-
ajaran Islam. Dalam konteks ini, ajaran agama tidak boleh hanya dikuasai
sebagai pengetahuan, melainkan pengamalan yang mengkristal dalam diri
guru dan murid. Optimalisasi religius ini menitik beratkan pada individu
guru dan murid. Kalau dilihat secara seksama, pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari berusaha membuat dasar bangunan masyarakat moral religius
melalui pembinaan moral.
Dari beberapa pemaparan diatas menunjukkan adanya sesuatu yang
salah dalam praktek pendidikan kita, yaitu kurangnya perhatian pada aspek
etika, moral yang perlu dicarikan pemecahannya. K.H Hasyim Asy’ari telah
memberikan sedikit gambaran atas pemecahan persoalan yang terjadi
dengan mengedepankan pendidikan etika sebagai tujuan pendidikan,
pesantren sudah membuktikan keberhasilannya dalam mencetak murid,
anak didik yang saleh, beretika dan berakhlak mulia.26 Maka membuat
26 Ahmad Magfurin, “Model Pendidikan Alternatif Masa Depan”, dalam Ismail SM, dkk
(Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang, 2002), hlm. 143.
66
suasana religius dan membiasakan etika dan akhlak yang baik dalam setiap
kegiatan belajar mengajar merupakan langkah maju menuju cita-cita
keseimbangan dunia akhirat. Etika, akhlak dan adab merupakan salah satu
dari bentuk sifat yang harus diperhatikan dan dimiliki oleh siapapun,
khususnya guru dan murid atau anak didik dalam pendidikan, dimana antara
sikap guru dan murid sangatlah terkait satu sama lain dalam proses belajar
mengajar. Murid selaku penerima ilmu haruslah hormat terhadap guru,
sedangkan guru sebagai pendidik sudah seharusnya bersikap lebih
dibandingkan murid.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian bab diatas setidak-tidaknya ada tiga dimensi
penting yang terdapat dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, yakni
dimensi keilmuan yaitu dimensi yang memandang pendidikan sebagai wadah
pengembangan keilmuan, dimensi pengamalan berarti mengupayakan
pendidikan sebagai aktualisasi dari ilmu yang selama ini dicari, dan dimensi
religius sebagai kontrol bahwa pendidikan merupakan sarana untuk
meningkatkan keimanan dan pengetahuan kepada Tuhan. Dimana dari tiga
dimensi tersebut terangkum dalam satu konsepsi pendidikan yang bercirikan
dengan nilai-nilai moral dan berlandaskan “etika”.
Kaitanya dengan etika guru terhadap murid yang disampaikan K.H
Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wa Al Muta’allim dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam
menjalankan tugas utama profesinya sebagai guru adalah memberikan
pendidikan dan pengajaran kepada murid atau anak didik, apa yang dilakukan
oleh guru kurang lebih nantinya adalah yang akan dilakukan oleh murid atau
anak didik. Oleh karena itu guru hendaknya bersikap hati-hati dalam menjaga
sikap, etika dan perilakunya dalam menjalankan kegiatan belajar
mengajarnya, serta mendasari setiap perilaku pengajarannya dengan nilai nilai
etika keagamaan (religius ethic). KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan, bahwa
kunci sukses belajar mengajar adalah adanya aturan etika yang dijalankan
dalam relasi hubungan komunikasi yang baik antara guru dengan murid yang
berdasarkan pada nilai-nilai agama.
Hal ini membuktikan bahwa apa yang dipahami beliau dalam bidang
pendidikan merupakan buah karya perhatian beliau tentang tentingnya nilai
etika dalam pendidikan. Adapun peran dan pentingnya kesuksesan suatu
pendidikan itu hanya dapat dilakukan oleh guru yang mempunyai kompetensi
tertentu dengan menjadikan etika sebagai landasan tinggi belajar
mengajarnya.
68
Adapun relevansi pemikiran etika guru yang digambarkan KH.
Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim Wal Mutaallim meliputi empat
etika pokok yaitu, etika guru terhadap diri sendiri , etika guru dalam proses
belajar mengajar, etika guru terhadap murid atau anak didik, etika terhadap
kitab sebagai alat untuk belajar. Untuk sekarang ini dirasa sangat penting
untuk diapresiasi kembali di tengah-tengah keadaan sistem pendidikan yang
sudah terjebak dalam pandangan material oriented. Dimana dalam pandangan
beliau bahwa materi bukanlah tujuan dari pendidikan.
Adapun jika diimplementasikan dalam praktek kegiatan belajar
mengajar, pemikiran K.H Hasyim Asy’ari sangatlah penting, artinya
ditengah-tengah keadaan sistem pendidikan yang terjebak pada material-
oriented seperti sekarang ini. Dengan kata lain, guru memandang bahwa
pendidikan merupakan satu-satunya wadah untuk menghasilkan materi. Maka
yang akan terjadi adalah hilangnya aspek etika religius dan barakah dalam
pendidikan tersebut. Oleh karena itu, berefleksi dari pemikiran beliau, perlu
rasanya untuk mengadakan evaluasi diri, sudah sejauh manakah perjalanan
pendidikan selama ini, maka apa yang diungkapkan K.H Hasyim Asy’ari
layak direnungkan kembali, yakni tentang adanya guru profesional yang
mempunyai kompetensi akademik dengan kualitas etika tinggi yang memadai
dengan menjadikan dirinya sebagai top model atau uswah bagi perkembangan
murid atau anak didik. Namun demikian, tidak harus sampai mereduksi
adannya nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran. Jadi, yang perlu diingat
adalah bagaimana proses pembelajaran tersebut, dibangun atas dasar etika
dan ta’zim yang besar dari seorang murid dan cinta kasih yang tulus dari
seorang guru. Maka pendidikan yang berdasarkan etik di atas akan terjalin
sikap yang kritis dan demokratis dan eksistensi guru dan siswa sama-sama
diakui, lebih dari itu siswa diperlakukan secara manusiawi, diberikan hak
untuk mengemukakan pendapat, mengkritik. Tapi bagaimana kritikan dan
pendapat tersebut disampaikan dengan santun dan beretika.
B. Saran-Saran
Adapun saran-saran untuk mengakhiri skripsi ini adalah sebagai
berikut:
69
Pertama, Dalam kaitannya dengan pendidikan, pemikiran K.H
Hasyim Asy’ari tentang etika guru terhadap murid dan implementasinya
dalam pendidikan modern, setidak-tidaknya memberikan sumbangan
pemikiran dalam pendidikan Islam.
Kedua, Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari masih sangat relevan untuk
dikaji dan dikembangkan karena dengan melihat fenomena pendidikan yang
sering terjadi, sebagaimana kekerasan dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini,
mengingat kondisi bangsa Indonesia yang secara budaya dan pendidikan
semakin tertindas dan terhegemoni Barat. Maka pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari mencoba menata kembali masalah pendidikan dengan
mengembangkan sebuah etika religius dan transendental dalam pendidikan.
Ketiga, untuk kepentingan teoritis maupun praktis bagi
pengembangan pendidikan Islam umumnya dan belajar mengajar pada
prakteknya, pengkajian secara kritis terhadap konsep-konsep yang berasal
dari ulama-ulama tradisional penting untuk terus dilakukan, karena
menemukan pemikiran ulama tradisional secara kritis ibarat menemukan
kembali mutiara berharga yang telah lama terpendam di kedalaman lumpur
sejarah selama bertahun-tahun.
Keempat, Salah satu temuan dalam dalam penelitian adalah adanya
indikasi bahwa apa yang mejadi pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy’ari
khususnya tentang etika sedikit banyak merupakan manifestasi dari
pemahaman tasawuf dan keagamaan yang disandangnya. Namun dalam
penelitian ini hal itu hanya disinggung sebagaian saja, sehingga kajian lebih
lanjut mengenai pengaruh paham keagamaan dan tasawuf K.H Hasyim
Asy’ari terhadap konsep pendidikan yang beliau bangun memiliki
signifikansi dan urgensi yang cukup penting untuk dilakukan.
C. Penutup
Demikianlah hasil akhir dari skripsi ini, yang telah mengalami
perjalanan panjang yang harus dilalui untuk sampai pada penghujung untuk
mencapai garis akhir. Segala tulisan yang tertuang dalam skripsi ini
merupakan karya yang ditulis dengan sungguh-sungguh dan
70
bertanggungjawab, namun tetap harus diakui bahwa segala kekurangan dan
kesalahan sudah barang tentu masih tetap melekat dalam rangkaian kata-kata
dari awal sampai akhir. Untuk itu, tidak ada usaha yang lebih berharga
kecuali melakukan kritik konstruktif terhadap setiap elemen untuk
membangun skripsi ini, demi perbaikan dan kebaikan semua pihak. Namun
penulis tetap berharap, dengan segala kekurangan dan kesalahan yang ada,
skripsi ini tetap menjadi bagian dari usaha yang bermanfaat bagi
pengembangan pendidikan Islam pada khususnya, dan pengayaan khazanah
Islam pada umumnya, atau paling tidak dapat memenuhi standar minimal dari
kriteria kegunaan yang telah ditetapkan sejak penelitian ini berupa rancangan.
Amin.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdussami, Humaidy, dan Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlotul
Ulama, Yogyakarta: LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995.
Al Abrasyi, Athiyyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, Mesir: al-
Halabi, 1975.
_______, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Al Darimi, Imam, Sunan Al- Darimi, Dar al-Fikr: Mesir, tt.
Al Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj. Abdul Rosyad Shiddiq, Jakarta:
Akbar Media, 2008.
Al Qardhawi, Yusuf, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah SAW, Karakter
Ilmu dan Ulama’, Jakarta: Firdaus, 1994.
Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-taomy, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan
Bintang: Jakarta, 1979.
Al Zarnuji, Ta'limul Muta'llim, Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t.
Ali, Muhammad, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algesindo, 2007.
Ali, Zainudin, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Aly, Hery Nur dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung
Insani, 2003.
Anam, Chairul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya:
Bisma Satu, 1999.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj.
Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1989.
Assegaf, Abd. Rahman, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus
dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Asy’ari, KH. Hasyim, Adabul ‘Alim wa al Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats
al-Islami, 1413 H.
Asy Syalhub, Fuad, Guruku Muhammad, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Azizy, A. Qodri A., Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial
(Mendidik Anak Sukses Masa Depan Dan Bermanfaat), Semarang: CV.
Aneka Ilmu, 2003.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Burhanuddin, Tamyiz, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak,
Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Daradjat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang pandangan hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Fakhruddin, Asep Umar, Menjadi Guru Favorit, Jakarta: PT. Grasindo, 1999.
Hadzik, KH. Ishomuddin, Irsyad al-Sari, Jombang: Maktabah Turats al-Islami, tt.
Huda, Misbahul, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir
Pendidikan Islam Klasik”, Religia, vol. II, No. 2, Oktober, 1999.
Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari,
Yogyakarta: LkiS, 2000.
Komarudin, et.al., Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1980.
Magfurin, Ahmad, Model Pendidikan Alternatif Masa Depan, dalam Ismail SM,
dkk (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002.
Majid, Abdul, et.al., Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma'arif,
1989.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,
Yogyakarta: LkiS, 2004.
Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan
kebangsaan, Jakarta: Kompas, 2010.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: PT. Bayu Indra
Grafika, 1996.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Muhammad, Herry, et.al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
Jakarta: Gema Insani, 2006.
Mujib, Abdul, et al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008
Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misaka Galiza,
2003.
Musarmadan, Ahklak Guru dan Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam (studi
atas pemikiran K.H Hasyim Asy'ari dalam kitab Adabul Alim wa Al
Muta'alim), Semarang IAIN Walisongo, 2006.
Mustofa, KH. Bisyri, Mitra Sejati, Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan, tt.
Nasution, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1992.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Nizar, Samsul, dan Abdul Halim (Ed), Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,
1996.
Rozikin, Badiatul, et. al., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009.
Rusn, Abidin ibnu, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Soetjipto, et.al., Profesi keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1994.
Sudjana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2002.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran dalam pendidikan, Studi tentang Aliran
Pendidikan menurut Al-Ghazali , Semarang: Dita Utama, 1993.
Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi, Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan: Suatu pendekatan Baru, Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 1995.
Sya'roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji
dan KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Teras, 2007.
Syukur, Suparman, Etika Religius, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992.
Tantowi, Ahmad, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Thoha, Chabib, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integritas
dan Kompetensi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
Undang-Undang R.I. Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Jakarta:
Sinar Grafika, 2005.
Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "SISDIKNAS: Sistem
Pendidikan Nasional", Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2000.
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama : Edi Hariyanto
2. Tempat tanggal lahir : Demak, 5 Maret 1987
3. NIM : 053111324
4. Alamat Asal : Tb. Malang, RT/RW. 04/06. Purworejo,
Kec. Bonang, Kab. Demak
HP : 085726920364
E-mail : edi. [email protected] terate
B. Riawayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal :
a. RA. Raudlotul Islamiyyah ............................................. Tahun 1992
b. MI Raudlatul Islamiyyah ................................................ Tahun 1999
c. MTs Futuhiyyah I Mranggen ......................................... Tahun 2002
d. MA Futuhiyyah I Mranggen ........................................... Tahun 2005
e. IAIN Walisongo Semarang ........................................... Tahun 2011
2. Pendidikan Non Formal :
a. Pondok Pesantren Futuhiyyah ........................................ Tahun 1999
C. Pengalaman Organisasi :
1. IKSANDA (Ikatan Santri Demak) ............................ Tahun 2003-2004
2. Dep. KAMTIB (Keamanan dan Ketertiban)
PP. Futuhiyyah ..................................................................... Tahun 2005
3. PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate ................................ Tahun 2010
D. Karya Ilmiah
1. Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam Menurut KH.
Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.(Skripsi)
Semarang, 10 Juni 2011
Penulis
Edi Hariyanto
NIM. 053111324