etika berbusana

264
ETIKA BERBUSANA (Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang) T E S I S Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam Oleh: HATIM BADU PAKUNA NIM 5202020 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2005

Upload: susilawati-es-se

Post on 17-Sep-2015

69 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tfhhryebryye htrhyuwr yerhb

TRANSCRIPT

ETIKA BERBUSANA (Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAINWalisongo Semarang)

T E S I SDiajukan Sebagai PersyaratanUntuk Memperoleh Gelar MagisterDalam Ilmu Agama IslamOleh:HATIM BADU PAKUNA NIM 5202020PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG 2005HALAMAN PENGESAHAN2DEKLARASIDengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa tesis ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga tesis ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.Semarang, 2 Juni 2005 DeklaratorHATIM BADU PAKUNANIM 52020203ABSTRAKSIEtika Islam merupakan aturan baik dan buruk perbuatan manusia yang disandarkan pada ajaran-ajaran Islam. Etika Islam mencakup cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis menerawang, tidak menyerupai pakaian lelaki, dan tidak berwarna menyolok.Namun patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan, sebagai penutup aurat rambut dan leher, atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya. Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual dan eksploitasi agama.Begitu pula mahasiswi IAIN Walisongo Semarang yang notabene memakai jilbab sebagai salah satu simbol identitas perguruan tinggi yang berbasis ilmu-ilmu keislaman. Setelah dilakukan penelitian terhadap mahasiswi yang tergabung dengan KAMMI, HMI, IMM, PMII, UKM Music, Teater dan Mawapala, ternyata banyak keragaman pola berbusana yang mereka dipakai, seberagaman corak pemahaman keagamaan mereka. Mahasiswi yang bergabung dengan KAMMI memahami bahwa pola busana yang dipakai oleh seorang muslimah (termasuk mahasiswi) seharusnya yang longgar sehingga dapat menutup aurat rapat-rapat, tidak boleh transparan/ketat, sebab dengan pola berbusana seperti itu diharapkan membawa pemakainya pada perilaku yang mencerminkan etika Islam. Mahasiswa yang bergabung dengan HMI, IMM dan PMII memahami bahwa pola berbusana muslimah yang penting dapat menutup aurat, bentuknya tidak harus longgar, yang penting masih kelihatan sopan. Sebaliknya, mahasiswi yang bergabung dengan UKM Music, Teater dan Mawapala, lebih memahami bahwa busana yang seharusnya dipakai mahasiswi harus mengikuti mode, sehingga mengesankan mahasiswi IAIN tidak ketinggalan zaman dalam berbusana. Merekapun merefleksikan pemahamannya tentang pola berbusana dengan berbusana yang mereka pakai. Selanjutnya, manakah pemahaman keagamaan dan pola berbusana mahasiswi IAIN yang sesuai dengan etika Islam, inilah yang dikaji dalam tesis ini.4KATA PENGANTARDengan mengucapkan syukur alhamdulillah, berkat ketekunan dan usaha maksimal penulis, penyusunan tesis yang berjudul ETIKA BERBUSANA (Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang) dapat terselesaikan.Penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak yang kepadanya patut diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:1. Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.2. Prof. Dr. Abdurrahman Masud, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana IAIN Walisongo.3. Dr. Abdul Muhayya, M.A., selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.4. Dr. Ahmad Gunaryo, M.Soc.Sc. dan Drs. Darori Amin, M.A., selaku Asisten Direktur I dan Asisten Direktur II Program Pascarjana IAIN Walisongo.5. Segenap dosen Pascasarjana IAIN Walisongo yang telah memberikan bekal pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan jejang studi S-2.6. Segenap pegawai administrasi dan karyawan Pascasarjana yang telah banyak memberikan layanan akademik selama study di Pascasarjana.7. Segenap pegawai Perpustakaan IAIN, Perpustakaan Pascasarjana, dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan layanan dalam peminjaman buku-buku referensi.58. Segenap keluarga penulis yang banyak memberikan dorongan baik materiil maupun moriil dalam menempuh studi.9. Teman-teman penulis yang ikut memberikan dorongan dan membantu dalam menyelesaikan tesis ini, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.Semoga Allah S.W.T. membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari aspek materi, metodologi dan analisisnya. Karenanya, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk karya yang lebih baik di masa mendatang. Akhirnya hanya kepada Allah S.W.T. penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya.Semarang, 2 Juni 2005 Penulis,HATIM BADU PAKUNANIM 52020206PEDOMAN TRANSLITERASITransliterasi Arab-Latin1ac>dl

-bth

*tJizh

*ts&

ejgh

ch^f

tkhciq

*dcdk

idzJl

jrPm

jzun

u-sJw

USsy.h

u-sh*

,fy

7Untuk Md dan Diftong = a panjang = i panjang = u panjangJl=awJl=uwtf'=aytf'=iyKata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah atau qamariyah, yakni al ditulis sama. Contoh:Jljill=al-Qurni*A\=al-SayidahrljJl=al-Awm^j^l=al-Syarah8DAFTAR SINGKATANS.W.T.: Suhanahu Wa Taala

S.a.w.: Shalalllahu alaihi wasalam

R.a.: Radiyalllahu anhu

H.R.: Hadits Riwayat

H.: Hijriyah

M.: Masehi

Q.S.: Al-Qurn Surat

NU: Nahdlatul Ulama

PMII: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

HMI: Himpunan Mahasiswa Islam

IMM: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

KAMMI: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

MAWAPALA: Mahasiswa Walisongo Pecinta Alam

UKM: Unit Kegiatan Mahasiswa

PKS: Partai Keadilan Sejahtera

Ibid.: Ibidem (pada tempat yang sama)

Op.cit.: Opere cicato (dalam karangan yang telah disebut)

Loc.cit.: Loco cicato (pada tempat yang telah dikutip)

Hlm.: Halaman

T.th.: Tanpa tahun

Dkk.: Dan kawan-kawan

9MOTTO DAN PERSEMBAHANMotto:Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang)popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaiankehinaan pada hari kemudian, lalu dikobarkan pada pakaiannyaitu api. (H.R. Abu Daud).Tesis Ini Penulis Persembahkan Kepada: Mama Monira Datau dan Papa Badu Pakuna Kakak-kakaku tersayang; Kak Wahid, Kak Amran, Tata Rama, Aci Hasna dan Daci Wati.

Teman-temanku terkasih terutama Mamang thanks for everything

10DAFTAR ISIHalamanHALAMAN JUDUL

iHALAMAN NOTA PEMBIMBING

iiHALAMAN PENGESAHAN

iiiHALAMAN DEKLARASI

ivHALAMAN ABSTRAKSI

vHALAMAN KATA PENGANTAR

viHALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI

viiiHALAMAN DAFTAR SINGKATAN

xHALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

xiHALAMAN DAFTAR ISI

xiiBAB IPENDAHULUANA.Latar Belakang Masalah

1B.Rumusan Masalah

10C.Tujuan dan Signifikansi Penelitian

10D.Tinjauan Pustaka

11E.Metode Penelitian

15F.Sistematika Penulisan

18BAB II DISKURSUS-DISKURSUS ETIKAA.Istilah Etika

20B.Norma Dasar Etika

24C.Etika Islam dan Norma-normanya

27D.Etika Berbusana

34E.Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi

38F.Kontroversi Jilbab

5411BAB III ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO SEMARANGA.Dinamika dan Ragam Corak Pemikiran KeagamaanMahasiswa IAIN Walisongo 61B.Pemahaman Keagamaan dan Pola Berbusana MahasiswiIAIN Walisongo 73C.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola BerbusanaMahasiswi IAIN Walisongo 79BAB IV ANALISIS TERHADAP ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO SEMARANGA.Analisis Terhadap Pemahaman Mahasiswi IAINWalisongo tentang Pola Berbusana dan Implikasinya 84B.Analisis terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi PolaBerbusana Mahasiswi IAIN Walisongo 100C.Pola Ideal Etika Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo . 108BAB V PENUTUPA.Kesimpulan

113B.Saran-saran

116C.Kata Penutup

117DAFTAR PUSTAKA12BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahEtika merupakan problem asasi yang dihadapi setiap manusia baiksecara inidividu maupun kolektif. Batasan etika sendiri menurut para pakar, termasuk pakar pendidikan sulit dicari parameternya, sehingga memunculkan ragam perspektif. Perpedaan persepsi inilah yang semestinya dipandang sebagai aset yang perlu dihargai dan didiskusikan. Jika suatu etika telah tertanam, maka problem selanjutnya yaitu pemeliharaannya yang jauh lebih sulit dibanding mengumpulkan informasinya. Sebab erat kaitannya dengan suasana batin (naluri batin manusia).Naluri manusia sendiri masih menjadi sumber vital bagi setiap aktivitas hidup. Idealnya naluri bisa ditundukkan di bawah kendali akal. Jika sampai menyimpang dari kendali akal, dapat menghalangi cara pandang manusia. Kemudian membatasi pengaruhnya supaya orang yang tidak berpikir dipaksa untuk mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan dengan logikanya. Di sinilah disadari peran penting menyelaraskan komponen naluri dan akal sehingga diperoleh pola kehidupan yang beretika yang didasari prinsip-prinsip moral.1Praktek prinsip-prinsip moral atau etika akan melibatkan sejumlah kesulitan dan tidak jarang melahirkan kontradiksi. Oleh karena itu,1Lihat Sayid Mujtaba Musawi Lari, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf Etika dan Pertumbuhan Spiritual, Jakarta: Lentera Basritama, 2001, hlm. xi.13pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis spiritualitas tidak dapat menolak naluri yang melemahkan. Orang yang tidak mempunyai pengamanan spiritualitas akan segera terpengaruh oleh hawa nafsu. Karena, pendidikan semacam itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan dominasi hawa nafsu. Akibatnya, etikanya pun menyimpang dari prinsip-prinsip moral.Oleh karena itu, keyakinan religius merupakan jaminan yang cukup penting bagi pelaksanaan prinsip-prinsip manusiawi dan sebagai dukungan yang paling besar bagi nilai-nilai etika dalam melawan hawa nafsu. Manusia dapat membebaskan dirinya dari cengkraman dorongan-dorongan dan motif-motif yang merugikan melalui keimanan kepada Sang Pencipta, adanya hari balasan, pahala dan dosa.Tujuan para Nabi, terutama Nabi Muhammad s.a.w. ialah mendidik etika manusia untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi, dan membersihkan pikiran mereka dari pencemaran dan kotoran. Penyebaran etika Islam, yang dilancarkan oleh Nabi merupakan gerakan unik, tanpa tandingan, dari sisi pandang etos tentang kedalaman dan keasliannya yang konstruktif. Etika Islam menjadi unik dalam pengertian bahwa ia meliputi semua kehalusan rohani manusia dan perhatian khusus kepada setiap gerak pikiran dan yang berasal dari batin. Dampak yang belum pernah ada sebelumnya yang dilakukan pada jiwa manusia dan realitas dari kehidupan ialah mengangkat suatu umat yang rusak menuju ketinggian martabat.22Ketika masyarakat yang bobrok itu diberi keimanan dan bimbingan, ia meletakkan fondasi dari tatanan baru di dunia dan maju sehingga ia menjadi suatu model moralitas dan keutamaan manusia, suatu model yang sepertinya belum pernah dilihat sejarah. Bahkan sekarang, ketika kekosongan ruhani menandai watak dan ruh Barat abad ke-20, ketika orang-orang yang dibesarkan14Abad modern3, yang ditandai dengan perkembangan berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, juga bisa meninggalkan problem serius. Sekadar contoh, dengan semakin majunya teknologi informasi, orang bukan saja dapat menikmati beberapa stasiun televisi di dalam negeri, tetapi juga bisa menikmati siaran lain dari luar negeri. Apa yang diperbuat dan dilakukan oleh bangsa-bangsa yang berbudaya dan berperadaban lain, bisa ditonton. Mereka yang silau oleh kemajuan peradaban bangsa lain, berusaha menirunya tanpa selektif. Dengan peniruan yang tidak mempertimbangkan apakah hal itu sesuai dengan norma-norma agama serta adat istiadat yang berlaku di tempatnya dan apa pula akibatnya bagi dirinya dan generasi sesudahnya, akhirnya patokan-patokan moral yang tadinya diagungkan mulai memudar. Nilai-nilai lama yang sakral, dengan sendirinya terkikis oleh nilai-nilai baru.Kalau dahulu kaum wanita merasa malu karena terlihat betis kakinya, sekarang justru sebagian dari mereka bangga untuk mempertontonkan semua bagian tubuhnya kepada siapa saja. Pembicaraan tentang seks, yang dahulu merupakan suatu hal yang tabu, sekarang menjadi pembicaraan di mana saja dengan tidak rasa pekewuh sedikitpun. Bahkan dengan alasan untuk seni, orang tidak malu mempertunjukkan gerakan apadalam lingkungannya datang berlindung di tangan Islam, terjadi suatu perubahan total dalam rohani dan etosnya. Para ilmuwan Amerika telah mengakui bahwa ketika orang-orang Amerika-Afrika masuk Islam, semua aspek kehidupan mereka mengalami perubahan mendalam. Lihat Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963, hlm. 453Biasa disebut era globalisasi. Disebut demikian, karena perkembangan informasi maju dengan sedemikian pesatnya, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia, bisa diikuti dan disaksikan di tempat lain pada waktu yang sama. Dunia seakan menjadi semakin sempit tanpa batas-batas teritorial.15saja, termasuk gerakan yang paling pribadi kepada khalayak umum.4 Kasus goyang ngebor yang dipertontonkan Inul Daratista beberapa waktu yang lalu sebagai salah satu contohnya. Di samping masih banyak lagi contoh yang lebih seronok, yang menunjukkan betapa patokan-patokan etika telah mengalami pergeseran. Yang jelas, budaya malu, yang menjadi benteng pertahanan manusia dari perbuatan-perbuatan amoral, sekarang telah runtuh.Otoritas moral yang berupa adat kebiasaan, kode moral, pernyataan tentang suatu kaidah, lembaga-lembaga keagamaan, karya sastra yang disakralkan, hukum alam, kekuasaan negara yang dianggap mempunyai pengaruh dalam menegakkan moral, sekarang sudah ditinggalkan dan dianggapnya sebagai masa lalu. Anggapannya, suatu kemajuan hanya bisa dicapai dengan cara memberontak terhadap nilai-nilai yang sudah mapan.Sesudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap otoritas moral yang sudah mapan, timbulah relatifisme yang memandang benar atau salah itu berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Suatu hal yang dianggap benar, pada suatu tempat dan waktu, belum tentu benar menurut tempat yang sama, tetapi waktunya berlainan. Apalagi pada tempat dan waktu yang berbeda. Benar dan salah adalah relatif.Ada pula yang memandang bahwa moral itu subyektif, juga relatif. Moral itu berubah dan berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Para penganjur etika ini menghormati kaidah-kaidah etika dan kebijaksanaan yang telah ada. Tetapi, kaidah dan kebijaksanaan itu dianggap sebagai pedoman4Lihat M. Darori Amin, Norma-norma Etika Islam, dalam Teologia, Volume 12, Nomor 3, Oktober, 2001, hlm. 319.16yang dapat dikesampingkan jika situasinya demikian. Joseph Fletchermengatakan bahwa segala tindakan atau perbuatan apa saja adalah benar atausalah tergantung kepada situasi yang ada.5 Perbedaan sandaran moralitas inimembuahkan persepsi etika yang berbeda-beda. Pada akhirnya, perbuatanbaik dan buruk, patokannya berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana iadipandang.Islam sendiri telah memberikan sandaran etika. Bahkan, etika islamdipandang bisa memberikan kepastian dan kemantapan dalam menentukanbaik buruknya suatu perbuatan, karena bersumber dari wahyu yang mutlakdan obyektif. Meski mutlak dan obyektif, etika Islam itu juga mengakuiadanya kemubahan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi,sepanjang tidak bertentangan dengan wahyu itu sendiri. Salah satu kaidahdalam ushul fiqh mengatakan bahwa hukum berjalan sesuai dengan illat yang menyertainya.6Bagi umat Islam, permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, mutlak dan transenden, serta syariahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga terdapat pada agama lain.7 Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak hanya5Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 141-162.6Lihat misalnya Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dr al-Fikr, 1986, hlm. 755.7Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius. Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun televisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang bayi. Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering hanya dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi perlu menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat17sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau petunjukbagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam semesta.Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb (pembimbing,pendidik) bagi seluruh alam.Teori etika merupakan gambaran rasional mengenai hakikat dandasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yangmenentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moraldiperintahkan atau dilarang. Oleh karena itu bahasan etika selalumenempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika,justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakanantara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk. Sistem etika harusberkaitan secara memadai dengan aspek-aspek moral yang bermakna dan koheren.8mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun melakukan metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan. Lihat Ahmadun Yosi Herfanda, Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.8Al-Qur'an melibatkan pembahasan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian tentang etika dapat membuahkan hasil, yang kesemuanya itu kembali kepada teks al-Qur'an itu sendiri; tafsir, fiqh dan kalam. Para sufi dan filosof, yang sering menggali otoritas al-Qur'an untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat dikatakan telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia. Mereka telah berhutang budi kepada pengaruh-pengaruh luar seperti India, Yunani, Kristen dan lainnya telah membentuk pemikiran mereka. Oleh karena itu, teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi yang menyusunnya sebagian berasal dari teori-teori umum yang berakar dari al-Qur'an dan sunnah. Teori-teori tersebut mungkin dibentuk sebagai teori skriptual atau teologis yang bergantung kepada keluasan mereka bertumpu kepada teks kitab suci atau kesepakatan terhadap teks yang dapat diterima ketika menghadapi nilai atau intepretasi secara dialektik. Lihat Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi Etika dalam Islam, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. xv-xvi.18Selanjutnya etika menjadi suatu ilmu yang normatif,9 dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat penilaian etika ialah perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. Manusia dalam semua perbuatannya, bagaimanapun juga mengejar sesuatu yang baik. Berbuat baik merupakan tanggung jawab moral bagi semua manusia, dan pelaksanaan dari tanggung jawab ini sebagai pencerminan dari jiwa yang berpribadi. Bertanggung jawab berarti pula memfungsionalkan sifat-sifat manusia untuk mempertahankan nilai-nilai pribadi yang luhur, serta dapat mendudukkan nilai harga diri manusia sebagai manusia. Kemudian manusia selalu memikirkan prinsip-prinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Persoalannya, ukuran norma baik-buruk berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana dalam pandangan relatifisme di atas. Suatu hal yang baik dan benar di suatu tempat, mungkin akan dianggap salah atau jahat di tempat yang lain.Pola hubungan dan perbuatan apapun sangat diperhatikan oleh Islam. Karena Islam memperhatikan etika, dikenalah apa yang disebut etika Islami seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, pola berbusana, dll. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam9Karena dikatakan sebagai ilmu, maka penjelasan makna baik, buruk, hak dan kewajiban moral tidak dapat dipisahkan dari proses aktivitas rasional (akal manusia). Artinya, etika bukanlah sebagai ajaran/doktrin yang harus diikuti begitu saja (taklid buta) oleh manusia, tetapi ia merupakan metode atau filsafat moral untuk memahami benar atau salahnya suatu doktrin/ajaran moral itu sendiri. Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 3.19bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.10Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai pola busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam. Jilbab sendiri masih sarat makna. Jilbab tidak hanya dipakai oleh orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim). Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun10Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 13020dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untukmeraup keuntungan material dengan penampakan spiritual. Begitu pula parapelacur di Nangroe Aceh Darusalam (NAD) misalnya. Merekamenyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab.11 Mengingat posisinyasebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkanmoralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Denganmemakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dandihormati di tengah-tengah masyarakat. Jadi, tidaklah layak jikamenggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh.Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagaiperempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.Proporsi di atas menjadi menarik jika dikaitkan dengan pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, yang memiliki simbol identitas tersendiri seakan menunjukkan sebagai perguruan tinggi yang berbasis ilmu-ilmu keislaman dan difokuskan mengakaji ilmu-ilmu keislaman pula. Kemudian apakah pola berbusana demikian, utamanya memakai jilbab bagi mahasiswi IAIN Walisongo hanya sebatas simbol kultural yang membedakan dengan perguruan tinggi umum, atau memang sebagai etika religius berbusana yang dijunjung tinggi? Jika benar, lalu bagaimana femonema banyaknya busana yang dipakai mahasiswi IAIN yang masih kelihatan seronok, misalnya walaupun memakai jilbab, tapi dipadukan dengan baju, celana yang super ketat, tansparan, sehingga kelihatan lekuk-lekuk tubuhnya. Hal inilah yang menarik untuk dilakukan penelitian.11Lihat Sri Rahayu Arman, Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi, dalam Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.21B.Rumuan MasalahBerdasarkan deskripsi di atas maka permasalahan yang akan diteliti dan dicarijawabannya adalah:1. Bagaimanakah pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal etika berbusana?2. Bagaimanakah implikasi dari pemahaman etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo tersebut?3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo?C.Tujuan dan Signifikansi PenelitianBerdasarkan pokok permasalahan yang diangkat pula, makapenelitian ini mempunyai tujuan:1. Untuk mendeskripsikan pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal etika berbusana.2. Untuk mengevaluasi implikasi dari pemahaman etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.3. Untuk mengungkap faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.Setelah dikemukakannya tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini mempunyai signifikansi yang jelas dan dapat dijadikan rujukan. Minimal dijadikan bahan diskusi bagi civitas akademika IAIN Walisongo pada khususnya dan praktisi pendidikan keagamaan pada umumnya, agar dapat22membimbing, mengarahkan dan memberikan stressing tertentu terhadap mahasiswi, agar etika religius berbusana terarah pada kondisi yang diharapkan.D. Tinjauan PustakaKajian tentang masalah etika banyak ditemukan dalam buku-bukumaupun dalam bentuk penelitian-penelitian lapangan. Selanjutnya untuk membahas persoalan-persoalan di atas, berikut penulis ilustrasikan beberapa buku yang dipandang terkait.Fadwa El Guindi dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawaran mengemukakan bahwa berjilbab lebih merupakan identitas serta kerahasiaan pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis beraliran Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasisebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan23(ruang gerak, persamaan dll). Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya.12Majid Fakhry dalam bukunya Etika dalam Islam, melakukan kajian yang intens mengenai akhlak, dengan melakukan teoritisasi etika dalam Islam. Sehingga norma-norma akhlak Islam yang diformulasikan dalam teori-teori itu, kemudian dapat dijabarkan dalam langkah-langkah nyata yang lebih konstektual serta menyentuh persoalan umat, namun tetap di atas prinsip-prinsip Islam, yang bersumber pada al-Qur'an dan sunnah. Fakhry rupanya banyak menggunakan metode horizontal dalam kajiannya yang semata-mata mengikuti garis perkembangan kronologis, dan metode analitis atau skematis yang berkaitan dengan tema-tema besar etika yang vertikal. Tipologi resultan teori-teori besar etika di dalam kerangka definisi yang jelas, di mana tipe skriptual dan tipe filosofis adalah dua hal yang bertentangan. Selanjutnya, buku ini mengemukakan tentang moralitas skriptual, etika teologis, etika filosofis dan moralitas religius.13W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, berargumen bahwa moral itu adalah sesuatu yang benar-benar ada dan tidak dapat dipungkiri. Adanya keyakinan tentang moral dan12Fadwa El Guindi, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan, Jakarta: Serambi, 2003.13Majid Fakhry, loc.cit.24keharusannya itu bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, walaupun hal-hal itu kadang kurang nampak dan kurang jelas. Pelanggaran moral bukanlah kesalahan biasa, seperti salah pukul dalam badminton atau salah tendang dalam sepak bola, melainkan sesuatu yang menyangkut manusia sampai sedalam-dalamnya. Jika demikian, maka yang sebaiknya jugalah yang benar, yakni bahwa perbuatan yang baik secara moral itu berupa kebaikan yang sedalam-dalamnya pula. Seperti pelanggaran moral dipandang sebagai sesuatu yang anti perikemanusiaan, demikian juga penataan terhadap moral dilihat sebagai sesuatu yang sesuai sepenuhnya dengan perikemanusiaan yang sejati. Hal inilah yang termuat dalam bahasa dan gagasan sehari-hari. Hampir tidak ada orang yang mau disebut binatang meskipun kelakuannya melebihi binatang.14Ahmad Amin dalam bukunya, al-Akhlak menyajikan berbagai persoalan etika, mulai dari definisi, aspek-aspek kejiwaan sebagai dasar perilaku (behavior), teori etika dan sejarahnya, dan etika praktis. Ahmad Amin menyebutkan dasar-dasar perilaku secara luas yang meliputi instink, adat kebiasaan, turunan dan lingkungan, kehendak, motif, akhlak, suara hati dan cita-cita. Sayangnya, perilaku yang menjiwai perjuangan Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidun tidak banyak dikaji, sehingga dasar perilaku hakiki yang menjiwai semangat mereka tidak terlihat.1514W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.15Ahmad Amin, Al-Akhlak, Bandung: Al-Maarif, 1996.25Sayid Mujtaba Musawi Lari dalam bukunya Etika dan Pertumbuhan Spiritual, banyak mengemukakan bahwa etika erat kaitannya dengan pertumbuhan spiritual. Sebab manusia berbeda dengan binatang, manusia dituntut untuk hidup sesuai dengan asas perilaku yang disepakati secara umum dan harus tahu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral, sedangkan binatang tidak. Jika manusia mampu menjalaninya, maka itulah yang disebut manusia yang beretika. Jika tidak, maka jangan heran jika manusia akan bertingkah laku seperti binatang. Banyak fakta membuktikan bahwa dunia ini sudah begitu ramai dengan tingkah-polah binatang berwujud manusia. Mereka tidak memberi kesempatan benih spiritualisme untuk tumbuh dan berkembang, karena yang mereka sirami justru benih-benih hasrat hewaniah yang membunuh spiritualisme dan kemanusiaan.16Adapun penelitian yang ada kaitannya dengan karakteristik mahasiswa IAIN Waslingo, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Shodiq Abdullah, Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo. Dalam penelitiannya, Shoqid menyimpulkan bahwa sistem pendidikan di IAIN Walisongo agaknya belum mampu membentuk dan menciptakan pribadi mahasiswa yang cenderung berpikir realistik secara maksimal; yaitu pola berpikir yang bersifat faktual, real, logis atau rasional sebagai suatu pendapat yang dapat diterima atau diyakini kebenarannya. Kebanyakan mahasiswa masih berpikir secara autistik, artinya, ersifat mistis atau fatalistik sebagai16Sayid Mujtaba Musawi Lari, loc.cit.26suatu yang dapat diterima atau diyakini keabsahannya. Padahal IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang diharapkan bukan saja mampu mengembangkan diri sebagai lembaga keagamaan tetapi juga mampu memfungsikan diri sebagai lembaga keilmuan. Perbedaan kurikulum di masing-masing fakultas agaknya sangat mempengaruhi corak pemikiran keagamaan mahasiswa.17Berdasarkan ilustrasi di atas, maka topik yang penulis angkat berbeda dengan lainnya, yang bersifat kasuistik. Oleh karenanya, permasalahan yang penulis angkat mengenai etika religius berbusana mahasiswi layak untuk diangkat. Tanpa sikap a priori, penulis berkesimpulan belum ada penelitian yang secara khusus membahas topik ini.E. Metode PenelitianPenulis akan menitikberatkan pada pengolahan data secara kualitatif. Teknik ini penulis gunakan dengan pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini mendekatkan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden. Ketiga, kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yag dihadapi.18 Sehinga pola ini lebih tepat dalam penelitian17Shodiq Abdullah, Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2 Nopember 2003.18Lexy J. Muleong, Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995, hlm. 5.27ini, karena untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian jika diharapkan padapersoalan-persoalan tersebut.Secara metodologis, langkah-langkah yang akan penulis tempuhadalah:1. Metode Pengumpulan DataMetode pengumpulan data yaitu pencarian dan pengumpulan data yang dipergunakan untuk membahas masalah atau problematika dalam penelitiani ini. Dalam pengumpulan data ini menggunakan penulis terjun langsung ke obyek yang akan diteliti. Jenis penelitian semacam ini lazim disebut field research (penelitian lapangan).19 Obyek penelitian ini adalah mahasiswi IAIN Walisongo secara umum, yang kemudian dengan pertimbangan efesiensi, penulis akan melakukan pengacakan pada mahasiswi atau diambil sampelnya saja. Adapun sampel yang diambil adalah mahasiswi yang aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan baik di ekstra maupun intra kampus. Berdasarkan tiga pokok permasalahan yang penulis angkat, maka sampel mahasiswi yang diambil ialah mereka yang aktif di organisasi ekstra seperti KAMMI, IMM, HMI dan PMII dan organisasi intra kampus seperti UKM Mawapala, UKM Musik dan UKM Teater.Langkah-langkah yang ditempuh melalui; pertama, observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-19Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983, hlm. 22.28fenomena yang diselidiki,20 dalam hal ini mahasiswi IAIN Walisongo seperti yang disebutkan di atas. Kedua, wawancara atau interview. Wawancara adalah mencakup cara yang diperlukan seseorang untuk suatu tugas tertentu untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.21 Metode ini digunakan dalam bentuk pertanyaan kepada responden yang bersangkutan. Ketiga, metode angket terskturktur, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang pilihan jawabannya telah disediakan.22 Metode angket ini sebagai data pendukung saja untuk membantu responden dalam memberikan jawaban.2. Metode Analisis DataAnalisa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Dalam mendeskripsikan juga mencakup upaya klarifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam data yang telah terkumpul. Kemudian penulis kembangkan untuk membuat prediksi.23Langkah terakhir dalam penelitian, dalam upaya untuk memperoleh suatu kesimpulan yang akurat, penulis akan menggunakan dua alur pemikiran yaitu induktif dan reflektif. Induktif adalah suatu pola20Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 234.21Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 129.22 Suharsimi Arikunto, op.cit., hlm. 236.23Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989, hlm. 68-69.29pemahaman yang dimulai dengan mangambil kaidah-kaidah yang bersifat khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan reflektif adalah suatu proses berfikir yang mondar-mandir dari data yang satu ke data yang lain.24F. Sistematika PenulisanUntuk memberikan gambaran yang utuh dan terpadu atas hasilpenelitian ini, maka sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab. Adapun rinciannya sebagai berikut:Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian yang sekaligus berfungsi sebagai argumentasi. Selain itu dikemukakan kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan.Bab kedua akan memaparkan kajian-kajian mengenai diskursus-diskursus etika sebagai landasan teori. Pada bab ini memuat; istilah etika, norma dasar etika, etika Islam dan norma-normanya, etika berbusana, etika berbusana dilhat dari fungsinya dan seputar kontroversi jilbab.Bab ketiga akan menyajikan etika religius berbusana mahasiswi IAIN Walisongo. Bab ini memuat; potret mahasiswa IAIN Walisongo dan corak keagamaannya, pemahaman etika religius berbusana mahasiswi, sekaligus faktor-faktor apa yang mempengaruhi.24Ibid., hlm. 92-93.30Bab keempat merupakan analisis. Point-point yang akan dianalisis adalah; analisis terhadap pemahaman etika religius berbusana mahasiswi, analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi etika religius berbusana dan pola ideal etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.Bab kelima adalah penutup. Hasil pembahasan dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bagian kesimpulan yang merupakan penegasan jawaban pokok problematika yang diangkat dan asumsi-asumsi yang pernah diutarakan sebelumnya.31DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Shodiq, Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2 Nopember 2003.Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002.Al-Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dr al-Fikr, 1986.Amin, Ahmad, Al-Akhlak, Bandung: Al-Maarif, 1996.Amin, M. Darori, Norma-norma Etika Islam, dalam Teologia, Volume 12, Nomor 3, Oktober, 2001.Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.Arman, Sri Rahayu, Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi, dalam Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.El Guindi, Fadwa, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan, Jakarta: Serambi, 2003.Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi Etika dalam Islam, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996.Herfanda, Ahmadun Yosi, Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.Koenjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983.Lari, Sayid Mujtaba Musawi, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf Etika dan Pertumbuhan Spiritual, Jakarta: Lentera Basritama, 2001.Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989.Muleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995.32Musa, Muhammad Yusuf, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963.Poespoprodjo, W., Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.Salam, Burhanuddin, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983.Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.33BAB IIDISKURSUS-DISKURSUS ETIKAA. Istilah EtikaSecara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin ethic yang dalam terjemahan bahasa Inggris kata ethic diartikan dengan tata susila.25 Sedangkan secara terminologi, istilah etika menurut Ahmad Amin adalah yang dalam bahasa Gerik disebut ethikos; yaitu a body of moral principles or values, atau kebiasaan, habitat, custom.26 Dengan demikian, dalam pengertian aslinya apa yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti pengertian sekarang. Etika ialah pengertian yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, seperti mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.27 Kronologis penggunaan istilah etika itu dimulai oleh Montaigne (1533-1592), seorang penyair Perancis dalam syair-syairnya yang terkenal pada tahun 1580.28Istilah lain yang berdekatan etika ialah moral, dan akhlak yang sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia, bahkan terkadang ketiganya berjalan seiring. Menurut Yunahar Ilyas, perbedaan etika,25Lihat Markus Willy, dkk., Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Surabaya: Arloka, 1997, hlm. 172.26Lihat Ahmad Amin, Al-Akhlak, terj. Farid Maruf, Etika, Bandung: Bulan Bintang, 1975, hlm. 1-3.27Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 3.28Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 5.34akhlak dan moral terletak pada standar masing-masing. Etika standarnya pertimbangan akal dan pikiran; akhlak standarnya al-Qurn dan sunnah, dan moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.29 Sedangkan menurut Harold Titus, dkk., perbedaanya hanya dari sudut bahasa, moral berasal dari kata Latin moralis, etika berasal dari kata ethos, dan akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti. Ketiganya berarti kebiasaan atau cara hidup.30Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma (aturan) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi inilah didapati pemakaian dengan nilai-nilainya yang filosofis. Sementara ilmu yang mempelajari pelaksanaan atau realisasi etika dalam praktek kehidupan sehar-hari itu disebut casuistic; orang yang mempelajarinya disebut casuist.31Titik tekan penilaian etika sebagai suatu ilmu ialah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi-pekerti. Budi sendiri tumbuhnya dalam jiwa. Apabila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti.32 Jadi suatu budi29Lihat Yunayar Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPII), 2004, hlm. 3.30Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 141.31Lihat Somon Blackburn, Being Good; Pengantar Etika Praktis, terj. Hari Kusharyono, Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 7. Lihat pula Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, hlm. 16.32Lihat Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 7. Lihat pula M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam; Antara al-Ghazl dan Kant, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 67.35pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa, semasih menjadi angan,imajinasi, cita, niat hati, sampai ia lahir ke luar berupa perbuatan nyata.Sebenarnya, setiap perbuatan dapat dinilai pada tiga tingkat. Tingkatpertama, semasih belum lahir jadi perbuatan atau masih berupa rencana dalamkata hati, niat. Tingkat kedua, sesudahnya, yaitu sudah berupa perbuatan nyataatau pekerti. Tingkat ketiga, akibat atau hasil dari perbuatan itu; baik atau tidak baik.33Apa yang masih berupa kata hati atau niat itu, dalam bahasa filsafat ataupun psikologi, biasa disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Isi dari karsa atau kemauan itulah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh perbuatan itulah yang dinilai, karenanya dapat digunakan empat variabel; Pertama, tujuannya baik, tetapi cara pencapaiannya tidak baik. Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan. Masalah tujuan tidak perlu dibicarakan lagi, karena sudah jelas baik, yang dinilai sekarang ialah cara mencapainya.34 Kedua, tujuannya tidak baik, tetapi cara mencapainya (kelihatannya) baik, atau tujuannya jahat, tetapi memperolehnya kelihatan baik. Ini menggambarkan bahwa cara yang ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik, diliputi oleh kepalsuan, penipuan. Cara kerja seperti ini terkenal dalam sejarah sebagai suatu sistem kerja/taktik yang pernah dipakai oleh orang komunis yang menghalalkan33Lihat Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 4-5.34 Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan; misalnya seorang pedagang, untuk menyekolahkan anaknya, supaya anak tersebut dapat diterima, ia telah betindak menyuap beberapa orang panitia penguji. Menyekolahkan anak, adalah suatu perbuatan baik. Tetapi jalan yang ditempuhnya itu tidak terpuji. Yang tidak terpuji di sini tentulah kedua belah pihak; yang memberi suap dan yang menerima suap. Lihat Ibid., hlm. 5-6.36berbagai cara.35 Ketiga, tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik. Ini menggambarkan bahwa untuk memcapai tujuan yang jahat dan dapat merugikan orang lain, cara apapun ditempuh, misalnya harus menipu, memperdaya atau bahkan sampai membunuh.36 Keempat, tujuannya baik, cara mencapainya juga baik. Cara inilah yang diajarkan oleh etika. Suatu tujuan baik, hendaknya diusahakan pula cara yang baik untuk mencapainya.37Semenjak zaman Yunani kuno hingga kini, manusia selalu memikirkan prinsip-prinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Mereka mempunyai ukuran-ukuran dan norma-norma yang berbeda. Suatu tindakan mungkin akan dianggap terpuji di sauatu tempat, akan tetapi di tempat lain dianggap salah atau jahat. Begitu pula suatu perbuatan mungkin dianggap baik di suatu waktu, tetapi dengan berubahnya zaman, perbuatan yang dianggap baik pada masa lampau dianggap jelek pada masa kini. Sebaliknya, suatu perbuatan jahat dan jelek mungkin dianggap baik dan benar pada tempat dan waktu yang berbeda. Hubungan badani sebelum menikah akan dianggap wajar oleh bangsa-bangsa Barat. Tetapi, bagi orang-orang Timur, khususnya muslim, hal tersebut merupakan perbuatan tercela. Dahulu seorang wanita berpantang keluar dan35Sebagai contoh misalnya strategi untuk dapat merebut pemerintahan, mula-mula ditempuhnya taktik kerjasama dengan semua pihak, kelihatannya fair, simpatik. Tetapi suatu saat ia telah merasa dirinya kuat, semua kawan sekerjanya tadi yang tidak seasas dengannya, diterkam. Kasus seperti ini dari segi politik komunis hukumnya biasanya, wajar, tetapi dari segi etiks hukumnya jahat. Lihat Ibid., hlm. 7.36Dapat dicontohkan misalnya seorang penjahat, untuk mendapatkan yang tersimpan di bank atau yang merupakan harta kekayaan seseorang, sang perampok tadi tidak akan sayang membunuh jiwa bebrapa orang yang tidak berdosa, yang menghalangi jalannya. Ibid., hlm. 8.37Inilah yang ideal, misalnya mau lulus ujian syaratnya harus; belajar bersungguh-sungguh, teliti, disiplin diri, jadi bukan dengan jalan menyogok. Mau membantu mahasiswa untuk lulus, syaratnya ialah memberikan bimbingan secara intensif, aktifkan belajar dengan sungguh hati. Jadi tidak dengan cara menerima sogokan. Itu berarti meracuni jiwa seseorang dan memberikan contoh yang sungguh tidak terpuji bagi seorang pendidik. Ibid.37bekerja pada malam hari. Tetapi pada masa industrialisasi sekarang ini, untuk sebagian orang hal tersebut sudah dianggap sebagai hal yang lumrah.38Dengan demikian dapat ditegaskan lagi bahwa etika ialah suatu yang menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Etika sering pula disinonimkan dengan akhlak dan moral. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing, namun maksudnya sama, yaitu menentukan nilai baik dan buruk perbuatan manusia.B. Norma Dasar EtikaNorma-norma etika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern terdiri atas beberapa paham; pertama, paham pragmatisme. Paham ini menimbang kebaikan dan keburukan suatu perbuatan dari manfaat yang dapat dihasilkan, baik ditinjau dari segi rohani maupun materi dan individu maupun kelompok. Dengan demikian perbuatan yang dianggap baik adalah yang bermanfaat. Semakin besar manfaat suatu perbuatan, semakin tinggi pula nilai kebenarannya.39Kedua, paham yang mengambil jalan tengah antara dua perbuatan jelek. Norma ini dicetuskan oleh Aristoteles. Menurut paham ini, perbuatan baik adalah yang menjadi jalan tengah antara dua perbuatan yang jelek. Sebagai contoh38Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islami; al-Aqliyyun wa al-Dzauqiyyun aw al-Nadzar wa al-Amal, Beirut: Dr al-Nahdhah al-Arabiyah, 1992, hlm. 34. Lihat pula Majid Fakhri, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi Etika dalam Islam, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. 24.39Lihat M. Darori Amin, Norma-norma Etika Islam, dalam Jurnal Teologia, Volume 12, Nomor 3, Oktober 2001, hlm. 321.38kedermawanan adalah baik, karena merupakan jalan tengah antara kikir danboros. Kesabaran adalah terpuji, karena jalan tengah antara kekerasan dan kelemahan.40Ketiga, paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan. Bagipaham ini, suatu perbuatan diangap baik apabila sesuai dengan lingkungannya.Kesesuaian dengan lingkungan menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan,sedengkan ketidak-sesuaian dengan lingkungan menyebabkan penyakit dan kesengsaraan.41Keempat, paham yang memandang kepada kenyataan dan percobaan. Norma akhlak bagi paham ini merupakan percobaan, yang dengannya akan diketahui baik buruknya suatu perbuatan. Apabila dalam percobaan tersebut dapat dipetik manfaat material maupun spiritual, perbuatan tersebut dapat dikatakan baik. Tetapi apabila tidak, perbuatan itu jelek atau buruk.42Sedangkan norma intern, dapat didefinisikan sebagai suatu daya yang berasal dari manusia sendiri, yang dengannya manusia bisa membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Para pengikut paham ini bersepakat tentang adanya kekuatan bathiniyah di dalam diri manusia untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Daya tersebut dinamakan concience atau dhamir (hati nurani), yang merupakan cermin bagi perbuatan manusia. Dari padanya akan40Akan tetapi setelah dilakukan penelitian, banyak yang menganggap bahwa norma ini mengandung kelemahan, karena banyak perbuatan jelek yang tidak ada jalan tengahnya, seperti pree sex, berbohong, menciri dan sebagainya. Lihat Ibid.41Lihat Ibid.42Lihat Ibid., hlm. 322.39terpantul apakah perbuatan tersebut baik atau buruk. Suara hati, bukan saja memberikan informasi tentang baik atau buruknya suatu perbuatan, tetapi memberikan ganjaran kegembiraan bagi yang melakukan baik, dan penyesalan bagi yang melakukan perbuatan jahat.43Menurut paham rasionalisme, rasio merupakan satu-satunya daya yang dimiliki manusia untuk mengetahui antara yang baik dan yang buruk. Pencetus pendapat ini adalah Socrates dan Plato, yang kemudian dilanjutkan dengan paham Mutazilah dalam Islam, dan selanjutnya oleh Imanuel Kant dari Jerman. Paham ini telah menggAbngkan antara akal dan kehendak baik. Perbuatan baik merupakan perbuatan yang keluar dari kehendak yang baik. Untuk itu, paham ini membuat tiga prinsip bagi seseorang dalam melakukan perbuatan,: pertama, prinisip umum. Jika seseorang akan melakukan suatu perbuatan, hendaknya melakukan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang bisa diterima publik dan telah menjadi undang-undang. Kedua, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan tidak menjadikannya sebagai alat. Jika seseorang akan melakukan suatu tindakan, hendaknya ia dapat memperlakukan dengan baik kemanusiaan yang ada pada dirinya dan orang lain. Ketiga, kebebasan betindak dari interes dan hasil-hasil dari perbuatan tadi, serta tidak akan tunduk kecuali kepada akal.44Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan bahwa norma-norma etika dapat dikelompokkan pada norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern dibagi pada paham pragmatisme, paham jalan tengah antara dua perbuatan baik dan jelek,43Lihat Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 90.44Ibid., hlm. 93.40paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan dan paham yang memandang kepada kenyataan dan percobaan. Sedangkan norma intern ialah suatu daya yang berasal dari manusia sendiri yang menggunakan beberapa prinsip; prinsip umum, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan prinsip kebebasan betindak.C. Etika Islam dan Norma-normanyaKalau di atas telah disebutkan pengertian etika secara umum, perlu pula disebutkan di sini pengertian etika Islam. Pengertian etika Islam ialah; prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh wahyu, untuk mengatur kehidupan mereka dan mencapai tujuan dari keberadaan mereka di dunia ini dengan cara yang sebaik-baiknya.45 Artinya, prinsip-prinsip atau aturan yang mengaturan perbuatan baik dan buruk yang menurut Toshihiko Izutzu disebut oleh al-Qurn dengan shalih dan tidak shalih, dalam bahasa Inggrisnya disebut righteous (sepantasnya). Kata shalih ini selalu berdekatan penyebutannya dengan kata iman, karenanya memiliki hubungan semantik yang mengikat.46Perbedaan pokok etika Islam dan etika yang lainnya terletak pada sumber. Sumber utama dari etika secara umum ialah penilaian manusia, karenanya bersifat relatif. Sedangkan sumber utama dari etika Islam adalah wahyu45Lihat Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963, hlm. 54.46Lihat Toshihiko Izutzu, Ethico-Religious Concepts in the Quran, terj. Agus Fahri Husein Konsep Etika Religius dalam al-Qurn, Yogyakarta: Tiara Wacana, 3003, hlm. 246.41yang datang dari Allah S.W.T. dan Nabi Muhamamd s.a.w. Karena sumbernya wahyu, maka sumber etika Islam bersifat mutlak.Wahyu merupakan sumber utama etika Islam. Sumber utama ini kemudian dikembangkan menjadi tiga; al-Qurn dan al-Sunnah, kemauan yang baik dan tujuan, akal dan hati nurani. Kesemuanya saling melengkapi dan terkait, sebagaimana dapat diuraikan sebagai berikut:1.Al-Qurn dan al-SunnahAl-Qurn yang diturunkan kepada umat manusia antara lain untuk dijadikan petunjuk dan pembeda antara yang baik dan yang salah. Dalam al-Qurn dijumpai petunjuk-petunjuk bagaimana seorang muslim itu harus berhubungan dengan sesama manusia serta bagaimana pula cara-cara mereka memperlakukan alam ini dan manfaatnya.Ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu mengikuti petunjuk-petunjuk al-Qurn antara lain terdapat dalam surat al-Nis ayat 59 yang berbunyi:Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu42berlainan pendapat tentnag sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-Qurn) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nis (4): 59).47Kemudian pada ayat 105 disebutkan:Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang kianat. (Q.S. al-Nis (4): 105). 48Surat al-Isra ayat 9 menyebutkan:47Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qurn, al-Qurn dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma al-Malik Fahd li Thibaat Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 128.48Ibid., hlm. 139.43^i ^ ^ ar* jsj Cy X !> c*fi\ 'c ^ ^Artinya : Sesunguhnya al-Qurn it u memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira keapda orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Q.S. al-Isra (17): 9)49.Sedangkan perintah untuk mengikuti al-Sunnah, karena salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sabdanya: Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyermpurnakan akhlak (hadts diriwayatkan oleh Imam Malik).50 Akhlak Nabi sendiri merupakan aktualisasi dari akhlak al-Qurn. Aisyah r.a. berkata: Akhlak Nabi adalah al-Qurn. (H.R. Muslim).51 Oleh karenanya, Nabi Muhammad itu menjadi teladan dan panutan bagi semua muslimSecara umum, akhlak yang digariskan al-Qurn dapat dirinci menjadi: iman kepada Allah, ikhlas, kejujuran, melaksanakan amanat dan menepati janji, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.49 Ibid., hlm. 425-426.50Lihat Muhammad al-Ghazl, Khuluq al-Muslim, Cairo: Dr al-Kutub al-Hadtsash, 1974, hlm. 7.51Muslim ibn Hajaj, Shahh Muslim, Juz I, Beirut: Dr al-Ilm, t.th., hlm. 47.44Kemudian berusaha mencapai hal yang baik dan mulia, tolong-menolong dalam kebaikan, tekun dalam melakukan sesuatu, lurus dan moderat, mengikuti perbuatan-perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat dan sebaginya.52Ibadat-ibadat yang disyariatkan dalam Islam, bukan hanya peribadatan-peribadatan yang tidak bisa dipahami, tetapi menjadi ikatan antara manusia dengan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahuinya. Selain itu berfungsi sebagai latihan dalam membiasakan manusia untuk hidup secara rasional, konsisten dalam setiap kondisi.532. Kemauan Baik dan TujuanSebetulnya norma ini sudah tercakup dalam norma al-Qurn dan al-Sunnah, yakni semua perbuatan itu haruslah didasarkan pada keikhlasan, yaitu hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Tetapi karena pentingnya norma ini, maka perlu ada bahasan tersendiri.Kemauan seseorang dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Kalau wujud perbuatan itu jelak tetapi niatnya baik, dianggaplah suatu perbuatan yang baik. Tetapi sebaliknya, apabila niatnya tidak baik, perbuatan itu dianggap jelek. Begitu pula dalam etika Islam.52Lihat Muhammad al-Ghazl, op.cit., hlm. 90. Lihat pula Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Quran, terj. Mansuruddin Djoely Etika Beragama dalam Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26, dst.53Lihat Miqdad Yalchan, al-Ittijah al-Akhlaqi fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1973, hlm. 273-277.45Islam tidak sekadar melihat baik buruknya wujud suatu perbuatan, tetapi juga melihat dari niat yang menyebabkan timbulnya perbuatan itu. Rasul bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh, dan bentuk-bentukmu, tetapi kepada hatimu (H.R. Bukhari).54 Di dalam hadts yang lain Raslullh bersabda: Mata manusia itu ibarat petunjuk, telinga dan lidahnya penerjemah, kedua tangannya sayap, kedua kakinya utusan dan hatinya adalah raja. Apabila raja itu baik, tentara-tentaranya baik. Kalau demikian peranan hati, wajib diawasi untuk dicuci dari hal-hal yang mengotorinya (H.R. Muslim).55Karena persoalan niat, Allah mencela orang yang melakukan shalat tetapi disertai riya, yakni orang yang berniat dalam shalatnya itu agar dilihat orang lain (Q.S. al-Maun (107): 4-6).56 Begitu pula Raslullh pernah mengecam orang yang hijrah ke Yatsrib, karena hijrahnya bukan memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi karena melaksanakan permintaan calon isteri yang akan dinikahinya. Walaupun hijrah merupakan perbuatan yang mulia dan baik, tetapi karena niatnya yang salah, rasul mengecam hijrah tersebut dengan sabdanya: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhya setiap orang akan mendapat balasan sesuai niatnya. (H.R. Bukhari).5754Muhammad bin Ismail al-Bukhri, Shahh Bukhari, Juz I, Beirut: Dr al-Fikr, t.th., hlm. 67.55Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 14.56Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qurn, op.cit., hlm. 1108.57Lihat al-Bukhri, op.cit., Juz I, hlm. 57.46Bagi orang muslim, sebelum melakukan perbuatan diperintahkan untuk membaca basmalah. Perintah ini bukan berarti perintah untuk meminta berkah dan pertolongan melalui bacaan ini, tetapi merupakan perintah dan petunjuk bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah karena Allah S.W.T. dan hanya diperuntukkan kepada-Nya. Setelah perbuatan tersebut didasari dengan niat yang baik, sebagai pengabdian kepada Allah S.W.T., maka perbuatan orang tersebut mempunyai tujuan utama, meraih kebahagiaan ukhrawi.583. Hati NuraniNorma ini merupakan daya asli manusia yang membuat seseorang itu merasa lega apabila melakukan perbuatan baik, dan menyesal apabila melakukan perbuatan jahat. Oleh karenanya, Islam mengakui norma ini, dan menetapkannya sebagai salah satu norma-norma etika Islam. Di dalam jiwa manusia itu terdapat dua kekuatan yang saling tarik menarik dalam berbuat. Yang menarik kebaikan adalah hati nurani, dan yang menarik kepada kejahatan adalah hawa nafsu.Terkait dengan persoalan hati nurani, Allah S.W.T. berfirman:58Ab Hamid al-Ghazl, al-Munqidh min al-Dhalal, Istambul: Hakikat Kitabevi, 1984, hlm. 9.47*j uirj ;> yjt a uisr u^ ti uiiL. ^ ^ ...Artinya : Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Q.S. al-Syams: (91): 7-10).59Karenanya, hati nurani menepati posisi penting dalam etika Islam. Raslullh s.a.w. bersabda dalam mempertegas posisi hati nurani: Kebaikan itu ialah yang memberikan ketenangan kepada jiwa dan hatimu, dan kejahatan itu adalah yang terbetik di dalam hatimu dan yang menimbulkan gejolak di dalamnya, walaupun banyak orang yang memberitahuan kepadamu (H.R. Muslim).60 Sabdanya pula: Tinggalah apa yang meragukanmu dan ambillah apa yang tidak merugikanmu (H.R. Ab Dawud).61Hati nurani ini ada pada setiap manusia, baik tua, muda, dewasa atau anak terpelajar sampai anak yang kurang ajar sekalipun. Apabila ada59 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qurn, op.cit, hlm. 1064.60Muslim Ibn Hajaj, op.cit, Juz I, hlm. 89.61Ab Dawud, Sunan Ab Dawud, Juz III, Beirut Libanon: Dr al-Ilmiah, t.th., hlm. 16.48anak kecil berbuat suatu kesalahan, ia akan merasa malu, gelisah dan perasaan-persaaan tidak enak lainnya. Perasaan ini ada pada setiap orang dan berjenjang menurut pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat suara hatinya. Oleh karenanya suara ini perlu dididik dengan pendidikan moral yang baik.62Karena hidup manusia sangat tergantung dan selalu dipengeruhi oleh ruang dan waktu, tidaklah aneh bahwa suara hati masing-masing pribadi kadang-kadang berbeda antara satu pribadi dengan lainnya. Perbedaan itu pula saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena diperlukan kekokohan nurani yang tidak mudah terpengaruh oleh suasana lingkungan.63Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan lagi bahwa yang dimaksud etika Islam ialah prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh wahyu. Perbedaan etika Islam dengan etika lainnya ialah terletak pada sumber yang digunakan. Jika etika secara umum sumbernya penilaian manusia sendiri, maka etika Islam bersumber dari wahyu atau al-Qurn dan hadts.D. Etika Berbusana62Miqdad Yalchan menandaskan bahwa dengan pendidikan moral yang baik, akan tercipta pribadi-pribadi muslim yang baik, kalau tercipa pribadi-pribadi muslim yang baik, maka akan tercipta masyarakat muslim yang baik, dan dengan demikian akan tercipta kebudayaan Islam yang baik pula. Lihat Miqdad Yalchan, op.cit., hlm. 43.63W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999, hlm. 153, dst.49Sebelumnya perlu dikemukanan terlebih dahulu apa yang dimaksud busana. Kata busana biasa disinonimkan dengan kata pakaian, yaitu sesuatu yang dipakai untuk menutup tubuh.64 Fungsi busana ialah tergantung si pemakainya, karenanya ada yang cukup menggunakan busana atau pakaian untuk menutup badannya, ada pula yang memerlukan pelengkap seperti tas, topi, kaos kaki, selendang, dan masih banyak lagi yang menambah keindahan dalam berbusana.65Menurut kamus bahasa Arab, busana atau pakaian mempunyai banyak muradlif (sinonim) seperti libas bentuk jamak dari lubs yang berasal dari fiil madhi: labisa-yalbasu yang artinya memakai, atau tsiyabn jamak dari tsaub yang artinya pakaian, juga disebut sirbalun yang jamaknya saraabiil, artinya juga baju atau pakaian.66 Saraabiil dapat pula diartikan gamis atau baju kurung (jubah).67Di atas telah disebutkan bahwa Islam memberikan sandaran etika kepada wahyu, karenanya permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, yang mutlak dan transenden, serta syariahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga terdapat pada agama lain.68 Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak64Lihat Tim Penyusun Kamus Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jaakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 637.65 Lihat Lisyani Affandi, Tata Busana 3, Bandung: Ganeka Exact, 1996, hlm. 69.66Lihat Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Mesir: Dr al-Maarif, t.th., hlm. 1983.67 Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, 1984, hlm. 665.68Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius. Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun50hanya sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau petunjuk bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam semesta. Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb (pembimbing, pendidik) bagi seluruh alam.Karena tekanan etika perbuatan manusia, etika Islam juga memperhatikan pola hubungan dan perbuatan. Dikenalah apa yang disebut etika Islami. Seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.69Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehantelevisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang bayi. Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering hanya dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi perlu menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun melakukan metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan. Lihat Ahmadun Yosi Herfanda, Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius dalam Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.69Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 13051atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai pola busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam dan bahasan khusus.Menurut M. Quraisy Shihab, al-Qurn sendiri sebagai sandaran etika Islam, paling tidak menggunakan tiga istilah untuk busana (pakaian), yaitu libas, tsiyab, dan sarabil. Libas pada mulanya berarti penutup-apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, tidak harus berarti menutup aurat, karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya. Kata libas digunakan oleh al-Qurn untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsyiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya. 70 Selain kata tersebut ada istilah lain yang lebih mendekati pada makna pakaian muslimah yaitu jilbab dan hijab. Kebanyakan para ulama memilih jilbab untuk istilah busana muslimah, dan sedikit yang menggunakan istilah hijab.71Ungkapan yang menyatakan bahwa ide dan akhirnya adalah kenyataan, mungkin dapat membantu memahami pengertian kebehasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal. Ide dasar tentang pakaian70Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurn, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 155-156..71 Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Surabaya: Dimas, t.th., hlm. 163-164.52menurut al-Raghib al-Isfahani menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.72Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karena etika Islam mencakup segala perbuatan dan tingkah laku manusia, maka diatur pula pola berbusana. Karenanya, ada patokan-patokan yang harus diikuti dalam memakai busana menutupi, yaitu menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis dan menerawang.E. Etika Berbusana; Tinjauan FungsiMengenai fungsi busana (pakaian), menurut M. Quraisy Shihab setidaknya ada empat fungsi jika merujuk pada al-Qurn, yaitu sebagai penutup aurat, sebagai perhiasan, sebagai perlindungan atau ketakwaan, dan sebagai identitas. Misalnya yang disebutkan dalam surat al-Araf (7): ayat 26: