essai laporan hasil diskusi reinhold niebuhr kelompok cendrawasih
TRANSCRIPT
Essai Laporan Hasil Diskusi Reinhold Niebuhr Kelompok Cendrawasih
Pertemuan Elisa 23 Oktober 2012
Albert Christian 10/300868/SP/24249
Ciptahadi Nugraha 10/296341/SP/23828
Gede Resnadiasa 10/296269/SP/23822
Gusti Hening Pusthikaputra 10/297029/SP/23916
Muhammad Hadyan Hirzi 10/296304/SP/23826
M. Ridha Iswardhana 10/296979/SP/23903 (Presentator)
Utami Sandyarani 10/296738/SP/23872
*) Semua Aktif Terlibat
Pertanyaan Diskusi:
Q1: Setujukah teman - teman tentang pendapat Niebuhr yang percaya bahwa negara
seperti halnya manusia memiliki sifat dasar yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri
hingga akhirnya berujung pada konflik / perang dengan pihak lain ? Lalu apakah situasi damai
dan harmonis di dunia merupakan suatu utopia besar dan impian belaka ?
Q2: Seorang realis klasik Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa: Organisasi
Internasional tidak dapat menyelesaikan masalah antar negara seperti yang tercermin dalam
tulisan Niebuhr yang bercerita tentang kegagalan LBB untuk menyelesaikan kasus penyerangan
Jepang ke Manchuria ? Benarkah OI tidak efektif dalam politik internasional ?
Laporan Hasil Diskusi:
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, kami mendapatkan tiga kesimpulan
berdasarkan pertanyaan dan jalannya diskusi tentang Reinhold Niebuhr. Ketiga kesimpulan ini
terdiri atas dua kesimpulan utama dengan melihat jawaban semua peserta diskusi, dan satu
kesimpulan tambahan tentang bagaimana jalannya diskusi ini. Ketiga kesimpulan tersebut,
antara lain:
Pertama, berdasarkan semua jawaban dari setiap peserta dalam menjawab pertanyaan
pertama. Mayoritas peserta setuju dengan pendapat Niebuhr yang percaya bahwa negara
selayaknya manusia yang memiliki naluri dan merefleksikan ego individu tersebut yang
cenderung akan lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri, yang selanjutnya dapat
mengakibatkan konflik maupun peperangan antar aktor terutama negara dalam politik
internasional. Namun, terdapat pendapat berbeda yang menolak pendapat Niebuhr bahwa negara
tidak selalu mementingkan kepentingannya semata, dan terdapat Organisasi Internasional seperti
PBB maupun hukum internasional yang memperjuangkan keadilan dalam dinamika hubungan
internasional untuk mengusahakan kehidupan manusia yang lebih baik yang menyebabkan
negara memiliki kecenderungan untuk hidup berdamai, atau setidaknya mengusahakan
kepentingannya dapat tercapai tanpa mengganggu kepentingan negara lain.
Lalu menjawab bahwa situasi damai dan harmonis di dunia merupakan suatu utopia
besar dan impian belaka, tidak semua peserta merasa skeptis bahwa perdamaian dan kehidupan
yang harmonis dalam dunia internasional dapat tercipta, karena dengan melihat bahwa
perdamaian akan tercipta ketika tidak terjadi perang maupun adanya kerjasama tertentu secara
sementara saja. Disisi lain, kebanyakan peserta justru memiliki opini bahwa perdamaian dan
harmonisasi dalam politik internasional dapat tercipta dengan membuat kondisi yang membuat
setiap negara memiliki keadaan yang proporsional, melalui kombinasi antara penggunaan
kekuatan dan pemahaman antar aktor mengenai kepentingan masing-masing dalam sistem
internasional, dan lebih mengoptimalkan implementasi instrumen internasional yang sudah ada
melalui PBB, HKI, dan HHI.
Kedua, berdasarkan jawaban dari semua peserta tentang pertanyaan kedua, hampir
semuanya setuju bahwa Organisasi Internasional tidak efektif dalam membuat kebijakan untuk
negara yang bermasalah dengan melihat kenyataan yang ada. Hal ini terjadi karena PBB yang
dianggap sebagai salah satu OI penting, ternyata tidak bisa memberi sanksi terhadap Amerika
Serikat yang mendominasi kehidupan internasional, dan PBB justru digunakan sebagai "cara"
bagi negara adidaya untuk "mengegolkan" kepentingannya dan menekan negara kecil. Namun,
ternyata ada seseorang yang kontra dan tidak setuju bahwa OI tidak efektif. Pendapat tersebut
didasarkan pada peranan badan - badan PBB yang sebenarnya juga berhasil menyelesaikan
masalah dan memberi kontribusi positif pada bidangnya. Dalam hal ini, pihak yang kontra
berpendapat bahwa justifikasi terhadap institusi internasional merupakan sebuah hal yang tidak
tepat, karena hanya melihat dari satu sisi, khusunya sisi negatif dari OI.
Ketiga, dalam proses berjalannya diskusi ini semua peserta telah ikut berpartisipasi dan
menjawab pertanyaan sesuai dengan opini dan apa yang mereka pahami dari pembahasan
Niebuhr ini. Selain itu, banyak peserta yang ternyata ikut bertanya dan saling menimpali kepada
peserta lain, yang menunjukkan bahwa mereka cukup paham dan "interest" dalam pembahasan
ini. Namun, selama berjalannya diskusi ini, seringkali diskusi terlalu melebar dan keluar dari
konteks utama pembicaraan, karena semakin "hangat"nya pembahasan dan terjadi adu pendapat
yang kuat. Lalu dalam diskusi ini sangat disadari bahwa terdapat kecenderungan ada beberapa
pihak yang sering "speak up" dan tidak semuanya langsung angkat bicara karena keterbatasan
waktu tentunya. Berdasarkan dari diskusi ini, saya sebagai presentator dan pemantik diskusi,
melihat bahwa diskusi ini sangat "seru" dan menarik bahkan masih dibicarakan hingga diluar
kelas. Semoga presentasi saya dan diskusi ini bermanfaat bagi semuanya.
Essai Notulensi Diskusi Reinhold Niebuhr Kelompok Cendrawasih
Pertemuan Elisa 23 Oktober 2012
Albert @Ridho: Ridho, ini albert christian
aku make kolom ini ya, di kolom diskusi ga bisa
Ridho :
@Albert: Okey klo gitu, semua di lembar diskusi aja ya ?
@Resna: Tolong di-copas disini aja res jawabanmu
--------------------------------P E R T A N Y A A N P E R T A M A----------------------------------
Ridho -> @All:
Q1: Setujukah teman - teman tentang pendapat Niebuhr yang percaya bahwa negara
seperti halnya manusia memiliki sifat dasar yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri
hingga akhirnya berujung pada konflik / perang dengan pihak lain ? Lalu apakah situasi damai
dan harmonis di dunia merupakan suatu utopia besar dan impian belaka ?
Gusti (Q1): Saya setuju dengan pendapat Niebuhr. Manusia pada dasarnya egois,
selfcentre. Apa yang manusia, seperti halnya negara lakukan, adalah upaya-upaya survival bagi
diri mereka sendiri. Aapapun yang mereka lakukan, berdasar pada fear yang memunculkan ego.
Hal ini seringkali menimbulkan peperangan antar negara 1 dengan yang lainnya, karena
ketakutan akan masa depan negara yang akan dijajah oleh negara lain , dan tidak bisa survive,
apabila diserang duluan oleh negara lain, atau apabila negara mereka “terlihat” kalah dari segi
militer -sebagai alat pertahanan negara- dari negara lain. Dan, ya, saya pikir situasi damai di
dunia ini hanya utopis dan impian. Peace, entah itu Negative peace - hanya memandang bahwa
damai adalah suatu kondisi dimana tidak ada perang- ataupun Positive peace – perdamaian
adalah sebuah bentuk mutual cooperation / kerjasama yang saling menguntungkan - hanya bisa
bersifat sementara. Jika dunia tidak aka nada perang lagi, tidak ada yang bisa menjamin hal itu
akan terjadi. kecenderungan negara yang selfish berdasar pada rasa fear, sangat memungkinkan
membuat negara tersebut “keluar kandang” , menyerang negara lain sebelum diserang, seperti
contohnya Amerika Serikat yang menyerang Irak dengan justifikasi melenyapkan senjata
pemusnah masal Irak. Sedangkan kondisi positive peace sekalipun tidak menjamin juga akan
adanya perdamaian. Jika bentuk bentuk cooperation gagal, maka bisa saja terjadi peperangan.
Sebagaimana yang kita tahu, bahwa dalam perundingan pun, kerap keluar ancaman-ancaman
terhadap negara lain, seperti ketika Iran mengancam di forum IAEA akan menutup selat Hormus
jika Amerika Serikat akan menyerang Iran karena Iran diduga membuat senjata nuklir pemusnah
masal. Dan kerap pula, suatu forum perdamaian tidak menghasilkan apapun sehingga membuat
konflik dan peperangan menjadi masih berkelanjutan. Contohnya ketika Israel dan Palestina
melakukan perundingan damai di Oslo , pada akhirnya, hingga saat ini, masih terjadi konflik dan
krisis di jalur Gaza.
Resna (Q1) : Aku setuju dengan pernyataan dari Niebuhr untuk sifat dasar
manusia yang mementingkan diri sendiri. Walaupun kita memiliki akal, tetap saja naluri awal
kita adalah survival, jadi manusia memiliki sifat dasar untuk menyelamatkan diri sendiri atau
egoisme. Nah, dengan adanya sifat individualis tersebut, mungkin saja terjadi clash antar
kepentingan dari tiap orang yang kemudian menyebabkan konflik dengan yang lain. Jadi sifat
survival manusia dan negara ini bisa berujung konflik atau sebaliknya. Untuk perdamaian
menurutku bukan sesuatu yang utopis, karena pada dasarnya kita bisa mencapai harmonisasi
dalam hidup. Ketika insting survival kita bekerja kita bisa memilih ingin berkonflik atau bekerja
sama dengan yang lain untuk memenuhi keinginan kita. Keadaan dimana semuanya ideal dan
proporsional bisa dicapai jika kita saling bisa mencari cellective interest kita masing-masing
Cipta (Q1) : Saya setuju dengan hal ini, berdasarkan pemikiran niebuhr, dalam
hubungan antar negara, yang diutamakan bukanlah moralitas, namun lebih kepada kepentingan
negara tersebut dalam mencari keuntungan. Maka dari itu menurut pandangan neihbur hubungan
antar negara tidak dapat dibangun dengan berbasis etika dan moral, namun dengan basis politik
dan juga power demi mendapatkan kepentingan. Terjadinya perang sebenarnya hanyalah
merupakan sikap egois dari para elit suatu negara yang bersikap terlalu agresif dalam usahanya
mencapai keppentingan negaranya, seperti ekspansi wilayah, ataupun melakukan tekanan
terhadap negara lain. Menurut neibuhr, perdamaian akan dapat tercipta melalui melalui
kombinasi antara penggunaan kekuatan dan pemahaman antar aktor mengenai kepentingan
masing-masing dalam sistem internasional, maka akan tercipta keadilan dperdamaian dunia
Tami (Q1): Saya melihat bahwa pemikiran Niebuhr mengenai negara merupakan
refleksi dari ego manusia cukup dapat diterima. Menelusuri pemikiran tersebut, saya tidak
menyangkal pendapat Niebuhr bahwa memang seringkali manusia lebih dikuasai oleh emosi dan
ego daripada 'mind', hal ini dikarenakan basic instinct kita untuk terus bertahan hidup. Sehingga
sedemikian rupa baik disadari maupun tidak, kita akan berupaya untuk mempertahankan segala
kepentingan kita. Namun disisi lain, saya juga setuju dengan pemikirannya bahwa seorang
manusia dapat melakukan self-criticism. Apalagi pendapat dia mengenai iustisia originalis,
bahwa setiap dalam diri manusia masih ada faith, hope, and love. karena diri manusia bukan
hanya raga namun juga ada jiwa. Namun jika dikaitkan dengan negara, maka negara merupakan
bentuk kumpulan individu bukan? Dan ketika manusia dikumpulkan menjadi lebih besar
membentuk sebuah society, society tidak dapat melakukan self-criticism. Sehingga society hanya
diisi oleh ego-ego dan emosi manusia di dalamnya, dan miskin akan 'mind'. Moralitas semakin
kecil dalam sebuah society. Inilah mengapa saya cukup setuju dengan pemikiran Niehburh
bahwa state merupakan refleksi ego manusia. Demikian mengapa dalam benak saya, negara
dapat lebih mudah mengambil jalur kekerasan dalam mencapai kepentingannya.
Albert (Q1): Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pendapat Niebuhr yang
percaya bahwa negara hanya mementingkan dirinya sendiri sehingga bisa berujung pada konflik.
Argumen saya ini didasarkan dengan sudah adanya fakta seperti adanya eksistensi institusi
internasional seperti PBB dan juga peraturan hukum dunia seperti HKI dan HHI yang dibentuk
dengan tujuan untuk memperjuangkan keadilan dalam dinamika hubungan internasional. Lebih
jauh dari itu, menjamin untuk pemenuhan hak serta kewajiban setiap manusia yang pantas
dihormati. Niebuhr menganggap bahwa moral tidak relevan karena politik yang sarat konflik.
Memang terdapat bukti bahwa negara- negara terkesan mengesampingkan moral untuk mencapai
kepentingannya. Contohnya adalah amerika serikat ketika menginvasi Irak, atau contoh- contoh
penyerangan negara pada masa Perang Dunia dan perang dingin. Akan tetapi dikodifikasikannya
hukum internasional menjadi bukti tak terbantah bahwa negara juga memiliki kecenderungan
untuk hidup berdamai, atau paling tidak mengusahakan agar kepentingannya tercapai tanpa
mengganggu kepentingan negara lain. Contohnya bisa dilihat dari banyaknya anggota PBB serta
diratifikasikannya kodeks hukum internasional dan hukum humaniter internasional ke dalam
hukum nasional banyak negara di dunia. Hal inilah yang membuat saya tidak setuju. Negara,
seperti halnya manusia memang memiliki kecenderungan untuk memenuhi interest nya, akan
tetapi tidak se- materialis yang Niebuhr kemukakan. Di sinilah tampak relevansi moral dalam HI.
Dengan eksistensi institusi internasional dan diratifikasikannya hukum internasional, menurut
saya perdamaian bukanlah impian yang sifatnya utopis belaka karena instrumennya sudah ada
(melalui PBB, HKI, dan HHI). Yang perlu ditingkatkan adalah cara supaya implementasinya
lebih optimal sehingga setiap manusia bisa memahami pentingnya perdamaian, dan dari situ
setiap orang sadar bahwa hidup damai lebih penting daripada hidup yang hanya perang atau
kompetisi terus- menerus.
Ridho @All: Kita tunggu jawaban yg lain dulu...
Muhammad Hadyan Hirzi @All:halo saya baru bangun
Ridho @Tami: Berarti anda setuju atau...? Kok saya melihat sepertinya kamu ada di
posisi tengah2 antara setuju dan tidak ? Tami @Ridho saya telah cukup jelas mengenai hal
diatas bahwa saya setuju. Kan memang pemikiran niebuhrn memiliki ambivalensi mengenai
manusia yang ego namun dalam dirinya masih memiliki iustisia originalis, mungkin itu yang
menurut Anda saya berada di tengah-tengah. Namun yang saya tekankan bukan itu, tapi lebih
kepada poin bahwa ketika manusia dikumpulkan menjadi sebuah society dan kemudian state,
kemampuan untuk melakukan self-criticism itu semakin berkurang. Sehingga saya setuju bahwa
state itu bentuk ego manusia, karena dalam sebuah society yang besar, sebagian besar hanya
dipenuhi oleh emosi dan ego, karena sulit mengkritik sebuah society. Ridho @Tami:
Ambivalensi itu mengaburkan saya, membuat saya sedikit bingung:D
Gusti @ridho: dho kayaknya enak disini deh..g usah terlalu banyak scroll...ya ini
pendapat saya..:D
Gusti @albert: bukankah HKI maupun HHI atau apapun world order di dunia ini,
aturan-aturan di dunia ini dibuat karena adanya kepentingan dari 1 atau banyak negara? kalau
memang HKI dan HHI dibuat murni sebagai hukum, bukankah seharusnya tidak akan terjadi
pelanggaran terhadap hukum tersebut, bahkan dari si pengusul pembuat hukum tersebut? seperti
yang kita tahu, misalkan hukum declaration of human rights yg dipelopori , yang dijunjung sama
USA, eh malah USA melakukan banyak kejahatan HAM seperti di Libya, yang juga melanggar
aturan HHI seperti menyerang tempat-tempat non-militer yang menewaskan sangat banyak
rakyat sipil yang notabene non-kombatan? bagaimana?bagaimana bisa negara-negara terutama
negara kecil mempertahankan eksistensi world order, jika pada kenyataannya negara adidaya,
yang mempelopori dan menginisisasi world order tersebut justru malah melanggar world order
itu sendiri?
Ridho @Albert: masih ga bisa posting di kolom diskusi bert ? Albert @Ridho: ga
bisa nih,sampe sekarang… Ridho @Albert: okey klo masih eror kita tetap disini. Gusti
Ridho:disini aja dho.lebih luas dan nyaman hehe
Albert @Gusti: Saya rasa sudah cukup saya jelaskan. Sangat sukar bagi setiap negara
untuk mengimplementasikan HKI dan HHI dengan optimal. Terlepas dari bagaimana
pembentukannya atau motif apapun yang melandasi perancangan instrumen internasional,
gagasan tentang New World Order sebenarnya masih seperti gagasan yang belum scientifically
proven secara maksimal menurut saya. Banyak bukti2 yang hilang untuk menjustifikasi bahwa
PBB ataupun instrumen internasional lainnya merupakan hasil pasti dari new world order. Saya
lebih melihat bagaimana dinamikanya yang terjadi hingga masa kini. Lihatlah PBB sekarang
sudah beranggotakan lebih dari 100 negara. Lalu lihat HHI dan HHI, serta peran lembaga lain
seperti ICRC. Menurut pandangan saya mereka berada dalam logika berpikir yang sama, untuk
mengusahakan kehidupan manusia yang lebih baik. Mungkin terkesan naif, pendapat saya ini,
tetapi sebagai akademisi tidak bisa kita menutup mata bahwa usaha- usaha untuk menghormati
kemanusiaan memang telah diusahakan dengan maksimal hingga sekarang. Kalau setiap negara
pure egois dan sangat self, centered, mereka tidak akan mau berkontribusi dalam hal ekonomi
dengan memberi bantuan ke PBB ataupun ke lembaga- lembaga internasional yang sudah lebih
berperan. Bahkan apabila dilihat di WTO, ada mekanisme DSB yang bisa memberi kesempatan
kepada setiap negara untuk memperjuangkan aspirasinya dalam perdagangan bebas. Yang mau
saya utarakan di sini adalah itu tadi, instrumen sudah ada, tinggal bagaimana caranya setiap aktor
membuatnya jadi lebih baik.
Muhammad Hadyan Hirzi (Q1): buyung bersabda: Saya sangat setuju atas
pendapat niebuhr. Yang saya setujui disini bukan hanya soal bahwa manusia pada dasarnya
egois, namun juga bahwa terdapat manusia yang tidak egois dan hal tersebut menjadi sumber
masalah. Terbaginya sifat manusia tersebut sangat logis karena moralitas sudah terstandardisasi
sebagai sebuah selfless action atau tindakan yang lebih mementingkan pihak lain daripada diri
sendiri. Sehingga ketika moral manusia berbeda-beda, namun memiliki interest yang sama,
hampir dipastikan bahwa ujung dari cerita tersebut adalah konflik. Saya bisa bilang bahwa situasi
perdamaian memang sebuah utopia, jika niebuhr berpendapat bahwa negara merupakan refleksi
dari manusia. Sama halnya dengan manusia, negara tidak akan pernah puas. Setiap negara akan
selalu berusaha menjadi lebih baik dari negara lainya dan seterusnya dan seterusnya.
Gusti @Albert : nah berarti, kalau ada peraturan, tapi negara masih tetap selfcentred ,
berarti perdamaian dan harmoni itu utopis dong? bergantung pada aktor2 yang menjalankan dan
mengimplemetasikan ya? how? :-S lagipula memang sih kalau negara itu egois mereka g mau
join membentuk suatu organisasi kyk WTO dsb seperti yang sampeyan contohkan..tapi egois dan
selfcenter nya g cuma pada poin itu..tapi lebih ke pengimplementasiannya dari aturan, ya
utamanya yang saya perdebatkan masalah HKI dan HHI..piye bert?
Resna @buyung / @Muhammad Hadyan Hirzi: kenapa bisa utopis yung ?? bukannya
ketidakpuasan itu kalau bisa disalurkan dengan kerjasama kolektif bisa menghasilkan satu
keadaan yang harmonis antar yang lain ??
Muhammad Hadyan Hirzi @resnas: kalo melihat dengan basic assumptionya niebuhr,
sudah jelas itu utopis. bahkan ketika ada kerjasama pun, ga bakal semua bisa mendapat kepuasan
yang sama (relative gain). kerjasama kolektif bisa terjadi kalo misalnya pemikiran semua negara
udah ada standar persamaan tertentu, yang tentunya hal itu sulit untuk dicapai. begitu mas resna
menurut saya.super sekali #shakehand
Resna @Buys : Iya sih, tapi terkadang kalau melihat ke dalam diri manusia yang penuh
konflik dan kemunafikan, mereka kan bisa saja menahan diri untuk bisa mendapat kepuasan
yang mungkin hampir sama dengan yang lain
Ridho @Resna: mungkin klo untuk level negara, sulit bro untuk masing - masing
menahan diri apalagi jika kita melihat konteks negara - negara maju yang sangat egois, kalau utk
level individu / pemimpin suatu negara mungkin bisa cuman kan individu terikat dalam sistem
jadi untuk saling menahan diri rasanya sulit..
Cipta @resna : Jadi selama hubungan antarnegara itu konfliktual sulit buat mencapai
yang namanya perdamaian, karena kepentingan suatu negara akan berkaitan dengan negara yang
lainnya, dan ini berarti bukan hanya soal kepentingan 2 negara yang saling sepakat, tapi pasti ada
implikasi yang bakal nyenggol kepentingan negara lainnya.
Muhammad Hadyan Hirzi @resna: memang itu banyak terjadi saat ini... dan
realitanya? kita masih bisa ngeliat yang namanya orang palestina dibully sama orang israel, AS
dan Iran masih gontok2an... intinya ketika ada negara yang berusaha menahan egonya, banyak
negara lain yang tidak kuasa untuk menahan ego tersebut dan masih terjadi kemunkaran didunia.
Albert @Gusti: Pengimplementasian dari aturan yang seperti apa yang anda
maksudkan? Satu lagi pertanyaan saya lebih dulu kepada njenengan, new world order yang anda
maksud itu yang seperti apa? Terimakasih, harap dijawab lebih dulu deh ;) Gusti @albert
oke..pengimplementasiannya itu yang sudah saya sebut tadi bert..di HHI..akan ada tuh prinsip-
prinsip dalam HHI, di antaranya , nonkombatan harus dilindungi, dan tidak menyerang tempat
atau instalasi non-militer.tapi itu kan dilanggar bert sama USA pas nyerang Libya. terus world
order yang saya maksud itu, peraturan dunia, yang dibuat sama organisasi-organisasi dunia..ya
kaya PBB, atau kesepakatan bersama antar negara gitu bert..bukan new world order yang "lain-
lain" :D Albert @Gusti:Bang Gusti, masbroh gini loh jawabannya: Justru itu tadi maksud saya
dengan bilang bahwa implementasi nya yang harus dimaksimalkan. Sebagai sebuah institusi
ataupun peraturan hukum yang berumur lebih muda dari banyak negara- negara kuat di dunia,
peran institusi internasional memang masih perlu banyak perbaikan. Kan di setiap lembaga
internasional ada mekanisme semacam amandemen seperti itu (bahkan setiap negara dalam
perundang- undangannya juga membolehkan mekanisme amandemen kan?) Maksudnya, secara
fakta nya mekanisme untuk perbaikan kan selalu ada. Satu lagi, pertanyaan yang tadi anda
utarakan itu kan poinnya mengenai relasi negara, nah ini harus dibedakan: maksud anda relasi
horizontal antar negara, atau relasi vertikal antara negara dengan masyarakat sipil? Masih
terdapat ambiguitas dari pernyataan anda yang (maaf) menurut saya belum bisa menangkap
dengan jelas poin yang mau ditanyakan :D Gusti @albert: kan dalam organisasi internasional
kaya PBB dll, aktor utama kan tetep negara to masbro?poin saya pada negara nya itu lo..kalo
yang masalah hubungan negara dan masyarakat sipil, itu hanya contoh terhadap pelanggaran
HHI :) nah balik lagi ke negara sbg aktor, berarti negara itu kan egois, selfcentre karena mereka
yang membuat peraturan, mereka sendiri yang melanggar..semacam menelan cinta eh ludah
sendiriGausah curhat masbro, forum akademis neh hahahaha. Anda pernah dengar konsepsi
tentang escape clause kan? Itulah yang saya maksud bisa menjelaskan kenapa negara seperti
menjilat ludah atau cinta seperti yang anda curhatkan tadi. Masalah negara sebagai aktor utama
dalam HI, hal itu sudah tidak sepenuhnya relevan, karena sudah banyak fungsi2 relasi antar
negara yang digantikan oleh keberadaan institusi internasional begitu. Memang yang
merundingkan negara, akan tetapi tidak bisa lantas kita menjustifikasi bahwa negara tetap jadi
aktor utama, karena keputusan akhir lembaga internasional tetap yang paling sah (misal dalam
PBB, Amerika bahkan bisa saja dianggap tidak mematuhi himbauan yang diberikan oleh PBB itu
sendiri). Contoh lain yang harus dilihat adalah keberadaan Uni Eropa sebagai sebuah institusi
supranasional. Dari situ dapat dilihat bahwa perspektif realisme sudah mulai 'ditinggalkan' oleh
Uni Eropa dan mulai menggalakkan promosi tentang demokrasi. Gitu nggih :)
Ridho @Cipta: Bang, kongkretnya kombinasi antara penggunaan kekuatan dan
pemahaman antar aktor yang membentuk sebuah perdamaian itu gimana ya ? Cipta @Ridho:
Bang ridho ganteng : pemahaman antar negara ini menurut saya penting karena dalam
penggunaan powernya untuk mencapai kepentingan mereka harus melihat juga kepentingan-
kepentingan negara lain, intinya biar ga saling bentrok kepentingan, mereka harus memahami
dulu kepentingan negara lain sebelum make a move, biar ga ada selek antar kepentingan negara
yang akhirnya bisa mencapai perdamian, tapi ya kaya semi utopis juga sih, susah banget buat di
lakuin di realita .____. Ridho @Cipta: Bukannya penggunaan power sama pemahaman aktor
itu sebuah hal yg bertolak belakang ? power dari segi apa dulu nih ?nah itu dia, power kan bukan
semata militer doang, masih ada aspek lain kaya ekonomi, dll, kata neibuhr sih kalo negara
saling mengerti kepentingan negara lain, dan ga ada intensi buat kontra, maka dia bakal make a
move yang ga kontra dengan kepentingan negara lain, efeknya? ga bakal ada konflik
kepentingan, tapi ya itu tadi, menurut aa juga ya masih semi utopis, susah banget buat di
realisasikan.Tetap aja, secara idealis mungkin bisa, diatas kertas mungkin bisa tapi melihat
riweuhnya politik internasional, saya rasa sulit untuk menggabungkan kedua hal tersebut terlebih
dalam ekonomi, setiap negara cenderung saling bersaing dalam ekonomi & perdagangan,
meskipun dengan embel2 "persaingan sehat"nah maka dari itu aa nyebut ini masih utopis, dalam
pelaksanaannya masih sulit karena tiap negara pasti ada aja kepentingannya yang bertolak
belakang sama kepentingan negara lain. cuman kan yg dibahasnya ini soal pandangan mas
niebuhr, di ppt ente sendiri kan yang nyebutin itu hehe.jujur saya skeptis melihat kedua hal
tersebut bisa digabungkan, terlepas dari ppt saya yg membahas Niebuhr :D nah klop kan, aa juga
masih mandang persoalan perdamaian versi niebuhr ini masih susah banget buat di
realisasikan :D #shakehand
Resna @All: Untuk semua ya, terus dengan asumsi Niebuhr tentang agama yang bisa
menyeimbangkan moral, kan itu kemudian bisa menjadi satu pijakan bagi hubungan yang lebih
harmonis, kalau kita ambil ajaran universal agama yang saling mengasihi antar sesama. Gusti
@Resna: kan ada juga yang gak beragama, atau yang beragama tapi gak taat..gimana coba?
individu juga egois soal agama loh.pie jal? :)) Resna : wah, bener juga sih. tapi saya masih
menganggap klo kedamaian itu tidak utopis, dengan melihat asumsi dari niebuhr ttg agama
sebagai penyeimbang.apa mungkin ya, karena pengaruh agama yang disempilkan di teori
niebuhr itu beda sama ajaran agama lain? maksudku, menurut niebuhr yang beragama X,
memandang bahwa peace itu yang kaya gini, mungkin menurut agama yang lain, peace itu yang
kayak gitu.bisa gak ya? Muhammad hadyan @Resna: setuju banget sama mas gusti.
masalahnya, idealisme setiap agama bisa dipersepsikan beda-beda sama umatnya. contohnya?
osama bin laden. dia melihat AS sebagai musuh bersama kaum muslim. mungkin bagi islam
ekstrimis, hal itu bisa dibenarkan, tapi secara garis besar, tindakan osama itu masuk dalam
kategori terorisme berat.nah ini dia res..dan buat semuanya..gimana nih? setuju atau tidak?
please argue here guys :)) Resna @All : pemikiran yang cukup bagus untuk membuat
pemikiran saya meledak mas-mas sekalian. gmana teman2? cipta, tami, albert, ridho?
ngantuk rescurhatabis ngeronda yung??ngeronda apa nge-ronde?nge-rondedipukulinmakan onde" tuh abs
makan konde yee yung sampe gelembung perutnya ._.gw inget2 warna teksnya, gw pukulin lo
semuadamai ya yung ngepissIDP dulu laah
Resna @All: Ini diskusinya mending dilanjut ke pertanyaan berikutnya dojangan..lagi
seru nihjam 9 baru next question ;)kelas polpem AS woy..inget.kemaren udah bolos jugaane ga
bolos yeee :Dhahaha, yaudah kalo gitu live up the discussion lagi deh
Ridho @All: Melihat antusiasme namun terbatasnya waktu, sebaiknya pertanyaan
kedua akan saya berikan sekarang saja
--------------------------------------P E R T A N Y A A N K E D U A-----------------------------------
Ridho -> @All:
Q2: Seorang realis klasik Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa: Organisasi Internasional
tidak dapat menyelesaikan masalah antar negara seperti yang tercermin dalam tulisan Niebuhr
yang bercerita tentang kegagalan LBB untuk menyelesaikan kasus penyerangan Jepang ke
Manchuria ? Benarkah OI tidak efektif dalam politik internasional ? >>> Formatnya: Nama (Q2)
jawaban
Gusti (Q2): nah itu yang lagi saya bahas sama albert..menurut saya OI gak
efektif..OI hanya efektif dalam membuat kebijakan. tapi pelaksanaannya kan oleh negara sebagai
aktor utama dalam HI...sedangkan mekanisme punishment yang ada, tidak efektif juga untuk
menghukum..kalau yang melanggar negara ecek-ecek, well katakanlah efektif..tapi efeknya pada
negara lain yang kemungkinan terjadi pecah kubu..hal ini bisa menimbulkan
perselisihan..sedangkan kalau yang salah negara adidaya, kayak USA misalkan, bagaimana
forum bisa mem-punish USA? apalagi kalau USA yang pegang donasi secara keuangan dan
secara dominasi kekuatan militer ekonomi di OI tersebut (seperti di PBB).. siapa yang berani
mem-punish negara adidaya? jadi, menurut saya, OI gak efektif dalam penerapan aturan dan
dalam politik internasional.karena, percuma kan kalau ada aturan, tapi gak dipatuhi.
Albert @Gusti:Cara pandang terhadap eksistensi institusi internasional ini loh yang
masih sering disalahpersepsikan oleh banyak pihak. Faktanya, lahirnya institusi internasional
memang dipelopori banyak negara maju, untuk tujuan yang baik (meski tidak bisa sepenuhnya
dijamin apa motifnya). Seperti yang tadi saya bilang, masalah optimalisasi implementasi, gus.
Jawabnya ya pake analogi sederhana: mau hidup yang enak apa hidup yang hanya terus
berkompetisi mencapai kepentingannya sendiri? Ketika prospek hidup damai melalui institusi
internasional yang sudah ada bisa lebih baik, kenapa enggak kan? Gusti @Albert: tapi OI juga
bisa dipakai sebagai lahan untuk berkompetisi loh bert..saling berebut pengaruh..memang, damai
sih bentuk persaingannya..tapi kan gak bisa menjamin juga bakal damai untuk waktu yang lama,
dan gak menjamin juga peraturan tersebut akan selalu ditaati oleh negara2..percuma ada aturan,
dibuat bersama, disepakati bersama, tapi karena ada negara adidaya yang menguasai OI tersebut,
bahkan kekuatan hukum OI tidak mampu menyentuh negara adidaya tersebut..kan g ada
esensinya
Resna (Q2) : Nah kalau melihat dari asumsi Niebuhr dan kemudian menilik dari
fakta yang ada, OI bisa dibilang tidak efektif. Memang kemudian kebijakan untuk negara yang
bermasalah dari OI, tapi yang buat kebijakan itu juga kan dari negara-negara lain yang mungkin
saja berkepentingan dengan keadaan saat itu. Untuk kontemporer misalnya North Korea yang
dijatuhi sanksi PBB, yang usul pertama itu AS yang kemudian dibawa ke forum PBB dan yang
nantinya menjalankan keputusan tersebut ya dari AS dan sekutunya juga. Jadi, sanksi dan
hukuman bagi satu negara dari OI itu ibaratnya cuma kedok dari kepentingan negara lain
terhadap negara yang terkena sanksi, begitu menurut saya
Cipta (Q2) : setuju ama gustipul, Organisasi internasional jadi ga efektif karena
tidak memiliki instrumen/mekanisme untuk menegakkan keadilan dan perdamaian yang mampu
menghadapi agresifitas negara tertentu, ya kalo negaranya ga punya power yang gede sih masih
bisa diteken, gimana kalo kasusnya negara super power?
Ridho @Cipta: Tapi bukannya PBB berhasil membuat gencatan senjata antara Israel
dan Lebanon ? Cipta Ridho: iya, tapi jangan lupa juga soal invasi-invasi AS, dan masalah-
masalah militer lain yang sampe saat ini masih banyak terjadi, kalo konteksnya OI dapat
menghadirkan perdamaian dunia ya jelas masih belom berhasil kan? :) Ridho @Cipta Betul
sekali jawaban anda aak !
Buyung @Ridho: bisa dijelaskan efektif dalam segi apa? Ridho @ Buyung dilihat
dari peranan OI tersebut yang seringkali tetap tidak bisa menyelesaikan perselisihan antar negara
maupun mengatur prilaku negara terutama negara besar / maju. dirimu setuju yung ?
Muhammad Hadyan Hirzi (Q2): dalam mengatur perilaku negara, memang oi
tidak efektif karena pada dasarnya tidak ada negara yang mau diatur oleh negara lain. Di era
kontemporer, OI seperti PBB, organisasi regionalisme, dan lain-lain, hanya berguna sebagai
instrumen untuk mencapai kepentingan, bukan sebagai institusi pembina perdamaian,
Walaupun, ada usaha-usaha untuk membina perdamaian dari PBB dan usaha tersebut tidaklah
buruk. Pasalnya, saat ini negara-negara yang majulah yang justru mengendalikan organisasi-
organisasi internasional yang besar, sebagai sebuah alat untuk mempengaruhi negara-negara
kecil. Kita bisa melihat bagaimana WTO digunakan AS untuk menjaring hutang negara-negara
dunia ketiga seperti Indonesia. Intinya, OI tidak dapat digunakan sebagai penegak disiplin
dunia.Like This yung !(y)
Tami (Q2): Setuju dengan pendapat-pendapat diatas, bahwa OI memang tidak
efektif dalam menyelesaikan permasalahan. OI, walaupun bisa memberi norma pada hubungan
internasional, namun tidak efektif dalam pengimplementasian peraturan. Pada akhirnya,
keputusan kebijakan suatu negara, baik perang maupun tidak, baik mengembargo maupun tidak,
itu kembali ke keputusan negara masing-masing. Sehingga seakan-akan OI seperti singa yang
giginya tumpul. Hanya dapat 'mengecam' namun tidak bertindak. (y)
Albert (Q2):….. Ridho Albert: Bert ? Kok ga ada jawabannya ? Gusti @Ridho: tuh
albert ngejawab di lapakku Albert @Ridho: bentar lagi njawab pertanyaan di lapak orang.
Albert (Q2): Sekali lagi, OI bukannya tidak efektif, tetapi masih dalam tahapan
perkembangan yang kemudian akan diupayakan untuk bisa lebih baik. Sebaiknya juga dilihat
contoh- contoh lain yang sudah tidak berkutat masalah high context saja seperti tadi. Masalah
kegagalan LBB mungkin memang dapat diasumsikan sebagai kegagalan institusi internasional.
Tapi coba lihat adanya Uni Eropa maupun keberadaan institusi internasional lain seperti PBB
melalui badan- badannya seperti UNESCO, UNICEF, dan lain- lain. Tidak bisa seorang
akademisi berfokus terhadap isu- isu security dan power negara semata untuk kemudian
menjustifikasi argument bahwa institusi internasional telah gagal. Kita tidak bisa menutup mata
bahwa UNESCO membantu pelestarian candi Borobudur, prambanan, dan lain- lain.
Maksudnya, hal- hal seperti itu terkadang dilupakan bahwa itulah pencerminan penghormatan
terhadap hal- hal di luar konteks power dan security seperti yang tadi diributkan. Satu lagi yang
tidak boleh dilupakan adalah soal ekonomi. Perlu dipahami bersama bahwa dari contoh sengketa
Jepang dan China membuat aktivitas bisnis kedua negara terganggu. Dalam Koran kompas pagi
ini, terdapat berita bahwa tahun ini adalah aktivitas ekonomi Jepang yang terburuk selama 30
tahun terakhir, terkena pengaruh konflik China dan Jepang soal kepulauan Senkaku/ Diaoyu.
Hal- hal semacam ini bukanlah jadi fungsi negara untuk mendamaikan keduanya,tetapi
kewajiban institusi internasional lain untuk menyelesaikannya. Apabila tidak dibiasakan untuk
hidup dengan cara pikir yang positif, kapan lagi kita bisa menggapai hidup damai yang kita
inginkan? Bukankah pada intinya setiap manusia ingin hak dan kewajibannya dipenuhi serta
dignity nya dihargai? That’s the point.
Gusti @Albert: tapi meskipun ada UNICEF, UNESCO, organisasi2 international
yang bergerak di bidang non-security, apa bisa, mereka bergerak kalau tidak ada negara? kalau
survivalitas suatu negara hilang, kan organisasi-organisasi itu, yang notabene dibawah lingkup
PBB, menjadi FAILED ? according to me, it's all about survival..gak ada negara, OI gak jalan
kan? tapi ada negara, OI malah gak efektif..lah piye jal bingung kan Albert @Gusti: Coba deh
anda pikirkan. Kalau misal anda beranggapan bahwa tidak ada negara, kenapa akhirnya manusia
memilih untuk membentuk suatu negara? Karena pada dasarnya negara itu dibentuk bukan
semata- mata untuk survival. woits jangan salah..rakyat bersama-sama membentuk suatu negara,
menyerahkan kedaulatan mereka pada negara, agar mereka survive, terlindungi..kalau gak John
Locke, ya Hobbes..yang kontrak sosial, dimana sebagai timbal baliknya, negara harus
melindungi rakyatnya, yang notabene negara juga harus men-survive kan dirinya sendiri, dan
ofcourse rakyatnya.berarti jelas lah kalau negara harus survive, survival in this anachy world.
Kalau poin anda soal survive, tapi tidak harus dengan cara yang se pragmatis itu kan? Anda lihat
ada contoh seperti mahatma gandhi dan aung san suu kyi kan, bagaimana mereka berjuang untuk
negaranya. Bagaimana anda menjelaskan itu? Mereka bertindak tidak dari asumsi- asumsi
teoretis politik yang sudah ada, mereka bergerak berdasarkan pilihan independen mereka sendiri.
Itulah kualitas manusia yang sukar ditemui di seluruh dunia bung.
Albert @Gusti: walah bro..mereka kan bukan negara yang bukan sebagai aktor utama
dalam HI..Tapi mereka aktor penting kan, gus? Iya nggak? Banyak negara menghargai mereka
juga kok. Toh negara sebagai aktor yang utama pada akhirnya juga respek ke mereka juga kan.
Jika memang banyak negara menghargai usaha perdamaian mereka, mengapa masih ada saja
perang? bahkan konflik..negara itu legalitasnya dan legitimasinya terkuat .. aung san su kyi dan
mahatma gandhi itu bagian dari negara, yang bahkan mereka termasuk terikat dalam kontrak
sosial juga dengan negara, dimana mereka menyerahkan kedaualatan mereka pada negara
mereka, India dan Myanmar .FYI: Aung san suu kyi orang myanmar (burma), dudu vietnam
masbro :P yo kuwi maksudku..salah sithik.hahasalah mu akeh, ora sithikoke lanjut debat nang
beskem wae..aku ada kelasoke pending yoh nuwun2 buat semuanya : terimakasih.pagi2 otak
lancar jaya haha
Ridho @Albert: apakah anda seorang idealis sejati ? Karena daritadi anda satu-satunya
org yg memberi jawaban berbeda
Albert @Ridho: Saya bukan idealis sejati, mungkin. Tapi saya memang berbeda,
hahahaha :D Maksud saya dari tadi adalah kita membicarakan peluang yang ada, tapi kok tidak
dimanfaatkan dengan optimal begitu loh,
Ridho @Gusti: Sejahat itukah negara bagimu gus ? Secara realita pasti negara tertentu
ada yg "memanfaatkan" OI demi kepentingannya, tapi bukankah mereka juga memiliki blok /
kelompok negara yg membuat negara tsb akan "berhubungan baik" dengan sesama negara
anggota blok / kelompok itu ? Meskipun lagi2 negara itu baiknya karena motif kepentingan
tertentu..Gusti @Ridho: nah itu udah kamu jawab.."meskipun lagi2 negara itu baiknya karena
motif tertentu" .. jahat kan itu?Tapi kan ga jahat2 amat kan ? hehetidak ada yang abadi, kecuali
kepentingan Ridho @Gusti Berarti bagimu negara tidak memiliki cinta, kasih sayang, maupun
belas kasihan thdp negara lain ? Anda menentang kata Pujangga itu namanya ? Wuah jawaban
yang sangat politis om gusti