esm 08 bab vii. pengangguran
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Tujuan Instruksional Umum (TIU): Setelah menyelesaikan mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Manusia (pada akhir semester), mahasiswa program studi Sosial Ekonomi Perikanan/ Agrobisnis Perikanan semester VII akan dapat memahami permasalahan dan solusi dalam pengelolaan sumber daya manusia di pasar tenaga kerja serta berbagai dinamika ketenagakerjaan.
BAB VII. PENGANGGURAN
A. Definisi Pengangguran
Istilah penganggur yang merupakan terjemahan dari unemployed dapat
diartikan sebagai lawan kata dari employed atau bekerja. Namun, agar dapat
disebut penganggur masih ada persyaratan yang lain, yaitu harus aktif mencari
pekerjaan, sehingga lebih layak di kategorikan sebagai pencari kerja.
Pada umumnya, orang menunjuk bahwa penyebab pengangguran adalah
ketidakseimbangan (imbalance) antara penawaran tenaga kerja dengan permintaan
tenaga kerja. Sebagian yang menawarkan tenaganya mencari pekerjaan dan
berhasil memperolehnya tergolong bekerja (employ), sisanya yang tidak dapat
atau belum memperolehnya digolongkan sebagai penganggur, asal masih terus
mencari pekerjaan.
Pengangguran
Tujuan Instruksional Khusus (TIK): Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat menjelaskan definisi pengangguran, penyebab pengangguran dan kebijakan penanganan pengangguran berdasarkan penyebabnya.
102
Luasnya pengangguran ini mencerminkan baik buruknya perekonomian.
Indeks yang dipakai adalah tingkat pengangguran yang merupakan persentase
jumlah orang yang sedang mencari pekerjaan terhadap jumlah orang yang
menawarkan tenaga kerjanya atau dirumuskan sebagai :
Pencari kerjaIP = X 100 % Angkatan kerja
Semakin tinggi tingkat pengangguran, makin menunjukkan perekonomian
yang lebih buruk. Untuk memahami masalah pengangguran, seorang analisis
perlu mengetahui beberapa hal berikut :
1) Jumlah orang yang dikategorikan menganggur;
2) Tingkat pengangguran;
3) Profil mereka yang menganggur; dan
4) Dinamika pengangguran.
B. Profil Pengangguran
Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang di alami banyak
negara. Begitu seriusnya masalah ini sehingga dalam setiap rencana pembangunan
ekonomi masyarakat selalu dikatakan dengan tujuan untuk menurunkan angka
pengangguran. Namun, kebijakan pemecahannya sudah barang tentu harus
dialamatkan kepada apa yang menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, setiap
analis masalah-masalah ini selalu berminat untuk mengetahui profil
permasalahannya.
Profil pengangguran yang dibuat menurut penyebabnya yaitu :
Pengangguran
103
1. Pengangguran Friksional
Terjemahan luas dari kata frictional adalah gesekan. Jadi, pengangguran
friksional adalah pengangguran yang disebabkan oleh suatu hambatan yang
menyebabkan proses bertemunya penawaran dan permintaan tenaga kerja menjadi
tidak lancar. Pengangguran terjadi karena ketidaklancaran mekanisme pasar.
Penyebab dari hambatan ini pada dasarnya ada dua, yaitu karena tempat dan
waktu. Seorang pencari kerja mungkin pada suatu saat tahu bahwa di lain tempat
terdapat permintaan tenaga kerja, namun untuk sampai ke lokasi tersebut
dibutuhkan persiapan. Dengan demikian, jika ia tidak sampai di sana hal ini dapat
dihambat oleh perbedaan tempat. Sebagai contoh, jika persiapan untuk ke lokasi
itu memadai, maka waktulah yang menjadi hambatan utamanya. Selain itu,
pencari kerja harus mengumpulkan informasi mengenai lowongan kerja. Hal itu
tentu saja membutuhkan waktu.
Apabila lokasi tersebut jaraknya lebih jauh, maka pencari pekerja
membutuhkan waktu agak lama sebelum memutuskan untuk pergi. Sebagai
manusia, ia membutuhkan banyak hal dan harus dipertimbangkannya.
Sementara ia mengumpulkan informasi, mempertimbangkan, mengadakan
persiapan untuk berangkat dan sebagainya, maka jelas ia akan dikategorikan
sebagai penganggur atau pencari kerja. Padahal dalam waktu satu dua hari sampai
satu bulan lagi mungkin ia sudah mendapatkan pekerjaan tersebut.
2. Pengangguran Musiman
Kegiatan ekonomi masyarakat sering terpengaruh oleh irama musim. Ada
masa “ ramai” sehingga banyak permintaan tenaga kerja dan ada masa di mana
kegiatan mengendur. Pergantian antara masa ramai dan masa kendur terjadi
Ekonomi Sumberdaya Manusia
104
secara teratur dalam periode satu tahun. Selama kegiatan mengendur terjadi
pengangguran dan akan terpecahkan secara otomatis bila tiba masa ramai kembali.
Pada saat menunggu datangnya masa yang lebih ramai, oleh pencacah ia
akan dicatat sebagai penganggur.
Contoh yang paling klasik adalah apa yang terjadi di sektor pertanian.
Pada saat penyiapan lahan untuk ditanami dan dilanjutkan ke penanaman mungkin
dibutuhkan tenaga kerja yang banyak. Namun, pada saat tanaman tumbuh, tenaga
yang dibutuhkan menyusut drastis karena permintaan tenag kerja terbatas pada
pemeliharaan saja dan juga pada masa panen. Namun, pada saat menanam benih
kembali, maka permintaan tenaga kerja secara besar-besaran meningkat lagi.
Irama kegiatan ini diulang-ulang sehingga menjadi rutin setiap tahun.
Penyebab utama irama ini adalah iklim alam yang berlaku. Namun, alam
bukan satu-satunya penyebab timbulnya irama yang berulang-ulang secara rutin
setiap tahun. Perilaku manusia juga dapat menjadi penyebabnya, misalnya
musim-musim sibuk menjelang lebaran atau tahun baru menyebabkan perbedaan
perilaku ekonomi. Demikian pula menjelang dan semasa periode liburan wisata
dan seterusnya. Ditinjau dari segi pasar, ketidakseimbangan yang terjadi bersifat
musiman sehingga pengangguran yang terjadi juga diberi predikat musiman.
3. Pengangguran Siklikal
Makin banyak orang berpendapat bahwa gejala ekonomi mengikuti
perilaku alam bahkan gejala biologis. Justru karena itu, banyak perilaku ekonomi
dapat dirumuskan dalam bentuk fungsi.
Seperti halnya banjir yang merupakan gejala alam. Ini terjadi berdasarkan
siklus tertentu menurut ahli fisika sehingga dikenal banjir sepuluh tahunan, banjir
Pengangguran
105
lima tahunan, dan seterusnya. Demikian pula dengan kegiatan ekonomi, ada
kalanya terjadi ekspansi kegiatan meningkat. Timbul kejenuhan dan penurunan
kegiatan. Setelah itu diikuti oleh kenaikan intensitas lagi. Siklus seperti ini lima
atau sepuluh tahunan sekali secara berulang-ulang secara rutin. Irama seperti ini
sudah barang tentu membawa dampak pada permintaan tenaga kerja.
Pada masa ekspansi orang biasanya penuh dengan optimisme. Dalam
situasi seperti ini, dampaknya bagi kesempatan kerja positif. Kenaikan
permintaan terhadap tenaga kerja akan mengurangi pengangguran. Akan terjadi
sebaliknya bila orang telah kehilangan kepercayaan peluang di masa depan. Sikap
pesimisme yang timbul membawa dampak negatif pada kesempatan kerja. Hal ini
terekam oleh naiknya tingkat pengangguran. Pengangguran yang berirama ini
disebut pengangguran siklikal yang terjadi sesuai dengan konjungtor atau business
cycle yang dapat terjadi lima tahun sekali.
Sebenarnya pengangguran seperti ini mirip dengan pengangguran
musiman. Namun hal ini terjadi dalam jangka yang lebih panjang. Hal yang
memberatkan bahwa belum tentu orang yang menikmati enaknya dipekerjakan
pada masa ekonomi sibuk belum tentu mendapatkan tempat yang sama enaknya
pada saat ekonomi membaik setelah terjadi resesi. Apalagi kalau dia menjadi
kalah bersaing untuk memperebutkan tempatnya semula. Pergeseran-pergeseran
induvidual yang terjadi di samping penderitaan selama pengangguran merupakan
problem yang lebih berat daripada dalam kasus pengangguran musiman.
Ekonomi Sumberdaya Manusia
106
4. Pengangguran Struktural
Salah satu dampak dari kemajuan ekonomi adalah terjadinya perubahan
dominasi peranan ekonomi yang dimainkan oleh setiap sektor dalam kegiatan
produksi maupun dalam pemberian kesempatan kerja.
Pertama-tama secara umum dapat dikatakan bahwa peranan sektor
pertanian turun dan peranan sektor manufaktur dan sektor jasa meningkat. Hal ini
berakibat pada penurunan daya serap tenaga kerja di sektor pertanian. Mereka
yang tinggal di pedesaan dan yang terbiasa oleh sifat pekerjan di sektor pertanian,
sebagian terpaksa mengadu nasib di sektor lain karena menyempitnya peluang di
sektor pertanian. Dalam sektor yang baru belum tentu mereka beruntung dalam
mencari pekerjaan. Pengangguran yang ditimbulkan karena perubahan struktur
ekonomi seperti ini disebut pengangguran struktural.
Dalam perjalanan pertumbuhan ekonomi mungkin ada satu subsektor lain
yang berkembang, misalnya kehutanan. Perubahan subsektoral ini membawa
dampak yang sejenis dan perubahan sektoral. Pengangguran yang dapat timbul
karena perubahan seperti ini juga berciri struktural.
Banyak aspek pekerjaan yang mempunyai tuntutan atau persyaratan yang
tidak tentu dapat dipenuhi oleh limpahan tenaga kerja dari sektor atau subsektor
lain. Hubungan kerjanya lebih formal, budaya kerjanya lebih kaku,dan hubungan
sosialnya lebih inpersonal. Di antara penyebab itu mungkin yang paling langsung
adalah tuntutan keterampilan yang tidak dapat dipenuhi dalam waktu singkat.
5. Pengangguran Teknologi
Dalam pertumbuhan industri, teknologi yang dipakai dalam proses
produksi selalu berubah dan semakin hari semakin cepat. Di berbagai industri
Pengangguran
107
elektronika, perubahan teknologi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan sehari-hari.
Perubahan teknologi produksi membawa dampak kesempatan kerja ke
berbagai arah. Kekuatan substitutif dan kekuatan mengubah spesifikasi jabatan
yang ditimbulkan membawa dampak negatif bagi kesempatan kerja berupa
pengangguran.
Sebagai contoh adanya perubahan lokomotif tenaga uap menjadi lokomotif
diesel sehingga tidak lagi dibutuhkan tukang api. Bila tukang api tidak cepat
menguasai keterampilan yang baru, maka kemungkinan ia tergusur oleh
perubahan teknologi.
6. Pengangguran Karena Kurangnya Permintaan Agregat
Permintaan total masyarakat merupakan dasar untuk diadakan kegiatan
investasi. Pengeluaran investasi memberikan peluang untuk tumbuhnya
kesempatan kerja.
Bila permintaan terhadap barang dan jasa lesu, maka pada gilirannya
timbul pula kelesuan pada permintaan tenaga kerja. Kurangnya permintaan
agregat disini diartikan secara mendasar, bukan sementara bulanan atau tahunan,
tetapi merupakan kondisi yang berlaku dalam jangka panjang. Profil yang perlu
diketahui adalah tempat terjadinya pengangguran menurut sektor ekonomi, apakah
disektor pertanian, pertambangan, dan seterusnya. Selanjutnya, distribusi menurut
pendidikan perlu juga diketahui. Pengangguran tidak terdidik atau berpendidikan
rendah dapat lebih mudah ditangani karena biasanya kesempatan kerja bagi tenaga
berketerampilan lebih besar sehingga kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan
Ekonomi Sumberdaya Manusia
108
lebih besar. Akan tetapi sebaliknya dapat juga terjadi bahwa orang yang
berpendidikan rendah susah menyesuaikan diri dengan keterampilan baru.
Pengangguran terdidik dapat berbahaya karena golongan terdidik
merupakan golongan yang amat vokal sehingga dapat mempengaruhi yang
berpendidikan tinggi. Namun, juga mereka lebih gampang diarahkan dan
dicarikan penyelesaian. Di samping itu, golongan senior ini justru diminta untuk
mampu menciptakan pekerjaan tersendiri. Profil semacam ini perlu diketahui
untuk mengungkap peta permasalahannya ditinjau dari segi pendidikan.
Profil pengangguran menurut jenis jabatan atau pekerjaan yang diminati
juga bermanfaat bagi analisis pasar tenaga kerja. Bila hal ini dikaitkan dengan
jenis pendidikan, maka dapat diketahui hubungan antara pendidikan dan pekerjaan
yang diminatinya.
Profil menurut umur, jenis kelamin, daerah perkotaan atau pedesaan dapat
memberikan informasi tambahan tentang keluasaan masalah pengangguran.
C. Setengah Pengangguran
Luasnya kesempatan kerja dan angkatan kerja biasanya digambarkan oleh
banyaknya penduduk yang bekerja dan banyaknya penduduk yang menawarkan
atau mencari pekerjaan.
Berdasarkan hal itu perlu diketahui kriteria tentang kapan seseorang
penduduk dimasukkan kelompok bekerja?. Menurut pedoman yang dipakai oleh
Biro Pusat Statistik, penduduk yang dalam seminggu minimum bekerja selama
satu jam dimasukkan ke dalam kelompok bekerja.
Pengangguran
109
Pekerjaan dianggap sebagai suatu mata pencaharian bersifat rutin. Jadi,
bekerja satu jam dianggap mewakili. Agar aktual, referensinya harus untuk
minggu yang lalu.
Jelas bahwa kesemapatan kerja yang diukur dengan cara ini perlu
dikoreksi oleh intensitas penggunaaan tenaganya. Kenyataan bahwa tingkat
pengangguran tidak beranjak jauh dari 2% mengandung implikasi bahwa
tambahan pencari kerja yang baru selalu dapat ditampung oleh lapangan kerja
yang ada. Hal semacam ini dimungkinkan karena sifat hubungan kerja informal
yang berlaku di berbagai lapangan usaha. Oleh karena itu, kesempatan kerja perlu
dihitung dengan metode Biro Pusat Statistik dan perlu dikoreksi lebih lanjut oleh
sifat informal hubungan kerja.
Bila ada anggapan bahwa tingkat pengangguran yang setinggi 4% masih
dapat ditoleransi dan perekonomian masih dianggap full employment, maka angka
2% yang terjadi di Indonesia sangat mencengangkan, mengingat perekonomian
Indonesia belum sampai pada taraf menyediakan lapangan kerja yang mantap.
Salah satu masalah yang belum terungkap adalah setengah pengangguran.
Seorang peneliti bernama Philip Hansen (1975) mengajukan 3 penyebab
terjadinya setengah pengangguran, yaitu:
(1) kurangnya jam kerja
(2) rendahnya pendapatan, dan
(3) ketidak cocokan antara pekerjaan dan keterampilan pekerjaan.
1. Kurangnya Jam Kerja
Catatan tentang jumlah orang yang bekerja belum mengungkap intensitas
penggunaan tenaga kerja mereka. Ternyata terdapat banyak variasi jam kerja
Ekonomi Sumberdaya Manusia
110
mereka. Tidak semua dari mereka bekerja penuh waktu. Mereka yang tidak
bekerja penuh waktu ini jelas mencerminkan setengah pengangguran dalam arti
tidak penuh.
Bila kita anggap bahwa jumlah jam kerja 40 jam per minggu dianggap
penuh waktu, maka mereka yang bekerja 40 jam perminggu mencerminkan ¾
ekuivalen pengangguran. Bila ada empat yang bekerja seperti itu, maka pada
hakikatnya kesempatan kerjanya bukan 4 orang, namun hanya 1 orang sedangkan
pengangguran ekuivalen adalah 3 orang.
Setengah pengangguran dihitung dengan cara sebagai berikut :
Jam kerja Riil1- x Jumlah pekerja
Jam Kerja Penuh
Dengan contoh di atas luasnya setengah pengangguran :
101- x 4 orang = 3 orang
40
Ekuivalen penuh waktu (EPW) dapat langsung dihitung dengan :
Jam Kerja Riil EPW =
Jam Kerja Penuh
Indeks setengah pengangguran (ISP) pun dapat langsung diperoleh dengan
rumusan ini.
ISP = (1-EPW)
Dengan cara ini dapat menghitung besarnya setengah pengangguran. Bila
jumlah ekuivalen ini ada pada jumlah pencari kerja, maka tingkat pengangguran
akan lebih tinggi dari sekedar 2%.
Pengangguran
111
Pengangguran ekuivalen ini tidak tercatat sebagai pencari kerja terbuka,
sehingga golongan ini disebut juga sebagai pengangguran tersembunyi (disguised
unemployment) atau kurangnya kesempatan kerja (underemployment). Jelas
bahwa kata setengah dalam setengah penganggguran disini bukan berarti seperdua
atau 50%, melainkan tidak penuh.
Ternyata Biro Pusat Statistik juga merekam jumlah jam bekerja dari
mereka yang tercatata sebagai pekerja. Dari publikasi sensus atau supas dapat
dibaca berbagai kelas jam kerja, yaitu 0.1-9, 10-24, 25-34, 35-44, 45-60, 60+.
2. Kekurangan Pendapatan
Kriteria kedua yang diajukan adalah pendapatan. Apabila seseorang
mempunyai keterampilan tertentu, misalnya yang diperoleh dari pendidikan atau
latihan tertentu dan bekerja disuatu lapangan usaha dan dalam lingkungan usaha
tertentu, maka diharapkan ia akan memperoleh pendapatan sebesar yang secara
normal dapat diperoleh dari pekerjaannya.
Bila orang tersebut ternyata menerima kurang dari itu, kenyataan ini
menunjukkan bahwa ia kurang dimanfaatkan oleh lingkungan kerjanya. Karena
unit usaha hanya membayar sesuai dengan prestasi atau produktivitas yang
direalisasikan, maka potensi kerja tidak dimanfaatkan sepenuhnya..
Dasar pemikiran mengapa pendaftar dapat dipakai sebagai sinyal intensitas
penggunaan tenaga kerja dapat ditemui dalam khasanah teori ekonomi neoklasik,
yaitu dalam keadaan tingkat upah sama dengan produtivas tenaga kerja.
Permintaan tenaga kerja ada dalam posisi terbaik bila nilai produk
marginal yang diperoleh dari penggunaan tenaga kerjanya sama dengan tingkat
upah.
Ekonomi Sumberdaya Manusia
112
NPM = U
(VMP = W)
Jadi, bila pendapatan yang diterima lebih rendah dari yang seharusnya,
NPM yang dihasilkan lebih rendah daripada yang seharusnya. Karena satu dan
lain hal kenyataan bahwa NPM riil lebih dari NPM potensial atau upah riil lebih
rendah daripada upah potensial yang mungkin dapat dijangkau.
Masalah yang harus diselesaikan adalah berapa banyak tingkat pendapatan
yang diharapkan oleh seseorang dengan keterampilan tertentu. Dari pelajaran
statistik didapatkan bahwa pendapatan yang diharapkan adalah sama dengan
pendapatan rata-rata, atau dirumuskan sebagai :
Yk2
E ( Yk) = n
Dimana E (Yk) adalah “expended” pendapatan untuk sesuatu keterampilan
tertentu, k;n = jumlah individu dalam keterampilan k; dan i = individu.
Jelas besarnya pendapatan diharapkan akan sesuai dengan konsep “going
rate”atau “market-rate” yang berlaku bagi suatu keterampilan tertentu.
Dengan demikian, untuk setiap keterampilan tertentu perlu ada standar
pendapatan yang membedakan antara yang dipekerjakan penuh atau tidak penuh.
Untuk itu, perlu diadakan survey secara cermat dan perlu diperbaharui setiap
periode.
3. Ketidakcocokan antara Pekerjaan dengan Kualifikasi Individual Pekerja
Apabila seseorang sudah dipersiapkan untuk menjabat suatu pekerjaan
dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dari pendidikan
dan latihan yang diperoleh sebelumnya, apabila ia sungguh-sungguh mengerjakan
Pengangguran
113
pekerjaan tersebut, maka ia diharapkan dapat memberikan produktivitas dengan
sepenuhnya. Tenaga kerja yang ada dalam dirinya dapat digunakan sepenuhnya
pula.
Akan tetapi bila terjadi, ketidakcocokan keterampilan dengan
pekerjaannya, maka sukar bagi dia untuk memberikan prestasi secara penuh.
Dengan kata lain, masih tersisa dalam dirinya potensi tenaga kerja yang tidak
terpakai sehingga ia tidak tergolong “ full employment”.
Masalahnya adalah sebenarnya banyak potensi yang tidak terpakai.
Dibandingkan dengan dua kriteria yang lainnya, maka kriteria yang satu ini lebih
sulit untuk mengukurnya. Di sini dibutuhkan indeks pengukur keserasian. Dalam
kasus-kasus ekstrim dan di mana unit produksi mudah diukur, mungkin pencarian
indeks ini lebih mudah. Untuk ini barangkali metode psikometri dapat
dimanfaatkan. Misalnya, bila berhasil ditemukan indeks ini, maka tugas kita
berikutnya adalah menghitung indeks gabungan yang mencakup ketiga unsur
tersebut.
4. Indeks Gabungan Setengah Pengangguran
Indeks gabungan setengah pengangguran (IGSP) dapat dirumuskan
sebagai berikut.
( IEPW)(b,) + (Y) (b2 + (C) (b3)IGSP = b1 + b2 + b3
Dimana IGSP adalah indeks gabungan setengah pengangguran
Y : adalah pendapatan rata-rata
C : adalah indeks ketidakcocokan, sedangkan b adalah bobot masing-
masing faktor.
Ekonomi Sumberdaya Manusia
114
Indeks semacam ini perlu dibuat untuk setiap jenis jabatan. Oleh karena
itu, perlu diatur prosedur untuk menghitung agar indeks tersebut mencerminkan
realita.
Indeks IEPW dapat diperoleh dengan mengolah data mentah yang
mungkin sudah tersedia di Biro Pusat statistik. Namun, untuk mendapatkan yang
diharapkan untuk setiap jenis jabatan masih perlu dikerjakan untuk serangkaian
survei yang lebih sulit juga perlu dikerjakan untuk memperoleh indeks
ketidakcocokan. Sedangkan indeks setengah pengangguran dapat diperoleh
dengan mengurangkannya dari angka 1 seperti tersebut di atas.
5. Setengah Pengangguran Sektoral
Keadaan setengah pengangguran perlu diteliti lebih lanjut terdapat disektor
mana saja. Oleh karena itu, distribusi sektoral dari setengah pengangguran perlu
dibuat. Daya dan dana perlu dialokasikan sesuai dengan ukuran beratnya masalah
ssetengah pengangguran. Konsentrasi setengah pengangguran diduga banyak
ditemukan disektor pertanian dan perdagangan.
6. Setengah Pengangguran Regional
Peta setengah pengangguran perlu dilengkapi dengan distribusi menurut
daerah dalam regional geografis dan dalam arti pedesaan- perkotaan. Penanganan
masalah ini sering membutuhkan partisipasi aparat pemerintah daerah dengan
gubernur sebagai penguasa tunggal. Untuk itu, peta regional seperti ini sangat
bermanfaat.
D. Status Hubungan Kerja Informal
Dua penyebab dari rendahnya produktivitas tenaga kerja adalah adanya
setengah pengangguran dan sifat informal dari hubungan kerja. Struktur status
Pengangguran
115
hubungan kerja ternyata ada kaitannya dengan setengah pengangguran sehingga
masalah status hubungan kerja dibicarakan dalam kaitannya dengan
pengangguran.
Status hubungan kerja yang bersifat formal terdiri atas majikan dan pekerja
tetap, sedangkan status hubungan kerja informal terdiri atas pekerja mandiri,
pekerja mandiri dengan bantuan tenaga lepas, dan pekerja keluarga tanpa bayaran.
Mengenai definisi “ sektor” informal pada saat ini masih muncul berbagai
pendapat. Salah satu deskripsi “sektor” informal diajukan oleh V. Sethuraman
(1975) dari hasil surveinya di beberapa negara Asia (termasuk Indonesia) dan
Afrika, antara lain mengandung hal-hal sebagai berikut.
a. Menggunakan teknologi produksi tradisional
b. Memproses bahan mentah lokal.
c. Tidak punya akses terhadap permodalan.
d. tidak terjangkau oleh sistem perizinan dan perpajakan.
e. Bermodal kecil.
Namun, deskripsi semacam ini sangat kontroversial dan tidak tahan uji
oleh waktu.
a. Deskripsi utama tentang teknologi. Dengan perluasan jaringan listrik,
penggunaan listrik sudah menyebar ke pedasaan dan menjangkau pengusaha kecil.
Bengkel-bengkel las pada saat ini sudah memanfaatkan tenaga listrik yang jelas
bukan tergolong tradisional. Bengkel-bengkel tambal ban mobil banyak yang
menggunakan generator listrik untuk memompa ban.
b. Deskripsi kedua tentang bahan mentah. Sulit dikatakan bahwa
pengarajin perak di daerah kota Gede Yogyakarta menggunakan bahan mentah
Ekonomi Sumberdaya Manusia
116
lokal karena DIY tidak menggunakan tambang emas atau perak. Perak atau
aluminium diimpor dari luar negeri melalui importir yang sekarang dilaksanakan
oleh Persero Tjipta Niaga. Memang untuk deskripsi tersebut masih cocok untuk
pengrajin bambu, rotan, gerabah, dan sebagainya.
c. Deskripsi yang ketiga menyangkut permodalan. Pedagang atau
pengusaha kecil biasanya enggan meminta kredit dari bank. Bagi mereka, pelepas
uang atau rentenir lebih praktis sebagai sumber modal, meskipun kemudahan itu
harus dibayar mahal. Kredit pembeli untuk barang produksinya atau kredit
penjual untuk bahan mentah yang dipakainya memberikan manfaat ganda yang
tidak dapat diberikan oleh lembaga bank. Kredit pembeli memberikan kepastian
pemasaran, sedangkan kredit penjual memberikan kepastian tersedianya bahan
mentah.
Namun, kenyataannya sekarang pihak perbankan pemerintah telah
memberikan banyak kemudahan dalam pemberian kredit dengan bunga rendah
dan tanpa tanggungan, misalnya Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Investasi
Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dan sebagainya. Pihak
bank pun sudah lebih aktif mengadakan kampanye mendekati pengusaha kecil.
Ditambah dengan intensifikasi pemberian informasi yang gencar, sudah banyak
pengusaha informal yang memanfaatkan fasilitas kredit bank pemerintah. Dengan
demikian, deskripsi ini pun menjadi tidak cocok lagi sebagai kriteria yang dapat
dipegang untuk membedakan mana yang informal dan yang formal.
d. Deskripsi keempat tentang legalitas dengan status informal. Untuk
dapat melaksanakan usahanya, sebuah unit usaha formal perlu memperoleh
berbagai izin, misalnya HO, SIUP, dan harus memenuhi wajib daftar perusahaan
Pengangguran
117
dan sebaiknya serangkaian izin seperti itu memang tidak berlaku lagi bagi
pengusaha informal. Akan tetapi, bagaimanapun tidak resminya surat izin, unit
usaha masih perlu izin. Meskipun tidak harus memiliki NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak), namun pengusaha masih mempunyai kewajiban retribusi lokal.
Makin aktif dan “tertib” pengelolaan kota, makin mantap pula retribusi ini. Jadi,
deskripsi tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman operasional yang
membedakan usaha informal dari usaha formal.
e. Deskripsi kelima mengenai kecilnya modal. Dalam hal ini dapat
dipertanyakan tentang apa saja yang diperhitungkan sebagai modal. Sering
terdapat modal implisit yang lepas dari pengamatan, misalnya tanah dan gedung
yang dipakai, sering tidak dihitung sebagai modal. Yang dihitung hanya terbatas
hanya pada modal kerja saja.
Berdasarkan hal itu, maka kriteria operasional untuk status informal adalah
penggolongan yang dipakai oleh Biro Pusat Statistik yang nota bene harus
mengikuti konvensi internasional.
1. Profil Sektoral
Dalam status informal ini kriteria jam kerja tidak dapat dipakai sebagai
dasar untuk menunjukkan setengah pengangguran dan pada gilirannya
produktivitas yang rendah. Banyak kegiatan di status informal yang jam kerjanya
panjang. Dilihat hanya dari jumlah jam kerja yang dicurahkan penggunaan
tenaga kerjanya disimpulkan sangat intensif. Namun, mereka ini tidak produktif
atau remuneratif. Tidak ada gunanya jam kerja yang panjang bila remunerasinya
rendah.
Ekonomi Sumberdaya Manusia
118
Dapat dibayangkan misalnya penjual kacang rebus dengan kereta dorong.
Jam empat sore ia keliling kota dan setelah jam sepuluh baru dapat kembali ke
rumah. Sulit mengatakan apakah dia ini produktif apalagi remuneratif.
Oleh karena itu, perlu dibuat profil secara sektoral untuk mengetahui di
sektor mana saja status informal ini dominan. Arah pemecahannya akan lebih
jelas bila ada gambaran sektoral ini. Barangkali memang perbantuan dan
perdagangan yang mempunyai tingkat informalitas yang tinggi. Kerangka
prioritas penanganannya perlu disesuaikan dengan kerangka ini.
2. Profil Regional
Lokasi status informal perlu diketahui agar dimensi spesial dari
permasalahannya dapat ditangkap. Regionalisasi mengandung dua pengertian
atau administratif, misalnya propinsi atau kabupaten (lokal), dan geografis, yaitu
perkotaan dan perdesaan.
3. Profil Seksual
Target grup yang dibedakan menurut jenis kelamin adakalanya bermanfaat
mengingat arah penanganan yang mungkin berbeda antara laki-laki dan wanita.
Meskipun sekarang kita ada di zaman yang sudah modern, namun ada suatu jenis
jabatan yang feminim dan hanya cocok dikerjakan oleh wanita dan yang maskulin
yang sebaiknya dikerjakan oleh laki-laki saja. Perpindahan profesi yang memang
terpaksa harus dikerjakan dapat mengacu pada gambaran status informal menurut
seks ini.
E. Kebijakan Penanganan
Pengangguran, setengah pengangguran, atau status informal merupakan
tiga buah masalah ketenagakerjaan yang saling berkaitan. Yang jelas karena hal
Pengangguran
119
ini merupakan masalah sudah barang tentu memerlukan pemecahan. Bentuk
pemecahannya berbeda-beda tergantung pada bentuk permasalahannya. Untuk itu
kita dapat telusuri bentuk-bentuk permasalahannya.
1. Pengangguran Friksional
Inti persoalannya terletak pada hambatan aliran informasi antara penawaran
dan permintaan tenaga kerja. Oleh karena itu, penanganannya harus berupa usaha
untuk mengintensifkan dan mengekstensifkan informasi. Intensif, agar informasi
disebarkan dalam jumlah yang cukup. Penyebaran informasi yang secara
ekstensif dimaksudkan agar menjangkau lokasi geografis seluas mungkin, cepat
diketahui oleh yang bersangkutan untuk mempercepat bertemunya penawaran dan
permintaan tenaga kerja.
Media cetak yang berupa surat kabar, majalah, atau selebaran yang lain
dapat digunakan untuk maksud itu. Bursa-bursa tenaga kerja dalam lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan lembaga-lembaga Swasta juga dapat memainkan
peranan untuk mengatasi hambatan waktu dan tempat bagi aliran informasi pasar
kerja.
2. Pengangguran Musiman
Masalah yang timbul dalam dimensi musiman ini adalah saat-saat di mana
sedang terjadi off-season. Bila on-season, maka pengangguran ini dibutuhkan lagi
sehingga mereka tidak perlu meninggalkan tempat tinggalnya jauh-jauh atau
secara permanen. Salah satu pemecahannya memang berupa migrasi musiman ke
daerah lain, namun tindakan seperti itu mahal bila ditinjau dari biaya sosial.
Salah satu alternatifnya adalah pengembangan jenis-jenis kegiatan yang
bersifat off-farm atau non-farm di daerah pedesaan di mana irama musiman sudah
Ekonomi Sumberdaya Manusia
120
merupakan suatu yang rutin. Penguasa lokal dapat menentukan bentuk dari
kegiatan off-farm tersebut.
Keuntungan dari kegiatan ini adalah mengikat mereka dalam desa yang
bersangkutan sehingga kemajuan dan keberhasilan mereka juga membawa
dampak positif bagi pengembangan dasarnya.
3. Pengangguran Siklikal
Untuk menanggulangi pengangguran siklikal dibutuhkan kebijakan
antisiklikal. Berbagai kebijakan seperti itu dapat berupa kebijakan yang tergolong
moneter atau fiskal.
Kebijakan moneter yang bersifat melawan konjungtur adalah memperluas
uang yang beredar pada saat terjadi resesi dan mengerem jumlah uang yang
beredar pada saat terjadi ekspansi yang berlebihan. Namun, yang dibicarakan di
sini adalah hanya pada saat resesi yang berakibat terjadinya pengangguran
siklikal.
Penurunan tingkat bunga pinjaman, penurunan rasio cadangan di bank
sentral dan pengembalian surat berharga di bursa surat berharga dapat
mempermudah pengusaha dalam mencari modal untuk berusaha. Investasi yang
bergerak daapat menghidupkan kegiatan ekonomi sehingga meningkatkan
permintaan tenaga kerja pula.
Dampak yang sama juga diperoleh bila pemerintah meringankan tarif
pajak atau pembesaran anggaran belanja pemerintah.
4. Pengangguran Struktural dan Teknologi
Inti masalah yang timbul dalam pengangguran struktural dan teknologi
adalah gagalnya penyesuaian keterampilan mereka yang terkena dampak
Pengangguran
121
teknologi. Mereka memilki keterampilan yang kaku dalam situasi yang baru.
Oleh karena itu, pemecahannya harus diarahkan pada program latihan dan latihan
ulang.
Program-program untuk mendeteksi kebutuhan macam latihan sangat
diperlukan agar program latihan efektif. Dalam hal ini, Dewan Latihan Kerja
Nasional di Depnaker Pusat maupun Dewan Latihan Kerja Daerah dapat diminta
jasanya untuk mengadakan studi kebutuhan latihan ini.
5. Pengangguran Karena Kurangnya Permintaan Agregat
Inti persoalannya dalam hal pengangguran jenis ini adalah lesunya
kegiatan ekonomi. Untuk menghidupkan kegiatan ekonomi ini, investasi dalam
skala yang besar perlu dijalankan agar menghidupkan permintaan agregat yang
berasal dari rumah tangga konsumen, perusahaan, dan pemerintah.
6. Setengah Pengangguran
Penyelesaian masalah setengah pengangguran tergantung pada
penyebabnya. Bila penyebabnya karena kurang jam kerja, maka tindakan-
tindakan yang bersifat ekspansif seperti diuraikan di muka dapat merupakan
kebijakan dasar. Macam dan bentuknya yang kongkret tergantung pada profil
setengah pengangguran secara sektoral, regional, dan sebagainya.
7. Status Hubungan Kerja Informal
Status hubungan kerja informal pada umumnya berciri kurang produktif
dan kurang remuneratif dibandingkan dengan status formal. Bertitik tolak dari
konstantinasi ini salah satu arah pemecahanya adalah status informal menjadi
formal. Status informal biasanya berskala kecil dan bersifat tradisional. Policy
Ekonomi Sumberdaya Manusia
122
semacam ini bertujuan membuat informal menjadi perusahaan besar dan modern.
Alokasi dana yang besar dibutuhkan sebagai konsekuensi dari kebijakan ini.
Cara pendekatan kedua diarahkan kepada usaha untuk menetapkan
kedudukan status informal dibiarkan hidup, namun diusahakan lebih produktif dan
lebih remuneratif. Berbagai latihan dan kredit merupakan paket yang saling
melengkapi. Latihan bertujuan untuk menaikkan kualitas produk, sedangkan
kredit dibutuhkan untuk membiayai ekspansi atau survival mereka. Namun, yang
dibutuhkan lebih lanjut adalah penguasaan pasar secara mantap. Pasar merupakan
uji akhir dari daya tahan perusahaan.
Penanganan masalah ketenagakerjaan perlu hati-hati mengingat sifat
hubungan fungsionalnya yang kadang-kadang bersifat negatif, misalnya antara
pertumbuhan produktivitas dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja.
RINGKASAN
1. Penyebab pengangguran adalah ketidakseimbangan antara penawaran tenaga
kerja dengan permintaan tenaga kerja.
2. Penyebab pengangguran dapat dilihat dari pengangguran friksional, musiman,
siklikal, struktural, teknologi dan kurangnya permintaan agregat.
3. Kebijakan pemecahan permasalahan pengangguran harus dilihat dari
penyebab pengangguran itu sendiri.
LATIHAN
1. Coba jelaskan definisi pengangguran yang anda ketahui.
2. Jelaskan penyebab pengangguran yang anda ketahui
3. Kebijakan apa saja yang dapat dilakukan dalam upaya mengatasi masalah
pengangguran jika dilihat dari penyebabnya.
Pengangguran
123
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi S., 2002. Ekonomi Sumberdaya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Divisi Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Afrida BR., 2003. Ekonomi Sumber daya Manusia. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Alwi, Syfaruddin. 2001.Manajemen Sumber Daya Manusia: Strategi Keunggulan Komparatif. Yogyakarta: VII.
Ekonomi Sumberdaya Manusia