epistemologi tuhan -...

105
EPISTEMOLOGI TUHAN MENURUT IBN ‘ARABĪ Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. TH.I.) Oleh: Rifqi Rizaldy NIM: 109033100010 PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2016 M.

Upload: hoangnhu

Post on 02-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

EPISTEMOLOGI TUHAN

MENURUT IBN ‘ARABĪ

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S. TH.I.)

Oleh:

Rifqi Rizaldy

NIM: 109033100010

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H./2016 M.

Page 2: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku
Page 3: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku
Page 4: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku
Page 5: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

iiii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Vokal Panjang

Ā آ

Ī اى

Ū او

Arab Indonesia Arab Indonesia

ṭ ط a ا

ẓ ظ b ب

ع t ت „

غ ts ث gh

ف j ج f

q ق ḥ ح

ك kh خ k

l ل d د

m م dz ذ

n ن r ر

w و z ز

ه s س h

ء sy ش ‟

ص ṣ ي y

ض ḍ ة h

Page 6: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

ivi

ABSTRAK

Ibn „Arabī adalah salah satu dari banyak sosok ensiklopedis yang pernah

ada di muka bumi ini, hal ini bisa kita saksikan dari keluasan wawasan

pengetahuannya yang tersimpan dalam karya-karyanya. Di Timur, ia dikenal

sebagai pemuka tasauf yang jujur dalam perkataan dan menepatinya dengan

tindakan dalam samudera rahasia ke-Tuhan-an. Sedangkan di Barat, ia dikenal

sebagai tabib yang dapat mengobati penyakit ganas “Barat” dengan ilmu dan

pengetahuannya tentang ke-Tuhan-an dalam dimensi tasaufnya. Namun, betapa

pun dalam wawasan, ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Ibn „Arabī,

popularitasnya sebagai seorang hamba (‘abd Allāh) yang begitu mencintai

Tuhannya jauh lebih dalam dari pada wawasan, ilmu, dan pengetahuannya sendiri.

Dengan memahami esensi ajaran pokok Ibn „Arabī, berarti seseorang tidak

saja telah memasuki ruang-ruang pemikirannya, tetapi juga telah melihat isi dalam

ruangan dan bangunan luar dari ruangan-ruangan tersebut. Dari mana kita masuk

ke dalam sebuah ruangan? Tentu dari luar ruangan tersebut. Dari mana seseorang

dapat memahami ajaran pokok seorang tokoh? Tentu dari bangunan luar ajaran

tokoh tersebut. Di mana sebenarnya bangunan luar tersebut, berdiri kokoh di atas

pondasi-pondasi dasarnya. Lalu, bagaimana pondasi dasar, bangunan luar,

ruangan-ruangan tersebut ada atau dibuat? Jika kita menjawabnya dari sudut

pandang ke-Tuhan-an, maka jelas adanya hal tersebut (yakni rangkaian

pengetahuan menuju ma‘rifat Allāh) mutlak karena kehendak Tuhan, dan jawaban

ini, secara otomatis memutus hubungan ontologis-epistemologis-aksiologis

sebuah pengetahuan, meskipun sebenarnya hal ini memang kehendak Tuhan.

Namun demikian, perlu kita ingat bahwa kehendak Tuhan (dalam konteks,

mengalami ma‘rifat Allāh) itu tidak mengaktual begitu saja tanpa mengikut

sertakan hubungan yang satu dengan hubungan yang lainnya. Misalnya, peristiwa

turunnya hujan tidak terjadi lantaran tiba-tiba ada air di atas, lalu tiba-tiba juga air

itu jatuh. Dari mana air yang di atas itu ada? Lalu mengapa air itu terjatuh?

Maksudnya, ada faktor-faktor yang menyertai peristiwa hujan atau penyingkapan

(kasyf) pengetahuan intuitif (ma‘rifah). Sehingga, dapat penulis katakan bahwa

peristiwa hujan atau penyingkapan pengetahuan tentang ke-Tuhan-an (bahkan

yang seketika sekalipun/ladunnī) itu sebenarnya tidak terjadi begitu saja tanpa

mengikut sertakan hubungan yang lainnya, atau dengan ungkapan lain, bahwa ada

pertanyaan mengenai “bagaimana” yang identik dengan epistemologi ini, dalam

pembahasan tentang pengetahuan Tuhan menurut Ibn „Arabī.

Page 7: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alḥamdulillāh Rabb al-‘Ālamīn, atas rahmat

serta kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang

mengambil judul: Epistemologi Tuhan Menurut Ibn „Arabī.

Sebagaimana penelitian-penelitian ilmiah lain, skripsi ini berisikan

pembahasan tentang sesuatu yang sebenarnya, bukan sesuatu yang asing. Namun,

orang terkadang menjadi kehilangan perhatian terhadap sesuatu yang telah begitu

akrab dalam dirinya, sehingga ketika diungkapkan ia menjadi tampak begitu

asing. Asing, namun sekaligus sangat akrab, itulah hal-hal yang menyangkut

wilayah ke-Tuhan-an dan epistemologinya. Disebut akrab karena dalam setiap

aktivitas manusia selalu ditandai oleh fenomena ke-Tuhan-an tersebut, namun

menjadi asing ketika ia berusaha ditegaskan (asserted) secara reflektif dan teoritis.

Dalam dunia Islam, terdapat sebuah ajaran di mana hati kita tinggal di

dalamnya, kita dilatih untuk menjadi akrab dengan hal-hal yang metafisis-

spiritual. Allah, malaikat, iblis, surga-neraka, bahkan ternyata “diri sejati” kita

juga merupakan sesuatu yang metafisis-spiriual dan asing. Oleh karena itu, untuk

mengakrabkannya kita dilatih untuk menjadi asing terhadap sesuatu yang akrab,

misalnya dengan bertanya bagaimana kita diajak berpikir tentang bagaimana

kehidupan itu muncul dari sesuatu yang metafisik?, atau bagaimana segala sesuatu

itu memiliki ukuran-ukuran yang proporsional dan akurat? Untuk itu, dalam

Page 8: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

vii

pandangan penulis bahwa salat, puasa, zakat, ‘uzlah, dzikir dan lainnya

sebenarnya merupakan salah satu dari proses transendensi manusia menuju

ma‘rifat Allāh.

Dalam proses penulisan skripsi ini, sebenarnya ada beberapa fase yang

dialami penulis secara pribadi dalam mengaji karya-karya Ibn „Arabī. Jelas, untuk

memahami pemikiran seorang tokoh sekaliber Ibn „Arabī bukanlah hal yang

mudah bagi penulis, sehingga penulisan skripsi ini memakan waktu yang tidak

sebentar. Di mana ketika penulis mengalami kebingungan luar biasa dalam

menelusuri esensi-esensi pemikiran Ibn „Arabī. Dalam keadaan yang demikian,

penulis berjumpa dengan seorang sufi yang ensiklopedis, yang menguasai banyak

sekali bidang pengetahuan. Beliau menguasai ilmu keagamaan dengan sangat

sempurna, bahkan beliau juga menguasai ilmu astronomi, pengobatan, arsitektur,

matematika, fisika-quantum, pertanian, permesinan, peracik ramuan ulung,

ekonomi, biologi, pengukir, adi perahu (insinyur kapal), ilmu kelistrikan dan

masih banyak lagi. Tidak banyak yang mengenal beliau, hanya orang-orang

tertentu saja yang dapat menemui dan bertemu dengannya. Karena beliau

merupakan orang yang lebih suka tampil di balik layar (mastūr). Intinya melalui

didikan beliau yang sangat tidak teoritis, tetapi lebih secara praktis namun sangat

esensial, penulis dapat menyusun skripsi ini.

Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh

gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Strata Satu pada Program Studi Aqidah

Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Page 9: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

viii

Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,

sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa

hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua

pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil baik langsung

maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama

kepada yang saya hormati:

1. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils selaku Pembimbing yang telah

membantu penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Syamsuri, MA selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Islam

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat

Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Terima kasih juga kepada seluruh jajaran dosen Jurusan Aqidah

Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 10: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

viiii

7. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua (biologis dan non

biologis) tercinta yang sangat mendukung penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini: Bapak M. Sholeh Bin „Abdullah Bin

Wakad, Ibu Masri„ah, dan Rama Ahmad Navis Edi Al-Shidqiyyah.

Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada

saudara-saudaraku tercinta: Yayu Sri Hartati, Mas Edi Sugiarto dan

keluarga, Yayu Yuliana, Yayu Mamlu‟atul Hikmah, R. Agung

Wicaksono dan keluarga, Kang Aris Nikmatullah dan Adi Fajar

Nugraha, Mamang Zaenuddin dan keluarga, Mamang Ah. Syathori dan

keluarga, Adi Mahesa Timur, Abi Oman „Abdurrohman, Mas Raden

Giyanto dan keluarga.

Akhir kata penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak

dan apabila ada yang tidak tersebutkan penulis mohon maaf, dengan besar

harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan

umumnya bagi pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu dalam penulisan

skripsi ini semoga segala amal dan kebaikannya mendapat balasan yang

berlimpah dari Allah Subḥānah wa Ta‘ālā.

Jakarta, Juli 2016

RIFQI RIZALDY

Page 11: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

ixi

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN

LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………… iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... iiii

ABSTRAK .......................................................................................................... ivi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ixi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................... 4

C. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6

E. Metode Penelitian ............................................................................ 7

F. Sistemika Penelitian ......................................................................... 9

BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAUF IBN ‘ARABĪ

A. Biografi Ibn „Arabī ......................................................................... 10

1. Riwayat Hidup ........................................................................... 10

2. Pendidikan .................................................................................. 25

B. Karya-karya Ibn „Arabī ................................................................... 34

BAB III EPISTEMOLOGI ISLAM

A. Pengertian Epistemologi ................................................................. 43

B. Model-Model Epistemologi Islam .................................................. 45

1. Epistemologi Bayānī ................................................................. 46

2. Epistemologi Burhānī (Demonstratif) ..................................... 50

3. Epistemologi ‘Irfānī (Gnostisisme) .......................................... 53

BAB IV EPISTEMOLOGI TUHAN MENURUT IBN ‘ARABĪ

A. Epistemologi ‘Irfānī (intuitif) Ibn „Arabī ....................................... 61

B. Epistemologi Tuhan Menurut Ibn „Arabī ...................................... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .................................................................................... 80

B. Saran .............................................................................................. 82

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 84

Page 12: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia di alam dunia ini, ia tidak semata-mata

tunduk dan patuh begitu saja pada kodratnya yang secara pasif menerima

alur kehidupan. Karena manusia tidak hanya dilengkapi dengan jasad dan

ruh saja sebagaimana makhluk lainnya. Manusia memiliki akal, hasrat,

dan nurani atau dalam bahasa tasauf biasa disebut dengan kalbu/intuisi,

yang secara komplek tersusun dalam struktur diri manusia. Oleh karena

itu, manusia dapat memilih untuk menunda atau menyegerakan dalam

menunaikan kewajibannya, lebih dari itu ia juga dapat mengingkari

eksistensi penciptanya sendiri.

Akan tetapi, pada realitasnya selama makhluk yang bernama

manusia hidup di dunia, selama itu pula ia dibebani kewajiban untuk

selalu “sadar” akan kemanusiaannya dan “aktif” dalam merengkuh

kehidupan sejati. Makna “sadar” di atas berkaitan dengan “pengetahuan”,

sementara makna “aktif” berkaitan dengan implementasi akan esensi

ajaran “agama” dan pengetahuannya tentang Tuhannya (Allah).1

1Sekedar catatan, pengetahuan tentang Allah di sini, bukan penulis

maksudkan sebagai pengetahuan tentang Allah pada dzat-Nya (bi dzātihi). Karena,

manusia tidak mungkin mengetahui esensi Allah dan hanya Dia sendirilah yang

mengetahui esensi diri-Nya.

Page 13: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

2

Manusia yang sepatutnya adalah hamba Allah dan khalīfah di

muka bumi, ia memiliki keunggulan atau kualitas kesadaran di atas

“manusia hewan dan manusia hamba akal”. Kualitas seorang manusia

untuk sampai pada taraf sebagai hamba Allah (‘abd Allāh) dan khalīfah

(pemimpin/wakil) di muka bumi ini, sangatlah ditentukan oleh dua

instrumen pokok yang menjadi pembeda kedudukan manusia hamba Allah

dengan makhluk lainnya, dua instrumen pokok itu ialah pengetahuan

(tentang ke-Tuhan-an) dan agama (pengabdian) yang menyatu padu di

dalam jiwa.

Pertama, ide penulis ini muncul dari ḥadīts Nabi saw, yang sering

diungkapkan Ibn „Arabī sebagai: “Barangsiapa yang mengetahui dirinya,

mengetahui Rabb-Nya.” (man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu).2 Ungkapan

ḥadīts di atas, jelas mengandung makna kesatuan pertalian hubungan

antara “pengetahuan diri” dengan “pengetahuan ke-Ilahi-an”, antara

pengetahuan tentang ke-Tuhan-an dan pengabdian kepada Tuhan,

sekaligus menegaskan peran pengetahuan bagi manusia dalam

menjembatani hubungan transendennya dengan Sang Pencipta (al-Khāliq).

Kedua, ide ini juga ditopang oleh firman Allah dalam Q. S. Al-

dzāriyyāt: 56. Yang berbunyi: “Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan

manusia melainkan agar supaya (mereka) mengabdi kepada-Ku.” (wa mā

khalaqtu al-jinna wa al-insān illā liya‘budūn). Ayat al-Qur‟ān ini jelas

2Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Maḥmūd Maṭrajī, 8 volume (Beirut: Dār

al-Fikr, 2002), v. 2 h. 308 dan 472. Ungkapan di atas, yang biasanya dikutip oleh para

Sufi sebagai suatu ḥadits, tidak diterima sebagai ḥadits yang sahih oleh para ahli ḥadits.

Lihat Su„ād al-Ḥakīm, Mu‘jam al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah. (Beirut: Dandat,

1981), h. 1261.

Page 14: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

3

berisi penegasan tujuan dari penciptaan jin dan manusia yang sebenarnya,

yang berupa mengabdi kepada-Nya. Persoalannya adalah bahwa pada

kalimat liya‘budūni ini (agar supaya mengabdi kepada-Ku), menurut Ibn

„Abbas (w.68 H./678 M.), tersirat makna liya‘rifūni (agar supaya

mengenal/mengetahui-Ku).3 Sehingga, jelas bahwa ada keharusan bagi

manusia untuk mampu menyatukan di dalam jiwanya antara mengabdi

kepada-Nya dan mengetahui tentang ke-Ilahian-Nya. Dengan begitu, maka

sebenarnya sangat urgen bagi seluruh manusia untuk mengenal atau

mengetahui Tuhannya di dalam kehidupan ini secara hakikat.

Melalui uraian penjelasan di atas, penulis bermaksud menunjukkan

bahwa hubungan keterikatan manusia dengan pengetahuan dan agama

(pengabdian) ini bersifat substansial. Dalam artian bahwa hubungan

keduanya bagi manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Oleh

karena, kualitas pengetahuan seseorang (tentang ke-Tuhan-an) akan sangat

ditentukan oleh kualitas ibadahnya (pengabdiannya) kepada-Nya, begitu

pun kualitas ibadah seseorang kepada-Nya akan ditentukan oleh kualitas

pengetahuannya (tentang ke-Tuhan-an-Nya).

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis berusaha menggali dan

menggunakan ide-ide epistemologi Ibn „Arabī yang tersembunyi di balik

banyak karya ontologisnya, guna menggali ranah pengetahuan manusia

tentang Tuhan.

3Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj, (Kairo: al-Tawfīqiyyah,

t.t.), h. 8.

Page 15: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

4

Sosok Ibn „Arabī, yang bukan saja sebagai seorang spiritualis yang

memiliki kecerdasan spiritual, namun ia juga merupakan sosok yang

memiliki kecerdasan intelektual. Pengelaborasian yang baik dari

kecerdasannya ini melahirkan karya-karya dan gagasan yang super. Bukan

hanya diakui sebagai karya dalam bidang spiritualitas, namun juga dalam

bidang falsafah. Ide-ide dan gagasan Ibn „Arabī ini telah tersusun rapi di

dalam karya-karyanya, salah satunya seperti, al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan

Fuṣūṣ al-Ḥikam. Oleh karena itu, penulis menggunakan pemikiran-

pemikiran Ibn „Arabī sebagai rujukan inti dari skripsi ini.

Dengan ini, penulis bermaksud mengajukan skripsi yang akan

mengungkapkan kembali keunikan dan keluasan pemikiran Ibn „Arabī dari

aspek epistemologi, dengan menjadikan pemikiran-pemikirannya sebagai

landasan dan obyek kajiannya. Dengan Judul “Epistemologi Tuhan

Menurut Ibn „Arabī”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Sebagaimana penjelasan di atas, tulisan ini akan meneliti mengenai,

“Epistemologi Tuhan menurut Ibn „Arabī”. Dalam hal ini, penulis akan

mengemukakan perkembangan intelektual Ibn „Arabī sebagai seorang

ilmuwan Muslim, konsep epistemologi ‘irfānī (intuitif) Ibn „Arabī,

epistemologi Tuhan, dan proses subyek dalam mengalami ma‘rifat. Dalam

memahami konsep epistemologi Tuhan yang dikemukakan Ibn „Arabī ini,

Page 16: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

5

penulis tetap akan menyinggung pemikiran-pemikiran tokoh lain jika

diperlukan.

Sedangkan rumusan masalahnya adalah bagaimanakah epistemologi

Tuhan menurut Ibn „Arabī itu?

C. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan ini untuk lebih fokus dan terarah, penulis merasa

penting untuk melakukan tinjauan pustaka sebagai bahan acuan dalam

melihat perbedaan dari tulisan-tulisan yang membahas tentang konsep

epistemologi Tuhan menurut Ibn „Arabī. Maka, setelah penulis melakukan

tinjauan pustaka, berdasarkan katalog Perpustakaan Umum, Fakultas

Ushuluddin UIN Jakarta dan Perpustakaan Universitas Indonesia Depok

penulis hanya menemukan dua karya yang penulis anggap berhubungan

dengan skripsi yang sedang penulis garap ini. Adapun dua karya tersebut

adalah:

Karya Syahrul A„dam dari Tesis Magister Pascasarjana IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (1999), dengan judul, Pandangan Ibn ‘Arabī tentang

Agama-Agama (1999). Kemudian diterbitkan oleh Badan Kajian Ilmu dan

Kemasyarakatan (KOSMOPOLIT) (1999) dengan judul yang sama. Karya

ini membahas tentang gagasan kesatuan agama-agama dalam pandangan Al-

Syaikh al-Akbār, dan merupakan sumbangan berharga untuk perkembangan

pemikiran Ibn „Arabī tentang konsep kesatuan agama-agama selanjutnya.

Page 17: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

6

Disertasi yang berjudul Kesatuan Transendensi Agama-agama

dalam Pandangan Ibn ‘Arabī, Rūmī dan Jīlī. Disertasi ini ditulis oleh Dr.

Media Zainul Bahri, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 25

Juni 2010 (Ujian Pendahuluan) dan 9 Agustus 2010 (Ujian

terbuka/Promosi). Yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul,

Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rūmī dan Al-

Jīlī (Bandung: Mizan Publika, 2011). Tulisan ini membahas tentang

kesatuan agama-agama dalam aspek esoterik, dan menelaah keragaman

eksoterik, namun satu muara dan satu tujuan. Singkatnya, disertasi ini

membahas kesatuan transenden agama-agama dalam pandangan sufistik.

Sebenarnya, masih banyak kajian yang ditulis mengenai Ibn „Arabī.

Namun, kebanyakan penulis hanya tertarik mengemukakan aspek falsafi,

esoteris, dan teologis, terutama mengenai al-insān al-kāmil, waḥdah al-

wujūd, atau waḥdah al-adyān. Secara umum para penulis berkutat pada

konsep tasauf dan teologi, bukan pada aspek epistemologisnya karena

memang tidak kita temui pembahasan itu secara gamblang dalam karya-

karya asli Ibn „Arabī.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Memerkenalkan suatu konsep epistemologi yang unik dan khas

walaupun tidak baru dan aktual, serta nampaknya kurang diminati oleh

Page 18: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

7

kalangan akademisi, sehingga dalam ranah intelektualitas pemikiran

epistemologi Ibn „Arabī ini seolah termarginalkan.

2. Memeroleh pemahaman yang utuh tentang konsep epsitemologi Tuhan

menurut Ibn „Arabī.

3. Sebagai syarat untuk memeroleh gelar strata satu (S1) bagi penulis.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data merupakan faktor

penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini, berkaitan dengan bagaimana

cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang

digunakannya. Pengumpulan data ini melingkupi pengumpulan data yang

diperoleh dari sumbernya langsung (data primer) dan dari sumber tidak

langsung (data sekunder). Metode ini menunjuk suatu cara sehingga dapat

diperlihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, tes,

dokumentasi dan sebagainya.

Adapun metode pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode

deksriptif-analitik. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode

penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran

atau deksripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode penelitian

deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang

sedang dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian ini dilakukan dengan

menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi,

pengolahan/analisis data, membuat kesimpulan dan laporan.

Page 19: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

8

Sedangkan metode penelitian analitik adalah penelitian yang

mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi. Kemudian

melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor

resiko/faktor penyebab/determinan dan faktor efek, antar faktor resiko,

maupun antar faktor efek. Maksud faktor resiko adalah suatu fenomena

yang mengakibatkan terjadinya efek (pengaruh). Sedangkan faktor efek

adalah suatu akibat dari adanya faktor resiko.

Adapun untuk metode penulisan skripsi ini, penulis mengacu dari

buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2011/2012.

Sebagaimana yang dikatakan di atas bahwa dalam penelitian

kepustakaan (library research), maka jenis penelitian ini memfokuskan

pada aspek pemikiran, sejarah dari seorang tokoh serta tokoh-tokoh lainnya

yang memengaruhinya. Untuk mengadakan penelitian kepustakaan ini

peneliti melakukan pengumpulan buku-buku atau data primer seperti:

Muḥyī al-Dīn Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afifi, 2

volume. (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabi, 1980), al-Futūḥāt al-Makkiyyah, 8

volume, ed. Maḥmūd Matrajī. (Beirut: Dār al-Fikr, 2002), dan sekunder,

yang masih ada kaitannya dengan seluruh referensi yang mendukung dalam

penulisan ini, seperti: „Afifi, The Mystical Philosophy of Muḥyī Din Ibnul

Arabi. (Lahore: SH. Muḥammad Aṣraf, 1964), „Afifi, “Al-Fuṣūṣ wa

Madzhab Ibn ‘Arabī Fīhi.” Dalam Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 2 volume.

(Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1980), Misteri Kun Syajaratul Kaun:

Doktrin Tentang Person Muḥammad Saw, terj. Wasmukan (Surabaya:

Page 20: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

9

Risalah Gusti, 2001), dan The Tarjumān al-‘Asywāq, terj. Nicholson.

London: Thesophical Publishing House Ltd, 1978, Kautsar Azhari Noer,

IBN AL-‘ARABĪ: Waḥdah al-Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta:

Paramadina, 1995), Syahrul A„dam, Kesatuan Agama-Agama Dalam

Pandangan Ibn ‘Arabī. Jakarta: Badan Kajian Ilmu dan Kemasyarakatan

(KOSMOPOLIT), 1999. Sudarminta Epistemologi Dasar Pengantar

Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), dan lain-lain.

F. Sistematika Penulisan

A. Bab I : merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II :

membahas seputar biografi Ibn „Arabī. Bab ini dibagi menjadi tiga sub

bab, yaitu: biografi Ibn „Arabī, karya-karyanya, dan pemikiran tasauf

Ibn „Arabī. Bab III : membahas tentang pengertian epistemologi,

sejarah perkembangan epistemologi, dan model-model epistemologi

Islam. Bab IV : membahas tentang epistemologi Tuhan menurut Ibn

„Arabī. Bab ini dibagi menjadi dua sub bab yang didahului dengan

pembahasan: epistemologi ‘Irfānī (Intuitif) Ibn „Arabī, epistemologi

Tuhan Menurut Ibn „Arabī. Bab V : Penutup. Bab ini memaparkan

kesimpulan dan saran.

Page 21: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

10

BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAUF IBN ‘ARABĪ

A. Biografi Ibn ‘Arabī

1. Riwayat Hidup

Nama lengkap Ibn „Arabī adalah Muḥammad b. „Alī b.

Muḥammad b. Aḥmad b. „Abdullāh al-Ḥātimī al-Ṭā„ī al-Andalūsī.

Nama ini dibubuhkan oleh Ibn „Arabī dalam Fihris al-Mu‘allafah

(katalog karya-karyanya). Ibn „Arabī selain bergelar Abū Bakr, ia juga

populer dengan sebutan Muḥyi al-Dīn (Penghidup Agama) Ibn „Arabī

atau dengan tambahan alif lam; Ibn al-„Arabī.1 Salah satu sejarawan

Muslim abad ke-8, yaitu Ibn Katsīr menyebutkan tanpa alif lam pada

kata „Arabī. Hal ini menunjukkan bahwa penamaan Ibn „Arabī atau Ibn

al-„Arabī digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk sosok Muḥammad

b. „Alī. Sementara orang-orang sezamannya, seperti Sadr al-Dīn al-

Qunawī (w. 673 H./1274 M.) memanggilnya Abū „Abdillāh.2

Selain sebutan di atas, Ibn „Arabī juga dikenal dengan sebutan

al-Syaykh al-Akbār (Doktor Maximus) Ibn „Arabī al-Ṣūfī. Pemberian

gelar kehormatan tersebut selain menunjukkan keluasan intelektual dan

spiritual Ibn „Arabī sekaligus membedakannya dengan Qāḍī Sevilla

yang terkenal, yaitu Abū Bakr Ibn al-„Arabī (468-543 H./1076-1148

1Fihris al-Mu‘allafah (katalog karya tulis yang dibuat Ibn „Arabī sendiri

untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Ditulis pada tahun 1229/1230 M. (627

H.) di Damaskus untuk muridnya, yaitu Sadr al-Dīn al-Qunawī). Ibn Ḥajr, Lisān al-

Mīzān, (Beirut: al-Mu„assasah al-A„lamī, 1986), v. 5 h. 311. 2Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Kairo: Dār Ibn al-Ḥaytsam, 2006), v.

13 h. 90.

Page 22: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

11

M.). Nama lengkapnya adalah al-Imām al-„Allāmah al-Faqīh

Muḥammad b. „Abdullāh al-Ma„afirī al-Andalūsī al-Isybīlī yang

dikenal dengan sebutan Ibn al-„Arabī al-Mālikī. Ia menulis tafsir corak

fikih dalam madzhab Mālikī, “Aḥkām al-Qur’ān”. Karya yang lainnya

dalam bidang tafsir adalah “al-Qānūn fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz”.3

Muḥyi al-Dīn Ibn „Arabī lahir pada malam senin 17 Ramadhan

tahun 560 H., bertepatan dengan 28 Juli 1165 M. di kota Murcia

(Andalusia). Sebagai anak pertama, kelahiran Ibn „Arabī merupakan

kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Ibn „Arabī dilahirkan dari seorang

ayah yang ahli dalam pelbagai bidang ilmu ke-Islaman, seperti fiqh,

ḥadīts dan tasauf. Ayahnya bernama Muḥammad b. Aḥmad merupakan

salah seorang Qāḍī di Andalusia yang berteologi Sunnī. Sehingga,

dengan kondisi sosial ini memungkinkan Ibn „Arabī akrab dengan teologi

Sunnī.4

Selain sebagai ayah, Muḥammad b. Aḥmad juga merupakan guru

pertama di keluarga Ibn „Arabī. Ibn „Arabī dididik dengan sangat baik

oleh ayahnya. Ia juga sering dipertemukan oleh Muḥammad b. Aḥmad

dengan banyak tokoh intelektual pada masa tersebut.5

Penisbatan nama Ibn „Arabī ini, mengisyaratkan kepada

„Abdullāh al-„Arabī empat generasi di atasnya. Ibn „Arabī juga

3Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan

Spiritual Syaikh al-Akbār Ibn ‘Arabī, terj. Tri Wibowo (Jakarta: Murai Kencana,

2001), h. 43. 4Ibn al-Maqarrī al-Tilmisānī, Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib,

(Beirut: Dār Ṣader, 1997), v. 2 h. 161. 5Ibn al-Maqarrī al-Tilmisānī, Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib, v.

2 h. 161.

Page 23: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

12

mengaku bahwa dirinya masih keturunan „Abdullāh Ibn Ḥātim al-Ṭā„ī

(Bani Ṭayy dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi saw. Pengakuan

Ibn „Arabī ini dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa

ditinjau dari sisi historis imigran Arab. Menurut Addas, hal ini menjadi

salah satu faktor yang menyebabkan keluarganya mendapatkan strata

sosial yang tinggi di Andalusia.6

Addas menambahkan bahwa proses imigrasi pernah terjadi pada

masa „Abd al-Raḥmān I (172 H.) khalifah Umayyah II di Andalusia. Ia

menyebutkan bahwa imigran berasal dari Syria dan Yamān, lalu

mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyūtāt) di

Semenanjung Iberian. Sebagian mereka juga ada yang menetap di kota

Jaén, Baza dan Tijola. Kota tersebut berada di bagian selatan dari

wilayah Murcia.7

Pada saat Ibn „Arabī dilahirkan, di Prancis Louis VII sedang

bertahta, pembangunan Notre Dame de Paris sudah berjalan dua tahun.

Di Spanyol kekuasaan Dinasti al-Moravid sedang menurun, tak lama

kemudian digantikan oleh Dinasti al-Muwāḥḥid al-Dūn. Di Mesir

dinasti lain sedang berakhir, Dinasti Ayyūbiyyah sedang disiapkan oleh

Ṣalaḥ al-Dīn al-Ayyūbī. Di pinggir sungai Onon di timur Siberia,

Jengis Khan dilahirkan. Kurang dari satu abad kemudian cucunya, yaitu

6Claude Addas, Quest for The Red Sulphur: Life of Ibn ‘Arabī, terj. Peter

Kingsley, (Cambridge; The Islamic Texs Society, 1993), h. 45. 7Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, h. 45.

Page 24: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

13

Hulagu Khan akan menghancurkan kota Baghdād dan akan membunuh

khalifah terakhir dari Dinasti „Abbasiyah.8

Setelah Dinasti al-Muwāḥḥid al-Dūn menaklukan Murcia pada

tahun 567 H./1172 M. Ibn „Arabī dan keluarganya lalu pindah dari

Andalusia ke Sevilla pada tahun 568 H., dan menetap di sana selama 30

tahun. Kepindahannya ke Sevilla tersebut dikarenakan kota tersebut

merupakan tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas pemerintahan

atas kebaikan Abū Ya„qūb Yūsuf, penguasa Daulah Muwāḥḥid al-Dūn

pada saat itu.9

Pada masa awal Ibn „Arabī bermukim di Sevilla, kota ini sedang

dipimpin oleh Ṣulṭān Muḥammad b. Sa„d. Kota Sevilla pada saat itu,

merupakan kota yang menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur,

penyanyi dan penyair bergaul dengan failasuf dan teolog, dan bahkan

para wali berdampingan dengan dengan para pendosa.10

Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn „Arabī tumbuh di lingkungan yang

penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama

dan falsafah. Hal ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dan

pembentukkan kepribadian Ibn „Arabī kedepannya.

Periode pertama Ibn „Arabī memasuki pendidikan formalnya

ialah pada saat ia berusia 8 tahun. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di

8Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabī Tentang Kenabian dan Aulia, terj.

Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 12. 9Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan,

(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 18. 10

Ibn al-Maqarrī al-Tilmisānī, Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib, v.

2 h. 161.

Page 25: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

14

bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal Ibn „Arabī menghapal dan

memelajari al-Qur‟ān dan tafsirnya, ḥadits, fiqh, teologi, dan falsafah

skolastik. Sementara kehidupan spiritualnya ia warisi dari lingkungan

keluarganya karena memang ayahnya sendiri adalah seorang ulama dan

pengamal sebuah tarekat. Kakeknya „Abdullāh al-Hātimī adalah seorang

panglima perang yang gemilang dan seorang hakim di Andalusia.11

Dalam kitab “Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-Hātimiyyah”,

Ibrāhīm Muḥammad Salīm mengatakan bahwa di usia 14 tahun, Allah

telah membukakan kepada Ibn „Arabī satu rahasia dari rahasia-rahasia-

Nya ketika beliau berada di Fez (Maroko) pada tahun 574 H., beliau

mengatakan bahwa: Aku menikmatinya, tetapi aku tidak tahu bahwa hal

itu bagian dari rahasia-rahasia-Nya yang tidak dibukakan kepada yang

lain, lalu aku ditegur karenanya oleh Allah, dan aku pun tidak bisa

menjawab kecuali diam.12

Selama menetap di Sevilla, Ibn „Arabī muda sering melakukan

perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan

itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi berbagai tokoh, terutama para

sufi. Ibn al-Abbār menginformasikan bahwa setiap kali Ibn „Arabī

berkunjung ke suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan

11

Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 161. 12

Maksud rahasia yang telah Allah bukakan kepada Ibn „Arabī adalah bahwa

ia mendapat ilmu ladunni. Ilmu ladunni ini, beliau peroleh setelah beliau melakukan

riyāḍah (latihan). Makanya ia berpesan kepada murid-muridnya kelak, riyāḍah-lah

sebelum khalwat (bersemedi). Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-

Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-Hātimiyyah, (Beirut: Maṭba„ah al-Ḥāditsah, 1997), h. 32.

Page 26: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

15

setempat.13

Sehingga di sela-sela kunjungannya Ibn „Arabī banyak

memeroleh ijāzah (sertifikasi) dari para ulama setempat,14

dan di mana

pun Ibn „Arabī berkunjung, ia selalu menerima penghargaan besar dan

diberi banyak hadiah yang kemudian selalu diberikannya kepada para

fakir miskin.15

Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga

kedudukan ayahnya mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur

Sevilla di usia belasan tahun, yang perlu dicatat bahwa kota Sevilla

pada saat itu selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan

pusat kegiatan tasauf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal di

sana. Artinya, pencapaian Ibn „Arabī tersebut merupakan pencapaian

yang sangat gemilang, mengingat usianya yang masih sangat muda dan

banyaknya tokoh-tokoh intelektual yang tinggal di situ. Hal ini tidak

lepas dari kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif, dan kaya

memercepat pembentukan kepribadian Ibn „Arabī sebagai tokoh sufi

yang terpelajar, apalagi ia telah masuk ṭarīqat di usia yang masih 20

tahun.16

Setelah itu, ia menikahi seorang gadis dari keluarga baik-baik

bernama Maryam. Secara kebetulan istrinya ini juga mengenal baik

13

Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 263. 14

Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 162. 15

M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, (Surabaya:

Risalah Gusti, 2000), h. 102. 16

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam: Mutiara Hikmah 27 Nabi, (Yogyakarta:

Islamika, 2004), h. 2. A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004), h. 139.

Page 27: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

16

sejumlah manusia saleh, karena sama-sama memunyai keinginan seperti

suaminya, yaitu menempuh jalan sufi.17

Ketika Ibn „Arabī memasuki kota Kordoba dan bertemu dengan

hakimnya, yaitu Abū Wālid Ibn Rusyd.18

Sebenarnya terkadang Ibn

Rusyd meminta bertemu Ibn „Arabī dan ayahnya, dan terkadang

sebaliknya. Pada saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, dan

ia bersuka cita menyambut kedatanganku karena ia mendengar apa yang

telah aku dapatkan dalam penyendirianku, ia amat takjub atas apa yang ia

dengar.19

Ketika aku masuk ke ruangannya segera ia berdiri karena

menghormatiku seraya langsung memelukku dan berkata kepadaku “ya”,

aku menjawab: “ya”. Maka ia bertambah ceria karena aku mengerti apa

yang ia maksud. Kemudian aku merasakan sesuatu yang membuat ia

gembira dengan hal itu, aku berkata kepadanya “tidak”, maka ia langsung

diam dan berubah warna mukanya serta ragu-ragu dengan apa yang ia

miliki. Lalu ia bertanya, bagaimana aku bisa menemukan perkara tentang

penyingkapan Ilahi dan emanasi Allah. Apakah Dia memberi kita

17

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam: Mutiara Hikmah 27 Nabi, h. 2. 18

Ibn Rusyd atau Averroes di dunia Barat lahir di Cordova pada 520 H./1125

M. Ia lahir dari keluarga yang sangat relijius dan memiliki aktivitas keilmuan yang

tinggi. Kakeknya adalah seorang Hakim di Cordova dan seorang penulis berpengaruh

di Spanyol, begitu juga ayahnya. Ernest Renan, Ibn Rusyd wa Rusydiyyah, terj. „Ādil

Zu„atir (Kairo: „Īsā Bābi al-Ḥalabi, 1957), h. 79. 19

Mengenai pertemuannya dengan Ibn Rusyd, Ibn „Arabī sendiri

menceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam al-Futūḥāt. Ibn „Arabī

menuturkan bahwa Ibn Rusyd sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena

merasa mendapatkan pencerahan spiritual. Ibn „Arabī sendiri memuji Ibn Rusyd

dengan menyebutkannya sebagai golongan arbāb al-fikr wa al-naẓr al-‘aqlī (tokoh

pemikir logis) sebuah sanjungan bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat pada saat Ibn

„Arabī telah dewasa, yaitu tahun 595 H. ketika kembali dari Maroko. Ibn „Arabī, al-

Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1, ed. Maḥmūd Maṭrajī (Beirut: Dār al-Fikr, 2002), h. 235.

Page 28: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

17

penglihatan itu, aku menjawab: “ya tidak”. Ia pun mengetahui apa yang

aku isyaratkan kepadanya.20

Percakapan sufi muda dengan failasuf besar ini menunjukkan

kecemerlangan intelektual luar biasa dan luasnya wawasan spiritual Ibn

„Arabī. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan

asasi antara falsafah dan tasauf, sekaligus memerlihatkan bagaimana

mistisisme dan falsafah berhubungan satu sama lain dalam kesadaran

metafisis kedua tokoh tersebut.

Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusyd dan setelah ia memasuki

jalan sufi (tarekat) secara formal pada tahun 580 H./1184 M. Ibn „Arabī

mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang

dimilikinya, dan ia ingin fokus mencurahkan hidupnya secara penuh di

jalan spiritual.21

Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat ialah saat ia

dan panglima al-Muwāḥḥid al-Dūn bersama-sama melaksanakan salat di

Masjid Agung Kordoba.22

Setelah itu, Ibn „Arabī menolak hidup mewah

dan mengundurkan diri dari ketentaraan, lalu ia pun mantap menempuh

jalan (Allah) dan kecenderungannya terhadap jalan itu. Dengan mengutip

20

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 225. 21

Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan,

(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 18. Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 425, dan

436. Sementara Michel Chodkiewicz menyebutkan bahwa pada saat Ibn „Arabī

berumur sekitar 16 tahun, ia sudah masuk tarekat. Mendekati usianya yang ke 20, ia

sudah berhasil melewati seluruh tingkatan (maqāmāt) yang harus dilalui oleh seorang

salik dalam perjalanannya menuju Allah. Selain itu, ia juga sudah menerima berkah

yang istimewa. Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabī Tentang Kenabian dan Aulia,

terj. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 12. 22

A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 140.

Page 29: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

18

dari buku “Wacana Baru Filsafat Islam” karya A. Khudori Sholeh

sebagai berikut:

“Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwāḥḥid al-Dūn)

Abū Bakr Yūsuf b. „Abd al-Mu‟mīn b. „Alī menuju ke Masjid

Agung Kordoba, dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan

rendah hati memohon pada Allah. Kemudian pikiran melintas

(khātir) menerpaku sehingga aku berkata pada diriku sendiri,

“jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana dihadapan

Allah, maka sebenarnya dunia ini tidak ada artinya”. Lalu aku

meninggalkannya pada hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya

lagi, dan sejak itu aku mengikuti jalan ini”.23

Pada tahun 590 H./1193 M., ketika pikiran-pikiran Ibn „Arabī

telah mengristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Kota pertama yang

ia kunjungi ialah kota Murur, untuk menemui Syaikh Abū Muḥammad

al-Marūri. Dari Murur ia meneruskan kelananya ke Kordoba dan

Granada, setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di

Andalusia ia lalu menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun

pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syaikh Abū

Madyan, seorang pendiri aliran tasauf. Abū Madyan adalah salah satu

orang yang sangat berpengaruh pada diri Ibn „Arabī. Hal ini terlihat dari

kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada

zamannya.24

Kendati demikian, sebenarnya keinginan Ibn „Arabī untuk

bertemu dengan Abū Madyan secara fisik tidak pernah tercapai, bahkan

ajaran Abū Madyan diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang nota

23

A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 140. Ibn „Arabī,

Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 425. 24

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 44.

Page 30: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

19

bene adalah guru-gurunya, seperti Syaikh Abū Muḥammad al-Marūri,

Syaikh Abū Ya„qūb Yūsuf b. Yakhluf al-Kūmī al-„Abbasī, dan Syaikh

al-Sadrānī.25

Akan tetapi, Ibn „Arabī meyakini bahwa Abū Madyan

mengenalnya bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.

Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai

yang menghubungkan Ibn „Arabī dengan aliran Neoplatonisme.26

Di akhir tahun 1194 M. Ibn „Arabī kembali ke Andalusia, ia pun

menulis salah satu karya besarnya, yaitu Masyāhid al-Asrār (kontemplasi

atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Maḥdawī. Sekitar tahun

yang sama ia juga menyusun Tadbīrāt al-Ilāhiyyah (pemerintahan Ilahi)

untuk al-Maurūrī.27

Setelah itu, ayahnya meninggal dunia dan disusul ibunya

beberapa bulan kemudian, Sehingga Ibn „Arabī harus menerima

kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara perempuannya.

Kondisi di Sevilla pada saat itu pun sedang terjadi ketegangan politik

antara al-Muwāḥḥid al-Dūn di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari

Castile.28

Ibn „Arabī juga mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan

pengawal ṣulṭān, namun Ibn „Arabī menolak tawaran tersebut, dan

kemudian Ibn „Arabī meninggalkan Sevilla membawa kedua saudara

25

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, (Damaskus: al-Mu„assasah al-„Ilm, 1964), h. 49. 26

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 44. 27

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 45. 28

Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabī Tentang Kenabian dan Aulia, terj.

Dwi Surya Atmaja, h. 12.

Page 31: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

20

perempuannya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun.

Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, Ibn „Arabī bisa mencurahkan

diri secara penuh pada jalan spiritual dengan melanjutkan kelananya

tanpa beban menjaga kedua saudaranya.29

Lalu Ibn „Arabī kembali ke semenanjung Iberian untuk terakhir

kalinya pada tahun 1198 M. Di bulan Desember pada tahun itu juga ia

berada di Kordoba untuk menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Kemudian

bersama sahabat dekatnya al-Ḥabasyī, mereka menuju ke Granada dan

kembali bertemu dengan „Abdallāh al-Marūrī. Dari Granada mereka

menuju Murcia, setelah dua tahun berada di negeri kelahirannya, mereka

pergi ke Marakez. Pada awal tahun 598 H./1201 M. dari kota ini mereka

menuju Bugia lagi, dan setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir,

Ḥijāz dan kemudian menuju Makkah pada pertengahan tahun 1202 M.

untuk menunaikan haji.30

Di Makkah beliau khusuk beribadah dan sekaligus mengajar di

Masjid al-Ḥarām. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan

pun sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abū Syūja„ al-Imām

al-Muwakkil yang memunyai seorang putri cantik dan cerdas yang

bernama Nizam (keselarasan). Gadis yang memunyai nama panggilan

‘Ayn al-Syams (mata sang surya) memunculkan inspirasi pada diri Ibn

„Arabī sehingga lahirlah kitab Tarjumān al-‘Asywāq (Ungkapan-

ungkapan Kerinduan). Menurut Ibn „Arabī dalam pendahuluan karyanya

29

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 289. 30

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117.

Page 32: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

21

itu, secara lahiriah karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada

gadis religius nan rupawan itu, tetapi sebenarnya karya itu merupakan

ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta (al-Khāliq).31

Selama dua tahun di Makkah (1202-1204 M.), Ibn „Arabī sibuk

dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah Misykāt al-

Anwār, Ḥilyah al-Abdāl, Rūḥ al-Quds, dan Tāj al-Rasā’il. Namun

karyanya yang paling monumental adalah al-Futūḥāt al-Makkiyyah

(Pembukaan-pembukaan Spiritual Periode Makkah), yang diklaimnya

merupakan hasil pendiktean langsung dari Allah melalui malaikat Jibrīl.

Penulisan kitab ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka„bah, di

mana beliau bertemu dengan figur pemuda misterius yang memberinya

pengetahuan tentang makna esoterik dari al-Qur‟ān.32

Pada periode Makkah ini juga ia bertemu dengan Syaikh Majd al-

Dīn Isḥaq b. Yūsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh ini adalah

seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasehat raja di istana

Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Sadr al-Dīn al-

Qunawi, salah seorang tokoh kunci di antara murid-murid Syaikh al-

Akbār.33

Setelah melaksanakan haji, Ibn „Arabī melanjutkan perjalanannya

dari Makkah ke Madinah, setibanya di sana beliau berziarah ke

31

Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan, h. 21. 32

Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah

al-Hātimiyyah, h. 11. Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan, h.

21. Lihat juga Henry Corbin, Creatif Imagination in The Sufism of Ibn ‘Arabī, terj. R.

Manheim, (Priceton: Priceton University Press, 1969), h. 52-53. 33

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117.

Page 33: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

22

Rasulullah saw. Lalu Ibn „Arabī meneruskan perjalanan masuk ke Ṭā„if

selanjutnya ke „Irāq, lalu kota Mosil (salah satu kota di Syām) pada tahun

600 H., di Mosil beliau bertemu dan berkumpul dengan para tokoh kota

ini. Selanjutnya beliau pergi meninggalkan Mosil menuju Baghdād, ia

sampai di kota Abū Nawas ini pada tahun 601 H.34

Dari Baghdād beliau

menuju Kairo pada tahun 603 M. dan setelah itu ia tidak pernah kembali

lagi ke Andalusia.35

Pada tahun 608 H./1211 M. Ibn „Arabī memasuki „Irāq (Baghdād)

lagi bermaksud untuk menemui Syaikh Syihāb al-Dīn „Umar al-

Suhrawardi, mursyid Madrasah Sufi di Baghdād (pengarang ‘Awārif al-

Ma‘ārif). Diceritakan bagaimana Ibn „Arabī bertemu dengan Suhrawardi:

untuk yang pertama, masing-masing saling memandang dalam waktu

yang agak lama tanpa sepatah kata pun keluar dari lisan keduanya,

kemudian keduanya berpisah tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun.

Setelah pertemuan ini berlalu, berkatalah Suhrawardi kepada muridnya

mengenai Ibn „Arabī: Huwa baḥrun ‘amīq fī al-Ḥaqīqah” (Dia adalah

lautan yang dalam mengenai hakikat).36

Dalam salah satu wasiatnya Ibn „Arabī pernah mengatakan

kepada murid-muridnya: Hendaklah kalian melakukan riyāḍah sebelum

khalwat (semedi). Riyāḍah adalah suatu proses pembinaan akhlak,

meninggalkan kemewahan dan kesombongan, dan sanggup menanggung

34

Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah

al-Hātimiyyah, h. 12. 35

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117. 36

Ibn „Arabī, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz 1, h. 6.

Page 34: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

23

aẓā (derita). Sesungguhnya manusia jika keterbukaannya (kasyf al-ḥijab)

mendahului riyāḍah-nya maka tidak akan ada orang yang mengalami hal

serupa ini kecuali jarang sekali.37

Setelah Ibn „Arabī melakukan kunjungan ke berbagai tempat,

pada tahun 618 H./1221 M. di Aleppo, Majd al-Dīn Isḥaq wafat dan Ibn

„Arabī mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra Majd al-Dīn

yaitu, Sadr al-Dīn al-Qunawi yang saat itu berusia 7 tahun. Tidak berapa

lama kemudian sahabatnya al-Ḥabasyī juga wafat.38

Pada tahun 620 H./1223 M. Ibn „Arabī menetap di Damaskus

hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo

pada tahun 1231 M. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa,

kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah

menggerogoti kesehatannya. Di kota ini Ibn „Arabī merampungkan karya

besarnya, yaitu al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan juga Fuṣūṣ al-Ḥikam

sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu, ia juga menyelesaikan

puisinya al-Dīwān al-Akbār. Adapun Sadr al-Dīn al-Qunawi yang telah

dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama

dengan Awḥad al-Dīn Kirmani sahabat Ibn „Arabī sekaligus guru

Qunawi.39

Di Damaskus, Ibn „Arabī beserta keluarganya menghabiskan sisa

hidupnya dengan tenang, tentram dan sakinah. Para murid dan

37

Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah

al-Hātimiyyah, h. 33. 38

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117. 39

Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah

al-Hātimiyyah, h. 30.

Page 35: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

24

pengikutnya berkeliling disekitarnya. Selain menyusun kitab, Ibn „Arabī

juga menyampaikan wejangan-wejangan (mau‘iẓah) dan pemikiran-

pemikiran falsafahnya kepada murid-muridnya hingga akhir hayatnya.40

Ibn „Arabī meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal

28 Rabi„ al-Akhīr 638 H./16 November 1240 M. pada usia 78 tahun

dikelilingi oleh keluarga, para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia

dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota Salihiyah di kaki

gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras dengan

berakhirnya norma imanennya. Karena tempat di mana Ibn „Arabī di

makamkan bersama kedua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam

pandangan Muslim telah disucikan oleh semua Nabi, terutama Nabi

Khiḍir.41

Ibn „Arabī meninggalkan dua anak yaitu Sa„d al-Dīn Muḥammad

yang dilahirkan pada bulan Ramaḍan tahun 618 H./1221 M. Ia seorang

sastrawan sufisme besar yang terkenal, ia memunyai balai tempat

menampilkan karya-karya seninya. Sa„d al-Dīn meninggal pada tahun

656 H. dan dimakamkan di luar kota Damaskus di kaki gunung Qasiyun

bersebelahan dengan ayahnya, Ibn „Arabī. Anak yang satu lagi adalah

„Imād al-Dīn Abū „Abdillāh Muḥammad, ia meninggal di Madrasah al-

Sāliḥiyyah dan juga dimakamkan di sebelah ayahandanya berdekatan

dengan saudara tuanya. Ibn „Arabī juga memiliki seorang putri bernama

Sayyidah Zainab. Menurut Ibn „Arabī, sejak kecil anak putrinya Zainab

40

M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 103. 41

Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabī, (Yogyakarta: Lkis,

2002), h. 80.

Page 36: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

25

telah sering mendapatkan intuisi (ilham) dan mukāsyafah (terbuka

hijab).42

Pada abad ke 16 Salīm II Sulṭān Konstantinopel membangun

suatu mausoleum dan madrasah di atas makam Ibn „Arabī.43

Masa Ibn

„Arabī hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti, Suhrawardi,

Najmu al-Dīn al-Rāzi, Musliḥ al-Dīn, Sa„di, Abu al-Ḥasan al-Maghrīb al-

Syadzīli, Jalal al-Dīn Rumī dan b. al-Farīḍ, dan dari pemikiran Ibn „Arabī

banyak memengaruhi para failasuf dan sufi lainnya.44

2. Pendidikan

Setelah dinasti al-Muwāḥḥid al-Dūn menaklukan Murcia pada

tahun 567 H./1172 M. Ibn „Arabī dan keluarganya pindah ke Sevilla. Ibn

„Arabī menghabiskan masa kecilnya di Sevilla, di kota pusat ilmu

pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal Ibn „Arabī

memulai pendidikannya dengan menghapal dan memelajari al-Qur‟an,

tafsir, fikih, teologi, dan falsafah skolastik.45

Di Sevilla, Ibn „Arabī mendapatkan ijāzah (sertifikasi) dari

banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.46

Di antara guru yang

42

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 30. 43

Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabī, h. 80. 44

M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 103. 45

Imam Syams al-Dīn Ibn Muṣaddad menerangkan bahwa Ibn „Arabī

merupakan anak yang cerdas, teliti, banyak mengetahui ilmu pengetahuan dalam

segala bidang, cepat menangkap sesuatu dengan pikirannya, termasuk anak termaju

dan terpintar dalam negerinya. Diantara gurunya ialah Ibn Zarqum, Ibn al-Jaddī dan

„Abd al-Walid al-Ḥadrāmī. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam

Perdebatan, h. 18. 46

Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 161.

Page 37: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

26

menjadi tempat Ibn „Arabī mendalami al-Qur‟an adalah Abū Bakr al-

Lakhmī ahli qirā’ah al-sab‘ah, Abū al-Ḥasan Syurayḥ anak dari

Muḥammad al-Ra„īnī penulis kitab al-Kāfī dalam ilmu qirā’ah, dan Abū

al-Qāsim al-Syarraṭ. Selain kitab al-Kāfī, ia juga memelajari kitab al-

Tabṣīrah karangan Abū Muḥammad al-Muqrī dan kitab al-Taysīr

karangan Abū „Amr b. Abū Sa„īd al-Dānī.47

Ibn „Arabī memelajari fiqh

dengan madzhab Mālikī kepada Muḥammad Ibn Qasūm seorang sufi dan

faqīh.48

Sebagai sosok sufi besar, Ibn „Arabī memunyai banyak sekali

guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia menyebutkan dalam Rūḥ al-Quds,

ada sekitar lima puluhlima tokoh di antara guru spiritualnya.49

Dalam

kitab Rūḥ tersebut, Muḥyi al-Dīn Ibn „Arabī hanya menyebutkan tokoh-

tokoh yang menjadi gurunya pada periode pertama, yaitu ketika ia masih

bermukim di Andalusia dan Maroko. Akan tetapi, ini bukan berarti kitab

Rūḥ tersebut ditulis pada masa itu. Kitab tersebut ditulis Ibn „Arabī

ketika ia melakukan haji yang pertama atau pasca ia meninggalkan kota

Andalusia dan Maroko. Karena, Ibn „Arabī menyebutkan beberapa

kejadian saat ia berkunjung dan mengajar di Makkah.50

Sementara haji

yang pertama dilakukannya pada periode kedua, yaitu pada tahun 599

H.51

47

Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘ Karāmāt al-Awliyā’,(Beirut: Dār al-Fikr, 2005), v.

1 h. 202-203. 48

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 55. 49

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 84. 50

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 9 dan 12. 51

Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 263.

Page 38: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

27

Claude Addas mengatakan bahwa semua guru spiritual Ibn „Arabī

di Andalusia bermadzhab Mālikī. Hal ini tidaklah mengherankan karena

Mālikī merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Meskipun demikian,

Ibn „Arabī tetap memelajari madzhab lain, seperti fiqh Ibn Ḥazm yang

bercorak Ẓahirī.52

Sementara itu, Ibn „Arabī memelajari ilmu ḥadīts dari

„Abd al-Ḥaqq al-Isybīlī ketika masih bermukim di Sevilla. Dalam kitab

Jāmi‘ Karāmāt al-Awliyā’, Yūsuf al-Nabhānī mengatakan bahwa „Abd

al-Ḥaqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang ilmu ḥadīts

kepada Ibn „Arabī. Ia memelajari Ṣaḥīḥ Bukhārī dari Yunūs b. Yaḥyā al-

Ḥasyimī dan Ṣaḥīḥ Muslim dari „Abd al-Ṣamad al-Ḥarastanī.53

Tetapi,

Ibn „Arabī juga memelajari Ṣaḥīḥ Muslim dari tokoh lain seperti Ibn

Ṣā„id al-„Arāwī.54

Di samping itu, Ibn „Arabī juga menyebutkan tokoh yang berbeda

sekitar tujuhpuluh nama. Ketika ia memberi sertifikasi (ijāzah) Ṣulṭān al-

Muẓaffar Sayf al-Dīn Qutuz (w. 658 H/1260 M), diantara mereka ada

yang ahli qirā’at, fiqh, teologi, ḥadīts, sejarah dan lainnya.55

Akan tetapi,

menurut Addas bahwa sertifikasi tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H.

ketika Ibn „Arabī telah menetap di Damaskus. Sehingga bagi Addas

bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut bisa jadi belum menyakup

semua guru Ibn „Arabī. Karena usia Ibn „Arabī pada saat itu sudah lebih

52

Claude Addas, Quest, h. 45. 53

Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘, v. 1 h. 203. 54

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt,v. 2 h. 452. 55

Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘ Karāmāt al-Awliyā’, v. 1 h. 202.

Page 39: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

28

dari tujuhpuluh tahun, dan memungkinkan adanya faktor usia senja

seperti lupa.56

Namun, Addas telah melakukan penelitian lebih lanjut terhadap

hal ini, dan ia berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn „Arabī

berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari 60 tokoh

yang menjadi guru Ibn „Arabī pada periode 565 sampai 585 H. yang

kebanyakan berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai

610 H. terdapat 100 tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla.

Addas juga menjelaskan bahwa semua jumlah itu menyakup pelbagai

disiplin ilmu tradisional seperti ḥadīts, fiqh, dan al-Qur‟ān, bahkan juga

termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.57

Artinya bahwa Ibn

„Arabi merupakan sosok yang sanggup memelajari dan memahami

banyak bidang pengetahuan. Sehingga, tidak mengherankan dalam karya-

karyanya terlihat keluasan pengetahuan beliau dalam menjelaskan bidang

pengetahuan selain alirannya.

Semenjak Ibn „Arabī bertemu dengan Abū Ja„far Aḥmad al-„Arībī

di Sevilla, kekeringan batinnya mulai tercerahkan nuansa spiritual. Ibn

„Arabī menyatakan bahwa al-„Arībī merupakan guru pertama yang ia

temui dalam dunia spiritual. Meskipun Al-„Arībī seorang yang buta

huruf, namun bagi Ibn „Arabī, al-„Arībī adalah sosok yang menarik.

Penjelasan al-„Arībī mengenai teologi tidak kering dari nuansa spiritual,

56

Claude Addas, Quest, h. 96. 57

Claude Addas, Quest, h. 94.

Page 40: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

29

bahkan sangat berasa tasauf dan hal inilah yang membuat Ibn „Arabī

merasa sangat terkesan kepada al-„Arībī.58

Tokoh lain yang sangat berpengaruh pada diri Ibn „Arabī selama

di Andalusia adalah Abū Ya„qūb b. Yakhlūf al-Kūmī sahabat sekaligus

murid Abū Madyan. Pertama kali Ibn „Arabī mengenal kitab Risālah al-

Qusyayrī ialah ketika ia melakukan perjalanan dengan Abū Ya„qūb.59

“wa mimmā syāhadatihi minhu raḍiya Allāh ‘anhu walima

akunna qaṭṭu ra’aytu Risālatu al-Qusyairī walā ghairuhā walā

kānat ’adrī lafẓatu al-tasawwuf ‘alā mādzā tanaṭṭuq... waqala lī

iqrā’”.

“Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abū Ya„qūb

adalah ketika aku belum mengenal kitab Risālah al-Qusyayrī dan

literatur lainnya, bahkan belum mengenal terminologi tasauf... ia

berkata kepadaku bacalah (kitab ini)”.60

Sekilas tentang kitab Risālah al-Qusyayrī, kitab ini merupakan

kitab tasauf yang sangat populer di kalangan ulama tasauf. Kitab tersebut

ditulis oleh al-Qusyayrī (465 H.) berdasarkan akidah Sunnī Asy„āriyyah

yang diyakininya. Dalam kitab Risālah, Al-Qusyayrī menulis kaedah

teologi pada permulaan kitab.61

Karena hal ini juga al-Qusyayrī pernah

diusir oleh kelompok mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut

penguasa Naisapur. Akan tetapi, Ibn „Arabī berpendapat bahwa sikap al-

Qusyayrī mengemukakan kaedah teologi di permulaan kitabnya

58

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 46. 59

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 49. 60

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah,v. 8 h. 287. 61

Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj, (Kairo: al-

Tawfīqiyyah, t.t.), h. 22.

Page 41: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

30

bertujuan untuk menghindari asumsi negatif kaum teolog kepadanya dan

para tokoh sufi.62

Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa meskipun Ibn „Arabī

telah mendapatkan nuansa spiritual melalui al-„Aribī, tetapi beliau

mengenal literatur dan istilah tasauf dari Abū Ya„qūb. Namun demikian,

Ibn „Arabī juga tidak mendapatkan ijazah kitab Risālah ini dari Abū

Ya„qūb, melainkan ia dapatkan dari Muḥammad al-Bakrī.63

Selain berguru kepada tokoh lelaki, Ibn „Arabī juga belajar

kepada tokoh perempuan seperti Fāṭimah bint Abū al-Mutsannā. Fāṭimah

merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn „Arabī merupakan murid

yang paling disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh

hati kepada Fāṭimah.64

Ia menuturkan:

Kānat taqūlu “Lā ya‘jibunī aḥadan miman yadkhulu ‘alayya

ghairu fulān ta‘nī ’iyyāyi, fayaqāla lahā bimā dzāka fataqūlu mā

minnakum aḥadan yadkhulu ‘alayya illā biba‘ḍihi wa yatraku

ba‘ḍihi fī aghrāḍihi min dārihi wa ahlihi, illā Muḥammadin Ibn

al-‘Arabī walidī wa qurratun ‘annī, faidzā dakhala ‘alayya

dakhala bikullihi”.

Dia (Fāṭimah) berkata: “Tidak ada orang yang membuat aku

kagum melainkan si fulan; maksudnya adalah saya”. Ada yang

bertanya mengapa ia kagum, Fāṭimah menjawab: “Hal ini

dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan

pikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn

„Arabī anakku dan penyejuk hatiku. Apabila ia belajar kepadaku,

ia datang dengan sepenuh hati”.65

62

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 8 h. 287. 63

Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘, v. 1 h. 204. 64

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 85. 65

Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 85.

Page 42: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

31

Selanjutnya di saat Ibn „Arabī berusia tujuh tahun, yaitu di

tahun 568 H./ 1172 M. Ketika beliau dan keluarganya meninggalkan

kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Sevilla. Ibn „Arabī

menerima pendidikan agama Islam pertamanya berupa membaca al-

Qur‟ān dan memelajari hukum-hukum Islam dari Syaikh Abū Bakr b.

Khallaf. Di kota Sevilla ini juga pendidikan formal Ibn „Arabī dimulai

ketika ayahnya menjabat di istana. Pendidikan yang umum pada saat itu

ialah berupa memelajari al-Qur‟ān, ḥadīts, fiqh, teologi, dan falsafah

skolastik, serta ilmu kalam.66

Selain itu, masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi yang Ibn „Arabī

temui dan ia berguru kepada mereka atau paling tidak Ibn „Arabī

mencari berkah (tabarruk) kepada mereka sebagaimana yang terjadi

dalam beberapa kasus, dan kelihatannya tidak mungkin semuanya

penulis angkat dalam tulisan ini. Beberapa nama dapat disebut

misalnya, Syaikh Abū Muḥmmad „Abdullāh b. Ibrāhim al-Mālikī,

Syaikh Abū Isḥaq Ibrāhim b. Aḥmad b. Ṭarif al-„Abasī, Syaikh Abū al-

„Abbas b. Tājah, Syaikh Abū al-„Aṣi Abū „Abdillāh al-Bāji, Syaikh

Abū Zakariyah Yaḥyā b. Ḥasan al-Ḥusnā, Syaikh „Abd al-Salām al-

Aswād, Syaikh Mūsa al-Mu„allim, Syaikh Abū „Abdillāh al-Murābiṭi,

dan Syaikh Maymūn al-Tūnisī.67

Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga

kedudukan ayahnya mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur

66

M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 101. 67

Goldziher, Madzāhib al-Tafsīr, h. 264.

Page 43: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

32

Sevilla di usia belasan tahun, yang perlu dicatat bahwa kota Sevilla

pada saat itu selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan

pusat kegiatan tasauf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal di

sana. Artinya, pencapaian Ibn „Arabī tersebut merupakan pencapaian

yang sangat gemilang, mengingat usianya yang masih sangat muda dan

banyaknya tokoh-tokoh intelektual yang tinggal di situ. Hal ini tidak

lepas dari kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif, dan kaya

memercepat pembentukan kepribadian Ibn „Arabī sebagai tokoh sufi

yang terpelajar, apalagi ia telah masuk ṭarīqat di usia yang masih 20

tahun.68

Jabatannya sebagai sekretaris gubernur Sevilla tidak membuat ia

larut hanya dengan pekerjaannya, tetapi Ibn „Arabī masih saja giat

belajar. Hal ini dikarenakan ia merupakan orang yang sangat haus akan

ilmu, dan bahkan tidak merasa puas dengan „ulama yang ada di

daerahnya.

Oleh karena itu, dalam rangka memerluas ilmu pengetahuannya

tatkala menginjak usia 30 tahun Ibn „Arabī mulai melakukan

pengembaraan ke berbagai negeri Islam. Selain Andalusia, ia juga ke

Maroko dan Aljazair. Pada tahun 597 H./ 1201 M. Ibn „Arabī tiba di

Mesir bersama murid dan pembantunya, yaitu „Abdullāh al-Ḥabasyī. Di

negeri ini, ia tidak tinggal lama, karena ia bertemu dengan para

penentang ajarannya. Banyak percobaan pembunuhan yang dilakukan

68

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam: Mutiara Hikmah 27 Nabi, h. 2. A. Khudori

Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 139.

Page 44: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

33

oleh penentang ajarannya di Mesir, namun Ibn „Arabī lolos dari maut

atas bantuan dan perlindungan seorang Syaikh yang berpengaruh yang

menjadi penduduk Mesir saat itu. Meskipun penguasa Mesir amat

mencintainya dan wali Mesir amat senang atas kehadirannya, bahkan ia

juga sempat diangkat menjadi Imām. Namun, Ibn „Arabī memutuskan

untuk melanjutkan perjalanannya.69

Dari Mesir ia terus berkelana ke Timur mengunjungi al-Quds

dan Makkah al-Mukarramah, di sini ia juga mengajar untuk waktu

tertentu.70

Makkah bagi Ibn „Arabī bukan sekedar tempat melaksanakan

ibadah haji, tawaf mengelilingi ka„bah dan ibadah-ibadah lainnya.

Makkah baginya, adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan

mistiknya. Ka„bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus

untuk memeroleh pengalaman ruhani yang tidak mungkin diperoleh di

tempat lain. H. Corbin, melukiskan, sebagaimana dikutip oleh Kautsar

Azhari Noer, peristiwa hakiki dan menentukan hanya ditimbulkan

dengan bermeditasi (khalwat) “di sekitar Ka„bah” karena peristiwa-

peristiwa seperti itu terjadi hanya “dalam pusat dunia”, yaitu kutub

mikrokosmos batini, dan ka„bah adalah pusat dunia.71

Kunjungannya ke ka„bah secara teratur untuk beribadah dan

bermeditasi membuahkan pengalaman-pengalaman ruhani. Di antara

pengalaman-pengalaman itu ada dua yang perlu disebutkan di sini.

69

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 12. 70

M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 102. 71

Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 89.

Page 45: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

34

Pertama, ia mengalami visi tentang “kemudaan abadi” yang boleh

dikatakan mewakili perpaduan apa-apa yang berlawanan, concidentia

oppositorum, yang dalam keseluruhannya semua ketegangan dapat

dipecahkan. Kedua, visi yang menegaskan bahwa ia adalah penutup

Walāyah Muḥammadiyyah.72

Ia kembali pergi ke Makkah pada tahun 604 H./1207 M. Hanya

satu tahun ia tinggal di kota suci ini. Setelah itu, ia mengunjungi Ḥijaz

dua kali, dan ia juga ke Asia Kecil melalui Aleppo. Ia sampai di Kunya

(Quniyyah) pada tahun 607 H./1210 M. Di sana ia disambut hangat

oleh Raja Kay Kaus dan penduduknya. Pengaruhnya di Konya

menyebar dengan cepat di masyarakat dan khususnya di kalangan para

sufi. Tokoh yang paling berjasa dalam proses penyebaran ajaran Ibn

„Arabī adalah Sadr al-Dīn al-Qunawi (w. 673 H./1274 M.), murid

terdekat dan terpenting Ibn „Arabī, dan menjadi komentator karya-

karya gurunya itu. Beberapa ahli mengakui bahwa al-Qunawi adalah

tokoh yang berhasil membantu pemaduan ajaran-ajaran Ibn „Arabī dan

sufisme timur.73

B. Karya-karya Ibn ‘Arabī

Dalam pengembaraan spiritualnya, Ibn „Arabī banyak menghasilkan

karya-karya ilmiah yang dinilai para peneliti amat tinggi nilai intelektual

dan spiritualnya. Selain itu, sulit untuk membedakan mana karya intelektual

72

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 47-48. 73

Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 22.

Page 46: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

35

Ibn „Arabī dan mana karya spiritualnya. Karena yang Ibn „Arabī tulis,

materinya menggambarkan kajian yang mendalam secara falsafi, juga cara

penelitian dan penulisannya seringkali menggambarkan pendekatan mistis

yang boleh jadi hasil dari sebuah pendekatan spiritual melalui “riyāḍah

(latihan) dan mujāhadah (mengekang hawa nafsu)”. Kitab Fuṣūṣ al-Ḥikam

misalnya, yang merupakan karya ilmiah yang berasal dari ilham (intuisi)

yang secara khusus diberikan Rasulullah kepada Ibn „Arabī sewaktu beliau

berada di Damaskus.74

Demikian juga dengan kitab “al-Futūḥāt al-Makkiyyah” merupakan

karya dari sebuah penyingkapan (al-Kasyf) tatkala beliau melihat

keagungan Allah di Masjīd al-Ḥarām. Dengan demikian, dalam paparan ini

penulis tidak akan membuat garis pemisah antara karya intelektual dan

karya spiritual Ibn „Arabī.

Menurut Ibrāhim Muḥammad Salim, karya tulis Ibn „Arabī tidak

kurang dari 400 judul buku. Di Perpustakaan al-Kutub al-Misriyyah ada

sebuah katalog khusus yang memuat nama-nama karya tulis Ibn „Arabī.

Bahkan seorang penulis kitab “al-Burhān al-Aẓar fī Manāqib al-Syaikh al-

Akbār”, yaitu „Abd al-Raḥmān al-Jamī„, di samping menyebutkan sebagian

besar karya-karya Ibn „Arabī, Jamī„ juga mencatat nama-nama komentator

terhadap kitab “Fuṣūṣ al-Ḥikam”. Menurut penelitiannya tidak kurang dari

36 komentator.75

74

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī (Beirut: Dār al-Kitāb al-

„Arabī, 1980), v. 1 h. 17. 75

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 90.

Page 47: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

36

Ibn „Arabī sendiri diperkirakan pernah menyebut angka 289 tulisan

di dalam sebuah catatan yang ditulisnya pada tahun 632 H./1239 M.76

Karya-karya itu menyakup persoalan metafisika, kosmologi, psikologi,

penafsiran terhadap al-Qur‟ān dan semuanya bertujuan menjelaskan makna-

makna esoterik. Menurut Stephen Hirtenstein, Ibn „Arabī menulis tidak

kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan Stephen sebanyak

30 buah, termasuk didalamnya master piece “al-Futūḥāt al-Makkiyyah” dan

magnum opus “Fuṣūṣ al-Ḥikam”.77

Kitab “Al-Futūḥāt al-Makkiyyah” (Pembukaan Spiritual Periode

Makkah), judul lengkapnya adalah al-Futūḥāt al-Makkiyyah fī Ma‘rifat al-

Asrār al-Mālikiyyah wa al-Mulkiyyah. Berisi tentang kehidupan spiritual

para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan

persoalan-persoalan mulai dari teologi, mistisisme, fiqh, dan falsafah. Kitab

ini terdiri atas 560 bab dalam empat jilid besar. Menurut perhitungan

William C. Chittick, kitab ini memenuhi 37 volume atau 18.500 halaman

untuk keseluruhan teks dalam edisi kritis Utsmān Yaḥyā.78

Menurut

pengakuan Ibn „Arabī, bahwa kitab ini didiktekan Allah melalui malaikat

Jibrīl. Karya ini mulai ditulis di Makkah pada tahun 598 H./1202 M., dan

selesai di Damaskus pada tahun 629 H./1231 M. untuk versi pertama dan

pada tahun 636 H./1238 M. untuk versi kedua.79

76

Lihat Abū „Alā. „Afīfī, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabī, terj. Syahriri Mawi dan

Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 3. 77

Stephen Hirtenstein, The Unlimited Mercifier, terj. Tri Wibowo (Dari

Keragaman ke Kesatuan Wujud) (Jakarta: Rajagrafindo, 2001), h. 12. 78

Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 25. 79

Lihat A.E. „Afīfī, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabī, judul asli, h. 3.

Page 48: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

37

Kitab al-Futūḥāt al-Makkiyyah ditulis setelah Ibn „Arabī mendapatkan

futūḥ (penyingkapan spiritual), ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh sebab

itu, ia memberikan judul kitabnya itu dengan “al-Futūḥāt al-Makkiyyah”

(Penyingkapan Spiritual Periode Makkah). Ibn „Arabī memulai kitab tersebut

dengan kajian teologis sebagai dasar pijakan ajaran spiritual.80

Menurut al-Sya„rānī, bahwa kitab tersebut merupakan literatur yang

paling komprehensif mengenai tasauf. Bahkan, kitab tersebut mencakup

pelbagai rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika

pemikiran para intelektual Muslim. Al-Sya„rānī juga menambahkan bahwa

jika kitab itu dibaca seorang ahli hukum maka ilmunya akan bertambah,

begitu juga jika seorang ahli interpretator, teologi, ahli ḥadīts dan ahli ilmu

lainnya membaca kitab itu, maka wawasannya akan bertambah luas.81

Kitab Ibn „Arabī berikutya adalah “Fuṣūṣ al-Ḥikam” (Untaian

Permata Kebijaksanaan). Meskipun kitab ini tidak terlalu besar, tetapi

merupakan karya Ibn „Arabī yang amat penting. Kitab ini dianggap banyak

peminat sebagai intisari dari ajaran Syaikh al-Akbār. Itulah sebabnya

banyak para pakar yang mencoba mengomentari kitab ini. Secara umum

isinya menjelaskan tentang hubungan setiap Nabi dengan asal dan sumber

ilmunya yang tak lain adalah al-Insān al-Kāmil atau al-Ḥaqīqah al-

Muḥammadiyyah.82

80

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 5 h. 312. 81

Al-Sya„rānī, al-Kibrītal-Aḥmar, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005),

h. 7. 82

Noer Iskandar Al-Barsani, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, h. 156.

Page 49: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

38

Diakui Ibn „Arabī, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi saw

untuk diajarkan pada umat manusia. Kitab ini terdiri dari 27 bab, setiap bab

mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai dari

nabi „Ādam dan ditutup dengan Nabi Muḥammad. Secara keseluruhan kitab

Fuṣūṣ al-Ḥikam memresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda

menuju kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muḥammad.

Kitab ini disusun pada tahun 627 H./1230 M. di Damaskus, sepuluh tahun

sebelum ia wafat.83

Pencantuman nama nabi sebagai judul setiap bab sesuai dengan

kebijaksanaan (ḥikmah) yang dijelaskan dalam setiap bab. Setiap nabi yang

disimbolkan Ibn „Arabī dengan faṣ (pengikat permata pada cincin),

menggambarkan suatu aspek tertentu dari kebijaksanaan Ilahi yang terjelma

(tajallī) pada setiap nabi itu, yang menjadi lokus penampakkan diri (majlā)

Allah. Jumlah 27 nabi dalam kitab tersebut dikarenakan Ibn „Arabī

menambahkan Nabi „Uzayr dan Khālid Ibn Sinān.84

Karya-karya Ibn „Arabī, sebagaimana telah dijelaskan di atas, ada

yang masih berupa manuskrip dan ada yang sudah dicetak dan

dipublikasikan. Selain dua karya di atas, berikut ini penulis ungkap kitab-

kitab penting Ibn „Arabī yang telah dicetak penerbit dan dipublikasikan.

Kitab “al-Mawāqi‘ al-Nujūm wa Maṭāli‘ Aḥillāt al-Asrār wa al-

‘Ulūm” (Tempat Beredarnya Bintang-bintang dan Meneliti Rahasia-rahasia

Bulan Sabit dan Ilmu). Kitab ini telah ditahqiq dan diterbitkan secara luas

83

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī, v. 1 h. 17. 84

Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 28.

Page 50: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

39

oleh Alam el-Fikr Book Shop, Cairo tahun 1998. Kitab ini mengungkap

secara mistis tentang hidayah, astrologi, hati, dzikir, dan beberapa uraian

tentang akhak termasuk di dalamnya adab terhadap guru dan mursyid. Kitab

ini ditulis Ibn „Arabī pada 11 Ramadan, tahun 595 H./1199 M. Judul kitab

ini “mawāqi‘ al-Nujūm” diambil dari sumpah Allah dalam surah al-

Wāqi„ah.

Lalu kitab “Misykāt al-Anwār fī Aḥādits al-Syārifah” (Relung-relung

cahaya dalam ḥadits-ḥadits Mulia). Kitab ini memuat dan menjelaskan 101

buah ḥadīts Qudsi yang berkaitan dengan falsafah dan mistisisme Islam.

Penjelasannya amat mendalam dan diungkap dalam bahasa yang singkat

tetapi padat (ījāz).85

Kitab “Dīwān Ibn ‘Arabī” (Kumpulan Puisi Ibn „Arabī), kitab ini

berisi puisi-puisi ciptaan Ibn „Arabī yang berkaitan dengan berbagai

permasalahan keagamaan dan kehidupan. Kitab ini ditahqiq oleh Aḥmad

Ḥasan Bāj dan diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Beirut. Lalu

kitab al-Risālah al-Wujūdiyyah, sesuai dengan namanya kitab ini berisi

sebuah risalah yang secara spesifik menjelaskan makna Ḥadīts “Man ‘arafa

nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. Dari penjelasan Ḥadīts ini selanjutnya Ibn

„Arabī mengajak pembaca untuk memahami konsep waḥdah al-wujūd yang

merupakan ide dasar dalam berbagai pemikiran falsafahnya.86

85

Ibn „Arabī, Misykāt al-Anwār fimā ruwiya ‘an Allāh subḥānahu min al-

Akbār, (Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1999), h. 3. 86

Ibn „Arabī, al-Risālah al-Wujūdiyyah, (Cairo: Maktabah al-Qāhirah, tt), h.

13.

Page 51: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

40

Kitab “Syajarāh al-Kaun” (Pohon Eksistensi), kitab ini bercerita

tentang keunikan person Muḥammad dalam hubungannya dengan Allah,

manusia dan alam semesta secara keseluruhan. Kitab ini amat menarik

banyak pemerhati falsafah Islam. Itulah sebabnya banyak orang yang

mengajinya secara serius, misalnya „Abd al-Raḥmān Ḥasan Maḥmūd.

Sarjana Barat yang mendalami materi ini, antara lain A. Jeffery, ia

menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Ibn

‘Arabī’s Syajarāh al-Kaun”. Demikian juga Gloton ke dalam bahasa

Prancis dengan judul “L’Arbre du Monde”.87

Kitab Tadbīrāh al-Ilāhiyyah (Pemerintahan Ilahi). Judul lengkap

kitab ini adalah Tadbīrāt al-Ilāhiyyah fī Iṣlāḥ al-Mamlakah al-Insāniyyah.

Kitab ini mengupas tentang sistem pemerintahan dalam Islam. Agak unik

memang, Ibn „Arabī merupakan sosok manusia ensiklopedis. Ia mampu

membahas tasauf dan falsafah secara mendalam, fikih dan tafsir secara

mumpuni. Demikian juga masalah teori kepemimpinan dan sistem

pemerintahan, seperti yang ia ungkapkan dalam kitab ini. Kitab ini

diterbitkan oleh Penerbit „Ālam al-Fikr. Midan Sayyidina al-Ḥusain al-

Azhar al-Syarīf.

Kitab “‘Aqīdah fī al-Tauḥīd” (Akidah Tauḥīd) atau “‘Aqīdah ahl al-

Islām” (Akidah Islam). Kitab teologis ini ditahqiq oleh „Abd al-Raḥmān

Ḥasan Maḥmūd dan diterbitkan oleh Maktabah „Ālam al-Fikr, Cairo, Mesir.

Materinya sendiri terutama membahas tentang masalah-masalah keyakinan

87

Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 28. Lihat dalam catatan kakinya,

Ibn „Arabī, L’Arbre du Monde, terj. M. Gloton (Paris: Les Deux Oceans, 1982)

Page 52: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

41

meliputi apa yang wajib diyakini, bagaimana cara kita meyakini (iman)

yang baik dan benar, juga apa saja hal-hal yang dapat merusak iman.

Selanjutnya kitab “al-Anwār fimā Yamnahu Ṣāḥib al-Khalwah min Asrār li

Ibn ‘Arabī” (Rahasia Cahaya-cahaya Sebelah Kanan-Nya bagi mereka yang

melakukan khalwat, oleh Ibn „Arabī). Tulisan Syaikh yang besar ini

ditahqiq oleh penahqiq yang sama dengan kitab sebelumnya. „Abd al-

Raḥmān Ḥasan Maḥmūd, dan diterbitkan oleh Maktabah „Ālam al-Fikr,

Cairo, Mesir.

Di antara karya-karya Ibn „Arabī yang belum dipublikasikan,

menurut Ibrāhim Muḥammad Salim, antara lain adalah kitab “al-Tauqī‘āt”.

Kitab ini merupakan kumpulan risalah-risalah Ibn „Arabī. Karya yang

lainnya adalah Syuzūn al-Masyjūn. Kitab ini merupakan kitab yang unik

yang mengulas secara mendalam tentang rahasia-rahasia segala ciptaan dan

mengupas pula tentang ilmu pengetahuan yang konvensional. Kedua

manuskrip ini, menurut Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salim, dapat

dilihat di Perpustakaan “Dār al-Kutub al-Misriyyah”. Adapun kitab lain Ibn

„Arabī dalam bidang tafsir, yaitu al-Tafsīr al-Kabīr yang tidak kurang dari

64 jilid.88

Masih banyak karya Ibn „Arabī lainnya yang tidak ditulis dalam

skripsi ini.

Pribadi Ibn „Arabī yang sangat haus akan ilmu pengetahuan, ini

terlihat dari bagaimana dirinya melakukan eksplorasi terhadap disiplin ilmu

lainnya. Akan tetapi, semua itu dilakukan untuk memfungsikan dan

88

Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-

Hatimiyyah, h. 91.

Page 53: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

42

mengarahkan demi sebuah tujuan awal, yaitu tasauf. Hal lain yang juga

menjadi salah satu ciri khas dalam diri Ibn „Arabī, yang membedakan

dengan penulis buku ke-Islaman lainnya ialah tema yang diusung Ibn

„Arabī hanya satu: tasauf dan ilmu relung hati (‘ilm al-asrār).89

89

Ibrahim Muhamad al-Fayumi, Ibn ‘Arabī Menyingkap Kode Dan Menguak

Simbol Dibalik Paham Wiḥdah al-Wujūd, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 17.

Page 54: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

43

BAB III

EPISTEMOLOGI ISLAM

A. Pengertian Epistemologi

Epistemologi sebagai salah satu cabang pokok bahasan dalam

wilayah falsafah ini, berusaha membicarakan tentang seluk beluk

pengetahuan.1 Persoalan sentral epistemologi sendiri ialah mengenai apa

yang dapat kita ketahui, dan bagaimana cara mengetahuinya.2 Epistemologi

sebenarnya bermaksud mengaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum

dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu

diperoleh dan diuji kebenarannya.3 Jadi, dapatlah dikatakan bahwa

epistemologi adalah pengetahuan mengenai pengetahuan yang juga sering

disebut “teori pengetahuan (theory of knowledge)”. Secara lebih rinci

pokok bahasan epistemologi adalah meliputi hakikat dan sumber

pengetahuan,

metode memeroleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan

pengetahuan.4

Term epistemologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani:

episteme = knowledge, pengetahuan + logos = teori. Istilah epistemologi

pertama kali muncul pada tahun 1854 M. oleh J.F. Rarrier yang membuat

perbedaan antara dua cabang falsafah, yaitu ontologi (Yunani: on = being,

1Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007), h. 42. 2Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Al-Ruzz Media,

2008), h. 117. 3J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:

Kanisius, 2002), h. 18. 4Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara,

2008), h. 26.

Page 55: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

44

wujud, apa + logos = teori) dan epistem. Ontologi sendiri sering

disinonimkan dengan metafisika, meskipun yang disebutkan terakhir ini

dapat berarti ontologi yang merupakan teori tentang apa, juga berarti pula

epistemologi sebagai teori pengetahuan.5

Sementara secara terminologis terdapat berbagai corak definisi

namun pada dasarnya sama yakni mengacu pada teori pengetahuan (theory

of knowledge), di antaranya menurut failasuf besar Yunani kuno Aristoteles,

episteme adalah “an organized body of rational knowledge with its proper

object” (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan

obyeknya sendiri yang tepat).6 Selanjutnya menurut Jujun S. Suriasumantri,

epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap

proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memeroleh pengetahuan.7

Menurut Musa Asy‟arie epistemologi merupakan cabang falsafah yang

membicarakan hakikat ilmu dan ilmu sebagai proses usaha pemikiran yang

sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat

pada suatu obyek kajian ilmu.8

Secara kritis, epistemologi mengaji pengandaian-pengandaian dan

syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya hubungan antar

pengetahuan sekaligus mencoba memberi pertanggungjawaban rasional

5Milton D. Hunnex, Peta Filsafat, Pendekatan Kronologis dan Tematis, terj. Zubair

(Bandung: Teraju, 2004), h. 7-8. Dapat dilihat juga dalam Loren Bagus, Kamus Filsafat

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 212. 6The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 1.

7Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan

Tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 9. 8Musa Asy‟arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir (Yogyakarta: LESFI,

2002), h. 63.

Page 56: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

45

terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya. Secara fundamental,

epistemologi atau falsafah pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu

upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif

pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan

alam sekitarnya, yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis.9

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa epistemologi

merupakan cabang falsafah yang membahas pengetahuan. Ia merupakan

ilmu pengetahuan falsafah yang berusaha memeroleh pengetahuan dan

hakikat pengetahuan. Dalam epistemologi yang dibahas adalah obyek

pengetahuan, sumber dan alat untuk memeroleh pengetahuan, metode,

validitas pengetahuan dan kebenaran pengetahuan.10

B. Model-model Epistemologi Islam

Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran,

yakni empirisme, rasionalisme, dan intuitisme. Sementara dalam pemikiran

falsafah Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam,

yakni teks suci, akal, dan pengalaman pribadi.11

Dalam kajian pemikiran

Islam sendiri terdapat beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori

pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam

Islam, yakni bayāni, burhāni, dan ‘irfāni, yang masing-masing memunyai

pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.

9Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 117.

10C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta:

Gramedia, 1983), h. 3. 11

Swami Nikhilananda, Hinduisme It’s Meaning for The Liberation of The Spirit

(New York: Harper, 1958), h. 4.

Page 57: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

46

1. Epistemologi Bayānī

Bayāni12

adalah sistem epistemologi eksplikasi yang terdapat

dalam bidang filologi, jurisprudensi Islam, usul fiqh, teologi dialektis

(kalām), dan balaghah. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari

akumulasi prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of

discourse) teks-teks primer keagamaan. Karakteristik dari episteme

eksplikasi ini secara umum menggunakan metode analogis. Penyebutan

terhadap episteme ini juga berbeda-beda, misalnya para ahli hukum dan

nahwu menyebutnya dengan istilah qiyās, para teolog menamakannya al-

istidlāl bi al-syāhid, ‘alā al-ghā’ib, sementara ahli balaghah memilih

istilah al-taṣbīh.13

Bayāni sendiri merupakan metode pemikiran khas Arab yang

didasarkan atas otoritas teks (naṣ), secara langsung atau tidak langsung,

dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlāl).

Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan

langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran, sedangkan secara

tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah

sehingga perlu penafsiran dan penalaran. Namun demikian, bukan berarti

akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, karena tetap

12

Secara etimologis bayāni berasal dari kata-kata bahasa Arab, yang berarti

penjelasan (eksplanasi). Al-Jābirī menyatakan bahwa berdasarkan beberapa makna yang

diberikan kamus “Lisān al-‘Arāb”, yakni sebuah kamus karya pertama yang belum

tercemari pengertian lain tentang kata ini, memberikan arti sebagai “al-Faṣl wa infiṣā”

(memisahkan dan terpisah), “al-ẓuhūr wa al-iẓār” (jelas dan penjelasan). Makna “faṣl wa

infiṣāl” dalam kaitannya dengan metodologi, sedang “infiṣāl wa ẓuhūr” berkaitan dengan

visi (ru’y) dari metode bayāni. Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 20. 13

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 13.

Page 58: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

47

harus bersandar pada teks (naṣ). Karena dalam bayāni, rasio dianggap

tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali jika rasio disandarkan pada

teks (naṣ).14

Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayāni adalah

aspek eksoteriknya (syarī‘at), dan sumber pengetahuannya adalah teks

(naṣ) al-Qur‟ān dan ḥadīts.15

Sehingga, wajar epistemologi bayāni

menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi

ke generasi.16

Hal ini menjadi sangat penting karena sebagai sumber

pengetahuan, benar tidaknya transmisi teks akan menentukan benar

salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks (naṣ) bisa

dipertanggungjawabkan maka teks (naṣ) tersebut benar dan bisa dijadikan

dasar hukum. Begitu juga sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka

kebenaran teks (naṣ) tidak bisa dipertanggungjawabkan dan itu berarti

tidak bisa dijadikan landasan hukum.17

Oleh karena itulah, mengapa pada masa tadwīn (kodifikasi),

khususnya pada masa kodifikasi ḥadīts, para ilmuan begitu ketat dalam

menyeleksi sebuah teks (naṣ) yang diterima. Dari upaya-upaya seleksi

tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan

14

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 38. 15

„Abd al-Wahhāb Khalaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, terj. Madar Helmi (Bandung:

Gema Risalah Press, 1996), h. 22. 16

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 116. 17

M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Ḥadīṭs, terj. Yamin (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996), h. 143.

Page 59: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

48

memastikan keaslian sebuah teks (naṣ) keagamaan, seperti al-Jarḥ wa al-

Ta‘dīl, al-Muṣṭalah al-Ḥadīts, al-Rijāl al-Ḥadits dan seterusnya.18

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa bayāni sangat

berkaitan dengan teks (naṣ) dalam hubungannya dengan realitas. Dengan

begitu, persoalan pokoknya adalah sekitar kata-makna (lafaẓ-ma‘nā), dan

uṣūl-furū‘ (dasar-cabang).19

Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks (naṣ),

epistemologi bayāni menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada

redaksi (lafaẓ) teks (naṣ), dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,

seperti naḥw dan ṣarāf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode

qiyās (analogi) dan inilah prinsip dasar epistemologi bayāni.20

Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empat

macam cara. Pertama, berpegang pada tujuan pokok (al-maqāṣid al-

ḍarūriyyah) yang mencakup lima kepentingan vital, yakni menjaga

keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam penerapannya,

menggunakan induksi tematis (al-istiqra’ al-ma’wī) dan disitulah tempat

penalaran rasional.21

Kedua, berpegang pada ‘illat (sebab) teks (naṣ). Hal ini dilakukan

untuk menemukan dan mengetahui adanya ‘illat suatu teks (naṣ). Dalam

18

M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Ḥadits, terj. Yamin, h. 143. 19

Misalnya, apakah suatu teks (naṣ) dimaknai sesuai konteksnya atau makna

aslinya (tauqīf)?. Bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung

dalam teks suci?. Bagaimana memaknai istilah-istilah khusus dalam “al-asmā’ al-

syar‘iyyah”, seperti kata ṣalat, ṣiyām, zakah, dan lainnya. Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-

‘Arabī, h. 58-62. 20

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 530. 21

Al-Syāṭibi, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Aḥkām, cet. III, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), h.

62-64. Lihat juga al-Buṭi, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Beirut:

Mu‟assasah, tt), h. 249-254.

Page 60: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

49

hal ini, digunakan sebuah sarana yang memerlukan penalaran yang disebut

„jalan ‘illat‟ (masālik al-‘illat) yang terdiri atas tiga hal, 1) ‘illat yang telah

ditetapkan oleh teks (naṣ), seperti ‘illat tentang kewajiban mengambil 20%

harta fay (rampasan) untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar di

kalangan orang kaya saja (QS. al-Ḥasyr: 7). 2) ‘illat yang telah disepakati

oleh para mujtahid, misalnya ‘illah menguasai harta anak yang masih kecil

adalah karena kecilnya. 3) al-Sibr wa al-taqsīm (trial) dengan cara

merangkum sifat-sifat baik untuk dijadikan ‘illat pada asal teks (naṣ).

Kemudian, ‘illat itu dikembalikan kepada sifat-sifat tersebut agar bisa

dikatakan bahwa ‘illat itu bersifat begitu atau begini.22

Cara kedua ini

lebih lanjut memunculkan metode qiyās (analogi) dan istiḥsān, beralih dari

sesuatu yang jelas kepada sesuatu yang masih samar, karena adanya alasan

yang kuat untuk pengalihan itu.23

Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks (naṣ). Arti tujuan

sekunder di sini adalah tujuan yang mendukung terlaksanakanya tujuan

pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan pemahaman materi

kuliah pada mahasiswa, tujuan sekundernya adalah memberikan tugas.

Adanya tugas akan mendukung pemahaman kuliah yang diberikan. Sarana

yang digunakan untuk menemukan tujuan sekunder teks (naṣ) adalah

22

„Abd al-Wahhāb Khalaf, Ilm Uṣul Fiqh, h. 127-35. 23

Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos, 1997), h. 139-

141. Uraian lengkap tentang detail-detail istiḥsān, lihat Iskandar Usman, Istiḥsān dan

Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 1994), h. 33.

Page 61: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

50

istidlāl, yakni mencari dalil dari luar teks (naṣ), berbeda dengan istimbāt

yang berarti mencari dalil pada teks (naṣ).24

Keempat, yakni berpegang pada diamnya syar‘ī. Hal ini digunakan

untuk masalah-masalah yang sama sekali tidak ada ketetapannya dalam

teks (naṣ) dan tidak bisa dilakukan dengan qiyās. Caranya adalah dengan

kembali pada hukum pokok (aṣl) yang telah diketahui. Misalnya, hukum

asal mu‘āmalah adalah boleh (al-aṣl fī al-ma‘āmalah al-ibāḥah), maka

jual beli lewat internet (online shop) yang tidak ada ketentuannya berarti

boleh, tinggal bagaimana mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini

melahirkan teori istisḥāb, yakni menetapkan sesuatu berdasar keadaan

yang berlaku sebelumnya selama tidak ditemui dasar/dalil yang

menunjukkan perubahannya.25

2. Epistemologi Burhānī (Demonstratif)

Berbeda dengan epistemologi bayāni dan ‘irfāni, yang masih

berkaitan dengan teks suci. Epistemologi burhāni sama sekali tidak

mendasarkan diri pada teks (naṣ), juga tidak pada pengalaman. Namun,

epistemologi burhāni berdasar pada metode observasi empiris dan

inferensi rasional (al-istintāj al-‘aqli).26

Karena, sumber pengetahuannya

adalah rasio, bukan teks (naṣ) atau intuisi (ilhām). Sehingga, dalam

24

„Abd al-Wahhāb Khalaf, Ilm Uṣul Fiqh, h.154. 25

„Abd al-Wahhāb Khalaf, Ilm Uṣul Fiqh, h.154. 26

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 383.

Page 62: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

51

epistemologi burhāni, rasio inilah yang memberikan penilaian dan

keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.27

Epistmologi burhāni (demonstratif) secara sederhana bisa diartikan

sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi

(qāḍiyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintāj) dengan mengaitkan

proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti

kebenarannya secara aksiomatik (badīhi).28

Menurut al-Jābīri,29

prinsip-prinsip burhāni pertama kali dibangun

oleh Aristoteles (384-322 SM.) yang dikenal dengan istilah metode

analitik (taḥlīli), yaitu suatu cara berpikir (pengambilan keputusan) yang

didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi ḥamliyyah (categorical

proposition) atau proposisi syarṭiyyah (hypothetical proposition). Pada

masa Alexander Aphrodisi, murid serta komentator Aristoteles,

mengggunakan istilah logika dan ketika masuk dalam khazanah pemikiran

Islam berganti nama menjadi burhāni.30

27

Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl fīmā Bayn al-Ḥikmah wa al-Syar‘īah min al-Ittiṣāl,

ed. M. Imarah (Mesir: Dār al-Ma„ārif, tt), h. 56. 28

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 383. 29

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 384-385. Metode analitik ini kemudian

oleh madzhab Iskandariyah disebut dengan logika atau manṭiq. Madzhab Iskandariyah

adalah aliran falsafah Yunani yang banyak mengajarkan pikiran-pikiran Aristoteles, Di

samping Plato. Visi utamanya menyelaraskan falsafah dan agama. Sebagai lawannya

adalah madzhab Anthenian (Hellenistik) yang lebih banyak mengajarkan falsafah neo-

platonis. Al-Farābī termasuk murid dari madzhab Iskandariyyah dan banyak belajar pula

pada madzhab Anthenian. Uraian lebih panjang, lihat Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan

Fondasi Filsafat Islam”, dalam jurnal Al-Ḥikmah, edisi 4, (Bandung: Februari, 1992), h.

63-64. 30

„Abd al-Mun„im al-Ḥanafī, Al-Mu‘jam al-Falsafī,(Kairo: Dār al-Syarqiyyah,

1990), h. 258-259. Lihat juga Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar (Bandung: Remaja

Karya, 1989), h. 154. Di sana dikatakan bahwa metode analitika atau silogisme terbagi

dalam dua bentuk; silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah

bentuk silogisme di mana premis-premisnya didasarkan atas data-data tak terbantah,

mutlak tidak tergantung pada suatu syarat. Silogisme hipotesis adalah bentuk silogis yang

Page 63: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

52

Ciri utama dari epistemologi burhāni adalah silogisme, akan tetapi

silogisme tidak mesti menunjukkan burhāni. Dalam bahasa arab, silogisme

diterjemahkan dengan ʽqiyās’ atau ʽal-qiyās al-jam‘ī yang mengacu pada

makna asal, yakni mengumpulkan. Sedangkan secara terminologis,

silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang

disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah

keputusan (konklusi) pasti menyertai.31

Dalam hal memeroleh pengetahuan, epistemologi burhāni

menggunakan aturan silogisme.32

Mengikuti Aristoteles, penarikan

kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, 1)

mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, 2) adanya konsistensi

logis antara alasan dan kesimpulan, 3) kesimpulan yang diambil harus

bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran

atau kepastian lain.33

Sebagai seorang failasuf Muslim, al-Farābī memersyaratkan bahwa

premis-premis burhāni harus merupakan premis-premis yang benar,

primer, dan diperlukan. Bagi al-Farābī, premis yang benar adalah premis

yang memberi keyakinan, meyakinkan.34

Akan tetapi, suatu premis bisa

dianggap meyakinkan apabila memenuhi tiga syarat, 1) kepercayaan

premis-premisnya tidak merupakan pernyataan mutlak melainkan tergantung pada sesuatu

syarat. 31

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 385. Di sini dijelaskan sejarah panjang

silogisme demonstratif, mulai dari Aristoteles sampai al-Farābī, dan hubungan burhāni

dengan persoalan bahasa. 32

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 385. 33

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 433-436. 34

Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 106.

Page 64: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

53

bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, 2)

kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang

lain selain darinya, 3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak

mungkin sebaliknya.

Epistemologi burhāni bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-

jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa obyek-obyek pengetahuan

indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, di manapun,

dan kapanpun, serta tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.35

Selanjutnya, derajat di bawah silogisme burhāni adalah “silogisme

dialektika”, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis.

Silogisme dialektika adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-

premis yang hanya bertaraf mendekati keyakinan, tidak sampai derajat

meyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme

dialektika juga berupa opini-opini yang secara umum diterima

(masyhūrāt), dan yang ini biasanya diakui atas dasar keimanan atau

kesaksian orang lain, tanpa diuji secara rasional. Oleh karena itu, nilai

pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan

yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Karena dialektika

berada di bawah pengetahuan demonstratif.36

3. Epistemologi ‘Irfānī (Gnostisisme).

35

Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 106. 36

Sebagai perbandingan, lihat Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl, h. 56-67.

Page 65: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

54

Secara etimologis ‘Irfān berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa

semakna dengan ma‘rifat, yang berarti pengetahuan.37

Tetapi, ia berbeda

dengan ilmu (‘ilm). ‘Irfān atau ma‘rifat sendiri berkaitan dengan

pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman

(experience), sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh

lewat transformasi (naql) atau rasionalitas („aql). Secara terminologis,

‘irfān bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang

diperoleh lewat penyinaran (al-fayḍ) hakikat oleh Allah kepada hamba-

Nya melalui kasyf (penyingkapan realitas hakikat) setelah adanya olah

ruhani (riyāḍah) yang dilakukan atas dasar cinta (ḥubb) kepada Allah.38

Jadi, pengetahuan ‘irfāni tidak didasarkan atas teks (naṣ) seperti

bayāni, juga tidak atas rasio seperti burhāni, tetapi pada intuisi melalui

kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Allah yang

diberikan kepada orang-orang yang dikehendakinya. Di mana dengan olah

ruhani, dan kesucian hati, diharapkan Allah akan melimpahkan

pengetahuan langsung kepadanya.39

Setelah pengetahuan masuk dalam

hati, dan akal sudah selaras, lalu dikonsep kemudian dikemukakan kepada

orang lain secara logis.

Dengan begitu, pengetahuan ‘irfāni setidaknya diperoleh melalui

tiga tahapan, 1) persiapan, 2) penerimaan, 3) pengungkapan, dengan lisan

atau tulisan.

37

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 251. 38

Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu huduri, h. 47-48, dan 241. Lalu, Ṭabaṭaba„ī,

Pengantar dalam Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1995), h. 10. 39

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 251.

Page 66: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

55

Pertama, adalah tahap persiapan. Untuk bisa menerima limpahan

pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasanya disebut sālik (penempuh

jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spritual.

Para tokoh berbeda pendapat mengenai jumlah jenjang yang harus

dilalui.40

Akan tetapi, setidaknya ada tujuh tahapan inti yang harus

dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju

pada tingkatan puncak. 1) Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan

yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian

menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. 2) Wara‘,

yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang kurang jelas statusnya

(subḥāt). 3) Zuhūd, ialah tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan

dunia. 4) Fāqir, ialah mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari

kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, dan tidak menghendaki

sesuatu apapun kecuali Allah SWT. 5) Ṣabr (sabar) adalah menerima

segala bencana dengan laku sopan dan rela (riḍā). 6) Tawakkal, yaitu

percaya dalam kebaikan atas segala apa yang ditentukan Allah. 7) Riḍā

(rela), hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa

hanya gembira dan sukacita.41

40

Al-Qusyayrī (w. 1072 M.), mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui. Al-

Qusyayrī, al-Risālah (Beirut: Dār al-Khair, tt), h. 89-350. Sementara Abū Sa„īd Ibn Abū

al-Khair, sebagaimana dikutip Seyyed Ḥossein Naṣr, yaitu ada 40 tahapan. Seyyed

Ḥossein Naṣr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1994), h. 89-96. Sedangkan Abū Naṣr al-Ṭūsi mencatat ada 7 tingkatan, dan Ṭabaṭaba„ī

menulis ada 24 jenjang. Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Jakarta:

Rajawali Press, 2001), h. 49-72. Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, h. 120-155. 41

Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 163.

Page 67: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

56

Kedua, adalah tahap penerimaan. Jika seseorang (hatinya) telah

mencapai tingkat kejernihan dan kenetralan tertentu dalam sufisme, maka

ia akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Allah secara

illuminatif (isyrāqi) atau kasyf (penyingkapan spiritual). Pada tahap ini,

seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri mutlak melaui kasyf,

sehingga dengan kesadaran itu ia juga mampu melihat realitas dirinya

sindiri dalam musyāhadah (penyaksian realitas) sebagai bagian dari obyek

yang diketahui.42

Dengan begitu, realitas kesadaran dan realitas yang

disadari tersebut, bukanlah obyek eksternal, keduanya juga bukan sesuatu

yang berbeda melainkan merupakan eksistensi yang sama. Sehingga obyek

yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri,

begitu pula sebaliknya (al-ittihād). Jadi, jelas bahwa dalam perspekrif

epistemologis, pengetahuan ‘irfāni ini tidak diperoleh melalui representasi

atau data-data indera apa pun, dan inilah yang Mehdi Hairi Yazdi sebut

dengan “‘ilm huḍūri” (ilmu dengan kehadiran) atau pengetahuan swaobjek

(self-object-knowledge).43

Ketiga, tahap pengungkapan. Tahap ini merupakan tahap terakhir

dari proses pencapaian pengetahuan ‘irfāni. Di mana pegalaman mistik

diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau

tulisan. Akan tetapi, karena pengetahuan ‘irfāni tidak masuk dalam tatanan

konsepsi dan representasi, tetapi terkait dengan kesatuan simpleks

kehadiran Allah dalam diri dan kehadiran diri dalam Allah, sehingga tidak

42

Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, h. 51-53. 43

Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huḍuri, h. 51-53.

Page 68: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

57

bisa dikomunikasikan, maka menurut Mehdi Yazdi, tidak semua

pengalaman ini bisa diungkapkan.44

Sesuai dengan sasaran bidik epistemologi ‘irfāni, yaitu tentang

yang esoterik. Maka isu sentral ‘irfāni adalah ẓāhir (tampak) dan bāṭin (tak

tampak), bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai satu

kesatuan. Menurut Muḥāsibī (w. 1240 M.), al-Ghazālī (w. 1111 M.), Ibn

ʽArabī (w. 1240 M.), juga para sufi yang lain, bahwa teks (naṣ) keagamaan

yakni al-Qur‟ān dan ḥadīts, tidak hanya mengandung apa yang tersurat

(ẓāhir) tetapi juga mengandung apa yang tersirat (bāṭin). Aspek ẓāhir teks

(naṣ) adalah bacaannya (tilāwah) sedang aspek batinnya adalah

takwilnya.45

Jika kita analogikan dengan epistemologi bayāni, maka

konsep ẓāhir-bāṭin ini tidak berbeda dengan redaksi-makna. Letak

perbedaannya adalah jika dalam epistemologi bayāni seseorang berangkat

dari redaksi (lafaẓ) menuju makna (ma‘nā), sedangkan dalam ‘irfāni

seseorang justru berangkat dari makna menuju kata, dari bāṭin menuju

ẓāhir, atau dalam bahasa al-Ghazālī, makna sebagai aṣl (dasar) sedang kata

mengikuti makna (sebagai furū’).46

Pendapat kaum sufi tentang ẓāhir-bāṭin di atas didasarkan pada dua

sandaran. Pertama, pada al-Qur‟an, QS. Al-Luqmān: 20, al-An„am: 120,

dan khususnya al-Ḥadīd: 3, yang sekaligus digunakan sebagai fondasi

44

Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, 245-268. Steven K. Katz, Mysticisme and

Philosophical Analysis (London: Sheldon Press, 1998), h. 23. 45

Al-Jābirī, Bunyah al-‘aql al-‘Arabī, h. 275. Al-Ghazāī, Misykāt al-Anwār, ed.

„Afīfī (Kairo: Dār al-Qaumiyyah, 1964), h. 73. Ibn „Arabī, Tafsīr Ibn ‘Arabī, cet. II,

(Kairo: Bulaq, 1867), h. 2. 46

Al-Ghazālī, Misykat al-Anwār, h. 65.

Page 69: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

58

dasar dari pijakan metafisis kaum tasauf-falsafi. Kedua, ḥadīts Rasul yang

berbunyi, “Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur‟ān kecuali di sana

mengandung aspek ẓāhir dan bāṭin, dan setiap huruf mempunyai ḥad

(batas) dan maṭla‘ (tempat terbit)”.47

Persoalan berikutnya dalam ‘irfānī adalah bagaimana makna atau

dimensi bāṭin yang diperoleh dari kasyf (penyingkapan) tersebut

diungkapkan? Menurut al-Jābīri, makna bāṭin ini, Pertama, diungkapkan

dengan cara I’tibār atau qiyās ‘irfāni, yakni analogi makna bāṭin yang

ditangkap dalam kasyf (penyingkapan) kepada makna ẓāhir yang ada

dalam teks (naṣ).48

Misalnya, qiyās (analogi) yang dilakukan al-Qusyayrī

atas Q.S. Al-Raḥmān: 19-22. Berbunyi, “Dia membiarkan dua lautan

mengalir dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan”. Menurut al-

Qusyayrī, dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan rajā’

(harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni aḥwāl al-sufiyah

dan laṭā’if al-Mutawalliyyah. Di antara keduanya ada batas ini dan itu.

Maksudnya bahwa konsep sufisme tentang khauf dan rajā’ dinisbatkan

pada kata `baḥrain’ (dua lautan), sedang aḥwāl dan laṭā’if dinisbatkan

pada mutiara dan marjan. Dengan demikian, qiyās ‘irfāni ini tidak sama

dengan qiyās bayāni atau silogisme.49

47

Ibn „Arabī, Tafsīr Ibn ‘Arabī, cet. II, h. 2. Berdasarkan ḥadīts di atas, Ibn

„Arabī menyatakan bahwa ẓāhir al-Qur‟ān adalah tafsir. Sementara aspek batinnya adalah

takwil, batasannya (ḥad) adalah batas kemampuan pemahaman dan matlā’-nya adalah

puncak pendakian hamba di mana ia menyaksikan Allah. Namun, al-Jābirī menyangsikan

otentisitas ḥadīts dan tafsir ini. Karena, di bagian lain Ibn „Arabī mengatakan bahwa ia

memeroleh ḥadīts tersebut dari kasyf (penyingkapan). Tidak mengikuti rantai perawian

sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ḥadīts. Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 276. 48

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 295-6. 49

Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al‘Arabī, h. 288.

Page 70: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

59

Lalu, pengungkapkan lewat syaṭaḥāt. Hal ini, berbeda dengan

qiyās ‘irfāni yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks

(naṣ). Syaṭaḥāt ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut.

Syaṭaḥāt lebih merupakan suatu ungkapan lisan tentang perasaan wujud

(al-wijdān) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan

dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan “Subḥānī” dari Abū

Yāzid Busṭāmi (w. 877 M.), atau Anā al-Ḥaqq dari al-Ḥallaj (w. 913

M.).50

Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar saat seseorang mengalami

suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga dianggap

tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu,

karena itu pula, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran

Islam yang baku. Kendati demikian, secara umum syaṭahāt sebenarnya

diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufi sunnī ada yang

membatasi diri pada aturan syariat, yakni syarat bahwa syaṭahāt tersebut

harus ditakwilkan, ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan

pada makna ẓāhir teks (naṣ).51

Dengan demikian, syaṭahat tidak boleh

diungkapkan secara “liar” dan berseberangan dengan ketentuan syarit

yang ada.

Jadi, perbandingan ketiga epistemologi Islam ini adalah bahwa

bayāni menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu’ (cabang) kepada

yang aṣlu (dasar), sementara burhāni menghasilkan pengetahuan melalui

prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini

50

Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al‘Arabī, h. 288. 51

Al-Qusyayrī, Laṭāif al-Isyārāt, cet, III, ed. Ibrahim Basyuni, (Kairo: al-Hai‟ah

al-Misriyah, 1981), h. 507.

Page 71: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

60

kebenarannya, dan ‘irfāni menghasilkan pengetahuan lewat proses

penyatuan ruhani kepada Allah.52

Menurut Mehdi Hairi Yazdi, Ibn „Arabī bukan saja sebagai tokoh

‘irfān yang hanya menerima metode ‘irfān begitu saja secara pasif, tetapi

lebih dari itu ia juga telah berjasa dalam merumuskan epistemologi yang

dikenal dengan ‘irfān (gnosis) atau ma‘rifat tersebut.53

52

Al-Jābirī, Isykālīyat al-Fikr al-‘Arabī al-Mu‘ashir, (Beirut: Markaz Dirāsah al-

„Arabiyyah, 1989), h. 59. 53

Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat

Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 1994), h. 241.

Page 72: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

61

BAB IV

EPISTEMOLOGI TUHAN MENURUT IBN ‘ARABĪ

A. Epistemologi ‘Irfānī (Intuitif) Ibn ‘Arabī

Pandangan Ibn „Arabī tentang epistemologi ‘irfānī1 ini

sangatlah unik. Karena, meskipun basis pengetahuan intuitif Ibn „Arabī

ini adalah hati yang berdasar pada kasyf (penyingkapan spiritual), serta

obyek yang ditangkap nalar ‘irfānīnya bersifat sangat abstrak, namun

dalam pandangan Ibn „Arabī, dalam hal memeroleh pengetahuannya

tetap melibatkan peran dimensi dunia empiris. Sebab, dunia empiris

bagi Ibn „Arabī, tidak lain adalah lokus (ma‘qulat) penampakan diri

inderawi (al-tajallī al-syuhūdī) al-Ḥaqq (Tuhan Yang Maha Benar)

dalam bentuk yang berbeda-beda, dari yang konkrit kepada yang lebih

konkrit.2 Konsep tersebut di atas, tidak lepas dari pemikirannya tentang

ide ontologisnya, yaitu kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd).

Sumber dari nalar ‘irfānīnya adalah realitas pengalaman

(experience) mistik yang ditemukan langsung oleh sang gnostik (ahl al-

‘ārif) atau sufi sebagai kelompok keilmuan dalam sistem nalar ‘irfānī

1‘Irfān secara harfiah berarti “kesadaran” atau “pengetahuan”. Dalam bahasa

falsafah Islam, ia selalu digunakan dalam pengertian kesadaran yang tidak identik

dengan atau bisa diterapkan pada, pengertian normal kita tentang pengetahuan dalam

makna yang ketat. ‘Irfān sama sekali tidak boleh dipakai secara teknis dalam

pengertian pengetahuan failasuf tentang Rabb. ‘Irfān dimaksudkan untuk digunakan

dalam pengertian semacam kesadaran yang dicapai hanya melalui pengalaman mistik.

Kesadaran ini, disebut oleh para sufi Islam dengan “syuhūd” atau “musyāhadah”.

Mehdi Ha‟iri Yazdi, Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam: Menghadirkan

Cahaya Tuhan, terj. Husain Heriyanto, (Bandung: Mizan 2003), h. 65. 2T. Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical

Cosepts (Los Angeles: University of California Press, 1984), h. 154.

Page 73: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

62

ini. Melalui penjelasan di atas, penulis bermaksud mengatakan bahwa

bagi Ibn „Arabī, alat utama dalam epistemologi ‘irfānīnya adalah hati

(qalb), bukan akal maupun inderawi.

Hal ini menurut Ibn „Arabī, karena akal tidak mampu menyerap

obyek-obyek eksternal secara langsung kecuali melalui sebuah

representasi, baik berupa simbol atau konsep.3 Oleh karena, wilayah

pengetahuan akal sendiri hanya meliputi pengetahuan abstraksi (al-

tajrīda), formulasi hukum-hukum atau prinsip-prinsip dunia fisis-

sensual (uṣūl al-‘ālam anmiyyah ḥissiyyah), mengetahui eksistensi

obyek yang tak terjangkau pancaindera, baik dunia proses mental

maupun dunia metafisis.4

Lebih lanjut, Ibn „Arabī menjelaskan bahwa dalam

mekanismenya, akal juga sangat membutuhkan peran dari indera-indera

lahiriah. Sementara, indera-indera lahiriah itu juga memiliki

keterbatasan yang disebabkan oleh pengaruh karakter dan keadaan

alaminya masing-masing yang tidak dapat memersepsi realitas-realitas

nonmateri. Sehingga, dengan akal atau inderawi belaka manusia tidak

mungkin dapat menyingkap (kasyf) dan memahami hakikat-hakikat ke-

Tuhan-an (ḥaqā’iq al-Ilāhiyyah) al-Ḥaqq dan batin-batin alam (khalq)

yang merupakan obyek dari epistemologi ‘irfānī.5

3Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Maḥmūd Maṭrajī. 8 volume (Beirut:

Dār al-Fikr, 2002), v. 1 h. 288. 4Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazālī, Dimensi Ontologi dan Aksiologi,

(Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 199. 5 Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 289, dan v. 2 h. 66.

Page 74: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

63

Meskipun dikatakan bahwa pengetahuan intuitif itu tidak

menggunakan rasio sebagai sarana utamanya. Tetapi pada hakikatnya,

kebenaran yang dihasilkan melalui jalan intuisi tersebut memiliki

dasar-dasar rasionalitas yang tinggi. Sebab, dalam hal pencapaian

kebenaran itu sendiri, antara akal dan intuisi memiliki hubungan yang

erat. Pengetahuan intuitif memiliki ruang yang sama dengan

pengetahuan imajinatif. Hal ini, dapat dibuktikan dengan bahwa ilham

dan psikologis bisa timbul melalui akal ketika melakukan aktifitas

secara intens.

Misalnya, ketika seseorang berpikir dan belum menemukan

pemecahnya, lalu ia mengendapkannya dalam beberapa waktu

(incubation). Pada saat inilah pikiran dapat dijernihkan dan selanjutnya

akan terjadi ide-ide yang seakan-akan datang secara tiba-tiba tanpa

disadari. Perbedaan diantara keduanya hanya dalam metodologi dan

sistematikanya. Namun, keduanya membentuk bangunan pengetahuan

dan falsafah, sebagaimana dalam model taṣauf falsafī.6

Dalam hal epistemologi, seluruh kaum sufi sepakat bahwa

metode yang tepat untuk memeroleh pengetahuan ma‘rifat atau tajallī

adalah lewat dasar pendidikan tiga tingkat (takhallī, taḥallī, dan tajallī),

seperti laku spiritual riyāḍah (olah spiritual) dan mujāhadah

(penyiksaan/kesungguhan diri). Secara spesifik tingkatan dasar itu

6Taṣauf Faslsafī adalah suatu model tasauf yang proses dan produknya

memadukan antara visi tasauf dan falsafah. Pada satu pihak menggunakan term-term

falsafah, namun pada pihak lain menggunakan metode pendekatan intuisi

(dzauq/wijdan). Abū al-Wafā‟ al-Ghanamī al-Taftazanī, Madkhal ilā al-Taṣawwūf al-

Islāmī, (Kairo: Dār al-Tsaqafah, 1979), h. 187.

Page 75: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

64

dimulai dari tahap taubat, warā‘, dan zuhūd sebagai bentuk penyucian

diri (tazkiyāt al-nafsī) dari segala maksiat batin dan lahir. Tahapan-

tahapan ini disebut dengan tingkatan (maqām) takhallī (pembersihan

diri).7

Setelah tingkatan takhallī dilewati, tahapan selanjutnya ialah

tawakkal, riḍā’ dan seterusnya yang masuk dalam tingkatan taḥallī

(berhias/bersolek diri).8 Disebut taḥallī (berhias), ialah karena tahapan

ini merupakan tahap pengisian jiwa setelah dikosongkan dari bentuk-

bentuk maksiat batin-lahir, dan akhlāq al-madzmumah (akhlak tercela).

Tahapan ini tidak harus dipahami bahwa jiwa seorang sufi mesti

dikosongkan terlebih dahulu kemudian baru diisi. Karena, yang terjadi

sebenarnya begitu sifat-sifat tercela itu dibuang bersamaan dengan itu

sifat-sifat terpuji mengisi. Masuknya sifat-sifat terpuji tersebut pada

hati subyek merupakan proses keterhubungan dan intensitas subyek

dengan obyek yang terpuji, yaitu Tuhan.

Dalam proses tersebut di atas, menurut Ibn „Arabī setidaknya

ada beberapa hal yang harus dimiliki dan ditolak oleh orang yang

7Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj. (Kairo: al-

Tawfīqiyyah, t.t.), h. 163. 8Setidaknya ada tujuh tahapan inti yang harus dijalani, yang semua ini

berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju pada tingkatan puncak. 1) Taubat,

yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang

mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang

terpuji. 2) Warā‘, yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang kurang jelas

statusnya (subḥāt). 3) Zuhūd, ialah tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan

dunia. 4) Fāqir, ialah mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan

masa kini dan masa yang akan datang, dan tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali

Allah SWT. 5) Ṣabr (sabar) adalah menerima segala bencana dengan laku sopan dan

rela (riḍā). 6) Tawakkal, yaitu percaya dalam kebaikan atas segala apa yang

ditentukan Allah. 7) Riḍā (rela), hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga

yang tersisa hanya gembira dan sukacita. Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 163.

Page 76: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

65

memelajari tasauf sebelum ia melangkah lebih jauh, yaitu berupa lapar,

kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri, jujur, tawakkal,

sabar, tekun, dan yakin. Sementara itu, sesuatu yang harus ditolak ada

empat hal, yaitu hasrat, dunia, nafsu dan setan.9

Lalu, meskipun pengetahuan intuitif (‘irfānī) itu merupakan

pengetahuan yang terjadi secara langsung dan tanpa perantaraan

apapun. Namun, dengan melihat tahapan demi tahapan yang ada dalam

pengetahuan ini, maka pada dasarnya pengetahuan intuitif juga bukan

merupakan peristiwa yang dapat diraih secara praktis tanpa muktasab-

mujāhadah (usaha-perjuangan) dari seorang subyek ma‘rifah.

Karena, dengan melihat proses panjang, yang dimulai dengan

niat, riyāḍah, khalwat, ‘uzlah, mujāhadah (menahan diri dari segala

hal) dan lain sebagainya. Semua proses tersebut merupakan upaya ke

arah proses pencerahan batin agar dapat menangkap obyek-cahaya

pengetahuan (nūr al-ma‘rifah) dan kebenaran tentang ke-Tuhan-an.10

Abū al-Qāsim al-Qusyayrī menjelaskan tentang khalwat, dan

‘uzlah dalam kitab al-Risālah al-Qusyayrī, ia mengatakan bahwa

khalwat (menyepi) merupakan sifat ahli sufi, sedangkan ‘uzlah

9Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2004), h. 150-

151. 10

Muḥammad „Utsmān Najatī, ‘Ilm al-Nafs fī Ḥayātinā al-Yaumiyyah

(Quwait: Dār al-Qalam, 1980), h. 238-330. M. Amin Syukur dan Masyaruddin,

Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazālī, (Semarang,

LembKota, 2002), h. 114.

Page 77: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

66

(mengasingkan diri) merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang

bersambung dengan Tuhannya.11

‘Uzlah sendiri secara esensial berarti menghindarkan diri dari

perilaku tercela. Ada juga yang berpendapat bahwa bagian dari urgensi

‘uzlah adalah menghasilkan kemuliaan. Hakikat seorang hamba yang

melaksanakan ‘uzlah hendaknya diniatkan karena Allah dengan

maksud menjaga keselamatan orang lain dari niat buruknya kepadanya,

dan jangan bermaksud menjaga keselamatan dirinya sendiri dari niat

buruk orang lain. Sebagai dari tata cara ‘uzlah adalah untuk memeroleh

ilmu-ilmu yang dibenarkan oleh akidah tauḥīd agar ia tidak diganggu

oleh setan. Selain itu, untuk memeroleh ilmu-ilmu syariat atas dasar

kewajiban sehingga bentuk perintahnya menjadi pondasi yang kuat dan

akurat.

Sedangkan khalwah menurut al-Qusyayrī adalah perbuatan yang

paling dicintai untuk mendorong rasa rindu (gharam). Hakikat khalwah

itu sendiri adalah pemutusan hubungaan dengan makhluk menuju

penyambungan hubungan dengan al-Ḥaqq. Hal itu, dikarenakan

khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dari hati

menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia

11

Sebagai catatan, kitab “Risālah al-Qusyayrī” merupakan kitab tasauf

pertama yang dibaca Ibn „Arabī sebelum dirinya mengenal literatur dan terminologi

tasauf. Isi kitab ini sangat memengaruhi pemikirannya ke depannya. Ibn „Arabī

mengenal kitab Risālah al-Qusyayrī ini melalui pemberian Abū Ya„qūb b. Yakhlūf al-

Kūmī selaku gurunya di Andalusia. Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, (Damaskus: al-

Mu„assasah al-„Ilm, 1964). h. 49.

Page 78: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

67

menuju Dzāt Pemberi segalanya.12

Bersamaan dengan proses tersebut,

sesungguhnya tanpa disadari telah terjadi pula proses intelektualisasi

secara terselubung.13

Semua proses tersebut di atas, akan memunculkan “kesiapan

azali” (al-isti‘dād al-azalī) atau “kesiapan universal” (al-isti‘dād al-

kullī) kepada kalbu sang gnostik (qalb al-‘ārif). “Kesiapan universal”

ini diberikan oleh al-Ḥaqq sebagaimana terdapat dalam “entitas-entitas

permanen” (al-a‘yān al-tsābitah), untuk selanjutnya menerima hujaman

atau limpahan (emanasi) nūr al-ma‘rifah (cahaya pengetahuan) dari al-

Ḥaqq.

Cahaya (nūr) yang Allah hujamkan ke dada seorang ahl al-‘ārif

(sang gnostik) itu merupakan kunci sebagian besar ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, barangsiapa yang mengira bahwa tersingkapnya

pengetahuan hanya tergantung dalil-dalil (rasionalis-empiris) saja,

maka jelas ia telah mempersempit akses dan ruang rahmat Allah al-

Wāsi‘ (Yang Maha Luas) bagi dirinya sendiri. Dari cahaya (nūr) itulah

hendaknya dicari tersingkapnya suatu ilmu (kasyf).14

12

Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 196-200. 13

Muḥammad „Utsmān Najatī, ‘Ilm al-Nafs fī Ḥayātinā al-Yaumiyyah, h. 238-

330. M. Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi

Intelektualisme Tasawuf al-Ghazālī, h. 114. 14

Metode yang digunakan oleh para sufi dikenal dengan kasyf (penyingkapan)

yang merupakan metode dzauq (rasa) yang khusus, yaitu penemuan-penemuan batin

secara langsung yang berbeda dari penemuan-penemuan panca indera secara

langsung, dan penemuan-penemuan akal secara langsung atau ḥads. Abū al-Wafā‟ al-

Ghanamī al-Taftazanī, Madkhal ilā al-Taṣawwuf al-Islāmī, h. 173. Muhammad

Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori

Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 197, 203.

Page 79: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

68

Dzauq dalam ma‘rifat Allāh (pengenalan terhadap Allah) ini

adalah merupakan suatu cahaya pengetahuan (nūr al-ma‘rifah) yang

dianugerahkan oleh al-Ḥaqq dengan kemulian-Nya ke dalam sanubari

auliyā’-Nya, sehingga dengan perantaraannya mereka mampu

membedakan antara yang hak dan yang batil, tanpa mengandalkan

dalam perbedaan itu kepada kitab atau lainnya.15

Dengan begitu, makna mukāsyafah (penyingkapan) menurut Ibn

„Arabī, tidak lain adalah ma‘rifah al-Ilāhiyyah (pengetahuan ke-Tuhan-

an), yang khusus diberikan kepada hamba-Nya yang dianggap telah

memiliki kesiapan universal (al-isti‘dād al-kullī) untuk menerimanya.

Ibn „Arabī juga mengatakan bahwa ini adalah metode yang paling

unggul di antara metode yang lain, sebagaimana ungkapannya berikut:

“‘Ilm kasyā’if a‘lām martabah, wahiya al-dalīl ‘alā al-maṭlūbi lirrasal,

wahiya allatī ḥajabtu asrār dzī ‘ammuhu, wahiya allatī kasyaftu

mu‘ālim al-subul”.16

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa kekhasan nalar ‘irfānī

Ibn „Arabī ialah terletak pada sifatnya yang langsung (intuitif). Di sini

jugalah letak keragu-raguan epistemologi Barat terhadap pengetahuan

intuitif, ialah karena metode ‘irfānī ini tidak bisa diuji coba

sebagaimana metode yang lainnya. Namun demikian, sebenarnya

keragu-raguan itu dapat disingkirkan dengan tiga hal sebagai kriteria

untuk mengujinya, yakni moralitas subyek, akal sehat sebagai alat

15

Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 155-156. 16

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 196.

Page 80: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

69

melihat dan keahlian subyek secara tepat. Memang pengetahuan ini

tidak memiliki rumus yang pasti, tetapi secara realitas ada. Adanya

hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan dan sulit diungkapkan

dalam bentuk kata dan ucapan. Sehingga, tidaklah tepat jika dikatakan

bahwa pengetahuan ‘irfānī adalah hasil abstraksi atau kontemplasi

belaka.

B. Epistemologi Tuhan Menurut Ibn ‘Arabī

Diri manusia sebagai makhluk yang berada pada puncak hirarki

makhluk-makhluk Allah, sekaligus sebagai satu-satunya makhluk yang

memunyai “kesiapan” (isti‘dād) paling besar dalam menerima

penampakan nama-nama (asmā’) dan sifat-sifat Tuhan.17

Maka sudah

sepatutnya, ia memiliki potensi mengetahui kehadiran Tuhan (ḥaḍrat

al-Ilāhi) dengan kualitas melebihi makhluk lainnya.

Dalam hal ini, pengetahuan tentang hakikat ke-Tuhan-an tentu

tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, melainkan

harus melalui pengalaman spiritual secara langsung (intuitif).

Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa untuk dapat berhubungan

langsung dengan Tuhan, maka sudah sepatutnya seseorang harus

mampu melepaskan diri dari segala bentuk ikatan dengan alam yang

17

Maksudnya bahwa setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majlā,

maẓār) Allah. Akan tetapi, pada puncak hirarki makhluk-makhluk Allah, Manusia

Sempurna adalah lokus penampakan diri Allah yang paling sempurna. Sementara,

makhluk-makhluk lain hanya bisa menerima penampakan sebagian nama dan sifat

Allah. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta:

Paramadina, 1995), h.127.

Page 81: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

70

menghalangi hubungannya dengan Tuhan. Sehingga, kemudian ia

mampu menyaksikan kehadiran Tuhan yang tersembunyi (makhfiyyan)

pada seluruh ciptaan-Nya.

Hal ini, lantaran bagi Ibn „Arabī, Tuhan dipahami sebagai

realitas yang berbeda dengan alam. Sedang akal, indera dan segala

yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam. Oleh karena itu,

baginya tidak mungkin mengetahui Tuhan dengan sarana-sarana

tersebut.18

Lebih lanjut Ibn „Arabī mengatakan bahwa dalam proses

pembenahan batin subyek menuju kepada pengetahuan tentang Tuhan

(ma‘rifah Allāh), ada proses yang menjadikan diri subyek fanā’

(lenyap), sehingga dirinya menjadi identik dengan al-Ḥaqq, sekaligus

menjadikan subyek sebagai ahli penyingkapan intuitif (ahl kasyf), yaitu

dengan “mengambil akhlak Allah” (al-takhalluq bi akhlāq Allāh).19

Ungkapan Ibn „Arabī ini, sering dikatakannya sebagai “al-

takhalluq bi akhlāq Allāh” (berakhlak dengan akhlak Allah/mengambil

akhlak Allah), atau al-takhalluq bi asmā’ Allāh (berakhlak

dengan/mengambil nama-nama Allah). Sinonim dari ungkapan di atas

berbunyi sebagai “al-tasyabbuh bi akhlāq Allāh” (memeroleh

keserupaan dengan Allah),20

“al-tasyabbuh bi al-Ilāh” (memeroleh

18

Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma

dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, h.197. 19

Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan,

h.138. 20

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 385.

Page 82: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

71

keserupaan dengan Tuhan),21

dan “al-tasyabbuh bi ḥaḍrah al-

Ilāhiyyah” (memeroleh keserupaan dengan kehadiran ke-Tuhan-an).22

Takhalluq sendiri berarti proses manusia (subyek)

mengaktualisasikan bentuk (ṣūrah) Tuhan (obyek) dan

memanifestasikan nama-nama Tuhan (al-asmā’ al-Ilāhiyyah), atau

dengan ungkapan lain, takhalluq bisa juga diartikan sebagai menerima

atau mengambil nama-nama Tuhan yang telah ada pada diri kita, yang

masih bersifat potensial.23

Dalam pencapaian ini, takhalluq tidak mungkin bisa dicapai

kecuali melalui pengalaman, yaitu dengan mengalami atau merasakan

sendiri obyeknya secara intuitif yang berupa asmā’ dan sifat-sifat

Tuhan. Oleh karena itu, nalar ‘irfānī dilihat dari sudut ini disebut

dengan dzauq (rasa), karena tidak melalui penalaran seperti yang

dilakukan nalar burhānī.

Dalam perspektif Henri Bergson, pengetahuan ‘irfān ini

diistilahkan sebagai “pengetahuan tentang” (knowledge of), yakni

sebuah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung, yang

berbeda dengan “pengetahuan mengenai” (knowledge about), sebuah

21

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 126. 22

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 93. Dalam teks-teks sufi,

ungkapan ini, yang biasanya dianggap berasal dari Nabi saw, kerap kali dinyatakan

dengan kalimat, “takhallaqū bi akhlāq Allāh” (berakhlaklah dengan akhlak

Allah/ambillah akhlak Allah). Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd

dalam Perdebatan, h.138. 23

William C. Chittick, Imaginal Worlds, Ibn al-Arabi and the Problem of

Religious Diversity. (Albany: State University of New York Press, 1994), h. 62-63.

Page 83: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

72

pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat perantara, baik indera

maupun rasio.24

Berdasarkan paparan di atas, secara epistemologis takhalluq

sebagai proses mengambil atau menerima asmā’ Allah (nama-nama

Tuhan) ini, lebih menekankan pada aspek intuisi, atau dalam istilah

teknisnya disebut dengan dzauq (rasa) atau wijdan (rasa, suara hati),

dengan qalb (kalbu) sebagai sarananya.25

Di sini, Qalb al-‘ārif (kalbu

sang gnostik) tidak saja berperan sebagai sarana pencapai

pengetahuannya, lebih dari itu, ia adalah hakikat ruhnya yang

merupakan tempat bagi terjadinya “ma‘rifat Allāh”.26

Dengan begitu,

tidak terbantahkan bahwa memang intuisi merupakan elemen vital

dalam pengetahuan tentang ke-Tuhan-an ini.

Selanjutnya, setelah proses takhalluq tersebut di atas

menghujam kalbu subyek, barulah ia akan memeroleh kesadaran diri

sekaligus kesadaran akan ke-Tuhan-an yang disertai dengan kesadaran

akan hal-hal yang bersifat metafisik lewat emanasi paling suci (al-fayḍ

al-aqdas) oleh Tuhan.

Dilihat secara teknis, proses emanasi (al-fayḍ) inilah yang

menuntun seseorang untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia-

24

Louis Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Suharsono (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1996), h. 144-145. 25

Istilah dzauq dan wijdan ini mereka gunakan untuk mengungkapkan buah

tajallī (penampakan sifat-sifat dan asmā’ Tuhan) serta kehadiran kejutan-kejutan yang

muncul spontan. Dzauq sebagai cara serta sarana memeroleh pengetahuan berbeda

dengan silogisme dan kegiatan berpikir lainnya, karena bersifat intuitif, yaitu

pengetahuan yang dianugerahkan langsung oleh Tuhan lewat nūr (cahaya) yang

Tuhan hujamkan ke sanubari. Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 139-144, 155-156. 26

al-Ghazālī, al-Munqidz min al-Ḍalal wa ma‘a Kamiyat al-Sa‘adat wa al-

Qawā‘id al-‘Asyrat wa al-Adāb fī al-Dīn (Beirut: al-Sya„biyah, tt), h, 85.

Page 84: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

73

rahasia realitas. Tingkatan (maqām) ini disebut oleh sebagian ahli

tasauf juga dengan istilah tajallī (penampakan diri al-Ḥaqq), yaitu

tersingkapnya (kasyf) cahaya gaib atau lenyapnya (fanā’) ḥijab dari

sifat-sifat kemanusiaan dan segala yang lain ketika Allah

menampakkan diri-Nya,27

secara ghaybī (gaib) dan syuhūdī (inderawi).

Oleh karena itu, maqām al-fayḍ (tingkat emanasi) ini

menduduki posisi maqām ma‘rifah. Sebagaimana Harun Nasution

mengatakan bahwa karena pada tingkat al-fayḍ atau tajallī ini, seorang

sufi telah sampai pada tersingkapnya nūr al-ghaybī. Dengan kata lain,

di waktu itulah Tuhan memancarkan cahaya-Nya kepada hati sang

gnostik (qalb al-‘ārif) dan yang dilihat oleh sufi itupun hanyalah

Tuhan, baik sewaktu ia tidur maupun sewaktu ia bangun.28

Teori emanasi (al-naẓāriyah al-fayḍ) ini, Ibn „Arabī bagi kepada

dua tipe utama, yaitu “emanasi paling suci” (al-fayḍ al-aqdas) dan

“emanasi suci” (al-fayḍ al-muqaddas).29

Tipe “emanasi” pertama ini

lebih dahulu daripada tipe “emanasi” kedua hanya dalam logika urutan

eksistensial, bukan dalam realitas.

27

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991) h.

245. 28

Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:

Mizan, 1996) h. 76-77. 29

Ibn „Arabī, Mi‘rāt al-‘Arifīn, Manuskrip, Maktabah Rafīq Ḥamdān al-

Khāṣṣah, Damaskus, lembaran 1; dikutip oleh Su„ād al-Ḥakīm, al-Mu‘jam al-Ṣūfī: al-

Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah. (Beirut: Dandat, 1981), h. 891. Lihat pula Fuṣūṣ, v. 1 h.

49.

Page 85: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

74

Untuk sebutan yang disematkan kepada “Emanasi paling suci”

(al-fayḍ al-aqdas), antara lain adalah “penampakan diri esensial” (al-

tajallī al-dzātī) dan “penampakan diri gaib” (al-tajallī al-ghaybī).

Dalam peristiwa ma‘rifah ini, “emanasi paling suci” ini tidak

lain adalah taraf pertama yang menentukan dalam penampakan diri al-

Ḥaqq. Ini adalah taraf awan tebal (al-‘amā’), seperti disebut Ibn „Arabī.

Karena, pada taraf ini, Tuhan tidak menampakan diri-Nya kepada

sesuatu yang lain tetapi kepada diri-Nya sendiri, namun kehadiran-Nya

dirasakan subyek dalam kondisi fanā’nya, yakni lenyapnya kesadaran

diri subyek akan eksistensi dirinya dan segala yang lain, karena

tegasnya kesadaran mutlak akan realitas eksistensi Tuhan.

Abū al-„Alā „Afīfī mengatakan bahwa “emanasi paling suci”

adalah penampakan zat yang esa mutlak (tajallī al-dzāt al-aḥadiyyah)

kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-bentuk semua yang mungkin

yang wujudnya baru berbentuk secara potensial (bi al-quwwah), belum

secara faktual (bi al-fi‘l).30

Artinya, emanasi ini masih bersifat gaib,

dan belum terjadi pada alam inderawi.

Kata “secara potensial” (bi al-quwwah, in potensia) di atas,

menurut Kautsar Azhari Noer, menunjukkan bahwa Tuhan belum

menampakkan diri-Nya secara aktual dalam keanekaan, Tuhan masih

memertahankan keesaan asli-Nya. Dalam keadaan ini, Tuhan masih

tersembunyi (makhfiyyan), Yang banyak secara potensial masih Satu

30

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī, 1 volume. (Beirut: Dār

al-Kitāb al-„Arabī, 1980), v. 2 h. 9.

Page 86: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

75

secara aktual.31

Oleh karena, tajallī pertama merupakan penampakan

Zat yang realitasnya tidak terlihat, dan realitas yang tidak terlihat ini

tidak lain dari pada “ke-Dia-an” (al-huwiyyah) yang dimiliki Tuhan dan

karena itulah Tuhan menyebut diri-Nya pada taraf ini dengan “Dia”

(huwa).32

Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa emanasi paling suci

adalah taraf pertama bagi entifikasi-entifikasi (ta‘ayyunāt) pada kodrat

Wujud Absolut (al-wujūd al-muṭlaq), di mana ta‘ayyunāt itu juga baru

ada dalam wilayah akal, dan belum memunyai wujud dalam alam

entitas-entitas yang dapat diindera (al-a‘yān al-ḥissiyyah), oleh karena

ia baru semata-mata sebagai penerima wujud.

Pada taraf “emanasi paling suci” ini, seorang subyek (ahl

al‘ārif) melalui kalbunya baru mengalami kasyf al-ma‘rifah al-

Ilāhiyyah (penyingkapan pengetahuan ke-Tuhan-an) dalam alam gaib

(al-‘ālam al-ghaybī), yang wujudnya belum dapat diindera. Subyek

belum dapat menyaksikan (musyāhadah) wujud-wujud emanasi Tuhan

dalam alam yang dapat dilihat (al-‘ālam al-syuhūd).

Realitas-realitas yang hanya ada dalam akal itu, Ibn „Arabī

sebut dengan istilah “entitas-entitas permanen” (al-a‘yān al-tsābitah),33

31

Hal ini berbeda dengan taraf Keesaan Mutlak yang sama sekali tidak

mengandung keanekaan, yang disebut sebagai “martabah aḥādiyah al-aḥad” atau

“aḥādiyyah” saja. Keesaan pada tajallī (penampakan diri) pertama ini yang

merupakan keanekaan secara potensial disebut dengan “martabah wāḥidiyyah”.

Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan, h. 62. T.

Izutsu, Sufism, h. 62. 32

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 120-121. 33

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 2 h. 9.

Page 87: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

76

dan menurut beberapa ahli Ibn „Arabī, ia sangat mirip dengan ide-ide

Plato meskipun terdapat perbedaan antara keduanya dalam beberapa

segi.

Setelah subyek mengalami penyingkapan (kasyf) pada tipe

emanasi pertama, kemudian berlanjut kepada emanasi tipe kedua yaitu,

“emanasi suci” (al-fayḍ al-muqaddas), yang disebut juga dengan

“penampakan diri eksistensial” (al-tajallī al-wujūdī) dan “penampakan

diri inderawi” (al-tajallī al-syuhūdi). Emanasi suci ini merupakan

penampakan diri dari Tuhan Yang Esa dalam bentuk-bentuk keanekaan

eksistensial. Artinya, peristiwa emanasi ini terjadi sebagai dampak

lanjutan dari terjadinya emanasi tipe pertama.

Emanasi suci (al-fayḍ al-muqaddas) dapat juga disebut sebagai

penampakan “entitas-entitas permanen” dari alam yang ada hanya

dalam pikiran kepada alam yang dapat diindera (min al-‘ālam al-

ma‘qūl ilā al-‘ālam al-maḥsūs), atau penampakan apa yang potensial

dalam bentuk apa yang aktual, dan munculnya segala yang ada secara

eksternal itu sesuai dengan apa yang ada dalam kepermanenan

azalinya. Sebagaimana Kautsar Azhari Noer mengatakan bahwa tidak

sesuatu pun dalam wujud penampakannya menyalahi apa yang ada

dalam kepermanenannya sejak azali.34

34

Su„ād al-Ḥakīm, Mu‘jām al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah, (Beirut:

Dandat, 1981), h. 866, 890. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam

Perdebatan, h. 63.

Page 88: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

77

Penjelasan Ibn „Arabī tentang kedua tipe emanasi ini, yang

berhubungan dengan keadaan kalbu (qalb) sang gnostik (qalb al-‘ārif)

terdapat pada suatu bagian dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, ia berkata:

Bahwasanya Allah memunyai dua tipe tajallī: tajallī ghayb dan

tajallī syahādah. Dengan tajallī ghayb, Dia memberikan

“kesiapan” yang menentukan sifat kalbu. Ini adalah tajallī dzātī

(penampakan diri esensial) yang realitasnya tidak terlihat. Ini

adalah “ke-Dia-an” (al-huwiyyah) yang dimiliki-Nya

sebagaimana Dia menyebut diri-Nya dengan “Dia” (huwa).

Allah adalah “Dia” terus-menerus selama-lamanya. Maka

apabila “kesiapan” terjadi untuk kalbu, sesuai dengan itu tajallī

syuhūdī menampakkan diri kepadanya dalam alam yang dapat

dilihat. Maka kalbu itu melihat Allah dalam bentuk yang

ditampakkan-Nya kepada kalbu tersebut... Dia Ta‘ālā

memberikan “kesiapan” kepada kalbu sesuai dengan firman-

Nya: “Dia memberi setiap sesuatu bentuk kejadian-Nya”. (Q.S.

20:50).35

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa tajallī

pertama memberikan “kesiapan azali” (al-isti‘dād al-azalī) atau

“kesiapan universal” (al-isti‘dād al-kullī) kepada kalbu sang gnostik

(qalb al-‘ārif). “Kesiapan azali” ini diberikan oleh Tuhan sebagaimana

terdapat dalam “entitas-entitas permanen” (al-a‘yān al-tsābitah).

Entitas-entitas permanen yang telah diwujudkan “emanasi

paling suci” ini, meninggalkan keadaan wujud intelligible (terang),

menyebarkan dirinya dalam segala sesuatu yang inderawi, dengan

demikian menyebabkan alam inderawi ada dalam aktualitas.36

Sehingga, kehadiran Tuhan yang pada emanasi sebelumnya

hanya dapat dirasakan subyek melalui kalbunya saja, pada emanasi suci

35

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 120-121. 36

T. Izutsu, Sufism, h. 156.

Page 89: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

78

ini kehadiran Tuhan sudah dapat disaksikan dan ditangkap oleh akalnya

melalui sifat-sifat, perbuatan-perbuatan atau peristiwa-peristiwa.

Hal ini, karena kalbu sang gnostik telah memiliki kesiapan azali

(al-isti‘dād al-azalī) atau kesiapan universal (al-isti‘dād al-kullī), yang

mengakibatkan kalbu dan akal subyek menangkap kehadiran Tuhan

yang tersimpan (makhfīyyan) pada alam gaib (al-‘ālam al-ghaybī) dan

inderawi (al-‘ālam al-syuhūd).

T. Izutsu antara lain mengatakan bahwa kalbu itu sendiri dalam

perubahan batinnya yang terus-menerus tidak lain daripada berbagai

bentuk tajallī Tuhan. Sebaliknya, perubahan terus-menerus Tuhan

(taqallub al-Ḥaqq) itu sendiri adalah perubahan terus-menerus kalbu

(taqallub al-qalb) tersebut.37

Sehingga, diri sang gnostik identik dengan “ke-Dia-an” (al-

huwiyyah) Tuhan. “Maka dari dirinya ia mengetahui diri-Nya. Dirinya

sendiri tidak lain dari „ke-Dia-an‟ Tuhan. Begitu pula tidak sesuatu pun

dalam alam yang ada ini yang bukan „ke-Dia-an‟ Tuhan, Dia adalah

„ke-Dia-an‟ itu sendiri”.38

Hal ini, sesuai ḥadīts Nabi saw, yang

berbunyi: “Barangsiapa mengetahui dirinya mengetahui Rabb-nya”

(man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu).39

Dengan demikian, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa pada

taraf emanasi (al-fayḍ) inilah subyek mengalami musyāhadah

37

T. Izutsu, “The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and

Zen Buddhism,” dalam S.H. Nasr, ed., Mellanges offerts ‘a Henry Corbin (Teheran:

McGill University, Institute of Islamic Studies, Cabang Teheran, 1997), h. 139. 38

Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 122. 39

Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 308.

Page 90: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

79

(penyaksian batin) atas nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dalam alam

yang dapat dilihat (al-‘ālam al-syuhūd), dengan berbagai bentuk yang

Tuhan tampakkan kepada kalbu subyek.

Dalam hal ini, maka amal syariat dan olah batin merupakan

starting-point dan jalan (ṭarīqah) menuju hakikat. Dengan meniti jalan

syair sulūk (bentuk jamak dari kata “salaka” yang memunyai arti jalan)

dipenghujung seorang sālik (pejalan/subyek) akan hinggap pada

mukāsyafah (penyingkapan) atas nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhūd (penyaksian)

merupakan ujung jalan bagi seorang sālik (subyek gnostik). Atas dasar

itulah, mukāsyafah merupakan titik henti (ending point) ‘irfān praktis

dan titik mula (starting point) ‘irfān teoritis. Oleh karena, mukāsyafah

dan musyāhadah adalah media dalam mengakses alam meta-natural

atau yang umumnya disebut sebagai meta-fisika.

Page 91: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Epistemologi Tuhan menurut Ibn „Arabī adalah suatu metode

pengetahuan yang menekankan pembenahan diri dan kesadaran diri

sebagai bentuk pengetahuan primordial dalam tingkatan memeroleh

pengetahuan tentang hakikat ke-Tuhan-an (ḥaqīqah al-ma„rifah al-

Ilāhiyyah). Proses kesatuan antara kesadaran total akan realitas eksistensi

diri subyek dengan seluruh bentuk pengetahuan hakiki yang terbentang

luas di jagad raya ini menghasilkan intuisi yang kembali diekspresikan

dalam pengalaman empirik yang mendapat pencerahan. Meski tindak

mengetahui subyek berlangsung secara simultan yang melibatkan seluruh

potensi intelektual. Namun, secara rinci prosesnya dapat dilihat dalam

analisis berikut.

Berangkat dari pembenahan diri yang kemudian dikembangkan

menjadi visi monorealitas, lalu terbentuk kesadaran diri bahwa subyek

pengetahuan (ahl al-„ārif) merupakan bagian yang tak terpisah dari dunia

ke-Tuhan-an lantaran ketergantungan eksistensialnya kepada Sang Maha

Pencipta (al-Khāliq). Berdasarkan sudut pandang Ibn „Arabī di atas,

bahwa keesaan Tuhan itu merupakan hakikat yang menjadi landasan

ontologis bagi setiap fakta. Sehubungan dengan kalbu sang gnostik (ahl

al-„ārif), pengetahuan ke-Tuhan-an kemudian disampaikan dalam bentuk

wahyu dan penyingkapan spiritual (kasyf).

Page 92: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

81

Fakta-fakta kemudian tersimpul dalam hakikat kasyf

(penyingkapan). Oleh karena, dimensi transendentalnya maka kasyf

(penyingkapan) berfungsi sebagai stimulan bagi segenap potensi

intelektual. Melalui pendengaran, kasyf (penyingkapan) merangsang

aktifitas rasional. Lalu akal pada gilirannya, secara fungsional akan

melakukan tiga aktifitas, yakni penyelidikan, identifikasi, dan penerapan

terhadap obyek ma„rifahnya.

Berkat kesadaran monorealitas, pengetahuan rasional memeroleh

pencerahan. Untuk selanjutnya, pengetahuan rasional tidak diterjemahkan

dengan cara sistem argumentasi atau berdasarkan teori korespondensi,

akan tetapi dengan teori „irfānī. Di mana pada saat kesadaran intelektual

mencerap keagungan Tuhan melalui sentuhan kasyf (penyingkapan), pada

saat itu seluruh sistem pengetahuan mengalami transformasi spiritual dan

larut dalam hakikat ke-Tuhan-an.

Secara otomatis kualitas penalaran meningkat menjadi pengenalan

(„arafa) berupa pengalaman empirik yang melihat secara nyata hakikat ke-

Tuhan-an dalam lingkup pemberitaan kasyf (penyingkapan). Dari sini,

dapat dimengerti mengapa penerapan praktis dalam tasauf menjadi bagian

yang inheren dalam sistem pembenaran pengetahuan atau konfirmasi

sufistik karena pengalaman empirik yang memeroleh pencerahan mampu

menembus taraf empirik itu sendiri ke dalam wujud spiritualnya.

Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa pengalaman

empirik sufistik tidak terbatas pada taraf lahiriah saja, tetapi menangkap

Page 93: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

82

makna yang terkandung di dalamnya. Karena, pengetahuan inderawi

dengan jalan ma„rifah bukan semata-mata capaian data inderawi

melainkan pencerahan intelektual yang mampu menangkap hakikat ke-

Tuhan-an yang terdapat pada setiap fakta empirik. Hal ini dimungkinkan

oleh karena kesadaran monorealitas memfokuskan realitas sejati pada

kasyf (penyingkapan) yang berfungsi merangsang potensi-potensi

intelektual. Karena, kasyf (penyingkapan) atau rangsangan tersebut

menimbulkan getaran-getaran psikologis pada setiap struktur jiwa

sehingga seorang subyek dapat menemukan jati dirinya dalam rangka

membentuk integritas pribadinya yang utuh.

B. Saran

Dengan melihat dan menyimak isi pembahasan dalam skripsi ini,

penulis mengakui bahwa tulisan ini belumlah cukup untuk

mengungkapkan sepenuhnya keluasan epistemologi Ibn „Arabī dari sisi

kesufiannya. Bahkan, tulisan ini tentu memiliki ketidaksempurnaan. Di

mana penggalian terhadap setiap ungkapan Syaikh al-Akbār dalam kitab-

kitabnya yang dikenal sangat banyak dan rumit ini masih bisa untuk

diperluas dan diperdalam lagi.

Bagi para pengaji Ibn „Arabī yang tertarik untuk menggeluti

konsep epistemologinya, sekiranya dapat lebih mengembangkan dan

memastikan warna epistemologinya. Tentunya akan lebih banyak lagi

teori-teori yang ditemukan dengan judul-judul bab dan sub bab yang lebih

Page 94: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

83

kaya lagi. Dengan catatan, bahwa hal ini harus dibarengi dengan referensi

primer dan sekunder yang tidak sedikit juga.

Page 95: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

84

DAFTAR PUSTAKA

„Afīfī, Abū al-„Alā. “al-Fuṣūṣ wa madzhab Ibn „Arabī Fīhi”. Dalam Ibn „Arabī,

Fuṣūṣ al-Ḥikam, 2 volume. Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1980.

— — — — —. Filsafat Mistik Ibn „Arabī, terj. Syahrir Nawawi dan Nandi

Rahman, Jakarta: Gaya Media Pranata, 1969.

Addas, Claude. Quest for the Red Sulphur: Life of Ibn „Arabī, terj. Peter

Kingsley. Cambridge: Islamic Text Society, 1993.

al-Aḥwāni, Fu„ād. Dirāsah al-Falsafah al-Islāmiyyah. Mesir: Dār el-Fikr, tt.

Ali, Atabik dan Mudhor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab

Indonesia.Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.

Amin Syukur, M. dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi

Intelektualisme Tasawuf al-Ghazālī, Semarang: LembKota, 2002.

Anwar, Saeful. Filsafat Ilmu Al-Ghazālī, Dimensi Ontologi dan Aksiologi.

Bandung: Pustaka Setia, 2007.

As, Asmara. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Asy‟arie, Musa. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam berfikir, Yogyakarta:

LESFI, 2002.

Azami, M. Mustafa. Metodologi Kritik Ḥadīṭs, terj. Yamin. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996.

Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.

Page 96: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

85

Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L. Bandung: Pustaka Hidayah,

1995.

Baqir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2004.

Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.

al-Buṭi, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarī„ah al-Islāmiyyah. Beirut: Mu‟assasah,

tt.

Chittick, William C. Dunia Imajinal Ibn „Arabī Kreatifitas Imajinasi dan

Persoalan Diversitas Agama. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

— — — — — —. Imaginal World, Ibn al-Arabi and the Problem of Religious

Diversity. Albany: State University of New York Press, 1994.

— — — — — —. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-„Arabī‟s Metaphysics of

Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989.

Chodkiewicz, Michel. Konsep Ibn „Arabī Tentang Kenabian dan Aulia, terj. Dwi

Surya Atmaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Corbin, Henry. Creatif Imagination in The Sufism of Ibn „Arabī, terj. R.

Manheim. Priceton: Priceton University Press, 1969.

— — — —. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn „Arabī. Yogyakarta: Lkis, 2002.

Drajad, Amroni. Suhrawardi, Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LKIS,

2005.

Page 97: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

86

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: 2009.

Farghānī, Masyāriqal-Darārī, ed. S.J. Asytiyānī. Maṣhad, 1398 H/1978 M.

al-Fayumi, Ibrahim Muhamad. Ibn „Arabī Menyingkap Kode Dan Menguak

Simbol Dibalik Paham Wiḥdah al-Wujūd. Jakarta: Erlangga, 2007.

al-Ghazālī, Iḥyā‟ „Ulūm al-Dīn. 3 volume. Surabaya: Salim Nabhan, tt.

— — — —. Jawāhir Al-Qur‟ān. Mesir: Matba„ah Kurdistān al-„Ilmiyyah, 1922.

— — — —. al-Maqāṣīd al-Asnā fī Syarḥ Asmā‟ Allah al-Ḥusnā, ed.

Muḥammad Uṣmān. Kairo: Maktabah Al-Qur‟ān, tt.

— — — —, Misykāt al-Anwār, ed. „Afīfī. Kairo: Dār al-Qaumiyyah, 1964.

— — — —, al-Munqidz min al-Ḍalal wa ma„a Kamiyat al-Sa„adat wa al-

Qawā„id al-„Asyrat wa al-Adāb fī al-Dīn. Beirut: al-Sya„biyah, tt.

Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2000.

— — — —. Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali

Mudhofir. Yogyakarta: Karya Kencana, 1977.

Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah, 2013.

al-Ḥakīm, Su„ād. al-Mu„jam al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah. Beirut:

Dandat, 1981.

al-Ḥākim, al-Mustadrak, ed. Musṭafā „Abd al-Qādir „Aṭā‟. Beirut: Dār al-Kutub

al-„Ilmiyyah, 1990.

Page 98: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

87

Hamdi, Ahmad Zaenul. Tujuh Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,

2004.

Hanafi, Abd. al-Mun„im. Al-Mu„jam al-Falsafī. Kairo: Dār al-Syarqiyyah, 1990.

Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Spiritual

Syaikh al-Akbār Ibn „Arabī, terj. Tri Wibowo. Jakarta: Murai Kencana,

2001.

— — — — — —. The Unlimited Mercifier, The Spiritual Life and Thought of

Ibn „Arabī. Oxford: Anqa Publishing, 1999.

Hunnex, Milton D. Peta Filsafat, Pendekatan Kronologis dan Tematis,

terj.Zubair. Bandung: Teraju, 2004.

Ibn „Arabī. Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī, 1 volume. Beirut: Dār al-

Kitāb al-„Arabī, 1980.

— — — —. al-Futūḥāt al-Makkiyyah, 8 volume, ed. Maḥmūd Maṭrajī. Beirut:

Dār al-Fikr, 2002.

— — — —. Insyā‟ al-Dawā‟ir, dalam H.S. Nyberg, Kleinere Schriften des Ibn

al-„Arabī. Leiden: Brill, 1919.

— — — —. L‟Arbre du Monde, terj. M. Gloton. Paris: Les Deux Oceans, 1982.

— — — —. Misteri Kun Syajaratul Kaun: Doktrin Tentang Person Muḥammad

Saw,terj. Wasmukan. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

Page 99: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

88

— — — —. Misykāt al-Anwār fimā ruwiya „an Allāh subḥānahu min al-Akbār.

Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1999.

— — — —. Rasā‟il Ibn „Arabī. Hyderabad-Deccan: The Dāiratu‟l-Ma„ārifi‟l-

Osmania, 1948.

— — — —. al-Risālah al-Wujūdiyyah. Cairo: Maktabah al-Qāhirah, tt.

— — — —. Rūḥ al-Quds. Damaskus: al-Mu„assasah al-„Ilm, 1964.

— — — —. Sufis of Andalusia. The Rūḥ al-Quds and Durrah al-Fākhirah, terj.

R.W.J. Austin. London: Allen & Unwin, 1978.

— — — —, Tafsīr Ibn „Arabī. Kairo: Bulaq, 1867.

— — — —. The Tarjumān al-„Asywāq, terj. Nicholson. London: Theosophical

Publishing House Ltd., 1978.

Ibn Ḥajr. Lisān al-Mīzān, 5 volume. Beirut: al-Mu„assasah al-A„lamī, 1986.

Ibn Katsīr. al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 13 volume. Kairo: Dār Ibn al-Ḥaytsam,

2006.

Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl fīmā Bayn al-Ḥikmah wa al-Syar„īah min al-Ittiṣāl,

ed. M. Imarah. Mesir: Dār al-Ma„ārif, tt.

Ibn Sīnā, Aḥwāl al-Nafs, terj. M. S. Nasrullah. Bandung: Pustaka Hidayah, tt.

Izutsu, T. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical

Cosepts. Los Angeles: University of California Press, 1984.

Page 100: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

89

— — —. “The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and Zen

Buddhism,” dalam S.H. Nasr, ed., Mellanges offerts „a Henry Corbin.

Teheran: McGill University, Institute of Islamic Studies, Cabang

Teheran, 1997.

al-Jabirī. Isykālīyat al-Fikr al-„Arābi al-Muʽaṣir, Beirut: Markaz Dirasah al-

ʽArabiyah, 1989.

Jāmī, „Abd al-Raḥmān. Syarḥ Fuṣūṣ al-Ḥikam. Firuzpursyahr: Fayḍ Bakhsy,

1907.

Jamil, Fathur Rahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos, 1997.

al-Jīlī, „Abd al-Karīm. al-Insān al-Kāmil. Kairo: Dār al-Fikr, tt.

Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar. Jakarta: Lentera

Hati, 2006.

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soerjono Soemargono. Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1992.

Katz, Steven K. Mysticisme and Philosophical Analysis. London: Sheldon Press,

1998.

Khalaf, „Abd al-Wahhāb. „Ilm Uṣūl al-Fiqh, terj. Madar Helmi. Bandung: Gema

Risalah Press, 1996.

Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf, „Irfan dan Kebatinan. Jakarta: Lentera,

2004.

Page 101: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

90

Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam jurnal Al-

Ḥikmah, edisi 4, Bandung: Februari, 1992.

Munir, Razal Muztansir dan Misnal. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003.

Mustofa, Ahmad. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah. Bandung: Pustaka Hidayah,

1995.

Nabhānī, Yūsuf al-, Jāmi„ Karāmāt al-Awliyā‟. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.

Naṣr, Seyyed Ḥossein. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994.

Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,

1996.

Nikhilananda, Swami. Hinduisme It‟s Meaning for The Liberation of The Spirit.

New York: Harper, 1958.

Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-„Arabī: Waḥdah al-Wujūd dalam Perdebatan.

Jakarta: Paramadina, 1995.

Poespoprodjo. Logika Ilmu Menalar. Bandung: Remaja Karya, 1989.

al-Qusyayrī. Laṭāif al-Isyārāh, ed. Ibrahim Basyuni. Kairo: al-Hai‟ah al-

Misriyah, 1981.

Page 102: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

91

— — — —. al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj. Kairo: al-Tawfīqiyyah, t.t.

Raḥmān, Fazlur. Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin. Bandung: Pustaka, 2000.

Renan, Ernest. Ibn Rusyd wa Rusydiyyah, terj. „Ādil Zu„atir. Kairo: „Īsā Bābi al-

Ḥalabi, 1957.

S. J, Frederick Copleston. History of Philosophy Greece and Rome. Canada:

Doubleday, 2003.

Ṣalība, Raḥmil. al-Mu„jam al-Falsāfī, Beirut: Dār al-Kitāb al-Banānī, 1973.

Salīm, Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad. Ta„yīd al-Sūfiyyah fī Majmū„ah al-

Hātimiyyah. Beirut: Maṭba„ah al-Ḥāditsah, 1997.

Sharif, M. M. A History of Muslem Philosophy. Delhi: Low Price Publication,

1998.

Sholeh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2001.

al-Sya„rānī. al-Kibrīt al-Aḥmar. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005.

al-Syāṭibi, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Aḥkām. Beirut: Dār al-Fikr, tt.

Soemargono, Soejono. Berfikir Secara Kefilsafatan, Yogyakarta: Nur Cahaya,

1988.

Solihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Page 103: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

92

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan.

Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Al-Ruzz Media,

2008.

Suhrawardi, Syihab al-Dīn. Ḥikmah al-„Isyrāq, terj. Muhammad al-Fayyadl.

Yogyakarta: Islamika, 2003.

— — — — — — —. Majmu„ah Muṣannafah Syaikh al-Isyrāq I, Teheran:

Institut d‟Etudes et des Recherches Culture, 1993.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1990.

— — — — — — —. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan

Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

Syukur, Suparman. Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd. Yogyakarta: IAIN

Sunan Kalijaga, 1996.

— — — — — —. Epistemologi Islam Skolastik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007.

Taftazāni, Abū al-Wafā‟. Pengantar Tasawuf Islam, terj. Rafi‟ Usmani.

Bandung: Pustaka, 2003.

Page 104: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

93

Takeshita, Mastaka.“The Homo Imago Dei Motif and the Anthro-pocentric

Metaphysics of Ibn „Arabī in the Inṣā‟ al-Dawā‟ir,” Orient, 18. Tokyo:

1982.

al-Tilmisānī, Ibn al-Maqarrī. Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib.

Beirut: Dār Ṣader, 1997.

Verhaak C. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:

Gramedia, 1983.

Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: LIMA dan Faisal

Fondation, 2007.

Usman, Iskandar. Istiḥsān dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Rajawali,

1994.

„Utsmān Najatī, Muḥammad. „Ilm al-Nafs fī Ḥayātinā al-Yaumiyyah. Quwait:

Dār al-Qalam, 1980.

Yazdi, Mehdi Ha‟iri. Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam:

Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Husain Heriyanto, Bandung: Mizan

2003.

— — — — — — —. Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat

Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 1994.

Zahri. Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1991.

Page 105: EPISTEMOLOGI TUHAN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34727/3/RIFQI... · Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada saudara-saudaraku

94

Zaini, M. Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya. Surabaya:

Risalah Gusti, 2000.