epistemologi tuhan -...
TRANSCRIPT
EPISTEMOLOGI TUHAN
MENURUT IBN ‘ARABĪ
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. TH.I.)
Oleh:
Rifqi Rizaldy
NIM: 109033100010
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2016 M.
iiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Vokal Panjang
Ā آ
Ī اى
Ū او
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط a ا
ẓ ظ b ب
ع t ت „
غ ts ث gh
ف j ج f
q ق ḥ ح
ك kh خ k
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
ه s س h
ء sy ش ‟
ص ṣ ي y
ض ḍ ة h
ivi
ABSTRAK
Ibn „Arabī adalah salah satu dari banyak sosok ensiklopedis yang pernah
ada di muka bumi ini, hal ini bisa kita saksikan dari keluasan wawasan
pengetahuannya yang tersimpan dalam karya-karyanya. Di Timur, ia dikenal
sebagai pemuka tasauf yang jujur dalam perkataan dan menepatinya dengan
tindakan dalam samudera rahasia ke-Tuhan-an. Sedangkan di Barat, ia dikenal
sebagai tabib yang dapat mengobati penyakit ganas “Barat” dengan ilmu dan
pengetahuannya tentang ke-Tuhan-an dalam dimensi tasaufnya. Namun, betapa
pun dalam wawasan, ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Ibn „Arabī,
popularitasnya sebagai seorang hamba (‘abd Allāh) yang begitu mencintai
Tuhannya jauh lebih dalam dari pada wawasan, ilmu, dan pengetahuannya sendiri.
Dengan memahami esensi ajaran pokok Ibn „Arabī, berarti seseorang tidak
saja telah memasuki ruang-ruang pemikirannya, tetapi juga telah melihat isi dalam
ruangan dan bangunan luar dari ruangan-ruangan tersebut. Dari mana kita masuk
ke dalam sebuah ruangan? Tentu dari luar ruangan tersebut. Dari mana seseorang
dapat memahami ajaran pokok seorang tokoh? Tentu dari bangunan luar ajaran
tokoh tersebut. Di mana sebenarnya bangunan luar tersebut, berdiri kokoh di atas
pondasi-pondasi dasarnya. Lalu, bagaimana pondasi dasar, bangunan luar,
ruangan-ruangan tersebut ada atau dibuat? Jika kita menjawabnya dari sudut
pandang ke-Tuhan-an, maka jelas adanya hal tersebut (yakni rangkaian
pengetahuan menuju ma‘rifat Allāh) mutlak karena kehendak Tuhan, dan jawaban
ini, secara otomatis memutus hubungan ontologis-epistemologis-aksiologis
sebuah pengetahuan, meskipun sebenarnya hal ini memang kehendak Tuhan.
Namun demikian, perlu kita ingat bahwa kehendak Tuhan (dalam konteks,
mengalami ma‘rifat Allāh) itu tidak mengaktual begitu saja tanpa mengikut
sertakan hubungan yang satu dengan hubungan yang lainnya. Misalnya, peristiwa
turunnya hujan tidak terjadi lantaran tiba-tiba ada air di atas, lalu tiba-tiba juga air
itu jatuh. Dari mana air yang di atas itu ada? Lalu mengapa air itu terjatuh?
Maksudnya, ada faktor-faktor yang menyertai peristiwa hujan atau penyingkapan
(kasyf) pengetahuan intuitif (ma‘rifah). Sehingga, dapat penulis katakan bahwa
peristiwa hujan atau penyingkapan pengetahuan tentang ke-Tuhan-an (bahkan
yang seketika sekalipun/ladunnī) itu sebenarnya tidak terjadi begitu saja tanpa
mengikut sertakan hubungan yang lainnya, atau dengan ungkapan lain, bahwa ada
pertanyaan mengenai “bagaimana” yang identik dengan epistemologi ini, dalam
pembahasan tentang pengetahuan Tuhan menurut Ibn „Arabī.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alḥamdulillāh Rabb al-‘Ālamīn, atas rahmat
serta kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
mengambil judul: Epistemologi Tuhan Menurut Ibn „Arabī.
Sebagaimana penelitian-penelitian ilmiah lain, skripsi ini berisikan
pembahasan tentang sesuatu yang sebenarnya, bukan sesuatu yang asing. Namun,
orang terkadang menjadi kehilangan perhatian terhadap sesuatu yang telah begitu
akrab dalam dirinya, sehingga ketika diungkapkan ia menjadi tampak begitu
asing. Asing, namun sekaligus sangat akrab, itulah hal-hal yang menyangkut
wilayah ke-Tuhan-an dan epistemologinya. Disebut akrab karena dalam setiap
aktivitas manusia selalu ditandai oleh fenomena ke-Tuhan-an tersebut, namun
menjadi asing ketika ia berusaha ditegaskan (asserted) secara reflektif dan teoritis.
Dalam dunia Islam, terdapat sebuah ajaran di mana hati kita tinggal di
dalamnya, kita dilatih untuk menjadi akrab dengan hal-hal yang metafisis-
spiritual. Allah, malaikat, iblis, surga-neraka, bahkan ternyata “diri sejati” kita
juga merupakan sesuatu yang metafisis-spiriual dan asing. Oleh karena itu, untuk
mengakrabkannya kita dilatih untuk menjadi asing terhadap sesuatu yang akrab,
misalnya dengan bertanya bagaimana kita diajak berpikir tentang bagaimana
kehidupan itu muncul dari sesuatu yang metafisik?, atau bagaimana segala sesuatu
itu memiliki ukuran-ukuran yang proporsional dan akurat? Untuk itu, dalam
vii
pandangan penulis bahwa salat, puasa, zakat, ‘uzlah, dzikir dan lainnya
sebenarnya merupakan salah satu dari proses transendensi manusia menuju
ma‘rifat Allāh.
Dalam proses penulisan skripsi ini, sebenarnya ada beberapa fase yang
dialami penulis secara pribadi dalam mengaji karya-karya Ibn „Arabī. Jelas, untuk
memahami pemikiran seorang tokoh sekaliber Ibn „Arabī bukanlah hal yang
mudah bagi penulis, sehingga penulisan skripsi ini memakan waktu yang tidak
sebentar. Di mana ketika penulis mengalami kebingungan luar biasa dalam
menelusuri esensi-esensi pemikiran Ibn „Arabī. Dalam keadaan yang demikian,
penulis berjumpa dengan seorang sufi yang ensiklopedis, yang menguasai banyak
sekali bidang pengetahuan. Beliau menguasai ilmu keagamaan dengan sangat
sempurna, bahkan beliau juga menguasai ilmu astronomi, pengobatan, arsitektur,
matematika, fisika-quantum, pertanian, permesinan, peracik ramuan ulung,
ekonomi, biologi, pengukir, adi perahu (insinyur kapal), ilmu kelistrikan dan
masih banyak lagi. Tidak banyak yang mengenal beliau, hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat menemui dan bertemu dengannya. Karena beliau
merupakan orang yang lebih suka tampil di balik layar (mastūr). Intinya melalui
didikan beliau yang sangat tidak teoritis, tetapi lebih secara praktis namun sangat
esensial, penulis dapat menyusun skripsi ini.
Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh
gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Strata Satu pada Program Studi Aqidah
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
viii
Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,
sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa
hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua
pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil baik langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama
kepada yang saya hormati:
1. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils selaku Pembimbing yang telah
membantu penulisan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Syamsuri, MA selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat
Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Terima kasih juga kepada seluruh jajaran dosen Jurusan Aqidah
Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
viiii
7. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua (biologis dan non
biologis) tercinta yang sangat mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini: Bapak M. Sholeh Bin „Abdullah Bin
Wakad, Ibu Masri„ah, dan Rama Ahmad Navis Edi Al-Shidqiyyah.
Terakhir namun tetap istimewah, penulis berterima kasih kepada
saudara-saudaraku tercinta: Yayu Sri Hartati, Mas Edi Sugiarto dan
keluarga, Yayu Yuliana, Yayu Mamlu‟atul Hikmah, R. Agung
Wicaksono dan keluarga, Kang Aris Nikmatullah dan Adi Fajar
Nugraha, Mamang Zaenuddin dan keluarga, Mamang Ah. Syathori dan
keluarga, Adi Mahesa Timur, Abi Oman „Abdurrohman, Mas Raden
Giyanto dan keluarga.
Akhir kata penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
dan apabila ada yang tidak tersebutkan penulis mohon maaf, dengan besar
harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan
umumnya bagi pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu dalam penulisan
skripsi ini semoga segala amal dan kebaikannya mendapat balasan yang
berlimpah dari Allah Subḥānah wa Ta‘ālā.
Jakarta, Juli 2016
RIFQI RIZALDY
ixi
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………… iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... iiii
ABSTRAK .......................................................................................................... ivi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ixi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................... 4
C. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6
E. Metode Penelitian ............................................................................ 7
F. Sistemika Penelitian ......................................................................... 9
BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAUF IBN ‘ARABĪ
A. Biografi Ibn „Arabī ......................................................................... 10
1. Riwayat Hidup ........................................................................... 10
2. Pendidikan .................................................................................. 25
B. Karya-karya Ibn „Arabī ................................................................... 34
BAB III EPISTEMOLOGI ISLAM
A. Pengertian Epistemologi ................................................................. 43
B. Model-Model Epistemologi Islam .................................................. 45
1. Epistemologi Bayānī ................................................................. 46
2. Epistemologi Burhānī (Demonstratif) ..................................... 50
3. Epistemologi ‘Irfānī (Gnostisisme) .......................................... 53
BAB IV EPISTEMOLOGI TUHAN MENURUT IBN ‘ARABĪ
A. Epistemologi ‘Irfānī (intuitif) Ibn „Arabī ....................................... 61
B. Epistemologi Tuhan Menurut Ibn „Arabī ...................................... 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 80
B. Saran .............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia di alam dunia ini, ia tidak semata-mata
tunduk dan patuh begitu saja pada kodratnya yang secara pasif menerima
alur kehidupan. Karena manusia tidak hanya dilengkapi dengan jasad dan
ruh saja sebagaimana makhluk lainnya. Manusia memiliki akal, hasrat,
dan nurani atau dalam bahasa tasauf biasa disebut dengan kalbu/intuisi,
yang secara komplek tersusun dalam struktur diri manusia. Oleh karena
itu, manusia dapat memilih untuk menunda atau menyegerakan dalam
menunaikan kewajibannya, lebih dari itu ia juga dapat mengingkari
eksistensi penciptanya sendiri.
Akan tetapi, pada realitasnya selama makhluk yang bernama
manusia hidup di dunia, selama itu pula ia dibebani kewajiban untuk
selalu “sadar” akan kemanusiaannya dan “aktif” dalam merengkuh
kehidupan sejati. Makna “sadar” di atas berkaitan dengan “pengetahuan”,
sementara makna “aktif” berkaitan dengan implementasi akan esensi
ajaran “agama” dan pengetahuannya tentang Tuhannya (Allah).1
1Sekedar catatan, pengetahuan tentang Allah di sini, bukan penulis
maksudkan sebagai pengetahuan tentang Allah pada dzat-Nya (bi dzātihi). Karena,
manusia tidak mungkin mengetahui esensi Allah dan hanya Dia sendirilah yang
mengetahui esensi diri-Nya.
2
Manusia yang sepatutnya adalah hamba Allah dan khalīfah di
muka bumi, ia memiliki keunggulan atau kualitas kesadaran di atas
“manusia hewan dan manusia hamba akal”. Kualitas seorang manusia
untuk sampai pada taraf sebagai hamba Allah (‘abd Allāh) dan khalīfah
(pemimpin/wakil) di muka bumi ini, sangatlah ditentukan oleh dua
instrumen pokok yang menjadi pembeda kedudukan manusia hamba Allah
dengan makhluk lainnya, dua instrumen pokok itu ialah pengetahuan
(tentang ke-Tuhan-an) dan agama (pengabdian) yang menyatu padu di
dalam jiwa.
Pertama, ide penulis ini muncul dari ḥadīts Nabi saw, yang sering
diungkapkan Ibn „Arabī sebagai: “Barangsiapa yang mengetahui dirinya,
mengetahui Rabb-Nya.” (man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu).2 Ungkapan
ḥadīts di atas, jelas mengandung makna kesatuan pertalian hubungan
antara “pengetahuan diri” dengan “pengetahuan ke-Ilahi-an”, antara
pengetahuan tentang ke-Tuhan-an dan pengabdian kepada Tuhan,
sekaligus menegaskan peran pengetahuan bagi manusia dalam
menjembatani hubungan transendennya dengan Sang Pencipta (al-Khāliq).
Kedua, ide ini juga ditopang oleh firman Allah dalam Q. S. Al-
dzāriyyāt: 56. Yang berbunyi: “Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan
manusia melainkan agar supaya (mereka) mengabdi kepada-Ku.” (wa mā
khalaqtu al-jinna wa al-insān illā liya‘budūn). Ayat al-Qur‟ān ini jelas
2Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Maḥmūd Maṭrajī, 8 volume (Beirut: Dār
al-Fikr, 2002), v. 2 h. 308 dan 472. Ungkapan di atas, yang biasanya dikutip oleh para
Sufi sebagai suatu ḥadits, tidak diterima sebagai ḥadits yang sahih oleh para ahli ḥadits.
Lihat Su„ād al-Ḥakīm, Mu‘jam al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah. (Beirut: Dandat,
1981), h. 1261.
3
berisi penegasan tujuan dari penciptaan jin dan manusia yang sebenarnya,
yang berupa mengabdi kepada-Nya. Persoalannya adalah bahwa pada
kalimat liya‘budūni ini (agar supaya mengabdi kepada-Ku), menurut Ibn
„Abbas (w.68 H./678 M.), tersirat makna liya‘rifūni (agar supaya
mengenal/mengetahui-Ku).3 Sehingga, jelas bahwa ada keharusan bagi
manusia untuk mampu menyatukan di dalam jiwanya antara mengabdi
kepada-Nya dan mengetahui tentang ke-Ilahian-Nya. Dengan begitu, maka
sebenarnya sangat urgen bagi seluruh manusia untuk mengenal atau
mengetahui Tuhannya di dalam kehidupan ini secara hakikat.
Melalui uraian penjelasan di atas, penulis bermaksud menunjukkan
bahwa hubungan keterikatan manusia dengan pengetahuan dan agama
(pengabdian) ini bersifat substansial. Dalam artian bahwa hubungan
keduanya bagi manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Oleh
karena, kualitas pengetahuan seseorang (tentang ke-Tuhan-an) akan sangat
ditentukan oleh kualitas ibadahnya (pengabdiannya) kepada-Nya, begitu
pun kualitas ibadah seseorang kepada-Nya akan ditentukan oleh kualitas
pengetahuannya (tentang ke-Tuhan-an-Nya).
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis berusaha menggali dan
menggunakan ide-ide epistemologi Ibn „Arabī yang tersembunyi di balik
banyak karya ontologisnya, guna menggali ranah pengetahuan manusia
tentang Tuhan.
3Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj, (Kairo: al-Tawfīqiyyah,
t.t.), h. 8.
4
Sosok Ibn „Arabī, yang bukan saja sebagai seorang spiritualis yang
memiliki kecerdasan spiritual, namun ia juga merupakan sosok yang
memiliki kecerdasan intelektual. Pengelaborasian yang baik dari
kecerdasannya ini melahirkan karya-karya dan gagasan yang super. Bukan
hanya diakui sebagai karya dalam bidang spiritualitas, namun juga dalam
bidang falsafah. Ide-ide dan gagasan Ibn „Arabī ini telah tersusun rapi di
dalam karya-karyanya, salah satunya seperti, al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan
Fuṣūṣ al-Ḥikam. Oleh karena itu, penulis menggunakan pemikiran-
pemikiran Ibn „Arabī sebagai rujukan inti dari skripsi ini.
Dengan ini, penulis bermaksud mengajukan skripsi yang akan
mengungkapkan kembali keunikan dan keluasan pemikiran Ibn „Arabī dari
aspek epistemologi, dengan menjadikan pemikiran-pemikirannya sebagai
landasan dan obyek kajiannya. Dengan Judul “Epistemologi Tuhan
Menurut Ibn „Arabī”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Sebagaimana penjelasan di atas, tulisan ini akan meneliti mengenai,
“Epistemologi Tuhan menurut Ibn „Arabī”. Dalam hal ini, penulis akan
mengemukakan perkembangan intelektual Ibn „Arabī sebagai seorang
ilmuwan Muslim, konsep epistemologi ‘irfānī (intuitif) Ibn „Arabī,
epistemologi Tuhan, dan proses subyek dalam mengalami ma‘rifat. Dalam
memahami konsep epistemologi Tuhan yang dikemukakan Ibn „Arabī ini,
5
penulis tetap akan menyinggung pemikiran-pemikiran tokoh lain jika
diperlukan.
Sedangkan rumusan masalahnya adalah bagaimanakah epistemologi
Tuhan menurut Ibn „Arabī itu?
C. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan ini untuk lebih fokus dan terarah, penulis merasa
penting untuk melakukan tinjauan pustaka sebagai bahan acuan dalam
melihat perbedaan dari tulisan-tulisan yang membahas tentang konsep
epistemologi Tuhan menurut Ibn „Arabī. Maka, setelah penulis melakukan
tinjauan pustaka, berdasarkan katalog Perpustakaan Umum, Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta dan Perpustakaan Universitas Indonesia Depok
penulis hanya menemukan dua karya yang penulis anggap berhubungan
dengan skripsi yang sedang penulis garap ini. Adapun dua karya tersebut
adalah:
Karya Syahrul A„dam dari Tesis Magister Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (1999), dengan judul, Pandangan Ibn ‘Arabī tentang
Agama-Agama (1999). Kemudian diterbitkan oleh Badan Kajian Ilmu dan
Kemasyarakatan (KOSMOPOLIT) (1999) dengan judul yang sama. Karya
ini membahas tentang gagasan kesatuan agama-agama dalam pandangan Al-
Syaikh al-Akbār, dan merupakan sumbangan berharga untuk perkembangan
pemikiran Ibn „Arabī tentang konsep kesatuan agama-agama selanjutnya.
6
Disertasi yang berjudul Kesatuan Transendensi Agama-agama
dalam Pandangan Ibn ‘Arabī, Rūmī dan Jīlī. Disertasi ini ditulis oleh Dr.
Media Zainul Bahri, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 25
Juni 2010 (Ujian Pendahuluan) dan 9 Agustus 2010 (Ujian
terbuka/Promosi). Yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul,
Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rūmī dan Al-
Jīlī (Bandung: Mizan Publika, 2011). Tulisan ini membahas tentang
kesatuan agama-agama dalam aspek esoterik, dan menelaah keragaman
eksoterik, namun satu muara dan satu tujuan. Singkatnya, disertasi ini
membahas kesatuan transenden agama-agama dalam pandangan sufistik.
Sebenarnya, masih banyak kajian yang ditulis mengenai Ibn „Arabī.
Namun, kebanyakan penulis hanya tertarik mengemukakan aspek falsafi,
esoteris, dan teologis, terutama mengenai al-insān al-kāmil, waḥdah al-
wujūd, atau waḥdah al-adyān. Secara umum para penulis berkutat pada
konsep tasauf dan teologi, bukan pada aspek epistemologisnya karena
memang tidak kita temui pembahasan itu secara gamblang dalam karya-
karya asli Ibn „Arabī.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Memerkenalkan suatu konsep epistemologi yang unik dan khas
walaupun tidak baru dan aktual, serta nampaknya kurang diminati oleh
7
kalangan akademisi, sehingga dalam ranah intelektualitas pemikiran
epistemologi Ibn „Arabī ini seolah termarginalkan.
2. Memeroleh pemahaman yang utuh tentang konsep epsitemologi Tuhan
menurut Ibn „Arabī.
3. Sebagai syarat untuk memeroleh gelar strata satu (S1) bagi penulis.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data merupakan faktor
penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini, berkaitan dengan bagaimana
cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang
digunakannya. Pengumpulan data ini melingkupi pengumpulan data yang
diperoleh dari sumbernya langsung (data primer) dan dari sumber tidak
langsung (data sekunder). Metode ini menunjuk suatu cara sehingga dapat
diperlihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, tes,
dokumentasi dan sebagainya.
Adapun metode pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode
deksriptif-analitik. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran
atau deksripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode penelitian
deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang
sedang dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian ini dilakukan dengan
menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi,
pengolahan/analisis data, membuat kesimpulan dan laporan.
8
Sedangkan metode penelitian analitik adalah penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi. Kemudian
melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor
resiko/faktor penyebab/determinan dan faktor efek, antar faktor resiko,
maupun antar faktor efek. Maksud faktor resiko adalah suatu fenomena
yang mengakibatkan terjadinya efek (pengaruh). Sedangkan faktor efek
adalah suatu akibat dari adanya faktor resiko.
Adapun untuk metode penulisan skripsi ini, penulis mengacu dari
buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2011/2012.
Sebagaimana yang dikatakan di atas bahwa dalam penelitian
kepustakaan (library research), maka jenis penelitian ini memfokuskan
pada aspek pemikiran, sejarah dari seorang tokoh serta tokoh-tokoh lainnya
yang memengaruhinya. Untuk mengadakan penelitian kepustakaan ini
peneliti melakukan pengumpulan buku-buku atau data primer seperti:
Muḥyī al-Dīn Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afifi, 2
volume. (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabi, 1980), al-Futūḥāt al-Makkiyyah, 8
volume, ed. Maḥmūd Matrajī. (Beirut: Dār al-Fikr, 2002), dan sekunder,
yang masih ada kaitannya dengan seluruh referensi yang mendukung dalam
penulisan ini, seperti: „Afifi, The Mystical Philosophy of Muḥyī Din Ibnul
Arabi. (Lahore: SH. Muḥammad Aṣraf, 1964), „Afifi, “Al-Fuṣūṣ wa
Madzhab Ibn ‘Arabī Fīhi.” Dalam Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 2 volume.
(Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1980), Misteri Kun Syajaratul Kaun:
Doktrin Tentang Person Muḥammad Saw, terj. Wasmukan (Surabaya:
9
Risalah Gusti, 2001), dan The Tarjumān al-‘Asywāq, terj. Nicholson.
London: Thesophical Publishing House Ltd, 1978, Kautsar Azhari Noer,
IBN AL-‘ARABĪ: Waḥdah al-Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), Syahrul A„dam, Kesatuan Agama-Agama Dalam
Pandangan Ibn ‘Arabī. Jakarta: Badan Kajian Ilmu dan Kemasyarakatan
(KOSMOPOLIT), 1999. Sudarminta Epistemologi Dasar Pengantar
Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), dan lain-lain.
F. Sistematika Penulisan
A. Bab I : merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II :
membahas seputar biografi Ibn „Arabī. Bab ini dibagi menjadi tiga sub
bab, yaitu: biografi Ibn „Arabī, karya-karyanya, dan pemikiran tasauf
Ibn „Arabī. Bab III : membahas tentang pengertian epistemologi,
sejarah perkembangan epistemologi, dan model-model epistemologi
Islam. Bab IV : membahas tentang epistemologi Tuhan menurut Ibn
„Arabī. Bab ini dibagi menjadi dua sub bab yang didahului dengan
pembahasan: epistemologi ‘Irfānī (Intuitif) Ibn „Arabī, epistemologi
Tuhan Menurut Ibn „Arabī. Bab V : Penutup. Bab ini memaparkan
kesimpulan dan saran.
10
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAUF IBN ‘ARABĪ
A. Biografi Ibn ‘Arabī
1. Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibn „Arabī adalah Muḥammad b. „Alī b.
Muḥammad b. Aḥmad b. „Abdullāh al-Ḥātimī al-Ṭā„ī al-Andalūsī.
Nama ini dibubuhkan oleh Ibn „Arabī dalam Fihris al-Mu‘allafah
(katalog karya-karyanya). Ibn „Arabī selain bergelar Abū Bakr, ia juga
populer dengan sebutan Muḥyi al-Dīn (Penghidup Agama) Ibn „Arabī
atau dengan tambahan alif lam; Ibn al-„Arabī.1 Salah satu sejarawan
Muslim abad ke-8, yaitu Ibn Katsīr menyebutkan tanpa alif lam pada
kata „Arabī. Hal ini menunjukkan bahwa penamaan Ibn „Arabī atau Ibn
al-„Arabī digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk sosok Muḥammad
b. „Alī. Sementara orang-orang sezamannya, seperti Sadr al-Dīn al-
Qunawī (w. 673 H./1274 M.) memanggilnya Abū „Abdillāh.2
Selain sebutan di atas, Ibn „Arabī juga dikenal dengan sebutan
al-Syaykh al-Akbār (Doktor Maximus) Ibn „Arabī al-Ṣūfī. Pemberian
gelar kehormatan tersebut selain menunjukkan keluasan intelektual dan
spiritual Ibn „Arabī sekaligus membedakannya dengan Qāḍī Sevilla
yang terkenal, yaitu Abū Bakr Ibn al-„Arabī (468-543 H./1076-1148
1Fihris al-Mu‘allafah (katalog karya tulis yang dibuat Ibn „Arabī sendiri
untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Ditulis pada tahun 1229/1230 M. (627
H.) di Damaskus untuk muridnya, yaitu Sadr al-Dīn al-Qunawī). Ibn Ḥajr, Lisān al-
Mīzān, (Beirut: al-Mu„assasah al-A„lamī, 1986), v. 5 h. 311. 2Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Kairo: Dār Ibn al-Ḥaytsam, 2006), v.
13 h. 90.
11
M.). Nama lengkapnya adalah al-Imām al-„Allāmah al-Faqīh
Muḥammad b. „Abdullāh al-Ma„afirī al-Andalūsī al-Isybīlī yang
dikenal dengan sebutan Ibn al-„Arabī al-Mālikī. Ia menulis tafsir corak
fikih dalam madzhab Mālikī, “Aḥkām al-Qur’ān”. Karya yang lainnya
dalam bidang tafsir adalah “al-Qānūn fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz”.3
Muḥyi al-Dīn Ibn „Arabī lahir pada malam senin 17 Ramadhan
tahun 560 H., bertepatan dengan 28 Juli 1165 M. di kota Murcia
(Andalusia). Sebagai anak pertama, kelahiran Ibn „Arabī merupakan
kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Ibn „Arabī dilahirkan dari seorang
ayah yang ahli dalam pelbagai bidang ilmu ke-Islaman, seperti fiqh,
ḥadīts dan tasauf. Ayahnya bernama Muḥammad b. Aḥmad merupakan
salah seorang Qāḍī di Andalusia yang berteologi Sunnī. Sehingga,
dengan kondisi sosial ini memungkinkan Ibn „Arabī akrab dengan teologi
Sunnī.4
Selain sebagai ayah, Muḥammad b. Aḥmad juga merupakan guru
pertama di keluarga Ibn „Arabī. Ibn „Arabī dididik dengan sangat baik
oleh ayahnya. Ia juga sering dipertemukan oleh Muḥammad b. Aḥmad
dengan banyak tokoh intelektual pada masa tersebut.5
Penisbatan nama Ibn „Arabī ini, mengisyaratkan kepada
„Abdullāh al-„Arabī empat generasi di atasnya. Ibn „Arabī juga
3Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan
Spiritual Syaikh al-Akbār Ibn ‘Arabī, terj. Tri Wibowo (Jakarta: Murai Kencana,
2001), h. 43. 4Ibn al-Maqarrī al-Tilmisānī, Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib,
(Beirut: Dār Ṣader, 1997), v. 2 h. 161. 5Ibn al-Maqarrī al-Tilmisānī, Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib, v.
2 h. 161.
12
mengaku bahwa dirinya masih keturunan „Abdullāh Ibn Ḥātim al-Ṭā„ī
(Bani Ṭayy dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi saw. Pengakuan
Ibn „Arabī ini dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa
ditinjau dari sisi historis imigran Arab. Menurut Addas, hal ini menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan keluarganya mendapatkan strata
sosial yang tinggi di Andalusia.6
Addas menambahkan bahwa proses imigrasi pernah terjadi pada
masa „Abd al-Raḥmān I (172 H.) khalifah Umayyah II di Andalusia. Ia
menyebutkan bahwa imigran berasal dari Syria dan Yamān, lalu
mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyūtāt) di
Semenanjung Iberian. Sebagian mereka juga ada yang menetap di kota
Jaén, Baza dan Tijola. Kota tersebut berada di bagian selatan dari
wilayah Murcia.7
Pada saat Ibn „Arabī dilahirkan, di Prancis Louis VII sedang
bertahta, pembangunan Notre Dame de Paris sudah berjalan dua tahun.
Di Spanyol kekuasaan Dinasti al-Moravid sedang menurun, tak lama
kemudian digantikan oleh Dinasti al-Muwāḥḥid al-Dūn. Di Mesir
dinasti lain sedang berakhir, Dinasti Ayyūbiyyah sedang disiapkan oleh
Ṣalaḥ al-Dīn al-Ayyūbī. Di pinggir sungai Onon di timur Siberia,
Jengis Khan dilahirkan. Kurang dari satu abad kemudian cucunya, yaitu
6Claude Addas, Quest for The Red Sulphur: Life of Ibn ‘Arabī, terj. Peter
Kingsley, (Cambridge; The Islamic Texs Society, 1993), h. 45. 7Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, h. 45.
13
Hulagu Khan akan menghancurkan kota Baghdād dan akan membunuh
khalifah terakhir dari Dinasti „Abbasiyah.8
Setelah Dinasti al-Muwāḥḥid al-Dūn menaklukan Murcia pada
tahun 567 H./1172 M. Ibn „Arabī dan keluarganya lalu pindah dari
Andalusia ke Sevilla pada tahun 568 H., dan menetap di sana selama 30
tahun. Kepindahannya ke Sevilla tersebut dikarenakan kota tersebut
merupakan tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas pemerintahan
atas kebaikan Abū Ya„qūb Yūsuf, penguasa Daulah Muwāḥḥid al-Dūn
pada saat itu.9
Pada masa awal Ibn „Arabī bermukim di Sevilla, kota ini sedang
dipimpin oleh Ṣulṭān Muḥammad b. Sa„d. Kota Sevilla pada saat itu,
merupakan kota yang menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur,
penyanyi dan penyair bergaul dengan failasuf dan teolog, dan bahkan
para wali berdampingan dengan dengan para pendosa.10
Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn „Arabī tumbuh di lingkungan yang
penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama
dan falsafah. Hal ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dan
pembentukkan kepribadian Ibn „Arabī kedepannya.
Periode pertama Ibn „Arabī memasuki pendidikan formalnya
ialah pada saat ia berusia 8 tahun. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di
8Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabī Tentang Kenabian dan Aulia, terj.
Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 12. 9Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 18. 10
Ibn al-Maqarrī al-Tilmisānī, Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib, v.
2 h. 161.
14
bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal Ibn „Arabī menghapal dan
memelajari al-Qur‟ān dan tafsirnya, ḥadits, fiqh, teologi, dan falsafah
skolastik. Sementara kehidupan spiritualnya ia warisi dari lingkungan
keluarganya karena memang ayahnya sendiri adalah seorang ulama dan
pengamal sebuah tarekat. Kakeknya „Abdullāh al-Hātimī adalah seorang
panglima perang yang gemilang dan seorang hakim di Andalusia.11
Dalam kitab “Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-Hātimiyyah”,
Ibrāhīm Muḥammad Salīm mengatakan bahwa di usia 14 tahun, Allah
telah membukakan kepada Ibn „Arabī satu rahasia dari rahasia-rahasia-
Nya ketika beliau berada di Fez (Maroko) pada tahun 574 H., beliau
mengatakan bahwa: Aku menikmatinya, tetapi aku tidak tahu bahwa hal
itu bagian dari rahasia-rahasia-Nya yang tidak dibukakan kepada yang
lain, lalu aku ditegur karenanya oleh Allah, dan aku pun tidak bisa
menjawab kecuali diam.12
Selama menetap di Sevilla, Ibn „Arabī muda sering melakukan
perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan
itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi berbagai tokoh, terutama para
sufi. Ibn al-Abbār menginformasikan bahwa setiap kali Ibn „Arabī
berkunjung ke suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan
11
Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 161. 12
Maksud rahasia yang telah Allah bukakan kepada Ibn „Arabī adalah bahwa
ia mendapat ilmu ladunni. Ilmu ladunni ini, beliau peroleh setelah beliau melakukan
riyāḍah (latihan). Makanya ia berpesan kepada murid-muridnya kelak, riyāḍah-lah
sebelum khalwat (bersemedi). Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-
Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-Hātimiyyah, (Beirut: Maṭba„ah al-Ḥāditsah, 1997), h. 32.
15
setempat.13
Sehingga di sela-sela kunjungannya Ibn „Arabī banyak
memeroleh ijāzah (sertifikasi) dari para ulama setempat,14
dan di mana
pun Ibn „Arabī berkunjung, ia selalu menerima penghargaan besar dan
diberi banyak hadiah yang kemudian selalu diberikannya kepada para
fakir miskin.15
Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga
kedudukan ayahnya mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur
Sevilla di usia belasan tahun, yang perlu dicatat bahwa kota Sevilla
pada saat itu selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan
pusat kegiatan tasauf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal di
sana. Artinya, pencapaian Ibn „Arabī tersebut merupakan pencapaian
yang sangat gemilang, mengingat usianya yang masih sangat muda dan
banyaknya tokoh-tokoh intelektual yang tinggal di situ. Hal ini tidak
lepas dari kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif, dan kaya
memercepat pembentukan kepribadian Ibn „Arabī sebagai tokoh sufi
yang terpelajar, apalagi ia telah masuk ṭarīqat di usia yang masih 20
tahun.16
Setelah itu, ia menikahi seorang gadis dari keluarga baik-baik
bernama Maryam. Secara kebetulan istrinya ini juga mengenal baik
13
Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 263. 14
Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 162. 15
M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000), h. 102. 16
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam: Mutiara Hikmah 27 Nabi, (Yogyakarta:
Islamika, 2004), h. 2. A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 139.
16
sejumlah manusia saleh, karena sama-sama memunyai keinginan seperti
suaminya, yaitu menempuh jalan sufi.17
Ketika Ibn „Arabī memasuki kota Kordoba dan bertemu dengan
hakimnya, yaitu Abū Wālid Ibn Rusyd.18
Sebenarnya terkadang Ibn
Rusyd meminta bertemu Ibn „Arabī dan ayahnya, dan terkadang
sebaliknya. Pada saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, dan
ia bersuka cita menyambut kedatanganku karena ia mendengar apa yang
telah aku dapatkan dalam penyendirianku, ia amat takjub atas apa yang ia
dengar.19
Ketika aku masuk ke ruangannya segera ia berdiri karena
menghormatiku seraya langsung memelukku dan berkata kepadaku “ya”,
aku menjawab: “ya”. Maka ia bertambah ceria karena aku mengerti apa
yang ia maksud. Kemudian aku merasakan sesuatu yang membuat ia
gembira dengan hal itu, aku berkata kepadanya “tidak”, maka ia langsung
diam dan berubah warna mukanya serta ragu-ragu dengan apa yang ia
miliki. Lalu ia bertanya, bagaimana aku bisa menemukan perkara tentang
penyingkapan Ilahi dan emanasi Allah. Apakah Dia memberi kita
17
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam: Mutiara Hikmah 27 Nabi, h. 2. 18
Ibn Rusyd atau Averroes di dunia Barat lahir di Cordova pada 520 H./1125
M. Ia lahir dari keluarga yang sangat relijius dan memiliki aktivitas keilmuan yang
tinggi. Kakeknya adalah seorang Hakim di Cordova dan seorang penulis berpengaruh
di Spanyol, begitu juga ayahnya. Ernest Renan, Ibn Rusyd wa Rusydiyyah, terj. „Ādil
Zu„atir (Kairo: „Īsā Bābi al-Ḥalabi, 1957), h. 79. 19
Mengenai pertemuannya dengan Ibn Rusyd, Ibn „Arabī sendiri
menceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam al-Futūḥāt. Ibn „Arabī
menuturkan bahwa Ibn Rusyd sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena
merasa mendapatkan pencerahan spiritual. Ibn „Arabī sendiri memuji Ibn Rusyd
dengan menyebutkannya sebagai golongan arbāb al-fikr wa al-naẓr al-‘aqlī (tokoh
pemikir logis) sebuah sanjungan bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat pada saat Ibn
„Arabī telah dewasa, yaitu tahun 595 H. ketika kembali dari Maroko. Ibn „Arabī, al-
Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1, ed. Maḥmūd Maṭrajī (Beirut: Dār al-Fikr, 2002), h. 235.
17
penglihatan itu, aku menjawab: “ya tidak”. Ia pun mengetahui apa yang
aku isyaratkan kepadanya.20
Percakapan sufi muda dengan failasuf besar ini menunjukkan
kecemerlangan intelektual luar biasa dan luasnya wawasan spiritual Ibn
„Arabī. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan
asasi antara falsafah dan tasauf, sekaligus memerlihatkan bagaimana
mistisisme dan falsafah berhubungan satu sama lain dalam kesadaran
metafisis kedua tokoh tersebut.
Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusyd dan setelah ia memasuki
jalan sufi (tarekat) secara formal pada tahun 580 H./1184 M. Ibn „Arabī
mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang
dimilikinya, dan ia ingin fokus mencurahkan hidupnya secara penuh di
jalan spiritual.21
Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat ialah saat ia
dan panglima al-Muwāḥḥid al-Dūn bersama-sama melaksanakan salat di
Masjid Agung Kordoba.22
Setelah itu, Ibn „Arabī menolak hidup mewah
dan mengundurkan diri dari ketentaraan, lalu ia pun mantap menempuh
jalan (Allah) dan kecenderungannya terhadap jalan itu. Dengan mengutip
20
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 225. 21
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 18. Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 425, dan
436. Sementara Michel Chodkiewicz menyebutkan bahwa pada saat Ibn „Arabī
berumur sekitar 16 tahun, ia sudah masuk tarekat. Mendekati usianya yang ke 20, ia
sudah berhasil melewati seluruh tingkatan (maqāmāt) yang harus dilalui oleh seorang
salik dalam perjalanannya menuju Allah. Selain itu, ia juga sudah menerima berkah
yang istimewa. Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabī Tentang Kenabian dan Aulia,
terj. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 12. 22
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 140.
18
dari buku “Wacana Baru Filsafat Islam” karya A. Khudori Sholeh
sebagai berikut:
“Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwāḥḥid al-Dūn)
Abū Bakr Yūsuf b. „Abd al-Mu‟mīn b. „Alī menuju ke Masjid
Agung Kordoba, dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan
rendah hati memohon pada Allah. Kemudian pikiran melintas
(khātir) menerpaku sehingga aku berkata pada diriku sendiri,
“jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana dihadapan
Allah, maka sebenarnya dunia ini tidak ada artinya”. Lalu aku
meninggalkannya pada hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya
lagi, dan sejak itu aku mengikuti jalan ini”.23
Pada tahun 590 H./1193 M., ketika pikiran-pikiran Ibn „Arabī
telah mengristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Kota pertama yang
ia kunjungi ialah kota Murur, untuk menemui Syaikh Abū Muḥammad
al-Marūri. Dari Murur ia meneruskan kelananya ke Kordoba dan
Granada, setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di
Andalusia ia lalu menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun
pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syaikh Abū
Madyan, seorang pendiri aliran tasauf. Abū Madyan adalah salah satu
orang yang sangat berpengaruh pada diri Ibn „Arabī. Hal ini terlihat dari
kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada
zamannya.24
Kendati demikian, sebenarnya keinginan Ibn „Arabī untuk
bertemu dengan Abū Madyan secara fisik tidak pernah tercapai, bahkan
ajaran Abū Madyan diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang nota
23
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 140. Ibn „Arabī,
Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 425. 24
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 44.
19
bene adalah guru-gurunya, seperti Syaikh Abū Muḥammad al-Marūri,
Syaikh Abū Ya„qūb Yūsuf b. Yakhluf al-Kūmī al-„Abbasī, dan Syaikh
al-Sadrānī.25
Akan tetapi, Ibn „Arabī meyakini bahwa Abū Madyan
mengenalnya bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.
Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai
yang menghubungkan Ibn „Arabī dengan aliran Neoplatonisme.26
Di akhir tahun 1194 M. Ibn „Arabī kembali ke Andalusia, ia pun
menulis salah satu karya besarnya, yaitu Masyāhid al-Asrār (kontemplasi
atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Maḥdawī. Sekitar tahun
yang sama ia juga menyusun Tadbīrāt al-Ilāhiyyah (pemerintahan Ilahi)
untuk al-Maurūrī.27
Setelah itu, ayahnya meninggal dunia dan disusul ibunya
beberapa bulan kemudian, Sehingga Ibn „Arabī harus menerima
kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara perempuannya.
Kondisi di Sevilla pada saat itu pun sedang terjadi ketegangan politik
antara al-Muwāḥḥid al-Dūn di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari
Castile.28
Ibn „Arabī juga mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan
pengawal ṣulṭān, namun Ibn „Arabī menolak tawaran tersebut, dan
kemudian Ibn „Arabī meninggalkan Sevilla membawa kedua saudara
25
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, (Damaskus: al-Mu„assasah al-„Ilm, 1964), h. 49. 26
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 44. 27
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 45. 28
Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabī Tentang Kenabian dan Aulia, terj.
Dwi Surya Atmaja, h. 12.
20
perempuannya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun.
Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, Ibn „Arabī bisa mencurahkan
diri secara penuh pada jalan spiritual dengan melanjutkan kelananya
tanpa beban menjaga kedua saudaranya.29
Lalu Ibn „Arabī kembali ke semenanjung Iberian untuk terakhir
kalinya pada tahun 1198 M. Di bulan Desember pada tahun itu juga ia
berada di Kordoba untuk menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Kemudian
bersama sahabat dekatnya al-Ḥabasyī, mereka menuju ke Granada dan
kembali bertemu dengan „Abdallāh al-Marūrī. Dari Granada mereka
menuju Murcia, setelah dua tahun berada di negeri kelahirannya, mereka
pergi ke Marakez. Pada awal tahun 598 H./1201 M. dari kota ini mereka
menuju Bugia lagi, dan setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir,
Ḥijāz dan kemudian menuju Makkah pada pertengahan tahun 1202 M.
untuk menunaikan haji.30
Di Makkah beliau khusuk beribadah dan sekaligus mengajar di
Masjid al-Ḥarām. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan
pun sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abū Syūja„ al-Imām
al-Muwakkil yang memunyai seorang putri cantik dan cerdas yang
bernama Nizam (keselarasan). Gadis yang memunyai nama panggilan
‘Ayn al-Syams (mata sang surya) memunculkan inspirasi pada diri Ibn
„Arabī sehingga lahirlah kitab Tarjumān al-‘Asywāq (Ungkapan-
ungkapan Kerinduan). Menurut Ibn „Arabī dalam pendahuluan karyanya
29
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 289. 30
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117.
21
itu, secara lahiriah karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada
gadis religius nan rupawan itu, tetapi sebenarnya karya itu merupakan
ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta (al-Khāliq).31
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204 M.), Ibn „Arabī sibuk
dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah Misykāt al-
Anwār, Ḥilyah al-Abdāl, Rūḥ al-Quds, dan Tāj al-Rasā’il. Namun
karyanya yang paling monumental adalah al-Futūḥāt al-Makkiyyah
(Pembukaan-pembukaan Spiritual Periode Makkah), yang diklaimnya
merupakan hasil pendiktean langsung dari Allah melalui malaikat Jibrīl.
Penulisan kitab ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka„bah, di
mana beliau bertemu dengan figur pemuda misterius yang memberinya
pengetahuan tentang makna esoterik dari al-Qur‟ān.32
Pada periode Makkah ini juga ia bertemu dengan Syaikh Majd al-
Dīn Isḥaq b. Yūsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh ini adalah
seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasehat raja di istana
Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Sadr al-Dīn al-
Qunawi, salah seorang tokoh kunci di antara murid-murid Syaikh al-
Akbār.33
Setelah melaksanakan haji, Ibn „Arabī melanjutkan perjalanannya
dari Makkah ke Madinah, setibanya di sana beliau berziarah ke
31
Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan, h. 21. 32
Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah
al-Hātimiyyah, h. 11. Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan, h.
21. Lihat juga Henry Corbin, Creatif Imagination in The Sufism of Ibn ‘Arabī, terj. R.
Manheim, (Priceton: Priceton University Press, 1969), h. 52-53. 33
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117.
22
Rasulullah saw. Lalu Ibn „Arabī meneruskan perjalanan masuk ke Ṭā„if
selanjutnya ke „Irāq, lalu kota Mosil (salah satu kota di Syām) pada tahun
600 H., di Mosil beliau bertemu dan berkumpul dengan para tokoh kota
ini. Selanjutnya beliau pergi meninggalkan Mosil menuju Baghdād, ia
sampai di kota Abū Nawas ini pada tahun 601 H.34
Dari Baghdād beliau
menuju Kairo pada tahun 603 M. dan setelah itu ia tidak pernah kembali
lagi ke Andalusia.35
Pada tahun 608 H./1211 M. Ibn „Arabī memasuki „Irāq (Baghdād)
lagi bermaksud untuk menemui Syaikh Syihāb al-Dīn „Umar al-
Suhrawardi, mursyid Madrasah Sufi di Baghdād (pengarang ‘Awārif al-
Ma‘ārif). Diceritakan bagaimana Ibn „Arabī bertemu dengan Suhrawardi:
untuk yang pertama, masing-masing saling memandang dalam waktu
yang agak lama tanpa sepatah kata pun keluar dari lisan keduanya,
kemudian keduanya berpisah tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun.
Setelah pertemuan ini berlalu, berkatalah Suhrawardi kepada muridnya
mengenai Ibn „Arabī: Huwa baḥrun ‘amīq fī al-Ḥaqīqah” (Dia adalah
lautan yang dalam mengenai hakikat).36
Dalam salah satu wasiatnya Ibn „Arabī pernah mengatakan
kepada murid-muridnya: Hendaklah kalian melakukan riyāḍah sebelum
khalwat (semedi). Riyāḍah adalah suatu proses pembinaan akhlak,
meninggalkan kemewahan dan kesombongan, dan sanggup menanggung
34
Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah
al-Hātimiyyah, h. 12. 35
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117. 36
Ibn „Arabī, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz 1, h. 6.
23
aẓā (derita). Sesungguhnya manusia jika keterbukaannya (kasyf al-ḥijab)
mendahului riyāḍah-nya maka tidak akan ada orang yang mengalami hal
serupa ini kecuali jarang sekali.37
Setelah Ibn „Arabī melakukan kunjungan ke berbagai tempat,
pada tahun 618 H./1221 M. di Aleppo, Majd al-Dīn Isḥaq wafat dan Ibn
„Arabī mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra Majd al-Dīn
yaitu, Sadr al-Dīn al-Qunawi yang saat itu berusia 7 tahun. Tidak berapa
lama kemudian sahabatnya al-Ḥabasyī juga wafat.38
Pada tahun 620 H./1223 M. Ibn „Arabī menetap di Damaskus
hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo
pada tahun 1231 M. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa,
kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah
menggerogoti kesehatannya. Di kota ini Ibn „Arabī merampungkan karya
besarnya, yaitu al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan juga Fuṣūṣ al-Ḥikam
sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu, ia juga menyelesaikan
puisinya al-Dīwān al-Akbār. Adapun Sadr al-Dīn al-Qunawi yang telah
dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama
dengan Awḥad al-Dīn Kirmani sahabat Ibn „Arabī sekaligus guru
Qunawi.39
Di Damaskus, Ibn „Arabī beserta keluarganya menghabiskan sisa
hidupnya dengan tenang, tentram dan sakinah. Para murid dan
37
Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah
al-Hātimiyyah, h. 33. 38
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 117. 39
Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī al-Majmū‘ah
al-Hātimiyyah, h. 30.
24
pengikutnya berkeliling disekitarnya. Selain menyusun kitab, Ibn „Arabī
juga menyampaikan wejangan-wejangan (mau‘iẓah) dan pemikiran-
pemikiran falsafahnya kepada murid-muridnya hingga akhir hayatnya.40
Ibn „Arabī meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal
28 Rabi„ al-Akhīr 638 H./16 November 1240 M. pada usia 78 tahun
dikelilingi oleh keluarga, para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia
dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota Salihiyah di kaki
gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras dengan
berakhirnya norma imanennya. Karena tempat di mana Ibn „Arabī di
makamkan bersama kedua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam
pandangan Muslim telah disucikan oleh semua Nabi, terutama Nabi
Khiḍir.41
Ibn „Arabī meninggalkan dua anak yaitu Sa„d al-Dīn Muḥammad
yang dilahirkan pada bulan Ramaḍan tahun 618 H./1221 M. Ia seorang
sastrawan sufisme besar yang terkenal, ia memunyai balai tempat
menampilkan karya-karya seninya. Sa„d al-Dīn meninggal pada tahun
656 H. dan dimakamkan di luar kota Damaskus di kaki gunung Qasiyun
bersebelahan dengan ayahnya, Ibn „Arabī. Anak yang satu lagi adalah
„Imād al-Dīn Abū „Abdillāh Muḥammad, ia meninggal di Madrasah al-
Sāliḥiyyah dan juga dimakamkan di sebelah ayahandanya berdekatan
dengan saudara tuanya. Ibn „Arabī juga memiliki seorang putri bernama
Sayyidah Zainab. Menurut Ibn „Arabī, sejak kecil anak putrinya Zainab
40
M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 103. 41
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabī, (Yogyakarta: Lkis,
2002), h. 80.
25
telah sering mendapatkan intuisi (ilham) dan mukāsyafah (terbuka
hijab).42
Pada abad ke 16 Salīm II Sulṭān Konstantinopel membangun
suatu mausoleum dan madrasah di atas makam Ibn „Arabī.43
Masa Ibn
„Arabī hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti, Suhrawardi,
Najmu al-Dīn al-Rāzi, Musliḥ al-Dīn, Sa„di, Abu al-Ḥasan al-Maghrīb al-
Syadzīli, Jalal al-Dīn Rumī dan b. al-Farīḍ, dan dari pemikiran Ibn „Arabī
banyak memengaruhi para failasuf dan sufi lainnya.44
2. Pendidikan
Setelah dinasti al-Muwāḥḥid al-Dūn menaklukan Murcia pada
tahun 567 H./1172 M. Ibn „Arabī dan keluarganya pindah ke Sevilla. Ibn
„Arabī menghabiskan masa kecilnya di Sevilla, di kota pusat ilmu
pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal Ibn „Arabī
memulai pendidikannya dengan menghapal dan memelajari al-Qur‟an,
tafsir, fikih, teologi, dan falsafah skolastik.45
Di Sevilla, Ibn „Arabī mendapatkan ijāzah (sertifikasi) dari
banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.46
Di antara guru yang
42
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 30. 43
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabī, h. 80. 44
M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 103. 45
Imam Syams al-Dīn Ibn Muṣaddad menerangkan bahwa Ibn „Arabī
merupakan anak yang cerdas, teliti, banyak mengetahui ilmu pengetahuan dalam
segala bidang, cepat menangkap sesuatu dengan pikirannya, termasuk anak termaju
dan terpintar dalam negerinya. Diantara gurunya ialah Ibn Zarqum, Ibn al-Jaddī dan
„Abd al-Walid al-Ḥadrāmī. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī: Waḥdat al-Wujūd dalam
Perdebatan, h. 18. 46
Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 161.
26
menjadi tempat Ibn „Arabī mendalami al-Qur‟an adalah Abū Bakr al-
Lakhmī ahli qirā’ah al-sab‘ah, Abū al-Ḥasan Syurayḥ anak dari
Muḥammad al-Ra„īnī penulis kitab al-Kāfī dalam ilmu qirā’ah, dan Abū
al-Qāsim al-Syarraṭ. Selain kitab al-Kāfī, ia juga memelajari kitab al-
Tabṣīrah karangan Abū Muḥammad al-Muqrī dan kitab al-Taysīr
karangan Abū „Amr b. Abū Sa„īd al-Dānī.47
Ibn „Arabī memelajari fiqh
dengan madzhab Mālikī kepada Muḥammad Ibn Qasūm seorang sufi dan
faqīh.48
Sebagai sosok sufi besar, Ibn „Arabī memunyai banyak sekali
guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia menyebutkan dalam Rūḥ al-Quds,
ada sekitar lima puluhlima tokoh di antara guru spiritualnya.49
Dalam
kitab Rūḥ tersebut, Muḥyi al-Dīn Ibn „Arabī hanya menyebutkan tokoh-
tokoh yang menjadi gurunya pada periode pertama, yaitu ketika ia masih
bermukim di Andalusia dan Maroko. Akan tetapi, ini bukan berarti kitab
Rūḥ tersebut ditulis pada masa itu. Kitab tersebut ditulis Ibn „Arabī
ketika ia melakukan haji yang pertama atau pasca ia meninggalkan kota
Andalusia dan Maroko. Karena, Ibn „Arabī menyebutkan beberapa
kejadian saat ia berkunjung dan mengajar di Makkah.50
Sementara haji
yang pertama dilakukannya pada periode kedua, yaitu pada tahun 599
H.51
47
Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘ Karāmāt al-Awliyā’,(Beirut: Dār al-Fikr, 2005), v.
1 h. 202-203. 48
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 55. 49
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 84. 50
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 9 dan 12. 51
Ibn al-Maqarrī, Nafḥ, v. 2 h. 263.
27
Claude Addas mengatakan bahwa semua guru spiritual Ibn „Arabī
di Andalusia bermadzhab Mālikī. Hal ini tidaklah mengherankan karena
Mālikī merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Meskipun demikian,
Ibn „Arabī tetap memelajari madzhab lain, seperti fiqh Ibn Ḥazm yang
bercorak Ẓahirī.52
Sementara itu, Ibn „Arabī memelajari ilmu ḥadīts dari
„Abd al-Ḥaqq al-Isybīlī ketika masih bermukim di Sevilla. Dalam kitab
Jāmi‘ Karāmāt al-Awliyā’, Yūsuf al-Nabhānī mengatakan bahwa „Abd
al-Ḥaqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang ilmu ḥadīts
kepada Ibn „Arabī. Ia memelajari Ṣaḥīḥ Bukhārī dari Yunūs b. Yaḥyā al-
Ḥasyimī dan Ṣaḥīḥ Muslim dari „Abd al-Ṣamad al-Ḥarastanī.53
Tetapi,
Ibn „Arabī juga memelajari Ṣaḥīḥ Muslim dari tokoh lain seperti Ibn
Ṣā„id al-„Arāwī.54
Di samping itu, Ibn „Arabī juga menyebutkan tokoh yang berbeda
sekitar tujuhpuluh nama. Ketika ia memberi sertifikasi (ijāzah) Ṣulṭān al-
Muẓaffar Sayf al-Dīn Qutuz (w. 658 H/1260 M), diantara mereka ada
yang ahli qirā’at, fiqh, teologi, ḥadīts, sejarah dan lainnya.55
Akan tetapi,
menurut Addas bahwa sertifikasi tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H.
ketika Ibn „Arabī telah menetap di Damaskus. Sehingga bagi Addas
bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut bisa jadi belum menyakup
semua guru Ibn „Arabī. Karena usia Ibn „Arabī pada saat itu sudah lebih
52
Claude Addas, Quest, h. 45. 53
Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘, v. 1 h. 203. 54
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt,v. 2 h. 452. 55
Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘ Karāmāt al-Awliyā’, v. 1 h. 202.
28
dari tujuhpuluh tahun, dan memungkinkan adanya faktor usia senja
seperti lupa.56
Namun, Addas telah melakukan penelitian lebih lanjut terhadap
hal ini, dan ia berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn „Arabī
berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari 60 tokoh
yang menjadi guru Ibn „Arabī pada periode 565 sampai 585 H. yang
kebanyakan berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai
610 H. terdapat 100 tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla.
Addas juga menjelaskan bahwa semua jumlah itu menyakup pelbagai
disiplin ilmu tradisional seperti ḥadīts, fiqh, dan al-Qur‟ān, bahkan juga
termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.57
Artinya bahwa Ibn
„Arabi merupakan sosok yang sanggup memelajari dan memahami
banyak bidang pengetahuan. Sehingga, tidak mengherankan dalam karya-
karyanya terlihat keluasan pengetahuan beliau dalam menjelaskan bidang
pengetahuan selain alirannya.
Semenjak Ibn „Arabī bertemu dengan Abū Ja„far Aḥmad al-„Arībī
di Sevilla, kekeringan batinnya mulai tercerahkan nuansa spiritual. Ibn
„Arabī menyatakan bahwa al-„Arībī merupakan guru pertama yang ia
temui dalam dunia spiritual. Meskipun Al-„Arībī seorang yang buta
huruf, namun bagi Ibn „Arabī, al-„Arībī adalah sosok yang menarik.
Penjelasan al-„Arībī mengenai teologi tidak kering dari nuansa spiritual,
56
Claude Addas, Quest, h. 96. 57
Claude Addas, Quest, h. 94.
29
bahkan sangat berasa tasauf dan hal inilah yang membuat Ibn „Arabī
merasa sangat terkesan kepada al-„Arībī.58
Tokoh lain yang sangat berpengaruh pada diri Ibn „Arabī selama
di Andalusia adalah Abū Ya„qūb b. Yakhlūf al-Kūmī sahabat sekaligus
murid Abū Madyan. Pertama kali Ibn „Arabī mengenal kitab Risālah al-
Qusyayrī ialah ketika ia melakukan perjalanan dengan Abū Ya„qūb.59
“wa mimmā syāhadatihi minhu raḍiya Allāh ‘anhu walima
akunna qaṭṭu ra’aytu Risālatu al-Qusyairī walā ghairuhā walā
kānat ’adrī lafẓatu al-tasawwuf ‘alā mādzā tanaṭṭuq... waqala lī
iqrā’”.
“Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abū Ya„qūb
adalah ketika aku belum mengenal kitab Risālah al-Qusyayrī dan
literatur lainnya, bahkan belum mengenal terminologi tasauf... ia
berkata kepadaku bacalah (kitab ini)”.60
Sekilas tentang kitab Risālah al-Qusyayrī, kitab ini merupakan
kitab tasauf yang sangat populer di kalangan ulama tasauf. Kitab tersebut
ditulis oleh al-Qusyayrī (465 H.) berdasarkan akidah Sunnī Asy„āriyyah
yang diyakininya. Dalam kitab Risālah, Al-Qusyayrī menulis kaedah
teologi pada permulaan kitab.61
Karena hal ini juga al-Qusyayrī pernah
diusir oleh kelompok mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut
penguasa Naisapur. Akan tetapi, Ibn „Arabī berpendapat bahwa sikap al-
Qusyayrī mengemukakan kaedah teologi di permulaan kitabnya
58
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 46. 59
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 49. 60
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah,v. 8 h. 287. 61
Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj, (Kairo: al-
Tawfīqiyyah, t.t.), h. 22.
30
bertujuan untuk menghindari asumsi negatif kaum teolog kepadanya dan
para tokoh sufi.62
Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa meskipun Ibn „Arabī
telah mendapatkan nuansa spiritual melalui al-„Aribī, tetapi beliau
mengenal literatur dan istilah tasauf dari Abū Ya„qūb. Namun demikian,
Ibn „Arabī juga tidak mendapatkan ijazah kitab Risālah ini dari Abū
Ya„qūb, melainkan ia dapatkan dari Muḥammad al-Bakrī.63
Selain berguru kepada tokoh lelaki, Ibn „Arabī juga belajar
kepada tokoh perempuan seperti Fāṭimah bint Abū al-Mutsannā. Fāṭimah
merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn „Arabī merupakan murid
yang paling disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh
hati kepada Fāṭimah.64
Ia menuturkan:
Kānat taqūlu “Lā ya‘jibunī aḥadan miman yadkhulu ‘alayya
ghairu fulān ta‘nī ’iyyāyi, fayaqāla lahā bimā dzāka fataqūlu mā
minnakum aḥadan yadkhulu ‘alayya illā biba‘ḍihi wa yatraku
ba‘ḍihi fī aghrāḍihi min dārihi wa ahlihi, illā Muḥammadin Ibn
al-‘Arabī walidī wa qurratun ‘annī, faidzā dakhala ‘alayya
dakhala bikullihi”.
Dia (Fāṭimah) berkata: “Tidak ada orang yang membuat aku
kagum melainkan si fulan; maksudnya adalah saya”. Ada yang
bertanya mengapa ia kagum, Fāṭimah menjawab: “Hal ini
dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan
pikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn
„Arabī anakku dan penyejuk hatiku. Apabila ia belajar kepadaku,
ia datang dengan sepenuh hati”.65
62
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 8 h. 287. 63
Yūsuf al-Nabhānī, Jāmi‘, v. 1 h. 204. 64
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 85. 65
Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, h. 85.
31
Selanjutnya di saat Ibn „Arabī berusia tujuh tahun, yaitu di
tahun 568 H./ 1172 M. Ketika beliau dan keluarganya meninggalkan
kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Sevilla. Ibn „Arabī
menerima pendidikan agama Islam pertamanya berupa membaca al-
Qur‟ān dan memelajari hukum-hukum Islam dari Syaikh Abū Bakr b.
Khallaf. Di kota Sevilla ini juga pendidikan formal Ibn „Arabī dimulai
ketika ayahnya menjabat di istana. Pendidikan yang umum pada saat itu
ialah berupa memelajari al-Qur‟ān, ḥadīts, fiqh, teologi, dan falsafah
skolastik, serta ilmu kalam.66
Selain itu, masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi yang Ibn „Arabī
temui dan ia berguru kepada mereka atau paling tidak Ibn „Arabī
mencari berkah (tabarruk) kepada mereka sebagaimana yang terjadi
dalam beberapa kasus, dan kelihatannya tidak mungkin semuanya
penulis angkat dalam tulisan ini. Beberapa nama dapat disebut
misalnya, Syaikh Abū Muḥmmad „Abdullāh b. Ibrāhim al-Mālikī,
Syaikh Abū Isḥaq Ibrāhim b. Aḥmad b. Ṭarif al-„Abasī, Syaikh Abū al-
„Abbas b. Tājah, Syaikh Abū al-„Aṣi Abū „Abdillāh al-Bāji, Syaikh
Abū Zakariyah Yaḥyā b. Ḥasan al-Ḥusnā, Syaikh „Abd al-Salām al-
Aswād, Syaikh Mūsa al-Mu„allim, Syaikh Abū „Abdillāh al-Murābiṭi,
dan Syaikh Maymūn al-Tūnisī.67
Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga
kedudukan ayahnya mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur
66
M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 101. 67
Goldziher, Madzāhib al-Tafsīr, h. 264.
32
Sevilla di usia belasan tahun, yang perlu dicatat bahwa kota Sevilla
pada saat itu selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan
pusat kegiatan tasauf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal di
sana. Artinya, pencapaian Ibn „Arabī tersebut merupakan pencapaian
yang sangat gemilang, mengingat usianya yang masih sangat muda dan
banyaknya tokoh-tokoh intelektual yang tinggal di situ. Hal ini tidak
lepas dari kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif, dan kaya
memercepat pembentukan kepribadian Ibn „Arabī sebagai tokoh sufi
yang terpelajar, apalagi ia telah masuk ṭarīqat di usia yang masih 20
tahun.68
Jabatannya sebagai sekretaris gubernur Sevilla tidak membuat ia
larut hanya dengan pekerjaannya, tetapi Ibn „Arabī masih saja giat
belajar. Hal ini dikarenakan ia merupakan orang yang sangat haus akan
ilmu, dan bahkan tidak merasa puas dengan „ulama yang ada di
daerahnya.
Oleh karena itu, dalam rangka memerluas ilmu pengetahuannya
tatkala menginjak usia 30 tahun Ibn „Arabī mulai melakukan
pengembaraan ke berbagai negeri Islam. Selain Andalusia, ia juga ke
Maroko dan Aljazair. Pada tahun 597 H./ 1201 M. Ibn „Arabī tiba di
Mesir bersama murid dan pembantunya, yaitu „Abdullāh al-Ḥabasyī. Di
negeri ini, ia tidak tinggal lama, karena ia bertemu dengan para
penentang ajarannya. Banyak percobaan pembunuhan yang dilakukan
68
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam: Mutiara Hikmah 27 Nabi, h. 2. A. Khudori
Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, h. 139.
33
oleh penentang ajarannya di Mesir, namun Ibn „Arabī lolos dari maut
atas bantuan dan perlindungan seorang Syaikh yang berpengaruh yang
menjadi penduduk Mesir saat itu. Meskipun penguasa Mesir amat
mencintainya dan wali Mesir amat senang atas kehadirannya, bahkan ia
juga sempat diangkat menjadi Imām. Namun, Ibn „Arabī memutuskan
untuk melanjutkan perjalanannya.69
Dari Mesir ia terus berkelana ke Timur mengunjungi al-Quds
dan Makkah al-Mukarramah, di sini ia juga mengajar untuk waktu
tertentu.70
Makkah bagi Ibn „Arabī bukan sekedar tempat melaksanakan
ibadah haji, tawaf mengelilingi ka„bah dan ibadah-ibadah lainnya.
Makkah baginya, adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan
mistiknya. Ka„bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus
untuk memeroleh pengalaman ruhani yang tidak mungkin diperoleh di
tempat lain. H. Corbin, melukiskan, sebagaimana dikutip oleh Kautsar
Azhari Noer, peristiwa hakiki dan menentukan hanya ditimbulkan
dengan bermeditasi (khalwat) “di sekitar Ka„bah” karena peristiwa-
peristiwa seperti itu terjadi hanya “dalam pusat dunia”, yaitu kutub
mikrokosmos batini, dan ka„bah adalah pusat dunia.71
Kunjungannya ke ka„bah secara teratur untuk beribadah dan
bermeditasi membuahkan pengalaman-pengalaman ruhani. Di antara
pengalaman-pengalaman itu ada dua yang perlu disebutkan di sini.
69
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 12. 70
M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, h. 102. 71
Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 89.
34
Pertama, ia mengalami visi tentang “kemudaan abadi” yang boleh
dikatakan mewakili perpaduan apa-apa yang berlawanan, concidentia
oppositorum, yang dalam keseluruhannya semua ketegangan dapat
dipecahkan. Kedua, visi yang menegaskan bahwa ia adalah penutup
Walāyah Muḥammadiyyah.72
Ia kembali pergi ke Makkah pada tahun 604 H./1207 M. Hanya
satu tahun ia tinggal di kota suci ini. Setelah itu, ia mengunjungi Ḥijaz
dua kali, dan ia juga ke Asia Kecil melalui Aleppo. Ia sampai di Kunya
(Quniyyah) pada tahun 607 H./1210 M. Di sana ia disambut hangat
oleh Raja Kay Kaus dan penduduknya. Pengaruhnya di Konya
menyebar dengan cepat di masyarakat dan khususnya di kalangan para
sufi. Tokoh yang paling berjasa dalam proses penyebaran ajaran Ibn
„Arabī adalah Sadr al-Dīn al-Qunawi (w. 673 H./1274 M.), murid
terdekat dan terpenting Ibn „Arabī, dan menjadi komentator karya-
karya gurunya itu. Beberapa ahli mengakui bahwa al-Qunawi adalah
tokoh yang berhasil membantu pemaduan ajaran-ajaran Ibn „Arabī dan
sufisme timur.73
B. Karya-karya Ibn ‘Arabī
Dalam pengembaraan spiritualnya, Ibn „Arabī banyak menghasilkan
karya-karya ilmiah yang dinilai para peneliti amat tinggi nilai intelektual
dan spiritualnya. Selain itu, sulit untuk membedakan mana karya intelektual
72
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 47-48. 73
Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 22.
35
Ibn „Arabī dan mana karya spiritualnya. Karena yang Ibn „Arabī tulis,
materinya menggambarkan kajian yang mendalam secara falsafi, juga cara
penelitian dan penulisannya seringkali menggambarkan pendekatan mistis
yang boleh jadi hasil dari sebuah pendekatan spiritual melalui “riyāḍah
(latihan) dan mujāhadah (mengekang hawa nafsu)”. Kitab Fuṣūṣ al-Ḥikam
misalnya, yang merupakan karya ilmiah yang berasal dari ilham (intuisi)
yang secara khusus diberikan Rasulullah kepada Ibn „Arabī sewaktu beliau
berada di Damaskus.74
Demikian juga dengan kitab “al-Futūḥāt al-Makkiyyah” merupakan
karya dari sebuah penyingkapan (al-Kasyf) tatkala beliau melihat
keagungan Allah di Masjīd al-Ḥarām. Dengan demikian, dalam paparan ini
penulis tidak akan membuat garis pemisah antara karya intelektual dan
karya spiritual Ibn „Arabī.
Menurut Ibrāhim Muḥammad Salim, karya tulis Ibn „Arabī tidak
kurang dari 400 judul buku. Di Perpustakaan al-Kutub al-Misriyyah ada
sebuah katalog khusus yang memuat nama-nama karya tulis Ibn „Arabī.
Bahkan seorang penulis kitab “al-Burhān al-Aẓar fī Manāqib al-Syaikh al-
Akbār”, yaitu „Abd al-Raḥmān al-Jamī„, di samping menyebutkan sebagian
besar karya-karya Ibn „Arabī, Jamī„ juga mencatat nama-nama komentator
terhadap kitab “Fuṣūṣ al-Ḥikam”. Menurut penelitiannya tidak kurang dari
36 komentator.75
74
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī (Beirut: Dār al-Kitāb al-
„Arabī, 1980), v. 1 h. 17. 75
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 90.
36
Ibn „Arabī sendiri diperkirakan pernah menyebut angka 289 tulisan
di dalam sebuah catatan yang ditulisnya pada tahun 632 H./1239 M.76
Karya-karya itu menyakup persoalan metafisika, kosmologi, psikologi,
penafsiran terhadap al-Qur‟ān dan semuanya bertujuan menjelaskan makna-
makna esoterik. Menurut Stephen Hirtenstein, Ibn „Arabī menulis tidak
kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan Stephen sebanyak
30 buah, termasuk didalamnya master piece “al-Futūḥāt al-Makkiyyah” dan
magnum opus “Fuṣūṣ al-Ḥikam”.77
Kitab “Al-Futūḥāt al-Makkiyyah” (Pembukaan Spiritual Periode
Makkah), judul lengkapnya adalah al-Futūḥāt al-Makkiyyah fī Ma‘rifat al-
Asrār al-Mālikiyyah wa al-Mulkiyyah. Berisi tentang kehidupan spiritual
para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan
persoalan-persoalan mulai dari teologi, mistisisme, fiqh, dan falsafah. Kitab
ini terdiri atas 560 bab dalam empat jilid besar. Menurut perhitungan
William C. Chittick, kitab ini memenuhi 37 volume atau 18.500 halaman
untuk keseluruhan teks dalam edisi kritis Utsmān Yaḥyā.78
Menurut
pengakuan Ibn „Arabī, bahwa kitab ini didiktekan Allah melalui malaikat
Jibrīl. Karya ini mulai ditulis di Makkah pada tahun 598 H./1202 M., dan
selesai di Damaskus pada tahun 629 H./1231 M. untuk versi pertama dan
pada tahun 636 H./1238 M. untuk versi kedua.79
76
Lihat Abū „Alā. „Afīfī, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabī, terj. Syahriri Mawi dan
Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 3. 77
Stephen Hirtenstein, The Unlimited Mercifier, terj. Tri Wibowo (Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud) (Jakarta: Rajagrafindo, 2001), h. 12. 78
Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 25. 79
Lihat A.E. „Afīfī, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabī, judul asli, h. 3.
37
Kitab al-Futūḥāt al-Makkiyyah ditulis setelah Ibn „Arabī mendapatkan
futūḥ (penyingkapan spiritual), ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh sebab
itu, ia memberikan judul kitabnya itu dengan “al-Futūḥāt al-Makkiyyah”
(Penyingkapan Spiritual Periode Makkah). Ibn „Arabī memulai kitab tersebut
dengan kajian teologis sebagai dasar pijakan ajaran spiritual.80
Menurut al-Sya„rānī, bahwa kitab tersebut merupakan literatur yang
paling komprehensif mengenai tasauf. Bahkan, kitab tersebut mencakup
pelbagai rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika
pemikiran para intelektual Muslim. Al-Sya„rānī juga menambahkan bahwa
jika kitab itu dibaca seorang ahli hukum maka ilmunya akan bertambah,
begitu juga jika seorang ahli interpretator, teologi, ahli ḥadīts dan ahli ilmu
lainnya membaca kitab itu, maka wawasannya akan bertambah luas.81
Kitab Ibn „Arabī berikutya adalah “Fuṣūṣ al-Ḥikam” (Untaian
Permata Kebijaksanaan). Meskipun kitab ini tidak terlalu besar, tetapi
merupakan karya Ibn „Arabī yang amat penting. Kitab ini dianggap banyak
peminat sebagai intisari dari ajaran Syaikh al-Akbār. Itulah sebabnya
banyak para pakar yang mencoba mengomentari kitab ini. Secara umum
isinya menjelaskan tentang hubungan setiap Nabi dengan asal dan sumber
ilmunya yang tak lain adalah al-Insān al-Kāmil atau al-Ḥaqīqah al-
Muḥammadiyyah.82
80
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 5 h. 312. 81
Al-Sya„rānī, al-Kibrītal-Aḥmar, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005),
h. 7. 82
Noer Iskandar Al-Barsani, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, h. 156.
38
Diakui Ibn „Arabī, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi saw
untuk diajarkan pada umat manusia. Kitab ini terdiri dari 27 bab, setiap bab
mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai dari
nabi „Ādam dan ditutup dengan Nabi Muḥammad. Secara keseluruhan kitab
Fuṣūṣ al-Ḥikam memresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda
menuju kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muḥammad.
Kitab ini disusun pada tahun 627 H./1230 M. di Damaskus, sepuluh tahun
sebelum ia wafat.83
Pencantuman nama nabi sebagai judul setiap bab sesuai dengan
kebijaksanaan (ḥikmah) yang dijelaskan dalam setiap bab. Setiap nabi yang
disimbolkan Ibn „Arabī dengan faṣ (pengikat permata pada cincin),
menggambarkan suatu aspek tertentu dari kebijaksanaan Ilahi yang terjelma
(tajallī) pada setiap nabi itu, yang menjadi lokus penampakkan diri (majlā)
Allah. Jumlah 27 nabi dalam kitab tersebut dikarenakan Ibn „Arabī
menambahkan Nabi „Uzayr dan Khālid Ibn Sinān.84
Karya-karya Ibn „Arabī, sebagaimana telah dijelaskan di atas, ada
yang masih berupa manuskrip dan ada yang sudah dicetak dan
dipublikasikan. Selain dua karya di atas, berikut ini penulis ungkap kitab-
kitab penting Ibn „Arabī yang telah dicetak penerbit dan dipublikasikan.
Kitab “al-Mawāqi‘ al-Nujūm wa Maṭāli‘ Aḥillāt al-Asrār wa al-
‘Ulūm” (Tempat Beredarnya Bintang-bintang dan Meneliti Rahasia-rahasia
Bulan Sabit dan Ilmu). Kitab ini telah ditahqiq dan diterbitkan secara luas
83
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī, v. 1 h. 17. 84
Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 28.
39
oleh Alam el-Fikr Book Shop, Cairo tahun 1998. Kitab ini mengungkap
secara mistis tentang hidayah, astrologi, hati, dzikir, dan beberapa uraian
tentang akhak termasuk di dalamnya adab terhadap guru dan mursyid. Kitab
ini ditulis Ibn „Arabī pada 11 Ramadan, tahun 595 H./1199 M. Judul kitab
ini “mawāqi‘ al-Nujūm” diambil dari sumpah Allah dalam surah al-
Wāqi„ah.
Lalu kitab “Misykāt al-Anwār fī Aḥādits al-Syārifah” (Relung-relung
cahaya dalam ḥadits-ḥadits Mulia). Kitab ini memuat dan menjelaskan 101
buah ḥadīts Qudsi yang berkaitan dengan falsafah dan mistisisme Islam.
Penjelasannya amat mendalam dan diungkap dalam bahasa yang singkat
tetapi padat (ījāz).85
Kitab “Dīwān Ibn ‘Arabī” (Kumpulan Puisi Ibn „Arabī), kitab ini
berisi puisi-puisi ciptaan Ibn „Arabī yang berkaitan dengan berbagai
permasalahan keagamaan dan kehidupan. Kitab ini ditahqiq oleh Aḥmad
Ḥasan Bāj dan diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Beirut. Lalu
kitab al-Risālah al-Wujūdiyyah, sesuai dengan namanya kitab ini berisi
sebuah risalah yang secara spesifik menjelaskan makna Ḥadīts “Man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. Dari penjelasan Ḥadīts ini selanjutnya Ibn
„Arabī mengajak pembaca untuk memahami konsep waḥdah al-wujūd yang
merupakan ide dasar dalam berbagai pemikiran falsafahnya.86
85
Ibn „Arabī, Misykāt al-Anwār fimā ruwiya ‘an Allāh subḥānahu min al-
Akbār, (Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1999), h. 3. 86
Ibn „Arabī, al-Risālah al-Wujūdiyyah, (Cairo: Maktabah al-Qāhirah, tt), h.
13.
40
Kitab “Syajarāh al-Kaun” (Pohon Eksistensi), kitab ini bercerita
tentang keunikan person Muḥammad dalam hubungannya dengan Allah,
manusia dan alam semesta secara keseluruhan. Kitab ini amat menarik
banyak pemerhati falsafah Islam. Itulah sebabnya banyak orang yang
mengajinya secara serius, misalnya „Abd al-Raḥmān Ḥasan Maḥmūd.
Sarjana Barat yang mendalami materi ini, antara lain A. Jeffery, ia
menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Ibn
‘Arabī’s Syajarāh al-Kaun”. Demikian juga Gloton ke dalam bahasa
Prancis dengan judul “L’Arbre du Monde”.87
Kitab Tadbīrāh al-Ilāhiyyah (Pemerintahan Ilahi). Judul lengkap
kitab ini adalah Tadbīrāt al-Ilāhiyyah fī Iṣlāḥ al-Mamlakah al-Insāniyyah.
Kitab ini mengupas tentang sistem pemerintahan dalam Islam. Agak unik
memang, Ibn „Arabī merupakan sosok manusia ensiklopedis. Ia mampu
membahas tasauf dan falsafah secara mendalam, fikih dan tafsir secara
mumpuni. Demikian juga masalah teori kepemimpinan dan sistem
pemerintahan, seperti yang ia ungkapkan dalam kitab ini. Kitab ini
diterbitkan oleh Penerbit „Ālam al-Fikr. Midan Sayyidina al-Ḥusain al-
Azhar al-Syarīf.
Kitab “‘Aqīdah fī al-Tauḥīd” (Akidah Tauḥīd) atau “‘Aqīdah ahl al-
Islām” (Akidah Islam). Kitab teologis ini ditahqiq oleh „Abd al-Raḥmān
Ḥasan Maḥmūd dan diterbitkan oleh Maktabah „Ālam al-Fikr, Cairo, Mesir.
Materinya sendiri terutama membahas tentang masalah-masalah keyakinan
87
Kautsar Azhari Noer, Waḥdat al-Wujūd, h. 28. Lihat dalam catatan kakinya,
Ibn „Arabī, L’Arbre du Monde, terj. M. Gloton (Paris: Les Deux Oceans, 1982)
41
meliputi apa yang wajib diyakini, bagaimana cara kita meyakini (iman)
yang baik dan benar, juga apa saja hal-hal yang dapat merusak iman.
Selanjutnya kitab “al-Anwār fimā Yamnahu Ṣāḥib al-Khalwah min Asrār li
Ibn ‘Arabī” (Rahasia Cahaya-cahaya Sebelah Kanan-Nya bagi mereka yang
melakukan khalwat, oleh Ibn „Arabī). Tulisan Syaikh yang besar ini
ditahqiq oleh penahqiq yang sama dengan kitab sebelumnya. „Abd al-
Raḥmān Ḥasan Maḥmūd, dan diterbitkan oleh Maktabah „Ālam al-Fikr,
Cairo, Mesir.
Di antara karya-karya Ibn „Arabī yang belum dipublikasikan,
menurut Ibrāhim Muḥammad Salim, antara lain adalah kitab “al-Tauqī‘āt”.
Kitab ini merupakan kumpulan risalah-risalah Ibn „Arabī. Karya yang
lainnya adalah Syuzūn al-Masyjūn. Kitab ini merupakan kitab yang unik
yang mengulas secara mendalam tentang rahasia-rahasia segala ciptaan dan
mengupas pula tentang ilmu pengetahuan yang konvensional. Kedua
manuskrip ini, menurut Muḥammad Ibrāhim Muḥammad Salim, dapat
dilihat di Perpustakaan “Dār al-Kutub al-Misriyyah”. Adapun kitab lain Ibn
„Arabī dalam bidang tafsir, yaitu al-Tafsīr al-Kabīr yang tidak kurang dari
64 jilid.88
Masih banyak karya Ibn „Arabī lainnya yang tidak ditulis dalam
skripsi ini.
Pribadi Ibn „Arabī yang sangat haus akan ilmu pengetahuan, ini
terlihat dari bagaimana dirinya melakukan eksplorasi terhadap disiplin ilmu
lainnya. Akan tetapi, semua itu dilakukan untuk memfungsikan dan
88
Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad Salīm, Ta‘yīd al-Sūfiyyah fī Majmū‘ah al-
Hatimiyyah, h. 91.
42
mengarahkan demi sebuah tujuan awal, yaitu tasauf. Hal lain yang juga
menjadi salah satu ciri khas dalam diri Ibn „Arabī, yang membedakan
dengan penulis buku ke-Islaman lainnya ialah tema yang diusung Ibn
„Arabī hanya satu: tasauf dan ilmu relung hati (‘ilm al-asrār).89
89
Ibrahim Muhamad al-Fayumi, Ibn ‘Arabī Menyingkap Kode Dan Menguak
Simbol Dibalik Paham Wiḥdah al-Wujūd, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 17.
43
BAB III
EPISTEMOLOGI ISLAM
A. Pengertian Epistemologi
Epistemologi sebagai salah satu cabang pokok bahasan dalam
wilayah falsafah ini, berusaha membicarakan tentang seluk beluk
pengetahuan.1 Persoalan sentral epistemologi sendiri ialah mengenai apa
yang dapat kita ketahui, dan bagaimana cara mengetahuinya.2 Epistemologi
sebenarnya bermaksud mengaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum
dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu
diperoleh dan diuji kebenarannya.3 Jadi, dapatlah dikatakan bahwa
epistemologi adalah pengetahuan mengenai pengetahuan yang juga sering
disebut “teori pengetahuan (theory of knowledge)”. Secara lebih rinci
pokok bahasan epistemologi adalah meliputi hakikat dan sumber
pengetahuan,
metode memeroleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan
pengetahuan.4
Term epistemologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani:
episteme = knowledge, pengetahuan + logos = teori. Istilah epistemologi
pertama kali muncul pada tahun 1854 M. oleh J.F. Rarrier yang membuat
perbedaan antara dua cabang falsafah, yaitu ontologi (Yunani: on = being,
1Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 42. 2Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Al-Ruzz Media,
2008), h. 117. 3J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 18. 4Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), h. 26.
44
wujud, apa + logos = teori) dan epistem. Ontologi sendiri sering
disinonimkan dengan metafisika, meskipun yang disebutkan terakhir ini
dapat berarti ontologi yang merupakan teori tentang apa, juga berarti pula
epistemologi sebagai teori pengetahuan.5
Sementara secara terminologis terdapat berbagai corak definisi
namun pada dasarnya sama yakni mengacu pada teori pengetahuan (theory
of knowledge), di antaranya menurut failasuf besar Yunani kuno Aristoteles,
episteme adalah “an organized body of rational knowledge with its proper
object” (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan
obyeknya sendiri yang tepat).6 Selanjutnya menurut Jujun S. Suriasumantri,
epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap
proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memeroleh pengetahuan.7
Menurut Musa Asy‟arie epistemologi merupakan cabang falsafah yang
membicarakan hakikat ilmu dan ilmu sebagai proses usaha pemikiran yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat
pada suatu obyek kajian ilmu.8
Secara kritis, epistemologi mengaji pengandaian-pengandaian dan
syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya hubungan antar
pengetahuan sekaligus mencoba memberi pertanggungjawaban rasional
5Milton D. Hunnex, Peta Filsafat, Pendekatan Kronologis dan Tematis, terj. Zubair
(Bandung: Teraju, 2004), h. 7-8. Dapat dilihat juga dalam Loren Bagus, Kamus Filsafat
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 212. 6The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 1.
7Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 9. 8Musa Asy‟arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir (Yogyakarta: LESFI,
2002), h. 63.
45
terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya. Secara fundamental,
epistemologi atau falsafah pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu
upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif
pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan
alam sekitarnya, yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis.9
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa epistemologi
merupakan cabang falsafah yang membahas pengetahuan. Ia merupakan
ilmu pengetahuan falsafah yang berusaha memeroleh pengetahuan dan
hakikat pengetahuan. Dalam epistemologi yang dibahas adalah obyek
pengetahuan, sumber dan alat untuk memeroleh pengetahuan, metode,
validitas pengetahuan dan kebenaran pengetahuan.10
B. Model-model Epistemologi Islam
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran,
yakni empirisme, rasionalisme, dan intuitisme. Sementara dalam pemikiran
falsafah Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam,
yakni teks suci, akal, dan pengalaman pribadi.11
Dalam kajian pemikiran
Islam sendiri terdapat beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori
pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam
Islam, yakni bayāni, burhāni, dan ‘irfāni, yang masing-masing memunyai
pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
9Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, h. 117.
10C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta:
Gramedia, 1983), h. 3. 11
Swami Nikhilananda, Hinduisme It’s Meaning for The Liberation of The Spirit
(New York: Harper, 1958), h. 4.
46
1. Epistemologi Bayānī
Bayāni12
adalah sistem epistemologi eksplikasi yang terdapat
dalam bidang filologi, jurisprudensi Islam, usul fiqh, teologi dialektis
(kalām), dan balaghah. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari
akumulasi prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of
discourse) teks-teks primer keagamaan. Karakteristik dari episteme
eksplikasi ini secara umum menggunakan metode analogis. Penyebutan
terhadap episteme ini juga berbeda-beda, misalnya para ahli hukum dan
nahwu menyebutnya dengan istilah qiyās, para teolog menamakannya al-
istidlāl bi al-syāhid, ‘alā al-ghā’ib, sementara ahli balaghah memilih
istilah al-taṣbīh.13
Bayāni sendiri merupakan metode pemikiran khas Arab yang
didasarkan atas otoritas teks (naṣ), secara langsung atau tidak langsung,
dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlāl).
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran, sedangkan secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu penafsiran dan penalaran. Namun demikian, bukan berarti
akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, karena tetap
12
Secara etimologis bayāni berasal dari kata-kata bahasa Arab, yang berarti
penjelasan (eksplanasi). Al-Jābirī menyatakan bahwa berdasarkan beberapa makna yang
diberikan kamus “Lisān al-‘Arāb”, yakni sebuah kamus karya pertama yang belum
tercemari pengertian lain tentang kata ini, memberikan arti sebagai “al-Faṣl wa infiṣā”
(memisahkan dan terpisah), “al-ẓuhūr wa al-iẓār” (jelas dan penjelasan). Makna “faṣl wa
infiṣāl” dalam kaitannya dengan metodologi, sedang “infiṣāl wa ẓuhūr” berkaitan dengan
visi (ru’y) dari metode bayāni. Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 20. 13
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 13.
47
harus bersandar pada teks (naṣ). Karena dalam bayāni, rasio dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali jika rasio disandarkan pada
teks (naṣ).14
Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayāni adalah
aspek eksoteriknya (syarī‘at), dan sumber pengetahuannya adalah teks
(naṣ) al-Qur‟ān dan ḥadīts.15
Sehingga, wajar epistemologi bayāni
menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi
ke generasi.16
Hal ini menjadi sangat penting karena sebagai sumber
pengetahuan, benar tidaknya transmisi teks akan menentukan benar
salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks (naṣ) bisa
dipertanggungjawabkan maka teks (naṣ) tersebut benar dan bisa dijadikan
dasar hukum. Begitu juga sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka
kebenaran teks (naṣ) tidak bisa dipertanggungjawabkan dan itu berarti
tidak bisa dijadikan landasan hukum.17
Oleh karena itulah, mengapa pada masa tadwīn (kodifikasi),
khususnya pada masa kodifikasi ḥadīts, para ilmuan begitu ketat dalam
menyeleksi sebuah teks (naṣ) yang diterima. Dari upaya-upaya seleksi
tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan
14
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 38. 15
„Abd al-Wahhāb Khalaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, terj. Madar Helmi (Bandung:
Gema Risalah Press, 1996), h. 22. 16
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 116. 17
M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Ḥadīṭs, terj. Yamin (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), h. 143.
48
memastikan keaslian sebuah teks (naṣ) keagamaan, seperti al-Jarḥ wa al-
Ta‘dīl, al-Muṣṭalah al-Ḥadīts, al-Rijāl al-Ḥadits dan seterusnya.18
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa bayāni sangat
berkaitan dengan teks (naṣ) dalam hubungannya dengan realitas. Dengan
begitu, persoalan pokoknya adalah sekitar kata-makna (lafaẓ-ma‘nā), dan
uṣūl-furū‘ (dasar-cabang).19
Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks (naṣ),
epistemologi bayāni menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada
redaksi (lafaẓ) teks (naṣ), dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,
seperti naḥw dan ṣarāf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode
qiyās (analogi) dan inilah prinsip dasar epistemologi bayāni.20
Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empat
macam cara. Pertama, berpegang pada tujuan pokok (al-maqāṣid al-
ḍarūriyyah) yang mencakup lima kepentingan vital, yakni menjaga
keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam penerapannya,
menggunakan induksi tematis (al-istiqra’ al-ma’wī) dan disitulah tempat
penalaran rasional.21
Kedua, berpegang pada ‘illat (sebab) teks (naṣ). Hal ini dilakukan
untuk menemukan dan mengetahui adanya ‘illat suatu teks (naṣ). Dalam
18
M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Ḥadits, terj. Yamin, h. 143. 19
Misalnya, apakah suatu teks (naṣ) dimaknai sesuai konteksnya atau makna
aslinya (tauqīf)?. Bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung
dalam teks suci?. Bagaimana memaknai istilah-istilah khusus dalam “al-asmā’ al-
syar‘iyyah”, seperti kata ṣalat, ṣiyām, zakah, dan lainnya. Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-
‘Arabī, h. 58-62. 20
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 530. 21
Al-Syāṭibi, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Aḥkām, cet. III, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), h.
62-64. Lihat juga al-Buṭi, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Beirut:
Mu‟assasah, tt), h. 249-254.
49
hal ini, digunakan sebuah sarana yang memerlukan penalaran yang disebut
„jalan ‘illat‟ (masālik al-‘illat) yang terdiri atas tiga hal, 1) ‘illat yang telah
ditetapkan oleh teks (naṣ), seperti ‘illat tentang kewajiban mengambil 20%
harta fay (rampasan) untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar di
kalangan orang kaya saja (QS. al-Ḥasyr: 7). 2) ‘illat yang telah disepakati
oleh para mujtahid, misalnya ‘illah menguasai harta anak yang masih kecil
adalah karena kecilnya. 3) al-Sibr wa al-taqsīm (trial) dengan cara
merangkum sifat-sifat baik untuk dijadikan ‘illat pada asal teks (naṣ).
Kemudian, ‘illat itu dikembalikan kepada sifat-sifat tersebut agar bisa
dikatakan bahwa ‘illat itu bersifat begitu atau begini.22
Cara kedua ini
lebih lanjut memunculkan metode qiyās (analogi) dan istiḥsān, beralih dari
sesuatu yang jelas kepada sesuatu yang masih samar, karena adanya alasan
yang kuat untuk pengalihan itu.23
Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks (naṣ). Arti tujuan
sekunder di sini adalah tujuan yang mendukung terlaksanakanya tujuan
pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan pemahaman materi
kuliah pada mahasiswa, tujuan sekundernya adalah memberikan tugas.
Adanya tugas akan mendukung pemahaman kuliah yang diberikan. Sarana
yang digunakan untuk menemukan tujuan sekunder teks (naṣ) adalah
22
„Abd al-Wahhāb Khalaf, Ilm Uṣul Fiqh, h. 127-35. 23
Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos, 1997), h. 139-
141. Uraian lengkap tentang detail-detail istiḥsān, lihat Iskandar Usman, Istiḥsān dan
Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 1994), h. 33.
50
istidlāl, yakni mencari dalil dari luar teks (naṣ), berbeda dengan istimbāt
yang berarti mencari dalil pada teks (naṣ).24
Keempat, yakni berpegang pada diamnya syar‘ī. Hal ini digunakan
untuk masalah-masalah yang sama sekali tidak ada ketetapannya dalam
teks (naṣ) dan tidak bisa dilakukan dengan qiyās. Caranya adalah dengan
kembali pada hukum pokok (aṣl) yang telah diketahui. Misalnya, hukum
asal mu‘āmalah adalah boleh (al-aṣl fī al-ma‘āmalah al-ibāḥah), maka
jual beli lewat internet (online shop) yang tidak ada ketentuannya berarti
boleh, tinggal bagaimana mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini
melahirkan teori istisḥāb, yakni menetapkan sesuatu berdasar keadaan
yang berlaku sebelumnya selama tidak ditemui dasar/dalil yang
menunjukkan perubahannya.25
2. Epistemologi Burhānī (Demonstratif)
Berbeda dengan epistemologi bayāni dan ‘irfāni, yang masih
berkaitan dengan teks suci. Epistemologi burhāni sama sekali tidak
mendasarkan diri pada teks (naṣ), juga tidak pada pengalaman. Namun,
epistemologi burhāni berdasar pada metode observasi empiris dan
inferensi rasional (al-istintāj al-‘aqli).26
Karena, sumber pengetahuannya
adalah rasio, bukan teks (naṣ) atau intuisi (ilhām). Sehingga, dalam
24
„Abd al-Wahhāb Khalaf, Ilm Uṣul Fiqh, h.154. 25
„Abd al-Wahhāb Khalaf, Ilm Uṣul Fiqh, h.154. 26
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 383.
51
epistemologi burhāni, rasio inilah yang memberikan penilaian dan
keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.27
Epistmologi burhāni (demonstratif) secara sederhana bisa diartikan
sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi
(qāḍiyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintāj) dengan mengaitkan
proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti
kebenarannya secara aksiomatik (badīhi).28
Menurut al-Jābīri,29
prinsip-prinsip burhāni pertama kali dibangun
oleh Aristoteles (384-322 SM.) yang dikenal dengan istilah metode
analitik (taḥlīli), yaitu suatu cara berpikir (pengambilan keputusan) yang
didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi ḥamliyyah (categorical
proposition) atau proposisi syarṭiyyah (hypothetical proposition). Pada
masa Alexander Aphrodisi, murid serta komentator Aristoteles,
mengggunakan istilah logika dan ketika masuk dalam khazanah pemikiran
Islam berganti nama menjadi burhāni.30
27
Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl fīmā Bayn al-Ḥikmah wa al-Syar‘īah min al-Ittiṣāl,
ed. M. Imarah (Mesir: Dār al-Ma„ārif, tt), h. 56. 28
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 383. 29
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 384-385. Metode analitik ini kemudian
oleh madzhab Iskandariyah disebut dengan logika atau manṭiq. Madzhab Iskandariyah
adalah aliran falsafah Yunani yang banyak mengajarkan pikiran-pikiran Aristoteles, Di
samping Plato. Visi utamanya menyelaraskan falsafah dan agama. Sebagai lawannya
adalah madzhab Anthenian (Hellenistik) yang lebih banyak mengajarkan falsafah neo-
platonis. Al-Farābī termasuk murid dari madzhab Iskandariyyah dan banyak belajar pula
pada madzhab Anthenian. Uraian lebih panjang, lihat Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan
Fondasi Filsafat Islam”, dalam jurnal Al-Ḥikmah, edisi 4, (Bandung: Februari, 1992), h.
63-64. 30
„Abd al-Mun„im al-Ḥanafī, Al-Mu‘jam al-Falsafī,(Kairo: Dār al-Syarqiyyah,
1990), h. 258-259. Lihat juga Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar (Bandung: Remaja
Karya, 1989), h. 154. Di sana dikatakan bahwa metode analitika atau silogisme terbagi
dalam dua bentuk; silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah
bentuk silogisme di mana premis-premisnya didasarkan atas data-data tak terbantah,
mutlak tidak tergantung pada suatu syarat. Silogisme hipotesis adalah bentuk silogis yang
52
Ciri utama dari epistemologi burhāni adalah silogisme, akan tetapi
silogisme tidak mesti menunjukkan burhāni. Dalam bahasa arab, silogisme
diterjemahkan dengan ʽqiyās’ atau ʽal-qiyās al-jam‘ī yang mengacu pada
makna asal, yakni mengumpulkan. Sedangkan secara terminologis,
silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang
disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah
keputusan (konklusi) pasti menyertai.31
Dalam hal memeroleh pengetahuan, epistemologi burhāni
menggunakan aturan silogisme.32
Mengikuti Aristoteles, penarikan
kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, 1)
mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, 2) adanya konsistensi
logis antara alasan dan kesimpulan, 3) kesimpulan yang diambil harus
bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran
atau kepastian lain.33
Sebagai seorang failasuf Muslim, al-Farābī memersyaratkan bahwa
premis-premis burhāni harus merupakan premis-premis yang benar,
primer, dan diperlukan. Bagi al-Farābī, premis yang benar adalah premis
yang memberi keyakinan, meyakinkan.34
Akan tetapi, suatu premis bisa
dianggap meyakinkan apabila memenuhi tiga syarat, 1) kepercayaan
premis-premisnya tidak merupakan pernyataan mutlak melainkan tergantung pada sesuatu
syarat. 31
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 385. Di sini dijelaskan sejarah panjang
silogisme demonstratif, mulai dari Aristoteles sampai al-Farābī, dan hubungan burhāni
dengan persoalan bahasa. 32
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 385. 33
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 433-436. 34
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 106.
53
bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, 2)
kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang
lain selain darinya, 3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak
mungkin sebaliknya.
Epistemologi burhāni bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-
jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa obyek-obyek pengetahuan
indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, di manapun,
dan kapanpun, serta tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.35
Selanjutnya, derajat di bawah silogisme burhāni adalah “silogisme
dialektika”, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis.
Silogisme dialektika adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-
premis yang hanya bertaraf mendekati keyakinan, tidak sampai derajat
meyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme
dialektika juga berupa opini-opini yang secara umum diterima
(masyhūrāt), dan yang ini biasanya diakui atas dasar keimanan atau
kesaksian orang lain, tanpa diuji secara rasional. Oleh karena itu, nilai
pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan
yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Karena dialektika
berada di bawah pengetahuan demonstratif.36
3. Epistemologi ‘Irfānī (Gnostisisme).
35
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 106. 36
Sebagai perbandingan, lihat Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl, h. 56-67.
54
Secara etimologis ‘Irfān berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa
semakna dengan ma‘rifat, yang berarti pengetahuan.37
Tetapi, ia berbeda
dengan ilmu (‘ilm). ‘Irfān atau ma‘rifat sendiri berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman
(experience), sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh
lewat transformasi (naql) atau rasionalitas („aql). Secara terminologis,
‘irfān bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran (al-fayḍ) hakikat oleh Allah kepada hamba-
Nya melalui kasyf (penyingkapan realitas hakikat) setelah adanya olah
ruhani (riyāḍah) yang dilakukan atas dasar cinta (ḥubb) kepada Allah.38
Jadi, pengetahuan ‘irfāni tidak didasarkan atas teks (naṣ) seperti
bayāni, juga tidak atas rasio seperti burhāni, tetapi pada intuisi melalui
kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Allah yang
diberikan kepada orang-orang yang dikehendakinya. Di mana dengan olah
ruhani, dan kesucian hati, diharapkan Allah akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya.39
Setelah pengetahuan masuk dalam
hati, dan akal sudah selaras, lalu dikonsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis.
Dengan begitu, pengetahuan ‘irfāni setidaknya diperoleh melalui
tiga tahapan, 1) persiapan, 2) penerimaan, 3) pengungkapan, dengan lisan
atau tulisan.
37
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 251. 38
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu huduri, h. 47-48, dan 241. Lalu, Ṭabaṭaba„ī,
Pengantar dalam Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1995), h. 10. 39
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 251.
55
Pertama, adalah tahap persiapan. Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasanya disebut sālik (penempuh
jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spritual.
Para tokoh berbeda pendapat mengenai jumlah jenjang yang harus
dilalui.40
Akan tetapi, setidaknya ada tujuh tahapan inti yang harus
dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju
pada tingkatan puncak. 1) Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan
yang kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian
menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. 2) Wara‘,
yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang kurang jelas statusnya
(subḥāt). 3) Zuhūd, ialah tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan
dunia. 4) Fāqir, ialah mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, dan tidak menghendaki
sesuatu apapun kecuali Allah SWT. 5) Ṣabr (sabar) adalah menerima
segala bencana dengan laku sopan dan rela (riḍā). 6) Tawakkal, yaitu
percaya dalam kebaikan atas segala apa yang ditentukan Allah. 7) Riḍā
(rela), hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa
hanya gembira dan sukacita.41
40
Al-Qusyayrī (w. 1072 M.), mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui. Al-
Qusyayrī, al-Risālah (Beirut: Dār al-Khair, tt), h. 89-350. Sementara Abū Sa„īd Ibn Abū
al-Khair, sebagaimana dikutip Seyyed Ḥossein Naṣr, yaitu ada 40 tahapan. Seyyed
Ḥossein Naṣr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), h. 89-96. Sedangkan Abū Naṣr al-Ṭūsi mencatat ada 7 tingkatan, dan Ṭabaṭaba„ī
menulis ada 24 jenjang. Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2001), h. 49-72. Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, h. 120-155. 41
Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 163.
56
Kedua, adalah tahap penerimaan. Jika seseorang (hatinya) telah
mencapai tingkat kejernihan dan kenetralan tertentu dalam sufisme, maka
ia akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Allah secara
illuminatif (isyrāqi) atau kasyf (penyingkapan spiritual). Pada tahap ini,
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri mutlak melaui kasyf,
sehingga dengan kesadaran itu ia juga mampu melihat realitas dirinya
sindiri dalam musyāhadah (penyaksian realitas) sebagai bagian dari obyek
yang diketahui.42
Dengan begitu, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, bukanlah obyek eksternal, keduanya juga bukan sesuatu
yang berbeda melainkan merupakan eksistensi yang sama. Sehingga obyek
yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri,
begitu pula sebaliknya (al-ittihād). Jadi, jelas bahwa dalam perspekrif
epistemologis, pengetahuan ‘irfāni ini tidak diperoleh melalui representasi
atau data-data indera apa pun, dan inilah yang Mehdi Hairi Yazdi sebut
dengan “‘ilm huḍūri” (ilmu dengan kehadiran) atau pengetahuan swaobjek
(self-object-knowledge).43
Ketiga, tahap pengungkapan. Tahap ini merupakan tahap terakhir
dari proses pencapaian pengetahuan ‘irfāni. Di mana pegalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Akan tetapi, karena pengetahuan ‘irfāni tidak masuk dalam tatanan
konsepsi dan representasi, tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Allah dalam diri dan kehadiran diri dalam Allah, sehingga tidak
42
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, h. 51-53. 43
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huḍuri, h. 51-53.
57
bisa dikomunikasikan, maka menurut Mehdi Yazdi, tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan.44
Sesuai dengan sasaran bidik epistemologi ‘irfāni, yaitu tentang
yang esoterik. Maka isu sentral ‘irfāni adalah ẓāhir (tampak) dan bāṭin (tak
tampak), bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai satu
kesatuan. Menurut Muḥāsibī (w. 1240 M.), al-Ghazālī (w. 1111 M.), Ibn
ʽArabī (w. 1240 M.), juga para sufi yang lain, bahwa teks (naṣ) keagamaan
yakni al-Qur‟ān dan ḥadīts, tidak hanya mengandung apa yang tersurat
(ẓāhir) tetapi juga mengandung apa yang tersirat (bāṭin). Aspek ẓāhir teks
(naṣ) adalah bacaannya (tilāwah) sedang aspek batinnya adalah
takwilnya.45
Jika kita analogikan dengan epistemologi bayāni, maka
konsep ẓāhir-bāṭin ini tidak berbeda dengan redaksi-makna. Letak
perbedaannya adalah jika dalam epistemologi bayāni seseorang berangkat
dari redaksi (lafaẓ) menuju makna (ma‘nā), sedangkan dalam ‘irfāni
seseorang justru berangkat dari makna menuju kata, dari bāṭin menuju
ẓāhir, atau dalam bahasa al-Ghazālī, makna sebagai aṣl (dasar) sedang kata
mengikuti makna (sebagai furū’).46
Pendapat kaum sufi tentang ẓāhir-bāṭin di atas didasarkan pada dua
sandaran. Pertama, pada al-Qur‟an, QS. Al-Luqmān: 20, al-An„am: 120,
dan khususnya al-Ḥadīd: 3, yang sekaligus digunakan sebagai fondasi
44
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, 245-268. Steven K. Katz, Mysticisme and
Philosophical Analysis (London: Sheldon Press, 1998), h. 23. 45
Al-Jābirī, Bunyah al-‘aql al-‘Arabī, h. 275. Al-Ghazāī, Misykāt al-Anwār, ed.
„Afīfī (Kairo: Dār al-Qaumiyyah, 1964), h. 73. Ibn „Arabī, Tafsīr Ibn ‘Arabī, cet. II,
(Kairo: Bulaq, 1867), h. 2. 46
Al-Ghazālī, Misykat al-Anwār, h. 65.
58
dasar dari pijakan metafisis kaum tasauf-falsafi. Kedua, ḥadīts Rasul yang
berbunyi, “Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur‟ān kecuali di sana
mengandung aspek ẓāhir dan bāṭin, dan setiap huruf mempunyai ḥad
(batas) dan maṭla‘ (tempat terbit)”.47
Persoalan berikutnya dalam ‘irfānī adalah bagaimana makna atau
dimensi bāṭin yang diperoleh dari kasyf (penyingkapan) tersebut
diungkapkan? Menurut al-Jābīri, makna bāṭin ini, Pertama, diungkapkan
dengan cara I’tibār atau qiyās ‘irfāni, yakni analogi makna bāṭin yang
ditangkap dalam kasyf (penyingkapan) kepada makna ẓāhir yang ada
dalam teks (naṣ).48
Misalnya, qiyās (analogi) yang dilakukan al-Qusyayrī
atas Q.S. Al-Raḥmān: 19-22. Berbunyi, “Dia membiarkan dua lautan
mengalir dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan”. Menurut al-
Qusyayrī, dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan rajā’
(harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni aḥwāl al-sufiyah
dan laṭā’if al-Mutawalliyyah. Di antara keduanya ada batas ini dan itu.
Maksudnya bahwa konsep sufisme tentang khauf dan rajā’ dinisbatkan
pada kata `baḥrain’ (dua lautan), sedang aḥwāl dan laṭā’if dinisbatkan
pada mutiara dan marjan. Dengan demikian, qiyās ‘irfāni ini tidak sama
dengan qiyās bayāni atau silogisme.49
47
Ibn „Arabī, Tafsīr Ibn ‘Arabī, cet. II, h. 2. Berdasarkan ḥadīts di atas, Ibn
„Arabī menyatakan bahwa ẓāhir al-Qur‟ān adalah tafsir. Sementara aspek batinnya adalah
takwil, batasannya (ḥad) adalah batas kemampuan pemahaman dan matlā’-nya adalah
puncak pendakian hamba di mana ia menyaksikan Allah. Namun, al-Jābirī menyangsikan
otentisitas ḥadīts dan tafsir ini. Karena, di bagian lain Ibn „Arabī mengatakan bahwa ia
memeroleh ḥadīts tersebut dari kasyf (penyingkapan). Tidak mengikuti rantai perawian
sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ḥadīts. Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 276. 48
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, h. 295-6. 49
Al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al‘Arabī, h. 288.
59
Lalu, pengungkapkan lewat syaṭaḥāt. Hal ini, berbeda dengan
qiyās ‘irfāni yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks
(naṣ). Syaṭaḥāt ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut.
Syaṭaḥāt lebih merupakan suatu ungkapan lisan tentang perasaan wujud
(al-wijdān) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan
dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan “Subḥānī” dari Abū
Yāzid Busṭāmi (w. 877 M.), atau Anā al-Ḥaqq dari al-Ḥallaj (w. 913
M.).50
Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar saat seseorang mengalami
suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga dianggap
tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu,
karena itu pula, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran
Islam yang baku. Kendati demikian, secara umum syaṭahāt sebenarnya
diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufi sunnī ada yang
membatasi diri pada aturan syariat, yakni syarat bahwa syaṭahāt tersebut
harus ditakwilkan, ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan
pada makna ẓāhir teks (naṣ).51
Dengan demikian, syaṭahat tidak boleh
diungkapkan secara “liar” dan berseberangan dengan ketentuan syarit
yang ada.
Jadi, perbandingan ketiga epistemologi Islam ini adalah bahwa
bayāni menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu’ (cabang) kepada
yang aṣlu (dasar), sementara burhāni menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
50
Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al‘Arabī, h. 288. 51
Al-Qusyayrī, Laṭāif al-Isyārāt, cet, III, ed. Ibrahim Basyuni, (Kairo: al-Hai‟ah
al-Misriyah, 1981), h. 507.
60
kebenarannya, dan ‘irfāni menghasilkan pengetahuan lewat proses
penyatuan ruhani kepada Allah.52
Menurut Mehdi Hairi Yazdi, Ibn „Arabī bukan saja sebagai tokoh
‘irfān yang hanya menerima metode ‘irfān begitu saja secara pasif, tetapi
lebih dari itu ia juga telah berjasa dalam merumuskan epistemologi yang
dikenal dengan ‘irfān (gnosis) atau ma‘rifat tersebut.53
52
Al-Jābirī, Isykālīyat al-Fikr al-‘Arabī al-Mu‘ashir, (Beirut: Markaz Dirāsah al-
„Arabiyyah, 1989), h. 59. 53
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat
Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 1994), h. 241.
61
BAB IV
EPISTEMOLOGI TUHAN MENURUT IBN ‘ARABĪ
A. Epistemologi ‘Irfānī (Intuitif) Ibn ‘Arabī
Pandangan Ibn „Arabī tentang epistemologi ‘irfānī1 ini
sangatlah unik. Karena, meskipun basis pengetahuan intuitif Ibn „Arabī
ini adalah hati yang berdasar pada kasyf (penyingkapan spiritual), serta
obyek yang ditangkap nalar ‘irfānīnya bersifat sangat abstrak, namun
dalam pandangan Ibn „Arabī, dalam hal memeroleh pengetahuannya
tetap melibatkan peran dimensi dunia empiris. Sebab, dunia empiris
bagi Ibn „Arabī, tidak lain adalah lokus (ma‘qulat) penampakan diri
inderawi (al-tajallī al-syuhūdī) al-Ḥaqq (Tuhan Yang Maha Benar)
dalam bentuk yang berbeda-beda, dari yang konkrit kepada yang lebih
konkrit.2 Konsep tersebut di atas, tidak lepas dari pemikirannya tentang
ide ontologisnya, yaitu kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd).
Sumber dari nalar ‘irfānīnya adalah realitas pengalaman
(experience) mistik yang ditemukan langsung oleh sang gnostik (ahl al-
‘ārif) atau sufi sebagai kelompok keilmuan dalam sistem nalar ‘irfānī
1‘Irfān secara harfiah berarti “kesadaran” atau “pengetahuan”. Dalam bahasa
falsafah Islam, ia selalu digunakan dalam pengertian kesadaran yang tidak identik
dengan atau bisa diterapkan pada, pengertian normal kita tentang pengetahuan dalam
makna yang ketat. ‘Irfān sama sekali tidak boleh dipakai secara teknis dalam
pengertian pengetahuan failasuf tentang Rabb. ‘Irfān dimaksudkan untuk digunakan
dalam pengertian semacam kesadaran yang dicapai hanya melalui pengalaman mistik.
Kesadaran ini, disebut oleh para sufi Islam dengan “syuhūd” atau “musyāhadah”.
Mehdi Ha‟iri Yazdi, Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam: Menghadirkan
Cahaya Tuhan, terj. Husain Heriyanto, (Bandung: Mizan 2003), h. 65. 2T. Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical
Cosepts (Los Angeles: University of California Press, 1984), h. 154.
62
ini. Melalui penjelasan di atas, penulis bermaksud mengatakan bahwa
bagi Ibn „Arabī, alat utama dalam epistemologi ‘irfānīnya adalah hati
(qalb), bukan akal maupun inderawi.
Hal ini menurut Ibn „Arabī, karena akal tidak mampu menyerap
obyek-obyek eksternal secara langsung kecuali melalui sebuah
representasi, baik berupa simbol atau konsep.3 Oleh karena, wilayah
pengetahuan akal sendiri hanya meliputi pengetahuan abstraksi (al-
tajrīda), formulasi hukum-hukum atau prinsip-prinsip dunia fisis-
sensual (uṣūl al-‘ālam anmiyyah ḥissiyyah), mengetahui eksistensi
obyek yang tak terjangkau pancaindera, baik dunia proses mental
maupun dunia metafisis.4
Lebih lanjut, Ibn „Arabī menjelaskan bahwa dalam
mekanismenya, akal juga sangat membutuhkan peran dari indera-indera
lahiriah. Sementara, indera-indera lahiriah itu juga memiliki
keterbatasan yang disebabkan oleh pengaruh karakter dan keadaan
alaminya masing-masing yang tidak dapat memersepsi realitas-realitas
nonmateri. Sehingga, dengan akal atau inderawi belaka manusia tidak
mungkin dapat menyingkap (kasyf) dan memahami hakikat-hakikat ke-
Tuhan-an (ḥaqā’iq al-Ilāhiyyah) al-Ḥaqq dan batin-batin alam (khalq)
yang merupakan obyek dari epistemologi ‘irfānī.5
3Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Maḥmūd Maṭrajī. 8 volume (Beirut:
Dār al-Fikr, 2002), v. 1 h. 288. 4Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazālī, Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 199. 5 Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 289, dan v. 2 h. 66.
63
Meskipun dikatakan bahwa pengetahuan intuitif itu tidak
menggunakan rasio sebagai sarana utamanya. Tetapi pada hakikatnya,
kebenaran yang dihasilkan melalui jalan intuisi tersebut memiliki
dasar-dasar rasionalitas yang tinggi. Sebab, dalam hal pencapaian
kebenaran itu sendiri, antara akal dan intuisi memiliki hubungan yang
erat. Pengetahuan intuitif memiliki ruang yang sama dengan
pengetahuan imajinatif. Hal ini, dapat dibuktikan dengan bahwa ilham
dan psikologis bisa timbul melalui akal ketika melakukan aktifitas
secara intens.
Misalnya, ketika seseorang berpikir dan belum menemukan
pemecahnya, lalu ia mengendapkannya dalam beberapa waktu
(incubation). Pada saat inilah pikiran dapat dijernihkan dan selanjutnya
akan terjadi ide-ide yang seakan-akan datang secara tiba-tiba tanpa
disadari. Perbedaan diantara keduanya hanya dalam metodologi dan
sistematikanya. Namun, keduanya membentuk bangunan pengetahuan
dan falsafah, sebagaimana dalam model taṣauf falsafī.6
Dalam hal epistemologi, seluruh kaum sufi sepakat bahwa
metode yang tepat untuk memeroleh pengetahuan ma‘rifat atau tajallī
adalah lewat dasar pendidikan tiga tingkat (takhallī, taḥallī, dan tajallī),
seperti laku spiritual riyāḍah (olah spiritual) dan mujāhadah
(penyiksaan/kesungguhan diri). Secara spesifik tingkatan dasar itu
6Taṣauf Faslsafī adalah suatu model tasauf yang proses dan produknya
memadukan antara visi tasauf dan falsafah. Pada satu pihak menggunakan term-term
falsafah, namun pada pihak lain menggunakan metode pendekatan intuisi
(dzauq/wijdan). Abū al-Wafā‟ al-Ghanamī al-Taftazanī, Madkhal ilā al-Taṣawwūf al-
Islāmī, (Kairo: Dār al-Tsaqafah, 1979), h. 187.
64
dimulai dari tahap taubat, warā‘, dan zuhūd sebagai bentuk penyucian
diri (tazkiyāt al-nafsī) dari segala maksiat batin dan lahir. Tahapan-
tahapan ini disebut dengan tingkatan (maqām) takhallī (pembersihan
diri).7
Setelah tingkatan takhallī dilewati, tahapan selanjutnya ialah
tawakkal, riḍā’ dan seterusnya yang masuk dalam tingkatan taḥallī
(berhias/bersolek diri).8 Disebut taḥallī (berhias), ialah karena tahapan
ini merupakan tahap pengisian jiwa setelah dikosongkan dari bentuk-
bentuk maksiat batin-lahir, dan akhlāq al-madzmumah (akhlak tercela).
Tahapan ini tidak harus dipahami bahwa jiwa seorang sufi mesti
dikosongkan terlebih dahulu kemudian baru diisi. Karena, yang terjadi
sebenarnya begitu sifat-sifat tercela itu dibuang bersamaan dengan itu
sifat-sifat terpuji mengisi. Masuknya sifat-sifat terpuji tersebut pada
hati subyek merupakan proses keterhubungan dan intensitas subyek
dengan obyek yang terpuji, yaitu Tuhan.
Dalam proses tersebut di atas, menurut Ibn „Arabī setidaknya
ada beberapa hal yang harus dimiliki dan ditolak oleh orang yang
7Al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj. (Kairo: al-
Tawfīqiyyah, t.t.), h. 163. 8Setidaknya ada tujuh tahapan inti yang harus dijalani, yang semua ini
berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju pada tingkatan puncak. 1) Taubat,
yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang
mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang
terpuji. 2) Warā‘, yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang kurang jelas
statusnya (subḥāt). 3) Zuhūd, ialah tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan
dunia. 4) Fāqir, ialah mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan
masa kini dan masa yang akan datang, dan tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali
Allah SWT. 5) Ṣabr (sabar) adalah menerima segala bencana dengan laku sopan dan
rela (riḍā). 6) Tawakkal, yaitu percaya dalam kebaikan atas segala apa yang
ditentukan Allah. 7) Riḍā (rela), hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga
yang tersisa hanya gembira dan sukacita. Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 163.
65
memelajari tasauf sebelum ia melangkah lebih jauh, yaitu berupa lapar,
kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri, jujur, tawakkal,
sabar, tekun, dan yakin. Sementara itu, sesuatu yang harus ditolak ada
empat hal, yaitu hasrat, dunia, nafsu dan setan.9
Lalu, meskipun pengetahuan intuitif (‘irfānī) itu merupakan
pengetahuan yang terjadi secara langsung dan tanpa perantaraan
apapun. Namun, dengan melihat tahapan demi tahapan yang ada dalam
pengetahuan ini, maka pada dasarnya pengetahuan intuitif juga bukan
merupakan peristiwa yang dapat diraih secara praktis tanpa muktasab-
mujāhadah (usaha-perjuangan) dari seorang subyek ma‘rifah.
Karena, dengan melihat proses panjang, yang dimulai dengan
niat, riyāḍah, khalwat, ‘uzlah, mujāhadah (menahan diri dari segala
hal) dan lain sebagainya. Semua proses tersebut merupakan upaya ke
arah proses pencerahan batin agar dapat menangkap obyek-cahaya
pengetahuan (nūr al-ma‘rifah) dan kebenaran tentang ke-Tuhan-an.10
Abū al-Qāsim al-Qusyayrī menjelaskan tentang khalwat, dan
‘uzlah dalam kitab al-Risālah al-Qusyayrī, ia mengatakan bahwa
khalwat (menyepi) merupakan sifat ahli sufi, sedangkan ‘uzlah
9Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2004), h. 150-
151. 10
Muḥammad „Utsmān Najatī, ‘Ilm al-Nafs fī Ḥayātinā al-Yaumiyyah
(Quwait: Dār al-Qalam, 1980), h. 238-330. M. Amin Syukur dan Masyaruddin,
Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazālī, (Semarang,
LembKota, 2002), h. 114.
66
(mengasingkan diri) merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang
bersambung dengan Tuhannya.11
‘Uzlah sendiri secara esensial berarti menghindarkan diri dari
perilaku tercela. Ada juga yang berpendapat bahwa bagian dari urgensi
‘uzlah adalah menghasilkan kemuliaan. Hakikat seorang hamba yang
melaksanakan ‘uzlah hendaknya diniatkan karena Allah dengan
maksud menjaga keselamatan orang lain dari niat buruknya kepadanya,
dan jangan bermaksud menjaga keselamatan dirinya sendiri dari niat
buruk orang lain. Sebagai dari tata cara ‘uzlah adalah untuk memeroleh
ilmu-ilmu yang dibenarkan oleh akidah tauḥīd agar ia tidak diganggu
oleh setan. Selain itu, untuk memeroleh ilmu-ilmu syariat atas dasar
kewajiban sehingga bentuk perintahnya menjadi pondasi yang kuat dan
akurat.
Sedangkan khalwah menurut al-Qusyayrī adalah perbuatan yang
paling dicintai untuk mendorong rasa rindu (gharam). Hakikat khalwah
itu sendiri adalah pemutusan hubungaan dengan makhluk menuju
penyambungan hubungan dengan al-Ḥaqq. Hal itu, dikarenakan
khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dari hati
menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia
11
Sebagai catatan, kitab “Risālah al-Qusyayrī” merupakan kitab tasauf
pertama yang dibaca Ibn „Arabī sebelum dirinya mengenal literatur dan terminologi
tasauf. Isi kitab ini sangat memengaruhi pemikirannya ke depannya. Ibn „Arabī
mengenal kitab Risālah al-Qusyayrī ini melalui pemberian Abū Ya„qūb b. Yakhlūf al-
Kūmī selaku gurunya di Andalusia. Ibn „Arabī, Rūḥ al-Quds, (Damaskus: al-
Mu„assasah al-„Ilm, 1964). h. 49.
67
menuju Dzāt Pemberi segalanya.12
Bersamaan dengan proses tersebut,
sesungguhnya tanpa disadari telah terjadi pula proses intelektualisasi
secara terselubung.13
Semua proses tersebut di atas, akan memunculkan “kesiapan
azali” (al-isti‘dād al-azalī) atau “kesiapan universal” (al-isti‘dād al-
kullī) kepada kalbu sang gnostik (qalb al-‘ārif). “Kesiapan universal”
ini diberikan oleh al-Ḥaqq sebagaimana terdapat dalam “entitas-entitas
permanen” (al-a‘yān al-tsābitah), untuk selanjutnya menerima hujaman
atau limpahan (emanasi) nūr al-ma‘rifah (cahaya pengetahuan) dari al-
Ḥaqq.
Cahaya (nūr) yang Allah hujamkan ke dada seorang ahl al-‘ārif
(sang gnostik) itu merupakan kunci sebagian besar ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, barangsiapa yang mengira bahwa tersingkapnya
pengetahuan hanya tergantung dalil-dalil (rasionalis-empiris) saja,
maka jelas ia telah mempersempit akses dan ruang rahmat Allah al-
Wāsi‘ (Yang Maha Luas) bagi dirinya sendiri. Dari cahaya (nūr) itulah
hendaknya dicari tersingkapnya suatu ilmu (kasyf).14
12
Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 196-200. 13
Muḥammad „Utsmān Najatī, ‘Ilm al-Nafs fī Ḥayātinā al-Yaumiyyah, h. 238-
330. M. Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi
Intelektualisme Tasawuf al-Ghazālī, h. 114. 14
Metode yang digunakan oleh para sufi dikenal dengan kasyf (penyingkapan)
yang merupakan metode dzauq (rasa) yang khusus, yaitu penemuan-penemuan batin
secara langsung yang berbeda dari penemuan-penemuan panca indera secara
langsung, dan penemuan-penemuan akal secara langsung atau ḥads. Abū al-Wafā‟ al-
Ghanamī al-Taftazanī, Madkhal ilā al-Taṣawwuf al-Islāmī, h. 173. Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 197, 203.
68
Dzauq dalam ma‘rifat Allāh (pengenalan terhadap Allah) ini
adalah merupakan suatu cahaya pengetahuan (nūr al-ma‘rifah) yang
dianugerahkan oleh al-Ḥaqq dengan kemulian-Nya ke dalam sanubari
auliyā’-Nya, sehingga dengan perantaraannya mereka mampu
membedakan antara yang hak dan yang batil, tanpa mengandalkan
dalam perbedaan itu kepada kitab atau lainnya.15
Dengan begitu, makna mukāsyafah (penyingkapan) menurut Ibn
„Arabī, tidak lain adalah ma‘rifah al-Ilāhiyyah (pengetahuan ke-Tuhan-
an), yang khusus diberikan kepada hamba-Nya yang dianggap telah
memiliki kesiapan universal (al-isti‘dād al-kullī) untuk menerimanya.
Ibn „Arabī juga mengatakan bahwa ini adalah metode yang paling
unggul di antara metode yang lain, sebagaimana ungkapannya berikut:
“‘Ilm kasyā’if a‘lām martabah, wahiya al-dalīl ‘alā al-maṭlūbi lirrasal,
wahiya allatī ḥajabtu asrār dzī ‘ammuhu, wahiya allatī kasyaftu
mu‘ālim al-subul”.16
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa kekhasan nalar ‘irfānī
Ibn „Arabī ialah terletak pada sifatnya yang langsung (intuitif). Di sini
jugalah letak keragu-raguan epistemologi Barat terhadap pengetahuan
intuitif, ialah karena metode ‘irfānī ini tidak bisa diuji coba
sebagaimana metode yang lainnya. Namun demikian, sebenarnya
keragu-raguan itu dapat disingkirkan dengan tiga hal sebagai kriteria
untuk mengujinya, yakni moralitas subyek, akal sehat sebagai alat
15
Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 155-156. 16
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 1 h. 196.
69
melihat dan keahlian subyek secara tepat. Memang pengetahuan ini
tidak memiliki rumus yang pasti, tetapi secara realitas ada. Adanya
hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan dan sulit diungkapkan
dalam bentuk kata dan ucapan. Sehingga, tidaklah tepat jika dikatakan
bahwa pengetahuan ‘irfānī adalah hasil abstraksi atau kontemplasi
belaka.
B. Epistemologi Tuhan Menurut Ibn ‘Arabī
Diri manusia sebagai makhluk yang berada pada puncak hirarki
makhluk-makhluk Allah, sekaligus sebagai satu-satunya makhluk yang
memunyai “kesiapan” (isti‘dād) paling besar dalam menerima
penampakan nama-nama (asmā’) dan sifat-sifat Tuhan.17
Maka sudah
sepatutnya, ia memiliki potensi mengetahui kehadiran Tuhan (ḥaḍrat
al-Ilāhi) dengan kualitas melebihi makhluk lainnya.
Dalam hal ini, pengetahuan tentang hakikat ke-Tuhan-an tentu
tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, melainkan
harus melalui pengalaman spiritual secara langsung (intuitif).
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa untuk dapat berhubungan
langsung dengan Tuhan, maka sudah sepatutnya seseorang harus
mampu melepaskan diri dari segala bentuk ikatan dengan alam yang
17
Maksudnya bahwa setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majlā,
maẓār) Allah. Akan tetapi, pada puncak hirarki makhluk-makhluk Allah, Manusia
Sempurna adalah lokus penampakan diri Allah yang paling sempurna. Sementara,
makhluk-makhluk lain hanya bisa menerima penampakan sebagian nama dan sifat
Allah. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), h.127.
70
menghalangi hubungannya dengan Tuhan. Sehingga, kemudian ia
mampu menyaksikan kehadiran Tuhan yang tersembunyi (makhfiyyan)
pada seluruh ciptaan-Nya.
Hal ini, lantaran bagi Ibn „Arabī, Tuhan dipahami sebagai
realitas yang berbeda dengan alam. Sedang akal, indera dan segala
yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam. Oleh karena itu,
baginya tidak mungkin mengetahui Tuhan dengan sarana-sarana
tersebut.18
Lebih lanjut Ibn „Arabī mengatakan bahwa dalam proses
pembenahan batin subyek menuju kepada pengetahuan tentang Tuhan
(ma‘rifah Allāh), ada proses yang menjadikan diri subyek fanā’
(lenyap), sehingga dirinya menjadi identik dengan al-Ḥaqq, sekaligus
menjadikan subyek sebagai ahli penyingkapan intuitif (ahl kasyf), yaitu
dengan “mengambil akhlak Allah” (al-takhalluq bi akhlāq Allāh).19
Ungkapan Ibn „Arabī ini, sering dikatakannya sebagai “al-
takhalluq bi akhlāq Allāh” (berakhlak dengan akhlak Allah/mengambil
akhlak Allah), atau al-takhalluq bi asmā’ Allāh (berakhlak
dengan/mengambil nama-nama Allah). Sinonim dari ungkapan di atas
berbunyi sebagai “al-tasyabbuh bi akhlāq Allāh” (memeroleh
keserupaan dengan Allah),20
“al-tasyabbuh bi al-Ilāh” (memeroleh
18
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, h.197. 19
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan,
h.138. 20
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 385.
71
keserupaan dengan Tuhan),21
dan “al-tasyabbuh bi ḥaḍrah al-
Ilāhiyyah” (memeroleh keserupaan dengan kehadiran ke-Tuhan-an).22
Takhalluq sendiri berarti proses manusia (subyek)
mengaktualisasikan bentuk (ṣūrah) Tuhan (obyek) dan
memanifestasikan nama-nama Tuhan (al-asmā’ al-Ilāhiyyah), atau
dengan ungkapan lain, takhalluq bisa juga diartikan sebagai menerima
atau mengambil nama-nama Tuhan yang telah ada pada diri kita, yang
masih bersifat potensial.23
Dalam pencapaian ini, takhalluq tidak mungkin bisa dicapai
kecuali melalui pengalaman, yaitu dengan mengalami atau merasakan
sendiri obyeknya secara intuitif yang berupa asmā’ dan sifat-sifat
Tuhan. Oleh karena itu, nalar ‘irfānī dilihat dari sudut ini disebut
dengan dzauq (rasa), karena tidak melalui penalaran seperti yang
dilakukan nalar burhānī.
Dalam perspektif Henri Bergson, pengetahuan ‘irfān ini
diistilahkan sebagai “pengetahuan tentang” (knowledge of), yakni
sebuah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung, yang
berbeda dengan “pengetahuan mengenai” (knowledge about), sebuah
21
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 126. 22
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 93. Dalam teks-teks sufi,
ungkapan ini, yang biasanya dianggap berasal dari Nabi saw, kerap kali dinyatakan
dengan kalimat, “takhallaqū bi akhlāq Allāh” (berakhlaklah dengan akhlak
Allah/ambillah akhlak Allah). Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd
dalam Perdebatan, h.138. 23
William C. Chittick, Imaginal Worlds, Ibn al-Arabi and the Problem of
Religious Diversity. (Albany: State University of New York Press, 1994), h. 62-63.
72
pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat perantara, baik indera
maupun rasio.24
Berdasarkan paparan di atas, secara epistemologis takhalluq
sebagai proses mengambil atau menerima asmā’ Allah (nama-nama
Tuhan) ini, lebih menekankan pada aspek intuisi, atau dalam istilah
teknisnya disebut dengan dzauq (rasa) atau wijdan (rasa, suara hati),
dengan qalb (kalbu) sebagai sarananya.25
Di sini, Qalb al-‘ārif (kalbu
sang gnostik) tidak saja berperan sebagai sarana pencapai
pengetahuannya, lebih dari itu, ia adalah hakikat ruhnya yang
merupakan tempat bagi terjadinya “ma‘rifat Allāh”.26
Dengan begitu,
tidak terbantahkan bahwa memang intuisi merupakan elemen vital
dalam pengetahuan tentang ke-Tuhan-an ini.
Selanjutnya, setelah proses takhalluq tersebut di atas
menghujam kalbu subyek, barulah ia akan memeroleh kesadaran diri
sekaligus kesadaran akan ke-Tuhan-an yang disertai dengan kesadaran
akan hal-hal yang bersifat metafisik lewat emanasi paling suci (al-fayḍ
al-aqdas) oleh Tuhan.
Dilihat secara teknis, proses emanasi (al-fayḍ) inilah yang
menuntun seseorang untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia-
24
Louis Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Suharsono (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), h. 144-145. 25
Istilah dzauq dan wijdan ini mereka gunakan untuk mengungkapkan buah
tajallī (penampakan sifat-sifat dan asmā’ Tuhan) serta kehadiran kejutan-kejutan yang
muncul spontan. Dzauq sebagai cara serta sarana memeroleh pengetahuan berbeda
dengan silogisme dan kegiatan berpikir lainnya, karena bersifat intuitif, yaitu
pengetahuan yang dianugerahkan langsung oleh Tuhan lewat nūr (cahaya) yang
Tuhan hujamkan ke sanubari. Al-Qusyayrī, al-Risālah, h. 139-144, 155-156. 26
al-Ghazālī, al-Munqidz min al-Ḍalal wa ma‘a Kamiyat al-Sa‘adat wa al-
Qawā‘id al-‘Asyrat wa al-Adāb fī al-Dīn (Beirut: al-Sya„biyah, tt), h, 85.
73
rahasia realitas. Tingkatan (maqām) ini disebut oleh sebagian ahli
tasauf juga dengan istilah tajallī (penampakan diri al-Ḥaqq), yaitu
tersingkapnya (kasyf) cahaya gaib atau lenyapnya (fanā’) ḥijab dari
sifat-sifat kemanusiaan dan segala yang lain ketika Allah
menampakkan diri-Nya,27
secara ghaybī (gaib) dan syuhūdī (inderawi).
Oleh karena itu, maqām al-fayḍ (tingkat emanasi) ini
menduduki posisi maqām ma‘rifah. Sebagaimana Harun Nasution
mengatakan bahwa karena pada tingkat al-fayḍ atau tajallī ini, seorang
sufi telah sampai pada tersingkapnya nūr al-ghaybī. Dengan kata lain,
di waktu itulah Tuhan memancarkan cahaya-Nya kepada hati sang
gnostik (qalb al-‘ārif) dan yang dilihat oleh sufi itupun hanyalah
Tuhan, baik sewaktu ia tidur maupun sewaktu ia bangun.28
Teori emanasi (al-naẓāriyah al-fayḍ) ini, Ibn „Arabī bagi kepada
dua tipe utama, yaitu “emanasi paling suci” (al-fayḍ al-aqdas) dan
“emanasi suci” (al-fayḍ al-muqaddas).29
Tipe “emanasi” pertama ini
lebih dahulu daripada tipe “emanasi” kedua hanya dalam logika urutan
eksistensial, bukan dalam realitas.
27
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991) h.
245. 28
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:
Mizan, 1996) h. 76-77. 29
Ibn „Arabī, Mi‘rāt al-‘Arifīn, Manuskrip, Maktabah Rafīq Ḥamdān al-
Khāṣṣah, Damaskus, lembaran 1; dikutip oleh Su„ād al-Ḥakīm, al-Mu‘jam al-Ṣūfī: al-
Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah. (Beirut: Dandat, 1981), h. 891. Lihat pula Fuṣūṣ, v. 1 h.
49.
74
Untuk sebutan yang disematkan kepada “Emanasi paling suci”
(al-fayḍ al-aqdas), antara lain adalah “penampakan diri esensial” (al-
tajallī al-dzātī) dan “penampakan diri gaib” (al-tajallī al-ghaybī).
Dalam peristiwa ma‘rifah ini, “emanasi paling suci” ini tidak
lain adalah taraf pertama yang menentukan dalam penampakan diri al-
Ḥaqq. Ini adalah taraf awan tebal (al-‘amā’), seperti disebut Ibn „Arabī.
Karena, pada taraf ini, Tuhan tidak menampakan diri-Nya kepada
sesuatu yang lain tetapi kepada diri-Nya sendiri, namun kehadiran-Nya
dirasakan subyek dalam kondisi fanā’nya, yakni lenyapnya kesadaran
diri subyek akan eksistensi dirinya dan segala yang lain, karena
tegasnya kesadaran mutlak akan realitas eksistensi Tuhan.
Abū al-„Alā „Afīfī mengatakan bahwa “emanasi paling suci”
adalah penampakan zat yang esa mutlak (tajallī al-dzāt al-aḥadiyyah)
kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-bentuk semua yang mungkin
yang wujudnya baru berbentuk secara potensial (bi al-quwwah), belum
secara faktual (bi al-fi‘l).30
Artinya, emanasi ini masih bersifat gaib,
dan belum terjadi pada alam inderawi.
Kata “secara potensial” (bi al-quwwah, in potensia) di atas,
menurut Kautsar Azhari Noer, menunjukkan bahwa Tuhan belum
menampakkan diri-Nya secara aktual dalam keanekaan, Tuhan masih
memertahankan keesaan asli-Nya. Dalam keadaan ini, Tuhan masih
tersembunyi (makhfiyyan), Yang banyak secara potensial masih Satu
30
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī, 1 volume. (Beirut: Dār
al-Kitāb al-„Arabī, 1980), v. 2 h. 9.
75
secara aktual.31
Oleh karena, tajallī pertama merupakan penampakan
Zat yang realitasnya tidak terlihat, dan realitas yang tidak terlihat ini
tidak lain dari pada “ke-Dia-an” (al-huwiyyah) yang dimiliki Tuhan dan
karena itulah Tuhan menyebut diri-Nya pada taraf ini dengan “Dia”
(huwa).32
Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa emanasi paling suci
adalah taraf pertama bagi entifikasi-entifikasi (ta‘ayyunāt) pada kodrat
Wujud Absolut (al-wujūd al-muṭlaq), di mana ta‘ayyunāt itu juga baru
ada dalam wilayah akal, dan belum memunyai wujud dalam alam
entitas-entitas yang dapat diindera (al-a‘yān al-ḥissiyyah), oleh karena
ia baru semata-mata sebagai penerima wujud.
Pada taraf “emanasi paling suci” ini, seorang subyek (ahl
al‘ārif) melalui kalbunya baru mengalami kasyf al-ma‘rifah al-
Ilāhiyyah (penyingkapan pengetahuan ke-Tuhan-an) dalam alam gaib
(al-‘ālam al-ghaybī), yang wujudnya belum dapat diindera. Subyek
belum dapat menyaksikan (musyāhadah) wujud-wujud emanasi Tuhan
dalam alam yang dapat dilihat (al-‘ālam al-syuhūd).
Realitas-realitas yang hanya ada dalam akal itu, Ibn „Arabī
sebut dengan istilah “entitas-entitas permanen” (al-a‘yān al-tsābitah),33
31
Hal ini berbeda dengan taraf Keesaan Mutlak yang sama sekali tidak
mengandung keanekaan, yang disebut sebagai “martabah aḥādiyah al-aḥad” atau
“aḥādiyyah” saja. Keesaan pada tajallī (penampakan diri) pertama ini yang
merupakan keanekaan secara potensial disebut dengan “martabah wāḥidiyyah”.
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam Perdebatan, h. 62. T.
Izutsu, Sufism, h. 62. 32
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 120-121. 33
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 2 h. 9.
76
dan menurut beberapa ahli Ibn „Arabī, ia sangat mirip dengan ide-ide
Plato meskipun terdapat perbedaan antara keduanya dalam beberapa
segi.
Setelah subyek mengalami penyingkapan (kasyf) pada tipe
emanasi pertama, kemudian berlanjut kepada emanasi tipe kedua yaitu,
“emanasi suci” (al-fayḍ al-muqaddas), yang disebut juga dengan
“penampakan diri eksistensial” (al-tajallī al-wujūdī) dan “penampakan
diri inderawi” (al-tajallī al-syuhūdi). Emanasi suci ini merupakan
penampakan diri dari Tuhan Yang Esa dalam bentuk-bentuk keanekaan
eksistensial. Artinya, peristiwa emanasi ini terjadi sebagai dampak
lanjutan dari terjadinya emanasi tipe pertama.
Emanasi suci (al-fayḍ al-muqaddas) dapat juga disebut sebagai
penampakan “entitas-entitas permanen” dari alam yang ada hanya
dalam pikiran kepada alam yang dapat diindera (min al-‘ālam al-
ma‘qūl ilā al-‘ālam al-maḥsūs), atau penampakan apa yang potensial
dalam bentuk apa yang aktual, dan munculnya segala yang ada secara
eksternal itu sesuai dengan apa yang ada dalam kepermanenan
azalinya. Sebagaimana Kautsar Azhari Noer mengatakan bahwa tidak
sesuatu pun dalam wujud penampakannya menyalahi apa yang ada
dalam kepermanenannya sejak azali.34
34
Su„ād al-Ḥakīm, Mu‘jām al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah, (Beirut:
Dandat, 1981), h. 866, 890. Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabī, Waḥdat al-Wujūd dalam
Perdebatan, h. 63.
77
Penjelasan Ibn „Arabī tentang kedua tipe emanasi ini, yang
berhubungan dengan keadaan kalbu (qalb) sang gnostik (qalb al-‘ārif)
terdapat pada suatu bagian dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, ia berkata:
Bahwasanya Allah memunyai dua tipe tajallī: tajallī ghayb dan
tajallī syahādah. Dengan tajallī ghayb, Dia memberikan
“kesiapan” yang menentukan sifat kalbu. Ini adalah tajallī dzātī
(penampakan diri esensial) yang realitasnya tidak terlihat. Ini
adalah “ke-Dia-an” (al-huwiyyah) yang dimiliki-Nya
sebagaimana Dia menyebut diri-Nya dengan “Dia” (huwa).
Allah adalah “Dia” terus-menerus selama-lamanya. Maka
apabila “kesiapan” terjadi untuk kalbu, sesuai dengan itu tajallī
syuhūdī menampakkan diri kepadanya dalam alam yang dapat
dilihat. Maka kalbu itu melihat Allah dalam bentuk yang
ditampakkan-Nya kepada kalbu tersebut... Dia Ta‘ālā
memberikan “kesiapan” kepada kalbu sesuai dengan firman-
Nya: “Dia memberi setiap sesuatu bentuk kejadian-Nya”. (Q.S.
20:50).35
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa tajallī
pertama memberikan “kesiapan azali” (al-isti‘dād al-azalī) atau
“kesiapan universal” (al-isti‘dād al-kullī) kepada kalbu sang gnostik
(qalb al-‘ārif). “Kesiapan azali” ini diberikan oleh Tuhan sebagaimana
terdapat dalam “entitas-entitas permanen” (al-a‘yān al-tsābitah).
Entitas-entitas permanen yang telah diwujudkan “emanasi
paling suci” ini, meninggalkan keadaan wujud intelligible (terang),
menyebarkan dirinya dalam segala sesuatu yang inderawi, dengan
demikian menyebabkan alam inderawi ada dalam aktualitas.36
Sehingga, kehadiran Tuhan yang pada emanasi sebelumnya
hanya dapat dirasakan subyek melalui kalbunya saja, pada emanasi suci
35
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 120-121. 36
T. Izutsu, Sufism, h. 156.
78
ini kehadiran Tuhan sudah dapat disaksikan dan ditangkap oleh akalnya
melalui sifat-sifat, perbuatan-perbuatan atau peristiwa-peristiwa.
Hal ini, karena kalbu sang gnostik telah memiliki kesiapan azali
(al-isti‘dād al-azalī) atau kesiapan universal (al-isti‘dād al-kullī), yang
mengakibatkan kalbu dan akal subyek menangkap kehadiran Tuhan
yang tersimpan (makhfīyyan) pada alam gaib (al-‘ālam al-ghaybī) dan
inderawi (al-‘ālam al-syuhūd).
T. Izutsu antara lain mengatakan bahwa kalbu itu sendiri dalam
perubahan batinnya yang terus-menerus tidak lain daripada berbagai
bentuk tajallī Tuhan. Sebaliknya, perubahan terus-menerus Tuhan
(taqallub al-Ḥaqq) itu sendiri adalah perubahan terus-menerus kalbu
(taqallub al-qalb) tersebut.37
Sehingga, diri sang gnostik identik dengan “ke-Dia-an” (al-
huwiyyah) Tuhan. “Maka dari dirinya ia mengetahui diri-Nya. Dirinya
sendiri tidak lain dari „ke-Dia-an‟ Tuhan. Begitu pula tidak sesuatu pun
dalam alam yang ada ini yang bukan „ke-Dia-an‟ Tuhan, Dia adalah
„ke-Dia-an‟ itu sendiri”.38
Hal ini, sesuai ḥadīts Nabi saw, yang
berbunyi: “Barangsiapa mengetahui dirinya mengetahui Rabb-nya”
(man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu).39
Dengan demikian, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa pada
taraf emanasi (al-fayḍ) inilah subyek mengalami musyāhadah
37
T. Izutsu, “The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and
Zen Buddhism,” dalam S.H. Nasr, ed., Mellanges offerts ‘a Henry Corbin (Teheran:
McGill University, Institute of Islamic Studies, Cabang Teheran, 1997), h. 139. 38
Ibn „Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, v. 1 h. 122. 39
Ibn „Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, v. 2 h. 308.
79
(penyaksian batin) atas nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dalam alam
yang dapat dilihat (al-‘ālam al-syuhūd), dengan berbagai bentuk yang
Tuhan tampakkan kepada kalbu subyek.
Dalam hal ini, maka amal syariat dan olah batin merupakan
starting-point dan jalan (ṭarīqah) menuju hakikat. Dengan meniti jalan
syair sulūk (bentuk jamak dari kata “salaka” yang memunyai arti jalan)
dipenghujung seorang sālik (pejalan/subyek) akan hinggap pada
mukāsyafah (penyingkapan) atas nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhūd (penyaksian)
merupakan ujung jalan bagi seorang sālik (subyek gnostik). Atas dasar
itulah, mukāsyafah merupakan titik henti (ending point) ‘irfān praktis
dan titik mula (starting point) ‘irfān teoritis. Oleh karena, mukāsyafah
dan musyāhadah adalah media dalam mengakses alam meta-natural
atau yang umumnya disebut sebagai meta-fisika.
80
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Epistemologi Tuhan menurut Ibn „Arabī adalah suatu metode
pengetahuan yang menekankan pembenahan diri dan kesadaran diri
sebagai bentuk pengetahuan primordial dalam tingkatan memeroleh
pengetahuan tentang hakikat ke-Tuhan-an (ḥaqīqah al-ma„rifah al-
Ilāhiyyah). Proses kesatuan antara kesadaran total akan realitas eksistensi
diri subyek dengan seluruh bentuk pengetahuan hakiki yang terbentang
luas di jagad raya ini menghasilkan intuisi yang kembali diekspresikan
dalam pengalaman empirik yang mendapat pencerahan. Meski tindak
mengetahui subyek berlangsung secara simultan yang melibatkan seluruh
potensi intelektual. Namun, secara rinci prosesnya dapat dilihat dalam
analisis berikut.
Berangkat dari pembenahan diri yang kemudian dikembangkan
menjadi visi monorealitas, lalu terbentuk kesadaran diri bahwa subyek
pengetahuan (ahl al-„ārif) merupakan bagian yang tak terpisah dari dunia
ke-Tuhan-an lantaran ketergantungan eksistensialnya kepada Sang Maha
Pencipta (al-Khāliq). Berdasarkan sudut pandang Ibn „Arabī di atas,
bahwa keesaan Tuhan itu merupakan hakikat yang menjadi landasan
ontologis bagi setiap fakta. Sehubungan dengan kalbu sang gnostik (ahl
al-„ārif), pengetahuan ke-Tuhan-an kemudian disampaikan dalam bentuk
wahyu dan penyingkapan spiritual (kasyf).
81
Fakta-fakta kemudian tersimpul dalam hakikat kasyf
(penyingkapan). Oleh karena, dimensi transendentalnya maka kasyf
(penyingkapan) berfungsi sebagai stimulan bagi segenap potensi
intelektual. Melalui pendengaran, kasyf (penyingkapan) merangsang
aktifitas rasional. Lalu akal pada gilirannya, secara fungsional akan
melakukan tiga aktifitas, yakni penyelidikan, identifikasi, dan penerapan
terhadap obyek ma„rifahnya.
Berkat kesadaran monorealitas, pengetahuan rasional memeroleh
pencerahan. Untuk selanjutnya, pengetahuan rasional tidak diterjemahkan
dengan cara sistem argumentasi atau berdasarkan teori korespondensi,
akan tetapi dengan teori „irfānī. Di mana pada saat kesadaran intelektual
mencerap keagungan Tuhan melalui sentuhan kasyf (penyingkapan), pada
saat itu seluruh sistem pengetahuan mengalami transformasi spiritual dan
larut dalam hakikat ke-Tuhan-an.
Secara otomatis kualitas penalaran meningkat menjadi pengenalan
(„arafa) berupa pengalaman empirik yang melihat secara nyata hakikat ke-
Tuhan-an dalam lingkup pemberitaan kasyf (penyingkapan). Dari sini,
dapat dimengerti mengapa penerapan praktis dalam tasauf menjadi bagian
yang inheren dalam sistem pembenaran pengetahuan atau konfirmasi
sufistik karena pengalaman empirik yang memeroleh pencerahan mampu
menembus taraf empirik itu sendiri ke dalam wujud spiritualnya.
Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa pengalaman
empirik sufistik tidak terbatas pada taraf lahiriah saja, tetapi menangkap
82
makna yang terkandung di dalamnya. Karena, pengetahuan inderawi
dengan jalan ma„rifah bukan semata-mata capaian data inderawi
melainkan pencerahan intelektual yang mampu menangkap hakikat ke-
Tuhan-an yang terdapat pada setiap fakta empirik. Hal ini dimungkinkan
oleh karena kesadaran monorealitas memfokuskan realitas sejati pada
kasyf (penyingkapan) yang berfungsi merangsang potensi-potensi
intelektual. Karena, kasyf (penyingkapan) atau rangsangan tersebut
menimbulkan getaran-getaran psikologis pada setiap struktur jiwa
sehingga seorang subyek dapat menemukan jati dirinya dalam rangka
membentuk integritas pribadinya yang utuh.
B. Saran
Dengan melihat dan menyimak isi pembahasan dalam skripsi ini,
penulis mengakui bahwa tulisan ini belumlah cukup untuk
mengungkapkan sepenuhnya keluasan epistemologi Ibn „Arabī dari sisi
kesufiannya. Bahkan, tulisan ini tentu memiliki ketidaksempurnaan. Di
mana penggalian terhadap setiap ungkapan Syaikh al-Akbār dalam kitab-
kitabnya yang dikenal sangat banyak dan rumit ini masih bisa untuk
diperluas dan diperdalam lagi.
Bagi para pengaji Ibn „Arabī yang tertarik untuk menggeluti
konsep epistemologinya, sekiranya dapat lebih mengembangkan dan
memastikan warna epistemologinya. Tentunya akan lebih banyak lagi
teori-teori yang ditemukan dengan judul-judul bab dan sub bab yang lebih
83
kaya lagi. Dengan catatan, bahwa hal ini harus dibarengi dengan referensi
primer dan sekunder yang tidak sedikit juga.
84
DAFTAR PUSTAKA
„Afīfī, Abū al-„Alā. “al-Fuṣūṣ wa madzhab Ibn „Arabī Fīhi”. Dalam Ibn „Arabī,
Fuṣūṣ al-Ḥikam, 2 volume. Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1980.
— — — — —. Filsafat Mistik Ibn „Arabī, terj. Syahrir Nawawi dan Nandi
Rahman, Jakarta: Gaya Media Pranata, 1969.
Addas, Claude. Quest for the Red Sulphur: Life of Ibn „Arabī, terj. Peter
Kingsley. Cambridge: Islamic Text Society, 1993.
al-Aḥwāni, Fu„ād. Dirāsah al-Falsafah al-Islāmiyyah. Mesir: Dār el-Fikr, tt.
Ali, Atabik dan Mudhor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia.Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Amin Syukur, M. dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi
Intelektualisme Tasawuf al-Ghazālī, Semarang: LembKota, 2002.
Anwar, Saeful. Filsafat Ilmu Al-Ghazālī, Dimensi Ontologi dan Aksiologi.
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
As, Asmara. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Asy‟arie, Musa. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam berfikir, Yogyakarta:
LESFI, 2002.
Azami, M. Mustafa. Metodologi Kritik Ḥadīṭs, terj. Yamin. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
85
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L. Bandung: Pustaka Hidayah,
1995.
Baqir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2004.
Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.
al-Buṭi, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarī„ah al-Islāmiyyah. Beirut: Mu‟assasah,
tt.
Chittick, William C. Dunia Imajinal Ibn „Arabī Kreatifitas Imajinasi dan
Persoalan Diversitas Agama. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
— — — — — —. Imaginal World, Ibn al-Arabi and the Problem of Religious
Diversity. Albany: State University of New York Press, 1994.
— — — — — —. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-„Arabī‟s Metaphysics of
Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989.
Chodkiewicz, Michel. Konsep Ibn „Arabī Tentang Kenabian dan Aulia, terj. Dwi
Surya Atmaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Corbin, Henry. Creatif Imagination in The Sufism of Ibn „Arabī, terj. R.
Manheim. Priceton: Priceton University Press, 1969.
— — — —. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn „Arabī. Yogyakarta: Lkis, 2002.
Drajad, Amroni. Suhrawardi, Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LKIS,
2005.
86
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: 2009.
Farghānī, Masyāriqal-Darārī, ed. S.J. Asytiyānī. Maṣhad, 1398 H/1978 M.
al-Fayumi, Ibrahim Muhamad. Ibn „Arabī Menyingkap Kode Dan Menguak
Simbol Dibalik Paham Wiḥdah al-Wujūd. Jakarta: Erlangga, 2007.
al-Ghazālī, Iḥyā‟ „Ulūm al-Dīn. 3 volume. Surabaya: Salim Nabhan, tt.
— — — —. Jawāhir Al-Qur‟ān. Mesir: Matba„ah Kurdistān al-„Ilmiyyah, 1922.
— — — —. al-Maqāṣīd al-Asnā fī Syarḥ Asmā‟ Allah al-Ḥusnā, ed.
Muḥammad Uṣmān. Kairo: Maktabah Al-Qur‟ān, tt.
— — — —, Misykāt al-Anwār, ed. „Afīfī. Kairo: Dār al-Qaumiyyah, 1964.
— — — —, al-Munqidz min al-Ḍalal wa ma„a Kamiyat al-Sa„adat wa al-
Qawā„id al-„Asyrat wa al-Adāb fī al-Dīn. Beirut: al-Sya„biyah, tt.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2000.
— — — —. Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali
Mudhofir. Yogyakarta: Karya Kencana, 1977.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah, 2013.
al-Ḥakīm, Su„ād. al-Mu„jam al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah. Beirut:
Dandat, 1981.
al-Ḥākim, al-Mustadrak, ed. Musṭafā „Abd al-Qādir „Aṭā‟. Beirut: Dār al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1990.
87
Hamdi, Ahmad Zaenul. Tujuh Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004.
Hanafi, Abd. al-Mun„im. Al-Mu„jam al-Falsafī. Kairo: Dār al-Syarqiyyah, 1990.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Spiritual
Syaikh al-Akbār Ibn „Arabī, terj. Tri Wibowo. Jakarta: Murai Kencana,
2001.
— — — — — —. The Unlimited Mercifier, The Spiritual Life and Thought of
Ibn „Arabī. Oxford: Anqa Publishing, 1999.
Hunnex, Milton D. Peta Filsafat, Pendekatan Kronologis dan Tematis,
terj.Zubair. Bandung: Teraju, 2004.
Ibn „Arabī. Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abū al-„Alā „Afīfī, 1 volume. Beirut: Dār al-
Kitāb al-„Arabī, 1980.
— — — —. al-Futūḥāt al-Makkiyyah, 8 volume, ed. Maḥmūd Maṭrajī. Beirut:
Dār al-Fikr, 2002.
— — — —. Insyā‟ al-Dawā‟ir, dalam H.S. Nyberg, Kleinere Schriften des Ibn
al-„Arabī. Leiden: Brill, 1919.
— — — —. L‟Arbre du Monde, terj. M. Gloton. Paris: Les Deux Oceans, 1982.
— — — —. Misteri Kun Syajaratul Kaun: Doktrin Tentang Person Muḥammad
Saw,terj. Wasmukan. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
88
— — — —. Misykāt al-Anwār fimā ruwiya „an Allāh subḥānahu min al-Akbār.
Mesir: Maktabah al-Qāhirah, 1999.
— — — —. Rasā‟il Ibn „Arabī. Hyderabad-Deccan: The Dāiratu‟l-Ma„ārifi‟l-
Osmania, 1948.
— — — —. al-Risālah al-Wujūdiyyah. Cairo: Maktabah al-Qāhirah, tt.
— — — —. Rūḥ al-Quds. Damaskus: al-Mu„assasah al-„Ilm, 1964.
— — — —. Sufis of Andalusia. The Rūḥ al-Quds and Durrah al-Fākhirah, terj.
R.W.J. Austin. London: Allen & Unwin, 1978.
— — — —, Tafsīr Ibn „Arabī. Kairo: Bulaq, 1867.
— — — —. The Tarjumān al-„Asywāq, terj. Nicholson. London: Theosophical
Publishing House Ltd., 1978.
Ibn Ḥajr. Lisān al-Mīzān, 5 volume. Beirut: al-Mu„assasah al-A„lamī, 1986.
Ibn Katsīr. al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 13 volume. Kairo: Dār Ibn al-Ḥaytsam,
2006.
Ibn Rusyd, Faṣl al-Maqāl fīmā Bayn al-Ḥikmah wa al-Syar„īah min al-Ittiṣāl,
ed. M. Imarah. Mesir: Dār al-Ma„ārif, tt.
Ibn Sīnā, Aḥwāl al-Nafs, terj. M. S. Nasrullah. Bandung: Pustaka Hidayah, tt.
Izutsu, T. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical
Cosepts. Los Angeles: University of California Press, 1984.
89
— — —. “The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and Zen
Buddhism,” dalam S.H. Nasr, ed., Mellanges offerts „a Henry Corbin.
Teheran: McGill University, Institute of Islamic Studies, Cabang
Teheran, 1997.
al-Jabirī. Isykālīyat al-Fikr al-„Arābi al-Muʽaṣir, Beirut: Markaz Dirasah al-
ʽArabiyah, 1989.
Jāmī, „Abd al-Raḥmān. Syarḥ Fuṣūṣ al-Ḥikam. Firuzpursyahr: Fayḍ Bakhsy,
1907.
Jamil, Fathur Rahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos, 1997.
al-Jīlī, „Abd al-Karīm. al-Insān al-Kāmil. Kairo: Dār al-Fikr, tt.
Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar. Jakarta: Lentera
Hati, 2006.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soerjono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1992.
Katz, Steven K. Mysticisme and Philosophical Analysis. London: Sheldon Press,
1998.
Khalaf, „Abd al-Wahhāb. „Ilm Uṣūl al-Fiqh, terj. Madar Helmi. Bandung: Gema
Risalah Press, 1996.
Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf, „Irfan dan Kebatinan. Jakarta: Lentera,
2004.
90
Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam jurnal Al-
Ḥikmah, edisi 4, Bandung: Februari, 1992.
Munir, Razal Muztansir dan Misnal. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Mustofa, Ahmad. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah. Bandung: Pustaka Hidayah,
1995.
Nabhānī, Yūsuf al-, Jāmi„ Karāmāt al-Awliyā‟. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.
Naṣr, Seyyed Ḥossein. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan,
1996.
Nikhilananda, Swami. Hinduisme It‟s Meaning for The Liberation of The Spirit.
New York: Harper, 1958.
Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-„Arabī: Waḥdah al-Wujūd dalam Perdebatan.
Jakarta: Paramadina, 1995.
Poespoprodjo. Logika Ilmu Menalar. Bandung: Remaja Karya, 1989.
al-Qusyayrī. Laṭāif al-Isyārāh, ed. Ibrahim Basyuni. Kairo: al-Hai‟ah al-
Misriyah, 1981.
91
— — — —. al-Risālah al-Qusyayrī, ed. Hānī al-Ḥajj. Kairo: al-Tawfīqiyyah, t.t.
Raḥmān, Fazlur. Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin. Bandung: Pustaka, 2000.
Renan, Ernest. Ibn Rusyd wa Rusydiyyah, terj. „Ādil Zu„atir. Kairo: „Īsā Bābi al-
Ḥalabi, 1957.
S. J, Frederick Copleston. History of Philosophy Greece and Rome. Canada:
Doubleday, 2003.
Ṣalība, Raḥmil. al-Mu„jam al-Falsāfī, Beirut: Dār al-Kitāb al-Banānī, 1973.
Salīm, Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad. Ta„yīd al-Sūfiyyah fī Majmū„ah al-
Hātimiyyah. Beirut: Maṭba„ah al-Ḥāditsah, 1997.
Sharif, M. M. A History of Muslem Philosophy. Delhi: Low Price Publication,
1998.
Sholeh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2001.
al-Sya„rānī. al-Kibrīt al-Aḥmar. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005.
al-Syāṭibi, al-Muwāfaqat fī Uṣūl al-Aḥkām. Beirut: Dār al-Fikr, tt.
Soemargono, Soejono. Berfikir Secara Kefilsafatan, Yogyakarta: Nur Cahaya,
1988.
Solihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
92
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Al-Ruzz Media,
2008.
Suhrawardi, Syihab al-Dīn. Ḥikmah al-„Isyrāq, terj. Muhammad al-Fayyadl.
Yogyakarta: Islamika, 2003.
— — — — — — —. Majmu„ah Muṣannafah Syaikh al-Isyrāq I, Teheran:
Institut d‟Etudes et des Recherches Culture, 1993.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1990.
— — — — — — —. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
Syukur, Suparman. Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 1996.
— — — — — —. Epistemologi Islam Skolastik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Taftazāni, Abū al-Wafā‟. Pengantar Tasawuf Islam, terj. Rafi‟ Usmani.
Bandung: Pustaka, 2003.
93
Takeshita, Mastaka.“The Homo Imago Dei Motif and the Anthro-pocentric
Metaphysics of Ibn „Arabī in the Inṣā‟ al-Dawā‟ir,” Orient, 18. Tokyo:
1982.
al-Tilmisānī, Ibn al-Maqarrī. Nafḥ al-Ṭīb min Ghiṣn al-Andalūs al-Ṭayyib.
Beirut: Dār Ṣader, 1997.
Verhaak C. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Gramedia, 1983.
Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: LIMA dan Faisal
Fondation, 2007.
Usman, Iskandar. Istiḥsān dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Rajawali,
1994.
„Utsmān Najatī, Muḥammad. „Ilm al-Nafs fī Ḥayātinā al-Yaumiyyah. Quwait:
Dār al-Qalam, 1980.
Yazdi, Mehdi Ha‟iri. Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam:
Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Husain Heriyanto, Bandung: Mizan
2003.
— — — — — — —. Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat
Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 1994.
Zahri. Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1991.
94
Zaini, M. Fudoli. Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya. Surabaya:
Risalah Gusti, 2000.